case tinea dan pv ira ica
DESCRIPTION
case kulitTRANSCRIPT
Case Report Session
Tinea dan Pitiriasis Versikolor
OLEH :
Seruni Allisa Aslim 1210311017
Fatimah Yusra. N 1210312028
PRESEPTOR:
Dr. dr. Satya Widya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS.DR.M.JAMIL PADANG
2016
LEARNING OBJECTIVE
1. Tinea
Mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Definisi tinea
b. Epidemiologi tinea
c. Penyebab tinea
d. Faktor predisposisi tinea
e. Etiopatogenesis tinea
f. Gejala klinis tinea
g. Diagnosis tinea
h. Diagnosis banding tinea
i. Pemeriksaan penunjang tinea
j. Penatalaksanaan tinea
k. Prognosis tinea
2. Pitiriasis Versikolor
Mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Definisi pitiriasis versikolor
b. Epidemiologi pitiriasis versikolor
c. Penyebab pitiriasis versikolor
d. Faktor predisposisi pitiriasis versikolor
e. Etiopatogenesis pitiriasis versikolor
f. Gejala klinis pitiriasis versikolor
g. Diagnosis pitiriasis versikolor
h. Diagnosis banding pitiriasis versikolor
i. Pemeriksaan penunjang pitiriasis versikolor
j. Penatalaksanaan pitiriasis versikolor
k. Prognosis pitiriasis versikolor
1. Tinea
a. Definisi
Tinea merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam
kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis
(epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis), yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum
dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1,2,3
b. Epidemiologi
Secara demografis, jamur penyebab umumnya dapat ditemukan pada seluruh belahan
dunia. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh T.rubrum, yang
terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Afrika Barat.3
c. Penyebab
Agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita yang tergabung ke
dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga genus, yaitu Mycrosporum (17
spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton (2 spesies). Golongan jamur ini
bersifat mencernakan keratin.1
d. Faktor predisposisi
Mengetahu faktor predisposisi penting untuk mencari sumber infeksi. Transmisi
dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:
Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak
langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes, T.schoenleini,
T.tonsurans, T.violaceum, Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum.
Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu
T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.3,4
Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 3
Faktor predisposisi lainnya adalah kelembaban yang tinggi, kebersihan kuran, sosial
ekonomi yang rendah, daya tahan tubuh yang rendah.
e. Etiopatogenesis
Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit, umumnya
berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi.7 Dermatofita
menghasilkan keratinase yang memungkinkannya untuk mencerna keratin dan
mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sebagai respons terhadap keberadaan jamur,
tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit
polimorfonuklear.3 Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam
lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.5
Adapun patogenesis yang mendasari temuan klinis pada dermatofitosis bergantung pada
struktur yang dikenainya.Pada epidermomikosis, dermatofita berada pada stratum korneum.
Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respons inflamasi
yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, dan bahkan vesikel.
f. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, tinea umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat
keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1
Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan
terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit / polimorfik. Lesi awal dapat berupa lesi
eritematosa kecil beserta vesikel dan skuama yang menyebar hingga umumnya berupa plak
eritematosa / hiperpigmentasi / kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.3
Predileksi awal pada tinea cruris adalah pada paha bagian atas sisi dalam kemudian
mennyebar ke paha bagian bawah, perineum, serta anus, namun jarang untuk mengenai
skrotum.4
Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian tepi lesi
cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu dalam bentuk tanda
peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila penyakit terjadi secara menahun,
dapat ditemukan gambaran bercak hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula
muncul temuan erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi
perubahan ke arah liken simpleks kronikus. 1
g. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik.
h. Diagnosis banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan dengan predileksi serupa dengan tinea kruris dan
tinea corporis terutama adalah dermatitis seboroik, psoriasis, eritrasma, serta kandidosis.1
Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya akan sulit untuk dibedakan dengan tinea
kruris maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat predileksi lain, terutama
aksila dan dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakan diagnosis.1
Psoriasis pada sela paha dapat saja terjadi, akan tetapi umumnya memiliki gambaran lesi
yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lebih lamelar. Keberadaan lesi pada tempat
predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis.1
Kandidosis pada daerah lipat paha umumnya memiliki konfigurasi hen and chicken,
umumnya basah, berkrusta, serta disertai dengan fluor albus yang khas. Penyakit ini juga
akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus.1 Pada kandidiasis,
umumnya ditemukan pseudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH.
