chapter 9 - mapunsoed12.files.wordpress.com file · web view( value people, not just productivity )...
TRANSCRIPT
CHAPTER 9
( VALUE PEOPLE, NOT JUST PRODUCTIVITY )
Orang orang Berharga, Tidak Hanya Produktivitas
Orang-orang berharga, tidak hanya produktifitas. Organisasi-oganisasi dan
jaringan-jaringan publik di mana mereka berpartisipasi tampaknya lebih sukses
dalam jangka panjang jika dioperasikan melalui proses dan kolaborasi dan
kepemimpinan berdasarkan penghargaan pada semua orang, Dalam pendekatan
menuju manajemen dan organisasi, Servis Publik yang Baru menekankan
pentingnya penanganan melelui orang-orang. Sistem peningkatan produksi, proses
permesinan, dan pengukura penampilan dipandang sebagai alat yang penting
dalam pendesainan sistem manajemen. Tetapi Servis Publik yang Baru
menyrankan bahwa usaha-usaha rasional semacam itu untuk mengontrol perilaku
manusia tampaknya gagal dalam jangka panjang jika, pada saat yang sama,
perhatian ynag tidak cukup dicurahkan pada nilai-nilai dan minat-minat dari
anggota individu pada sebuah organisasi. Lebih jauh, jika pendekatan-pendekatan
ini memperoleh hasil, mereka tidak membangun karyawan atau warga negara
yang bertanggung jawab, memegang janji dan berfikir sebagai warga negara.
Evolusi pemikiran sehubungan dengan bagaimana menangan orang-orang
dengan cara terbaik melibatkan sejumlah topik yang berhubungan dan pemikiran-
pemikiran seperti motivasi, pengawasan, dan kepemimpinan, budya organisasi,
struktur organisasi, dan kekuatan organisasi. Hal itu melibatkan pertanyaan
sehubungan dengan sifat kewenangan, definisi penampilan dan tanggung jawab,
dan pengembangan kepercayaan. Yang lebih mendasar, namun, hal itu
didasarkan pada kebanyakn asumsi dasar kita tentang sifat dan perilku manusia.
Pada bab ini kami kan mengeksplorasi begitu berbedanya asumsi dan pondasi-
pondasi konseptual untuk pandangan mengenai menangani orang-orang yang
ditumpukkan pada Administrasi Publik yang Lama, Manajemen Publik yang baru,
dan Servis Publik yang Baru. Kami akan memulai dengan melihat pada konsep
paling utama dan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan motivasi dan
manajemen dalam sejarah perspektif. Kami kemudian membandingkan asumsi
dan model yang mendasari manajemen orang-orang dari sudut pandang ugasyang
Baru.
Perilaku Manusia dalam Organisasi: Konsep Kunci
Kepercayaan kami terhadap apa yang mendorong tingkah laku manusia
dalam pengukuran yang luas menentukan bagaiaman kami mengiterpretasikannya,
merespon dan mempengaruhi perilaku manusia yang lainnnya. Ketika para
pencetus teori mulai mempelajari perilaku manusia dalam organisasi, asumsi yang
mereka buat mengenai manusia relatif sederhana dan pada umumnya bersifat
negatif. Satu yang merupakan hal yang pertama dan pemikiran yang paling sentral
dalam mempelajari manajemen organisasi agar organisasi dapat berfungsi,
karyawan harus dibujuk atau dipaksa untuk menghasilkan perilaku tertentu dan
menampilkan tugas-tugas tertentu. Tugas-tugas ini harus dicapai oleh orang-orang
dalam suatu organisasi yang dipahami secara mendasar sebagai sebuah ’struktur’
untuk pembiasaan interaksi dan proses. Tujuan dari struktur ini adalah untuk
memperoleh penampilan tugas-tugas yang efisien dan konsisten.
Ketika kita sekarang berbicara tentang struktur organisai sebagai satu
faktor diantara beberapa yang mempengaruhi perilaku karyawan, pada awalnya,
hal itu merupakan fokus manajemen. Ott menyatakan, ”Struktur – sebuah bentuk
organisasi, ukuran, prosedur, teknologi produksi, deskripsi posisi, penyusunan
laporan dan hubungan koordinasi – mempengaruhi perasaaan dan emosi, dan
termasuk perilaku orang-orang dan kelompok yang berada di dalamnya” (1996,
304). Pearsaan-perasaan dan emosi-emosi ini secara umumnya diabaikan dalam
penelitian organisasi dan manajemen selama beberpa dekade. Bahkan, hal itu
diasumsikan bahwa jika pekerjaan didesain dengan baik dan hubungan
kebijaksanaan distrukturkan dan dibiasakan dengan tepat, effisiensi optimum
dapat dicapai.
Manajemen Hierarki dan Keilmuan
Ahli sosiologi Jerman, Max Weber mungkin yang paling diasosiasikan
dengan pendekatan struktur untuk penanganan dan pengontrolan perilaku manusia
dalam organisasi. Weber menggambarkan struktur organisai hieraki seperti yang
dicirikan oleh hierarki kekuasaan, membiasakan peraturan dan prosedur, dan
memformulasikan kedudukan dengan tugas-tugas yang tetap, dan mengatakan
bahwa struktur semacam itu akan mengarahkan pada penampilan yang dapat
diprediksi dan efisien. ”Ketelitian, kecepata, kejelasan, pengetahuan terhadap
berkas-berkas, keberlanjutan, kebijaksanaan , kesatuan, pembagian yang ketat,
pengurangan perselisihan dan biaya material dan individual – hal-hal ini
ditingkatkan pada titik optimum dalam administrasi birokrasi yang ketat.”
(Weber, dikuti dalam Gerth dan Mills 1946, 214). Sebagian karena birokrasi
merupakan cara yang terbaik untuk memperoleh effisiensi, Weber mengatakan,
birokrasi adalah ”Hal yang dikenal paling rasional dalam membawa kontrol
perintah terhadap manusia” (337). Hal ini dicapai, sebagian, dengan pembuatan
proses adminisrasi sebagai tujuan, rasional, dan depersonal yang dimungkinkan.
