cetro naskah akademik ruu pemilu 8 mei 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/politik dalam negeri/1)...

43
NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007 CETRO 1 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007

Upload: vokiet

Post on 01-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

1

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2007

Page 2: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.1

Selanjutnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (hasil amandemen ketiga) menyatakan bahwa ”kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”, yang oleh Pasal 22E ayat (6) ditegaskan bahwa perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah, dan lembaga perwakilan daerah, yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Perwujudan kedaulatan rakyat, dengan demikian, memerlukan suatu undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) anggota lembaga perwakilan rakyat dan daerah, guna terbentuknya lembaga permusyawaratan rakyat dan lembaga perwakilan rakayat dan daerah. Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimaksudkan untuk terpilihnya anggota, dan terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Melalui pemilu yang bersifat langsung, rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Semua warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemililih berhak mengikuti pemilu dan memberikan suaranya secara langsung.

Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun.

1 Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Page 3: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

3

Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

Sementara itu, pemilu perlu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan dan/atau perlakuan yang tidak adil dari pihak manapun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

Untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas, yang menjamin derajat kompetisi yang tinggi, sehat, partisipatif, serta mempunyai derajat keterwakiilan yang tinggi dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, dipandang perlu untuk membentuk undang-undang (UU) tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang. B. Maksud dan tujuan 1. Maksud

Pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dimaksudkan untuk melakukan penyempurnaan atas UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, khususnya penyempurnaan atas berbagai materi pengaturan yang terkait dengan penetapan alokasi kursi dan daerah pemilihan, peserta pemilu, pendaftaran pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pencalonan, kampanye, prinsip umum pemungutan suara, penghitungan suara, pemantauan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu. 2. Tujuan

Tujuan pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah terbentuknya undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah, dan lembaga perwakilan rakyat daerah, dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 4: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

4

C. Landasan penyempurnaan 1. Landasan filosofis

Secara filosofis, pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD diperlukan sebagai upaya pengaktualisasian nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Penyelenggaraan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan sebagai instrumen utama pelaksanaan demokrasi menandakan bahwa rakyat sungguh-sungguh berperan dalam menentukan arah dan tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah dengan cara memilih sendiri wakilnya yang akan duduk dalam, dan memerintah melalui, lembaga perwakilan rakya dan daerah.

2. Landasan politik

Sejalan dengan pemikiran filosofis di atas, pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD juga diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan prinsip one person one vote one value dalam proses rekrutmen politik, sebuah prinsip yang mengandung makna kesetaraan nilai suara dan pilihan setiap warga negara dalam mengisi keanggotaan lembaga perwakilan. Kehadiran UU ini juga sekaligus menjadi sebuah jaminan bahwa setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilihnya menurut ketentuan yang terkandung dalam UU. Dengan kata lain, melalui pembentukan UU ini, diharapkan dapat tercipta ruang kompetisi politik yang sehat, adil, dan tertib bagi semua aktor dan konstituen politik, dalam kerangka aktualisasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan politik kenegaraan dan pemerintahan. 3. Landasan sosiologis

Pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada dasarnya tidak hanya bermakna filosofis dan politik, tetap juga memiliki makna sosiologis. Penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan prakondisi bagi terwujudnya lembaga-lebaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah, serta lembaga perwakilan rakyat daerah, yang memiliki kemampuan dalam memainkan peran secara maksimal dalam tata pengelolaan negara dan pemerintahan. Realitas sosial mengisyaratkan bahwa masyarakat senantiasa mengisyaratkan keharusan adanya ruang bagi keikutsertaan mereka dalam menentukan cara-cara penyelesaian persoalan mereka, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil mereka yang secara formal duduk di lembaga perwakilan. Oleh sebab itu, masyarakat juga senantiasa mendambakan kehadiran lembaga-lembaga perwakilan yang mampu menangani sekaligus menjadi sumber solusi bagi berbagai persoalan dan kebutuhan mereka, yang hanya dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. 4. Landasan hukum

Pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada mandat konstitusi sebagai hukum dasar, baik sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan kewenangan pembentukan undang-undang maupun sebagai hukum dasar dalam kaitan dengan materi muatan undang-undang. Khusus yang terkait dengan

Page 5: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

5

materi muatan undang-undang, pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD didasarkan pada pasal-pasal dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen), khususnya Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang MPR, Pasal 18 ayat (3) yang mengatur tentang DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, Pasal 19 ayat (2) yang mengatur tentang susunan DPR, Pasal 22C ayat (4) yang mengatur tentang susunan dan kedudukan DPD, dan Pasal 22E yang menegaskan tentang pemilihan umum sebagai proses pengisian keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD.

Sementara itu, UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009 menggariskan bahwa salah satu misi pembangunan nasional jangka panjang adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, yang akan diwujudkan melalui pencapaian sasaran pokok berupa ”pemantapan pelembagaan demokrasi yang kokoh”. Pemantapan kelembagaan demokrasi yang kokoh dicapai melalui penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi, yang dilakukan dengan, antara lain,: a. mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi

yang kuat dan memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi seluruh proses demokratisasi berkelanjutan;

b. menata hubungan antara kelembagaan politik, dalam kehidupan bernegara; c. meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara negara dalam menjalankan

kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan; dan

d. menciptakan kelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan,

yang dicapai melalui pelaksanaan program, antara lain: a. penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokrasi, yang bertujuan untuk

mewujudkan pelembagaan fungsi-fungsi dan hubungan antara lembaga eksekutif, legislatif, judikatif, lembaga politik lainnya, serta lembaga-lembaga kemasyarakatan yang kokoh dan optimal;

b. perbaikan proses politik, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan umum dan uji kelayakan publik, serta pelembagaan perumusan kebijakan publik.

D. Metode

Pembentukan UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dilakukan dengan metode kerja sebagai berikut: a. Evaluasi atas pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD; b. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 yang dinilai

mengandung kelemahan dan/atau bermasalah; c. Pengkajian terhadap konsep teoritis tentang pemilihan umum yang ideal; d. Penyesuaian dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu;

dan

Page 6: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

6

e. Analisis komprehensif dan penyusunan konsep pengaturan yang baru. E. Sistematika penulisan

Naskah Akademik ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut: Bab I PENDAHULUAN, berisi uraian tentang latar belakang, maksud dan tujuan,

landasan penyempurnaan, metode, dan sistematika penulisan; Bab II ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UU NOMOR

12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD, yang berisi uraian tentang arah dan tujuan serta cakupan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003;

Bab III PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD, berisi uraian tentang kondisi objektif dan masalah yang melekat pada ketentuan-ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang memerlukan penyempurnaan;

Bab IV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG, berisi uraian tentang materi penyempurnaan dan susunan rancangan undang-undang; dan

Bab V KESIMPULAN. Bagian akhir Naskah Akademik dilengkapi dengan daftar pustaka yang berisi

referensi pendukung.

Page 7: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

7

BAB II ARAH DAN TUJUAN SERTA CAKUPAN PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD,

DAN DPRD

Pada dasarnya penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 diarahkan untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilihan umum dari waktu ke waktu secara konsisten, sebagai bagian dari proses penguatan dan pendalaman demokrasi (deepening democracy) serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif (effective governance). Dengan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 diupayakan bahwa proses demokratisasi tetap berlangsung melalui pemilihan umum yang lebih berkualitas, namun di saat yang sama proses demokratisasi tersebut berjalan dengan baik, terkelola dan terlembaga. Bila dua hal ini tidak berjalan secara simultan, dikhawatirkan proses perubahan politik yang secara alamiah terjadi selama ini tidak memiliki arah atau tujuan yang jelas dan gagal menghasilkan konsolidasi demokrasi atau pelembagaan politik. Kegagalan mengawal proses demokratisasi dengan pemerintahan yang efektif dikhawatirkan hanya akan menghasilkan situasi yang chaotic (kacau), karena terjadinya aktivasi politik massa yang sangat akseleratif tanpa diimbangi oleh tersedianya ruang-ruang artikulasi politik yang mampu melembagakannya secara fungsional, serta hilangnya kapasitas negara atau gagalnya negara untuk mengelola aktivasi politik massa yang plural tersebut.

Kegagalan suatu negara untuk mengelola demokrasi dengan baik ditandai dengan merebaknya organized anarchy, delegitimasi pemerintah dan munculnya institusi-institusi substitutif yang mengambil alih fungsi dan otoritas pokok negara. Kehadiran institusi informal, shadow state, orang kuat di tingkat lokal, serta manifestasi konflik horizontal dan komunal yang sangat kuat merupakan salah satu contoh kluster dari ketidak-efektifan kepemerintahan. Bila kondisi ini terus berjalan, maka tidak mustahil akan terjadi weak state, lebih lanjut lagi menjadi failed state atau bahkan menjadi collapse state. Negara gagal memenuhi kewajibannya memberikan pelayanan berbagai political goods (keamanan fisik, pendidikan, kesehatan, prasarana dan sebagainya), karena aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan semakin plural dan aktif, namun gagal menghasilkan konsensus.

Dalam kaitan ini, upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum melalui perbaikan dan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 dapat dikatakan sebagai suatu langkah membuka akses bagi rakyat untuk melakukan seleksi yang lebih berkualitas terhadap aktor-aktor yang akan terlibat dalam perumusan kebijakan agar diperoleh para pelaku yang mampu merumuskan konsensus secara demokratik dan menghasilkan pemerintahan yang efektif untuk mengawal proses demokrasi. Dengan perkataan lain, merujuk kepada arah penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang telah dijelaskan di atas, maka penyempurnaan UU dimaksud pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan kepemerintahan yang efektif (effective governance).

Page 8: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

8

A. Arah dan tujuan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 1. Penciptaan keseimbangan antara pendalaman demokrasi dengan

pengembangan kepemerintahan yang efektif. Secara historis, konsep demokrasi memang berakar dari perlawanan terhadap

pemerintahan yang otoriter dan situasi ketidakadilan sosial. Namun hal ini tidak berarti bahwa dalam pengembangan demokrasi harus dilakukan pelemahan sedemikian rupa terhadap pemerintahan, karena fungsi dari pemerintahan, yang notabene dibentuk oleh rakyat, adalah untuk memberikan pelayanan, memfasilitasi dan membuka ruang-ruang publik guna mengakomodasi berbagai hasrat publik, meminimalisasi konflik kepentingan dan mengawal proses demokrasi dari distorsi akibat perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, sebagaimana telah diuraikan di atas, proses deepening democracy harus diimbangi dengan pengembangan effective governance dengan maksud agar pemerintah tetap memiliki kapasitas untuk mengelola kepemerintahan yang ada (governability) dapat ”memproduksi” hasil (outcome) yang jelas bagi masyarakat dan sesuai dengan hasrat publik.

