ceramah etika final

10
1 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Etika dan Moral Bangsa Pekanbaru, 18 Juni 2010 Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua, Saudara peserta sarasehan yang saya hormati, Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa berkumpul dalam forum sarasehan yang berbahagia ini. Yaitu, Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Etika dan Moral Bangsa. Adalah suatu kehormatan bagi saya, diundang oleh panitia untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang ”Pengembangan Etika dan Moral Bangsa”. Judul yang diberikan kepada saya ini adalah penting, tidak hanya untuk dibicarakan dan didiskusikan dalam forum-forum semacam ini, tetapi lebih dari itu, masalah etika dan moral harus menjadi tekad untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Dari judul ini, saya mengajak para peserta untuk bersama-sama mengembangkan pemikiran, bagaimana etika dan moral bangsa dapat dijadikan landasan, utamanya dalam mewujudkan budaya politik nasional. Jadi, disini saya hanya akan membahas pada etika dan moral bangsa, yang akan menjadi panduan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Saudara-saudara sekalian yang berbahagia, Sebelum saya menguraikan pemahaman saya mengenai makna etika dan moral bangsa, terlebih dahulu ingin saya uraikan pengertian atau pemahaman saya tentang etika dan moral. Para ahli sering mendefinisikan sebagai "the discipline which can act as the

Upload: redaksi-marzuki-alie

Post on 19-Jun-2015

299 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ceramah Etika Final

1

KETUA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA

Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional

Berlandaskan Etika dan Moral Bangsa

Pekanbaru, 18 Juni 2010

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Saudara peserta sarasehan yang saya hormati,

Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, yang

telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa berkumpul

dalam forum sarasehan yang berbahagia ini. Yaitu, Sarasehan Nasional Pendidikan

Budaya Politik Nasional Berlandaskan Etika dan Moral Bangsa.

Adalah suatu kehormatan bagi saya, diundang oleh panitia untuk menyampaikan

pemikiran-pemikiran tentang ”Pengembangan Etika dan Moral Bangsa”. Judul yang

diberikan kepada saya ini adalah penting, tidak hanya untuk dibicarakan dan didiskusikan

dalam forum-forum semacam ini, tetapi lebih dari itu, masalah etika dan moral harus menjadi

tekad untuk diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dari judul ini, saya mengajak para peserta untuk bersama-sama mengembangkan

pemikiran, bagaimana etika dan moral bangsa dapat dijadikan landasan, utamanya dalam

mewujudkan budaya politik nasional. Jadi, disini saya hanya akan membahas pada etika dan

moral bangsa, yang akan menjadi panduan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia,

Sebelum saya menguraikan pemahaman saya mengenai makna etika dan moral

bangsa, terlebih dahulu ingin saya uraikan pengertian atau pemahaman saya tentang etika

dan moral. Para ahli sering mendefinisikan sebagai "the discipline which can act as the

Page 2: Ceramah Etika Final

2

performance index or reference for our control system". Etika akan memberikan semacam

batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok

sosialnya. Dalam pengertian secara khusus dikaitkan dengan interaksi sosial kita, etika

dirupakan dalam bentuk aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan

prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai

alat untuk mengontrol segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common

sense) dinilai menyimpang. Dengan demikian, etika adalah refleksi dari apa yang disebut

dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk

kepentingan kelompok sosial itu sendiri.

Moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia

bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Dalam kehidupan sosial, semua masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau

melarang perbuatan tertentu. Tata kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan

akan menimbulkan ”hukuman” bagi pelanggarnya. Sebaliknya, yang terjadi apabila perilaku

tersebut dianggap ideal, akan mendapat imbalan (reward) yang sepadan.

Etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat digali

dari Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Pancasila memancarkan nilai-nilai

etika dan moral yang harus ditumbuhkembangkan dan diimplementasikan oleh setiap individu

warga negara Indonesia.

Etika dan moral berbangsa dan bernegara perlu dianggap sebagai etika terapan karena

aturan normatif yang bersifat umum, diterapkan secara khusus sesuai dengan kekhususan dan

kekhasan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai etika khusus, etika dan moral

berbangsa merupakan kontekstualisasi aturan moral umum dalam bidang dan situasi konkret.

Etika dan moral berbangsa ini, setidaknya terdiri dari tiga, yaitu: pertama, etika dan

moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya

sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip

integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga

dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral.

Kedua, etika sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku

manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja

sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan

sosial, etika individual, dan etika sosial berkaitan erat satu sama lain, bahkan dalam arti

tertentu sulit untuk dilepaskan dan dipisahkan satu sama lain.

