citra pendidikan nilai dalam novel laskar ...1].pdfvii abstrak wahyuni, sri. 2009. citra pendidikan...
TRANSCRIPT
CITRA PENDIDIKAN NILAI DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia (S1)
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun Oleh
SRI WAHYUNI
NIM: 044114025
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
Skripsi ini dipersembahkan kepada :
• Keluargaku, Bapak Tukijan, Ibu Agustina Tukirah, dan kedua
adikku Dwi Puji Rahayu dan Tri Agung Purwanto, serta keluarga
besarku
• Orang-orang yang peduli dan sangat menyayangiku...
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Sri Wahyuni Nomor Mahasiswa : 044114025
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : ”CITRA PENDIDIKAN NILAI DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dan bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : Desember 2009 Yang menyatakan,
Sri Wahyuni
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, Desember 2009
Penulis,
Sri Wahyuni
vii
ABSTRAK
Wahyuni, Sri. 2009. Citra Pendidikan Nilai Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata
Pendekatan Sosiologi Sastra
Penelitian ini menganalisis citra pendidikan nilai yang terjadi dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pendekatan yang digunakan dalam novel ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang bertumpuan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan dalam suatu masyarakat. Citra pendidikan nilai yang dibahas peneliti, merupakan cerminan kehidupan suatu kelompok masyarakat di suatu daerah, yakni Belitung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan dan citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Hasil analisis tokoh dan penokohan, menunjukan bahwa tokoh utama novel ini adalah Ikal, Lintang, dan Mahar. Kehadiran Ikal, Lintang, dan Mahar dalam novel Laskar Pelangi paling banyak diceritakan, sebagai pelaku ceritanya langsung maupun sebagai pencerita beberapa tokoh yang lainya. Tokoh tambahan novel ini adalah Sahara, Syahdan, Kucai, Trapani, Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A Ling. Citra pendidikan nilai di Belitung juga ditunjukan secara nyata, dan hal itu mempengaruhi perilaku tiap-tiap tokohnya dalam mengahadapi suatu peristiwa.
Citra pendidikan nilai yang terjadi dalam novel Laskar Pelangi, merupakan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan nilai berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan, penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan hidup pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran, tanggung jawab, keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam.
Citra pendidikan nilai yang ada dalam novel ini adalah kejujuran, tekad kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras, keikhlasan, menepati janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan, keramahan, kesabaran, dan silaturahmi.
Citra pendidikan nilai menurut Andrea Hirata dalam novelnya Laskar Pelangi adalah citra pendidikan nilai yang menggambarkan tentang kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya masyarakat Belitung. Citra pendidikan nilai harus mencerminkan kualitas pendidikan yang bermutu.
viii
ABSTRACT
Wahyuni, Sri. 2009. The Image of Education Value as seen in Andrea Hirata’s Laskar Pelangi
Literature Sociological Approach
This study analyzes image of education value as reflected in Andrea Hirata’s Laskar Pelangi. This study applies the literature sociological approach which focuses on the description that a literary work portrays the life of a society. In this study, image of education value shows the portrayal of a society life in Belitung. The method of this study is descriptive method. This method is used to analyze the character and characterization of the novel. It is also used in order to analyze image of education value in Laskar Pelangi written by Andrea Hirata . The analysis of the character and characterization shows that the major characters in the novel are Ikal, Lintang, and Mahar. In the novel, they appear more often than others, who play the story itself and play as a narrator for others. While the minor characters in the novel are Sahara, Syahdan, Kucai, Trapani, Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, and A Ling. Image of education in Belitung is also clearly shown, and that influences the characters’ behaviors in coping with a happening.
Image of education value in Laskar Pelangi novel are problems when it's happens in life time. Education value is contain pride of humanity value, pride of human right, different things of pride, different things of problem in living, brotherhood, polite, democration, honesty, responsibility, justice, struggle hard, spirituality, and the everlasting of nature.
Image of education value in this novel are involves character building, such as honesty, strong willed, self-identity, responsibility, hard working, sincerity, keeping on a promise, trustworthy, adaptation, kindness, be wish, be friendly, to be patient, and good relationship.
Image of education value according to Andre Hinata in his Laskar Pelangi novel are image of education when it's drawed quality of education in Indonesia, just for Belitung society. Image of education value must be to reflect quality of education.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih yang
dicurahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semuanya tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis ingin mengucapkan terimakasi kepada :
1. Ibu Susilowati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum, sebagai pembimbing I,
yang dengan sabar membimbing penulis selama proses pembuatan skripsi
ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, sebagai pembimbing II, yang
setulus hati membimbing penulis dan memberikan masukan dan kritik
kepada penulis.
3. Para dosen yang telah mengajar dan membagi ilmunya kepada penulis
selama penulis menyelesaikan studinya di USD. Pak Rahmanto, Pak
Praptomo, Pak Heri Antono, Pak Ari, Bu Peni, Bu Tjandra, Pak Santosa,
Pak Putu, Pak Arwan, Pak Heri Madiyanto, Pak Heri Santoso, dan semua
dosen yang pernah mengajar penulis.
4. Staf Fakultas Sastra, terima kasih atas bantuannya.
5. Perpustakaan USD dan segenap karyawannya, terima kasih atas bantuanya
selama ini.
6. Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan
dukungan dan semangat. Mama terima kasih doanya.
7. Mas Joko, yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan doa.
x
8. Teman-teman seperjuangan angkatan ’04 Sastra Indonesia, senang bisa
kenal dan berteman dengan kalian semua.
9. Terima kasih untuk rekan-rekan yang tak bisa disebutkan satu persatu,
yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya. Semua yang
kenal denganku dan mengenalku, tetap semangat!!!
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis
berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peminat karya
sastra.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………...……………………………………..i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………ii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………..…………………...iii
HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS............................iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..........................................v
ABSTRAK.............................................................................................................vi
ABSTRACT...........................................................................................................vii
KATA PENGANTAR.........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian...............................................................................4
1.5 Tinjauan Pustaka.................................................................................5
1.6 Landasan Teori.....................................................................................6
1.6.1 Tokoh dan Penokohan.......................................................6
1.6.2 Sosiologi Sastra.................................................................10
1.6.3 Citra Pendidikan Nilai.....................................................12
1.7 Metode Penelitian...............................................................................14
1.7.1 Metode Penelitian.............................................................14
1.7.2 Pengumpulan Data...........................................................15
1.8 Sumber Data.......................................................................................15
1.9 Sistem Penyajian................................................................................16
BAB II ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN
DALAM NOVEL LASKAR PELANGI...................................................17
2.1 Tokoh dan Penokohan.......................................................................17
2.2 Tokoh Utama......................................................................................18
2.2.1 Ikal........................................................................................18
xii
2.2.2 Lintang.................................................................................22
2.2.3 Mahar...................................................................................28
2.3 Tokoh Tambahan...............................................................................32
2.3.4 Sahara...................................................................................32
2.3.5 Syahdan................................................................................33
2.3.6 Kucai.....................................................................................34
2.3.7 Trapani.................................................................................36
2.3.8 Borek/Samson......................................................................37
2.3.9 A Kiong................................................................................38
2.3.10 Harun.................................................................................40
2.3.11 Flo.......................................................................................41
2.3.12 Bu Mus...............................................................................43
2.3.13 Pak Harfan.........................................................................46
2.3.14 A Ling.................................................................................48
2.4 Rangkuman.........................................................................................48
BAB III CITRA PENDIDIKAN NILAI
DALAM NOVEL LASKAR PELANGI...................................................50
3.1 Pengantar............................................................................................50
3.2 Citra Pendidikan Nilai.......................................................................51
3.2.3 Kejujuran.............................................................................51
3.2.2 Tekad Kuat..........................................................................52
3.2.3 Penemuan Identitas.............................................................55
3.2.4 Bertanggung Jawab............................................................56
3.2.5 Bekerja Keras......................................................................58
3.2.6 Keikhlasan...........................................................................62
3.2.7 Menepati Janji.....................................................................63
3.2.8 Dapat Dipercaya..................................................................63
3.2.9 Beradaptasi..........................................................................64
3.2.10 Baik Hati............................................................................64
3.2.11 Kebijaksanaan...................................................................66
3.2.12 Keramahan........................................................................67
xiii
3.2.13 Kesabaran..........................................................................68
3.2.3.14 Silaturahmi.....................................................................69
3.3 Rangkuman.........................................................................................69
BAB IV PENUTUP..............................................................................................70
4.1 Kesimpulan.........................................................................................70
4.2 Saran....................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan tidak terjadi di ruang hampa melainkan berada dalam realita
perubahan sosial yang sangat dahsyat. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu
subsistem dari keseluruhan pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat,
media, dan sekolah (Lie, 2005:1)
Dalam memetakan masalah pendidikan perlu diperhatikan realitas pendidikan
itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan
suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah susbsistem adalah
kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan
dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain.
Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi yang
sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan,
begitupun sebaliknya. Pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukkan
bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling
mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output
pendidikan, berbagai perangkat yang mempengaruhi tersebut perlu mendapatkan
jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait (Handayani).
2
Pendidikan di Indonesia masih sangat memberatkan masyarakat. Pendidikan
yang dinilai mahal oleh masyarakat ekonomi lemah membuat masyarakat
beranggapan bahwa pendidikan adalah hal yang sangat mewah. Hanya orang-orang
yang berekonomi kecukupan yang mampu mengenyam pendidikan. Anggapan yang
mungkin sampai saat ini terus berada dalam benak masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Belitung. Namun, hal itu tidaklah menjadi kendala bagi anak-anak
Belitung yang mempunyai semangat belajar yang tinggi.
Dengan mengangkat persoalan pendidikan, penulis ingin mengungkapkan
citra pendidikan niali dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel ini
diangkat dari kisah nyata penulisnya. Novel Laskar Pelangi menceritakan kisah masa
kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin di
Belitung (Prov. Bangka Belitung). Anak miskin ini mencoba memperbaiki masa
depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang
dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, lembaga pendidikan
Muhammadiyah tampak tidak ada apa-apanya dibanding dengan sekolah-sekolah PN
Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para anak Belitung ini tersudut dalam
ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah
kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah mereka.
Kesulitan terus-menerus dialami oleh sekolah kampung itu. Sekolah yang
dibangun atas jiwa keikhlasan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah
tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga
3
sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan. Sekolah yang
hampir ditutup oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid
itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tidak
pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur
di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah yang rusak, ruang kelas
beralas tanah, atap yang bocor, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk
menyimpan ternak, bahkan kapur tulis pun terasa mahal bagi sekolah yang hanya
mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga
para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain.
Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota
Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitung yang luar biasa ini tak meyerah
walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Misalnya Lintang, seorang anak kuli
kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilimeter pulang pergi
untuk mengenyam pendidikan, bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu
Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar seorang pesuruh tukang parut kelapa
sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan
sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka
dalam karnaval 17 Agustus. Begitu juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang
begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.
Penulis tertarik mengkaji novel ini karena mengangkat sebagian dari citra
pendidikan nilai yang ada di Indonesia yang tertuang dalam sebuah novel dan penulis
ingin mengungkapkan secara rinci citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Plelangi
4
karya Andrea Hirata. Untuk mengungkapkan citra pendidikan niali tersebut, terlebih
dahulu penulis akan menganalisis struktur penceritaannya yang dibatasi pada unsur
tokoh dan penokohan saja.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata?
1.2.2 Bagaimanakah citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi Karya
Andrea Hirata?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata.
1.3.2 Mendeskripsikan citra pendidikan nilai dalam novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai dunia
pendidikan dalam pandangan ilmu sastra.
1.4.2 Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada ilmu-ilmu sosiologi
tentang citra pendidikan yang diterapkan dalam sebuah karya sastra yang
berbentuk novel.
5
1.4.3 Hasil penelitian ini diharapkan memberikan referensi terhadap ilmu
pendidikan
1.5 Tinjauan Pustaka
Novel Laskar Pelangi adalah novel pertama dari tetralogi karya Andrea
Hirata. Novel ini telah diresensi oleh beberapa orang, antara lain oleh Hernadi Tanzil
dengan judul resensinya “Berpetualang Bersama Laskar Pelangi” yang dimuat dalam
www.google.com, yang membahas tentang keseluruhan kisah Laskar Pelangi yang
tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis, dan
tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi.
Ia juga menyebutkan bahwa novel Laskar Pelangi sangat berpotensi untuk
memperluas wawasan pembacanya. Lingkungan Kampung Melayu Belitung yang
digambarkan secara jelas dan memikat membuat pembaca novel ini akan mengetahui
kondisi lingkungan dan kondidi sosial budaya masyarakat Kampung Melayu Belitung
yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ironisnya ternyata berdampingan dengan
komunitas masyarakat gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan
fasilitas yang lebih dari cukup.