Effective governance -yang mengekpresikan kapasitas pemerintah dalam mengelola proses sosial- harus dilihat dari segala aspek. Secara administratif, effective governance biasanya bisa dilihat dari kemampuan pemerintah untuk menciptakan sistem dan manajemen administrasi publik efektif dan efisien. Dalam proses ekonomi, effective governance terekpresikan dari kemampuan pemerintah dalam menjalankan peran dan fungsi dasarnya secara optimal terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemerintah mampu memastikan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi; menjamin pemerataan dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi; serta bertanggungjawab terhadap pemberdayaan kelompok-kelompok marjinal dan rentan (vulnerable groups). Dari aspek politik, effective governance bisa dilihat dari kemampuan untuk menjaga stabilitas dan tertib politik; kecepatan dalam mengambil keputusan yang tepat; menjamin adanya kepastian hukum; menjamin adanya kepastian sosial social (social predictablity); menciptakan konsensus dan kepatuhan sosial.

Agar tercapai keseimbangan antara deepening democracy dengan effective governance bisa tercapai maka harus ada langkah-langkah regulasi yang mesti dilakukan, yaitu:

Pertama, melakukan penyederhanaan jumlah pelaku. Kemampuan mengelola pemerintahan secara efektif sangat dipengaruhi kohesifitas dan interaksi antar aktor. Bila masing-masing aktor cenderung konfliktual atau koeksistensi maka dapat dipastikan akan muncul kesulitan untuk mengelola beragam kepentingan yang sangat variatif. Variasi kepentingan tersebut muncul karena aktor yang berinteraksi dalam proses kepemerintahan dan politik yang ada sangat banyak jumlahnya. Oleh karena itu kebutuhan untuk menyederhanakan jumlah aktor menjadi sangat penting.

Ide tentang penyederhanaan pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam penyusunan rancangan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, antara lain diwujudkan dalam penentuan batasan treshhold bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Melalui penciutan peserta pemilihan umum secara wajar dan rasional, diharapkan pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani oleh lembaga perwakilan rakyat dan pemerintahan tingkat nasional. Isu-isu/kepentingan lokal diharapkan mendapat penyaluran untuk diekspresikan dalam

Page 9: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

9

pemilihan tingkat lokal, yaitu pemilihan kepala daerah (pemilihan gubernur atau bupati/walikota), sehingga peningkatan kualitas pemilihan umum diharapkan dapat terwujud.

Kedua, mempersempit rentang perbedaan kualitas antar pelaku. Meskipun dengan langkah pertama jumlah pelaku secara kuantitas dapat menjadi sedikit, akan tetapi belum tentu menjamin adanya konsensus dan pengelolaan pemerintahan yang efektif. Dapat terjadi aktornya menjadi sedikit, namun spektrum kepentingan dan ideologi yang dimiliki oleh mereka rentangnya sangat luas. Partai didorong mempunyai ideologi kepemihakan dalam memperjuangkan kepentingan publik. Menyadari bahwa ideologi partai sangat variatif, maka dalam penyempurnaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 harus dapat diupayakan agar peserta pemilihan umum berbicara tentang platform yang sama, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disamping visi, misi dan program partainya sendiri, khususnya pada sesi kampanye pemilihan umum. Dengan menggunakan platform yang sama dan menguatkan penggunaan bahasa nasional, diharapkan kampanye dapat menjadi ajang interaksi, exchange dan sharing lintas kelompok, lintas afiliasi politik, lintas sektor dan lintas daerah.

Ketiga, meningkatkan rasionalitas dari basis relasi antar aktor. Interaksi aktor haruslah berbasis pada kesadaran citizenship yang dibangun pada upaya rasionalitas dan pragmatisme bukanlah basis primordial. Misalnya, basis referensi partai politik haruslah rasional. Pilihan konstituen atau pemilih terhadap referensi partai politik mereka haruslah lebih pragmatis dan berbasis program. Demikian juga dengan pilihan terhadap calon-calon wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Daerah, semestinya bukan didasarkan pada identitas-identitas primordial seperti agama atau etnisitas, namun lebih kepada kapasitas, kapabilitas dan track record calon yang bersangkutan. Untuk itu, perubahan atau penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 harus dirancang untuk dapat lebih membuka akses, tidak hanya akses untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, tetapi juga peningkatan kualitas calon wakil rakyat dan yang juga tidak kalah penting adalah peningkatan kualitas pemilih.

Keempat, menjamin adanya sinergi antar pelaku. Demokrasi meniscayakan adanya pluralitas dan kesetaraan. Namun pluralitas dan kesetaraan yang tidak dikelola dengan baik hanya akan menimbulkan anarki semata. Oleh karena itu, agar pluralisme mampu menciptakan sinergi maka proses interaksi juga harus difasilitasi dan diwujudkan. Dalam pengelolaan pemerintahan, sinergi dapat dibangun melalui fasilitasi intergovernmental relations atau intergovernmental management. Demikian juga, meskipun kesetaraan penting, namun mengembangkan hirarki untuk kepentingan koordinasi juga penting. Penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 akan menyediakan ruang untuk sinergi antar pelaku.

2. Peningkatan pelibatan masyarakat secara aktif dalam pembangunan

demokrasi dan pembangunan pemerintahan yang efektif. Pada dasarnya, transisi politik yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun

terakhir ini sudah memberikan kontribusi kemajuan yang berarti bagi proses demokratisasi di negeri ini. Telah dilakukan upaya-upaya serius untuk memperkuat fondasi utama demokrasi prosedural, yang diawali dengan amandemen UUD 1945 sebagai langkah awal bagi proses pelembagaan rule of law (konstitusionalisme) yang

Page 10: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

10

memberikan jaminan bagi kebebasan hak-hak warga; penyediaan ruang-ruang untuk terselenggaranya kontestasi publik yang fair guna mengisi jabatan-jabatan publik melalui penyelenggaraan Pemilu presiden, legislatif dan kepala daerah yang demokratis; dan penyediaan sarana artikulasi publik dan lembaga representasi publik yang tidak lagi diintervensi oleh negara terlalu jauh. Dengan kata lain, proses instalasi lembaga dan mekanisme politik ala demokrasi prosedural sudah berjalan dengan serius.

Pada saat yang bersamaan pemerintah pusat, berdasarkan peraturan perundang-undangan, telah mendistribusikan kekuasaaannya ke daerah dengan menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah selalu diyakini tidak hanya menjadikan proses delivery pelayanan publik menjadi lebih efektif dan efisien semata. Lebih jauh, ada harapan kuat bahwa desentralisasi dan penguatan otonomi daerah menjadi mekanisme penting untuk mengembangkan demokrasi di ranah lokal, dimana berbagai komunitas lokal diharapkan akan menjadi bagian penting dalam proses kebijakan. Dengan kata lain, dalam praktek demokrasi ini setiap warga negara bisa berpartisipasi, secara bebas dan sama dalam diskursus publik.

Pelibatan publik lebih dalam dan nyata pada proses kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari upaya pendalaman demokrasi. Mekanisme-mekanisme deliberatif penting juga dilembagakan karena harus diakui prosedur dan lembaga demokrasi representasi seringkali gagal mengakomodasi berbagai hasrat publik dan meminimalisasi konflik kepentingan. Jadi dibutuhkan upaya yang mendorong partisipasi langsung dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Segenap komponen masyarakat dilibatkan dalam pengambilan kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan arus informasi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap masyarakat. Selain itu juga untuk memberikan suara secara langsung pada pihak-pihak yang terimbas langsung oleh kebijakan publik.

Namun upaya penguatan pelibatan publik dalam proses kebijakan bukanlah tanpa masalah. Pembukaan ruang-ruang publik secara leluasa memicu aktivasi politik secara massif. Berbagai komunitas dengan beragam kepentingan akan turut bagian secara aktif dalam proses kebijakan dan tentu saja akan mengedepankan kepentingan dan hasrat mereka. Proses negosiasi dan tarik-menarik kepentingan akan lebih kental mewarnai proses pembuatan kebijakan. Akibatnya, bila konsensus tidak terbangun ancaman deadlock di tengah pluralitas aktor dan kepentingan justru akan menjadi ancaman baru, sedangkan untuk mewujudkan konsensus yang partisipatif akan sangat menghabiskan waktu (time-consuming decision-making processes).

Oleh karena itu, sejalan dengan pemikiran penyeimbangan antara proses deepening democracy dengan proses pembangunan effective governance, dalam perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 perlu dilakukan penyempurnaan antara lain terhadap pengaturan tentang peserta dan persayaratan mengikuti pemilihan umum, penyusunan daftar pemilih, penyusunan daftar calon, kampanye dan pemungutan suara. Tujuannya, agar pemerintah tetap punya kapasitas untuk mengelola proses demokrasi dan disaat yang sama mengelola kepemerintahan yang ada.

Page 11: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

11

B. Cakupan penyempurnaan UU Nomor 12 Tahun 2003 Dalam kerangka penataan kembali sistem pemilu, maka sekurang-kurangnya

terdapat 8 (delapan) agenda penyempurnaan yang perlu dilakukan dalam rangka memperbaiki kualitas representasi dan akuntabilitas elite politik di satu pihak, serta mendukung penguatan dan efektifitas sistem presidensial di pihak lain. Kedelapan agenda penyempurnaan tersebut ialah :

• Penataan ulang sistem pemilu DPR ke arah sistem yang memperkuat akuntabilitas para wakil terhadap konstituennya;

• Pengetatan persyaratan bagi partai peserta pemilu legislatif dalam rangka mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana;

• Penataan kembali mekanisme pencalonan legislatif yang memungkinkan berlangsungnya proses pencalonan yang benar-benar demokratis dan transparan secara publik;

• Penataan ulang nilai kursi legislatif atas dasar prinsip yang sama one person one vote one value;

• Pelembagaan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi penghitungan suara

• Penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD;

• Penyesuaian berbagai pengaturan menyangkut penyelenggaraan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Undang-Undang tentang Penyelenggara Pemilu, agar terdapat konsistensi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya yang sejenis.

• Penyederhanaan proses penyelesian sengketa dan tindak pidana pemilu sehingga tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu.

