case ujian rhinitis alergi intermiten ringan.docx

42
Laporan Kasus Rhinitis Alergi Intermiten Ringan dengan Deviasi Septum Disusun Oleh: Nama : Meilan Tahir Refra Nim : 112014205 Pembimbing: dr. Wiendy Sp.THT-KL Kepaniteraan Klinik Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Tarakan - Jakarta

Upload: maelan-tahir-refra

Post on 14-Dec-2015

91 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Laporan Kasus

Rhinitis Alergi Intermiten Ringan dengan Deviasi Septum

Disusun Oleh:

Nama : Meilan Tahir Refra

Nim : 112014205

Pembimbing:

dr. Wiendy Sp.THT-KL

Kepaniteraan Klinik Telinga, Hidung, dan Tenggorokan RSUD Tarakan - Jakarta

Periode 13 juli – 22 Agustus 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi merupakan kelainan umum yang melibatkan pula hidung dan sinus. Kelainan ini

merupakan reaksi imun yang tidak diharapkan. Atopi adalah suatu tipe alergi yang diperantai

antibodi tipe regain. Insidens rhinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang

sekitar 10 persen dari populasi umum.

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi

menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan

pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung

terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. 1

Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rogga hidung tetapi pada orang dewasa

biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak

akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu

sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.2

Maksud Penulis

Laporan ini dibuat sebagai proses pembelajaran mulai dari anatomi, epidemiologi,

etiologi,fatofisiologi gejala klinis, serta terapi mengenai Rhinitis Alergi Intermiten Ringan

dengan Deviasi Septum Nasi Dekstra

Tujuan Penulis

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas ujian kepaniteraan klinik

bagian IlmuTtelinga, Hidung, Tenggorokan (THT) FK UKRIDA di RSUD Tarakan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Hidung

Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti

piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang

hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung

(nares anterior). Hidung terhubug dengan os frontale dan maksila melalui pangkal hidung

yang dibentuk ossa nasalia. Kulit pembungkus hidung tertambat erat pada dasar hidung dan

memiliki kelenjar sebasea, yang dapat mengalami hipertrofi pada keadaan rhinophyma.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis

os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari

beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang

kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut

juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. 2

Gambar 1. Anatomi Kerangka Hidung

Anatomi Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau

lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares

posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi

yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum.

Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut

panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan

superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila

dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina

kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian

tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral

hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi

sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah

ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka

superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga

rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin

etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di

antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.

Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga

hidung. 2-3

Gambar 2. Dinding lateral kavum nasi

Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius

terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris

merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila

dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior

dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior

merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior

atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga

tengkorak dari rongga hidung. 2

Kompleks Osteometal

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa

celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM

terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi

penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus

semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari

sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal.2

Gambar 3. Kompleks Ostiomeatal.

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara

(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan

mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius

(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang

berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,

proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta 5) refleks nasal. 2

II. Rhinitis Alergi

Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO

ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung

dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar

alergen yang diperantarai oleh IgE.

Alergi adalah respons jaringan yng berubah terhadap antigen spesifik atau allergen.

Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetic dari

individu tersebut, dan kepekaan relative tubuh pejamu.

Rhinitis alergika terjadi bilamanan suatu antigen terhadap seorang pasien telah

mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung: reseptor histamin

H1, adrenoseptor-alfa, adrenoseptor-beta2, kolinoseptor, reseptor histamin H2 dan reseptor

iritan. Dari semua ini yang terpenting adalah reseptor histamin H1, dimana bila terangsang oleh

histamine akan meningkatkan tahanan jalan napas hidung, meneybabkan bersin, gatal, dan

rinore. 4

Epidemiologi

Dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat

berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit

ini herediter dengan predisposisi genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi,

akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua

menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya. 4

Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung

sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau

Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC

kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th

0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13

dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif

dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan

dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua

sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka

kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed

Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators

antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada

mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan

akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini

saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL

ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5

dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil

dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan

udara yang tinggi. 4

Mekanisme terjadinya nasal allergy syndrome pada rhnitis alergi

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa

gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili gejala

karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung

diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris

menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan

simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar

mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga

terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu

rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang

(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,

coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan

lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan

kosmetik, perhiasan. 4

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala

campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis

alergi.Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari :

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut

menjadi respons sekunder.