”tujuan pengeluaran bisnis pada umumnya berarti pengeluaran bisnis menurut
peraturan yang dapat dihitung dan ’tanpa ada hubungannya dengan individu’ ”
(215). Weber melanjutkan mengatakan bahwa kemanusiaan kerja ini, ”merupakan
sifat spesifik birokrasi dan hal itu dinilai sebagai kebenaran spesial ” (216).
Tetapi, Weber sendiri khawatir mengenai konsekuensi birokrasi dan
semangat individu manusia. Dia mengatakan ”’demokrasi’ seperti yang melawan
pada ’peraturan’ birokrasi” (Weber, dikutip dalam Gerth dan Mills 1946, 231).
Bahkan jika begitu, Weber berpikir bahwa akhirnya kekuasaan birokrasi akn
melebihi bidang politik: ”dibawah kondisi normal, posisi kekuassaan birokrasi
yang sangat berkembang selalu melebihi kekuasaan” (232).
Weber tidak hanya khawatir tentang implikasi birokrasi untuk
pemeintahan demokrasi, tetapi dia juga khawatir tentang konsekuesnsinya untuk
masyarakat. ”birokrat individual tidak dapat dilepaskan dari aparat dimana dia
dikekang (weber dikutip dalam Gerth dan Mill 1946, 228). Dia merujuk
birokratisasi sebagai penciptaan sebuah ’sangkar besi’ dimana ” semua bentuk
pelaksanaa sosial yang berorientasikan nilai akan dicekik oleh struktur birokrasi
yang maha kuassa dan oleh jaringan formal-rasional hukum dan peraturan yang
sangat kuat, melawan individual yang tidak lagi memiliki kesempatan untuk
berdiri sama sekali” (Mommsen 1974, 57). Selain masalah-masalah ini, nilai
birokrasi dan efisiensi secara khususnya ditemukan berkembang subur dengan
ahli teori manajemen sebelumnya yang mencari cara terbaik untuk mengontrol
karyawan dan meraih efisiensi. Para ahli teori manajemen sebelumnya ini melihat
karyawan secara mendasar adalah sebagai perluasan alat dan mesin mereka. Hal
itu dipikirkan bahwa ketakutan hukuman fisik atau ekonomi diperlukan untuk
membuat orang bekerja. Hanya mereka yang termotivasi oleh uang atau ketakutan
yang akan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
Contohnya, seperti yang telah kita lihat, Frederick Taylor menentang
bahwa karyawan akan melakukan apa yang dikatakan oleh merekka jika mereka
diberi perintah-perintah yang spesifik dan kemudian dibayar dengan sewa yang
sesuai. Dia meminta manajer untuk mempelajari tugas-tugas yang diberikan,
menjalankan cara terbaik untuk menampilkannya, dan kemudian menyeleksi
secara keilmuan dan melatih karyawan melakukan pekerjaan. Para karyawan
kemudian dapat dibujuk untuk tampil dengan membayar sejumlah uang untuk tiap
tugas yang ditampilkan atau produk yang dihasilkan. Hal ini jelas bahwa dia
mengasumsikan karyawan sebagai seorang yang secara alamiahnya malas dan
bofoh. Contohnya, dalam komentarnya tentang membujuk orang untuk
menangkap besi besar, dia mengatakannya ”mungkin untuk melatih seekor gorila
pintar” untuk melakukan pekerjaan mereka (1911, 40). Dia juga mengharapkan
karyawan mematuhi atasan tanpa banyak pertanyaan.
Faktor manusia
Pemikiran-pemikiran mengenai kepatuhan terhadap kekuasaan dan
hierarki ini merupakan doktrin manajemen yang dominan pada awal 19an dan
masih memiliki pengaruhn yang dapt dpertimbangkan sampai hari ini. Meskipun
ada beberapa tulisan kemanusiaan yang lebih awal pada manajemen dan karyawan
(Follett, 1926; Munsterberg 1913), hal itu tidak sampai pada penerbitan penelitian
Halwthorne pada 1930 bahwa ada kesadaran penting terhadap pentingnya sosial
(sebagai lawan untuk eknomi atau teknik) faktor dalam motivasi kerja. Bahkan
penelitian-penelitian hawthorne dimulai sebagai studi ”hubungan antara kondisi
kerja dan insiden kepenatan dan situasi yang monoton diantara pekerja” (Roethlis
– Berger dan Dickson 1939, 3). Tetapi penelitian ini tiidak berlanjut seperti yang
direncanakan dan para peneliti pada akhirnya menemukan bahwa hubungan-
hubungan manusia (termasuk hubungan pekerja dengan para peneliti )
mempengaruhi perilaku pekerja. Konsekuensinya, model-model baru diperlukan
untuk menjelaskan perilaku pekerja. Para peneliti menemukan bahwa perilaku dan
motivasi adalah hal yang kompleks, yang dipengaruhi oleh sikap, perasaan dan
makna yang orang berikan pada pekerjaan mereka dan hubungan mereka pada
pekerjaan. Seperti yang dikatahkan Roethlis – Berger dan Dikson ”ini adalah tesis
sederhana kami bahwa sebuah masalah manusia memerlukan sebuah solusi ”
(1939, 35).
Peneliti yang secara langsung mengikuti penelitian Hawthrone
menghsailkan sebuah pemahaman yang lebih rumit akan hubungan antara orang-
orang, pekerjaan dan organisai. Pentingnya pemikiran-pemikiran tentang
kerjasama manusia dan pengaruh kelompok-kelompok (Knicker Bocker dan Mc
Gregor 1942) dipelajari oleh para peneliti untuk menentukan bagaimana faktor-
faktor ini mempengaruhi penampilan kerja. Pada 1950, ada persetujuan yang
berkembang diantara para ahli teori manajemen bahwa motivasi merupakan
sebuah konsep psikologi daripada sebuah konsep yang murni ekonomi.
Pengakuan ini dicontohkan dalam laporan Mc gergor (1957) dimana dia
membedakan antara apa yang disebut asumsi teori X dan teori Y tentang pekerja.
