case sn-2

87
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. 1 Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2- 3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. 2 Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat- obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN masih merupakan SN primer (idiopatik).

Upload: meilinda-sihite

Post on 10-Dec-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SN

TRANSCRIPT

Page 1: case SN-2

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh

proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia

(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan

etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan

primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit

tertentu.1

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)

dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih

banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),

umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-

3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik

sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2

Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-

obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit

herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis,

obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN masih merupakan SN primer (idiopatik).

1

Page 2: case SN-2

2

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH

SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI

Nama Mahasiswa : Meiliani Safitri H Dokter Pembimbing : dr. Hj. Siti Rahma, Sp.A

NIM : 030.08.151 Tanda tangan :

BAB II ILUSTRASI

KASUS

I. IDENTITAS

Data Pasien Ayah Ibu

Nama An. R Tn. M Ny. S

Umur 10 tahun 45 tahun 39 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat KP BOLONG TUA RT 008 RW 006 Tambelang

Agama Islam Islam Islam

Suku bangsa Sunda Sunda Sunda

Pendidikan - SMA SMA

Pekerjaan - Pedagang Ibu Rumah

Tangga

Penghasilan - - -

Keterangan Hubungan dengan

orang tua : Anak

kandung

Tanggal

Masuk IGD

17 Agustus 2015

Page 3: case SN-2

3

II. ANAMNESIS

Dilakukan sacara alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Senin, 18 Agustus 2015 di Bangsal.

a. Keluhan Utama :

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Bekasi dengan bengkak seluruh badan.

b. Keluhan Tambahan :

Bengkak pada wajah terutama palpebra sehingga pasien sulit melihat.

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD kota Bekasi dengan bengkak seluruh tubuh. Ibu pasien

mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya 1 bulan yang

lalu dan semakin hari semakin membesar. Menurut pengakuan ibu pasien bahwa gejala ini

muncul setelah pasien tidak lagi mengkonsumsi obat yang telah diberikan dari klinik.

Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal ibu pasien. Ibu

pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna merah

keruh. Pasien BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit pinggang maupun

perut.

Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibunya untuk berobat ke ke klinik

karena dengan keluhan yang sama bengkak. Bengkak di mulai dari kelopak mata,

terutama pada pagi hari, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh

badan, kemudian pasien melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian

diagnosis memiliki penyakit sindroma nefrotik dan mendapat pengobatan. Setelah merasa

telah mengalami perbaikan dan tidak ada gejala ibu pasien tidak menyuruh anaknya

meminum obat lagi.

Page 4: case SN-2

4

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Difteria - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal +

sejak 3 bulan

yang lalu

didiagnosis

memiliki

penyakit SN

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Gastritis - Radang paru -

Otitis - Varicela +

Saat berusia

Tuberkulosis -

Parotis - Operasi - Morbili -

e. Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita hal seperti ini, maupun penyakit ginjal lainnya.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :

KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal Melakukan pemeriksaan ke

bidan rutin tiap 1 bulan sekali.

KELAHIRAN

Tempat kelahiran Rumah bersalin

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan

Masa gestasi 9 bulan 10 hari

Keadaan bayi

Lansung mengangis.

Apgar score tidak diketahui.

Tidak ada kelainan bawaan

Page 5: case SN-2

5

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :

Pertumbuhan gigi I : Usia 6 bulan (normal: 5-9 bulan)

Ps i ko m o t o r

Tengkurap : Usia 4 bulan (normal: 3-4 bulan)

Duduk : Usia 6 bulan (normal: 6 bulan)

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik

Berat badan : 36 kg

Tinggi badan : 135 cm

h. Riwayat Makanan

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biscuit Bubur susu Nasi tim

0-2 +/-

2-4 +/-

4-6 -/+

6-7 -/+ - + -

8-10 -/+ + + -

10-12 -/+ + + +

Kesan : Pasien selalu minum ASI sampai umur 4 bulan ini, dan pasien mulai mengkonsumsi

susu formula sejak berumur 4 bulan lebih.

i. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Dasar Ulangan

BCG 1 bln

DPT 2 bln 4 bln 6 bln

POLIO lahir 2 bln 4 bln 6 bln

CAMPAK 9 bln

HEPATITIS B lahir 1 bln 6 bln

Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap

Page 6: case SN-2

6

j. Riwayat Keluarga :

Ayah Ibu Kakak Pasien

Nama Tn. M Ny. S An. K An. A

Perkawinan ke 1 1 - -

Umur 45 tahun 39 tahun 12 tahun 10 tahun

Keadaan

Kesehatan

Sehat Sehat Sehat Sedang dalam

pengobatan

sindrom

nefrotik.

k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Pasien tinggal dirumah kontrakan. Dinding terbuat dari tembok, atap terbuat dari genteng,

dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibupasien, keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi,

dan pencahayaan baik. Sumber air bersih berasal dari PAM.