Eritrasma memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama pada seluruh lesi
dan seringkali berlokalisasi di sela paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, dapat
ditemukan fluoresensi merah (coral red).1
i. Pemeriksaan penunjang
Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik berupa pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. 1
Pada kecurigaan tinea, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan pada
kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga mencapai
sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul steril. Untuk
pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu dicabut, kemudian
kulit dikerok untuk memperoleh sisik.1 Pemakaian agen antifungal dalam waktu dekat
terkadang dapat menyulitkan identifikasi.3
Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object glass, kemudian
ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi 20%. Setelah menunggu sekitar 15 – 20
menit untuk melarutkan jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker
superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata. Adapun
waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan pemanasan di atas api kecil.1
Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup
dengan menggunakan pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk
dermatofitosis pada kulit adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar
dengan sekat dan cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan kulit yang lama dan /
atau sudah diobati. 1
j. Penatalaksanaan
Tatalaksana pada pasien dengan tinea dilakukan secara medikamentosa maupun non
medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /
kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu
berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari
kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.4,5
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat diberikan
administrasi obat topikal dan sistemik.2 Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin,
diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan golongan
azol, siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.2
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif, atau
gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25
mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1
x 250 mg/hari.2
Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis umumnya
0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui pemberian dosis
terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama dengan
makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek samping sefalgia
pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi hati, keluhan gangguan traktus
digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.1
k. Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor
predisposisi dapat dihindari.
2. Pitiriasis Versikolor
a. Definisi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh ragi
genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala subjektif, ditandai oleh area
depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama
terdapat pada badan bagian atas.6
b. Epidemiologi
PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak terdapat
perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia,
yaitu lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa mua, jarang pada anak dan orang tua.
Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan di antara berbagai
penyakit kulit akibat jamur.6
c. Penyebab
PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora
normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa.
Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi
kelenjar sebasea.
Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit pada kulit ma
nusia, yaitu M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, M. obtusa, dan
satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M. pachydermatis.6
d. Faktor Predisposisi
Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut
berupa suhu, kelembaban yang tinggi, dan tegangan CO2 tinggi permukaan kulit akibat
oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.
e. Etiopatogenesis
Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk
miselia yang menyebabkan kelainan PV. Beberapa mekanisme dianggap merupakan
penyebab perubahan warna pada lesi kulit, yaitu Malassezia sp. memproduksi asam
dikarboksilat (asam azaleat) yang mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan
memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai kemampuan absorbsi sinar
ultraviolet, sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi. Mekanisme terjadinya lesi
hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop
elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang lebih
tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.6
f. Gejala Klinis
Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ekstremitas sisi
proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga ditemukan pada aksila, lipat
paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitriasiformis).
Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang
ada pruritus ringan.6
g. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdassarkan anmnesis, gambaran klinis, pemeriksaan dengan
lampu Wood, dan sediaan langsung dengan KOH.
h. Diagnosis Banding
Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dari PV, yaitu pitriasis
alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroi, pitriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid,
dan tinea.6
i. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan degan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat
metabolit asam dekarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi
sebaran lokasi lesi. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada penderita yang menggunakan
salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada
orang yang rajin mandi.
Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan
hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian menyebabkan sebutan
serupa 'sphagetti and meatballs' atau 'bananas and grapes'. Sediaan diambil dengan kerokan
ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan larutan KOH 20%.6
j. Tata Laksana
Mengidentifikasi faktor predisposisi merupakan hal yang pentig dalam tatalaksana PV
selain terapi. Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa
pertimbangan antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek
samping.6
Obat topikal yang dapat digunakan, yaitu sampo selenium sulfida 1,8%- 2,5% yang
dioleskan 15-30 menit sebelum mandi, setiap hari atau 2-3 kali seminggu. Pengolesan
dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia. Selain itu dapat pula digunakan
sampo ketokonazol 2%, solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk
lesi terbatas, dapat digunakan berbagai derivat krim azol, misalnya mikonazol, klotrimazol,
isokonazol, ekonazol. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan
dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.6,7
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas kambuhan dan gagal dengan terapi
topikal, antara lain dengan ketokonazol 1x200 mg/hari selama 7 hari, itrakonazol 200-400
mg/hari selama 3-7 hari, atau flukonazol 400 mg single dose.6,7
k. Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor
predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan
setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan pada pasien.6
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tinea
1.1.1 Definisi
Tinea merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam
kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis
(epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis), yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum
dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1,2,3
Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
sebagai tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum, tinea unguium, tinea
korporis, dan lain-lain.3Tinea kruris sendiri merupakan jenis dermatofitosis yang terjadi pada
daerah inguinal / lipat paha, yang dapat meluas hingga pada suprapubis, daerah perineum,
dan sekitar anus.2
1.1.2. Epidcemiologi
Secara demografis, jamur penyebab umumnya dapat ditemukan pada seluruh belahan
dunia. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh T.rubrum, yang
terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Afrika Barat.3
1.1.3. Etiologi
Seperti namanya, agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita
yang tergabung ke dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga genus, yaitu
Mycrosporum (17 spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton (2 spesies).
Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin.1
Transmisi dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:
Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak
langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes, T.schoenleini,
T.tonsurans, T.violaceum, Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum.
Tabel 1. Dermatofita Antropofilik.5
Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu
T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.3,4
Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 3
Tabel 2. Dermatofita Zoofilik dan Geofilik.4
Pada tinea kruris, etiologi utamanya adalah T.rubrum dan T.mentagropyhtes.3 Faktor
predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik terkait
keratin yang dimiliki, kondisi pejamu, berupa atopi, imunospuresi serta konsumsi
glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, ichtyosis dimana terjadi defek pada
sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskular.3,4 Di samping itu, terdapat pula faktor lokal yang
memudahkan terjadinya infeksi, yaitu keringat, pajanan okupasional khusus, gaya hidup,
lokasi geografis, dan kelembaban tinggi, terutama pada negara dengan iklim tropis atau
semitropis.3
1.1.4. Patogenesis
Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit, umumnya
berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi.7 Dermatofita
menghasilkan keratinase yang memungkinkannya untuk mencerna keratin dan
mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sebagai respons terhadap keberadaan jamur,
tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit
polimorfonuklear.3 Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam
lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.5
Adapun patogenesis yang mendasari temuan klinis pada dermatofitosis bergantung
pada struktur yang dikenainya.Pada epidermomikosis, dermatofita berada pada stratum
korneum. Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respons
inflamasi yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, dan bahkan vesikel.
Pada trikomikosis, keterlibatan pada sarung rambut dapat mengakibatkan destruksi
dan kerontokan rambut. Apabila infeksi jamur meluas jauh hingga ke dalam folikel rambut,
dapat terjadi respons inflamasi yang ditunjukkan sebagai nodul inflamatorik, pustulasi
folikular, hingga formasi abses.3
Gambar 1. Patogenesis Dermatofitosis. 3
Sebagai akibat dari infeksi jamur ini, dapat terjadi perubahan histopatologik pada
kulit, berupa hiperkeratosis, hiper/hipogranulosis, spongiosis, invasi mononuklear, serta
akantosis. Presentasi klinis yang terjadi bergantung pada beragam faktor, yaitu situs infeksi,
respon imun pejamu, serta spesies jamur. T.rubrum umumnya memicu respons inflamasi
ringan sehingga infeksi cenderung terjadi secara kronik sedangkan M.canis umumnya
memicu infeksi dengan sifat akut berat namun diikuti penyembuhan spontan.5
1.1.5. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, tinea umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat
keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1
Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan
terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit / polimorfik. Lesi awal dapat berupa lesi
eritematosa kecil beserta vesikel dan skuama yang menyebar hingga umumnya berupa plak
eritematosa / hiperpigmentasi / kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.3
Predileksi awal pada tinea cruris adalah pada paha bagian atas sisi dalam kemudian
mennyebar ke paha bagian bawah, perineum, serta anus, namun jarang untuk mengenai
skrotum.4
Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian tepi lesi
cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu dalam bentuk tanda
peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila penyakit terjadi secara menahun,
dapat ditemukan gambaran bercak hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula
muncul temuan erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi
perubahan ke arah liken simpleks kronikus. 1
Pada tinea korporis, kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas sendiri atas eritema, skuama kadang-kadang dengan vesikel. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan
kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulity yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terlihat
pada anak-anak dibanding dewasa karena umumnya mmerupakan infeksi baru pertama kali.
