cecangkriman: its function and meaning as an oral
TRANSCRIPT
FUNGSI DAN MAKNA TRADISI LISAN CECANGKRIMAN BAGI MASYARAKAT BALI
CECANGKRIMAN: ITS FUNCTION AND MEANING AS AN ORAL TRADITION OF
BALINESE SOCIETY
Ni Nyoman Tanjung Turaeni
Balai Bahasa Bali
Jalan Trengguli I Nomor 34 Tembau, Denpasar, Indonesia
Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463565
Ponsel: 081331766533
Pos-el: [email protected]
(Makalah diterima tanggal 2 Maret 2020—Disetujui tanggal 17 April 2020)
Abstrak:Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang keberadaannya perlu
dipertahankan dan dilestariikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi dan makna tradisi
lisan cecangkriman bagi masyarakat Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif dan teknik pengumpulan data dengan teknik catat. Dalam pengolahan data, dilakukan
tahapan klasifikasi, penerjemahan, dan analisis data. Sumber data dalam kajian ini, diambil dari Basita
Paribasa Bali yang ditulis oleh W. Simpen AB. Untuk mengetahui fungsi dan makna cecangkriman,
penulis menggunakan pendekatan teori fungsi folklore yang diungkapkan oleh Bascom dan untuk
mengungkapkan makna dibantu dengan teori semiotika yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna yang
ada dalam sebuah tanda baik berupa teks maupun benda. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan dalam rangka memperkaya khazanah ungkapan tradisional cecangkriman
dalam fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Kata kunci: cecangkriman, folklore, semiotika, tradisi lisan
Abstract: The traditional expression is one of oral tradition forms whose existence needs to be
maintained and preserved. This study is aimed to describe the function and the meaning of cecangkriman
oral tradition for the Balinese people. The method used in this study was a descriptive qualitative method
and the data collection technique was note-taking. In processing the data, classification, translation and
data analysis were carried out. The data source in this study was taken from Basita Paribasa Bali, that is
written by W. Simpen AB. To find out the function and the meaning of cecangkriman, the author used the
approach of folklore function theory proposed by Bascom and to express the meaning, it was assisted by
semiotic theory, namely the study of meaning insidethe sign in the form of both text and objects. The
results of this study were expected to provide knowledge to enrich the treasury of traditional expressions
of cecangkriman alsoits functions and meanings contained therein.
Keywords: cecangkriman, folklore, semiotics, oral traditions
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
16
PENDAHULUAN
Karya sastra memiliki peranan penting
dalam kehidupan manusia dan
memberikan manfaat dan membimbing
manusia kearah yang lebih positif
(Teeuw, 2003:21). Melalui karya sastra,
pembaca dapat mengetahui keindahan
bahasa dan merenungkan masalah
kehidupan, lebih peka serta dapat
menghargai apa yang dimiliki oleh orang
lain. Melalui karya sastra, baik sastra
tradisional maupun modern dapat
diketahui gambaran kehidupan budaya
pada masanya karena karya sastra
merupakan cermin dan wahana untuk
mengungkap pikiran, gagasan perasaan,
dan kepercayaan yang tercermin di
dalamnya, seperti, agama, bahasa, seni
serta tradisi yang ada.
Tradisi merupakan hasil cipta,
rasa dan karsa manusia terhadap objek
material, kepercayaan, khayalan,
kejadian, atau lembaga yang diwariskan
dari suatu generasi ke generasi, seperti,
adat-istiadat, kesenian, dan properti yang
digunakan. Akan tetapi, sesuatu yang
diwariskan tidak berarti harus diterima.
Namun, tradisi merupakan suatu
gambaran sikap dan perilaku manusia
yang telah berproses dalam waktu yang
cukup lama dan dilakukan secara turun-
temutun dimulai dari nenek moyang, dan
tradisi yang telah membudaya akan
menjadi sumber dalam berakhlak dan
berbudi pekerti bagi seseorang.
Cecangkriman merupakan salah
satu bentuk ungkapan tradisi lisan yang
diformulasi dalam bentuk tembang atau
pupuh. Cecangkriman sama halnya
dengan teka-teki dalam bahasa
Indonesia, akan tetapi dalam ungkapan
tradisi lisan di Bali teka-teki tersebut
dalam bentuk tembang. Biasanya jenis
tembang/pupuh yang digunakan pada
umumnya menggunakan pupuh Pucung.
Simpen (2020, hlm.52) menyebutkan
selain cecangkriman ada beberapa variasi
ungkapan tradisi lisan yang masih sering
digunakan dalam kehidupan bermasyarakat di
Bali, seperti (1) sesonggan; (2) sasenggakan; (3)
wewangsalan; (4) peparikan; (5) sloka; (6)
bladbadan; (7) sesawangan; (8) pepindan; (9)
cecimpedan; (10) cecangkriman; (11) raos
ngempelin; (12) sesimbing; (13) sesemon; (14)
sipta; (15) peparikan; (16) tetingkesan; (17)
cecangitan; dan (18) sesapan.
