chpater ii

Upload: lastri-brownies

Post on 07-Jul-2018

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 Chpater II

    1/22

     

    7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Skizofrenia

    2.1.1 Sejarah dan definisi skizofrenia

    Skizofrenia merupakan suatu sindrom klinis dari berbagai keadaan

     psikopatologi yang sangat mengganggu serta melibatkan proses pikir, emosi,

     persepsi, dan tingkah laku.  Emil Kraepelin  (1856 - 1926), dementia praecox 

    sebuah istilah Yunani yang artinya kemunduran fungsi intelektual (dementia) di

    usia dini ( praecox) yang ditandai dengan daya pikir yang makin lama makin

    memburuk dan disertai gejala berupa delusi (waham) dan halusinasi. Pada tahun

    1911, psikiater Swiss Eugen Bleuler  mengganti nama dementia praecox menjadi

    skizofrenia. Ia memilih istilah ini untuk mengungkapkan adanya perpecahan

    antara pikiran, emosi, dan tingkah laku dengan gangguan pada pasien (Sadock and

    Sadock, 2007).

    Penyakit yang dideskripsikannya termasuk gejala primer dan sekunder.

    Empat gejala primer adalah asosiasi yang longgar (pembicaraan yang tidak ada

    hubungan satu sama lain), autisme (kesulitan berinteraksai dan komunikasi), afek

    yang terganggu, dan ambivalensi (dua perasaan yang berlawanan). Bleuler

    menganggap suatu ciri gangguan skizofrenia ini adalah hilangnya hubungan

    antara proses berpikir, emosi, dan perilaku. Bleuler menganggap halusinasi, delusi

    (waham), penarikan sosial, dan gerakan berkurang sebagai manifestasi sekunder

    dari penyakit yang tergantung pada kapasitas adaptif keadaan individu dan

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    2/22

     

    8

    lingkungan. Jadi menurut Bleuler, manifestasi paling jelas dan mencolok pada

    skizofrenia hanya gejala tambahan (Taminga, 2009).

    2.1.2 Epidemiologi

    World Health Organization  (WHO)  menyatakan bahwa skizofrenia

    mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) yaitu

    sekitar 7 dari 1000 orang di dunia menderita skizofrenia, saat ini jumlah penderita

    skizofrenia mencapai 24.000.000 orang di seluruh dunia. Hasil Riskesdas (2007)

     prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah sebesar 4,6%. Departemen

    Kesehatan (2007) menyebutkan jumlah penderita gangguan jiwa berat sebesar 2,3

     juta jiwa, yang diambil dari data RSJ se-Indonesia. Di Sumatera Utara sendiri

    terdapat 3 per 1000 penduduk yang mengalami gangguan jiwa.

    2.1.3 Etiologi

    a. Faktor genetik

    Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian atau mungkin semua orang pada

    skizofrenia dan proporsi yang tinggi dari varians cenderung untuk menjadi

    skizofrenia karena adanya pengaruh genetik tambahan. Misalnya, skizofrenia dan

    gangguan skizofrenia terkait (seperti: skizotipal, skizoid, dan gangguan

    kepribadian paranoid) terjadi pada laju yang meningkat di antara kerabat biologis,

     pasien dengan skizofrenia. Kecenderungan orang yang mengalami skizofrenia

     berkaitan dengan eratnya hubungan terhadap keluarga yang terkena misalnya:

    keluarga tingkat pertama atau kedua yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Sadock

    and Sadock, 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    3/22

     

    9

    Tabel 2.1 Prevalensi skizofrenia di dalam populasi spesifik  

    Populasi Prevalensi (%)

    Populasi umum

    Saudara kandung menderita skizofreniaAnak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia

    Kembar dizigotik menderita skizofrenia

    Anak dengan kedua orang tua menderita skizofrenia

    Kembar monozigot menderita skizofrenia

    1

    812

    12

    40

    47

    b. Faktor Biologik

    Faktor biologis akan terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidak

    seimbangan dari neurotransmiter misalnya dopamin, serotonin, norepineprin, dan

    lainnya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dari fungsi otak sebagai

     pusat pengatur prilaku manusia. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi

    adanya gangguan pada prilaku maladaptif pasien (Townsend, 2005).