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum/ kesadaran : tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.

b. Tanda Vital

- Frekuensi nadi : 100x/menit, regular

- Frekuensi pernapasan : 24x/menit, regular

- Suhu tubuh : 36,5oC

Page 7: case SN-2

7

c. Data antropometri

- Berat badan

- Tinggi badan

• 36 kg

• 135 cm

2 to 20 years: Boys NA."EStature-for--age and Weight-for-age percentl es RECORD il ----

2 4 1 7 8

AG,. -·

"To C• BMI WeiQI-. (loO) ... suw.-e (Cn'lj sCCfl't ..or We<('b) trll Statute :I"Ix 7o:l

-30- I I I / y v / /V.:: -<ln-

1 ' I L_.../ / V / -'l f-ao-

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Pv"-T.310.. <000 1.11.?1,()0J

SO..FICE. eo,lt'CI COr'Jw 101......,.SNCiistc:sltl OOIIIIt:C:I •Jfl,...Of'OIIf¢e-wll:lr¢h o-"'--:r'"'......, <l" lIT J .cilk;-ii C""'".h- cb...

Kesan gizi: TB/U:135/140 x 100% = 96 (n o r m a l )

BB/U: 36/30 x 100% =116 (overweight)

riiD

Page 8: case SN-2

8

Wei ght-for-stature percentiles:Boys

NAME

f'U:IIirllld .....*'·2000 (lnodi4.:1 U)'16.Q».SOURCEbyNIIitt!On;'ll c.r-lcr HNthStll!:t;C$ _, ocihboralkr'l._11h

n tlin01"1l11 C<rntrr b0Ton1c: ·- Prev..m:n n:1 on 12001»lollp;'."ww·9.o0;"·(. - ch wt.

Kesan gizi: BBITB: 36/29x 100%/ = 125 (ohesitas)

(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran lingkar

lengan atas)

Page 9: case SN-2

9

d. Kepala

- Bentuk : normocephali, ubun-ubun rata

- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi

merata

- Mata : palpebra edema +/+, konjungtiva anemis-/-, sklera ikterik -/-,

pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+

- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-

- Hidung : bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung -/-

- Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis (-/-), tonsil

T1/T1 tenang

e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak

membesar.

f. Thorax

• Paru

- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)

- Palpasi : vocal fremitus simetris

- Perkusi : sonor di kedua lapang paru

- Auskultasi : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Page 10: case SN-2

10

• Jantung

- Inspeksi : ictus cordis tidak nampak

- Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V garis midclavicula

kiri

- Perkusi : batas atas : ICS II garis parasternal kiri

batas kanan: ICS IV garis parasternal kanan

batas kiri : ICS IV garis midclavicula kiri

- Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

• Abdomen

- Inspeksi : cembung

- Auskultasi : bising usus (+)

- Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal tidak

teraba, tes undulasi (+)

- Perkusi : timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)

• Genitalia : oedema pada scrotum.

Page 11: case SN-2

11

• Ekstremitas atas : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+), pittimg oedem(+/+)

• Ekstremitas bawah : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+), pitting oedem (+/+)

• Kulit : sianosis (-), kelembapan cukup, pucat (-), turgor cepat

kembali.