Cecangkriman adalah sejenis
tembang (pupuh) yang biasanya
digunakan untuk meninabobokan anak.
Cecangkriman tergolong lagu yang
sangat sederhana, lebih sering
menggunakan tembang (pupuh) pucung.
Akan tetapi, tidak semua teks yang
menggunakan tembang pucung
mengandung unsur cecangkriman atau
teka-teki yang ditembangkan. Seperti
contoh tembang pucung berikut /bibi
anu/, /lamun payu/, /luas mandus/,
/antenge tekekang/, /nyatnain ngaba
masui/, tiyuk puntul/, /bawang anggen
pasikepan/ artinya kata bibianu
“menunjuk kepada semua orang (umat)
manusia” lamun payu luas mandus “ jika
ingin membersihkan diri (luas mandus)
antenge tekekang „rajin, dan bertekad
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
17
kuat jika ingin mendapatkan tujuan
(kesucian), yatnain ngaba masui
„waspadalah terhadap musuh‟ tiyuk
puntul „tiyuk bermakna senjata dan
puntul artinya kecerdasaran dan
kepintaran‟ bawang anggan pasikepan
„bawang memiliki pengaruh dingin
artinya kebijaksanaan, yang dijadikan
landasan dalam berbuat‟. Nyanyian
tersebut secara tersurat mengandung
makna bahwa simbol “bibi” dalam
menjalani kehidupan hendaknya kita
tahu tentang kebaikan dan keburukan,
kebenaran. Ke mana pun kita melangkah
hendaknya kita selalu waspada karena
selalu membawa musuh yang ada dalam
diri (sad ripu) yaitu enam musuh yang
ada dalam hati, dengan pengetahuan
kebijaksanaan dijadikan landasan untuk
berbuat.
Berdasarkan hal tersebut, ungkapan
tradisional mengandung nilai-nilai budaya
dan norma-norma agama serta adat
istiadat yang perlu dijaga dan dilestarikan,
agar tidak mengalami kepunahan.
Perkembangan dan pengaruh zaman
membawa dampak yang sangat besar
terhadap perkembangan khasanah sastra
daerah. Dalam hal ini, tradisi lisan
khususnya ungkapan tradisional akan
mengalami pergeseran makna. Berdasarkan
dengan itu, penelitian ungkapan tradisional
sangat perlu dilakukan.
Kajian yang berkaitan dengan
penelitian ini belum pernah dilakukan.
Akan tetapi penelitian yang sejenis
mengenai ungkapan tradisional dilakukan
oleh Sumitri (2007) berjudul Nilai-nilai
Sesenggakan dalam Ungkapan Tradisional
Bali (dalam Perspektif Linguistik
Kebudayaan) membahas tentang nilai-
nilai budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Bali yang kandungan
maknanya berkaitan dengan nilai-nilai
dan normal-normal masyarakat etnis Bali
dalam hubungan fungsional dengan
lingkungan alam dan fungsi sosialnya;
Tanjung Turaeni (2017, hlm. 211—224)
berjudul Pengalihwahanaan Paribasa
Bali Lisan ke dalam lagu Bali populer,
membahas tentang bagaimana bentuk
ungkapan- ungkapan lisan sebagai tradisi
lisan ditransformasikan melalui lirik lagu
popular yang sarat dengan kearifan lokal,
terutama sistem kehidupan masyarakat
dalam berperilaku terhadap lingkungan
yang dapat membangun pembentukan
karakter generasi muda sekaligus melestarikan
kearifan lokal serta memperkenalkan lagu-
lagu Bali populer.
Sehubungan dengan hal tersebut,
salah satu bentuk tradisi lisan cecangkriman
sangat layak dikaji nilai-nilai budaya
yang terkandung didalamnya melalui
bentuk dan fungsinya dalam masyarakat
dan Bali khususnya. Dengan demikian
tujuan dari kajian ini adalah untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan
fungsi dan makna yang terkandung
dalam cecangkriman sebagai salah satu
bentuk tradisi lisan yang masih berkembang
di Bali
Karya sastra baik sastra tradisional
maupun modern mengandung konvensi
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
18
bahasa, sastra, dan budaya. Karya sastra
dapat dikatakan bermakna apabila diberi
arti oleh pembaca. Roman Ingarden dan
Vodicka (dalam Pradopo, 1995, hlm.
106) menyatakan bahwa pemberian
makna terhadap sebuah karya sastra
disebut konkretisasi. Sementara itu,
menurut Saussure (dalam Nurgiantoro,
2007, hlm. 39) tanda sebagai kesatuan
dari dua bidang yang tidak dapat
dipisahkan. Di mana ada tanda, di sana
ada sistem, artinya sebuah tanda (baik
berwujud kata atau gambar) mempunyai
dua aspek yang dapat ditangkap oleh
indera yang disebut signifies, bidang
penanda atau bentuk dan aspek lainnya
disebut signified.
