cob
TRANSCRIPT
CIDERA KEPALA (COB)
CIDERA KEPALA
I. PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.Cidera otak primer:Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.Cidera otak sekunder:Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang- Gangguan saluran nafas- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena: edema fokal atau difusi hematoma epidural hematoma subdural hematoma intraserebral over hidrasi- Sepsis/septik syok- Anemia- Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan yang sering ditemukan: Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
Subdural hematomaTerkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
Perdarahan subarachnoid:Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.Tanda dan gejala:Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
Penatalaksanaan: Konservatif
Bedrest total Pemberian obat-obatan Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
PengkajianBREATHINGKompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.BLOOD:Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAINGangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
BLADERPada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWELTerjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONEPasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Pemeriksaan Diagnostik:
CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Prioritas perawatan:
1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak2. mencegah komplikasi3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4) Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.5) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.6) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8) Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9) Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
II. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi RasionalTentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Pantau /catat status neurologis
Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial
secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan cairan diperlukan untuk
Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normalIntervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Mencegah/menurunkan atelektasis.
Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen thoraks ulang.
Berikan oksigen.
Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi:Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi RasionalBerikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan
invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Berikan antibiotik sesuai indikasi
terhadap komplikasi selanjutnya.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Daftar pustaka
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.
Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
BAB 1
PENDAHULUAN
Cedera otak meliputi trauma kepala, tengkorak, dan otak. Cedera otak merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya
akibat cedera otak dan lebih dari 700.000 orang mengalami cedera otak berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit. Dua pertiga dari kasus ini berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah 4x
lebih banyak laki-laki daripada wanita.
Resiko utama pasien yang mengalami cedera otak yang mengalami cedera otak adalah
kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakaan otak sebagai respon terhadap cedera dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Maka diperlukan penanganan yang tepat pada
seseorang yang mengalami cedera otak. Tindakan resusitasi, anamnesa, dan pemeriksaan fisik
umum serta neurologis harus dilakukan secara detail.
( http://healthreference-ilham.blogspot.com/2008/07/kondas-cedera-kepala.html. )
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
( Mansjoer, dkk, 2000 ).
Cedrera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala atau tanpa kehilangan
kesadaran ( Tucker, 1998 ).
2.2 Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan mobil
2. Perkelahian
3. Jatuh
4. Cedera olahraga
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.3 Patofisiologi
Trauma pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam. Cedera
yang disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah setempat atau lokal dan cedera yang
disebabkan oleh benda tumpul memberikan kekuatan dan menyebar ke area sekitar cedera
sehingga kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas. Berat ringannya cedera tergantung
pada lokasi benturan, penyerta cedera, kekuatan benturan dan rotasi saat cedera.
( http://buku-sakuku.blogspot.com/2009/cedera-kepla.html )
2.4 Klasifikasi
Cedera otak dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glascow Coma Scale)
yaitu:
1. Cedera Otak Ringan (COR)
GCS 13-15
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak
Tidak emmerlukan tindakan operasi
Lama dirawat di rumah sakit < 48 jam
2. Cedera Otak Sedang (COS)
GCS 9-12
Ditemukan kelainan pada CT Scan otak
Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
Dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam
3. Cedera Otak Berat (COB)
Nilai GCS <8
Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <8
( George Dewanto, 2009 )
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya yaitu:
Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi
Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan intrakranial
Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial
Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat terjadi dengan
kejadian segera atau secara lambat. Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi yaitu:
Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral, dapat menyertai cedera kepala
yang tertutup yang berat, atau lebih sering cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak,
tekanan intrakranial meningkat,dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera
otak sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun
setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial memburuk.
Perubahan perilaku dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Radiograf tengkorak dapat mengidentifikasi lokasi fraktur atau perdarahan atau bekuan darah
yang terjadi.
CT Scan dan MRI dapat dengan tapat menentukan letak dan luas cedera. CT Scan biasanya
merupakan perangkat diagnostik pilihan diruang kedaruratan walaupun hasil CT Scan mungkin
normal yang menyesatkan. MRI adalah perangkat yang leboh sensitif dan akurat, dapat
mendiagnosis cedera akson difus, namun mahal dan kurang dapat diakses disebagian besar
fasilitas.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.8 Penatalaksanaan
Cedera otak ringan dan sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.
Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah melalui pembedahan ( pengeluaran
benda asing dan sel yang mati ), terutama pada cedera kepala terbuka.
Dekompresi melalui pengeboran lebang didalam otak, yang disebut burr hole, mungkin
diperlukan.
Mungkin dibutuhkan ventilasi mekanik.
Antibiotik diperlukan untuk cedera kepala terbuka guna mencegah infeksi.