1. Penataan ulang sistem pemilu legislatif

Guna penguatan dan efektifitas sistem presidensiil, maka sistem pemilu legislatif yang lebih tepat bagi Indonesia adalah sistem mayoritarian (distrik). Namun adanya berbagai kelemahan pada sistem distrik di satu pihak dan berbagai faktor obyektif (politik, kultural dan demogratis) di pihak lain, mengakibatkan sistem distrik ini belum memungkinkan untuk diterapkan. Untuk itu, hal yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah penyempurnaan atas sistem proporsional yang diberlakukan dalam Pemilu 2004. Penyempurnaan sistem pemilu yang dapat dilakukan mencakup: o Perubahan sistem proporsional terbuka “setengah-hati” menjadi sistem proporsional

terbuka sepenuhnya, sehingga penentuan caleg pemenang lebih didasarkan pada dukungan konstituen (suara terbanyak) daripada ditentukan oleh pimpinan partai melalui mekanisme nomor urut;

o Perubahan tekanan fungsi bilangan pembagi pemilihan (BPP) lebih ke arah penentuan kuota kursi di setiap daerah pemilihan, sehingga tidak ada lagi fungsi BPP untuk menentukan perolehan kursi setiap caleg di daerah pemilihan;

Page 12: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

12

2. Pengetatan Persyaratan Partai peserta Pemilu

Apabila penataan sistem kepartaian mengarah pada pembentukan suatu sistem multipartai sederhana maka pengetatan persyaratan keikutsertaan partai dalam pemilu legislatif adalah suatu keniscayaan. Hal ini perlu diagendakan bukan saja dalam rangka penyederhanaan pengelompokan politik DPR hasil pemilu, melainkan juga dalam upaya memperluas sekaligus memperkuat basis partai-partai peserta pemilu. Ruang lingkup agenda pengetatan yang dapat dilakukan di antaranya adalah: o Memberlakukan persyaratan pendirian partai peserta pemilu sekurang-kurangnya

12 (duables) bulan sebelum pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon partai peserta pemilu memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat;

o Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga) persen untuk Pemilu 2009 menjadi 5 (lima) persen untuk Pemilu 2014. Persyaratan ET 2 (dua) persen pada Pemilu 2004 memang berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu dari 48 partai pada Pemilu 1999 menjadi separohnya (24 partai) pada pemilu berikutnya. Persyaratan ET 3 (tiga) persen untuk Pemilu 2009 dan 5 (lima) persen untuk Pemilu 2014 diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta pemilu secara lebih signifikan lagi2;

o Partai politik yang tidak lolos ET 3 % dapat bergabung dengan partai yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai yang juga tidak lolos ET 3 % hingga memenuhi ET 3 %, kedua metode dimaksud sebagaimana telah diatur di dalam pasal 9 ayat (2) Undang-Undang nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

o Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA (Kartu Tanda Anggota).

3. Penataan kembali pencalonan anggota lembaga legislatif

Kualitas representasi dan akuntabilitas para wakil rakyat terutama ditentukan oleh kualitas proses rekruitmen dalam pencalonan anggota lembaga legislatif. Mengingat hakikat anggota lembaga legislatif adalah representasi atau wakil rakyat, maka keterlibatan dan atau akses rakyat dalam proses pencalonan merupakan suatu keniscayaan. Ruang lingkup agenda penataan kembali proses pencalonan di antaranya adalah: o Pemberian kesempatan bagi warga negara untuk menjadi calon anggota lembaga

legislatif melalui pengumuman pendaftaran bakal calon anggota lembaga legislatif secara terbuka oleh setiap partai peserta pemilu;

2 Sebagai pembanding, electoral threshold di Jerman 5 persen, Swedia 4 persen, Argentina dan Bolivia 3 persen, sedangkan Meksiko dan Norwegia masing-masing 2 persen. Lihat Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika, Vol. 2, No. 2, 2006, hal. 32.

Page 13: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

13

o Pemberlakuan persyaratan kualifikasi kompetensi tertentu bagi para bakal calon anggota lembaga legislatif, sehingga persyaratan pencalonan tidak semata-mata bersifat administratif;

o Penyusunan daftar bakal calon anggota lembaga legislatif oleh setiap partai politik peserta pemilu dan diumumkan kepada masyarakat untuk mendapat masukan penyempurnaan dengan tujuan untuk memperoleh bakal calon yang benar-benar layak guna dimasukkan ke dalam daftar calon anggota lembaga legislatif;

o Pemberlakuan kewajiban bagi partai peserta pemilu untuk menyempurnakan daftar bakal calon anggota lembaga legislatif segera setelah mendapat masukan, saran atau kritikan dari masyarakat, sebelum penyampaian oleh partai politik kepada KPU/KPUD sebagai bahan penyusunan DCS (Daftar Calon Sementara);

o Pemberlakuan kewajiban bagi KPU untuk mengumumkan DCS sekurang-kurangnya selama dua minggu sebelum pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT). Pengumuman DCS mendahului DCT memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menilai rekam jejak setiap caleg sebelum ditetapkan secara final dalam DCT.

4. Penataan ulang nilai kursi legislatif dan daerah pemilihan

Salah satu fungsi utama pemilu di dalam sistem demokrasi adalah mengubah suara rakyat menjadi kursi-kursi legislatif. Oleh karena itu setiap kursi legislatif semestinya mempunyai nilai yang sama atau setara (one person one vote one value). Argumen bahwa nilai kursi legislatif di Jawa lebih mahal dibandingkan luar Jawa adalah dalam rangka keseimbangan perwakilan Jawa-luar Jawa tidak lagi relevan dengan adanya DPD sebagai representasi wilayah (dalam hal ini propinsi). Dengan demikian ketimpangan keterwakilan Jawa yang padat penduduk dan luar Jawa yang jarang penduduknya ditutupi melalui keterwakilan DPD yang jumlah anggotanya sama pada setiap propinsi. Ruang lingkup agenda penataan yang bisa dilakukan di antaranya adalah: o Perubahan basis penghitungan nilai kursi sehingga nilai kursi legislatif di Jawa tidak

terlalu timpang dengan nilai kursi di luar Jawa. Argumen bahwa perbedaan nilai kursi di Jawa dan luar Jawa dimaksudkan agar terdapat keseimbangan perwakilan Jawa-luar Jawa di parlemen tidak relevan lagi karena telah dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang jumlah wakilnya sama untuk setiap propinsi;

o Penataan kembali besaran daerah pemilihan atas dasar perubahan basis penghitungan nilai kursi yang mendekati sama, sehingga jumlah minimal dan maksimal kursi di setiap daerah pemilihan tidak terlalu timpang sebagaimana Pemilu 2004;

5. Pelembagaan transparansi dan akuntabilitas penghitungan suara

Meskipun mekanisme penghitungan suara pada Pemilu 2004 relatif lebih baik dibandingkan Pemilu 1999, peningkatan kualitas transparansi dan akuntabilitasnya tetap perlu diagendakan pada Pemilu 2009. Cakupan agenda penataan di antaranya adalah:

Page 14: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

14

o Penyederhanaan format dokumen penghitungan suara (terutama di KPPS) untuk mengurangi distorsi administratif-birokratis akibat banyaknya dokumen/form penghitungan suara yang harus diisi oleh petugas KPPS;

o Peningkatan pengawasan penghitungan suara di tingkat PPS (desa/kelurahan) dan PPK (kecamatan);

6. Penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD

Untuk meningkatkan kualitas keterwakilan DPD diperlukan penguatan dan perluasan basis keanggotaan sehingga kelak calon anggota DPD tidak hanya berasal dari kalangan independen atau nonpartisan, melainkan juga dari anggota partai politik yang memenuhi ketentuan electoral threshold. Ruang lingkup agenda penataan di antaranya adalah: o Pengetatan persyaratan pencalonan DPD atas dasar dukungan dari sejumlah

penduduk pemilih, yaitu : minimal dukungan dari 1.000 pemilih pada provinsi yang berpenduduk sampai

dengan 1.000.000 orang; minimal dukungan dari 2.000 pemilih pada provinsi yang berpenduduk 1.000.001

sampai dengan 5.000.000 orang; minimal dukungan dari 3.000 pemilih pada provinsi yang berpenduduk 5.000.001

sampai dengan 10.000.000 orang; minimal dukungan dari 4.000 pemilih pada provinsi yang berpenduduk

10.000.001 sampai dengan 15.000.000 orang; minimal dukungan dari 5.000 pemilih pada provinsi yang berpenduduk lebih dari

15.000.000 orang; o Basis dukungan awal bagi setiap calon anggota DPD tersebar di sekurang-

kurangnya di 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto copy Kartu Tanda Penduduk atau tanda bukti identitas yang sah.

o Seorang penduduk hanya dapat mendukung satu orang calon anggota DPD dan dukungan dinyatakan batal apabila ditemukan bukti adanya dukungan dari seorang penduduk kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.

7. Penyusunan regulasi pemilu yang jelas dan tegas

Pada dasarnya, sebagian besar materi teknis penyelenggaraan pemilu di dalam UU pemilu legislatif dan UU pemilu eksekutif (presiden dan kepala daerah) tidak jauh berbeda satu sama lain. Namun demikian, ada beberapa kekhasan yang membedakan satu dengan lainnya. Hal yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa regulasi pemilu harus disusun sejelas-jelasnya dan memberikan ketegasan pada setiap tahapan proses pemilu, sehingga dapat menghindarkan terjadinya multi tafsir yang merugikan berbagai pihak dan menghambat jalannya proses pemilu secara keselutuhan. Oleh karena itu perlu penyesuaian pengaturan atau regulasi antara UU pemilu anggota lembaga legislatif, pemilu presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, sehingga ada konsistensi di antara berbagai regulasi pemilu tersebut.

Page 15: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

15

BAB III PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem perwakilan proporsional (proportional representation/PR system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Pertimbangan penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat tidak terbuang dan proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan heterogenitas keberagamaan masyarakat dari segi etnik dan budaya serta agama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah pertimbangan lain di balik pilihan terhadap sistem proporsional.

Sistem proporsional yang diterapkan sejak Orde Baru hingga transisi belum sepenuhnya dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahan-kelemahan tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pada Pemilu 1999, kendati telah diperbaiki dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru, sistem pemilu masih belum dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem proporsional yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif agak mendasar pada UU No. 12/2003, dengan ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistem proporsional terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam prakteknya hampir semua calon anggota lembaga legislatif (caleg) terpilih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimpinan partainya masing-masing. A. Inkonsistensi sistem proporsional terbuka

Sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan “setengah hati”, sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan dilema paling mendasar dari sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004. Sebagaimana diketahui, pemilih dapat mencoblos tanda gambar partai dan mencoblos nama calon. Karena sifatnya masih belum terbuka secara penuh, maka sistem ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah apabila pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg. Apabila pemilih hanya memilih nama caleg, maka suara dianggap tidak sah.

Dengan tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang berlaku masih cenderung pada sistem porporsional tertutup daripada sistem proporsional terbuka. Akibat dari penerapan sistem seperti itu adalah:

Pertama, pemilih pada kenyataannya lebih memilih tanda gambar partai karena memang lebih mudah daripada memilih nama calon. Secara formal memang sistem yang dianut adalah sistem proporsional terbuka, namun dalam prakteknya terjadi penyimpangan ke arah sistem proposional tertutup, ketika sebagian besar pemilih lebih memilih tanda gambar yang tidak disertai dengan memilih nama calon.

Kedua, pengurus atau elit-elit partai masih mendominasi nomor urut calon, meskipun yang bersangkutan kurang dikenal oleh masyarakat. Di sinilah letak oligarkhi partai dalam penentuan calon anggota dewan semakin diperkuat.

Page 16: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

16

Ketiga, dengan mekanisme pemilihan seperti di atas, maka terbukanya peluang bagi partai-partai politik yang sudah mapan untuk menggiring para pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai tanpa pilihan atas nama calon.