Kemudian dalam mendeskripsi-
kan fungsi dan hubungan antarunsur
yang ada dalam teks, kajian struktural
lebih menekankan pada korelasi antara
unsur-unsur pembentuk sebuah teks
(Badrun, 2006, hlm. 4), yang pada
dasarnya strukturalisme dapat dipandang
sebagai susunan hubungan dari susunan
suatu benda. Dengan demikian dapat
dikatakan setiap unsur yang ada pada
bagian dari sebuah struktur baru
mempunyai makna setelah ada dalam
hubungan dengan unsur-unsur lain yang
ada di dalamnya.
Berkaitan dengan fungsi karya
sastra, terlebih dahulu perlu dipahami
mengenai kata fungsi itu sendiri. Dalam
(KBBI) kata fungsi berarti “kegunaan
suatu hal”, sedangkan jika berkaitan
dengan tradisi lisan (folklore) Dundes
(dalam Danandjaya, 1997, hlm. 32)
menyatakan fungsi folklore adalah (1)
sebagai alat pendidik; (2) sebagai pelibur
lara; (3) sebagai protes sosial; (4) sebagai
proyeksi keinginan terpendam. Sedangkan
Bascom menyebutkan bahwa fungsi
folklore adalah (1) sebagai sistem
proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan
angan-angan kolektif; (2) sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga
kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan
anak; dan (4) sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat
selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Berdasarkan hal tersebut, tulisan
ini akan mencoba mengindentifikasi dan
mengkaji fungsi dan makna cecangkriman
sebagai ungkapan tradisional Bali yang
masih tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
METODE
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah salah satu bentuk ungkapan
tradisional Bali yaitu cecangkriman dalam buku
Basita Paribasa Bali (W. Simpen AB, 2010,
hlm. 52). Pengumpulan data dilakukan dengan
inventarisasi, men- deskripsikan mencatat,
transkripsi dan terjemahan ungkapan tradisional
tersebut dari bahasa Bali ke dalam bahasa
Indonesia. Teknik sampel pengambilan data
secara acak yaitu dengan mengambil beberapa
contoh cecangkriman yang berkaitan dengan
analisis. Sedangkan analisis data digunakan 1)
analisis dokumen yaitu membaca data,
dengan tujuan
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
19
untuk mengidentifikasikan, 2) analisis data
dengan metode hermeneutika, dan 3) analisis
deskriptif metode ini dilakukan dengan cara (a)
mengindentifikasi bentuk kata dan jenis kata,
sesuai fungsinya, (b) mengklasifikasi dan
menyeleksi data sesuai hasil pemahaman; dan
(c) menganalisis dan interpretasi data dari
bagian-bagian tertentu kemudian secara
keseluruhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk dan Struktur Formal
Cecangkriman
Dalam KBBI (2001, hlm. 322)
menyebutkan bahwa fungsi diartikan
sebagai suatu kegunaan suatu hal, dalam
hal ini adalah unsur bahasa sebagai
struktur formal dalam sebuah wacana.
Terkait dengan makna, kata fungsi dalam
sebuah struktur formal sastra geguritan,
karena dalam hal cecangkriman
merupakan tradisi lisan berupa teki-teki
berbentuk tembang (pupuh). Kata pupuh
dimaknai sebagai bentuk lagu yang
terikat oleh padalingsa, misalnya pupuh
sinom, pangkur, durma (Warna, 1990,
hlm. 57). Dalam KBBI (2001, hlm.
909), kata pupuh dimaknai „lagu yang
terkait oleh banyaknya suku kata dalam
satu bait, jumlah larik dalam satu bait,
permainan bunyi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fungsi struktur formal
geguritan adalah merupakan aturan yang
harus dipatuhi. Sebagaimana struktur
formal yang membentuk cecangkriman
yang menggunakan pupuh pucung,
seperti data berikut.
1. Bapa pucung,
Terjemahan:
Bapak Pucung
Maumah di alas agung
Terjemahan:
tinggal di gunung
Bengkuk pengadege,
Terjemahan:
tubuhnya bungkuk
Awake mabulu pipis,
Terjemahan:
badannya berbulu uang
Pawah cakluk,
Terjemahan:
tua renta
Layahe selep-selepang
Terjemahan:
lidahnya dijulur-julurkan
2. Dradat-drudut,
Terjemahan:
mondar-mandir
Bingah-binguh liwat inguh,
Terjemahan:
karena kebingungan
Nyumbil sisin pagehan,
Terjemahan:
menyundul-nyundulkan kepala di pagar
Padidi sing dadi ngranjing,
Terjemahan:
sendiri tidak bisa masuk
Nene catur,
Terjemahan:
dari empat barisan
Nyamane suba di tengah.
Terjemahan:
Saudara sudah berada di dalam
3. Jalan buntu,
Terjemahan:
jalan buntu
Tan masepak nolor terus,
Terjemahan:
tidak bercabang, lurus terus
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
20
Nyen mekeneh mentas,
Terjemahan:
jika ingin berjalan/melaluinya
Apang elahang agigis
Terjemahan:
agar lebih lancar
Musti blenggu,
Terjemahan:
harus diikat
Majalan ditu magaang.