    1) 

    Hipotesis Dopamin

    Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia

    dihasilkan dari terlalu banyaknya aktifitas dopaminergik. Teori ini berasal dari

    dua pengamatan. Pertama efikasi dan potensi dari kebanyakkan obat antipsikotik

     berhubungan dengan kemampuan bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin

    D2.  Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktifitas dopaminergik seperti

    ampetamin yang merupakan suatu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci

    apakah hiperaktif dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan

    dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi mekanisme

    tersebut (Sadock and Sadock, 2007).

    2) 

    Hipotesis Norepineprin

    Meningkatnya level norepinefrin pada penderita skizofrenia menunjukkan

    meningkatnya kepekaan untuk masukan sensorik (Sadock and Sadock, 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    4/22

     

    10

    3)  Hipotesis Gamma aminobutyric acid  (GABA)

     Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA)

    dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa

     beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic

    di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory  pada aktivitas dopamin dan

    kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas

    neuron-neuron dopaminergik (Sadock dan Sadock, 2007).

    4) 

    Hipotesis Serotonin

    Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab

    gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).

    5)  Hipotesis Glutamat

    Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis

    glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia

    (Sadock dan Sadock, 2007).

    6)  Teori Neurodevelopmental

    Dibuktikan dengan adanya migrasi neunoral yang abnormal pada trimester

    kedua pada masa perkembangan janin. Hal ini mungkin mengarah ke simtom-

    simtom skizofrenia yang akan muncul pada masa remaja (Sadock and Sadock,

    2001).

    c. Neuropatologi

    Pada akhir abad ke 20, para peneliti telah membuat kemajuan yang

    signifikan yang memperhatikan suatu dasar neuropatologis potensial untuk

    skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    5/22

     

    11

    neuropatologi atau abnormalitas neurokimia pada korteks serebri, talamus, dan

     batang otak (Sadock and Sadock, 2007).

    d. Faktor Psikososial

    Menurut Sadock dan Sadock (2007), faktor psikososial meliputi teori

     psikoanalitik, tori belajar, dan dinamika keluarga.

    1)  Teori psikoanalitik

    Sigmund freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi

    (ketidakmampuan mengendalikan rasa takut) dalam perkembangan yang terjadi

    lebih awal dari yang menyebabkan neurosis (ketidakseimbangan mental yang

    menyebabkan stres) dan juga bahwa adanya efek ego berperan dalam gejala

    skizofrenia (Sadock and Sadock, 2007).

    2)  Teori belajar

    Pada teori ini, skizofrenia berkembang oleh karena hubungan interpersonal

    yang buruk karena mengikuti contoh atau model yang buruk selama masa kanak-

    kanak (Sadock and Sadock, 2007).

    3)  Dinamika keluarga

    Penelitian di Inggris pada anak berusia 4 tahun yang memiliki hubungan

    yang buruk dengan ibunya, ternyata berpeluang 6 kali lipat berkembang menjadi

    skizofrenia. Akan tetapi tidak ada bukti yang kuat bahwa pola dalam keluarga

     berperan penting sebagai penyebab terjadinya skizofrenia (Sadock and Sadock,

    2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    6/22

     

    12

    2.1.4 Gejala klinis

    Meskipun belum dikenal secara formal sebagai bagian dari kriteria

    diagnostik skizofrenia, beberapa penelitian membuat sub kategori dari gejala

     penyakit ini kedalam 5 bagian (Stahl, 2008), yaitu : 

    a)  Gejala positif

    Delusi/ waham (keyakinan yang dipegang kuat seseorang namun tidak

     berdasarkan realitas), halusinasi (khayalan/ persepsi terhadap suatu

     peristiwa atau objek yang sebenarnya tidak ada), penyimpangan dan

     pernyataan yang berlebih-lebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi,

     pembicaraan/ perilaku yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi

    (gelisah yang berlebih).