Dia menentang bahwa periontah tradisional dan pendekataan-pendekatan kontrol
(teori X) berdasarkan asumsi bahwa orang-orang bersifat malas, tidak mau
bergabung, dan termotivasi semata-mata karena uang, yang sebenarnya
menyebabkan orang bertindak menurut cara yang konsisten dengan harapan. Teori
Y, di sisi lain didasarkan pada lebih banyak pandangan manusia terhadap sesuatu
yang optimis dan manusiawi, dan menekankan martabat dan nilai individual
dalam organisasi. Berpegang pada sumsi-asumsi ini, dan bertindak sesuai dengan
hal itu, akan membuat kualitas positif pekerja ini untuk menyumbangkan diri
mereka dalam organisaas. Teori yang lain melihat pada aspek motivasi pekerja
yag berbeda dan melakukan penelitian pada perilaku individual dibawah naungan
yang berbeda. Dalam istilah sederhananya, teori motivasi kontemporer mencoba
menjelaskan kesukarelaan, tujuan yang diarahkan pada perilaku. Ada berbagai
model yang menekankan aspek-aspek motivasi yang berbeda: kebutuhan manusia
(Herzberg 1968; Mc Clelland 1985; Maslow 1943); harapan-harapan individu,
ketrampilan-ketrampilan dan keinginan-keinginan (Vroor 1964); setting tujuan
(Locke 1978); persepsi terhadap keadilan dan kejujuran (Adams 1963);
kesempatan untuk partisipasi (Lawler 1990); dan motivasi berdasarkan nilai-nilai
dan norma-norma pelayanan publik (Perry dan Wise 1990).
Ketika asumsi-asumsi tentang pekerja dan perubahan motivasi mereka,
begitu juga kerangka yang dominan terhadap pemahaman peran manajemen dan
kepemimpinan. Peran manajemen secara aslinya dipahami sebagai tugas dan
prosedur pendokumentasian, dan kemudian pengawasan dan pengontrolan pekerja
yang sesuai. Dengan pengaukan komponen psikologi terhadap motivasi manusia
perlu untuk memperluas definisi manajemen untuk memasukkan ”hubungan
manusia” untuk menjaga para pekerja merasa puas dan produktif. Pentingnya,
namun, ketika parameter manajemen berubah, tujuannya biasanya tetap sama –
untuk meningkatkan dan mengatur produkktifitas. Dalam banyak hal, pemikiran
diarahkan untuk memprlakukan orang lebih baik dan lebih manusiawi dengan
tujuan untuk memperoleh penampilan yang lebih baik dari mereka. Hal ini tidak
berlangsung sampai beberapa abad yang lalu ketika argumen bahwa
memperlakukan orang dengan hormat dan martabat merupakan suatu hal yang
penting, tidak hanya sebgai cara yang mudah untuk meningkatkan produksi,
mendapatkan uang dalam teori manajemen.
Kelompok kebudayaan dan administrasi demokrasi
Sejumlah sudut pandang lain pada penanganan perilaku karyawan juga
telah muncul dan mendapat perlakuan. Hal ini ditentang, contohnya, bahwa
norma-norma dan perilaku kelompok mempengaruhi perilaku individual (Asch
1951; Romans 1954; Lewin 1951; Sherif 1936; Whyte 1943). Para ahli teori ini
menyarankan bahwa manusia adalah bentuk kelompok sosial baik didalam
maupun diluar organisasi. Kelompok-kelompok ini menciptakan norma-norma,
peraturan-peraturan dan harapan-harapan untuk anggota baik untuk kebutuhan
individual untuk tergabung dan merasa dimiliki, tetapi juga membutuhkan sebuah
tingkat kecocokan untuk mengatur keanggotaan. Untuk itu, kelompok kerja baik
formal dan informal, menciptakan sebuah konteks normatif untuk perilaku kita
dalam organisasi. Marry Parker Follett, contohnya menentang bahwa kelompok
dinamik dan motivasi inddividual seharusnya membentuk basis administrasi.
Daripada hanya merespon pada perintah, manajer dan karyawan seharusnya
mendefinisikan masalah administrasi secara bersama dan merespon scara tepat –
mengambil ’tugas’ mereka dari situasi tersebut. Dia menulis pada 1926,
”seseorang tidak seharusnya memberi perintah kepada yang lainnya, tetapi
keduanya seharusnya setuju untuk mengambil perintah dari situasi” (dikutip
dalam Shafritz dan Hyde 1997, 56). Para ahli teori yang lainnya masih melihat
pada bagaimana karakteristik individu mempengaruhi perilaku organisasional
seperti mereka yang menekankan taraf hisup pekerja (Schott 1986) atau
karakteristik personal (Myers Briggs atau penemuan yang sama). Power dan
politik salah satu bagian dari ilmuan politik dan filosof, juga telah menggunakan
sebuah lensa untuk pemahaman perilaku manusia dalam organisasi (French dan
Raven 1959; Kotter 1977; pfeffer 1981).
Kritik terhadap birokrasi dan hierarki juga telah diluncurkan dari titik poin
ketidakkonsistenan antara irokrasi dan pemerinthana demokrasi. Waldo dalam
bukunya the administtratif state (1948), contohnya, menentang tidak haya
pertanyaan-pertanyaan administrasi yang memiliki nilai melekat – yang dimuat,
tetapi bahwa administrasi itu sendiri harus dibuat konsisten dengan prinsip-prinsip
demokrasi. ”the administratif state” mengandung sebuah pesan yang kuat: bahwa
sebuah penerimaan pandangan administrasi tanpa kritik melibatkan sebuah
penolakan terhadap teori demokrasi dan bahwa ini merupakan sbuah masalah
sosial, tidak hanya sebuah masalah ”manajemen administrasi”( Denhardt 2000,
66-67). Dengan kata lain, argumen Waldo meru[akan perluasan birokrasi yang
netral dan bersifat hierarki yang pada akhirnya akan merongrong demokrasi.
Hanya dengan mebuat mesin administrasi setia pada norma-norma dan
prinsip-prinsip demokrasi, ancaman-ancaman ini dapat diatasi. Hal ini tidak hanya
membutuhkan perluasan peran warga negara dalam kebijakan administrasi, tetapi
hal itu juga membutuhkan pereformasian pada proses administrasi itu sendiri.
