case pjr hadi dwi ochi

72
Laporan Kasus PENYAKIT JANTUNG REMATIK Oleh: Abdurrahman Hadi Dwi Afriyani Yossy Nara Intan Sari Pembimbing: Dr. Ria Nova, Sp.A(K)

Upload: zulfyah-hanny

Post on 02-Jan-2016

110 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Laporan Kasus

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Abdurrahman Hadi

Dwi Afriyani

Yossy Nara Intan Sari

Pembimbing:

Dr. Ria Nova, Sp.A(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Page 2: Case PJR Hadi Dwi Ochi

2013

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Abdurrahman Hadi

Dwi Afriyani

Yossy Nara Intan Sari

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah

Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya Palembang Periode 15 Juli 2013–22 September 2013

Palembang, Agustus 2013

Dr. Ria Nova, Sp.A(K)

2

Page 3: Case PJR Hadi Dwi Ochi

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI

Nama : AD

Umur : 10 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Muara Bungo, Jambi

MRS : 22 Juli 2013

B. ANAMNESA

(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 13 Agustus 2013)

Keluhan Utama : nyeri pada sendi

Keluhan Tambahan : batuk pilek

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak ± 2 minggu SMRS penderita demam (+) naik turun. Kemudian,

penderita mengeluh nyeri pada persendiaannya (+) yang berpindah-pindah

yang pertama kali dirasakan pada bahu kanan, lalu tangan kanan, dan

pergelangan kaki kiri. Bercak kemerahan pada kulit (-), riwayat sesak napas

(-), riwayat sakit tenggorokan (+), BAK dan BAB biasa. Penderita berobat ke

rumah sakit setempat dan sempat dirawat selama 2 hari, namun orang tua

penderita memilih untuk langsung membawa penderita berobat ke RSMH

karena penderita juga berencana untuk kontrol rutin post operasi ventricular

septal defect (VSD) ke dokter spesialis anak konsultan jantung.

Saat dilakukan pemeriksaan echocardiography, didapatkan gambaran

kelainan pada katup jantung penderita. Setelah dilakukan pemeriksaan

laboratorium, didapatkan hasil CRP (+), LED: 120 mm/jam, dan ASTO (+).

3

Page 4: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Penderita kemudian didiagnosis mengalami penyakit jantung rematik dan

MRS.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat terdiagnosis VSD pada usia 7 tahun dan operasi VSD pada

usia 8 tahun.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat sakit yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Masa kehamilan : cukup bulan

Partus : spontan (G2P1A0)

Ditolong oleh : bidan

Tanggal : 1 Agustus 2003

Berat badan lahir : 2900 gram

Panjang badan lahir : 49 cm

Keadaan saat lahir : Langsung menangis

Riwayat Makan

ASI : lahir – 2 tahun

Bubur susu : 6 bulan – 1 tahun

Nasi biasa : 1 tahun - sekarang

Riwayat Perkembangan

Berbalik : 3 bulan

Tengkurap : 4 bulan

Duduk : 7 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 9 bulan

Berjalan : 1 tahun

4

Page 5: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Berbicara : 1 tahun (beberapa suku kata)

Kesan : Perkembangan motorik dalam batas normal

Riwayat Imunisasi

BCG : 1 kali, usia 1 bulan (scar positif)

DPT : 3 kali

Polio : 4 kali

Hepatitis B : 4 kali

Campak : 1 kali

Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Secara ekonomi,

keluarga penderita tergolong tingkat ekonomi menengah.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal pemeriksaan: 13 Agustus 2013

Keadaan Umum

Kesadaran : E4M6V5 (compos mentis)

Nadi : 102 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernapasan : 26 kali/menit

Suhu : 36,7 °c

Berat Badan : 23 kg

Tinggi Badan : 135 cm

Anemis : tidak ada

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Dispnea : tidak ada

Edema : tidak ada

Status Gizi: BB/U : 23/33 x 100% = 69,6% (moderate wasting)

5

Page 6: Case PJR Hadi Dwi Ochi

PB/U : 135/138 x 100% = 97,8% (normal)

BB/PB : 23/30 x 100% = 76,61% (moderate malnutrition)

Kesan : gizi kurang

Keadaan Spesifik

Kepala

Bentuk : normosefali, simetris

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : cekung (-), pupil bulat isokor ø 2 mm, reflek cahaya +/+

normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema

palpebra -/-

Hidung : sekret (-/-), napas cuping hidung (-)

Telinga : sekret (-/-)

Mulut : mulut dan bibir kering (-), sianosis (-)

Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (KGB) (-), peningkatan

jugular venous pressure (-)

Thoraks

Paru-paru

Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi subcostal (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronki (-/-), wheezing (+/+),

stridor (-/-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis terlihat, voussure cardiac tidak terlihat

Palpasi : thrill tidak teraba, iktus teraba

Perkusi : Dalam batas normal

Auskultasi : HR: 102 kali/menit, irama reguler, BJ I-II normal,

murmur (+) sistolik grade III/VI linea parasternalis

sinistra, gallop (-).

6

Page 7: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia: pembesaran KGB (-)

Ekstremitas : Akral dingin (-), sianosis (-), edema pretibial (-), CRT < 2

detik

Status pubertas : M2P2

Pemeriksaan Neurologis

Fungsi motorik

Pemeriksaan Lengan

Kanan

Lengan

Kiri

Tungkai

Kanan

Tungkai

Kiri

Gerakan Luas Luas Luas Luas

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni

Klonus - -

Reflek fisiologis Normal Normal Normal Normal

Reflek patologis - - - -

Fungsi sensorik : dalam batas normal

Fungsi nervi craniales : dalam batas normal

GRM : Kaku kuduk (-) , Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium

20 Juli 2013

No Parameter Hasil Rujukan

1 Hb 9,4 g/dl 11,3-14,1 g/dl

2 Ht 28 % 37-41 %

7

Page 8: Case PJR Hadi Dwi Ochi

3 Leukosit 6.200 / mm3 6.000-17.500 / mm3

4 Eritrosit 3.520.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3

5 Trombosit 560.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL

6 LED 120 mm/jam < 15 mm/jam

7 Diff count 0/4/0/54/35/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-

8 %

8 Natrium (Na) 143 mEq/L 135-155 mEq/L

9 Kalsium (Ca) 9,3 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl

10 Kalium (K) 5,1 mg/dl 3,6 – 5,5 mg/dl

11 CRP 30 mg/L < 5 mg/L

12 ASTO positif negatif

13 Faktor Rheumatoid negatif negatif

2 Agustus 2013

No Parameter Hasil Rujukan

1 Hb 14,0 g/dl 11,3-14,1 g/dl

2 Ht 41 % 37-41 %

3 Leukosit 20.000 / mm3 6.000-17.500 / mm3

4 Eritrosit 5.200.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3

5 Trombosit 498.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL

6 LED 47 mm/jam < 15 mm/jam

7 Diff count 0/0/0/73/19/8 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-

8 %

11 Agustus 2013

No Parameter Hasil Rujukan

1 Hb 13,9 g/dl 11,3-14,1 g/dl

2 Ht 41 % 37-41 %

3 Leukosit 27.900 / mm3 6.000-17.500 / mm3

4 Eritrosit 5.150.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3

8

Page 9: Case PJR Hadi Dwi Ochi

5 Trombosit 290.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL

6 LED 35 mm/jam < 15 mm/jam

7 Diff count 0/1/0/84/8/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-

8 %

b. Echocardiography

19 Juli 2013

AV-VA concordance

Dilatasi LA dan LV

Terdapat MR ringan, AR moderat, dan PR ringan

Tidak ada residual VSD

Fungsi sistolik ventrikel kiri normal

Arcus aorta di kiri normal

Kesimpulan: MR ringan + AR moderat + PR ringan

E. DIAGNOSIS BANDING

F. DIAGNOSIS KERJA

Penyakit jantung rematik

G. PENATALAKSANAAN

Prednisone 3-2-2-2

Captopril 2 x 12,5 mg

Furosemide 2 x 20 mg

Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)

Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein

H. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

9

Page 10: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Follow Up

Tanggal Keterangan

23 Juli 2013 M2 : penyakit jantung rematik

S: Keluhan : nyeri sendi (+)