     b)  Gejala negatif

    Afek tumpul (tidak ada ekspresi), penarikan emosi, rapport yang buruk,

    ketidakpedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, gangguan berfikir

    abstrak, alogia (tidak mau bicara), avolisi (tidak punya motivasi), anhedonia

    (tidak ada kemauan untuk melakukan sesuatu), gangguan pemusatan

     perhatian.

    c) 

    Gejala kognitif

    Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme (istilah

     baru yang sengaja dibuat), gangguan pengolahan informasi.

    d)  Gejala agresif dan permusuhan

    Permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang, melukai diri

    sendiri, merusak barang-barang, impulsif, tindakkan seksual.

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    7/22

     

    13

    e)  Gejala depresi dan atau cemas

    Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, dan iritabilitas

    cemas.

    2.1.5 Diagnosa

    Berdasarkan pedoman diagnostik menurut Pedoman Penggolongan dan

    Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), persyaratan yang normal

    untuk skizofrenia harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan

     biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang

     jelas) :

    a. “Thought echo”, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau

     bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun

    isinya sama namun kualitasnya berbeda. “Thought insertion or withdrawl”,

    yaitu isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion)

    atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya. “Thought

    broadcasting”, yaitu isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

    umum mengetahuinya.

     b. “ Delusion of control”, yaitu waham tentang dirinya dikendalikan oleh

    sesuatu kekuatan tertentu dari luar. “  Delusion of influence, yaitu waham

    tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekutan tertentu dari luar. “  Delusion

    of passivity”, yaitu waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

    terhadap suatu kekuatan dari luar (tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke

     pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau pengindraan

    khusus). “ Delusional perception”, yaitu pengalaman indrawi yang tak wajar,

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    8/22

     

    14

    yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau

    mukjizat.

    c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

     pasien, mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

     berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara halusinasi lain yang berasal

    dari salah satu bagian tubuh.

    d. Waham-waham menetap jenis lainnya menurut budaya setempat dianggap

    tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama

    atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa

    (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan

    makhluk asing dari dunia lain).

    e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik

    oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

    kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide yang berlebihan

    (over-value ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

     berminggu atau berbulan-bulan terus menerus.

    f. Arus pikiran yang terputus (break ) atau yang mengalami sisipan

    (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak

    relevan, atau neologisme.

    g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),  posisi tubuh

    tertentu ( posturing) atau  fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan

    stupor.

    h. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan

    respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    9/22

     

    15

    mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan mennurunnya

    kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan depresi

    atau neuroleptika.

    i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

    (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),

     bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan tidak berbuat

    sesuatu, sikap larut dan dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan

     penarikan diri secara sosial.

    Pedoman diagnostik:

    Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus ada sedikitnya satu simtom

    tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih, apabila

    simtom tersebut kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah

    satu dari kelompok (a) sampai dengan (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua

    simtom dari kelompok (e) sampai dengan (h) yang harus selalu ada secara jelas

    selama kurun waktu satu bulan atau lebih (Depkes, 1993).

    2.1.6 Perjalanan Skizofrenia

    Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang

    melalui fase-fase:

    1. 

    Fase premorbid

    Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif.

    2.  Fase prodromal

    Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat

    muncul simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam

     beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini rerata

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    10/22

  • 8/18/2019 Chpater II

    11/22

     

    17

    2.1.7 Subtipe skizofrenia

     Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition

    Text Revised (DSM-IV-TR) membagi skizofrenia atas subtipe secara klinik, 

     berdasarkan kumpulan simtom yang paling menonjol (First dan Tasman, 2004).

