cerpen anak+sejuta+lumpur (1)
DESCRIPTION
Sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi oleh kisah nyata semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa TimurTRANSCRIPT
Sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi oleh kisah nyata
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur
****
Anak Sejuta Lumpur
Oleh : Firdaus Cahyadi
“Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar,” teriak anak-
anak di Taman Kanak-kanak Al-Maun, Bogor, Jawa Barat. Mereka
tampak riang gembira bermain bersama teman-teman dan
gurunya. Tidak ada raut muka berduka di wajah-wajah mereka. TK
ini adalah salah satu TK yang ada di kompleks perumahan tempatku
tinggal. Anakku pun bersekolah di TK ini. Untuk ukuran masyarakat
kebanyakan, TK ini cukup mahal. TK ini diperuntukan bagi mereka
anak-anak yang keluarganya dari kelas menengah-atas. Sudah
barang tentu tidak ada anak dari keluarga miskin di TK ini.
Hari ini, adalah hari pertama anakku masuk TK. Jadi aku
menyempatkan diri untuk menunggui anakku hingga pulang
sekolah. Beberapa orang tua anak juga tampak melakukan hal
yang sama. Hanya saja, aku menungguinya agak jauh dari sekolah.
Aku menunggu di sebuah masjid yang ada di kompleks sekolah TK
itu. Dari kejauhan, aku melihat anak-anak, termasuk anakku, begitu
riang gembira. Mereka nampak sangat bahagia.
Trit..trit…Dan handphoneku pun berbunyi. Direkturku menelpon
dari kantor. “Adi, kamu ada dimana sekarang?” Tanya Mbak
Devianti, “Besok kamu harus berangkat ke Porong, Sidoarjo, Jawa
Timur untuk memberikan pelatihan penggunaan media social
selama seminggu untuk kawan-kawan di Posko korban lumpur
Lapindo, gimana, siap ‘kan?”
Saya berpikir sejenak. Hmm..Sidoarjo. Di tempat itu saya
pernah tinggal beberapa saat sebelum mendapatkan pekerjaan di
Jakarta. Kini tempat itu telah hancur lebur karena semburan lumpur.
“Iya..iya Mbak..saya siap,” jawabku, “Jam berapa pesawat dari
Jakartanya, Mbak?”
“Besok kamu berangkat jam 10.00 pagi,” jawab Mbak Devianti
singkat, “Ok, thanks ya.” Percakapan di telpon pun terputus.
Memberikan pelatihan kampanye, termasuk menggunakan media
social di internet, adalah salah satu pekerjaanku. Aku bekerja di
sebuah organisasi non-pemerintah atau sering disebut sebagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM tempatku bekerja
lumayan besar karena salah satu jaringan LSM internasional,
sehingga gaji yang aku terima pun lebih tinggi daripada staf LSM-
LSM lainnya. Dari segi pendapatan pun, aku masuk kedalam kelas
menengah-atas.
Waktu pun berlalu, sekolah TK sudah usai. Anak-anak pun
berhamburan keluar, termasuk anakku. Aku pun segera
menghampiri anakku. “Gimana Firli, suka sekolah di sini?” tanyaku
kepadanya, “Iya, ayah, Firli suka” jawabnya. Dan kami pun menuju
mobil Baleno untuk menuju rumah.
***
Waktu menunjukan jam 08.00 pagi, setalah berpamitan
kepada anak dan istriku, aku berangkat menuju Bandara Soekarno-
Hatta. Jika jalanan tidak macet, Bogor menuju Bandara ditempuh
dalam waktu sekitar 1,5 jam. Dan Alhamdulillah, jalanan Jakarta
tidak begitu macet, hingga taxi yang aku tumpangi dapat sampai
ke Bandara tepat waktu. Setelah check in dan boarding, aku dan
seorang temanku, Alamsyah, segera bergegas menuju pesawat.
Tidak ada sesuatu yang baru selama perjalanan dari Jakarta
ke Bandara Juanda, Surabaya. Hal yang baru justru ketika
perjalanan dari Bandara Juanda ke sekretariat Posko korban lumpur
yang lokasinya tak jauh dari pusat semburan lumpur.
“Gila bau apaan nih?” Tanya Alamsyah setengah berteriak.
