cdk_179_tht
TRANSCRIPT
![Page 1: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/1.jpg)
ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk
PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve Tumors
HASIL PENELITIAN Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada
Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan
OPINI Stetoskop-Stetoskop Masa Depan
455
PROFIL Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)
Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui
Jalur THT Terlebih Dahulu
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403 7/26/2010 5:28:59 PMUntitled-1 1 6/26/2010 3:00:44 PM
CD
K 179 / vo
l. 37 no. 6 / A
gustus 2010
Untitled-3.indd 1Untitled-3.indd 1 7/27/2010 11:51:24 PM7/27/2010 11:51:24 PM
![Page 2: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/2.jpg)
405| AGUSTUS 2010
Petunjuk untuk Penulis
CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek keseha-
tan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepusta-
kaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk lapo-
ran kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang
khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan
dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggu-
nakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan
istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam ba-
hasa Indonesia.
Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya.
Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia
dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak ber-
bahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2.000 - 3.000 kata
ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda,
font Eurostile atau Times New Roman 10 pt.
Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lemba-
ga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafi k/ilustrasi yang
melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam
program MS Word.
Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya
dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index
Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to
Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, 1.
London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-2.
organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic
physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders,
1974 ; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan fi lariasis di Indonesia. 3.
CDK. 1990; 64: 7-10.
Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh
atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui
e-mail ke alamat :
Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: [email protected]
Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online)
maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diter-
bitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang
lebih luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh kar-
ena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap den-
gan alamat e-mailnya.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapatmasing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandanganatau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.
DAFTAR ISI
Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman,
Anton Christanto, Slamet Widodo 409
Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan Delfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam,
Chairul Abdi 415
Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah berdasarkan Gambaran Timpanogram Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo,
R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri 419
Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman,
Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto 425
Hubungan antara Rintis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters Dewi Ayu Paramita, Suyono, Kristanto Yuli Yarsa,
Mardiatmo, Wachid Putranto 431
Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Student’s Performance in Pre-clinical Setting in Faculty of Medicine, Mataram University Eustachius Hagni Wardoyo, Bobby Marwal Syahrizal,
Dyah Purnaning, Ida Ayu Eka Widiastuti,
Ardiana Ekawanti, Muhammad Farid Wajdi 434
Epulis Gigantocellulare Azamris 437
BERITA TERKINI
Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah 441
Epirubicin dan Cyclophosphamide dengan Transtuzumab
pada trial HERCULES 442
Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar
Kolesterol Pasien Dislipidemia yang Diterapi
dengan Statin 443
Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi
Dokter Keluarga 444
Efektifi tas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat
Lepas Berkesinambungan (Extended Release/ER) pada
Terapi Gangguan Bipolar 445
Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai
alternatif Kontrasepsi Pria 447
BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker 449
Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH 450
Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada
Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada
Pembedahan Molar Ketiga Mandibular Pasien dengan
Gangguan Perdarahan 451
Nutraseutikal Kombinasi Terbaru
untuk Terapi Hiperkolesterolemia 453
PRAKTIS 455
OPINI 458
INFORMATIKA KEDOKTERAN 461
PROFIL 465
LAPORAN KHUSUS 467
INFO PRODUK 474
GERAI 476
ANTAR SEJAWAT 477
AGENDA 479
RPPIK 480
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 405CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 405 7/26/2010 5:29:40 PM7/26/2010 5:29:40 PM
![Page 3: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/3.jpg)
406 | AGUSTUS 2010
EDITORIAL
Di antara penyakit/masalah THT yang umum didapatkan di kalangan masyarakat
– dan juga sudah menjadi istilah awam – adalah penyakit amandel, yang terutama
menjadi masalah di kalangan anak-anak; bahkan di masa lalu masa liburan sekolah
merupakan masa tonsilektomi !
Sebenarnya banyak hal lain di bidang THT yang perlu diketahui, antara lain rinitis
alergi dan sinusitis yang sebenarnya tidak jarang dijumpai ; topik ini yang antara lain
menjadi pokok bahasan di edisi CDK kali ini - kaitannya dengan gambaran radiologi
perlu dipahami untuk mencegah pemeriksaan yang tidak perlu.
Artikel lain yang mungkin menarik bagi kalangan pendidikan ialah penilaian SOCA
- umpan balik ini perlu untuk menilai seberapa jauh manfaatnya bagi proses belajar-
mengajar di fakultas kedokteran. Pengalaman sejawat di pusat pendidikan lain kami
tunggu untuk dijadikan bahan perbandingan.
Ditambah dengan berita terkini dari berbagai sumber , semoga bisa memenuhi ke-
butuhan sejawat akan berita kedokteran yang mutakhir.
Selamat membaca,
Redaksi
ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk
PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve Tumors
HASIL PENELITIAN Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada
Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan
OPINI Stetoskop-Stetoskop Masa Depan
146
PROFIL Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)
Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui
Jalur THT Terlebih Dahulu
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 406CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 406 7/23/2010 10:32:56 PM7/23/2010 10:32:56 PM
![Page 4: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/4.jpg)
407| AGUSTUS 2010
Redaksi KehormatanProf. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH
Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta
Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta
DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes
Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado
Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP
Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd
Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Nasional
Harapan Kita, Jakarta
Prof. DR. Dra. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)
Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta
Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta
Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali
Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi,
Semarang
Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD
Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta
Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI
Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)
Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN
Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Hendro Susilo, SpS(K)
Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo,
Surabaya
Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat
Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes
Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ISSN: 0125-913 X
http://www.kalbe.co.id/cdk
Susunan Redaksi
Ketua PengarahDr. Boenjamin Setiawan, PhD
Pemimpin UmumDr. Kupiya Timbul Wahyudi
Ketua PenyuntingDr. Budi Riyanto W.
Manajer BisnisNofa, S.Si, Apt.
Dewan RedaksiDr. Artati
Dr. Irwan WidjajaDr. Esther Kristiningrum
Dr. Dedyanto HenkyDr. Harvian Satya Dharma
Dr. Yoska Yasahardja
Tata UsahaDodi Sumarna
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 407CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 407 7/26/2010 5:30:15 PM7/26/2010 5:30:15 PM
![Page 5: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/5.jpg)
408 | AGUSTUS 2010
ENGLISH SUMMARY
Skull Base Erosion and Cranial Nerve Palsy
among Nasopharyngeal Carcinoma Patients in H. Adam Malik Hospital, Medan,
Indonesia
Delfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir
Zam-Zam, Chairul Abdi
Department of ENT, H. Adam Malik Hospital,
Medan, Indonesia
Skull base erosion and cranial nerve
palsy are complications of nasopha-
ryngeal carcinoma (NPC). These com-
plications can be caused by primary or
metastatic tumor.
Among 37 NPC patients in H. Adam
Malik Hospital, Medan during 2004,
we found 27 % with skull base erosion
and 59,5 % with cranial nerve palsies,
mostly n. VI.
Keywords: Undifferentiated Ca,
Non keratinizing Ca, Keratinizing
squamous Ca, Foramen lacerum, Sella
turcica, Os petrosum.
dm,rl,mz,ca
CDK 2010; 37(6): 415-18
Allergic Rhinitis is a Risk Factor for Chronic
Benign Suppurative Otitis Media
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudar-
man, Bambang Udji Djoko Rianto,
Anton Christanto.
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery
Department, Faculty of Medicine
Gadjah Mada University/Dr. Sardjito Hos-
pital, Yogyakarta, Indonesia
Background. Chronic benign suppu-
rative otitis media (CBSOM) is a com-
mon disease in developing countries
especially Indonesia. The prevalence
of CBSOM in Indonesia is 2,1 – 5,2%.
Inadequate management can cause
deafness, social isolation, decrease
in prestige and productivity, even
causing handicap and death due to
complications and disease process.
A large percentage of chronic otitis
media is still diffi cult to cure. Doctors
usually assume that infl ammation is
caused by bacterial infections. Thus,
antibiotics are generally prescribed
for treatment. But recurrent infl amma-
tion may be caused by allergic rhinitis;
in CBSOM this possibility cannot be
overlooked.
Objective. To study the presence of
allergic rhinitis as a risk factor in CB-
SOM.
Method and Material. This is a case
– control study at the ENT polyclinic,
Dr. Sardjito Hospital. Patients with CB-
SOM as case group compared with
patients without ear complaints as
control group. Risk factors to allergic
rhinitis was assessed through history
taking, anterior rhinoscopic examina-
tion and skin prick test. Data analysis
used X2 test and logistic regression
analysis.
Results. A total of 50 patients as cases
and 50 patients as controls underwent
allergic rhinitis diagnosis. Forty pa-
tients (80%) from case group and 8 pa-
tients (16%) from control group were
positive for allergic rhinitis. The differ-
ence is signifi cant (p = 0,001) which
shows that allergic rhinitis is a risk fac-
tor for CBSOM. The risk of suffering
CBSOM is 21 times more frequent in
allergic rhinitis patients compared to
controls (OR = 21, IK = 95% : 7,53% -
58,56%).
Conclusion. Allergic rhinitis is a risk
factor for CBSOM.
Key words: CBSOM, allergic rhinitis,
risk factor
CDK 2010; 37(6): 425-29
Correlation between Chronic Rhinitis and Sinusitis on Waters’
X-ray
Dewi Ayu Paramita*, Suyono*,
Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*,
Wachid Putranto***
Department of Radiology*, Department
of Histology**, Department of Internal
Medicine***
Faculty of Medicine, Sebelas Maret
University/ Dr. Moewardi Hospital,
Surakarta, Indonesia
Objective: To fi nd correlation between
chronic rhinitis and sinusitis on Waters’
view Xray photo. Method: This study
is observational with cross sectional
approach, conducted from January to
June 2008. Samples are Waters’ view
fi lms at Radiology Department of Dr.
Moewardi Hospital Surakarta. Result: Total samples analyzed were 91. There
is strong correlation between chronic
rhinitis and sinusitis imaging on Wa-
ters view (p value = 0,002; OR 3,78).
Conclusion: Subject with rhinitis have
3,78 bigger possibility to have sinusitis
in imaging.
Key words: chronic rhinitis, sinusitis,
Waters view
CDK 2010; 37(6): 431-33
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 408CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 408 7/26/2010 5:30:48 PM7/26/2010 5:30:48 PM
![Page 6: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/6.jpg)
409| AGUSTUS 2010
LATAR BELAKANG
Rinosinusitis adalah peradangan
mukosa nasal dan sinus paranasal,
dikatakan kronis apabila berlangsung
paling sedikit 12 minggu. Penegakan
diagnosis rinosinusitis merupakan ma-
salah di fasilitas pelayanan kesehatan
yang tidak memiliki CT-Scan, atau bi-
aya CT-Scan yang mahal; sehingga ma-
sih menggunakan foto polos. Masalah
saat ini adalah validitas foto polos di
RS Sardjito, bahkan di Indonesia be-
lum pernah diteliti.
Tujuan: Menentukan validitas foto po-
los sinus paranasal 3 posisi untuk men-
egakkan diagnosis rinosinusitis kronik.
Desain dan metode: Penelitian ini
menggunakan desain uji diagnostik.
Sampel diambil mulai bulan Januari
sampai Maret 2007 di poliklinik RSUP
DR.Sardjito secara consecutive sam-
pling. Kritera inklusi adalah penderita
tersangka rinosinusitis kronik (kriteria
task force), memiliki foto polos sinus
paranasal 3 posisi, memiliki CT scan
potongan koronal. Kriteria eksklusi
adalah pernah menjalani operasi sinus
sebelumnya, terdiagnosis tumor sino-
nasal, catatan medis tidak lengkap.
Analisis statistik menggunakan diag-
nostic test.
Hasil: Sensitivitas = 85,7% Spesifi si-
tas = 33,3% Nilai duga positif = 75%
Nilai duga negatif = 50% Rasio kecen-
derungan positif = 1,28 Rasio kecen-
derungan negatif = 0,42
Simpulan: Foto polos SPN 3 posisi
valid untuk mendiagnosis rinosinusitis
kronis.
Kata kunci: rinosinusitis kronik, foto
polos sinus paranasal 3 posisi, CT-
Scan, diagnosis
PENDAHULUAN
Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah
yang lebih tepat karena sinusitis ja-
rang tanpa didahului rinitis dan tanpa
melibatkan infl amasi mukosa hidung.
Rinosinusitis menjadi penyakit ber-
spektrum infl amasi dan infeksi mukosa
hidung dan sinus paranasal(1). Rino-
sinusitis didefi nisikan sebagai gang-
guan akibat infl amasi mukosa hidung
dan sinus paranasal; dikatakan kronik
apabila telah berlangsung sekurang-
nya 12 minggu(1).
Sinus paranasalis seperti bagian alat
pernafasan lain, dilapisi oleh epitel
pseudostratifi ed kolumner berlapis
semu bersilia(2). Mukosa sinus parana-
sal merupakan kelanjutan mukosa ka-
vum nasi meskipun lebih tipis(3). Mem-
bran basal tampak lebih tipis, jaringan
subepitel memiliki jaringan ikat tipis
yang melekat kuat pada periosteum,
dan kelenjar seromusin relatif lebih
sedikit. Sinus paranasalis mempunyai
sistem mukosilia, terdiri dari gabung-
an epitel bersilia dan lapisan mukus,
berfungsi proteksi dan melembapkan
udara inspirasi. Lapisan mukus dido-
rong oleh silia menuju ke ostium sinus.
Transportasi mukus sinus diawali dari
dasar sinus dengan gerakan menyeru-
pai bintang, sepanjang dinding de-
pan, medial, posterior dan lateral, ser-
ta atap sinus bertemu di ostium (3,4,5).
PATOFISIOLOGI
Penyakit sinus terkait 3 faktor: pa-
tensi ostium, fungsi silia dan kualitas
sekret. Gangguan salah satu faktor
atau kombinasi faktor-faktor tersebut
mengubah fi siologi dan menimbulkan
rinosinusitis. Obstruksi ostium menim-
bulkan drainase tidak adekuat, beraki-
bat penumpukan cairan dalam sinus;
pada sinus maksilaris menjadi penting
karena mukus dibersihkan melawan
pengaruh gravitasi (3). Obstruksi me-
nyebabkan hipoksi lokal dalam sinus,
menimbulkan perubahan pH, keru-
sakan epitel dan fungsi silia. Cairan
dalam sinus menjadi media yang baik
bagi pertumbuhan bakteri, menimbul-
kan infl amasi jaringan dan penebalan
mukosa sehingga menambah obstruk-
si ostium.
KLASIFIKASI
RSK ditandai penebalan mukosa, hi-
perplasi sel goblet, fi brosis subepitel
dan infl amasi permanen. Remodelling
mukosa sinus mengarah pada gang-
guan keseimbangan antara deposit
dan degradasi kolagen dan matriks
protein lain. Peningkatan sintesis fi -
broblas merupakan respon adanya
aktivasi eosinofi l beserta produknya,
termasuk profi brotic transforming
growth factor-β (TGF-β). Sel infl amasi
yang banyak terdapat di sinus an-
Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis KronikVimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo
Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS DR. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409 7/23/2010 10:32:59 PM7/23/2010 10:32:59 PM
![Page 7: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/7.jpg)
411| AGUSTUS 2010
tara lain : sel T, eosinofi l, basofi l, dan
neutrofi l memiliki jumlah menonjol di
mukosa sinus.
Pinheiro et al. (1998) membagi rinosi-
nusitis ditinjau dari lima aksis : 1)
gambaran klinis (akut, subakut, dan
kronik), 2) lokasi sinus yang terkena
(maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan
sphenoidalis), 3) organisme yang ter-
libat (virus, bakteri, atau jamur), 4) ket-
erlibatan ekstrasinus (komplikasi atau
tanpa komplikasi), dan 5) modifi kasi
penyebab spesifi k (atopi, obstruksi
komplek osteomeatal). Klasifi kasi lain
didasarkan ditemukan tidaknya alergi,
membagi rinosinusitis menjadi alergi
dan nonalergi atau berdasarkan ada
tidaknya infeksi dibagi dalam rinosi-
nusitis infeksi dan noninfeksi. Sedang-
kan untuk derajat sinusitis digunakan
gambaran radiologis untuk menunjuk-
kan berat ringannya penyakit.
Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menu-
rut Lund MacKay. Pembagian menu-
rut sistem Lund MacKay didasarkan
pada pengukuran obyektif kelainan
masing-masing sinus, dengan skor 0
bila tidak ditemukan kelainan, skor 1
bila ditemukan opasitas parsial, skor
2 bila ditemukan opasitas total sinus,
dan penilaian patensi osteomeatal
komplek. Sistem ini banyak dipakai
karena mampu mengukur kelainan
masing-masing sinus secara obyektif,
dapat dipakai untuk kasus individual,
dan mempertimbangkan kondisi kom-
plek osteomeatal (7).
GEJALA DAN TANDA
Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat
ringan hingga berat. Gejala bisa dikel-
ompokkan menjadi gejala subyektif
dan obyektif. Gejala subyektif meliputi
gejala nasal dan nasofaringeal, faring
dan nyeri wajah. Gejala nasal menca-
kup obstruksi hidung, sekresi hidung
dan post nasal drip. Sering disertai
epistaksis dan gangguan olfaktorius.
Gejala faring berupa rasa ke-ring di
tenggorokan dan gejala nyeri wajah
akibat keadaan vakum di sinus. Nye-
ri pada sinusitis maksilaris timbul di
daerah pipi atau zigomatik, sedang-
kan sinusitis etmoidalis menimbulkan
nyeri daerah sela mata. Untuk sinus-
itis frontalis nyeri terasa di daerah
dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis
menimbulkan nyeri di daerah puncak
kepala atau di oksipital (5).
Tanda obyektif ditentukan melalui pe-
meriksaan rinoskopi anterior, rinosko-
pi posterior dan pemeriksaan faring.
Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
menemukan tanda infl amasi yaitu mu-
kosa hiperemis, edema, discharge mu-
kopurulen yang terlihat di meatus me-
dia. Pemeriksaan rinoskopi posterior
menemukan kumpulan pus di permu-
kaan palatum, dapat berasal dari tiap
sinus tetapi paling sering dari sinus
maksilaris. Pus dapat tampak menetes
melalui ujung posterior konka inferior
dari meatus media. Pada pemeriksaan
farings dapat terlihat pus mengalir
sampai ke bawah melalui sela dinding
lateral faring dan umumnya berasal
dari sinus maksilaris, frontalis atau
ethmoidalis(5,8). Pada pemeriksaan en-
doskopi dapat dilihat edema dan hi-
peremi di meatus media atau bulla
ethmoid dan dan jaringan granulasi (9).
DIAGNOSIS
Diagnosis RSK dapat ditegakkan mela-
lui anamnesis, pemeriksaan fi sik dan
penunjang. Anamnesis didasarkan
pada gejala seperti obstruksi hidung,
kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri
kepala, gangguan discharge hidung,
post nasal drip, nafas bau, batuk,
gangguan penghidu dengan atau tan-
pa telinga terasa penuh, faringitis, fa-
tigue, malaise atau demam yang telah
berlangsung selama 12 minggu (1).
Pemeriksaan fi sik harus menemukan
salah satu tanda infl amasi yaitu 1)
discharge berwarna di saluran nafas,
polip atau pembengkakan konka po-
lipoid menggunakan rinoskopi ante-
rior atau endoskopi setelah aplikasi
dekongestan; 2) edema dan hiperemi
di meatus media atau bulla ethmoid
yang diidentifi kasi menggunakan en-
doskopi nasal; 3) eritema lokal atau
keseluruhan, edema dan jaringan
granulasi (1).
RADIOLOGI SINUS PARANASAL
Penyakit infl amasi sinus membutuhkan
diagnosis yang akurat sebagai kunci
manajemen terapi termasuk untuk
menetapkan etiologi dan faktor pre-
disposisi. Para ahli menyepakati bah-
wa rinosinusitis disebabkan oleh ob-
struksi clearance mukosilia dari sinus
paranasal, khususnya daerah KOM.
Pemeriksaan radiologi diharapkan
dapat menggambarkan secara akurat
morfologi regional dan menunjukkan
obstruksi osteomeatal.
Foto polos atau radiografi standar
Foto polos sinus paranasal merupakan
metode mudah dan cepat untuk eva-
luasi struktur maksilofasial. Ada empat
posisi yang sering adalah posisi Wa-
ters’, Towne’s, lateral, dan submento-
verteks. Paparan radiasi berkisar 40-60
mSv. Pemeriksaan tersebut memua-
skan untuk sepertiga bawah kavum
nasi dan sinus maksila. Gambaran si-
nus ethmoid anterior et posterior, sinus
frontal, dan sphenoid sering kurang
baik akibat penumpukan bayangan (7).
Penebalan mukosa lebih dari 4 mm,
opasitas komplit sinus maksilaris, dan
gambaran air fl uid level merupakan
gambaran radiologis utama yang di-
gunakan untuk diagnosis sinusitis
pada foto polos. Gambaran opasitas
sinus maksilaris tersebut dapat akibat
penebalan dinding anterior sinus atau
jaringan lunak yang tebal. Polip sinus
juga dapat memberi gambaran seper-
ti air fl uid level(7).
Beberapa peneliti membandingkan
roentgen polos dan CT scan koronal
pada bayi dan anak dengan sinusitis
rekuren. Hasilnya dari 70 pasien terda-
pat 80% mempunyai CT scan abnor-
mal dan 75% roentgen tidak berko-
relasi terhadap CT scan. Berdasarkan
evaluasi pada 21 pasien didapatkan
kesesuaian korelasi roentgen polos
dengan CT scan pada penderita sinus-
itis akut sebesar 87%.
CT scan
CT scan menyediakan gambaran hi-
dung dan sinus paranasal yang lebih
detail dibandingkan roentgen. Ahli
THT sangat membutuhkan gambaran
KOM dan kelainan yang mungkin ter-
dapat di sinus paranasal untuk menda-
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411 7/23/2010 10:33:00 PM7/23/2010 10:33:00 PM
![Page 8: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/8.jpg)
412 | AGUSTUS 2010
patkan diagnosis akurat dan rencana
terapi selanjutnya. Potongan koronal
CT scan memberikan gambaran aku-
rat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum
nasi bagian atas, recessus frontalis.
Potongan lintang CT scan dapat me-
nilai kondisi soft tissue di kavum nasi,
sinus paranasal, orbita, dan intrakra-
nial. Perbedaan yang teridentifi kasi
antara komponen kavum nasi yaitu
udara - tulang, lemak - orbita, dan
soft tissue – udara. Perbedaan den-
sitas juga mempermudah identifi kasi
sinus frontal, recessus frontal, proces-
sus uncinatus, infundibulum ethmoid,
bulla ethmoid, sinus maksila, ostia
sinus maksilaris, meatus media, sinus
ethmoid, sinus sphenoid, dan reces-
sus sphenoid. Gambaran yang jelas
sangat mempermudah diagnosis dan
rencana terapi (7).
Potongan koronal merupakan poton-
gan terbaik karena mampu menunjuk-
kan hubungan antara otak dan sinus
ethmoid, orbita dan sinus paranasal,
juga KOM. Endoskopi hanya member-
ikan gambaran anatomi yang terletak
di depan endoskopi, sedangkan CT
scan mampu mendefi nisikan daerah
yang tidak tampak pada endoskopi.
Pasien diposisikan prone dengan hi-
perekstensi di meja scanner. Kondisi
KOM ideal diperoleh dengan CT scan
difokuskan pada kavum nasi dan si-
nus paranasal. Bila pasien tidak dapat
posisi prone maka dibuat potongan
aksial dari palatum hingga melalui si-
nus frontalis(7).
Pelaksanaan CT scan sering kali terk-
endala biaya, maka dikerjakan CT
scan terbatas untuk mengatasi per-
masalahan dan meningkatkan nilai
diagnosis foto polos sinus paranasal.
Jika perkiraan jarak sinus sphenoid
hingga nares sekitar 7,5 cm maka CT
scan standar dengan jarak antara 3
mm akan menghasilkan 25 gambar. CT
scan terbatas dikerjakan dengan jarak
antar potongan beragam mulai 3, 4,
5 hingga 10 mm. sentrasi kavum nasi
dan sinus paranasal (7).
Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yai-
tu: 1) melihat gambaran dari anterior
ke posterior (identifi kasi sinus frontalis,
sinus ethmoidalis, bulla ethmoidalis,
sinus maksilaris, sinus sphenoidalis,
kavum nasi, orbita, fossa kranii media,
dan septum deviasi), 2) melihat lami-
na papiracea, processus uncinatus,
dan konka media, 3) melihat recessus
frontalis, 4) perhatikan asimetri kanan-
kiri dengan melihat basis kranii, 5) in-
dentifi kasi sinus sphenoidalis, melihat
septum intersphenoidalis, 6) melihat
perluasan penyakit (7).
Perbandingan CT scan koronal
terbatas dan foto polos sinus
paranasal
CT scan potongan koronal terbatas
telah diteliti sensitivitas dan spesi-
fi sitasnya dibandingkan dengan foto
polos sinus paranasal. CT scan 4 slice
dibandingkan CT scan standar memi-
liki sensitivitas 81,25%, spesifi sitas
89,47%, nilai duga positif 92,86, dan
nilai duga negatif 73,91.13 Penelitian
Goodman et al. (1995) mendapatkan
bahwa foto polos sinus paranasal
memiliki sensitivitas dan spesifi sitas
secara keseluruhan 54% dan 64%.14
Penelitian serupa oleh Garcia et al.
(1994) mendapatkan kesesuaian foto
polos mendeteksi sinusitis adalah 20%
untuk sinus frontal, 0% sinus sphenoid,
dan 54% sinus ethmoid; sinus maksila
75%. Sensitivitas dan spesifi sitas posisi
Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT
scan mempunyai kesesuaian diband-
ingkan CT standar masing-masing
100% untuk sinus frontal, 82% untuk
sinus sphenoid, 73% untuk sinus eth-
moid, dan 97% untuk sinus maksila.
Kesesuaian secara keseluruhan bila
dibandingkan CT scan standar adalah
88% (14).
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan
untuk konfi rmasi klinis. Pada rontgen
sinus paranasalis didapatkan air fl uid
level, pengkabutan atau penebalan
mukosa pada satu atau lebih sinus (2,4). CT scan dapat menggambar-
kan penebalan mukosa, perubahan
struktur tulang maupun kondisi os-
teomeatal komplek (1). Sensitifi tas
dan spesifi sitas radiologi sinus para-
nasal 85% dan 80% untuk posisi Wa-
ters, untuk tiga posisi 90% dan 60%
sedangkan CT scan lebih dari 95%
dan 61% (15).
METODA PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan uji diagnos-
tik untuk menentukan validitas foto
polos sinus paranasal 3 posisi dan CT
scan potongan koronal sebagai alat
diagnosis pada pasien dengan gejala
klinis/persangkaan rinosinusitis kronis
menurut kriteria task force.
B. Populasi Penelitian
Populasi target pada penelitian ini
adalah pasien yang memenuhi krite-
ria klinis task force untuk persangkaan
rinosinusitis kronis (RSK). Populasi ter-
jangkau penelitian ini adalah pasien
yang memenuhi kriteria klinis task
force untuk persangkaan rinosinusitis
kronis di RS Dr. Sardjito.
C. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi
terjangkau yang dipilih dengan cara
tertentu. Teknik pengambilan sampel
dengan cara berurutan (consecutive
sampling), yaitu setiap pasien RSK di
RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan me-
menuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Cara pemilihan sampel seperti ini ada-
lah satu cara yang terbaik dalam pene-
litian klinik (16).
D. Kriteria Inklusi
Penderita dengan persangkaan RSK
(task force positif), memiliki foto polos
sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT
scan potongan koronal
E. Kriteria Eksklusi
Pernah menjalani operasi sinus, ter-
diagnosis tumor sinonasal, memiliki
catatan medis tidak lengkap. tidak
bersedia ikut dalam penelitian.
F. Cara Pengukuran
1). Semua penderita tersangka RSK
memenuhi kriteria inklusi dan ek-
sklusi dicatat identitasnya pada
formulir penelitian,
2). Dilakukan foto polos sinus parana-
sal 3 posisi dan CT Scan potongan
koronal.
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM
![Page 9: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/9.jpg)
413| AGUSTUS 2010
H. Analisis Statistik
Analisis data dalam penelitian ini
adalah sensitivitas, spesifi sitas, nilai
duga positif, nilai duga negatif, rasio
kecenderungan positif, dan rasio ke-
cenderungan negatif dari CT Scan dan
foto polos SPN 3 posisi.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik subyek penelitian
Jumlah sampel penelitian seluruhnya
20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan
laki-laki 9 orang (45%), paling banyak
pada umur dekade ke 3 (30%). (tabel
2).
Keluhan utama pasien dengan per-
sangkaan RSK terdistribusi dalam ta-
bel 3.
Uji Diagnostik/Validasi Foto polos SPN
3 posisi (Tabel 4)
Sensitivitas = 12/14 x 100 % = 85,7%
Spesifi sitas = 2/6 x 100 % = 33,3%
Nilai duga positif = 12/16 x 100 % =
75%
Nilai duga negatif = 2/4 x 100 % =
50%
Rasio kecenderungan positif = 85,7%/
(4/(4 + 2)) = 1,28
Rasio kecenderungan negatif = (2/(12
+ 2))/33,3% = 0,14/0,33 = 0,42
PEMBAHASAN
Jumlah sampel penelitian seluruhnya
ada 20 pasien, wanita 11 orang (55%)
dan laki-laki 9 orang (45%). Umur teru-
tama pada dekade ke 3 (30%) (tabel 2).
Keluhan utama pada sampel penelitian
(kriteria task force) adalah discharge
purulen (40%), hidung tersumbat (30%)
dan gangguan penghidu (20%) (tabel
3). Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Evans (1994) yang menda-
patkan gejala subyektif meliputi gejala
nasal dan nasofaringeal, faring dan
nyeri wajah. Gejala nasal mencakup
obstruksi hidung, sekresi hidung dan
post nasal drip. Sering gejala terse-
but disertai epistaksis dan gangguan
olfaktorius. Gejala faring berupa rasa
kering di tenggorokan dan gejala nye-
ri wajah disebabkan oleh keadaan va-
kum pada sinus. Proyeksi nyeri pada
Informed consent
Foto polos SPN 3 posisi
Penderita rinosinusitis kronis
Sensitivitas 1. Spesifi sitas 2. Nilai duga positif 3. Nilai duga negatif4. Rasio kecenderungan positif5. Rasio kecenderungan negatif6.
Kriteria inklusi dan eksklusi
CT scan SPN potongan coronal
Sampel Penelitian
Uji Diagnostik
G. Kerangka Penelitian
Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian
Tabel 2. Distribusi umur sampel penelitian
Umur (dalam tahun) Jumlah (%)
< 9 0 (0)
10-19 4 (20)
20-29 6 (30)
30-39 4 (20)
40-49 2 (10)
50-59 4 (20)
>60 0 (0)
Tabel 3. Distribusi gejala sampel penelitian
No. Gejala rinosinusitis Jumlah (%)
1 Discharge purulen 8 (40)
2 Hidung tersumbat 6 (30)
3 Gangguan penghidu 4 (20)
4 Rasa tertekan atau nyeri di sinus 1 (5)
5 Nyeri kepala 1 (5)
6 Fatigue 0 (0)
7 Gangguan tidur 0 (0)
Tabel 4. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifi sitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif foto polos SPN 3 posisi (17)
Foto polos SPN 3 posisi
+ - Total
+ 12 4 16
-
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM
![Page 10: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/10.jpg)
414 | AGUSTUS 2010
sinusitis maksilaris di daerah pipi atau
zigomatik, sedangkan sinusitis etmoi-
dalis menimbulkan nyeri di daerah
sela mata. Untuk sinusitis frontalis nye-
ri terasa di daerah dahi, sedangkan
sinusitis sphenoidalis menimbulkan
nyeri di daerah puncak kepala atau di
oksipital.
Hal tersebut di atas menandakan bah-
wa keluhan utama discharge purulen
hidung pada umur sekitar dekade 3
harus dicurigai sebagai gejala RSK.
