c08sri.pdf

97
oJ-21 BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON (Haliotis asinina Lin.) DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA SLAMET RIYADI PROG S I ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PElUKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERT BOGOR 2008

Upload: red-claw

Post on 02-Dec-2015

103 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: C08sri.pdf

oJ-21 BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON

(Haliotis asinina Lin.)

DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

SLAMET RIYADI

PROG S I ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PElUKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERT BOGOR

2008

Page 2: C08sri.pdf

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang be rjudul :

BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON (Haliotir asinina Lin.) DI

KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pemah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan infonnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkai dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar F'ustaka di Bagian Akhir Slcripsi ini

SLAMET RIYADI C64103082

Page 3: C08sri.pdf

SLAMET WADI. Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis asinina Lin) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Di bawah bimbingan DEDI SOEDHARMA dan D. E. DJOKO SETYONO.

Penelitian ini dilakukan di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada tanggal 30 Maret-1 Mei 2008. Pengambilan sampel abalon dilakukan setiap selang waktu satu minggu pada fase bulan gelap (mati), transisi I (quarter I), purnama dan transisi II (quarter II) yang me~pz3kaII abalon hasil tangkapan nelayan. Analisa lapangan dan laboratorium meliputi pengukuran panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage (gonad dan kelenjar pencemaan), pengamatan tingkat kematangan gonad dan pengdcwan diameter telur. Analisa data meliputi deskripsi panjang cangkang, bobot total, bobot dagiig, dan bobot conical appendage, rasio kelamin, hubungan panjang dan bobot: faktor kondisi, ukuran pertama matang gonad, indeks kematangan gonad dan diameter telur.

Abalon (Haliotis asinina) yang diamati berjumlah 326 ekor terdiri dari 158 ekor (48,47%) jantan dan 168 ekor (5133%) betina. Dari analisa hubungan panjang dan bobot, diperoleh pola pertumbuhan pada abalon jantan adalah isometrik, sedangkan pada abalon betina adalah allometrik negatif. Ukuran pertama matang gonad pada individu abalon jantan ditemukan pada kelas panjang cangkang 35,l-40,O mm, dan 40,l-45,O mm pada abalon yang betina. Pada populasi abalon (>50% sampel), ukuran pertama matang gonad ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 40,145,O mm pada abalon jantan dan 50,l-55,O mm pada abalon betina Pada fase bulan pumama, abalon berada pada puncak kematangan gonad, sedangkan pada fase bulan gelap, abalon berada pada tahap pemijahan total (spent) yang menunjukkan abalon dengan puncak pemijahan tertinggi. Distribusi h a n diameter telur memperlihatkan lebih dari satu modus yang menggambarkan bahwa abalon Haliotis asinina memiliki pola pemijahan yang bersifat partial (partial spawner) yaitu pemijahan dilakukan lebii dari satu kali selama satu musim pemijahan.

Page 4: C08sri.pdf

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

pengetahuannya sehingga skripsi yang berjudul " Beberapa Aspek Reproduksi

Abalon (Haliotis nsinina Lin.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dapat di

selesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedhama, D.E.A. selaku pembimbing utama skripsi,

yang telah memberi arahan, biibingan dan bantuan baik moral dan

material dalam penulisan karya ini.

2. Kepala UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut, LIP1 Mataram,

Dr. Ir. D. E. Djoko Setyono, M.Sc. selaku pembimbiig anggota skripsi,

yang telah memberi arahan, bimbingan dan bantuan baik moral dan

material dalam penulisan karya ini.

3. Ir. Widodo, selaku p e m b i i i g akadmik atas segala masukan dan

arahannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

4. Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang telah memfasilitasi

penulis selama penelitan berlangsung.

5. Bapak Ranta di Laboratorium Penyakit Ikan Departemen Budidaya

Perairan, FPIK IPB yang telah membantu selama penelitian.

6. Bapak Adi di Laboratorium Anatomi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama penelitian.

7. Seluruh Staf Departemen ITK yang telah banyak membantu penulis

selama menempuh p e n d i d i i di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

8. Keluarga Besar (Bapak, Ibu, Kakak : Mba Dio, Mba Wiwi, Mas Wahyy

A' Udin dan Karib Kerabat) yang senantiasa mendoakan dan memberi

dukungan baik moral maupun material selama penulis menempuh

pendidikan.

Page 5: C08sri.pdf

9. Bang Hakim, Pak Wappi, Mas Ahmad dan Keluarga di Pulau Panggang,

Kepulauan Seribu yang telah membantu penulis selama penelitian di

lapangan.

10. Teman-teman ITK, khususnya angkatan 40, Ganjar Saefhrabman,S.Pi

Yohan Sonny, Abie Aryo, Firman BDP'40, Handito dan semua teman-

teman yang tidak cukup disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua

bantuan, pengorbanan dan persahabatannya selama ini.

11. Kawan-kawan di rumah: Beni Setiawan, Andri, Iwan, Cantik Putri P,

Affan Hairil dan semua teman-teman di rumah yang tidak cukup

disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis selama penelitian

dan menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

12. Rekan sekerja di Srengseng Aqualobster : Ganjar, Aldo, Abie, Firman,

Bang Beben, Nain, Danu clan semua yang pemah berada di Srengseng

Aqualobster.

13. Meza Muliaharty, S.E, atas kehadiran, semangat dan bantuannya di saat

penyelesaian skripsi ini.

14. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan, baik dalam isi maupun penulisan. Oleh karena itu, penulis

mengharapakan saran dan masukannya. Penulis berharap, semoga karya kecil ini

dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2009

Penulis

Page 6: C08sri.pdf

BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON

(Haliotis asinina Lin.)

DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Oleh: SLAMET IUYADI

C64103082

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

PAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAW

INSTITUT PERTANLAN BOGOR

2008

Page 7: C08sri.pdf

Nama

NIP

: Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliofis

asinina Li.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

: Slamet Riyadi

: C64103082

Disetujui:

Komisi P e m b i i i g

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedhanna. DEA Dr. Ir. D. E. Dioko Setvono. M.Sc

NIP 130 367 093 NIP 320 004 702

Perikanan dan Ilmu Kelautan

NIP 131 578 799

Page 8: C08sri.pdf

DAFTAR IS1

Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii

1.1 Latar belakang .................................................................................... 1 1.2Tujuan ................................................................................................ 2 1.3 Kerangka pendekatan ........................................................................ 3

2 . TINJAUAN BUSTAKA

2.1 Biologi mum abalon ............................................................. ............................................ 2.2 Morfologi dan anatomi abalon

2.3 Biologi reproduksi abalon .................................................. ................................................. 2.4 Nisbah kelamin (sex ratio)

2.5 Faktor kondisi ................................................................ 2.6 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ......................................

2.6.1 Perkembangan gamet ............................................ 2.6.1 . l Spermatogenesis ..................................................... 2.6.1.2 Oogenesis ................................................................

.......................................................... 2.7 Ukuran pertama matang gonad ..... 2.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) / Gonad Bulk Index (GBI-tc)

2.9 Diameter telui ................................................................ ........................................................ 2.10 Histologi sel gonad

3.1 Lokasi dan waktu ............................................................................... ................................................................................... 3.2 Mat dan bahan

3.3 Metode kerja ................................................................. 3.3.1 Pengumpulan sampel ............................................

.................... 3.3.2 Pengukuran panjang cangkang dan bobot .................................................................. 3.4 Analisa data

3.4.1 Hubungan panjang-bobot ........................................... 3.4.2 Nisbah kelamin (sex ratio) ...................................... 3.4.3 Faktor kondisi ....................................................

................. 3.4.4 Analisa Indeks Kematangan Gonad (GBI-tc) 3.4.5 Analisa Tigkat Kematangan Gonad .........................

................... 3.4.6 Penentuan ukuran pertama matang gonad ...................................... 3.4.7 Pengukuran diameter telur

viii

Page 9: C08sri.pdf

4 . HASIL PEMBAHASAN

4.1 Struktur ukuran .................................................................................. 4.2 Distfibusi &wan ...............................................................................

4.2.1 Panjang cangkang ............................................................... 4.2.2 Bobot total .......................................................................... . . . . . . ' ...................................................................... 4.2.3 Bobot dapg 4.2.4 Bobot conical appendage ...................................................

4.3 Hubungan panjang-bobot .................................................................. 4.3.1 Panjang cangkang dan bobot total ...................................... 4.3.2 Panjang cangkang dan bobot daging .................................. 4.3.3 Bobot total dan bobot daging ............................................. 4.3.4 Bobot total dan bobot conical appendage ..........................

4.4 Nisbah kelamin (sex ratio) ................................................................ . . = 4.5 Faktor kondtsl ....................................................................................

4.6 Ti~lgkat Kematangan Gonad (TKG) .................................................. 4.7 Ukuran pertama matang gonad ..........................................................

...... 4.8 Ind'eks Kerntangan Gbnad (IKG) I Ganbii Bulk I d e x (GBIdc) ................................................................................ 4.9 Analisa histologi

.................................................................................. 4,9.1 Jantan 4.9.2 Betina ..................................................................................

.................................................................................. 4.10 Diameter telur

5 . KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 S m ..................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

RIWAYAT HIDUP ........................................................................................

Page 10: C08sri.pdf

Tabel 1. Kriteria tingkat kematangan gonad abalon Haliotis asinina

(Setyono, 2006) ................................................................. 25

Page 11: C08sri.pdf

Halaman

1 . Morfologi cangkang abalon Haliotis asinina ................................ 6

2 . Anatomi abalon Haliotis asinina ............................................. 6

3 . Skema conical appendage (gonad dan kelenjar pencemaan) ............. 22

4 . Sebaran frekuensi panjang cangkang abalon Haliotis asinina .............................................................................. 30

5 . Sebaran fiekuensi bobot total abalon Haliotis asinina ........................................................................ 31

6 . Sebaran fiekueasi bdbot daging tiljalan Haliotis asinina ..................................................................................... 31

7 . Sebaran frekuensi bobot conical appendage abalon Haliotis asinina .......................................................................... 32

8 . Hubungan panjang cangkang dan bobot total ....................................... 34

9 . Hubungan panjang cangkang dan bobot daging ........................... 35

10 . Hubungan bobot total dan bobot daging .................................... 36

11 . Hubungan bobot total dan bobot conical appendage ..................... 38

12 . Nilai faktor kondisi abalon menurut fase bulan ........................... 41

13 . Nilai faktor kondisi abalon menurut ukuran kelas panjang cangkang ............................................................ 42

14 . Nilai faktor kondisi menurut tingkat kematangan gonad ..................... 43

15 . Distribusi kkuensi tingkat kematangan gonad menurut fase bulan ............................................................ 45

16 . Disiribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang ................................................... 49

17 .Nil& GBI-t6 menurut fase bulan ............................................ 51

18 . Nilai GBI-tc menurut tingkat kematangan gonad ......................... 51

19 . Nilai GBI-tc menurut ukuran kelas panjang cangkang ................... 52

Page 12: C08sri.pdf

20 . Histologi tingkat kematangan gonad abalon jantan ....................... 56

21 . Histologi tingkat kematangan gonad abalon betina ....................... 57

22 . Distribusi fiekuensi ukuran diameter telur menurut tingkat kematangan gonad .......................................... 60

23 . Ukuran diameter telur menurut fase bulan ................................... 61

xii

Page 13: C08sri.pdf

Halaman

1. Foto cangkang abalon (Haliotis) tropis di perairan Indonesia @lidrink 1988 ~ Se@on0,2004) ..................................................... 68

...................... 2. Foto cangkang beberapa abalon (Haliotis) sub-tropis

3. Foto metode kerja pengambilan data dan sampel preparat ............................................................... histologi abalon

4. Metode pembuatan preparat histologi gonad abalon Haliotis asinina menurut Hermawati (2006) & Wibowo(2007) ......

5. Foto histologi gonad abalon Haliotis asinina matang (ripe) ............

6. Distribusi hkuensi panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage ...........................................................

7. Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin abalon Haliotis asinina jantan dan betina ..................................................................

8. Hasil atialia histolbgi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina ......................................

9. Faktor kondisi abalon Haliotis asinina ............................................

10. Nilai GBI-tc abalon Haliotis asinina ...............................................

11. Diameter telur abalon Haliotis asinina ...................................

12. Data analisa pengamatan indeks kematangan gonad ............................................................................ dan faktor kondisi

... Xlll

Page 14: C08sri.pdf

1.1 Latar belakang

Abalon atau siput mata tujuh adalah kelompok moluska laut yang

tergolong dalam genus Haliotis, hidup di zona intertidal sampai kedalaman 80-

100 m, tersebar di daerah tropis sampai sub-tropis. Dari sekitar 100 spesies

abalon yang tersebar di dunia, terdapat tujuh spesies yang ditemukan di perairan

Indonesia antara lain Haliotis asinina, H. varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra,

H. planate dan H. crebrisculpta (Dharma, 1988 & Setyono, 2004b). Spesies

Haliotis asinina merupakan abalon tropis terbesar dengan panjang cangkang

mencapai 12 cm, terdapat di sepanjang perairan Indo-Pasifik, termasuk di perairan

Indonesia timur seperti Lombok, Surnbawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua

(Setyono, 2004b). Spesies hi sejak lama ditangkap nelayan k a n a mdki nilai

ekonomi yang tinggi.

Di perairan Lombok dan Kepulauan Seribu, selama ini nelayan

menangkap abalon untuk diionsumsi atau dijual ke pasar ekspor. Aktivitas

penangkapan ini semakin meningkat seiring meningkatnya pennintaan komoditas

abalon di bebenpa negara di dunia, terutarna Jepang, China, Amerika Serikat, -

Hongkong, dan Taiwan. Akibat aktivitas penangkapan yang semakin meningkat,

serta belum adanya regulasi ukuran minimum abalon yang diperbolehkan

ditangkap, menyebabkan stok dam abalon spesies ini semakin menurun.

Teridentifikasi adanya penurunan jurnlah stadia induk abalon di alam untuk

bereproduksi, yang mengakibatkan penurunan j d a h serta semakin kecil ukuran

abalon hasil tangkap. Kondisi ini terkait dengan tingkat kematangan gonad induk

Page 15: C08sri.pdf

abalon untuk berpijah. Di wilayah beriklirn sedang, abalon umumnya memilii

periode musim bertelur yang bemariasi menurut spesies dan temperatur air

(Shepherd dan Law, 1974 & Setyono, 2004b; Ikenous dan Kafuku, 1992

Setyono, 2004b; Hooker & Setyono, 2004b; Creese, 1995; Wilson dan Schiel,

1995 & Setyono, 2004b). Abalon Haliotis asinina diietahui memijah sepanjang

tahun (Jarayabhan dan Paphavasit, 1998 & Setyono, 2004b; Capinpin et a]., 1998

in Setyono, 2004b), sehingga akan menyulitkan jika diterapkan pembatasan -

terhadap jumlah dan ukuran yang diperbolehkan untuk ditangkap pada saat

periode pemijahan. Oleh karena itu, penentuan ukuran pada saat induk abalon

matang gonad sangat penting diketahui sehingga dapat digunakan untuk

menentukan ukuran abalon yang diperbolehkan ditangkap, sehingga menjamin

keberlanjutan reproduksi induk abalon di dam.