    Pembagian subtipe skizofrenia:

    1. Tipe katatonik, yang menonjol simtom katatonik.

    2. Tipe disorganized, adanya kekacauan dalam bicara dan perilaku, dan afek

    yang tidak  sesuai atau datar. 

    3. Tipe paranoid, simtom yang menonjol merupakan adanya preokupasi

    dengan waham atau halusinasi yang sering.

    4. Tipe tak terinci (undifferentiated ), adanya gambaran simtom fase aktif,

    tetapi tidak sesuai dengan kriteria untuk skizofrenia katatonik, disorganized ,

    atau paranoid. Atau semua kriteria untuk skizofrenia katatonik,

    disorganized, dan paranoid terpenuhi.

    5. Tipe residual, merupakan kelanjutan dari skizofrenia, akan tetapi simtom

    fase aktif tidak lagi dijumpai.

    2.1.8 Skizofrenia paranoid

    Ini adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara

    manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara stabil, sering kali

     bersifat paranoid, biasanya disertai oleh halusinasi, terutama halusinasi

     pendengaran dan gangguan persepsi. Gangguan afektif, dorongan kehendak

    (vilition), dan pembicaraan serta gejala katatonik tidak menonjol. Beberapa contoh

    dari gejala paranoid yang paling umum :

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    12/22

     

    18

    a) Waham kejaran , rujukan (reference), “exalted birth” (merasa dirinya tinggi,

    istimewa), misi khusus, perubahan tubuh atau kecemburuan.

     b) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,

    atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit

    (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).

    c) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-

    lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

    Gangguan pikiran mungkin jelas dalam keadaan yang akut, tetapi sekalipun

    demikian kelainan atau tidak menghambat diberikannnya deskripsi secara jelas

    mengenai waham atau halusinasi yang bersifat khas. Keadaan afektif biasanya

    kurang menumpul dibandingkan jenis skizofrenia lain, tetapi suatu derajat yang

    ringan mengenai ketidakserasian (incongruity) umum dijumpai seperti gangguan

    iritabilitas, kemarahan yang tiba-tiba, ketakutan dan kecurigaan. Gejala “negatif”

    seperti pendataran afektif, hendaya dalam dorongan kehendak (volition) sering

    dijumpai tetapi tidak mendominasi gambaran klinisnya (Depkes, 1993).

    Perjalanan penyakit skizofrenia paranoid dapat terjadi secara episodik,

    dengan remisi sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus yang

    kronis, gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan sukar untuk

    membedakan antar episode yang terpisah. Onset cenderung terjadi pada usia yang

    lebih tua dari pada bentuk hebefrenik dan katatonik (Depkes, 1993).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    13/22

     

    19

    2.2 Pengobatan

    2.2.1 Antipsikotik

    Farmakoterapi dengan antipsikotik merupakan dasar pengobatan

    skizofrenia. Secara umum antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu

    antipsikotik tipikal (antagonis reseptor dopamin)/ FGA dan antipsikotik atipikal

    (antagonis serotonin-dopamin)/SGA. Pemilihan antipsikotik umumnya

     berdasarkan efikasi dan keamanannya (Tamminga, 2009). Menurut Dipiro, dkk.,

    (2008), obat antipsikotik yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 2.2 dibawah

    ini.

    Tabel 2.2 Antipsikotik yang banyak digunakan dalam pengobatan 

    Obat AntipsikotikRentang dosis yang

    dianjurkan(mg/hari)

    EkuivalenChlorpromazin

    (mg/hari)

    DosisMaksimum(mg/hari)

    FGA / TipikalKlorpromazinFluphenazin

    PerphenazinThioridazin

    TrifluoperazinHaloperidolLoxapinMolindonThiothixen

    100 - 8002 - 20

    10 - 64100 - 800

    5 - 402 - 2010 - 8010 - 1004 – 40

    1002

    10100

    5210104

    200040

    64800

    8010025022560

    SGA / AtipikalAripiprazolKlozapinOlanzapinPaliperidon

    QuetiapinRisperidonZiprasidon

    15 - 3050 - 50010 - 20

    3 -9

    250 - 5002 - 8

    40 – 160

    309002012

    80016200

    Penggunaan  first-line  dari kedua generasi pertama (FGA) dan generasi

    kedua (SGA) obat antipsikotik di bawah dari kisaran dosis standar pengobatan

    untuk orang yang mengalami episode pertama skizofrenia (Baandrup, dkk., 2010).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    14/22