Masalahnya adalah untuk membuk-
tikan kecurigaan tersebut. Mahalnya
CT Scan dan tidak adanya fasilitas CT
Scan di beberapa daerah menyebab-
kan masih perlunya foto polos SPN 3
posisi untuk menegakkan diagnosis
RSK, tetapi validitas foto polos di RS
Sardjito belum pernah diteliti, bahkan
di Indonesia.
Hal tersebut membuat kalangan klinisi
ragu dan cenderung merujuk ke pusat
pelayanan medis dengan fasilitas CT
Scan. Hal ini menjadi beban tersendiri,
karena pengobatan bisa dilakukan di
daerah yang tidak memiliki fasilitas CT
Scan. Masalah ini menjadi dasar bagi
peneliti untuk mencari validitas foto
polos SPN 3 posisi dalam menegak-
kan diagnosis RSK.
Penelitian dengan 20 sampel men-
dapatkan sensitivitas sebesar 85,7%
dan spesifi sitas sebesar 33,3%. Hal ini
berarti 85,7% kemungkinan seseorang
benar benar positif RSK jika ditemu-
kan foto polos SPN 3 posisi positif.
Dan 33.3% kemungkinan subyek bu-
kan RSK apabila hasil foto polos SPN
3 posisi ditemukan negatif. Foto polos
SPN 3 posisi bisa dilakukan untuk me-
negakkan diagnosis RSK.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian
Dolor(2001) yang mendapatkan sensitifi -
tas dan spesifi sitas radiologi sinus para-
nasal untuk tiga posisi 90% dan 60%.
Dari 16 sampel pasien dengan CT Scan
positif didapatkan 12 sampel foto po-
los SPN 3 posisi yang juga positif, ini
menandakan bahwa hasil foto polos
SPN 3 posisi mempunyai nilai duga
positif yang tinggi (75%), sehingga
tidak diperlukan foto CT Scan untuk
mendiagnosis RSK. Foto polos SPN 3
posisi layak untuk mendiagnosis RSK
di daerah yang tidak memiliki fasilitas
CT Scan.
SIMPULAN
Foto polos SPN 3 posisi valid untuk
mendiagnosis rinosinusitis kronis den-
gan sensitivitas 85,7% dan spesifi sitas
33,3%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: defi nitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl)
2003;129S: S1-S32.
2. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies: Buku Ajar penyakit THT. Effendi H (terj.ed.) 6th ed. EGC, Jakarta. 1997.
3. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In: Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. 1998.Lippincott-Raven, New York ; p: 413-
21.
4. Rohr AS. Sinusitis: pathophysiology, diagnosis, and management. J Immunol Allergy Clin North Am 1987;7:383-91
5. Evans KL. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis. BMJ 1994;309:1415-22.
6. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-Raven,
New York, 1998. p: 441-55.
7. Zeinreich SJ. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otol. Rhinol. Laryngol 2004.; 133: 19-23.
8. Sucipto D. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 1995.. 179-189.
9. Khun FA. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2004.; 113: 10-14.
10. Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. Cerebral and spinal computerized tomography. Schering AG, West Germany. 1989.
11. Toshiba’s Medical Electronic. The statement of ROI. In Manual of Toshiba’s CT scan. Serial number 27345-Tosh-201. 1995.
12. Awaida JPS, Woods SE, Doerzbacher M, Gonzales Y, Miller TJ. Four cut sinus computed tomographic scanning in screening for sinus disease. Southern Medical
J 2004; 97: 18-20.
13. Goodman GM, Martin DS, Klein J. Comparison of a screening coronal CT versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive sinusitis.
Am Allerg. Asthma Immunol 1995.; 74: 178-182.
14. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1994; 94:
1-11.
15. Dolor RJ, Williams JW. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM 2001.; 9:
463-477.
16. Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinical Research. Williams and Wilkins, Baltimore. 1998.
17. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology : The Essential, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore, USA 1988:58-04.
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM
![Page 11: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/11.jpg)
415| AGUSTUS 2010
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) di In-
donesia menduduki urutan pertama
keganasan kepala-leher dan urutan
ke-empat setelah keganasan serviks,
payudara dan kulit Insiden tumor ini
meningkat pada akhir dekade ke dua
dan mencapai puncak pada umur 40-
50 tahun dengan perbandingan pria
dan wanita 2 : 1 sampai 4:1.1,2
Menurut Survai Departemen Kes-
ehatan 1987, angka prevalensi KNF
di Indonesia adalah 4,7 per 100,000
penduduk per tahun. Di bagian THT
RSCM, KNF menempati urutan per-
tama dari seluruh tumor ganas kepala-
leher, dan hampir setengahnya pen-
derita baru 3 Di RSUP H. Adam Malik
Medan ditemukan 130 penderita KNF
dari 1370 kasus baru tumor kepala dan
leher dari tahun 1998-2002.4
Tumor ganas ini dapat mengenai se-
mua golongan usia dan berpotensi
menyebar cepat ke jaringan sekitar
dan bermetastasis jauh. Biasanya pen-
derita datang berobat setelah menca-
pai stadium lanjut, dengan gejala pe-
nyebaran berupa pembesaran kelenjar
getah bening di leher dan kelainan
saraf kranial3’4
Kelainan saraf kranial berhubungan
dengan perluasan tumor ke jaringan
sekitar dan invasi tumor yang menga-
kibatkan erosi dasar tengkorak.5 Well
(1963) menemukan adanya erosi pada
tulang tengkorak mummi dari Mesir
yang diduga disebabkan oleh KNF.6
Di Indonesia perluasan tumor ke arah
atas lebih sering ditemukan, terbanyak
mengenai saraf kranial VI.7 Muyassaroh
menemukan proporsi kelainan saraf
kranial sebesar 27,7 % dari 141 kasus
KNF dan yang terbanyak adalah saraf
kranial VI, 8 Furukawa menemukan ke-
lainan saraf kranial akibat perluasan
tumor sebanyak 18%.4 Tumor yang
meluas ke posterior dapat menyebab-
kan kelainan saraf hipoglosus. Chong
menemukan kelainan saraf hipoglosus
75% dari 16 pasien KNF.9 Sham men-
emukan erosi tulang tengkorak 31,3%
dari 262 kasus KNF yang ditelitinya.10
Di RSUP H. Adam Malik Medan belum
ada data mengenai kelainan saraf kra-
nial dan erosi dasar tengkorak pada
penderita karsinoma nasofaring. Pe-
nelitian ini bertujuan untuk mengeta-
hui erosi dasar tengkorak dan kelainan
saraf kranial pada penderita KNF.
BAHAN DAN CARA
Penelitian dilakukan secara deskriptif
analitik dengan metode cross sectio-
nal. Populasi penelitian adalah semua
penderita yang dicurigai menderita
karsinoma nasofaring berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan THT-KL
Sampel penelitian adalah semua pop-
ulasi yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
- Kriteria Inklusi:
Penderita KNF yang diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan hasil peme-
riksaan histopatologis tumor di naso-
faring.
- Kriteria Eksklusi:
Penderita dengan kelainan saraf kra-
nial yang tidak disebabkan oleh KNF
seperti stroke, tumor kepala leher
selain karsinoma nasofaring, trauma
kepala dan penyakit infeksi telinga.
Besar sampel ditentukan berdasarkan
jumlah kasus yang didapat selama
rentang waktu penelitian mulai dari
Januari 2004 sampai Desember 2004.
Tempat penelitian di Bagian Ilmu Pe-
nyakit THT-KL FK USU / RSUP H. Adam
Malik Medan.
Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranialpada Penderita Karsinoma Nasofaring
di RS. H. Adam Malik MedanDelfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam, Chairul Abdi
Bagian Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Medan
ABSTRAK
Erosi dasar tengkorak dan kelainan saraf kranial merupakan komplikasi karsinoma nasofaring (KNF). Komplikasi ini dapat
disebabkan oleh tumor primer atau metastasis.
Pada 37 penderita KNF.di RS H Adam Malik, Medan selama tahun 2004 dijumpai 27% dengan erosi dasar tengkorak dan
59,5% dengan kelainan saraf kranial, terutama n. VI.
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 415CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 415 7/23/2010 10:33:03 PM7/23/2010 10:33:03 PM
![Page 12: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/12.jpg)
417| AGUSTUS 2010
Responden yang memenuhi kriteria
inklusi dicatat semua data yang dibu-
tuhkan sesuai dengan kuesioner yang
telah disiapkan. Kemudian dilakukan
pemeriksaan radiologi untuk meneliti
adanya erosi dasar tengkorak akibat
KNF ; selanjutnya penderita dikon-
sultasikan ke bagian Neurologi untuk
mengetahui adanya kelainan saraf kra-
nial yang disebabkan oleh KNF.
Data disusun dalam bentuk tabel dan
dianalisis secara statistik dengan pro-
gram Window SPSS versi 10,1.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi erosi dasar tengkorak pasien
KNF.
Jumlah %
Tabel 2. Distribusi kasus Kelainan Saraf Kranial
pasien KNF
Jumlah %
Tabel 3. Distribusi kelainan saraf kranial pasien
KNF
Lesi saraf kranial Jumlah %
I 2 5,4
II 4 10,8
III 15 40,5
IV 13 35,1
V 15 40,5
VI 18 48,6
VII 9 24,3
VIII 4 10,8
IX 14 37,8
X 14 37,8
XI 1 2;7
XII 11 29,7
Kelainan saraf kranial yang terbanyak
dijumpai akibat KNF adalah saraf VI
(18 - 48,6 % ).
Tabel 4. Hubungan Erosi Dasar Tengkorak dengan-
Kelainan Saraf kranial pada pasien KNF
Erosi dasar tengkorak
- + Total
Kelainan - 15 - 15
Tabel 5. Distribusi kelompok umur pasien KNF
Umur Jumlah %
20-29 3 8,1
30-39 4 10,8
40-49 13 35,1
50-59 12 32,4
60-69 2 5,4
70-79 3 8,1
Total 37
Tabel 6. Distribusi jenis kelamin pasien KNF
Jumlah %
Pria Wanita
29 8
78,4 21,6
Jumlah 37 100
Tabel 7. Distribusi suku pasien KNF
Jumlah %
Batak 17 45,9
Jawa 9 24,3
Aceh 7 18,9
Minang 2 5,4
Melayu 1 2,7
Nias 1 2,7
Jumlah 37
Penderita KNF terbanyak pada go-
longan umur 40 -49 tahun (35,1 % ).
Termuda 20 tahun dan paling tua 78
tahun, Perbandingan pria dan wanita
adalah 3,63 : 1, sedangkan suku bang-
sa penderita KNF yang terbanyak ada-
lah suku Batak (49,5 %),
Tabel 8. Distribusi jenis histopatologis tumor
Histipatotogis Jumlah %
Undifferentiated Ca 17 45,9
Non Keratinizing Ca 16 43,2
Keratinizing Squamous Ca 4 10,8
Jumlah 37
Tabel 9. Distribusi stadium tumor
Stadium Jumlah %
Stadium 1 2,7
Stadium III 25 67,6
Stadium IV 11 29,7
Total 37
Jenis histopatologis yang terbanyak
adalah tipe III yaitu Undifferentiated
Carcinoma (45,9 %) dan stadium tu-
mor yang terbanyak dijumpai adalah
stadium III (67,6 %).
PEMBAHASAN
Erosi dasar tengkorak akibat tumor
didapatkan pada 10 (27 %) dari 37 ka-
sus (tabel 1). Effendi menjumpai erosi
dasar tengkorak akibat KNF (Karsino-
ma Nasofaring) pada 19 kasus (47,50
%) dari 40 penderita KNF.6 Godtfred-
sen menjumpai erosi dasar tengkorak
20% dari 454 kasus KNF.5 Sedangkan
Roh menjumpai 38,6% dari 119 pasien
KNF yang ditelitinya.11
Pada penelitian ini didapatkan 22 (59,5
%) kasus KNF dengan kelainan saraf
kranial, yang terbanyak adalah saraf
kranial VI (48,6 %). Pada penelitian Ef-
fendi atas 40 kasus KNF di RS. Dr. Pirn-
gadi Medan ditemukan 31 kasus (77,5
%) dengan kelainan saraf kranial, yang
terbanyak adalah saraf V (51, 61 %).6
Muyassaroh di Semarang menemukan
kelainan saraf kranial terbanyak adalah
saraf VI (92,3 %).8 Dari data beberapa
pusat pendidikan dokter di Indonesia,
15 - 30 % penderita KNF mengalami
kelainan saraf kranial; terbanyak pada
saraf VI. Sedangkan di luar negeri ke-
lainan saraf kranial tercatat lebih tinggi
yaitu 40 - 50 %, dan yang terbanyak
adalah saraf V.9,10,11 Ilhan dalam peneliti-
annya menjumpai kelainan saraf krani-
al pada 16% dari 166 kasus KNF ; 57,2%
adalah kelainan saraf kranial VI.12
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 417CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 417 7/23/2010 10:33:03 PM7/23/2010 10:33:03 PM
![Page 13: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/13.jpg)
418 | AGUSTUS 2010
Terdapat hubungan yang bermakna
antara 22 kasus kelainan saraf kranial
dengan 10 kasus yang mengalami
erosi dasar tengkorak (p < 0.05). (tabel
4). Hal ini berbeda dengan penelitian
Effendi (1984)6 yang tidak menemukan
hubungan antara erosi dasar tengko-
rak dengan kelainan saraf kranial pada
penderita KNF. Menurut Godtfredsen
yang dikutip dari Zaman (1977)5, leb-
ih dari separah gejala kelainan saraf
kranial penderita KNF yang diteliti
menunjukkan adanya erosi dasar teng-
korak.
Pada penelitian ini didapatkan 37
orang penderita KNF ; 29 orang pria
dan 8 orang wanita, Umur termuda
adalah 20 tahun dan tertua 78 tahun;
35,1 %. pada kelompok umur 40 - 49
tahun (tabel 5) ; sama dengan peneli-
tian Gosal (1977)12 di Ujung Pandang.
Sedangkan Roezin di Jakarta (1977)13
mendapatkan 28,1 %, Zainuddin di
Padang (1977)14 38,6 % dan Lutan 35,8
% di Medan (1986). l° Dari data terse-
but dapat disimpulkan bahwa insiden
KNF tertinggi adalah pada dekade ke-
empat
Perbandingan pria dan wanita adalah
3,63 : 1 (tabel 6). Lutan (2003)4 menda-
patkan perbandingan pria dan wanita
3:1, Susilo (1995)16 di Semarang 2 : 1,
dan Yong-sheng (1983)17 di Guang-
dong 2,21 : 1.
Suku bangsa yang terbanyak men-
derita KNF adalah suku Batak (45,9
%).(tabel 7) Demikian juga dengan
penelitian Lutan (1986)10 mendapat-
kan suku Batak 50 %. Kalangan suku
bangsa Cina Selatan, baik yang bera-
da di negara Cina maupun yang men-
jadi imigran di penjuru dunia memiliki
angka kejadian KNF tertinggi diband-
ing suku-suku lainnya,19,20
Hal ini mungkin karena suku Batak
merapakan etnis terbanyak di Sumat-
era Utara, dan RSUP H. Adam Malik
Medan tempat penelitian ini dilakukan
tidak menggambarkan kunjungan ber-
obat dari seluruh suku-suku yang ada
di kota Medan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hulu O. Karsinoma nasofaring pada pada
anak. Kumpulan Naskah Konas XII Perhati
1999; 25-32.
2. Hadi W. Aspek klinis dan histopatologi karsi-
noma nasofaring (Tinjauan 29 kasus). Kumpu-
lan Naskah Konas XII Perhati 1999; 1001-7
3. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring, Dalam:
Tumor Telinga Hidung Tenggorok diagnosis &
penatalaksanaan FK-UI. Jakarta 1989; 71-82.
4. Lutan R. Diagnosis dan penatalaksanaan karsi-
noma nasofaring. Kumpulan Naskah KONAS
XIII PERHATI 2003; 16.
5. Zaman M. Karsinoma nasofaring. Paralisis ner-
vus abducen yang bilateral dengan destruksi
os sphenoidale. Kumpulan Naskah Konas Per-
hati V 1977; 539-44
6. Effendi S. Tumar ganas nasofaring dengan ke-
lainan neurologi dan kerusakan dasar tengko-
rak di RS Dr. Pirngadi Medan. Tesis. 1984.
7. Soeleiman S. Hubungan Gambaran makrosko-
pis karsinoma nasofaring pada pemeriksaan
nasofaringoskopi dengan histopatologis. Tesis
1999.
8. Muyassaroh. Kelainan neurologi pada karsi-
noma nasofaring di SMF THT RSUP Dr. Ka-
riadi Semarang tahun 1996 - 1998. Kumpulan
Naskah Konas Perhati XII1999; 1132-9
9, Chong VF, Fan YF. Hypoglossal nerve palsy in
nasopharyngeal carcinoma. Eur Radiol 1998;
8(6): 939-45
10. Sham JS, Cheng YK, Choy D, Chan FL, Leong
L. Cranial nerve involvement and base of skull
erosion in NPC. Cancer 1991; 68(2): 422-6
11. Roh JL, Sung MW, Kim KH, Chi BY, Oh SH,
Rhee CS. Nasopharyngeal carcinoma with
skull base invasion: a necessity of staging sudi-
vision. Am J Otolaryngol 2004; 25(l):26-32
12. Ilhan O, Sener EC, Ozyar E. Outcome of ab-
ducens nerve paralysis in patiens with na-
sopharyngeal carcinoma. Eur J Ophthalmol
2002; 12(1): 55-9 13. 13. Siregar P. Manifestasi
neurologi karsinoma nasofaring. Kumpulan
Naskah Konas Perhati V 1977; 545 - 51
14. Lutan R, Efendi Ss Aboet A . Kerusakan pada
dasar tengkorak suspek oleh karena infi ltrasi
dari karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah
Konas VIII Perhati 1986; 117-121
15. Bambang SS. Diagnostik klinik kanker nasofar-
ing. Kumpulan Naskah Seminar Kanker Naso-
faring. Yayasan Kanker Wilayah Jawa Tengah.
1998; 17- 42.
16. Gosal. Insidens minimum tumor ganas naso-
faring di Ujung Pandang. Kumpulan Naskah
Konas V Perhati 1977; 565 - 571.
17. Roezin A. Gejala telinga pada karsinoma na-
sofaring. Kumpulan Naskah Konas V. Perhati
1977; 588-593.
18. Zainuddin MZ. Frekuensi tumor ganas naso-
faring di Sumatera Barat Kumpulan Naskah
Ilmiah Konas V Perhati 1977; 599 - 605
19. Susilo N, Wiratno. Karsinoma nasofaring di
SMF THT RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun
1990-1994. Kumpulan Naskah Konas X Perhati
1995; 1229 - 37.
20. Yong-Seng Z. Histopathologic types and
incidence of malignant nasopharyngeal tu-
mors in Zhongshan Country. Chinese Med. J.
1983; 96 (7): 511-6
21. Willard E, Fee Jr. Nasopharynx. Dalam: JP
Shah. ed Essential of Head and Neck Oncol-
ogy. Thieme: New York 1998; 205-10
22. Mulyarjo. Diagnosis dan penatalaksanaan
karsinoma nasofaring, Disampaikan pada Pen-
didikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Pe-
nyakit THT-KL 2002.
23. Pathmanathan. Pathology in: Nasopharynge-
al carcinoma. 3th ed. Amour Publ., 1999. 6-12
Pada penelitian ini didapatkan jenis
histopatologis terbanyak adalah Un-
differentiated Ca (45,9 %). (tabel 8). Hal
ini sama dengan yang didapatkan oleh
Lutan (1986)10 - 57,50 %, Susilo (1995)16
- 55,47 %, dan Yong-sheng (1983)17 di
Guangdong sebanyak 93,13 %. Pada
penelitian ini dijumpai jenis nonkera-
tinizing Ca sebanyak 16 kasus (43,2%).
Jumlah ini lebih banyak bila diband-
ingkan dengan di Taiwan (15%).21
Stadium tumor terbanyak pada pe-
nelitian ini adalah stadium III (67,6 %),
dan hanya 1 kasus stadium II. (tabel 8).
Sesuai dengan Soeleiman (1999)7 di
Medan yang mendapatkan 70 % kasus
adalah stadium III. Hal ini menunjuk-
kan bahwa sebagian besar penderita
KNF baru terdeteksi pada saat penya-
kitnya sudah lanjut
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 418CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 418 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM
![Page 14: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/14.jpg)
419| AGUSTUS 2010
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan masalah me-
dis dan masalah sosial karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup pende-
rita baik sekolah, kerja, aktivitas harian
dan kenyamanan. Polip nasi merupa-
kan mukosa yang mengalami infl amasi
dan menimbulkan prolaps mukosa di
dalam rongga hidung; dapat dilihat
melalui pemeriksaan rinoskopi de-
ngan atau tanpa bantuan endoskop.
Prevalensi penderita polip nasi be-
lum diketahui pasti karena hanya
sedikit laporan hasil studi epidemiolo-
gi serta tergantung pada pemilih-
an populasi penelitian dan metoda
diagnostik yang digunakan. Di Ame-
rika Serikat diperkirakan prevalensi
penderita polip nasi antara 1-4 % se-
dangkan di Eropa dilaporkan sekitar
1-2 % pada dewasa. Pada anak-anak
sangat jarang ditemukan dan dilapor-
kan hanya sekitar 0,1%.1-6
Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri
Herawati (dikutip dari Nurmusa, 1980)
melaporkan penderita polip nasi se-
besar 4.63% dari semua pengunjung
poliklinik THT RS.Dr.Sutomo Surabaya.
Rasio pria dan wanita 2-4 : 1.
Keluhan dan gejala utama yang me-
nonjol dari polip nasi adalah obstruksi
nasi, sehingga sering gejala- gejala
lain terabaikan (overlooked); salah
satu di antaranya adalah gangguan
telinga berupa gangguan fungsi ven-
tilasi dan drainase telinga tengah; pa-
dahal dampaknya berupa rasa tidak
nyaman dapat mengganggu quality of
life penderitanya. Gangguan ini akan
memerlukan penanganan khusus se-
perti parasentesis dan pemasangan
ventilation tube (Grommet / Shepard).
Keluhan akibat gangguan fungsi venti-
lasi dan drainase telinga tengah dapat
dideteksi dengan beberapa pemerik-
saan antara lain Audiometri Nada
Murni (PTA) dan Timpanometri.
Hasil pemeriksaan timpanome-
tri (Audiometri Impedans) menggam-
barkan fungsi ventilasi dan drainase
telinga tengah serta mobilitas mem-
bran timpani. Akibat sumbatan di tuba
Eustachius, tekanan udara dalam tel-
inga tengah akan menurun/berkurang
dibandingkan dengan tekanan udara
luar, sehingga didapatkan hasil timpa-
nogram tipe C. Jika ada cairan efusi
dalam rongga telinga tengah akan
menghasilkan timpanogram tipe B.
Gangguan fungsi ventilasi dan drai-
nase telinga tengah pada penderita
HASIL PENELITIAN
Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah
berdasarkan Gambaran Timpanogram
Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo,
R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin /
RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara stadium polip nasi terhadap fungsi telinga tengah berdasarkan peme-
riksaan timpanometri menggunakan Audiometri Impedans tipe AA222.
Subyek dan kerja : Penelitian cross sectional dengan 43 sampel pada 26 pasien polip nasi dari berbagai stadia
yang berobat di RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Dilakukan prosedur pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau
rinoskopi posterior serta nasoendoskopi untuk menetapkan stadium polip nasi, dilanjutkan pemeriksaan audiometri
impedans untuk melihat berbagai tipe timpanogram.
Hasil : Terdapat hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan gambaran timpanogram (p>0.05), ada
hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah dan secara
berurutan pada uji asosiasi linier (p>0,05)
Simpulan : Walaupun terdapat hubungan yang tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi telinga tengah,
komplikasi ini tidak boleh diabaikan.
Kata kunci : Polip nasi, Fungsi Ventilasi dan Drainase telinga tengah, Timpanometri.
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 419CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 419 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM
![Page 15: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/15.jpg)
421| AGUSTUS 2010
polip nasi serta gambaran timpano-
gramnya telah dilaporkan oleh P.J.
Hadfi eld, dkk (1999 ), dari 211 pen-
derita kistik fi brosis didapatkan 37%
polip nasi; 193 penderita di antaranya
menjalani pemeriksaan timpanometri,
dan ditemukan otitis media efusi pada
7 penderita ( 3,6 % ). 7
Tujuan Penelitian:
Umum : untuk mengetahui dampak
stadium polip nasi terhadap gang-
guan fungsi ventilasi dan drainase tel-
inga tengah berdasarkan gambaran
timpanogram.
Khusus : untuk mengevaluasi gambar-
an tipe timpanogram pada berbagai
stadium polip nasi serta untuk menge-
tahui besaran dampak stadium po-
lip nasi terhadap fungsi ventilasi dan
drainase telinga tengah berdasar-
kan gambaran timpanogram.
Bahan dan Cara Kerja
Rancangan penelitian ini adalah cross
sectional study; populasi adalah se-
mua penderita polip nasi yang bero-
bat ke RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Kriteria penerimaan : Penderita polip
nasi (termasuk polip nasi residif), pen-
derita polip nasi dengan atau tanpa
rinitis alergi (alergi ringan-sedang se-
suai kriteria ARIA-WHO 2001), berse-
dia ikut dalam penelitian, membran
timpani utuh dan berusia minimal 15
tahun.
Kriteria penolakan : penderita infek-
si saluran nafas atas dalam 2 minggu
sebelumnya, penderita yang secara
klinis menderita alergi berat menurut
kriteria ARIA-WHO 2001, penderita
hipertrofi adenoid/ adenoid persisten,
penderita tumor sinonasal, karsinoma
nasofaring, deviasi septi yang berat.
Pada semua sampel penelitian dilaku-
kan anamnesis, pemeriksaan otoskopi
serta pemeriksaan fi sis THT lainnya.
Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk
mencari adanya serumen yang dapat
mengganggu hasil pemeriksaan, un-
tuk menentukan ukuran dan bentuk
ujung probe ( probe tip ) yang akan
digunakan serta untuk menilai ada
tidaknya perforasi atau ruptur mem-
bran timpani.
Persiapan. Sebelum timpanometri
dilakukan anamnesis dan pemerik-
saan otoskopi serta pemeriksaan fi sis
THT lainnya. Pemeriksaan rinoskopi
anterior / rinoskopi posterior dan na-
sofaringoendoskopi terlebih dahulu
dilakukan untuk menetapkan stadium
polip nasi saat pengambilan sampel
penelitian.
Teknik Pemeriksaan
Probe dipasangi tip yang sesuai, ke-
mudian dimasukkan ke liang telinga
sedemikian rupa sampai liang telinga
tertutup rapat. Selanjutnya pada alat
timpanometer ditekan tanda yang
bertulis timpanometri, jika pada
probe terlihat lampu hijau menanda-
kan tidak ada kebocoran; gambaran
timpanogram akan terlihat di layar
(monitor ).
HASIL DAN DISKUSI
Didapat 43 sampel dari 26 penderita
polip nasi yang datang ke poliklinik
RS.Wahidin Sudirohusodo dalam ku-
run waktu 4 bulan ( Juli sampai Okto-
ber 2006 ); terbanyak di kelompok
umur 20-29 tahun (32,7%), dengan
rerata umur adalah 34,39 tahun (tabel
1).
Manifestasi polip nasi biasanya sete-
lah usia 20 tahun. Pada penelitian ini
sampel dibatasi pada usia 15 tahun
ke atas untuk menyingkirkan kemung-
kinan hipertrofi adenoid; selain itu
fungsi ventilasi tuba Eustachius pada
anak–anak kurang efektif dibanding-
kan orang dewasa. Tuba Eustachius
anak-anak lebih pendek dan lebih
lebar serta posisinya lebih horizontal
dibanding orang dewasa sehingga
infeksi saluran nafas berulang dan
pembesaran adenoid akan memu-
dahkan infeksi telinga tengah pada
anak-anak. Adanya hipertrofi adenoid
persisten disingkirkan dengan pemer-
iksaan nasofaringoendoskopi.
Tabel 1. Distribusi menurut kelompok umur
Kelompok Umur (tahun) Frekuensi %
10-19 9 20.9
20-29 14 32.7
30-39 6 14.0
40-49 3 6.9
50-59 4 9.2
60-69 7 16.3
Total 43 100
Grafi k 1. Distribusi menurut kelompok umur
Distribusi menurut stadium polip
nasi
Tabel 2. Distribusi menurut stadium polip nasi
Stadium Polip Nasi Frekuensi %
Stadium 1 2 4.6
Stadium 2 7 16.3
Stadium 3 34 79.1
Total 43 100
Grafi k 2. Distribusi menurut stadium polip nasi
Dari 43 sampel, stadium 3 paling ba-
nyak ditemukan (79.1%) (Tabel 2). Hal
ini mungkin karena meningkatnya sta-
dium polip nasi menyebabkan keluhan
obstruksi makin berat; dan mendorong
penderita berobat. Stadium 1 jarang
ditemukan karena sering diabaikan,
dianggap hanya penyakit rinitis akut
yang akan sembuh sendiri. Di kepusta-
kaan, peneliti tidak mendapatkan data
prevalensi masing-masing stadium
polip nasi.
0
5
10
15
Kelompok Umur
2
7
34
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Frekuensi
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 421CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 421 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM
![Page 16: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/16.jpg)
422 | AGUSTUS 2010
Distrubusi menurut stadium polip
nasi dan tipe timpanogram
Tabel 3 menunjukkan pola tipe tim-
panogram pada penderita polip nasi.
Tipe timpanogram A didapatkan pada
29 sampel (67.7%), tipe timpanogram
As pada 3 sampel (6.9%), tipe timpa-
nogram Ad pada 2 sampel (4.6%), tipe
timpanogram B pada 3 sampel (6.9%)
dan tipe timpanogram C pada 6 sam-
pel (14.0%) .
Pola ini menunjukkan bahwa dari 43
sampel yang diteliti, 34 sampel (79.1%)
dengan fungsi ventilasi dan drainase
telinga tengah normal (tipe timpano-
gram A, As dan Ad), 9 sampel (20.9%)
dengan gangguan fungsi ventilasi te-
linga tengah ( tipe timpanogram B
dan C ), 3 sampel (6.9%) dengan gang-
guan fungsi drainase telinga tengah (
tipe timpanogram B ).
Didapatkan hubungan yang tidak ber-
makna antara stadium polip nasi dan
fungsi ventilasi telinga tengah (p>0,05).
Pada uji asosiasi linier (Linear-by-linear
Association) ditemukan hubungan
tidak bermakna antara stadium polip
nasi dan tipe timpanogram (p>0,05)
Polip nasi dengan fungsi ventilasi teli-
nga tengah normal didapatkan pada
34 sampel (79.1%) (Tabel 4), Pada
seluruh sampel polip nasi stadium 1
(2 - 4.6%) didapatkan fungsi ventilasi
telinga tengah normal. Pada 7 pen-
derita polip nasi stadium 2 hanya 1
sampel yang terganggu fungsi venti-
lasi telinga tengahnya. Penderita po-
lip nasi stadium 3, 34 orang (79.1%),
8 di antaranya mengalami gangguan
fungsi ventilasi telinga tengah, den-
gan perbedaan yang cukup tinggi ( >
10% ). Artinya ada trend linear, makin
tinggi stadium polip nasi, makin besar
kemungkinan mengalami gangguan
fungsi ventilasi telinga tengah; tetapi
pada asosiasi linier (Linear-by-linear
Association) ditemukan hubungan
tidak bermakna antara stadium polip
nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah
(p>0,05) ; hal ini mungkin karena tidak
memperhitungkan sumber dan lokasi
polip, bisa berasal dari sinus ethmoid
20 0 0 0
6
0 0 1 0
21
3 2 2
6
0
5
10
15
20
25ju
mla
h
1 2 3
Stadium Polip Nasi
Tipe A
Tipe As
Tipe Ad
Tipe B
Tipe C
20
6
1
26
8
0
5
10
15
20
25
30
Jum
lah
1 2 3
Stadium Polip Nasi
Fungsi Ventilasi Telinga tengah NormalFungsi Ventilasi Telinga tengah Abnormal
Grafi k 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram
Tabel 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram
Stadium Polip Nasi
Tipe Timpanogram
Tipe ATipe As
Tipe Ad Tipe B Tipe C
n % n % n % n % n %
Tabel 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah
Stadium Polip
Nasi
Fungsi Ventilasi TelingaTengah Total
Normal
(-100 daPa s/d +100 daPa)
Abnormal
(< -100 daPa )
n % n % n %
1 2 4.6 0 0 2 4.6
2 6 14.0 1 2.3 7 16.3
3 26 60.5 8 18.6 34 79.1
Grafi k 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 422CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 422 7/26/2010 5:31:17 PM7/26/2010 5:31:17 PM
![Page 17: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/17.jpg)
423| AGUSTUS 2010
atau dari sinus maksillaris yang meluas
ke koana. Gangguan fungsi ventilasi
telinga tengah pada sampel mungkin
disebabkan polip nasi yang meluas ke
arah nasofaring dan menyumbat lang-
sung ostium tuba Eustachius. Alasan
lain, karena selama penelitian hanya
dilakukan satu kali pengamatan.