Studi mengenai aspek reproduksi spesies abalon tropis Haliotis asinina

telah dilakukan di Thailand dan Filipina, sedangkan di Indonesia, studi ini telah

dilakukan di perairan Lombok selatan. Selain itu, pengembangan teknologi

budidaya abalon Haliotis asinina saat ini sedang dilakukan di beberapa Loka

Budidaya Perikanan di Lombok dan Bali. Spesies abalon Haliotis asinina juga

ditemukan dan ditangkap nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Oleh karena

itu, penelitian ini mengambil topik Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis

asinina Lin.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan

kematangan gonad dan ukuran pada saat pertarna kali matang gonad serta

Page 16: C08sri.pdf

menjelaskan informasi tentang morfometrik abalon Qopis Haliotis asinina yang

hidup di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Informasi ini diiarapkan dapat

digunakan untuk menjelaskan aspek reproduksi dan morfologi abalon tropis

Haliotis asinina sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan

penangkapan abalon yang berkelanjutan serta dapat diterapkan dalam

pengembangan budidaya abalon di Indonesia.

1.3 Kerangka pendekatan

Penelitian ini me~pZ+kaII studi perbandingan dari reproduksi abalon

Haliotis asinina yang telah dilakukan di perairan Lombok selatan. Pendekatannya

diawali dengan mempelajari hasil studi mengenai reproduksi abalon yang telah

dilakukan di perairan Lombok selatan, kemudian deskripsi ini dibandingkan

dengan abalon yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Page 17: C08sri.pdf

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi umum abalon

Klasifikasi abalon Haliotis asinina menurut Kruatrachue at al., (2004) :

Filum : Moluska

Subfilum : Conchifera

Superkelas : Visceroconcha

Kelas :Gastropods

Subkelas : Orthogastropoda

W e l a s : Vetigastropoda

Superfamili : Haliotoidea

Famili : Haliotidae

Genus : Halioiis

Spesies : Haliotis asinina (Limeus, 1758)

Siput abalon ditemukan di perairan dangkal pada daerah yang berkarang

atau berbatu yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Abalon

bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. -

Gerakan kaki abalon sangat lambat, sehingga memudahkan predator untuk

memangsanya (Tahang et aL, 2006).

Pada siang hari atau suasana terang, siput abalon lebii cendemg

bersembunyi di karang atau batu, sedangkan pada suasana malam atau gelap lebih

aktif melakukan gerakan berpindah tempat @enifat nocturnal). Ditinjau dari

segi perairan, kehidupan siput abalon sangat d i p e n g d kualitas air. Secara

Page 18: C08sri.pdf

umnm, spesies siput abalon mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-

beda, seperti Haliotis kamschatkana dapat hidup dalam suhu yang lebii dingin

sedangkan Haliotis asinina dapat hidup dalam air bersuhu tinggi sampai 30 "C

Parameter kualitas air yang berpengaruh yaitu pH antara 7-8, salinitas 3 1-32 ppt,

HzS dan NH3 kurang dari 1 ppm (Tahang et al., 2006).

Penyebaran siput abalon sangat terbatas. Tidak semua pantai yang

berkarang atau barbatu terdapat siput abalon. Secara umum siput abalon tidak

ditemukan di daerah estuaria. Hal ini berkaitan dengan fluktuasi salinitas dan

tingkat kekeruhan yang tinggi dan konsentrasi DO yang rendah. Siput abalon

me~pakan hewan herbivora pemakan makroalga (seaweeds) dan mikroalga.

Jenis alga yang biasa dimakan yaitu alga merah (Corallina, LLhothamium,

Gracillarla, Porphyaj, alga coklat (Laminaria, Macrocysis, Sargasum), alga

hijau (Ulvaj (Tahang et al., 2006).

2.2 Morfologi dan anatomi abalon

Watabe (1988) & Ramli (2003) menyatakan bahwa cangkang moluska

terdii dari lapisan dalam dan luar. Lapisan luar cangkang biasa disebut

periostracum yang me~pakan lapisan organik tipis, ketebalan lapisan ini -

berhubungan dengan habitat organisme. Lapisanperiostracum yang tebal

biasanya dijumpai pada organisme yang hidup di air tawar dan dataran tinggi,

sedangkan yang tipis dijumpai pada organisme yang hidup di daerah tropis.

Lapisan dalam cangkang meNpakaII lapisan kalsit yang terbagi atas lapisan

homogen, prismatik, foliat, nacreous, silimder bersilang dan lapisan kompleks

(Watanabe, 1988 & Ramli, 2003).

Page 19: C08sri.pdf

Abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas tubuh.

Cangkang berbentuk seperti telimga yang menutupi bagian tubuh yang lunak

(Gambar 1). Cangkang abalon berwama abu-abu sampai merah sesuai dengan

tipe karang di habitatnya (FAO, 1995). Cangkang abalon berbentuk spiral dengan

spire sangat tipis. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah

yang sesuai dengan ukuran abalon, semakin besar ukuran abalon maka semakin

banyak lubang yang terdapat pada cangkang yang tertata rapi mulai dari ujung

depan hingga belakang cangkang (Tahang, et aL, 2006).

Dibandingkan abalon yang hidup di sub-tropis, Haliotis asinina tergolong

spesies abalon yang berukuran kecil yang hidup di tropis. Panjang cangkang yang

mum diionsumsi adalah 6 cm. Ukurannya cukup kecil. Spesies abalon yang

sangat popular di Jepang dan Korea adalah ezoawabi (H discus hannai) yang

berukuran hingga 14 cm clan rnedaka (H gigantea) yang berukuran hingga 25 cm

(JIvlPMMA, 1980 & Faisal, 2005), sedangkan di Eropa, spesies abalon Haliotis

tuberculata dapat mencapai panjang cangkang 123 mm (Stephenson, 1924 &

FAO, 1995).

Gambar 1. Morfologi cangkang abalon Gambar 2. Anatomi abalon Haliotis Haliotis asinina asinina

Sumber : Riyadi, 2008 Sumber : Fistech Inc, 2001

Page 20: C08sri.pdf

Organ internal abalon tersusun di antara kaki dan cangkang (Gambar 2).

Organ yang paling tampak adalah gonad yang berbentuk seperti bulan sabit,

benvama abu-abu atau hijau pada betina dan coklat (cream) pada jantan. Gonad

menjulur pada sisi yang berlawanan pada lubang cangkang sampai pada bagian

belakang. Abalon mempunyai sepasang mata dan mulut dan sepasang tentakel

yang panjang. Di dalam mulut terdapat bagian seperti lidah yang panjang disebut

radula yang digunakan untuk menggaruk makanan seperti alga. Ruang insang

terdapat dekat mulut, di bawah lubang pernapasan. Air masuk melewati bawah

ujung cangkang dan kemudian mengalir melewati insang dan keluar melalui

lubang pada cangkang. Sisa pencemaan dan kelenjar kelamin dibawa keluar

bersama aliran air. Karena tidak adanya susunan syaraf sejati, abalon dianggap

sebagai hewan primitif. Abalon mempunyai jantung pada sisi kiri tubuh. Allan

darah mengalii melalui arteri, sinuses clan pembuluh darah (Fistech Inc, 2001).

2 3 Biologi reproduksi abalon

Studi mengenai aspek reproduksi abalon tropis Haliotis asinina telah

dilakukan di Filipina (Capinpin et al., 1998 & Setyono, 2005d); Thailand

(Jarayabhan dan Paphavasit, 1996 &z Setyono, 2005d); Australia (Jabreen et al.,

2000 &t Setyono, 2OOSd; Counihan eta]., 2001) dan Indonesia (Setyono, 2006).

Abalon bersifat gonokoris, memiliki satu gonad (jantan atau betina) yang

berada di sebelah kanan tubuh. Abalon mengalami matang gonad setelah benunw

6-8 bulan dengan panjang cangkang 35,O-40,O mm (Akuakultur Indonesia, 2006).

Jenis kelamin abalon mudah dikenali, yaitu ketika gonad telah masak, testes

berubah berwarna cream dan ovari menjadi kehijauan. Fertilisasi ekstemal tejadi

Page 21: C08sri.pdf

saat jantan dan'betina mengeluarkan gamet langsung ke kolom air. Ukuran telur

sangat kecil, sekitar 0,2 mm dan bejumlah sangat banyak. Fekunditas sangat

bergantung pada spesies. Dinyatakan pula bahwa fekunditas abalon memiliki

hubungan eksponensial dengan panjang cangkang dan memiliki hubungan linear

dengan bobot basah tubuh (Faisal, 2005).

Di wilayah sub-tropis, abalon mempunyai periode bertelur (breeding) yang

be~ariasi menurut spesies dan termperatur air (Shepherd dan Laws, 1974 &

Setyono, 2004b; Ikenous clan Kafuku, 1992 & Setyono, 2004b; Hooker dan

ereese, 1995 & Setyono, 2004b; Setyono, 2003 & Setyono, 2004b) sehingga

memudahkan untuk mencegah populasi abalon ditangkap pada saat periode

kematangan gonad, yaitu pada saat pun& musim pemijahan (spawning). Di

wilayah tropis, abalon ditemukan memifah sepanjang tahun (Capinpin et al., 1998

in Setyono, 2004a; Jarayabhan dan Paphavasit, 1996 & Setyono, 2004a; Setyono, -

2003 Setyono, 2004a) sehingga sangat sulit untuk mengatur populasinya

dengan menutup musim tangkapan, tetapi dapat dilakukan dengan membatasi

ukuran yang boleh ditangkap nelayan.

Pemijahan pada Haliotis asinina sangat teratur dibandingkan famili

Haliotid dan invertebrata laut lainnya Periode pemijahan cenderung serentak

(synchronous;). Peristiwa yang terjadi ini dipengaruhi lebii dari satu faktor

lingkungan. Musim pemijahan abalon di Heron Reef Australia, berlangsung dari

Oktober-April yang berhubungan erat dengan peningkatan temperatur air.

Pengeluaran gamet tejadi dalam 2 malarn setiap 2 minggu pada periode bulan

gelap clan pumama. Hubungan antara pemijahan dengan periode bulan (lunar

periode) belum diketahui secara pasti. Terkadang pemijahan berlangsung pada 2

Page 22: C08sri.pdf

lokasi populasi Haliotis asinina di Heron Reef, Australia. Diduga perbedaan

pasang surui sangat mempengaruhi pemijahan. Perseniax pemijahan terbesar,

terjadi ketika ada kehadiran kelamin abalon yang berlawanan. Frekuensi ejakulasi

jantan tertinggi ketika ada kehadiran betina. Di tempat budidaya abalon,

pemijahan serentak terjadi dalam 6 minggu dan setelah periode ini pemijahan

menjadi tidak teratur dan tidak serentak (Counihan et al., 2001).

2.4 Nisbah kelamin (sex ratio)

Jarayabhan dan Paphavasit (1996) & Setyono (2005e); Capinpin et al.,

(1998) & Setyono (2005e) menyatakan bahwa tidak ada perbedan ukuran tubuh

Haliotis asinina antara jantan dan betina pada saat dewasa. T i a t

perkembangan dari mortalitas pada populasi abalon jantan dan betina relatif sama.

Fenomena ini cendemg seragam pada genus Haliotis lainnya. Meskipun

demikian, di perairan Lombok, Indonesia, Setyono (2005e) menemukan bahwa

ukuran panjang cangkang pada abalon jantan dan betina terlihat berbeda. Abalon

betina berukuran maksimum lebii besar dibanding jantan.

Pada beberapa jenis abalon, dilaporkan memilii nisbah kelamin 1 :1,

seperti H. roei dan H. cyclobates di Australia Selatan (Skpherd clan Laws, 1974

in Setyono, 2004b), H. fulgens, H. corrugata dan H. sorenseni di Caliornia -

Selatan (Tutschulte dan Connell, 1981 & Setyono, 2004b), H. iris dan H. aus?ralis

di New Zeland (F'oore, 1973; Wilson clan Schiel, 1995 & Setyono, 2004b), H.

midae di Afrika Selatan (Wood dan Buxton, 1996 & Setyono, 2004b) dan H.

ovina, H. varia dan H. asinina di Thailand dan Filipina (Jarayabhan dan

Papbavasit, 1996 & Setyono, 2 004b); Capinpin et al., 1998 & Setyono, 2004b).

Page 23: C08sri.pdf

Di perairan Lombok, ditemukan bahwa nisbah kelamin abalon jantan dan betina

pada ukuran panjang cangkang <50,0 mrn tidak berbeda nyata dari 1:1,

sedangkan pada ukuran panjang cangkang >SO,O mm, abalon memiliki nisbah

kelamin yang berbeda nyata dari 1:l (Setyono, 2004b).

Di beberapa wilayah seperti Jawa, Maluku, Bali, dan Lombok, populasi

abalon tropis terus menurun karena eksploitasi yang b e r l e b i . Jumlah hasil

tangkap semakin menurun dan abalon yang ditangkap juga semakin berukuran

kecil (Setyono, 2005e).

2.5 Faktor kondisi

Faktor kondisi (Kn) mempakan indikasi umum yang digunakan untuk

mengetahui kegemukan biota dalarn bentuk an& Faktor kondisi menunjukkan

keadaan biota dilihat dari kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan

proses reproduksi (Effendie, 1979). Faktor kondisi mempakan derivat dari

pertumbuhan rdatif yang tergantung pada ketersediaan makanan, umw, jenis

kelamin, dan kematangan gonad.

2.6 Tingkat Kematangan Gonad W G ) *

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan bagian dari aspek

reproduksi biota sebelum terjadi pemijahan yaitu perkembangan gonad yang

semakin masak. Penentuan TKG dapat digunakan untuk menggambarkan umw

atau ukuran biota mencapai matang seksual, waktu dan tempat pemijahan

(Atmadja, 1994 & M i , 2003). Selama proses itu, sebagian besar hasil

metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan te jadi

Page 24: C08sri.pdf

perubahan bobot dalam gonad tersebut Wffendie, 1979). TK6 pada tiap waktu

bervariasi. TKG biota laut dengan nil& tinggi akan didapatkan paling banyak

pada saat menjelang pemijahan (Effendie, 1979).

Penentuan tingkat kematangan gonad didasari pada penampalcan sperma

atau ovari pada sampel histologi jaringan gonad. Tingkat perkembangan gonad

ditandai dengan k e h a d i i garnet pada fase spesifik-gametogenesis. Setyono

(2006) membagi gonad abalon pada lima tingkat tahap perkembangan gonad yaitu

previtellogenic (immature danproliferative) maturing, ripe, partly spawned, clan

spent. Volume yang besar dari testes atau ovari menunjukkan tingginya tingkat

kematangan gonad pada abalon. Semakin matang gonad maka akan semakin jelas

bentuk dari tabung atau tempat penyimpanan sperma atau sel telur (Yulianda et

at., 2000 & Ramli, 2 003).