     

    20

    Tujuan pengobatan pada episode pertama:

    a.  Meminimalkan stres pada pasien dan memberikan dukungan untuk

    meminimalkan kemungkinan kambuh.

     b.  Meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan di masyarakat.

    c.  Mengurangi gejala, peningkatan remisi, dan membantu proses pemulihan.

    Sebagian atau

    Tidak respon

    Sebagian atau

    Tidak respon 

    Sebagian atauTidak respon 

    Sebagian atau

    Tidak respon

    Gambar 2.1 Algoritma farmakoterapi untuk skizofrenia

    Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

    Tahap 1: Psikosis episode pertama

    Mencoba satu antipsikotik

    Antipsikotik generasi kedua (SGA) disarankan sebagai first-line. Banyak yang kurang

    setuju menggunakan antipsikotik generasi pertama (FGA) sebagai pilihan pertama. Pasien

    episode pertama selalu memerlukan antipsikotik dengan dosis rendah dan seharusnya selalu

    dimonitor karena sangat sensitif terhadap efek samping obat.

    FGA = First

    generation

    antipsychotic (contoh:

    loxapin, perfenazin,

    molindon, haloperidol,

    trifluoroperazin,

    thiothixin,

    Klorpromazin)

    SGA = Second

    generation

    antipsychotic 

    (aripiprazol, olanzapin,quetiapin, risperidon, or

    ziprasidon)

    Tidak Patuh Jika pasien kurang

     patuh dalam tahap

    apapun, disediakanantipsikotik long-acting,

    seperti risperidon

    microspheres,

    haloperidol dekanoat, or

    fluphenazin dekanoat.

    Tahap 2

    Gunakan salah satu SGA or

    FGA (yang tidak digunakan pada

    taha 1

    Tahap 3

    Klozapin

    Clozapin

    disarankan untuk

     pasien dengan

    riwayat bunuh diri

    (Level A), kekerasan

    (Level B), or

     penyalahgunaan obat

    (Level B/C). Pasien

    yang berada dalam

    fase stabil, aktif

    mengkonsumsi obat

    secara tekun, akan

    menghilangkangejala lebih dari 2

    tahun setelah

    digunakan clozapin.Tahap 4 Klozapin

    +

    (FGA, SGA, or ECT)

    Tahap 4–6

     berdasarkan

     pendapat para ahlidan laporan kasus,

    tidak berdasarkan

    fakta dari penelitian

    Tahap 5

    Gunakan salah satu SGA orFGA (yang tidak digunakan pada

    tahap 1 dan 2)

    Tahap 6

    Terapi kombinasi, misalnya: SGA + FGA, kombinasikan

    dengan SGA, (FGA/ SGA) + ECT, (FGA/ SGA) + other agen

    lain (misalnya: obat stabilizier mood )

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    15/22

     

    21

    Dapat dilihat pada Gambar 2.1 menguraikan algoritma farmakoterapi yang

    disarankan untuk skizofrenia. Tahap 1 dari algoritma pengobatan hanya berlaku

    untuk pasien yang mengalami episode pertama. Pada pasien ini, mayoritas ahli

    skizofrenia merasa bahwa SGA harus digunakan pertama kali karena risiko

    tardive diskinesia yang lebih rendah dibandingkan dengan FGA. Pasien yang

     belum pernah diobati akan lebih sensitif terhadap terjadinya efek samping

    ekstrapiramidal, sehingga harus menggunakan dosis yang lebih rendah dari dosis

    yang dianjurkan (Dipiro, dkk., 2008).