Metode untuk menurunkan tekanan intrakranial dapat mencakup pemberian diuretik dan obat
anti inflamasi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
2.9 Pohon Masalah
Kecelakaan Jatuh Perkelahian Cedera olahraga
Mobil
Truma tumpul Trauma tajam
Cedera otak Tik
COBGCS 3-8COR COS COB Respon Biologi Hipoksemi
GCS 13-15 GCS 9-12 GCS 3-8
Kerusakan sel otak meningkat
Gg. Autoregulasi rangsangan simpatis sekresi asam lambung
Aliran darah keotak TD Mual, muntah
Gg. Metabolisme
02 à Mati batang otak
Tekanan Pembuluh darah Asupan nutrisi kurang
Gg. Kebutuhan NutrisiAsam laktat meningkat pulmonal
Gg. Perfusi SerebralOedem otak Tekanan hidrostatik
Gg. Perfusi jaringan Kebocoran cairan kapiler
Oedema paru à cardiac output
Gg. Perfusi JaringanGg. Pola Nafas Difusi 02 terhambat
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS COB
3.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem persarafan
sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya
komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
3.1.1 Pengkajian Awal
Airway : Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter
permenit. FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret, adanya suara nafars
tambahan yaitu ronchi +/+.
Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak spontan.
Circulation :Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar darah dari hidung dan telinga,
perubahan tekanan darah
3.1.2 Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia muda ), jenis kelamin
( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register,
diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian,dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran
menurun ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah,
luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan
telinga, serta kejang. Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan
didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan pada klien atau
keluarga yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan obat-obatan adiktif
dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
3.1.4 Riwayat penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung ,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
konsumsi alkohol berlebih.
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
3.1.6 Pengkajian Psiko-Sosio-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketautan akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep
diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak
kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi kilen, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat
mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klein dan keluarga.
3.1.7 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat bergguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan persistem ( B1-B6 ).
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan kesadran ( cedera otak ringan
GCS 13-15, cedera otak sedang GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan
pada tanda-tanda vital.
B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral akibat trauma
kepala. Akan didapatkan hasil:
- Inspeksi : Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
- Palpasi : Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
- Perkusi : Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada thoraks.
- Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi pada klein dengan
pengingkatan produksi sekret dan kemampuan batuak yang menuurn sering didapatkan pada
klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat diruang
perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil pada klien dengan cedera otak berat dan
sudah terjadi disfungsi pernafasan.
B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien
cedera otak sedang sampa cedera otak berat. Dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, bradikardi, takikardi, dan aritmia.
B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama disebabkan pengaruh
peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan
GCS.
B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi urine dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala,
klien mungkin mengalami inkontinensia urinw karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual, muntah pada
fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam
lambung. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna
kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
( Arif Muttaqin, 2008 )
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema serebral.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera pada pusat
pernafasan otak).
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
( Doengose, 2000 )
3.3 Rencana Tindakan Keperawatan
1. Diagnosa 1 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah,
edema serebral.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran, kognitif, dan
fungsi motorik klien membaik.
Kriteria Hasil :
-Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
-Tingkat kesadaran membaik.
-GCS klien meningkat.
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak dan peningkatan
TIK.
R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah
serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat diperawatan intensif.
2. Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai GCS
R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaatdalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan saraf pusat.
3. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan
istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Diagnosa 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mempertahankan pola
pernafasan efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
-Pola nafas kembali efektif
-Nafas spontan.
Intervensi :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi /
luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanik.
2. Diposisikan head up (300).
R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis
3. Berikan oksigen.
R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika
pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Diagnosa 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu kalor (panas), rubor (kemerahan), dolor (nyeri tekan), tumor
(membengkak), dan fungsi ulesa.
Intervensi :
1. Berikan perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan.
R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera
dan peegahan teradap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur.
R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan segera.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, J. Elzabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis. Edisi revisi 3. Jakarta. EGC
Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta.
EGC
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta. EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta. EGC
http://buku-sakuku.blogspot.com/2009/cedera-kepla.html diakses tanggal 06 November 2012
pukul 15:07 WIB
http://healthreference-ilham.blogspot.com/2008/07/kondas-cedera-kepala.html diakses tanggal
06 November 2012 pukul 15:19 WIB
BAB 4
LAPORAN KASUS
4.1 Pengkajian
4.1.1 Identitas
Nama : Tn. H
Umur : 40 tahun
Suku / Bangsa : Madura / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Bangkalan
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
No. Medical Record : 915xx
Diagnosa Medis : COB + edema serebri + Cfr. Radius 1/3 distal (D)
Tanggal MRS : 05 November 2012 pukul 11.00 WIB
Tanggal Pengkajian : 05 November 2012 pukul 16.15 WIB
4.1.2 Pengkajian Awal
Airway : Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter
permenit. FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret, adanya suara nafars
tambahan yaitu ronchi +/+.
Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak spontan.
Circulation :Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar darah dari hidung dan telinga,
perubahan tekanan darah
4.1.3 Alasan MRS
Klien kiriman dari puskesmas sepuloh Bangkalan dengan cedera kepala post jatuh dari
pohon dengan kepala lebih dulu membentur aspal, keluar darah dari telinga (+), keluar darah dari
hidung (+), muntah (+) 2x dari puskesmas, 2x di IGD PHC, pingsan (+).