Seperti yang telah disarankan oleh Levitan ”sebuah negara demokrasi harusnya
tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi saja tetapi juga secara
demokratis diadministrasikan, filosofi demokrasi menyiapkan mesin
administrasinya ”(1943, 359). Waldo bahkan lebih tajam dalam kritiknya terhadap
hierarki dan kontrol birokrasi dan harapannya untuk reformasi, mengatakan
bahwa yang dibutuhkan adalah:
Penyerahan kekuasaan secara substansial – kepatuhan, atasan – pola pikir
bawahan yang cenderung mendominasi teori adminsitrasi kami.... Dalam sedikit
kesempataan optimisme, seseorang membiarkan dirinya sendiri pada indahnya
mimpi masyarakat dimasa yang akan datang dimana pendidikan dan kebudayaan
umum sejalan dengan dunia kerja dimana semuanya berpartisipasi sebagai
’pemimpin dan pengikut’ menurut peraturan permainan yang dikenal oleh
semuanya. Masyarakat seperti itu akan menjadi post-birokrasi. (Waldo 1948,
103).
Kritik terhadap birokrasi dan panggilan untuk membuat administrasi lebih
demokrai dijalin dengan rapi dengan perkembangan yang terjadi dalam motivasi.
Contohnya, pembuatan administrasi menjadi lebih demokrasi dan kurang hierarki
akan mengijinkan individu-individu untuk mengekspresikan kecwnderungan
alamiah mereka untuk bekerja dan bertanggungjawab seperti yang disarankan oleh
Mc Gregor, untuk memenuhi kebutuhan sosial penghargaan dan aktualisasi diri
seperti yang telah disarankan oleh Maslow dan untuk mengambil perintah dari
situasi yang dianut oleh Follett.
Pemikiran penting yang lainnya sehubungan dengan penanganan perilaku
oraang-orang dalam oorganisasi merupakan konsep kebudayaan organisasional.
Daripada melihat organisasi sebagai sebuah struktur yang statis, sudut pandang
kebudayaan organisasional digambarkan dari bidang antropologi untuk
memahami bagaimana norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai
dibagi oleh anggota dari sebuah organisasi dan, pada gilirannya mendefinisikan
batasannya. Norma-norma dan nilai-nilai yang dibagi ini jelas dalam bahasa dan
perilaku anggota organisasi, ritual dan simbol, dan pada artifak yang mereka
hasilkan. Kebudayaan mengekspresikan pemikiran dan nilai0nilai keseluruhan
yang mendefinisikan sebuah organisasi dan memiliki sebuah pengaruh yang
penting dan abadi pada anggotanya. Schein (1987) menyarankan bahwa ada tiga
tingkatan kebudayaan organiisasional: (1) lingkungan sosial dan fisik yang dapat
diobservasi, seperti tata letak fisik, teknologi yang lebih dipilih, pola-pola bahasa,
atau rutinitas operasi dari hari ke hari yang memberi petunjuk pada perilaku
orang-orang; (2) nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran tentang cara organisasi yang
seharusnya; dan (3) asumsi-asumsi dan kepercayaan-kepercayaan yang seringkali
tersembunyi dan sanagt tidak dipertanyakan diselenggarakaan oleh anggota
organisasi yang mnegarahkan tingkah laku mereka.
Schein menyarankan bahwa kategori terakhir membentuk inti definisi
kebudayaan: ”sebuah pola asumsi dasar.....yang telah bekerja dengan baik untuk
dianggap valid dan, untuk itu diajarkan kepada anggota-anggota yang baru
sebagai jalan yang benar untuk menyadari, berpikir dan merasa dalam hubungan
masalah-masalah itu” (1987, 9). Atau seperti yang dikatakan Ott, ”itu berfungsi
sebagai mekaniisme kontrol organisasional, penerapan atau larangan perilaku
secara tidak formal ” (1989, 50).
Selain evolusi pemikiran, masih ada kekurangan sebuah konsensus tentang
apa yang mendorong orang-orang dan bagaimana cara yang terbaik untuk
mempengaruhi perilaku dalam organisasi. Seperti yang akan dibahas pada bagian
yang selanjutnay, teori pilihan publik menentang dengan kuat untuk sebuah model
perilaku dan motivasi manusia yang hanya berdasarkan pada minat, pembuatan
keputusan individu, untuk pengeecualian terhadap penjelasan yang lain mengenai
perilaku manusia.Untuk ynag lainnya, telah ada sebuah pengembangan pengakuan
bahwa sebagai tamabahan untuk minat individu, motivasi manusia termasuk
faktor sosial dan psikologi. Hal ini mengarah paad sebuah pandanagan yang lebih
kompleks akan hubungan antar organisasi dan perilaku manusia dan kelompok
yang mempengaruhi perilaku. Dalam oandangan yang lebih kompleks berikut,
juga diasumsikan bahwa individual dengan pengalaman dan kepribadian yang
berbeda akan merespon kehidupan orerganisasi dalam cara yang berbeda.
Organisasi politik juga dipercaya mempengaruhi perilaku karena orang-orang
mencari untuk mmeperoleh dan memelihara kekkuasaan. Akhirnya, dalam
pandangan ini, organisasi kebudayaan dipandang sebagai penciptaan konteks
normatif untuk perilaku dalam organisasi. Pendeknya, untuk teori-teori ini, orang-
orang dipandang sebagai pembawa kebutuhan sosial dan emosional untuk
pekerjaan. Pada bagian yang selanjutnya, kami akan mengeksplor bagaimana isu-
isu ini berhubungan denagn persepektif Administrasi Publik Lama, Manjemen
Publik Baru, dan Pelayanan Publik Baru.
Administrasi Publik Lama: Penggunaan kontrol untuk Meraih Effisiensi
Administrasi publik lama didasarkan pada ide bahwa effisiensi merupakan
nilai yang penting dan abhwa orang0orang tidak akan produktif bekerja keras
kecuali kamu membuatnya begitu. Dalam pandangan ini, para pekerja
akanmenjadi produktif hanya ketika mereka disediakan dengan motivasi
keuangan, dan ketika mereka percaya bahwa manajemen dapat dan akan
menghukum mereka karena kerja mereka yang buruk. Motivasi pekerja tidak
dinilai secara langsung. Pada awal abad dua puluh, ketika administrasi publik
lama merupakan model yang dominan, orang-orang diharapkan untuk hanya
menghuikuti perintah, dan pada kebanyakan yang terjadi, mereka mengikutinya.