Begitu memasuki Jalan Raya Porong, Sidoarjo, memang tercium
aroma yang begitu menyengat. Aroma seperti telur busuk. “Ini
aroma dari lumpur Lapindo,” jawab Pak Manto, sopir taxi yang
menghantarkanku dari Bandara Juanda, “sejak muncul semburan
lumpur Lapindo, di sepanjang jalan ini memang muncul aroma
busuk seperti ini”
Aku pun menyempatkan diri melihat sekeliling jalan raya
Porong, Sidoarjo. Sebuah hamparan lumpur yang luas. “Dulu di
daerah itu ada rumah penduduk, pabrik, tempat ibadah dan
sekolah,” ujar Pak Manto, “Namun, sekarang sudah tenggelam oleh
lumpur Lapindo”
Ya lumpur Lapindo. Tanggal 29 Mei 2006 semburan lumpur
Lapindo mulai muncul di kawasan ini. Semburan lumpur ini tidak
hanya meluluhlantakan rumah dan tanah tapi juga harapan warga
yang menjadi korban. Banyak berita di Koran yang menuliskan
bahwa banyak anak-anak korban lumpur yang terpaksa putus
sekolah. Anak-anak korban lumpur itu bukan hanya kehilangan
teman tapi juga indahnya masa anak-anak. Mereka tentu tidak bisa
lagi mandi di sungai, karena air sungai telah tercemar oleh lumpur
Lapindo. Sekolah tempat mereka berkumpul dengan teman-teman
sebayanya pun telah tenggelam. Mendadak aku jadi ingat anakku.
“Oh, betapa sedihnya anakku jika itu terjadi menimpanya,”
gumamku dalam hati.
“Sudah sampai mas,” ujar Pak Manto menyadarkan aku dari
lamunan. “Wow,.cepat banget” kataku. “Eh..cepat, lama ini,
melamun aja sih loe” ujar Alamsyah dengan logat Jakartanya yang
begitu kental. Setelah membayar ongkos taxi, kamipun bergegas
masuk sekretariat Posko Korban lumpur.
“Selamat datang mas,” ujar Hamdi, coordinator dari Posko
Korban lumpur, “Seadanya ya, maklum kita adalah korban lumpur” .
Meskipun ada duka yang mendalam di raut wajah mereka, mereka
tetap ramah menyambut tamu. “Oh, ga apa-apa” jawabku.
Pelatihan penggunaan media social untuk kampanye
dilakukan di malam hari selama seminggu. Tidak ada hal yang
berbeda dalam sesi pelatihannya. Hal baru dan berbeda justru
muncul dari perbincangan-perbincangan dengan pengelola posko
korban lumpur. Banyak cerita-cerita yang lebih mengenaskan dan
itu tidak pernah muncul di Koran, majalah, televisi atau portal berita
online.
Salah satu cerita mengenaskan itu tentang kisah Mbok Jumik.
Ia adalah salah satu korban lumpur yang pernah tinggal di Pasar
Porong. Pada suatu hari, Mbok Jumik merasakan sakit yang luar
biasanya di perutnya. Keluarganya pun segera membawanya ke
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo. Pihak rumah sakit
mengatakan bahwa Mbok Jumik harus dirawat. Namun, karena
ketiadaan biaya akhirnya Mbok Jumik kembali dibawa ke
pengunsian Pasar Baru Porong. Ia dirawat dengan pengobatan
tradisional. Dan akhirnya, Mbok Jumik meninggal di pengungsian
korban lumpur.
Kawan-kawan Posko korban lumpur pun telah menyebarkan
berita ini dan meminta dukungan pendanaan untuk perawatan
Mbok Jumik. Permohonan dukungan dan bantuan itu disebarkan
melalui berbagai cara, salah satunya melalui internet. “Namun,
sampai akhir hayatnya tidak ada bantuan untuk Mbok Jumik” ujar
Hamdi.
Aku terdiam. Mulutku seakan terkunci. Bagaimana tidak, di
Jakarta terjadi banjir dukungan terhadap Prita Mulyasari melawan
pelayanan Rumah Sakit OMNI Internasional. Di Porong, ada seorang
ibu yang kesulitan membayar RSUD, hingga akhir hayatnya justru
tidak ada satupun yang memberikan dukungan. “Kemana kelas
menengah yang digembar-gemborkan Bank Dunia? Kemana pula
lembaga amil zakat yang mengklaim terpercaya dalam
menyalurkan bantuan” gumamku dalam hati.