    Jika pasien telah mencapai respon terapi dengan efek samping yang

    minimal, maka harus selalu dimonitor obat dan dosis yang sama untuk 6 bulan ke

    depan. Diskusikan tentang risiko tinggi kambuh dan faktor-faktor yang mungkin

    meminimalkan risiko kambuh (APA, 2004). Dalam episode pertama skizofrenia,

     pengobatan farmakologis antipsikotik harus digunakan dengan hati-hati karena

    risiko lebih tinggi pada gejala ekstrapiramidal (EPS). Strategi yang tepat meliputi

     penggunaan bertahap obat antipsikotik dengan dosis efektif sekecil mungkin

    dengan memberikan penjelasan yang cermat. Antipsikotik harus dipilih secara

    individual, melihat kondisi mental, dan somatik pasien yang berbeda pada efek

    samping. Namun, efek samping ekstrapiramidal pada SGA lebih rendah sehingga

    sebaiknya digunakan pada tahap pertama pasien skizofrenia (Dipiro, dkk., 2008).

    Bila menggunakan FGA, memerlukan pemantauan efek samping

    ekstrapiramidal (seperti: reaksi distonik terutama akut, parkinson, akathisia pada

    awal pengobatan, dan tardive diskinesia (gerakan abnormal yang lambat) selama

     perawatan). Efek samping penggunaan SGA adalah meningkatnya risiko

    metabolik, terutama berat badan dengan beberapa SGA. Parameter metabolik

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    16/22

     

    22

    harus dikontrol ketat selama pengobatan antipsikotik. Efek samping dari

     penggunaan antipsikotik dapat dilihat pada Tabel 2.3 dibawah ini (Dipiro, dkk.,

    2008).

    Tabel 2.3 Efek samping dari antipsikotik  

    Antipsikotik Sedasi EPSAnti

    KolinergikOrtostasis

    PenambahanBerat Badan

    Prolaktin

    AripiprazolKlorpromazin

    KlozapinFluphenazinHaloperidolOlanzapin

    PerphenazinQuetiapinRisperidonThioridazinThiothixenZiprasidon 

    +

    ++++

    ++++

    +

    +

    ++

    ++++

    +

    ++++

    +

    ++

    +

    +++

    +

    ++++

    ++++

    ++

    +++++

    ++

    +++

    ++++

    ++

    +

    +++

    ++++

    +

    +

    ++

    +++

    +

    ++++

    +

    +

    +

    ++++

    ++++

    +

    +

    ++

    +++

    ++

    ++++

    +

    +

    +

    ++

    ++++

    +

    +

    ++++

    +++

    ++

    +

    +

    +

    +

    +++

    +

    ++++

    ++++

    +

    +++++

    ++++

    +++

    ++++

    +

    Keterangan:

    EPS: Extrapyramidal side effects

    Resiko: rendah (+), sedang (++), sedang tinggi (+++), tinggi (++++)

    Sumber: “Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach”(Dipiro, dkk., 2008).

    Antipsikotik umumnya memiliki mekanisme kerja masing-masing dalam

     pengobatan skizofrenia akut. Pemilihan obat antipsikotik harus sesuai dengan

    gejala respon dan efek samping yang dialami pasien, rute pemberian, preferensi

     pasien untuk obat tertentu, adanya kondisi medis penyerta, dan potensi interaksi

    dengan obat lain yang diresepkan. Dosis yang diberikan harus sesuai dengan dosis

    terapi target sambil memantau efek samping dan status klinis pasien. Pengobatan

    dengan memberikan pasien dosis tinggi di atas kisaran dosis lazim terbukti tidak

    lebih baik daripada memberikan dukungan kepada pasien, ini justru dapat

    meningkatkan efek samping obat (Hasan, dkk., 2012).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    17/22

     

    23

    2.2.2 Fase pengobatan

    Fase pengobatan skizofrenia terbagi tiga yaitu: fase akut, fase stabilisasi,

    dan fase stabil/pemeliharaan (Marder, dkk., 2009).