Refleks Fisiologis

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sup dan Inf

Bisep + +

Trisep + +

Patela + +

Achiles + +

Refleks Patologis

Pemeriksaan Kanan Kiri

Sup dan Inf

Hoffman Trommer - -

Babinski - -

Chaddock - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Klonus patella - -

Klonus achilles - -

Page 12: case SN-2

12

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : -

Brudzinski I : -

Brudzinski II : -

Kernig : -

Laseq : -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (19 Agustus 2015, pukul 18:17 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urinalisa

Warna Merah

Kejernihan Agak Keruh

Jernih

Reduksi/glukosa urin Negatif Negatif

Bilirubin Urin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Berat Jenis 1,025 1005 - 1030

Darah/Darah Samar Positif 3 Negatif

PH Urin 6,0 5,0 – 8,0

Protein Urin Positif 3 Negatif

Urobilinogen 0,2 mg/dl

0,0 – 0,2

Nitrit/Bakteri Negatif Negatif

Leukosit Urin Positif 1 Negatif

SEDIMENT

Leukosit Sediment 7 – 8 /l

2 -5

Eritrosit Sediment 30 – 35 /l

1 - 2

Silinder Positif /l

Negatif

Epitel 6 – 7 Positif 1

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif Negatif

Page 13: case SN-2

13

V. RESUME

a) AnamnesisPasien datang ke IGD RSUD kota Bekasi dengan bengkak seluruh tubuh. Ibu

tpasien mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya 1

bulan yang lalu dan semakin hari semakin membesar. Menurut pengakuan ibu pasien

bahwa gejala ini muncul setelah pasien tidak lagi mengkonsumsi obat yang telah

diberikan dari klinik.

Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal ibu pasien.

Ibu pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna

merah keruh. Pasien BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit

pinggang maupun perut.

Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibunya untuk berobat ke ke klinik

karena dengan keluhan yang sama bengkak. Bengkak di mulai dari kelopak mata,

terutama pada pagi hari, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh

badan, kemudian pasien melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian

diagnosis memiliki penyakit sindroma nefrotik dan mendapat pengobatan. Setelah merasa

telah mengalami perbaikan dan tidak ada gejala ibu pasien tidak menyuruh anaknya

meminum obat lagi.

b) Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum/ kesadaran : tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.

Antropometri

• Berat badan : 36 kg

• Tinggi badan : 135 cm

Kesan gizi : TB/U : 135/140 x 100% = 96 ( normal )

BB/U : 36/30 x 100% = 110 (overweight)

BB/TB : 36/29x 100% = 125 (obesitas)

(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran

lingkar lengan atas)

• Mata : palpebra edema +/+

Page 14: case SN-2

14

• Abdomen

- Inspeksi : cembung

- Auskultasi : bising usus (+)

- Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal tidak

teraba, tes undulasi (+)

- Perkusi : timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)

• Genitalia : oedema pada scrotum.

• Ekstremitas atas : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

• Ekstremitas bawah : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

c) Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (19 Agustus 2015, pukul 18:17 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urinalisa

Warna Merah

Kejernihan Agak Keruh

Jernih

Reduksi/glukosa urin Negatif Negatif

Bilirubin Urin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Berat Jenis 1,025 1005 - 1030

Darah/Darah Samar Positif 3 Negatif

PH Urin 6,0 5,0 – 8,0

Protein Urin Positif 3 Negatif

Urobilinogen 0,2 mg/dl 0,0 – 0,2

Nitrit/Bakteri Negatif Negatif

Leukosit Urin Positif 1 Negatif

SEDIMENT

Leukosit Sediment 7 – 8 /lpb 2 -5

Eritrosit Sediment 30 – 35 /lpb 1 - 2

Silinder Positif /lpb Negatif

Epitel 6 – 7 Positif 1

Page 15: case SN-2

15

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif Negatif

VI. DIAGNOSIS KERJA

Sindrom Nefrotik

VII. DIAGNOSIS BANDING

Glomerulonefritis Akut

VIII. PENATALAKSANAAN IGD

a. Medikamentosa

infus dextrose 5%

Lasix 2 x I amp/iv

Amoxicilin 3 x 500 mg

Cek albumin

Asto

UL

IX. PROGNOSIS

• Ad vitam : Dubia ad bonam

• Ad functionam : Dubia ad bonam

• Ad sanationam : Dubia ad malam

Page 16: case SN-2

16

XI. FOLLOW UP

17/08/2015 18/08/2015 19/08/2015 20/08/2015S : -Pasien datang dari UGD dengan keluhan perut & ekstremitas bengkak sejak beberapa hari yg lalu-Sebelumnya juga sudah pernah ada riwayat bengkak sejak bulan Februari & Juni-BAK berwarna merah gelap

O :BB 36 kgS 37 CThorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Ekxtremitas : pitting edema +/+

A : susp. Sindroma Nefrotik (SN)