2.6.1 Perkembangan garnet

2.6.1.1 Spermatogenesis

Webber (1977) & Ramli (2003) menyatakan bahwa yang terjadi dalam

spermatogenesis adalah sebagai berikut :

1. Spermatositogenesis

Pada tahap ini terjadi pembentukan spermatogonia (*5 p) yang

membelah secara mitosis dan kebanyakan memiliki nucleolus tunggal yang

disebut spermatosit I. Spermatosit I ini dicirikan dengan pertambahan volume

sitoplasma dan perubahan kecil pada nucleus. Pada beberapa spesies pertambahan

volume sitoplasma ini menyebabkan dinding inti menghilang. Selanjutnya akan

terjadi pembelahan yang pertama dan menghasilkan spennatosit 11. Pada

Page 25: C08sri.pdf

spermatosit 11, nucleus akan mengalami perubahan bentuk. Tahap ini diakhiri

dengan periode kematangan kedua.

2. Spermiogenesis

Spermiogenesis merupakan tahap lanjutan spermatosit II menjadi

spermatid dan akhirnya akan membentuk spermatozoa yang akan digunakan

dalam proses fertilisasi.

2.6.1.2 Oogenesis

Tahap Oogenesis menurut Webber (1977) & Ramli (2003) adalah sebagai

beikut :

1. Perubahan premeiosis

Peristiwa yang terjadi pada premeiosis adalah : a) merupakan tahap

oogonial, nucleus berukuran kecil dan homogen; b) nucleus tumbuh dan kromatin

tersebar ke dalam nucleus; c) ukuran nucleus clan nucleolus bertambah dan

kromosom dapat dilihat; d) te jadi vltellogenesis pada sitoplasma; e) pertumbuhan

penuh oosit, nucleus bergerak ke arah permukaan oosit.

2. Pertumbuhan sitoplasma

Pada saat nucleus beaambah besar, maka massanya pun bertambah.

Pertambahan sitoplasma berkaitan erat dengan perkembangan oosit. Tahapan

yang terjadi adalah : a) oosit muda dikelilingi sel folikel ; b) penyerapn

sitoplasma yang mengakibatkan perkembangan oosit ; c) penyerapan kembali sel

folikel ke dalam oosit.

3. Tahap kematangan

Sentrosom mulai terlihat dan berhubungan dengan inti. Kromarin granula

menjadi kromosom. Membran inti yang mengeliligi germinal vesikel

Page 26: C08sri.pdf

hilang memasuki tahap metafase dan replikasi kromosom.

2.7 Ukuran pertama matang gonad

Faktor-faktor yang mempengaruhi saat biota laut pertama kali mencapai

matang gonad yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam yang berpengaruh antara

lain umur, ukuran serta sifat fisiologi individu, sedangkan faktor luar antara lain

suhu, arus, dan adanya individu yang be rjenis kelamin berbeda pada tempat

berpijah yang sama (Lagler et al., 1962 & Ramli, 2003). Di daerah tropis, diduga

faktor yang berperan besar adalah suhu dan musim (Aida et a1.,1992 Ramli,

2003).

2.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) I Gonad Bulk Index (GBI-tc)

Indeks kematangan gonad (lKG) adalah nilai yang dapat menggambarkan

perubahan kondisi yang terjadi pada gonad secara kuantitatifyang merupakan

nilai perbandingan bobot gonad dan bobot total yang dinyatakan dalam persen.

Nilai K G akan meningkat dan mencapai maksiium pada saat menjelang

pemijahan dan menurun setelah pemijahan.

Gonad Bulk Index of Tutschulte and Connell (1986) (GBI-tc) (F'oore, -

1973; Shepherd dan Law, 1974; Creese, 1980; Joll, 1980; Tutschulte dan Connell,

1981; Hooker dan Creese, 1995; Wilson dan Schiel, 1995; Wood dan Buxton,

1996; Ward dan Davis, 2002 & Setyono, 2006) umumnya digunakanpada

moluska untuk menduga siklus reproduksi tahunan. GBI-tc dihitung bedasarkan

perubahan volume gonad. Hann (1989a) & Setyono (2006) menggunakan metode

analisa terhadap gonad untuk menjelaskm siklus reproduksi beberapa Haliotis,

Page 27: C08sri.pdf

seperti indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad, dan frekuensi

ukuran telur. GBI-tc me~pakan metode paling sederhana clan banyak digunakan

pada Haliotis, meskipun demikian masih ditemukan beberapa bias kesalahan pada

penggunaannya (Shepherd dan Law, 1974 & Setyono, 2006; Hann, 1989a @

Setyono, 2006).

Gonad Bulk Index oflhtschulte and Connell(1986) ((GBI-tc) digunakan

untuk menerangkan siklus perkembangan gonad yang akurat dan sensitif pada

pembahau volume gonad, terutama pa& saat periode pemijahan total, pemijahan

sebagian dan setelah pemijahan. Pada saat tejadi peningkatan volume gonad

berarti terjadi peningkatan ukuran telur dan jumlah sperma pada akhir

kedewasaan. Dengan demikian, pengurangan volume gonad dianggap sebagai

pelepasan sperms atau telur setelah pemijahan.

GBI-tc juga telah digunakan oleh Capinpin et al., (1998) & Setyono

(2006) untuk menjelaskan siklus reproduksi Haliotis asinina di perairan Filipina.

Capinpin et al., (1998) & Setyono (2006) menyatakan bahwa nilai m a k s i i

GBI-tc Haliotis asinina di Filipina mendekati 57 pada jantan dan 70 pada betina.

Di Indonesia, Setyono (2006) menyatakan bahwa nilai maksimun GBI-tc sebesar

122,5 pada jantan dan 157,l pada betina. -

2.9 Diameter telur

Effendie (1979) menyatakan bahwa diameter telur semakin membesar

dengan berkembangnya gonad. Hal ini disebabkan adanya pengendapan k e g

telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir minyak secara bertahap dalam

perkembangan tingkat kematangan gonad.

Page 28: C08sri.pdf

Diameter telur semakin membesar seiring dengan meningkatnya .

kematangan gonad saat biota mendekati pernijahan (Effendie, 1979). Ukuran

telur digunakan untuk menentukan kuantitas kandungan kuning telur. Telur yang

berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran lebii besar dibanding

larva yang d i h a s i i telur berukuran kecil (Effendie, 1979). Wotton (1983) @

Wibowo (2007) menyatakan bahwa biota yang mempunyai pola pemijahan

berganda akan mengeluarkan telur yang mempunyai ukuran yang lebih kecil pada

pemijahan berikutnya Ukuran telur biota dapat dinyatakan dalam banyak cara

yaitu dengan diameter tunggal maupun diameter terpanjang dan lebar telur

(Tamsil, 2000 @ Wibowo, 2007).

Frekuensi pemijahan &pat diduga dari penyebaran ukuran diameter telur

pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan meli i t modus penyebarannya

(Lumbanbatu, 1979 & Sanusi, 2000), sedangkan periode pemijahan dapat diduga

dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak

berukuran sama besar semua, menunjukkan periode pemijahan yang pendek,

sedangkan periode pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai oleh

banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Lumbanbatu, 1999 &

Sanusi, 2000). -

Ukuran telur abalon sangat kecil yaitu sekitar <0,2 mm dan berjumlah

sangat banyak. Fekunditas sangat tergantung pada spesies. Haliotis laevigata

dilaporkan mampu menghasilkan 2 juta telur, sedangkan Haliotis discus hannai

mampu menghasilkan 10 juta telur (Fallu, 1991 & Faisal, 2005). Pena (1986) jg

Faisal(fOO5) menyatakan bahwa Haliotis coccinea canariensis memiliki diameter

0,103 mrn dan diameter kuning telur 0,08 mm. Fekunditas m d i hubungan

Page 29: C08sri.pdf

eksponensial dengan panjang cangkang d& memiliki hubungan linear dengan

bobot tubuh. Hal tersebut tarnpak pada jumlah telur yang diielwkan oleh

Haliotis canariensis pada ukuran 29 mm sebanyak 11.000 butir mencapai 70.000

butir pada ukuran 49 mm. Telur abalon tidak melayang dan pada air tenang akan

tenggelam. Namun karena ukurannya yang sangat kecil, dan massa jenisnya yang

tidak jauh berbeda dari massa jenis air laut, gerakan air sed'ikit saja dapat

mengangkat telur-telur ini ke kolom air (Fallu, 1991 & Faizal, 2005).

2.8 Histologi sel gonad

Histologi adalah cabang biologi yang mempelajaii tentang jaringan

(Banks, 1986 & Ramli, 2003). Histologi sel gonad mentpakan cara pengamatan

terhadap jaringan sel gonad secara mikroskopis.

Pada histologi sel gonad Checoreus capucims (fatnili Muricidae)

menunjukkan bahwa pada gonad gastropods jantan, perkembangan gonad dapat

t e r l i i pada pe~bahan-pe~bahan yang te rjadi pada seminiferous tubulus.

Kematangan gonad jantan ditunjukkan dengan adanya spermatozoa. Pada betina,

tingkat kematangan gonad ditandai dengan perkembangan germital epithelium

dan ukuran diameter telur yang semakin membesar.

Page 30: C08sri.pdf

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan waktu

Pengambilan sampel abalon dilakukan setiap selang waktu satu minggu

dari tanggal 30 Maret -1 Mei 2008 pada fase bulan gelap (mati), transisi I (quarter

I), purnama dan transisi I1 (quarter 11). Sampel abalon diperoleh dari hasil

tangkapan nelayan di sekitat perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Proses

pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Penyakit Ikan, Fakultas

Perikanan dan Ihnu Kelautan, sedangkan pengamatan preparat histologi dilakukan

di Laboratorium Biologi Laut, Fakultas Perikanan dan Ihnu Kelautan, dan

Laboratotium Anatomi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor.

3.2 Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah kantung platik, plastik

transparansi, sarung tangan, handukhh, jangka sorong, neraca EleRfrik, alat

bedah, lamtan Bouin 3, akohol70%, botol film, mikroskop, mikrometer okuler,

dan kamera digital bermerk Canon Powershot A570IS beresolusi 7,l MP. -

3 3 Metode kerja

33.1 Pengumpulan sampel

Sampel abalon diambil dari nelayan pengumpul di Pulau Panggang, yang

mempakan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Kepulauan Seribu, DKI

Jakarta.

Page 31: C08sri.pdf

Gonad abalon diambil selama 3 hari pada setiap fase bulan, yaitu pada fase

bulan gelap, transisi I, pumama, dan transisi 11. Gonad diawetkan dalam larutan

Bouin's selama minimal 24 jam dan maksiial72 jam, kemudian sampel

dipindahkan ke dalam larutan alkohol70%, selanjutnya dibawa ke Laboratoriurn

Penyakit Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,

untuk diproses menurut standar histologi.

3.3.2 Pengukuran panjang cangkang dan bobot

Pengukuran panjang cangkang dan bobot total abalon dilakukan di Pulau

Panggang. Sampel abalon adalah hasil tangkapan nelayan yang d i p u l k a n oleh

nelayan pengumpul pada waktu pengambilan data. Untuk abalon yang berukuran

30,O-60,O mm, sebanyak minimal 15 ekor jantan dan 15 ekor betina dibawa ke

Taman Nasional Kepulauan Seribu, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu untuk

dilakukan pembedahan dan penimbangan bobot daging dan bobot conical

appendage (gonad dan kelenjar pence-).

Sebelum pengukuran dilakukan, sampel abalon diletakkan pada

handukikain kering untuk menyerap air dari tubuh dan cangkangnya. Selanjutnya

dilakukan pengukuran terhadap panjang caugkang (shell length/SL) dan bobot -

total. Pembedahan dilakukan untuk memisahkan conical appendage dari tubuh

dan cangkang. Panjang cangkang diukur dengan menggunakan jangka sorong

dengan ketelitian 0,l rnrn. Secara berumtan, setelah pengulcuran panjang

cangkang, dilanjutkan dengan menimbang abalon dengan mengguuakan neraca

EleRtrlik dengan ketelitian 0,01 gram yaitu penimbangan bobot total (body

weightiBW) dilanjutkan penimbangan bobot daging (meat weightlMW) yaitu

Page 32: C08sri.pdf

bobot setelah cangkang dan conical appendage dipotong dari tubuh abalon. Hal

ini dilakukan untuk menduga hubungan panjang cangkang dan bobot. Bobot

conical appendage juga ditimbang untuk menentukan hubungan bobot gonad dan

bobot total.

3.4 Analisa data

3.4.1 Hubungan panjang-bobot

Metode regresi yang digunakan untuk menghitung hubungan panjang

bobot adalah dengan rumus (Effendie, 1979), yaitu :

W= a~~

LogW=Loga+bLogSL

D i i a : W = Bobot abalon (gram)

L = Panjang cangkang (mm)

Bedasarkan pola hubungan linear, dapat dilihat korelasi parameter dari

hubungan panjang-bobot yang dapat d i l i i t dari nilai konstanta b (sebagai

pendugaan tingkat keeratan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesa :

1. J i i b=3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama

dengan pertumbuhan bobot). -

2. Jika b#3, dikatakan memiliki hubungan allometrlk yaltu pola hubungan

panjang tidak sama dengan pola pertumbuhan bobot.

Untuk menentukan pola pertumbuhan dari persamaan panjang-bobot

menggunakan uji-t (Steel dan Tome, 1995 &z Sanusi, 2000) terhadap nil& b pada

selang kepercayaan 95%. Apabila nilai hitung< maka terirna Ho, artinya nilai

b=3 sehingga pola pertumbuhan isometrik, sedangkan apabila > &I maka

Page 33: C08sri.pdf

tolak Ho, artinya nilai W3,sehingga pola perhunbuhannya adalah allometrik

negatif @<3) atau allometdc positif (b3).

3.4.2 Nisbah kelamin (sex ratio)

Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah antara

abalon jantan dan betina. Nisbah kelamin dihitung dengan rumus :

Keterangan :

X = Nisbah kelamin

M = Jumlah abalon jantan (ekor)

F = Jumlah abalon betina (ekor)

Keseragaman sebaran nisbah kelamin dihitung dengan uji Chi-square

(Steel dan Tome, I995 & Sanusi, 2000).

Keterangan :

h2 = peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri khi

kuadrat.

Oi = frekuensi abalon jantan dan betina yang diamati.

ei = kkuensi harapan, yaitu frekuensi rata-rata abalon jantan ditambah

betina

Page 34: C08sri.pdf

3.4.3 Faktor kondisi

Faktor kondisi dihitung dengan rumus sistem metrik (Effendie, 1979), yaitu

Keterangan : ' W = Bobot individu (gram)

L = Panjang cangkang (mm)

Rumus ini digunakan apabila pola hubungannya isometrik, sedangkan

apabila pola hubungannya dlometrik digunakan rumus :

Keterangan : a, b = konstanta

Dengan nilai a diperoleh :

L O ~ W X ~ ~ C ( L O ~ L ) ~ - yxC ~ o ~ z x ~ ( ~ o ~ z x ~ o g w ) Log a G

N X ~ ( L O ~ L ~ ) - (Z LO~L)'

Makk untuk mencari nilai b :

3.4.4 Anaka Indeks Kematangan Gonad (GBI-tc)

Analisa Indeks Kematangan Gonad dilakukan dengan menggunakan

Indeks Kematangan Gonad modifikasi (GBI-tc) dari Tutschulte dan Connell

(1981) oleh Setyono (2006). Metode ini menghasilkan pendugaan yang akurat

dengan memperkirakan perubahan volume gonad sebagai indikator yang baik

pada kematangan gonad H. rufescens, H. @/gens, H. corrugata dan H. sorenseni

Page 35: C08sri.pdf

(Tutschulte clan Connell, 1981 & Setyono, 2006) dan Haliotis asinina (Setyono,

2006).

