cerpen b. indonesia

5
TUGAS BAHASA INDONESIA Nama : Siti Rahmah Raudatina NIM : B1A014081 Kelas : Ganjil Surat Tagihan Tepat pukul 07.00 di pagi hari Sudah setengah jam aku terduduk di sebuah bandara, di sebuah kota yang sangat sibuk , penuh dengan orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri atau bahkan memikirkan kapan hidupnya akan berakhir. Bunyi klakson sesekali terdengar. Asap tebal mengepul di sebelahku. Seseorang dengan santainya menghisap rokok, membuat kepulan asap dari mulutnya. “Aku benci ini!” ucapku dalam hati. Ku coba sesekali mengibaskan tanganku, berharap orang di sisiku mengerti maksudku. Tapi ya sudahlah, orang ini mungkin tidak mengerti dengan “kode” yang ku buat. Larangan yang tertempel di dinding saja tidak dihiraukan olehnya, apalagi larangan dari aku yang hanya bocah ingusan ini. Aku hanya tertawa dalam hati. “Vick, sudah waktunya kita ke pesawat”, Gian menepuk pundakku sambil kemudian menarik koper kecilnya . Aku yang tersadar dari lamunanku langsung ikut berdiri seraya memeriksa apa ada barang milikku yang tertinggal di ruang tunggu. Aku terpaku sejenak setelah ku lihat ada seseorang yang sedang berlari ke arah ku dan Gian , ku kira dia akan menabrak kami. Tapi tidak, dia berhenti tepat sebelum aku menghentikan larinya yang sangat cepat. “Maaf, lo Vicko kan? Ada titipan dari orang tua gue buat dikasih ke Papa lo”, kata orang yang tadi hampir menabrakku. Ku sambut sebuah amplop yang dia berikan. “Iya makasih, nanti gue kasih kok. Lo siap....” . Belum sempat aku menanyakan nama orang itu tanpa sadar aku sudah ditarik oleh Gian agar segera masuk ke lorong menuju pesawat. Orang yang tadi memberikan amplop langsung berbalik dan berlari pergi. Menyisakan pertanyaan menggantung dalam otakku. Akupun duduk di bangku pesawat, dekat jendela, seperti biasanya. Aku orang yang senang melihat awan , bagiku awan adalah lukisan Tuhan yang paling bagus. Semua ciptaan Tuhan memang bagus dan indah tapi awan adalah salah satu hal favoritku. Menikmati pesawat yang menembus awan membuatku tahan untuk tetap tersenyum walau berjam-jam lamanya. Sampai akhirnya lamunanku terhenti. “Apa isi amplop tadi?” Kata Gian sambil menyenggol lenganku. “Gak tau,

Upload: siti-rahmah-raudatina

Post on 19-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen b. Indonesia

TUGAS BAHASA INDONESIA

Nama : Siti Rahmah Raudatina

NIM : B1A014081

Kelas : Ganjil

Surat Tagihan

Tepat pukul 07.00 di pagi hari

Sudah setengah jam aku terduduk di sebuah bandara, di sebuah kota yang sangat sibuk , penuh dengan orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri atau bahkan memikirkan kapan hidupnya akan berakhir. Bunyi klakson sesekali terdengar. Asap tebal mengepul di sebelahku. Seseorang dengan santainya menghisap rokok, membuat kepulan asap dari mulutnya. “Aku benci ini!” ucapku dalam hati. Ku coba sesekali mengibaskan tanganku, berharap orang di sisiku mengerti maksudku. Tapi ya sudahlah, orang ini mungkin tidak mengerti dengan “kode” yang ku buat. Larangan yang tertempel di dinding saja tidak dihiraukan olehnya, apalagi larangan dari aku yang hanya bocah ingusan ini. Aku hanya tertawa dalam hati.

“Vick, sudah waktunya kita ke pesawat”, Gian menepuk pundakku sambil kemudian menarik koper kecilnya . Aku yang tersadar dari lamunanku langsung ikut berdiri seraya memeriksa apa ada barang milikku yang tertinggal di ruang tunggu. Aku terpaku sejenak setelah ku lihat ada seseorang yang sedang berlari ke arah ku dan Gian , ku kira dia akan menabrak kami. Tapi tidak, dia berhenti tepat sebelum aku menghentikan larinya yang sangat cepat. “Maaf, lo Vicko kan? Ada titipan dari orang tua gue buat dikasih ke Papa lo”, kata orang yang tadi hampir menabrakku. Ku sambut sebuah amplop yang dia berikan. “Iya makasih, nanti gue kasih kok. Lo siap....” . Belum sempat aku menanyakan nama orang itu tanpa sadar aku sudah ditarik oleh Gian agar segera masuk ke lorong menuju pesawat. Orang yang tadi memberikan amplop langsung berbalik dan berlari pergi. Menyisakan pertanyaan menggantung dalam otakku.