Keempat, terdapat dua basis penentuan calon jadi yang tidak proporsional, di satu sisi didasarkan atas nomor urut tetapi di sisi lain didasarkan atas BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Bagi calon yang menempati nomor kecil pada urutan atas secara potensial akan mudah terpilih, sehingga dengan cara pemilihan seperti itu, kompetisi bagi yang bersangkutan tidak terlalu berat. Akan tetapi, bagi calon yang berada pada urutan bawah, mereka harus berjuang keras agar memperoleh dukungan jumlah pemilih yang besar, sehingga dapat melampaui BPP. Dengan demikian pada pemilu 2004, meskipun seorang calon memperoleh suara paling besar, namun apabila yang bersangkutan tidak memenuhi BPP akan gagal terpilih, sementara meskipun seorang calon memperoleh suara dalam jumlah yang kecil namun menempati nomor urutan atas, justru dapat terpilih sebagai anggota legislatif.

Sistem pemilihan ini berakibat pada kurang adilnya tingkat kompetisi, sebab calon yang menempati nomor urut atas (potensi untuk terpilih), meski yang bersangkutan hanya “diam,” lebih berpeluang besar terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut bawah harus berjuang keras agar memperoleh dukungan dari konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial terpilih sebagai calon jadi lebih ditempati oleh pengurus-pengurus partai, sementara yang bersangkutan belum tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan seperti itu, ada gejala bahwa partai-partai dan para pengurus partai lebih diuntungkan, karena merekalah yang potensial mendapat aksesibilitas untuk duduk di parlemen.

Di sisi yang lain, sistem proporsional terbuka setengah hati, belum sepenuhnya dapat mendekatkan antara wakil dengan rakyat yang diwakili/konstituen. Sebagai akibatnya, akuntabilitas wakil terhadap konstituen cenderung lemah. Akuntabilitas dan loyalitas wakil rakyat cenderung ditujukan untuk partai politik. Para wakil yang terpilih cenderung hanya menjadi wakil partai daripada wakil para konstituennya. Dengan demikian, ternyata sistem proporsional setengah hati pada akhirnya menciptakan sistem perwakilan yang kurang mendukung penguatan dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial. B. Mekanisme pencalonan mengabaikan kualitas dan kapabilitas caleg

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, akibat mekanisme pencoblosan yang masih mengabsahkan pemilihan pada tanda gambar partai politik, maka mekanisme pencalonan anggota legislatif menjadi kurang kompetitif, karena posisi strategis (nomor urut yang potensial terpilih) pasti hanya akan ditempati oleh elit dan pengurus partai. Kurang tegasnya mekanisme pencalonan dalam UU No.12/2003 yang hanya menekankan proses dilakukan secara terbuka dan demokratis –tanpa kejelasan konsep “terbuka dan demokratis” itu sendiri, menyebabkan pengurus partai masih dominan dalam pencalonan anggota legislatif.

Sementara itu, mekanisme pencalonan yang prosesnya kurang transparan kepada publik, memberikan peluang terjadinya money politics, sehingga meskipun UU No.12 tahun 2003 telah mengatur bahwa pencalonan calon wakil rakyat hanya dilakukan oleh atau melalui partai politik (dengan memenuhi persyaratan dan dilakukan secara terbuka dan demokratis), namun dalam prakteknya, secara terselubung sering

Page 17: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

17

terjadi penyimpangan. Partai-partai yang telah mapan pola rekrutmennya cenderung lebih dikuasai oleh elite dan pengurus partai, sementara partai-partai kecil kesulitan dalam mencari kader yang akan dicalonkan. Selain itu, cenderung ada manipulasi data calon atau kecurangan lain dalam penempatan nomor urut pada daftar calon tetap.

Hal ini salah satunya disebabkan oleh kriteria rekrutmen pencalonan anggota dewan oleh partai-partai politik masih bersifat administratif belaka. Idealnya ada kaitan antara syarat-syarat menjadi calon anggota legislatif dengan fungsi dan tugas keparlemenan yang akan diemban oleh caleg. Persyaratan-persyaratan yang ada cenderung mengabaikan aspek kualitas dan kapabilitas calon serta belum mengarah pada persyaratan yang bersifat fungsional, dalam arti profesionalitas caleg terhadap fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan setelah menjadi anggota legislatif.

UU No. 12/2003 yang diterapkan pada Pemilu 2004 yang lalu, telah menghasilkan anggota legislatif yang baru. Namun demikian, hasilnya belum menunjukkan peningkatan kualitas anggota legislatif dari hasil pemilu sebelumnya. Salah satunya disebabkan karena persyaratan calon sifatnya masih administratif, abstrak dan sulit diukur. Hal ini misalnya menyangkut persyaratan bahwa seorang calon anggota legislatif harus mempunyai ijazah SLTA atau yang sederajat. Ukuran akademis yang dipakai sebagai syarat latar belakang pendidikan calon wakil rakyat hanya pendidikan formal setingkat SLTA. Sementara itu, keahlian, pengalaman berorganisasi maupun kecakapan teknis lain yang dianggap perlu sebagai faktor pendukung suksesnya kerja sebagai wakil rakyat, sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan. Dampaknya, pemilu masih belum dapat menghasilkan calon-calon yang memiliki performance dan kapabilitas yang lebih memadai, berkaitan dengan fungsi sebagai legislatif yang diembannya. C. Persyaratan electoral threshold tidak diterapkan secara konsisten.

Upaya untuk memperketat persyaratan partai peserta pemilu melalui electoral threshold (ET) telah diberlakukan sejak Pemilu 1999. Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini masih cenderung dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktek yang berlaku pada Pemilu 2004 memperlihatkan kenyataan sejumlah partai yang memanfaatkan ketentuan ET untuk “lahir kembali” sebagai partai baru agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Artinya, sepanjang ketentuan administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai UU, maka partai politik yang gagal ET tersebut tetap akan menjadi peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut pemilu 1999 tetapi gagal memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta pemilu untuk Pemilu 2004. Dengan demikian, ketentuan electoral threshold dengan mudah diperdaya melalui penggantian nama partai menjelang pemilu. Penggantian nama ini menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya.

Penerapan ET yang terlalu longgar dan cenderung mudah dimanipulasi pada akhirnya justru akan menciptakan tingkat fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong upaya penyederhaan partai politik. Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta pemilu berkurang, namun UU No. 12/2003 kurang dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi.

Page 18: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

18

Masih adanya peluang bagi partai-partai yang tidak lolos ET untuk membentuk partai politik baru karena lemahnya pengaturan UU berdampak pada berlomba-lombanya para pengurus partai lama untuk mendirikan partai politik baru dengan berubah nama, bendera dan simbol-simbol lainnya, namun dengan garis besar identitas yang sama. Kecenderungan seperti ini pada dasarnya inkonsisten dengan tujuan penerapan ET, karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang untuk mengikuti pemilu selanjutnya.

Untuk mencapai tujuan pemberlakukan ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa pengurus partai yang partainya tidak lolos ET namun ternyata yang bersangkutan kemudian membentuk partai politik baru, maka partai politik baru tersebut tidak dapat secara langsung mengikuti pemilu berikutnya dan baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah satu periode pemilu (lima tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang lolos ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan harapan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dan efektititas sistem presidensial di pihak lain. D. Proporsionalitas nilai kursi legislatif dan besaran daerah pemilihan

Saat ini, penentuan nilai kursi bagi anggota DPR, UU No. 12/2003 belum sepenuhnya memperhatikan aspek proporsi jumlah penduduk, yaitu proporsi atau perbandingan antara daerah yang padat penduduknya dengan daerah yang jarang penduduknya. Hal ini menimbulkan ketimpangan nilai kursi, karena dalam prakteknya ada “kursi mahal” di daerah-daerah pemilihan di Jawa, dan “kursi murah” di daerah-daerah pemilihan luar Jawa. Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip dasar yang sama, yaitu prinsip “one person one vote”. Dengan kata lain, nilai kursi pada taingkat seminimal mungkin tidak terlalu lebar kesenjanganya antara wilayah yang padat dengan wilayah yang jarang penduduknya. Hal ini karena pada dasarnya, legislatif (DPR) mewakili penduduk bukan mewakili wilayah, sehingga daerah yang jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar daripada daerah yang jarang penduduknya.

Demikian pula yang terjadi pada penetapan daerah pemilihan, dalam hal ini penentuan daerah pemilihan kurang mempertimbangkan perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara Jawa dengan luar Jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai kursi legislatif nasional antara Jawa-luar Jawa. Basis penghitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antar daerah (keseimbangan antara daerah yang padat dengan yang jarang penduduknya), dipandang perlu dikoreksi, dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah penduduk sebagai dasar dalam menentukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan. E. Kerumitan mekanisme penghitungan suara

Meskipun mekanisme penghitungan suara pada Pemilu 2004 relatif lebih baik dibandingkan Pemilu 1999, namun prosedur admnistratif yang terlalu rumit dan kompleks menyebabkan KPPS kesulitan dalam mengisi formulir dokumen penghitungan suara yang terlalu banyak. Prosedur administratif yang terlalu rumit juga menyebabkan sulitnya menyusun rekapitulasi penghitungan untuk dipindahkan ke

Page 19: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

19

dalam format dokumen penghitungan suara, karena dokumen yang harus diisi terlalu banyak.

Dalam hal tabulasi data, di beberapa tempat juga mengalami kesulitan teknis, dari soal komputer yang rusak, maupun SDM yang dikontrak hanya dalam waktu singkat. Dalam hal ini, UU Pemilu cenderung mengabaikan pertimbangan-pertimbangan teknis, kerumitan-kerumitan yang diakibatkan dari kompleksitas administratif, dan kemampuan petugas pelaksana yang tidak sama, serta besaran wilayah yang berbeda-beda.

Page 20: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

20

BAB IV MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG

A. Materi Penyempurnaan 1. Persyaratan mengikuti pemilu

Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu ditingkatkan menjadi memiliki kepengurusan lengkap di seluruh jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan lengkap sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di tiap provinsi. Sedangkan persyaratan khusus berupa perolehan kursi bagi partai politik yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya berupa perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPR, perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia, dan perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Partai politik peserta pemilu tahun 2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan partai politik lain. Apabila partai politik bergabung dengan partai politik lain dilakukan dengan cara: a. bergabung dengan partai politik peserta pemilu tahun 2004; b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan

kursi pada pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau

c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan perolehan kursi pada pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru.

Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih. Persyaratan administrasi dan dukungan pemilih disamakan bagi anggota DPD yang akan mencalonkan diri ada pemilu berikutnya maupun bagi masyarakat yang belum pernah menjadi anggota DPD. Ketentuan ini dimaksudkan untuk tidak membuat diskriminasi bagi para calon anggota DPD.

Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Dalam hal Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota menemukan kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi yang merugikan partai politik calon peserta pemilu, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya, KPU, KPU provinsi, dan KPU

Page 21: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

21

kabupaten/kota wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota dimaksud.

2. Alokasi kursi dan daerah pemilihan

Jumlah kursi anggota DPR pada setiap provinsi merupakan perwujudan DPR sebagai perwakilan penduduk. Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan paling banyak 550. Penetapan alokasi kursi anggota DPR untuk setiap provinsi dilakukan berdasarkan hasil pembagian antara jumlah penduduk dengan angka kesetaraan nasional.