Conical appendage dipisabkan dari tubuh abalon dengan cara memotong

pada bagian dekat dasar lempeng visceral. Pengukuran lebar dan tinggi conical

appendage dilakukan melahi titik tengah conical appendage. Secara skematik

pengukuran bagian-bagian conical appendage dilukiskan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema conical appendage

Ketemngan Gambar :

A : Skema conical appendage yang memperlihatkan gonad (G) dan

kelenjar pencemaan @G), 1 = panjang conical appendage

B : Skemapotongan melintang yang diambil dari titik tengah conical 7

appendage, x = lebar conical appendage, y = tinggi conical

appendage, a = lebar kelenjar pencernaan b = tinggi kelenjar

pencernaan (digestive gland) (Tutschulte dan Comell, 1982 & Hahn,

1989a & Setyono, 2006)

Page 36: C08sri.pdf

GBI-tc dihitung dengan membagi perkiraan volume gonad (EGV) dengan

bobot total (BW). EGV dihitung dengan persamaan (Tutschulte clan Comell,

1981 & Setyono, 2006) yaitu :

D i a n a : 1 : Panjang conical appendage (mm)

x : Lebar conical appendage (mm)

y : Tinggi conical appendage (mm)

a : Lebar kelenjar pencernaan (digestive gland) (mm)

b : Tiggi kelenjar pencernaan (mm)

Sedangkan nilai GBI-tc dicari dengan persamaan :

EGV GBI-tc = -

BW

GBI-tc : Gonad bulk index (cmlgram)

EGV : Estimated gonad volume (cm)

BW : Bobot conical appendage (gram)

GBI-tc dihitung pada sampel abalon yang berukuran 30,O-60,O mm. Nilai

rata-rata diplotkan terhadap ukuran panjang cangkang, tingkat kematangan gonad

dan fase bulan (lunar period).

Page 37: C08sri.pdf

3.4.5 Analisa Tigkat Kematangan Gonad (TKG)

Setelah pengukuran GBI-tc, gonad diawetkan dalam larutan Bouin 's untuk

waktu selcurangnya 24 jam. Jaringan gonad selanjutnya diproses dengan

menggunakan prosedur standar histologi menurut Hermawati (2006) & Wibowo

(2004) (Lampiran 2).

Kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat perkembangan

kematangan gonad berdasarkan Setyono (2006) hasil modifikasi dari Wood dan

Buxton (1996) dan Capinpin el a1 (1998) seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Page 38: C08sri.pdf

Tabel 1. Kriteria tingkat kernatangangonad abalon Haliotis asinina (Setyono, 2006)

Tigkatan

I diameter mencapai 50 pm. Ripe/Matang I Testes telah pen& I Ovari mengandung telur

Prol~erative

Maturing

Immature I Gonad dicirikan dengan 1 Sama dengan jantan. fantan Betina

sedikit atau tanpa germinal epitelium di antara epidermis terluar clan kelenjar pencemaan. . Spermatogonia berdiameter 5 pm yang berasosiasi dengan

. trabeculae.

Fase gametogenesis berada di sekitar tubulus. Lapisan tipis spermatid atau spermazoa mulai Zampd.

dengan spermatozoa.

Spent/Memijah total l------

Oogonia krdiameter 5-1 0 p t , bermsiasi defigah trabeculae. Oogonia yang . berdiameter 1045 p terkelompok pada dindiig trabeculae. Tahap kematangan awal ovari yang mengandung telur bertangkai, berdiameter 25-30 p. Vitellogenesis terinisiasi pada tatrap ini.

yddg

terlwba? menjadi bertangkai dengan

dengan diameter 2120 p. Telur yang matang lepas dari .trabeculae dengan diameter rata-rata 135 pm.

1 ,

L ( trabeculae abu tubulus. (

Ovari mengandung telur matang yang berkurang.

Partly spawned/ Memiiah sebagian

dimana spermatozoa mengosongkan diri, sedangkan area lainnya tampak matang.

Gonad kehilangan garnet yang yang tampak hanya aktivitas gametogenetik ymg tidak penting. Lumen gonad hancur dengan melipat

Ruang testes tampak nyata di sekitar tubulus,

Lumen gonad hancur secant partial dengan melipat dinding trabeculae. Sejumlah telur yang matang mash tersisa clan sejumlah atea masih penuh dengan telur yang matang. Ovati mempunyai beberapa sisa telw yang matang, tetapi telur previtellogenitic yang dominan.

Page 39: C08sri.pdf

3.4.6 Penentuan ukuran pertama matang gonad

Ukuran pertama matang gonad pada populasi abalon, ditentukan

berdasarkan ukuran panjang cangkang abalon, dimana ditemukan lebih dari

50,00% sampel abalon dalam satu kelas ukuran panjang cangkang yang memiliki

gonad pada tingkat kematangan ripe, partly spawned dan spent.

3.4.7 Penpkuran diameter telur

Diameter telur abalon diukur dari pengamatan sampel histologi. Sampel

histologi abalon diletakkan be rjajar di atas gelas objek dengan metode penyapuan

dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan &meter okuler.

Milcrometer okuler tersebut ditera dengan mikrometer objektif dengan

perbesararan 10 kali. Ukuran telur ditentukan berdasarkan pengukuran sebanyak

44 telur dari setiap sampel abalon Perkembangan telur dicirikan dengan ukuran

rata-rata telur terhadap tingkat kematangan gonad.

Page 40: C08sri.pdf

4. EASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Struktur ukuran

Ukuran panjang cangkang (SL =shell length) abalon Haliotis asinina

terpanjang pada individu yang diarnati yaitu 77,l mm pada jantan dan 76,6 mm

pada betina, sedangkan panjang terendah, yaitu 33,O mm pada jantan dan 32,2 mm

pada betina Ukuran panjang cangkang rata-rata sebesar JO,:! mm pada jantan dan

53,O mrn pada betina. Hasil ini menunjukkan bahwa panjang cangkang yang

ditemukan pada individu abalon jantan lebih besar dibanding yang betina,

sedangkan pada populasi, panjang cangkang rata-rata abalon jantan lebih kecil

dibanding bet- Setyono (2006) menemukan bahwa individu abalon Haliotis

asinina di perairan Lombok memiliki panjang terpanjang sebesar 89,O mm pada

jantan dan 91 ,O mm pada betina, sedangkan panjang cangkang rata-rata sebesar

60,O mm pada jantan dan 61,O mm pada betina. Dari ha1 ini, menunjukkan bahwa

pada individu maupun populasi, abalon yang hidup di Kepulauau Seribu memiliki . panjang wgkang lebih kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.

Berdasarkan studi perbandingan ini, diketahui bahwa pada individu,

abalon yang ditemukan di Kepulauan Seribu dan perairan Lombok terdapat -

perbedaan struktur ukuran panjang cangkang, tetapi pada populasi, menunjukkan

adanya kesamaan, yaitu abalon jantan berukuran lebii kecil dibanding betina.

Dengan demikian, studi perbandigan ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup

di Kepulauan Sedbu memiliki ki panjang cangkang yang lebih kecil

dibanding yang hidup di perairan Lombok.

Page 41: C08sri.pdf

Pada abalon jantan, bobot total @W = body weight) terbesar yaitu 57,84

gram dan terendah yaitu 4,88 gram. Pada abalon, betina bobot total terbesar yaitu

41,31 gram dan terendah yaitu 3,81 gram. Bobot total rata-rata sebesar 19,61

gram pada jantan dan 20,29 gram pada betina Setyono (2006) menemukan

bahwa abalon yang hidup di perairan Lombok m e d i bobot total terbesar

103,50 gram pada jaatan dan 13020 gram pada betina, sedangkan bobot total

rata-rata sebesar 41,20 gram pada jantan dan 44,50 gram pada betina Studi

perbandingan ini menunjukkan bahwa pada individu maupun populasi, abalon

yang hidup di Kepulauan Seribumemiliki bobot total yaag lebihrendah dibandang

yang hidup di perairan Lombok.

Pada abalon jantan, bobot daging (MW = meat weight) terbesar yaitu

40,56 gram dan teradah yaitu 339 gram. Pada abalon betina, bobot daging

terbesar yaitu 24,94 gram dan yang terendah yaitu 2,10 gram. Bobot daging rata-

rata sebesar 14,62 gram pada jantan dan dan 13,04 gram pada betina. Ukuran

bobot daging diwakili 67,88% dari bobot total pada jantan dan 65,94% pada

betina. Setyono (2006) menemukan bahwa bobot daging pada jantan diwakili

67,000Jo dan betina 66,10% dari bobot total. Ukuran rata-rata bobot daging

sebesar 27,90 gram pada jantan dan 29,90 gram pada betina. Studi perbandimgan -

ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu memiliki bobot

daging yang lebih kecil dibandhg yang hidup di perairan Lombok, tetapi proporsi

bobot daging terhadap bobot totalnya memiliki nilai yang hampir sama.

Pada abalon jantan, bobot conical appendage (CW = conical appendage

weight) terbesar yaitu 12,85 gram dan terendah yaltu 0,f 6 gram, sedangkan pada

abalon betina, bobot conical appendage terbesar yaitu 24,40 gram dan terendah

Page 42: C08sri.pdf

yaitu 0,54 gram. Bobot rata-rata conical uppenduke sebesar 2,20 gram pada

jantan dan 2,68 gram pada betina Setyono (2006) menemukan bahwa bobot rata-

rata conical appendage abalon yang hidup di perairan Lombok sebesar 3,00 gram

pada jantan dan 3,10 gram pada betina Studi perbandingan ini menunjukkan

bahwa bobot conical appedage abalon yang hidup di Kepulauan Seribu lebih kecil

dibanding yang hidup di perairan Lombok.

Dari studi perbandingan di atas, diketahui bahwa terdapat perbedan

panjang cangkang dan bobot (bobot total, bobot daging dan bobot conical

appendage) abalon. Abalon yanghidup di Kepulauan Seribu memiliki b a n

panjang dan bobot yang lebii kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.

Penyebab perbedan ini diduga adalah kondisi faktor lingkungan perairan di kedua

lokasi, terutama kelimpahan makanan berupa alga baik kualitas maupun kuantitas.

Setyono (2006) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas makanan di perairan

Lombok mendukung untuk pertumbuhan abalon. Selain itu, tekanan penangkapan

abalon yang tinggi di perairan Kepulauan Seribu diduga menjadi penyebab

terjadinya kondisi tersebut.

4.2. Diitribosi nkuran

4.2.1 Panjang cangkang

Distribusi frekuensi ukuran panjang cangkang abalon disajikan dalam

Garnbar 4. Distribusi fiekuensi ukuran panjang cangkang menunjukkan bahwa

pada abalon jantan, frekuensi tertinggi (29,75%) didapati pada ukuran kelas 45,l-

50,O mrn yaitu sebanyak 47 ekor, sedangkan fiekuensi terendah (0,63%) didapati

pada kelas 75,l-80,O mm yaitu sebanyak 1 ekor

Page 43: C08sri.pdf

30,0350 35.W0.0 40.l45.0 45F50.0 50.F56.O 56150.0 60.1550 65F70.0 70.+750 75F80.0

Ukuran kelaspanjang eangkang (rnrn)

Gambar 4. Sebaran frekuensi panjang cangkang abalon Haliotis asinina

Pada abalon betina, frekuensi tertinggi (23,21%) didapati pada ukuran

kelas 50,l-55,O mm yaitu sebanyak 39 ekor, sedangkan frekuensi terendah

(1,19%) didapati pada kelas 95,l-80,O mm y a h sebanyak 2 ekor. Hasil ini

menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu telah mengalami

tekanan penangkapan secara intensif, yakni semakin sulit untuk memperoleh hasil

tangkap pada ukuran besar 0 5 5 mm pada jantan clan >60 mm pada betina).

Pada ukuran kelas 255,l mm, abalon betina ditemukan dengan frekuensi

yang lebii tinggi dibanding jantan. Hal ini diduga karena abalon jantan berukuran

maksimum lebih kecil dibanding betina karena jantan telah terlibat dalam proses

reproduksi lebih cepat dengan ukuran lebih kecil dibanding betina, sehingga

sebagian besar energi digunakan untuk reproduksi bukan untuk pertumbuhan.

4.2.2 Bobot total

Distribusi frekuensi bobot total abalon (Gambar 5), menunjukkan bahwa

pada abalon jantan, fekuensi teainggi (45,92%) didapati pada ukuran kelas 10,Ol-

20,OO gram yaitu sebanyak 62 ekor, sedangkan frekuensi terendah (0,74%)

Page 44: C08sri.pdf

didapati pada ukuran kelas 50,O-60,OO gram yaitu sebanyak 1 ekor. Pada abalon

betina, ftekensi tertinggi (47,36%) didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram yaitu

sebanyak 54 ekor, sedangkan ftekuensi terendah (0,88%) didapati pada ukuran

kelas 40,Ol-50,OO gram yaitu sebanyak 1 ekor. Dari hasil ini diketahui bahwa

abalon yang hidup di Kepulauan Seribu banyak diambil pada ukuran kelas bobot

total 10,Ol-20,OO gram baik pada jantan atau betina. Dengan demikian, semakh

sulit ditemukan abalon dengan bobot total >30,00 gram pada jantan dan betina.

I 0.0+0.00 0.0%20.00 20.0+30.00 3O.OMO.00 40.0%50.00 50.00-60.00

Ukuran kelas bobot total (gr)

Gambar 5. Sebaran frekuensi bobot total abalon Haliotis asinina

4.2.3 Bobot daging

Distribusi frekuensi bobot daging abalon ini disajikan dalam Gambar 6.

0.0+0.00 O.O+ZODO 20.0+30.00 30.0M0.00 40.0F45.00

Ukuran kelas bobot daging (gr)

Gambar 6. Sebaran frekuensi bobot daging abalon Haliotis asinina

Page 45: C08sri.pdf

Berdasarkan distribusi frekuensi bobot daging di atas, diketahui bahwa

pada abalon jantan, fekuensi tertinggi didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram,

sedangkan frekuensi terendah didapati pada kelas 30,Ol-40,OO gram. Pada abalon

betina, frekuensi tertinggi didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram, sedangkan

fiekuensi terendah didapati pada kelas 30,Ol-40,OO gram. Hasil ini menunjukkan

bahwa bobot daging abalon yang hidup di Kepulauan Seribu pada ukuran panjang

cangkang 30,O-60,O mm, banyak ditangkap pada ukuran kelas bobot daging

10,Ol-20,OO gram. Dengan demikian, akan semakin sulit menemukan abalon

dengan bobot daging >20,00 gram, baik pada jantan maupun betina.

