cr oka metro new 2

Upload: marlintan-sukma-ambarwati

Post on 14-Oct-2015

36 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

"Manajemen Klinik

TRANSCRIPT

I. STATUS ANESTESI PASIENA. IDENTITAS

Nama

: An. AUmur

: 11 tahun

Jenis Kelamin : Laki-lakiAgama

: IslamAlamat

: Bangun Rejo

Diagnosa

: Fraktur clavicula sinistraOperasi

: Open reduction internal fixationOperator

: dr. Fatah Manovito, Sp.OTAhli anestesi: dr. Yusnita Debora,Sp.AnNo. RM

:236856Anamnesis: Alloanamnesis

1. Anamnesis :

Keluhan Utama : Sakit pada bahu kiriRiwayat :Pasien datang ke RSAY Metro dengan keluhan nyeri pada bahu kiri sejak 1 minggu lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien terjatuh di sekolahnya. Nyeri disertai dengan bengkak pada bahu kiri sehingga ibu pasien memutuskan untuk membawa pasien berobat. Setelah dilakukan pemeriksaan rontgen diketahui bahwa pasien mengalami patah tulang klavikula kiri. Setelah itu dokter menyarankan untuk menjalani operasi dan dilakukan pemasangan fiksasi dari dalam.Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat Hipertensi tidak ada

Riwayat Alergi tidak ada Riwayat Operasi sebelumnya tidak ada

Riwayat asma tidak ada Riwayat DM tidak adaRiwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit seperti ini2. Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum

: Tampak Sakit Sedang Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan Darah

: 130/80 mmhg

Nadi

: 90 x/menit

RR

: 20 x/menit

Suhu

: 36,50C

Berat Badan

: 40kg

Tinggi badan

: 145 cm

Kepala

Mata

: Konjungtiva ananemis

Sclera

: Ikterik (-/-)

Mallampati score

: 1 Tiromental distance

: > 3 jariLeher

Kelenjar tiroid

: Pembesaran (-) KGB

: Pembesaran (-) Cor

Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis teraba

Perkusi

: Redup

Auskultasi

: BJ1-BJ2 reguler, gallop (-), murmur (-) Paru

Inspeksi

: Pergerakan kedua hemithorax simetris

Palpasi

: Fremitus normal

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskulasi

: Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Abdomen

Inspeksi

: Datar, simetris

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskulasi

: BU (+) Ekstremitas

Atas

: Hangat +/+, edem -/-Bawah

: Hangat +/+, edem -/-, deformitas-/-3. Pemeriksaan Penunjang : a. Hematologi (Tanggal 22 Mei 2014)Darah RutinHasilNormal

Haemoglobin13,2 g/dl12 16 g/dl

Hematokrit39,7 %35 47%

Leukosit9.400/l3.800 10.600 /l

Trombosit343.000/l150.000- 450.000 /l

Eritrosit5,16 juta/l3,6- 5,8 juta/l

Masa Perdarahan21-6

Masa Pembekuan129-15

Kimia DarahHasilNormal

AST (SGOT)30< 35 U/L

ALT (SGPT)28< 41 U/L

b. Rontgen

Foto clavicula sinistra (AP), kesan : fraktur complete os clavicula sinistra 1/3 tengah, aposisi dan alignment kurang baik.4. Diagnosa

Fraktur complete os clavicula 1/3 tengah sinistra tertutup (ASA I)

5. Informed Consent

Tindakan anestesi dan operasi telah diterangkan dan dimengerti, disetujui, kemudian ditandatangani oleh keluarga pasien.

6. ProsedurAnestesi

Status Fisik

: ASA I

Kesadaran

: Compos mentis

Airway

: Bernafas spontan

Tekanan Darah

: 130/50 mmHg

Nadi

: 88 x/menitRR

: 18 x/menit

Suhu

: 36 0C

SpO2

: 100 %Premedikasi

: Sulfas atropin 0,25mg, midazolam 2,5mgTindakan Operasi

: ORIFJenis Anestesi

: General Anestesi

Teknik Anestesi

: Oksigenasi, induksi, intubasi endotrakealMedikasi

Anestesi umum

: Propofol 80mg

Atrakurium 20mg

Posisi

: Terlentang

Durante operasi

: N2O 2L, O2 3L, sevofluran

Ketorolac 30mg Cairan

Total Asupan Cairan

1. Kristaloid

: RL 500 ml

2. Produk Darah

: -

Cairan yang Keluar

1. Perdarahan

: 100 ml

2. Urin

: 50 ml

7. Monitoring

Monitoring selama operasi (45 menit)

NadiSaat mulai anastesi : 115 x/menit

Saat operasiNadi tertinggi

: 130 x/menit

Nadi terendah

: 105 x/menit

Saturasi oksigen

: 98-100 %

8. Instruksi Post Operasi

Posisi pasien bedrest, jaga jalan nafas Infus RL 3 tetes/menit mikro Monitoring jalan nafas Analgesik ketorolac setiap 8 jam Puasa sampai dengan sadar penuh dan bising usus (+) Awasi perdarahan9. Keadaan Pasca Bedah

Pasien masuk ruangan dengan keadaan Keadaan umum

: Tampak Sakit Sedang Kesadaran

: Compos mentis Tekanan darah

: 130/70 mmHg Nadi

: 83x/menit, bernapas spontan

Respirasi

: 18x/menit

Suhu

; 36,5 celcius10. Resume Prosedur Anestesi

An.A, usia 11 tahun dengan diagnosis fraktur complete os clavicula 1/3 tengah sinistra tertutup, status ASA I. Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi pemasang ORIF, dilakukan premedikasi dengan sulfas atropin 0,25mg dan midazolam 2,5mg, kemudian pembiusan general anestesi dengan propofol 80mg dan atrakurium 20mg. Nadi saat mulai anastesi 115x/menit, saat operasi nadi tertinggi 130x/menit, dan nadi terendah 105x/menit, dengan saturasi oksigen 98-100%. Pada saat operasi berlangsung total cairan yang masuk (RL) 500 ml dan total cairan yang keluar (darah dan urin) 150cc.II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu teknik untuk menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu.