Jumlah kursi anggota DPRD provinsi ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa DPRD provinsi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi, dan DPRD provinsi sebagai lembaga perwakilan penduduk dan perwakilan wilayah kabupaten/kota di provinsi. Jumlah kursi anggota DPRD provinsi ditetapkan sekurang-kurangnya 30 dan sebanyak-banyaknya 90. Jumlah kursi anggota DPRD provinsi didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan

Alokasi jumlah kursi anggota DPRD provinsi untuk setiap daerah pemilihan dilakukan dengan: a. penetapan angka kesetaraan kursi dengan jumlah penduduk provinsi diperoleh

dengan cara membagi jumlah penduduk provinsi dengan jumlah kursi DPRD provinsi;

b. penetapan alokasi 1 kursi langsung untuk setiap kabupaten/kota; c. penetapan sisa jumlah penduduk setiap kabupaten/kota dengan cara melakukan

pengurangan jumlah penduduk kabupaten/kota dengan angka kesetaraan provinsi sebagai nilai dari alokasi 1 kursi;

d. penetapan sisa jumlah penduduk provinsi dilakukan dengan cara menjumlahkan sisa penduduk setiap kabupaten/kota yang telah ditetapkan;

e. penetapan sisa alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi dilakukan dengan cara membagi sisa jumlah penduduk kabupaten/kota dengan sisa jumlah penduduk provinsi dikalikan dengan sisa jumlah kursi anggota DPRD provinsi.

Selanjutnya, untuk lebih memenuhi prinsip anggota DPRD sebagai perwakilan penduduk dan perwakilan wilayah, dan juga berdasarkan pendekatan sosiologis, kultural, dan aksesibilitas, daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota. Kabupaten/kota sebagai daerah pemilihan memperoleh alokasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kursi.

Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota mencerminkan DPRD kabupaten/kota sebagai perwakilan penduduk dan perwakilan kecamatan di kabupaten/kota. Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) dan sebanyak-banyaknya 45 (empat puluh lima). Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota didasarkan pada jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan.

Alokasi kursi DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dilakukan dengan:

Page 22: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

22

a. penetapan angka kesetaraan kursi dengan jumlah penduduk kabupaten/kota diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk provinsi dengan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota;

b. penetapan alokasi 1 (satu) kursi langsung untuk setiap kabupaten/kota; c. penetapan sisa jumlah penduduk setiap kecamatan dengan cara melakukan

pengurangan jumlah penduduk kecamatan dengan angka kesetaraan provinsi sebagai nilai dari alokasi 1 (satu) kursi;

d. penetapan sisa jumlah penduduk provinsi dilakukan dengan cara menjumlahkan sisa penduduk setiap kecamatan yang telah ditetapkan;

e. penetapan sisa alokasi kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara membagi sisa jumlah penduduk kecamatan dengan sisa jumlah penduduk kabupaten/kota dikalikan dengan sisa jumlah kursi anggota DPRD kabupaten/kota.

Untuk lebih memenuhi prinsip anggota DPRD sebagai perwakilan penduduk dan perwakilan wilayah, dan juga berdasarkan pendekatan sosiologis, kultural, dan aksesibilitas, daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan. Kecamatan sebagai daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota memperoleh alokasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kursi.

3. Penyusunan daftar pemilih

Merujuk pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan, data penduduk yang dikumpulkan oleh pemerintah dari pelayanan administrasi kependudukan (pendafaran penduduk dan pencatatan sipil), digunakan untuk berbagai keperluan pemerintahan dan pembangunan. Salah satu penggunaan data penduduk adalah untuk keperluan penyusunan daftar pemilih. Oleh karena itu, dalam rangka penyusunan daftar pemilih, pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data penduduk dan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu yang diserahkan kepada KPU sebagai bahan penyusunan daftar pemilih.

Untuk lebih memberikan kepastian validitas proses pendaftaran pemilih, data penduduk dan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu disampaikan kepada KPU kabupaten/kota dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 12 (dua belas) bulan sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.

Proses penyusunan daftar pemilih dimulai dari pemutakhiran data pemilih oleh KPU kabupaten/kota yang pelaksanaannya dibantu oleh PPS dan PPK. Dalam pelaksanaan di lapangan, PPS dibantu oleh petugas pemutakhiran data pemilih yang terdiri dari perangkat desa, rukun warga, rukun tetangga atau nama lain dan warga masyarakat. Berikutnya adalah penyusunan daftar pemilih sementara oleh PPS dengan basis TPS. Selanjutnya, KPU kabupaten/kota menyusun dan menetapkan Daftar Pemilih Tetap berdasarkan Daftar Pemilih Sementara hasil perbaikan dengan basis TPS. Dalam setiap tahapan, masyarakat dapat memberikan masukan untuk perbaikan daftar pemilih.

Dalam proses penyusunan daftar pemilih, diberikan kewenangan kepada Bawaslu, panwaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota, panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan, dan pengawas pemilu luar negeri melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan

Page 23: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

23

pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, penerbitan dan penyampaian kartu pemilih, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK dan PPS serta PPLN.

Dalam hal Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN.

KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, PPK, PPS dan PPLN wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri.

4. Persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja lembaga perwakilan, selain

persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka dalam RUU ini direkomendasikan penambahan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, sebagai berikut: a. bersedia bekerja sepenuh waktu; b. bersedia untuk tidak menduduki jabatan struktural pada lembaga pendidikan

swasta, tidak berpraktek sebagai akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

c. menjadi anggota partai politik peserta pemilu minimal 6 (enam) bulan. 5. Pencalonan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota Dalam rangka mendorong penerapan sistem proporsional dengan daftar calon

terbuka, nama-nama calon dalam Daftar Bakal Calon disusun berdasarkan urutan abjad dan juga disertai dengan pas photo diri bakal calon. Daftar bakal calon dimaksud memuat sebanyak-banyaknya 150% (seratus lima puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diseleksi oleh partai politik peserta pemilu. Seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.

Page 24: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

24

Daftar Bakal Calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diumumkan oleh partai politik sesuai dengan tingkatan kepengurusan. Masyarakat dapat memberi masukan perbaikan Daftar Bakal Calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik sesuai dengan tingkatan kepengurusan.

Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang telah diperbaiki oleh partai politik selanjutnya diajukan kepada: a. KPU untuk daftar bakal calon anggota DPR; b. KPU provinsi untuk daftar bakal calon anggota DPRD provinsi; c. KPU kabupaten/kota untuk daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota.

Daftar Bakal Calon yang telah diperbaiki berdasarkan masukan dari masyarakat disusun kembali oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjadi Daftar Calon Sementara. Dengan proses yang sama, masyarakat dapat memberi masukan perbaikan Daftar Bakal Calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik sesuai dengan tingkatan kepengurusan.

Daftar Calon Sementara yang telah disempurnakan disusun kembali oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota menjadi Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan urutan abjad.

6. Verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota KPU melakukan verifikasi terhadap kebenaran dan kelengkapan dokumen

persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR. KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kebenaran dan kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi. KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kebenaran dan kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota.

Dalam proses ini diberikan kewenangan kepada Bawaslu, panwaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota untuk melaksanakan pengawasan atas verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Dalam hal Bawaslu, panwaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi kelengkapan administrasi calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang merugikan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, Bawaslu, panwaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Terhadap temuan Bawaslu, panwaslu provinsi dan panwaslu kabupaten/kota, KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 25: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

25

Dalam hal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu, putusan tersebut tidak mempengaruhi pengembalian dokumen persyaratan administrasi yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Dalam proses ini diberikan kewenangan kepada Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR,DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

Dalam hal Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang merugikan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Temuan-temuan dimaksud wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

7. Penyusunan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

Bakal calon yang lulus verifikasi disusun dalam daftar calon sementara oleh KPU untuk daftar calon sementara anggota DPR, KPU provinsi untuk daftar calon sementara anggota DPRD provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk daftar calon sementara anggota DPRD kabupaten/kota. Daftar calon sementara yang disertai dengan pas photo bakal calon selanjutnya diumumkan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota selama 5 (lima) hari kerja untuk mendapat masukan dari masyarakat.

Masyarakat dapat memberi masukan untuk perbaikan daftar calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Masukan dari masyarakat dimaksud disampaikan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari sejak diumumkan. KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota meminta klarifikasi kepada partai politik atas masukan dari masyarakat.

Dalam hal terdapat masukan dari masyarakat yang dapat digunakan untuk perbaikan daftar calon sementara, KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota meminta kepada partai politik peserta pemilu untuk mengajukan bakal calon pengganti anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota baru sebagai perbaikan daftar calon sementara. Pengajuan bakal calon baru dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah surat permintaan dari KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota diterima oleh partai politik.

Setelah melalui proses verifikasi, daftar calon sementara anggota DPR ditetapkan oleh daftar calon tetap anggota DPR. Ketua KPU provinsi menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD provinsi, dan Ketua KPU kabupaten/kota menetapkan daftar calon tetap anggota DPRD kabupaten/kota. Daftar calon tetap yang disusun berdasarkan urutan abjad. Selanjutnya diumumkan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota.

Page 26: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

26

8. Tata cara pendaftaran calon anggota DPD

Perseorangan yang memenuhi kualifikasi dan memenuhi dukungan minimal pemilih dapat mendaftarkan diri sebagai Bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi. Bakal calon anggota DPD dimaksud dari anggota DPD dan calon anggota DPD terpilih pengganti pada pemilu sebelumnya mendaftarkan diri dengan melampirkan persyaratan kualifikasi. Bakal calon anggota DPD dimaksud dari calon anggota DPD yang tidak terpilih dan anggota masyarakat yang akan mencalonkan diri mendaftarkan diri dengan melampirkan bukti dukungan minimal pemilih dan persyaratan kualifikasi.

KPU dibantu oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih bakal calon anggota DPD.

Persyaratan dukungan minimal pemilih dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol tangan dan foto copy kartu tanda penduduk dengan ketentuan seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang bakal calon anggota DPD. Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu terkait dengan dokumen persyaratan dukungan minimal pemilih, bakal calon anggota DPD dikenai sanksi berupa pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 100 (seratus) kali temuan bukti data palsu.

Nama-nama bakal calon anggota DPD yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi dan dukungan minimal pemilih berdasarkan verifikasi yang dilakukan oleh KPU selanjutnya ditetapkan dan diumumkan oleh KPU sebagai calon sementara anggota DPD.

Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD yang dilakukan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. Dalam hal Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam melakukan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPD yang merugikan bakal calon anggota DPD, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Semua temuan dimaksud wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

KPU menyusun daftar calon sementara anggota DPD. Daftar dimaksud yang ditandatangani oleh ketua dan anggota KPU diumumkan untuk mendapat masukan dari masyarakat. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberi masukan untuk perbaikan daftar calon sementara anggota DPD kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dalam waktu sepuluh hari. Apabila terdapat masukan dari masyarakat, KPU meminta klarifikasi kepada bakal calon anggota DPD atas masukan dari masyarakat dimaksud.

Terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan, KPU menetapkan daftar calon tetap anggota DPD yang disusun berdasarkan urutan abjad dengan Keputusan KPU.

Dalam hal ditemukan dugaan telah terjadi pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon anggota DPD, KPU

Page 27: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

27

berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk dilakukan proses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, dalam hal putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak terbukti adanya pemalsuan atau penggunaan dokumen palsu, KPU melakukan pengesahan yang bersangkutan sebagai bakal calon anggota DPD.

9. Kampanye Kampanye pemilihan umum dilaksanakan dengan prinsip pembelajaran

bersama dan bertanggungjawab. Kampanye pemilihan umum dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, diikuti oleh peserta kampanye, dan didukung oleh petugas kampanye. Sedangkan materi kampanye partai politik peserta pemilihan umum yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota meliputi visi dan misi partai politik yang bersangkutan.

Kampanye pemilihan umum dapat dilakukan melalui pertemuan terbatas, tatap muka, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Untuk menghindari kampanye pemilu sembunyi-sembunyi atau terselubung yang dilakukan oleh calon sebelum pelaksanaan kampanye, seperti pada pemilu sebelumnya, maka kampanye pemilihan umum dapat dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah peserta pemilu ditetapkan oleh KPU sampai dengan dimulainya minggu tenang. Khusus untuk kampanye dalam bentuk rapat umum diatur pelaksanaannya selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya minggu tenang.

10. Larangan Kampanye

Dalam rangka meminimalisasi penyimpangan dalam pelaksanaan kampanye, diatur beberapa ketentuan baru untuk larangan kampanye, seperti: a. Larangan melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia; b. Larangan membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain

dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; c. Larangan menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya kepada peserta

kampanye. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 juga telah diatur larangan bagi

pelaksana kampanye melibatkan pejabat publik. Untuk lebih memastikan bahwa semua pejabat publik tidak terlibat dalam pelaksanaan kampanye, dalam RUU ditambahkan ketentuan larangan bagi pelaksana kampanye melibatkan pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, kepala desa dan perangkat desa. Disamping itu juga ditambahkan larangan bagi pelaksana kampanye melibatkan warga negara Indonesia yang tidak mempunyai hak memilih.

Page 28: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

28

11. Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup atas adanya pelanggaran

larangan kampanye oleh pelaksana kampanye, KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota menjatuhkan denda yang harus dibayarkan ke kas negara kepada pelaksana kampanye dan peserta kampanye. Dalam RUU juga diatur pelanggaran politik uang. Dalam hal ditemukan dugaan yang cukup bahwa pelaksana kampanye menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara politik uang digunakan sebagai dasar KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota untuk: a. membatalkan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota dari daftar calon tetap; b. membatalkan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD

kabupaten/kota sebagai calon terpilih. 12. Pemberitaan kampanye

Pengaturan tentang penyiaran kampanye oleh media elektronik dipandang perlu untuk disempurnakan. Pengaturan yang mengharuskan media elektronik memberi kesempatan yang sama kepada perpol untuk berkampanye mengalami perubahan. Pengaturan baru dalam undang-undang ini hanya bagi media penyiaran publik, sedangkan media penyiaran privat diserahkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, rumusan tentang penyiaran kampanye oleh media penyiaran menjadi “Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI), sebagai lembaga penyiaran publik, memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana kampanye untuk menyampaikan materi kampanye”.

Pemberitaan kampanye dapat dilakukan melalui media massa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberitaan kampanye dilaksanakan berdasarkan prinsip adil dan berimbang, faktual, tidak mengandung unsur SARA, dan tidak provokatif. Dalam Rancangan juga diatur dengan jelas larangan bagi media cetak dan elektronik memberitakan kampanye selama masa tenang, termasuk tentang rekam jejak peserta pemilu.

Disamping itu, mengacu pada Undang-undang tentang Penyiaran, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang melaksanakan pengawasan atas penyiaran kampanye yang dilakukan oleh TVRI dan RRI. Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan, KPI Provinsi menjatuhkan sanksi sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

13. Peranan pemerintah, TNI dan Polri dalam kampanye

Untuk menjaga netralitas lembaga publik, pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, kecamatan atau sebutan lain, dan desa atau sebutan lain/kelurahan memberikan kesempatan yang sama kepada pelaksana kampanye dalam penggunaan fasilitas umum untuk penyampaian materi kampanye.

Page 29: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

29

Disamping itu, pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan atau sebutan lain, desa atau sebutan lain/kelurahan, TNI dan Polri dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pelaksana kampanye atau merugikan pelaksana kampanye lainnya.

14. Pengawasan atas pelaksanaan kampanye

Sesuai dengan Undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu, panwaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota, panwaslu kecamatan, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan kampanye pemilu sesuai dengan tingkatannya.

Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup penyelenggara pemilu sesuai dengan tingkatannya sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu sesuai tingkatannya dari desa sampai ke pusat, pengawas pemilu sesuai tingkatannya menyampaikan laporan untuk ditindaklanjuti. Pengawas pemilu sesuai tingkatannya menyelesaikan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana saat itu juga. Bagi pelanggaran administratif oleh penyelenggara pemilu yang tidak dapat diselesaikan saat itu, pengawas pemilu memberikan rekomendasi kepada Bawaslu untuk memberikan sanksi. Terhadap pelanggaran yang mengandung unsur pidana dilakukan tindakan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup pelaksana kampanye, peserta kampanye atau petugas kampanye sesuai tingkatannya sengaja melakukan atau lalai dalam pelaksanaan kampanye yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu sesuai tingkatannya, pengawas pemilu sesuai tingkatannya menyampaikan laporan untuk ditindaklanjuti.

Penyelenggara pemilu sesuai tingkatannya menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan tentang dugaan kesengajaan dan kelalaian dalam pelaksanaan kampanye berupa: a. Penghentian pelaksanaan kampanye yang terjadwal hari itu; b. Laporan kepada penyelenggara kampanye dalam hal ditemukan bukti permulaan

yang cukup adanya tindak pidana pemilu terkait dengan pelaksanaan kampanye untuk ditindaklanjuti. Untuk pelanggaran di tingkat desa, PPS melaporkan kepada PPK dan pelanggaran di tingkat kecamatan dilaporkan oleh PPK kepada KPU kabupaten/kota. Untuk palanggaran kampanye di tingkat kabupaten, KPU kabupaten menindaklanjuti temuan dan laporan panwaslu kabupaten/kota, KPU provinsi menindaklanjuti temuan dan laporan panwaslu provinsi, dan KPU menindaklanjuti temuan dan laporan Bawaslu.

c. Pelarangan kepada pelaksana kampanye untuk melaksanakan kampanye berikutnya;

d. Pelarangan kepada peserta kampanye untuk mengikuti kampanye berikutnya. Bawaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan tahapan kampanye secara

nasional, terhadap: a. Kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian anggota KPU, KPU provinsi, KPU

kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU

Page 30: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

30

kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota melakukan tindak pidana pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang sedang berlangsung;

b. Kemungkinan adanya kesengajaan atau kelalaian pelaksana kampanye, peserta kampanye dan petugas kampanye melakukan tindak pidana pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang sedang berlangsung.

Dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan tahapan kampanye secara nasional, Bawaslu: a. menerima laporan dugaan adanya pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan

kampanye pemilu; b. menyelesaikan temuan dan laporan adanya pelanggaran kampanye pemilu yang

tidak mengandung unsur pidana; c. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU tentang adanya pelanggaran

kampanye pemilu untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan temuan dan laporan tentang dugaan adanya tindak pidana pemilu

kepada instansi yang berwenang; e. mengeluarkan rekomendasi yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang

mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan kampanye pemilu oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota;

f. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Seretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya tahapan kampanye yang sedang berlangsung.

Dalam hal Bawaslu menerima laporan dugaan adanya tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU kabupaten/kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota, pelaksana dan peserta kampanye, dalam pelaksanaan kampanye pemilu Bawaslu melaporkan tentang adanya dugaan tindak pidana pemilu dimaksud kepada kepolisian, dan memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menetapkan sanksi.

Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi penonaktifan sementara dan/atau administratif kepada anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Sekretaris Jenderal, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris, pegawai sekretariat KPU provinsi, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindak pidana pemilu atau administratif yang mengakibatkan terganggunya pelaksanaan kampanye yang sedang berlangsung.

Page 31: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

31

15. Dana kampanye pemilu Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dana kampanye pemilu, dilakukan

beberapa perubahan, seperti besaran jumlah sumbangan serta mekanisme pengelolaan dan pelaporan dana kampanye.

Sumbangan dana kampanye dari pihak lain, yaitu perseorangan, kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha non pemerintah jumlahnya ditingkatkan. Sumbangan dana kampanye untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari perseorangan untuk nilainya ditingkatkan menjadi tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dan dari kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha non pemerintah nilainya tidak boleh melebihi Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Demikian juga sumbangan dari pihak lain untuk calon anggota DPD, dari perseorangan nilainya tidak boleh melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), dan dari kelompok, perusahaan dan/atau badan usaha non pemerintah nilainya tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Peningkatan nominal jumlah sumbangan ini berdasarkan asumsi inflasi selama lima tahun terakhir.

Dalam hal penerimaan khusus kampanye dalam bentuk barang dan/atau jasa, partai politik dan tim kampanye pemilu anggota DPD menetapkan kebijakan penilaian sumbangan berdasarkan harga pasar yang wajar pada saat penerimaan diterima dengan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode tersebut meliputi: a. nilai jual obyek pajak untuk tanah dan bangunan; b. nilai taksiran perusahaan asuransi untuk kendaraan bermotor; c. bukti pembelian (faktur, kuitansi, dan lain-lain) yang masih menggambarkan harga

pasar wajar saat diterimanya sumbangan; d. tarif sewa fasilitasi yang berlaku pada saat diterimanya sumbangan; e. harga yang ditetapkan oleh penaksir ahli yang independen; f. metode penilaian lain yang berlaku umum dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk lebih menjamin transparansi dan akuntabilitas dana kampanye, setiap peserta kampanye diwajibkan memiliki rekening khusus dana kampanye. Peserta kampanye wajib menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada penyelenggara pemilu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pertama pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum. Penyetoran dana kampanye ke rekening khusus paling lambat 1 (satu) hari sebelum masa kampanye berakhir.

Selanjutnya, laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik sesuai tingkatannya disampaikan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota paling lama 30 (tigapuluh) hari sesudah hari pemungutan suara. Laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye calon anggota DPD disampaikan kepada KPU melalui KPU provinsi paling lama 30 (tigapuluh) hari sesudah hari pemungutan suara.

KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada akuntan publik paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan. Akuntan publik menyelesaikan audit paling lambat 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya laporan. Selanjutnya, hasil audit wajib dilaporkan kepada KPU, dan peserta pemilu paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit.