P : -IVFD RL-Lasix 1x1/2 amp-Pct 3x2 Cth

S : -Perut, ekstremitas, & kemaluan masih bengkak-BAK merah gelap

O : S 37.6 CN 100Thorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

A : susp. SN

P : -IVFD Dextrose 5%-Lasix 2x1 amp/ iv-Pct 3x2 Cth-Amoksisilin 3x500 mg/ iv-Cek alb, kolesterol, UL, ASTO

Lab : Leuko 24.8Hb 12.5Ht 35.1Tr 595Ur/Cr 8/0.45GDS 101

S : -Perut, ekstremitas, & kemaluan masih bengkak

O : S 36,6 CN 100TD 120/80 mmHgThorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

Balance cairan +230Lingkar perut 35 cm

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5%-Lasix 2x1 amp/iv-Pct 3x2 Cth-Amoksisilin 3x500 mg/iv-Transfusi albumin 100% : (3.5-1) x 0.8 x 36 = 360 cc-Prednison 5-5-4

Lab : -Prot tot 3.10-Alb 1.00-Glob 2.10-Kolest tot 513-Anti Strepto O : non-reaktif-Alb urin (+++)-Silinder hialin urin (+)

S : -Perut kembung, ekstremitas & kemaluan masi bengkak

O : S 36 CThorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Amoksisilin 3x500 mg-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4

Page 17: case SN-2

17

21/08/2015 22/08/2015 23/08/2015 24/08/2015S : -Ekstremitas masih bengkak, namun perut sudah mulai mengecil

O : S 35.6 CN 100TD 110/90Thorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

Balance cairan -195Diuresis 0.6 cc/kgBB/jamLingkar perut 31 cm

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Amoksisilin 3x500 mg-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

Lab : Na/K/Cl : 140/2.8/103

S : -Bengkak masih ada, namun sudah berkurang

O : S 36 CN 100TD 110/80Thorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

Balance cairan -720Alb post transf 1.35

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Amoksisilin 3x500 mg-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

S : -Mual (+), sakit perut (+)-Bengkak berkurang

O : S 35.6 CN 100TD 110/80 Thorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

Balance cairan -620

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Amoksisilin 3x500 mg-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

S : -Bengkak masih ada namun sudah berkurang

O : S 37 CN 100Thorax dbnAbdomen : asites (+), edema skrotum (+)Extremitas : pitting edema +/+

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Ceftriaxon 2x1 gr-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

Lab : Prot tot 3.80Alb 1.32Glob 2.28

Page 18: case SN-2

18

25/08/2015 26/08/2015 28/08/2015 29/08/2015S : -Bengkak sudah berkurang

O : S 35.4 CN 100Thorax dbnAbdomen : asites (-)Extremitas : pitting edema (-)

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Ceftriaxon 2x1 gr-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

Lab : Alb urin +1

S : -Keluhan tidak ada

O : S 35.7 CN 100BB 11 kgThorax dbnAbdomen : asites (-)Extremitas : pitting edema (-)

Balance cairan -3220

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Ceftriaxon 2x1 gr-Lasix 2x1 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

Lab : Leuko 10.2Hb 10.5Ht 28.9Tr 313Prot tot 4.90Alb 1.53Glob 3.37

S : -Keluhan tidak ada

O : S 36 CN 100Thorax dbnAbdomen : asites (-)Extremitas : pitting edema (-)

Balance cairan -1800Diuresis 4.8 cc/ kgBB/ jam

A : SN

P : -IVFD Dextrose 5% asnet-Ceftriaxon 2x1 gr-Lasix 1x1/2 amp-Prednison 5-5-4-Aspar K 2x1/2 tab

Lab : Prot tot 6.30Alb 2.62Glob 3.68

S : -Keluhan tidak ada

O : S 37 CN 100TD 110/80Thorax dbnAbdomen : asites (-)Extremitas : pitting edema (-)

A : SN

P : -Prednison 5-5-4-BLPL

Page 19: case SN-2

19

Laboratorium (24 Agustusi 2015, pukul 08:06 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urine lengkap

Kimia urine

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Jernih Jernih

pH 5,5 5,0 – 8,0

Berat Jenis 1020 1005 – 1030

Albumin urine Positif 2 (++) Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen 0,2 UE 0,1 - 1

Bilirubin Negatif Negatif

Darah Samar Negatif Negatif

Leukosit esterase Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Mikroskopis Urine