O: Keadaan Umum

Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)

TD : 90/60 mmHg

N : 134 x/menit

RR : 24 x/menit

T : 36,4 oC

Keadaan spesifik

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil

bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas

cuping hidung (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Thorak : simetris, retraksi (-)

Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik

grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis

sinistra, gallop (-)

Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing

(-/-)

Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,

P: Prednisone 3-2-2-2

Captopril 2 x 12,5 mg

Furosemide 2 x 20 mg

Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)

Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein

Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU

intramuscular

10

Page 11: Case PJR Hadi Dwi Ochi

3 Agustus

2013

M2 : penyakit jantung rematik

S: Keluhan : (-)

O: Keadaan Umum

Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)

TD : 100/60 mmHg

N : 96 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36,2 oC

Keadaan spesifik

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil

bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas

cuping hidung (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Thorak : simetris, retraksi (-)

Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik

grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis

sinistra, gallop (-)

Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing

(-/-)

Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,

P: Prednisone 3-2-2-2

Captopril 2 x 12,5 mg

Furosemide 2 x 20 mg

Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)

Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein

Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU

intramuscular

12 Agustus

2013

M2 : penyakit jantung rematik

11

Page 12: Case PJR Hadi Dwi Ochi

S: Keluhan : (-)

O: Keadaan Umum

Sensorium: E4M6V5 (compos mentis)

TD : 100/60 mmHg

N : 96 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36,2 oC

Keadaan spesifik

Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil

bulat isokor, ø 3 mm, reflek cahaya (+/+), nafas

cuping hidung (-)

Leher : pembesaran KGB (-)

Thorak : simetris, retraksi (-)

Cor : bunyi jantung I dan II normal, murmur (+) sistolik

grade III/VI ICS III-IV linea paraseternalis

sinistra, gallop (-)

Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing

(+/+)

Abdomen : datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik,

P: Prednisone 3-2-2-2

Captopril 2 x 12,5 mg

Furosemide 2 x 20 mg

Ambroxol syrup 3 x 5 ml (1 cth)

Diet nasi biasa 1700 kkal + 35 g protein

Rencana pemberian benzathin penicilline 900.000 IU IM

Rencana konsul subdivisi respirologi

12

Page 13: Case PJR Hadi Dwi Ochi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jantung

2.1.1 Anatomi Jantung

Jantung terletak di rongga toraks sekitar garis tengah antara sternum di

sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior. Jantung memiliki pangkal lebar

di sebelah atas dan meruncing membentuk ujung yang disebut apeks di dasar.

Sewaktu jantung berkontraksi secara kuat, apeks membentur bagian dalam

dinding dada di sisi kiri. Kenyataan bahwa jantung terletak antara dua struktur

tulang, sternum dan vertebra digunakan sebagai bagian dari resusitasi jantung paru

pada tindakan penyelamatan (Price dan Wilson, 2006).

Gambar 1. Anatomi jantung

Jantung dibagi menjadi separuh kanan dan kiri, yaitu atria (atrium,

tunggal) menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke

ventrikel yang memompa darah dari jantung ke seluruh tubuh. Pembuluh yang

13

Page 14: Case PJR Hadi Dwi Ochi

mengembalikan darah dari jaringan ke atria adalah vena (V.kava), dan pembuluh

yang mengangkut dari menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah arteri (Aorta

abdominalis). Kedua belah jantung dipisahkan oleh septum, otot kontinyu yang

mencegah pencampuran darah dari kedua sisi jantung (Price dan Wilson, 2006).

Adanya empat katup jantung memastikan darah mengalir satu arah. Empat

katup jantung terdiri dari katup atrioventrikuler (AV) kanan dan kiri. Katup AV

kanan disebut juga katup trikuspid karena terdiri dari tiga buah katup dan katup

AV kiri terdiri dari dua buah katup disebut juga katup bikuspid atau katup mitral.

Dua katup lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis, keduanya dikenal dengan

katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip

separuh bulan. Tepi-tepi daun katup AV diikat oleh tali fibrosa yang disebut korda

tendinae. Tali-tali ini melekat ke otot papilaris. Letak katup trikuspid letaknya

setinggi ICS IV parasternal kiri, katup bikuspid/ mitral letaknya setinggi ICS V

medioklavikularis kiri, katup aorta letaknya setinggi ICS II parasternal kanan dan

katup pulmonal letaknya ICS II parasternal kiri (Price dan Wilson, 2006).

2.1.2 Fisiologi jantung

Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui

vena-vena besar yang dikenal dengan vena kava. Darah yang masuk ke atrium

kanan kembali dari jaringan tubuh kaya karbondioksida. Darah tersebut mengalir

dari atrium kanan ke ventrikel kanan dan memompanya keluar melalui arteri

pulmonalis ke paru. Didalam paru CO2 O2 dan dikembalikan ke atrium kiri

melalui vena pulmonalis. Darah dari atrium kiri mengalir ke dalam ventrikel kiri

dan memompa ke semua sistem tubuh kecuali paru. Arteri besar yang membawa

darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta abdominalis (Price dan Wilson, 2006).

Sirkulasi paru adalah sistem yang memiliki tekanan dan resistensi yang

rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah sistem dengan tekanan dan resistensi

yang tinggi. Walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah

yang sama, sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena harus memompa

dalam resistensi yang tinggi. Dengan demikian otot jantung sebelah kiri jauh lebih

tebal daripada otot jantung sebelah kanan (Price dan Wilson, 2006).

14

Page 15: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Gambar 2. Sirkulasi darah

Katup jantung membuka dan menutup secara pasif karena adanya

perbedaan tekanan. Katup-katup ini terbuka ketika tiap-tiap tekanan ventrikel

kanan dan kiri melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis, selama ventrikel

berkontraksi dan mengosongkan isisnya. Katup tertutup apabila ventrikel

melemas dan tekanan ventrikel turun dibawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis.

Ketika ventrikel berkontraksi, otot papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah

korda tendinae. Tarikan ini menimbulkan ketegangan didaun katup AV yang

tertutup, sehingga daun katup dapat tertahan dalam posisinya dan tetap menutup

rapat walau pun terdapat gradien yang besar ke arah belakang (Price dan Wilson,

2006).

2.1.3 Histologi Jantung

Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung yang tersusun

secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus interkalatus. Dinding jantung

terdiri dari tiga lapisan (Price dan Wilson, 2006):

15

Page 16: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Endokardium: lapisan tipis endotelium suatu jaringan epitel yang melapisi

bagian dalam. Permukaannya diliputi endotel yang bersinambungan

dengan endotel pembuluh darah yang masuk dan keluar jantung. Dibawah

endotel terdapat lapisan tipis yang mengandung serat kolagen halus yang

membentuk lapisan subendotel. Lebih kedalam terdapat lapisan yang lebih

kuat mengandung banyak serat elastin dan serat otot polos. Lapisan yang

menyatu dengan miokardium disebut lapisan subendokardial yang terdiri

atas jaringan ikat longgar. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh

darah, saraf dan sistem hantar jantung.

Endokardium membentuk katup atrioventrikuler yang merupakan jaringan

ikat fibrosa yang menyatu dengan anulus fibrosus. Endokardiumnya lebih

tebal pada permukaan yang menghadap atrium daripada ventrikel dan

lebih banyak mengandung serat elastin. Katup dihubungkan dengan

muskulus papilaris ventrikel oleh benang fibrosa disebut korda tendinea.

Miokardium: lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung, membentuk

sebagian besar dinding jantung

Epikardium: suatu membran tipis dibagian luar yang membungkus jantung

berupa suatu membran serosa.

2.2 Penyakit Jantung Rematik

2.2.1 Definisi

Menurut WHO tahun 2001, Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah cacat

jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), PJR adalah penyakit

jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR),

yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Definisi lain juga

mengatakan bahwa PJR adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang

dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A

pada saluran nafas bagian atas (Underwood J.C.E, 2000).

Dari sebuah jurnal mengatakan bahwa DR dan atau PJR eksaserbasi akut

adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta

hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang

16

Page 17: Case PJR Hadi Dwi Ochi

dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea,

nodul subkutan dan eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).