Persiapan Pra-Anestesi

Persiapan pra-anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra-anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan pra-anestesi adalah :

Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.

Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology).ASA IPasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian live style terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka mortalitas 98%.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.1

Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan pra-operasi anestesi yang meliputi: 1. Anamnesisa. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah.

g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.i. Makanan yang terakhir dimakan.2. Pemeriksaan Fisika. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:1) Mallampati I :palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula4) Mallampati IV: palatum durum sajad. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi.g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional.Premedikasi AnestesiPremedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:

a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam, midazolam.

b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam, midazolamc. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. Memberikan analgesia, misal pethidin, fenthanyle. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid

f. Memperlancar induksi, misal : pethidin

g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.

b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam

c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.

d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.

e. Antihistamin, misal prometazine.

f. Antasida, misal gelusil

g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine

Untuk pasien anak-anak, pilihan teknik operasi yang dapat dilakukan hanyalah anestesi umum atau general anestesi. Pemberian anestesi umum karena pasien gelisah dan tidak kooperatif.GENERAL ANESTESI

Anestesi umum/general anestesi adalah suatu tindakan medis dimana tujuan utamanya adalah menghilangkan nyeri. Bedanya dengan anestesi regional adalah pada anestesi umum pasien dalam keadaan tidak sadar sedangkan pada anestesi regional pasien tidak merasakan nyeri tapi masih sadar. Anestesi umum juga mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterograd yaitu hilang ingatan kedepan maksudnya pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia dianestesi/operasi, sehingga saat pasien bangun dia hanya tau kalo dia tidak pernah menjalani operasi. Kebalikan dari anterograd adalah retrograde yaitu pasien akan hilang ingatan atas semua yang terjadi pada pasien tersebut contohnya dia lupa dengan keluarganya, lupa nama sendiri dll. Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti General anestesi akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping. General anestesi juga dapat diprediksi lama durasinya dengan menyesuaikan dosisnya.

Komponen ideal anestesi umum:1. Hipnotik

2. Analgesi

3. Relaksasi otot

Teori anestesi umum

Meyer dan Overton (1889) : korelasi kelarutan lipid dan potensi

Teori Meyer-Overton menggambarkan hubungan antara kelarutan lipid dan MAC (monitoredanesthesiacare). Efek Anestesi akan muncul apabila molekul anestesi berikatan dengan membrane lipid kemudian akan bisa bereaksi kejaringan dan berhasil menimbulkan efek anestesi. Fergusson (1939) ; teori gas inert, potensi analgesi gas berbanding terbalik dengan tekanan gas, reaksi kimia neg., tergantung molekul Bebas aktif Pauling (1961) ; teori kristal mikro hidrat, interaksi dengan molekul diotak Trudel (1963) ; interaksi dengan membran lipid (mengganggu membran)

Pada teori ini berbeda dengan teori meyer dan overton karena molekul anestesi disini tidak hanya larut dalam membrane lipid tetapi juga akan mengganggu membrane dengan cara merusaknya. Seperti kita tahu bahwa membrane sel terdiri dari 3 lapisan yaitu lipid-protein-lipid, nah molekul anestesi akan menghancurkan membrane lipid terlebih dahulu kemudian akan bereaksi dengan jaringan sehingga menimbulkan efek anestesi.

METODE ANESTESI

1. Parenteral

2. Perektal

3. Perinhalasi

Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui perenteral (Intravena, Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI1. Respirasi

2. Sirkulasi

3. Jaringan

4. Sifat fisik

5. Lain lain

Respirasi sebagai jalan masuknya obat anestesi khusunya metode inhalasi. Obat yang terinhalasi melalui proses inspirasi akan mencapai paru dibagian alveoli. Setelah dialveoli obat anestesi akan mencapai konsentrasi tertentu hingga cukup kuat untuk menyebabkan proses difusi kedalam sirkulasi dan disebarkan keseluruh tubuh/jaringan. Apabila anestesi tersebut masuk ke organ yang kaya pembuluh darah akan cepat efek yang muncul seperti pada otak yang memiliki vaskularisasi yang banyak sehingga muncul efek hipnotik/tidur selain itu pada jantung akan menyebabkan perubahan hemodinamik karena jantung terdepresi oleh obat anestesi. Kemudian sifat fisik dari obat anestesi berdasarkan masing2 metode pemberian yang sudah dijelaskan tadi juga berbeda yang disebut koefisien. Contohnya pada metode inhalasi sifat fisiknya/koefisienya disebut koefisien gas darah karena obat masuk ke alveoli dalam bentuk gas dan kemudian masuk ke sirkulasi bercampur dgn darah. Untuk yang dari darah ke jaringan disebut koefisien jaringan darah. Untuk faktor yang lain seperti ventilasi dan suhu tubuh. Semakin sering kita memberikan ventilasi/memberikan pernafasan melebihi pernafasan normal (menggunakan bag mask) maka efek anestesinya lebih cepat terjadi. Kemudian suhu tubuh pasien juga berpengaruh, semakin rendah suhu tubuh maka akan semakin cepat efek anestesi terjadi.

