chapter ii

27
24 BAB II LANDASAN TEORI A. STRES 1. Definisi Stres Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap adanya tuntutan pada tubuh. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk menyesuaikan diri, dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu. Stres diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus bertahan. Setiap individu dalam hidupnya senantiasa menghadapi berbagai masalah yang tidak menyenangkan seperti yang dikatakan oleh Davis & Newstrom (1989), stres merupakan kondisi ketegangan yang terjadi pada emosi, fisik dan psikologis seseorang. Sesungguhnya stres merupakan reaksi individu dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Adanya stres dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam meghadapi lingkungan. Atkinson (2000), Universitas Sumatera Utara

Upload: winda

Post on 04-Jul-2015

117 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

24

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Definisi Stres

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah keadaan internal yang

dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan dll) atau

oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak

terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.

Menurut Selye (dalam Santrock, 2003), stres adalah respons umum terhadap

adanya tuntutan pada tubuh. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk

menyesuaikan diri, dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu. Stres diawali

dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai

oleh proses tubuh secara otomatis, seperti meningkatnya denyut jantung yang

kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai

tahap kehabisan tenaga (exhaution) jika individu tidak mampu untuk terus

bertahan.

Setiap individu dalam hidupnya senantiasa menghadapi berbagai masalah yang

tidak menyenangkan seperti yang dikatakan oleh Davis & Newstrom (1989), stres

merupakan kondisi ketegangan yang terjadi pada emosi, fisik dan psikologis

seseorang. Sesungguhnya stres merupakan reaksi individu dalam menghadapi

setiap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Adanya stres dapat mempengaruhi

kemampuan individu dalam meghadapi lingkungan. Atkinson (2000),

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

25

menyebutkan stres muncul disebabkan adanya permintaan yang berlebihan yang

tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam kesejahteraan fisik dan

psikologis seseorang.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh

tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi

merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1992). Stres juga

didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai

tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas

kemampuan subyek (Cooper, dalam Santrock 2003).

Menurut Hager (dalam Santrock 2003), stres sangat bersifat individual dan

pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan

mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan

suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara

psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada

persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah

persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk

menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Lazarus, 1984).

Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran

dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Sarafino (2006), menyebutkan

stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh

transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis

atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut yang akan mempengaruhi

kognisi, emosi dan perilaku sosialnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

26

Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai

peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya

dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat

menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian

kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye

dalam Santrock, 2003).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu

kondisi internal yang dapat merusak dan membahayakan fisik maupun psikologis

individu akibat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan

kemampuan individu dalam meresponnya.

2. Penggolongan Stres

Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan.

Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang

dialaminya yaitu:

a. Distress (stres negatif)

Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat yang

tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu

mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu

mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan

untuk menghindarinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi,

kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik

diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

27

berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah

marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan

oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin

menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan

ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang

berguna, kurang disukai, kurang beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya.

b. Eustress (stres positif)

Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan

pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase

joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari

adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan,

kognisi dan performansi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya

menciptakan karya seni.

3. Sumber-sumber Stres

Sarafino (1994) membagi 3 jenis sumber-sumber stres (stressors) yang dapat

terjadi dalam kehidupan individu, antara lain sebagai berikut:

1. Sumber-sumber yang berasal dari individu

Ada dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya

penyakitAda dua stres yang berasal dari individu. Pertama adalah melalui adanya

penyakit. Penyakit yang dideritaindividu menyebabkan tekanan biologis dan

psikososial sehingga dapat menimbulkan stres. Sejauh mana tingkat stres yaang

dialami individu terhadap penyakitnya dipengaruhi oleh faaktor usia dan

keparahan penyakit yang dialaminya. Cara yang kedua adalah melalui terjadinya

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

28

konflik. Konflik merupaka sumber stres yang paling utama. Di dalam konflik

individu memiliki dua kecenderungan yang berlawanan yaitu menjauh dan

mendekat.

2. Sumber-sumber berasal dari keluarga

Stres dalam keluarga dihasilkan melalui adanya perilaku, kebutuhan-kebutuhan

dan kepribadian dari masing-masing anggota keluarga yang berdampak pada

anggota keluarga lainnya. Konflik interpersonal ini dapat timbul dari adanya

masalah finansial, perilaku yang tidak sesuai, melalui adanya tujuan yang

berbeda antar anggota keluarga, bertambahnya anggota keluarga, penyakit yang

dialaminya anggota keluarga dan kematian anggota keluarga (Sarafino, 1994).