Pekerjaaan publik dianggap sebagai sesuatu hal yang sederhana tetntang
penyusunan yang dianalogikan dengan pekerjaan di sektor privat: Dalam
perubahan untk sebuah gaji tetap, pekerja akan dengan hati-hati dan secara
metodologi mengerjakan tugas-tugas tang diberikan. Perlakuan terhadap pekerja
sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dan emosi, dengan kontribusi dan
wawasan, dengan nilai di dalam diri mereka sendiri, bukanlah merupakan bagian
dari persamaan ini.
Efisiensi, didefinisikan sebagai perbandingan antara biatya pengeluaran,
meminta bahwa kontrol biaya dan produktivitas merupakan hal yang penting, jika
dasarnya tidak begitu, tujuan-tujuan dari manajemen. Tanatangannya dalah bahwa
pekerja duanggap sebagai biaya. Untuk itu, tujuannya dalah untuk mengurangi
biaya pekerja dengan memperolrh hasil maksimum dari tiap pekerja dengan
menyiapkan gaji seminim mungkin dan insentif keuangan lainnya. Penekanannya
adalah pada pemerolehan effisiensi, tidak untuk jangka panjang kesehatan orang-
orang ynag bekerja dalam organisasi, palin tidak dari anggota dalam suatu
komunitas. Hal itu diasumsikan bahwa isu komunitas, warga negara , dan
demokrasi jatuh secara merata dalam bidang politik dan benar-benar di luar ruang
lingkup administrasi. Untuk memperluas nahwa pendekata humanistik dapat
diakomodasi dalam administrasi publik lama, mereka itu hanya dilihat sebagai
kendaraan untuk menyelamatkan agar lebih produktif. Contohnya, dalam
penelitian Hawthorne hal ini direkomendasikan bahwa manajer menyediakan
’kotak saran’ untuk pekerjanya, untuk membuat mereka merasa lebih terlibat
sehingga lebih produktif secara potensial. Tetapi tidak ada pertimbangan ide
bahwa saran-saran sebenarnay mungkin berguna atau penting untuk mereka
sendiri.
Pemikirannya dalah bahwa organisasi itu sendiri seharusnya
memperhatiikan masalah manajemen. Jika hal itu dapat distrukturkan menurut ke-
ideal-an birokrasi, jika hal itu dapat meningkatkan nilai dari kemampuan dan
keahlian, dan jika sistem manajemen dapat diletakkan pada temaptnya untuk
mengontrol dan menghitung biaya pengeluaran, kemudian organisasi publik akan
memenuhi fungsi yang diinginkan.
Manajemen Publik Baru: Penggunaan Insentif Untuk Meraih Produktifitas
Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, teori pilihan publik didasarkan
pada sejumlah asumsi penting tentang perilaku orang-orang dan bagaimana cara
terbaik manangani perilaku itu untuk meraih tujuan kebijakan publik. Teori agen
pimpinan menerapkan asumsi-asumsi ini untuk menjelaskan hubungan antara
eksekutif dan para pekerja dalam sebuah organisasi dengan menggunakan metapor
sebuah kontrak. Kontrak ini penting karena, meskipun pekerja atau agen
melakukan kepentingan eksekutif atau pemimpin, tujuan dan sasaran mereka
berbeda. Sebagai hasilnya, pemipin harus mendapat infoemasi yang cukup untuk
mengawasi agen, menentukan hasil-hasil, dan menyediakan insentif yang cukup
untuk memperoleh tujuan dan sasaran tersebut secara konsisten. Karenaa
tujuannya adalah efisiensi, pertanyaan kemudian menjadi sebuah masalah
terhadap pendekatan apa yang paling sedikit menghabiskan biaya dimana
organisasi dapat menjaga pekerjaanya dari tujuan mereka sendiri, daripada
organisasi, tujuan-tujuan, dan untuk membuktikan bahwa mereka melakukannya.
Manajemen publik baru dengan kepercayaannya terhadap pilihan publik
dan teori agen pimpinan, telah membuat beberapa kontribusi penting untuk
pemahamna kita terhadap perilaku manusia. Hal ini perlu dicatat, namun, bahwa
ha itu tergantung pada ekonomi secara rasional karena penjelalsan perilakun
manusia untuk pengeluaran motivasi pemahaman yang lain dan pengalaman
manusia. Jika demikian stu-satunya cara untuk mempengaruhi perilaku mereka
dengan sukses adalah dengan mengubah atuan pembuatan keputusan atau insentif
seperti untuk mengubah minat mereka untuk lebih sejalan dengan prioritas
organisasi.
Pelayanan Publik Baru: Menghormati Idealisme Pelayanan Publik
Asumsi-asumsi mengenai motivasi dan perlakuan kepada orang-orang
dalam pelayanan publik baru sangat berbeda dengan administrasi publik lama dan
manajemen publik baru. Administrasi publik lama mengasumsikan orang-orang
sebagai teori X Mc Gregor yang digambarkan sebagaai berikut: malas, bodoh,
kurang termotivasi dan tidak mau menerima tanggungjawab. Untuk itu, mereka
harus dikontrol dan diperlakukan dengan hukuman untuk menyelamatkan kerja
mereka. Manajemen publik baru memiliki pandangan yang berbeda, tetapi tidak
lebih dipercaya. Hal itu diiasumsikan bahwa mereka memikirkan diri sendiri dan
akan memenuhi tujuan mereka sendiri kecuali jika mereka diawasi dan disediakan
dengan cukup insentif untuk melakukan hal yang sebaliknya. Seperti itu,
manajemen publik baru seperti manajemen keilmuan Taylor, tidak melibatkan
pertimbangan terhadap noorma-norma dan nilai-nilai kelompok, kebudayaan
organisasi, penilaian emosi dan sosial dan kebutuhan psikologi dan kebutuhan tak
rasional lainnya. Itu meniadakan ide bahwa orang-orang melakukan tindakan
dengan bertanggungjawab untuk membagi nilai, kesetiaan, kemasyarakatan dan
minat publik.