Page 32: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

32

Untuk meningkatkan kualitas standar audit, dilakukan penyempurnaan ketentuan tentang akuntan publik. Akuntan publik ditunjuk dan ditetapkan oleh KPU atas rekomendasi Ikatan Akuntan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akuntan publik yang direkomendasikan oleh Ikatan Akuntan Indonesia paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan salah satu

partai politik; b. seluruh partner dan auditor pada akuntan publik bukan merupakan anggota

dan/atau sebagai pengurus partai politik. Sanksi atas pelanggaran terhadap time frame laporan dana kampanye

ditegakkan dalam rancangan undang-undang ini. Ini dimaksudkan juga agar peserta pemlu benar-benar disiplin dalam mengelola dana kampanye pemilu. Pengaturan tentang sanksi dimaksud sebagai berikut: a. Dalam hal pengurus partai politik tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat

kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi dibatalkan sebagai peserta pemilu sesuai wilayahnya.

b. Dalam hal juru kampanye calon anggota DPD tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, calon anggota DPD dikenai sanksi dibatalkan sebagai peserta pemilu.

c. Dalam hal pengurus partai politik tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, partai politik yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan atau tidak dilakukannya penetapan calon terpilih.

d. Dalam hal tim kampanye calon anggota DPD tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada KPU melalui KPU provinsi sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, calon anggota DPD yang bersangkutan dikenai sanksi berupa pembatalan atau tidak dilakukannya penetapan calon terpilih.

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, pelaksana kampanye dilarang menerima sumbangan dan/atau bantuan untuk kampanye pemilu yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, BUMN, dan BUMD. Dalam rancangan undang-undang ditambahkan larangan bagi pelaksana kampanye menerima sumbangan dari pemerintah desa dan Badan Usaha Milik Desa.

16. Perlengkapan penyelenggaraan pemilu

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, pengaturan tentang perlengkapan penyelenggara pemilu merupakan bagian dari bab tentang penyelenggara pemilu. Pengaturan lebih lanjut tentang perlengkapan penyelenggara pemilu dilaksanakan oleh KPU. Dengan maksud untuk lebih menguatkan legalitas peraturan, beberapa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh KPU dikumpulkan dan ditingkatkan menjadi sebuah bab pada rancangan undang-undang ini.

Page 33: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

33

Sesuai dengan Undang-undang tentang Penyelenggara Pemilu, pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal KPU berpedoman ketentuan perundang-undangan.

Khusus mengenai surat suara untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diatur sebagai berikut: a. tanda gambar partai politik yang di dalamnya berisi nama calon yang tercantum

dalam daftar calon tetap partai politik setiap daerah pemilihan; b. nama calon sebagaimana dimaksud pada huruf a dicetak berurutan secara vertikal

berdasarkan abjad nama depan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;

c. nama calon sebagaimana dimaksud pada huruf a paling banyak 150% (seratus lima puluh perseratus) dari alokasi kursi anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota pada setiap daerah pemilihan

Dalam Undang-undang ini juga diatur pengawasan atas pengadaan dan distribusi perlengkapan penyelenggaraan pemilu. Pengawasan atas pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota serta pejabat Sekretariat Jenderal KPU, sekretariat KPU provinsi dan sekretariat KPU kabupaten/kota terkait dengan pengadaan dan distribusi perlengkapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh satuan pengawas internal KPU dan Badan Pemeriksa Keuangan.

17. Pemungutan suara

Secara umum pengaturan mengenai pemungutan suara tidak banyak berubah. Beberapa penegasan dilakukan terutama untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilih yang karena keadaan terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar. Tambahan rumusan yang berkaitan dengan hal tersebut adalah: a. Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS adalah pemilih yang

terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap pada TPS yang bersangkutan, pemilih yang terdaftar pada Daftar Pemilih Perubahan dan pemilih yang oleh karena keadaan terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.

b. Keadaan terpaksa meliputi keadaan karena menjalankan tugas pelayanan masyarakat yang tidak dapat dihindari pada saat pemungutan suara atau karena kondisi tidak terduga di luar kemauan pemilih antara lain sakit rawat inap, menjadi tahanan di rumah tahanan, atau tertimpa bencana alam.

c. Pemilih dapat menggunakan hak pilihnya di TPS lain dengan menunjukkan kartu pemilih diperkuat dengan surat pemberitahuan untuk memberikan suara di TPS dari PPS dan/atau KPPS.

Pada pemilu 2004 jumlah surat suara pada tiap TPS ditetapkan sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di tiap TPS ditambah 2%. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu tahun 2004, terdapat diperlukan penambahan surat suara. Oleh karena itu, dalam rancangan undang-undang ditetapkan jumlah surat suara pada setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap

Page 34: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

34

dan Daftar Pemilih Tambahan ditambah dengan 5% (lima perseratus). Tambahan surat suara dimaksud digunakan sebagai cadangan di setiap TPS

Disamping itu, ditambahkan ketentuan bahwa dalam hal terjadi pelanggaran ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau pemilu, petugas keamanan memberikan penanganan secara memadai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau pemilu tidak mematuhi penanganan oleh petugas keamanan, anggota masyarakat dan atau pemantau pemilu diserahkan kepada petugas kepolisian. Dalam hal terjadi pelanggaran ketertiban dan ketentraman pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat dan/atau oleh pemantau pemilu, petugas keamanan memberikan penanganan secara memadai sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

18. Pemberian suara

Untuk mewujudkan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka, maka pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan mencoblos dalam kolom salah satu nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tercetak di atas tanda gambar partai politik. Sedangkan pemberian suara untuk pemilu anggota DPD dilakukan dengan mencoblos foto salah satu calon anggota DPD dalam surat suara.

19. Penghitungan suara

Perubahan mendasar yang berkaitan dengan penghitungan suara adalah pada ketentuan mengenai suara sah. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003, suara sah untuk pemilu anggota DPR dan DPRD dinyatakan sah apabila tanda coblos pada tanda gambar partai politik dan calon anggota DPR dan DPRD pada kolom yang yang disediakan, atau tanda coblos pada tanda gambar partai politik. Dalam rancangan undang-undang, suara untuk pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan sah apabila tanda coblos dilakukan dalam kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di atas tanda gambar partai politik.

Perbedaan lain adalah, pada pemilu tahun 2004, PPS melakukan rekapitulasi penghitungan jumlah suara untuk tingkat desa/kelurahan. Ketentuan tersebut mengakibatkan sejumlah ketidakpuasan partai politik yang merasa perhitungan yang mereka lakukan ternyata menjadi tidak sama setelah jumlah suara dikumpulkan dan direkapitulasi di tingkat kecamatan. Untuk menghindari ekses negatif dari penghitungan suara, maka dirumuskan ketentuan bahwa penghitungan suara dilakukan di tiap-tiap TPS. Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta sertifikat hasil penghitungan suara dengan menggunakan format yang ditetapkan oleh KPU. Berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat penghitungan suara ditandatangani oleh seluruh anggota KPPS/KPPSLN.

Dalam hal terdapat anggota KPPS/KPPSLN yang tidak bersedia menandatangani, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat penghitungan suara ditanda tangani oleh anggota KPPS/KPPSLN yang bersedia menandatangani. Selanjutnya, dalam hal tidak ada

Page 35: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

35

seorangpun anggota KPPS/KPPSLN yang bersedia menandatangani berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat penghitungan suara dalam waktu 2 (dua) jam setelah penghitungan suara selesai, berita acara pemungutan dan penghitungan suara, dan sertifikat penghitungan suara sah dan berlaku

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa PPS tidak melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Rekapitulasi penghitungan suara dilaksanakan oleh PPK. Langkah-langkah yang dilakukan oleh PPK adalah sebagai berikut: pertama, PPK membuat berita acara penerimaan hasil penghitungan suara anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari TPS melalui PPS; Kedua, PPK melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam rapat yang harus dihadiri saksi peserta pemilu; ketiga, PPK membuat berita acara rekapitulasi suara dan membuat sertifikat rekapitulasi suara; keempat, PPK mengumumkan hasil rekapitulasi suara; dan kelima, PPK wajib menyerahkan berita acara rekapitulasi suara dan sertifikat rekapitulasi suara kepada saksi peserta pemilu, panwaslu kecamatan dan KPU kabupaten/kota.

Proses rekapitulasi suara sebagaimana dilakukan oleh PPK secara berjenjang dilakukan pula oleh KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU.

20. Penetapan perolehan suara

Undang- undang Nomor 12 Tahun 2003 mengatur bahwa perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003, rancangan undang-undang ini mengatur bahwa perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR dan DPD ditetapkan oleh KPU, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi, dan perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

21. Penetapan perolehan kursi

Sama dengan perubahan pengaturan mengenai penetapan perolehan suara, Undang- undang Nomor 12 Tahun 2003 juga mengatur bahwa perolehan kursi partai politik untuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU. Sedangkan rancangan undang-undang ini mengatur bahwa perolehan kursi partai politik untuk calon anggota DPR ditetapkan oleh KPU, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi, dan perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

22. Penetapan calon terpilih

Sebagai implikasi dari penetapan perolehan suara dan penetapan perolehan kursi yang ditetapkan secara berjenjang, penetapan calon terpilih juga dilakukan secara berjenjang. Calon terpilih anggota DPR dan DPD ditetapkan oleh KPU. Calon terpilih anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh KPU provinsi. Calon terpilih anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.

Page 36: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

36

Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten kota dalam satu partai politik pada satu daerah pemilihan. Calon terpilih anggota DPD ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak masing-masing calon anggota DPD pada satu daerah pemilihan.

Dalam hal terdapat perolehan suara yang sama bagi dua calon atau lebih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam satu partai politik dan perolehan suara yang bersangkutan memenuhi persyaratan menjadi calon terpilih, penetapan calon terpilih ditetapkan oleh KPU berdasarkan persebaran suara di daerah pemilihan. Dalam hal terdapat perolehan suara yang sama bagi calon anggota DPD urutan perolehan suara keempat dan kelima, penetapan calon terpilih ditetapkan oleh KPU berdasarkan persebaran suara di provinsi.

23. Pemberitahuan calon terpilih

Pemberitahuan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang sudah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota disampaikan kepada partai politik peserta pemilu dengan tembusan kepada calon terpilih. Sedangkan pemberitahuan calon terpilih anggota DPD yang sudah ditetapkan oleh KPU disampaikan kepada calon terpilih anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan tembusan kepada gubernur dan KPU provinsi yang bersangkutan.

24. Penggantian calon terpilih

Pengaturan mengenai penggantian calon terpilih dipandang perlu disempurnakan, khususnya dalam kaitan dengan akuntabilitas calon. Oleh karena itu, pengaturan mengenai penggantian calon terpilih dirumuskan sebagai berikut: a. Penggantian calon terpilih dilakukan apabila calon terpilih yang telah ditetapkan

oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota karena: 1) meninggal dunia; 2) mengundurkan diri; 3) tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD

Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota; 4) terbukti melakukan tindak pidana pada saat kampanye menjanjikan atau

memberi uang atau materi lainnya kepada peserta pemilu dengan maksud untuk memperoleh dukungan suara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

5) terbukti melakukan tindak pidana pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya kepada pemilih dengan maksud untuk memperoleh dukungan suara atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Dalam hal calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota telah diresmikan pengangkatannya dengan keputusan KPU, KPU

Page 37: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

37

provinsi atau KPU kabupaten/kota, keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum.

c. Suara yang diperoleh oleh calon terpilih dialihkan kepada calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota lain yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama.

d. KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih pengganti anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan keputusan KPU, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

25. Pemungutan dan penghitungan suara ulang

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemilu tahun 2004, tidak terdapat permasalahan yang berarti yang berkaitan dengan pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan tidak. Oleh karen itu, ketentuan mengenai pemungutan dan penghitungan suara ulang tidak mengalami perubahan.