Terjemahan:
berjalannya dengan cara merangkak.
4. Berag landung,
Terjemahan:
tinggi dan kurus
Ngelah panak cenik liu,
Terjemahan:
mempunyai banyak anak
Memene slelegang,
Terjemahan:
ibunya disandarkan
Panak ne jekjek enjekin,
Terjemahan:
anaknya dinjak-injak
Menek tuun,
Terjemahan:
naik-turun
Mememne gelut gisiang.
Terjemahan:
ibunya dipegang
5. Cenik mungklung,
Terjemahan:
kecil mungil
tuara kena baan mangitung,
Terjemahan:
tidak bisa menghitungnya
petenge magadang,
Terjemahan:
malamnya begadang
makijap ngebekin langit,
Terjemahan:
berkedip memenuhi langit
langit pelung
Terjemahan:
langit biru
ditu mula ya maumah.
Terjemahan:
Di sanalah tempatnya.
6. Napi iku,
Terjemahan:
apakah itu
Tolih-tolih tan katemu,
Terjemahan:
dilihat-lihat tidak bertemu
Gabag ya bakatang,
Terjemahan:
tetapi dapat diraba
Wenten ya wantah kekalih,
Terjemahan:
dia hanya ada dua
Wiakti iku,
Terjemahan:
apakah itu
Genahnya ada ring raga.
Terjemahan:
Tempatnya ada pada tubuh
7. Uli ilu,
Terjemahan:
dari zaman dulu
Ia luas nuju dalu,
Terjemahan:
Ia pergi pada malam hari
Majalan ngauhang
Terjemahan:
berjalan menuju ke barat
Sundihne ngalangin gumi,
Terjemahan:
sinarnya menerangi bumi
Napi iku,
Terjemahan:
apa itu
Tegarang cening orahang.
Terjemahan:
Anak-anak coba di tebak
Contoh data di atas merupakan jenis
cecangkriman yaitu syair teka-teki, di
mana taka-teki atau tebak-tebak yang
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
21
dilagukan. Selain pupuh pucung di Bali
juga ada jenis pupuh/tembang yang lain
disebut dengan sekar alit atau macepat.
Macepat merupakan gending (lagu) yang
sangat populer di Bali yang sering
didendangkan ketika ada upacara
keagamaan. Selain itu sekar alit
digunakan sebagai alat komunikasi atau
ekspresi, juga dapat berbentuk cerita
berbentuk puisi/geguritan dengan
menggunakan Pupuh. Pupuh terikat
dengan aturan padalingsa. Pada artinya
banyaknya suku kata dalam satu kalimat
(carik); dan lingsa artinya perubahan
suara/bunyi (a, i, u, e, o) pada suku kata
terakhir dalam tiap baitnya (Sugriwa,
1977, hlm. 8). Sedangkan penggunaan
bahasa dalam pupuh menunjukkan
pemakaian fungsi puitik bahasa yang
sangat tinggi, karena lebih ditonjolkan
adalah ekuivalensi seperti bunyi, rima,
aliterasi, asonansi yang mempunyai
kesejajaran antara larik dengan larik,
antara pupuh dengan pupuh dan dalam
larik ada kesejajaran yang seluruhnya
disebut sistem matra (Teeuw, 1984, hlm.
76—77). Bahasa yang digunakan dalam
pupuh adalah bahasa Bali Kepara yaitu
bahasa yang umum dipakai oleh
masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-
hari. Selain terikat oleh padalingsa
jumlah baris dalam satu bait; pupuh juga
terikat oleh guru wilang yaitu jumlah
wanda (suku kata) dalam satu baris
(kalimat).
Sebagaimana terlihat dalam
cecangkriman yang digunakan sebagai
sumber data (contoh) di atas, merupakan
salah satu pupuh yang ada dan
berkembang di Bali. Dalam hal ini
penggunaan pupuh pucung tersebut
sebagai bentuk tradisi lisan yaitu
cecangkriman yaitu sejenis teka-
teki/tebak-tebakan, tetapi dibalut dalam
bentuk tembang. Selain ungkapan
tradisional cecangkriman, juga ada jenis
ungkapan tradisional yang hampir sama,
tetapi tidak didendangkan, artinya
ungkapan tersebut tidak dalam bentuk
tembang disebut cacimpedan.
Cecimpedan adalah ungkapan tradisional
yang berbentuk teka-teki, dan dalam
cecimpedan diawali dengan kata tanya
“Apake” “apa” dalam bahasa Indonesia,
namun dalam cecangkriman (syair teka-
teki) menggunakan pupuh lebih tepatnya
pupuh pucung, sebagaimana dalam data
(1) berikut.
(1) Bapa pucung, (4u)
maumah di alas agung (8u)
Bengkuk pengadege, (6a)
Awake mabulu pipis, (8i)
Pawah cakluk, (4u) Layahe selep-selepang (8a)
Menilik ungkapan lisan cecangkriman di
atas, menunjukkan bahwa ungkapan
tersebut berbentuk sebuah nyanyian
dengan menggunakan pupuh pucung.