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas

selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,

reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka

reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons tertier :

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. 4

Klasifikasi Rhinitis Alergi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 4

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis

alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya

spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah

polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung

dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau

terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang

paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah

(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai

dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik

pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena

lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. 4

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan

sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari

4 minggu.

2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.4

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 4

1.Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah

terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).

Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat

dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala

lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,

yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang

timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2.Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak

ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder

akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak

anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut

allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya

garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut

sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran

peta (geographic tongue). 4

3.Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain

rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi

yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno

Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi

inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan

sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 4

In Vivo :

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial

untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat

dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada

“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5

hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan

dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan. 4

Diagnosis Banding

Rhintis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa hidung yang

disebabkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Penyakit ini termasuk dalam penyakit rinitis

kronis selain rinitis alergika.

Rinitis vasomotor adalah inflamasi kronis lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh

terganggunya keseimbangan sistem saraf parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih

dominan sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di hidung. Gejala yang

timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus yang encer. Rinitis vasomotor dikatakan juga

sebagai kondisi dimana pembuluh darah yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga

menyebabkan hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi.

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem

saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi

keseimbangan vasomotor : 5

Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,

chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.

Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi

dan bau yang merangsang.

Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan

hipotiroidisme.

Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.5

Tabel 1.Perbedaan Rhinitis Alergi dan Rhinitis Vasomotor

Penatalaksanaan

Gambar 4. Alogaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititive ARIA (dewasa)

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor

penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.5

III. Deviasi Septum Nasi

Septum nasi jarang terletak pada posisi lurus di tengah rongga hidung, namun derajat

deviasi yang besar akan menyebabkan obstruksi aliran udara nasal. Pada banyak kasus, keadaan

ini dapat dikoreksi dengan pembedahan, dengan hasil yang memuaskan.6

Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari

letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi atas

beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :6

1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih

belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.

3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).

4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).

5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih

normal.

6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga

menunjukkan rongga yang asimetri.

7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.6

Gambar 5. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :

1. Spina dan Krista

Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat terjadi pada

pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila

memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih

disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi

vertikal.

2. Deviasi

Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang dapat terjadi

pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai kartilago maupun tulang.

3. Dislokasi

Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah satu

lubang hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada struktur sekitarnya.

4. Sinekia

Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya.

Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.6

Septum deviasi berdasarkan berat atau ringannya keluhan :

1. Ringan

Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang

menyentuh dinding lateral hidung.

2. Sedang

Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang

menyentuh dinding lateral hidung.

3. Berat

Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.1,6

Etiologi

Penyebab paling sering dari deviasi septum nasi adalah trauma dan kesalahan

perkembangan septum nasi.

1. Trauma

Pukulan di bagian lateral hidung dapat menyebabkan pergeseran letak dari kartilago septum

dari alur vomerine dan puncak maksila. Sedangkan pukulan berat dari arah depan akan

menyebabkan lekukan, lilitan, fraktur, dan duplikasi dari septum nasi. Trauma hidung sering

terjadi pada anak-anak.10

Trauma juga dapat terjadi saat kelahiran dengan kesulitan melahirkan, ketika hidung

tertekan selama melewati jalan lahir. Trauma lahir harus diberikan perawatan segera.

2. Kesalahan pada perkembangan

Septum nasi dibentuk oleh proses tektoseptal yang berasal dari pertemuan dua bagian dari

perkembangan palatum di garis tengah tubuh. Selama perkembangan gigi,

perkembangannya kebih lanjut berada di palatum yang menurun dan melebar untuk

mengakomodasi gig-gigi.

Pertumbuhan yang tidak sama antara palatum dan dasar dari tengkorak dapat menyebabkan

lekukan septum nasi. Pada keadaan mulut yang diam, seperti pada hipertropi adenoid,

palatum sering melengkung sangat tinggi sehingga septum mengalami deviasi.

Deviasi septum nasi juga dapat ditemukan pada kasus dengan bibir dan palatum sumbing

dan pasien dengan abnormalitas dentis.

3. Ras

Pada manusia dengan ras Caucasian lebih sering terjadi dibandingkan dengan Negro.