2.2.2 Epidemiologi PJR

Angka kesakitan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) di

Amerika Serikat pada tahun 1996, dilaporkan hamper mencapai 60 juta penderita,

dimana 1,8 juta di antaranya menderita PJR. (Ulfah A., 2000) Statistik rumah

sakit di Negara berkembang pada tahun 1992 menunjukkan sekitar 10%-35% dari

penderita penyakit jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan

PJR (Afif A., 2008)

Insidens PJR tertinggi dilaporkan terjadi pada suku Samoan di Kepulauan

Hawaii sebesar 206 penderita per 100.000 penduduk pada periode tahun 1980-

1984. (Boestan I.N., 2007) Prevalens PJR di Ethiopia (Addis Ababa) tahun 1999

adalah 6,4 per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5-15 tahun (Asdie A.H.,

2000) Dari klasifikasi PJR, yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih

sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P,

2006).

DR Akut dan PJR diduga hasil dari respon autoimun, namun patogenesis

yang pasti masih belum jelas. Walaupun PJR adalah penyebab utama kematian

100 tahun yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun di Amerika Serikat, insiden

penyakit ini telah menurun di negara maju, dan tingkat kematian telah menurun

menjadi hanya di atas 0% sejak tahun 1960-an. Di seluruh dunia, PJR masih

merupakan masalah kesehatan yang utama. PJR Kronis diperkirakan terjadi pada

5-30 juta anak-anak dan orang dewasa muda; 90.000 orang meninggal karena

penyakit ini setiap tahun. Angka kematian dari penyakit ini masih 1%-10%.

Sebuah sumber daya yang komprehensif mengenai diagnosis dan pengobatan

disediakan oleh WHO (Thomas K Chin, 2008).

Dilaporkan di beberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan

akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada

populasi aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit

ini. Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi

17

Page 18: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Streptokokus Beta Hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3% dari penderita

infeksi saluran nafas atas terhadap Streptokokus Beta Hemolitik grup A di barak

militer pada masa epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4% didapati pada anak

yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptokokus Beta Hemolitik grup A

pada populasi masyarakat sipil (Chakko S. et al, 2001).

Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober–1

November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per

100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara

berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.

Diperkirakan sekitar 2000-332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena

penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years

(DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju

hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat

merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada

beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada

anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun dinegara maju, tetapi di

negara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000

di China. Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data

mengenai DR dan PJR Indonesia tidak dinyatakan (Afif. A, 2008 & WHO, 2004).

Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6 per

100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR sebesar

1,9-4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5-15 tahun). Sedangkan Nepal

(1997) dan Sri Lanka (1998) masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak sekolah

dan 6 per 1.000 anak sekolah (WHO, 2001).

2.2.4 Etiologi

Infeksi Streptococcus beta-hemoliticus grup A

Streptococcus β-hemolyticus dikelompokkan menjadi beberapa kelompok

serologis berdasarkan antigen polisakarida dinding sel. Kelompok serologis grup

A (Streptococcus pyogenes) dapat dikelompokkan lagi menjadi 130 jenis M types,

dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar infeksi pada manusia. Hanya

18

Page 19: Case PJR Hadi Dwi Ochi

faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus grup A yang dihubungkan dengan

etiopatogenesis demam rematik dan penyakit jantung rematik. Streptococcus grup

A merupakan kuman utama penyebab faringitis, dengan puncak insiden pada

anak-anak usia -15 tahun

Morfologi dan identifikasi

Kuman berbentuk bulat atau bulat telur, kadang menyerupai batang,

tersusun berderet seperti rantai. Panjang rantai bervariasi dan sebagian besar

ditentukan oleh faktor lingkungan. Rantai akan lebih panjang pada media cair

dibanding pada media padat. Pada pertumbuhan tua atau kuman yang mati sifat

gram positifnya akan hilang dan menjadi gram negatif Streptococcus terdiri dari

kokus yang berdiameter 0,5-1 μm. Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak

memanjang pada arah sumbu rantai. Streptococcus patogen jika ditanam dalam

perbenihan cair atau padat yang cocok sering membentuk rantai panjang yang

terdiri dari 8 buah kokus atau lebih. Streptococcus yang menimbulkan infeksi

pada manusia adalah gram positif, tetapi varietas tertentu yang diasingkan dari

tinja manusia dan jaringan binatang ada yang gram negatif. Pada perbenihan yang

baru kuman ini positif gram, bila perbenihan telah berumur beberapa hari dapat

berubah menjadi negatif gram. Tidak membentuk spora, kecuali beberapa strain

yang hidupnya saprofitik. Geraknya negatif. Strain yang virulen membuat

selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M type specific protein.

Gambar 3. Streptococcus

Infeksi Streptococcus Beta Hemoliticus grup A. Infeksi bakteri ini

biasanya menyebabkan Faringitis dan sebagian kecil infeksi pada kulit

19

Page 20: Case PJR Hadi Dwi Ochi

(pioderma). Tidak semua Streptococcus Grup A dapat menyebabkan Demam

rematik, serotype seperti M type 4,2,12. 1

Streptococcus beta hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan

kemampuannya untuk menimbulkan hemolisis. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang

dikelilingi oleh tiga lapisan membran, yang disusun terutama dari lipoprotein.

Diluar membran sitoplasma adalah dinding sel, terdiri dari tiga komponen:

1. Komponen bagian dalam adalah peptigoglikan yang memberi kekakuan

dinding sel.

2. Polisakarid dinding sel atau KH spesifik grup. KH ini terbukti memiliki

determinan antigenik bersama dengan glikoprotein pada katup jantung

manusia.

3. Komponen ketiga terdiri dari mosaik protein yang dilabel sebagai protein

M yakni antigen spesifik tipe dari streptococcus grup A. adanya protein M

ini menghambat fagositosis.

Streptocoocus menghasilkan sejumlah enzim ekstraseluler, termasuk dua

hemolisisn atau streptolisin S yang stabil pada oksigen, serta streptolisin O yang

labil terhadap oksigen.

Bagan 1. Patogenesis dan Patofisiologi Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik

20

SBHA

Streptolisin

Enzim ektraseluler

Hemolisin

Enzim eritogenik

Hemolisis eritem

- S : Stabil thd oksigen, tidak imunogenik

- O : Labil terhadap oksigen ASTO

-

Faktor yang berperan:

1. Sifat organisme2. Tempat infeksi3. Predisposisi genetik

Polisakarida bakteri menimbulkan artritis dan reaksi nodular

Page 21: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Terjadi reaksi imun yang abnormal oleh tubuh terhadap antigen

Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A. Strept, tidak bermigrasi dari faring ke

jantung atau sendi-sendi. Tidak ada penyebaran kuman diseluruh tubuh. Terdapat

immunological cross reaction antara membran sel streptococcus dan sarcolemma

miokard. Diperkirakan terdapat suatu kemiripan antara antigen bakteri dengan sel

jantung pada manusia (antigenic mimicry). Pada penyelidikan ditemukan dua hal:

1. Adanya persamaan antara kabohidrat dari streptococcus grup A dengan

glikoprotein dari katup jantung.

2. Terdapat persamaan molekuler yaitu: streptococcal M.Protein dengan

sarcolema sel miokard pada manusia.

Dua teori dasar lainnya untuk menjelaskan terjadinya ARF dan jaringan parut di

target organ terdiri dari:

1. Efek toksik yang dihasilkan oleh ektrasellular toksin dari Strep. Grup A di

target organ seperti myocardium, valves, synovium, and brain.

2. Respon imunitas yang abnormal untuk komponen strep. Grup A.

Molecular mimicry dimana respon imun gagal membedakan epitop (gen)

dari strep. Grup A dengan jaringan tertentu dari penderita (jaringan ikat).