Sesuai dengan aturan padalingsa, satu
bait pupuh pucung terdiri atas enam
baris, di mana setiap baris memiliki
jumlah suku kata yang berbeda antara
baris satu dengan baris berikutnya.
Seperti contoh di atas baris Bapa pucung
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
22
terdiri empat suku kata diakhiri dengan
vokal /u/ (4u); baris kedua maumah di
alas agung (8u); baris ketiga Bengkuk
pengadege (6a); baris keempat Awake
mabulu pipis (8i);baris kelima Pawah
cakluk (4u); dan baris keenam Layahe
selep-selepang (8a). Dalam satu bait
tersebut antara baris/kalimat satu sampai
kalimat keenam merupakan satu kesatuan
sebuah teka-teki atau sebuah pertanyaan
yang makna atau artinya harus dikupas
dan menemukan jawaban dari pertanyaan
yang terkandung dalam tembang tersebut.
Fungsi dan Makna Ungkapan
Tradisional Cecangkriman
Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
dalam masyarakat Bali ungkapan
tradisional cecangkriman memiliki
berbagai fungsi yaitu untuk menyampaikan
maksud dari ajaran- ajaran, nasihat-nasihat
dengan cara yang sangat ringan. Sesuai
dengan wataknya pupuh pucung yang
didendangkan melalui sebuah ungkapan
berfungsi untuk menyampaikan ajaran-
ajaran, nasihat-nasihat dengan cara yang
ringan dan bahasa yang mudah dipahami
bagi anak-anak, karena menggunakan
bahasa Bali pada umumnya sedangkan
makna yang dimaksudkan adalah
bagaimana kita diajak untuk belajar
mengolah pikiran untuk berpikir cerdas
untuk menjawab sebuah tebakan atau teka-
teki. Sebagaimana terlihat pada data (2)
berikut.
(2) Dradat-drudut,
Terjemahan:
mondar-mandir
Bingah-binguh liwat inguh,
Terjemahan:
karena kebingungan
Nyumbil sisin pagehan,
Terjemahan:
menyundul-nyundulkan kepala di pagar
Padidi sing dadi ngranjing,
Terjemahan:
sendiri tidak bisa masuk
Nene catur,
Terjemahan:
dari empat barisan
Nyamane suba di tengah.
Terjemahan:
Saudara sudah berada di dalam.
Menilik kutipan di atas, menyiratkan
sebuah benda, yang kebingungan tidak bisa
masuk ke dalam, sambil menyundulkan
kepalanya agar bisa masuk melewati
empat barisan, karena semua saudaranya
sudah berada di tengah/dalam. Secara
tersirat secara keseluruhan makna dan
arti dari bait pupuh tersebut adalah orang
makan sirih dan tembakau. Hal itu dapat
diartikan bahwa benda yang
dimaksudkan adalah tembakau yang
digerakan kesana-kemari melalui
gerakan tangan, namun tidak kunjung
masuk ke dalam mulut. Dan secara
tersurat tembakau yang berfungsi sebagai
pembersih gigi, berbeda halnya dengan
sirih yang bisa dimakan dan fungsinya
bisa sebagai jamu atau obat.
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
23
Demikian pula halnya dengan data (3)
berikut.
(3) Jalan buntu,
Terjemahan:
jalan buntu
Tan masepak nolor terus,
Terjemahan:
tidak bercabang, lurus terus
Nyen mekeneh mentas,
Terjemahan:
jika ingin berjalan/melaluinya
Apang elahang agigis
Terjemahan:
agar lebih lancar
Musti blenggu,
Terjemahan:
harus diikat
Majalan ditu magaang.
Terjemahan:
berjalannya dengan cara merangkak.
Kutipan (3) di atas cecangkriman
berbentuk teka-teki dan menjelaskan
maksud dari sebuah benda melalai
rangkaian kalimat-kalimat yang
berbentuk sebuah tembang pucung, yang
intinya ada jalan lurus, tidak bercabang,
jika ingin melintasinya harus dengan
kaki terikat, dan berjalannya pun dengan
cara merangkak. Secara tersurat barisan
kalimat-kalimat tersebut mempunyai arti
dan makna yang terpisah-pisah, tetapi
jika barisan kalimat itu dihubungkan
dengan kalimat-kalimat dan membentuk
sebuat barisan/bait yang utuh akan
memiliki makna yang utuh. Secara
keseluruhan makna dari bait pupuh
pucung (teka-teki) tersebut adalah “orang
memanjat pohon kelapa”, karena secara
tersurat jelas terlihat secara umum ciri-
ciri dari pohon kelapa adalah luruh, tidak
ada cabangnya, dan jika pohonnya cukup
tinggi, bisa menggunakan alat bantu
berupa slengkad (berupa tali yang
dililitkan diantara pergelangan kaki,
dengan cara disilangkan), sehingga
memudahkan untuk bisa naik, dan ketika
naik, seperti orang merangkak. Demikian
pula dengan cecangkriman pada data (4)
berikut.
