case tinea dan pv ira ica

38
Case Report Session Tinea dan Pitiriasis Versikolor OLEH : Seruni Allisa Aslim 1210311017 Fatimah Yusra. N 1210312028 PRESEPTOR: Dr. dr. Satya Widya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RS.DR.M.JAMIL PADANG

Upload: aldy-rasyid

Post on 07-Jul-2016

230 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

case kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Case Report Session

Tinea dan Pitiriasis Versikolor

OLEH :

Seruni Allisa Aslim 1210311017

Fatimah Yusra. N 1210312028

PRESEPTOR:

Dr. dr. Satya Widya Yenny, Sp.KK(K), FINSDV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RS.DR.M.JAMIL PADANG

2016

Page 2: Case Tinea Dan PV Ira Ica

LEARNING OBJECTIVE

1. Tinea

Mahasiswa mampu menjelaskan:

a. Definisi tinea

b. Epidemiologi tinea

c. Penyebab tinea

d. Faktor predisposisi tinea

e. Etiopatogenesis tinea

f. Gejala klinis tinea

g. Diagnosis tinea

h. Diagnosis banding tinea

i. Pemeriksaan penunjang tinea

j. Penatalaksanaan tinea

k. Prognosis tinea

2. Pitiriasis Versikolor

Mahasiswa mampu menjelaskan:

a. Definisi pitiriasis versikolor

b. Epidemiologi pitiriasis versikolor

c. Penyebab pitiriasis versikolor

d. Faktor predisposisi pitiriasis versikolor

e. Etiopatogenesis pitiriasis versikolor

f. Gejala klinis pitiriasis versikolor

g. Diagnosis pitiriasis versikolor

h. Diagnosis banding pitiriasis versikolor

i. Pemeriksaan penunjang pitiriasis versikolor

j. Penatalaksanaan pitiriasis versikolor

k. Prognosis pitiriasis versikolor

Page 3: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1. Tinea

a. Definisi

Tinea merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam

kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah penyakit pada

jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis

(epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis), yang disebabkan

golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum

dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1,2,3

b. Epidemiologi

Secara demografis, jamur penyebab umumnya dapat ditemukan pada seluruh belahan

dunia. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh T.rubrum, yang

terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Afrika Barat.3

c. Penyebab

Agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita yang tergabung ke

dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga genus, yaitu Mycrosporum (17

spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton (2 spesies). Golongan jamur ini

bersifat mencernakan keratin.1

d. Faktor predisposisi

Mengetahu faktor predisposisi penting untuk mencari sumber infeksi. Transmisi

dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:

Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak

langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes, T.schoenleini,

T.tonsurans, T.violaceum, Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum.

Page 4: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu

T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.3,4

Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 3

Faktor predisposisi lainnya adalah kelembaban yang tinggi, kebersihan kuran, sosial

ekonomi yang rendah, daya tahan tubuh yang rendah.

e. Etiopatogenesis

Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit, umumnya

berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi.7 Dermatofita

menghasilkan keratinase yang memungkinkannya untuk mencerna keratin dan

mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sebagai respons terhadap keberadaan jamur,

tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit

polimorfonuklear.3 Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam

lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.5

Adapun patogenesis yang mendasari temuan klinis pada dermatofitosis bergantung pada

struktur yang dikenainya.Pada epidermomikosis, dermatofita berada pada stratum korneum.

Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respons inflamasi

yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, dan bahkan vesikel.

f. Gejala klinis

Berdasarkan anamnesis, tinea umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat

keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat

merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1

Page 5: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan

terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit / polimorfik. Lesi awal dapat berupa lesi

eritematosa kecil beserta vesikel dan skuama yang menyebar hingga umumnya berupa plak

eritematosa / hiperpigmentasi / kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.3

Predileksi awal pada tinea cruris adalah pada paha bagian atas sisi dalam kemudian

mennyebar ke paha bagian bawah, perineum, serta anus, namun jarang untuk mengenai

skrotum.4

Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian tepi lesi

cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu dalam bentuk tanda

peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila penyakit terjadi secara menahun,

dapat ditemukan gambaran bercak hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula

muncul temuan erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi

perubahan ke arah liken simpleks kronikus. 1

g. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik.

h. Diagnosis banding

Diagnosis banding yang perlu dipikirkan dengan predileksi serupa dengan tinea kruris dan

tinea corporis terutama adalah dermatitis seboroik, psoriasis, eritrasma, serta kandidosis.1

Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya akan sulit untuk dibedakan dengan tinea

kruris maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat predileksi lain, terutama

aksila dan dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakan diagnosis.1

Page 6: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Psoriasis pada sela paha dapat saja terjadi, akan tetapi umumnya memiliki gambaran lesi

yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lebih lamelar. Keberadaan lesi pada tempat

predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis.1

Kandidosis pada daerah lipat paha umumnya memiliki konfigurasi hen and chicken,

umumnya basah, berkrusta, serta disertai dengan fluor albus yang khas. Penyakit ini juga

akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus.1 Pada kandidiasis,

umumnya ditemukan pseudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH.