Eritrosit 5-10 /lpb <2

Leukosit Negatif lpb <5

Silinder Negatif Negatif

Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Lain-lain Negatif Negatif

Page 20: case SN-2

20

Laboratorium (27 Agustus 2015, pukul 09:23 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urine lengkap

Kimia urine

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Jernih Jernih

pH 6,0 5,0 – 8,0

Berat Jenis 1025 1005 – 1030

Albumin urine Positif 1 (+) Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen 0,2 UE 0,1 - 1

Bilirubin Negatif Negatif

Darah Samar Negatif Negatif

Leukosit esterase Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Mikroskopis Urine

Eritrosit 0-2 /lpb <2

Leukosit 0 – 5 lpb <5

Silinder Granular (+) Negatif

Epitel Negatif Gepeng (+)

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Lain-lain Negatif Negatif

Page 21: case SN-2

21

Foto Pasien Tanggal 25/08/2015 Pasien sudah tidak mengalami Oedem Anasarca setelah pemberian Prednison selama 6 hari.

Page 22: case SN-2

22

BAB III

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis pasien datang ke IGD RSUD kota Bekasi dengan bengkak seluruh tubuh. Ibu

tpasien mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya 1 bulan yang lalu

dan semakin hari semakin membesar. Menurut pengakuan ibu pasien bahwa gejala ini muncul

setelah pasien tidak lagi mengkonsumsi obat yang telah diberikan dari klinik.

Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah disangkal ibu pasien. Ibu pasien

mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna merah keruh. Pasien

BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit pinggang maupun perut.

Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibunya untuk berobat ke ke klinik karena

dengan keluhan yang sama bengkak. Bengkak di mulai dari kelopak mata, terutama pada pagi hari,

pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh badan, kemudian pasien

melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian diagnosis memiliki penyakit sindroma

nefrotik dan mendapat pengobatan. Setelah merasa telah mengalami perbaikan dan tidak ada gejala

ibu pasien tidak menyuruh anaknya meminum obat lagi.

Pasien di diagnosis sindroma nefrotik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil

pemeriksaan penunjang.

Pada Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum/ kesadaran : tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.

Antropometri

• Berat badan : 36 kg

• Tinggi badan : 135 cm

Kesan gizi : TB/U : 135/140 x 100% = 96 (normal ) BB/U

: 36/30 x 100% = 116(overweight)

BB/TB :36/29 x 100% / = 125 (obesitas)

(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran

lingkar lengan atas)

• Mata : palpebra edema +/+,

• Abdomen

- Inspeksi : cembung

Page 23: case SN-2

23

- Auskultasi : bising usus (+)

- Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal

tidak teraba, tes undulasi (+)

- Perkusi : timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)

• Genitalia : oedema pada scrotum.

• Ekstremitas atas : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

• Ekstremitas bawah : akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

Seperti pada anamnesis episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti bengkak

periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka.1

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (19 Agustus 2015, pukul 18:17 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urinalisa

Warna Merah

Kejernihan Agak Keruh

Jernih

Reduksi/glukosa urin Negatif Negatif

Bilirubin Urin Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Berat Jenis 1,025 1005 - 1030

Darah/Darah Samar Positif 3 Negatif

PH Urin 6,0 5,0 – 8,0

Protein Urin Positif 3 Negatif

Urobilinogen 0,2 mg/dl 0,0 – 0,2

Nitrit/Bakteri Negatif Negatif

Leukosit Urin Positif 1 Negatif

SEDIMENT

Leukosit Sediment 7 – 8 /lpb 2 -5

Eritrosit Sediment 30 – 35 /lpb 1 - 2

Page 24: case SN-2

24

Silinder Positif /lpb Negatif

Epitel 6 – 7 Positif 1

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Negatif Negatif

Jamur Negatif Negatif

Laboratorium (24 agustus 2015, pukul 08:06 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urine lengkap

Kimia urine

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

pH 5,5 5,0 – 8,0

Berat Jenis 1020 1005 – 1030

Albumin urine Positif 2 (++) Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen 0,2 UE 0,1 - 1

Bilirubin Negatif Negatif

Darah Samar Negatif Negatif

Leukosit esterase Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Mikroskopis Urine

Eritrosit 10 – 15 /lpb <2

Leukosit 0 – 5 lpb <5

Silinder Granular (+)