Akupun duduk di bangku pesawat, dekat jendela, seperti biasanya. Aku orang yang senang melihat awan , bagiku awan adalah lukisan Tuhan yang paling bagus. Semua ciptaan Tuhan memang bagus dan indah tapi awan adalah salah satu hal favoritku. Menikmati pesawat yang menembus awan membuatku tahan untuk tetap tersenyum walau berjam-jam lamanya. Sampai akhirnya lamunanku terhenti. “Apa isi amplop tadi?” Kata Gian sambil menyenggol lenganku. “Gak tau, ntar aja lah kalo udah di rumah aja kita ngeliatnya”, kataku yang kemudian kembali menatap keluar jendela. Menatap sekali lagi ciptaan terindah Yang Maha Kuasa.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sesampainya di rumah kediaman keluarga Adridinata

Kuketuk pintu rumahku dengan senyum tersungging di wajah. Tak sabar lagi rasanya bertemu dengan kedua orangtua ku. Sudah 3 bulan ini aku tidak kembali ke rumah, sibuk untuk tampil di berbagai acara musik bersama adikku, Digian Adridinata. Kami berdua menjadi personil salah satu band ternama di kota ini. Senang rasanya bisa bermusik bersama adik sendiri tapi ketika

Page 2: Cerpen b. Indonesia

sudah sibuk seperti ini aku merasa bersalah dengan kedua orang tua ku. Mereka berdua pasti kesepian, apalagi Mama.

Sudah 10 menit kami berdua berdiri didepan pintu rumah. “Mama sama Papa kemana sih?”, Gian mulai sibuk dengan handphone nya . Terdengar dering telepon dari dalam rumah, tidak ada respon atas panggilan dari Gian. “Kalo udah gini kita mesti kemana coba? Kok mama sama papa gak nungguin kita ya?”, aku bertanya pada Gian yang hanya di jawabnya dengan angkatan bahu tanda tidak tahu. Mama dan papa bukan tipe orang tua yang rajin berolahraga pagi. Jadi tidak alasan untukku mencari mereka di taman dekat rumah.

Tak berapa lama kemudian terdengar deru mobil dari depan pagar. Mama dan papa akhirnya datang. Mereka ternyata menginap di rumah salah satu kerabat di kota lain. Aku dan Gian bergantian memeluk mereka berdua. 3 bulan terasa bertahun-tahun. “Mungkin kalau ada tur lagi aku akan mengajak kedua orang tua ku ikut sekalian liburan keluarga”, pikirku. Kami pun masuk bersama-sama kedalam rumah. Rumahku istanaku. Aku berencana untuk tetap di rumah selama seminggu. Melepas rindu dengan segala hal yang ada di rumah ini.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Keesokan harinya

Gian terus memaksaku untuk menyampaikan surat yang ku terima saat di bandara. Kami pun mendatangi papa yang sedang bersantai di teras sambil membaca surat kabar. “Pa, kemaren ada anak kecil, SMP lah kira-kira ngasih ini surat ke aku pa, bilangnya sih buat papa”, aku menyerahkan sebuah amplop kepada papa. “Wah, surat apa Vick? Yakin buat papa?”, Papa terkejut dengan perkataanku. “Gak tau juga sih pa, gak sempet nanya dan ini surat belum kita baca pa”, kataku. “Iya pa, kan kata papa kita harus menjalankan amanah ya gak kita intip lah itu surat”, kata Gian menimpali.

Papa hanya tersenyum lalu mulai membuka amplop itu. Aku berusaha mencuri-curi lihat tapi papa seolah menutupinya dariku. “Apaan pa isinya?”, Gian tidak bisa menahan rasa penasarannya. “Ah ini, teman papa yang di Jogja nagih hutang”, kata papa sambil tertawa dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan kami berdua yang tidak percaya dengan apa yang papa katakan. “Ditagih hutang kok seneng sih ? Kayaknya gak mungkin”, aku bertanya kebingungan. “Ah udahlah, ntar juga ketahuan”, kata Gian.

Aku pun masuk ke rumah dan menghampiri mama yang sedang menonton acara gosip di TV. Ku ceritakan apa yang terjadi di mulai dari pertemuan dengan anak SMP di bandara hingga apa yang di katakan papa tadi. Mama menjadi kaget dan jiwa seorang istrinya pun muncul. “Vicko! Kok bisa sih papa mu punya hutang gak bilang-bilang ke mama?! Itu anak kecil kok sampe tau kamu anaknya Vick! Berarti keluarga kita sudah diawasi Vick! Aduh gimana ini Vickooo!”, mama mulai ribut sendiri. Aku semakin bingung.