4. Faktor herediter

5. Kongenital

6. Sekunder

Septum nasi dapat mengalami deviasi akibat tumor, massa, atau polip di hidung.3,6

Gejala Klinis

Keluhan yang paling sering pada penderita deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung.

Sumbatan biasanya unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat konka

hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka hipertrofi, sebagai mekanisme

kompensasi.

Keluhan lainnnya adalah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Penciuman dapat

terganggu hingga anosmia, apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.

Pasien juga dapat mengeluhkan gejala rinitis berulang, akibat ostruksi yang menyebabkan

stagnasi dari sekresi hidung.

Epistaksis daat terjadi akibat fleksus Kiesselbach terpapar dengan atmosfer, yang

menyebabkan mukosa kering, sehingga mukosa mudah terkupas.6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan berupa koreksi septum hanya dilakukan bila pasien mengalami gejala

yang persisten dan berulang.

Terdapat dua jenis tindakan operatif, yaitu reseksi submukosa (Submucous Resection of

the Nasal Septum) dan septoplasti.

Reseksi submukosa dilakukan dengan cara mukoperikondrium dan mukoperiosteum

kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang tulang

rawan dari septum diangkat, sehingga mukoperikondrium dan mukoperiosteum sisi kiri dan

kanan akan langsung bertemu di garis tengah. Tindakan ini memiliki banyak komplikasi, seperti

pendarahan, kerusakan di jaringan sekitarnya, rinore cairan serebrospinal, perforasi septum,

sinekia, infeksi, hematoma septum, dan lain-lain. 6

Indikasi dilakukan reseksi submukosa adalah:

a. Hidung tersumbat total

b. Infeksi saluran nafas atas berulang

c. Sinusitis berulang

d. Epistaksis berulang

e. Nyeri kepala

f. Infeksi telinga tengah

g. Deformitas hidung memerlukan rinoplasti disamping reseksi submukosa.

Septoplasti dilakukan dengan cara mereposisi tulang rawan yang bengkok. Prosedur ini

merupakan operasi konservatif. Operasi ini sangat menolong dilakukan pada anak-anak seta

meminimalisasi komplikasi yang timbul bila dilakukan reseksi submukosa.3,6

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada deviasi septum nasi adalah:

1. Sinusitis berulang

2. Infeksi telinga tengah

3. Pernafasan mulut, menyebabkan infeksi faring, laring, dan tracheobronchial tree berulang.

4. Asma

5. Rinitis atropi. 6

Nama: Meilan Tahir RefraTanda tangan Nim: 112014205

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Wiendy, Sp.THT-KL Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Andri SpKJ, FAPM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Jumat/14 Agustus 2015

SMF PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.A Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 65 tahun Agama : Islam

Pekerjaan : - Pendidikan : SMA

Alamat : Bekasi Status menikah : Menikah

ANAMNESA

Diambil secara : autoanamnesis

Pada tanggal : 13 Agustus 2015 Jam : 09.00 WIB

Keluhan utama

Hidung kanan dan kiri sering mampet sejak 3 hari SMRS.

Keluhan tambahan

Bersin-bersin, hidung dan mata terasa gatal, pilek sampai meler biasanya lebih pada pagi hari.

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Tn. A 3 hari SMRS, mengeluh hidung mampet hilang timbul kanan dan kiri hingga terasa

sesak.Keluhan mampet tidak tergantung pada posisi pasien. Pasien juga mengalami bersin-bersin

di pagi hari,hidung dan mata seringkali terasa sangat gatal yang sudah dirasakan sejak lama

(sudah dari masa remaja), terutama pada waktu terpapar dengan debu, dingin dan dalam

keadaaan stress. Bisa sampai 3 kali dalam seminggu, namun tidak sampai mengganggu aktivitas

sehari-sehari. Pileknya berwarna putih, encer dan tidak berbau. Demam,gangguan penciuman,

pengecapan tidak ada. Pasien memiliki riwayat alergi seafood dan di keluarga juga ada yang

memiliki gejala yang sama dengan pasien.