Eritrasma memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama pada seluruh lesi

dan seringkali berlokalisasi di sela paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, dapat

ditemukan fluoresensi merah (coral red).1

i. Pemeriksaan penunjang

Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik berupa pemeriksaan

langsung sediaan basah dan biakan. 1

Pada kecurigaan tinea, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan pada

kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga mencapai

sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul steril. Untuk

pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu dicabut, kemudian

kulit dikerok untuk memperoleh sisik.1 Pemakaian agen antifungal dalam waktu dekat

terkadang dapat menyulitkan identifikasi.3

Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object glass, kemudian

ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi 20%. Setelah menunggu sekitar 15 – 20

menit untuk melarutkan jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker

Page 7: Case Tinea Dan PV Ira Ica

superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata. Adapun

waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan pemanasan di atas api kecil.1

Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup

dengan menggunakan pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk

dermatofitosis pada kulit adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar

dengan sekat dan cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan kulit yang lama dan /

atau sudah diobati. 1

j. Penatalaksanaan

Tatalaksana pada pasien dengan tinea dilakukan secara medikamentosa maupun non

medikamentosa.

Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /

kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu

berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari

kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.4,5

Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat diberikan

administrasi obat topikal dan sistemik.2 Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin,

diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan golongan

azol, siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.2

Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif, atau

gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25

mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1

x 250 mg/hari.2

Page 8: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis umumnya

0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui pemberian dosis

terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama dengan

makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek samping sefalgia

pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi hati, keluhan gangguan traktus

digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.1

k. Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor

predisposisi dapat dihindari.

Page 9: Case Tinea Dan PV Ira Ica

2. Pitiriasis Versikolor

a. Definisi

Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh ragi

genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala subjektif, ditandai oleh area

depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama

terdapat pada badan bagian atas.6

b. Epidemiologi

PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak terdapat

perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia,

yaitu lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa mua, jarang pada anak dan orang tua.

Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan di antara berbagai

penyakit kulit akibat jamur.6

c. Penyebab

PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora

normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa.

Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi

kelenjar sebasea.

Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit pada kulit ma

nusia, yaitu M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, M. obtusa, dan

satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M. pachydermatis.6

d. Faktor Predisposisi

Page 10: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut

berupa suhu, kelembaban yang tinggi, dan tegangan CO2 tinggi permukaan kulit akibat

oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.

e. Etiopatogenesis

Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk

miselia yang menyebabkan kelainan PV. Beberapa mekanisme dianggap merupakan

penyebab perubahan warna pada lesi kulit, yaitu Malassezia sp. memproduksi asam

dikarboksilat (asam azaleat) yang mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan

memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai kemampuan absorbsi sinar

ultraviolet, sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi. Mekanisme terjadinya lesi

hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop

elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang lebih

tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.6

f. Gejala Klinis

Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ekstremitas sisi

proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga ditemukan pada aksila, lipat

paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi,

dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitriasiformis).

Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang

ada pruritus ringan.6

g. Diagnosis

Page 11: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Diagnosis ditegakkan berdassarkan anmnesis, gambaran klinis, pemeriksaan dengan

lampu Wood, dan sediaan langsung dengan KOH.

h. Diagnosis Banding

Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dari PV, yaitu pitriasis

alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroi, pitriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid,

dan tinea.6

i. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan degan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat

metabolit asam dekarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi

sebaran lokasi lesi. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada penderita yang menggunakan

salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada

orang yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan

hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian menyebabkan sebutan

serupa 'sphagetti and meatballs' atau 'bananas and grapes'. Sediaan diambil dengan kerokan

ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dilakukan

dengan menggunakan larutan KOH 20%.6

j. Tata Laksana

Mengidentifikasi faktor predisposisi merupakan hal yang pentig dalam tatalaksana PV

selain terapi. Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa

pertimbangan antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek

samping.6

Page 12: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Obat topikal yang dapat digunakan, yaitu sampo selenium sulfida 1,8%- 2,5% yang

dioleskan 15-30 menit sebelum mandi, setiap hari atau 2-3 kali seminggu. Pengolesan

dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia. Selain itu dapat pula digunakan

sampo ketokonazol 2%, solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk

lesi terbatas, dapat digunakan berbagai derivat krim azol, misalnya mikonazol, klotrimazol,

isokonazol, ekonazol. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan

dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.6,7

Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas kambuhan dan gagal dengan terapi

topikal, antara lain dengan ketokonazol 1x200 mg/hari selama 7 hari, itrakonazol 200-400

mg/hari selama 3-7 hari, atau flukonazol 400 mg single dose.6,7

k. Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor

predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan

setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan pada pasien.6

Page 13: Case Tinea Dan PV Ira Ica

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tinea

1.1.1 Definisi

Tinea merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam

kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah penyakit pada

jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis

(epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis), yang disebabkan

golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum

dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1,2,3

Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu

sebagai tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum, tinea unguium, tinea

korporis, dan lain-lain.3Tinea kruris sendiri merupakan jenis dermatofitosis yang terjadi pada

daerah inguinal / lipat paha, yang dapat meluas hingga pada suprapubis, daerah perineum,

dan sekitar anus.2

1.1.2. Epidcemiologi

Secara demografis, jamur penyebab umumnya dapat ditemukan pada seluruh belahan

dunia. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh T.rubrum, yang

terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Afrika Barat.3

1.1.3. Etiologi

Seperti namanya, agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita

yang tergabung ke dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga genus, yaitu

Page 14: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Mycrosporum (17 spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton (2 spesies).

Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin.1

Transmisi dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:

Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak

langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes, T.schoenleini,

T.tonsurans, T.violaceum, Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum.

Tabel 1. Dermatofita Antropofilik.5

Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu

T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.3,4

Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 3

Tabel 2. Dermatofita Zoofilik dan Geofilik.4

Page 15: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Pada tinea kruris, etiologi utamanya adalah T.rubrum dan T.mentagropyhtes.3 Faktor

predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik terkait

keratin yang dimiliki, kondisi pejamu, berupa atopi, imunospuresi serta konsumsi

glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, ichtyosis dimana terjadi defek pada

sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskular.3,4 Di samping itu, terdapat pula faktor lokal yang

memudahkan terjadinya infeksi, yaitu keringat, pajanan okupasional khusus, gaya hidup,

lokasi geografis, dan kelembaban tinggi, terutama pada negara dengan iklim tropis atau

semitropis.3

1.1.4. Patogenesis

Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit, umumnya

berlangsung dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi.7 Dermatofita

menghasilkan keratinase yang memungkinkannya untuk mencerna keratin dan

mempertahankan diri pada struktur berkeratin. Sebagai respons terhadap keberadaan jamur,

tubuh akan menghasilkan imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit

polimorfonuklear.3 Fungsi ini terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam

lemak dari kelenjar sebasea yang dapat menghambat pertumbuhan jamur.5

Page 16: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Adapun patogenesis yang mendasari temuan klinis pada dermatofitosis bergantung

pada struktur yang dikenainya.Pada epidermomikosis, dermatofita berada pada stratum

korneum. Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respons

inflamasi yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, dan bahkan vesikel.

Pada trikomikosis, keterlibatan pada sarung rambut dapat mengakibatkan destruksi

dan kerontokan rambut. Apabila infeksi jamur meluas jauh hingga ke dalam folikel rambut,

dapat terjadi respons inflamasi yang ditunjukkan sebagai nodul inflamatorik, pustulasi

folikular, hingga formasi abses.3

Gambar 1. Patogenesis Dermatofitosis. 3

Sebagai akibat dari infeksi jamur ini, dapat terjadi perubahan histopatologik pada

kulit, berupa hiperkeratosis, hiper/hipogranulosis, spongiosis, invasi mononuklear, serta

akantosis. Presentasi klinis yang terjadi bergantung pada beragam faktor, yaitu situs infeksi,

respon imun pejamu, serta spesies jamur. T.rubrum umumnya memicu respons inflamasi

ringan sehingga infeksi cenderung terjadi secara kronik sedangkan M.canis umumnya

memicu infeksi dengan sifat akut berat namun diikuti penyembuhan spontan.5

Page 17: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1.1.5. Gejala Klinis

Berdasarkan anamnesis, tinea umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat

keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat

merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.1

Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan

terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit / polimorfik. Lesi awal dapat berupa lesi

eritematosa kecil beserta vesikel dan skuama yang menyebar hingga umumnya berupa plak

eritematosa / hiperpigmentasi / kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.3

Predileksi awal pada tinea cruris adalah pada paha bagian atas sisi dalam kemudian

mennyebar ke paha bagian bawah, perineum, serta anus, namun jarang untuk mengenai

skrotum.4

Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian tepi lesi

cenderung akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu dalam bentuk tanda

peradangan yang lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila penyakit terjadi secara menahun,

dapat ditemukan gambaran bercak hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula

muncul temuan erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi

perubahan ke arah liken simpleks kronikus. 1

Pada tinea korporis, kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau

lonjong, berbatas tegas sendiri atas eritema, skuama kadang-kadang dengan vesikel. Daerah

tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.