4.2.4. Bobot wnical appendage

Pengukuran bobot conical appendage dilakukan pada sampel abalon

berukuran panjang cangkang 30,O-60,O mm. Distribusi frekuensi bobot conical

appendage abalon disajikan dalam Gambar 7.

O.O+'LW 10%2.W 2.0U.00 3.0i4.W

Ukuan kelas bobot conical appendage (gr) 1 Gambar 7. Sebaran hrekuensi bobot conical appendage abalon

Haliotis asinina

Distribusi fiekuensi bobot conical appendage (Gambar 7 ) menunjukkan

bahwa pada abalon jantan dan betina, fiekuensi tertinggi didapati pada kelas 1,Ol-

Page 46: C08sri.pdf

2,00 gram, sedigkan frekuensi yang terendah didapati pada kelas 0,Ol-1,00 gram

pada jantan clan 3,Ol-4.00 gram pada betina. Hasil ini menunjukkm bahwa

sebagian besar abaion pada ukuran panjang cangkang 30,O-60,O mm, mempunyai

bobot conical appendage sebesar 1,01 gram sampai 2,00 gram.

4.3. Hubungan panjang-bobot

4.3.1 Panjang caugkang dan bobot total

Hasil analisa regresi linear hubungan panjang dan bobot total pada abalon

jantan diperoleh persamaan : BW = 0,0001 * s L ~ ~ ~ ~ ~ ~ atau Log BW = -3,8269 +

3,0141 *Log SL, dengan koefisien korelasi (I) sebesar 0,81 dan koeflsien

determinasi (R2) sebesar 0,65 (Gambar 8a). Nilai koefisien determinasi ini

menunjukkan bahwa perubahan variabel panjang cangkang abalon jantan

mengakibatkan pembahan bobot total sebesar 65,00% atau pertambahan panjang

akan menyebabkan pertambahan bobot total. Nilai pangkat @) dari variabel

panjang Cangkang abalon jantan adalah 3,014. Hasil Uji t terhadap nilai b

menghasikan t hiM, yang berada pada wilayah kritik (&I) yang berarti nilai b=3

atau tipe pertumbuhan abalon jantan adalah isometrik yaitu pola pertumbuhan

panjang selaras dengan pertumbuhau bobot total. Pada abalon betina diperoleh

persamaan BW = 0 , 0 0 0 4 * ~ ~ ~ ~ ~ atauLog BW = - 3,3868 + f,74Of*Log SL,

dengan koefisien korelasi (I) sebesar 0,82 dan koefisien determinasi (RZ) sebesar

0;67 (Gambar 8b): Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa pembahan

satu satuan variabel panjang cangkang abalon betina mengakibatkan perubahan

bobot total sebesar 67,00% atau pertambahan panjang akan menyebabkan

pertambahan bobot. Nilai pangkat b dari variabel panjang cangkang abalon betina

Page 47: C08sri.pdf

adalah 2,7402. Hasil Uji t terhadap nilai b menghasilkan thinmg yang lebih kecil

dari @ < 3) yang berarti b # 3 atau tipe pertumbuhan abalon betina adalah

allometrik negatif yaitu pola hubungan panjang tidak selaras dengan pola

perhmbuhan bobot total.

Jantan / 5 0 - 1

I 0 20 30 40 50 60 70 80

Panjang cangkang (mm)

50 Betina

I I

0 0 20 30 40 50 60 70 Panjang cangkang (mm) 1

Gambar 8. Hubungan panjang cangkang dan bobot total

(a) jantan dan @) betina

Setyono (2006) menyatakan bahwa hubungan panjang cangkang dan bobot

total pada abalon betina adalah logaritma, sedangkan pada abalon jantan memiliki

hubungan eksponensial. Kemiringan regesi liiearnya berbeda nyata dari 0,05

(P<O,001). Sehingga dapat dikatakan bahwa abalon mempunyai pola

perhmbuhan yang berbeda nyata di antam jantan clan betina.

Page 48: C08sri.pdf

4.3.2 Panjang cangkang dan bobot daging

I-Iasil analisa regresi linear mtuk hubungan panjang cangkang dan bobot

daging (MW) abalon jantan, diperoleh persamaan : MW= ~ E - o ~ * s L ~ ~ " ' atau Log

MW = - 4,3925 + 3,2501*Log SL, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,82 dan

koefisien determinasi (R2) sebesar 0,67 (Gambar 9a). Nilai koefisien determinasi

ini menmjukkan bahwa perubahan satu satuan variabel panjang cangkang abalon

betina mengakibatkan perubahan bobot daging sebesar 67,00% atau pertambahan

panjang akan menyebabkan pertambahan bobot daging.

Jantan - I

i 0 0 20 30 40 50 60 70 Bobot total (gram)

1 0 0 20 30 40 50 60 70

1 Panjang cangkang (mm)

Gambar 9. Hubmgan panjang cangkang total dan bobot daging (b) jantan dan (b) betina.

Pada abalon betina, diperoleh persamaan : MW = atau Log

MW = - 4,1494 + 3,0837*Log SL, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,87 clan

koefisien determinasi (R? sebesar 0,76 (Gambar 9b). Nilai koefisien determinasi

Page 49: C08sri.pdf

ini menunjukkan bahwa pembahan satu satuan variabel panjang cangkang abalon

betina mengakibatkan perubahan bobot daging sebesar 76,00% atau pertambahan

panjang akan menyebabkan pertambahan bobot daging.

4.3.3 Bobot total dan bobot daging

Hasil analisa regresi linear hubungan bobot total clan bobot daging abalon

jantan, diperoleh persamaan MW = -0,0093 + 0,6834*BW, dengan koefisien

korelasi (r) sebesar 0,95 dan koefisien deterrninasi (R') sebesar 0,90 (Gambar

10a). Nilai koefisien deterrninasi ini menjelaskan bahwa variabel bobot total

abalon jantan dapat menjelaskan bobot daging sebesar 90,00% atau pertambahan

bobot total abalon jantan hampir pasti menyebabkan pertambahan bobot daging.

Jantan

0 0 20 30 40 50 80 70 80 Bobot total (gram)

0 U 20 30 40 54 60 70 8(

Bobot total (gr)

Gambar 10. Hubungan bobot total dan bobot daging (a) jantan dan (b) betina.

Page 50: C08sri.pdf

Pada abalon betina diperoleh pemmaan MW = 1,0773 + 0,6021*BW

dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,91 clan koefisien determinasi (R2) sebesar

0,82 (Gambar lob). Nilai koefisien determinasi ini meajelaskan bahwa variabel

bobot total abalon betina dapat menjelaskan bobot total sebesar 82,00% atau

pertambahan bobot total abalon betina hampir pasti menyebabkan pertambahan

bobot daging.

43.4 Bobot total dan bobot conical appendage

Hasil aualisa regresi linear hubungan bobot total dan bobot conical

appendage pada abalon jantan diperoleh persamaan : CW = 0,0586*BW + 0,7916

dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,75 dan koefisien determinasi (R2) sebesar

0,56 (Gambar 1 la). Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa

perubahan satu satuan variabel bobot total mengakibatkan perubahan bobot

conical appendage sebesar 56,00%. Rendahnya koefisien determinasi ini

menunjulckan bahwa perubahau bobot total tidak memberi pengaxuh yang besar

terhadap pentbahan bobot conical appendage, karena bisa jadi ditemukan bobot

total yang tinggi yang memiliki bobot conical appendage yang rendah karena

gonad telah melepas garnet ke perairan (spawning). Pada abalon betina diperoleh -

persamaan : CW = 0,0585*BW+ 0,634 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,64

dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,41 (Gambar llb). Nild koeflsien

determinasi ini menunjdckan bahwa perubahan satu satuan variabel bobot total

mengakibatkan perubahan bobot conical appendage sebesar 41,00% artinya

peatambahan bobot gonad tidak dipengaruhi bobot total.

Page 51: C08sri.pdf

5 Jantan I - i 2 4

8 = .- s U g 3 - a 2 2 g 63 31

I

0 U 20 30 40 50 60 70 8(

Bobot total (gr)

0 U 20 30 40 50 60 70 81 Bobot total (gr)

Gambar 11. Hubungan bobot total dan bobot conical appendage (a) jantan dan (b) betina.

4.4 Nisbah kelamin (sex ratio)

Berdasarkan pengamatan secara morfologi dari sampel abalon

sebanyak 326 ekor, terdiri daxi 168 ekor betina dan 158 ekor jantan, nisbah

kelamin secara keseluruhan adalah 1:1,06 atau 48,47% dari populasi sampel

jantan dan 51,53% betina. Dengan uji "Chi-Square" pada tarafnyata 0,05

diperoleh bahwa rasio kelamin antara abalon jantan clan betina secara keseluruhan

adalah tidak berbeda nyata dari 1 : 1 (kondisi seimbang). Nisbah kelamin dapat

berubah menjelang dan selama m u s h pemijahan wkolsky, 1969 & Sanusi,

2000). Pada abalon, nisbah kelamin semakin meningkat (mendekati pola 1: 1)

selama mush pemijahan. Purwanto et a1.,(1986) & Rahman (2007) menyatakan

bahwa untuk mempertahankan kelestarian populasi, diharapkan perbandingan

Page 52: C08sri.pdf

biota jantan dan betina berada dalam kondisi seimbang atau sedapat-dapatnya

biota betina lebih banyak daripada jantan. Berdasarkan pemyataan tersebut, dapat

disimpulkan bahwa nisbah kelamin abalon yang hidup di Kepulauan Seribu

berada dalam kondisi seimbang, sehingga diharapkan populasi abalon di dam

dapat mempertahankan kelestarian populasi.

Nisbah kelamin pada abalon berukuran 4 0 mm sebesar 1,21:1. Dengan

uji "Chi-Square" pada tuafnyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin antara

abalon jantan dan betina pada ukuran ini tidak berbeda nyata dari 1:l. Sedangkan

pada abalon benilcuran >50,0 mm memiliki nisbah kelamin sebesar 0,76:1.

Dengan uji "Chi-Square" pada taraf nyata 0,05, diperoleh bahwa rasio kelamin

antara abalon jantan dan betina pada ukuran ini tidak berbeda nyata dari 1:I. Dari

nisbah kelamin berdasarkan ukuran ini, diketahd bahwa pada ukuran 3 0 mm

abalon jantan yang ditangkap lebih banyak dibanding betina, sedangkan pada

ukuran >50,0 mm abalon betina lebih banyak dibanding jantan.

Setyono (2005e) menyatakan bahwa ppulasi abalon di perairan Lombok

selatan m e d i nisbah kelamin 1 : 1 pada ukuran 550,O mm dan 1 : 1,3 pada

ukuran >50,0 mm. Nisbah kelarnin id tidak berbeda nyata dari 1:l pada ukuran

250,O mm @test d F l 0,05<P<0,75 tetapi berbeda nyata dari 1:l pada sampel - -

>50,0 mm (X2 test, df=l O,Ol<P<O,O5).

Beberapa spesies abalon juga dilaporkan memilii nisbah kelamin berbeda

nyata dari 1 :l. Pada Haliotis laevigata dan Haliotis scalaris, populasi jantan lebih

banyak yang muda (berukuran kecil), sedangkan betina lebii banyak pada ukuran

besar atau berumur tua. Pada Hdfotis rubra, sejumlah besar populasi jantan

berumur tua (berukuran besar) (Shepherd dan Law, 1974 &g Setyono, 2005e),

Page 53: C08sri.pdf

sedangkan betina ditemukan lebii banyak daripada jantan pada kelompok ukuran

yang lebih kecil(<600 g). Pada abalon Haliotisfulgens, Haliotis corrugata dan

Baliotis sorenseni, abalon jantan lebih banyak dibanding betina pada kelompok

ukuran yang lebih besa (2600 g), sedangkan pada Haliotis corrugata dan Haliotis

sorenseni, juga ditemukan adanya perbedan ukuran pada jantan dan betina

(Tutschulte dan Cornel, 1981 & Setyono, 2005e).

Jarayabhand dan Paphavasit (1996) & Setyono (2005e) dan Capinpin et

al., (1998) & Sevono (2005e) menduga bahwa tidak terdapat perbedaan struktur

ukuran pada abalonHaliotis asinina yang dewasa pada jantan dan betina

Pertumbuhan dan tingkat kematian rata-rata pada populasi abalon jantan dan

betina cenderung sama Fenomena ini merupakan hal umum pada famili Haliotid.

Hal hi sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa perbedaan ukuran pada kelamin

abalon Haliotis asinina tidak berbeda nyata.

4.5 Faktor kondisi

Nilai faktor kondisi Muktuasi menurut fase bulan. Nilai faktor kondisi

abalon jantan berkisar 1,38-2,10, dengan nilai rata-rata 1,60. Faktor kondisi

tertinggi didapati pada fase bulan gelap, sedangkan yang terendah didapati pada

fase bulan transisi I. Pada abalon betina, nilai faktor kondisi berkisar 0,88-1,44

dengan nilai rata-rata 1,07. Nilai faktor kondisi tertinggi didapati pada fase bulan

gelap, sedangkan yang terendah didapati pada fase bulan transisi I1 (Garnbar 12).

Nilai faktor kondisi yang tinggi pada h e bulan gelap tidak menunjukkan abalon

yang banyak matang gonad sebab berdasarkan analisa histologi, pada fase ini

justru ditemukan banyak abalon dalarn fase spent. Nilai faktor kondisi abalon

Page 54: C08sri.pdf

jantan lebii besar dari betina yang menunjukkan bahwa pada panjang cangkang

yang sama, abalon jantan lebii gemuk (bobot total lebih besar) dari yang betina

0 i , &lap Trenrts8 I Pumama Tmnstst ll

Fase bulan

Gambar 12. Nilai faktor kondisi abalon menurut fase bulan

Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 12), nilai faktor

kondisi berfluktuasi dengan kisaran 1,30-1,77 pada abalon jantan dan 0,97-1,23

pada yang betina (Lampiran 6). Effendie (1979) mengatakan bahwa nilai faktor

kondisi berfluktuasi menurut ukuran biota. Biota berukuran kecil mempunyai

nilai faktor kondisi yang relatif tinggi dan akan menurun ketika ukuran biota

bertambah besar. Dari Gambar 13 tidak ditemukan adanya @en seperti yang

dinyatakan Effendie (1979). Garnbar 13 menunjukan nilai faktor kondisi pada

abalon jantan dan betina yang pada awalnya semakin meningkat dengan

bertambahnya kelompok ukuran dan mencapai puncak pada ukuran kelas 43,l-

50,O mm, kemudian menurun kembali dengan me~ngkainya kelompok ukuran

panjang cangkang. Pola ini menunjukkan bahwa faktor kondisi tidak memiliki

hubungan linear dengan ukuran panjang c a n w g . Diduga faktor kondisi hanya

dipengaruhi bobot total yang berhubungan dengan perhmbuhan.