Tn A 2 hari SMRS, masih mengeluh hidung kanan-kiri terasa mampet, keluhan tidak

tergantung pada posisi pasien.Keluhan bersin-bersin, hidung dan mata gatal lebih sering pada

pagi hari namun tidak sampai mengganggu aktifitas.Pilek berwarna putih, encer dan tidak

berbau.Pasien menyangkal adanya demam, gangguan penciuman, pengecapan, sakit kepala,nyeri

pada wajah.

Tn.A akhirnya berobat pada tanggal 13 Agustus dengan keluhan hidung mampet hilang

timbul kanan dan kiri hingga terasa sesak.Keluhan mampet tidak tergantung pada posisi pasien.

Pasien juga mengalami bersin-bersin di pagi hari,hidung dan mata seringkali terasa sangat gatal

yang sudah dirasakan sejak lama (sudah dari masa remaja), terutama pada waktu terpapar dengan

debu, dingin dan dalam keadaaan stress. Bisa sampai 3 kali dalam seminggu, namun tidak

sampai mengganggu aktivitas sehari-sehari. Pileknya berwarna putih, encer dan tidak berbau.

Demam gangguan penciuman dan pengecapan tidak ada. Pasien memiliki riwayat alergi seafood

dan di keluarga juga ada yang memiliki gejala yang sama dengan pasien.

Riwayat penyakit keluarga

Ibu pasien memiliki rhinitis alergi terutama pada debu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat pilek kambuhan sudah sejak masa remaja (+).

I. Pemeriksaan Fisik

Telinga

Dekstra Sinistra

Bentuk daun telinga Normotia Normotia

Kelainan Kongenital mikrotia (-), anotia (-),

atresia (-), fistula (-), bat

ear (-), stenosis canalis

(-), agenesis canalis (-)

mikrotia (-), anotia (-),

atresia (-), fistula (-), bat

ear (-), stenosis canalis

(-), agenesis canalis (-)

Radang, Tumor nyeri (-), massa (-),

hiperemis (-), sekret (-),

edema (-)

nyeri (-), massa (-),

hiperemis (-), sekret (-),

edema (-)

Nyeri tekan tragus nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)

Penarikan daun

telinga

nyeri (-) nyeri (-)

kelainan pre-, infra-,

retroaurikuler

massa (-), hiperemis (-),

odem (- ), nyeri (-),

fistula (-)

massa (-), hiperemis (-),

odem (-), nyeri (-), fistula

(-)

region mastoid massa (-), hiperemis (-),

odem (-), nyeri (-), abses

(-)

massa (-), hiperemis (-),

odem (-), nyeri (-), abses

(-)

liang telinga lapang, furunkel (-),

jaringan granulasi (-),

serumen (+), edem (-),

sekret (-) serous, darah

(-), hiperemis (-),

kolesteatom (-)

lapang, furunkel (-),

jaringan granulasi (-),

serumen (+), edem (-),

sekret (-), darah (-),

hiperemis (-),

kolesteatom (-)

Membran Timpani intak, suram, refleks intak,suram, refleks

cahaya (-), hiperemis (-),

retraksi (-), bulging (-),

kolesteatom (-)

cahaya (-) , hiperemis (-),

retraksi (-), bulging (-),

kolesteatom (-)

Tes Penala

Dekstra Sinistra

Rinne + +

Weber Tidak ada lateralisasi

Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Kesan : Normal pada kedua telinga.

Hidung

Dekstra Sinistra

Bentuk normal, tidak ada

deformitas

normal, tidak ada

deformitas

Tanda peradangan hiperemis (-), udema (-),

nyeri (-)

hiperemis (-), udema (-),

nyeri (-)

Daerah sinus frontalis

dan sinus maksilaris

hiperemis (-), udema (-),

nyeri (-)

hiperemis (-), udema (-),

nyeri (-)

Vestibulum laserasi (-), massa (-),

furunkel (-), sekret (-)

laserasi (-), massa (-),

furunkel (-), sekret (-)

Cavum nasi Agak sempit, massa (-), lapang, massa (-), sekret

sekret (+) encer (+) encer

Konka inferior hipertrofi (-), hiperemis

(-), livid (+), Edema (+)

hipertrofi (-), hiperemis

(-), livid (+) Edema (+)

Meatus nasi inferior terbuka, sekret (-) terbuka, sekret (-)

Konka medius hiperemis (-), eutrofi (-) hiperemis (-), eutrofi (-)

Meatus nasi medius terbuka, sekret (-) terbuka, sekret (-)