Kemunculan nama-nama latin dari tumbuh-tumbuhan sepertinya akan
membuat kelancaran membaca ini menjadi sedikit tersendat. Kisah ini dikemas dalam
bentuk fiksi maka batas antara fakta dan fiksi kiranya tak perlu diperdebatkan. Pada
intinya novel Laskar Pelangi menyampaikan pesan mulia bahwa kemiskinan
bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil
6
dengan segala keterbatasannya ternyata mampu melahirkan kreativitas-kreativitas
yang melampaui sekolah-sekolah favorit yang telah mapan baik dari segi fisik
maupun pengajarnya.
1.6 Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) tokoh dan
penokohan, (ii) sosiologi sastra, (iii) citra pendidikan nilai.
1.6.1 Tokoh dan Penokohan
1.6.1.1 Tokoh
Dalam novel ini akan dianalisis unsur tokoh karena dengan menganalisis
unsur tokoh tersebut akan ditemukan bentuk dari citra pendidikan dalam novel
Laskar Pelangi.
Tokoh menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002:165), adalah orang(-
orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dan tindakan.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Keadaan ini justru sering (dapat) berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita
itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak
(Nurgiyantoro, 2002:167).
7
Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah
merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan
manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan
(Nurgiyantoro, 2002:167). Tokoh cerita dilihat dari segi peranan dan tingkat
pentingnya, dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian sekaligus berhubungan dengan tokoh lain.
Sedangkan tokoh tambahan pemunculannya dalam keseluruhan cerita lebih sedikit,
tidak terlalu penting, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, secara langsung atau pun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2002:176).
1.6.1.2 Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002:165). Istilah penokohan lebih
luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia mencakup masalah siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang
jelas kapada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002:166)
8
Menurut Nurgiyantoro (2002:195-214), ada tiga teknik pelukisan tokoh, yaitu
teknik ekspositori, teknik dramatik, dan catatan tentang identifikasi tokoh, yang akan
dijabarkan berikut ini:
a. Teknik Ekspositori
Teknik ekspositori disebut juga teknik analitis, pelukisan cerita dilakukan
dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca
secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai
deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah
laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.
b. Teknik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik mirip dengan yang
ditampilkan pada drama, dilakukan secara tak langsung. Ada 8 wujud
penggambaran teknik dramatik, yaitu:
(1) Teknik Cakapan
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga
dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
(2) Teknik Tingkah Laku
Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan nonverbal, fisik. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak
dapat dipandang sebagai menunjukan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap
yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
9
(3) Teknik Pikiran dan Perasaan
Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan
teknik tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk
menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh. Teknik pikiran dan perasaan
dapat juga berupa sesuatu yang tidak pernah dilakukan secara konkret
dalam bentuk tindakan dan kata-kata, dan hal ini tidak dapat terjadi
sebaliknya.
(4) Teknik Arus Kesadaran
Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan.
Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha
menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, di mana tanggapan
indera bercampur dengan kesadaran dan ketidaksadaran pikiran, perasaan,
ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak.
(5) Teknik Reaksi Tokoh
Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap satu
kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan
sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh yang bersangkutan
(6) Teknik Reaksi Tokoh Lain
Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh
lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriaannya, yang
berupa pendangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Reaksi tokoh
10
juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian
tokoh kepada pembaca.
(7) Teknik Pelukisan Latar
Suasana latar sekitar tokoh sering dipakai untuk melukiskan kediriannya.
Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh
seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.
(8) Teknik Pelukisan Fisik
Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan
memang penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia
mempunyai bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan
secara imajinatif.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis masalah tokoh dan
penokohan saja, sedangkan tema, alur, dan latar sudah cukup dijelaskan dalam
penggambaran dan analisis penulis.
1.6.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan
logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpaman). Perkembangan berikutnya
mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti
ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi)
masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keselurahan jaringan hubungan
11
antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra berasal
dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan
instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat mengajar,
buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik lagi
menjadi kumpulan hasil karya sastra yang baik. Jadi sosiologi sastra adalah
pemahaman terhadap totalitas karya sastra disertai dengan aspek-aspek
kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2003:1-2)
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki
kaitan erat dengan masyarakat, dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya
dengan masyarakat. Pertama, karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh
tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan subjek tersebut adalah anggota
masyarakat. Kedua, karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat. Ketiga, medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah
kemasyarakatan (Ratna, 2003:332-333).
Hubungan antara sastra dan masyarakat dalam ilmu sastra disebut sosiologi
sastra. Sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra.
Sosiologi sastra merupakan satu telaah sastra yang objektif dan ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta proses sosialnya (Semi, 1989:52).
Menurut Damono, sosiologi sastra merupakan sebuah pendekatan yang menganggap
12
sastra sebagai lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang juga bagian dari
anggota masyarakat (2002:2).
Jadi dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra mempunyai saling
keterkaitan meskipun bidang yang dimilikinya sama. Manusia dan masyarakat adalah
salah satu dunia dari sosiologi dan sastra. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
masyarakat beserta isinya, sedangkan sastra merupakan cerminan masyarakat.
Dengan demikian, sebuah karya sastra bisa dikaji secara sosiologi yaitu dikenal
dengan tinjauan sosiologi sastra. Dalam hal ini novel Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata dapat dikatakan sebagai bentuk karya sastra sosiologis, karena cerita yang
dipaparkan merupakan cerminan kehidupan masyarakat.
1.6.3 Citra Pendidikan Nilai
Menurut Kamus Besar Basaha Indonesia (2008:270), citra adalah rupa;
gambar; gambaran.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan, proses perbuatan, cara mendidik (KBBI, 2008:326).
Pendidikan nilai adalah usaha untuk membantu peserta didik untuk menyadari
dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan keseluruhan hidup
mereka (Mardiatmadja, 1986:56).
13
Citra pendidikan nilai adalah gambaran usaha untuk membantu peserta didik
untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan
keseluruhan hidup mereka.
Pendidikan nilai harus berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan,
penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan hidup
pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran, tanggung jawab,
keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam (Lie, 2005:92).
Dalam sebuah pendidikan tidak cukup dengan ilmu pengetahuan yang
diberikan saja, tetapi harus juga dibekali oleh ilmu-ilmu lain, seperti pendidikan
sosial dan kemasyarakatan, pendidikan nilai kemanusiaan, pendidikan budi pekerti,
dan pendidikan moral.
Pendidikan sosial mengutamakan kemampuan lidah, kemampuan lingua,
kamampuan bahasa dengan segala gejalanya, sedangkan pendidikan kemasyarakatan
bergerak dari diri sendiri ke luar dan dari luar ke diri sendiri. Tidak mutlak, tapi selalu
relatif dan situsional (Lie, 2005:60)
Budi pekerti sering diartikan sebagai moralitas yang mengandung pengertian
antara lain, adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Budi pekerti dapat dianggap
sebagai sikap dan perilaku yang membantu orang dapat hidup lebih baik (Suparno,
2005:111)
Pendidikan moral adalah keseluruhan proses dan usaha-usaha pengembangan
budi pekerti, atau dengan kata lain, pendidikan moral adalah seluruh proses dan
semua usaha orang-orang dewasa untuk membantu orang-orang muda, agar hati
14
mereka semakin tulus dan tindakan-tindakan mereka semakin berkenan di hati Tuhan
dan sesama (Hadiwardoyo, 2005:92).
Dari citra pendidikan nilai di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
menyeimbangi pendidikan yang bersifat teoritis harus dibekali juga dengan
pendidikan yang bersifat membentuk pribadi manusia yang lebih baik lagi. Dengan
begitu, keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan akhlak dapat tercipta, dan saling
menopang satu sama lain.
Penelitian ini difokuskan pada pendidikan nilai yang meliputi kejujuran, tekad
kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras, keikhlasan, menepati
janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan, keramahan, kesabaran,
dan silaturahmi.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan yakni metode diskriptif untuk
menganalisis data. Metode diskriptif adalah metode yang melukiskan sesuatu yang
digunakan untuk memaparkan secra keseluruhan hasil analisis yang dilakukan (Keraf,
1981:93). Langkah-langkah yang ditempuh penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah pertama membaca novel yang akan dianalisis, kedua mencari rumusan
masalah yang akan diteliti, ketiga mengumpulkan data-data dengan cara teknik catat
atau mencatat hal-hal yang mendukung rumusan masalah. Data tersebut akan
15
dianalisis dan diinterpretasikan. Hasil analisis dan interpretasi tersebut dideskripsikan
dalam bentuk laporan penelitian.
1.7.2 Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
catat yakni mencatat data yang berasal dari buku-buku maupun artikel yang memuat
hal-hal yang berhubungan dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan
masalah ssiologi sastra. Peneliti mengmpulkan data yang diperoleh kemudian
mencatatnya pada buku atau kertas (Sudaryanto, 1993). Teknik ini digunakan penulis
untuk mencatat data-data yang menjadi bagian dari novel Laskar Pelangi dan
berhubungan dengan masalah penelitian di atas.
1.8 Sumber Data
Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.8.1 Sumber data primer
Judul Buku : Laskar Pelangi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2005
Halaman : xviii + 534 halaman
16
1.8.2 Sumber data sekunder
Sumber data seunder berupa hasil penelitian, artikel dari internet, dan pustaka-
pustaka lain yang berhubungan dengan obek penelitian ini.
1.9 Sistem Penyajian
Sistematika dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Penelitian ini
dibagi menjadi 4 bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis
struktur yang meliputi tokoh dan penokohan. Bab III berisi analisis tentang citra
pendidikan di Indonesia. Bab IV penutup berisi kesimpulan dan saran.
17
BAB II
ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA
Pada bagian ini akan dianalisis tokoh dan penokohan saja. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui pengagambaran tiap tokohnya. Seluruhnya akan
diuraikan sebagai berikut.
2.1 Tokoh dan Penokohan
2.1.1 Tokoh
Menurut Sudjiman (1988:16), tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh
pada umumnya berwujus manusia, tetapi dapat pula berwujud binatang atau benda
yang diinsankan. Menurut Nurgiyantoro (2002:176), dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting
dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendomonasi sebagian besar
cerita, dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau
beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang
relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central
character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan
(peripheral character).
Tokoh yang ada dalam novel Laskar Pelangi meliputi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Menurut Nurgiantoro (2002:176-177), tokoh utama adalah tokoh
18
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika
ada keterkaitanya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tidak langsung.
Tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah Ikal,
Lintang, dan Mahar sedangkan tokoh tambahannya adalah Sahara, Syahdan,
Kucai, Trapani, Borek, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A Ling.
2.1.2 Penokohan
Penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh
berdasarkan penggambaran ciri-ciri lahir, sifat, dan sikap batin dalam cerita
(Sudjiman, 1988:23). Dengan adanya penggambaran tersebut, dapat diketahui
pula watak tokoh-tokoh yang ada dalam novel yang akan dianalisis.
Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terdapat beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut pandang dan tinjauanya. Dalam penelitian ini
penulis akan memaparkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel Laskar Pelangi dan
menganalisis tokoh-tokoh yang berkaitan citra pendidikan nilai.
2.2 Tokoh Utama
2.2.1 Ikal
Secara fisik, Ikal mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu pendek. Ia juga mempunyai rambut yang ikal. Hal ini digambarkan
19
menggunakan teknik dramatik (teknik reaksi tokoh lain dan pelukisan fisik), yang
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(1) … Tingginya (A Ling) tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku (Ikal).(hlm.269)
(2) Umumnya Bu mus mengelompokan tempat duduk kami
berdasarkan kemiripan. Aku dan Lintang sebangku karena kami sama-sama berambut ikal….(hlm.13)
Ikal berasal dari keluarga yang miskin dan bersaudara banyak. Ayahnya
adalah seorang buruh tambang dan saudara-saudara Ikal adalah kuli di pasar pagi
dan kuli kopra di pesisir pantai. Hal ini digambarkan menggunakan teknik
ekspositori dan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini:
(3) … Aku (Ikal) tahu beliau (ayah Ikal) sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkan pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.(hlm.2-3)
(4) “Kasihan ayahku…”
maka aku tak sampai hati memandang wajahnya. “Barang kali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli…”(hlm.3)
Ikal sangat menyayangi dan menghormati ibunya. Ia akan berkata jujur
walaupun dengan kejujuran itu mempermalukan dirinya sendiri. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik tingkah laku dan reaksi tokoh
lain), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
20
(5) Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri….(hlm.82)
(6) “Namanya A Ling…!” bisiknya ketika kami sedang khatam Al-
Qu’ran di masjid Al Hikmah. Jantungku (Ikal) berdetak kencang. “Seangkatan dengan kita di sekolah nasional!”…. “Jangan sampai tahu ibuku,” kataku cemas, “bisa-bisa aku kena rajam. (hlm.253)
Ikal adalah salah satu murid yang pandai di kelasnya. Ia selalu mendapat
rengking dua dan mempunyai rival berat dalam pelajaran, yaitu sahabatnya
sendiri, Lintang, yang selalu menduduki rengking pertama di kelasnya. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik ekspositori, yang dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
(7) Aku belajar keras sepanjang malam, tapi tak pernah sedetik pun, sedetik pun bisa melampaui Lintang. Nilaiku sedikit lebih baik dari rata-rata kelas namun jauh tertinggal dari nilainya. Aku berada di bawah bayang-bayangnya sekian lama, sudah terlalu lama malah. Rangking duaku abadi, tak berubah sejak caturwulan pertama kelas satu SD. Abadi seperti lukisan ibu menggendong anak di bulan. Rival terberatku, musuh bebuyutanku adalah temanku sebangku, yang aku sayangi. (hlm.122)
Ikal mempunyai bakat pada seni khususnya puisi. Ia menulis puisi sebagai
tugas pelajaran kesenian yang diserahkan kepada Bu Mus. Hal ini digambarkan
menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan), yang dapat terlihat
dalam kutipan berikut ini:
(8) Pesona hakiki Pangkalan Punai membayangiku menit demi menit sampai terbawa-bawa mimpi. Mimpi ini kemudian kutulis menjadi sebuah puisi karena sebagai bagian program, kami harus menyerahkan tugas untuk pelajaran kesenian berupa karangan,
21
lukisan, atau pekerjaan tangan dari bahan-bahan yang didapat dari bahan-bahan yang didapat di pinggir pantai. (hlm.181)
Ikal memiliki cita-cita sebagai pemain bulu tangkis dan menjadi penulis,
tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta.
Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan),
yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(9) … Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot….(hlm.342)
(10) Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat
tadi. Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai pos, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja mulai subuh.(hlm.438)
Dari kutipan (1)-(10) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Ikal
mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek dan ia
juga mempunyai rambut yang ikal (1-2). Ikal berasal dari keluarga berekonomi
rendah. Ayahnya adalah seorang buruh tambang yang bergaji kecil, sedangkan
saudara-saudara Ikal bekerja menjadi kuli (3-4). Ikal sangat menghormati dan
menyayangi ibunya. Pelajaran kemuhammadiyahan tidak memperbolehkannya
bohong, apalagi kepada ibu (5-6). Ikal mempunyai bakat seni, khususnya pada
puisi. Ia menyerahkan karya puisinya sebagai tugas kesenian (8). Ikal termasuk
anak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat kedua di kelasnya (7). Cita-
citanya adalah ingin menjadi pemain bulu tangkis dan penulis yang berbobot (9),
tapi ia malah menjadi tukang sortir di salah satu kantor pos yang ada di Jakarta
(10).
22
2.2.2 Lintang
Secara fisik, Lintang berwajah manis dan berambut merah keriting.
Tubuhnya tak terawat dan kotor. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran
teknik dramatik (pelukisan fisik dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam
kutipan berikut ini:
(11) Aku mengenal para orang tua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki yang kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya….(hlm.3)
(12) “Ayo yang lain, jangan hanya anak Tanjong keriting (Lintang) ini
saja yang menjawab,” perintah Bu Mus.(hlm.122)
(13) Meskipun rumahnya paling jauh tapi kalau datang ia (Lintang) paling pagi. Wajahnya manis senantiasa bersinar walaupun baju, celana, dan sandal cunghai-nya buruknya minta ampun. Namun sungguh kuasa Allah, di dalam tempurung kepalanya yang ditumbuhi rambut gimbal awut-awutan itu tersimpan cairan otak yang encer sekali… Dibalik tubuhnya yang tak terawat, kotor, miskin, serta berbau hangus, dia memiliki an absolutely….(hlm.108-109)
Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, yaitu sebuah wilayah paling
timur di Sumatra. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia anak laki-laki
satu-satunya. Ia tinggal bersama empat belas anggota keluarga yang hidup dalam
satu rumah. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik
(pelukisan latar) dan teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(14) Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah, tempat berawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami. Selain itu di sana juga tak jarang buaya sebesar pangkal pohon sagu melintasi jalan. Kampung pesisir itu
23
secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di Sumatra….(hlm.11)
(15) Selain empat orang itu ikut pula dalam keluarga ini dua adik
laki-laki ayah Lintang, yaitu seorang pria muda yang kerjanya hanya melamun saja sepanjang hari karena terganggu jiwanya dan seorang bujang lapuk yang tak dapat bekerja keras karena menderita burut akibat persoalan kandung kemih. Maka ditambah lima adik perempuan Lintang, Lintang sendiri, dan kedua orangtuanya, seluruhnya berjumlah empat belas orang. Mereka hidup bersama, berdesak-desakan di dalam rumah sempit memanjang itu.(hlm.99-100)
Ayah Lintang adalah seorang nelayan semacam petani penggarap karena
tidak memiliki perahu. Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan
kerajaan lama Belitong. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik
dramatik (reaksi tokoh dan pelukisan latar), yang terdapat dalam kutipan berikut
ini:
(16) Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung itu hinggap sebentar di pucuk pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia (ayah Lintang) hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu.(hlm.10-11)
(17) Ibunya Lintang, seperti halnya Bu Mus dan Sahara, adalah
seorang N.A. Itu adalah singkatan dari Nyi Ayu, yakni sebuah gelar bangsawan kerajaan lama belitong khusus bagi wanita dari ayah seorang K.A atau Ki Agus. Adat istiadat menyarankan gelar itu diputus pada seorang wanita sehingga Lintang dan adik-adik perempuannya tak menyandang K.A. dan N.A. di depan nama-nama mereka….(hlm.97)
Lintang adalah seorang anak yang ramah dan senang membantu teman
yang kesulitan dalam memahami pelajaran. Kepintarannya tidak membuatnya
24
sombong dan mau berbagi ilmu dengan teman-temannya. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan reaksi tokoh lain), yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(18) Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan….(hlm.12)
(19) Jika kami kesulitan, ia mengajari kami dengan sabar dan selalu
membesarkan hati kami. Keunggulannya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan seoarng murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas bagi kelas kami.(hlm.109)
Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan
rajin. Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk
menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik ekspositori, yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(20) “Tapi sudah dari setengah perjalanan sudah, aku (Lintang) tak
‘kan kembali pulang gara-gara buaya bodoh ini, tak ada kata bolos dalam kamusku, dan hari ini ada tarikh Islam, mata pelajaran yang menarik. Ingin kudebatkan kisah ayat-ayat suci yang memastikan kemenangan Byzantium tujuh tahun sebelum kejadian. Sudah siang, aku maju sedikit, aku pasti terlambat tiba di sekolah.” (hlm.88)
(21) Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan
Bondega seperti yang aku alami, tapi bukan sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun dia bolos….(hlm.93)
(22) … Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi
karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia (Lintang) tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan
25
kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah siap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas. Kami termenung mendengarkan ia bernyanyi dengan sepenuh jiwa, tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.(hlm.94)
Lintang adalah anak yang pintar dan genius. Ia selalu mendapatkan nilai-
nilai yang jauh di atas rata-rata. Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba
kecerdasan antarsekolah. Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah
Muhammadiyah yang menjuarai perlombaan itu. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan
berikut ini:
(23) “Lintang mampu menjawab sebuah pertanyaan matematika
melalui paling tidak tiga cara, padahal aku hanya mengajarkan satu cara. Dan dia menunjukan padaku bagaimana menemukan jawaban tersebut melalui tiga cara lainnya yang tak pernah sedikit pun aku ajarkan! Logikanya luar biasa, daya pikirnya meluap-luap. Aku sudah tak bisa lagi mengatasi anak pesisir ini Ibunda Guru.”(hlm.123)
(24) Untuk biologi, matematika dan semua variannya: ilmu ukur,
aritmetika, aljabar, dan ilmu pengetahuan alam bahkan Bu Mus berani bertanggung jawab untuk memberi nilai sempurna: sepuluh. Kehebatan Lintang tak terbendung, kepiawaiannya mulai kondang seantreo kampung. Dan yang lebih mendebarkan, karena reputasi itu, kami dipertimbangkan untuk diundang mengikuti lomba kecerdasan antarsekolah yang dapat menaikan gengsi sekolah setinggi rasi bintang Auriga. Sudah lama kami tak diundang dalam acara bergengsi ini karena prestasi sekolah selalu di bawah rata-rata.(hlm.124)
(25) Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama perguruan
Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang
26
berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.(hlm.383)
Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan. Harapan
itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan sekolah dan harus
menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati ayahnya. Hal ini dapat
dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (teknik pikiran dan perasaan).
(26) … Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matematikawan.
Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.(hlm.344)
(27) Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang
ditinggal mati ayahnya, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia harus mengambil alih menganggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus yang berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.(hlm.430)
Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan. Ia
bekerja sebagai sopir truk. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik
dramatik (reaksi tokoh lain, dan pelukisan fisik), yang terdapat dalam kutipan
berikut ini:
(28) “Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tidak menjadi nelayan….”(hlm.472)
(29) Pria kemarin yang menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah
satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang (hlm.468)
27
Dari kutipan (11) sampai (29) di atas, dapat disimpulkan bahwa Lintang
adalah tokoh yang berwajah manis dan berambut keriting (11-12). Penampilannya
sangat sederhana. Tubuhnya tak terawat, kotor, dan berbau hangus (13). Lintang
berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pesisir pantai, yaitu sebuah
wilayah paling timur di Sumatra (14). Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
Lintang mempunyai lima adik perempuan dan ia tinggal bersama empat belas
anggota keluarga lainnya (15). Ayah Lintang adalah seorang nelayan yang bekerja
sebagai petani penggarap karena ia tidak memiliki perahu (16). Sedangkan ibunya
adalah seorang keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong (17). Lintang adalah
sosok yang ramah (18) dan suka menolong teman yang mengalami kesulitan
dalam memahami pelajaran. Ia tidak segan untuk berbagi ilmu kepada temannya
(19). Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan rajin.
Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk menyanyikan
lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah (20-22). Lintang adalah anak yang
pintar dan genius (23). Ia selalu mendapatkan nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata
(24). Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba kecerdasan antarsekolah.
Lintang mampu mengaharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang menjuarai
perlombaan itu (25). Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang
matematikawan (26). Harapan itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan
sekolah dan harus menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati
ayahnya (27). Lintang memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan.
Ia bekerja sebagai sopir truk (28)
28
2.2.3 Mahar
Mahar adalah anak yang pekerja keras. Ia memiliki tangan yang
berminyak dan kuku-kuku yang cacat. Ia juga berpenampilan etnik dengan
aksesori-aksesorinya Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pelukisan fisik), dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(30) … Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam memeras ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang….(hlm.134-135)
(31) … Mahar dengan aksesori-aksesori etniknya ibarat orang yang
dititipi Engelbert Humperdink suara emas yang diwarisi Salvador Dali sikap-sikap nyentrik….(hlm.141)
Mahar adalah seniman yang imajinatif dan penuh dengan ide-ide gila yang
kreativ. Ia menciptakan hal-hal yang tidak biasanya. Hal ini digambarkan
menggunakan teknik dramatik (tingkah laku).