STADIUM ANESTESI1. Stadium I ( analgesia sampai kesadaran hilang)

2. Stadium II ( sampai respirasi teratur)

3. Stadium III

4. Stadium IV ( henti nafas dan henti jantung)

Dalam memberikan anestesi kita perlu mengetahui stadiumstadium anestesi untuk memonitoring sejauh mana pasien bisa diberikan intervensi seperti pembedahan.

1. Stadium I

Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflex bulu mata (untuk mengecek reflek tersebut bisa kita raba bulu mata)2. Stadium II

Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.3. Stadium III

Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga hilangnya pernafasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. 4. Stadium IV

Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Jangan sampai pasien melewati stadium 4 ini ya teman-teman. Kalo sampe stadium 4 berarti ada kedalaman anestesi yang berlebihan.KONTRA INDIKASI ANESTESI UMUM1. Mutlak :dekomp.kordis derajat III IV ; AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P)

2. Relatif ; hipertensi berat/tak terkontrol (diastolic >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA

Kontra indikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the table) meninggal dimeja operasi atau selain itu. Kemudian kontra indikasi relative ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.

TEHNIK ANESTESI UMUM1. SUNGKUP MUKA (fask mask) nafas spontan

Indikasi Tindakan singkat ( - 1 jam )

Keadaan umum baik ( ASA I II )

Lambung harus kosong

Prosedur1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

2. Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

3. Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)( efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll

4. Induksi

5. Pemeliharaan Pada saat pasien tertidur karena efek anestesi parenteral/infuse langsung kita beri sungkup muka/face mask disesuaikan dengan bentuk wajah/umur. Salah satu indikasi sungkup muka adalah Lambung kososng/ pasien disuruh puasa selama 6-8 jam dengan harapan lambung sudah kosong dalam rentang waktu tersebut. Kenapa lambung harus kosong? Karena ditakutkan terjadi reflux/regurgitasi,mengapa bisa demikian? Karena terjadi relaksasi semua otot diakibatkan efek anestesi umum khususnya otot yang bekerja di traktus digestivus sehingga makanan bisa naik dan bisa terjadi aspirasi.2. INTUBASI ENDOTRAKEA DENGAN NAFAS SPONTANIntubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakheal tube) kedalam trakea via oral atau nasal

Indikasi ; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala) Prosedur

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi singkat)2. Intubasi setelah induksi dan suksinil3. Pemeliharaan3. INTUBASI DENGAN NAFAS KENDALI (KONTROL)

Tehnik sama dengan diatas Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama) Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannyaPasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya. Paska Pembedahan Periode sangat penting

Observasi dan monitor tanda vital (tensi, nadi, Saturasi Gas)

Pengendalian nyeri post pembedahan

Hipoksia Pengembalian keruangan

Note:

Pada paska pembedahan harus dilakukan monitoring yang lebih ketat, karena tidak jarang pasien saat masih berada dibawah efek anestesi dalam kondisi aman aman saja ternyata pada saat pasca pembedahan terjadi masalah di Respirasi Ratenya.

SYARAT JALAN NAFAS PADA ANESTESI UMUM

Airway bebas dan nafas harus lancar

Guedel atau ET digunakan apabila nafas dan airway tidak lancar

Hati-hati obstruksi

Tanda-tanda obstruksi parsial

Stridor

Retraksi otot-otot dada

Nafas paradoksal

Kembang kempis balon lemah

Nafas makin berat

Sianosis

Tanda-tanda obstruksi total

1. Retraksi lebih jelas

2. Gerak paradoksal lebih jelas

3. Kerja otot meningkat

4. Sianosis lebih cepat timbul

Sebab-sebab obstruksi

1. Lidah jatuh

2. Lendir yang terdapat dijalan nafas

3. Spasme laring (penutupan epiglottis dan penyempitan plica vocalis)

Langkah-langkah Penanggulangan

Langkah 1

Kepala ekstensi (kasih bantal atau gulungan kain di bahu/head tilt)

Triple airway maneuver (head tilt, chin lift and jaw thrust)Langkah 2

Pengisapan lendir

Cegah aspirasi

Tredelenburg (DalamposisiTrendelenburgtubuhdiletakkandatarpada(posisiterlentang)kemudian diangkat dengankakilebih tinggidarikepala) tujuanya untuk mencegah aspirasi. Makanan / cairan yang keluar dari lambung aan keluar dan untuk mencegah terjadinya aspirasi maka cairan yang keluar kita suction pada saat sudah sampai mulut.Langkah 3

Pasang infuse

Posisi tetap ekstensi

Bila langkah 1,2 dan 3 masih obstruksi (+) Kemungkinan ada spasme laring.Pada anestesi umum menunjukan anestesi dangkal

Tindakan selanjutnya :a. Ventilasi dibantu dan dalamkan anestesib. Berikan obat pelemas ototBila cara diatas gagal dipertimbangkan Langkah 4, 5 dan 6

Langkah 4Intubasi trakea ; sulit dan traumatis, pakai pelemas otot, nafas harus dikendalikan Langkah 5