Septum nasi deviasi (+), hematoma

(-), abses (-)

deviasi (-), hematoma (-),

abses (-)

Rhinofaring

Koana : tidak dilakukan

Septum nasi posterior : tidak dilakukan

Muara tuba eustachius: tidak dilakukan

Tuba eustachius : tidak dilakukan

Torus tubarius : tidak dilakukan

Post nasal drip : tidak dilakukan

Pemeriksaan Transiluminasi

Sinus frontalis kanan dan kiri : tidak dilakukan

Sinus maksilaris kanan dan kiri : tidak dilakukan

Tenggorokan

Faring

Arcus faring Simetris

Uvula letak ditengah, memanjang (-),

hiperemis (-), bifida (-), massa (-)

Tonsil T2-T2, simetris, ulserasi (-), indurasi

(-), spikula (-), kripta (-), eksudat (-),

hiperemis (-)

Dinding faring hiperemis (-), granul (-), post nasal drip

(-)

Lain-lain laserasi (-)

Laring

Epiglotis : tidak dilakukan

Plica aryepiglotis : tidak dilakukan

Arytenoid : tidak dilakukan

Ventricular band : tidak dilakukan

Pita suara : tidak dilakukan

Rima glotidis : tidak dilakukan

Cincin trakhea : tidak dilakukan

Sinus piriformi : tidak dilakukan

Resume

Tn. A 65 tahun, mengeluh hidung mampet hilang timbul kanan dan kiri hingga terasa

sesak.Keluhan mampet tidak tergantung pada posisi pasien. Pasien juga mengalami bersin-bersin

di pagi hari,hidung dan mata seringkali terasa sangat gatal yang sudah dirasakan sejak lama

(sudah dari masa remaja), terutama pada waktu terpapar dengan debu, dingin dan dalam

keadaaan stress. Bisa sampai 3 kali dalam seminggu, namun tidak sampai mengganggu aktivitas

sehari-sehari. Pileknya berwarna putih, encer dan tidak berbau. Demam,gangguan penciuman,

pengecapan tidak ada. Pasien memiliki riwayat alergi seafood dan di keluarga juga ada yang

memiliki gejala yang sama dengan pasien.Pada pemeriksaan fisik telinga didapatkan adanya

serumen (+) kanan-kiri, membran timpani intak, suram kanan-kiri,Pada pemeriksaan fisik hidung

pada cavum nasi kanan sempit terdapat secret (+) encer pada kavum nasi kiri lapang terdapat

secret (+).Pada konka inferior tampak livide dan edem kanan dan kiri.Adanya deviasi septum

kekanan. Sedangkan pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.

Diagnosis Kerja

Rhinitis Alergi Intermiten Ringan

Dasar yang mendukung :

Anamnesis

Hidung mampet (tersumbat) tanpa dipengaruhi posisi, hilang timbul Gejala tersebut terjadi

kurang dari 4 hari per minggu dan tidak sampai mengganggu aktifitas.

Riwayat pilek pagi hari, disertai bersin dan keluarnya cairan dari hidung berwarna jernih dan

encer

Gatal pada hidung dan mata. Gejala tersebut terjadi kurang dari 4 hari per minggu dan tidak

sampai mengganggu aktivitas sehari-hari

Pilek sudah terjadi sejak lama

Riwayat alergi seafood, dan tidak kuat terpapar debu

Pemeriksaan Fisik :

Pada rhinoskopi anterior ditemukan konka inferior tampak livide, adanya sekret jernih di

kavum nasi

Deviasi Septum Nasi

Dasar yang mendukung :

Anamnesis

Hidung mampet lebih berat terutama dirasakan lebih berat sewaktu pilek

Sering mengalami pilek berulang

Pemeriksaan fisik

Pada rhinoskopi anterior terdapat septum deviasi ke kanan

Diagnosis Banding

Rhinitis Vasomotor

Dasar yang mendukung :

Pilek di pagi hari apabila kontak dengan udara dingin dan stress/ emosi.