Pada tinea korporis yang menahun, tanda meradang biasanya tak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan keluhan pada
sela paha. Dalam hal ini disebut tinea cruris et corporis atau sebaliknya tinea corporis et
cruris
1.1.6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik berupa pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. 1
Pada kecurigaan tinea, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan
pada kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga
mencapai sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul
steril. Untuk pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu dicabut,
kemudian kulit dikerok untuk memperoleh sisik.1 Pemakaian agen antifungal dalam waktu
dekat terkadang dapat menyulitkan identifikasi.3
Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object glass, kemudian
ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi 20%. Setelah menunggu sekitar 15 – 20
menit untuk melarutkan jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker
superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata. Adapun
waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan pemanasan di atas api kecil.1
Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup
dengan menggunakan pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk
dermatofitosis pada kulit adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar
dengan sekat dan cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan kulit yang lama dan /
atau sudah diobati. 1
Gambar 3. Gambaran Dermatofita pada Sediaan Basah KOH.3
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur dalam
upaya menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah. Pemeriksaan dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis ke dalam media buatan, yaitu medium agar dekstrosa Saboraud
yang telah ditambahkan dengan antibiotik maupun klorheksimid untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur lain.3Kultur dilakukan pada suhu 280 C selama 1-4 minggu.2
1.1.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan dengan predileksi serupa dengan tinea kruris
dan tinea corporis terutama adalah dermatitis seboroik, psoriasis, eritrasma, serta kandidosis.1
Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya akan sulit untuk dibedakan dengan tinea
kruris maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat predileksi lain, terutama
aksila dan dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakan diagnosis.1
Psoriasis pada sela paha dapat saja terjadi, akan tetapi umumnya memiliki gambaran
lesi yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lebih lamelar. Keberadaan lesi pada
tempat predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis.1
Kandidosis pada daerah lipat paha umumnya memiliki konfigurasi hen and chicken,
umumnya basah, berkrusta, serta disertai dengan fluor albus yang khas. Penyakit ini juga
akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus.1 Pada kandidiasis,
umumnya ditemukan pseudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH.
Eritrasma memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama pada seluruh
lesi dan seringkali berlokalisasi di sela paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, dapat
ditemukan fluoresensi merah (coral red).1
1.1.8. Tatalaksana
Tatalaksana pada pasien dengan tinea dilakukan secara medikamentosa maupun non
medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /
kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu
berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari
kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.4,5
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat
diberikan administrasi obat topikal dan sistemik.2 Obat topikal terpilih berasal dari golongan
alilamin, diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan
golongan azol, siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4
minggu.2
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif,
atau gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25
mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1
x 250 mg/hari.2
Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis
umumnya 0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui pemberian
dosis terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama
dengan makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek samping
sefalgia pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi hati, keluhan gangguan
traktus digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.1
Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif pilihan bila terjadi
resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan. Obat ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh diberikan pada pasien
dengan kelainan hepar.1
Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah itrakonazol, akan tetapi
terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga konsumsi obat lain pada pasien juga
harus dipertimbangkan.1
Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 – 3 minggu dengan dosis 62,5 mg – 250
mg sehari bergantung pada berat badan pasien. Efek samping yang dapat terjadi adalah
gangguan gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan konstipasi. Di
samping itu, dapat pula terjadi gangguan pengecapan maupun gangguan fungsi hepar.1
Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, serta
keadaan imunitas penderita.Pemberian obat dilakukan hingga secara klinis ditemukan
perbaikan diikuti dengan hasil negatif pada pemeriksaan laboratorium.2 Agar tidak residif,
pengobatan dilanjutkan selama 2 minggu setelah terjadi kesembuhan secara klinis.1 Secara
umum, prognosis penyakit ini baik.5
1.2 Pitiriasis Versikolor
1.2.1 Definisi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh ragi
genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala subjektif, ditandai oleh area
depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama
terdapat pada badan bagian atas.6
1.2.2 Epidemiologi
PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak terdapat
perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia,
yaitu lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa mua, jarang pada anak dan orang tua.
Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan di antara berbagai
penyakit kulit akibat jamur.6
1.2.3 Etiologi
PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora
normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa.
Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi
kelenjar sebasea.
Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit pada kulit
manusia, yaitu M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, M. obtusa,
dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M.
pachydermatis.6
1.2.4 Patogenesis
Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk
miselia yang menyebabkan kelainan PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat
menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembaban yang tinggi, dan tegangan CO2
tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif,
dan malnutrisi.
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada lesi kulit,
yaitu Malassezia sp. memproduksi asam dikarboksilat (asam azaleat) yang mengganggu
pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai
kemampuan absorbsi sinar ultraviolet, sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi.
Mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada
pemeriksaan mikroskop elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal.
Lapisan keratin yang lebih tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.6
1.2.5 Gambaran Klinis
Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ekstremitas sisi
proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga ditemukan pada aksila, lipat
paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitriasiformis).
Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang
ada pruritus ringan.6
1.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan degan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat
metabolit asam dekarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi
sebaran lokasi lesi. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada penderita yang menggunakan
salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada
orang yang rajin mandi.
Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan
hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian menyebabkan sebutan
serupa 'sphagetti and meatballs' atau 'bananas and grapes'. Sediaan diambil dengan kerokan
ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan larutan KOH 20%.6
1.2.7 Diagnosis
Dugaan diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah predileksi
berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai dengan hitam, yang
berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu Wood untuk melihat fluoresensi kuning
keemasan akan membantu diagnosis klinis. Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil
positif pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.6
1.2.8 Diagnosis Banding
Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dari PV, yaitu pitriasis
alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroi, pitriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid,
dan tinea.6
1.2.9 Tata Laksana
Mengidentifikasi faktor predisposisi merupakan hal yang pentig dalam tatalaksana PV
selain terapi. Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa
pertimbangan antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek
samping.6
Obat topikal yang dapat digunakan, yaitu sampo selenium sulfida 1,8%- 2,5% yang
dioleskan 15-30 menit sebelum mandi, setiap hari atau 2-3 kali seminggu. Pengolesan
dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia. Selain itu dapat pula digunakan
sampo ketokonazol 2%, solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk
lesi terbatas, dapat digunakan berbagai derivat krim azol, misalnya mikonazol, klotrimazol,
isokonazol, ekonazol. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan
dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.6,7
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas kambuhan dan gagal dengan terapi
topikal, antara lain dengan ketokonazol 1x200 mg/hari selama 7 hari, itrakonazol 200-400
mg/hari selama 3-7 hari, atau flukonazol 400 mg single dose.6,7
1.2.10 Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor
predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan
setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan pada pasien.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015.hal.109-16.
2. Sugito TL, Hakim L, Suseno LS, Suriadiredja A, Toruan TL, Alam TN, editor. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin PERDOSKI. Jakarta: PP PERDOSKI; 2011.hal.96-9.
3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.[e-book]. Fifth Edition. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2007.Chapter 23: Cutaneous Fungal Infection.
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology. Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.287-8,299.
5. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Grifftths C, editors. Rook’s textbook of Dermatology. [e-book] Seventh Edition. Massachussets: Blackwell Science; 2004.
6. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015.hal.103-9.
7. Anum Q, Asri S, Gustia R, Lestari S, Yenny SW, Isramiharti, et al. 2013. Panduan Praktek Klinik SMF Kulit dan Kelamin RS. Dr. M. Djamil Padang. Sumatera Barat.