(31) Mahluk ini bukan acanthopholis, sauropodomorphas, kera anthropoid, dinasaurus atau saurus-saurus semacamnya, dan bukan pula mahluk-mahluk prasejarah seperti yang telah kita kenal. Sebaliknya, Mahar membuat sebuah cetakan fosil kelelawar raksasa semacam Palaeochiropterxy tupaiodon tapi dengan bentuk yang dimodifikasi sehingga tampak ganjil dan mengerikan. Anatomi mahluk itu tentu tidak pernah teridentifikasi oleh para ahli karena ia hanya ada di kepala Mahar, di dalam imajinasi seorang seniman.(hlm.145)
(32) … Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik,
tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Misalnya, ia melatih kera peliharaannya sedemikian rupa sehingga mampu
29
berperilaku layaknya seorang instruktur. Maka dalam sebuah penampilan, keranya itu memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang dalam pertunjukan biasa hal itu seharusnya dilakukan sang kera….(hlm.145-146)
Ia menciptakan gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17
Agustus-an. Dengan tarian itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi
Penampil Seni Terbaik. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pikiran dan perasaan, dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam kutipan berikut
ini:
(33) Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja
keras berhari-hari melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga. Kaki dihentak-hentakkan ke bumi, tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran, kemudian menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik, lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang. Tak ada gerakan santai atau lembut, semua cepat, ganas, rancak, dan patah-patah. Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan merupakan olah raga yang menyehatkan.(hlm.227)
(34) Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu,
tetap tak tahu semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar diarak warga Muhammadiyah setelah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni Terbaik tahun ini. Trofi yang setelah dua puluh tahun kami idamkan dan selama itu pula bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah kampung. Trofi yang tak ‘kan membuat sekolah kami dihina lagi.(hlm.247)
Kesenangan Mahar akan dunia supranatural membuat nilai-nilai ujiannya
merosot tajam. Ia terancam tidak dapat mengikuti Ebtanas. Ia yakin bahwa dunia
30
gelap dapat membantunya lulus ujian. Hal ini digambarkan menggunakan teknik
dramatik (reaksi tokoh lain dan reaksi tokoh) dan dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
(35) Artinya Ananda tidak punya sebuah rencana yang positif, tak pernah lagi mau membaca buku dan mengerjakan PR karena menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah.” Bu Mus mulai terdengar seperti warta berita RRI pukul 7. Lintasan berita: “Nilai-nilai ulanganmu merosot tajam. Kita akan segera menghadapi Ebtanas. Nilaimu bahkan tak memenuhi syarat untuk melalui caturwulan tiga ini. Jika nanti ujian antara-mu masih seperti ini, Ibunda tidak akan mengizinkanmu ikut kelas caturwulan terakhir. Itu artinya kamu tidak boleh ikut Ebtanas.”(hlm.350)
(36) “Aku mencari hikmah dari dunia gelap Ibunda dan penasaran
karena keingintahuan. Tuhan akan memberikan pendamping dengan cara yang misterius….”(hlm.351)
(37) Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk
aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah fillicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas: INILAH PESAN TUK BAYAN TULA UNTUK
KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU, BELAJAR!!(hlm.424)
Mahar bercita-cita menjadi sutradara dan seorang penasihat spiritual. Tapi
ia malah menjadi seorang penulis novel. Hal ini digambarkan menggunakan
teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh lain), dapat dilihat dalam
kutipan berikut ini:
(38) Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi
31
seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypnotherapist ternama.(hlm.343)
(39) Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin
Jumadi Ahlan bin Zubir bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. Ia meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang indah….(hlm.489-490)
Dari kutipan (30) sampai (39) di atas, dapat disimpulkan bahwa Mahar
adalah anak yang pekerja keras. Ia bekerja sebagai tukang parut kelapa. Ia
memiliki tangan yang berminyak dan kuku-kuku yang cacat karena disayat gigi-
gigi mesin parut (30). Ia juga berpenampilan etnik dengan aksesori-aksesorinya
(31). Mahar adalah seniman yang imajinatif. Ia menciptakan sebuah karya dengan
imajinasinya (32). Ia penuh dengan ide-ide gila yang kreatif (33). Ia menciptakan
gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17 Agustus-an. Dengan tarian
itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi Penampil Seni Terbaik (34).
Mahar juga gemar pada hal-hal yang berbau supranatural (35). Kegemaran itu
membawa dampak buruk untuknya. Nilai-nilai ujiannya merosot tajam, dan ia
terancam tidak dapat mengikuti Ebtanas (36). Keyakinannya terhadap dunia gelap
membuatnya berpikir untuk meminta bantuan seorang dukun agar mendapat nilai
yang bagus (37).
2.3 Tokoh Tambahan
2.3.1 Sahara
Sahara adalah wanita yang cantik. Ia memakai jilbab dan mempunyai
tubuh yang ramping. Ayahnya bekerja di PN sebagai seorang Taikong. Hal ini
dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan fisik), yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
32
(40) Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey cheeked green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab, dan sedikit lebih beruntung. Bapaknya seorang Taikong, yaitu atasan para Kepala Parit, orang-orang lapangan di PN….(hlm.75)
Sahara adalah gadis yang temprament. Ia juga pintar. Sahara pantang
berbohong. Cita-citanya ingin menjadi seorang pejuang hak-hak asasi wanita. Hal
ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh, tingkah
laku, dan pikiran dan perasaan), dalam kutipan berikut ini:
(41) … Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temprament, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing dengan Trapani… .(hlm.75)
(42) … Sifat lain Sahara yang paling menonjol adalah kejujurannya
yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar-kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.(hlm.75)
(43) … Sahara misalnya, ia ingin menjadi pejuang hak-hak asasi
wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-film India….(hlm.342-343)
Dari kutipan (40) sampai (43) di atas, dapat disimpulkan bahwa Sahara
adalah wanita yang cantik. Ia memakai jilbab dan mempunyai tubuh yang
ramping. Ayahnya bekerja di PN sebagai seorang Taikong (40). Sahara adalah
gadis yang tempramen. Jika marah alisnya akan bertemu dan tak segan mencakar.
Ia juga pintar dan peringkatnya bersaing dengan Trapani (41). Sahara menjunjung
tinggi kejujuran. Ia pantang berbohong (42). Cita-citanya ingin menjadi seorang
pejuang hak-hak asasi wanita (43).
33
2.3.2 Syahdan
Syahdan adalah seorang anak yang bertubuh kecil. Ia berasal dari keluaga
miskin. Ayahnya adalah seorang nelayan yang bekerja di bagan dan gudang
kopra. Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan
fisik dan reaksi tokoh lain), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(44) Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal….(hlm.197)
(45) Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang
nelayan… Penghasilan ayahku (Ikal) lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet jika digabungkan sekaligus….(hlm.67-68)
Syahdan bercita-cita ingin menjadi seorang aktor ternama. Namun, ia
malah menjadi Manager di sebuah perusahaan terkemuka. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (reaksi tokoh) dan teknik ekspositori, yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(46) Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor… Ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.(hlm.343)
(47) … Ia kembali ke Indonesia dan dua tahun kemudian, Syahdan,
pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor pusat di Tangerang….(hlm.478-479)
Dari kutipan (44) sampai (47) di atas, dapat disimpulkan bahwa Syahdan adalah
seorang anak yang bertubuh kecil (44). Ia berasal dari keluaga nelayan yang
34
miskin. Ayahnya adalah seorang nelayan yang bekerja di bagan dan gudang kopra
(45). Cita-cita Syahdan adalah ingin menjadi aktor ternama (46), tapi kemudian ia
bekerja di sebuah perusahaan terkemuka sebagai Manager (47).
2.3.3 Kucai
Kucai adalah seorang anak yang menderita rabun jauh. Ayahnya adalah
seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan ketua Badan Amil masjid.
Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik dan pelukisan
latar), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(48) Kucai sedikit kurang beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka ia tak memandang lurus ke depan artinya yang ia lihat adalah benda di samping benda yang persis di depannya dan demikian sebaliknya, sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi ia menoleh ke samping. Namun, Kucai adalah orang yang paling optimis yang pernah aku jumpai. Kekurangannya secara fisik tak sedikit pun membuatnya minder….(hlm.69)
(49) … Kenyataannya memang begitu. Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakonkan walaupun dungunya minta ampun. Kualitas kepolitisiannya itu mungkin menurun dari bapaknya. Beliau adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan telah bertahun-tahun menjabat sebagai ketua Badan Amil masjid kampung.(hlm.70)
Kucai bercita-cita ingin menjadi anggota dewan. Maka ia pun terpilih
menjadi ketua salah satu fraksi di Belitong. Hal ini digambarkan menggunakan
teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh), yang dapat dilihat dalam
kutipan berikut ini:
35
(50) … Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.(hlm.342-343)
(51) Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi
anggota dewan rupanya telah tercapai. Ia telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. Ia menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong….(hlm.490)
Dari kutipan (48) sampai (51) di atas, dapat disimpulkan bahwa Kucai
adalah seorang anak yang menderita rabun jauh karena kekurangan gizi pada
waktu kecil (48). Ia memiliki jiwa oportunis yang bermulut besar. Ayahnya
adalah seorang pensiunan tukang bagi beras di PN Timah dan ketua Badan Amil
masjid (49). Kucai adalah seorang yang bermulut besar, berotak tumpul, populis,
dan tak tahu malu. Ia ingin menjadi anggota dewan (50). Ia pun menjadi anggota
dewan yaitu sebagai ketua salah satu fraksi di Belitong (51).
2.3.4 Trapani
Trapani adalah anak yang tampan. Tubuhnya tinggi dan berkulit putih.
Warna pakaiannya selalu serasi. Ayahnya adalah seorang operator di PN. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik), yang dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini:
(52) Duduk di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama
kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia mempesona seumpama bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaos kaki, dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin. Ia tak
36
bicara jika tak perlu dan jika angkat bicara ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Baunya pun harum.(hlm.74)
(53) Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak
beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.(hlm.366)
(54) … Ayahnya adalah seorang operator vessel board di kantor
telepon PN sekaligus tukang sirine….(hlm.74-75) Trapani adalah anak yang pendiam, tapi pintar. Cita-citanya ingin menjadi
guru di pedalaman. Hal ini digambarkan menggunakan teknik ekspositori (55) dan
teknik dramatik (reaksi tokoh) (56), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(55) Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga….(hlm.75)
(56) … Cita-citanya ingin jadi guru yang mengajar di daerah terpencil
untuk memajukan pendidikan orang Melayu pedalaman, sungguh mulia….(hlm.74)
Dari kutipan (52) sampai (56) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
Trapani digambarkan sebagai anak yang tampan. Warna pakaiannya selalu serasi
dan berbau harum (52). Tubuhnya tinggi dan berkulit putih. Rambutnya hitam
lebat. Ia juga memiliki kumis tipis (53). Ayahnya adalah seorang operator di PN
(54). Trapani adalah anak yang pendiam, tapi pintar. Ia selalu mendapat rengking
ketiga di kelasnya (55). Cita-citanya ingin menjadi guru di pedalaman Belitung
(56).
2.3.5 Borek/ Samson
37
Borek/ Samson adalah tokoh yang digambarkan terobsesi memiliki otot
besar. Ia bercita-cita ingin menjadi tukang sobek karcis dan sekuriti di Bioskop.
Hal ini dapat dilihat melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan
reaksi tokoh), yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
(57) Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil, dan mendapat julukan Samson….(hlm.78-79)
(58) Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang
sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya.(hlm.343-344)
Dari kutipan (57) sampai (58) di atas, dapat disimpulkan bahwa Borek/
Samson adalah tokoh yang terobsesi memiliki otot yang besar. Karena latihan
keras, ia pun berhasil membesarkan ototnya (57). Ia bercita-cita ingin menjadi
tukang sobek karcis dan sekuriti Bioskop, supaya ia dapat menonton film dengan
garatis (58).
2.3.6 A Kiong
A Kiong adalah tokoh yang mempunyai bentuk wajah kotak dan lebar. A
Kiong memiliki mata sipit dan hampir tak mempunyai alis. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (pelukisan fisik), yang terdapat dalam
kutipan berikut ini:
(59) Tapi jika melihat A Kiong, siapa pun akan maklum kenapa nasibnya berakhir di SD kampung ini. Ia memang memiliki penampilan akan ditolak di mana-mana. Wajahnya seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein.
38
Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Guru mana pun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala aluminiumnya itu. (hlm.68)
A Kiong adalah termasuk anak yang cepat menangkap pelajaran. Ia
bercita-cita ingin menjadi seorang kapten kapal. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (arus kesadaran dan reaksi tokoh), yang terdapat
dalam kutipan berikut ini:
(60) Tapi tak dinyana, sekian lama waktu berlalu, rupanya kepala kalengnya cepat juga menangkap ilmu….(hlm.69)
(61) … A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia
senang berpergian atau mungkin topi kapten kapan yang besar dapat menutupisebagian kepala kalengnya itu….(hlm.342-343)
Ayah A Kiong bekerja sebagai petani sawi. A Kiong berasal dari keluarga
Kong Hu Cu. Kemudian A Kiong memeluk agama Islam dan mengganti nama
menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman. Hal ini dapat dilihat melalui
penggambaran teknik dramatik (pelukisan latar dan reaksi tokoh lain), yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
(62) Sebangku dengan Syahdan adalah A Kiong, sebuah anomali. Tak tahu apa yang merasuki kepala bapaknya, yaitu A Liong, seorang Kong Hu Cu sejati, waktu mendaftarkan anak laki-laki satu-satunya itu ke sekolah Islam puritan dan miskin ini. Mungkin karena keluarga Hokian itu, yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi, juga amat miskin.(hlm.68)
(63) Ia memeluk Islam, disunat, dan mengucapkan kalimat syahadat
disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugrahkan sebuah nama: Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman. Nama
39
yang sangat hebat. Artinya tentara Allah, orang yang mendapat ampunan dan cahaya….(hlm.465)
A Kiong adalah tokoh yang naif dan mudah terhasut oleh orang lain. Selain itu, A
Kiong juga baik hati, ramah dan setia kawan terhadap sahabatnya. Hal ini dapat dilihat
melalui penggambaran teknik dramatik (tingkah laku dan reaksi tokoh), yang terdapat
dalam kutipan berikut ini:
(64) Dia sangat naif dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kita
mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa. Ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara.(hlm.68-69)
(65) Rupanya A Kiong menagkap keputusasan dalam nada suaraku. Ia
adalah siswa yang tak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak’kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan….(hlm.256)
Dari kutipan (59) sampai (65) di atas, dapat disimpulkan bahwa A Kiong
memiliki fisik yang sedikit aneh. Wajahnya berbentuk kotak dan lebar. Ia
memiliki mata yang sipit dan hampir tak mempunyai alis (59). A Kiong termasuk
anak yang cepat menangkap pelajaran dan ia bercita-cita ingin menjadi seorang
kapten kapal (60-61). Ayah A Kiong bekerja sebagai petani sawi. A Kiong berasal
dari keluarga Kong Hu Cu sejati (62). Kemudian A Kiong memeluk agama Islam
yang disaksikan oleh Pak Harfan dan Bu Mus. Ia juga mengganti namanya
menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman (63). A Kiong adalah tokoh
yang naif dan mudah terhasut oleh orang lain. Selain itu, A Kiong juga baik hati,
ramah dan setia kawan terhadap sahabatnya (64-65).