Distribusi menurut stadium polip
nasi dan fungsi ventilasi telinga
tengah.
Tabel 5 menunjukkan 40 ( 93.1%) pen-
derita polip nasi dengan fungsi draina-
se telinga tengah normal dan 3 (6.9%)
penderita dengan fungsi drainase te-
linga tengah abnormal, 2 pada sam-
pel polip nasi stadium 3 dibanding
1 pada sampel polip nasi stadium 2.
Perubahan ini tidak sejalan dengan
gangguan fungsi ventilasi telinga
tengahnya. Ini menunjukkan bahwa
yang terganggu lebih dahulu adalah
fungsi ventilasi baru kemudian fungsi
drainase telinga tengah.
Adanya trend linear seharusnya dii-
kuti hubungan linier, tetapi pada aso-
siasi linier (Linear-by-linear Associa-
tion) terdapat hubungan yang tidak
bermakna antara stadium polip nasi
dan fungsi drainase telinga tengah
(p>0,05).
2. Mackay IS, Naclerio RM. Guidelines for the
management of Nasal Polyposis, In : Mygind
N, Lidholdt T(eds.) Nasal Polyposis, An Infl am-
matory disease and its treatment. Copenha-
gen : Munksgaard,1997 : 177-80
3. Drakee-Lee A B, Nasal Polyps, In : Kerr AG (ed).
Rhinology, Scott-Brown’s Otolaryngology,6th
ed,Vol.4,Oxford : Reed Educational and Pro-
fessional Publ. Ltd,1997,4/10/1-6
4. Van der Baan B. Epidemiology and Natural His-
tory, In : Mygind N, Lidholdt T eds, Nasal Poly-
posis, An Infl ammatory disease and its treat-
ment, Copenhagen, Munksgraad, 1997 : 13-6
5. Archer S M. Nasal Polyps, Non Surgical Treat-
ment. . accessed 2002: 1-11
6. Vento S. Nasal Polypoid Rhinosinusitis- Clinical
Course and Etiological Investigations, Depart-
ment of Otorhinolaryngology- Head and Neck
Surgery, University of Helsinki, Finland, Haart-
maninkatu 4E, Helsinki, On May 4th, 2001,13-33.
7. Hadfi eld P J. Prevalence of nasal polyps in
adults with cystic fi brosis, In Clinical Otolaryn-
gology, Blackwell Science Ltd 2000,25 : 19-22
8. Meek RB, Middle Ear, Eustachian Tube, Infl a-
mation/Infection,ed. Goldsmith AJ, accessed
March 22,2006
9. Kuppersmith RB. Eustachian Tube Function
and Dysfunction, Baylor College of Medicine.
www// Wikipedia.com,accessed July 11,1996.
10. Bess FH. Tympanometry in Just Second. ac-
cessed July 13, 2006
11. Snow JB, Ballenger JJ. Tympanometry, Diag-
nostic Audiology and hearing aid. In: Otorhi-
nolaryngology Head and Neck Surgery, 15th
ed. Ballenger JJ (ed.) Williams & Wilkins, Lon-
don 1996 :957
12. R.Sedjawidada. Bahan-bahan yang perlu dibi-
carakan dalam lokakarya Audiologi. Himpu-
nan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung Pan-
dang, Bagian THT FIIK UNHAS, 1978 :3
13. Mappangara B. Impedance Audiometry. Him-
punan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung
Pandang, Bagian THT FIIK UNHAS,1978 :59-85
14. Margaretha. Nilai Audiometri Impedans pada
Evaluasi Gangguan Fungsi Pendengaran,
Karya Akhir dalam Penyelesaian Pendidikan
Spesialis I, THT,1986
15. Operation Manual. The AA222 Tympanometer
and Audiometer, Audio Traveller AA222, Valid
from serial no. 128998 and software version
1.09116, 65416-vers 05/2005
16. Nur Musa M. Lokasi Pangkal Pertumbuhan Po-
lip Hidung dan Sinus. Paranasalis pada orang
dewasa.Karya Akhir dalam penyelesaian Pen-
didikan Dokter Spesialis I THT-KL 1993
0 1 2
26
32
0
10
20
30
40
Ju
mla
h
1 2 3
Stadium Polip Nasi
Fungsi Drainase
Normal
Fungsi Drainase
Abnormal
Tabel 5. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi drainase telinga tengah
Stadium Polip Nasi
Fungsi Drainase Telinga Tengah
TotalNormal(0.2 -2.5 ml)
Abnormal(<0.2ml atau >2.5 ml)
n % n % n %
Grafi k 5. Distribusi menurut
stadium polip nasi dan fungsi
drainase telinga tengah
SIMPULAN
a. Didapatkan pola distribusi tipe
timpanogram pada penderita po-
lip nasi .
b. Didapatkan hubungan tidak ber-
makna antara stadium polip nasi
dengan tipe timpanogram, fungsi
ventilasi dan drainase telinga
tengah.
SARAN
1. Walaupun hubungan antara sta-
dium polip nasi dengan fungsi
ventilasi, fungsi drainase dan tipe
timpanogram telinga tengah tidak
bermakna, dampak polip nasi ter-
hadap telinga tengah tidak dapat
diabaikan.
2. Agar hasil penelitian ini dapat
menjadi data awal hubungan
antara polip nasi dengan fungsi
ventilasi, fungsi drainase dan tipe
timpanogram, diperlukan peneli-
tian lanjutan menggunakan sam-
pel yang lebih besar, penelitian
eksperimental pada binatang atau
penelitian dengan melihat sumber
polip pada manusia.
KEPUSTAKAAN
1. Arfandy RB. Pola penanganan polip hidung.
Simposium Penanganan Alergi dan Polip Hi-
dung, Makassar : Perhati-KL Cabang Sulselra
2001 : 1-7
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 423CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 423 7/23/2010 10:33:06 PM7/23/2010 10:33:06 PM
![Page 18: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/18.jpg)
425| AGUSTUS 2010
HASIL PENELITIAN
LATAR BELAKANG
Otitis media supuratif kronik (OMSK)
adalah radang kronik telinga tengah
dengan perforasi membran timpani
dan riwayat keluarnya sekret dari tel-
inga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik
terus menerus atau hilang timbul.1
OMSK juga merupakan peradangan
akibat infeksi mukoperiosteum kavitas
timpani yang ditandai oleh perforasi
membran timpani dengan sekret yang
keluar terus menerus atau hilang tim-
bul selama lebih dari 3 bulan dan dap-
at menyebabkan perubahan patologik
yang permanen.2 Ada juga yang
memberi batas waktu 6 minggu untuk
terjadinya awal proses kronisitas pada
OMSK.3 Sekret yang keluar mungkin
serosa, mukus atau purulen.1,2,3,4
OMSK secara klasik dapat dibagi men-
jadi 2 golongan, yaitu otitis media su-
puratif kronik tipe benigna (OMSKB)
atau tipe tubotimpanum atau tipe safe
dan tipe maligna, atau tipe atikoan-
tral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi
menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe
inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat
pemeriksaan kavum timpani kering
setelah mendapat pengobatan, tetapi
sebelumnya ada riwayat otore yang
hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada
riwayat otore di masa lalu dan saat pe-
meriksaan kavum timpani kering tan-
pa kemungkinan kekambuhan dalam
waktu dekat. Pada otitis media supu-
ratif tipe benigna proses infeksi hanya
terbatas pada mukosa telinga tengah
saja dan yang terkena adalah mesot-
impanun dan hipotimpanum serta
tuba auditoria. Tipe ini jarang menim-
bulkan komplikasi yang berbahaya.5
Prevalensi OMSKB di negara berkem-
bang berkisar antara 5 – 10% , se-
dangkan di negara maju 0,5 – 2%.6
Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk
Indonesia menderita OMSKB.7 Survei
Nasional Kesehatan Indera Pengliha-
tan dan Pendengaran tahun 1994 –
1996 menunjukkan prevalensi OMSKB
antara 2,10 – 5,2%.8 Frekuensi OMSKB
di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakar-
ta pada tahun 1989 sebesar 15,21%.9
Di RS Hasan Sadikin Bandung dilapor-
kan frekuensi OMSKB selama periode
1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada
tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM-
SKB sebesar 10,96%.11
Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr
Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997
sebesar 8,2%.12 Data catatan medis
kunjungan kasus baru penderita OM-
SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah
460 orang, sedangkan jumlah selu-
ruh kunjungan di poliklinik THT pada
tahun tersebut adalah 13.524 orang,
maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%.13
Faktor predisposisi kronisitas otitis
media diduga karena: 1) disfungsi
tuba auditoria kronik, infeksi fokal sep-
erti sinusitis kronik, adenoiditis kronik
dan tonsilitis kronik yang menyebab-
kan infeksi kronik atau berulang salu-
ran napas atas dan selanjutnya men-
gakibatkan udem serta obstruksi tuba
Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogya-
karta, Indonesia
auditoria. Beberapa kelainan sep-
erti hipertrofi adenoid, celah palatum
mengganggu fungsi tuba auditoria.
Gangguan kronik fungsi tuba auditoria
menyebabkan proses infeksi di telinga
tengah menjadi kronik, 2) perforasi
membran timpani yang menetap me-
nyebabkan mukosa telinga tengah
selalu berhubungan dengan udara
luar. Bakteri yang berasal dari kanalis
auditorius eksterna atau dari luar lebih
leluasa masuk ke dalam telinga ten-
gah menyebabkan infeksi kronik mu-
kosa telinga tengah.5 3) Pseudomonas
aeruginusa dan Staphylococcus au-
reus merupakan bakteri yang tersering
diisolasi pada OMSKB, sebagian be-
sar telah resisten terhadap antibiotika
yang lazim digunakan. Ketidaktepatan
atau terapi yang tidak adekuat me-
nyebabkan kronisitas infeksi.14 4) Fak-
tor konstitusi, alergi merupakan salah
satu faktor konstitusi yang dapat me-
nyebabkan kronisitas.
Pada keadaan alergi ditemukan pe-
rubahan berupa bertambahnya sel
goblet dan berkurangnya sel kol-
umner bersilia pada mukosa telinga
tengah dan tuba auditoria sehingga
produksi cairan mukoid bertambah
dan efi siensi silia berkurang.15 Penya-
kit alergi adalah suatu penyimpangan
reaksi tubuh terhadap paparan bahan
asing yang menimbulkan gejala pada
orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menim-
bulkan reaksi apapun.16
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 7/23/2010 10:33:06 PM7/23/2010 10:33:06 PM
![Page 19: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/19.jpg)
426 | AGUSTUS 2010
HASIL PENELITIAN
Rinitis alergi adalah suatu gangguan
hidung yang disebabkan oleh reaksi
peradangan mukosa hidung diper-
antarai oleh imunoglobulin E (Ig
E), setelah terjadi paparan alergen
(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan
Comb). Gejala klinik rinitis alergi dise-
babkan oleh mediator kimia yang
dilepaskan oleh sel mast, basofi l dan
eosinofi l akibat reaksi alergen dengan
Ig E spesifi k yang melekat di permu-
kaannya. Mediator yang paling banyak
diketahui peranannya adalah histamin.
Histamin akan menyebabkan hidung
gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hi-
dung tersumbat.17
Rinitis alergi bersifat kronik dan per-
sisten sehingga dapat menyebab-
kan perubahan berupa hipertrofi dan
hiperplasi epitel mukosa dan dapat
menimbulkan komplikasi otitis me-
dia, sinusitis dan polip nasi. Beberapa
pendapat menyatakan bahwa pada
rinitis alergi, edema mukosa selain ter-
jadi di kavum nasi juga meluas ke na-
sofarings dan tuba auditoria sehingga
dapat mengganggu pembukaan sinus
dan tuba auditoria.17 Prevalensi rinitis
alergi di Indonesia belum diketahui
pasti, namun data dari beberapa ru-
mah sakit menunjukkan bahwa frekuen-
si rinitis alergi berkisar 10 – 26%.
Penelitian tentang penatalaksanaan
OMSKB telah banyak dilakukan, na-
mun lebih banyak ditujukan pada
jenis pengobatan seperti perlunya
antibiotik, jenis antibiotik, apakah cu-
kup lokal atau sistemik, apakah anti-
biotika yang diberikan sudah sesuai
dengan jenis bakterinya serta apakah
cukup tindakan konservatif atau perlu
tindakan operatif saja. Begitu juga pe-
nelitian mengenai faktor-faktor yang
mendasari patogenesis OMSKB se-
perti fungsi ventilasi dan drainase tuba
auditoria dalam hubungannya dengan
proses penyembuhan OMSKB.12
Faktor alergi khususnya rinitis alergi
sebagai faktor risiko OMSKB belum
pernah diteliti. Restuti (2006)16 menya-
takan bahwa prevalensi dan patogen-
esis OMSK dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain kekerapan infeksi sa-
luran napas atas, sosioekonomi, gizi,
alergi dan faktor imunitas. Sebagai
respons alergi terjadi sekresi berbagai
mediator dan sitokin yang mempeng-
aruhi terjadinya infl amasi dan kondisi
seperti ini dapat berulang hingga kro-
nis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan si-
tokin yang kadarnya tinggi pada pasien
OMSK; demikian juga tumor necrosis
factor-α (TNF-α) yang dihubungkan
dengan kronisitas pada otitis media
juga memiliki kadar yang tinggi. Selain
faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK
juga dipengaruhi oleh faktor mukosa
telinga tengah sebagai target organ
alergi. Pada biopsi mukosa telinga
tengah didapatkan eosinophilic cation-
ic protein (ECP), IL-5 dan basic major
protein (BMP) yang tinggi pada pasien
otitis media dengan rinitis alergi di-
bandingkan dengan pasien otitis me-
dia tanpa rinitis alergi.
Sebagian besar otitis media supuratif
kronik tampaknya berasal dari otitis
media supuratif akut yang berulang,
namun beberapa peneliti mengatakan
bahwa otitis media kronis mungkin ber-
asal dari otitis media efusi yang terin-
feksi sekunder dengan hipertrofi dan
hipersekresi mukosa telinga tengah.6
Penelitian epidemiologi di beberapa
negara memperlihatkan angka > 50%
pasien otitis media dengan rinitis aler-
gi, 21% pasien rinitis alergi menderita
otitis media. Tuba auditoria meme-
gang peranan penting sebagai fungsi
regulasi tekanan udara di dalam teli-
nga tengah. Mekanisme ini dihubung-
kan dengan patofi siologi penyebab
obstruksi tuba, terutama akibat infeksi
atau infl amasi dari proses alergi. Rini-
tis dihubungkan sebagai etiologi otitis
media dengan 2 cara yaitu: disfungsi
tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari
mukosa nasal atau adanya fungsi mu-
kosiliar yang terganggu.18
METODE PENELITIAN
Rancangan dan Populasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kasus-kontrol; bertujuan menganalisis
/menentukan rinitis alergi sebagai fak-
tor risiko otitis media supuratif kronik
benigna (OMSKB), membandingkan
antara pasien OMSKB dengan faktor
risiko rinitis (kasus) dan pasien non
OMSKB dengan faktor risiko rinitis al-
ergi (kontrol).
Populasi terjangkau pada penelitian
ini adalah semua penderita OMSKB
yang berobat ke klinik rawat jalan THT
RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengam-
bilan sampel dengan cara berurutan
(consecutive sampling) sampai terca-
pai jumlah sampel minimal.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat
jalan dengan keluhan sekret telinga
berulang atau pernah, dan pada pe-
meriksaan otoskopi didapat cairan/
tanpa cairan pada liang telinga, mem-
bran timpani perforasi sentral tanpa
kolesteatom dan granulasi, kontrol
: pasien non OMSKB, yang datang
ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita
pria atau wanita umur ≥ 5 tahun dan
kooperatif, 3) Bebas dari obat anti-
histamin, kortikosteroid sistemik dan
topikal setidaknya selama 7-10 hari.
Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA
pada kelompok kontrol.
Subyek Penelitian
Subyek yang telah memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi dan menanda-
tangani informed consent tanpa ran-
domisasi dibagi menjadi kelompok
kasus dan kelompok kontrol setelah
anamesis dan pemeriksaan otoskopi.
Setiap subyek terpilih selanjutnya di-
anamnesis dan menjalani pemerik-
saan fi sik hidung serta pemeriksaan
rinoskopi anterior, selanjutnya dilaku-
kan skin prick test bagi sampel yang
belum pernah di test.
Jumlah Sampel
Perkiraan besar sampel dihitung meng-
gunakan rumus besar sampel untuk
penelitian analitik kategorik tidak ber-
pasangan dengan α ditentukan sebe-
sar 5% untuk tingkat kesalahan tipe I,
β ditetapkan sebesar 20% untuk kes-
alahan tipe II; power (1-β) adalah 80%
berarti penelitian ini mempunyai pe-
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM
![Page 20: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/20.jpg)
427| AGUSTUS 2010
HASIL PENELITIAN
luang sebesar 80% untuk mengetahui
adanya pengaruh faktor risiko terha-
dap kasus apabila perbedaan itu ada
di populasi. Zα untuk menguji hipote-
sis satu arah sebesar 1,64 dan Zβ sebe-
sar 0,84. Dari kepustakaan didapatkan
proporsi pajanan pada kelompok
kontrol sebesar 20 %. Dari hasil per-
hitungan besar sampel minimal, maka
jumlah total sampel 98 orang, untuk
kelompok kasus adalah 49 orang dan
kelompok kontrol 49 orang.
Analisis Statistik
Data disajikan dalam bentuk tabulasi
dan deskripsi statistik.
Analisis statistik yang digunakan ada-
lah:
1) Uji X2 untuk menghitung ada
tidaknya perbedaan karakteristik
kedua kelompok.
2) Analisis regresi logistik, untuk me-
nilai variabel-variabel yang ber-
pengaruh pada otitis media supu-
ratif kronik benigna.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian di poliklinik THT RS Dr.
Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni
2007 sampai dengan bulan Maret
2008 menemukan 53 penderita OM-
SKB dan 50 pasien non OMSKB, 100
pasien di antaranya memenuhi kriteria
inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak
3 pasien dari kelompok kasus tidak
bersedia menjalani skin prick test.
1. Karakteristik demografi s subyek
penelitian
Uji X2 mendapatkan nilai p = 0,102 (>
0,05), tidak didapatkan perbedaan
yang bermakna antar usia kelompok
kasus dengan kelompok kontrol pada
penelitian ini.
Tidak terdapat perbedaan yang ber-
makna antara jenis kelamin subyek
pada kelompok kasus dan kelompok
kontrol dengan nilai p = 0,840 (p >
0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03.
Kedua variabel umur dan jenis kelamin
tidak berpengaruh terhadap morbidi-
tas OMSKB.
Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin
KasusN(%)
KontrolN(%)
Total (%) Nilai p(Uji X2)
Umur (tahun)
5 – 15 5 (10) 5 (10) 10 (10)
16 – 25 15 (30) 26 (52) 41 (41) 0,102
26 – 55 26 (52) 18 (36) 44 (44)
≥ 56 4 (8) 1 (2) 5 (5)
Jenis Kelamin
Laki – laki 21 (42) 22 (44) 43 (43) 0,840
Perempuan 29 (58) 28 (56 57 (57)
Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga
Keluhan dan Kelainan telingaKel.Kasus
N(%)Kel.Kontrol
N(%)Nilai p(Uji X2)
Cairan dari Telinga 26 (52) - 0,001
Batuk, pilek dan demam 41 (82) - 0,001
Manipulasi telinga 9 (18) -
Kambuh < 3 x/ th 7 (14) -
Kambuh ≥ 3 x/th 43 (86) - 0,006
Pendengaran menurun 3 (6) - 0,079
Perforasi MT 50 (100 - 0,001
Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung
Keluhan dan Kelainan hidung
Meler, bersin dan tersumbat 41 (82) 9 (18) 0,001
Riwayat atopi (+) 26 (52) 1 (2) 0,001
Hipertrofi , livide, discharge serous,Shiner dan crease
40 (80) 4 (8) 0,001
Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi
RA (+) RA (-)Total N(%)
Nilai p (Uji X2)
Keluhan dan kelainan Telinga
Telinga meler 20 6 26(26)
Tidak meler 28 46 74(74) 0,001
Batuk, pilek dan demam 36 5 41(41)
Manipulasi telinga 12 47 59(59) 0,001
Kambuh < 3 x/th 4 3 7(7)
Kambuh ≥ 3 x/th 44 49 93(93) 0,616
Perforasi MT 40 10 50(50) 0,001
Tidak perforasi MT 8 42 50(50)
Keluhan dan kelainan Hidung
Meler, bersin dan tersumbat 48 2 50(50)
Tanpa keluhan - 50 50(50) 0,001
Riwayat atopi 27 - 27(27)
Tanpa riwayat atopi 21 52 73(73) 0,001
Hipertrofi , livide, dischargesereus, shiner dan creaseTanpa kelainan hidung
444
- 52
44(44)56(56)
0,001
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM
![Page 21: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/21.jpg)
428 | AGUSTUS 2010
HASIL PENELITIAN
Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB
Variabel ß p Adjusted Odd-
Ratio
IK 95%
Rinitis Alergi 0,080 0,001 21,00 7,53 – 58,56
Keluhan dan kelainan telingaBatuk, pilek dan demam Manipulasi telinga
3,108 0,008 22,38 2,24 – 22,81
Perforasi MT Tidak perforasi MT
1,752 0,032 5,76 1,16 – 28,56
Telinga meler Tidak meler
-1,69 0,135 0,185 0,02 – 1,69
Keluhan dan kelainan hidungMeler, bersin dan Tersumbat
13,89 0,894 1083859,7 0,001 – 4,525
Riwayat atopi (+) 0,001 1,000 1,000 0,001 – 1,024
Hipertrofi , livide, Discharge sereus,Shiner dan crease
12,51 0,944 270964,93 0,001 – 2,586
Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi
Kasus N(%) Kontrol N(%) Nilai p
Rinitis Alergi (+) 40 (80) 8 (16) 0,001
Rinitis Alergi (-) 10 (20) 42 (84)
Total 50 (100) 50 (100)
2. Karakteristik keluhan dan ke-
lainan telinga dan hidung
Terdapat perbedaan bermakna antara
kelompok kasus dan kontrol pada ke-
luhan cairan keluar dari telinga den-
gan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,08;
IK 95%: 2,2 – 4,2. Sebanyak 41 kasus
(82%) mengeluh batuk, pilek dan de-
mam sebelum keluhan telinga timbul
dan 9 pasien (18%) karena manipulasi
telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK
95%: 3,5 – 11,9.
Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh
kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien
(86%) kambuh ≥3 kali per tahun. p =
0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 –
2,7.
Keluhan penurunan pendengaran
perbedaan antara kelompok kasus
dan kelompok kontrol tidak berbeda
bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR:
2,06; IK 95%: 1,68 – 2,53. Penurunan
pendengaran dapat disebabkan kar-
ena faktor usia.
Kelainan telinga berupa perforasi
membran timpani terjadi pada semua
kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di
kelompok kontrol tidak terdapat ke-
lainan telinga. p = 0,001 (p < 0,05).
Terdapat perbedaan bermakna antara
kelompok kasus dengan kelompok
kontrol pada ketiga variabel keluhan
dan kelainan hidung (p = 0,001).
3. Hubungan antara keluhan dan
kelainan telinga dan hidung
dengan rinitis alergi
Terdapat perbedaan bermakna ke-
luhan telinga meler, batuk, pilek dan
demam serta kelainan telinga berupa
perforasi membran timpani pada rini-
tis alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun
tidak terdapat perbedaan rinitis alergi
yang bermakna antara kekambuhan <
3 kali/tahun maupun kekambuhan ≥
3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Seta-
subrata (1999)12 tidak mendapatkan
perbedaan bermakna frekuensi keka-
mbuhan dalam hal gangguan fungsi
ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari
tuba eustachius dengan (p = 0,12).
Keluhan dan kelainan hidung dengan
rinitis alergi berbeda bermakna (p =
0,001 < 0,05) pada ketiga variabel kar-
ena ketiga variabel tersebut merupak-
an tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil
penelitian ini sama dengan hasil Wrat-
songko (2004)19 dengan nilai p = 0,001
untuk ketiga variabel tersebut.
4. Hubungan OMSKB terhadap
rinitis alergi
Terdapat perbedaan bermakna antara
kedua kelompok terhadap rinitis alergi
dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR:
21; IK 95%: 7,53 – 58,56. Risiko kejadi-
an kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih
sering pada orang yang menderita rini-
tis alergi dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita rinitis alergi.
Hurst (2002)20 juga menemukan per-
bedaan bermakna antara pasien oti-
tis media efusi (OME) dengan pasien
atopi, (p = 0,001). Begitu juga Supri-
hati dan Putra (1993)17 menemukan
hubungan antara rinitis alergi dengan
OME (PR prevalence ratio = 2,18 )
yang menandakan bahwa rinitis alergi
merupakan faktor risiko OME.
5. Analisis regresi logistik
Variabel tergantung pada penelitian
ini adalah OMSKB, sedangkan varia-
bel bebas yang dianalisis adalah rinitis
alergi, keluhan dan kelainan telinga
dan keluhan dan kelainan hidung.
Didapatkan tiga variabel yang ber-
hubungan bermakna atau berpen-
garuh terhadap OMSKB yaitu rinitis
alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 –
58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22
kali lebih besar pada pasien dengan
keluhan telinga diawali batuk, pilek
dan demam dibandingkan pasien
dengan keluhan telinga tanpa diawali
batuk, pilek dan demam (p = 0,008,
OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 – 22,81).
Peluang terjadinya OMSKB 5 kali
lebih besar pada pasien dengan per-
forasi membran timpani dibandingkan
pasien tanpa perforasi membran tim-
pani (p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16
– 28,56).
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM
![Page 22: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/22.jpg)
429| AGUSTUS 2010
SIMPULAN
Rinitis alergi merupakan faktor risiko
pada otitis media supuratif kronik be-
nigna (OMSKB).
SARAN
Melakukan test alergi (skin prick test),
menegakkan diagnosis rinitis alergi
serta memberikan terapi rinitis alergi
pada pasien otitis media yang sering
berulang untuk menekan angka keja-
dian OMSKB.
HASIL PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13.
2. Paparela MM. Defi nition and classifi cation of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinologi-
cal Societies 1983: 9-14.
3. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, MM, Schumrick, DA
(eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140.
4. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis
Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56.
5. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd..
1974
6. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between
various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3).
7. Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif
pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112.
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendenga-
ran untuk puskesmas.1998.
9. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif
otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30.
10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di
RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54.
11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modifi kasi infl asi-defl asi dan tetes telinga
memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata “kering” dewasa. Karya Tulis Akhir
1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media
supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39.
13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran tim-
pani permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta.
14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprofl oxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating
active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta
Gadjah Mada University.
15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin
North Am 1995.28: 913-932.
16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan
Otologi I. Jakarta 2006: 31.
17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpu-
lan Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993.
18. Lazo-Saenz JG, Galvan –Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol
Head Neck Surg 2005.132: 626-631.
19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta.
20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and
adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566.
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429 7/23/2010 10:33:08 PM7/23/2010 10:33:08 PM
![Page 23: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/23.jpg)
431| AGUSTUS 2010
PENDAHULUAN
Rinitis adalah radang membran muko-
sa hidung1 Gejala rinitis seperti pilek,
demam, dan nyeri kepala sering dia-
baikan; padahal rinitis bisa merupakan
permulaan penyakit yang akan meng-
ganggu kehidupan selanjutnya.2 Rini-
tis dan sinusitis adalah kondisi medis
umum yang sering dihubungkan satu
sama lain dan dapat mengakibatkan
morbiditas dan biaya medis yang ting-
gi.3 Ratusan juta serangan common
cold setiap tahun di Amerika dan di
negara lain berdampak besar pada
ekonomi dunia.4
Pasien rinitis alergi sering kualitas tidu-
rnya buruk, nafas terganggu saat tidur,
mengantuk siang hari dan kelelahan
yang mengarah ke penurunan kognitif
dan psikomotor, gangguan prestasi
kerja, belajar, penurunan produktivi-
tas, kesulitan konsentrasi, dan defi sit
memori.5
Penderita sinusitis kronis mempunyai
tingkat nyeri paling tinggi di antara
beragam penyakit termasuk penyakit
jantung, nyeri punggung bawah, dan
penyakit paru kronis. Mereka juga
memberi hasil paling buruk pada tes-
Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters
Dewi Ayu Paramita*, Suyono*, Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*, Wachid Putranto***
*Departemen Radiologi ,**Departemen Histologi ,***Departemen Interna
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD DR. Moewardi, Surakarta
ABSTRAK
Obyektif: untuk mengetahui hubungan antara rinitis kronis dan gambaran sinusitis pada foto Waters. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat praktis di bidang radiologi.
Metode: Penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian pasien dengan hasil foto
Waters di bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta antara bulan Januari sampai Juni 2008. Data dianalisis meng-
gunakan Mantel-Haenszel Chi Square OpenEpi version 2.
Hasil: Total subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 91 orang. Hasil uji statistik Mantel-
Haenszel Chi Square OpenEpi version 2 menunjukkan nilai p = 0,002 dengan odds ratio 3,78.
Simpulan: Subjek penderita rinitis berkemungkinan 3,78 kali lebih besar untuk mempunyai gambaran sinusitis pada foto
Waters.
Kata kunci: rinitis kronis, sinusitis, foto Waters
tes fungsi sosial.6
Pada pasien dengan keluhan klinis
yang mengarah pada sinusitis, diper-
lukan informasi keadaan sinus. Di
beberapa rumah sakit atau klinik di
Indonesia, evaluasi sinus paranasalis
cukup dengan foto kepala AP dan lat-
eral serta posisi Waters. Apabila foto
di atas belum dapat menentukan atau
belum diperoleh informasi lengkap,
baru dilakukan pemotretan dengan
posisi lain.7
Berdasarkan latar belakang masalah
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 431CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 431 7/23/2010 10:33:15 PM7/23/2010 10:33:15 PM
![Page 24: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/24.jpg)
432 | AGUSTUS 2010
tersebut, peneliti berminat mengeta-
hui hubungan antara rinitis kronis dan
gambaran sinusitis pada foto Waters.
METODOLOGI
Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian obser-
vasional analitik dengan rancangan
cross sectional.
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di bagian Radi-
ologi dan Instalasi Rekam Medik RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Waktu pene-
litian dari bulan Januari 2008 sampai
bulan Juni 2008.