Lesi lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan

kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi

kulity yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terlihat

pada anak-anak dibanding dewasa karena umumnya mmerupakan infeksi baru pertama kali.

Page 18: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Pada tinea korporis yang menahun, tanda meradang biasanya tak terlihat lagi.

Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan keluhan pada

sela paha. Dalam hal ini disebut tinea cruris et corporis atau sebaliknya tinea corporis et

cruris

1.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik berupa pemeriksaan

langsung sediaan basah dan biakan. 1

Pada kecurigaan tinea, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan

pada kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga

mencapai sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul

steril. Untuk pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu dicabut,

kemudian kulit dikerok untuk memperoleh sisik.1 Pemakaian agen antifungal dalam waktu

dekat terkadang dapat menyulitkan identifikasi.3

Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object glass, kemudian

ditambah 1 – 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi 20%. Setelah menunggu sekitar 15 – 20

menit untuk melarutkan jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker

superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata. Adapun

waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan pemanasan di atas api kecil.1

Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup

dengan menggunakan pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk

dermatofitosis pada kulit adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar

dengan sekat dan cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan kulit yang lama dan /

atau sudah diobati. 1

Page 19: Case Tinea Dan PV Ira Ica

Gambar 3. Gambaran Dermatofita pada Sediaan Basah KOH.3

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur dalam

upaya menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah. Pemeriksaan dilakukan dengan

menanamkan bahan klinis ke dalam media buatan, yaitu medium agar dekstrosa Saboraud

yang telah ditambahkan dengan antibiotik maupun klorheksimid untuk menghambat

pertumbuhan bakteri dan jamur lain.3Kultur dilakukan pada suhu 280 C selama 1-4 minggu.2

1.1.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang perlu dipikirkan dengan predileksi serupa dengan tinea kruris

dan tinea corporis terutama adalah dermatitis seboroik, psoriasis, eritrasma, serta kandidosis.1

Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya akan sulit untuk dibedakan dengan tinea

kruris maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat predileksi lain, terutama

aksila dan dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakan diagnosis.1

Psoriasis pada sela paha dapat saja terjadi, akan tetapi umumnya memiliki gambaran

lesi yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lebih lamelar. Keberadaan lesi pada

tempat predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis.1

Kandidosis pada daerah lipat paha umumnya memiliki konfigurasi hen and chicken,

umumnya basah, berkrusta, serta disertai dengan fluor albus yang khas. Penyakit ini juga

Page 20: Case Tinea Dan PV Ira Ica

akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus.1 Pada kandidiasis,

umumnya ditemukan pseudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH.

Eritrasma memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama pada seluruh

lesi dan seringkali berlokalisasi di sela paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, dapat

ditemukan fluoresensi merah (coral red).1

1.1.8. Tatalaksana

Tatalaksana pada pasien dengan tinea dilakukan secara medikamentosa maupun non

medikamentosa.

Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /

kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu

berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari

kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.4,5

Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat

diberikan administrasi obat topikal dan sistemik.2 Obat topikal terpilih berasal dari golongan

alilamin, diberikan sekali sehari selama 1-2 minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan

golongan azol, siklopiroksolamin, asam undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4

minggu.2

Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif,

atau gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25

mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1

x 250 mg/hari.2

Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis

umumnya 0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui pemberian

Page 21: Case Tinea Dan PV Ira Ica

dosis terbagi. Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama

dengan makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek samping

sefalgia pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi hati, keluhan gangguan

traktus digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.1

Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif pilihan bila terjadi

resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari

setelah makan. Obat ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh diberikan pada pasien

dengan kelainan hepar.1

Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah itrakonazol, akan tetapi

terdapat potensi interaksi yang cukup luas sehingga konsumsi obat lain pada pasien juga

harus dipertimbangkan.1

Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat diberikan sebagai

pengganti griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 – 3 minggu dengan dosis 62,5 mg – 250

mg sehari bergantung pada berat badan pasien. Efek samping yang dapat terjadi adalah

gangguan gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan konstipasi. Di

samping itu, dapat pula terjadi gangguan pengecapan maupun gangguan fungsi hepar.1

Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, serta

keadaan imunitas penderita.Pemberian obat dilakukan hingga secara klinis ditemukan

perbaikan diikuti dengan hasil negatif pada pemeriksaan laboratorium.2 Agar tidak residif,

pengobatan dilanjutkan selama 2 minggu setelah terjadi kesembuhan secara klinis.1 Secara

umum, prognosis penyakit ini baik.5

Page 22: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1.2 Pitiriasis Versikolor

1.2.1 Definisi

Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh ragi

genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala subjektif, ditandai oleh area

depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama

terdapat pada badan bagian atas.6

1.2.2 Epidemiologi

PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak terdapat

perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia,

yaitu lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa mua, jarang pada anak dan orang tua.

Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan di antara berbagai

penyakit kulit akibat jamur.6

1.2.3 Etiologi

PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora

normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat berubah menjadi hifa.

Sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi

kelenjar sebasea.

Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit pada kulit

manusia, yaitu M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. sloofiae, M. obtusa,

dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit hewan, M.

pachydermatis.6

Page 23: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1.2.4 Patogenesis

Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk

miselia yang menyebabkan kelainan PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga dapat

menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembaban yang tinggi, dan tegangan CO2

tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif,

dan malnutrisi.

Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada lesi kulit,

yaitu Malassezia sp. memproduksi asam dikarboksilat (asam azaleat) yang mengganggu

pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi metabolit (pityriacitrin) yang mempunyai

kemampuan absorbsi sinar ultraviolet, sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi.

Mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada

pemeriksaan mikroskop elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal.

Lapisan keratin yang lebih tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.6

1.2.5 Gambaran Klinis

Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut, ekstremitas sisi

proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga ditemukan pada aksila, lipat

paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi,

dan kadang eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitriasiformis).

Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa keluhan kosmetik, meskipun kadang

ada pruritus ringan.6

Page 24: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan degan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi kekuningan akibat

metabolit asam dekarboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk lesi PV dan mendeteksi

sebaran lokasi lesi. Hasil positif palsu dapat ditemukan pada penderita yang menggunakan

salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada

orang yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan kumpulan

hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian menyebabkan sebutan

serupa 'sphagetti and meatballs' atau 'bananas and grapes'. Sediaan diambil dengan kerokan

ringan kulit menggunakan skalpel atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dilakukan

dengan menggunakan larutan KOH 20%.6

1.2.7 Diagnosis

Dugaan diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah predileksi

berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai dengan hitam, yang

berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu Wood untuk melihat fluoresensi kuning

keemasan akan membantu diagnosis klinis. Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil

positif pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.6

1.2.8 Diagnosis Banding

Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dari PV, yaitu pitriasis

alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroi, pitriasis rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid,

dan tinea.6

Page 25: Case Tinea Dan PV Ira Ica

1.2.9 Tata Laksana

Mengidentifikasi faktor predisposisi merupakan hal yang pentig dalam tatalaksana PV

selain terapi. Terapi dapat menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa

pertimbangan antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek

samping.6

Obat topikal yang dapat digunakan, yaitu sampo selenium sulfida 1,8%- 2,5% yang

dioleskan 15-30 menit sebelum mandi, setiap hari atau 2-3 kali seminggu. Pengolesan

dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia. Selain itu dapat pula digunakan

sampo ketokonazol 2%, solusio natrium hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk

lesi terbatas, dapat digunakan berbagai derivat krim azol, misalnya mikonazol, klotrimazol,

isokonazol, ekonazol. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan

dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif.6,7

Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas kambuhan dan gagal dengan terapi

topikal, antara lain dengan ketokonazol 1x200 mg/hari selama 7 hari, itrakonazol 200-400

mg/hari selama 3-7 hari, atau flukonazol 400 mg single dose.6,7

1.2.10 Prognosis

Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta faktor

predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan sampai beberapa bulan

setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan pada pasien.6

Page 26: Case Tinea Dan PV Ira Ica

DAFTAR PUSTAKA

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015.hal.109-16.

2. Sugito TL, Hakim L, Suseno LS, Suriadiredja A, Toruan TL, Alam TN, editor. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin PERDOSKI. Jakarta: PP PERDOSKI; 2011.hal.96-9.

3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.[e-book]. Fifth Edition. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2007.Chapter 23: Cutaneous Fungal Infection.

4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology. Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.287-8,299.

5. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Grifftths C, editors. Rook’s textbook of Dermatology. [e-book] Seventh Edition. Massachussets: Blackwell Science; 2004.

6. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI; 2015.hal.103-9.

7. Anum Q, Asri S, Gustia R, Lestari S, Yenny SW, Isramiharti, et al. 2013. Panduan Praktek Klinik SMF Kulit dan Kelamin RS. Dr. M. Djamil Padang. Sumatera Barat.