Krikotirotomi ; bila alat intubasi (-) atau intubasi tak mungkin dilakukan

Caranya : tusukan jarum besar misalnya No.14 diantara tulang rawan krikoid tiroid cegah asfiksiaLangkah 6

Trakeostomi bukan tindakan sangat darurat

Indikasi : pasien yang membutuhkan bantuan nafas jangka panjang ; obstruksi jalan nafas karena tumor, stenosis ; operasi tumor dekat jalan nafas

INTUBASI TRAKEAIndikasi :

1. Mempermudah anestesi umum

2. Mempertahankan jalan nafas dan kelancaran pernafasan

3. Cegah aspirasiPengisapan sekretVentilasi mekanik jangka lama

4. Mengatasi obstruksi laring

5. Anestesi umum pada operasi dengan nafas kontrol, operasi posis miring, tengkurap dllPersiapan:1. Persiapan alat-alat yang dibutuhkan seperti laringoskop, ET, stilet dll

2. Masih siap pakai / atau alat bantu nafas

3. Obat-obat induksi seperti ; pentotal, ketalar, diprivan dll

4. Obat-obat pelumpuh otot seperti suksinil kolin, trakrium, pavulon dll

5. Obat darurat seperti ; adrenalin (efinefrin ), SA & mielon dll

Tehnik Intubasi1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+)

3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )

8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu nafas ( alat resusitasi )

FRAKTUR CLAVICULADEFINISI

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Clavicula merupakan salah satu tulang yang sering mengalami fraktur apabila terjadi cedera pada bahu karena letaknya yang superfisial. Pada tulang ini bisa terjadi banyak proses patologik sama seperti pada tulang yang lainnya yaitu bisa ada kelainan congenital, trauma (fraktur), inflamasi, neoplasia, kelainan metabolik tulang dan yang lainnya. Fraktur clavicula bisa disebabkan oleh benturan ataupun kompressi yang berkekuatan rendah sampai yang berkekuatan tinggi yang bisa menyebabkan terjadinya fraktur tertutup ataupun multiple trauma. Clavicula adalah tulang yang paling pertama mengalami pertumbuhan pada masa fetus, terbentuk melalui 2 pusat ossifikasi atau pertulangan primer yaitu medial dan lateral clavicula, dimana terjadi saat minggu ke-5 dan ke-6 masa intrauterin. Kernudian ossifikasi sekunder pada epifise medial clavicula berlangsung pada usia 18 tahun sampai 20 tahun. Dan epifise terakhir bersatu pada usia 25 tahun sampai 26 tahun.ETIOLOGIPenyebab farktur clavicula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor, namun kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non traumatik.

Berikut beberapa penyebab pada fraktur clavicula yaitu :

Fraktur clavicula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh simphisis pubis selama proses melahirkan. Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling sering sekunder akibat kesulitan pelahiran (misalnya makrosemia dan disproporsi sefalopelvik, serta malpresentasi).

Fraktur clavicula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.

Fraktur clavicula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama, misalnya pada pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.

Fraktur clavicula akibat proses patologik, misalnya pada pasien post radioterapi, keganasan clan lain-lain.

KLASIFIKASI

Pengklasifikasian fraktur clavicula didasari oleh lokasi fraktur pada clavicula tersebut. Ada tiga lokasi pada clavicula yang paling sering mengalami fraktur yaitu pada bagian midshape clavikula dimana pada anak-anak berupa greenstick, bagian distal clavicula dan bagian proksimal clavicula. Menurut Neer secara umum fraktur klavikula diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu :

Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula)

Fraktur pada bagian tengah clavicula

Lokasi yang paling sering terjadi fraktur, paling banyak ditemui

Terjadi medial ligament korako-klavikula (antara medial dan 1/3 lateral)

Mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung (dari lateral bahu)

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula

Fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi:

type 1: undisplaced jika ligament intak

type 2: displaced jika ligamen korako-kiavikula ruptur.

type 3: fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula. Fraktur yang paling jarang terjadi dari semua jenis fraktur clavicula, insidensnya hanya sekitar 5%.

Fraktur pada bagian distal clavicula. Lokasi tersering kedua mengalami fraktur setelah midclavicula.

Ada beberapa subtype fraktur clavicula bagian distal, menurut Neer ada 3 yaitu :

1. Tipe I : merupakan fraktur dengan kerusakan minimal, dimana ligament tidak mengalami kerusakan.

2. Tipe II: merupakan fraktur pada daerah medial ligament coracoclavicular.

3. Tipe III : merupakan fraktur pada daerah distal ligament coracoclavicular dan melibatkan permukaan tulang bagian distal clavicula pada AC joint.PATOFISIOLOGI

Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Pada bagian proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung dengan acromion dari skapula membentuk sambungan acromioclavicular (AC). Patah tulang klavikula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak kulit (subcutaneus) dan tempatnya relatif di depan. Karena posisinya yang teletak dibawah kulit maka tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi tinggi yang menekan bahu ataupun pukulan langsung pada tulang akan menyebabkan fraktur. Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah itu karena jatuh, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor. Pada daerah tengah tulang clavicula tidak di perkuat oleh otot ataupun ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal clavicula. Clavicula bagian tengah juga merupakan transition point antara bagian lateral dan bagian medial. Hal ini yang menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi fraktur dibandingkan daerah distal ataupun proksimal.DIAGNOSIS 1. Gejala KlinisDiagnosis dari fraktur clavicula biasanya didasari dari mekanisme kecelakaan dan lokasi adanya ekimosis, deformitas, ataupun krepitasi. Pasien biasanya mengeluh nyeri setelah terjadinya kecelakaan tersebut dan sulit untuk mengangkat lengan atau bahu. Fraktur pada bagian tengah clavicula, pada inspeksi bahu biasanya asimetris, agak jatuh kebawah, lebih kedepan ataupun lebih ke posterior.