Page 55: C08sri.pdf

30.535.0 35.140.0 40.W.O 45.M0.0 50.+55.0 55.+60.0 ! Ukupn kelas panjang cangeng

Gambar 13. Nilai faktor kondisi menurut ukuran panjang cangkang

Nilai faktor kondisi abalon jantan, pada tahap immature sebesar 1,73,

proIifrative sebesar 1,72, maturing sebesar 1,67, ripe sebesar 1,67,partly

spawned sebesar 1,53, dan spent sebesar 1,54. Pada abalon betina, nilai faktor

kondisi pada tahap immature sebesar 1,07,proliferative sebesar 1,15, maturing

sebesar 1,01, ripe sebesar 1,13,partly spawned sebesar 1,03, dan spent sebesar

1,29 (Gambar 14). Effendie (1999) menyatakan bahwa &or kondisi meningkat

sesuai perkembangan sel kelamin dan mencapai puncaknya sebelum tejadi

pemijahan. Ramli (2003) juga menyebutkan bahwa peningkatan nilai faktor

kondisi terdapat pula pada waktu biota laut mengisi gonadnya dengan set sex clan

akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pernuahan. Dalam penelitian ini tidak

ditemukan tren seperti pernyataan di atas sebab pada abalon betina, tahap

memijah (spent) justru merniliki nitd &or kondisi yang lebih ftnggi dibanding

tahap perkembangan gonad yang lebih awal (Gambar 14). Diduga faktor kondisi

lebih dipengaruhi kelimpahan makanan dibandiig tingkat kematangan gonad.

Page 56: C08sri.pdf

I Tingkat perkembangan kematangan gonad

Gambar 14. Nilai faktor kondisi menurut tingkat kematangan gonad

4.6. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad diamati secara histologi. Jumlah sampel

abalon yang diamati selama penelitian sebanyak 124 ekor, terdiri dari masing-

masing 62 ekor jantan clan betina (15-16 ekor setiap sampling). Dari pengamatan,

ditemukan semua tahap perkembangan kematangan gonad dimulai dari tahap

immature (muda), proliferative, maturing, ripe (matang), partly spawned

(memijah sebagian) hingga spent (memijah total) dengan persentase yang

bervariasi.

Pada abalon jantan (Gambar 15a), tahap immature ditemukan sebesar

6,45% yaitu sebanyak 4 ekor,prolifeative sebesar 6,45% yaitu sebanyak 4 ekor,

maturing sebesar 9,68% yaitu sebanyak 6 ekor, ripe sebesar 33,87% yaitu

sebanyak 21 ekor, tahappartly spawned sebesar 40,32% yaitu sebanyak 25 ekor

dan spent sebesar 3,23% yaitu sebanyak 2 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa

pada abalon jantan, tahap partly spawned ditemukan dengan fiekuensi tertinggi,

sedangkan frekuensi terendah ditemukan pada tahap spent. Pada abalon betina,

tahap immature ditemukan sebesar 24,19% yaitu sebanyak 15 ekor,proIiferative

sebesar 20,97% yaitu sebanyak 13 ekor, maturing sebesar 17,74% sebanyak i 1

Page 57: C08sri.pdf

ekor, ripe sebesar 20,97% yaitu sebanyak 13 ekor, partly spawned sebesar

1 1,29% yaitu sebanyak 7 ekor, dan spent sebesar 4,84% yaitu sebanyak 3 ekor.

Hasil ini menunjukkan bahwa pada abalon betina, Bekuensi tertinggi didapati

pada tahap immature, sedangkan frekuensi terendah didapati pada tahap spent.

Dari hasil ini, diketahui bahwa frekuensi pada tahap immature, prolqetive

dan maturing pada abalon jantan lebih rendah dibanding betina, tetapi pada tahap

ripe danpartly spawned, abalon jantan memiliki frekuensi yang lebih tinggi

dibanding betina. Dengan demikian, diketahui bahwa pada populasi abalon

dengankisaran panjang cangkang yang sama, abalon jantan lebh banyak yang

matang gonad dibanding betina Dengan kata lain, gonad abalon jantan matang

lebih dulu &banding betina.

Badasarkan h e bulan, tingkat kematangan gonad abalon jantan pada

tahap immature hanya ditemukan pada fase bulan gelap sebesar 18,75% dan

transisi I sebesar 6,67%, tahapprolifrative ditemukan pada fase bulan gelap

sebesar 6,25%, purnama 12,5%, dan transisi I1 6,67%, dan tidak ditemukan pada

transisi I. Tahap maturing ditemukan pada semua fase bulan, yaitu pada fase

bulan gdap (13,33%), purnama (13,33%), transisi 1 (625 %) dan transisi 11

(6,25%). Tahap ripe ditemukan dengan kisaran 31,25%-400? pada masing-

masing fase bulan dengan persentase tertinggi pada transisi I dan transisi I1

dengan jumlah yang sama, ydtu 40%. Tahappartlyspawned berkisar 31 f 5-50%

dengan persentase tertinggi pada h e bulan purnama dan terendah pada fase bulan

gelap. Tahap spent hanya ditemukan pada fase bulan gelap dan purnama dengan

pementase sangat kecil ydtu 6,25% (Gambar 15). Had1 ini menunjukkan bahwa

abalon jantan dan betina yang matang gonad pada fase ripe, ditemukan pada

Page 58: C08sri.pdf

semua fase bulan. Pada abalon jantan, tahap spent ditemukan pada fase bulan

gelap dan purnarna, sedangkan pada abalon betina, hanya ditemukan pada fase

bulan gelap dengan kekuensi yang cukup tinggi. Dengan demikian, disimpulkan

bahwa pada fase bulan gelap, abalon paling banyak melakukan pemijahan. Di

wilayah tropis, abalon ditemukan memijah sepanjang tahun (Capinpin et al., 1998

in Setyono, 2004a; Jarayabhan dan Paphavasit & Setyono, 2004% 1996; Setyono, -

2003 & Setyono, 2004a). Counihan et al,. (2001) menduga bahwa periode bulan

adalah faktor utama yang mengatur te rjadinya pemijahan serentak (synchronous)

pada invertebrata laut. Setyono (2006) menyatakan bahwa abalon Haliotis

asinina cenderung memijah terus menerus. Ditemukannya variasi abalon dengan

tingkat kematangan gonad yang berbeda dalam satu fase bulan menunjukkan

bahwa abalon Haliotis asinina abalah moluska yang memiRki tipe pemijahan

terus menerus @artial spawner)

Fase bulan

Gdsp T m i d l P u m a T m i d l i Fase butsn

Garnbar 15. Distribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad menurut fase bulan

Page 59: C08sri.pdf

Fretter (1984) Ramli (2003) menyatakan bahwa m u s h reproduksi

berhubungan dengan asal geografis dan strategi reproduksi kelompok organisme.

Variasi mush reproduksi adalah bukti selang geograAs atau spesies. Secara

urnurn, abalon di daerah sub-tropis matang gonad dan memijah pada musim

panas. Di daemh tropis, abalon dapat matang gonad dan mernijah sepanjang

tahun. Faktor-fhktor yang mempengaruhi kematangan gonad dibedakan atas

faktor yang berkaitan dengan sistem endokrinologi atau sistem hormonal yang

bekeja di dalam (endogenous) tubuh dan faktor lingkungan yang ada di luar

(exogenous) tubuh. Faktor-mktor yang mempengaruhi kematangan gonad

meliputi temperatur air, kualitas air, periode panjang hari (photoperiode), pasang

sunit, gelombang, temperatur udara, saliitas, dan makanan (kualitas dan kuntitas)

(Setyono, 2 0 0 .

4.7. Ukuran pertama matang gonad

Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 16a), pada kelas

30,l-35,O mm, abalon jantan hanya ditemukan pada tahap maturing. Hal ini

menunjukkan bahwa pada ukuran tersebut, abalon jantan barn akan memasuki

tahap kematangan gonad Pada ukuran >40 mm ditemukan abalon dalarn tahap -

ripe (matang). Pada abalon betina (-bar 16b), tahap ripe mulai ditemukan

pada ukuran L45,l mm, sedangkau pada ukuran <45,0 mrn hanya ditemukan tahap

immature danprollfeative (tahap awal perkembangan kematangan gonad).

Dengan dernikian, diketahui bahwa abalon betina di Kepulauan Seribu mulai

matang gonad pada ukuran 145,O mm. Pada abalon jantan, tahap immature

ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 35,l-45,O mm, tetapi pada kelas

Page 60: C08sri.pdf

50,l-55.0 mm juga ditemukan testes pada tahap immature dalam jumlah yang

sangat kecil(4,71%) yaitu 1 ekor. Pada abalon betina, tahap immature ditemukan

pada ukuran kelas 45,O mm. Pada abalon jantan, gonad yang matang mulai

ditemukanpada ukuran kelas 40,1-45,0 mm sebesar 71,4% yaitu sebanyak 5 ekor.

Pada abalon betina, gonad yang matang mulai ditemukan pada ukuran kelas 40,l-

45,O mm sebesar 13,00% yaitu sebanyak 2 ekor.

Abalon jantan pada ukuran kelas 30,l-35,O mm dan 35,1-40,0 mm, gonad

ditemukan pada tahap menuju matang (mahrring). Pada ukuran kelas yang sama,

ovari mas& berada pada tahap immature. Proporsl gonad muda (immature dan

proliferative) men- seiring dengan meningkatnya kematangan gonad (ripe).

Ukuran pertama matang gonad pada individu abalon ditemukan pada ukuran kelas

panjang cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan, dan 40,l -45,O mm pada betina

Hasil ini menunjukkan bahwa individu abalon Haliofis asinina yang hidup di

Kepulauan Seribu mencapai pertama matang gonad pada ukuran kelas panjang

cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan, dan 40,1-45,0 mm pada betina Ukuran

pertama matang gonad pada populasi abalon (>50,00%), dimana abalon berada

pada tahap ripe, partly spawners dan spent, ditemukan pada ukuran kelas panjang

cangkang 40,1-45,0 mm pada jantan, yaitu sebesar 63,64%, sedangkan pada -

abalon betina ditemukan pada ukuntn kelas panjang cangkang 541-55,O mm,

yaitu sebesat 53,33%. Setyono (2005 d) menyatakan bahwa individu abalon yang

hidup di perairan Lombok, mencapai pertama matang gonad pada ukuran kelas

panjang cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan dan 40,1-45,0 mm pada betina.

Populasi abalon jantan dan betha mencapai pertama matang gonad pada ukuran

kelas panjang cangkang 45,l-50,O mm pada jantan dan 50,l-55,O pada betina.

Page 61: C08sri.pdf

Dengan demikian, diketahui bahwa pada individu maupun populasi, abalon yGg

hidup di Kepulauan Seribu mencapai pertama matang gonad dengan ukuran

panjang cangkang lebih kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.

Berdasarkan hal tersebut, disarankan bahwa pada penangkapan di alam, abalon

yang diperbolehkan ditangkap oleh nelayan seharusnya memilii panjang

cangkang lebih dari 40,O mm pada jantan dan lebih dad 55,O mm pada betina

Hal ini bertujuan untuk menjamin keberlangsungan stok abalon di dam karena

diharapkan pada ukuran tersebut, >50% populasi abalon telah melakukan

sedikitnya satu kali pemijahan.

Di Fiipina, Capinpin et al., (1986) b Setyono (2005d) menemukan bahwa

pada hatchev pembenihan abalon, ukuran pertarna matang gonad ditemukan pada

panjang cangkang 35,O mm pa& jantan dan 35,9 mm pada yang betina Pada

penangkapan alam abalon di Panagatan Cays, ukuran pertama matang gonad

didapati pada panjang cangkang 40,6 mrn pada jantan dan betina.

Tahap pemijahan sebagian (partly spawned) pada abalon jantan mulai

ditemukanpada ukuran kelas panjang cangkang 40,145,O mm dan 45,l-50,O mm

pada yang betina Hasil W menunjukkan bahwa abalon jantan yang hidup di

Kepulauan Seribu, mengeluarkan garnet pada ukuran lebih kecil dibanding betina. -

Dengan kata lain, abalon jantan berperan dalam reproduki lebih dulu dibanding

betina

Ukuran pertama matang gonad pada abalon bervariasi menurut spesies,

misalnya 55,O mm pada H. australis dan 60 mm pada H. iris di New Zealand

(Poore, 1973 &I Setyono, 2005d), 40,0118.0 mm padaH. cycyclobates dan 45,O-55,O

mm pada H. roei di Australia Selatan (Shepherd dan Laws, 1974 @ Setyono,

Page 62: C08sri.pdf

2005d) clan 29,O mm pada H. canariensis yang betina di Spanyol (Pena, 1986 &

Setyono, 2005d). Baik jantan maupun betina Haliotis usinina yang hidup di

perairan Kepulauan Seribu memiliki gonad pada tahap spent pada ukuran kelas

panjang cangkang 45,l-50,O mm. B e d pada ukuran ini, abalon banyak yang

telah terlibat dalam proses reproduksi. Dengan demikian, disarankan bahwa

ukuran kelas ini merupakan batas minimal ukuran abalon yang boleh ditangkap.

Setyono (2006) menyatakan bahwa abalon Haliotis usinina yang hidup di perairan

Lombok selatan memiliki gonad pada tahap spent pada ukuran kelas 50,l-55,O

mm. Hal ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu telah

terlibat dalam reproduksi dengan ukuran yang lebih kecil dibanding abalon yang

hidup di perairan Lombok selatan.

30.1~35.0 35AO.O 40.1;45.0 45.1-50.0 50.0~55.0 55.1-80.0

Ukuran kelas panjang cangkang (mm)

Gambar 16. Dislribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad abalon menurut panjang cangkang

Page 63: C08sri.pdf

Laju pertumbuhan abalon Haliotis aiinina akan menurun seiring dengan

bertambahnya urnur (Singhagraiwan dan Sasaki, 1991 &z Setyono, 2005d) yang

berkaitan dengan peningkatan kematangan gonad. Dalam stud ini, abalon jantan

tumbuh lebii cepat sebelum kematangan gonad, tetapi melambat setelah

kernatangan. Kemungkinan terjadinya kondisi ini, yaitu abalon jantan

menghabiskan energi yang besar selama proses reproduksi dibanding betina, serb

memerlukan energi yang lebih banyak untuk menghasilkan volume gamet yang

sama dengan betina Energi besar yang dikeluarkan untuk reproduksi akan

memperlambat laju pertumbuhan sehingga pada saat dewasa (dengan umur yang

sama dengan betina) abalon jantan akan berukuran lebii kecil (Setyono, 2006).