POPULASI DAN SAMPEL
Sampel adalah semua hasil foto Wa-
ters bagian Radiologi RSUD Dr. Moe-
wardi Surakarta pada Januari-Juni
2008. Sampel penelitian adalah semua
populasi sampel yang memenuhi kri-
teria inklusi dan eksklusi
Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang di-
pakai adalah purposive sampling den-
gan kriteria :
1. Inklusi :
a. Telah melakukan foto Waters pada
Januari-Juni 2008
b. Penderita tanpa batasan umur
maupun jenis kelamin
2. Eksklusi : Semua hasil foto Waters
yang memiliki gejala pilek lama
dan bukan didiagnosis rinitis kro-
nis (contoh: polip nasi, carcinoma
nasi, granulomatosis Wegener,
dan benda asing di cavum nasi)
dan pasien yang langsung didiag-
nosis sinusitis pada bulan Januari-
Juni 2008.
Rancangan Penelitian
Cara Kerja
1. Tahap Persiapan: Mengumpul-
kan data pasien yang menjalani
pemeriksaan foto Waters.
2. Tahap Pelaksanaan: Interpretasi
hasil pemeriksaan foto Waters
dengan melihat rekam medis
pasien di Instalasi Rekam Medis
RSUD DR. Moewardi Surakarta.
Identifi kasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Rinitis Kronis
Rinitis tergolong infeksi saluran
napas yang dapat muncul akut
atau kronik. Rinitis disebut kronis
bila radang terjadi lebih dari 1 bu-
lan.8
Cara pengukuran : pemeriksaan klinis
Skala : Nominal
2. Variabel terikat : Gambaran Sinus-
itis
Sinusitis adalah infl amasi mukosa
sinus paranasalis.8 Pada penci-
traan foto Waters, akan tampak
penebalan mukosa, air fl uid level
(kadang), perselubungan homo-
gen atau tidak homogen pada
satu atau lebih sinus, serta pen-
ebalan sklerotik dinding sinus (ka-
sus kronis).7
Cara pengukuran : Interpretasi foto
Skala : Nominal
3. Variabel perancu:
a. Variabel perancu yang dapat dik-
endalikan : semua foto Waters
pada pasien pilek lama bukan dis-
ebabkan oleh rinitis kronis.
b. Variabel perancu yang tidak dapat
dikendalikan: subjektivitas penila-
ian ahli radiologi
Teknik Analisis Data
Menggunakan Mantel-Haenszel Chi
Square OpenEpi version 2.
HASIL
Dari 179 subjek, sampel yang dapat
diambil adalah 91 orang karena sisan-
ya tidak memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi, seperti langsung didiagnosis
sinusitis, pilek lebih dari 1 bulan bukan
disebabkan rinitis kronis, nomor rekam
medis tidak jelas, dan identitas kurang
lengkap.
Dari 91 sampel, 51% (46 orang)
menunjukkan gambaran sinusitis pada
pemeriksaan foto Waters - 53% (25
orang) wanita dan 47% (21 orang) laki
-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian
Ramanan (2007) yang menyatakan
bahwa wanita mempunyai lebih bany-
ak episode sinusitis karena cenderung
mempunyai hubungan lebih dekat
dengan anak-anak.9
Gambaran sinusitis maxillaris merupa-
kan yang terbanyak - 52% (24 orang)
ipsilateral, 28% (13 orang) bilateral.
Sisanya 20% (9 orang), menunjukkan
gambaran sinusitis maxillaris bersa-
maan dengan gambaran sinusitis lain,
yakni 1 orang bersama sinusitis fronta-
lis, 5 orang bersama sinusitis ethmoi-
dalis, dan 3 orang pansinusitis. Hal
ini sesuai penemuan Mangunkusumo
dan Rifki (2006) - paling sering sinusitis
maxillaris dan sinusitis ethmoidalis.8
Penelitian William et al (1992) pada re-
kam medis dan staf ahli radiologi, ahli
radiologi dengan pelatihan khusus ra-
diologi tulang, dan residen radiologi
senior menyimpulkan bahwa foto Wa-
ters dapat diterima untuk mendiagno-
sis sinus maxillaris.10
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
gambaran sinusitis relatif meningkat
dari kelompok usia 10-20 tahun sampai
usia 50-60 tahun; relatif rendah pada
usia 0-10 (diagram 2). Hal ini sesuai
dengan Sharma (2006) yang menyata-
kan bahwa prevalensi tertinggi sinusitis
adalah pada usia dewasa, 18-75 tahun,
setelah itu anak-anak kurang dari 15
tahun dan pada anak usia 5-10 tahun.11
Rinitis kronis
+
Rinitis kronis
-
Analisis dataSampel foto Waters Populasi sampel
Sinusitis+
Sinusitis-
Sinusitis+
Sinusitis-
Bagan 1. Rancangan penelitian
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 432CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 432 7/23/2010 10:33:16 PM7/23/2010 10:33:16 PM
![Page 25: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/25.jpg)
433| AGUSTUS 2010
Sedikitnya subjek berumur 0-10 tahun
adalah karena pemeriksaan foto Wa-
ters hanya cocok pada anak usia lebih
dari 3 tahun. Foto polos sinus pada
anak usia 3 tahun atau kurang tidak
berguna karena adanya false opasitas
sinus yang belum berkembang.12 Sinus
paranasalis mencapai besar maksimal
pada usia 15-18 tahun.8
Yang harus diperhatikan pada pem-
bacaan foto Waters untuk sinus para-
nasalis rutin ialah kejernihan anthrum
maxillaris, keutuhan dinding anthrum
dan os zygomaticus, sinus sphenoida-
lis (jika foto Waters dilakukan dengan
mulut terbuka), septum nasi, air fl uid
level, dapat terlihat sinus lain tetapi
tidak maksimal.13
Gambaran sinusitis pada foto polos
adalah penebalan mukosa, air fl uid
level, dan opasitas, serta penebalan
sklerotik dinding sinus (kasus kronis).7
Penebalan mukosa terlihat pada lebih
dari 90% kasus sinusitis, tetapi sangat
tidak spesifi k. Air fl uid level dan opa-
sitas lebih spesifi k untuk sinusitis tapi
hanya terlihat pada sekitar 60% sinus-
itis. Interpretasi foto polos radiografi
bisa sangat berbeda antar observer,
dan mungkin false negatif.12
Dari 91 orang subjek penelitian, diag-
nosis terbanyak adalah rinitis kronis
(49% - 46 orang). Kemudian berturut-
turut fraktur tulang kepala (18% - 17
orang), kelainan gigi (10% - 9 orang),
sefalgia (6% - 6 orang), dan tumor
(1 tumor malignan tuberokista dan 2
tumor maksila) serta cedera kepala 3
orang. Subjek dengan diagnosis se-
lain di atas adalah 10 orang (11%).
Hasil uji statistik Mantel-Haenszel Chi
Square OpenEpi menunjukkan odds
ratio 3,78 (p = 0,002). Pasien rinitis
kronis berrisiko mempunyai gamba-
ran sinusitis pada foto Waters 4 kali
lebih besar daripada tanpa rinitis kro-
nis; peningkatan risiko tersebut secara
statistik sangat signifi kan.
SIMPULAN
Terdapat hubungan bermakna antara
rinitis kronis dan gambaran sinusitis
pada foto Waters.
SARAN
Perlu penelitian lanjutan dengan sam-
pel lebih besar dan metode penelitian
lebih baik (misal cohort) agar lebih
mewakili populasi dengan hasil lebih
terpercaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta:
EGC,1994.
2. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Teng-
gorok, Kepala, dan Leher bag THT FKUI/
RSCM (ed.). Jakarta: Bina Aksara; 1993.Hal
225-74
3. Dykewicz M. Rhinitis and sinusitis. J. Allerg.
Clin. Immunol. 2003;111(2):520-9
4. Boies LR. dkk. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC,1997.
5. Pratt EL, Craig TJ. Assessing Outcomes from
the Sleep Disturbance associated with Rhini-
tis. Curr. Opin. Allerg Clin Immunol. 2007.7(3):
249-56
6. Metson RB. Menyembuhkan Sinusitis. Jakarta:
PT Buana Ilmu Populer 2006.
7. Rachman MD dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi
kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2005.pp: 431-8
8. Soepardi, Efi aty A, Nurbaiti I (eds). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan.
Edisi kelima. Jakarta: Gaya Baru, pp: 101-122
9. Ramanan R.V. Sinusitis 2007.. http://www.
emedicine.com/ (19 Juli 2008).
10. William JWJ, Roberts LJ, Distell B, Simel
DL. Diagnosing sinusitis by X-ray: is a single
Waters view adequate. J Gen Intern Med.
1992;(5):566.
11. Sharma GD. 2006. Sinusitis. http://www.emed-
icine.com/ (19 Juli 2008).
12. Okuyemi KS, Tsue TT. Radiologic imaging in
the management of sinusitis. Radiologic Deci-
sion-Making. 2002.http://fi ndarticles.com/ (19
Juli 2008)
13. Meschan I. Synopsis of Analysis of Roentgen
Signs in General Radiology. Philadelphia: WB
Saunders, 1974. pp:205-8
Tabel 4. Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters
Diagnosis Rinitis
Kronis
(+) (-)
Gambaran Sinusitis
pada foto Waters
Diagram 3. Sebaran penyakit subjek penelitian
Diagram 2. Persentase subjek penelitian berdasarkan umur
15
10
5
0 0-10 th
10-20 th
20-30 th
30-40 th
40-50 th
50-60 th
60-70 th
Tidak ada gambaran
Ada gambaran
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 433CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 433 7/23/2010 10:33:16 PM7/23/2010 10:33:16 PM
![Page 26: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/26.jpg)
434 | AGUSTUS 2010
Medical education has shifted to prob-
lem-based learning paradigm. Lecture
that used to be the main learning ac-
tivities, now simply act only as instruc-
tional class assignment or introduction
to learning objectives. Tutorial as main
learning activity enhanced student’s
ability to orally present their opinion.
The introduction of competence-
based curriculum that integrate differ-
ent knowledge and skills to produce
certain competencies requires proper
assessment. In many medical schools,
Student Oral Case Analysis (SOCA) is
one of the instrument to assess stu-
dent’s performance in clinical clerk-
ship. Oral case presentation is vital in
medical career, i.e. to present a case,
and to explain the disease to a patient
or their family.1,2
SOCA has low psychometric indi-
cators with low reliability and valid-
ity. These criticisms are justifi ed if the
objectives are to produce relatively
homogeneous products for diverse
trades or professions. But these same
characteristics may be quite powerful
to promote diversity of student per-
formance; active discussion may serve
as a powerful incentive to go beyond
mere competence and to demon-
strate fl air.3
It is possible to increase the reliability
using several rather than single oral
examination(2).
SOCA has been widely implemented
in clinical clerkship in many medical
schools in Indonesia but implementa-
Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Student’s Performance in Pre-clinical Setting
in Faculty of Medicine, Mataram University
Eustachius Hagni Wardoyo1, Bobby Marwal Syahrizal1,
Dyah Purnaning1, Ida Ayu Eka Widiastuti1, Ardiana Ekawanti1, Muhammad Farid Wajdi2
1. Faculty of Medicine, Mataram University (FMMU), Mataram, Indonesia
2. Dept. of Internal Medicine, Mataram General Hospital / FMMU, Mataram, Indonesia
ABSTRACT
Background: The competence-based curriculum that integrate different knowledge and skills to produce certain com-
petencies requires proper assessment. In clinical setting, Student Oral Case Analysis (SOCA) has been widely used to
assess student’s performance; however, the evidence in preclinical setting with more students is still limited
Objective: To describe the implementation of SOCA in pre-clinical setting
Method: The study is a descriptive study. Every student participating in Metabolism and Energy Block were included
in the study. SOCA was used to assess student’s performance in the following manner: 1) developing dietary plan for
normal individual, 2) developing dietary plan for patient with nutritional disorder (under-nutrition), and 3) developing di-
etary plan for patient with organ disorders (kidney, heart and liver) and metabolic disorders (diabetes and hypertension).
Each student was assessed in 20 minutes : 5 minutes for the scenario, 5 minutes for explanation with a simple fl owchart,
10 minutes for answering 4-5 questions. Evaluation components was on the presentation (40%), the answers (50%) and
general performance (10%). The score was from 60 to 100 : frequent inaccuracy and guesses (60-69), occasional inac-
curacy (70-79), generally accurate, no guess (80-89), exceptionally complete (90-100). A semi-structured interview was
conducted to explore student’s perception on SOCA.
Result: Participants were 61 students. Sixty (98.36%) students passed SOCA (cut-off point: 70). Fifty two (85.24%) stu-
dents perceived that SOCA had helped them understand the topic, transforming basic medical science to clinical set-
ting. Forty nine (80.33%) students also mentioned that the motivation to study was enhanced through SOCA.
Conclusion: SOCA in FMMU helped students in topics understanding and increased study motivation.
Keywords: SOCA, competence-based curriculum
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 434CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 434 7/23/2010 10:33:17 PM7/23/2010 10:33:17 PM
![Page 27: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/27.jpg)
435| AGUSTUS 2010
tion in pre-clinical setting is poorly doc-
umented. In 2007 The Faculty of Medi-
cine Mataram University has introduced
SOCA to assess student’s performance
in preclinical setting in the fi fth block
Metabolism and Energy.
This study described the implementa-
tion SOCA in pre-clinical setting.
METHODS
Participant’s characteristics
The participants consist of 61 students:
43 (70.49%) female and 18 (29.51%)
male in Metabolism and Energy block.
All participants fulfi lled 75% attendance
in all learning activities in Metabolism
and Energy block to qualify SOCA.
Examiner’s characteristics
Examiners were tutors of Metabolism
and Energy block; consist of 5 persons
and 3 additional examiners. All exam-
iners were trained as SOCA examiner.
The training was technical on how to
examine using existing instruments
PROCEDURES
Development of SOCA protocol
SOCA protocol was developed as a
part of Metabolism and Energy block.
Modifi cations was needed to adjust
SOCA in clinical clerkship setting to
a pre-clinical setting,. Real case in
clinical setting was modifi ed by case
scenario (bedside presentation is not
applicable in pre-clinical setting) and
‘SOAP’ (subjective, objective, assess-
ment, plan and prognosis) presenta-
tion in clinical setting is modifi ed by a
short scheme / fl owchart. In this study,
students were asked to develop a di-
etary plan.
SOCA’s implementation
Students were divided into three
groups, each group underwent SOCA
in three different days. SOCA’s exam-
iners were all fi ve tutors in Metabolism
and Energy block plus three other
examiners. All were trained as SOCA
examiners. Different scenarios were
used in different days. Each student
underwent 20 minutes of SOCA and
5 minutes interval. The time allocation
were summarized in table 1.
Tabel 1. SOCA Time allocation
Time Time allocation
The fi rst 5 minutes Read the scenario carefully
-69),
occasionally inaccurate (70-79), gener-
ally accurate, no guess (80-89), excep-
tionally complete (90-100).
Table 2. Components of assessment
Components of assessment
Score (60-100)
tween pre and post SOCA students.
A semi-structured questionnaire was
conducted to explore student’s per-
ception of SOCA
RESULT
Implementation of SOCA
Introduction of SOCA in pre-clinical
setting at FMMU was started in Me-
tabolism and Energy block. SOCA
was held in May 26 – 28, 2008. Sixty
(98.36%) among 61 students passed
the exam (cut off: 70). One student un-
derwent remedial SOCA a week later
because of sick leave.
Objectivity of SOCA was increased
through several efforts: 1) Random
student’s queue 2) Random scenario
3) Drawn scheme as part of assess-
ment 4) Examiners trained as SOCA
examiner.
Perceptions of students
Fifty two (85.24%) students perceived
that SOCA helped in transforming ba-
sic medical science to clinical setting.
Some students changed their learn-
ing strategy by reading more learning
resources weeks before, and by prac-
ticing SOCA assessed by peers. Forty
nine (80.33%) students also mentioned
that motivation was enhanced through
SOCA.
Implementation of SOCA increased
anxiety among students, but fi nally
students felt excited and relieved.
Some of their comments: “So relieve
after the exam, I thought it is going to
be hard, but I can make it!”, “I am very
anxious on what is going to be, but I
am satisfi ed for what I’ve learned.”,
and “I imagine I can implement my
knowledge to a real patient.” One stu-
dent is really tired and think SOCA is
unnecessary, has not enough time to
prepare; and the ringing bell during
HASIL PENELITIAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 435CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 435 7/23/2010 10:33:17 PM7/23/2010 10:33:17 PM
![Page 28: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/28.jpg)
436 | AGUSTUS 2010
SOCA was disturbing. One examiner
was criticized as has low objectivity.
The limitation was a low lecturer : stu-
dent ratio (17 : 211).
DISCUSSION
Five criteria for determining the use-
fulness of a particular method of as-
sessment: 1) reliability (measurement
accuracy and reproducibility), 2) valid-
ity (whether the assessment measures
what it claims to measure), 3) impact
on future learning and practice, 4)
acceptability to learners and faculty,
and 5) costs (to individual trainee, in-
stitution, and society)(4). Reliability was
enhanced by providing assessment’s
instruments. SOCA can be performed
repeatedly.
HASIL PENELITIAN
SOCA could not be used as a single
component, SOCA at FMMU was one
of assessment methods used in Me-
tabolism and Energy Block. Impact
of SOCA partly has been explored in
student’s perception regarding SOCA
implementation. Prospective study
is needed to assess future impact of
SOCA. Cost of SOCA is quite high
due to development of SOCA’s proto-
col, large human resources need and
time consuming.
In conclusion, SOCA has been suc-
cessfully implemented to assess stu-
dent’s performance in pre-clinical
setting in Faculty of Medicine, Mat-
aram University, with positive impact
in helping students to construct their
understanding of the topic, transform-
ing basic medical science to clinical
setting and in enhancing study moti-
vation.
REFERENCES
1. Jayawickramarajah PT. Oral examinations in
medical education Medical Education 2009;19
(4): 290 – 293.
2. CPM, Donker AJM, Reliability of clinical oral
examinations re-examined. Medical Teacher
2001; 23( 4): 422-424
3. Rangachari PK. The targeted oral. Advances in
Physiology Education 2004; 28: 213–214.
4. VanDer Vleuten CPM. The assessment of
professional competence: developments, re-
search and practical implications. Adv Health
Sci Educ 1996;1: 41-67
INFEKSI KESEHATAN ANAK GASTROENTEROLOGI
Kami Tunggu Tulisan Anda Mengenai :Kami Tunggu Tulisan Anda Mengenai :
INFEKSI KESEHATAN ANAK GASTROENTEROLOGI
ISSN: 0125-913 X I 176 / vol. 37 no. 3 / April 2
010
http.//www.kalbe.co.id/cdkPRAKTIS
Diet untuk Penderita Diabetes
Mellitus
HASIL PENELITIAN
Pengaruh Tempe terhadap Kadar
Gula Darah dan Kesembuhan
Luka pada Tikus Diabetik
TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Memperlambat Perburukan
Penyakit Ginjal Kronik ke Penyakit
Ginjal Stadium Akhir
146
PROFIL
Prof. DR. Dr. Sidartawan
Soegondo, SpPD-KEMD-FACE
“Orang Tua DM Pemicu
Menjadi Ahli Endokrin”
ISSN: 0125-913 X I 177 / vol.37 no. 4 / Mei - Juni 2010
http.//www.kalbe.co.id/cdk
PRAKTIS
Terapi Cairan dan Darah
HASIL PENELITIAN
Pengaruh Ekstrak Daun Singkong
(Manihot uttilisima) terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal Tikus Putih yang
Diinduksi Karsinogen Nitrosamin
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Mual Muntah yang
Diinduksi Kemoterapi
PROFIL
Dr. Yow Pin, PHD,
Setiap Penemuan Dapat
Menolong Ribuan Pasien
7 mei cover.indd 3
4/26/2010 3:33:16 PM
ISSN: 0125-913 X I 178 / vol.37 no. 5 / Juli - Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk
PRAKTISManajemen Pembedahan pada Cedera Medula Spinais
HASIL PENELITIAN Hubungan antara Derajat
Lengkung Kaki dengan Tingkat Kemampuan Endurans pada
Calon Jemaah Haji, 2007
TINJAUAN PUSTAKA t�,FNBUJBO�#BUBOH�0UBL
t4JOESPN�1JSJGPSNJTt�$FOUSBM�1POUJOF�.ZFMJOPMZTJT��Diagnosis dan Penatalaksanaan
146
PROFIL Dr. Cosphiadi Irawan
SpPD KHOM, +BEJMBI�0SBOH�ZBOH�
#FSNBOGBBU�VOUVL�0SBOH�-BJO
ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010
http.//www.kalbe.co.id/cdk
PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve
Tumors
HASIL PENELITIAN
Erosi Dasar Tengkorak dan
Kelainan Saraf Kranial pada
Penderita Karsinoma Nasofaring
di RS. H. Adam Malik MedanOPINI
Stetoskop-Stetoskop Masa Depan
455
PROFIL
Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)
Teknologi THT Semakin Canggih,
Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui
Jalur THT Terlebih Dahulu
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403
77
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 436CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 436 7/26/2010 5:31:41 PM7/26/2010 5:31:41 PM
![Page 29: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/29.jpg)
437| AGUSTUS 2010
PENDAHULUAN
Epulis gigantosellulare dikenal seba-
gai epulis sel raksasa adalah kondisi
serupa tumor yang biasanya berkem-
bang dari tepi bebas gusi. Istilah gra-
nuloma sel raksasa perifer lebih disu-
kai daripada granuloma reparatif sel
raksasa perifer. Lesi ini ditemukan
pada semua kelompok usia, dengan
insiden tertinggi pada orang dewasa
usia 30 tahun dan anak-anak selama
periode gigi bercampur. 1
Dalam bahan penelitian atas 173 pen-
derita granuloma sel raksasa perifer,
dijumpai paling sering pada periode
gigi-geligi bercampur. Pada masa ka-
nak-kanak granuloma lebih umum ter-
dapat pada anak laki-laki, setelah usia
16 tahun perempuan dua kali lebih
sering terkena. Mandibula sedikit le-
bih sering terkena dibandingkan mak-
sila dan lebih sering terjadi di daerah
premolar-molar daripada di daerah
incisivus-caninus. Kadang-kadang lesi
ditemukan di daerah edentulous ridge
alveolar.2
Di Rumah Sakit Umum Pusat M. Dja-
mil Padang dari Januari 2007 sampai
dengan Oktober 2009 ditemukan 186
kasus epulis. 180 pasien di bagian Gigi
dan Mulut, 6 pasien di bagian Bedah.
Pasien berkunjung ke bagian Bedah
biasanya karena massa tumor yang
cukup besar sehingga diharapkan da-
pat dilakukan tindakan bedah dengan
membuang massa tumor.
LAPORAN KASUS
Seorang wanita 14 tahun datang ke
Bagian Bedah Onkologi RSUP M. Dja-
mil Padang dengan keluhan benjolan
di mulut sejak 4 tahun (gambar 1 dan
2). Awalnya benjolan terdapat di gusi
bagian bawah sebesar kacang, sejak
2 tahun ini makin membesar dan ter-
dapat di gusi bagian atas dan bawah.
Benjolan tidak nyeri tetapi sangat
mengganggu karena pasien tidak da-
pat sempurna menutup mulut, men-
gunyah dan menelan makanan ter-
ganggu. Riwayat trauma tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu: sering sakit
gigi, riwayat pertukaran gigi susu ke
gigi permanen tidak ada keluhan.Ti-
dak pernah menderita penyakit lain.
Status generalisata dalam batas nor-
mal, pada status lokal tampak massa
tumor hampir memenuhi seluruh
rongga mulut bagian depan (gambar
1 dan 2), merah muda, bergranul, pus
di pemukaannya. Pada palpasi teraba
massa keras padat di rahang atas dan
bawah, ukuran 12 x 8 x 5 cm, 10 x 3 x
1,5 cm terfi ksir, tidak bertangkai, batas
tegas, permukaan licin dan tidak rata.
Tidak ditemukan benjolan di tempat
lain dan tidak ada pembesaran kel
limfe leher.
Pemeriksaan laboratorium dalam ba-
tas normal, brain CT Scan (gambar 3
dan 4) tampak soft tissue mass dengan
gambaran gigi erupted dan destruksi
regio os maxilla anterior.
Hasil biopsi : mikroskopis tampak epi-
tel berlapis gepeng pada permukaan
dengan bagian yang mengalami erosi,
Epulis Gigantocellulare
Azamris
Sub Bagian Bedah Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas /
RSUP. M.Djamil Padang
ABSTRAK
Epulis gigantosellulare atau epulis sel raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas
gusi. Epulis gigantosellulare merupakan nodul ekstraosseus terdiri dari proliferasi mononuklear dan multinukleasi giant
cell berhubungan dengan vaskularisasi, ditemukan di gingiva atau ridge alveolar. Epulis gigantosellulare adalah reaksi
hiperplastik jaringan ikat gingiva yang didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel
tersebut bercampur baur dan tersusun pada pola lobular yang dipisahkan oleh jaringan ikat fi brous yang mengandung
pembuluh darah sinusoid besar.
KASUS: Seorang perempuan 14 thn dengan benjolan di rongga mulut sejak 4 tahun. Awalnya benjolan kecil sebesar ka-
cang tanah di rahang bawah, kemudian sejak 2 tahun membesar seukuran tinju dan terdapat di rahang atas dan bawah,
mengganggu, tidak nyeri, mudah berdarah. Pada pemeriksaan fi sik tampak benjolan sebesar tinju ukuran 12 x 8 x 5 cm,
dan 10 x 3 x 1,5 cm, merah muda, bergranul, pus di permukaan. teraba massa keras padat, terfi ksir, tidak bertangkai,
batas tegas, permukaan licin dan tidak rata. Dilakukan ekskokleasi epulis dan ekstraksi seluruh gigi. Pasien pulang dalam
keadaan sembuh.
LAPORAN KASUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 437CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 437 7/23/2010 10:33:19 PM7/23/2010 10:33:19 PM
![Page 30: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/30.jpg)
438 | AGUSTUS 2010
di bawahnya terdapat stroma jaringan
ikat longgar mengandung banyak ke-
pingan kalsifi kasi di antaranya. Tampak
pula kapiler-kapiler dan sel-sel limfosit,
plasma serta netrofi l.
Direncanakan tindakan Ekskokleasi
epulis yaitu pengangkatan jaringan
patologis dari gingiva serta pengero-
kan sisa jaringan patologis akar gigi.
Laringoskop tidak dapat masuk sem-
purna karena terhalang massa tumor,
sehingga ETT tidak dapat dipasang.
Diputuskan trakeostomi agar operasi
dapat berjalan lancar (gambar 5)
Pembedahan oleh ahli bedah tumor.
Massa tumor dapat diangkat dengan
sempurna dengan pengerokan gin-
giva yang terkena dan ekstraksi ham-
pir seluruh bagian gigi. Perdarahan di
tempat pengerokan massa tumor da-
pat diatasi dengan sempurna. Anali-
sis jaringan menunjukkan Congenital
Granular Cell Epulis, tak tampak tan-
da ganas.
Pasien pulang pada hari ke 5 dalam
keadaan baik. (gambar 6).
lesi reaktif yang jarang terjadi. Lesi ini
juga dikenal sebagai giant-cell epulis,
osteoclastoma, giant cell reparative
granuloma atau giant cell hyperplasia
dan myeloid epulis. 3 Termasuk lesi gi-
ant cell yang paling sering terjadi di ra-
hang, berasal dari jaringan ikat perios-
teum atau dari membran periodontal,
sebagai respon terhadap iritasi lokal
atau trauma kronis.3
Epulis gigantosellulare berupa nodul
ekstraosseus yang terdiri dari prolif-
erasi mononuklear dan multinukleasi
giant cell yang berhubungan dengan
vaskularisasi, yang ditemukan pada
gingiva atau alveolar ridge, merupak-
an reaksi hiperplastik jaringan ikat gin-
giva yang didominasi oleh komponen
seluler histiositik dan endotelial. Ke-
dua jenis sel tersebut bercampur baur
dan tersusun lobular, dipisahkan oleh
jaringan ikat fi brous yang mengan-
dung pembuluh darah sinusoid besar. 4
Nama lesi ini diambil dari kecende-
rungan histiosit mononuklear untuk
membentuk giant cell multinukleasi
yang luas; lokasi perifer (ekstraosseus)
dari lesi ini sempit, lebih cenderung ke
tengah (intraosseus); dan gambaran
klinisnya mirip respon terhadap granu-
loma yang reaktif. Lesi mengandung
jaringan giant cell mirip dengan yang
ditemukan pada bagian lain dari tubuh
tetapi utamanya pada tulang.5
Penyebab Epulis gigantosellulare
tidak diketahui; iritasi lokal oleh plak
gigi atau kalkulus, penyakit periodon-
tal, restorasi gigi yang buruk, protesa
yang buruk, atau pencabutan gigi,
dianggap ikut berperan pada perkem-
bangan lesi ini.6
Penelitian baru-baru ini menghubung-
kannya dengan implan gigi; meru-
pakan komplikasi yang tidak umum,
berkembang dari beberapa bulan
sampai beberapa tahun setelah pe-
nempatan implan gigi.7
Gambaran klinis lesi diawali dengan
pembengkakan berbentuk kubah ke-
merahan atau keunguan di papilla
interdental atau alveolar ridge. Pada
Gambar 1. Massa tumor memenuhi rongga mulut
terdapat di bagian atas dan bawah gingiva, ber-
granul, merah muda dan pus.
Gambar 2. Massa tumor dilihat dari samping.
Gambar 3. Brain CT Scan posisi AP
Gambar 4. Brain CT Scan posisi lateral
Gambar 5. Trakeostomi saat tindakan bedah.
Gambar 6. Pasien hari ke 5 pascaoperasi.
DISKUSI
Etiologi Epulis gigantosellulare tidak
diketahui, masih diperdebatkan
apakah proses reaktif atau neoplas-
tik; kebanyakan ahli percaya bahwa
granuloma giant cell perifer termasuk
LAPORAN KASUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 438CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 438 7/23/2010 10:33:19 PM7/23/2010 10:33:19 PM
![Page 31: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/31.jpg)
439| AGUSTUS 2010
pasien dentulous lesi sering terlihat
lebih kemerahan oleh ulserasi yang
terjadi ketika makanan dikunyah dan
mengenai epitelium yang tipis.6 Lesi
yang lebih luas biasanya mengelilingi
satu atau lebih gigi, sering melibatkan
ligamen periodontal, termasuk apeks
gigi. Lesi ini menyebabkan hilangnya
dan goyangnya gigi. Pada daerah
edentulous lesi berbentuk kubah,
ungu, biasanya mempunyai permu-
kaan yang utuh. Radiografi periapikal
umumnya menunjukkan hilangnya
lapisan superfi cial tulang kortikal, dan
sisa tulang di bagian tengah yang
tidak ikut terlibat.8
Pembengkakan berbatas jelas, keras,
dan jarang berulserasi. Dasarnya tidak
bertangkai, permukaannya licin atau
sedikit bergranula, berwarna merah
muda sampai merah ungu tua ber-
diameter beberapa mm sampai 1 cm;
pembesaran yang cepat dapat meng-
ganggu gigi-gigi di sampingnya.
Lesi umumnya tanpa gejala, tatapi
karena sifatnya yang agresif, tulang al-
veolar di bawahnya sering terlibat dan
membuat radiolusensi “peripheral
cuff” superfi sial yang patognomonik.7
Gambaran mikroskopis menunjukkan
susunan nodular jaringan giant cell
dipisahkan oleh septum fi brous. Jari-
ngan giant cell terdiri dari campuran
mononuklear dan multinuklear yang
mendasari ekstravasasi sel darah me-
rah. Terdapat beberapa pembuluh
kapiler dan ruang sinusoid. Stroma
fi brous menipis atau menebal, meng-
andung jaringan yang luas dan struk-
tur dinding vaskular yang tipis. Se-
jumlah besar hemosiderin umumnya
terdapat dalam jaringan giant cell dan
mengelilingi komponen fi brous.9
Diagnosis banding osteoblastic os-
teosarcoma dapat dibedakan melalui
beragam sel stroma dan kurangnya
displasia sel. Pada remaja gambaran
mitosis bervariasi, dan sulit dibedakan
dari proliferasi aktif sel stroma. Epulis
Gigantosellulare tidak dapat dibeda-
kan dengan brown tumor ekstraoseus
dari hiperparatiroidisme yang jarang
terjadi.10
Tindakan pada epulis gigantosellulare
adalah Ekskokleasi epulis yaitu peng-
angkatan jaringan patologi dari gin-
giva serta pengerokan sisa jaringan
patologis akar gigi; eksisi disertai man-
dibulektomi parsial atau total; Cryo-
surgery terbatas pada tumor yang sa-
ngat superfi cial.11
Indikasi pengangkatan massa tumor
adalah rasa nyaman penderita se-
hingga dapat membuka dan menutup
mulut sempurna, dan indikasi kosme-
tik.