4.1.4 Riwayat Kesehatan sekarang
GCS klien 1 1 3, kesadaran klien koma, keluar darah dari hidung dan telinga, muntah 2x di
PHC berwarna hitam, tangan kanan klien mengalami fraktur.
4.1.5 Riwayat Kesehatan Dahulu
Keluarga klien mengatakan klien tidak ada riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung , dan konsumsi alkohol berlebih.
4.1.6 Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa tidak ada penyakit keturunan seperti hipertensi,
diabetes melitus, dan asma.
4.1.7 Observasi Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter permenit. FIO2 = 81
%. Bentuk dada simetris, tidak ada jejas pada daerah dada. Wheezing -/-, Ronchi +/+, RR = 30
x/menit. Nafas tidak spontan. Pada hidung terpasang NGT ukuran 18, diameter 6.0 mm, panjang
125 cm. Keluar darah dari telinga dan hidung.
B2 (Blood)
Tekanan darah : 135 / 63 mmHg, Suhu : 36,80 C, Nadi : 67 x/menit, SPO2 : 98 % (setelah
dipasang ETT ). Hasil EKG yaitu sinus bradikardi.
B3 (Brain)
GCS : 1 1 3, kesadaran : koma, odem dan hematoma pada kelopak mata kanan dan kiri,
B4 (Bladder)
Klien terpasang kateter ukuran 16, balon 15 cc, panjang 40 cm, dan diameter 5.3 mm dengan
produksi urin 1800 ml / 8 jam, warana kuning jernih.
B5 (Bowel)
Tidak ada jejas pada daerah abdomen, bising usus 6 x /menit, BAB ( -).
B6 (Bone)
Kemampuan pergerakan tangan kanan klien terbatas karena mengalami fraktur pada radius
1/3 distal. Pergerakan tangan kiri dan ekstremitas bawah klien baik, tidak ada plegi / parase.
Kulit wajah terdapat luka di maksila, kelopak mata kanan dan kiri mengalami odem dan
hematoma. Turgor kulit baik, warna kulit klien pucat.
Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium tanggal 06 November 2012
Hb : 12,9
WBC : 15,85
HCT : 39,4
PLT : 192
Na : 152,3
K : 3,98
Cl : 12,01
2. Hasil EKG yaitu sinus bradikardi.
2. Hasil CT scan yaitu COB SDH
3. Foto thoraks yaitu fraktur radius 1/3 distal.
Terapi
1. Injeksi antrain 1 ampul IV
2. Injeksi Ondavel 8 mg IV
3. Injeksi Rantin 1 ampul IV
4. Injeksi Recofol 70 mg
5. Infus RL 28 tetes permenit
6. Infus NaCl 28 tetes permenit.
7.
4.2 Analisa Data
No. Data Masalah Etiologi Kemungkinan
Penyebab
1. Ds : -
Do :
-Klien terpasang ETT
ukuran 7,5 dengan oksigen
15 liter permenit
- FI02 : 81 %
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %,
-Wheezing - / -
- Ronchi + / +
- RR : 30 x / menit
-Nafas tidak spontan
-Pada hidung terpasang
NGT ukuran 18, panjang
125 cm, dan diameter 6.0
mm.
- Keluar darah dari hidung
dan telinga.
-Terdapat penumpukan
sekret.
- Klien dalam posisi head
up (300)
Pola nafas
tidak efektif
Cedera pada
otak
Hipoksemia
2. Ds : -
Do :
-GCS 1 1 3
- Kesadaran : koma
-Terdapat odem dan
hematom pada kelopak
mata kanan dan kiri
Perubahan
perfusi serebral
Peningkatan
TIK
Hematoma
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
-Terjadi fraktur basis crani
karena ada darah yang
keluar dari hidung dan
telinga, brain hematom, dan
cargun eye.
- Hasil CT scan yaitu COB
SDH.
3. Ds : -
Do :
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
-Hasil EKG yaitu sinus
bradikardi
Penurunan
Curah Jantung
Perubahan
irama jantung
Adanya sinus
bradikardi
4. Ds :-
Do :
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
-Terdapat fraktur pada 1/3
radius distal pada tangan
kanan.
-Turgor kulit baik, warna
kulit klien pucat.
Gangguan
mobilitas fisik
Kerusakan
muskuloskeletal
Adanya raktur
radius 1/3 distal
pada tangan
kanan.
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan cedera pada otak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mempertahankan pola
pernafasan efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
-Pola nafas kembali efektif
-Nafas spontan.
Intervensi :
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi /
luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya
ventilasi mekanik.
2. Posisikan klien dengan posisi head up (300)
R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis
3. Berikan oksigen.
R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika
pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Diagnosa 2 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran, kognitif, dan
fungsi motorik klien membaik.
Kriteria Hasil :
-Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
-Tingkat kesadaran membaik.
-GCS klien meningkat.
Intervensi :
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak dan peningkatan
TIK.
R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah
serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat diperawatan intensif.
2. Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai GCS
R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaatdalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan saraf pusat.
3. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan
istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Diagnosa 3 : Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama
jantung.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan resiko tinggi penurunan
curah jantung tidak terjadi
Kriteria Hasil : Mempertahankan stabilitas hemodinamik yaitu TD dan nadi dalam batar
normal.
Intervensi :
1. Auskultasi TD.
R/ : Hipotensi dapat terjadi sehubungan dengan disfungsi ventrikel. Namun, hipertensi juga
fenomena umum, kemungkinan berhubungan denagn nyeri, cemas, dan masalah vaskular.
2. Evaluasi nadi
R/ : penurunan curah jantung mengakibatkan menuurunnya kelemahan/kekuatan nadi.
Ketidakteraturan diduga disritmia yang memerlukan evaluasi khusus.
3.Melakukan EKG
R/ : Memberikan informasi sehubungan dengan kemajuan/perbaikan infark, status fungsi
ventrikel, keseimbangan elektrolit dan efek terapi obat.
Diagnosa 4 : Gangguan mobilitas fisik berhubungan denagn kerusakan
muskuloskeletal
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria Hasil :
- Penampilan yang seimbang..
- Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
1. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ Mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/: Mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan
ataukah ketidakmauan.
3. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/: Menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/: Mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5. Memasang spalk
R/ : Mengurangi pergerakan.
4.4 Implementasi
No
.
Data Action Respon
1. Ds : -
Do :
-Klien terpasang ETT
ukuran 7,5 dengan oksigen
15 liter permenit
- FI02 : 81 %
-Wheezing - / -
- Ronchi + / +
- RR : 30 x / menit
1. Mengecek pemasangan ETT
dengan oksigen 15 liter permenit
dan mengobservasi tanda-tanda
vital klien.
Jam 16.15 :
GCS : 1 1 3, TD : 135/63 mmHg,
Nadi : 67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
Jam 16.30 :
1. Klien
bergerak saat
dirangsang
nyeri.
TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %.
-Nafas tidak spontan
-Pada hidung terpasang
NGT ukuran 18, panjang
125 cm, dan diameter 6.0
mm.
-Terdapat penumpukan
sekret.
-Keluar darah dari hidung
dan telinga.
Diagnosa :
Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan cedera
otak.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, klien mampu
mempertahankan pola
pernafasan efektif melalui
pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
-Pola nafas kembali efektif
-Nafas spontan.
GCS : 1 1 3, TD : 155/96 mmHg,
Nadi : 67 x/menit, RR : 30
x/menit, suhu : 36,8 0C, SPO2 :
100 %, FI02 : 81%.
2. Melakukan suction untuk
mengeluarkan darah lewat mulut.
3. Memberikan oksigen 15 liter
permenit.
4. Memasang spalk pada tangan kiri
klien yang farktur radius 1/3
distal.
2. Klien tidak
sadar.
3. Klien tidak
sadar.
4. Klien tidak
sadar.
2. Ds : -
Do :
-GCS 1 1 3
1. Mengobservasi tanda-tanda
peningkatan TIK
-kesadaran menurun
1. Kesadaran
klien menurun,
GCS 1 1 3.
- Kesadaran : koma
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
-Terdapat odem dan
hematom pada kelopak mata
kanan dan kiri
-Terjadi fraktur basis crani
karena ada darah yang
keluar dari hidung dan
telinga, brain hematom, dan
cargun eye.
-Hasil CT scan COB SDH
Diagnosa :
Perubahan perfusi serebral
berhubungan dengan
peningkatan TIK
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, GCS, tingkat
kesadaran, kognitif, dan
fungsi motorik klien
membaik.
Kriteria Hasil :
-Tanda vital stabil dan tidak
ada tanda-tanda peningkatan
TIK
-Tingkat kesadaran klien
-pusing
-muntah proyektil 2x.
2. Mengecek pemasangan ETT
dengan oksigen 15 liter permenit
dan mengobservasi tanda-tanda
vital klien.
Jam 16.15 :
GCS : 1 1 3, TD : 135/63 mmHg,
Nadi : 67 x/menit, suhu : 36,8 0C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
Jam 16.30 :
GCS : 1 1 3, TD : 155/96 mmHg,
Nadi : 67 x/menit, RR : 30
x/menit, suhu : 36,8 0C, SPO2 :
100 %, FI02 : 81%.
3. Memantau input dan output
cairan klien.
Input = 2 flash infus RL + 1 flash
infus Nacl = 1500 cc / 9 jam.
Output = 1800 cc / 8 jam.
4. Memberikan cairan manitol 150
cc / 15 menit.
2. Klien
bergerak saat
dirangsang
nyeri.
3. Klien tidak
sadar.
4. Klien tidak
sadar.
membaik.
-GCS klien meningkat
3. Ds : -
Do :
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
-Hasil EKG yaitu sinus
bradikardi.
Diagnosa :
Penurunan curah jantung
berhubungan dengan
perubahan irama jantung.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan
resiko tinggi penurunan
curah jantung tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
Mempertahankan stabilitas
hemodinamik yaitu TD dan
nadi dalam batar normal.
1. Mengobservasi TTV klien
setiap 15 menit sekali
Jam 16:00
TD : 135/63 mmHg, Nadi : 67
x/menit, suhu : 36,8 0 C,
RR:20x/menit.