    a.  Fase akut

    Tujuan pengobatan selama fase akut adalah untuk mengontrol perilaku

    terganggu, mengurangi keparahan psikosis ,dan gejala tambahan (misalnya:

    agitasi, agresi, gejala negatif, dan gejala afektif), serta mengatasi faktor-faktor

    yang menyebabkan terjadinya episode akut (APA, 2004). Akut biasanya

     berlangsung 4 - 8 minggu, dosis efektif harian sebesar 4 - 6 mg sehari (Marder,

    dkk., 2009).

     b.  Fase stabilisasi

    Tujuan pengobatan fase ini adalah pengurangan gejala yang ada di fase akut

    serta mencegah relaps. Fase stabilisasi dimana peningkatan kesembuhan selalu

    lambat namun harus tetap digunakan selama 6 - 12 minggu. Selama 2 - 3 minggu

     pertama pengobatan, seharusnya terapi ini dapat meningkatkan sosialisasi,

    meningkatkan kebiasaan merawat diri, dan mood (Dipiro, dkk., 2008). Pengobatan

    ini harus dipertahankan selama minimal 6 bulan dengan jenis obat yang sama

     pada fase akut, setelah 6 bulan dosis obat dapat diturunkan perlahan-lahan sampai

    ditemukan dosis efektif terendah (dosis pemeliharaan) (Marder, dkk., 2009).

    c.  Fase pemeliharaan

    Dalam fase pemeliharaan, terapi obat untuk mencegah kekambuhan,

    mengoptimalkan peran fungsional, dan kualitas hidup pasien (Marder, dkk.,

    2009). Rata-rata kekambuhan setelah 1 tahun 18% sampai 32% pada obat aktif

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    18/22

     

    24

    (termasuk pasien yang tidak patuh) dibandingkan dengan plasebo 60 - 80%

    (Dipiro, dkk., 2008).

    Setelah pengobatan episode pertama psikotik pada pasien skizofrenia,

     pengobatan seharusnya dilanjutkan paling tidak 12 bulan setelah remisi. Beberapa

     pasien skizofrenia yang terampil dalam pengobatannya menjadi sehat sedikitnya

    setelah 5 tahun. Pasien kronik, pengobatan perlu dilanjutkan atau dikonsumsi

    seumur hidup untuk mencegah kekambuhan (Dipiro, dkk., 2008).

    2.3 Kepatuhan

    Kepatuhan adalah istilah yang menggambarkan bagaimana pasien mengikuti

     petunjuk dan rekomendasi terapi dari tenaga kesehatan. Kepatuhan merupakan

    keputusan yang diambil oleh pasien setelah membandingkan risiko yang

    dirasakan jika tidak patuh dan keuntungan dari pengobatan. Dampak yang paling

     berat dan harus diwaspadai adalah perilaku bunuh diri (30% pasien skizofrenia

     pernah berusaha bunuh diri dan 10% meninggal karena bunuh diri). Dampak ini

    dapat dikurangi melalui pengobatan yang efektif serta kepatuhan pasien

    melaksanakan pengobatan(APA, 2006).

    Menurut Fleischhacker, dkk., (2007), kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa

    faktor :

    a.  Pengaruh yang berkaitan dengan pasien

    Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya

    dengan ketidakpatuhan. Tampaknya pasien yang berusia lanjut mempunyai

     permasalahan tentang kepatuhan terhadap dosis yang diberikan. Dikalangan usia

    muda, terutama pria, cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang buruk terhadap

     pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda akibat

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    19/22

     

    25

     banyaknya aktivitas yang harus dilakukan pada usia produktifnya. Sedangkan

     pada orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat

    mempengaruhi kepatuhannya. Selain itu pada orangtua sering mendapat berbagai

    macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik (Fleischhacker, dkk.,

    2007).