Prognosisnya baik. dapat kambuh
kembali pada 10% kasus, mungkin
disebabkan oleh pengangkatan yang
tidak sempurna.12
SIMPULAN
Granuloma giant cell perifer dikenal
sebagai epulis gigantosellulare adalah
kondisi serupa tumor yang biasanya
berkembang dari tepi bebas gusi.
Penyebabnya tidak diketahui, meski-
pun iritasi lokal oleh plak gigi atau kal-
kulus, penyakit periodontal, restorasi
gigi yang buruk, protesa yang buruk,
atau pencabutan gigi, dianggap ikut
berperan. Lesi diawali dengan pem-
bengkakan berbentuk kubah berwar-
na kemerahan atau keunguan pada
papilla interdental atau alveolar ridge.
Granuloma giant cell perifer dirawat
dengan eksisi; jika tidak tuntas akan
cenderung kambuh.
Pada kasus ini operasi dilakukan
karena massa menutupi rongga mulut
yang sudah menimbulkan gangguan
makan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Allen C. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.emedicine.com/DERM/topic685.htm. Accessed Oktober 20,2008
2. Bodnar L.et al. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Oral Surgery.Oral Med. Oral Pathol.1997;83:548.
3. Lifshitz MS, Flotte TJ, Greco MA.Congenital granular cell epulis.Cancer 1984;53:1845-8.
4. Rainey JB, Smith IJ. Congenital epulis of the newborn. J Pediatr Surg 1984;19:305-6
5. Damm DD, Cibull ML,Geisler RH, et al. Investigation into histiogenesis of congenital epulis of newborn. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993:76:205-212
6. Sunderland EP,Smith CJ. Hypoplasia following Congenital Epulis. Br Dent J 1984;157:535
7. Lack EE, Worsham GF. Callihan MD. Granular cell tumor:A clinical pathologic study of 110 patient. J Surg Oncol 1980;13:301-16
8. Daley TD et al. The major epulides: clinicopathological correlations. J. Can. Dent. Assoc. 1990; 6/7: 626,
9. Falaschini S dkk. Peripheral Giant Cell Granuloma: Immunohistochemical analysis of different markers. Study of Three Cases. Avances En Odontoestomatologia
2007; 23(4): 189. Available from: http://medind.nic.in/jao/t05/i2/jaot05i2p74.pdf. Accessed Oktober 20, 2008
10. Zarbo RJ, Lyod RV, Beals TF, McClatchey KD. Congenital gingival granular cell tumor with smooth muscle cytodifferentiation. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
1983; 56: 512-520
11. Philip SJ, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary Oral and Maxillofacial Pathology 2nd. St.Louis Missouri: Mosby. 2004: p.292-4.
12. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/pgcg.html. Accessed Oktober 20, 2008
LAPORAN KASUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 439CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 439 7/23/2010 10:33:23 PM7/23/2010 10:33:23 PM
![Page 32: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/32.jpg)
441| AGUSTUS 2010
BERITA TERKINI
Sekitar 60 persen penderita diabe-
tes tipe 2 mengalami hipertensi.
Penderita hipertensi dan diabe-
tes berisiko lebih besar mengalami pe-
nyakit kardiovaskular dan ginjal.
Anda bisa menurunkan risiko dengan
menjaga tekanan darah dalam ren-
tang normal.
Berikut beberapa cara yang bisa Anda
lakukan untuk menurunkan tekanan
darah:
BERHENTI MEROKOK
Merokok mengurangi suplai oksigen
ke organ-organ tubuh, meningkatkan
kadar kolesterol dan meningkatkan
tekanan darah. Karena itu, berhenti
merokok merupakan langkah utama
dalam mengontrol tekanan darah dan
diabetes.
TURUNKAN BERAT BADAN
Pengurangan berat badan berkaitan
dengan penurunan tekanan darah.
Anda bisa menurunkan berat badan
dengan mengurangi asupan lemak dan
kalori, serta berolahraga secara tera-
tur. Diet tinggi lemak secara otomatis
akan menambah konsumsi makanan
dan total energi dan akan berkurang
jika diet Anda rendah lemak.
Olahraga tidak mempunyai efek terla-
lu besar dalam menurunkan berat ba-
dan. Akan tetapi, olahraga (30-45 me-
nit sehari) bagus untuk meningkatkan
sensitifi tas insulin, mengurangi kadar
glukosa darah dan mempertahankan
berat badan dalam jangka panjang.
MODIFIKASI DIET
Karbohidrat:
Sertakan makanan yang mengandung
karbohidrat, khususnya dari whole
grain, buah-buahan, sayuran, dan susu
rendah lemak dalam diet penderita
diabetes.
Jumlah total karbohidrat dari makanan
dan kudapan lebih penting dibanding-
kan sumbernya.
Serat:
Sama seperti populasi pada umum-
nya, penderita diabetes didorong un-
tuk memilih berbagai makanan yang
mengandung serat seperti whole
grain, buah, dan sayuran. Makanan ini
mengandung vitamin, mineral, serat
dan komponen lain yang baik untuk
kesehatan.
Protein:
Tidak ada bukti yang mengharuskan
penderita diabetes mengubah asupan
protein (15 hingga 20 persen dari to-
tal energi harian) jika fungsi ginjalnya
normal. Karena protein diperlukan un-
tuk membangun jaringan tubuh yang
sehat, pilihlah sumber protein yang
rendah lemak. Ikan merupakan pilihan
yang baik, konsumsilah dua hingga
tiga kali per minggu.
Daripada memasak dengan lemak,
cobalah menambah rasa makanan
dengan menggunakan anggur, herbal
dan bumbu. Anda yang vegetarian
bisa mendapatkan protein dari telur,
kacang kedelai, kacang polong dan
sumber lainnya.
Lemak:
Batasi lemak jenuh dan asupan koles-
terol dari diet. Asupan lemak jenuh
sebaiknya kurang dari 10 persen dari
asupan energi total. Beberapa indi-
vidu (misalnya orang dengan kadar
kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan
mendapatkan manfaat dengan menu-
runkan asupan lemak jenuh hingga di
bawah 7 persen dari asupan energi.
Asupan kolesterol sebaiknya kurang
dari 300 mg per hari. Beberapa indi-
vidu (misalnya orang dengan kadar
kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan
mendapatkan manfaat dengan menu-
runkan asupan kolesterol hingga di
bawah 200 mg per hari.
Kurangi garam:
Pengurangan konsumsi garam mem-
bantu menurunkan tekanan darah.
Usahakan mengurangi asupan sodium
hingga 2.400 mg atau garam hingga
6.000 mg per hari.
Asupan alkohol:
Peneliti sudah mengungkapkan adan-
ya hubungan antara asupan alkohol
tinggi (tiga takar/hari) dengan pen-
ingkatan tekanan darah. Akan tetapi,
tidak ada perbedaan tekanan darah
antara orang yang minum lebih sedikit
dari tiga takar alkohol/hari dengan
mereka yang tidak minum.
Asupan kalium dan kalsium:
Diet rendah lemak yang menyertakan
buah dan sayuran ( lima hingga sembi-
lan takar/hari) dan produk susu rendah
lemak (dua hingga empat takar/hari)
secara umum sudah kaya akan kalium,
magnesium, kalsium dan bisa menu-
runkan tekanan darah.
Asupan air:
Cobalah minum paling tidak dua liter
air putih sehari. Cara ini membantu
mengeluarkan kelebihan gula dari tu-
buh dan membantu serat menjalank-
an tugasnya dalam mengontrol gula
darah. Selain itu, air ini juga memung-
kinkan ginjal dan organ lain (termasuk
kulit) tetap sehat.
Gula darah
Cobalah terus memantau kadar gluko-
sa darah di rumah. Tes kadar glukosa
bisa dilakukan dengan menggunakan
alat monitor glukosa yang mudah
dibawa. Catat rutinitas harian dan ka-
dar glukosa Anda. Data ini akan mem-
bantu Anda menemukan pola manaje-
men diabetes yang tepat.
Obat-obatan
Penderita diabetes sebaiknya men-
gontrol tekanan darah dengan hati-
hati. Anda bisa mengontrol kedua pe-
nyakit ini dengan kontrol diet. � (NFA)
Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 441CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 441 7/23/2010 10:33:23 PM7/23/2010 10:33:23 PM
![Page 33: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/33.jpg)
442 | AGUSTUS 2010
STUDI HERCULES
Studi klinis oleh Dr. Michael dkt., pada
HERCULES sebagaimana yang dipub-
likasi dalam Journal of Clinical Onco-
logy, Vol 28, No 9, 2010 menunjukkan
bahwa regimen lini pertama Epirubicin
dan Cyclophosphamide serta Trastu-
zumab pada kanker payudara metas-
tasis dengan Epidermal Growth Factor
Receptor 2 (EGFR-2) positif menunjuk-
kan hasil baik dalam segi keamanan
terhadap kardiotoksisitas dan juga
mengenai efektivitasnya sendiri.
RESUME HERCULES Didapati insidensi tinggi kegagalan
jantung kongestif (CHF) pada pasien
kanker payudara metastasis yang men-
erima regimen doxorubicin dan trastu-
zumab. Adapun regimen Herceptin®
(nama dagang dari Trastuzumab), Cy-
clophosphamide dan Epirubicin ingin
mengevaluasi keamanan regimen tras-
tuzumab dengan cyclophosphamide
dan evaluasi efek samping kardiotok-
sisitas yang lebih rendah golongan
anthracycline epirubicin.
Studi bersifat prospektif dan merupa-kan kombinasi fase 1 mengenai dosis dan temuan stadium dengan fase 2 secara acak. Sejumlah 120 penderita
kanker payudara metastasis dengan
human epidermal growth factor re-
ceptor 2 (HER2) positif dan fungsi jan-
tung adekuat, menerima lini pertama
regimen trastuzumab (4 mg/kg iv dosis
loading, kemudian 2 mg/kg setiap min-
ggu) ditambah dengan Cyclophosph-
amide (600 mg/m2) dan Epirubicin 60
mg/m2 (HEC-60) atau 90 mg/m2 (HEC-
90) sebanyak 6 siklus pemberian, dii-
kuti pengobatan tunggal trastuzumab
sampai tingkat progresi. Sejumlah 60
pasien dengan HER2 negatif mener-
ima Epirubicin (90 mg/m2) dan Cyclo-
phosphamide (EC-90) tunggal. Tujuan
utama (primary end point) adalah efek
kardiotoksisitas yang terkait dosis atau
Dose-limiting cardiotoxicity (DLC).
Hasil trial HERCULES ini, insidensi kar-
diotoksisitas terkait dosis / DLC mas-
ing-masing 5%, 1,7%, dan 0% pada
kelompok yang mendapat regimen
HEC-90, HEC-60, and EC-90.
Semua kasus kejadian DLC dapat
dikelola dengan baik. Tidak ada ke-
matian yang disebabkan efek pada
jantung. Gambaran efek samping
hampir sama pada ketiga kelompok
tersebut, kecuali febrile neutropenia,
yang ditemukan pada 10% kelompok
HEC-90 berbanding dengan 3% pada
dua kelompok lainnya. Angka respon
tumor atau Tumor response rate ada-
lah 57% pada HEC-60, 60%, pada
HEC-90 dan 25% pada kelompok EC-
90; adapun waktu median time sam-
pai progresi masing-masing sebesar
12,5, 10,1, dan 7,6 bulan.
Kesimpulan trial HERCULES, regimen Trastuzumab (Herceptin), dengan Epi-rubicin dan Cyclophosphamide meru-pakan opsi pengobatan yang cukup menjanjikan pada penderita kanker payudara metastasis dengan HER2
positif. Insidens kardiotoksisitas terkait
dosis atau DLC pada regimen HEC
lebih rendah, dibandingkan dengan
insidens di regimen trastuzumab dan
doxorubicin, terutama yang berkaitan
dengan pengobatan model adjuvant
ataupun neoadjuvant. � (IWA)
REFERENSI :
1. Michael U et al. First-Line Trastuzumab Plus
Epirubicin and Cyclophosphamide Therapy in
Patients With Human Epidermal Growth Fac-
tor Receptor 2–Positive Metastatic Breast Can-
cer: Cardiac Safety and Effi cacy Data From the
Herceptin, Cyclophosphamide, and Epirubicin
(HERCULES) Trial. J. Clin. Oncol. 2010;28( 9 ):
1473-1480
Epirubicin dan Cyclophosphamide
dengan Trastuzumab pada trial HERCULES
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 442CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 442 7/23/2010 10:33:25 PM7/23/2010 10:33:25 PM
![Page 34: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/34.jpg)
443| AGUSTUS 2010
Eprotirome (hormon tiroid analog)
menambah penurunan kadar le-
mak darah pada pasien-pasien
dislipidemia yang telah diterapi den-
gan statin. Simpulan ini merupakan
hasil penelitian dr. Paul Ladenson dan
rekan dari Johns Hopkins University
School of Medicine, Baltimore, Ameri-
ka Serikat. Dr. Paul mengatakan bahwa
berdasarkan penelitian ini, eprotirome
menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL (Low Density Lipopro-
tein). Selain itu, tidak seperti statin,
eprotirome efektif menurunkan kadar
trigliserida, sehingga dapat diberikan
sebagai terapi pasien dislipidemia
campuran. Hasil penelitian dr. Paul
dan rekan ini telah dipublikasikan da-
lam the New England Journal of Medi-
cine edisi bulan Maret 2010.
Penelitian ini bertujuan untuk menel-
iti apakah pemberian eprotirome da-
pat memberikan manfaat tambahan
dalam menurunkan kadar kolesterol
total, trigliserida dan kolesterol LDL,
yang merupakan lipoprotein yang ber-
sifat artherogenik serta meneliti efek
samping yang mungkin terjadi. Pene-
litian efek samping ini penting, karena
eprotirome, sebagai hormon tiroid
analog dikhawatirkan memiliki efek
samping terhadap organ tubuh yang
sensitif terhadap hormon tiroid, yaitu
jantung dan otot skeletal. Penelitian
merupakan penelitian kontrol plase-
bo, multisenter melibatkan 137 pasien
yang telah mendapatkan terapi statin
paling tidak selama 3 bulan. Pasien se-
cara acak dibagi menjadi 3 kelompok
terapi, yang diberi terapi eprotirome
25 μg, 50 μg, atau 100 μg.
Hasil penelitian memperlihatkan bah-
wa pemberian eprotirome pada pasi-
en-pasien yang telah diterapi dengan
statin secara bermakna menambah
penurunan kadar kolesterol total, ko-
lesterol LDL dan trigliserida. Penuru-
nan ini semakin nyata pada kelompok
dengan dosis eprotirome yang lebih
besar.
Selain itu tidak dijumpai tanda mau-
pun gejala akibat pemberian hormon
tiroid analog seperti tirotoksikosis/
hipertiroidisme, peningkatan denyut
jantung per-menit atau aritmia, penu-
runan berat badan, maupun gangguan
pembentukan tulang (dari pemerik-
saan marker serologik dan penekanan
terhadap tirotropin). Dr. Ladenson
mengatakan bahwa eprotirome ini
dapat menjadi terapi tambahan bagi
pasien-pasien yang telah diterapi den-
gan statin namun tidak mencapai tar-
get terapi.
SIMPULAN:
• Eprotirome merupakan hormon
tiroid analog yang dalam peneli-
tian dapat menambahkan penu-
runan kadar lemak darah pada
pasien-pasien yang telah diterapi
dengan statin.
• Walau merupakan hormon tiroid
analog, tanda dan gejala efek
samping tirotoksikosis/ hipertor-
oidisme tidak dalam penelitian ini.
� (YYA)
REFERENSI:
1. Ladenson P, Kristensen JD, Ridgway C, Olsson
AG, Carlsson B, Klein I, et al. Use of the Thy-
roid Hormone Analogue Eprotirome in Statin-
Treated Dyslipidemia. NEJM 2010; 362 (10):
906-16.
2. Medscape. Eprotirome Further Reduces Cho-
lesterol Levels in Statin-Treated Patients. [cited
2009 March 23]. Available from: http://www.
medscape.com/viewarticle/718099?src=mpne
ws&spon=2&uac=117092CG
Fariabel per dosis eprotirome (µg)
Garis dasar(baseline)
Minggu ke-12Perubahan rata-rata dibanding
baseline (mg/dL) p
Kolesterol Total (mg/dL)
25 214 178 -36 <0.001
50 211 166 -45 <0.001
100 215 158 -57 <0.001
Kolesterol LDL (mg/dL)
25 144 113 -32 <0.001
50 138 99 -39 <0.001
100 141 94 -47 <0.001
Trigliserida (mg/dL)
25 140 112 -29 <0.01
50 141 106 -34 <0.01
100 155 93 -61 <0.001
Tabel 1. Perbandingan kadar lemak serum sebelum dan sesudah terapi eprotirome.
Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar Kolesterol Pasien Dislipidemia
yang Diterapi dengan Statin
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 443CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 443 7/23/2010 10:33:29 PM7/23/2010 10:33:29 PM
![Page 35: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/35.jpg)
444 | AGUSTUS 2010
Pada 1 April 2010 American Fam-
ily Physician mempublikasi pe-
doman bagi dokter keluarga
dalam mendiagnostik dan menskrin-
ing pasien diabetes.
Pencegahan, diagnostik akurat dan
terapi merupakan hal yang penting
bagi pasien diabetes karena begitu
luasnya kemungkinan komplikasi sep-
erti nefropati, retinopati, neuropati,
penyakit kardiovaskuler, stroke bah-
kan kematian; yang dapat diperlam-
bat bahkan dicegah dengan pemili-
han terapi yang sesuai.
Sejak tahun 1997 American Diabetes
Association (ADA) telah memperke-
nalkan etiologi diabetes berdasar-
kan klasifi kasi dan kriteria diagnostik,
yang di tahun 2010 kembali direvisi,
dan penting diketahui bagi para dok-
ter dokter keluarga.
Kriteria diagostik diabetes adalah
penilaian kadar hemoglobin A1c
(HbA1c), kadar gula darah puasa dan
kadar gula darah sewaktu atau hasil
pemeriksaan toleransi glukosa oral
(OGTT). ADA mendefi nisikan diabe-
tes dalam dua kondisi yaitu kadar glu-
kosa darah puasa (8 jam) di atas 126
mg/dL dan kriteria lain: kadar glukosa
darah sewaktu di atas 200 mg/dL den-
gan keluhan poliuria, polidipsi, penu-
runan berat badan dan karakterisktik
lainnya yang positif. Kadar glukosa
darah sewaktu dapat digunakan se-
bagai skrining dan diagnostik tetapi
sensitivitasnya hanya 39-55%.
Pemeriksaan lini pertama pasien dia-
betes adalah OGTT; pasien puasa
selama 8 jam dan diberi asupan glu-
kosa 75 g. ; didiagnosis diabetes jika
kadar glukosa di atas 199 mg/dL, dan
didiagnosis ada gangguan gula darah
puasa jika kadar glukosa 140-199 mg/
dL pasca asupan glukosa; kriteria lain
gangguan gula darah puasa jika kadar
gula darah puasa tanpa asupan glu-
kosa adalah 100-125 mg/dL.
Pemeriksaan kadar HbA1c tidak me-
merlukan puasa, dapat berguna se-
bagai diagnostik dan skrining diabe-
tes jika kadar HbA1c setidaknya 6,5%
dalam dua kali pemeriksaan, keter-
batasan pemeriksaan ini adalah sen-
sitivitasnya rendah dan dipengaruhi
oleh faktor di antaranya ras, anemia
dan terapi yang digunakan.
Pemberian larutan glukosa 50 g meru-
pakan skrining yang paling sering di-
lakukan untuk mendiagnosis diabetes
gestasional, meskipun pemberian 75
-100 g glukosa dibutuhkan untuk meng-
konfi rmasi hasil awal yang positif.
Diabetes ketoasidosis merupakan ke-
jadian yang sering terjadi pada pasien
diabetes tipe 1 atau kadang pasien
diabetes tipe 2 ; lebih sering pada
pasien obesitas dan warna kulit hitam;
dikatakan diabetes ketoasidosis jika
hasil pemeriksaan kadar gula darah
melebihi 250 mg/dL dengan pH arteri
< 7,3 dan keton darah meningkat.
Meskipun belum cukup konsisten,
skrining diabetes perlu dilakukan
pada pasien hipertensi dan hiperlipi-
demia untuk menentukan klasifi kasi
diabetes berdasarkan tipe, perlunya
pemberian insulin berkelanjutan da-
pat difasilitasi dengan pemeriksaan
kadar C peptide; sedangkan pemer-
iksaan autoantibodi terhadap sel islet,
insulin, glutamic acid decarboxylase
(GADA), tyrosine phosphatase (1A-2α
dan 1A-2β) atau marker lainnya un-
Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi
Dokter Keluarga
tuk melihat adanya destruksi sel beta
pankreas.
Rekomendasi spesifi k bagi klinisi ber-
dasarkan bukti ilmiah adalah :
• Skrining diabetes harus dilaku-
kan pada pasien dengan tekanan
darah di atas 135/80 mmHg (level
of evidence A)
• Skrining diabetes harus dilakukan
pada pasien hipertensi atau hip-
erlipidemia (level of evidence B)
• Kalkulasi risiko dapat digunakan
sebagai identifi kasi pasien yang
memerlukan skrining lebih lanjut
(level of evidence C)
• Diabetes dapat didiagnosis jika
kadar HbA1C > 6,5% dalam dua
kali pemeriksaan terpisah (level of
evidence C)
• Pada pasien dengan risiko tinggi
diabetes, counseling direko-
mendasikan untuk memberiksan
strategi yang efektif, mengu-
rangi risiko diabetes termasuk
penurunan berat badan dan lati-
han fi sik. (level of evidence C).
� (ARI)
REFERENSI
1. L Barclay. Am Fam Physician 2010;81:863-70.
abstract.
2. Executive Summary : Standards of Medical
Care in Diabetes -2010
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 444CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 444 7/23/2010 10:33:31 PM7/23/2010 10:33:31 PM
![Page 36: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/36.jpg)
445| AGUSTUS 2010
Sampai saat ini pengobatan
jangka panjang untuk gangguan
bipolar American Psychiatric
Association dan National Institute
for Health and Clinical Excellence
terdiri dari penggunaan mood stabi-
lizer yaitu litium dan sodium divalproat
yang juga dikenal sebagai antiepilepsi
serta golongan antipsikotik atipikal
olanzapine.
Beberapa tahun belakangan ada ke-
cenderungan penggunaan sodium
divalproat sebagai terapi pasien bi-
polar rawat jalan. Penggunaan sodium
divalproat ini juga didasarkan karena
terbukti efektif dalam aktifi tas anti-
maniknya dan adanya bukti adanya
efek perlindungan jangka panjang da-
lam melawan kekambuhan gangguan
bipolar. Sodium divalproat juga pada
beberapa penelitian ternyata lebih
baik dalam mengatasi gangguan man-
ik pasien bipolar dengan mood yang
berganti-ganti (mood swing). Efek
tersebut bergantung kepada dosis
dan konsentrasi serum. Efek antiman-
iknya yang cepat sendiri dicapai den-
gan dosis penuh 20mg/kgbb. perhari.
Tahun 2003 di Amerika, FDA telah
menyetujui sodium divalproat lepas
berkesinambungan (extended re-
lease/ER) dengan dosis satu kali se-
hari sebagai obat untuk migrain dan
oleh Canada disetujui sebagai obat
anti epilepsi. Bentuk baru dari so-
dium divalproat ini memberikan be-
berapa keuntungan yaitu konsentrasi
yang lebih stabil dan dosis yang leb-
ih sederhana, satu kali sehari. Suatu
penilitian klinis tidak tersamar me-
nemukan tidak adanya perbedaan
dalam efektifi tas dan efek samping
antara sodium divalproat ER dengan
jenis yang standar pada pasien epi-
lepsi
Suatu penelitian awal dengan metode
open-label selama 6 minggu melibat-
kan 12 pasien (8 perempuan dan 4 laki-
laki) dengan usia rata-rata 45,7 tahun.
Diagnosis subjek penelitian menurut
DSM-IV adalah Bipolar I dan II dan
gangguan skizoafektif tipe bipolar.
Pasien ini telah memakai obat sodium
divalproat standar dua kali sehari se-
lama setidaknya 4 minggu.
Preparat standar diberikan dua kali
sehari sedangkan preparat ER diberi-
kan sehari sekali di saat hendak tidur.
Konsentrasi sodium divalproat diukur
menggunakan fl uorescence polariza-
tion immunoassay pada hari 1, hari
ke-7, minggu ke-6 dan satu minggu
setelah penyeimbangan dosis. Serum
darah diambil di antara 10-14 jam set-
elah penggunaan terakhir dosis kedua
pada sodium divalproat standar dan di
antara 22-26 jam setelah penggunaan
dosis terakhir sodium divalproat ER.
Status mental secara klinis dievaluasi
saat awal penelitian dan setiap min-
ggu dengan menggunakan Young
Mania Rating Scale, 17-item Hamil-
ton Depression Rating Scale, Clinical
Global Impression (CGI) of severity
and improvement, Global Assessment
of Functioning Scale (DSM-IV) dan the
17-item Brief Psychiatric Rating Scale
(BPRS) serta the Udvalg for Kliniske
Undersøgelser (UKU) Side Effect Rat-
ing Scale untuk menilai efek samping
obat.
Peneliti menemukan bahwa ke 12
pasien tersebut dapat diganti pengo-
batannya dari sodium divalproat stan-
dar menjadi sodium divalproat ER.
Penelitian ini tidak menrmukan pen-
gurangan efektifi tas pada pemakaian
sediaan ER Hal lain yang patut diper-
hatikan adalah tidak adanya pening-
katan risiko efek samping selama 6
minggu penggunaan preparat sodium
divalproat ER.
Penggunaan sodium divalproat ER
membutuhkan dosis sekitar 21% lebih
tinggi agar mencapai dosis ekuivalen
preparat sodium valproat standar un-
tuk mencapai kadar serum yang tera-
peutik untuk kasus bipolar. Walaupun
demikian preparat ER ternyata lebih
stabil sehingga meningkatkan efek-
tifi tasnya. Dosis preparat sodium ER
yang sederhana yaitu sehari sekali da-
pat meningkatkan kepatuhan berobat
dan mempunyai efek manfaat jangka
panjang terutama dalam mencegah
kekambuhan .
Dengan pertimbangan tersebut,
penggunaan sodium divalproat lepas
berkesinambungan (extended release/
ER) dapat menjadi pilihan baik bagi
pasien bipolar yang belum pernah dit-
erapi dengan preparat sodium dival-
proat atau sebagai terapi pengganti
pasien bipolar yang sudah memakai
preparat sodium divalproat standar
yang diharapkan dapat meningkatkan
ketaatan berobat karena dosis yang
lebih sederhana
Andri
Bagian Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran
Universitas Krida Wacana Jakarta
SUMBER :
1. Blanco C, Laje G, Olfson M,et al. Trends in the
Treatment of Bipolar Disorder by Outpatient Psy-
chiatrists. Am J Psychiatry 2002; 159:1005–1010
2. Centorrino F, Kelleher JP, Berry JM, Salvatore
P, Eakin M, Fogarty V, et al. Pilot Comparison of
Extended-Release and Standard Preparations
of Divalproex Sodium in Patients With Bipolar
and Schizoaffective Disorders Am J Psychiatry
2003; 160:1348–1350
3. Bipolar Disorder. Quick Reference Guideline.
National Institute for Health and Clinical Excel-
lence. July 2006
Efektifi tas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat Lepas Berkesinambungan (Extended
Release/ER) pada Terapi Gangguan Bipolar
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 445CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 445 7/26/2010 5:37:45 PM7/26/2010 5:37:45 PM
![Page 37: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/37.jpg)
447| AGUSTUS 2010
Studi penggunaan kombinasi
hormon androgen dan proge-
stogen untuk kontrasepsi pada
pria memberikan hasil yang cukup
menjanjikan, meskipun masih terus di-
sempurnakan untuk diaplikasikan.
Androgen berfungsi menekan hormon
gonadotropin sehingga dapat men-
ekan spermatogenesis, juga untuk
mempertahankan kadar testosteron
darah agar tidak menimbulkan efek
tidak diinginkan seperti penurunan li-
bido. Sedangkan progestogen diha-
rapkan dapat lebih menekan hormon
gonadotropin sehingga dapat lebih
menekan spermatogenesis.
Penelitian Prof Moeloek dkk (2002)
mengenai kombinasi androgen dan
progestogen jangka panjang meng-
gunakan Testosteron undekanoat (TU)
dan Depot Medroksi Progesteron Ase-
tat (DMPA) pada 40 pria Indonesia, di
Jakarta dan Palembang menunjukkan
semua pria mencapai azoospermia.
Beliau saat ini sedang melakukan
penelitian membuat TU dan DMPA
menjadi satu emulsi yaitu Mikroemulsi
TU/DMPA sehingga lebih mudah di-
terima masyarakat karena hanya perlu
satu kali suntik setiap datang1.
Dr. Gu dan rekan dari Beijing meng-
gunakan suntikan depot medroxypro-
gesterone acetate (DMPA) dan testos-
terone undecanoate (TU) interval 8
minggu untuk menekan proses sper-
matogenesis pada pria China sehat.
Setelah skrining awal, 30 sukarelawan
pria sehat dipilih secara acak masuk
dalam 3 kelompok dosis ; 10 orang /
kelompok mendapatkan 1000 mg TU
(kelompok A); 1000 mg TU +150 mg
DMPA (kelompok B) seta 1000 mg TU
+ 300 mg DMPA (kelompok C). Semua
dosis obat tersebut diberikan secara
suntikan intramuskular setiap 8 min-
ggu. Pengamatan dalam periode 8
minggu kontrol (baseline) , setelah 24
minggu periode pengobatan serta 24
minggu periode recovery. Keadaan
azoospermia atau oligozoospermia
yang berat tercapai dan dipertahank-
an pada seluruh sukarelawan selama
periode pengobatan , kecuali untuk 2
pria dalam kelompok TU konsentrasi
spermanya meningkat (rebound). Reg-
imen pengobatan kombinasi Testos-
teron Undekanoat selama 8 minggu
ditambah depot MPA efektif menekan
proses spermatogenesis yaitu azoo-
spermia pada pria China. Seluruh sun-
tikan dapat ditoleransi dengan baik;
tidak ada laporan efek samping serius.
Kombinasi dosis yang lebih rendah,
direkomendasikan untuk studi / test
selanjutnya untuk menilai efektivitas
yang lebih bermakna2. � (IWA)
REFERENSI :
1. Moeloek N, Perkembangan terkini kontrasepsi
hormonal pria di dunia. Abstrak PIT PERSANDI
IV & PANDI XVIII April 2010.
2. Gu YQ et al. Male Hormonal Contraception:
Effects of Injections of Testosterone Unde-
canoate and Depot Medroxyprogesterone
Acetate at Eight-Week Intervals in Chinese
Men. J. Clin. Endocrin. & Metabolism 2004;
89(5): 2254-2262; (abstract).
Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai Alternatif Kontrasepsi Pria
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 447CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 447 7/23/2010 10:33:34 PM7/23/2010 10:33:34 PM
![Page 38: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/38.jpg)
449| AGUSTUS 2010
BERITA TERKINI
Pada keadaan keganasan/ kanker,
dapat terjadi penurunan berat
badan drastis yang sering dise-
but dengan Kakeksia (cachexia) akibat
pemecahan protein otot khususnya di
perifer, yang memetabolisme asam
amino yang diperlukan bagi pemben-
tukan protein di hati dan juga di tumor.