26. Pemilu lanjutan dan pemilu susulan

Demikian pula dengan ketentuan mengenai pemilu lanjutan dan pemilu susulan tidak terdapat permasalahan yang berarti. Oleh karena itu, ketentuan mengenai pemilu lanjutan dan pemilu susulan juga tidak mengalami perubahan.

27. Pemantauan pemilu

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan kinerja pemantauan pemilu, dipandang perlu menyempurnakan dan penambahan pengaturan mengenai pemantauan pemilu. Penyempurnaan tersebut sebagian mengadopsi pada Keputusan KPU 104/2003 tentang Pemantauan Pemilu dan juga mengadopsi pada Peraturan Bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 35/2006 tentang Pemantauan Asing dalam Pemilihan Gubernur/Wk. Gubernur, Bupati/Wk. Bupati & WalikotaWk. Walikota di Aceh. Beberapa penambahan ketentuan mengenai pemantauan pemilu seperti persyaratan dan tatacara menjadi pemantau pemilu, wilayah kerja pemantauan pemilu, tanda pengenal, hak dan kewajiban, larangan, sanksi, pelaksanaan, pelaporan kegiatan pemantauan, dan fasilitasi pemantau pemilu.

28. Penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pemilu

Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri meneliti kebenaran setiap laporan pelanggaran pemilu yang diterima. Dalam hal laporan dimaksud terbukti kebenarannya, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri menindaklanjuti laporan paling lama 7 (tujuh) hari setelah laporan diterima.

Dalam hal Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporannya,

Page 38: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

38

tindak lanjut atas laporan dimaksud dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima. Laporan yang bersifat sengketa dan tidak mengandung unsur pidana diselesaikan oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan laporan yang mengandung unsur pidana pemilu diproses sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri menyelesaikan sengketa dengan tahapan: a. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat; b. apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, Bawaslu, Panwaslu Provinsi,

Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri memberikan alternatif penyelesaian kepada pihak-pihak yang bersengketa;

c. apabila alternatif sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, panwaslu kecamatan atau sebutan lain, pengawas pemilu lapangan dan pengawas pemilu luar negeri membuat keputusan final dan mengikat.

Seluruh proses penyelesaian sengketa dimaksud paling lama 14 (empat belas) hari sejak pihak-pihak yang bersengketa dipertemukan.

29. Pengadilan pemilu

Perkara pidana pemilu diselesaikan melalui sebuah pengadilan yang cepat. Pengadilan Negeri berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Pengadilan Negeri dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

30. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara pidana pemilu

Untuk memberikan landasan hukum yang kuat bagi proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara pidana pemilu, ditambahkan ketentuan mengenai hal dimaksud, sebagai berikut: a. Penyidik kepolisian menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara

kepada penuntut umum paling lama 21 (dua puluh satu) hari sejak menerima laporan.

b. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.

c. Penyidik kepolisian dalam waktu paling lama 9 (sembilan) hari sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

d. Penuntut umum melimpahkan berkas perkara dimaksud kepada pengadilan negeri paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima berkas perkara.

Page 39: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

39

e. Pengadilan negeri memeriksa dan memutus perkara dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari sejak menerima pelimpahan perkara.

Setelah mendengarkan putusan pengadilan, terdakwa dapat mengajukan banding dalam waktu 3 (tiga) hari. Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus perkara banding paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima pelimpahan perkara. Putusan pengadilan tinggi merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain. Segala putusan, baik putusan pengadilan negeri maupun putusan pengadilan tinggi harus dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah putusan diterima oleh Jaksa.

Dalam hal pengadilan memutus perkara pidana yang menghukum dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menurut undang-undang mengubah status calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib melaksanakan perubahan calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagai akibat putusan pengadilan.

Perubahan calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan.

31. Pemeriksaan gugatan perkara tata usaha negara

Pengadilan tata usaha negara menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan gugatan Keputusan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota selain sengketa hasil pemilu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak didaftar pada kepaniteraan tata usaha negara. Putusan pengadilan tata usaha negara merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.

Dalam hal pengadilan tata usaha negara memutus sengketa pemilu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menurut undang-undang mengubah status calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib melaksanakan perubahan calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagai akibat putusan pengadilan.

Perubahan calon terpilih dan/atau kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan

32. Ketentuan pidana

Pengaturan mengenai ketentuan pidana dipandang perlu untuk disempurnakan, khususnya berkaitan dengan subyek pidana, cakupan obyek pidana, besaran denda, dan ancaman hukuman. Dalam ketentuan pidana diatur secara rinci kemungkinan pelanggaran tindak pidana pemilu oleh: a. calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. b. penyelenggara pemilu (anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK,

PPS dan PPSLN); c. sekretaris dan atau pegawai sekretariat KPU, KPU provinsi, dan KPU

kabupaten/kota. d. pelaksana, peserta dan petugas kampanye;

Page 40: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

40

e. setiap orang yang melanggar tindak pidana pemilu. Obyek pidana disempurnakan dengan maksud untuk mengatur seluruh

kemungkinan pelanggaran tindak pidana pemilu di setiap kegiatan dan tahapan pemilu. Jumlah besaran denda juga ditingkatkan menyesuaikan dengan tingkat perkembangan inflasi selama lima tahun. Demikian juga ancaman hukuman ditingkatkan dengan maksud memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana pemilu.

B. Susunan Rancangan Undang-Undang

RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disusun dengan struktur Bab dan Pasal, yang terdiri atas 22 Bab dan 290 Pasal. Dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang terdiri atas 17 Bab dan 150 Pasal, maka dalam RUU terdapat penambahan 5 Bab dan 140 Pasal.

Secara lengkap, ke 22 Bab dan 290 Pasal dalam RUU adalah:

BAB I KETENTUAN UMUM; terdiri atas 1 pasal, yaitu Pasal 1.

BAB II ASAS, PELAKSANAAN, DAN LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU; terdiri atas 5 pasal, yaitu Pasal 2 sampai dengan Pasal 6.

BAB III PESERTA DAN PERSYARATAN MENGIKUTI PEMILU; terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 7 sampai dengan Pasal 19.

BAB IV HAK MEMILIH; terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 20 sampai dengan Pasal 21.

BAB V JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN; terdiri atas 17 pasal, yaitu Pasal 22 sampai dengan Pasal 39.

BAB VI PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH; terdiri atas 19 pasal, yaitu Pasal 40 sampai dengan Pasal 58.

BAB VII PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA; terdiri atas 31 pasal, yaitu Pasal 59 sampai dengan Pasal 89.

BAB VIII KAMPANYE; terdiri atas 57 pasal, yaitu Pasal 90 sampai dengan Pasal 146.

BAB IX PERLENGKAPAN PENYELENGGARAAN PEMILU; terdiri atas 4 pasal, yaitu Pasal 147 sampai dengan Pasal 151.

BAB X PEMUNGUTAN SUARA;

Page 41: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

41

terdiri atas 30 pasal, yaitu Pasal 152 sampai dengan Pasal 172.

BAB XI PENGHITUNGAN SUARA; terdiri atas 26 pasal, yaitu Pasal 173 sampai dengan Pasal 199.

BAB XII PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM; terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 200 sampai dengan Pasal 202.

BAB XIII PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH; terdiri atas 7 pasal, yaitu Pasal 203 sampai dengan Pasal 210.

BAB XIV PEMBERITAHUAN CALON TERPILIH; terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 211 sampai dengan Pasal 212.

BAB XV PENGGANTIAN CALON TERPILIH DAN PEROLEHAN KURSI; terdiri atas 1pasal, yaitu Pasal 213.

BAB XVI PEMUNGUTAN SUARA DAN PENGHITUNGAN SUARA ULANG; terdiri atas 4 pasal, yaitu Pasal 214 sampai dengan Pasal 217.

BAB XVII PEMILU LANJUTAN DAN PEMILU SUSULAN; terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 218 sampai dengan Pasal 220.

BAB XVIII PEMANTAUAN PEMILIHAN UMUM; terdiri atas 13 pasal, yaitu Pasal 221 sampai dengan Pasal 233.

BAB XIX PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU; terdiri atas 12 pasal, yaitu Pasal 234 sampai dengan Pasal 245.

BAB XX KETENTUAN PIDANA; terdiri atas 40 pasal, yaitu Pasal 246 sampai dengan Pasal 285.

BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN; terdiri atas 3 pasal, yaitu Pasal 286 sampai dengan Pasal 288.

BAB XXII KETENTUAN PENUTUP; terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 289 sampai dengan Pasal 290.

Page 42: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

42

BAB V KESIMPULAN

Untuk mewujudkan sebuah kedaulatan berada yang berada di tangan rakyat

diperlukan sebuah pemilihan umum yang dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan asas dimaksud warga negara Indonesia secara langsung memilih wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Selanjutnya, dasar untuk menyelenggarakan pemilihan umum adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berdasarkan pada pengalaman penyelenggaraan pemilu tahun 2004, terdapat beberapa kendala fundamental terkait dengan sistem pemilu, pelanggaran atas persyaratan pencalonan dan mekanisme pencalonan, penyimpangan prinsip one person, one vote dan one value, dan proses penyelesaian sengketa pemilu.

Untuk mewujudkan sebuah pemilu yang berkualitas agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. Disamping itu, penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Naskah akademik ini telah menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan, metode, dan landasan penyempurnaan undang-undang yang mengatur tentang pemilu. Selanjutnya, diuraikan problematika Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menggambarkan permasalahan mendasar dalam pelaksanaan Undang-undang tentang pemilihan umum. Dalam naskah ini juga telah diuraikan secara rinci mengenai arah dan cakupan penyempurnaan undang-undang tentang pemilu. Disamping itu, juga telah diuraikan mengenai pokok-pokok penyempurnaan atas undang-undang dimaksud.

Dengan penyempurnaan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD diharapkan dapat memperbaiki kualitas representasi dan akuntabilitas elite politik dan untuk mendukung penguatan dan efektifitas sistem presidensial.

Page 43: CETRO NASKAH AKADEMIK RUU PEMILU 8 MEI 2007ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik Dalam Negeri/1) Pemilu/3... · kepentingan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan

NASKAH AKADEMIK (PEMERINTAH) 8 MEI 2007

CETRO

43

DAFTAR PUSTAKA 1. Lili Romli, “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan”, dalam Jurnal Politika,

Vol. 2, No. 2, 2006. 2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. 7. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2005-2009.