    Sikap pasien dalam pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam

     pengaruhnya terhadap kepatuhan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi,

    dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap

     pengobatan. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simptom

     positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama

     pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan (Fleischhacker, dkk., 2007).

    Model kepercayaan pasien tentang kesehatannya yang menggambarkan

     pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang

    menilai bahwa skizofrenia dalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu

    serius dibandingkan penyakit lain seperti diabetes, kanker, dan lain-lain sehingga

    mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk

    diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi (Fleischhacker, dkk., 2007).

    Permasalahan yang lain adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat

     juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu

    untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan transportasi dapat

    menjadi penghalang (Fleischhacker, dkk., 2007).

     b.  Pengaruh yang berkaitan penyakit

    Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai pengaruh yang kuat

    dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    20/22

     

    26

    khawatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Tattan

    dan Creed, 2001).

    c. 

    Pengaruh yang berkaitan dengan dokter

    Hubungan terapi yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu

    landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Dokter yang memiliki

     perhatian kepada pasien, mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-

    keluhan pasien, serta memberikan informasi adalah penting agar terciptanya suatu

    hubungan yang baik. Informasi dapat diberikan pada pasien ataupun keluarga baik

    dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan

    keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan

    dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan

    secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk

    mendiskusikan perencaan pengobatan baik kepada pasien atau keluarga dimana

     pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya

    (Fleischhacker, dkk., 2007).

    Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan

     pasien baik dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat

    tercipta hubungan terapi yang baik sehingga dapat meningkatkan kepatuhan

    (Sadock dan Sadock, 2007).

    d.  Pengaruh terkait dengan pengobatan

    Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan

    kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan (Jorgensen, 1998). Efek

    samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan

    sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    21/22

     

    27

    dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan seksual, dan penambahan

     berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih

    mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan

    antipsikotik konvensional (Lauriello, dkk., 2005).

    Sebagian besar obat antipsikotik memiliki masa pencapaian efek terapi yang

    lebih lama, sehingga pasien tidak segera merasakan efek positif dari obat.

    Sebaliknya pasien terkadang justru merasakan efek samping terlebih dahulu

    dibanding efek terapi. Pasien skizofrenia juga tidak segera merasakan

    kekambuhan setelah putus obat cukup lama. Kekambuhan dapat terjadi

     berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan sejak pasien putus dari obat.

    Ini menyebabkan kebanyakkan pasien biasanya tidak menghubungkan

    kekambuhan dengan putus obat. Sehingga putus obat harus selalu ditekankan pada

     pasien (Fleischhacker, dkk., 2007). Namun pasien dengan pengalaman yang tidak

    nyaman di masa lalu dapat mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap

    antipsikotik jika saat ini pengobatannya tanpa efek samping (Hasan, dkk., 2012).

    e.  Lingkungan psikososial pasien

    Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan

    terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai

    angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam

    lingkungan yang mendukung. Interaksi sosial yang penuh dengan stres dapat

    mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang

    lain. Sebagai contoh adalah situasi emosional yang tinggi dan keluarga yang tidak

    mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan (Fleischhacker,

    dkk., 2007).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8/18/2019 Chpater II

    22/22

     

    Sehubungan dengan skizofrenia, Leff dan Vaughn melaporkan bahwa

     bentuk empati merupakan bagian dari sekumpulan sikap dengan pengekspresian

    emosi yang rendah. Sikap dari keluarga merupakan salah satu prediktor yang kuat

    terhadap relaps pada skizofrenia (Giron dan Beneyto, 1998).

    Menurut Kinon, dkk., (2003), kriteria ketidak patuhan terhadap pengobatan

    adalah jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini:

    d. 

    Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan≥ dua

    episode dari:

    1) 

    Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.

    2) Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang

    diberikan.

    3) Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

    e.  Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu

    rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

    f.  Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti

    sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh

    orang lain dalam waktu sebulan.

    g. 

    Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat-obatan

    walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal

    tersebut.