chapter i

5
PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah penting. Spesies C. Annum berasal dari Meksiko, spesies yang lain seperti C. frustescens, C. Baccatu, C. Chinense, dan C. Pubescens berasal dari Amerika Selatan. Oleh pedagang portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjaya a , dkk, 2002). Tanaman cabai termasuk tanaman semusim yang tergolong ke dalam famili Solanaceae, buahnya sangat digemari, karena memiliki rasa pedas dan merupakan perangsang bagi selera makan. Selain itu buah cabai memiliki kandungan vitamin-vitamin, protein dan gula fruktosa. Di Indonesia tanaman ini mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki tempat kedua setelah sayuran kacang-kacangan (Rusli dkk, 1997). Secara umum cabai merah dapat di tanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering ( tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 6 - 7, tekstur tanah remah. Di kawasan trasmigrasi lahan kering pada umumnya jenis tanah banyak didominasi oleh tanah pozolik merah kuning. Jenis tanah ini dengan beberapa keterbatasannya dapat untuk budidaya tanaman cabai merah dengan beberapa perlakuan tertentu, misalnya pada lubang tanam perlu diberi Universitas Sumatera Utara

Upload: faradisa-yasnita

Post on 25-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah penting.

    Spesies C. Annum berasal dari Meksiko, spesies yang lain seperti

    C. frustescens, C. Baccatu, C. Chinense, dan C. Pubescens berasal dari

    Amerika Selatan. Oleh pedagang portugis dan Spanyol, cabai

    diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas

    tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjayaa, dkk, 2002).

    Tanaman cabai termasuk tanaman semusim yang tergolong ke

    dalam famili Solanaceae, buahnya sangat digemari, karena memiliki rasa

    pedas dan merupakan perangsang bagi selera makan. Selain itu buah

    cabai memiliki kandungan vitamin-vitamin, protein dan gula fruktosa. Di

    Indonesia tanaman ini mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki

    tempat kedua setelah sayuran kacang-kacangan (Rusli dkk, 1997).

    Secara umum cabai merah dapat di tanam di lahan basah (sawah)

    dan lahan kering ( tegalan) dan dapat dibudidayakan di saat musim hujan

    dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang

    mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya

    akan bahan organik dengan pH 6 - 7, tekstur tanah remah. Di kawasan

    trasmigrasi lahan kering pada umumnya jenis tanah banyak didominasi

    oleh tanah pozolik merah kuning. Jenis tanah ini dengan beberapa

    keterbatasannya dapat untuk budidaya tanaman cabai merah dengan

    beberapa perlakuan tertentu, misalnya pada lubang tanam perlu diberi

    Universitas Sumatera Utara

  • pupuk kandang yang bebas dari bakteri dan sumber penyakit

    (Sudiono,2006).

    Serangga hama dan penyakit merupakan salah satu faktor yang

    dapat menghambat kelancaran dalam budidaya cabai. Salah satu jenis

    penyakit yang sering menyerang pada tanaman cabai adalah penyakit

    antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Coletotrichum sp., yang

    pada tingkat serangan tertentu dapat merugikan hasil yang cukup besar

    juga dapat menghancurkan seluruh tanaman (Rohmawati, 2002).

    Antraknosa disebabkan oleh jamur dari genus Colletotrichum yang

    merupakan kelompok yang umum dari patogen tanaman, dan jamur ini

    penyebab penyakit pada banyak spesies tanaman di seluruh dunia.

    Identifikasi spesies Colletotrichum biasanya lebih dari satu karakteristik,

    diantaranya bentuk fisiknya, kepatogenisitasnya pada tanaman inang.

    Banyak spesies dari Colletotrichum menginfeksi lebih dari satu tanaman

    inang dan untuk memudahkan identifikasi, ada 3 spesies dari

    Colletotrichum yaitu C.gloeosporioides, C.capsici dan C.cocodes

    yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai di Florida

    (Roberts et all, 2006).

    Antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang cabai di

    Indonesia. Penyakit ini distimulir oleh keadaan lembab dan suhu relatif

    tinggi. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari

    persemaian sampai tanaman cabai berbuah dan merupakan masalah

    utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil

    dan penyebaran penyakit. Pada musim hujan kehilangan hasil

    Universitas Sumatera Utara

  • pertanaman cabai akibat serangan antraknosa dapat mencapai 50-100%

    (Syamsudin, 2002).