Ketiga, etika Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik

sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas

Page 3: Ceramah Etika Final

3

dalam totalitasnya, dan hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya

yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia,

Sesungguhnya, sejak tahun 2001, MPR RI telah mengeluarkan Ketetapan MPR RI No.

VI/MPR/2001 tentang Etika dan Perkembangan Demokrasi Bangsa. Lahirnya TAP ini,

dipengarui oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara dan beragama.

Latar belakang munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak

terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan

bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak

dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam

pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa,

pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh

faktor-faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri.

Untuk menyegarkan ingatan kita semua, ijinkan saya menguraikan secara ringkas etika

yang dimaksudkan dalam ketetapan MPR ini, yaitu pertama Etika Sosial dan Budaya yang

bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur,

saling peduli, memahami, menghormati, mencintai, dan saling menolong di antara sesama

manusia. Sejalan dengan itu, perlu ditumbuhkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan

dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dan

budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal

maupun informal. Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali kehidupan berbangsa

yang berberbudaya tinggi dengan menggugah, menhargai, dan mengembangkan budaya

nasional yang bersumber dari budaya daerah, agar mampu melakukan adaptasi, interaksi

dengan bangsa lain, dan tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan glogalisasi.

Kedua, adalah Etika Politik dan Pemerintahan yang dimaksudkan utuk

mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana

politik yang demokrasi yang bercirikan keterbukaan, tanggung jawab, tanggap akan aspirasi

rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, ketersediaan untuk menerima

pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak

dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar

penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada

publik, siap mundur bila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai maupun

dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara. Etika ini

diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertatakrama dalam perilaku politik yang toleran, tidak

Page 4: Ceramah Etika Final

4

berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik,

tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Ketiga adalah Etika Ekonomi dan Bisnis, yang dimaksudkan agar prinsip dan

perilaku ekonomi dan bisnis, baik oleh perseorangan, instansi, maupun pengambil keputusan

dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan

persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya

tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan

ekonomi yang berpihak kapada rakyat kecil melalui kebijakan secara berksinambungan. Etika

ini diharapkan akan dapat mencegah terjadinya parktek-praktek monopoly, oligopoly,

kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme,

diskriminasi yang berdampak negatif terhadap persaingan sehat, dan keadilan serta

menghindarkan perliaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan.

Keempat adalah Etika Penegakkan Hukum yang Berkeadilan, yang dimaksudkan

untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup

bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan

yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya

supremasi dan kepastian hukum yang sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang

hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara

adil, perlakuan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap

setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah

sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.

Kelima adalah Etika Keilmuan yang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat

dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan

sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif

dalam karsa, cipta dan karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, onventif dan

komunikatif, dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti, menulis, berkarya serta menciptakan

iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dan keenam adalah Etika Lingkungan, yang menegaskan pentingnya kesadaran

menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruangan secara

berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Berdasarkan penjelasan yang saya uraikan tadi, berkaitan dengan etika dan moral

bangsa terdapat beberapa hal pokok yang yang ingin saya tegaskan kembali, yaitu:

Page 5: Ceramah Etika Final

5

Pertama, Pemahaman terhadap etika dan moral bangsa dewasa ini menjadi penting,

mengingat adanya krisis sosial, budaya, dan moral, yang terjadi terutama dapat disaksikan

dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi ditengah masyarakat kita. Seperti,

disintegrasi sosial-politik yang bersumber pada euforia kebebasan; lenyapnya kesabaran sosial

dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah melakukan

berbagai tindakan kekerasan dan anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap

hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkoba serta

penyakit-penyakit sosial lain; dan berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bernuansa politis,

etnis, dan agama.

Kedua, etika dan moral merupakan panduan universal yang merawat cita-cita

kehidupan bernegara untuk mencapai tujuan asasinya, yaitu kehidupan yang berjalan di atas

nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai budaya bangsa ini merupakan konsensus, sebagai rujukan

berinteraksi dalam seluruh dimensi kehidupan. Setiap sikap dan perilaku di ruang publik, harus

mencerminkan nilai-nilai itu, agar cita-cita dan keutuhan masyarakat tetap terjaga.