(4) Berag landung,
Terjemahan:
tinggi dan kurus
Ngelah panak cenik liu,
Terjemahan:
mempunyai banyak anak
Memene slelegang,
Terjemahan:
ibunya disandarkan
Panak ne jekjek enjekin,
Terjemahan:
anaknya dinjak-injak
Menek tuun,
Terjemahan:
naik-turun
Mememne gelut gisiang.
Terjemahan:
ibunya dipegang
Kutipan cecangkriman data (4) di atas,
secara tersurat menjelaskan sebuah
benda yang memiliki fisik berang
landung “kurus dan tinggi” yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi benda tersebut diibaratkan seorang
ibu yang mempunyai banyak anak
“ngelah panak cenik liu”, namun ibunya
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
24
disandarkan “memene slelegang”,
kemudian anaknya diinjak naik-turun
“panakne jekjek enjekin menek tuwun,
dan ibunya dipegang dan dipeluk
“memene gelut gisiang. Ketika membaca
dan menyimak nyanyian di atas,
pembaca akan berpikir dan berusaha
mencari jawaban dari nyanyian yang
mengandung teka-teki yang harus
ditebak. Akan tetapi secara tersurat,
bagaimana seorang ibu yang memiliki
postur tubuh kurus, tinggi mempunyai
banyak anak, ibunya disandarkan lalu
anaknya diinjak-injak. Secara tersirat
makna dan arti dari teka-teki tersebut
adalah jan (dalam bahasa Bali) “orang
naik tangga”. Hal ini dapat dilihat dari
kata-kata yang digunakan dalam bait
pupuh tersebut, memiliki postur tubuh
kurus dan tinggi, tiangnya (ibu)
disandarkan, sedangkan banggul(anak)
nya diinjak-injak. Secara keseluruhan
dan secara utuh rangkaian kalimat dari
masing-masing baris dalam bait lirik
nyanyian di atas (data 4) menjelaskan
“orang sedang naik tangga (jan)”.
melihat dari fungsinya dan rangkaian bait
tersebut fungsi jan (tangga) adalah
digunakan ketika seseorang akan
mencari sesuatu di tempat yang lebih
tinggi dan harus menggunakan alat bantu
berupa tangga atau jan.
Fungsi dan Makna Cecangkriman
sebagai Nilai Kearifan Lokal
Dalam menganalisis tradisi lisan, salah
satunya ungkapan tradisional, tidak saja
memahami bentuknya, melainkan juga
memahami fungsi dan maknanya.
Pradopo (2001, hlm. 120) menyebutkan
bahwa tradisi lisan dibangun oleh tanda-
tanda yang bermakna. Di samping itu
tradisi lisan tumbuh dan berkembang
tidak lahir dari sebuah kekosongan atau
dapat dikatakan tidak bisa terlepas dari
situasi budaya yang mendukungnya,
karena hubungan bentuk dan fungsi akan
menentukan makna yang terkandung
dalam tradisi lisan tersebut, bergantung
wilayah perkembangannya. Di samping
itu dalam menganalisis dan memberi
makna sebuah teks sastra, selain
diperlukan kode budaya dan kode sastra,
perlu juga pengetahuan mengenai kode
bahasa yang menjelaskan pesan atau
maksud karya sastra dalam bentuk
bahasa yang dipakai (Teeuw, 1983, hlm.
19). Lebih lanjut disebutkan dalam
menganalisis bahasa yang perlu
diperhatikan adalah kesepadanan
(ekuivalensi) yaitu kesepadanan
antarunsur bahasa dan penyimpangan
(derivasi) yaitu efek kesastraan yang
hendak dicapai.
Berkaitan dengan hal tersebut,
kesepadanan bunyi bahasa yang
digunakan dalam contoh cecangkriman
adanya kesepadanan antarunsur bahasa,
sehingga membentuk satu kesatuan
sebuah bait pupuh pucung. Sebagaimana
terlihat pada data (5) berikut.
(5) Cenik mungklung,
Terjemahan:
kecil mungil
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
25
tuara kena baan mangitung,
Terjemahan:
tidak bisa menghitungnya
petenge magadang,
Terjemahan:
malamnya ia begadang
makijap ngebekin langit,
Terjemahan:
berkedip-kedip memenuhi langit
langit pelung
Terjemahan:
langit biru
ditu mula ya maumah.
Terjemahan:
Di sanalah tempatnya.