Kami tidak menyarankan bahwa orang-orang itu tidak pernah malas atau
memikirkan diri sendiri. Malahan, mengandalkan pada memikirkan diri sendiri
sebagaai dasar penjelasan terhadap periaku manusia yang mewakili pandangan
terhadap orang-orang yang sangat sempit dan sangat nnegatif, bahwa selain tidak
dilahirkan dengan pengalaman atau dapat diadili dari sebuah titik tolak normatif.
Dengan kata lain orang-orang sebenarnya tidak bertindak seperti itu. Yang lebih
penting mereka tidak akan melakukan hal itu.
Elemen-elemen perilaku manusia yang berada pada inti pelayanan publik
baru, seperti martabat manusia, kepercayaan, rasa memiliki, peduli sesama,
pelayanan dan kewarganegaraan berdasarkan ide dan minat publik yang dibagi,
ditekankan pada administrasi publik lama dan manajemen publik baru. Dalam
pelayanan publik baru, idealisme seperti keadilan, kejujuran, tanggapan, rasa
hormat, kewenangan dan komitmen tidak ditiadakan tetapi lebih berat daripada
nilai efisiensi sebagai kriteria dasar untuk operasi pemerintah. Seperti yang
dikatakan Frederickson, ”orang-orang yang mempraktekan administrasi publik
harus akrab dengan isu demokrasi perwakilan dan langsung, dengan partisipasi
warga negara, dengan prinsip terhadap keadilan dan kebebasan individu” (1982,
503). Frederickson membahas tentang hubungan antara pegawai negeri sipil dan
warga negara, tetapi prinsip yang sama menerapkan bagaimana manajer publik
seharusnya memperlakukan peggawai negeri sipil.
Jika anda mengasumsikan bahwa orang-orang mampu memikirkan apa
yang dipikirkan orang lain terhadap pelayanan, bertindak pada nilai-nilai yang
dibagi sebagai warga negara kemudian hal itu hanya akan konsisten secara logis
bahwa anda mengasumsikan pekerja publik mempunyai persamaan motivasi dan
perilaku. Anda tidak dapat menghharapkan pegawai publik untuk memperlakukan
warga negaranya dengan format dan bermartabat jika mereka sendiri tidak
diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Kami tidak dapat mengharapkan
mereka untuk mempercayai dan berwewenag atas yang lainnya untuk
mendengarkan ide-ide mereka dan bekerja secara kooperatif kecuali kami mau
melakukan hal yang sama untuk mereka. Dalam pelayanan publik baru, tantangan
dan kompleksitas yang sangat besar dari pekerjaan administrasi publik dikenal.
Pelayanan dan idealisme demokrasi diterima. Pegawai publik dipandang tidak
hanya sebagai pekerja yang sangat butuh akan keamanan dan struktur birokrasi
kerja (administrasi publik lama), tidak juga sebagaai partisipan dalam sebuah
pasar (manajemen publuk baru); bahkan pegawai publik adalah orang-orang yang
memiliki motivasi dan penghargaan lebih dari sebuah masalah sederhana akan
pembeyaran atau keamanan. Mereka ingin membuat perbedaan dalam kehidupan
mereka dari yang lainnya (Denhardt, 1993; Perry dan Wise, 1990; Vinzant, 1998).
Elmeer Staats, pendiri pemeriksa keunagan Amerika Serikat dan seorang pegawai
publik yang berbeda, sekali menulis bahwa pelayanan publik jauh dari sebuah
kategori pekerjaan. Hal ini lebih baik didefinisikan, dia mengatakan, sebagai
”Sebuah sikap, tanggung jawab sebagai tugas-bahkan rasa tanggung jawab
terhadap moralitas publik” (1988, 602). Hal ini konsisten dengan arti bahwa motif
pelayanana publik sangat penting dan berkuasa dalam memotivasi perilaku
pegawai negeri sispil. Motivasi pelayanan publik didasarkan pada sebuah
predisposisi personal untuk merespon motif-motif yang dilatar belakangi secara
mendasar atau unik dalam institusi publik dan organisasi (Perry dan Wise, 1990).
Dengan kata lain, ada motif-motif tertentu yang diasosiasikan dengan
alam, pekerjaan pelayanan publik yang melibatkan pelayanan sekitar kepaad yang
lainnya dan minat publik. Motif motif ini dihubungkan denagn nilai-nilai seperti
kesetiaan, tugas, kemasyarakatan, keadilan, kesempatan, dan kejujuran.
Penelitianj telah menunjukkan bahwa hal-hal yang didasari norma, dan motif
kasih sayang merupakakn sesyatu hal yang unik untuk pelayanan publik dan
bersifat kritik untuk memahami perilaku dalam organisasi publik (Halfour dan
Weschler 1990; Denhardt, dan Aristigueta 2002; Frederickson dan Hart 1985;
Perry dan Wise 1990; Vinzant 1998).
Seperti yang telah kita lihat, Frederickson dan Hart (1985) menentang
bahwa terlalu serimg kita gagal membuat sebuah perbedaan antara apa yang
mereka sebut sebagai ’pembawaan moral’ terhadap pelayanan dalam sektor publik
dan pekerjaan di sektor privat. Ketika kita melakukan hal tersebut,
kami............idealisme baik warga negara demokrasi maupun pelayan publik.