40
2.3.7 Harun
Harun adalah seorang pria berumur lima belas tahun. Ia agak terbelakang
mentalnya sehingga tidak bisa menangkap pelajaran sama sekali. Ia juga
mempunyai hobi mengunyah permen asam jawa. Harun memiliki rambut model
Chairil Anwar. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan
fisik dan arus kesadaran), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(66) Kami tersentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf X sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya….(hlm.6-7)
(67) … Harun adalah seorang pria santun, pendiam, dan murah
senyum. Ia juga merupakan teman yang menyenangkan. Model rambutnya seperti Chairil Anwar dan pakaianya selalu rapi….(hlm.76-77)
(68) Harun mempunyai hobi mengunyah permen asam jawa dan sama
sekali tak bisa menangkap pelajaran membaca atau menulis….(hlm.77)
Dari kutipan (66) sampai (68) di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
Harun adalah seorang pria yang berumur lima belas tahun. Kakinya berbentuk
huruf X dan agak keterbelakangan mental (66) sehingga ia tidak bisa menangkap
pelajaran membaca atau pun menulis. Harun adalah pria yang santun, pendiam,
dan murah senyum. Ia memiliki model rambut seperti Chairil Anwar dan selalu
berpakaian rapi (67). Hobinya adalah mengunyah permen asam jawa (68).
41
2.3.8 Flo
Flo adalah gadis yang tomboi. Ia berambut pendek. Selain itu, Flo juga
gadis yang cantik. Ia suka menolong dan sangat rendah hati. Flo adalah anak yang
penuh semangat dan rajin. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pelukisan fisik, tingkah laku, dan reaksi tokoh), yang dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
(69) Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengaruh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar mereflesikan serangai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang dibelikan ibunya….(hlm.47-48)
(70) Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia
memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah didekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar.(hlm.359)
(71) Aneh, di sekolah Muhammadiyah yang tak punya fasilitas apa
pun Flo sangat bersemangat. Ada sesuatu yang menggerakkannya. Ia tak pernah sehari pun bolos dan bersikap sangat santun kepada para pengajar. Konon bapaknya sampai mengucapkan terima kasih kepada kepala sekolah kami dan Bu Mus. Ia datang lebih pagi dari siapa pun, menyapu seluruh sekolah, menimba berember-ember air dan menyiram bunga tanpa diminta. Sekolah ini adalah jembatan jiwa baginya.(hlm.359)
Ayah Flo adalah seorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur dan
seorang Mollen Bas sebagai kepala semua kapal keruk yang bekerja di PN. Flo
42
berasal dari keluarga yang berada. Ini terbukti pada peralatan sekolahnya yang
lengkap serta tas yang dipakainya berbeda-beda setiap harinya. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan latar, dan reaksi tokoh
lain), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(72) Bapak Flo adalah orang hebat , seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delf di Holland dari Fakultas Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik.(hlm.46).
(73) Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—
duduk di sebuah kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya terbungkus sepatu mahal De Carlo cokelat yang sangat elegan, tergantung berayun-ayun lucu….(hlm.46).
(74) Pada hari-hari pertama kami terkagum-kagum dengan berbagai
perlengkapan sekolahnya yang menurut ia biasa saja. Ia memiliki enam macam tas yang dipakai berbeda-beda setiap hari….(hlm.357-358).
Dari kutipan (69) sampai (74) di atas, dapat disimpulkan bahwa Flo adalah
seorang gadis cantik dan tomboi. Rambutnya pendek dan senang memakai celana
jeans dan kaos oblong (69). Flo juga pribadi yang menyenangkan. Ia rendah hati,
suka menolong dan baik hati (70). Flo adalah anak yang penuh semangat dan
rajin. Ia tidak pernah bolos sekolah, dan sangat santun kepada para pengajar (71).
Ayah Flo adalah seorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur dan seorang
Mollen Bas sebagai kepala semua kapal keruk yang bekerja di PN (72-73). Flo
berasal dari keluarga yang berada. Ini terbukti pada peralatan sekolahnya yang
lengkap serta tas yang dipakainya berbeda-beda setiap harinya (74).
2.3.9 Bu Mus
43
Bu Mus adalah seorang wanita muda yang memakai jilbab.
Penampilannya sangat sederhana. Ia sangat ramah kepada siapa pun. Hal ini
digambarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik, reaksi tokoh, dan
reaksi tokoh lain), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(75) … Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus….(hlm.1-2).
(76) … Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim….(hlm.382).
(77) Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi,
berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami….(hlm.9).
(78) … Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum
bersahabat. “Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda (Flo) duduk di sana dengan Sahara”(hlm.355).
Bu Mus digambarkan sebagai guru yang pandai dan penuh dengan
karismatik. Ia mengajarkan semua mata pelajaran. Bu Mus juga seorang pekerja
keras. Bekerja keras dalam mencari nafkah dan bekerja keras melatih murid-
muridnya. Hal ini digambarkan menggunakan teknik ekspositori dan teknik
dramatik (reaksi tokoh), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(79) Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikkan….(hlm.30-31).
44
(80) N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K. A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikkan Islam. Tekad itu memberikan kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagipula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya. (hlm.29-30).
(81) … Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal
dan bekerja sangat keras melatih kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan….(hlm.364).
Bu Mus adalah seorang guru yang bijak dalam memberikan nasehat
kepada murid-muridnya. Ia juga selalu mengajarkan kedisiplinan dalam hal
ibadah atau pun penyerahan tugas sekolah. Hal ini digambarkan menggunakan
teknik dramatik (reaksi tokoh lain), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(82) Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya, Allah lindungilah anak buah kami…”(hlm.73-74).
(83) “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,”
demikian Bu Mus selalu menasehati kami. Bukankah itu kata-kata yang diilhami surat An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu oleh umat. Tapi jika yang mengucapkan Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa terlambat sahalat. (hlm.31).
45
(84) “Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk
mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus bijak pada Mahar yang cuek saja
“Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplan.” (hlm.190).
Dari kutipan (75) sampai (84) di atas, dapat disimpulkan bahwa Bu Mus
digambarkan sebagai wanita muda yang berjilbab dan berpenampilan sangat
sederhana (75-76). Ia juga digambarkan sebagai guru yang ramah kepada siapa
pun (77-78). Bu Mus digambarkan sebagai guru yang pandai, penuh dengan
karismatik dan memiliki pandangan jauh ke depan (79). Ia mengajarkan semua
mata pelajaran. Selain itu, Bu Mus juga seorang pekerja keras. Bekerja keras
dalam mencari nafkah dan bekerja keras melatih murid-muridnya (80-81). Bu
Mus adalah seorang guru yang bijak dalam memberikan nasehat kepada murid-
muridnya (82). Ia juga selalu mengajarkan kedisiplinan dalam hal ibadah atau pun
penyerahan tugas sekolah (83-84).
2.3.10 Pak Harfan
Pah Harfan adalah seorang kepala sekolah. Ia digambarkan sebagai bapak
tua berwajah sabar. Ia memiliki kumis yang tebal dan jenggot yang lebat.
Penampilan Pak Harfan sangat sederhana. Cara berpakaiannya pun biasa saja. Hal
ini digamabarkan menggunakan teknik dramatik (pelukisan fisik), yang dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini:
(85) … Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K.A.
Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus….(hlm.1-2).
46
(86) Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan.
Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya seperti Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli….(hlm.20-21).
(87) Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti
berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah dipakai sejak beliau berusia belasan.(hlm.21).
Pak Harfan adalah seorang laki-laki yang memiliki silsilah Kerajaan
Belitong. Selain menjadi kapala sekolah di perguruan Muhammadiyah, ia juga
menjadi petani palawija. Hal ini digambarkan menggunakan teknik dramatik
(pelukisan latar), yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
(88) K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syair Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.(hlm.21).
Dari kutipan (85) sampai (89) di atas, dapat disimpulkan bahwa Pak
Harfan digambarkan sebagai bapak tua berwajah sabar, yang berprofesi sebagai
kepala sekolah di perguruan Muhammadiyah (85). Ia memiliki kumis yang tebal
dan jenggot yang lebat berwarna kecokelatan dan beruban (86). Penampilan Pak
Harfan sangat sederhana. Cara berpakaiannya pun biasa saja (87). Pak Harfan
47
adalah seorang laki-laki yang memiliki silsilah Kerajaan Belitong. Selain menjadi
kapala sekolah di perguruan Muhammadiyah, ia juga menjadi petani palawija
(88).
2.3.11 A Ling
A Ling adalah gadis keturunan Tionghoa. Ia gadis yang cantik dan postur
tubuhnya ramping dan tinggi. Hal ini dapat digambarkan menggunakan metode
dramatik (pelukisan fisik dan reaksi tokoh lain).
(89) Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan... Tubuhnya
yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih tinggi dariku.(hlm.269).
(90) ”Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas!” katanya
serius. ”Puisi yang indah....” (hlm.271).
Dari kutipan (89) dan (90) di atas, dapat disimpulkan bahwa A Ling
adalah gadis keturunan Tionghoa. Ia gadis yang cantik dan memiliki postur tubuh
yang ramping dan tinggi (89). Ia juga menyukai karya sastra, khususnya puisi
yang dikirimkan padanya (90).
2.4 Rangkuman
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam novel
Laskar Pelangi terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah Ikal, Lintang, dan Mahar. Meraka
digambarkan sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi,
48
terutama Lintang. Tokoh tambahannya adalah Sahara, Syahdan, Kucai, Trapani,
Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A Ling.
Tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel ini digambarkan sebagai
tokoh yang jujur, mempunyai tekad kuat, memiliki tingkat kecerdasan yang
berbeda-beda, bertanggung jawab, bekerja keras, ikhlas, menepati janji,
beradaptasi, baik hati, sikap kebijaksanaan, keramahan, dan memiliki kesabaran.
Setiap tokoh yang dianalisis peneliti memang memiliki karakter yang
berlainan, tetapi ada beberapa tokoh yang memiliki karakter yang hampir sama,
yaitu semangatnya dalam mengenyam pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya citra pendidikan nilai di Belitung.
BAB III
CITRA PENDIDIKAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA
Pada bab ini akan dianalisis citra pendidikan dalam novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata. Gambaran-gamabaran pendidikan yang ada dalam novel ini,
akan dibahas lebih lanjut oleh penulis.
3.1 Pengantar
Menurut Kamus Besar Basaha Indonesia (2008:270), citra adalah rupa;
gambar; gambaran.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik (KBBI, 2008:326).
Pendidikan nilai adalah usaha untuk membantu peserta didik untuk
menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan
keseluruhan hidup mereka (Mardiatmadja, 1986:56).
Citra pendidikan nilai adalah gambaran usaha untuk membantu peserta
didik untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral
dan keseluruhan hidup mereka.
Pendidikan nilai harus berisi tentang: penghargaan pada nilai
kemanusiaan, penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan,
kemampuan hidup pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi,
51
kejujuran, tanggung jawab, keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam
(Lie, 2005:92).
Untuk menciptakan manusia yang berkualitas, sebuah pendidikan tidak
hanya cukup dengan kurikulum standar nasional saja yang diberikan, tetapi juga
harus dibekali oleh nilai-nilai pendidikan lainya, seperti nilai agama, nilai moral,
dan nilai budi pekerti. Karena kualitas seseorang berpendidikan tidak hanya
diukur dengan nilai ujian dan angka diraponya. Pendidikan yang baik mestinya
menyeimbangkan pelajaran ilmu pasti dengan tuntunan agama, perilaku moral,
dan budi pekerti. Pendidikan seperti itu, akan mencetak menusia-manusia yang
tidak hanya encer otaknya tapi juga memiliki mentalitas yang baik
dikepribadiannya.
Citra pendidikan nilai yang akan dibahas pada bab ini adalah kejujuran,
tekad kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras, keikhlasan,
menepati janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan, keramahan,
kesabaran, dan silaturahmi. Hal tersebut akan dipaparkan oleh penulis.