Memperhatikan data (5) cecangkriman di
atas kesepadanan antarunsur bahasa yang
dipilih untuk membentuk sebuah bait
cecangkriman menjadi sebuah pertanyaan
yang harus ditebak. Pilihan kata tersebut
mempermudah bagi orang yang memberi
jawaban atas pertanyaan dalam bentuk
tembang tersebut. seperti kata Cening
mungklung, „kecil mungil‟; tuara kena baan
mangitun „tidak bisa menghitungnya‟ petenge
magadang „malamnya begadang‟; makijap
ngebekin langit „berkedip memenuhi langit‟
langit pelung „langit biru‟ ditu mula ya
maumah „disanalah tempatnya‟. Secara
tersurat bagi yang mendengarkan dan
menyimak tembang tersebut, akan
mudah menebak apa yang dimaksud oleh
lagu tersebut jawabannya adalah
“bintang”. Hal itu dapat dilihat dari
kepadanan kata atau pilihan kata yang
digunakan dalam tembang tersebut,
seperti kata cenik, petenge magadangmakijap
ngebekin langit ditu mula ya maumah
menunjukkan bahwa ciri-ciri bintang
kecil mungil, tidak terhitung jumlahnya,
adanya di malam hari, berkedip-kedip
memenuhi langit, di langit tempatnya.
Bintang akan kelihatan ketika malam
hari dan langit biru atau cuaca tidak
mendung atau hujan., menunjukkan ciri-
ciri kemunculan benda tersebut di langit,
ketika cuaca lagi cerah. Demikian pula
dengan kutipan data (6) berikut.
(6) Napi iku,
Terjemahan:
apakah itu
Tolih-tolih tan katemu,
Terjemahan:
dilihat-lihat tidak bertemu
Gabag ya bakatang,
Terjemahan:
tetapi dapat diraba
Wenten ya wantah kekalih,
Terjemahan:
dia hanya ada dua
Wiakti iku,
Terjemahan:
apakah itu
Genahnya ada ring raga.
Terjemahan:
Tempatnya ada pada tubuh
Melihat kutipan (6) di atas, kesepadanan
antarunsur bahasa yang digunakan
menunjukkan adanya keserasian dalam
pemilihan kata dari masing-masing
kalimat, mudah dipahami, dan
menunjukkan sebagaimana watak dari
pupuh pucung tersebut sifatnya datar.
Pilihan kata dan bahasa pada kutipan
tersebut mudah dimengerti dan
dipahami, karena bahasa yang digunakan
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
26
adalah bahasa sehari-hari, seperti kata
Nap, iku, tolah-tolih, katemu, gabag,
bakatang, wenten, wantah, kekalih,
wiakti, genahnya, ada, ring dan raga
merupakan bahasa percakapan sehari-
hari, sehingga apa yang dimaksud oleh
rangkaian bait pupuh tersebut mudah
ditebak. Apa yang ada pada diri
(manusia) ada dua buah, ketika ia
ditoleh atau dilihat sulit bagi kita, tetapi
kita dapat merabanya. Melihat rangkaian
kata-kata tersebut jawabannya adalah
„kuping”.
Selain cecangkriman, ungkapan
tradisi lisan yang dalam bentuk
lagu/sekar rare adalah cacimpedan.
Dalam bahasa Indonesia cacimpedan
yaitu makna sama tebak-tebakan seperti
teka-teki, yang biasanya diawali dengan
kata „apake‟ „apakah‟. Ada sebuah
gending Bali yang sangat lumrah dan
sering dinyanyikan sebagai salah satu
contoh tebak-tebakan yang sama
jawabannya dengan kutipan di atas,
contoh lagu tersebut adalah sebagai
berikut.
Jalan jani saling pada macimpedan
Apa ento tolih-tolih mangejohan,
Anak cerik laut cekok kajengitin
Ada buin anak labuh masuryak.
Baris kedua pada bait lagu di atas
menunjukkan arti atau maksud yang
sama dengan kutipan data (6), yaitu Apa
ento tolih-tolih mangejohan „apakah itu
kalau dilihat semakin menjauh‟,
jawabannya „kuping/telinga‟Akan tetapi
perbedaannya adalah jika dalam kutipan
(6) menujukkan hanya satu tebak-
tebakan, dan dalam kutipan di atas
menunjukkan tiga tebakan yang harus
dijawab, yakni Anak cerik laut cekok
kajengitin “anak kecil dicekik lalu
kajengitin” jawabannya “orang minum
air dengan caratan dari tanah liat”; Ada
buin anak labuh masuryak“ada lagi
orang jatuh bersorak/menyoraki dirinya
sendiri”, jawabannya danyuh (daun
kelapa yang sudah kering jatuh)”.
Demikian pula halnya dengan kutipan
(7) berikut.
(7) Uli ilu,
Terjemahan:
dari dahulu kala
Ia luas nuju dalu,
Terjemahan:
ia berjalan malam hari
Majalan ngauhang
Terjemahan:
berjalan menuju ke barat
Sundihne ngalangin gumi,
Terjemahan:
sinarnya menerangi bumi
Napi iku,
Terjemahan:
apakah itu
Tegarang cening orahang.