Jam 16.30 :
TD : 155/96 mmHg, Nadi : 67
x/menit, suhu : 36,8 0C, RR :
20x/menit.
2. Melakukan EKG
3. Mengevaluasi nadi klien
1. Klien tidak
sadar
2. Klien tidak
sadar
Hasil : sinus
bradikardi
3. Nadi klien
lemah yaitu
67x/ menit.
4. Ds : -
Do :
- TD : 135/63 mmHg,Nadi :
67 x/menit, suhu : 36,8 0 C,
SPO2 : 98 %, FI02 : 81 %.
1. Mengobservasi TTV klien
setiap 15 menit sekali
Jam 16:00
TD : 135/63 mmHg, Nadi : 67
x/menit, suhu : 36,8 0 C,
1. Klien tidak
sadar
-Terdapat fraktur pada 1/3
radius distal pada tangan
kanan.
-Turgor kulit baik, warna
kulit klien pucat
Diagnosa 4 : Gangguan
mobilitas fisik berhubungan
denagn kerusakan
muskuloskeletal
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan
keperawatan, kasien akan
menunjukkan tingkat
mobilitas optimal.
Kriteria Hasil :
- Melakukan pergerakkan
dan perpindahan.
- Mempertahankan
mobilitas optimal yang
dapat di toleransi, dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan
dari orang lain untuk
bantuan, pengawasan, dan
pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan
RR:20x/menit.
Jam 16.30 :
TD : 155/96 mmHg, Nadi : 67
x/menit, suhu : 36,8 0C, RR :
20x/menit.
2. Membersihkan luka klien
3. Memasang spalk
4. Mengantarkan klien foto
rontgen
2. Klien tidak
sadar
2. Klien tidak
sadar.
3. Klien tidak
sadar.
4. Klien tidak
sadar
Hasil rontgen :
fraktur radius
1/3 distal.
dari orang lain dan alat
Bantu.
4 = ketergantungan; tidak
berpartisipasi dalam
aktivitas.
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cidera Otak
DEFINISITrauma kepala atau Head trauma digambarkan sebagai trauma yang
mengenai otak yang dapat mengakibatkan perubahan pada fisik, intelektual, emosional, sosial, atau vokasional Fritzell et al, 2001)
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Smeltzer,2000)
EPIDEMOLOGIBeberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain
anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan–2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal pada lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat.
ETIOLOGIBeberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala antara lain:
a. Kecelakaan lalu lintas(penyebab terbanyak), b. pertengkaran, c. jatuh, d. kecelakaan olahraga,e. tindakan criminal
KLASIFIKASIBerdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi apabila benturan hebat pada objek yang keras atau benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian otak yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi kepala nampak dari luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak termasuk dura. Tereksposenya isi kepala ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Berdasarkan nilai kesadaran:
a. Cidera otak ringan (GCS 13 – 15): tidak terjadi ganggguan neurologis, kadang asimptomatik, penurunan kesadaran selama kurang dari 1 jam, amnesia kurang dari 24 jam
b. Cidera otak sedang (GCS 9 – 12): penurunan kesadaran dalam 1-24 jam, amnesia post trauma selama 1-7 hari.
c. Cidera otak berat (GCS 3-8): penurunan kesadaran lebih dari 24 jam dan amnesia post trauma lebih dari satu minggu.
Jenis cidera otak menurut Fritzell et al (2001) :
a. Concussion: benturan pada otak yang cukup keras dan mampu membuat jaringan otak mengenai tulang tengkorak namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan memar pada jaringan otak atau penurunan keasadaran yang menetap. Contohnya seperti ketika kita membentur tembok atau benda lain, sesaat kemudian kita akan merasa kepala berputar dan diatasnya ada burung-burung emprit yang mengelilingi kepala kita, dan beberapa saat setelah itu kita akan kembali sadar. Recovery time 24-48 jam. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat, mual, amnesia terhadap hal hal yang baru saja terjadi, letargi, pusing.
b. Contusion: memar pada jaringan otak yang lebih serius daripada concussion. Lebih banyak disebabkan oleh adanya perdarahan arteri otak, darah biasanya terakumulasi antara tulang tengkorak dan dura. Gejala: penurunan kesadaran,hemiparese, perubahan reflek pupil.
c. Epidural hematoma: terjadi berhubungan dengan proses ekselerasi-deselerasi atau coup-contracoup yang menyebabkan adanya gangguan pada sistem saraf pada daerah otak yang mengalami memar. Gejala: penurunan kesadaran dalam waktu singkat yang akan berlanjut menjadi penurunan kesadaran yang progresif, sakit kepala yang parah, kompresi batang otak, keabnormalan pernafasa (pernfasan dalam), gangguan motorik yang bersifat kontralateral,dilatasi pupil pada sisi yang searah dengan trauma, kejang, perdarahan. Epidural hematoma merupakan jenis perdarahan yang paling berbahaya karena terjadi pada artesi otak.