Hyalin (+)

Negatif

Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Positif 1 (+) Negatif

Lain-lain Negatif Negatif

Page 25: case SN-2

25

Laboratorium (27 Agustus 2015, pukul 09:23 wib)

JENIS

PEMERIKSAAN

HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Urine lengkap

Kimia urine

Warna Kuning Kuning

Kejernihan Keruh Jernih

pH 6,0 5,0 – 8,0

Berat Jenis 1025 1005 – 1030

Albumin urine Positif 2 (++) Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen 0,2 UE 0,1 - 1

Bilirubin Negatif Negatif

Darah Samar Positif 3 (+++) Negatif

Leukosit esterase Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Mikroskopis Urine

Eritrosit 10 – 20 /lpb <2

Leukosit 0 – 5 Lpb <5

Silinder Granular (+) Negatif

Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)

Kristal Negatif Negatif

Bakteri Positif 1 (+) Negatif

Lain-lain Negatif Negatif

Berdasarakan anamnesis, pasien merupakan pasien SN dengan tipe relaps jarang yang dimana

keluhan SN timbul <2 x dalam 6 bulan. Sehingga penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini

adalah prednisone full dose pada awal pengobatan yaitu prednison 5-5-4. Pemberian full dose

selama 4 minggu Dosis prednison tetap di berikan 5-5-4. Setelah pemberian obat selama 6 hari di

periksa laboratorium untuk mengetahui apakah ada peruabahan dan gejala oedem anasarca sudah

tidak ditemukan, dan hasil labaratorium pada albumin masih menunjukan positif 2++ , dan

albumin pasien masih menunjukan 1,52 itu menunjukan bahwa pasien belum ada perbaikan

sehingga dosis prednisonen tetap dilanjutkan hingga 4 minggu atau sudah menunjukan adanya

Page 26: case SN-2

26

remission. Pengukuran status gizi dengan menggunakan lingkar lengan atas (LLA).

Menggambarkan tumbuh kembang jaringan lemak dibawah kulit dan otot yang tidak banyak

terpengaruh oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan (BB). LLA lebih sesuai

untuk dipakai menilai keadaan gizi/tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah.

Pengukuran LLA ini mudah, alat bisa dibuat sendiri dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Alat yang

digunakan biasanya adalah pita ukur elastis. Namun, penggunaan LLA ini lebih tepat

untuk mengidentifikasi anak dengan gangguan gizi/pertumbuhan fisik yang berat. Selain itu

terkadang pengukurannya juga dengan menekan pertengahan LLA yang dirasakan tidak nyaman

bagi anak- anak.3

Interpretasi hasil dapat berupa:

1. LLA (cm) :

• < 12.5 cm = gizi buruk

• 12.5–13.5 cm = gizi kurang

• >13.5cm = gizi baik

2. Bila umur tidak diketahui, status gizi dinilai dengan indeks LLA/TB : <75% = gizi buruk, 75-

80% = gizi kurang, 80-85% = borderline, dan >85% = gizi baik (normal).

Page 27: case SN-2

27

BAB IV TINJAUAN

PUSTAKA

ANATOMI GINJAL

Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk

homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan

dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri

dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain

itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli-

buli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.4,5

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-

masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan

terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya

hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra

T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub

bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)

sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut

dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Anterior Ginjal kiri Ginjal kanan

Dinding dorsal gasterPankreasLimpaVasa lienalisUsus halusFleksura lienalis

Lobus kanan hatiDuodenum pars descendensFleksura hepaticaUsus halus

Posterior Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m.

transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis,

n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12

(ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).

Tabel 1. Anatomi Ginjal

Page 28: case SN-2

28

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

• Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi

(glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus

distalis.

• Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung

Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).

• Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal

• Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks

• Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus

memasuki/meninggalkan ginjal.

• Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.

• Calix minor: percabangan dari calix major.

• Calix major: percabangan dari pelvis renalis.

• Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix

major dan ureter.

• Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Page 29: case SN-2

29

Gambar 2. Anatomi Ginjal

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu

glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus

kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut

terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus

serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat

dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks

yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada

medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi

medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-

pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.5

Page 30: case SN-2

30

Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari

aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki

ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris!a. arcuata

!a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen

superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal

melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan

n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan

simpatis melalui n.vagus.5

FISIOLOGI GINJAL5

Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur

keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,

pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :

a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi

tekanan vaskuler.

b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.

c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus

dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.

d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan

vaskuler dan produksi aldosteron.