4.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) I Gonad Bulk Index (GBI-tc)

Nilai GBI-tc pada abalon jantan bervariasi, berkisar 1,77-16475 dengan

nilai rata-rata sebesar 38,52. Nilai rata-rata GBI-tc tertinggi ditemukan pada fase

bulan transisi I yaitu sebesar 55,06, sedangkan nilai terendah ditemukan pada f q

bulan gelap yaitu sebesar 29,16. Pada abalon betina, d a l GBI-tc berIdsar 020-

164,33 dengan nilai rata-rata sebesar 46,49. Nilai rata-rata tertinggi ditemukan

pada fase bulan transisi I, yaitu sebesar 53,44, sedangkan nil& terendah ditemukan

pada h e bulan gelap, yaitu sebesar 3400 (Gambar 17). Nilai GBI-tc yang tinggf

pada fase bulan transisi I menunjukkan bahwa abalon banyak yang berada pada

tahap mulailtelah matang gonad atau belumlsedikit memijah. Pa& fase bulan

gelap, abalon banyak ditemukan pada tahap telah memijah (spent). Hadl ini juga

diperkuat dengan hasil analisa histologi yang menunjukkan bahwa pada fase bulan

gelap, abalon banyak ditemukau pada tahap spent. Menurut Effendie (1979), nilai

Page 64: C08sri.pdf

indeks kematangan gonad (KG) (dalam penelitian ini diwakili dengan GBI-tc)

akan men- pada waktu memijah dan setelah memijah. Hasil ini juga

menunjukkan nilai GBI-tc abalon jantan dan betina yang semakin meningkat

seiring kematangan gonad dan men- setelah mulai memijah. Abalon betina

memilii nilai GBI-tc yang lebii tinggi dibandiing jantan. Hal ini menunjukkan

bahwa gonad abalon betina lebih banyak terisi gamet dibanding jantan.

20 10

0 . Gslap Tmnsisi I Pumama Tranrisi ll

Fase bulan

Gambar 17. Nilai GBI-tc menurut fase bulan

IM P M R es s Tingkat perkembangan kematangan gonad

Gambar 18. Nilai GBI-tc menurut tingkat kematangan gonad

Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 19), nilai GBI-tc

pada abalon jantan berfluktuasi dengan panjang cangkang. Hasil penelitian tidak

menemukan adanya tren antara peningkatan panjang cangkang dengan kenaikan

nilai GBI-tc.

Page 65: C08sri.pdf

1 so, 1 I

0 -a- Betina 0

30.0-35.0 35.U0.0 40.U5.0 45.+50.0 50.M5.0 55.Wi0.0

Ukuran kelas panjang cangkang (mm)

Gambar 19. Nilai GBI-tc menurut ukuran kelas panjang cangkang

Pada abalon betina, terliiat adanya kenaikan nilai GBI-tc seiring

meningkatnya ukuran panjang cangkang, tetapi pada ukuran panjang cangkang

S9,l-60,O mm terjadi p e n m a n kembali. Dengan demikian, diiyatakan bahwa

tidak terdapat hubungan linear antara panjang cangkang dan nilai GBI-tc.

4.9 Analisa histologi

4.9.1 Jantan

Gambar 20a memperlihatkan awal dari perkembangan testes yaitu tahap

immature, dimana terliiat adanya pengelompokan jaringan yang ditunjukkan

dengan adanya bulatan-bulatan sel berwarna merah yang nantinya akan menjadi

seminifeous tubulus. Tahap ini merupakan awal dari proses spermatogenesis.

Pada gambar terlihat bahwa perkembangan seminifrous tubulus belum sempuma

yang ditandai belum terdapatnya sel-sel spermatogenetik pada seminferous

tubulus.

Pada tahap kedua @rolifrative) texjadi pembentukan sel-sel

spermatogenik pada seminiferous tubu2us [Gambar 20b). Spermatogenik pada

gambar tersebut berukuran kecil dan homogen yang diduga masih dalam bentuk

Page 66: C08sri.pdf

spermotoginia yaitu sel spermatogenik yang paling awal atau primif. Selain sel

spermatogenik yang terdapat dalam seminiferous tubulus juga terdapat sel sertoli.

Sel sertoli atau sel penyokong merupakan kelompok sel yang mempunyai peran

sangat penting dalam proses perkembangan spermatogenik. Dellman clan Brown

(1987) & Ramli (2003) menyatakan bahwa sel sertoli memiliki fungsi nutritif,

protektif, dan suportif bagi sel spermatogenik. Masing-masing sel spermatogenfk

dipisahkan oleh sel penghubung yang disebut sel Leydig.

Fase ketiga yaitu maturing (Gambar 20c) yang memperliitkan

spermatogonia yang terdapat dalam seminifrous tubulus kemudian berkembang

menjadi spermatosit. Spermatosit ini memiliki ukuran yang lebih besar dari

spermatogonia Dellman dan Brown (1987) & Randi (2003) menyebutkan bahwa

spermatosit berkembang menjadi sel terbesar &am rangkalan sel spermatogentk.

Proses perkembangan sel spermatogenik dari spermatogonia menjadi spermatosit

disebut spermatositogenesis. Selama proses tersebut, sel spermatogenik

merupakan sel yang diploid.

Tahap keempat yaitu tahap matang (ripe) dimana seminifrous tubulus

terlfhat semaldn berkembang, ukwm dad seminlfrous tubulus semakin

membesar (Qambar 20d). Dari gambar terlihat adanya sel spermatogenik

bentkuran lebii kecil yang disebnt spermatid, sedangkan beberapa bagian masih

terdapat sedikit spermatosit. Spermadd memiliki ukuran yang kurang lebih

setengah dari spermatosit (Copenhaver et a1.,1978 & Ramli, 2003). Keadaan ini

menunjukkan bahwa sel spermatogenik sudah melalui proses meiosis dimana

spermatosft membelah menjadi dua yang menghasillcan spermaad dengan jumlah

kromosom yang haploid (Dellmann dan Brown, 1987 @ M i , 2003).

Page 67: C08sri.pdf

Selanjutnya spermatid akan berkembang menjadi spermatozoa yaitu dengan

berubahnya bentuk sel dari sel yang bulat atau lonjong menjadi sel yang terdiri

dari beberapa bagian yaitu kepala, leher, clan ekor. Proses hi dinamakan

spermiogenesis. Crambar selanjutnya yaitu tahap keliia (Gambar 20e)

menunjukkan bahwa dindimg seminiferous tubulus semakin terliiat tidak jelas.

Hal id diduga disebabkan dinding seminiferous tubulus sebagian besar sudah

terbuka. Vongpanich dan Autonya (1997) & Ramli (2003) menyebutkan bahwa

tejadi peristiwa reduksi pada seminiferous tubulus saat memasuki tahappartly

spawned.

Tahap keenam adalah istirahat Tahap istirahat terjadi setelah pemijahan

total. Pada tahap ini gonad terlihat sudah kosong. Hanya terdapat kantung-

kantung yang didugamerupakan &a dari dinding seminiferous tubulus yang iidak

terdapat sel-sel spermatogenik (Oambar 200.

4.9.2 Betina

Tahap awal dari perkembangan gonad abalon betina, ditunjukkan pada

Gambar 21.a Dari gambar terlihat bahwagermiml epithelium belum terbentuk.

Pada beberapa bagian mulai tmlihat membentuk lipid. Selanjutnya gonad mulai -

memasuki tahiy, berkembang @roliferutive) yaitu dengan membentuk g e r m i d

epithelium clan sel-sel folikel. Oambar 21.b menunjukkan germinal epithelium

yang terbentuk berbentuk lonjong memanjang. Di sini terlihat bahwa

pembentukkan butlr-butk Upfd yang terdapat dalam germinal epithelium semakin

banyak Effendie (1979) menyatakan bahwa pembentdckm butir-butir minyak

bejalan bertahap seiring perkembangan tingkat kematangan gonad. Pada gambar

Page 68: C08sri.pdf

tidak terlihat adanya sel telur, ha1 ini disebabkan karena banyaknya butir-butir

lipid yang menutupi sebagian besar germinal epithelium.

Pada perkembangan gonad yang lebih maju (maturing), terjadi perubahan

pada germinal epithelium dilihat dari bentuk dan kandungannya (Gambar 21 .c).

Germinal epithelium terliiat berbentuk lebii bulat dan berisi oogonia dan oosit

mu& Oogonia merupakan sel paling primitif dalarn rangkaian perkembangan sel

telur. Oosit memiliki garis tengah yang lebih besar dari o o g o ~ a Semakin

tingginya tingkat kematangan gonad, butir-butir lipid yang terdapat dalam

germinal epithelium semakfn s e a t (Gambar 2l.d). Selain itn, kembali terjadi

perubahan bentuk pada germinal epithelium menjadi lebih besar dan lonjong.

Diameter oosit terlii t semakin membesar (ripe). Perubahau tersebut disebabkan

adanya proses penyerapan kuning telur dan lipid selama proses pematangan sel

telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1979) yaitu bahwa semakin

berkembangnya sel gonad, telur yang terkandung di dalarn semakin besar garis

tengahnya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan

butir-butir minyak. Talcashima dan Hibiya (1997) & Wibowo (2007)

menyebutkan salah satu tanda menuju kematangan yaitu bergabungnya butir-butir

lipid menjadi satu atau beberapa butir yang lebii besar. Tahap selanjutnya yaitu -

partly spawned (Gambar 21 .e), diiana oosit tampak mulai hilang yang

selanjutnya diiuti tahap spent (Gambar 954, dimana oodt telah dikeluarkan dan

yang tampak hanya sisa-sisa telur berukuran sangat kecil.

Page 69: C08sri.pdf

a. Immature b. Proliferative

c. Maturing d. Ripe

e. Partly spawned j: Spent

Perbesaran mikroskop 20x10

Garnbar. 21. Histologi tingkat kematangan gonad abalon jantan

Page 70: C08sri.pdf

a Immature b. Proliferative

c. Maturing d. Ripe

e. Partly spawned $ Spent

Perbesaran mikroskop 20x1 0

Gambar. 21. Histologi tingkat kematangan gonad abalon betina

Page 71: C08sri.pdf

4.10 Diameter telur

Diameter telur abalon bervariasi, berkisar 10-180 pm (Gambar 22). Pada

tahapproliferative, diameter telur berkisar 10-80 p, dengan ukuran rata-rata 45

pn, tahap maturing berkisar 10-130 pm, dengan ukuran rata-rata 50 pm, tahap

ripe berkisar 10-180 pm, dengan ukuran rata-rata 99 pm, tahappartly spwned

berkisar 10-130 pm, dengan ukuran rata-rata 70 p dan tahap spent berkisar 10-

100 pm, dengan ukuran rata-rata 55 pm.

Distdbusi ukuran diameter telur meningkat seiring meningkatnya tahap

kematangan gonad dan menurun kembali setelah pelepasan telur (partly spawned

dan spent). Distribusi diameter telur memperlihatkan lebii dari satu modus yang

menggambarkan pola pemijahan abalon Hdiotis minim yang bersfmt parsial

(Oambar 22c). Pada tahap ripe, diameter telur memilii dua puncak penyebaran.

Puncak pertama terdapat pada ukuran 30 pm dan puncak kedua pada ukuran 100

pm, sedangkan tahap part& spawned terdapat pada ukuran 20 pn dan 80 pm.

Puncak kedua adalah telur-telur yang akan diieluarkan pertama kali saat memijah

yang kemudian akan disusul dengan pemijahan berikutnya yaitu telur-telur yang

bxada pada puncak pertama Hal ini menunjukkan bahwa abalon termasuk

moluska yang memijah bagian demi bagian (partial sgawner). Di wilayah

sub-tropis abalon mempunyai periode breeding yang bervariasi menurut spesies

dan temperatur air (Shepherd dan Laws,1974 & Setyono, 2004b; lkenous dan

Kafuku, 1992 Setyono, 2004b).

Tingkat kegagalan reproduksi (mortalitas telur) pada biotapartial spawner

lebih rendah dibandhg total spawner karena waktu pemijahan yang ddak hanya

sekali dan pendek, tetapi beberapa kali dan panjang sehingga apabila faktor

Page 72: C08sri.pdf

lingkungan tidak m e n d h g dan rekruitmen tidak sukses maka rekruitmen dapat

berlangsung pada pemijahan berikutnya (Heath, 1994 & Wibowo, 2007).

Biota yang melakukan total spmvner mengeluarkan seluruh telurnya pada

saat memijah diiana Indeks Kematangan Gonad (KG) akan mencapai

maksimum pada saat akan terjadi pemijahan dan mencapai minimum setelah

pemijahan. Jenis biotapartial spmvner memijah secara bertahap selama

reproduksmya. Indeks Kematangan Gonad (KG) tidak akan mencapai

maksinlum clan minimum sebelum dan sesudah pemijahan.

Berdasarkan h e bulan (Gambar B), ukuran rata-rata diameter telur

semakin meningkat dari fase bulan gelap, transisi I clan pumama, tetapi menutun

kembali pada transisi 11. Hal ini menunjukkan bahwa puncak tejadinya

kematangan gonad berlangsung pada h e bulan pumama, sedangkan pada fase

bulan gelap, abalon banyak yang telah mengeluarkan telur ke kolom air

(memijah). Perkembangan telur serentak (synchromus) tejadi setiap 2 minggy

tetapi spermatogenesis terjadi terns menerus (Jebreen, et al., 2000 & Setyono,

2005d; Counihan et al., 2001; Norris dan Preston,2003 Setyono, 2005d).

Abalon Huliotis minim yang hidup di perairan Lombok selatan, juga m e d m

tingkat perkembangan gonad yang serentak (synchronous) (Setyono,2006).

Page 73: C08sri.pdf

Partly spawned I I I

spent 1:: 1 i

Gambar 22. Distribusi fiekuensi ukuran diameter telur menurut tingkat kematangan gonad

Page 74: C08sri.pdf

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpullcan bahwa

abalon Haliotis asinina yang hidup di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta,

memiliki struktur ukuran panjang cangkang, bobot total, bobot daging, dan bobot

conical appendage yang lebih kecil dibanding yang hidup di pemimn Lombok

selatan. Faktor lingkungan perairan terutama makanan y a k kelirnpahan alga dan

juga tekanan penangkapan yang tinggi diduga menjadi penyebab tejadinya

kondisi ini. Ukumn mta-mta abalon jantan lebih kecil dibanding yang be&

Pola pertumbuhan abalon jantan bersifat isometrik, sedangkan abalon betina

bersifat allometrik negatif. Faktor kondisi bewariasi menurut fase bulan. Pada

abalon jantan, faktor kondisi tertinggi ditemukan pada f'ase bulan gelap,

sedangkan yang terendah ditemukan pada fase bdan transisi I. Pada abalon

betina, faktor kondisi tertinggi ditemukan pada fase bulan gelap dan terendah pada

fbse bulan transisi 11. Faktor kondisi yang tinggi pada abalon tidak berhubungan

dengan abalon yang sedang matang gonad, sebab b e r k k a n analisa histologi,

abalon dalam kondisi tingkat kematangan gonad yang tinggi justru ditemukan -

pada fase bulan pumama. Faktor kondisi diduga hanya dipengaruhi oleh bobot

total yang berhubungan dengan pcrtumbuhan.