Pemberian asam amino secara teoritis
dapat memberikan tambahan energi
yang diperlukan sebagai protein-spa-
ring metabolic dengan membantu me-
tabolisme otot dan gluconeogenesis.1
Branched-chain amino acids (BCAA)
yang terdiri dari leucine, isoleucine,
dan valine dipergunakan dengan tu-
juan meningkatkan keseimbangan /
balans nitrogen terutama pada meta-
bolisme protein otot
Dilaporkan bahwa penambahan
BCAA dalam nutrisi parenteral ber-
hasil meningkatkan keseimbangan
protein dan sintesis albumin, selain
itu BCAA dapat mengurangi keadaan
anorexia dan cachexia secara berkom-
petisi dengan tryptophan, prekursor
serotonin otak, melewati sawar otak
(blood-brain barrier) dan mengham-
bat peningkatan aktivitas serotonin di
hipotalamus, dan berdasarkan lapo-
ran, pemberian BCAA oral berhasil
menurunkan keadaan anorexia yang
berat pada penderita kanker.
Leucine, isoleucine dan valine meru-
pakan asam amino rantai cabang
dan merupakan asam amino yang
cukup banyak diteliti dan dibuktikan
memiliki efek farmakologis sebagai
prekursor (zat pendahulu) dalam sin-
tesis glutamine dan alanine pada otot
rangka. Leucine paling jelas efeknya
dan berguna untuk sintesis protein
yang diteliti pada keadaan sepsis dan
luka bakar2.
Keadaan kakhesia juga dapat terjadi
pada gangguan fungsi hati; Dr. Hole-
cek menentukan 3 target suplementasi
BCAA pada penyakit hati.3 : (1) ensefa-
lopati hati (2) regenerasi hati, dan (3)
kakhesia hati . Pemberian BCAA dapat
mengurangi ensefalopati hati dengan
meningkatkan detoksifi kasi amonia,
mengoreksi ketidakseimbangan asam
amino plasma dan mengurangi infl uks
asam amino aromatik. Suplementasi
BCAA pada ensefalopati hati lebih
efektif pada gangguan hati kronik
dengan hiperamonemia dan kadar
rendah BCAA dalam darah, dan pada
keadaan penyakit hati akut dengan
hiperaminoacidemia. Pada keadaan
regenerasi hati, suplementasi BCAA
berkaitan dengan efek stimulasi pada
sintesis protein, sekresi faktor pertum-
buhan pada hepatosit, produksi gluta-
min dan efek penghambatan proteoli-
sis. Sedangkan pada keadaan kakhesia
hati, efek suplementasi BCAA cukup
signifi kan pada penyakit hati terkom-
pensasi dengan mengurangi keadaan
infl amasi dan juga peningkatan kadar
turnover protein. Suplementasi BCAA
dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien dan juga prognosis penyakit
hati. � (IWA)
REFERENSI :
1. Inui A. Cancer anorexia-cachexia syndrome.
CA Cancer J Clin 2002;52:72-91
2. Calder PC. Branched-chain amino acids and
immunity.J Nutr. 2006 Jan;136(1) Suppl
3. Holecek M. Three targets of branched-chain
amino acid supplementation in the treatment of
liver disease. Nutrition 2010 May; 26(5): 482-90
BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 449CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 449 7/23/2010 10:33:39 PM7/23/2010 10:33:39 PM
![Page 39: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/39.jpg)
450 | AGUSTUS 2010
Prostat merupakan organ pria
yang paling sering mengalami
proses pembesaran jinak mau-
pun ganas. Secara histologi, prostat
terdiri dari stroma dan epitel yang
masing-masing, baik secara individual
ataupun kombinasi, dapat berkem-
bang menjadi nodul hiperplastik dan
menimbulkan gejala khas.
BPH (benign prostatic hyperplasia)
merupakan salah satu tumor jinak
paling sering pada pria dan kejadian-
nya berkaitan dengan usia. Prevalensi
BPH berkaitan dengan usia dan onset
biasanya setelah usia 40 tahun :50%
pada usia 60 tahun dan 90% pada usia
85 tahun. Sebanyak 50% pasien den-
gan diagnosis histologi BPH mem-
punyai gejala saluran kemih sedang
hingga berat.
Jumlah pria dengan kanker prostat
meningkat dalam 2 dekade terakhir
akibat meningkatnya usia penduduk.
Kanker prostat merupakan penyebab
kematian akibat kanker ke tiga paling
sering pada pria. Penyebab spesifi k
onset dan progresivitas kanker prostat
tidak diketahui, namun faktor genetik
dan lingkungan berperan. Sebanyak
90% kanker prostat merupakan ad-
enokarsinoma sel asinar dan 70%-nya
terjadi di daerah perifer.
Pembesaran prostat mempunyai faktor
etiologi multifaktorial dan endokrin.
Faktor yang dikaitkan dengan pemb-
esaran prostat adalah peningkatan
kadar DHT (dihydrotestosterone) dan
penuaan. Observasi dan studi klinis
pada pria juga menunjukkan keterli-
batan kontrol endokrin dalam pem-
besaran prostat.
Telah diketahui bahwa stres oksidatif
juga berperan pada pembesaran pros-
tat. Stres oksidatif merupakan ketidak-
seimbangan antara produksi ROS
(Reactive Oxygen Species) dengan
pertahanan antioksidan. Dalam sistem
antioksidan enzim, SOD berperan
penting dalam mempertahankan kes-
eimbangan ROS. SOD mengkatalisasi
konversi superoksida menjadi hidro-
gen peroksida, sedangkan respirasi
mitokondria menghasilkan sejumlah
besar superoksida dalam sel.
Penurunan aktivitas Mn-SOD telah
dikaitkan dengan berbagai jenis tu-
mor, antara lain bahwa peningkatan
ekspresi Mn-SOD dapat menekan tu-
morigenisitas melanoma, sel kanker
payudara dan sel glioma manusia.
Fungsi penekanan Mn-SOD juga
dikaitkan dengan kanker ovarium,
kanker paru dan kanker prostat.
Banyak studi menunjukkan bahwa Mn-
SOD dapat berfungsi sebagai gen
penekan tumor secara umum, dan
merupakan petunjuk untuk aplikasi
terapi di masa mendatang dan bahwa
antioksidan berperan penting dalam
pencegahan kanker prostat.
Suatu studi telah dilakukan untuk me-
nilai status stres oksidatif/nitrosatif
pada kanker prostat dan BPH pada
312 pria (107 pasien kanker prostat,
167 pasien BPH dan 38 subyek kon-
trol). Dalam studi ini dilakukan pengu-
kuran kadar MDA (malondialdehyde)
eritrosit, aktivitas CuZn-SOD, gluta-
tion peroksidase (GPx) dan katalase
eritrosit, dan nitrit/nitrat plasma.
Hasilnya menunjukkan bahwa konsen-
trasi MDA yang lebih tinggi dengan
aktivitas GPx dan CuZn-SOD yang
lebih rendah ditemukan pada pasien
kanker prostat dibanding pasien BPH
dan subyek kontrol. Aktivitas katalase
menurun pada pasien kanker prostat
dibanding subyek kontrol. Lebih lanjut,
pasien kanker prostat mengalami pen-
ingkatan nitrit/nitrat plasma dibanding
pasien BPH dan subyek kontrol. Studi
ini mengkonfi rmasi peran stres oksi-
datif dan perubahan status nitrosatif
pada pasien dengan kanker prostat.
Penurunan aktivitas SOD pada pasien
kanker prostat juga telah diteliti sebe-
lumnya pada 25 pasien kanker prostat
non-metastatik, 36 pasien BPH dan
24 subyek pria sehat sebagai kontrol
dimana aktivitas GPx dan SOD secara
bermakna menurun pada pasien kank-
er dibanding pasien BPH dan subyek
kontrol. Secara bermakna, peroksidasi
lemak meningkat dengan penurunan
aktivitas SOD dan kadar Zn pada
pasien BPH dibanding subyek kontrol.
Hal ini menunjukkan adanya peruba-
han indeks peroksidasi lemak dengan
disertai perubahan sistem pertahanan
antioksidan pada pasien kanker pros-
tat dibanding pasien BPH, sehingga
peneliti mempunyai hipotesis bahwa
perubahan keseimbangan prook-
sidan-antioksidan dapat menyebab-
kan peningkatan kerusakan oksidatif
dan konsekuensinya dapat berperan
penting dalam karsinogenesis prostat.
� (EKM)
REFERENSI
1. Esaú F, Noemí C, Melchor C, Equihua JLR,
José F, Arzave C et al. Manganese superoxide
dismutase (Mn-SOD) expression levels in pros-
tate cancer and benign prostatic hyperplasia
tissue. Rev Mex Urol 2009;69(4):159-62.
2. Arsova-Sarafi novska Z, Eken A, Matevska N,
Erdem O, Sayal A, Savaser A et al. Increased
oxidative/nitrosative stress and decreased an-
tioxidant enzyme activities in prostate cancer.
Clin Biochem. 2009;42(12):1228-35.
3. Aydin A, Arsova-Sarafi novska Z, Sayal A, Eken
A, Erdem O, Erten K et al. Oxidative stress and
antioxidant status in nonmetastatic prostate
cancer and benign prostatic hyperplasia. Clin
Biochem. 2006;39(2):176-9.
Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 450CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 450 7/23/2010 10:33:45 PM7/23/2010 10:33:45 PM
![Page 40: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/40.jpg)
451| AGUSTUS 2010
Chlorhexidine adalah suatu anti-
septik yang termasuk golongan
bisbiguanide. Chlorhexidine
merupakan antiseptik dan disinfektan
yang mempunyai efek bakterisidal
dan bakteriostatik terhadap bakteri
Gram (+) dan Gram (-). Chlorhexidine
lebih efektif terhadap bakteri Gram
positif dibandingkan dengan bakteri
Gram negatif. Chlorhexidine dapat
menyebabkan kematian sel bakteri
dengan menimbulkan kebocoran sel
(pada pemaparan chlorhexidine kon-
sentrasi rendah) dan koagulasi kand-
ungan intraselular sel bakteri (pada
pemaparan chlorhexidine konsentrasi
tinggi).
Chlorhexidine akan diserap dengan
sangat cepat oleh bakteri dan penyer-
apan ini tergantung pada konsentrasi
chlorhexidine dan pH. Chlorhexidine
menyebabkan kerusakan pada lapisan
luar sel bakteri, namun kerusakan ini
tidak cukup untuk menyebabkan ke-
matian sel atau lisisnya sel. Kemudian
chlorhexidine akan melintasi dinding
sel atau membran luar, diduga mela-
lui proses difusi pasif, dan menyerang
sitoplasmik bakteri atau membran
dalam sel bakteri. Kerusakan pada
membran semipermiabel ini akan dii-
kuti dengan keluarnya kandungan in-
traselular sel bakteri. Kebocoran sel
tidak secara langsung menyebabkan
inaktivasi selular, namun hal ini meru-
pakan konsekuensi dari kematian sel.
Chlorhexidine konsentrasi tinggi akan
menyebabkan koagulasi (penggump-
alan) kandungan intraselular sel bak-
teri sehingga sitoplasma sel menjadi
beku, dan mengakibatkan penurunan
kebocoran kandungan intraselular.
Jadi terdapat efek bifasik (memiliki 2
fase) chlorhexidine pada permeabilitas
membran sel bakteri, dimana pening-
katan kebocoran kandungan intrase-
lular akan bertambah seiring bertam-
bahnya konsentrasi chlorhexidine,
namun kebocoran ini akan menurun
pada chlorhexidine konsentrasi tinggi
akibat koagulasi dari sitosol (cairan
yang terletak di dalam sel) sel bakteri.
Baru-baru ini, gel bioadesif yang
mengandung CHX diperkenalkan di
pasaran. Pemberian gel ini secara in-
traalveolar memungkinkan efek terapi
CHX lebih langsung dan lebih lama
bertahan, yang berguna mencegah
terjadinya osteitis alveolar pasca pen-
cabutan molar ketiga yang impaksi.
Pemberian CHX gel intraalveolar pada
pasien dengan gangguan perdarahan
dapat meningkatkan risiko komplikasi
perdarahan pasca operasi. Sebaliknya,
kelainan perdarahan dapat mem-
pengaruhi efi kasi CHX sebagai obat
pencegah osteitis alveolar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi keefektifan gel CHX
0,2% dalam menurunkan insidens os-
teitis alveolar pasca ekstraksi molar ke
tiga yang impaksi pada pasien dengan
gangguan perdarahan. Digunakan
metode penelitian tersamar ganda,
acak dan kelompok paralel pada 38
pasien gangguan perdarahan.
Kelompok eksperimen (n=14) diobati
dengan gel CHX 0,2% intraoperatif
setelah pembedahan pengangkatan
gigi molar ke tiga. Kelompok kontrol
(n=24) diobati dengan gel plasebo.
Hasil penelitian memperlihatkan
penurunan insidens osteitis alveolar
sebesar 57,15% pada kelompok eks-
perimen: insidens osteitis alveolar di
kelompok kontrol 17% dan di kelom-
pok eksperimen sebesar 7% (p=0,402).
Komplikasi perdarahan terjadi pada
21% kelompok eksperimen diband-
ingkan dengan 29% di kelompok kon-
trol (p=0,601).
Seperti hasil penelitian sebelumnya,
CHX 0,2% intraalveolar intraoperatif
dosis tunggal tampaknya menurunkan
insidens osteitis alveolar setelah pen-
cabutan molar ke tiga yang impaksi
pada pasien dengan gangguan perd-
arahan. � (SFN)
REFERENSI:
1. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, Hita-
Iglesias P. Randomized, double-blind study
of effectiveness of intra-alveolar application
of chlorhexidine gel in reducing incidence of
alveolar osteitis and bleeding complications in
mandibular third molar surgery in patients with
bleeding disorders. J Oral Maxillofac Surg.
2010 Jun;68(6):1322-6. Available from: http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20346565
2. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, Infante-
Cossio P, Garcia-Calderon M, Romero-Ruiz
MM, Serrera-Figallo MA. Randomized, double-
blind study on effectiveness of intra-alveolar
chlorhexidine gel in reducing the incidence of
alveolar osteitis in mandibular third molar sur-
gery. Int J Oral Maxillofac Surg 2005;35(4):348-
51. Nov 9. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/16289676
Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada Pembedahan Molar Ketiga Mandibular
Pasien dengan Gangguan Perdarahan
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 451CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 451 7/23/2010 10:33:47 PM7/23/2010 10:33:47 PM
![Page 41: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/41.jpg)
453| AGUSTUS 2010
Kombinasi berberine, red yeast
rice, dan policosanol secara
bermakna menurunkan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL (Low
Density Lipoprotein) serta memper-
baiki fungsi vaskular. Demikian hasil
penelitian dr. Valentina Mercurio dan
rekan dari University of Naples Fed-
erico II School of Medicine, Italia dan
telah dipublikasikan pada acara Euro-
PREVENT 2010.
Dr. Valentina mengatakan bahwa ber-
berine, red yeast rice, dan policosanol
telah digunakan sejak lama di dunia
medis Timur (non-Barat) untuk men-
gontrol kadar kolesterol. Berberine
dapat menurunkan kadar lipid total,
mengatasi gangguan pencernaan
dan telah digunakan dalam pengo-
batan tradisional Cina sebagai terapi
diabetes melitus. Dalam penelitian
dr. Yifei Zhang dan rekan dari Shang-
hai Clinical Center for Endocrine and
Metabolic Diseases and Division of
Endocrine and Metabolic Diseases,
Shanghai, China, berberine efektif
dan relatif aman sebagai terapi pasien
diabetes dan dislipidemia. Berberine
dapat ditemukan pada tumbuhan Ber-
beris, goldenseal (Hydrastis canaden-
sis), and Chinese goldthread (Coptis
chinensis).
Red yeast rice, atau red fermented
rice, red kojic rice, red koji rice, atau
ang-kak, adalah nasi fermentasi ber-
warna merah keunguan, secara alami
mengandung lovastatin, apabila nasi
merah tersebut diolah bersamaan
dengan jamur Monascus purpureus.
Dalam penelitian, red yeast rice secara
Nutraseutikal Kombinasi Terbaru untuk Terapi Hiperkolesterolemia
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 453CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 453 7/23/2010 10:33:49 PM7/23/2010 10:33:49 PM
![Page 42: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/42.jpg)
454 | AGUSTUS 2010
bermakna menurunkan kadar koles-
terol total dan kolesterol LDL diband-
ingkan plasebo.
Policosanol merupakan campuran
alkohol alifatik yang berasal dari lilin
tumbuhan seperti tebu, ubi rambat
atau dari lilin lebah. Data menunjuk-
kan bahwa policosanol ini diberikan
pada pasien diabetes, namun hingga
kini pengaruhnya terhadap kontrol
gula darah masih dipertanyakan
Penelitian dr. Valentina dkk. merupa-
kan penelitian acak, tersamar ganda,
melibatkan 50 pasien hiperkolestero-
lemia. Kelompok I menerima terapi
nutraseutikal kombinasi (500-mg ber-
berine, 200-mg red yeast rice, dan
10-mg policosanol); dan kelompok
II diberi plasebo selama periode 6
minggu. Setelah 6 minggu pertama,
dilakukan penelitian lanjutan (peneli-
tian terbuka), kelompok I dan II diberi
terapi nutraseutikal kombinasi selama
4 minggu.
Hasil penelitian memperlihatkan ba-
hwa setelah 6 minggu, kadar koleste-
rol total dan LDL turun di kelompok I,
namun tidak di kelompok II plasebo.
Selain itu fl ow-mediated dilation men-
galami perbaikan pada kelompok I
terapi nutraseutikal kombinasi, namun
tidak berubah pada kelompok II (pla-
sebo).
Pada akhir masa penelitian lanjutan
(kelompok I dan II diberi terapi nutra-
seutikal kombinasi) terjadi penurunan
trigliserida pada kedua kelompok pe-
nelitian.
Selain hasil tersebut, analisis sekunder
memperlihatkan perbaikan sensitifi -
tas insulin secara bermakna pada pa-
sien yang pada baseline mengalami
resistensi insulin. Selama penelitian
berlangsung, tidak ada efek samping
berat yang teramati pada kedua ke-
lompok penelitian; efek samping rela-
tif ringan seperti diare dan konstipasi.
Penurunan kadar lemak dipeneklitian
ini dapat diperbandingkan dengan
penurunan kadar lemak yang dapat
dicapai dengan dosis statin standar.
Di Italia kombinasi nutraseutikal ini
tersedia dalam sediaan tablet untuk
pemberian sekali sehari serta dijual di
apotik. Dr. Valentina menambahkan
bahwa produk nutraseutikal kombinasi
ini hendaknya diresepkan oleh dokter
dan bukan dibeli langsung oleh pa-
sien/ masyarakat.
SIMPULAN:
o Kombinasi berberine, red yeast
rice, dan policosanol secara ber-
makna menurunkan kadar koles-
terol total, kolesterol LDL (Low
Density Lipoprotein) serta mem-
perbaiki fungsi vaskular
o Selain memperbaiki profi l lemak,
nutraseutikal kombinasi ini juga
diperkirakan dapat diberikan pada
pasien diabetes melitus karena
dapat memperbaiki sensitivitas in-
sulin.
� (YYA)
Tabel 1. Perbandingan perubahan dari baseline pada minggu ke-6, antara kelompok I (terapi nutraseutikal) dengan kelompok II (plasebo).
Pengukuran Kelompok I Kelompok II Nilai p
Kolesterol total (mmol/L) -1,14 -0,03 <0,001
Kolesterol LDL (mmol/L) -1,06 -0,04 <0,001
Dilatasi karena aliran darah (fl ow-mediated dilation (%)) 3 0 <0,05
REFERENSI :
1. Heber D, Yip I, Ashley JM, Elashoff DA,
Elashoff RM, Go VLW. Cholesterol-lowering
effects of a proprietary Chinese red-yeastrice
dietary supplement. Am J Clin Nutr 1999; 69:
231–6.
2. Medscape. “Nutraceutical” Combo for Lipid
Lowering Shows Promise in Small, Prelimi-
nary Trial. [cited 2010 Mei 14]. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/72139
0?src=mpnews&spon=2&uac=117092CG
3. Torres O, Agramonte AJ, Illnait J, Más Fer-
reiro J, Fernández L, Fernández JC. Treat-
ment of hypercholesterolemia in NIDDM
with policosanol. [cited 2010 Mei 14]. Avail-
able from: http://care.diabetesjournals.org/
content/18/3/393.abstract?
4. Zhang Y, Li X, Zou D, Liu W, Yang J, Zhu N,
et al. Treatment of Type 2 Diabetes and Dys-
lipidemia with the Natural Plant Alkaloid Ber-
berine. J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93:
2559–65.
BERITA TERKINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 454CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 454 7/23/2010 10:33:51 PM7/23/2010 10:33:51 PM
![Page 43: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/43.jpg)
455| AGUSTUS 2010
INTRODUCTION
All cellular elements that comprise
a peripheral nerve (perineural cells,
Schwann cells and fi broblasts) can the-
oretically give rise to peripheral nerve
tumors (PNTs). The tumors are clas-
sifi ed as either benign or malignant,
and sub-classifi ed according to their
origin from either neural or non-neural
elements (Table 1).
HISTORY AND PHYSICAL EXAMI-
NATION
When a soft tissue mass is associated
with sensory and/or motor symptoms
supplied by a known peripheral nerve,
the suspicion of a peripheral nerve
tumor is readily apparent. Then a fo-
cused history of patient to harbor a pe-
ripheral nerve tumor (PNTs) should be
directed towards the onset, duration,
and growth alterations of the mass. A
family history of NF-1 or NF-2 or other
predisposition syndromes is of special
importance, since majority of PNTs are
linked with these syndromes. Presence
or absence of symptoms and signs
such as pain, numbness, weakness,
the overlying skin temperature and
color, fl uctuance, along with the pa-
tients general health inquiry including
immune status, pre-existing malignan-
cy are of importance in the differential
diagnosis. However, many peripheral
nerve tumors present without any neu-
rological symptoms due to their slow
growth rate or origin from a superfi cial
small sensory branch. Several features
of the examination that suggests a pe-
ripheral nerve origin(1): 1. PNTs are mo-
bile perpendicular but not along the
longitudinal axis of a known peripheral
nerve. 2. Palpation or percussion (Ti-
nel’s sign) of a PNT may elicit sensory
stimuli radiating along the distribution
of the nerve of origin. 3. A mass in the
presence of a patient with a genetic
predisposition such as neurofi broma-
tosis (NF) most likely represents a pe-
ripheral nerve tumor.
DIAGNOSTICS
Nerve conduction and EMG evalua-
tion are not generally performed in
the management of PNTs as they are
not diagnostic nor do they help in
the management decision. However,
Treatment of Peripheral Nerve Tumors
Julius July1, Abhijit Guha2
1. Department of Neurosurgery, Medical School of Universitas Pelita Harapan, Siloam Lippo Karawaci Hospital, Tangerang, Indonesia
2. Professor, Department of Surgery; Alan & Susan Hudson Chair in Neurooncology Toronto Western Hospital, University Health Network; Co-Director,
Arthur & Sonia Labatts Brain Tumor Centre, Hospital for Sick Children’s Research Institute, Univ. of Toronto, Ontario, Canada
Table 1. Peripheral Nerve Tumors Simple Classifi cation Scheme
Peripheral Nerve Tumors
Benign Malignant
Neural Elements Neural Elements
Non Neural Elements Non Neural Elements
Schwanoma
Neurofi broma
Perineurioma
Etc.
Desmoid
Ganglion Cyst
Fibrolipomatous Hamartoma
Lipoma
Neuromuscular choristoma
Etc.
Pancoast Tumor
Soft Tissue sarcoma /-
carcinoma
Etc.
MPNST
Primary PN Lymphoma
Etc.
PRAKTIS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 455CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 455 7/23/2010 10:33:52 PM7/23/2010 10:33:52 PM
![Page 44: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/44.jpg)
456 | AGUSTUS 2010
intra-operative electrophysiology is
crucial as discussed below. Plain X-ray
and CT scans are occasionally helpful,
especially to demonstrate remodel-
ing of adjacent bony structures such
as the neural foramina. Angiography
or MR angiography is rarely required,
and restricted to large PNTs at the
base of the neck, chest or retroperi-
toneum, where close proximity and or
rarely vascular invasion may be pres-
ent. MRI is the most useful and sensi-
tive technique, often but not always
revealing the nerve of origin (Fig. 1).
It is especially useful in determining
the relationship of the mass to adja-
cent anatomical structures, which are
of relevance.
Although CT scan or MRI cannot dis-
tinguish between the various subtypes
of PNTs and determine whether a le-
sion is benign or malignant (2,3), MR
imaging may be highly suggestive but
not diagnostic of the sub-type of PNT,
with elements of the history and physi-
cal examination often superior in pre-
dicting whether the lesion is benign
vs. malignant and the likely sub-type
of PNT to be present. Occasionally,
MR imaging of schwannoma demon-
strates the nerves of origin, and the
displaced passer-by fascicles around
the capsule, consistence with its typi-
cal extra-fascicular growth. In contrast,
neurofi bromas are more fusiform (ie.
spindle) or multi-nodal, suggestive of
their typical intra-fascicular growth. Of
note, a PNT in the context of an NF-1
patient will most certainly be a neuro-
fi broma vs. an NF-2 patient who likely
harbors a schwannoma. Lipomas have
the characteristic bright on T1 and T2
signal, while ganglion cysts are bright
on T2 with the origin traced to joint
capsule in proximity to the nerve.
MRI of PNTs may demonstrate het-
erogeneous enhancement, indicat-
ing intra-tumor hemorrhage, necrosis
or cystic degeneration. However, its
relationship to malignancy is poor. In
fact, there are no defi nitive radiologi-
cal features of a Malignant Peripheral
Nerve Sheath Tumor (MPNST), a di-
agnosis mainly suspected on rapid
clinical and radiological growth, pro-
gressive neurological deterioration
and most importantly pain. Use of 18FDG PET scanning, a developing
technique for dynamic imaging of
glucose metabolism(4,5), is of poten-
tial promise in distinguishing MPNST
from benign PNTs. Still, one should be
aware of the occasional false-negative
results with this modality(6). Initial stud-
ies have shown that 18FDG-PET can be
used to identify potentially malignant
transformation of a benign plexiform
neurofi broma to a MPNST. In those in-
stances where malignant transforma-
tion is probable but not yet confi rmed,
biopsy of the lesion before surgery is
essential.
Figure 1. Patient with Left median nerve schwanoma. Upper Left: T1W MRI showed a masses along the
course of left median nerve with obvious nerve origin. Upper Right: intraoperative picture showed proximal
and distal part before dissection to identify the nerve and isolated with rubber band. Lower: Identifying
the nerve and isolated with rubber band. Schwannoma always can be separated from the nerve and leave
the nerve intact.
PRAKTIS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 456CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 456 7/23/2010 10:33:52 PM7/23/2010 10:33:52 PM
![Page 45: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/45.jpg)
457| AGUSTUS 2010
OPERATIVE PRINCIPLES
There are several operative principles
that are applicable for all peripheral
nerve tumors(1), such as:
1) Anesthetic without neuromuscular
paralysis to allow intra-operative
nerve stimulation.
2) The limb was positioned and
draped to allow anatomical acces-
sibility and evaluation of the distal
muscles that are supplied by the
nerve of origin.
3) The incision over the tumor should
extend proximally and distally to
allow adequate exposure of the
nerve of origin at either pole of
the tumor, coursing in a curvilin-
ear fashion over fl exor/extensor
creases. If the tumor is adjacent to
a known entrapment point such as
the carpal tunnel or fi bular head at
the knee, the incision should allow
prophylactic release of the entrap-
ment point in conjunction with tu-
mor removal.
4) Magnifi cation, intraoperative
electrophysiological monitoring
including Nerve Action Potentials
(NAP), and microneurosurgical
instruments should be ensured.
Ultrasonic aspiration is sometimes
required to internally debulk large
PNTs, which allows the tumor cap-
sule to be collapsed and facilitat-
ing subsequent dissection of the
passerby fascicles from the tumor
capsule.
5) The fi rst step of dissection in-
volves isolating of the proximal
and distal segments of the nerve
of origin from adjacent vascular
and soft tissue structures and en-
circling them in vessel loops.
6) Gross observation of the tumor
and the position of the displaced
fascicles will often reveal the un-
derlying pathology and vital to
avoid injuring the nerve during
tumor removal(7,8,9). In schwan-
nomas, passerby fasicles will be
found displaced relative to the tu-
mor capsule, though they may be
quite attenuated. The routes of
these fasicles should be noted mi-
croscopically and evaluated with
electrical stimulation noting dis-
tal muscle activity. Neurofi bromas
in contrast typically do not reveal
the discrete passerby fasicles, as
nerve fasicles are encompassed
within the tumor. However, several
major fasicles may be displaced
around the bulk of the tumor and
their position in the tumor capsule
should be noted.
7) A small biopsy of the tumor from
an electrically silent region is sent
for pathological verifi cation. The
pathology in conjunction with the
gross and microscopic observa-
tion will determine the feasibility
of total removal (as in schwanno-
mas) vs. limited resection (as in
neurofi bromas, desmoids). If the
quick section pathology suggests
a neurogenic sarcoma, then we
recommend closure and manage-
ment as outlined below.
Using the principles outlined above,
the single nerve fascicle which gives
rise to the schwannoma can usually
be isolated and electrophysiologically
confi rmed to be non-conducting, and
then total removal of the tumor can be
undertaken, (Fig 1).
REFERENCES:
1. July J, Guha A. Surgical Management of benign peripheral nerve tumors. Medical Journal of Indonesia 2008;17(3): 163-8.
2. Levine E, Huntrakoon M, Wetzel L. Malignant-nerve sheath neoplasms in Neurofi bromatosis: Distinctions from benign tumors by using imaging techniques. Am.
J. Radiol.1987;149:1059-1064.
3. Suh J, Abenoza P, Galloway H, Everson L, Griffi ths H. Peripheral (extracranial) nerve tumors: Correlation of MR imaging and histological fi ndings. Radiology
1992;183:341-346.
4. Adler LP, Blair HF, Makley JT, Williams RP, Joyce MJ, Leisure G, Al-Kaisi N, Miraldi F. Noninvasive grading of musculoskeletal tumors using PET. J Nucl
Med.1991;32:1508-12.
5. Lucas JD, O’Doherty MJ, Wong JCH, Bingham JB, McKee PH, Fletcher CDM, Smith MA. Evaluation of fl uorodeoxyglucose positron emission tomography in the
management of soft tissue sarcomas. J Bone Joint Surg (Br) 1998;80-B:441-7.
6. Hsu CH, Lee CM, Wang FC, Fang CL. Neurofi broma with increased uptake of (F-18)-fl uoro-2- deoxy-D-Glucose interpreted as a metastatic lesion. Ann Nucl Med
2003;17:609-611.
7. Hudson A, Gentili F, Kline D. Peripheral Nerve Tumors. In: Schmidek H, Sweet W (Eds). Operative Neurosurgical Techniques. Grune & Stratton, New York 1988.
pp. 1599-1610.
8. Kline D, Hudson A. Operative Results of Major Nerve Injuries, Entrapments and Tumors. W. B. Saunders, Philadelphia. 1994.
9 Rosenberg A, Dick H, Botte M. Nerve Tumors. In Gilberman R (Ed.), Operative Nerve Repair and Reconstruction, J.B. Lippincott, Philadelphia,1991.