3.2 Citra Pendidikan Nilai
3.2.1 Kejujuran
Sekolah Muhammadiyah yang tak hanya menekankan pelajaran ilmu pasti
juga mengajarkan tentang kejujuran. Kejujuran ini tercermin dalam pelajaran Budi
Pekerti yang mereka dapatkan di tiap minggunya. Citra pendidikan nilai ini dapat
dilihat pada kutipan berikut ini:
52
(91) Ketika ibuku (ibu Ikal) bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri….(hlm.82).
(92) … Sifat lain Sahara yang paling menonjol adalah kejujurannya
yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar-kobar, tak satu pun dusta akan keluar dari mulutnya.(hlm.75).
(93) ”Jangan kau campuradukkan imajinasi dan dusta, kawan. Tak
tahukah engkau, kebohongan adalah pantangan kita, larangan tiu bertalu-talu disebutkan dalam buku Budi Pekerti Muhammadiyah.(hlm.186).
Pelajaran Budi Pekerti sangat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Melalui pelajaran Budi Pekarti, siswa diajarkan hal yang baik dan buruk.
Kebohongan atau ketidakjujuran adalah sikap hidup yang buruk, sedangkan
kejujuran adalah sikap hidup yang baik.
3.2.2 Tekad Kuat
Pendidikan menjadikan seseorang memiliki pribadi yang kuat dan daya
juang yang tinggi. Daya juang yang dimiliki ini dapat ’mengalahkan’ alam dan
diri sendiri, sehingga memberikan semangat yang besar dalam diri kita. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
(94) Lintang memang tak memiliki pengalaman emosional dengan Bondega seperti yang aku alami, tapi bukan sekali itu ia dihadang buaya dalam perjalanan ke sekolah. Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Aku sering merasa ngeri membayangkan perjalanannya. (hlm.93).
53
Lintang adalah pribadi yang mempunyai daya juang yang tinggi.
Keinginan untuk mendapatkan pendidikan membuatnya kadang-kadang harus
mempertaruhkan nyawa. Perjalanan ke sekolah yang jauh di tempuhnya dengan
suka cita dan tanpa mengeluh sedikit pun. Semangatnya bersekolah sangat besar
dan ia tak pernah rela bila harus membolos sekali pun. Lintang adalah sosok yang
pantang menyerah demi mendapatkan haknya untuk bersekolah.
(95) Kesulitan itu belum termasuk jalan yang tergenang air, ban sepeda yang bocor, dan musim hujan berkepanjangan dengan petir yang menyambar-nyambar. Suatu hari rantai sepedanya putus dan tak bisa disambung lagi karena sudah terlalu pendek sebab terlalu sering putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer, dan sampai di sekolah kami sudah bersiap-siap akan pulang. Saat itu adalah pelajaran seni suara dan dia begitu bahagia karena masih sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di depan kelas....Setelah itu ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.(hlm.94).
Semangat tinggi yang dimiliki Lintang tidak pernah membuatnya putus
asa. Walaupun sering mendapatkan kendala ketika ia berangkat ke sekolah tapi
tak menyurutkan semangatnya untuk mendapatkan ilmu. Bahkan ia sangat
bahagia ketika hanya sempat menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam
pelajaran sekolah.
(96) N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang
54
tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan?....(hlm.29-30).
Tekad kuat juga ditunjukan oleh Bu Mus yang melanjutkan cita-cita
ayahnya untuk mengobarkan pendidikan Islam di Belitung. Meskipun mengalami
banyak kesulitan, Bu Mus tidak pantang menyerah. Dengan berbekal ijazah SKP
(Sekolah Kepandaian Putri), ia menjadi guru di sekolah Muhammadiyah.
Semangatnya terus berkobar demi melanjutkan cita-cita ayahnya.
(97) ”Aku (Ikal) harus mendapatkan beasiswa itu!” demikian kataku
dalam hati setiap berada di depan kaca. Aku bener-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu karena bagiku ia adalah tiket meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu, aku merasa berhutang pada Lintang, A Ling, Pak Harfan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot. Kemudian tes demi tes yang mendebarkan berlangsung selama berbulan-bulan, dimulai dengan sebuah tes penyaringan pertama di sebuah stadion sepak bola yang dipenuhi peserta. Hampir tujuh bulan kemudian aku berada pada tahap yang disebut penentuan terakhir di sebuah lembaga yang hebat di Jakarta. Wawancara akhir ini dilakukan oleh seorang mantan menteri yang berwajah tampan tapi senang bukan main pada rokok (hlm.460).
Ikal menjalani tes demi tes untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Prancis.
Tes-tes itu dijalaninya dengan tekad yang kuat. Semua dilakukannya untuk
mewujudkan cita-citanya.
3.2.3 Penemuan Identitas (Kecerdasan)
Penemuan identitas di sini ditekankan pada tingkat kecerdasan anak.
Pendidikan membantu seseorang mengembangkan dirinya. Dalam pengembangan
55
diri, membantu seseorang menemukan keahliannya dalam bidang masing-masing.
Dengan demikian membantu menemukan dirinya.
(98) ”13 kali 6 kali 7 tambah 83 kurang 39!” tantang Bu Mus di depan kelas.
... Sementara Lintang, tidak memegang sebatang lidi pun, tidak berpikir dengan cara orang kebanyakan, hanya memejamkan mata sebentar, tak lebih dari 5 detik ia bersorak. ”590” `Tak sebiji pun meleset, meruntuhkan semangat kami yang sedang belepotan memegangi potongan lidi, bahkan belum selesai perkalian tahap pertama....(hlm.107).
(99) ”18 kali 14 tambah 11 tambah 14 kali 16 kali 7!”
Kami bekecil hati, termangu-mangu, menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apa pun, tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang berkumandang. ”651.952!” ”Purnama! Lintang, bulan purnama di atas dermaga Olivir, indah sekali! Itulah jawabanmu, kemana kau bersembunyi selama ini...?” Ibu Mus bersusah payah menahan tawanya. Ia menatap Lintang seolah telah seumur hidup mencari murid seperti ini. Ia tak mungkin tertawa lepas, agama malarang itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami terpesona dan bertanya-tanya bagaimana cara Lintang melakukan semua itu...(hlm.107).
Di sekolah Muhammadiyah, Lintang di kenal sebagai anak yang genius. Ia
mampu menjawab seluruh pertanyaan matematis dengan cepat dan tanpa
menggunakan alat bantu apa pun. Lintang adalah pribadi yang pintar dan genius.
(100) ... Mahar memiliki hampir setiap aspek kecerdasan seni yang tersimpan dalam persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara teater, penulis yang berbakat, pelukis natural, kareografer, penyanyi, pendongeng yang ulung, dan pemain sitar yang fenomenal.(hlm.139-140).
56
(101) Fosil di atas batu apung tipis itu dibuat begitu orisinal sehingga mengesankan seperti temuan paleontologi yang autentik. Ia (Mahar) menggunakan semacam lapisan karbon untuk memperkuat kesan purba pada setiap detail fosil itu. Lalu karyanya dibingkai dengan potongan-potongan balok lapuk yang sudut-sudutnya diikat tali pohon jawi agar kesan purbanya benar-benar terasa.
....
Dan ia mendapat angka sembilan, tak ada lawannya. Angka itu adalah nilai kesenian tertinggi yang pernah dianugrahkan oleh Bu Mus sepanjang karier mengajarnya. Bahkan Lintang sekalipun tak berkutik (hlm.145)
Mahar adalah salah satu anak yang cerdas. Kecerdasannya ini terletak
pada kecerdasan seni. Ia menghasilkan seni-seni yang bermutu. Mahar adalah
seniman yang serba bisa dan mempunyai kreativitas yang tinggi.
3.2.4 Bertanggung jawab
Pendidikan membantu peserta didiknya menjadi pribadi yang bertanggung
jawab. Tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri misalnya disiplin dalam mengerjakan
sesuatu, sedangkan tanggung jawab terhadap orang tua misalnya mendahulukan
kewajiban (sebagai anak) daripada hak, dan tanggung jawab terhadap lingkungan
adalah bersikap baik terhadap lingkungan.
(102) Karena kecewa sebab karyanya di anggap tak jujur, Mahar setengah hati menyerahkan karyanya kepada Bu Mus sehingga terlambat....
”Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus dengan bijak pada Mahar yang cuek saja.
”Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplin.”(hlm.189-190)
57
Tanggung jawab sangat diperlukan dalam mengerjakan segala sesuatu.
Dengan bertanggung jawab, kedisiplinan akan tercipta dengan sendirinya. Mahar
mendapatkan nilai yang kurang baik karena ia tidak disiplin ketika
mengumpulkan tugas yang diberikan oleh Bu Mus. Meskipun kecewa, tetapi
Mahar hanya diam saja ketika Bu Mus menasehatinya.
(103) Nilai-nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena semakin tergila-gila dengan hal mistik....
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling sangat absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka kuasai, yaiu melalui jalan pinas dunia gaib perdukunan (Tuk Bayan Tula). Sebuah cara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya.(hlm.403-404)
Sebagai seorang pelajar, kewajibannya adalah belajar. Dengan belajar
secara tekun, pelajaran sesulit apapun dapat diselesaikan dengan mudah. Sebagai
pelajar juga harus memiliki rasa tanggung jawab, dengan tidak mencontek,
mencari ’bocoran’, dll. Kebiasaan seperti itu akan membawa dampak buruk bagi
kehidupan di masa mendatang.
Lintang harus berhenti sekolah karena ayahnya meninggal. Ia harus
menanggung nafkah keluarganya. Sekarang, ia adalah harapan satu-satunya untuk
menjadi tulang punggung keluarga. Hal itu dilakukan karena ia adalah anak laki-
laki pertama di keluarganya yang dapat diandalkan.
58
(104) Seorang anak laki-laki tertua keluara pesisir miskin yang ditinggal mati ayahnya, harus menganggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara itu telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka, mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi (hlm.430).
3.2.3.5 Bekerja Keras
Pendidikan membawa seseorang berani bekerja keras dan memiliki sikap
hidup yang baik. Dengan bekerja keras, seseorang dapat mencapai apa yang yang
diinginkan atau yang dicita-citakan. Bekerja keras dalam mengerjakan suatu hal,
membawa dampak yang baik bagi kehidupan.
Bu Mus adalah guru yang pekerja keras. Selain mengajar, ia juga bekerja
menerima jahitan. Upahnya sebagai guru di sekolah Muhammadiyah tidaklah
cukup untuk menghidupi keluarganya. Setiap hari setelah mengajar, ia menjahit.
Sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar mengajarnya.
(105)...Maka selama enam tahun di SD Muhammadiyah, beliau (Bu Mus) sendiri yang mengajarkan semua mata pelajaran—mulai dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.(hlm.29-30).
Pak Harfan adalah seorang kepala sekolah Muhammadiyah. Ia memiliki
silsilah Kerajaan Belitung. Meskipun ia adalah seorang kepala sekolah, tidak
59
membuatnya hidup serba kecukupan, karena gajinya tidak cukup untuk
menghidupi keluarganya. Ia harus bekerja sebagai petani palawija.
(106) K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syair Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.(hlm.21).
Lintang juga seorang yang pekerja keras. Setelah ia pulang sekolah, ia
langsung bergabung bersama temen-temennya menjadi kuli kopra. Pekerjaan ini
ia lakukan demi membantu orangtuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
(107)... Jika tiba di rumah ia (Lintang) tak langsung istirahat melainkan segera bergabung dengan anak-anak seusia di kampungnya untuk bekerja sebagai kuli kopra....(hlm.94-95).
Mahar adalah seorang anak yang pekerja keras. Ia bekerja sampingan
sejak dari kelas dua SD. Ia bekerja sebagai pesuruh tukang parut. Ia memiliki
jemari dan kuku yang cacat karena tersayat parut.
(108) ... Tampak jelas jari-jari kurusnya yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya bertaburan bekas-bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat. Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam memeras ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangakan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang....(hlm.134-135)
60
Mendapatkan sesuatu tanpa usaha adalah hal yang mustahil. Semula
Mahar tidak menyadarinya, dan ketika ia sadar, ia mulai berusaha
mendapatkannya. Ia bekerja keras untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
Dimulai dari menulis artikel, kemudian menjadi penulis buku, dan akhirnya
menjadi narasumber budaya, semua itu ia dapatkan dengan bekerja keras.
(109) Mahar pernah menganggur dan setiap hari, tanpa usaha, mengunggu takdir menyapanya...Ternyata cara berpikir itu tidak berhasil.
Maka ia mulai berusaha menulis artikel-artikel kebudayaan Melayu. Artikelnya menarik bagi para petinggi lalu dipercaya membuat dokumentasi permainan anak tradisional. Dokumen itu berkembanga ke bidang-bidang lain seperti kesenian dan bahasa yang membuka kesempatan riset kebudayaan yang luas dan memungkinkannya menulis beberapa buku.