Diagnosis pasti untuk fraktur clavicula ialah berdasarkan pemeriksaan radiologi. Secara praktis diagnostik dibuat berdasarkan anamnesis misalnya apakah ada riwayat trauma, dan pemeriksaan fisik bias kita dapatkan pembengkakan daerah clavicula atau aberasi, diagnosanya akan lebih mudah apabila yang terjadi adalah fraktur terbuka. Pneumotoraks biasa didapatkan pada pasien dengan fraktur clavicula terutama yang mengalami multiple traumatik, dilaporkan sekitar lebih dari 3% dengan fraktur clavicula mengalami pneumotoraks. Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral clan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.

2. Pemeriksaan Radiologi :

a. Plain Photo Mid claviculaEvaluasi pada fraktur clavicula yang standar berupa proyeksi anteroposterior (AP) yang dipusatkan pada bagian tengah clavicula. Pencitraan yang dilakukan harus cukup luas untuk bisa menilai juga kedua AC joint dan SC joint. Bisa juga digunakan posisi oblique dengan arah dan penempatan yang baik. Proyeksi AP 20-60 dengan cephalic terbukti cukup baik karena bisa meminimalisir struktur toraks yang bisa mengganggu pembacaan.

Karena bentuk dari clavicula yang berbentuk S, maka fraktur menunjukkan deformitas multiplanar, yang menyebabkan susahnya menilai dengan menggunakan radiograph biasa. CT scan, khususnya dengan 3 dimensi meningkatkan akurasi pembacaan.

Medial clavicula dan SC jointProyeksi standar untuk menilai SC joint adalah posteroanterior (PA), lateral dan oblique. Fraktur medial clavicula dan cedera pada SC joint biasanya sulit dinilai dengan pencitraan yang biasa karena adanya overlap clavicula dengan sternum dan costa pertama. Sebagai catatan penting, ossifikasi sekunder pada bagian proksimal clavicula tidak akan nampak pada usia sebelum 12 tahun dan mungkin sampai umur 25 tahun. Sehingga pada gambaran radiograph biasa akan sulit membedakan antara suatu fraktur dengan dislokasi pads SC joint.

Lateral clavicula dan AC jointPemeriksaan radiologi pada sisi yang mengalami cedera kadang-kadang cukup sulit, namun beberapa pemeriksaan membandingkan penampakan pada daerah cedera tersebut. Proyeksi AP pada AC joint digunakan 15 inclinasi cephalic, sepanjang tulang scapula. Normal alignment pada sendi dengan proyeksi AP apabila ukuran celah sendi kurang dari 5 mm dan facies bagian bawah akromion dan distal clavicula tidak terputus-putus.

b. CT Scan Medial clavicula dan SC jointCT scan memegang peranan yang penting dalam mendiagnosa fraktur clavikula bagian medial dan cedera pada SC joint. CT scan seharusnya digunakan dengan mencakup SC joint dan secara otomatis setengah dari kedua clavicula untuk membandingkan satu sisi dengan sisi yang lain. Jika didapatkan ada kelainan pada vascular, bisa kita nilai dengan menggunakan intravenous contras. Lateral clavicula dan AC jointCT scan merupakan salah satu alat pencitraan di bidang radiologi yang cukup sensitif dalam menegakkan diagnosa. CT scan kadang-kadang digunakan untuk mendiagnosa fraktur intra-artikular atau stress fraktur pada AC joint. Meskipun demikian CT scan terbatas untuk menilai sekitar jaringan lunak termasuk kapsula, ligament dan sendi sinovial.

DIAGNOSIS BANDINGFraktur clavicula didiagnosis banding dengan beberapa kelainan yaitu fraktur kosta, fraktur sternum, dislokasi sendi bahu, dan rotator cuff injury.1. Fraktur kostaPenyebab paling sering pada fraktur kosta adalah trauma tumpul pada dinding dada, tergantung lokasi yang mengalami trauma bisa menyebabkan fraktur 1 tulang costa atau lebih. Pada pasien dengan fraktur kosta bisa menyebabkan terjadinya pneumotoraks, hematotoraks karena perdarahan atau cedera pada fleksus brakhialis untuk fraktur kosta I III. Untuk fraktur kosta I III gejala dan tanda bisa mirip dengan fraktur clavicula, harus bisa dibedakan dengan seksama pada pemeriksaan radiologi.

2. Fraktur sternumFraktur sternum paling sering karena trauma pada dada, biasanya disertai dengan trauma pada jantung dan paru-paru. Untuk mendiagnosis fraktur sternum biasanya dipakai plain photo proyeksi lateral seperti pada gambar dibawah ini.

3. Dislokasi sendi bahuDislokasi sendi pada bahu ada 4 jenis yaitu anterior dislocation, posterior dislocation, multidirectional instability dan inferior dislocation. Paling sering adalah anterior dislocation sekitar 85% dari semua dislokasi sendi bahu. Pasien dengan dislokasi sendi bahu juga bisa mengeluh nyeri, bengkak ataupun susah menggerakkan lengan.4. Rotator cuff injury pada bahuPasien dengan rotator cuff injury biasanya datang dengan keluhan utama nyeri pada persendian bahu disertai dengan kekakuan, terbatasnya pergerakan sendi bahu dan krepitasi. Pemeriksaan yang paling akurat pada kelainan ini adalah MRI.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada fraktur clavicula ada dua pilihan yaitu dengan tindakan bedah atau operative treatment dan tindakan non bedah atau nonoperative treatment. Tujuan dari penanganan ini adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi deformitas dan proses penyembuhan tulang yang mengalami fraktur lebih cepat.

Proses penyembuhan pada fraktur clavicula memerlukan waktu yang cukup lama. Penanganan nonoperative dilakukan dengan pemasangan saling selama 6 minggu. Selama masa ini pasien harus membatasi pergerakan bahu, siku dan tangan. Setelah sembuh, tulang yang mengalami fraktur biasanya kuat dan kembali berfungsi. Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi pergerakan. atau mobilisasi pada tulang untuk mempercepat penyembuhan. Patch tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (immobilisasi). Imobilisasi bisa dilakukan melalui:

1. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

2. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua lengan harus dipantau.

3. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota, gerak pada tempatnya.

4. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan (plate) atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang atau sering disebut open reduction with internal fixation (ORIF).

5. Fiksasi eksternal: Immobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar penderita perlu menjalani terapi fisik.

KOMPLIKASI Komplikasi pada fraktur clavicula dapat berupa :

Malunion.

Malunion merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.

Nonunion

Lebih umum terjadi pada fraktur yang ditangani dengan cara operasi, khususnya pada studi sebelumnya. Fraktur 1/3 tengah dengan lebih dari 2 cm dan fraktur 1/3 lateral menjadi faktor resiko lebih tinggi nonunion.

Komplikasi neurovaskular, bisa menyebabkan timbulnya trombosis dan pseudoaneurisma pada arteri axillaris dan vena subclavian kemudian bisa menyebabkan timbulnya cerebral emboli. Kerusakan nervus supraclavicular menyebabkan timbulnya nyeri dinding dada.

Refraktur, fraktur berulang pada clavicula yang mengalami fraktur sebelumnya.

Pneumothoraks biasa didapatkan pada pasien dengan fraktur clavicula terutama yang mengalami multiple traumatik, diakibatkan oleh karena robeknya lapisan pleura sehingga masuk udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.

PROGNOSIS Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada berat ringannya trauma yang dialami, bagaimana penanganan yang tepat dan usia penderita. Pada anak prognosis sangat baik karena proses penyembuhan sangat cepat, sementara pada orang dewasa prognosis tergantung dari penanganan, jika penanganan baik maka komplikasi dapat diminimalisir. Fraktur clavicula disertai multiple trauma memberi prognosis yang lebih buruk daripada pognosis fraktur clavicula murni.

PEMILIHAN CARA ANESTESIASebagian besar operasi (70-75%) dilakukan dnegan anestesia umum, lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-torakal, intra-abdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum endotrakea. Dengan cara terakhir ini jalan nafas dapat dikendalikan (dikontrol). Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan cara anestesia:

A. Umur

1. Pada bayi dan anak paling baik dengan anestesia umum

2. Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dilakukan dengan anestesia lokal atau umum.

B. Status Fisik

1. Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu

Penting mengetahui apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesia. Apakah ada komplikasi anestesia dan pascabedah yang dialami saat itu. Pertanyaan penting tentang riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol dan obat-obat. Harus berhati-hati dengan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskuler, antara lain poliomielitis dan miestenia gravis. Sebaiknya tindakan anelgesia regional dicegah untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang sudah ada. Demikian juga dengan pasien dalam terapi antikoagulansia karena mungkin dapat terjadi peradahan subarakhnoid.

2. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat

Sedapat mungkin hindari penggunaan anestesia umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesia lokal atau regional.

3. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum.

4. Pasien obesitas

Bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan sumbatan jalan nafas atas sesudah dilakukan induksi anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesia umum endotrakeal.

C. Posisi pembedahan

Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesia umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.

D. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah

Memilih obat dan teknik anestesia juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah, antara lain teknik hiposensitif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik, dan lain-lain.

E. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangan menentukan pilihan-pilihan teknik anestesia. Sebaiknya jangan melakukan teknik yang belum ada pengalaman dan keterampilan.

F. Keinginan pasien

Ada pasien yang menghendaki anestesia umum walaupun operasi dapat dilakukan sebaiknya dengan anelgesia lokal. Kehendak pasien harus diperhatikan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan operasi.

G. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.

H. Pendidikan

Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, perawat dan mahasiswa. Karena itu, sebaiknya pilihan adalah anestesia umum atau bila dengan anelgesia spinal/regional diberikan sedasi yang cukup.III. ANALISA KASUSBerdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap An. A, 11 tahun, didapatkan bahwa pasien dengan fraktur tertutup 1/3 tengah os clavicula sinistra tidak memiliki riwayat asma, riwayat alergi, riwayat hipertensi, riwayat DM, dan tidak pernah operasi sebelumnya. Dalam hal ini, kami menganalisis penentuan ASA, pemedikasi, pemilihan jenis anestesi, pemberian terapi cairan durante operasi, dan manajemen pasca operatif.

1. Penentuan ASA

Pada pasien ini, penentuan ASA sudah tepat, yaitu ASA 1, karena pasien tidak ada menderita penyakit sistemik. Hal ini sesuai dengan landasan teori sebagai berikut :Skala yang paling luas adalah digunakan untuk memperkirakan resiko yaitu klasifikasi status fisik menurut ASA. Tujuannya adalah suatu sistem untuk menilai kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem klasifikasi status enam kategori fisik ;

KelasStatus Fisik

ASA IPasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi

ASA IISeorang pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.