3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Adanya hubungan manusia dengan lingkungan luar menyebabkan banyak

kemungkinan munculnya sumber-sumber stres. Stres yang dialami orang dewasa

banyak diperoleh melalui pekerjaannya dan berbagai situasi lingkungan. Stres

yang diperoleh melalui pekerjaan contohnya dikarenakan: lingkungan fisik kerja,

kontrol yang rendah terhadap pekrjaan yang diemban, kurangnya hubungan

interpesonal dengan sesama rekan kerja, promosi jabatan, kehilangan pekerjaan,

pensiaun dan lainnya (Sarafino, 1994).

4. Respon Terhadap Stres

a. Aspek Biologis terhadap Stres

Selye (dalam Sarafino, 2006) menyebutkan konsep yang menggambarkan efek

umum pada tubuh ketika ada tuntutan yang ditempatkan pada tubuh tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

29

Respon Tubuh terhadap stres (General Adaption Syndrome /GAS) yang terdiri

dari tiga tahap, yaitu:

1. Peningkatan alarm (alarm reaction), individu memasuki kondisi shock

yang bersifat sementara, suatu masa dimana pertahanan terhadap stres ada

di bawah normal. Individu mengenali keberadaan stres dan mencoba

menghilangkannya. Otot menjadi lemah, suhu tubuh menurun, dan

tekanan darah juga turun. Kemudian terjadi yang disebut dengan

countershock, dimana pertahanan terhadap stres mulai muncul ; korteks

adrenal mulai membesar, dan pengeluaran hormon meningkat. Tahap

alarm berlangsung singkat.

2. Perlawanan (resistance), dimana pertahanan terhadap stres menjadi

semakin intensif, dan semua upaya dilakukan untuk melawan stres. Pada

tahap pertahanan, tubuh individu dipenuhi oleh hormon stress, tekanan

darah, detak jantung, suhu tubuh, dan pernafasan semua meningkat. Bila

semua upaya yang dilakukan untuk melawan stres ternyata gagal dan stres

tetap ada, maka akan masuk ke tahap selanjutnya.

3. Kelelahan (exhausted), dimana kerusakan pada tubuh semakin meningkat,

orang yang bersangkutan mungkin akan jatuh pingsan di tahap kelelahan

ini, dan kerentanan terhadap penyakitpun meningkat.

Menurut Selye tidak semua stres itu buruk, yang kemudian dia sebut dengan

Eustress yaitu konsep Selye yang menggambarkan sisi positif dari stres.

Berkompetisi di suatu kejuaraan, menulis karangan, atau mengejar seseorang

yang menarik membuat tubuh menghabiskan energi.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

30

Salah satu kritik utama terhadap pandangan Selye adalah manusia tidak selalu

bereaksi terhadap stres dengan cara yang sama seperti yang ia kemukakan. Masih

banyak lagi yang harus dipahami mengenai stres pada manusia daripada sekedar

mengetahui reaksi fisik manusia terhadap stres. Perlu juga mengetahui

kepribadian mereka, susunan fisik, persepsi, dan konteks dimana stresor atau

penyebab stres muncul (Hobfoll dalam Santrock, 2003).

b. Aspek Psikologis Terhadap Stres

Sarafino (2006), menyebutkan 3 aspek psikologis terhadap stres yaitu:

1. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Cohen

dkk dalam Sarafino, 2006). Stressor berupa kebisingan dapat menyebabkan

deficit kognitif. Baum (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa individu yang

terus menerus memiliki stressor dapat menimbulkan stres yang lebih parah

terhadap stressor.

2. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan keadaan

emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat

memengaruhi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer,

Scherer dalam Sarafino, 2006) reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut,

phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih, dan rasa marah (Sarafino, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

31

3. Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino,

2006). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif. Bencana alam

dapat membuat individu berperilaku lebih kooperatif, dalam situasi lain, individu

dapat mengembangkan sikap bermusuhan (Sherif & Sherif dalam Sarafino, 2006).

Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif

cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein

& Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat mempengaruhi perilaku

membantu pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino,2006).

Sedangkan Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai

respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat

berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat

stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek,

yaitu:

1. Aspek fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

2. Aspek kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu,

seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran

berulang, dan pikiran tidak wajar.