Jika dulu ia tidak menulis artikel maka ia tak’kan pernah menulis buku. Melalui buku-buku itu ia tertakdirkan menjadi narasumber budaya....(hlm.476-477).
Ikal berhasil memperoleh beasiswa dari pemerintah Perancis karena usaha
kerasnya. Demi mendapatkan beasiswa itu, ia belajar keras. Memang motivasinya
tidaklah murni, karena ia ingin membalaskan dendam Lintang. Sahabatnya
sebangku selama 9 tahun, yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Ikal
bekerja keras demi mendapatkan beasiswa itu, meskipun mengalami banyak
kesulitan, namun ia berhasil.
(110) Aku benar-benar bertekad mendapatkan beasiswa itu, karena bagiku ia adalah tiket untuk meninggalkan hidupku yang terpuruk. Lebih dari itu, aku merasa berhutang pada Lintang, A Ling, Pak Hrafan, Bu Mus, Laskar Pelangi, Sekolah Muhammadiyah, dan Herriot.
....
61
Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa...Aku lega terutama karena aku telah membayar utangku pada Sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, bahkan Herriot dan Edensor....(hal.460-462).
.
Syahdan yang sering disia-siakan oleh teman-temannya di Laskar Pelangi,
mempunyai cita-cita sebagai aktor. Setelah lulus SMA, ia pun pergi ke Jakarta,
dan mewujudkan mimpinya itu. Walaupun ia tidak mempunyai keahlian apa pun,
ia tetap berjuang dan bekerja keras. Mimpinya itu pun menjadi nyata, ketika ia
berhasil menjadi aktor.
(111) Lain pula ceritanya dengan Syahdan. Syahdan yang kecil, santun, dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima prerintah. Jika kami membentuk tim, ia pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat, dan jika makan paling belakang. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekalipun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun ia selalu kalah. Lebih dari itu, ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus. Cita-citanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis, maka kami tak pernah berhenti menyadarkannya dari mimpi itu, bahkan bertubi-tubi mencemoohnya. Namun tak disangka di balik kelembutannya ternyata Syahdan adalah seorang pejuang. Semangat juangnya sekeras batu satam. Setelah lulus SMA ia berangkat ke Jakarta. Dengan map di ketiaknya ia melamar untuk menjadi aktor dari satu rumah produksi ke rumah produksi lainnya, hanya bermodalkan satu hal: keinginan! Itu saja. Aneh, setelah lebih dari setahun akhirnya ia benar-benar menjadi aktor! (hlm.477-478)
3.2.6 Keikhlasan
62
Nilai keikhlasan banyak memberikan dukungan dan pembentukan aspek
emosional berupa motivasi dalam kehidupan, rasa saling peduli terhadap sesama,
dan berbuat sesuatu tanpa pamrih dan tidak meminta balasan apapun. Rasa ikhlas
yang dimiliki dapat membawa seseorang lebih tegar menghadapi segala
permasalahan hidup.
(112) ...A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku (Ikal) siap menyesuikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indah asmara pertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual pembelian kapur tulis.(hlm.335).
(113) Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah (Lintang) ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini.(hlm.431).
3.2.7 Menepati Janji
Sikap hidup lain yang mencerminkan citra pendidikan adalah menepati
janji. A Ling menepati janjinya bertemu dengan Ikal yang mengunggunya di
halaman kelenteng. Walaupun terlambat, A Ling berusaha menepati janjinya itu
dan menemui Ikal yang telah lama menunggunya.
(114) Sudah 25 menit aku (Ikal) mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling....
....
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar persis di belakangku suara itu... Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara
63
terindah yang pernah ku dengar seumur hidupku, laksana denting harfa dari surga.
....
... Ia datang dari arah yang sama sekali tak ku duga karena sebenarnya dari tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memperhatikanku....(hlm.266-269).
3.2.8 Dapat Dipercaya
Citra pendidikan nilai juga ditunjukan pada sikap hidup yang dapat
dipercaya. dapat dipercaya merupakan sikap hidup yang baik. Di percaya dalam
suatu hal menjadi kebanggan tersendiri. Sepeti halnya Ikal, yang mendapat
kepercayaan dari teman-temanya untuk menjadi sekertaris dalam organisasi yang
bersahabat dengan hantu. Kepercayaan yang diberikan tidak boleh
disalahgunakan, dan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
(115) Ketika aku ditawari posisi itu, aku segera menyambarnya. Meskipun tak ada honornya sepeser pun tapi aku merasa terhormat manjadi sekertaris dari sebuah gerombolan orang-orang yang bersahabat dengan hantu. Aku bangga karena jabatan itu menunjukkan bahwa aku punya cukup integritas untuk memegang uang, artinya paling tidak aku bisa dipercaya walaupun hanya dipercaya oleh orang-orang yang sudah tidak lurus pikirannya.(hlm.362)
3.2.3.9 Beradatasi
Citra pendidikan nilai yang lain tercermin pada kemampuan beradaptasi
seseorang. Meskipun Flo berasal dari keluarga yang mampu, namun di sekolah
Muhammadiyah ia mampu menyesuaikan diri dengan cepat. Tak ada
64
kecanggungan saat berkumpul bersama teman-temannya. Ia tak pernah membeda-
bedakan teman.
(116) Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah berada didekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa dibalik sifat keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar.(hlm.359).
3.2.3.10 Baik Hati
Lintang, seorang anak yang cerdas di kelasnya. Ia mengajari teman-
temannya yang mengalami kesulitan. Kecerdasan yang dimilikinya tidak
membuatnya sombong. Ia senang dapat berbagi ilmu dengan teman-temanya.
(117) Jika kami kesulitan, ia (Lintang) mengajari kami dengan sabar dan selalu membesarkan hati kami. Keunggulanya tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya, kecemerlangannya tidak menerbitkan iri dengki, dan kehebatannya tidak sedikit pun mengisyaratkan sifat-sifat angkuh. Kami bangga dan jatuh hati padanya sebagai seorang sahabat dan sebagai seorang murid yang cerdas luar biasa. Lintang yang miskin duafa adalah mutiara, galena, kuarsa, dan topas yang paling berharga bagi kelas kami.(hlm.109).
Meskipun Mahar adalah anak yang sulit ditebak, ia adalah anak yang baik
hati. Ia merancang kostum dan asesoris yang digunakan pada karnaval 17
Agustusan. Rancangannya sangat berbeda dan lain dari yang lain. Sebuah
terobosan baru yang dilakukan oleh sekolah Muhammadiyah lewat tangan-tangan
kreatif yang dimiliki Mahar.
(118) Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam kalkun, dari atas
65
seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti hantu.
Aksesoris yang tampak biasa adalah untaian kalung. Juga sesuai dengan rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau....(hlm.232-233).
A Kiong juga memiliki sifat yang baik hati. Ia membantu Ikal. Ketika
sahabatnya itu meminta tolong padanya, tidak sedikit pun keraguan untuk
menolongnya. Meskipun A Kiong tidak terlalu pintar, tetapi ia memiliki sifat yang
baik.
(119) Rupanya A Kiong menagkap keputusasan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa yang tak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak’kan pernah membiarkan sahabatnya patah harapan….(hlm.256).
Bu Mus adalah seorang guru yang baik hati. Ia selalu mengingatkan
anak-anak muridnya untuk menjalankan shalat tepat pada waktunya. Kata-kata
yang diucapkan Bu Mus begitu berbeda, anak-anak muridnya akan menyesal jika
terlambat menjalankan shalat.
(120) “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,”
demikian Bu Mus selalu menasehati kami. Bukankah itu kata-kata yang diilhami surat An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu oleh umat. Tapi jika yang mengucapkan Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa terlambat sahalat. (hlm.31).
66
Meskipun Flo memiliki pribadi yang keras kepala, tetapi ia baik hati. Ia
senang menolong teman. Teman-temannya sangat menyukainya, sehingga mereka
betah berada di dekat Flo.
(121) Ia (Flo) cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah berada di dekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar (hlm.359).
3.2.11 Kebijaksanaan
Bu Mus adalah seorang guru yang bijaksana dalam memberikan nasehat
kepada murid-muridnya. Ia selalu mengingatkan anak-anak muridnya supaya
menjalankan ibadah tepat pada waktunya.
(122) Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya, Allah lindungilah anak buah kami…”(hlm.73-74).
(123) “Kali ini Ibunda tidak memberimu nilai terbaik untuk
mendidikmu sendiri,” kata Bu Mus bijak pada Mahar yang cuek saja “Bukan karena karyamu tidak bermutu, tapi dalam bekerja apa pun kita harus memiliki disiplan.” (hlm.190).
(124)“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,”
demikian Bu Mus selalu menasehati kami. Bukankah itu kata-kata yang diilhami surat An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu oleh umat. Tapi jika yang mengucapkan Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa terlambat sahalat. (hlm.31).
67
Sahara juga memiliki sifat yang bijak. Ia memberikan nasehat kepada
temannya supaya tidak menyerah dalam menggapai cita-cita. Menurut Sahara,
setiap cita-cita adalah doa.
(125) ”Cita-cita adalah doa, Dan,” begitulah nasehat bijak Sahara. ”Kalau Tuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya perfilman Indonesia?” (hlm.343).
3.2.12 Keramahan
Bu Mus adalah seorang guru muda yang ramah. Ketika pendaftaran murid
baru, ia beramah tamah dengan para orang tua murid. Selain itu, ia juga murah
senyum.
(126) Bu Mus mendekati setiap orangtua murid di bangku panjang tadi, berdialog sebentar dengan ramah, dan mengabsen kami….(hlm.9).
(127) … Maka Bu Mus mengambil inisiatif sambil tersenyum bersahabat.
“Baiklah, selamat datang di kelas kami, setelah ini pelajaran kemuhammadiyahan, silakan Ananda (Flo) duduk di sana dengan Sahara”(hlm.355).
Keramahan juga ditunjukan oleh Lintang. Ketika Ikal menghampirinya di
dalam kelas, Lintang menunjukkan sikap yang bersahabat. Ia menyalami Ikal
dengan pnuh semangat.
(128) Ketika aku menyusul Lintang ke dalam kelas ia menyalamiku dengan kuat seperti pegangan tangan calon mertua yang menerima pinangan….(hlm.12).
3.2.13 Kesabaran
68
Kesabaran digambarkan oleh Bu Mus dan Mahar. Ketika salah satu
muridnya, Harun, yang mempunyai keterbelakangan mental, bertanya kepada Bu
Mus dengan pertanyaan yang sama sepanjang tahun, Bu Mus selalu menjawabnya
dengan sabar. Begitu juga yang dilakukan Mahar, ketika menghadapi Harun saat
bermain musik.
(129) ... Jika Bu Mus menjelaskan pelajaran, ia (Harun) duduk tenang dan terus-menerus tersenyum. Pada setiap pelajaran apa pun, ia akan mengacung sekali dan menanyakan pertanyaan yang sama, setiap hari, sepanjang tahun, ”Ibunda Guru, kapan kita akan libur lebaran?”
”Sebentar lagi Anakku, sebentar lagi...,” jawab Bu Mus sabar, berulang-ulang, puluhan kali, sepanjang tahun, lalu Harun pun bertepuk tangan (hlm.77).
(130) Insiden sempat terjadi pada awal pembentukan band ini karena Harun bersikeras menjadi drumer padahal ia sama sekali buta nada dan tak paham konsep tempo.
”Dengarkan musiknya, Bang, ikuti iramanya,” kata Mahar sabar (hlm.147).
3.2.14 Silaturahmi
Citra pendidikan nilai yang lain adalah hubungan silaturahmi yang tetap
terjaga. Anggota Laskar Pelangi tetap menjalin silaturahmi meskipun sudah
sekian tahun berpisah. Rasa kekeluargaan masih sama seperti waktu mereka
mengenyam pendidikan bersama di sekolah Muhammadiyah.
(131) Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Zaman, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang....(hlm.491)
3.3 Rangkuman
69
Hasil penelitian pada bab ini mendeskripsikan tentang citra pendidikan
nilai. Citra pendidikan nilai adalah gambaran usaha untuk membantu peserta didik
untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral dan
keseluruhan hidup mereka.
Pendidikan nilai berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan,
penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan
hidup pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran,
tanggung jawab, keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam.
Citra pendidikan nilai yang ada dalam novel Laskar Pelangi adalah
kejujuran, tekad kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras,
keikhlasan, menepati janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan,
keramahan, kesabaran, dan silaturahmi.
BAB IV
PENUTUP
Bab yang terakhir ini akan dibagi menjadi dua bagian, yakni (1)
kesimpulan dan (2) saran. Kesimpulan yang di maksud merupakan gabungan
pemikiran dari Bab I sampai Bab III. Sedangkan bagian saran berisi masukan-
masukan bagi pembaca yang hendak mengadakan penelitian dengan pustaka yang
sama dengan pustaka yang digunakan oleh penulis, yakni novel Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata.