Bersin –bersin (+), hidung tersumbat (+)

Keluarnya sekret serous (+)

Dasar yang tidak mendukung :

Sumbatan pada hidung tidak di pengaruhi perubahan posisi

Rasa gatal pada hidung (-)

Adanya riwayat alergi seafood

Pemeriksaan anjuran :

Hitung eosinofil dalam darah tepi

Tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal

Diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test)

Penatalaksanaan

Medika Mentosa

Penanganan untuk rhinitis alergi intermiten ringan adalah dengan pemberian antihistamin

oral/topikal atau antihistamin dan dekongestan oral. Dekongestan atau simpatomimetik agen

digunakan pada gejala utama hidung tersumbat.

Ada 2 jenis antihistamin yaitu:

Antihistamin generasi pertama, yang dapat menyebabkan gejala mengantuk pada kebanyakan

orang. Contoh obat antihistamin ini yaitu diphenhydramine dan klorfenamin

Antihistamin generasi kedua, yang biasanya tidak menyebabkan gejala mengantuk dan

contoh obat antihistamin atau merk obat antihistamin ini termasuk loratadin dan cetirizine.

Non Medika Mentosa

Menganjurkan pada pasien agar menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan

eliminasi. Misalnya dengan menggunakan masker waktu berpergian, memakai baju yang

tebal bila udara dingin dan mengurangi stress dengan relaksasi.

Prognosis

Rhinitis Alergi Intermiten Ringan

Ad vitam : bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : dubia ad bonam

Deviasi Septum

Ad vitam : Bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Pembahasan

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka dapat

ditegakkan diagnosa kerja Rhinitis Alergi Intermiten Ringan dengan Deviasi Septum. Dimana

pada anamnesis ditemukan hidung mampet hilang timbul kanan dan kiri hingga terasa sesak 4

hari SMRS.Keluhan mampet tidak tergantung pada posisi pasien. Pasien juga mengalami bersin-

bersin di pagi hari,hidung dan mata seringkali terasa sangat gatal yang sudah dirasakan sejak

lama (sudah dari masa remaja), terutama pada waktu terpapar dengan debu, dingin dan dalam

keadaaan stress. Bisa sampai 3 kali dalam seminggu, namun tidak sampai mengganggu aktivitas

sehari-sehari. Pileknya berwarna putih, encer dan tidak berbau. Pasien memiliki riwayat alergi

seafood dan di keluarga juga ada yang memiliki gejala yang sama dengan pasien.Dan pada

pemeriksaan fisik ditemukan telinga didapatkan adanya serumen (+) kanan-kiri, membran

timpani intak, suram kanan-kiri,Pada pemeriksaan fisik hidung pada cavum nasi kanan sempit

terdapat secret (+) encer pada kavum nasi kiri lapang terdapat secret (+).Pada konka inferior

tampak livide dan edem kanan dan kiri.Adanya deviasi septum kekanan (+). Sedangkan

pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.

Dimana berdasarkan gejala klasifikasi Rhinitis Alergi menurut rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan

sifat berlangsungnya termasuk dalam intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4

hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Sedangkan menurut tingkat berat ringannya rhinitis

alergi pada kasus ini termasuk dalam rhinitis alergi ringan dimana tidak ditemukan gangguan

tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang

mengganggu.Dan juga berdasarkan anamnesis hampir 50 % kasus rhinitis alergi dapat ditegakan

dengan gejala yang khas terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan

gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

debu. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung

dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).Dan

biasanya pada pemeriksaan fisik rinoskopi anterior ditemukan tampak mukosa edema, basah,

berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak, mukosa konka inferior

tampak hipertrofi.Dan bisa dilihat gejala lain bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi

karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain

dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung

tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut

allergic crease.Dan dalam kasus ini deviasi septum termasuk ringan dimana deviasi kurang dari

setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.

BAB III

Kesimpulan

Rhinitis Alergi Intermiten Ringan merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh

reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.Sedangkan Deviasi septum Nasi

merupakan suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari letaknya yang berada

di garis medial tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-41.

2. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani Rs.Sumbatan hidung. Dalam : buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h.

118-3.

3. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings, C.W., et al.

Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia: Mosby; 2005. h.1001.

4. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono. Rhinitis alergi. Dalam : buku ajar ilmu kesehatan

telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 128-6.

5. Poerbonegoro, Niken L, Kasakeyan E. Rhinitisvasomotor. . Dalam : buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h.

135-8.

6. Endang M, Nizar, WN. Kelainan septum. . Dalam : buku ajar ilmu kesehatan telinga

hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 126-7.