Ketiga, konsepsi dasar etika dan moral sebuah negara, perlu terus mengacu pada

konsensus nilai-nilai yang ada, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, terutama nilai-

nilai mayoritas yang menjadi sebuah keniscayaan dalam mewarnai tata perilaku warga

bangsa. Hal ini akan terjadi, jika politik kekuasaan berjalan di atas landasan demokrasi dan

menempatkan rakyat sebagai yang berdaulat, sehingga nilai-nilai yang berkembang di

masyarakat tetap berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Keempat, etika dan moral lahir dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yang

tujuannya adalah menjalin kebersamaan, merawat kesatuan, dan mencapai kehidupan yang

tenteram, harmonis, dan sejahtera. Nilai merupakan landasan perilaku dalam seluruh sendi

kehidupan, bukan sebagai legitimasi atau hiasan belaka. Moral dan etika dalam perilaku

masyarakat, termasuk dalam politik bernegara adalah suatu hal yang tidak dapat

dipisahkan, karena menafikkan salah satunya berarti menarik kegiatan politik dari dimensi

sosial dan hanya menjadi urusan pribadi. Moral dan etika membingkai politik, agar berjalan

konsisten sesuai tujuan asasinya, sehingga tanggung jawab dan kewajiban manusia terhadap

negara, terhadap hukum yang berlaku, dan terhadap sesama manusia, dapat ditegakkan.

Atas dasar pemahaman tersebut, saya berpendapat bahwa pengembangan etika dan

moral bangsa memiliki dua pilar utama, yaitu pertama, pilar Pancasila dan UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kedua, pilar persatuan Indonesia

dan Bhinneka Tunggal Ika.

Page 6: Ceramah Etika Final

6

Pada kesempatan ini, saya akan mengelaborasi secara ringkas kedua pilar tersebut

untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, bagaimana etika dan moral bangsa dapat

dikembangkan.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia,

Ijinkan saya untuk membahas terlebih dahulu dasar etika dan moral pertama, yaitu

Pancasila dan UUD 1945, yang saya pandang sebagai dasar moral dan etika yang penting,

karena Pancasila memiliki nilai-nilai universal, sementara UUD 1945 merupakan Dasar

Pengatur Sistem Pemerintahan. Moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia dapat digali dari Pancasila yang memancarkan nilai-nilai moral dan

etika, yang harus ditumbuhkembangkan dan diimplementasikan oleh setiap individu warga

negara Indonesia.

Sila pertama Pancasila memberikan pesan, bahwa etika dan moral merupakan

inti dari setiap agama, karena berkaitan dengan masalah keyakinan. Setiap pemeluk agama

harus menyadari bahwa kaidah-kaidah yang berlaku untuk setiap pribadi adalah mutlak bagi

dirinya. Tetapi sebagai anggota masyarakat, keyakinan tersebut harus diperkaya dengan

pengetahuan dan didialogkan dengan agama-agama lain. Dengan demikian, akan lahir tradisi

beragama yang sehat, dewasa, dan inklusif di antara warga negara, sehingga dapat

melahirkan nilai-nilai etika dan moral yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk menjalani

kehidupan keagamaan yang toleran.

Sila kedua mengajarkan, bahwa sebagai perorangan maupun anggota masyarakat,

wajib memperhatikan individu maupun kelompok lain sebagai manusia yang memiliki

HAM yang komprehensif. Semua manusia memiliki hak sosial, politik, ekonomi, dan budaya,

yang kesemuanya itu saling melengkapi, sehingga terbangun citra diri yang manusiawi.

Sila ketiga menekankan rasa persatuan, karena rasa inilah yang membentuk sebuah

bangsa besar dari Sabang sampai Merauke. Rasa inilah yang mampu mengikat kekayaan

kebhinnekaan dalam kesatuan dan kebersamaan. Meskipun di berbagai bagian Indonesia,

terdapat rumpun-rumpun bangsa tertentu, tetapi dasar negara Indonesia bukanlah

berdasarkan nilai-nilai kerumpunan, tetapi nilai-nilai persatuan.

Sila keempat memberikan dasar-dasar utama bagi terciptanya konsensus dalam

keberagaman. Konsensus menjadi sebuah rumus yang mempersatukan, dan tidak

mempersoalkan, antara minoritas dengan mayoritas, yang disebabkan oleh berbagai macam

faktor, seperti keturunan, agama, dan lain sebagainya. Konsensus merupakan sebuah kata

kunci untuk melintasi batas adat budaya tertentu yang bersifat primordial, sehingga

Page 7: Ceramah Etika Final

7

primordialisme menjadi faktor yang dapat memecah persatuan. Karena itu musyawarah dan

mufakat menjadi rumus untuk menentukan ketika terjadi hitung-hitungan mayoritas dan

minoritas. Sila keempat ini, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, jelas diatur bahwa, diberikan kepercayaan kepada wakil-wakil

rakyat untuk melaksanakan permusyawaratan, mendahulukan konsensus di dalam

melaksanakan tugas konstitusionalnya.

Sila kelima, menempatkan keadilan sebagai sebuah elemen penting untuk stabilitas

dan pertahanan sebuah negara. Tanpa adanya keadilan bagi seluruh rakyatnya, maka sebuah

negara menjadi tidak fungsional. Secara kalkulatif, dalam aspek pertahanan konvensional,

negara bisa dihitung dengan jumlah kendaraan militer, senjata, dan perangkat-perangkat

keras pertahanan lainnya, yang biasa disebut Alat Utama Sistem Persenjataan (alutsista).

Namun, sesungguhnya perangkat-perangkat keras tersebut tidak akan efektif dan kuat kalau

tidak ditopang dengan transformasi nilai-nilai keadilan.

Kelima nilai yang sangat penting tersebut, yang terangkum dalam sila-sila dalam

Pancasila, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini memang terasa ada upaya

untuk memarjinalkannya. Namun, saya tetap percaya, tidak ada yang salah dengan

Pancasila, yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang

kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo

kekuasaan.

Jika kita renungkan baik-baik, mungkin tidaklah terlalu keliru jika kita merumuskan

esensi Pancasila dengan lima silanya, sebagai lima aksioma politik dari nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia adalah suatu semangat, suatu tekad, dan suatu program aksi, suatu

das Sollen. Pancasila sesungguhnya adalah suatu faham yang berpendirian bahwa semua

orang berkeinginan membentuk masa depan bersama di bawah lindungan suatu negara, tanpa

membedakan suku, ras, agama ataupun golongan, adalah suatu bangsa.

Adapun UUD 1945 yang telah mengalami 4 kali perubahan, dan mungkin juga akan

mengalami perubahan kembali, sesuai dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan

adalah landasan hukum di dalam kita bernegara. UUD 1945 menjadi pedoman dan landasan

bagi terbentuknya berbagai peraturan perundangan di Indonesia.

Saudara-saudara sekalian yang berbahagia,

Pilar kedua dalam mengembangkan etika dan moral bangsa adalah persatuan

Indonesia dalam bingkai bhinneka tunggal ika. Pilar ini menunjukkan adanya kesadaran

bahwa persatuan perlu dibangun diatas kemajemukan suku bangsa dan budaya, yang ada

Page 8: Ceramah Etika Final

8

dalam masyarakat Indonesia. Persatuan ini juga tertuang dengan jelas dalam Sila Ketiga

Pancasila sebagaimana yang saya uraikan terdahulu. Kesadaran dan semangat persatuan

dalam bingkai kebangsaan bersama inilah yang kemudian menjadi landasan politik bernegara,

dan menjadi acuan bersama, baik pada masa sebelum kemerdekaan, ataupun pada awal

kemerdekaan.

Semangat kebangsaan yang demikian kuat, mampu membuat politik bernegara berada

dalam landasan yang sama, yaitu mempertahankan dan membangun negara-bangsa yang

kokoh, sejahtera dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan filosofi Pembukaan UUD

1945.

Perbedaan suku, agama, budaya, dan golongan tersub-ordinasi di bawah semangat

kebersamaan untuk tujuan mulia itu. Keberhasilan para founding fathers merawat rasa

kebangsaan itulah, yang mengantarkan Republik Indonesia mampu meretas diri dari belenggu

hegemoni kolonialisme.

Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi negeri ini, maka kebersamaan di

tengah keragaman dan kolektivitas di tengah heterogenitas, menjadi kata kunci utama.

Sebagai sebuah bangsa yang plural dan heterogen, semua upaya harus dilakukan dengan

mengedepankan kebersamaan tanpa mengorbankan kerberagaman. Itulah semangat yang

hendak ditumbuhkan dari etika dan moral persatuan yang ber-bhinneka tunggal ika, demi

tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesimpulan yang bisa saya

sampaikan dalam uraian ini, etika dan moral bangsa, tidak hanya perlu menjadi landasan

dalam pengambilan kebijakan, tapi juga menjadi dasar sikap dan perilaku warganya sehingga

bangunan negara bangsa (nation state) berdiri kokoh dan integral. Tanpa persatuan bangsa

dan bhinneka tunggal ika itu, Indonesia yang direbut dan dibangun dengan susah payah, akan

rusak oleh perilaku politik kedaerahan yang mengedepankan kesukuan secara sempit.