d. Subdural hematoma: merupakan tipe trauma yang sering terjadi. Perdarahan pada meningeal yang menyebabkan akumulasi darah pada daerah subdural (antara duramater dan arachnoid). Biasanya mengenai vena pada korteks cerebri (jarang sekali mengenai arteri). Gejala: mirip dengan epidural hematoma namun dengan onset of time yang lambat karena sobekan pembuluh darah terjadi pada vena sedangkan pada epidural mengenai arteri.
e. Intracerebral hemorrhage: merupakan tipe perdarahan yang sub akut dan memiliki prognosa yang lebih baik karena aliran darah pada pembuluh darah yang robek berjalan relatif lambat. Sering terjadi pada bagian frontal dan temporal otak. ICH sering disebabkan oleh hipertensi. Gejala: deficit neurologis yang tergantung pada letak perdarahan, gangguan motorik, peningkatan tekanan intracranial.
f. Skull fracture (fraktur tulang tengkorak): terdapat 4 tipe yaitu linear, comminuted, basilar, dan depressed. Fraktur pada bagian depan dan tengah tulang tengkorak akan mengakibatkan sakit kepala yang parah. Gejala: mungkin asimtomatik tergantung pada penyebab trauma,
displacemenet (perubahan/pergeseran letak) tulang, perubahan sensor motorik,periorbital ekimosis (bercak merah pada mata), adanya battle’s sign (ekimosis pada tulang mstoid), akumulasi darah pada membran timpani.
Gambar dikutip dari smeltzer (2000)
PATOFISIOLOGIKerusakan akibat cidera otak tidak seluruhnya terjadi pada saat trauma
itu terjadi. Berdasarkan waktunya, kerusakan akibat trauma otak dibagi menjadi kerusakan primer, yaitu efek yang muncul beberapa saat setelah kejadian seperti kontusio, perdarahan, memar atau lain sebagainya. Tipe kedua adalah kerusakan sekunder,yaitu kerusakan pada otak yang terjadi beberapa jam atau hari setelah kejadian (Smeltzer, 2000). Merupakan tahap lanjut dari kerusakan primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai seperti meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron lanjut, iskemia, atau hipertermi (Japardi, 2002). Kerusakan sekunder ini sering terjadi akibat ketidakefektifan pemberian intervensi oleh petugas kesehatan. Kerusakan pada otak berbeda dengan kerusakan pada organ- organ lain. Pada otak, dimana dibatasi oleh tulang tengkorak yang keras, jika terjadi memar atau perdarahan akan mempengaruhi jumlah cairan yang berada dalam tulang tengkorak. Oleh karena tulang tengkorak yang tidak dapat mengembang, sebagai akibatnya perdarahan yang mengalir akan mendesak tulang tengkorak ke dalam(ke jaringan otak). Jika hal ini terus dibiarkan maka jumlah cairan dalam tulang tengkorak akan
meningkat dan akan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial. Tahap selanjutnya setelah terjadi PTIK adalah terjadinya gangguan pada aliran darah menuju otak. Peningkatan tekanan ini akan menurunkan aliran darah ke otak sehingga jaringan otak mengalami hipoksia dan terjadilah iskemia. Pada keadaan hipoksia, otak akan melakukan metabolisme anaerob untuk memenuhi kebutuhan energy sel nya. Metabolisme anaerob menghasilkan asam laktat. Herniasi otak terjadi setelah proses iskemia berlangsung.
SIGN and SYMPTOMTanda dan gejala dari cidera otak secara umum antara lain:
Penurunan kesadaran Keabnormalan pada sistem pernafasan Penurunan reflek pupil, reflek kornea Penurunan fungsi neurologis secara cepat Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi) Pusing, vertigo Mual dan muntah Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik Amnesia Kejang
PENEGAKAN DIAGNOSA
a. CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK melalui analisa CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan kandungan protein rendah).
c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan ditemukan gelombang theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.
d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang tengkorak.
e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur dalam otak
PENATALAKSANAANUrutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut (Japardi, 2002):
a. Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan atasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
d. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
e. Pemeriksaan radiologif. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap
semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya:Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. StreroidBerguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
g. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
h. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
i. Epilepsi/kejang
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjangPembedahan dilakukan untuk mengevakuasi perdarahan, jaringan nekrosis, atau bagian tulang tengkorak yang masuk kedalam jaringan otak.