Tiga tahap pembentukan urine:

1) Filtrasi glomerular

Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler

tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma

yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam

amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar

25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar

125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi

Page 31: case SN-2

31

glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut

filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus

dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah

filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta

tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan

koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.

2) Reabsorpsi

Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan

air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat

yang sudah difiltrasi.

3) Sekresi

Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui

tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh

(misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan

kalium serta ion-ion hidrogen.

Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi

hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium

keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular

“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium

harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi

cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang

pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang

dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker

aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi

penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

Page 32: case SN-2

32

DEFINISI SINDROM NEFROTIK

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang

ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema

anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.6,7

EPIDEMIOLOGI

Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)

dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih

banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),

umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-

3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik

sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2

ETIOLOGI1

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat

infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,

dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:

A. Glomerulonefritis (GN) primer:

- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- GN membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat:

i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C

- sifilis, malaria, skistosoma

- tbc, lepra

Page 33: case SN-2

33

ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma

multiple, dan karsinoma ginjal

iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid

iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril

v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok

GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa

(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering

ditemukan.

Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca

infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat

emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.

KLASIFIKASI8,9,10

Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:

I. Sindrom Nefrotik Bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah

edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun

tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan

pertama kehidupannya.

II. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:

" Malaria kuartana atau parasit lain.

" Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

" Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.

" Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun

oak, air raksa.

Page 34: case SN-2

34

" Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif

hipokomplementemik.

III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :

a. Kelainan minimal

" Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu

(mikroskop elektron)

" Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler

glomerolus

" Lebih banyak terdapat pada anak

" Prognosis baik

b. Nefropati membranosa

" Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel

" Prognosis kurang baik

c. Glomerulonefritis proliferatif

" Eksudatif difus

Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.

Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.

" Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)

Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.

" Dengan bulan sabit (crescent)

Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.

" Glomelurosklerosis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de

mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental

" Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus

" Prognosis buruk

Page 35: case SN-2

35

PEMBAGIAN PATOLOGI ANATOMI8,9,10

a). Kelainan minimal

o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun

tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).

o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau

penyakit podosit.

o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada

anak-anak usia 1-5 tahun.

o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan

mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis

mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi.

b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)

o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh

kelainan berbatas jelas pada MBG.

o Jarang ditemukan pada anak-anak.

o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal.

o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik

dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

c). Glomerulosklerosis fokal segmental

o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif

dan responnya terhadap kortikosteroid buruk.

o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada

permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian

terkena.

o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu

glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan

segmental.

o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.

Page 36: case SN-2

36

d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)

o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta

infiltrasi sel PMN.

o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial

dan suatu penambahan matriks mesangial.

o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan

reduplikasi membrana basalis (”jejak-trem” atau kontur lengkap)

o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif

dan pada sindrom nefrotik.

o Ada MPGN tipe I dan tipe II.

e). Glomerulonefritis proliferatif fokal

o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus

individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).

o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.

PATOFISIOLOGI8,9,10

Gambar 3. Patofisilogi Sindrom Nefrotik

Page 37: case SN-2

37

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun

penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan

adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler

glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin

yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia

merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar

albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi

terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.

Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang

intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau

volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi

natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan

tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran

plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya

mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas

sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik

hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,

pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini

dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena

hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena

tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume

plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep

baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena

mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi

natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.

Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.

Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma

dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.

Page 38: case SN-2

38

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan

mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu

berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan

suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.1

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan

aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila

kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus

albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar

lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol

disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut

kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density

lipoprotein).

Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan

lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan

peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan

konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya

aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya

katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik

plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya

aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi

pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati

untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang

terjadi pada SN.2

BATASAN

• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut

turut dalam 1 minggu.

• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1

minggu.

Page 39: case SN-2

39

• Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau

kurang dari 4 x per tahun pengamatan.

• Relaps sering (frequent relaps) : relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal

atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.

• Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating)

atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.

• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose)

2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.

• Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.2

GEJALA KLINIS2,8,9

Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital,

dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan

jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin

mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan

prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat

ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik1

Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan

peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan

kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau ≥

3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa

ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila

didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :

sklerosis glomerulus fokal).

Page 40: case SN-2

40

Gambaran laboratorium1

" Darah :

- Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)

- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)

- Kalsium menurun

- Ureum Normal

- Hb menurun, LED meningkat

" Urin :

- Volumenya : normal sampai kurang

- Berat jenis : normal sampai meningkat

- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)

- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal

- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal

sampai meningkat.

Pemeriksaan urin yang didapatkan 1 :

Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat)

didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan

kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).

Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil

proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.

Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.

Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama

edema masih ada.

Berat jenis urin meningkat.

Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid

ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan

Sudan III).

Terdapat leukosit

Page 41: case SN-2

41

Pemeriksaan darah yang didapatkan 1 :

Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.

Hiperkolesterolemia

PENTALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK1

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar

dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati

komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol

edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,

metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan

mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg

BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin

(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II

receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek

aditif dalam menurunkan proteinuria.

Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun

pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti

memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko

penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya

mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan

lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.

# Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)

# Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam

urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB

ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.

# Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari. Menggunakan garam

secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.

# Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari

# Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari.

Page 42: case SN-2

42

Medikamentosa1:

# Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga

kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali

tekanan osmotik plasma.

# Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,

sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,

atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau

butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan

komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler

berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar

albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan

diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan

warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.

# Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan

pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah.

Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat

tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita

dengan gangguan fungsi ginjal.

# Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien

yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan

dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 -

3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat

tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal

(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan

produksi sel sumsum tulang.

Page 43: case SN-2

43

Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome

secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu

masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua

kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah

pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap

selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa

dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan

cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2

mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change

nephotic syndrome.

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi

steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari

atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi

remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap

tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila

terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis

40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),

1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,

tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi

dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara

alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2

minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak

menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis

threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,

sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi

pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi

dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi

Page 44: case SN-2

44

remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara

alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2

mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps

yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,

tetapi < 1,0 mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang berat, dapat dicoba

dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau

langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah

siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan

dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau pulv. CPA

pulv diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml

larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,

dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping

CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,

azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu

perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,

setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung

trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah

leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA

pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb.

Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini

aman bagi anak.11

Page 45: case SN-2

45

KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK1

1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada

sindrom nefrotik:

Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S

bebas, plasminogen dan α antiplasmin.

b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya

sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.

Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan

oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan

pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,

bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan.

Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan

biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.

3. Gangguan tubulus renalis

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya

reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke

ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan

menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.

4. Gagal ginjal akut.

Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema

interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang

menyebabkan penurunan LFG.

Page 46: case SN-2

46

5. Anemia

Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap

pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum

yang menurun akibat proteinuria.

6. Peritonitis

Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-

kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.

7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral

Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid

(TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin

umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.

Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium

terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering

mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria.

Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar

daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi

kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun

penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.

Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik1

Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik.

1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan

trombolitik.

2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama

yang berspektrum luas .

3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid

juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1

mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter,

Page 47: case SN-2

47

dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau

kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat.

4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal.

5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis

penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80

mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas

permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam

seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila

relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian

dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan

biopsi ginjal.

6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap

percobaan.

PROGNOSIS1

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat

mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun

proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap

kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat

infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.

Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan

kortikosteroid.

Kelainan minimal (minimal lesion):

Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa,

bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.

Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)

Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam

waktu 10-20 tahun.

Page 48: case SN-2

48

Glomerulosklerosis fokal segmental

Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk

Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)

Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada

sindrom nefrotik.

Page 49: case SN-2

49

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-9.

2. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. [cited 2015, June 29]. Available: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Sin dromaNefrotikPatogenesis.html.

3. Latief, A. 2000. Diagnosis fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.

4. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001.

5. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis Company;

2007.

6. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney

Care Club. [cited 2015, June 29]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

7. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik

PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009.

8. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited June

29, 2015]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

9. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:

vol.336.Website: BMJ. [cited 2015 June, 29]

10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th

ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-6.

11.Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for frequently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:271-82

Page 50: case SN-2

50

Page 51: case SN-2

51

Page 52: case SN-2

52

Page 53: case SN-2

53

Page 54: case SN-2

54