Mereka memanggil kembali apa yang mereka sebit sebagai ’patriotisem ketaatan’
pertama yang berdasarkan pada cinta dan patriotisme terhadap nilai–nilai
demokrasi dan kedua, ketaatan didefinisikan sebagai ’cinta yang meluas dan non-
instrumental terhadap yang lainnya’ (1985, 547). Hal ini berarti bahwa kita
seharusnya melayani dan peduli kepada yang lainnya, dan bekerja melindungi
hak-haknya, tidak karena hal itu meluaskan minat kita sendiri, tetapi karena hal itu
eru[akan hal yang harus dilakukan untuk kepentingan mereka sendiri. Patriotisme
ketaaan ini, mereka menentang, seharusnya menjadi ’motivasi utama dari pegawai
publik di Amerika Serikat’ (547). Hla yang sama, Harts menekankan bahwa
kewajiban utama pegawai publik adalah ’untuk mendorong otonomi masyarakat’ ;
untuk memrintah denag persuasi, mencegah korupsi akibat kekuasaan; dan untuk
menjadi bagian dari warga negaraa (1997,967). Untuk itu dia mengatakan,
”pegawai publik diwajibkan memiliki nilai-nilai tersebut dengan sadar dalam
semua aktivitasnya, apakah dengan atasan, kolega, bawahan, atau masyarakat
umum.” (1997, 968 tekanan ditambahkan). Secara sederhananya, dalam organisasi
publik, kita perlu memperlakukan satu sama lainnya dan warga negara dalam
sebuah cara yang konsisten dengan idealisme demokrasi, kepercayaan dan rasa
hormat. Kita melakukan hal tersebut karena kita percaya bahwa orang-orang
merespon dan dimotivasi oleh nilai-nilai seperti itu, dan karena kami percaya
bahwa pelayanan publik memainkan peran penting dalam meningkatkan dan
mendorong aspek-aspek karakter manusia tersebut.
Karena dipraktekkan secar berbicara, kemudian, nilai-nilai pelayanan
publik baru mendiktekan apa yang kami dorong, model, dan membuat komitmen
kami untuk idealisme demokrasi dan kepercayaan kami terhadap yang lainnya.
Sebagi manajer, kami dapat mendorong minat pelayanan publik dan nilai-nilai
dengan membuatkan mereka bagian pusat identitas dan kebudyaan organisasi.
Karena kita tahu dan percaya bahwa orang oramg yag kami pekerjakan dengan
keinginan untuk melayani yang lainnya, maka perlu memperlakukan mereka
sebagai rekan dalam pencarian minat publik. Hal ini menyarankan, bahkan
meminta, sebuah keanggotaan yang setia, pendekatan partisipasi untuk
manajemen-tidak hanya sebagai alat instrumentasi untuk meningkatkan
produktivitas, tetapi sebagi alat untuk meningkatkan nilai-nilai pada inti dari
pelayanan publik. Roy Adams mengatakannya: ”Effisiensi tidaklah cukup”.
(1992, 18).
Pendekatan partisipatif diperluakn dalam tujuannya dalam organisasiuntuk
memiliki ”sebuah kepatuhan dan keberadaan yang dihargai”. Lebih jauh,
meskipun partisipasi serong meningkatkan penampilan kerja, nilainya seharusnya
tergantung pada kontribusinya untuk hal-hal yang laian. Patisipasi merupakan
sebuah nilai yang penting untuk diri sendiri dan yang lainnya.
Robert Golembiewski (1997), seperti yang telah kita lihat sebelumnya,
telah menentanag bahwa demokrasi organisasional didasrakan pada partisipasi
dengan orang terhadap hasil penampilan organisasi, berbagi informasi tingkat
manajemen di seluruh organisasi, menjamin hak-hak individu, ketersediaan
permohonan atau jalan lain dalam kasus perselisihan yang tajam, dan rangkaian
dukungan sikap dan nilai. Dia menyarakan bahwa semakin dekat suatu organisasi
pada kriteria ini, organisasi akan semakin demokrasi. Edward lawler (1990)
mengnaut apa yang disebut manajemen ”keterlibatan yang tinggi”, berdasarkan
pembagian informasi, pembuatan keputusan, dan enghargaan sebagai empat
komponen kunci terhadap program partisipasi pekerja. Dia menentang bahwa
partisipasi meningkatkan motivasi karena hal itu membantu orang-orang
memahami apa yang diharapkan dan mlihat hubungan antara penampilan dan
hasil.
Menurut Kearney dan Hays (1994),manajer publik mulai menyadari begitu
pentingnya menggunakan pendekatan manajemen partisipasi. Para penulis inim
menetang bahwa pendekatan partisipasi seharusnya dimiulai dengan premis
bahwa para pekerja merupakan aset organisai yang paling penting, dan seharusnya
diperlakukan dengan perilaku yang sesuai. Semau pekerja harus diperkuat dengan
manajemen untuk berpartisipasi dalm pembuatan keputusan dan harus diijinkan
untuk melakukan hal tersebut tanpa ketakutan. Berdasarkan tinjauan penelitian
terhadap pendekatan partisipasi untuk pembuatan keputusan organisasi, mereka
menyimpulkan bahwa pendekatan ini merupakan sesuatu cara yang efektif untuk
meningkatkan kepuasan dan produktifitas pekerja.
Dalam pelayanan publik baru, faktor bahwa pendekataan-pendekatan ini
bekerja dengan lebih baik untuk meningkatkan kepuasan, mendobrak
produktivitas dan meningkatkan kapasitas organisasi untuk perubahan merupakan
hal yang penting. Pada kenyataanya, hal itu telah ditunjukkan bahwa meskipun
kualitas manajemen dan partisipasi dalam pembuatan keputusan memiliki
pengaruh-pengaruh positif terhadap penampilan pekerja, partisipasi dalam
pembuatan keputusan memiliki efek yang lebih besar (Stashevsky dan Elizur,
2000). Apa yang penting dari titik tola pelanan publik baru adalah bahwa
pendekatan partisipasi dan inklusi merupakan satu-satunya yang membangun
kewarganegaraan, tanggungjjawad, dan kepercayaan dan meningkatkan nilai-nilai
pelayanan dalam minat publik. Hal-hal hanyalah pendekatan-pendekatan yang
berarti jika anda memulai dengan asumsi bahwa pegawai publik adalah, dan
seharusnya termotivasi dengan idealisme demokrasi dan pelayanan untuk lainnya.