4.1 Kesimpulan
Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata merupakan sebuah karya sastra
yang di dalamnya sarat akan kehidupan sosial, yakni kehidupan sosial yang
dialami oleh penulisnya sendiri. Andrea Hirata menuturkan dengan jujur dan
lugas mengenai apa yang yang pernah ia lihat dan ia rasakan melalui tokoh-tokoh
yang ada dalam Laskar Pelangi. Permaslahan yang di angkat juga tidak jauh dari
permasalahan yang akrab di seputar kehidupan penulisnya. Melihat konsis
tersebut, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra.
Tokoh di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi, ada tiga yaitu, Ikal,
Lintang dan Mahar. Sedangkan tokoh tambahannya adalah Sahara, Syahdan,
Kucai, Trapani, Borek/Samson, A Kiong, Harun, Flo, Bu Mus, Pak Harfan, dan A
Ling.
71
Tokoh Ikal mempunyai tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu pendek dan berambut ikal. Ia berasal dari keluarga berekonomi rendah.
Ayahnya adalah seorang buruh tambang yang bergaji kecil, sedangkan saudara-
saudara Ikal bekerja menjadi kuli. Ikal sangat menghormati dan menyayangi
ibunya. Pelajaran kemuhammadiyahan tidak memperbolehkannya bohong, apalagi
kepada ibu. Ikal juga mempunyai bakat seni, khususnya pada puisi. Ia
menyerahkan karya puisinya sebagai tugas kesenian kepada Bu Mus. Ia termasuk
anak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat kedua di kelasnya. Cita-citanya
adalah ingin menjadi pemain bulu tangkis dan penulis yang berbobot, namun ia
malah menjadi pegawai di salah satu kantor pos di Jakarta sebagai tukan sortir.
Tokoh Lintang digambarkan sebagai tokoh yang berwajah manis dan
berambut keriting. Penampilannya sangat sederhana. Tubuhnya tak terawat, kotor,
dan berbau hangus. Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di
pesisir pantai, yaitu sebuah wilayah paling timur di Sumatra. Ia adalah anak laki-
laki satu-satunya. Lintang mempunyai lima adik perempuan dan ia tinggal
bersama empat belas anggota keluarga lainnya. Ayah Lintang adalah seorang
nelayan yang bekerja sebagai petani penggarap karena ia tidak memiliki perahu.
Sedangkan ibunya adalah seorang keturunan bangsawan kerajaan lama Belitong.
Lintang adalah sosok yang ramah dan suka menolong teman yang mengalami
kesulitan dalam memahami pelajaran. Ia tidak segan untuk berbagi ilmu kepada
temannya. Lintang adalah seorang anak yang pemberani, pantang menyerah, dan
rajin. Tak pernah sehari pun ia membolos sekolah, walaupun hanya untuk
menyanyikan lagu Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Lintang adalah anak yang
72
pintar dan genius. Ia selalu mendapatkan nilai-nilai yang jauh di atas rata-rata.
Kegeniusan ini mengantar Lintang pada lomba kecerdasan antarsekolah. Lintang
mampu mengaharumkan nama sekolah Muhammadiyah yang menjuarai
perlombaan itu. Lintang mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan.
Harapan itu harus ia pendam karena ia tak bisa melanjutkan sekolah dan harus
menganggung nafkah keluarganya setelah ditinggal mati ayahnya. Lintang
memenuhi harapan ayahnya untuk tidak menjadi nelayan. Ia bekerja sebagai sopir
truk.
Tokoh Mahar diceritakan sebagai anak yang pekerja keras. Ia bekerja
sebagai tukang parut kelapa. Ia memiliki tangan yang berminyak dan kuku-kuku
yang cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut. Ia juga berpenampilan etnik
dengan aksesori-aksesorinya. Mahar adalah seniman yang imajinatif. Ia
menciptakan sebuah karya dengan imajinasinya. Ia penuh dengan ide-ide gila
yang kreatif. Ia menciptakan gerakan tarian yang dipakai untuk lomba karnaval 17
Agustus-an. Dengan tarian itu, sekolah Muhammadiyah berhasil mendapat trofi
Penampil Seni Terbaik. Mahar juga gemar pada hal-hal yang berbau supranatural.
Kegemaran itu membawa dampak buruk untuknya. Nilai-nilai ujiannya merosot
tajam, dan ia terancam tidak dapat mengikuti Ebtanas. Keyakinannya terhadap
dunia gelap membuatnya berpikir untuk meminta bantuan seorang dukun agar
mendapat nilai yang bagus.
Tokoh Sahara digambarkan sebagai wanita yang cantik. Ia memakai jilbab
dan mempunyai tubuh yang ramping. Ayahnya bekerja di PN sebagai seorang
Taikong. Sahara adalah gadis yang tempramen. Jika marah alisnya akan bertemu
73
dan tak segan mencakar. Ia juga pintar dan peringkatnya bersaing dengan Trapani.
Sahara menjunjung tinggi kejujuran. Ia pantang berbohong. Cita-citanya ingin
menjadi seorang pejuang hak-hak asasi wanita
Tokoh Syahdan digambarkan sebagai seorang anak yang bertubuh kecil. Ia
berasal dari keluaga nelayan yang miskin. Ayahnya adalah seorang nelayan yang
bekerja di bagan dan gudang kopra. Cita-cita Syahdan adalah ingin menjadi aktor
ternama, tapi kemudian ia bekerja di sebuah perusahaan terkemuka sebagai
Manager.
Sedangkan tokoh Kucai digambarkan sebagai seorang anak yang
menderita rabun jauh karena kekurangan gizi pada waktu kecil. Ia memiliki jiwa
oportunis yang bermulut besar. Ayahnya adalah seorang pensiunan tukang bagi
beras di PN Timah dan ketua Badan Amil masjid. Selain itu, Kucai adalah
seorang yang bermulut besar, berotak tumpul, populis, dan tak tahu malu. Ia ingin
menjadi anggota dewan. Ia pun menjadi anggota dewan yaitu sebagai ketua salah
satu fraksi di Belitong.
Tokoh Trapani digambarkan sebagai anak yang tampan. Warna
pakaiannya selalu serasi dan berbau harum. Tubuhnya tinggi dan berkulit putih.
Rambutnya hitam lebat. Ia juga memiliki kumis tipis. Ayahnya adalah seorang
operator di PN. Trapani adalah anak yang pendiam, tapi pintar. Ia selalu mendapat
rengking ketiga di kelasnya. Cita-citanya ingin menjadi guru di pedalaman
Belitong.
Borek/ Samson digambarkan sebagai tokoh yang terobsesi memiliki otot
yang besar. Karena latihan keras, ia pun berhasil membesarkan ototnya. Ia bercita-
74
cita ingin menjadi tukang sobek karcis dan sekuriti Bioskop, supaya ia dapat
menonton film dengan gratis.
Tokoh A Kiong diceritakan sebagai tokoh yang memiliki fisik yang sedikit
aneh. Wajahnya berbentuk kotak dan lebar. Ia memiliki mata yang sipit dan
hampir tak mempunyai alis. A Kiong termasuk anak yang cepat menangkap
pelajaran dan ia bercita-cita ingin menjadi seorang kapten kapal. Ayah A Kiong
bekerja sebagai petani sawi. A Kiong berasal dari keluarga Kong Hu Cu sejati.
Kemudian A Kiong memeluk agama Islam yang disaksikan oleh Pak Harfan dan
Bu Mus. Ia juga mengganti namanya menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur
Zaman. A Kiong adalah tokoh yang naif dan mudah terhasut oleh orang lain.
Selain itu, A Kiong juga baik hati, ramah dan setia kawan terhadap sahabatnya.
Tokoh Harun adalah seorang pria yang berumur lima belas tahun. Kakinya
berbentuk huruf X dan agak keterbelakangan mental, sehingga ia tidak bisa
menangkap pelajaran membaca atau pun menulis. Harun adalah pria yang santun,
pendiam, dan murah senyum. Ia memiliki model rambut seperti Chairil Anwar
dan selalu berpakaian rapi. Hobinya adalah mengunyah permen asam jawa.
Tokoh Flo digambarkan sebagai seorang gadis cantik dan tomboi.
Rambutnya pendek dan senang memakai celana jeans dan kaos oblong. Flo juga
pribadi yang menyenangkan. Ia rendah hati, suka menolong dan baik hati. Flo
adalah anak yang penuh semangat dan rajin. Ia tidak pernah bolos sekolah, dan
sangat santun kepada para pengajar. Ayah Flo adalah seorang yang amat
terpelajar. Ia adalah insinyur dan seorang Mollen Bas sebagai kepala semua kapal
keruk yang bekerja di PN. Flo berasal dari keluarga yang berada. Ini terbukti pada
75
peralatan sekolahnya yang lengkap serta tas yang dipakainya berbeda-beda setiap
harinya.
Tokoh Bu Mus digambarkan sebagai wanita muda yang berjilbab dan
berpenampilan sangat sederhana. Ia juga digambarkan sebagai guru yang ramah
kepada siapa pun. Bu Mus digambarkan sebagai guru yang pandai, penuh dengan
karismatik dan memiliki pandangan jauh ke depan. Ia mengajarkan semua mata
pelajaran. Selain itu, Bu Mus juga seorang pekerja keras. Bekerja keras dalam
mencari nafkah dan bekerja keras melatih murid-muridnya. Bu Mus adalah
seorang guru yang bijak dalam memberikan nasehat kepada murid-muridnya. Ia
juga selalu mengajarkan kedisiplinan dalam hal ibadah atau pun penyerahan tugas
sekolah.
Tokoh Pak Harfan digambarkan sebagai bapak tua berwajah sabar, yang
berprofesi sebagai kepala sekolah di perguruan Muhammadiyah. Ia memiliki
kumis yang tebal dan jenggot yang lebat berwarna kecokelatan dan beruban.
Penampilan Pak Harfan sangat sederhana. Cara berpakaiannya pun biasa saja. Pak
Harfan adalah seorang laki-laki yang memiliki silsilah Kerajaan Belitong. Selain
menjadi kapala sekolah di perguruan Muhammadiyah, ia juga menjadi petani
palawija.
Tokoh A Ling diceritakan sebagai gadis keturunan Tionghoa. Ia gadis
yang cantik dan memiliki postur tubuh yang ramping dan tinggi. Ia juga menyukai
karya sastra, khususnya puisi yang dikirimkan padanya.
76
Citra pendidikan nilai adalah gambaran usaha untuk membantu peserta
didik untuk menyadari dan mengalami nilai-nilai, menyumbangkan secara integral
dan keseluruhan hidup mereka.
Pendidikan nilai berisi tentang: penghargaan pada nilai kemanusiaan,
penghargaan atas hak asasi manusia, penghargaan pada perbedaan, kemampuan
hidup pada perbedaan, persaudaraan, sopan santun, demokrasi, kejujuran,
tanggung jawab, keadilan, daya juang, kerohanian, dan kelestarian alam.
Citra pendidikan nilai yang ada dalam novel Laskar Pelangi adalah
kejujuran, tekad kuat, penemuan identitas, bertanggung jawab, bekerja keras,
keikhlasan, menepati janji, dapat dipercaya, beradaptasi, baik hati, kebijaksanaan,
keramahan, kesabaran, dan silaturahmi.
4.2 Saran
Penelitian ini membahas masalah citra pendidikan dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Penelitian lain yang dapat dilakukan pada novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah dari segi bahasa dengan menggunakan
penelitian gaya bahasa. Selain itu, juga dapat dilakukan penelitian dengan
menggunakan psikologi sastra yang membahas liku-liku konflik batin tokoh.
77
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
----------------------------. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Hadiwardoyo, Purwa, M.S.F. 2005. Artikel ”Pendidikan Moral di Perguruan
Tinggi” dalam buku Pelangi Pendidikan Tinjauan dari Berbagai Perspektif. Editor Slamet Soewandi, dkk. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Handayani. 2008. ” Problematika Sistem Pendidikan di Indonesia dan Gagasan
Berbasis Syari’ah”, http://formmit.org/social/224-problematika-sistem-pendidikan-indonesia-a-gagasan-based-syaria-education.html, didownload tanggal 04 November 2008
Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Yogyakarta: Nusa Indah dan Kanisius Lie, Anita, dkk. 2005. Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan
Kemasyarakatan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Mardiatmadja, B.S, Dr. Tantangan Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Bandung. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar
Penelitaian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana Univercity Press
78
Suparno, Paul, S.J. 2005. Artikel ”Filosofi Pendidikan Budi Pekerti” dalam buku Pelangi Pendidikan Tinjauan dari Berbagai Perspektif. Editor Slamet Soewandi, dkk. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Tanzil, Hernadi. Resensi Laskar Pelangi. www.google.com, didownload tanggal
21 Oktober 2008 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama