cedera_kepala

53
LAPORAN KASUS “TRAUMA KEPALA BERAT” Oleh Delfian Oktatugara Rayes H1A 009 026 M.N Alpi Apriansah H1A 009 004 SUPERVISOR : dr. Wayan Subagiarta, Sp. S DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

Upload: lita-muliawati

Post on 07-Jul-2016

243 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

medical

TRANSCRIPT

Page 1: CEDERA_KEPALA

LAPORAN KASUS

“TRAUMA KEPALA BERAT”

Oleh

Delfian Oktatugara Rayes H1A 009 026

M.N Alpi Apriansah H1A 009 004

SUPERVISOR :

dr. Wayan Subagiarta, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2015

Page 2: CEDERA_KEPALA

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya kepada saya, sehingga sayadapat menyelesaikan Laporan kasus Ilmu Penyakit

Saraf dengan judul trauma kepala berat sebagai suatu laporan kasus atas hasil belajar yang

berkaitan dengan kegiatan kepanitraan klinik di bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB.

Saya mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr.Wayan Subagiartha SpS

atas bimbingan beliau pada saya dalam proses diskusi dan pelaporan kasus penyakit saraf.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para perawat dan tenaga medis lainnya yang

membantu dalam proses perawatan dan pengobatan pasien.

Saya juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-

kekurangan yang ada dalam laporan kasus ini. Maka dari itu, saya sangat mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun yang harus saya lakukan untuk dapat menyusun

laporan yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Mataram, 30 Januari 2015

Penulis

2

Page 3: CEDERA_KEPALA

I. PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada

kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan

fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik1.

1.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai

di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera

kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala

terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan

3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi1.

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di

Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,

15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%

akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal2.

1.3 Etiologi

Penyebab trauma kepala, yaitu3:

1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3. Cedera akibat kekerasan.

4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.

dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan

kepada otak

5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.

3

Page 4: CEDERA_KEPALA

6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,

misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan

cedera setempat.

Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada3 :

• Lokasi

• Kekuatan

• Fraktur infeksi/ kompresi

• Rotasi

• Delarasi dan deselarasi

1.4 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan

cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari

suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun

oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala4.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera

primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya

disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang

disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi

solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam

tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)4.

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang

timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,

kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi4.

Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur

impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala

4

Page 5: CEDERA_KEPALA

menunjukkanbahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur tanpa

kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti4.

Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada

arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau

menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan

telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat menimbulkan

rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau telinga4.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga

menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan

kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan4.

Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup

dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio

serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya

perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan

menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang

tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari

batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak. Saraf

otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada batang otak, ataupun

sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial4.

Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu5:

Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di

dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan

yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita

trauma kapitis menderita gangguan ini.

Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin

traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang

mengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot

mata, yang sering terkena adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini

menyebabkan diplopia yang dapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa

hari akibat dari edema otak.

5

Page 6: CEDERA_KEPALA

Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya

negatif sering kali diakibatkan hernia tentori.

Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali

gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.

Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian.

Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah

edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat

lubang telinga.

Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan

pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab

gangguan.

Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan

penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-

saraf tersebut.

Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma,

terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang ber-

lawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh karena

edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi (lebih dari 10

hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan sirkulasi cairan

serebro spinal5.

Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan5:

Aliran darah ke otak menurun,

Brain shift maupun herniasi,

Perubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat

edema,

Gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma

mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru

yang selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang

akan memperberat edema di otak maupun di paru-paru.

6

Page 7: CEDERA_KEPALA

1.5 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi 6

A. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera

tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

B. Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita

cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah

dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada yang keseluruhan otot

ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau

sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma Scale). Nilai GCS sama kurang dari 8

didefinisikan sebagai koma cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS penderita cedera otak

dengan nilai GCS 9 - 13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, penderita dengan nilai GCS

14-15 lategorikan sebagai cedera otak ringan. Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri

maka yang dipergunakan adalah motorik pada yang terbaik. Dalam hal, respon motorik pada

kedua sisinya harus dicatat.

C. Morfologi

1. Fraktur Kranium

Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear

itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar tengkprak biasanya

memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window" untuk memperjelas garis

aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan

untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis erjorbital

(Raccon eyes sign), ekimosis aurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS (Mijorrhea, otorrhea),

paresis nervus fasialis akan kehilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari

setelah trauma. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus sialis lebih baik pada keadaan

7

Page 8: CEDERA_KEPALA

paresis yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara (rognosis pemulihan N VIII buruk.

Fraktur dasar tengkorak yang menyilang kanalis taiotikus dapat merusak arteri karotis (diseksi,

pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan arteriografi.

Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit

kepala lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.

Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan

yang terjadi cukup berat. Pada penderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada kalvaria

kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada penderita koma

kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier adalah 20 kali karena

resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi.

2. Lesi intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini

sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan

subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral.

a. Cedera otak difus

Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat

buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia

retro/anterograd.

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok

yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa

kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area

putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan

kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh

hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal isilah

Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang

buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat

pada manifestasi klinisnya.

8

Page 9: CEDERA_KEPALA

b. Perdarahan epidural

Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang

mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal

atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a. meningea media akibat

fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri,

namun dapat juga terjadi akibat robekan dari vena besar.

c. Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30 %

dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan

korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh permukaan hemisfer otak.

Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnyapun jauh lebih buruk

dibanding pada perdarahan epidural.

d. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat), dan sebagian

besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian

dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi

perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang

20% dari penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT scan dalam 12 -

24 jam setelah CT scan pertama.

e. Edema serebri traumatik

Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada

anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada pemeriksaan

neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala,

vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang

agak meingkat.

9

Page 10: CEDERA_KEPALA

1.6 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis

informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik

secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi

tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat

penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain

pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf

kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks refleks7.

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala

yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera

kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang

cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat7.

Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah7:

1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan berat.

2. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran

5. Sakit kepala yang hebat

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral

Pemeriksaan-Pemeriksaan diagnostik lain, yang mungkin diperlukan seperti7:

1. CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel

pergeseran cairan otak. mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,

dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan

dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri

2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.

3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan

otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.

10

Page 11: CEDERA_KEPALA

5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan

garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).

6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak.

7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.

8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk

menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat

terjadinya trauma

9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam

peningkatan TIK.

10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang

akan dapat meningkatkan TIK.

11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran.

12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang

Primary survey dan Resusitasi

Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat

dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa hipotensi

(60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi akan

menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi kardiopulmoner

pada penderita cedera otak berat haras dilaksanakan secepatnya1.

1. Airway dan Breathing

Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan dapat

mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada

penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil

pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.

Femakaian pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2 (target>98%).

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang

menunjukkan perburukan neurologis akut1.

11

Page 12: CEDERA_KEPALA

2. Sirkulasi

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium

terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan intrakranial tidak

dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan

stabilisasi untuk mencapai euvolemia1.

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun

tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman penyebab lain seperti trauma

medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau tamponade jantung, dan tension

pneumothorax1.

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner

penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma,

respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan

dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang digunakan adalah

respon motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang paling akurat dibandingkan

respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (Doll's eye Phenomena, refleks okulosefalik), Test

Kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai

kedatangan ahli bedah saraf1.

Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks kornea

hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal. Yang sangat penting

adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum penderita dilakukan sedasi atau

paralisis, karena akan menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya. Selama primary survey,

pemakaian obat-obat paralisis jangka panjang tidak dianjurkan. Succinylcholine, vecuronium,

atau dosis kecil pancuronium dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan

diagnostik lainnya. Bila diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan

diberikan secara intravena1.

Secondary Survey

Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu silakukan

untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah

12

Page 13: CEDERA_KEPALA

dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata

sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil

menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran terhadap adanya trauma otak harus

dipikrkan terlebih dahulu1.

1.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala

ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain4 :

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei

sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.

Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak4.

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis

pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan

sebagai berikut4 :

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari

20 cc di daerah infratentorial

13

Page 14: CEDERA_KEPALA

2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda

fokal neurologis semakin berat

3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

1.7.1 Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS = 14-15)

Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan otak dikategorikan sebagai cedera

otak ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan

dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun

sulit untuk dibuktikan terutama bila di lawah pengaruh alkohol atau obat-obatan4.

Sebagian besar penderita cedera otak ringan pulih sempurna, walaupun mungkin ada

gejala sisa yang sangat ringan. Bagaimanapun, lebih urang 3% mengalami perburukan yang tidak

terduga, mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat

dideteksi lebih awal4.

Pemeriksaan CT scan idealnya hams dilakukan pada semua cedera otak disertai

kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15. atau adanya

defisit neurologis fokal. Foto servikal dilakukan bila terdapat nyeri pada palpasi leher. CT scan

merupakan pilihan utama untuk pemeriksaan penunjang. Bila tidak memungkinkan, pemeriksaan

foto polos/rontgen kepala dapat digunakan untuk membedakan trauma tumpul ataupun tembus.

Pada foto polos kepala harus dicari4:

(1) fraktur linear atau depresi,

(2) posisi glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi),

(3) bates air-udara pada daerah sinus,

(4) pneumosefal,

(5) fraktur tulang wajah,

(6) benda asing.

14

Page 15: CEDERA_KEPALA

Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai menunda transfer penderita.

Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan, atau terdapat gejala neurologis yang

abnormal, penderita harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan ke ahli Bedah Saraf.

Bila penderitanya asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama beberapa

jam dan diperiksa uleng. Bila kondisi tetep normal, dikatakan penderita aman. Idealnya, keluarga

diberi lembar observasi, penderita didampingi dan diobservasi selama 24 jam berikutnya. Bila

dalam perjalanannya dijumpai nyeri kepala, penurunan kesadaran, atau terdapat defisit

neurologis fokal, maka penderita dikembalikan ke unit gawat darurat Pada semua kasus yang

dirawat di luar rumah sakit, instruksi harus jelas dan dilakukan berulang oleh pendamping

penderita. (lihat tabel 3, instruksi pada penderita cedera otak di luar rumah sakit)4.

Bila penderita tidak sadar penuh atau berorientasi kurang terhadap rangsang verbal maupun

tulisan, keputusan untuk memulangkan penderita harus ditinjau ulang4.

15

Page 16: CEDERA_KEPALA

16

Page 17: CEDERA_KEPALA

17

Tabel 3- Instruksi Bagi Penderita Cedera Kepala Di Luar RS

Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul dalam beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang kritis dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam waktu itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda harus segera menghubungi dokter anda atau kembali ke RS.

1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam selama periode tidur).

2. Mual dan muntah. 3. Kejang. 4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga. 5. Sakit kepala hebat 6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai. 7. Bingung atau perubahan tingkah laku. 8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain,

gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain. 9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak

teratur

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah dibantu dengan kantung es, segera hubungi RS. Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan minum minuman yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera. Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin. Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat dihubungidi nomor telepon:........................ Nama dokter:....................................

Page 18: CEDERA_KEPALA

1.7.2 Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak sedang.

Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung

atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20%

dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Saat diterima di

UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopuhnoner sebelum

pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala harus selalu dilakukan dan segera

menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang

setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12 - 24 jam

pertama. pemeriksaan CT scan lanjutan dalam 12 - 24 jam direkomendasikan bila hasilnya

abnormal atau terdapat penurunan status neurologis penderita4

18

Page 19: CEDERA_KEPALA

1.7.3 Penatalaksanaan Cedera Otak Berat (GCS:3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana

walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis

cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko morbiditas dan

mortalitas yang paling besar4.

19

Tabel 4 - Penatalaksanaan Awal Cedera Otak Berat Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah

sederhana karena kesadaran yang menurun (GC5 3-8) Pemeriksaan dan penatalaksaan

- ABCDE- Primary Survey dan resusitasi - Secondary Survey dan riwayat AMPLE - Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan

perawatan defmitif Bedah saraf - Reevaluasi neurologis: GCS

Respon buka mata Respon motoric Respon verbal Refleks cahaya pupil

- Obat-obatan - Manitol - Hiperventilasi - Antikonvulsan

Tes Diagnostik (sesuai urutan) - Rotgen AP lat- CT Scan - MRI

Page 20: CEDERA_KEPALA

TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK

Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah terjadinya

kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel

saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal

kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami

kematian8.

1. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam

keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu

diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik.

Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat

20

Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase Penderita Dengan Cedera Otak Berat 1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi

(ABCDE) setibanya di unit gawat darurat 2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis

dilakukan (GCS dan refleks pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap dilakukan dan dicatat adanya hipotensi

3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif, prioritas tindakan adalah untuk stabilisasi penyebab hipotensinya, dengan pemeriksaan neurologis menjadi prioritas kedua.

4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau kraniotomi di kamar operasi sementara seliotomy sedang berlangsung.

5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial (pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan tindakannya tidak boleh tertunda.

6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah trauma dengan ahli bedah saraf.

Page 21: CEDERA_KEPALA

buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan

garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien

dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak

yang harus dicegah8.

2. Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan

dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.

Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat

terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini

terjadi terutama bila PCO2 dibiarkan turun sampai di bawah 30 mmHg (4,0 kPa)8.

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara adeksif dan hanya dalam waktu tertentu.

Jmumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu singkat

(PCO2 antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan deteriorasi neurologis

akut8.

3. Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia

biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan

secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena

manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi Keggunaan manitol adalah deteriorasi

neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran

saat pasien dalam observasi. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan

secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke

kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengan CT scan8.

4. Furosemid (Lasix @)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa diberikan

adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol, furosemid

sebaiknya jangan diberikan kepada pasien hipovolemik8.

21

Page 22: CEDERA_KEPALA

5. Steroid

Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk mengendalikan kenaikan

TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat Karenanya

penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan8.

6. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.

Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemi. Nantinya hipotensi

sering terjadi pada penggunaan barbiturate. Karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase

akut resusitasi8.

7. Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera kepala

tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengar insidensi

epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intrakranial, atau (3)

fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam

mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera nanlun tidak setelah itu. Fenitoin

atau fosfenitoin adalah obat yang biasa diberikan dalam fase akut untuk dewasa dosis awalnya

adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50

mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar

terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai

tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus mungkin

memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena

kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder8.

1.8 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya7:

Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau

dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.

Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu

pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

22

Page 23: CEDERA_KEPALA

Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis

meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik

Fistula carotis

Herniasi

Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,

disfagia, kadang ada hemiparese

Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah

tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku,

misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

Kematian

1.9 Prognosis

Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis7 :

Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh

lamanya koma terhadap restitusi mental

Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.

Pupil lebar dengan refleks cahaya negatif, prognosis jelek.

Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan

tidak sempurna.

Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif.

Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun

merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.

23

Page 24: CEDERA_KEPALA

II. KASUSIDENTITAS PASIEN

• Nama : An. Y

• Usia : 16 tahun

• Jenis kelamin : laki-laki

• Alamat : Pringgarata – Lombok Tengah

• Suku : sasak

• Agama : Islam

• Status : belum menikah

• Pekerjaan : pelajar

• No. RM : 553869

• Tanggal MRS : Selasa, 20 Januari 2015

• Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 22 Januari 2015

ANAMNESIS

Keluhan Utama: tidak sadarkan diri

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dibawa oleh keluarga ke UGD RSUP NTB dengan keadaan tidak sadarkan diri. Pasien

merupakan korban KLL sejak tadi sore. Saat itu pasien sedang duduk di motor yang terparkir

di pinggir jalan. Kemudian tiba-tiba pasien ditabrak motor dari arah belakang hingga pasien

terjatuh. Pasien dikatakan langsung tidak sadarkan diri. Pasien tidak mengalami muntah,

namun keluar darah dari hidung. Tidak ada darah keluar dari telinga. Saat ini pasien gelisah.

• Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat kejang, darah tinggi (hipertensi), kencing manis

(DM), trauma kepala sebelumnya (-).

• Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku di keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat kencing manis,

hipertensi dan stroke.

• Riwayat Sosial

Pasien saat ini hanya seorang pelajar SMP. Tidak ada pekerjaan berat yang sering dilakukan

pasien.

24

Page 25: CEDERA_KEPALA

• Riwayat Alergi

Keluarga mengaku pasien tidak memiliki riwayat alergi makana ataupun obat-obatan.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

• Keadaan umum : lemah

• Kesadaran/GCS : E1V2M5

• Tanda vital

– Tekanan darah: 120/60 mmHg

– Nadi radialis : 80x/mnt

– Pernapasan : 20x/mnt

– Suhu axila : 37,7˚C, suhu Aksiler

• Status Gizi

– Berat Badan : 50 kg

– Tinggi Badan : 150 cm

– IMT : 22,22 (normoweight)

Pemeriksaan kepala dan leher

1. Kepala : hematom (+) area temporal dekstra, krepitasi (-)

2. Wajah : kesan pucat (-)

3. Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), racoon’s eye (-), edem

palpebra -/-

4. Mulut : kesan krepitasi mandibula (+), gigi geligi normal.

Pemeriksaan THT : deviasi septum nasi (-), rinorea -/-, otoragia -/-, bentuk normal

kesan simetris, deviasi trakea (-)

Pemeriksaan thorax

- Inspeksi : pergerakan dada asimetris, tampak jejas (vulnus excoriatum) di area

supraklavikula sinistra dan tanda rubor, tumor (+)

- Palpasi : kesan krepitasi (+) area suprvaklavikula sinistra

- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru

- Batas jantung kanan ICS II parasternal dekstra

- Batas jantung kiri ICS V midklavikula sinistra

25

Page 26: CEDERA_KEPALA

- Auskultasi : S1S2 tunggal/ murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler +/+, ronki (-/-), wheezing (-/-)

Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : jejas (+) regio sinistra, permukaan kulit normal, gerakan peristaltik tidak

terlihat.

- Auskultasi : bising usus normal 10x/menit, metallic sound (-), bising aorta (-).

- Perkusi : timpani (+), nyeri ketok (tidak dievaluasi), shifting dullnes (-)

- Palpasi : hepar/lien/renal tidak teraba.

Pemeriksaan Ekstremitas

- Ekstremitas atas: akral hangat (+/+) deformitas (-/-), edema (-/-) petekie (-/-), clubbing

finger (-/-), tampak jejas multipel

- Ekstremitas bawah: akral hangat (+/+) deformitas (-/-), edema (-/-), petekie (-/-), clubbing

finger (-/-), ulkus (-/-), tampak jejas multipel

Pemeriksaan Psikiatri (tidak dilakukan)

- Emosi dan Afek : -

- Proses berpikir : -

- Kecerdasan : -

- Penyerapan : -

- Kemauan : -

- Psikomotor : -

Status Neurologis

a. Kepala :

-Posisi : normal terletak di tengah

-Penonjolan : (+) di sebelah kanan dibagian parietotemporal

b. Saraf Cranial

-N I (Olfaktorius) : tde

-N II Optikus :

a. Ketajaman penglihatan : tde

b. Lapang pandang : tde

c. Funduskopi : tde

- N III, IV, VI

26

Page 27: CEDERA_KEPALA

1. Celah kelopak mata

a. Ptosis : (-/-)

b. Eksoftalmus : (-/-)

2. Posisi bola mata : normal

3. Pupil

a. Ukuran atau bentuk : normal ( 3 mm/ 3 mm)

b. Isokor atau anisokor : Isokor

c. Refleks cahaya langsung : kanan (+/+) kiri (+/+)

dan tidak langsung

4. Gerakan bola mata

a. Parese ke arah: : tidak ada

b. Nistagmus : tidak ada

- N V (Trigeminus)

a. Sensibilitas :

- N VI : tde

- N V2 : tde

- N V3 : tde

b. Motorik : tde

c. Refleks dagu/ massseter : tde

d. Refleks kornea: dalam batas normal

- N VII ( Fasialis )

a. Motorik

Motorik M frontalis M Orbikularis

okuli

M Orbikularis

Oris

Istirahat tde tde tde

Gerakan

mimik

tde tde tde

b. Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : tde

- N VIII ( Auditorius )

a. Pendengaran : tde

27

Page 28: CEDERA_KEPALA

b. Tes rinne/ weber : tde

c. Fungsi vestibularis : sulit dievaluasi (pasien tidak bisa berdiri)

- N IX / X ( Glosopharingeus/ vagus )

a. Posisi arkus phariks(istirahat/AAH) : (+)

b. Refleks menelan atau muntah : (+)

c. Pengecap 1/3 lidah bagian belakang : tde

d. Suara : normal (tidak terdapat suara serak)

e. Takikardi/ bradikardi : (-)

- N XI ( Accesorius)

a. Memalingkan kepala dengan atau tanpa tahanan : tde

b. Angkat Bahu : tde

- N XII ( Hipoglosus)

a. Deviasi lidah : (-)

b. Fasiculasi : (-)

c. Atropi : (-)

d. Tremor : (-)

e. Ataksia : (-)

A. Leher

- Tanda-tanda perangsangan selaput otak:

1. kaku kuduk : (-)

2. Kernig Sign : (-)

- Kelenjar lympe : tidak ada pembesaran (-)

- Artery carotis

a. Palpasi : normal/ kuat angkat

b. Auskultasi : bruit (-)

B. Abdomen

a. Refleks kulit dinding perut : dbn

C. Kolumna vertebralis

Inspeksi : tidak tampak deformitas, kifosis (-), Lordosis (-) Skoliosis(-)

Pergerakan : kaku (-), krepitasi (-), keterbatasan gerak(-)

Palpasi : Spasme (-), Massa (-), hematom (-) dan Asimetri(-)

28

Page 29: CEDERA_KEPALA

Perkusi : nyeri (-)

D. Ekstremitas

Motorik

Motorik Superior Inferior

dekstra sinistra dekstra Sinistra

Pergerakan Bergerak

aktif

Bergerak

aktif

Bergerak

aktif

Bergerak

aktif

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus otot Normal Normal Normal Normal

Bentuk otot Normal Normal Normal Normal

- Otot yang terganggu : tidak ada

- Refleks fisiologis :

a. Biceps : +/ +

b. Triceps :+/+

c. Radius : tde

d. Ulna : tde

- Klonus

a. Lutut : (-)

b. Kaki : (-)

- Refleks patologis

a. Hoffman dan Tromer : (-/-)

b. Babinsky : (+/+)

c. Chaddock : (-/-)

d. Gordon : (-/-)

e. Scaefer : (-/-)

f. Oppenhelm : (-/-)

- Tropik : (-)

- Sensibilitas : tde

a. Ekteroseptik

1. Nyeri : tde

29

Page 30: CEDERA_KEPALA

2. Suhu : tde

3. Raba Halus : tde

b. Propioseptik

1. Rasa sikap : tde

2. Rasa nyeri dalam : tde

c. Fungsi kortikal

1. Rasa diskriminasi : tde

2. Stereomosis : tde

E. Pergerakan abnormal yang spontan : khorea (-), parkinson (-),

F. Gangguan koordinasi

o Tes jari hidung : tde

o Tes pronasi dan supinasi : tde

o Tes tumit : tde

o Tes pegang jari : tde

G. Gangguan keseimbangan : tes romberg : tidak dapat dievaluasi

H. Gait : (-)

I. Pemeriksaan fungsi luhur (tidak dapat dievaluasi)

o Reaksi emosi : -

o Intelegensia : -

o Fungsi bicara : -

o Fungsi Psikomotorik : -

o Fungsi Psikosensorik : -

Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan CT-SCAN ( tanggal 20 Januari 2015)

30

Page 31: CEDERA_KEPALA

31

Page 32: CEDERA_KEPALA

Interpretasi:

- Edema serebri

- Tak tampak tanda perdarahan

- Tak tampak Midline shift

2. Pemeriksaan roentgen thoraks AP

Intepretasi hasil :

- Tampak fraktur klavikula sinistra

32

Page 33: CEDERA_KEPALA

3. Pemeriksaan roentgen skull AP/Lateral

33

Page 34: CEDERA_KEPALA

Intepretasi hasil :

- Tidak tampak kelainan

Pemeriksan Laboratorium (20 Januari 2015)

Parameter Hasil Lab Nilai Normal

HGB 12,9 11,5 – 16,5 g/dL

RBC 5,15 4,0 – 5,0 [10^6/µL]

HCT 39,0 37-45 [%]

MCV 75,5 82-92 fL

MCH 25,3 27-31 pg

MCHC 33,1 32-37 g/dL

WBC 11,45 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]

PLT 276 150-400 [10^3/ µL]

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK (20 Januari 2015)

Parameter Hasil Lab Nilai Normal

Kolesterol total - <200 mg %

Trigeliserida - <200 mg %

HDL/ kolesterol - 38 mg%

LDL/ Kolesterol - 172 mg %

GDS 118 <160

Kreatinin - L 0,9-1,3 P 0,6-1,1

SGOT 62 < 40

SGPT 25 <41

RESUME

34

Page 35: CEDERA_KEPALA

Laki-laki, 6 tahun, dibawa oleh keluarga ke UGD RSUP NTB dengan keadaan tidak sadarkan

diri. Pasien merupakan korban KLL sejak tadi sore. Saat itu pasien sedang duduk di motor yang

terparkir di pinggir jalan. Kemudian tiba-tiba pasien ditabrak motor dari arah belakang hingga

pasien terjatuh. Pasien dikatakan langsung tidak sadarkan diri. Pasien tidak mengalami muntah,

namun keluar darah dari hidung. Tidak ada darah keluar dari telinga. Saat ini pasien gelisah.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan hematom di area temporal dekstra, krepitasi pada area

supraklavikula sinistra, tanda rubor tumor (+), jejas multipel di bagian dada dan ekstremitas.

Pemeriksaan neurologis pupil isokor, nervus cranialis sulit dievaluasi, refleks patologis Babinsky

+/+.

Diagnosis

1. Diagnosis Klinis : penurunan kesadaran dan fraktur klavikula sinistra.

2. Diagnosis Topis : edema serebri

3. Diagnosis Etiologi : trauma kepala dan trauma dada

Differential Diagnosis

DAI (diffuse axonal injury)

Planning diagnosis

- EKG

Terapi

Medikamentosa umum

- O2 Canul nasal 3 liter per menit

- Infus RL 20 tpm/menit

Medikamentosa khusus

- Mannitol 100cc/4 jam

- Ceftriakson 2 gr / 24 jam

- Piracetam 3 gr/8 jam

- Citicoline 250 g/8 jam

- Antrain 500 mg/12 jam

35

Page 36: CEDERA_KEPALA

Monitoring

Keluhan, tanda vital, GCS (Glasgow coma Scale)

Prognosis

Dubia ad malam

Pembahasan kasus dan Clinical Reasioning

Penurunan kesadaran

Kesadaran timbul karena terdapat regulasi antara hemisfer serebri (korteks) dan batang

otak dalam keadaan normal bekerja secara sinkron. Korteks serebri mengatur tinggi

rendahnya kesadaran sedangkan batang otak merupakan on dan off nya kesadaran.

sebagai penghubung adalah serabut yang disebut sebagai diffuse projecting fiber sebagai

pengantar untuk memacu pusat kesadaran di brainstem.

Edema otak

Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada

anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada

pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak.

Trauma kepala

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun

degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan

kognitif dan fungsi fisik.

36

Page 37: CEDERA_KEPALA

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma

Life Support for Doctors. Edisi Ke-Tujuh. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,

2004. Hal: 167-186

2. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo,

2005

3. Irwana, Olva. Cedera Kepala. Dalam: Files DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.

4. Leksmono PR , A Hafid, dan M Sajid D. Cedera Otak dan Dasar-dasar Penanganannya. Dalam:

Cermin Dunia Kedokteran No. 34. 1984

5. Anderson S. McCarty L. Cedera Susunan Saraf Pusat. Dalam: Patofisiologi. Edisi Ke-empat.

Anugrah P. Jakarta: EGC. 1995. Hal: 1014-1016

6. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. http://www.biausa.org

7. Widjoseno-Gardjito. Trauma Kepala. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua. Editor: R.

Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 337-342

8. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Cedera Kepala dan Fraktur Kruris. Dalam: Files DrsMed

Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.

37