Untuk memperlakukan mereka, tetapi tidak menurunkan semangat sumber-
sumber yang penting ini, sumber kebanggaan yang penting dan motivasi untuk
egois dalam pencarian minat publik. Ini merupakan inti pelayanan publik normatif
yang berarti mengamati polisi dan pemadam kebakaran, pelayanan kesehatan dan
emergensi _ para pekerja, begitu juga relawan masyarakat pada tanggal 11
September 2001, menyerang New York dan Washington DC. Kesetaan terhadap
pelayanan publik mencerminkan apa yang terbaik dan paling penting untuk
meraih nilai-nilai publik dan idealisme demokrasi.
Seperti yang didiskusikan dalam bab 8, arti dari kepemimpinan yang
dibagi adalah bersifat kritis dalam menyediakan kesempatan untuk karyawan dan
masyarakat untuk memperkokoh dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan motif
pelayanan publik mereka. Dalam pelayanan publik baru, kepemimpinan yang
dibagi, kolaborasi, dan penguatan menjadi norma didalam dan di luar organisasi.
Kepemimpinan yang dibaagi memfokuskan pada tujuan-tujuan, nilai-nilai dan
idealisme bahwa organisasi dan komunitas mempunyai keinginan untuk maju.
Seperti yang dikatakan Burns (1978), latihan kepemimpinan dengan bekerja
dengan orang-orang mentransformasikan dan memindahkan fokus mereka pada
tingkat nilai yang lebih tinggi. Melalui kepemimpinan yang dibagi (atau
transformasional), tujuan dan akhir organisasi, kelompok dan komunitas
ditransformasikan kepada yang lainnya, nilai-nilai dan tujuan yang lebih tinggi.
Proses ini harus dicirikan melalui penghargaan bersama, akomodasi dan
dukungan. Pelayanan publik memotivasi warga negara dan pekerja seperti yang
dapat dikenal, didukung, dan dihargai dalam proses.
Kesimpulan
Penulisan tentang manajemen dalam sektor swasta, Plas (1996)
menyatakan bahwa kebudayaan organisasi harus melibatkan dan mendapatkan
sebuah tempat dihati masyarakat lagi. Para pekerja seharusnya diijinkan, kata dia,
untuk berpartisipasi dengan para buruh mereka, dengan pikiran-pikiran mereka,
dan dengan hati mereka. Manajer seharusnya menjadi dan seharusnya mendorong
para pekerja mereka untuk menjadi ”autentuik”. Para manajer dan pekerja
seharusnya membagi perasaan mereka, nilai-nilai dan etika-etika di dalam
lingkungan pekerjaan. Plas mengatakan bahwa hal ini membutuhkan sebuah
kontrak sosial baru antara atasan dna bawahan. Kontrak lama mengasumsikan
bahwa pekerja seharusnya bekerja keras dan organisasi seharusnya
memperhatikan pekerjanya. Masyarakat modern telah menunjukkan bahwa
kontrak-kontrak ini tidak bekerja, jika, pada kenyataannya mereka telah
melakukannya, kontrak baru didasarkan pada asumsi bahwa baik indivisu maupun
organiasi memiliki tanggungjawab satu terhadap yang lainnya, untuk menciptakan
dan menjaga hubungan yang sukses.
Manajer sektor swasta mamiliki tanggungjawab khusus dan sebuah
kesempatan yang unik untuk menekankan pada ”hati” pelayanan publik. Orang-
orang tertarik pada pelayanan publik karena mereka dimotivasi oleh nilai-nilai
pelayanan publik. Nilai-nilai ini – untuk melayani yang lainnya, untuk membuat
dunia menjadi lebih baik dan aman, dan untuk membuat demokrasi berjalan –
mewakili yang terbaik apa yang dimaksud menjadi warga negara dalam melayani
masyarakat. Kami perlu mengembangkan dan mndorong tingkat motivasi dan
nilai yang lebih tinggi ini, tidak membedakan mereka dengan memperlakukan
orang-orang seolah-olah mereka adalah roda penggerak pada sebuah mesin atau
seolah-olah mereka hanya mampu melayani perilaku sendiri. Berapa banyak dai
kita yang telah melihat apa yang terjadi ketika seorang pegawai publik yang
idealistis datang ke sebuah organisasi publik dan diperlakukan seolah-olah
idealismenya meupakan suatu hal yang naif – dan dikatakan bahwa apa yang
diharapkan dan dihargai adalah melakukan apa yang dikatakan oleh mereka dan
tetap tinggal diam? Jika anda memperlakukan orang-orang seperti birokrat,
sebagai individu-individu yang egois, kami mendorong mereka untuk tetap seperti
itu. Karena dipercaya dalam pelayanan publik dan peran kami dalam melayani
minat publik, adalah hal yang boleh kita korbankan, memberikan hal yang terbaik,
melanjutkan, sebagai pemadam kebakaran dan petugas kepolisian yang telah
dilakukan dalam bencana BTC, dimana yang lainnya tidak melakukannya. Jika
kami dapat menolong yang lain untuk melihat bahwa pekerjaan yang mereka
lakukan lebih besar dan lebih penting daripada individual, jika kami dapat
menolong orang-orang untuk memahami apa yang pelayanan publik hoormati dan
bernilai. Mereka akan melakukan hal yaang sepeti itu. Memperlakukan pegawai
negeri sipil dengan martabat dan ras hormat yang mereka berhak dapatkan dalam
organisasi publik, dan menguatkan mereka untuk menemukan jalan untuk
melayani komunitas mereka, mengijinkan kami untuk menarik dan memperkuat
mereka yang ingin dan dapat melayani minat publik. Ini tugas, kewajiban, dan
wewenang oleh setiap manajer publik untuk melakukan hal yang demikian.
Seperti yang dikatakan Mac Kenzie beberapa abad yang lalu.
Kami harus mencoba melihat sekali lagi, seperti yang telah dilihat oleh
orang-orang Yunani yang bijaksana, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih mulia
dalam kehidupan manusia kecuali politik, dalam hal yang lebih komprehensif
selain dari istilah itu. Beberapa dari kita dapat melakukan hal-hal seperti itu untuk
melayani kemanusiaan dalam bidang yang lebih luas: hal yang terbaik mungkin
adalah kebanyakan dari apa yang dapat kita perbuat dalah mengabdi pada negara
kita (Mac Kenzie, 1902, 22).