Gambar 3. Mekanisme pembentukan lesi akibat Streptococcus beta hemolyticus pada berbagai bagian tubuh manusia

21

Page 22: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Gambar 4. Faktor etiologi penyakit jantung rematik

2.2.5 Patogenesis

Hubungan antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dan

perkembangan penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun

yang tertunda terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan

manifestasi klinis pada individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik,

virulensi dari kuman, dan lingkungan yang kondusif. Meskipun Streptococcus

dari serogrup B, C, G dan F dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon

imun host, mereka belum terkait dengan etiologi demam rematik atau penyakit

jantung rematik (PJR). Geografis berpengaruh pada variasi prevalensi serogrup

dari Streptococcus β-hemolitik. Di negara tropis sampai 60-70% isolat dari

tenggorokan anak-anak tanpa gejala menunjukan serogrup C dan G. Sebaliknya,

di daerah beriklim sedang, serogrup A isolat dominan (50-60. Sekule non

supuratif, seperti RF dan RHD, terlihat hanya setelah Streptococcus grup A

menginfeksi saluran pernapasan bagian atas. Meskipun RF telah dinyatakan

sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat belum dapat

22

Page 23: Case PJR Hadi Dwi Ochi

dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran penting

dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa Streptococcus

grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut biasanya sangat

bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-protein.

Karakteristik ini meningkatkan kemampuan bakteri untuk melekat ke jaringan,

serta untuk melawan fagositosis pada host manusia.

Streptococcus M-protein

M-protein adalah salah satu cara terbaik untuk menentukan virulensi

bakteri. M-protein terdapat pada permukaan sel kuman sebagai alpha–helical

coiled coil dimer, dan memiliki struktur yang homolog dengan miosin jantung dan

molekul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin, dan laminin.

Disimpulkan bahwa homologi ini bertanggung jawab pada proses patologis PJR.

laminin adalah protein matriks ekstraselular yang disekresi oleh sel endotelial

yang melapisi katup jantung and merupakan struktur katup. Laminin juga

merupakan target untuk antibodi polireaktif yang mengenali protein M, miosin.

Streptococcus superantigen

Superantigen adalah glikoprotein yang disintesis oleh bakteri dan virus

yang dapat menjembatani kompleks molekul histokompatibiliti mayor kelas II dan

rantai b nonpolimorfik V pada reseptor sel T, menstimulasi pengikatan antigen,

sehingga terjadi pelepasan sitokin atau limfosit T teraktivasi menjadi sel

sititoksik. Pada kasus PJR, proses terjadi terutama pada aktivitas superantigen-like

dari fragmen protein M (PeP M5).

Aktivasi superantigen tidak terbatas pada sel T saja. Toksin eritrogenik

Streptococcus juga berperan sebagai superantigen terhadap sel B, menyebabkan

produksi antibodi autoreaktif. Aktivitas dari GRAB (alpha-2 macroglobulin-

binding protein) yang dihasilkan oleh Streptococcus pyogenes, streptococcal

fibronectin-binding protein 1 (sfb1), yang memediasi perlekatan dan invasi kuman

ke sel epitel manusia, streptococcal C5a peptidase (SCPA), yang mengaktivasi

komplemen C5a dan membantu perlekatan kuman pada jaringan, semuanya itu

berperan dalam patogenesis PJR. Peran host dalam perkembangan demam rematik

dan penyakit jantung reumatik.

23

Page 24: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Penelitian Pedigree menyatakan bahwa respon kekebalan dikendalikan

secara genetik, dengan responsivitas tinggi terhadap antigen dinding sel

Streptococcus yang diwariskan melalui gen resesif tunggal, dan respon yang

rendah melalui gen dominan tunggal. Data lebih lanjut menunjukkan bahwa gen

pengendali respon level rendah terhadap antigen Streptococcus terkait erat dengan

antigen leukosit manusia kelas II, HLA.

Interaksi host dan patogen

Infeksi oleh Streptococcus dimulai dengan pengikatan permukaan bakteri

dengan reseptor spesifik pada sel inang, dan kemudian melibatkan kolonisasi dan

invasi. Pengikatan permukaan bakteri reseptor peristiwa permukaan sel host

merupakan yang paling penting dalam kolonisasi, dan peristiwa ini diperantarai

oleh fibronektin dan oleh protein pengikat fibronektin kuman. asam lipoteichoic

dan protein M juga memainkan peran penting dalam perlekatan bakteri. Respon

host terhadap infeksi Streptococcus meliputi produksi antibodi tipe spesifik,

opsonisasi dan fagositosis.

Peranan faktor lingkungan dalam RF dan RH

Keadaan lingkungan seperti kondisi ekonomi sosial yang buruk, kepadatan

penduduk dan akses ke perawatan kesehatan sangat menentukan perkembangan

dan komplikasi RF.

Penularan penyakit sangat dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kontak

antar individu. Variasi musiman kejadian RF (insiden tinggi yaitu pada awal

musim gugur, akhir musim dingin dan awal musim semi) sangat menyerupai

variasi infeksi Streptococcus. Variasi ini sangat signifikan di daerah beriklim

sedang, tetapi tidak signifikan dalam tropis (WHO, 2001).

24

Page 25: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Gambar 5. Proses Infeksi oleh S.Pyogenes

Perjalanan Penyakit

Masa laten infeksi Streptococcus dengan munculnya DR akut cukup

singkat bila ada artritis dan eritema marginatum. Dan akan lebih lama jika gejala

klinisnya disertai korea, sedangkan karditis dan nodul subkutan diantaranya.

Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat

biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964.

Majeed, 1992: gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93 %

pasien DR akut.( McIntosh dkk,1935. Rosentha, 1968)

Perjalanan alamiah D.R. :

• Fase infeksi : S.B.H group A pd nasopharynx

• Fase laten : ( 1 – 3 minggu sesudah infeksi )

demam menurun manifestasi klinis lain menurun , biakan SBH (-).

• Fase rematik akut :

Manifestasi klinis bervariasi :

– Carditis ringan

– Carditis berat dng gagal jantung 2 – 3 bulan.

25

Page 26: Case PJR Hadi Dwi Ochi

– Polyarthritis migrans

• Fase akhir :

Fase tenang atau inaktif (semua tanda-tanda aktif menurun)

Kelainan katup yang terjadi pada penyakit jantung rematik meliputi: mitral

stenosis, mitral regurgitasi, aorta stenosis, dan aorta regurgitasi.

2.2.6 Patologi

Demam rematik, termasuk Penyakit jantung rematik ditandai oleh radang

eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai jantung, sendi dan

jaringan subkutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan dikenai.

Perikarditis paling sering terjadi dan perikarditis fibrinosa kadang-kadang

didapati. Peradangan perikard biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa

sekuele klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal,

keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung. Pada

miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit,

dan degenerasi fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang

merupakan patognomonik DR.

Gambar 6. Aschoff bodies

Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit,

sel plasma, sel mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel

mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membrane inti

yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada spesimen

biopsi endomiokard penderita DR Keterlibatan endokard menyebabkan valvulitis

rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat

26

Page 27: Case PJR Hadi Dwi Ochi

pada permukaan atrium pada tempat koaptasi katup dan korda tendinea. Meskipun

vegetasi tidak didapati, bisa didapati peradangan dan edema dari daun katup.

Penebalan fibrotic pada dinding posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya

akibat efek jet regurgitasi mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses

penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katup

dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup.

Katup mitral paling sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan

pulmonal biasanya jarang dikenai (Chakko, 2001)

2.2.7 Manifestasi Penyakit jantung rematik

Kelainan katup, tromboembolisme, dan atrial aritmia adalah gejala yang sering

didapatkan.

1. Stenosis mitral terjadi pada 25% pasien dengan penyakit jantung rematik,

mitral regurgitasi juga dapat terjadi pada penyakit jantung rematik.

Gambar 7. Stenosis Mitral

Terlihat penebalan katup, commisura yang saling melekat dengan

kalsifikasi dan deposisi thrombus, penyatuan dan pemendekan dari chorda

tendinae

2. Stenosis aorta pada penyakit jantung rematik berhubungan dengan aorta

insufisiensi. Pada saat auskultasi, dapat hanya terdengar bunyi S2 saja,

karena katup aorta menjadi tidak dapat bergerak sehingga tidak

27

Page 28: Case PJR Hadi Dwi Ochi

memproduksi suara saat katup menutup. Murmur sistolik dan murmur

diastolic karena stenosis katup aorta dan insufisiensi katup dapat terdengar

lebih jelas pada basis jantung.