3. Aspek emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin

dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

4. Aspek tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi

yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

32

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

a. Faktor Lingkungan

Menurut Lazarus & Folkman (1984) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang

merupakan pennyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stressor

diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Rice, 1992). Situasi, kejadian atau

objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi

psikologis ini disebut stressor (Beryy, 1998) stressor dapat berwujud atau

berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan

sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan inddividu sendiri yang

dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga

menjadi stressor.

Lazarus & Cohen (dalam Berry, 1998) mengklasifikasikan stressor kedalam

tiga kategori, yaitu:

1. Cataclysmic events

Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang

mempengaruhi banyak orang seperti bencana alam.

2. Personal stressors

Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah

orang tertentu, seperti krisi keluarga.

3. Background stressors

Pertikaian atau permasalahn yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah

dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

33

b. Faktor-Faktor Psikologis

Ada beberapa jenis-jenis stressor psikologis (dirangkum dari Folkman, 1984;

Coleman, dkk, 1984 serta Rice, 1992) yaitu:

1. Tekanan (pressure)

Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau

tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum tekanan

mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha

ataumengubah sasarn tingkah laku. Tekana sering ditemui dalam kehidupan

sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada setiap imdividu.

Tekanan pada beberapa kasusu tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya

yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat

mengarah pada perilaku maladaptive.

2. Frustasi

Frustasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu

mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang

didinginkan. Frustasi juga dapat diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi

yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun

depresi.

3. Konflik

Konflik terjadi ketika seseorang harus mengambil keputusan dari dua atau

lebih stimulus yang tidak cocok. Tiga tipe konflik utama adalah :

1. Mendekat-mendekat (approach-approach conflict), terjadi bila individu

harus memilih antara dua stimulus atau keadaan yang sama menarik.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

34

Konflik mendekat/mendekat adalah konflik yang tingkat stresnya paling

rendah dibandingkan dua tipe konflik lainnya karena dua pilihannya

memberikan hasil yang positif.

2. Menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), terjadi ketika

individu harus memilih antara dua stimulus yang sama-sama tidak

menarik, yang sebenarnya ingin dihindari keduanya, namun mereka harus

memilih salah satunya. Pada banyak kasus, individu memilih untuk

menunda mengambil keputusan dalam konflik menghindar/menghindar

samap saat-saat terakhir.

3. Mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), terjadi bila hanya

ada satu stimulus atau keadaan namun memiliki karakteristik yang positif

dan juga negatif. Bila dihadapkan dalam konflik seperti ini (timbul

dilema), biasanya individu merasa bimbang sebelum mengambil

keputusan. Ketika waktunya untuk mengambil keputusan semakin dekat,

kecenderungan untuk menghindar biasanya semakin mendominasi (Miller

dalam Santrock, 2003). Frustasi adalah situasi apapun dimana individu

tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kegagalan dan kehilangan

adalah dua hal yang terutama membuat frustasi.

c. Faktor-Faktor Kepribadian

Pola Tingkah Laku Tipe A (type A Behavior Pattern) adalah sekelompok

karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan keras,

tidak sabar, mudah marah , dan sikap bermusuhan yang dianggap berhubungan

dengan masalah jantung. Penelitian mengenai pola tingkah laku tipe A pada anak-

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

35

anak dan remaja menemukan bahwa anak-anak dan remaja dengan pola tingkah

laku tipe A cenderung menderita lebih banyak penyakit, gejala gangguan jantung,

ketegangan otot, dan gangguan tidur, dan bahwa anak-anak dan remaj dengan tipe

A biasanya memiliki orang tua yang juga memiliki pola tingkah laku A (Santrock,

2003).

d. Faktor-Faktor Kognitif

Lazarus (1993), mengatakan sesuatu yang menimbulkan stres tergantung pada

bagaimana individu menilai dan menginterpretasikan suatu kejadian secara

kognitif.