PRAKTIS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 457CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 457 7/23/2010 10:33:54 PM7/23/2010 10:33:54 PM
![Page 46: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/46.jpg)
458 | AGUSTUS 2010
SEJARAH SINGKAT STETOSKOP
Sejak ditemukan pertama kali di Per-
ancis pada 1816 oleh René-Théophile-
Hyacinthe Laennec, stetoskop telah
menjadi simbol pekerjaan seorang
dokter selama berabad-abad. Kata
‘Stetoskop’ sendiri berasal dari bahasa
Yunani (stethos, dada dan skopeein,
memeriksa) yang berarti sebuah alat
medis akustik untuk memeriksa suara
dalam tubuh. Alat ini banyak diguna-
kan untuk auskultasi suara jantung dan
pernapasan, meskipun juga diguna-
kan untuk mendengar bising usus dan
aliran darah arteri dan vena.
Bentuk awal alat ini pertama kali
adalah tabung kayu kosong. Konon
beliau menciptakan stetoskop sehing-
ga ia tidak perlu menaruh telinganya
di buah dada wanita Perancis. Tidak
jelas apakah Laennec mencoba men-
ghindarinya, atau untuk menghindari
rasa malu pasien. Apabila dilihat dari
bentuk dan teknologinya, stetoskop
dibagi menjadi 2 jenis :
1. Stetoskop Akustik
Ini bentuk paling umum yang dicip-
takan oleh Rappaport & Sprague di
awal abad ke-20 berdasarkan prinsip
penjalaran suara dari tubuh pasien
akan diteruskan ke dalam tabung
kosong lewat 2(dua) sisi chestpiece
untuk memperjelas suara. Sisi “dia-
phragma” (lempengan plastik) untuk
memproduksi gelombang akustik dan
sisi “bell” (mangkuk kosong) untuk
menyalurkan suara frekuensi rendah.
Masalah yang sering timbul dari ste-
toskop akustik adalah tingkatan suara
sangat rendah membuat diagnosis
relatif sulit
2. Stetoskop Elektronik
Stetoskop elektronik atau steto-
phone, merupakan pengembangan
versi akustik dengan penambahan
beberapa teknologi baru untuk bisa
meng-amplifi kasi suara tubuh dari
tingkat frekuensi terendah sampai
yang tertinggi agar memudahkan di-
agnosis. Modifi kasi yang ditambahkan
bermacam-macam mulai dari penggu-
naaan Diaphragma Elektronik, Kristal
Piezo-Elektrik, hingga Piranti Nirkabel
yang akan mulai muncul di pasaran
beberapa saat lagi.
STETOSKOP MASA DEPAN
Perkembangan teknologi yang makin
cepat telah merambah ke alat-alat
medis konvensional. Improvisasi den-
gan teknologi nirkabel hingga kristal
piezo-elektrik pun menambah fungsi
stetoskop masa kini dan akan terus
berkembang di masa depan.
Banyak produk stetoskop mutakhir
telah muncul saat ini, beberapa di
antaranya:
1. 3M-Littmann 3200 Bluetooth
Stethoscope
Penggunaan teknologi Bluetooth ser-
ing berhubungan dengan audio atau
suara tetapi tidak menyangka kalau
penggunaan Bluetooth sampai untuk
stetoskop. 3M Littmann 3200 adalah
sebuah stetoskop digital yang telah di-
lengkapi dengan teknologi Bluetooth.
Stetoskop yang satu ini mempunyai
fi tur yang biasanya ada di sebuah
earphone yaitu dikenal dengan nama
Ambient Noise Reduction, sebuah
fungsi untuk mengurangi suara berisik
Stetoskop - Stetoskop Masa Depan
Penggalih Mahardika Herlambang
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Indonesia
OPINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 458CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 458 7/23/2010 10:33:54 PM7/23/2010 10:33:54 PM
![Page 47: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/47.jpg)
459| AGUSTUS 2010
dari luar sehingga suara yang dihasil-
kan benar-benar baik.
Stetoskop ini juga bisa merekam suara
detak jantung, paru-paru dan lainnya
dan kemudian fi le suara tersebut dapat
ditransfer ke komputer melalui koneksi
Bluetooth. Dalam paket penjualannya
juga telah disertakan sebuah software
Zargis Steth Assist yang dapat digu-
nakan untuk menganalisis suara yang
direkam dan bisa juga untuk berkomu-
nikasi sekaligus berkonsultasi dengan
sejawat lain secara jarak jauh dengan
fi tur Zargis TeleMed. Harga resmi 3M
Littmann Electronic Stethoscope ada-
lah US$ 379 sedangkan perangkat
lunaknya dijual terpisah seharga US$
385.
2. GE Vscan Pocket UltraSound
Ultrasound diprediksi akan menjadi
salah satu teknologi masa depan yang
akan diterapkan. Teknologi ini telah
dikembangkan oleh General Electric
(GE).
CEO GE Jeff Immelt telah memajang
perangkat baru yang dilengkapi den-
gan mesin ultrasound. Perangkat yang
diberi nama Vscan ini digadang-gad-
ang akan menggantikan stetoskop di
masa depan. Perangkat pencitraan
ukuran saku ini memiliki desain lipat
yang dilengkapi dengan layar beru-
kuran kecil 135x73x28 mm pada cang-
kang atas dan tombol keypad yang
terintegrasi di cangkang bawah yang
langsung tersambung pada probe.
Teknologi ultrasound pada Vscan me-
mungkinkan dokter memeriksa kondisi
kesehatan pasien, selain pemeriksaan
fi sik luar juga bisa melihat kelainan di
dalam tubuh secara pencitraan hitam
putih dan kode warna aliran darah
(echo) secara langsung di tempat.
Tujuan aplikasi klinis alat ini, menurut
GE, adalah sebagai alat bantu diag-
nosis cepat untuk kelainan jantung,
abdomen, vesica urinaria, obstetrik
& ginekologi, pediatri, vaskularisasi
perifer, dan pergerakan cairan pleura
dalam thoraks.
Dilengkapi slot memori MicroSD yang
bisa di-upgrade hingga 32GB, data
pasien dengan format ‘.jpg’ (gambar),
‘.mpg’(video) dan ‘.wav’(suara) akan
makin banyak tersimpan dalam piranti
VScan ini dan bisa ter-integrasi den-
gan aplikasi Vscan Gateway Software
. Sayangnya piranti ini belum dapat
dinikmati secara umum walaupun su-
dah lolos uji dari FDA Amerika Serikat,
Kanada, dan Uni Eropa.
OPINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 459CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 459 7/23/2010 10:33:57 PM7/23/2010 10:33:57 PM
![Page 48: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/48.jpg)
460 | AGUSTUS 2010
3. iStethoscope Pro (iPhone
2G/3G/3Gs + Stethoscope)
Dikembangkan oleh Peter J.Bentley,
seorang pakar komputer sekaligus
penulis 7(tujuh) buku sains populer
yang tergabung dalam perkumpulan
The Undercover Scientist di Univer-
sity College London. Aplikasi iStetho-
scope Pro merupakan pengembangan
bersama dengan pakar kardiologi dari
aplikasi pendahulunya yaitu iSteto-
scope yang masih tergolong software
iseng saja. Terdapat 6 (enam) mode
pengoperasian dari mode mute,
heartbeat pure, heartbeat fi ltered,
conversation, clear sound, hingga
mode accelerometer.
Prinsip pemakaiannya sangat sederha-
na, cukup men-download aplikasi ini
di Apple AppStore seharga US$0,99
ke dalam iPhone, lalu aktifkan, kemu-
dian pasang headset lalu atur sen-
sitifi tas microphone dan tempelkan
pada permukaan daerah dada. Bisa
juga dengan membeli iStetho adapter
rancangan Dr.Blaine Warkentine, MD
yang berbentuk chestpiece stetoskop
dan bisa langsung dipasang pada iP-
hone.
Kekurangan pasti ada di setiap
teknologi buatan manusia, begitu-
pula iStethoscope. Karena belum me-
lewati uji FDA maka aplikasi ini tidak
disarankan untuk praktek resmi para
tenaga medis di AS saat ini. Di sisi lain,
pengembang aplikasi ini sudah mem-
peringatkan untuk tidak mecobanya
pada pasien yang memiliki implant
pacemaker karena dapat mempenga-
ruhi fungsi alat pacu jantung.
BIJAK MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI
Perkembangan nirkabel untuk piranti
digital pemeriksan dasar yang lain
sangat mungkin makin berkembang.
Meski begitu, faktor manusia teta-
plah yang paling utama. Perlu dikha-
watirkan jika kelak sinergisme kinerja
piranti-piranti tersebut dipakai seba-
gai parameter absolut. Jika ini terjadi,
justru dapat menimbulkan kesalahan
interpretasi. Alhasil, yang bicara ada-
lah mesin (program). Dampak lebih
jauh, setiap orang bisa ‘merasa bisa’
mendiagnosis hanya dengan meng-
gunakan piranti digital tanpa dilandasi
dasar-dasar pengetahuan medis yg
terintegrasi. Padahal, pasien adalah
manusia dinamis dengan banyak un-
sur subyektifi tas. Terlepas dari kelema-
han-kelemahan tersebut, kehadiran
piranti medis digital patut kita sambut
dengan gembira dan juga lebih bijak
menggunakannya. (pm)
DAFTAR PUSTAKA:
1. Wikipedia, 28 Februari 2010. Stethoscope, http://en.wikipedia.org/wiki/Stethoscope
2. Medgadget. 2010. Litmann 3200 Bluetooth stetoschope Brings Auscultation to PC For Sharing, Futher
Review. http://www.medgadget.com/archives/2009/08/littmann_3200_bluetooth_stethoscope_brings_
auscultation_to_pc_for_sharing_futher_review.html
3. Bentley, PJ. 2008. iStethoscope Pro. http://www.peterjbentley.com/
4. Steth Assist User Manual, 2009, download dari http://www.mystethoscope.com/littmann-3200-electron-
ic-stethoscope-bluetooth-p-429.html ,
5. Vscan Data Sheet., 2010, download dari https://www2.gehealthcare.com/portal/site/vscan/aboutvs-
can/
OPINI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 460CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 460 7/23/2010 10:34:05 PM7/23/2010 10:34:05 PM
![Page 49: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/49.jpg)
461| AGUSTUS 2010
Tubuh manusia adalah objek
yang sangat rumit dan menarik.
Dengan peranti lunak OsiriX,
kita dapat melihatnya dalam bentuk
gambar 4D yang bisa diperbesar dan
eksplorasi sesuai keinginan.
OsiriX. Nama program ini mirip deng-an nama Dewa Kehidupan, Kematian, dan Kesuburan zaman Mesir, Osiris.
Faktanya aplikasi ini memang ada hu-bungannya dengan hal tersebut, yaitu sebagai sebuah peranti lunak kedok-teran untuk melihat potongan tubuh manusia yang telah di-scan.
Osirix merupakan peranti lunak yang
didedikasikan khusus untuk menampil-
kan gambar DICOM (ekstensi “.dcm”)
yang diproduksi oleh peralatan pen-
citraan (MRI, CT, PET, PET-CT, SPECT-
CT, USG). Tampilan dan interpretasi
sebuah gambar diperoleh dengan cara
mengkombinasi data tiga dimensi yang
didapat dengan dua modalitas berbe-
da (misalnya PET dan CT) pada subjek
yang sama membutuhkan perangkat
peranti lunak kompleks yang memung-
kinkan pengguna mengatur berbagai
parameter gambar.
OsiriX, Peranti Lunak Pencitraan Kedokteran
Prima Almazini
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
INFORMATIKA KEDOKTERAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 461CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 461 7/23/2010 10:34:10 PM7/23/2010 10:34:10 PM
![Page 50: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/50.jpg)
463| AGUSTUS 2010
Osirix didesain secara spesifi k untuk navigasi dan visualisasi berbagai mo-dalitas dan gambar multidimensional: 2D, 3D, 4D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat, contoh: Cardiac CT) dan 5D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat dan fungsional, contoh: Car-diac PET-CT). 3D viewer menawarkan seluruh mode proses rendering mod-ern: multiplanar reconstruction (MPR), surface rendering, volume rendering and maximum intensity projection (MIP). Seluruh mode ini mendukung data 4D dan menghasilkan gabungan gambar antara 2 series yang berbeda (contohnya PET-CT).
Selain DICOM, OsiriX dapat diguna-kan untuk membaca format fi le lain seperti: TIFF (8,16, 32 bits), JPEG, PDF, AVI, MPEG, dan Quicktime. Osirix pun dapat digunakan untuk menerima transfer gambar oleh protokol komu-nikasi DICOM dari berbagai Picture Achiving and Communication Systems (PACS) atau modalitas pencitraan.
Proyek pembuatan OsiriX dimulai pada tahun 2003 di California Amerika Serikat. Peranti lunak ini dibuat dan dikembangkan oleh Dr. Antoine Ros-set, dengan bantuan dari Joris Heu-berger, seorang ilmuwan komputer. Dr. Antoine Rosser adalah seorang ra-diologis, spesialis dalam MRI dan CT, bekerja di Rumah Sakit LaTour. Mer-eka sama-sama bekerja di Jenewa, Swiss.
OsiriX tersedia dalam format 32-bit dan 64-bit. Versi 64-bit menyediakan fasilitas untuk memuat jumlah gambar yang tak terbatas, melebihi batas 4-GB dari aplikasi 32-bit. Versi 64-bit juga di-optimalkan oleh prosesor multi-cores Intel, menawarkan performa terbaik untuk proses rendering 3D. OsiriX hanya tersedia untuk pengguna oper-ating system MAC OS X versi 10.4 atau lebih dan prosesor PPC/Intel Mhz.
Osirix digunakan oleh para dokter un-tuk membaca secara cepat gambar DICOM dan memahami gambar 4D (gambar 3D disertai tampilan peris-tiwa sesaat, misalnya denyut jantung).
Gambar hasil pencitraan dapat dilihat dalam format 3D, dapat diperbesar, dan diperjelas detailnya. Hal ini mem-berikan pemahaman yang sempurna mengenai bentuk organ manusia dan dapat berguna untuk interpretasi dan untuk sarana pembelajaran untuk ma-hasiswa kedokteran. OsiriX dapat diun-duh gratis di http://homepage.mac.com/rossetantoine/osirix. Beberapa contoh fi le DICOM dapat diunduh di http://pubimage.hcuge.ch:8080/. Tutorial penggunaan peranti lunak ini banyak tersedia di You Tube dengan kata kunci pencarian “OsiriX”. Sela-mat mencoba!
SUMBER:
1. Anonim. About Osirix. Available from: http://
www.osirix-viewer.com/AboutOsiriX.html
2. Migliorini F. Process DICOM images. Available
from: http://osirix.en.softonic.com/mac
3. Rosset A, Spadola L, Pysher, Ratib O. Infor-
matics in radiology (infoRAD): navigating the
fi fth dimension: innovative interface for multi-
dimensional multimodality image navigation.
Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):299-308.
INFORMATIKA KEDOKTERAN
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 463CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 463 7/23/2010 10:34:12 PM7/23/2010 10:34:12 PM
![Page 51: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/51.jpg)
465| AGUSTUS 2010
Dr. Bambang Hermani adalah sosok
seorang dokter yang sederhana dan
ramah. Beliau sangat bersedia di-
wawancarai sehingga saya dipersila-
kan datang keesokan harinya di ruang
kerjanya di Departemen Ilmu Penyakit
THT FKUI/RSCM Jakarta.
“Penyakit telinga, hidung, tenggoro-
kan merupakan penyakit yang banyak
dijumpai di Indonesia; terutama di po-
liklinik rumah sakit tempat saya bek-
erja, banyak dijumpai pasien dengan
keluhan di telinga, hidung dan teng-
gorokan” tutur Prof. Dr. Bambang Her-
mani, Sp THT-KL(K) ketika menjawab
pertanyaan CDK mengenai mengapa
mengambil spesialisasi THT ketika itu.
Masuk kedokteran sebenarnya bukan
cita-citanya; ketika lulus dari SMA 1
Boedi Oetomo Jakarta tahun 1966 be-
liau ingin masuk ke Akademi Angka-
tan Laut. “Tetapi karena teman-teman
SMA banyak yang mendaftar ke Fakul-
tas Kedokteran dan juga orangtua
mendukung, maka akhirnya saya daf-
tar dan alhamdulillah diterima di FKUI
pada tahun 1967,” tutur Bambang.
Orangtua beliau hanya pegawai ne-
geri biasa; dari tujuh orang bersau-
dara hanya beliau yang menjadi dok-
ter. “Saya anak pertama, jadi sayalah
yang menjadi tulang punggung kelu-
arga untuk membantu adik-adik saya,”
tuturnya.
Dokter yang lahir di Klaten 62 tahun
Profi l: Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)
“Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini
Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu”
PROFIL
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 465CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 465 7/23/2010 10:34:15 PM7/23/2010 10:34:15 PM
![Page 52: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/52.jpg)
466 | AGUSTUS 2010
yang lalu ini lulus dari Fakultas Kedok-
teran Universitas Indonesia pada ta-
hun 1973; meneruskan ke spesialisasi
THT dan lulus tahun 1977.
Banyak pasien tidak mengetahui ge-
jala penyakit telinga, hidung, teng-
gorokan, apalagi gejala kanker di
pita suaranya; oleh karena itu beliau
mengambil subspesialisasi Konsultan
Laring/Faring, Kepala dan Leher dan
lulus tahun 2000; pada tahun 2007 di-
kukuhkan menjadi Guru Besar Tetap
di Departemen Ilmu Penyakit THT
RSCM/FKUI Jakarta.
Dokter yang mempunyai tiga anak ini
terus mengabdi sebagai staf penga-
jar di Departemen Ilmu Penyakit THT
RSCM/FKUI; beliau mempublikasikan
penelitian ilmiah di berbagai majalah
dan seminar.
PENGALAMAN MENARIK
Sub Bagian Konsultan Laring tidak
banyak dipilih dokter karena kasus
karsinoma laring, selain sulit dan be-
rat, memerlukan keseriusan; juga tin-
dakan operasinya sangat lama - sekitar
4 - 5 jam. “saya mengambil subspesia-
lis ini karena banyak tantangannya,”
ujar Bambang.
Mengenai suka dan dukanya, sukanya
adalah banyak penyanyi terutama artis
yang datang untuk merawat pita su-
aranya. “Mereka datang untuk mem-
perbaiki pita suara,” ujar Bambang.
Ada artis penyanyi yang suaranya se-
rak, padahal malamnya akan tampil
bernyanyi. “Alhamdulillah artis terse-
but dapat tampil malam itu juga; artis
tersebut sangat senang dan saya juga
senang,” ujar Bambang.
“Kalau dukanya, jika ada pasien da-
tang dalam keadaan lanjut sehingga
tidak bisa diapa-apakan lagi, saya
berusaha menanganinya dan setelah
itu saya pasrah dengan do’a agar
diberi kesembuhan,” ujar mantan Ke-
tua Departemen THT ini.
MEMBAGI WAKTU
Dalam hal membagi waktu dengan
keluarga, beliau mengaku tidak ada
masalah, yang penting saling mema-
hami tugas masing-masing. “Anak
saya tiga orang dan semua sudah
berumah tangga, mereka mempunyai
kesibukan sendiri-sendiri,” tuturnya.
Bekerja di RSCM sampai pk.16.00,
sorenya praktek bergiliran di dua tem-
pat - RS St Carolus dan RS Proklamasi.
“Kesibukan saya selain di tempat kerja
juga aktif di berbagai organisasi, seh-
ingga saya hanya menyempatkan den-
gan keluarga hari Sabtu dan Minggu
saja,” ujar dokter yang hobynya main
bulutangkis ini.
Moto hidup beliau : suatu pekerjaan
jika benar dikerjakan dengan sungguh-
sungguh, disertai dengan doa akan
memberikan hasil yang bermanfaat.
Untuk menambah ilmu, Ketua Umum
Perhati ini menyarankan, dokter harus
mengikuti perkembangan dunia ke-
dokteran. Ini akan menguntungkan
pasien dan juga dokternya. “kita harus
mempelajari terus perkembangan
ilmu dan mentransfer ilmu ke orang
lain. “Saya di organisasi profesi ba-
nyak mengadakan kegiatan pelatihan
spesialis THT di daerah-daerah dan
teknologi THT sudah makin canggih;
apalagi bedah otak sekarang melalui
jalur THT terlebih dahulu,” ujar Kepala
Sub Bagian Laring/Faring THT FKUI-
RSCM ini. Beliau banyak mengikuti
berbagai kegiatan pelatihan baik da-
lam negeri maupun luar negeri, sep-
erti di Malaysia, Singapura, Perancis
dan Australia.
JABATAN
Berbagai jabatan yang pernah dipe-
gang adalah Koordinator Pelayanan
Masyarakat THT FKUI-RSCM, Staf Pe-
ngajar Kelas Internasional FKUI, Ketua
Tim Penyusunan Proposal Pembangu-
nan RS Pendidikan, Gedung FKUI, Ge-
dung FKG UI Depok. Sampai saat ini
masih menjadi Staf Pengajar Bagian
THT FKUI-RSCM dan Anggota Komite
Medik RSCM.
Di organisasi profesi pernah menjadi
Ketua Perhati Jaya Periode I dan Pe-
riode II, Ketua I Pengurus Pusat PER-
HATI, Ketua Kelompok Studi Head
& Neck PERHATI, Chairman ASEAN
ORL H&N Society, Wakil Pemimpin
Redaksi Majalah ORLI dan sampai saat
ini menjadi Wakil Ketua KORPRI Unit
RSCM.
KARYA ILMIAH
Hasil penelitian yang dipublikasikan
sebagai Penulis Utama berjumlah 5
artikel dan sebagai Penulis Pembantu
sebanyak 7 artikel. Karya Ilmiah Bukan
Hasil Penelitian yang dipublikasikan
sebagai Penulis Utama sebanyak 3
artikel, sebagai Pembantu 11 artikel
dan karya ilmiah lainnya sebanyak 3
artikel. Selain itu karya ilmiah berupa
buku: Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok
(kontributor), Panduan Penatalaksa-
naan Gawat Darurat Telinga Hidung
Tenggorok (kontributor), dan Buku
Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok (kontributor).
TANDA PENGHARGAAN
Berbagai penghargaan yang diper-
oleh: dari Hearing International Japan:
for effort and dedication to fullfi lling
the goals of the project ear health care
in Indonesia from 1995-2000, Satyalen-
cana Karya 20 tahun 2002, sebagai staf
Subbid Kesehatan Pertemuan Para Pe-
mimpin Kerjasama Ekonomi Asia Pasi-
fi k. (APEC) Bogor 15 Nopember 1994,
Penghargaan Sujono Juned Puspone-
goro sebagai Penulis Ilmiah Bidang
Kedokteran dengan topik “ The effi ca-
cy and safety of ofl oxacin otic solution
for active suppurative otitis media”.
Maj Kedokteran Indonesia 2002;52
(11):373-376 (Penulis pembantu), Ang-
gota Tim Penilai Kesehatan Calon
Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia tahun 2004, Penghargaan
Dekan FKUI atas prestasi selama men-
jabat Ketua Departemen Ilmu Penya-
kit Telinga, Hidung & Tenggorok FKUI
2000 – 2004, dan Penghargaan Dekan
FKUI dan Panitia Dies Natalis UI ke-56
Kategori Staf Akademik 2006.
(REDAKSI)
PROFIL
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 466CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 466 7/23/2010 10:34:21 PM7/23/2010 10:34:21 PM
![Page 53: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/53.jpg)
467| AGUSTUS 2010
Di negara Jepang, tepatnya di Fukuoka International Cong-ress Center, telah dilang-
sungkan the 13th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (13th AACA) pada tanggal 1-5 Juni 2010.
Acara yang diikuti oleh lebih dari 500 peserta, khususnya dokter spesialis anestesia tersebut mengambil tema “Safety and Challenge” yang bertu-juan untuk memberikan kesempatan yang berharga bagi para dokter spe-sialis anestesia untuk belajar menge-nai perkembangan baru dalam bidang anestesia, nyeri, perawatan klinis, ke-dokteran kegawatdaruratan dan pera-watan paliatif.
Program ilmiah dalam acara tersebut meliputi workshop, kuliah pleno, sim-posium, dan luncheon seminar de-ngan pembicara dari berbagai negara termasuk Indonesia. Selain itu, juga ada pameran poster ilmiah dan dime-riahkan dengan pameran beberapa produk dan peralatan anestesia di Marinemesse Fukuoka yang gedung-nya cukup jauh terpisah dari gedung tempat berlangsungnya simposium.
Salah satu topik yang dibicarakan da-lam program ilmiah adalah mengenai desfl urane yang merupakan suatu obat anestetik inhalasi yang relatif baru di beberapa negara. Krishan Na-rani dari Sir Ganga Ram Hospital In-dia menyampaikan bahwa desfl urane mempunyai titik didih 22,8 °C pada 1 atm dan tekanan uap 669 mmHg pada 20 °C sehingga memerlukan botol dan
vaporizer khusus untuk penyimpanan dan penghantaran uap desfl urane dengan terkontrol. Desfl urane mem-punyai koefi sien partisi darah:gas 0,42 yang menyebabkan cepatnya penca-paian tekanan parsial alveolus yang diperlukan untuk anestesia, diikuti dengan pulih sadar yang cepat setelah pemberian desfl urane dihentikan.
Nilai MAC (Minimal Alveolar Con-
centration) desfl urane 6,6% dalam O
2 pada suhu 37 °C dan turun men-jadi 2,38% jika desfl urane diberikan dengan N2O 60-70%. Desfl urane juga
sehingga kurang sesuai untuk induksi anestesia.
volume tidal, resistensi vaskular, teka-
nan darah dan curah jantung, tetapi tidak menyebabkan risiko aritmia atau mensensitisasi jantung terhadap epi-nephrine. Desfl urane dapat mening-katkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, yang dapat diturunkan dengan hiperventilasi.
Desfl urane tidak bersifat nefrotoksik
minimal pada manusia, yaitu hanya sekitar 0,02% yang dimetabolisme oleh tubuh. Namun desfl urane dapat didegradasi menjadi karbon monok-sida pada CO
2 absorber yang sangat
kering.
Dilihat dari karakteristik desfl urane tersebut, maka desfl urane baik digu-nakan untuk anestesia pada pasien bedah rawat jalan.
Penggunaan rocuronium juga diba-has dalam acara ini yang antara lain disampaikan oleh Takahiro Suzuki dari Surugadai Nihon University Hos-pital, Jepang. Rocuronium merupak-an obat pelumpuh otot dengan onset yang cepat, namun efeknya berbeda nyata pada dosis yang berbeda, se-
sangat bermanfaat untuk mencapai intubasi yang tercepat dan teraman.
nya bermanfaat untuk menjaga ham-batan neuromuskular tetap konstan karena kebutuhan infus rocuronium secara nyata berbeda menurut otot-
anestetik.
th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (AACA) 2010
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 467CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 467 7/23/2010 10:34:24 PM7/23/2010 10:34:24 PM
Pelaksanaan The 13
1 - 5 Juni 2010
mempunyai bau yang tajam dapat
Desfl urane menyebabkan penurunan
merangsang saluran pernapasan
maupun hepatotoksik desfl uranemengalami metabolisme yang
hingga monitoring neuromuskular
Monitoring neuromuskular khusus-
otot yang dimonitor, usia pasien dan
![Page 54: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/54.jpg)
468 | AGUSTUS 2010
Infus rocuronium yang lebih besar diperlukan untuk mempertahankan T1 10% dari kontrol pada otot corru-
gator supercilii (7,1 mcg/kg/menit) dibanding pada otot adductor pol-
licis (4,7 mcg/kg/menit) pada pasien muda selama anestesia sevofl urane. Sedangkan pada pasien usia lanjut, kebutuhan rocuronium lebih kecil dan pada pasien dengan anestesia propo-fol, kebutuhan rocuronium lebih be-sar.
Selain itu, ada topik lain yang memba-has mengenai sejumlah fakta dalam anestesia regional yang disampaikan oleh Ma. Concepcion Cruz dari De-partment of Anesthesiology UP Col-
lege of Medicine Philippine General Hospital.
Antara lain disebutkan bahwa pem-berian analgesia neuroaksial termasuk epidural dapat mempengaruhi keja-dian persalinan operatif, dan kejadian hipotensi maternal setelah anestesia spinal dan epidural untuk persalinan sectio caesarea dapat diturunkan dengan pemberian infus cairan dima-na cairan kristaloid lebih baik diband-ing tanpa cairan, cairan koloid lebih efektif dibanding kristaloid, dan tidak ditemukan perbedaan untuk dosis, ke-cepatan maupun cara pemberian yang berbeda dari kristaloid maupun koloid. Namun kebanyakan studi menunjuk-
kan bahwa kejadian hipotensi masih relatif tinggi sehingga masih perlu dipersiapkan pemberian vasopresor. Pemberian cairan preloading ternya-ta juga tidak lebih unggul dibanding pemberian cairan coloading.
Selain itu sering ada anggapan bahwa analgesia epidural untuk persalinan meningkatkan risiko nyeri punggung pasca persalinan, namun kenyataan-nya bahwa kehamilan itu sendiri dapat menyebabkan nyeri punggung akibat adanya berbagai perubahan dalam tubuh seperti perubahan berat badan dan hormonal, serta ketidakseimban-gan otot. � (EKM)
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 468CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 468 7/27/2010 8:03:37 AM7/27/2010 8:03:37 AM
![Page 55: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/55.jpg)
469| AGUSTUS 2010
Pembukaan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatol-ogy Medicine & Surgery (3rd
CISHMS) tahun 2010 benar-benar ber-beda. Kamis, 24 Juni 2010 Ibu Hj Ani Bambang Yudhoyono menyempatkan datang ke hotel Gran Melia Jakarta untuk membuka acara di bidang pe-nyakit hati ini. Tidak ketinggalan, hadir pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH selaku Mentri Kesehatan dan Duta Besar Luar Biasa China.
Pukul 10.00 Ibu Ani SBY masuk ke da-
lam ballroom, diikuti acara seremonial seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sambutan-sambutan. Prof. Dr. LA Lesmana, Ph.D, SpPD, KGEH selaku ketua panitia menyatakan bah-wa sekitar 900 orang terdaftar dalam acara tersebut, 750 peserta dari Indo-nesia, 250 peserta dari China dan si-sanya dari negara lain seperti US, In-dia, Korea, Jepang, dan Singapore.
Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih juga mengucapkan selamat datang pada seluruh peserta baik dari Indonesia
maupun luar Indonesia. Beliau me-nyatakan bahwa Rencana Pembangu-nan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menetapkan bahwa pem-bangunan kesehatan adalah bagian penting dari pembangunan SDM. Walaupun bukan merupakan penyakit penyebab kematian langsung, hepati-tis virus menimbulkan masalah di usia produktif , di saat para penderita ini seharusnya berfungsi sebagai sumber daya pembangunan. Beliau juga me-laporkan bahwa Indonesia merupakan negara anggota WHO di Asia Teng-
Liver Update dan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatology Medicine & Surgery (CISHMS)
Jakarta, 24-27 Juni 2010
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 469CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 469 7/23/2010 10:34:26 PM7/23/2010 10:34:26 PM
![Page 56: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/56.jpg)
470 | AGUSTUS 2010
gara yang bersama Brazil dan Colom-bia telah megusulkan resolusi agar Hepatitis virus diangkat menjadi issue dunia. Usulan ini telah diterima dan di-tetapkan tanggal 28 Juli sebagai hari hepatitis dunia (World Hepatitis Day).
Dalam sambutannya, duta besar luar biasa China Zhang Qi Yue mengu-capkan selamat pada Indonesia yang telah menyelenggarakan CISHMS. Beliau berharap 3rd CISHMS ini mam-pu memfasilitasi diskusi tata laksana penyakit hati secara komprehensif, mengingat penyakit hati memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Ibu Ani SBY sendiri menyatakan bahwa arti penting dari acara ini adalah tidak ada satu negara pun di dunia yang da-pat hidup sendiri, semua perlu kerja sama. Di Indonesia terdapat 20 juta
orang pengidap hepatitis B dan he-patitis C, merupakan 3 besar di dunia setelah China dan India, sehingga hal ini memerlukan perhatian bersama, misalnya dengan menggalakkan kam-panye Hepatitis B dan C. Bu Ani juga mengaharapkan acara 3rd CISHMS
Sekitar pukul 11.00 acara resmi dibuka
Ibu Ani SBY , didampingi Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, Prof. L.A. Lesma-
diselenggarakan workshop endoscopy & interventional hepatology dan work-shop patologi secara paralel.