3. Aorta regurgitasi

Pada anamnesis dikeluhkan kelelahan, sesak napas, ortpnoe, sesak malam

hari, keterbatasan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

Tekanan nadi yang lebar

Denyut apeks aktif, hiperdinamik, sering bergeser ke lateral

Khas : murmur awal diastolik, dimulai segera sesudah A2 terdengar

pada batas sternal kiri dan basis. Derajat keparahan lebih

digambarkan oleh panjang murmur daripada keras murmur.

Murmur mid-diastolik (murmur austin-flint) regurgitasi aorta berat

Gambar 8. Regurgitasi katup

4. Fibrosis (penebalan dan kalsifikasi katup) dapat terjadi yang disebabkan

karena pelebaran dari atrium kiri dan terdapatnya thrombus pada ruangan

jantung tersebut. Pada auskultasi, S1 terdengar meningkat tetapi akan

meredup jika penebalan katup semakin parah. P2 akan meningkat, dan

didapatkan splitting dari S2 dan bunyinya terdengar menurun jika terjadi

pulmonary hypertension.

28

Page 29: Case PJR Hadi Dwi Ochi

5. Thromboembolism terjadi sebagai akibat komplikasi dari mitral stenosis.

Terjadi karena atrium kiri berdilatasi, cardiac output menurun, dan pasien

dengan atrial fibrilasi. Kejadian thromboembolism dapat menurun dengan

pemberian antikoagulan.

6. Aritmia atrial berhubungan dengan pelebaran dari atrium kiri (karena

kelainan katup mitral).

2.3 Demam Rematik (DR)

2.3.1 Definisi DR

Menurut WHO, definisi DR adalah sindrom klinis sebagai salah satu

akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A, yang ditandai oleh

satu atau lebih manisfestasi mayor (karditis, poliartritis, korea, nodul subkutan,

dan eritema marginatum) dan mempunyai ciri khas untuk kambuh kembali (Afif,

A dkk.)

Pendapat lain memberikan definisi DR atau PJR sebagai suatu sindroma

klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A pada

tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih

gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan

eritema marginatum (Meador R.J. et al, 2009).

2.3.2 Faktor Risiko

DR sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor genetik,

umur, dan jenis kelamin.

Faktor genetik mempunyai hubungan dengan kejadian DR yaitu dengan

terdapatnya beberapa orang dalam satu keluarga yang menderita penyakit ini,

serta fakta bahawa DR lebih sering mengenai saudara kembar monozigotik oleh

reaksi dizigotik. (Afif A dkk., 1988) Selain itu, PJR termasuk ke dalam penyakit

yang dihasilkan oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. (Tobing , T.C.L,

1998) Konsep genetika ini diperkuat oleh penemuan yang mempergunakan

29

Page 30: Case PJR Hadi Dwi Ochi

teknologi yang canggih, yaitu bahawa penderita DR ditemukan antigen HLA

(Human Leucocyte Antygen) tertentu (Afif A. dkk., 1988).

Umur merupakan faktor predisposisi terpenting tentang timbulnya DR.

Penyakit ini sering mengenai anak berumur antara 5-15 tahun dengan puncak

sekitar umur 8 tahun. Distribusi ini sesuai dengan insidens infeksi streptokokkus

pada anak usia sekolah. Prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 per 100.000

penduduk usia 5-15 tahun. (Suprihati, dkk, 2006) DR lebih sering didapatkan pada

anak perempuan daripada laki-laki. Begitu juga dengan kelainan katup sebagai

gejala sisa PJR juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin (Afif A, dkk., 2008).

Faktor ekstrinsik, antara lain disebabkan :

Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk

Tingkat sosial ekonomi merupakan faktor penting dalam terjadinya DR.

Golongan masyarakat masyarakat dengan tingkat pendidikan dan

pendapatan yang rendah dengan manifestasinya, seperti ketidaktahuan,

perumahan dan lingkungan yang buruk, tempat tinggal yang berdesakan,

dan pelayanan kesehatan yang kurang baik, merupakan golongan yang

paling rawan. Pengalaman di negara-negara yang sudah maju

menunjukkan bahwa angka kejadian DR akan menurun seiring dengan

perbaikan tingkat sosial ekonomi masyarakat negara tersebut. (Brooks,

G.F, dkk, 2001) Menurut penelitian Mbeza, masyarakat yang hidup

dengan tingkat sosial ekonomi rendah memiliki risiko 2,68 kali menderita

DR (RR=2,68). (Mbeza, B.L, 2007)

Iklim dan Geografi

Penyakit DR ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi

daerah tropis juga mempunyai insidens yang tinggi. Di daerah yang

letaknya tingi mempunyai insidens DR lebih tinggi daripada di dataran

rendah. Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens

infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens DR juga

meningkat. (Sudoyo, A, 2006) Pada musin hujan kemungkinan terjadinya

PJR 3,24 kali (RR=3,24). (Mbeza, B.L, 2007)

30

Page 31: Case PJR Hadi Dwi Ochi

2.3.3 Etiologi DR

Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman

Streptokokus Beta Hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman

ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut.

Kuman Streptokokus Beta Hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya

yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri

tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada

infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan

etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus

grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme

penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis,

imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai

hubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A, terutama

serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008).

Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi

saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus

tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A sering negatif pada

saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler

streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut

DR sangat berhubungan dengan besarnya respon antibodi. Diperkirakan banyak

anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15%-20%

disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus.

Insidens infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan

bervariasi di antara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens

tertinggi didapati pada anak usia 5 -15 tahun. Beberapa faktor predisposisi lain

yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah,

penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA

tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu

yang mendadak (Park M.K., 1996).

2.3.4 Patogenesis

31

Page 32: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus Beta Hemolitik grup A

dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respon

autoimun terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitycus grup A pada

tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul

ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan

yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui,

tetapi peran antigen histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial

dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti

sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini.

Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan PJR

terjadi akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus grup A di

faring. Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, berdiameter

0,5-1 mikron dan mempunyai karakteristik dapat membentuk pasangan atau rantai

selama pertumbuhannya. Streptococcus beta hemolitycus grup A ini terdiri dari

dua jenis, yaitu hemolitik dan non hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada

umumnya jenis hemolitik.

Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptolisin O

(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua jenis tes

yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup

A.

DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang

berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan oleh

Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang

adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup A

dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen

Streptococcus beta hemolitycus grup A. Hal inilah yang menyebabkan reaksi

autoimun.

Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh

sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self

antigen, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi

autoimun. Reaksi autoimun adalah reaksi sistem imun terhadap antigen sel

32

Page 33: Case PJR Hadi Dwi Ochi

jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang

dibentuk disebut autoantibodi.

Reaksi autoantigen dan autoantibodi yang menimbulkan kerusakan jaringan dan

gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala

klinis disebut fenomena autoimun. Oleh karena itu pada umumnya para ahli

sependapat bahwa DR termasuk dalam penyakit autoimun.

2.3.5 Manifestasi Klinis

DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya artritis,

korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai manifestasi ini

cenderung terjadi bersama-sama dan dapat dipandang sebagai sindrom, yaitu

manifestasi ini terjadi pada pasien yang sama, pada saat yang sama atau dalam

urutan yang berdekatan.

Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan

manifestasi minor, yaitu :

Manifestasi Klinis Mayor

Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema marginatum,

dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang sering ditemukan pada DR

Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri yang meningkat 12-24 jam yang diikuti

dengan reaksi radang.

Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, siku,

dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang

seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi

sendi. Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam

beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala sendi biasanya hilang dalam

waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa apapun.

Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokarditis,

miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja, seperti endokarditis,

miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising

yang berubah-ubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup

33

Page 34: Case PJR Hadi Dwi Ochi

belum menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-

tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada perikardial. Bila

mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut pankarditis.

Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala dini karditis

adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak tampak sakit meskipun belum

ada gejala-gejala spesifik. Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada

DR Akut, dan dapat menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit.

Diagnosis klinis karditis yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda

berikut ini dapat ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi jantung organik,

ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat tanda perikarditis, dan adanya

tanda gagal jantung kongestif.