    Pengendalian penyakit terutama yang disebabkan oleh jamur

    selama ini dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan fungisida. Cara

    pengendalian penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida

    memang lebih praktis bila dibandingkan dengan cara pengendalian lain

    (Rohmawati, 2002).

    Dewasa ini penggunaan insektisida sangat tinggi untuk

    mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Diperkirakan 50 % dari biaya

    produksi digunakan untuk membeli insektisida. Penggunaan insektisida

    oleh para petani bawang dan cabai dilapangan sudah sangat intensif, baik

    jenis maupun dosis yang digunakan, serta interval penyemprotan yang

    sudah sangat pendek tenggang waktunya. Keadaan ini akan menimbulkan

    berbagai permasalahan serius karena insektisida dapat mencemari

    lingkungan. Oleh karena itu, pada sistem pertanian sekarang

    diperkenalkan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu suatu

    sistem yang menggunakan berbagai cara pengendalian diantaranya

    pengendalian secara fisik , pengendalian secara mekanis, pengendalian

    secara kultur teknis, pengendalian secara biologis dan pengendalian

    secara kimiawi agar populasi hama / penyakit tetap berada dalam ambang

    toleransi (Sanjayab, 2002).

    Pemakaian fungisida salah satu komponen PHT yang penting

    dalam pengendalian penyakit. Tetapi petani sebelum menggunakan

    fungisida untuk pengendalian penyakit harus lebih dulu mengetahui

    Universitas Sumatera Utara

  • teknik budidaya, pengetahuan akan patogen, biologi penyakit dan

    resistensi penyakit (Stephen and Chatfield, 2007).

    Pengetahuan akan teknik bududaya diantaranya pengaturan jarak

    tanam, karena pengaturan jarak tanam termasuk komponen PHT dalam

    pengendalian secara kultur teknis. Jarak tanam ditentukan berdasarkan

    jenis cabai yang ditanam. Berdasarkan pengamatan dilapangan, jarak

    tanam yang lebar akan lebih baik untuk kesehatan tanaman. Bila

    menggunakan jarak tanam yang rapat atau sempit, situasi disekitar

    tanaman akan menjadi lembab. Situasi yang demikian akan dapat

    mengundang datangnya jamur. Selain tanah menjadi lembab, jarak tanam

    yang rapat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan cabang dan ranting

    tanaman. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi

    buah nantinya (Wiratma,1985).

    Komponen yang lainnya dalam pengendalian secara kultur teknis

    adalah penggunaan pupuk yang tepat jenis, dosis, dan waktu pemakaian

    sangat membantu usaha pengendalian penyakit. Umumnya pengendalian

    penyakit dapat dilakukan dengan menekan sumber inokulum awal ( Xo)

    atau kecepatan perkembangan penyakit (r). Kemampuan tanaman

    menyerap unsur hara dan pengaruhnya terhadap penyakit terutama

    tergantung dalam jenis mineral kelarutan dan faktor lingkungan

    (Sudir dan Suparyono, 2001).

    Universitas Sumatera Utara

  • Tujuan Penelitian

    Untuk mengetahui Pengaruh Pupuk, Fungisida dan Jarak Tanam

    terhadap perkembangan antraknosa (Coletotrichum capsici) pada

    tanaman cabai (Capsicum annum. L) di lapangan.

    Hipotesa Penelitian

    - Diduga ada pengaruh pemberian pupuk terhadap perkembangan

    antraknosa ( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.

    - Diduga pemberian fungisida sistemik dan nonsistemik mempunyai

    pengaruh yang berbeda untuk mengendalikan antraknosa

    ( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.

    - Diduga jarak tanam mempengaruhi perkembangan antraknosa

    ( Colletotrichum capsici ) pada tanaman cabai.

    Kegunaan Penelitian

    - Sebagai salah satu syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di

    Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

    Universitas Sumatera Utara, Medan.

    - Sebagai sumber informasi tambahan bagi pihak yang membutuhkan.

    Universitas Sumatera Utara