Terjemahan:
anak-anak coba ditebak
Kutipan data (7) di atas menanyakan
tentang sebuah benda yang
keberadaannya sudah ada dari dahulu, ia
berjalan pada malam hari, dari timur ke
barat, sinarnya menerangi bumi, apakah
itu, coba tebak anak-anak. Jawaban dari
nyanyian yang merupakan tebak-tebakan
adalah “bulan”. Hal itu dapat dilihat dari
Fungsi Dan Makna …(Ni Nyoman Tanjung Turaeni)
27
beberapa kata yang dapat membantu
dalam menjawab tebakan tersebut,
seperti kata Ia luas nuju dalu “perginya
pada malam hari‟. majalan ngauhang
„berjalan ke barat‟, dan sundihne
ngalangin gumi „sinarnya menerangi
bumi‟. Selain ciri-ciri tersebut, untuk
keindahan dari pupuh pucung, juga dilihat
dari formula yang membentuknya, seperti
jumlah suku kata dan bunyi vokal akhir
dalam setiap barisnya. Pendengar atau
orang yang bersama-sama ikut
menembangkan nyanyian tersebut,
secara tidak langsung diajak menyimak,
memahami sekaligus berpikir makna apa
yang terkandung dalam nyanyian itu.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dan uraian
dalam pembahasan di atas, ungkapan
tradisional yang berbentuk cecangkriman
merupakan syair teka-teki, yaitu sejenis
teka-teki atau tebak-tebakan yang
dilagukan secara umum menggunakan
tembang/pupuh pucung. Ungkapan
tradisional cecangkriman, jika dilihat
dari fungsi dan maknanya dapat
difungsikan sebagai media pengesahan
pranata sosial, sebagai mengasah
kecerdasan atau daya nalar seseorang,
senda gurau, sebagai rasa solidaritas
sosial dan sebagai makna dapat dijadikan
sebagai sarana pendidikan dalam
memperkenalkan nilai-nilai kearifan
lokal kepada anak khususnya tradisi
lisan. Di samping itu cecangkrimandapat
digunakan sebagai sarana belajar sambil
bernyanyi, juga dapat memperkenalkan
salah satu jenis tembang/pupuh pucung
kepada generasi muda. Dengan demikian
secara tidak langsung juga memperkenalkan
tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai
kearifan lokal melalui tembang, dan
mengajarkan kepada anak tentang nilai-
nilai karakter yang terkandung
didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Badrun, A. (2003). “Patu Mbojo:
Struktur, Konteks Pertunjukan,
Proses Penciptaan dan Fungsi.”
(Disertasi). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Danantjaya. James. (1997). Folklore
Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Gautama, Wayan Budha. (2007).
Kasusastraan Bali (cakepan
Panuntun Mlajahin Kasusastraan
Bali). Surabaya: Paramita.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan.
(1994). Bahasa Konteks, dan Teks:
Aspek-aspek Bahasa dalam
Paradigma Semiotik Sosial.
Terjemahan dari Language,
contex, and Text: Aspects of
Language in a Social-Semiotic
Perspective. Penerjemah Asrudin
Barori Tou. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Karmini, Ni Nyoman. (2017). Fungsi
dan Makna Sastra Bali
Tradisional Sebagai Pembentuk
Karakter Diri, (dalam Mudra
Jurnal Seni dan Budaya, Volume
32, Nomor 2,
Mei 2017, hlm 149—161).
JURNAL BÉBASAN, Vol. 7, No. 1, Edisi Juni 2020: 15—28
28
Koentjaraningrat, (1993). Kebudayaan
Mentallitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pradopo, Rahmat Djoko. (2001).
Metode Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Sumitri, Ni Wayan. (2007). Nilai-nilai
Sesenggakan Dalam Ungkapan
Tradisional Bali (dalam Perspektif
Linguistik Kebudayaan). Linguistika,
Volume 14, No. 26, Maret 2007, SK
Akreditasi Nomor: 39/DiktiKep.2004),
halaman 1—28.
Sihwatik. (2017). Kajian Bentuk, Fungsi
dan Makna Ungkapan Tradisional
Wacana Sorong Sera Aji Krama di
Kabupaten Lombok Barat dan
Relevansinya dalam Pembelajaran
Mulok di SMP. Retorika: Jurnal
Ilmu Bahasa, Volume 3, No. 1
April 2017, halaman 93—103.
Tanjung Turaeni, Ni Nyoman. (2017).
Pengalihwahanaan Paribasa Bali Lisan
ke dalam Lagu Bali Populer. Dalam
Aksara, Volume 29, Nomor 2 Tahun
2017. (Akreditasi Lipi:714/Akred/P2MI-
LIPI/04/2016dan Akreditasi
Ristekdikti: 30/E/KPT/2018).
Teeuw, A. (1983). Membaca dan Menilai
Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Simpen. AB. W. (2010). Basita
Paribasa.
Denpasar. PT Usada Sastra.
Sugriwa, I G B. (1977). Penuntun
Pelajaran Kakawin. Denpasar:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tim Penyusun Kamus. (2001). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tinggen, I Nengah. (1984). Tata
Bahasa Bali Ringkes. Singaraja:
Rhika Dewata.
Warna, I Wayan. (1990). Kamus Bali-
Indonesia. Denpasar: Dinas
Pendidikan Dasar Provinsi Bali.