Korea merupakan gangguan sistim saraf pusat yang ditandai oleh gerakan

tiba-tiba, tanpa tujuan, dan tidak teratur, seringkali disertai kelemahan otot dan

emosi yang tidak stabil. Gerakan tanpa disedari akan ditemukan pada wajah dan

anggota-anggota gerak tubuh. Gerakan ini akan menghilang pada saat tidur. Korea

biasanya muncul setelah periode laten yang panjang, yaitu 2-6 bulan setelah

infeksi Streptokokkus dan pada waktu seluruh manifestasi DR lainnya mereda.

Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang memilih jenis kelamin,

yakni dua kali lebih sering pada anak perempuan dibandingkan pada laki-laki.

Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit, berupa

bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya

berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal.

Tempatnya dapat berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas

atau paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum ini

ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan manifestasi klinis yang

paling sukar didiagnosis.

Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak dibawah

kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan, berukuran antara 3-10mm. Kulit

diatasnya dapat bergerak bebas. Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian

terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama

6-10 minggu setelah serangan DR Akut.

34

Page 35: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Manifestasi Klinis Minor

Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang spesifik

tetapi diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR. Manifestasi klinis minor ini

meliputi demam, atralgia, nyeri perut, dan epistaksis.

Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya jarang

melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau

tanpa pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi,

seperti nyeri, merah, hangat, yang terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa

sakit akan bertambah bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah

nyeri perut dan epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan pucat dan

epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari DR.

Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa yaitu

umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi 39°C atau arthritis

yang timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi. Demam dapat berlangsung

berkali-kali dengan tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat

badan. Sakit persendian dapat berupa atralgia, yaitu nyeri persendian dengan

tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak.

Artritis pada DR dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian. Manifestasi

lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul

subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri abdomen (Mansjoer A. dkk.,

2000).

2.3.6 Diagnosis

Sebuah diagnosis PJR dibuat setelah konfirmasi adanya DR. Menurut

kriteria Jones (direvisi tahun 1992) menyediakan pedoman untuk diagnosis

demam rematik (AHA, 1992). Kriteria Jones menuntut keberadaan 2 mayor atau 1

mayor dan 2 kriteria minor untuk diagnosis demam rematik.

o Kriteria diagnostik mayor termasuk karditis, poliarthritis, khorea, nodul

subkutan dan eritema marginatum.

35

Page 36: Case PJR Hadi Dwi Ochi

o Kriteria diagnostik minor termasuk demam, arthralgia, panjang interval

PR pada EKG, peningkatan reaktan fase akut (peningkatan tingkat

sedimentasi eritrosit [ESR]), kehadiran protein C-reaktif, dan

leukositosis.

2.3.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan demam rematik akut ataupun yang reaktifasi

adalah sebagai berikut: (Parillo, 2010; Meador 2009; Ganesja harimurti,

1996):

1. Tirah baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi

jantung.

2. Eradikasi terhadap Streptococcus dengan pemberian antibiotik dengan

drug of choice (DOC) adalah antibiotik golongan penisilin.

3. Untuk peradangan dan rasa nyeri yang terjadi dapat diberikan salisilat,

obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) ataupun kortikosteroid.

Tirah baring

Tirah baring harus dilakukan pada pasien dengan demam rematik

terutama pasien dengan karditis. Demikian halnya pada pasien yang

mengalami arthritis, karena bila sendi yang mengalami inflamasi

dipergunakan untuk melakukan aktivitas berat akan menyebabkan

kerusakan sendi permanen (Meador, 2009).

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis meliputi pemberian antibiotik, obat anti inflamasi

(baik golongan OAINS ataupun kortikosteroid), obat-obatan neuroleptik,

dan obat-obatan inotropik.

Antibiotik

Penicillin G benzathine

Merupakan drug of choice untuk demam rematik.

Dosis dewasa: 2.4 juta U IM satu kali pemberian

36

Page 37: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Anak-anak: Bayi dan anak dengan berat badan kurang dari 27 kg:

600,000 U IM satu kali pemberian. Anak dengan berat badan lebih dari

27 kg: 1.2 juta U IM satu kali pemberian. Kombinasi 900,000 U

benzathine penicillin dan 300,000 U procaine penicillin dapat

digunakan pada anak yang lebih kecil (Parillo, 2010; Meador 2009).

Penicillin G procaine

Dosis dewasa 2.4 juta U IM satu kali pemberian

Bayi dan anak dengan berat badan <27 kg: 600.000 U IM - 1,2 juta Unit

IM (Parillo, 2010; Meador 2009).

Amoxicillin

Amoxicillin merupakan obat alternatif untuk terapi demam rematik.

Dosis dewasa: 500 mg PO setiap 6 jam selama 10 hari

Anak <12 tahun: 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 3 ata 4 kali per hari,

tidak melebihi 3 g/hari. Anak >12 tahun: sama seperti orang dewasa

(Parillo, 2010; Meador 2009).

Erythromycin

Merupakan DOC untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.

Dosis dewasa: 1 g/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari

Anak-anak: 30-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis selama 10 hari (Parillo,

2010; Meador 2009).

Azithromycin

Azithromycin dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin.

Dosis azithromycin:

Dewasa: 500 mg pada hari pertama diikuti 250 mg/hari untuk 4 hari

berikutnya.

Anak-anak: 10 mg/kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg/hari untuk 4

hari berikutnya (Parillo, 2010; Meador 2009).

Obat-obat anti inflamasi

Obat anti inflamasi diberikan untuk mengobati inflamasi dan

menghilangakan rasa nyeri dengan derajat ringan hingga sedang. Bila

37

Page 38: Case PJR Hadi Dwi Ochi

terjadi karditis yang disertai dengan kardiomegali ataupun gagal jantung

kongestif maka inflamasi harus diatasi dengan kortikosteroid (prednison).

Aspirin

Dosis dewasa: 6-8 g/hari PO selama 2 bulan atau sampai ESR

(Erithrocyte Sedimentation Rate) kembali normal

Anak-anak: 80-100 mg/kg/hari selama 2 bulan atau sampai ESR

kembali normal

OAINS (Naproxen)

Dosis dewasa: 250-500 mg PO 2 kali per hari; dapat ditingkatkan

hingga 1.5 g/hari

Anak-anak <2 tahun: tidak diberikan

>2 tahun: 2.5 mg/kg/dosis PO; tidak melebihi 10 mg/kg/hari (Parillo,

2010; Meador 2009).

Kortikosteroid (Prednison)

Prednison diberikan pada pasien dengan karditis yang disertai dengan

kardiomegali ataupun gagal jantung kongestif. Tujuan pemberian

prednison adalah menghilangkan ataupun mengurangi inflamasi

miokardium. Dosis prednison:

Dewasa: 60-80 mg/hari PO

Anak-anak: 2 mg/kg/hari PO (Parillo, 2010; Meador 2009).

Dosis di tapering off 5 mg setiap 2-3 hari setelah 2-3 minggu pemberian

(Poestika Sastroamidjojo, 1998), atau 25% setiap minggu setelah

pemakaian selama 2-3 minggu (Meador, 2009).

Neuroleptic agents (Haloperidol)

Neuroleptic agents diberikan untuk mengatasi korea yang terjadi.

Haloperidol merupakan dopamine receptor blocker yang dapat digunakan

untuk mengatasi gerakan spasmodik iregular dari otot wajah. Pemberian

obat ini tidak selalu harus diberikan karena korea dapat sembuh dengan

istirahat dan tidur tanpa pengobatan. Dosis pemberian haloperidol:

Dewasa: 0.5-2 mg PO 2 atau 3 kali per hari

Anak-anak: <3 tahun: tidak diberikan

38

Page 39: Case PJR Hadi Dwi Ochi

3-12 tahun: 0.25-0.5 mg/hari 2 atau 3 kali per hari.

>12 tahun: sama seperti dosis dewasa (Parillo, 2010; Meador 2009).

Inotropic agents ( Digoxin)

Digoxin dapat diberikan untuk mengatasi kelemahan jantung yang terjadi

tetapi efek terapetiknya masih rendah untuk penyakit jantung rematik.