KOMPLIKASI
a. Peningkatan tekanan intra cranialb. Infeksic. Gagal nafasd. Herniasi otak
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Anamnesa: pasien datang dengan keluhan sakit kepala, pusing, mual atau bahkan penurunan kesadaran. Beberapa faktor yang menjadi resiko dari cidera kepala antara lain anak-anak yang berada dalam rentang usia 6 bulan – 2 tahun, usia 15-24 tahun, dan orang tua. Perbandingan angka kejadian pada pria dan wanita adalah 2:1. Resiko tinggi cidera kepala juga terdapat pada individu yang tinggal pada
lingkungan yang termasuk dalam golongan sosioekonomi rendah (Okie, 2005). Tingkat mortalitas pada kasus ini dipengaruhi oleh tingkat keparahan trauma, respon pasca trauma, treatmen yang didapat
Pemeriksaan fisik:
B1: perubahan pola nafas, adanya suara nafas tambahan, peningkatan frekuensi nafas
B2: hipertensi, hipotensi, taki kardi, bradikardi, CRT > 3 detik, sianosisB3: nyeri kepala, penurunan tingkat kesadaran, pusing, perubahan reflek pupilB4: inkkontinensia urin, distensi kandung kemih, retensi urinB5: mual, muntak, reflek menelan mengalami penurunan, konstipasiB6: kelemahan, keterbatasan kemampuan gerak
B. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tak efektifb. Gangguan pertukaran gasc. Ketidakefektifan pola nafasd. Gangguan perfusi jaringan cerebral/ perifere. Nyeri akutf. PK PTIKg. Resiko ciderah. Gangguan mobilitas fisiki. Gangguan pola eliminasi urin/ fekalj. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhk. Kelemahan
KASUS
Riwayat Penyakit:
Nn. Sinden (21 tahun) datang ke Rumah Sakit Vardgivare pada tanggal 28 September 2001 dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Pasien datang dibawa oleh polisi yang menemukannya tidak sadar di jalan akibat kecelakaan sekitar 5 jam sbelum MRS. Dokter mendiagnosa nona Sinden dengan COB+FBC (fraktur basis cranii)+F. Mandibula. Pengkajian yagn dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2001 didapatkan hasil TTV = TD:120/70 mmHg nadi 78 kali permenit, RR: 18 kali permenit, dan suhu aksila 36,7 derajat celcius. Pasien terpasang trakheostomi, alat bantu nafas simple mask dengan flow oksigen 8 lpm, pada auskultasi paru didapatkan ronchi basah di seluruh lapang paru. Akral pasien teraba hangat, penilaian tingakt kesadaran didapatkan GCS : 3 X 5. Hasil pemeriksaan laboratorium terakhir didapatkan: Hb 9,09 mg /dL, RBC 3,19 10^6, HCT 29,3 %. Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya perdarahan intracerebri. Terapi yang diperoleh ciprofloxacin 2x 400 mg, cefazolin 2 x 100 mg, antrain 2x100 mg, ranitidin 3x 1,2 mg, neurotam 3x1 mg.
Diagnosa medis: COB+FBC (fraktur basis cranii)+F. MandibulaPengkajian:
Anamnesa: pasien datang dengan keluhan penuruna kesadaran setelah terjadi kecelakaan laulintas 5 jam sebelum MRS
Pemeriksaan Fisik:
1. Vital sign
TD:120/70 mmHg nadi 78 kali/menit RR: 18 kali/menit suhu: 36,7®CSistem Pernafasan (B1)
RR 18 kpm, suara nafas ronchi diseluruh lapang paru, irama teratur,sekret berwarna putih keruh, terpasang trakheostomi dan simple mask 8 lpm
Masalah keperawatan = bersihan jalan nafas tak efektif
2. Sistem Kardiovaskular (B2)
irama jantung reguler, S1/S2 tunggal, suara jantung normal, CRT < 2 detik, akral HKM
Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
3. Sistem Persyarafan (B3)
GCS= 3X5, pupil isokor, sklera putih, konjungtiva merah muda, reflek patologis kaku kuduk dan kernig sign positif
Masalah keperawatan = gangguan perfusi jaringan cerebral
4. Sistem Perkemihan (B4)
pasien tidak terpasang kateter, balance cairan terakhir defisit 245 ccMasalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
5. Sistem Pencernaan (B5)
pasien terpasang NGT, intake nutrisi 7 x 200 cc terbagi menjadi 6 x 200 cc susu cair dan 1x 200 cc jus buah, retensi terakhir 10cc
Masalah keperawatan = resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Sistem Muskuloskeletal (B6)
pergerakan sendi bebas, kekuatan otot lengan ka/ki: 5/5 kaki ka/ki: 5/5Masalah keperawatan = tidak ditemukan masalah
Daftar Diagnosa keperawatan:
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum2. Gangguan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen otak3. Resiko infeksi b. d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port
de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakeostomi
Rencana Intervensi:
1. Bersihan jalan nafas tak efektif b. d akumulasi sputum: ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernafasan guna mempertahankan jalan nafas yang bersih.
Tujuan: Setelah pemberian intervensi dalam 1x15 menit jalan nafas pasien bersih/patenKriteria hasil:
Irama nafas teratur Suara nafas vesikuler (tidak terdapat suara nafas tambahan) Frekuansi nafas antara 12-20 kali/menit Tidak didapatkan sekret Saturasi oksigenasi 95-100%.