Etika dan moral bangsa bukan sekedar konsepsi, tetapi harus terimplementasi dalam

sikap dan perilaku politik yang berorientasi pada kepentingan seluruh masyarakat tanpa

terkecuali, bukan kepentingan primordial suku bangsa tertentu atau etnik dan budaya

tertentu. Perlu kesadaran historis dan moral agar nilai-nilai yang tercantum dalam persatuan

Indonesia menjadi penghayatan individual demi pertanggungjawaban kepada sejarah, dan

kepada seluruh masyarakat, dan kepada Tuhan yang Maha Esa.

Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara yang berada dalam

keberagaman, memerlukan wawasan pluralisme dan inklusifisme agar tercipta interaksi

yang saling memahami dan menghormati. Dalam konteks ini, pengakuan terhadap perbedaan

merupakan sebuah prasyarat mutlak, karena kita tidak mungkin menghilangkan perbedaan,

Page 9: Ceramah Etika Final

9

yang dapat kita lakukan hanyalah membangun konsensus di atas perbedaan-

perbedaan yang kurang prinsipil dan signifikan.

Etika dan moral dalam kerangka persatuan dan bhinneka tunggal ika inilah yang akan

menjadi dasar pertimbangan yang bijaksana yang dapat mengatasi berbagai perbedaaan yang

senantiasa muncul dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam kaitan ini,

mengulangi apa yang telah saya sampaikan sebelumnya, maka konsensus menjadi hal

yang sangat penting dan fundamental dalam menata dan membangun masyarakat yang

plural, sekaligus penting bagi kontinuitas pembangunan dan masa depan sebuah negara.

Masyarakat yang plural memerlukan transformasi dan aplikasi nilai-nilai moral dan etika secara

tepat.

Dengan demikian, bangunan Indonesia Baru yang kita cita-citakan adalah sebuah

"masyarakat multikultural Indonesia". Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan

sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya. Hal ini

mengandung perspektif dalam kerangka membangun konsep sebuah komunitas dalam

konteks kebangsaan yang mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya

(baik ras, suku, etnis, maupun agama). Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa

bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan beragam budaya,

didukung oleh moral dan etika.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Sebelum saya mengakhiri uraian saya tentang etika dan moral bangsa, perlu saya

tegaskan bahwa etika dan moral berbangsa menuntut perilaku yang mementingkan kebaikan

bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Etika dan moral bangsa akan

terwujud apabila dilandasi oleh kejernihan hati nurani, moralitas, kerendahan hati, keikhlasan,

kejujuran, dan tanggung jawab. Elit politik harus menyerahkan loyalitasnya kepada negara

termasuk kepada pemimpin negara yang amanah, baik di pusat maupun di daerah. Loyalitas

kepada negara harus lebih besar daripada loyalitas kepada partai atau kelompok ketika

seseorang sudah menjadi pejabat negara. Inilah sosok negarawan sejati yang digerakkan oleh

wawasan kebangsaan yang terserap dalam dirinya. Untuk menciptakan etika dan moral

bangsa diperlukan sebuah sistem dan mekanisme yang menunjang atau bahkan memaksa

untuk itu. Sistem itulah yang mampu menunjukkan kepada publik mengenai kualitas moral

dan etika yang dimiliki oleh setiap warga Negara dan aktor-aktor atau elite-elite politik yang

kewenangan politiknya bersumber dari kedaulatan rakyat.

Demikianlah hal-hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Demikian banyak

persoalan yang perlu dijawab, sehingga tidak akan mungkin terselesaikan hanya dengan

Page 10: Ceramah Etika Final

10

diskusi dalam sarasehan yang waktunya sangat terbatas. Namun demikian, diskusi-diskusi

yang dilakukan dalam waktu yang relatif sempit ini, diharapkan dapat memberikan

pemahaman makro terhadapnya. Saya berharap, bahwa dalam sarasehan ini dapat

dirumuskan sesuatu yang mendasar dan dapat memecahkan permasalahan etika dan moral

kebangsaan Indonesia.

Paling tidak, hal ini diharapkan dapat membuka wacana baru untuk lebih

mengkonkretkan persoalan, bukan mempersoalkan persoalan, melainkan mencari jalan

keluar untuk menjawab berbagai persoalan.

Sekian, terima kasih

Wallahul Muwafiq Illa Aqwamiththariq,

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pekanbaru, 18 Juni 2010

KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

Dr. H. MARZUKI ALIE