Kelemahan jantung yang terjadi umumnya dapat diatasi dengan istirahat

ataupun pemberian diuretik dan vasodilator (D. Manurung, 1998; Meador,

2009). Dosis pemberian digoxin:

Dewasa: 0.125-0.375 mg PO 4 kali pemberian

Anak-anak<2 tahun: tidak

2-5 tahun: 30-40 mcg/kg PO

5-10 tahun: 20-35 mcg/kg PO

>10 tahun: 10-15 mcg/kg PO (Parillo, 2010; Meador 2009).

Tabel 1. Tatalaksana Demam Rematik Akut (Ganesja Harimurti, 1996)

Gejala klinis Tirah baring

(minggu)

Mobilisasi

bertahap (minggu)

Obat anti

inlamasi

Karditis (-)

Arthritis (+)

2 2 Aspirin

Karditis (+)

Kardiomegali -)

4 4 Aspirin

Karditis (+)

Kardiomegali (+)

6 6 Prednison

Karditis (+)

Gagal jantung (-)

>6 >12 Prednison

2.3.8 Pencegahan

2.3.8.1 Pencegahan Primordial

Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang yang

sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit termasuk

39

Page 40: Case PJR Hadi Dwi Ochi

penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa serta memelihara

kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan latihan supaya dapat

mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk melangsungkan hidupnya

sehari-hari. Cara tersebut adalah dengan menganut suatu cara hidup sehat yang

mencakup memakan makanan dan minuman yang menyehatkan, gerak badan

sesuai dengan pekerjaan sehari-hari dan berolahraga, usaha menghindari dan

mencegah terjadinya depresi, dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.

2.3.8.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer ini ditujun kepada penderita DR. Terjadinya DR

seringkali disertai pula dengan adanya PJR Akut sekaligus. Maka usaha

pencegahan primer terhadap PJR Akut sebaiknya dimulai terutama pada pasien

anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta hemolyticus

grup A pada pemeriksaan THT (telinga,hidung dan tenggorokan), di antaranya

dengan melakukan pemeriksaan radang pada anak-anak yang menderita radang

THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek, dan sering juga disertai panas

badan.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman apa yang meyebabkan radang

pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti infeksi, termasuk

golongan sulfa untuk mencegah berlanjutnya radang dan untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya DR. Pengobatan antistreptokokkus dan anti rematik perlu

dilanjutkan sebagai usaha pencegahan primer terhadap terjadinya PJR Akut.

2.3.8.3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya infeksi

streptococcus beta hemolyticus grup A pada bekas pasien DR. Pencegahan

tersebut dilakukan dengan cara, diantaranya :

1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A

Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah

diagnosis ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis

1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi pada penisilin,

40

Page 41: Case PJR Hadi Dwi Ochi

dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250 mg yang

diberikan selama 10 hari.

Hal ini harus tetap dilakukan meskipun biakan usap tenggorokan

negatif, kerana kuman masih ada dalam jumlah sedikit di dalam

jaringan faring dan tonsil.

2. Obat anti radang

Pengobatan anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi

radang akut demam rematik, seperti salasilat dan steroid. Kedua obat

tersebut sangat efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi

serta fase reaksi akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk DR

tanpa karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum

anak, nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat

menurun. Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya

penyakit.

3. Diet

Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada

sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein yang

cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak

menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila

kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan

tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.

4. Tirah baring

Semua pasien DR Akut harus tirah baring di rumah sakit. Pasien harus

diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal jantung.

Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan,

sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.

2.3.8.4 Pencegahan Tersier

41

Page 42: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di mana

penderita akan mengalami kelainan jantung pada PJR, seperti stenosis mitral,

insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi berupa:

Mitral stenosis

Mitral regurgitasi

Stenosis aorta dan regurgitasi aorta

Congestive heart failure (CHF)

Rekurensi paling sering terjadi pada tahun 1-5 setelah serangan akut

sembuh (Parillo, 2010; Meador 2009).

2.10 Prognosis

Demam rematik akut akan sembuh dalam waktu sekitar 3 bulan setelah

serangan akut. Hanya minoritas pasien mengalami penyembuhan yang

lebih lama.

Karditis akan sembuh sempurna pada 65-75% pasien. Karditis tidak

akan menimbulkan sekuele pada pasien yang awalnya tidak memiliki

kelainan jantung (Parillo, 2010; Meador 2009).

42

Page 43: Case PJR Hadi Dwi Ochi

BAB III

ANALISIS KASUS

Anak perempuan datang dengan keluhan utama nyeri sendi. Pada

anamnesis didapatkan nyeri tersebut berpindah-pindah yang pertama kali

dirasakan pada bahu kanan, lalu tangan kanan, dan pergelangan kaki kiri. Keluhan

ini telah dirasakan penderita selama 2 minggu. Penderita juga mengeluh demam

naik turun yang disertai dengan batuk dan pilek.

Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan kesadaran compos mentis, nadi

102 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, pernapasan 26 kali/menit, suhu

36,7 °c, berat badan 23 kg dan tinggi badan 135 cm.

Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan NCH (-), konjungtiva anemis

(-), sklera ikterik (-), sianosis pada bibir (-), pembesaran KGB leher (-),

peningkatan JVP (-). Thorak simetris, retraksi (-), auskultasi: vesikuler (+)

normal, ictus cordis terlihat, voussure cardiac tidak terlihat thrill tidak teraba,

iktus teraba, HR: 102 kali/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur (+)

sistolik grade III/VI linea parasternalis sinistra, gallop (-). Abdomen datar, lemas,

hepar-lien tidak teraba, bising usus (+) normal. Pada ekstremitas akral dingin (-),

sianosis (-), edema pretibial (-), CRT < 2 detik. Status pubertas M2P2.

Pemeriksaan neurologis dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang yaitu

Lab darah rutin, darah kimia, CRP, LED, ASTO dan faktor Rheumatoid

didapatkan:

No Parameter Hasil Rujukan

1 Hb 9,4 g/dl 11,3-14,1 g/dl

2 Ht 28 % 37-41 %

3 Leukosit 6.200 / mm3 6.000-17.500 / mm3

4 Eritrosit 3.520.000 / mm3 5.330.000-5.470.000 / mm3

5 Trombosit 560.000 / µL 217.000 – 497.000 / µL

43

Page 44: Case PJR Hadi Dwi Ochi

6 LED 120 mm/jam < 15 mm/jam

7 Diff count 0/4/0/54/35/7 0-1/1-6/2-6/50-70/25-40/2-

8 %

8 Natrium (Na) 143 mEq/L 135-155 mEq/L

9 Kalsium (Ca) 9,3 mg/dl 8,4 – 10,4 mg/dl

10 Kalium (K) 5,1 mg/dl 3,6 – 5,5 mg/dl

11 CRP 30 mg/L < 5 mg/L

12 ASTO positif negatif

13 Faktor Rheumatoid negatif negatif

Echocardiografi :

Dilatasi LA dan LV, terdapat MR ringan, AR moderat, dan PR ringan.

Kesimpulan: MR ringan + AR moderat + PR ringan.

Berdasarkan pemeriksaan tersebut maka pasien ini didiagnosis penyakit

jantung rematik dengan diagnosis banding penyakit jantung rematik dan

rhematoid artritis juvenile. Diagnosis penyakit jantung rematik ditegakkan apabila

terdapat bukti adanya demam rematik dan gejala karditis. Diagnosis demam

rematik ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 2003 (berdasarkan revisi

kriteria Jones).