Hatiku seperti disayat –sayat mendengar cerita tentang Mbok
Jumik itu. Aku adalah bagian dari kelas menengah di Indonesia.
Kehidupanku jauh lebih mapan daripada para korban lumpur. Tapi
aku tidak berbuat apa-apa ketika ada seorang korban lumpur yang
mengerang kesakitan dan tidak bisa membayar biaya rumah sakit
umum. Ini adalah dosaku sebagai bagaian kelas menengah yang
angkuh di negeri ini. “Maafkan aku Mbok Jumik,” ucapku dalam
hati, “Aku dan kelas menengah lainnya tidak pernah peduli
terhadap penderitaan panjangmu.”
Dan cerita-cerita mengenaskan itu tidak berhenti hingga disitu.
Ada cerita mengenaskan tentang seorang bayi usia 3,5 bulan yang
harus meninggal dunia. Bayi itu bernama Aulia Nadira Putri.
Rumahnya tak jauh dari pusat semburan lumpur Lapindo. Ia
meninggal dunia karena diduga terlalu banyak menghirup gas
beracun lumpur Lapindo.
Sedih, marah dan kecewa bercampur baur ketika Hamdi
menceritakan kisah pilu Aulia Nadira Putri ini. Seorang bayi yang tak
berdosa pun harus meninggal dunia karena gas beracun lumpur
Lapindo. Padahal, jika ia bisa memilih, ia tentu tidak akan memilih
untuk dilahirkan di kawasan dekat semburan lumpur Lapindo. Jika
bisa memilih, bayi Aulia Nadira Putri tentu memilih di lahirkan di
tempat lain, yang udara dan lingkungan hidupnya masih sehat.
Cerita tentang Aulia Nadira Putri ini kembali menyetak hatiku.
Tak terasa air mataku pun jatuh. Aku membayangkan jika ini terjadi
pada anakku. Dan sekali lagi aku merasa berdosa atas kematian
Aulia Nadira Putri. Harusnya aku sebagai kelas menengah ikut
mendesak pemerintah untuk segera memindahkan semua
penduduk dari kawasan semburan lumpur. Kawasan semburan
lumpur itu sudah tidak layak huni bagi manusia. Alih-alih
memindahkan penduduk dari kawasan berbahaya semburn lumpur
Lapindo. Pemerintah justru memiliki ide untuk menjadikan kawasan
itu sebagai kawasan wisata geologi. Bahkan sebuah perusahaan
yang dikaitkan dengan munculnya semburan lumpur justru
berencana melakukan pengeboran lagi di Sidoarjo.
***
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sudah seminggu aku
tinggal di Porong, Sidoarjo. Berbaur dengan masyarakat korban
lumpur. Mengalami sendiri perihnya penderitaan warga dan juga
mendengar berbagai cerita pilu yang tak pernah muncul di media
massa. Namun, hari ini aku akan meninggalkan itu semua.
Meninggalkan udara dengan aroma busuk yang menyengat di
Porong, Sidoarjo.
Selama di perjalanan pikiranku masih melayang di kawasan
Porong, Sidoarjo. Kisah pilu yang dialami Mbok Jumik dan Aulia
Nadira Putri masih membebani pikiran dan hatiku. Orang-orang
yang tak berdosa itu telah menjadi korban. Ya, korban
ketidakpedulian Negara dan kita semua.
Tak terasa taxi menghantarkanku di depan pintu rumah. Istri
dan anakku menyambut dengan suka cita. “Ayah pulang” teriak
anakku sambil memelukku. Akupun memeluk anakku, dengan
pikiran yang masih melayang ke kisah pilu Aulia Nadira Putri. Di
perumahan ini anakku dan anak-anak lainnya nampak sehat dan
ceria. Namun, tidak bagi anak-anak di Porong, Sidoarjo sana.
Keceriaan anak-anak Porong telah terampas. Bahkan, kini setiap
hari keselamatan mereka terus terancam akibat sejak semburan
lumpur Lapindo muncul di kawasannya. Mereka anak-anak yang
tidak berdosa, namun harus menderita. Dan kita kelas menengah
yang ada di kota sepertiku menutup mata dan telinga atas realita
kehidupan mereka.