Penilaian kognitif (cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus

untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam

hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau menantang dan

keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi suatu

kejadian dengan efektif. Menurut pandangan Lazarus (dalam Santrock, 2003),

berbagai kejadian dinilai dua langkah :

a. Penilaian primer (primary appraisal), mengartikan apakah suatu kejadian

mengandung bahaya atau menyebabkan kehilangan, menimbulkan suatu ancaman

akan bahaya di masa yang akan datang atau tantangan yang harus dihadapi.

b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), mengevaluasi potensi atau

kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang

dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

36

e. Faktor Usia

Hurlock (1995) menyatakan bahwa individu yang semakin tua akan memiliki

emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan emosi ini berpengaruh

terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang semakin bertambah mengakibatkan

seseorang akan semakin mudah mengalami stres. Hal ini berkaiatan dengan

factor fisiologis yang mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti

kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (Kumolohadi, 2001).

5. Dampak Stres pada Individu

a. Dampak pada fisik

Dapat terjadi penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan

pembuluh darah (kardiovaskuler) akibat meningkatnya tekanan darah yang

merusakkan jantung dan pembuluh darah (arteri) serta meningkatnya kadar gula

darah. Di paru dapat terjadi asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Jika

terjadi hambatan fungsi pencernaan, dapat timbul penyakit seperti tukak/ulkus,

kolitis (radang usus besar) dan diare kronik (menahun). Stres juga berperan dalam

menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan

dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Sistem

kekebalan tergangggu melalui berkurangnya kerja sel darah putih, sehingga badan

menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain adalah meningkatnya

ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

37

b. Dampak Emosional

Karena pelepasan dan kekurangan norepinefrin (noradrenalin) yang kronis

dapat terjadi depresi. Yang juga berperan adalah pikiran bahwa hidup ini buruk

dan tidak akan menjadi lebih baik. Akibatnya timbul perasaan tak berdaya dan

ketakmampuan, merasa gagal dan kepercayaan diri jatuh. Orang yang terkena

depresi cenderung menarik diri dari pergaulan dan menyendiri yang pada

gilirnnya malah menambah depresinya. Juga kecemasan yang berlebihan dan

ketakutan sangat sering terjadi jika seseorang terus-menerus mempersepsikan

adanya ancaman. Orang yang stres berkepanjangan akan menunjukkan sisnisme,

kekakuan pendirian, sarkasme, dan iritabilitas (mudah tersinggung).

c. Dampak pada Perilaku

Sering terjadi perubahan perilaku akibat dorongan untuk mencari pelepasan;

bertempur atau lari. Masalahnya, perilaku yang dipilih sering merugikan,

misalnya "perilaku adiktif" (kecanduan) akibat usaha untuk meredakan atau

melarikan diri dari stres yang menyakitkan. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan

makan berlebihan sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres.

Padahal efeknya hanya berlangsung sementara dan akibat penggunaan jangka

panjang akan merusak badan dan pikiran atau jiwa. Sayangnya, pikiran dapat

menolak/menyangkal akibat jangka panjang itu untuk sekadar memenuhi

kepuasan sesaat. Perilaku lainnya yang terlihat adalah menunda-nunda,

perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung jawab.

Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu

tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

38

B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

Carol D Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori

Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan

istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan

suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa

adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang

lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus

bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa

kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.

Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara

psikologis (psychologically-well). Ia menambahkan bahwa PWB merupakan suatu

konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas

dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-

perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari

pengalaman hidupnya.

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki

kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang

berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi

diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport

tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan

individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. PWB dapat ditandai

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

39

dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala

depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian

(hapiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan

tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan

terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain,

kemandirian, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup

serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang

harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995).

Dapat dismipulkan bahwa psychological well-being (kesejahteraan psikologis)

adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia,

mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut

dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi

sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan

lingkungan dan otonomi.

2. Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan

psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif

(positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang mempunyai fungsi

psikologis yang positif yaitu:

a. Penerimaan diri (self-acceptance)

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

40

Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai

karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan.

Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa

adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif

terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff

(1989) menandakan PWB yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan

diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan

menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif,

dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya,

seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang

memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan

pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya

saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam

konsep PWB. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya

dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan

yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk

mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai

dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan

orang lain. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya,

individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

41

bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain,

menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (autonomy)

Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk

menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang

yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku

dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar

personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya,

individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan

dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang

lain, dan cenderung bersikap konformis.

d. Tujuan hidup (purpose in life)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai

tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup,

mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai

keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan

mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan

mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang

baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin

dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu

kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup

lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

42

tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu

mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental.

e. Perkembangan pribadi (personal growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu

untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang

manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam

berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah

adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan

terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai

perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang

bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu

melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya,

seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan

ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai

perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan

kehidupan yang dijalani.

f. Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery)

Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan

menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata

lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar

dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi

keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya

dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

43

maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan

menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan

kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being

Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang, sehingga tidak

semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Berikut ini akan dijelaskan

mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan PWB seseorang.

a. Dukungan sosial

Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung)

kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari

orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. Robinson (1991) juga

mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam

kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan well-being seseorang.

Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam

mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup.

b. Ideologi Peran Jenis Kelamin

Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang

dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan PWB seseorang. Ditemukan bahwa

wanita (isteri) yang melaksanakan perannya secara tradisional mengalami beban

peran yang berlebih dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita

yang lebih modern dan wanita dengan peran tradisional ini mengalami gejala-

gejala distress dan menunjukkan ketidakpuasan hidup (Sollie & Leslie, Spence

dkk, dalam Strong & Devault, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

44

c. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang.

Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan,

kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000).

d. Jaringan sosial

Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam

pertemuan-pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang

dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson,

2000).

e. Religiusitas

Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan.

Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai

kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna

(Bastaman, 2000).

f. Kepribadian

Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti

penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan,

coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stres (Santrock,

1999; Ryff, 1995).

C. ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Peran isteri sebagai tenaga kerja di sektor pertanian dalam arti luas

memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Menurut Sayogyo (dalam Sudarta,

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

45

2001), peran wanita di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam

dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang

nyata antara laki-laki dan wanita pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah

tangga maupun di dalam masyarakat luas (Wahyuni, 2005).

Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak wanita yang bekerja pada

pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa

memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh

perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja

konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau

merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias

buruh tanpa upah. Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata

tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi yaitu menambah

pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan bahwa isteri

yang bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga

yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak

bekerja atau pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang,

mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya

keinginan mengaktualisasikan diri.

Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu

suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan

yang sangat berat. Setiap hari mereka harus membantu suaminya mengangkat

Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang beratnya bisa mencapai 30Kg

bahkan lebih. Satu pohon kelapa sawit bisa menghasilkan 3 sampai dengan 4 buah

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

46

sawit yang berhasil di panen dan kemudian harus di pindahkan ke pinggir jalan

dengan menggunakan alat pendorong yang beratnya mencapai 120Kg atau lebih.

Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab munculnya stres

(stressor). Kondisi dilapangan yang kurang mendukung keselamatan kerja seperti

tidak menggunakan saraung tangan pada saat bekerja atau bahkan tidak

menggunakan sepatu kerja yang layak, jika para pekerja tidak hati-hati maka hal

ini dapat mencelakakan dirinya di lingkungan kerja. Belum lagi tuntutan dari

perusahaan yang menekan pekerja agar mampu memenuhi target harian panen

kelapa sawit. Hal ini dapat memicu timbulnya stres, tidak hanya stres fisik tapi

juga stres secara emosional, kognitif dan perilaku.

Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stres

secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan

mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan

tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Akibat lain

adalah meningkatnya ketegangan otot, kelelahan dan sakit kepala. Dapat terjadi

penyakit terkait stres, sebagai contoh penyakit jantung dan pembuluh darah

(kardiovaskuler), asma dan bronkhitis (radang saluran napas). Stres juga berperan

dalam menghambat pertumbuhan jaringan dan tulang yang akan menyebabkan

dekalsifikasi (berkurangnya kalsium) dan osteoporosis (tulang keropos). Kondisi

lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau

binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh

hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum

lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II

47

dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak

hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan

perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada

dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan

tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

Jadi dapat disimpulkan bahwa isteri karyawan perkebunan kelapa sawit adalah

isteri yang suaminya bekerja sebagai karyawan di perkebunan kelapa sawit yang

membantu suaminya bekerja di lapangan dengan tidak menerima upah.

E. HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA ISTERI KARYAWAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Isteri yang bekerja memegang banyak peran dan berbagai tuntutan yang

memungkinkan terjadinya tekanan dan ketegangan. Terkadang, tekanan yang

dihadapi dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan, tetapi sering

juga merupakan masalah. isteri selain bekerja juga memiliki peran sebagai ibu

rumah tangga yang harus mengurus suami dan anak-anaknya. Stres yang dialami

oleh wanita yang bekerja lebih besar dari pada yang dialami wanita yang tidak

bekerja, sebab wanita yang bekerja memiliki stress yang khas seperti hal-hal yang

berkaitan dengan masalah perkawinan, pekerjaan, isolasi sosial, diskriminasi serta

adanya konflik peran ganda (Wolfman, 1989).