ASA IIISeorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang belum mengancam jiwa.

ASA IVSeorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam jiwa.

ASA VPenderita sekarat yang mungkin tidak bertahan dalam waktu24 jam dengan atau tanpa pembedahan, kategori ini meliputipenderita yang sebelumnya sehat, disertai dengan perdarahan yang tidak terkontrol, begitu juga penderita usia lanjutdengan penyakit terminal.

ASA VIPasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan

Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency).

2. Visit pre operasi dan premedikasiPada pasien ini, sebelum operasi telah dilakukan visit terlebih dahulu, visit pre operasi bertujuan mengetahui kondisi pasien meliputi airway, breathing, circulasi, dissability, membina sambung rasa pada keluarga pasien, dan menentukan teknik anestesi yang akan dilakukan. Hal-hal tersebut sudah dilakukan dengan baik pada An. A Pada pasien ini diberikan pre-medikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 mg dan Midazolam dosis 2,5 mg. Beberapa dokter memberi sejumlah kecil midazolam (misalnya, 30 g/kg) sebelum induksi dengan Propofol, mereka percaya kombinasi ini menghasilkan efek sinergis (misalnya, onset lebih cepat dan lebih rendah persyaratan dosis total). (Morgan G, 2005).3. Pemilihan Jenis AnestesiPemilihan jenis anestesi pada pasien ini sudah tepat, yaitu anestesi umum, dengan pemberian analgetik, hipnotik, dan relaksasi otot. Dilakukan pemilihan anastesi umum mempertimbangkan umur dan anak paling baik dengan anastesia umum.Pada pasien ini tindakan untuk dilakukan operasi adalah termasuk dalam kategori elektif. N2O dipilih sebagai analgetik pada pasien ini. Propofol dipilih sebagai agen induksi pada pasien ini. Propofol merupakan agen anestesi intravena yang mempunyai efek induksi anesthesia cepat dan termasuk golongan hipnotik. Obat ini didistribusi secara cepat dan eliminasi yang cepat. (Wirdjoadmodjo, 2000).Propofol tidak larut dalam air, tetapi larutan 1% (10 mg / mL) yang tersedia untuk pemberian intravena sebagai emulsi minyak dalam air yang mengandung minyak kedelai, gliserol, dan lesitin telur. (Morgan G, 2005). Mekanisme propofol menginduksi keadaan anestesi umum melibatkan fasilitasi inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dosis yang dianjurkan adalah 2-2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol menekan korteks adrenal dan menurunkan kadar kortisol plasma, tetapi supresi adrenal cepat kembali dan memberikan respons terhadap stimulasi ACTH. Propofol mengurangi aliran darah ke otak dan tekanan perfusi otak. Propofol memberikan efek potensiasi depresi SSP dan sirkulasi dengan obat golongan narkotik, sedative, obat anestesi inhalasi. Potensiasi terjadi pada efek blockade neuromuscular dari golongan obat pelumpuh otot non-depolarisasi. Efek samping propofol pada system pernafasan adanya depresi pernafasan, apneu, bronkospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada SSP, adanya sakit kepala, pusing, euphoria, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, opistotonus, kejang, mual, muntah. (Wirdjoadmodjo, 2000).Propofol dipilih sebagai agen induksi intravena dikarenakan pasien sendiri termasuk kategori normotensive. Agen induksi intravena pada pasien trauma dengan normotensive termasuk thipentone dan propofol. (Lee, 2006). Namun, mungkin karena pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai kurangnya mabuk berbanding thiopental, methohexital, atau etomidate, membuatkan propofol lebih cocok sebagai agen untuk anestesi rawat jalan sehingga menjadi pilihan pertama sebagai agen induksi pada pasien ini. (Morgan G, 2005).

Setelah pasien dipastikan tidak sadar dan mengalami relaksasi pada otot-otot lurik termasuk otot-otot pernafasan, maka pasien membutuhkan kontrol jalan nafas. Teknik kontrol jalan nafas yang dipilih pada pasien ini yaitu teknik intubasi menggunakan pipa endotrakeal. Pada anestesi umum, intubasi endotrakeal diperlukan untuk mempertahankan jalan nafas terutama pada pasien dengan risiko aspirasi dan pada kontrol ventilasi. Kontraindikasi dari intubasi endotrakeal antara lain obstuksi jalan nafas atas yang memerlukan surgical airway, dan hilangnya landmark fasial atau orofaringeal total yang membutuhkan surgical airway (Nicole, 2011).

Intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan pelemas otot atau tanpa pelemas otot. Pada keadaan dimana perlu dilakukan intubasi dengan cepat, maka lebih baik diberikan muscle relaxan dengan onset cepat. Pada pasien ini dberikan atracurium yang merupakan non-depolarizing neuromuscular blocking drug dengan onset yang sangat tergantung pada dosis yang dipakai. Onset pada dosis intubasi 0.5 0.6 mg/ kgBB/ IV adalah 2-3 menit, sedangkan pada dosis relaksasi otot 0,5 0.6 mg/ kgBB / IV adalah 15 35 menit. Fungsi syaraf otot dapat terjadi secara spontan setelah lama kerja obat berakhir. Keunggulan atracurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah; metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) tanpa melalui fungsi hati atau ginjal, tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian ulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. (Muhimin M dkk, 1989).4. Manajemen Cairan Durante OperatifPertimbangan pemberian cairan sangat penting untuk pasien durante operasi. Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema paru.Perhitungan Rencana Pemberian CairanBB

: 40 kgPuasa

: 6 jam

Lama operasi

: 1 jam

Perdarahan

: 200 cc

Cairan yang diberikan: RL 500cc a. Kebutuhan cairan maintenance untuk pasien dengan berat badan 40kg 2cc x 40kg = 80cc/jamb. Pengganti Puasa Lama puasa x maintenance = 6 jam x 80cc = 480 ccc. Jumlah cairan selama operasi berat (stress operasi)4cc x 40 = 160 cc/ jam

Jam I: M+SO+1/2PP = 80+160+240 = 480cc

Jam II: M+SO+1/4PP = 80+160+120 = 360 cc

Jam III: M+SO+1/4PP = 80+160+120 = 360 cc

Cairan yang diberikan pada pasien ini selama operasi : RL 500 ccPerdarahan selama operasi

Darah yang disuccion

= 100 cc

Cuci NaCl

= 200 cc

300 cc

Kassa kecil 10 kassa x 10cc

=100 cc

Jumlah perdarahan

=100 cc

Perdarahan

=100 cc

EBV (70 x BB)

=70 x 40 = 2800 ccGrade Perdarahan 100 x 100%

=3,5 %

2800Jika perdarahan 10%: diganti dengan larutan fisiologis (RL) 3 kali lipatJika perdarahan 15-20%: diganti dengan koloid sejumlah perdarahan

Jika perdarahan >20%: diganti dengan wb sejumlah perdarahan

Pada pasien ini terjadi perdarahan sebanyak 3,5% atau 100 cc, sehingga diberikan pemberian larutan fisiologis (RL) 3 kali lipat.5. Manajemen Pasca OperatifSetelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruangan. Indikasi pasien dipindahkan ke ruangan adalah berdasarkan skor Alderete yaitu:

KriteriaSkor Recovery

out

AktivitasDapat bergerak

Volunteer atau atas

Perintah4 anggota gerak2

2 anggota gerak1

0 anggota gerak0

Respiratori

Mampu bernafas dan batuk secara bebas2

Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas1

Apnea0

SirkulasiTensi

pre-op

___mmHgTensi 20mmHg

pre-op2

Tensi 20-50 mmHg pre-op1

Tensi 50mmHg pre-op0

KesadaranSadar penuh2

Bangun waktu dipanggil1

Tidak ada respons0

Warna KulitNormal2

Pucat Kelabu1

Sianotik0

IV. KESIMPULAN

Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri. Pemeriksaan pra anestesi yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai.Anestesi umum dipilih untuk pasien ini karena mempertimbangkan umur dan anak paling baik dengan anastesia umum.Pada makalah ini disajikan kasus anestesi umum pada operasi pemasangan ORIF pada fraktur tertutup 1/3 os clavicula sinistra, usia 11 tahun, status fisik ASA I.Prosedur anestesi umum pada operasi pemasangan ORIF ini tidak mengalami hambatan yang berarti, baik dari segi anestesi maupun tindakan operasi. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

DAFTAR PUSTAKA

Basmania CJ. IM Pin Fixation of Clavicle Frx. In: Clifford R. Wheeless, editors [online]. 1993. Available from: URL: http://www.dukehealti.org/surgery/div orthopaedic.asp.Browner BD, Levine AM, Jupiter JB, Trafton PG, editors. Skeletal Trauma: Basic science, Management and reconstruction. 3th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2003. p. 1633-47.

Bosson Nichole, 2011. Laryngeal Mask Airway. (online). Diakses dari www.emedicine.medscape.com pada tanggal 10 Mei 2012

Crowther CL, editor. Primary Orthopedic Care. 2d ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2004. p. 46-7.

Hahn B. Clavicle, Fractures and Dislocations. In: Bruno MA, Coombs BD, Pope TL, Krasny RM, Chew FS, editors [online]. 2007. Available from:URL:http://www.emedicine.com.

Housner JA, Kuhn JE. Clavicle Fractures, 2003 December Vol 31. No 12. Available from: URL:http://www.sportsmedicine.com.

Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Lee, CY. 2006. Manual of Anaesthesia. Faculty of Medicine. Universiti Kebangsaan Malaysia: Mc Graw Hill.

Mettler FA, editor. Essentials of Radiology. I ed. Philadelphia: Saunders Company; 1996. p.293-300

Morgan G., Mikhail M., Murray M,. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. McGraw-Hill Medical. USA.

Muhimin M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R., 1989. Anestesiologi. CV Infomedika, Jakarta.

Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006). Pemeriksaan fisik: mallampati skor sebagai prediktor independen dari apnea tidur obstruktif. Tidur 29(7):903-8.Trurnble TE, Budoff JE, Cornwall R, editors. Hand, Elbow and Shoulder: Core Knowledge in orthopaedics. I ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. p. 623-7.

Wirjoatmodjo K, 2000. Anestesi dan Reanimasi Modul dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran. www.asahq.org/For-Members/Clinical-Information/ASA-Physical-Status Classification-System.aspx (online) pada 10 Mei 2012

Wrobel, M., Werth. M. 2011. Anasthesie-Fibel. Munchen: Elsevier GmbH. Clinical Anesthesiology,4thEdition

38