Intervensi:
a. Lakukan fisioterapi nafas fibrasi dan suctioning
R/ membantu mengalirkan dahak dan mengurangi akumulasi dahak
b. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan sesuai indikasi
R/ meningkatkan suplai oksigen dalam tubuh
c. Auskultasi paru tiap 4 jam untuk mendengarkan bunyi nafas
R/ identifikasi adanya suara nafas tambahan sebagai tanda adanya produksi sekret yang menyebabkan jalan nafas terganggu
d. Pantau perubahan sistem pernafasan meliputi RR, suara nafas, SaO2, konsistensi sekret dan irama nafas
R/ sebagai data dasar perkembangan kondisi pasien
2. Perubahan perfusi jaringan cerebral b. d penurunan suplai oksigen otak: suatu penurunan jumlah oksigen yang mengakibatkan kegagalan untuk memelihara jaringan pada tingkat cerebri.
Tujuan:Setelah pemberian intervensi dalam 1 x 24 jam perfusi jaringan serebral dapat dipertahankan secara adekuat
Kriteria hasil:
Pasien akan mempertahankan atau meningkatkan tingkat kesadaran Fungsi kognitif dan sensorik baik Tidak ada tanda PTIK (muntah proyektil, nyeri kepala hebat, penurunan
kesadaran) TTV dalam batas normal (TD= 60-90 mmgh/90-130mmhg, nadi 60-100
kpm, suhu 36,5 – 37,5 derajat celcius, RR 12- 20 kpm)
Intervensi:
a. Posisikan kepala supine (datar)
R/ menghindari peningkatan tekanan aliran darah menuju otak yang dapat memicu peningkatan tekanan intra kranial
b. Pertahankan tirah baring, ciptakan lingkungan yang tenang, batasi pengunjung dan aktivitas pasien sesuai indikasi
R/ aktivitas atau stimulasi yang kontinyu dapat menimbulkan PTIK
c. berikan obat sesuai indikasi
R/ menghindari peningkatan akumulasi cairan dalam otak dan mmbantu menghindari PTIK
d. pantau status kesadarn secara periodik, TTV, dan tanda – tanda PTIK
R/ memantau perubahan status neurologis, perbaikan kondisi pasien untuk menentukan intervensi selanjutnya
3. Resiko infeksi b.d adanya akumulasi perdarahan di dalam otak, port de entry kuman sekunder terhadap pemasangan trakheostomi: suatu kondisi individu mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogen
Tujuan: Setelah pemberian intervensi dalam 3x 24 jam tidak terjadi infeksiKriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, rubor, calor, dolor) Laboratorium menunjukkan hasil normal (WBC dalam rentang 4,5 –
10,0 10^3) Hasil kultur normal Sputum tidak berwarna, berbau, atau purulen.
Intervensi:
a. Lakukan perawatan trakheostomi dengan teknik steril minimal 2 kali sehari
R/ mencegah infeksi sekunder
b. Ajarkan keluarga pasien untuk mempertahankan kesterilan area insersi trakheostomi
R/ meningkatkan dukungkan keluarga untuk perbaikan kondisi pasien dan meningkatkan pengetahuan keluarga tentang kondisi pasien
c. Kolaborasi pemberian antibioti
R/ sebagai profilaksis atau pengobatan pada kasus infeksi
d. Pantau hasil laboratorium DL, LED, kultur, dan TTV
R/ mengevaluasi perkembangan kondisi pasien melalui analisa perubahan-perubahan pada hasil lab dan tanda-tanda vital
*Ners note:
Penting bagi perawat untuk selalu mengobservasi tingkat kesadaran pasien dengan cidera otak berat (GCS) sebagai parameter perkembangan kondisi pasien dan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi pada otak.
Bersihan jalan nafas tak efektif diambil sebagai diagnosa utama karena penurunan jumlah suplai oksigen dalam tubuh akan menyebabkan perburukan kondisi pasien dan menyebabkan gangguan – gangguan lainnya. Selain itu, airway merupakan poin pertama dalam penatalaksanaan mempertahankan fungsi organ.
Hati hati pada pasien yang mendapatkan terapi mannitol, selama proses pemberian hendaknya diawasi langsung dan tidak menyerahkan pengawasan kepada keluarga serta perhatikan tekanan darah sebelum dan sesudah pemberian. Selain itu, balance cairan pasien juga penting untuk diobservasi setiap 24 jam. Hal ini karena mannitol bersifat mengikat air yang akan menurunkan tekanan darah dan beban jantung.
Coupe: jejas pada daerah yang langsung terkena benturan. Biasanya terjadi pada trauma dimana kepala yang relative diam dihantam oleh benda yang relative bergerak.
Contracoupe: jejas pada daerah yang berlawanan dengan daerah yang langsung terkena benturan. Contracoup terjadi karena jaringan otak menghantam tulang tengkorak bagian dalam. Biasanya terjadi pada trauma dimana kepala yang bebas bergerak membentur benda yang relatif diam
Daftar Pustaka
Carpenito, LJ.,2004. Nursing Care Plans & Documentation: Nursing Diagnoses and Collaborative Problems 4th Edition. Philadelpia :LWW Publisher
Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corpJapardi, I., 2002. Penatalaksanaan Cidera Kepala Akut. Medan : USU
Okie, S., 2005. Traumatic Brain Injury in the War Zone, The New England Journal of Medicine, 352:2043-2047.
Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3 ed. Philadelpia: LWW Publisher