Acara kongres sendiri dilaksanakan 3 hari, 25-27 Juni 2010 di hotel yang sama. Dengan tema “New Frontiers & Current Development in Hepatol-ogy”, berbagai topik diangkat dalam sesi Liver Update dan sesi CISHMS secara paralel. Pembicara dari Indone-
santap siang. � (SVA)
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 470CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 470 7/23/2010 10:34:28 PM7/23/2010 10:34:28 PM
dapat menjadi kombinasi antara peng-
ke zat kimia dengan pengobatan timur
salah global warming dan dampaknya.
obatan barat yang modern dan lebih
yang berupa herbal. Menutup sambut-
dengan ditandai pemukulan gong oleh
annya, bu Ani juga menyinggung ma-
na, dan Dubes China. Di hari yang sama
India secara bergantian berbagi peng-
sia maupun China, Korea, Singapore,
alamannya di bidang penyakit hati. Acara ditutup hari Minggu sebelum
![Page 57: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/57.jpg)
471| AGUSTUS 2010
Acara ini dilangsungkan di Au-
ditorium FK UGM Jogjakarta
pada tanggal 8-9 Mei 2010, di-
hadiri oleh 508 peserta dari berbagai
pihak, dokter spesialis, apoteker, ma-
hasiswa, farmasi bahkan masyarakat
awam yang berminat atau berkecim-
pung dalam dunia herbal dan alter-
natif; acara tersebut juga diramaikan
oleh 12 perusahaan farmasi, perusa-
haan obat herbal dan laboratorium
diagnostik.
Acara tersebut diketuai oleh Dr.dr.
Nyoman Kertia, SpPD-KR, yang dalam
sambutannya menyatakan acara na-
sional ini dilangsungkan sebagai tin-
dak lanjut program Menteri Kesehatan
RI yang sejak tanggal 6 Januari 2010
mencanangkan obat herbal berbasis
pelayanan medis.
Obat dari bahan alami telah digunakan
masyarakat Indonesia sejak berabad-
abad dalam lingkup pengalaman tu-
run menurun, trial and error tetapi be-
lum ada standarisasi bahan baku dan
belum didukung bukti ilmiah tentang
manfaat dan keamanannya secara
klinik, sedangkan dunia kedokteran
bahkan masyarakat saat ini menuntut
cara berpikir rasional; oleh karena itu
bahan alam yang digunakan sebagai
obat perlu dikaji lebih lanjut tentang
standarisasi, manfaat dan keamanan-
nya.
Di Indonesia baru ada 5 sediaan fi to-
farmaka (ada uji klinik dan preklinik),
17 obat herbal terstandar (telah ada
uji preklinik) di pasaran, tetapi sebe-
narnya potensi sumber daya alam
Indonesia sebagai bahan baku obat
masih demikian luas; acara ini dilang-
sungkan untuk memperluas informasi
Seminar Nasional Terapi Medis Berbasis Herbal
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 471CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 471 7/23/2010 10:34:30 PM7/23/2010 10:34:30 PM
![Page 58: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/58.jpg)
472 | AGUSTUS 2010
sumber daya alam tersebut dan men-
ingkatkan minat penelitian lebih lanjut
untuk bukti ilmiah manfaat, keamanan
serta standarisasi klinik.
REMATIK.
Pengembangan obat herbal untuk di-
manfaatkan sebagai pengobatan re-
matik didasarkan atas pertimbangan
hasil penelitian analgetik, diuretik, lak-
satif, antiinfl amasi, antiphlogistik dan
imunostimulan.
Dalam masyarakat Jawa Tengah dike-
nal berbagai jenis jamu antara lain
kunir asem, beras kencur dan paitan :
• Kunyit asem : hasil penelitian di
FK UGM menyatakan kurkumi-
noid lebih stabil dalam lingkun-
gan asam dan memiliki efek anti
radang; dalam masyarakat me-
mang digunakan oleh ibu pasca
melahirkan yang akan mengalami
peradangan sekitar panggul.
•
kurkumin dan xanthorrhizol (salah
empedu, sehingga nafsu makan
bertambah dan membantu proses
pencernaan dengan mengemulsi
runkan kadar trigliserida, koles-
terol total serum.
• Paitan, biasanya diminum para
manula, terdiri dari batang bro-
towali, daun sambiloto, biji ke-
dawung, setelah ditelaah secara
ilmiah diketahui salah satu efeknya
adalah stomachicum (memacu
sekresi HCl lambung), dengan tu-
juan meningkatkan nafsu makan.
• Beras kencur, biasanya diguna-
kan dengan tujuan penyegar
dan mengurangi frekuensi batuk
terutama batuk akibat pergantian
musim, dukungan ilmiahnya ada-
lah efek etil parametoksi sinamat
yang bersifat menghilangkan rasa
(anestetik) sehingga meningkat-
yang memicu batuk.
PURAN.
Nyeri seringkali underdiagnosed se-
hingga penanganannya kurang opti-
mal, yang akan mempengaruhi hidup
pasien.
Penggunaan neurotropik (B1,B2, B12)
bisa mengurangi nyeri nosiseptik dan
nyeri neuropatik (sindroma nyeri cam-
puran) pada low back pain.
Kombinasi vitamin B1 25 mg/hari dan
vitamin B6 50 mg/hari dapat diguna-
kan pada neuropati diabetika yang
dalam penelitian mengurangi nyeri
hingga 88,9%, numbness 82,5% dan
kesemutan 89,7%.
Pemberian gabungan vitamin B (B1,B2
dan B12) ditambah dengan B9 (asam
folat) 3 kali perhari juga secara ber-
makna memperbaiki keluhan dan
gejala polineuropati alkoholik diban-
dingkan plasebo.
3. OBAT BAHAN ALAM UNTUK KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Masyarakat Indonesia sudah sejak
lama mengenal berbagai bahan alam
untuk menjaga kesehatan gigi sep-
erti daun sirih, bunga cengkeh, cabe,
bawang putih dan merah, jeruk nipis,
lidah buaya dsb. Bahan tersebut ser-
ing digunakan untuk mengatasi gang-
guan di mulut seperti nyeri, gusi berd-
arah dan luka di mulut .
o Bawang putih (Allium sativa - lili-aceae) memiliki aktivitas antimik-
roba gram negatif (P.gingivitis)
tetapi kurang efektif terhadap
gram positif, pengamatan awal
mendukung penggunaan bawang
putih untuk penyakit periodontal
atau penyakit mulut lainnya.
o Propolis (air liur lebah) bersifat
antibakteri mulut dan mengham-
bat perlekatan S.mutans dan
S.sobrinus pada gelas; aktivitas
antibakterinya mirip dengan chlo-
rhexidine dan lebih baik dari ek-
strak cengkeh.
o Naringin terbukti juga efektif ter-
hadap Actinomyceta comitans, Actinobacillus dan P.gingivalis.
o Curcuma xanthorrhiza (zingiber-aceae); ekstrak metanol akar tana-
man ini terbukti memiliki aktivitas
antibakteri mirip chlorhexidine
terhadap bakteri mulut.
o Xylitol, menunjukkan efek anti-
kariogenik dengan menghambat
pertumbuhan S.mutans, sedang-
kan Streptococcus lain tidak ter-
pengaruh.
Aktivitas minyak atsiri terhadap
bakteri rongga mulut
o Sifat antibakteri minyak atsiri ter-
masuk aktivitasnya terhadap bak-
teri rongga mulut telah dilaporkan
di antaranya minyak atsiri Mela-leuca alternifolia (minyak atsiri po-
hon teh) - bila digunakan bersama
minyak kayu putih secara bermak-
na mengurangi jumlah chlorhexi-
dine yang dibutuhkan.
o Larutan kumur mengandung ek-
strak daun serut (Aper streblus)
dan daun nimba (Adirachta indica)
dapat menurunkan secara selek-
tif jumlah S.mutan dengan tidak
mempengaruhi jumlah bakteri
total, pH dan kapasitas buffer air
ludah.
o Evaluasi in vivo obat kumur 2,5%
ekstrak bawah putih menurunkan
bermakna S.mutans ludah.
o Ekstrak buah delima (Punica gra-natum) dapat mencegah plak gigi
lebih baik dibandingkan chlorhex-
idine ataupun akuades.
4. OBAT BAHAN ALAM BERKHASIAT APRODISIAK UNTUK DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES MELLITUS
Obat bahan alam sebagai aprodisiak
(dorongan seksual) umumnya men-
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 472CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 472 7/23/2010 10:34:33 PM7/23/2010 10:34:33 PM
RING DIGUNAKAN PADA PENYAKIT 1. OBAT BAHAN ALAM YANG SE-
Prof.Dr.phil.nat.Sudarsono,Apt
Temulawak : telah ditelaah meng-
andung kurkumin, desmetoksi-
satu komponen minyak atsiri) ber-
lipid, sehingga mungkin menu-
efek memacu keluarnya cairan
NANGANAN SINDROM NYERI CAM-
kan ambang rangsang iritasi saraf
2. PERAN VITAMIN B DALAM PE-
Dr.dr.Nyoman Kertia, SpPD-KR
(Drg.Goeno Subagyo,Sp.O.Path)
hadap bakteri rongga mulut
Beberapa ekstrak bahan alam ter-
(Dewa P Pramantara S)
![Page 59: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/59.jpg)
473| AGUSTUS 2010
gandung senyawa turunan saponin,
yohimbin, ginseng, gingko, alkaloid,
tanin dan senyawa lain yang secara
fi siologis dapat memperlancar pere-
daran darah sistem saraf pusat dan
sirkulasi darah perifer termasuk alat
kelamin pria.
Epimedium sagittatum mengandung
senyawa icariin telah diketahui meng-
hambat enzim PDE5 di korpus kaver-
nosum yang kerjanya mirip dengan
obat kimiawi sildenafi l.
Vigor® dengan kandungan ginseng
dan cinnamonum ditujukan untuk
aprodisiak tetapi juga dapat memban-
tu regulasi gula darah dan kolesterol.
5. OBAT BAHAN ALAM UNTUK
PENYAKIT KULIT
Dematitis atopik (DA)
Pengobatan DA antara lain secara tra-
disional Cina (CHM) dan pengobatan
herbal tradiosional Jepang (kampo)
CHM yang telah diteliti menggunakan
10 jenis herbal yaitu : Potentilla chi-nensis, Tribulus terrestris, Rehmannia glutinosa, Lophatherum gracile, Cle-matis armandii, Ledebouriella sase-loide, Dictamnus dasycarpus, Paeonia lactifl ora, Schizonepeta tenuifolia dan G.glabra, herbal tersebut direbus se-
perti teh; menurunkan skor eritema
(51%) dibandingkan kelompok kontrol
(6,15%).
Di Jepang, Hochu-ekki-to berupa
granul halus berisi ginseng radix, At-ractylodis rhizoma, Astragali radix, An-gelicae radix, Zizyphi fructus, Bupleuri radix, Glycyrrhizae radix, Zingiberis rhizoma, Cimicfugae rhizoma dan Au-rantii nobilis pericarpium selama 6 bu-
lan diteliti, memiliki efi kasi 19 % lebih
baik dibandingkan plesebo 5%.
Psoriasis
Akar Angelicae dahuricae (CHM)
mengandung furocoumarins impera-torium, isoimpertorin dan alloimpe-ratorin; pada penelitian 300 pasien
psoriasis dengan kombinasi UV-A
setara dengan pemberian psoralen-
UV-A dengan methoksalen, dengan
efek samping mual dan pusing lebih
rendah.
Bahan lain adalah indigo naturalis dari Strobilanthes formosanis Moore (Acanthaceae) menurunkan skuama,
eritema dan indurasi (81%) diban-
dingkan kelompok kontrol vehiculum
(26%), tidak dilaporkan efek samping
berat.
Aloe vera: 60 pasien psoriasis tipe
plak derajat ringan – sedang menda-
pat krim hidrofi lik Aloe vera 0,5% atau
plasebo, terdapat perbaikan (83,3%)
dibandingkan plasebo (6,6%) serta ti-
dak ditemukan efek samping.
Herpes simplex
Melissa offi cinalis - keluarga tanaman
mint, digunakan secara topikal pada
116 pasien; 96% terdapat perbaikan
lesi herpes di hari ke-8 setelah pema-
kaian balm 1% 5 kali sehari.
Hepers zoster
Jel licorice Glyxyrrhiza glabra dan Gly-cyrrhiza uralensis merupakan peng-
hambat replikasi virus varicella zoster
tetapi belum diuji klinis.
Penelitian bahan alam di bagian
kulit dan kelamin FK UGM
• Suryawati N : ekstrak teh hijau 3
% dibandingkan pembersih asam
salisilat 1% + resorsinol 0,5% un-
tuk akne vulgaris derajat sedang,
hasilnya tidak ada perbedaan
• Hartati F : ekstrak sirih merah dan
ekstrak teh hijau dalam bentuk
sabun : penurunan jumlah koloni
Candida sp vulva pada penggu-
naan ekstrak sirih merah lebih be-
• Qomariah LN : krim ekstrak Aloe vera 1% memiliki efek hidrasi
sama dengan krim urea 10% se-
bagai pelembab kulit kering non
dermatotik (p>0,05).
� (ARI)
LAPORAN KHUSUS
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 473CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 473 7/23/2010 10:34:35 PM7/23/2010 10:34:35 PM
(Dr.Nurwestu Rusetyanti,Mkes,SpKK )
dingkan ekstrak teh hijau.
sar tetapi tidak bermakna diban-
![Page 60: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/60.jpg)
474 | AGUSTUS 2010
RINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah suatu kondisi infl a-
masi membran mukosa hidung yang
ditandai dengan gejala bersin, rinore,
kongesti hidung dan gatal pada hi-
dung akibat paparan alergen. Preva-
lensi rinitis alergi mencapai hampir
20 persen di populasi umum. Rinitis
alergi menyebabkan dampak yang
berat dan menurunkan kualitas hidup
penderitanya.
Pada rinitis alergi, paparan alergen
inisial akan mengaktifasi sel B men-
jadi sel plasma yang memproduksi
antibodi IgE (fase sensititasi). IgE yang
diproduksi akan menempel pada re-
septor IgE pada membran sel mast. Pada paparan alergen yang ke dua
dan selanjutnya, alergen akan men-
empel pada dua molekul IgE yang te-
lah menempel pada sel mast. Aksi ini
akan memicu degranulasi sel mast dan
pengeluaran berbagai mediator kimia
seperti histamin, leukotrien dan lain-
nya (fase alergi).
Ada beberapa cara pengobatan rini-
tis alergi yaitu penghindaran alergen,
terapi simtomatik dengan antihistamin
dan dekongestan baik tunggal mau-
pun kombinasi dan terapi bedah (mis-
al konkotomi). Terapi penghindaran
alergen sangat sulit dilakukan karena
sangat banyaknya alergen di lingkun-
gan sekitar terutama alergen inhalan.
Antihistamin dan dekongestan dalam
bentuk tunggal maupun kombinasi
masih merupakan pilihan terapi untuk
pasien rinitis alergi.
FEXOFED®
Fexofed® merupakan produk dengan
kandungan zat aktif kombinasi fexofe-
nadine 60 mg lepas cepat (immediate release) dan pseudoephedrine 120 mg
lepas lambat (extended release), terse-
dia dalam bentuk kaplet lepas lambat.
Fexofenadine merupakan antihistamin
generasi ke tiga yang diindikasikan un-
tuk pasien rinitis alergi. Karena sifatnya
yang sangat selektif terhadap reseptor
histamin perifer, kemungkinan fexofe-
nadine menyebabkan efek samping
mengantuk sangat kecil.
Pseudoephedrine merupakan obat
golongan simpatomimetik amin aktif
yang bekerja sebagai dekongestan.
Pseudoephedrine secara efektif dapat
meredakan sumbatan hidung akibat
rinitis alergi.Sebuah studi meta-ana-
lisis yang mempelajari efek samping
pseudoephedrine menyimpulkan ba-
hwa pada dosis yang dianjurkan kecil
kemungkinan menyebabkan pening-
katan tekanan darah dan denyut jan-
tung.
Fexofed® diindikasikan untuk mereda-
kan gejala yang berhubungan dengan
rinitis alergi pada dewasa dan anak ≥ 12
tahun. Efektif mengatasi gejala bersin,
pilek, gatal pada hidung/langit-langat
mulut (palatum dan atau tenggorokan),
gatal/berair/kemerahan pada mata dan
hidung tersumbat.
Fexofed® diberikan satu kaplet dua
kali sehari, diminum dengan air saat
perut kosong ; penggunaan Fexofed®
bersamaan saat makan sebaiknya di-
Terapi Rinitis Alergi dengan Kombinasi Fexofenadine dan Pseudoephedrine
Gambar 1. Patofi siologi alergi
INFO PRODUK
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 474CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 474 7/23/2010 10:34:36 PM7/23/2010 10:34:36 PM
![Page 61: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/61.jpg)
475| AGUSTUS 2010
hindari karena makanan akan meng-
ganggu penyerapannya. Dosis satu
tablet sekali sehari dianjurkan sebagai
dosis awal untuk pasien dengan penu-
runan fungsi ginjal. Fexofed® harus
ditelan utuh, jangan dikunyah atau
dihancurkan (digerus) karena dapat
menyebabkan inaktifnya kandungan
Fexofed®.
Fexofed® hadir dengan keunggulan:
• Zat aktif fexofenadine dalam Fex-ofed® merupakan antihistamin generasi ke tiga dengan efek samping sedasi sangat minimal dan efektif meredakan gejala rini-tis alergi.
• Zat aktif pseudoephedrine lepas lambat dalam Fexofed® menjamin efek dekongestan jangka panjang dan dapat mengurangi frekuensi pemakaian.
• Kombinasi dua zat aktif anti-histamin generasi ke tiga den-gan pseudoephedrine sebagai
dekongestan dalam fexofenadine tidak saling berinteraksi dan se-cara sinergis meredakan gejala-gejala yang berkaitan dengan rini-tis alergi dan kondisi rinitis lainnya yang membutuhkan antihistamin dan dekongestan.
• Fexofed® relatif aman dan dapat ditoleransi baik.
� (ASL)
REFERENSI
1. Togias AG. Systemic immunologic and infl am-
matory aspects of allergic rhinitis. J Allergy
Clin Immunol. Nov 2000;106(5):S247-50
2. Valet RS, Fahrenholz JM. Allergic rhinitis: up-
date on diagnosis. Consultant 2009;49:610-
613
3. Dicpinigaitis PV, Gayle YE. Effect of the sec-
ond-generation antihistamin, fexofenadine,
on cough refl ex sensitivity and pulmonary
function. Br.J. Clin. Pharmacol. 2003; 56 (5):
501–4.
4. Pratt, Brown, Rampe, Mason, Russell, Reynold,
et al. Cardiovascular safety of fexofenadine
HCl. Clin. and Experiment. Allergy 2001;29:
212-6
5. Kaliner, White, Economides, Crisalida, Hele,
Liao, et al. Relative potency of fexofenadine
HCl 180 mg, loratadine 10 mg, and pla-
cebo using a skin model of wheal-and-fl are
suppresion. Ann Allergy Asthma Immunol.
2003;90(6):629-34
6. Vena GA, Cassano N, Filieri M, Filotico R, D’Ar-
gento V, Coviello C. Fexofenadine in chronic
idiopathic urticaria: a clinical and immunohis-
tochemical evaluation. Internat.J. Immunop-
athol. Pharmacol. 200215 (3): 217–224.
7. Salerno SM, Jackson JL, Berbano EP. Effect of
Oral Pseudoephedrine on Blood Pressure and
Heart Rate: A Meta-analysis. Arch Intern Med.
2005;165:1686-1694.
INFO PRODUK
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 475CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 475 7/23/2010 10:34:40 PM7/23/2010 10:34:40 PM
![Page 62: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/62.jpg)
476 | AGUSTUS 2010
Dalam kegiatan 3rd China Indonesia Joint Symposium
on Hepatobilliary Medicine & Surgery (3rd CISHMS)
yang tahun ini digabung bersama Simposium Liver
Update, PT. Kalbe Farma Tbk. berpartisipasi dalam
pameran dengan menampilkan produk Lancid, Rillus,
Hepatosol dan Aminofusin Hepar.
Ibu Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono
membuka 3rd China Indonesia joint Sym-
posium on Hepatobilliary Medicine & Sur-
gery (3rd CISHMS) pada hari Kamis, 24 Juni
2010 di hotel Grand Melia Jakarta. Hadir
pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih,
MPH, Dr.PH selaku Menteri Kesehatan dan
Duta Besar Luar Biasa China Zhang Qi Yue
serta ketua panitia Prof. Dr. L.A Lesmana,
Ph.D, SpPD-KGEH.
PT. Kalbe Farma Tbk., berkon-
tribusi dalam acara Simpo-
sium Endokrinologi Klinik VIII
2010, yang dilaksanakan pada
tanggal 23 – 25 Juli 2010 di
Hotel Hyatt Regency – Ban-
dung. Acara ini merupakan
hasil kerjasama antara Perkeni
(Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) Cabang Bandung
dengan Bagian Penyakit Da-
lam FK UNPAD/ RS. Dr. Hasan
Sadikin Bandung.
GERAI
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 476CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 476 7/26/2010 5:37:21 PM7/26/2010 5:37:21 PM
![Page 63: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/63.jpg)
477| AGUSTUS 2010
1) Saya sangat tertarik dengan artikel2 dan jurnal2 ilmiah
yang dimuat CDK, apalagi yang versi Ebooknya. Cuma
alangkah lebih baik kalau CDK Online dibuatkan web-site tersendiri yang lebih interaktif, hal ini akan membuat
para praktisi medis merasa lebih eksklusif dan ada ruang
tersendiri untuk berinteraksi dengan redaksi maupun pem-
baca lainnya.
Dr. Faizal Arief Nurokhman *)
Surabaya
Jawab : CDK online yang tersendiri sudah dalam pe-mikiran; tetapi memerlukan persiapan yang matang, teru-tama layanan interaktif; semoga tidak lama lagi bisa terlak-sana sehingga sejawat lebih cepat mengakses CDK kami. Kami sangat senang jika ternyata CDK dapat membantu aktivitas sejawat.
patkan Majalah Cermin Dunia Kedokteran sebagai bahan
bacaan bagi mahasiswa(i) kami..Mahasiswa kami sekarang
Dokter.
Abdullah Hafi d
Makassar
Jawab : Majalah CDK disebarluaskan ke dokter-dokter dan perpustakaan Faklutas Kedokteran, termasuk perpusta-kaan Akademi Keperawatan. Sehubungan hal tsb., Aka-
setiap penerbitan secara reguler. Selain itu CDK juga da-pat diakses secara online di www.kalbe.co.id/cdk. Silakan
3) Hai CDK,
Sekedar saran, bagaimana kalau artikel mengenai penyakit
infeksi menular (ITD) dan update terapi hadir di setiap edisi
CDK, mengingat di Indonesia merupakan “sarang” terbe-
sar di dunia untuk penyakit infeksi menular. Terima kasih
Dr Sam Ginting
Bogor
Jawab : Kami berusaha agar artikel yang diterbitkan selalu mutakhir; tetapi tentu tergantung dari para kontributor. Beberapa artikel mengenai infeksi antara lain DBD dan malaria akan kami terbitkan di edisi mendatang. Jika seja-wat mempunyai artikel sejenis, kami akan dengan senang hati menerbitkannya. Artikel CDK yang telah diterbitkan dapat sejawat akses (dan pilih) di www.kalbe.co.id/cdk.
Mengenai sarang terbesar infeksi masih bisa diperdebat-kan; tetapi pada Riset Kesehatan Dasar mutakhir yang dila-kukan oleh Departemen Kesehatan, penyakit noninfeksi seperti penyakit jantung dan stroke sudah merupakan penyebab kematian yang perlu diperhatikan.
4) How is the mechanism involved in generation of convul-
sion in epilepsy?
Hegar Pramas
Bandung
Jawab : The answer to this question is rather complicated. It needs an article by itself. You can look for the answer(s) by searching several websites – www.ilae.org or www.wf-neurology.org or though google.com using keywords :
ANTAR SEJAWAT
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 477CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 477 7/23/2010 10:34:51 PM7/23/2010 10:34:51 PM
2) Saya bekerja pada bagian perpustakaan Akademi Kepe-
telah mencapai 1000 orang dengan 10 dosen berstatus
rawatan YAPENAS 21 Maros, saya tertarik untuk menda-
demi Keperawatan YAPENAS 21 Maros akan kami masuk-
memilih sendiri artikel yang diminati.
kan dalam daftar pelanggan CDK, yang akan dikirim pada epilepsy, mechanism of epilepsy, pathophysiology.
![Page 64: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/64.jpg)
479| AGUSTUS 2010
� SEPTEMBER
5th ASEAN Society of Pediatric Surgery in conjunction with 2nd Multidisciplinary Pediatric Surgery Meeting
Tanggal: 22 - 24 September 2010
Tempat: Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali
Kalangan: Dokter anak, dokter bedah, dokter umum
Sekretariat: EO Pharma Pro
Phone: 0856-845-5050; 0813-1785-7586
Email: [email protected]
URL: www.bedahanakfkui-rscm.com
Contact Person: Lia, Tiolan
The Fourth Scientifi c Meeting of the Asia Pacifi c Menopause Federation 2010
Tanggal: 26 - 29 September 2010
Tempat: Sydney Convention and Exhibition Centre, Darling Harbour, Sydney, Australia
Kalangan: Doctor, paramedic, nurse
Sekretariat: APMF 2010 Meeting Managers c/o Arinex pty ltd. Postal GPO Box 128 Sydney, NSW, 2001 Australia
Phone: + 61 2 9265 0700
Fax: + 61 2 9267 5443
Email: [email protected]
URL: http://www.apmf2010.com/program.asp
14th Congress of the European Federation of Neurological Societies (EFNS 2010)
Tanggal: 25 - 28 September 2010
Tempat: Geneva, Switzerland
Kalangan: Dokter
Sekretariat: Kenes International, Global Congress Organisers and Association Management Services 1-3 rue de Chantepoulet, P.O. Box 1726, 1211 Geneva 1, Switzerland
Phone: +41 22 908 04 88
Fax: +41 22 906 91 40
Email: [email protected]
URL: www.kenes.com/efns2010
23rd Scientifi c Meeting of the International Society of Hypertension
Tanggal: 26 - 30 September 2010
Tempat: Vancouver, Canada
Kalangan: Dokter
Sekretariat: Sea to Sky Meeting Management Inc. Suite 206, 201 Bewicke Avenue, North Vancouver, BC, Canada, V7M 3M7
Phone: +1 604-984-6448
Fax: +1 604-984-6434
Email: [email protected]
URL: http://www.vancouverhypertension2010.com
� OKTOBER
Seminar & Workshop “Radiology in Daily Clinical Practice”
Tanggal: 02 Oktober 2010
Tempat: Gedung Prodia, Jl.Kramat Raya no. 150, Jakarta
Kalangan: Dokter umum dan perawat
Sekretariat: Laboratorium Prodia, Jl. Kramat Raya no. 150, Jakarta
Phone: 081386339424
Fax: 021-3908082
Email:[email protected]
Contact Person: Mathilda Albertina
23rd European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) Annual Congress 2010
Tanggal: 09 - 13 Oktober 2010
Tempat: CCIB (Centre Convencions Internacional Barcelona), Barcelona, Spain
Kalangan: Intensivist
Sekretariat: European Society of Intensive Care Medicine (ESICM)
Rue Belliard, 19 B-1040 Brussels, Belgium
Phone: +32 2 559 03 55/71
Fax: +32 2 559 03 69
URL: http://www.esicm.org/
Konker & PIT 2010 Pernefri
Tanggal: 21 - 24 Oktober 2010
Tempat: Hotel Patra Jasa Semarang
Kalangan: Dokter spesialis, dokter umum
Sekretariat: Sub Bagian Nefrologi Hipertensi SMF Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang
Phone: 024-8446757
Fax: 024-8446758
Email: [email protected]
Contact Person: Dr. Dwi Lestari S., SpPD
18th United European Gastroenterology Week (UEGW) 2010
Tanggal: 23 - 27 Oktober 2010
Tempat: Centre Convencions International Barcelona, Spain
Kalangan: Dokter
Sekretariat: UEGF Secretariat, Barcelona, Spain
Phone: +4319971639
Fax: +4319971639
Email: offi [email protected]
Contact Person: UEGF Secretariat
URL: www.uegw10.uegf.org
Metabolic, Endocrinology and Social Pediatric Meeting
Tanggal: 30 - 31 Oktober 2010
Tempat: Hotel Gumaya Semarang
Kalangan: Dokter
Sekretariat: SMF Ilmu Kesehatan Anak Jl. Dr. Sutomo 16-18 Semarang
Phone: 024-8414296
Fax: 024-8414296
Email: [email protected]
Contact Person: Cicik
URL: www.pediatrics-undip.com
KALENDER ACARA BULAN SEPTEMBER - OKTOBER 2010
1. Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui
lebih lanjut, silakan akses http://www.kalbe.co.id/calendar
2. Apabila kegiatan ilmiah Anda ingin dipublikasikan, kirim pembe-
ritahuannya ke [email protected]
AGENDA
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 479CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 479 7/23/2010 10:34:53 PM7/23/2010 10:34:53 PM
![Page 65: cdk_179_tht](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081718/5571f83c49795991698cf53b/html5/thumbnails/65.jpg)
480 | AGUSTUS 2010
RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KEDOKTERANDapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
Jawablah B jika benar, S jika salah
RPPIK
JAWABAN ; 1.B 2.S 3.S 4.S 5.B 6.B 7.B 8.S 9.B 10.B JAWABAN: 1.B 2.B 3.S 4.S 5.B 6.B 7.S 8.B 9.S 10.B
Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media
Supuratif Kronis
Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji
Djoko Rianto, Anton Christanto
1. Pada Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) selalu
dijumpai perforasi membran timpani.
2. Sekret pada OMSK selalu purulen.
3. Otitis Media Supuratif dikatakan kronis jika berlang-
sung lebih dari 6 bulan.
4. Pada OMSK benigna, tuba auditoria tidak ikut ter-
infeksi.
5. Tonsilitis kronis bisa merupakan faktor predisposisi
OMSK.
6. Bakteri yang tersering diisolasi pada OMSK ialah
Pseudomonas aeruginosa.
7. Alergi dapat menyebabkan OMS menjadi kronis.
8. Keadaan alergi menyebabkan berkurangnya sekresi
sel goblet.
9. Rinitis alergi dikaitkan dengan peranan IgE.
10. Otitis media dapat berisiko rinitis kronis akibat dis-
fungsi mukosilier.
Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik
Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto,
Slamet Widodo
1. Sinus paranasalis dilapisi oleh epitel kolumner ber-
lapis semu bersilia.
2. Mukosa sinus paranasalis berhubungan dengan
mukosa hidung.
3. Sinus paranasalis berfungsi antara lain untuk mene-
tralisir bakteri udara pernapasan.
4. Nyeri pada sinusitis maksilaris dirasakan di daerah
sela mata.
5. Foto polos sinus paranasal dapat dilakukan dengan
posisi Towne.
6. Gambaran air-fl uid level bisa dijumpai pada keada-
an polip sinus.
7. Diagnosis sinusitis pada foto polos antara lain jika
penebalan mukosa > 12 mm.
8. Teknik CT scan yang terbaik untuk gambaran sinus
adalah potongan koronal.
9. Teknik endoskopi lebih unggul dibandingkan den-
gan CT scan untuk diagnostik sinusitis.
pada pemeriksaan CT scan, posisi pasien adalah te-
lungkup (prone).
CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 480CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 480 7/23/2010 10:34:56 PM7/23/2010 10:34:56 PM
10. Untuk mendapatkan gambaran sinusitis yang baik,