Kriteria Diagnostik Kriteria

1. Demam rematik serangan pertama

2. Demam rematik serangan rekuren

tanpa PJR

3. Demam rematik serangan rekuren

1. Dua mayor atau satu mayor dan dua

minor ditambah dengan bukti

infeksi SGA sebelumnya

2. Dua mayor atau satu mayor dan dua

44

Page 45: Case PJR Hadi Dwi Ochi

dengan PJR

4. Korea Sydenham

5. PJR (Stenosis mitral murni atau

kombinasi dengan insufisiensi

mitral dan atau gangguan katub

aorta)

minor ditambah dengan bukti

infeksi SGA sebelumnya

3. Dua minor ditambah dengan bukti

infeksi SGA sebelumnya

4. Tidak diperlukan kriteria mayor

lainnya atau bukti infeksi SGA

5. Tidak diperlukan kriteria lainnya

untuk mendiagnosis PJR

Manifestasi Mayor Manifestasi Minor

Karditis

Poliartritis migran

Korea

Eritema Marginatum

Nodulus subkutan

Klinis :

Atralgia

Demam

Laboratorium

Peningkatan reaktan fase akut

yaitu :LED dan atau CRP

yang meningkat

Interval PR yang memanjang

Pada pasien ini dengan keluhan utama nyeri sendi yang berpindah (poliartritis

migran) yang disertai demam dan juga terdapat riwayat batuk pilek (riwayat ISPA

oleh SGA) serta pada pemeriksaan fisik diperkuat adanya murmur (+) sistolik

grade III/VI linea parasternalis sinistra mengarah pada diagnosis PJR. Untuk

membuktikan adanya infeksi akut oleh SGA dilakukan pemeriksaan ASTO dan

pemeriksaan darah rutin, LED, CRP. Pada pemeriksaan ASTO (+) serta CRP (+)

dan LED yang meningkat dapat membuktikan adanya infeksi oleh SGA. Untuk

menegakkan infeksi SGA menyebabkan karditis selain adanya bising sistolik

dengan dilakukan pemeriksaan echocardiografi dan didapatkan adanya dilatasi LV

dan LA? serta adanya insufisiensi pada katub mitral, aorta dan pulmonal. Adapun

kriteria karditis adalah bunyi jantung melemah, adanya bising sistolik, mid

diastolik di apeks atau bisisng diastolik di basal jantung, perubahan bising,

45

Page 46: Case PJR Hadi Dwi Ochi

takikardi atau gallop, kardiomegali, perikarditis, gagal jantung kongestif tanpa

sebab lain.

Pembagian Karditis menurut Decourt

Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat

Tahihardi, murmur ringan

pada area mitral, jantung

yang normal, EKG

normal.

Tanda-tanda karditis

ringan, bising jantung

yang lebih jelas pada area

mitral dan aorta, aritmia,

kardiomegali, hipertropi

atrium kiri dan ventrikel

kiri.

Ditandai dengan gejala

sebelumnya ditambah

gagal jantung kongestif

Berdasarkan hal tersebut terbukti adanya demem rematik aktif dan

penyebab lain kelainan pada katub jantung dapat disingkirkan dianggap PJR.

Untuk menyingkirkan diagnosis banding artritis rhematoid juvenil dilakukan

pemeriksaan rheuma factor dan didapatkan hasil negatif.

Pada pasien ini dilakukan terapi prednison sebagai anti inflamasi dengan

dosis berdasarkan dan diberikan diuretik serta beta blocker sebagai??penundaan

pemberian penisilin untuk eradikasi SGA karena??serta pemberian ambroxol

untuk mengurangi keluhan batuk??

46

Page 47: Case PJR Hadi Dwi Ochi

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siregar. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.

http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_afif_siregar.pdf

Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus, Marcellus, Siti Setiati. 2006. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever.

.http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511

Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease.

http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic

%20heart%20diseases.pdf

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2008. Valvular Heart

Disease in Harrison’s Internal Medicine. 17th edition.

Ganesja Harimurti. 1996. Demam Rematik. Buku Ajar Kardiologi. Balai penerbit

FKUI: Jakarta

Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I.2005. Penyakit Katup Jantung dalam

Lecture Notes Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga

Meador R., 2009., Acute Rheumatic Fever., Texas Health Science center; San

Antoniohttp://emedicine.medscape.com/article/333103

Parillo S., 2010., Rheumatic Fever; Philadelphia http://emedicine.medscape.

com/article/808945

Poestika Sastroamidjojo., Sarodja RM., 1998. Demam Rematik Akut. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Balai penerbit FKUI: Jakarta

Afif, A. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan

Indonesia. Medan : FK USU. http://www.usu.ac.id [Diakses tanggal 2 April

2010]

Alwi, I., 2008. Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular VII. Jakarta : 22-34

Bustan. M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. Rineka

Cipta

47

Page 48: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Carapetis JR. 2007. Rheumatic heart disease in developing countries. New England

Journal of Medicine 2007; 357:439-441. http://content.nejm.org/mcgi/content

/full/357/5/439 [Diakses tanggal 18 April 2010]

Chakko S, Bisno A.L., 2001. Acute Rheumatic Fever. In : Fuster V, Alexander RW,

O’ Rourke et al. Hurst The Heart; vol. II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York;

1657-65. Available from : http://www.emedicine.com [Accessed 21 April 2010]

Chandrasoma, P. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : EGC.

Chin, T.K., 2008. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor of Pediatrics, Chief

of Pediatric Cardiology and Medical Director of the Pediatric Heart Institute,

University of Tennessee College of Medicine; Director of Cardiology and

Endowed Chair for Excellence in Cardiology, St Jude Children's Research

Center. http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 10 April 2010]

Chin, T.K., 2006. Rheumatic Heart Disease. Associate Professor in Pediatrics,

University of Tennessee College of Medicines; Chief Department of Pediatric

Cardiology, LeBonheur Children’s Hospital, St. Jude Children’s Research

Hospital. http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 21 Maret 2010]

Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of American

Heart Association. Guidelines for Diagnosis of Rheumatic Fever: Jones criteria,

1992 Update : JAMA 1992; 268: 2069-2073

Corry S M., I Wahidiyat, Sudigdo S., 2000. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi 2.

Jakarta : PT Sagung Seto, 2003, 91

DepKes RI. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2004. Jakarta : Dit PPTM.

http://www.depkes.go.id [Diakses tanggal 16 April 2010]

DepKes RI. 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh

Darah.Jakarta : Dit PPTM dan Ditjen PP&PL. http://www.depkes.go.id

[Diakses tanggal 16 April 2010]

Hasan, R, dkk. 2005. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika

Leman S., 1990. Perjalanan Penyakit Demam Reumatik dan Penyakit Jantung

Reumatik di Lab./UPF Penyakit Dalam FK-Unand/RSUP dr.M.Djamil Padang.

Analisis ‘’survival’’. Naskah Lengkap KOPAPDI VIII. Yogjakarta: 153-160

48

Page 49: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Majeed H.A, Batnager S, Yousof A.M et.al., 1992. Acute Rheumatic Fever and the

Evaluation of Rheumatic Heart Disease : A Prospective 12 years Follow-up

Study, J.Cln.Epidemiol: 106:545

Mbeza, B.L., 2007. Survey of Rheumatic Heart Disease in School Children of

Kinshasa Town.International Journal of Cardiology,Volume 63, Issue 3, Pages

287-294. Diakses dari : http://linkinghub.elsevier.com [Diakses tanggal 29

Maret 2010]

Meador R.J, Russel IJ, Davidson A, et al. 2009. Acute Rheumatic Fever.

http://www.emedicine.com [Diakses tanggal 21 April 2010]

Park, M.K., 1996. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for Practitioners.

3rd ed. St. Louis: Mosby, 302-309

Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM., 2005 Antibiotics for the primary

prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord.

Updated on May 31 2005;5(1):11

Sastroasmoro, S, dkk. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 290-296

Soetedjo, dkk., 1997. Survei Prevalensi Penyakit Jantung Pada Suatu Masyarakat

Pedesaan di Kabupaten Semarang. Cermin Dunia Kedokteran No.50. Bagian

Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

http://www.kalbe.co.id [Diakses tanggal 16 April 2010]

Sudoyo, A. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta : Departemen Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK

UI

Suprihati, dkk. 2006. Faktor Streptococcus Hemolyticus Beta Group-A pada

Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas Di RSUP Dr. Karyadi Semarang. FK

UNDIP. http://www.litang.depkes.go.id [Diakses tanggal 16 April 2010]

World Health Organization (WHO). Rheumatic fever and rheumatic heart disease.

Report of a consultation to review and develop future activities Geneva, 29

November-1 December 1999. Available from : http://www.who.int [Accessed

10 April 2010]

World Health Organization (WHO). Rheumatic fever and rheumatic heart disease

WHO Technical report series 923. Report of a WHO Expert Consultation

49

Page 50: Case PJR Hadi Dwi Ochi

Geneva, 29 October-1 November 2001. Available from : http://www.who.int

[Accessed 10 April 2010]

Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,

O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York,

2001;p. 1657-65

50