Siang harinya ku lihat mama dan papa asyik berdiskusi. Mungkin membahas tentang surat tagihan utang itu. Aku memilih tidak ikut campur, lebih baik mencoba memainkan lagi gitar listrik lama ku yang sudah 3 bulan ini tidak ku sentuh. Gian sedang pergi bermain futsal dengan teman-teman kuliahnya. Tidak apa lah sepertinya bermain musik sendirian. Aku pun memainkan lagu-lagu kesukaanku diiringi rasa penasaran dengan pembicaraan kedua orang tuaku.

Page 3: Cerpen b. Indonesia

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Satu minggu kemudian

Papa mengajak kami sekeluarga untuk pergi makan di sebuah restoran yang cukup formal. Aku berpakaian rapi, menyesuaikan dengan tempat yang akan kami tuju. Gian terus-terusan mengomel masalah kemejanya yang kupinjam tanpa seijinnya. Aku rasa aku yang lebih layak menggunakannya, perut buncit Gian hanya akan merubah esensi dari kemeja rapi yang dibelinya di luar negeri ini. Gian tak berhenti membahas masalah itu hingga kami sampai di restoran yang dimaksud.

“Meja untuk 10 orang dik, sudah di pesan tadi malam”, kata papa kepada seorang yang berada di resepsionis. Aku dan Gian hanya berpandangan dengan wajah kebingungan. “Sepuluh? Berarti ini bukan hanya kami ber-empat?”, aku terus bertanya-tanya dalam hati. Ku lihat mama hanya tersenyum-senyum seolah menyimpan sesuatu yang sangat membuatnya senang. Papa masih terus diam, seolah sengaja membuat aku dan Gian semakin kebingungan. Ku putuskan untuk berhenti bertanya dan fokus melihat ke arah panggung di mana ada seseorang memainkan piano dengan indahnya. Pemainnya sangat menjiwai lagunya. Aku seperti melihat diriku sendiri memainkan gitar klasik di atas sana.

Tidak berapa lama kemudian datang 4 orang yang terdiri dengan seorang bapak-bapak, seorang ibu-ibu, seorang anak perempuan yang menurutku sudah SMA dan satu orang lagi adalah anak yang ku temui di bandara. Aku cukup terkejut ketika melihat ke arah anak lelaki itu. Gian tidak terkejut, karena aku yakin dia tak sempat melihat anak itu ketika di bandara. “Selamat malam pak Bimo Adridinata, senang rasanya kedua keluarga kita bisa berkumpul ya pak”, kata orang ini sambil menjabat tangan papa. “Iya pak Ferdi, semoga hari ini hutang saya bisa dilunasi”, kata papa sambil tersenyum ke arahku. Aku bahkan tak mampu berkata apapun.

“Perkenalkan ini anak-anak saya, yang satu ini kelas 2 SMA namanya Sherryl dan ini yang sedang sekolah di Jogja namanya Doddy, pasti waktu itu sudah ketemu sama nak Vicko kan. Dan satu lagi sebentar lagi ke meja ini”, kata pak Ferdi. Kemudian papa juga memperkenalkan aku dan Gian. Sampai akhirnya papa menjelaskan padaku kalau hutang yang di maksud pak Ferdi adalah tentang perjodohan masing-masing anak mereka. Aku dan Gian saling berpandangan. Menerka-nerka siapa diantara kami yang akan di jodohkan. “Kalo mama sih maunya Vicko ya yang dijodohin, kan Gian udah punya cewek”, kata mama sambil menyenggolku. “Kok gak dibilangin dulu sih pa, ma?” Aku meminta penjelasan. “Kita semua sengaja bikin kamu kaget Vick”, kata papa. “Tapi kalo gue gak tau lho, serius”, Gian menambahkan.

“Tunggu, Vicko mau dijodohin sama siapa emangnya?”, kataku . Sampai terdengar suara yang lembut,“Permisi, maaf saya baru ikut gabung”, suara dari seorang perempuan yang tadi kulihat memainkan piano di atas panggung. Dia memperkenalkan namanya sebagai Lita. Begitu cantik, anggun dan sopan. Aku terus terpaku sampai ku dengar papa menyebutkan, “Ini lho orangnya yang mau dikenalin ke kamu , Vick”. Tanpa ku sadari aku langsung berkata dengan lantang ,”Kamu mau kan nikah sama aku, Ta?”.

SELESAI