Fenomena di lapangan menggambarkan para isteri karyawan yang membantu

suaminya bekerja diperkebunan kelapa sawit dihadapkan pada beban pekerjaan

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II

48

yang sangat berat. Beban kerja yang terlalu berat dapat menjadi penyebab

munculnya stres (stressor).

Bagi wanita yang bekerja di perkebunan kelapa sawit dapat mengalami stress

secara fisiologis. Beban kerja yang terlalu berat menjadi stressor yang akan

mengakibatkan dampak stres terhadap fisik dan kesehatan. Sistem kekebalan

tergangggu sehingga badan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Kondisi

lingkungan kerja yang kurang mendukung seperti banyak nyamuk, ulat, ular atau

binatang lainnya, begitu juga jarak yang jauh dari rumah terkadang ditempuh

hanya dengan berjalan kaki dari pagi hari hingga siang saat pulang kerja. Belum

lagi peran isteri yang harus disibukkan dengan kegiatan megurus rumah tangga

dan anak-anaknya. Tentu saja hal ini juga dapat memicu timbulnya stres, tidak

hanya stres fisik tapi juga berlanjut dengan stres emosional yang ditandai dengan

perasaan takut, cemas, marah bahkan depresi yang akhirnya mengarah pada

dampak stres terhadap perilaku yang muncul seperti tidak sanggup lagi melakukan

tugasnya sebagai isteri maupun ibu rumah tangga.

Witkil & Lanoil (1986), menyatakan bahwa wanita pekerja menderita stres

yang lebih besar dibanding dengan pria pekerja atau pria dan wanita yang tidak

bekerja. Hal ini disebabkan karena kondisi fisiologis wanita itu sendiri serta

adanya konflik peran, yakni sebagai wanita yang bekerja, sebagai isteri, sebagai

ibu dan sebagai anggota suatu perkumpulan tertentu. Wanita pekerja mengalami

stres yang lebih besar karena harus menjalankan tugas ditempat kerja dan

dirumah. Akibatnya, wanita tersebut menderita gejala-gejala pusing, sakit

punggung, radang usus besar dan ketegangan pada masa pra menstruasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II

49

Selanjutnya Atkinson (2000), mengemukakan bahwa stres mengacu pada

peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis

seseorang. Kesejahteraan fisik berkaitan dengan kesehatan jasmani sedangkan

kesejahteraan psikologis merupakan apa yang dirasakan individu mengenai

aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Warr, dikutip

oleh Ryff, 1995).

Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) mengatakan kebahagiaan atau kesejahteraan

psikologis dapat disebut juga dengan Psychological Well-Being (PWB).

Selanjutnya Ryff (dalam Keyes, 1995) sebagai penggagas teori Psychological

Well-Being menyebutkan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya

kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi. (Ryff, 1989)

menyebutkan kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan

psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Isteri yang rela membantu suaminya berarti ia bisa menerima dirinya dan

kondisi pekerjaan suaminya dari sekedar perasaan terpaksa ataupun tertekan

dengan beban pekerjaan yang berat. Tidak hanya itu, jika isteri mampu menguasai

lingkungan mereka mampu melihat peluang yang dapat dijadikan sebagai

tambahan penghasilan seperti memelihara ternak ayam, kambing atau sapi dan

mereka bisa lebih sejahtera secara ekonomi maupun psikologis.

Townsend et al (2000), menyatakan bahwa banyaknya peran yang dimiliki

seorang wanita dihubungkan dengan semakin baiknya PWB wanita tersebut,

namun disisi lain peran yang besar dapat menimbulkan efek-efek negatif yang

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II

50

akan memicu stress seperti berkurangnya kepuasan hidup, stress di lingkungan

kerja bahkan munculnya symptom-simptom depresif.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, terlihat adanya suatu benang

merah antara stres dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan

perkebunan kelapa sawit.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara stres

dengan Psychological Well-Being pada isteri karyawan perkebunan kelapa sawit.

Universitas Sumatera Utara