Nisbah kelarnin mendekati 1 : 1 yang menunjukkan bahwa abalon di dam

berada dalarn kondisi seimbang. Pada individu abalon, ukuran pertama matang

gonad sudah ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 35,l-40,O mm pada

jantan dan 40,l-45,O mm pada betma Pada populasi abalon, ukuran pertama

Page 75: C08sri.pdf

matang gonad ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 40,l-45,O rnm

pada jantan dan 541-55,O mm pada betina, dimana padaukuran tersebut >50%

populasi abalon telah matang gonad atau pun memijah.

Abalon jantan dan betina yang matang gonad pada tahap ripe ditemukan

pada semua fase bulan dengau fkkuensi tertinggi pada fase bulan purnama. Hal

ini menunjukkan bahwa pada fase bulan tersebut, abalon berada dalam puncak

kematangan gonad. Pada abalon betina, tahap pemijahan total yaitu spent, hanya

ditemukan pada fase bulan gelap, dimana pada fase tersebut juga ditemukan

abalon jantan pada tahap partly spawned clan spent. Dengan demikian, abalon

dengan puncak pemijahan tertinggi diduga berlangsung pada fase bulan gelap.

Tipe pemijahan abalon bersifatpartial spawner yaitu abalon

mengehkan gamet ke perairan bagian demi bagIan dalam satu periode

pemijahan.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap serta meli i t adanya

pengaruh fase bulan terhadap reproduksi abalon, diperlukan penelitian lebih lanjut

dalam jangka waktu yang lebii lama (1 tahun), sehingga diharapkan akurasi data -

akan semakin tinggi.

Page 76: C08sri.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Counihan, R.T., D.C. McNamara, D.C. Souter, E.J. Jebreen, N.P. Preston, C.R. Johnson, B.M. Degnan. 2001. Pattern, synchrony and predictability of spawning of tropical abalone Haliotis asinina &om Heron Reef, Australia. Marine Ecology Progress Series. 213: 193-202

Diiktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005. Petunjuk teh is budidaya laut abalon (Haliotis asinina). Indonesia. v + 44h.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.1 l2h.

Faisal, F. 2005. Embriogenesis dan perkembangan larva abalon mata tuiuh (Haliotis asinina Lin.). IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas ~ k l c a k i n dan Ilmu ~elaut&. M t u t ~ertanian ~ o g o r .

FAO. 1995. Synopsis of Biologycal Data on The European Abalon (Ormer) Haliotis tube~~culala Linnaeus. 1758 (Gastr~~oda: Haliotidae). FA0 Fisheries Synopsis. 156: 1-22

Hermawan, A., Sudjiharno. 1998. Rekayasa teknologi pemijahan dan pemeliharaan larva abalone (Haliotis asinina). Laporan Tahunan Budidaya Laut. Departemen Pertanian Diektorat Jenderal Perikanan Balai Budidaya Laut, Lampung

Kruatrachue, K., S. Sawatpeera, Y. Chitramvong, P. Sonchaeng, E.S. Upatham, S. Sangpradub. 2004. Journal of Shelesheries Research.

Ramli, A. 2003. Biologi Reproduksi : Pendekatan Histologi Gonad Keong Macan (Babylonia spirata, L.). IPB. Skripsi. Tidak dipubliiikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Rahrnan, Z.A. 2 007. Biologi Reproduksi Ikan Balak (Saurida tumbil, Bloch) di Perairan Pantai Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilrnu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sanusi, M. 2000. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Lundu Macrones gulio Gunter di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Setyono, D.E.D. 2004a Abalone (Haliotis asinina L): 2. Factor affect gonad maturation. Oseana. XXM(4): 9-1 5.

Setyono, D.E.D. 2004b. Abalone (Haliotis asinina L): 1. A prospective spesies for aquaculture in Indonesia. Oseana. XXM(2): 25-30

Page 77: C08sri.pdf

Setyono. D.E.D. 2004c. Abalone (Haliotis asinina L) 3. Induction of spawning. Oseana. XMZ(3): 17-23.

Setyono, D.E.D. 2004d. Broodstock conditioning of the tropical abalone (Haliotis asinina) in the laboratory. Oseanologi dun Limnologi di Indonesia.

Setyono, D.E.D. 2005a. Abalone (Haliotis asinina L): 5. Early juvenile rearing and ongrowing culture. Oseana. XXX(2)r 1-10.

Setyono, D.E.D. 2005b. Abalone (Haliotis asinina L): 4. Embryonic and larva development. Oseana. XXX(1)r 15-19.

Setyono, D.E.D. 2005c. Peranan nutrisi dalam siklus hidup abalon. Oseana. XXX(3): 1-7.

Setyono, D.E.D. 2005d. Size fust sexual maturity of the tropical abalone (Haliotis asinina) in southem Lombok water r A basis for fisheries management. Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Akuakulrur Berkelanjutan. 472-476.

Setyono, D.E.D 2005e. Size structure and morphometric information of the tropical abalon (Haliotis asinina) in southern Lombok water. Prosiding Seminar Nasional Biologi dun Akuakultur Berkelanjutan. 399-404

Setyono, D.E.D. 2006. Reproductive aspect of tropical abalone, Haliotis asinina, &om southern Lombok waters, Indonesia. Marine Research in Indonesia. 30: 1-14.

Tahang, M., Imran, dan Bangun. 2006. Pemeliharan siput abalone (Haliotis asinina) dengan metode pen-culture (kurungan tancap) dan kerarnba jaring apung. Departemen Kelautan dan Perikanan. Indonesia. 30 h.

Wibowo, N.A. 2007. Biologi Reproduksi Ikan Terbang (Hirundivhicthys oxycephalus) di Laut Flores. IPB. Skripsi . Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan clan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

.2006. Pembenihan Abalone. Akuakultur Indonesia. Edisi I Mei

http:/lid.wikipediaorg!wiki/Histologi [7 Desember 20061

http:llwww.abalonefarm.cod [7 Desember 20061

http://www.fishtech.corn/facts.htmls [9 Januari 20071

www.visualhistology.cod~dex.php [7 Desember 2 0061

Page 78: C08sri.pdf

http://www.ab2000.org.zalfinlprog.html[27 Maret 20071

http://www.lib.noaagovkorealmainnspecie~ [3 Januari 20091

http://www.shells4u.com/lgshelll.htm [3 Januari 20091

http://www.gastropods.codO/Shell_l040.html[25 Januari 20091

Page 79: C08sri.pdf

LAMPIRAN

Page 80: C08sri.pdf

Lampiran 1. Foto cangkang abalon (Haliotis) tropis di perairan Indonesia (Dharrna, 1988 & Setyono, 2004)

Haliotis asinina Sumber : Riyadi, 2008

Haliotis varia Haliotis squamata Sumber : www.gastropods.com Sumber : www.gastropods.com

Haliotis ovina Haliotis glabra Swber : www.gastropods.com S m e r : www.gas~opods.com

Haliotis planate Haliotis crehrisculpta Sumber : www.gastropods.com Sumber : www.gastropods.com

Page 81: C08sri.pdf

Lampiran 2. Foto cangkang beberapa abalon (Haliotis) sub-tropis

Haliotis rufescens Haliotis discus hannai ~ i ~ t r i b ~ ~ i geografis : samudra pasifik Distribusi geografis : Samudra Pasifik

Sumber : seashellcollector.com Sumber : Korea-Us Aquaculture

Haliotis cracherodi Haliotis fitlgens Distribusi geografis : Perairan Amerika Distribusi geografis : Pasifik Timur

Sumber : shells-of-aquarius.com Sumber :shells-of-aquarius.com

Page 82: C08sri.pdf

Lampiran 3. Foto metode kerja pengambilan data clan sampel preparat histologi abalon

Langkah Ke rja 1. Sampel abalon 2. Pengukuran panjang cangkang dengan jangka sorong 3. Penimbangan bobot dengan neraca elekrrik (akurasi 0.01 gram) 4. embeda ah& bagian tub& abalon (tampak cmlcal appenAge b e m a

kehijananhtina) 5. P e n g u k m panjang conical appendage (orange=jantan) 6. Pernotongan sampel histologi conical appendage (gonad) 7 . Pengawetan sampel dengan larutan Bouin 8. Sampel gonad abalon siap dibawa ke laboratorium

Page 83: C08sri.pdf

Lampiran 4. Metode pembuatan preparat histologis gonad abalon Haliotis asinina menurut Hermawati (2006) @ Wibowo (2007)

Fiksasi

Gonad ikan difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam setelah itu dipindahkan ke alkohol70 % selama 24 iam.

Dehidrasi

Gonad direndam dalam &oh0170 % (24 jam), alkohol80 % (2 jam), alkohol90 % (2 iam),alkohol95 % (2 jam), &oh01 100 % (12 jam).

1 I Clearing (penjernihan) I

Gonad direndam dalam alkohol 100 % + xylol(1 : 1) selama 30 menit, kemudian diindam dalam Xylol I, Xylal 11, Xylol III masing - masing 30 menit.

I Embedding (penyusupan I infiltrasi) I Gonad direndam dalam parafin - xylol (1:l) selama 45 menit dalam oven suhu 65 - 75" C, selanjutnya direndam dalam parafin I, parafin 11, p a r a h III selama masing - masing 45 menit yang dipanaskan dalam oven suhu 65 - 7 9 C dan kemudian jaringan dieetak dalam eetakan selama 12 jam (proses blocking).

I Pernotongan I Gonad dipotong dengan ketebalan 4 - 6 p dengan mikrotom, diapungkan dalam air suam kuku dm diletakkan di atas hot plate 40" C sampai agak kering.

.L

Preparat diindam berturut - turut dalam xylol I, xylol I1 masing - masing selama 5 menit.

I - - Dehidrasi 11

Preparat diiendam secara berurutan dalam &oh01 100 % I, akohol 100 % II, alkohol 95 %, alkohol 90 %, alkohol 80 %, alkohol 75 %, alkohol 71 %, alkohol 50 % masing - masing selama 2 menit, setelah itu preparat dicuci dengan aquades sampai putih

Page 84: C08sri.pdf

Pewarnaan

Frepwat diendam dalam larutan haemotoxylin selama 5 - 7 menit selanjutnya direndam dalam lamtan eosin selama 3 menit dan cuci dengan air mengalir.

1 Dehidrasi III

Preparat direndam berturut - twut dengan alkohol50 %, alkohol70 %, alkohol SO %, alkohol 85 %, allcohol 90 %, aikohol 95 %, alkohol 100 % I, alkohol 100 % I1 masing - masing selama 2 menit.

Clearing I1

Preparat direndam xylol I, xylol II, dan xylol III masing -masing selama 2 menit.

Mounting

Preparat diberi zat perekat entelan/canada balsam kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass) dan dibiarkan selama 12 jam.

Page 85: C08sri.pdf

ampiran 5. Foto Histologi gonad abalon Haliotis asinina matang (ripe)

a. Abalon jantan (sel sperrna)

b. Abalon betina (sel telur)

Page 86: C08sri.pdf

Lampiran 6. Distribusi kkuensi panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage

1 a. Distribusi frekuensi menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina

jantan dan betina

b. Dstribusi fiekuensi bobot total abalon Haliotis asinina jantan dan betina

Page 87: C08sri.pdf

75

c. Dstribusi fiekuensi bobot daging abalon Haliotis asinina jantan dan betina

d. Dstribusi frekuensi bobot conical appendage (gonad dan kelenjar penoemaan) abalon Haliotis asinina jantan dan betina

Page 88: C08sri.pdf

~ambiran 7. Uji Chi-sequare terhadap nisbah kelamin abalon Haliotis asinina jantan dan betina.

1 . Nisbah kelamin total

Hipotesis :

Ho : jantan : betina = 1 : 1 (nisbah kelamin seimbang)

HI : jantan : betina = 1 # 1 (nisbah kelamin ti& seimbang)

Jenis Kelamin Jantan Betina Total

Erekuensi harapan

= 0,306748

X? tabel = &.osV=z-1) = 3,841

Keputusan : X himg < X*,. maka gagal tolak HO

Kesimpulan : Nisbah kelamin abalon total seimbang.

2. Berdasarkan kelas ukuran panjang cangkang

a. Ukuran panjang cangkang 550,O mm

Jumlah (ekor) 158 168 326 163

Jenis Kelamin

Betina Total 150

Frekuensi 75

= 1,30667

2 tabel = = 3,841

Keputusan : X hmmg < Xtabel, maka gagal tolak Ho

Kesimpulan : Nisbah kelamin abalon seimbang.

Page 89: C08sri.pdf

Hipotesis :

Ho : j a n b : M i a = 1 : 1 (nisbah kelamin seimbang)

HI : jantan : betina = 1 # 1 (nisbah kelamin tidak seimbang)

Jenis Kelamin Jantan Betina Total

Frekuensi harapan

= 1,63636

X? tabel = %.osor=z-1) = 3,841

Keputusan : X hitung < Xabcl, maka gaga1 tolak Ho

Kesimpulan : Nisbah kelamin seimbang.

Jumlah (ekor) 76 100 176 88

Page 90: C08sri.pdf

Lampiran 8. Hasil analisa histologi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina jantan dan betina

Page 91: C08sri.pdf
Page 92: C08sri.pdf

Lampiran 9. ~akto; kondisi abalon Halioiis asinina jantan clan betina

a. Berdasarkan fase bulan

b. Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang

c. Bedasarkan tingkat perkembangan kematangan gonad

Page 93: C08sri.pdf

Lampiran 10. Nilai GBI-tc abalon Haliotis asinina jantan dan betina

a. Berdasarkan fase bulan

b. berdasarkan tingkat perkembangan kematangan gonad

c. berdasarkan ukuran kelas panjang cangkaug

Page 94: C08sri.pdf

Lampiran 11. Diameter telur abalon Haliotis asinina

Page 95: C08sri.pdf

Lampiran 12. Data analis pengamatan indeks kematangan gonad dan faktor kondisi

Page 96: C08sri.pdf
Page 97: C08sri.pdf

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1983.

Penulis merupakan anak kelima yang terlahir dari pasangan

Bapak Karto Ribut dan Ibu Asih. Pendidiian formal

pertama diawali dari SDN 11 Pagi Jakarta (1990), SMPN

21 1 Jakarta (1996), SMUN 38 Jakarta (1999). Pada tahun

2003 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis memilih program studi Ilmu Kelautan

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HIMITEKA

(Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) periode 2004-2005 pada

Departemen LITJAK dan 2005-2006 pada Bidang Kewirausahaan. Penulis juga

pemah aktif sebagai panitia dari beberapa kegiatan yang diselenggarakan di

lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di antaranya sebagai ketua

panitia Fieldtrip mata kuliah Oseanografi Umum 2005, ketua panitia Pendidikan

Kelautan, Gebyar Kelautan Nusantara (GENTAR 2006) HIMITEKA IPB dan

HIMfTEKINDO dan delegasi pada Mukemas Himpunan Mahasiswa Kelautan

Indonesia (NIMITEKINDO) IV 2005 di Bogor. Penulis juga pemah menjadi

koordinator asisten praktikum mata kuliah Biologi Laut pada periode 2005-2006.

Selain itu penulis juga pemah bekerja di PT. Securindo Packatama Indonesia pada

tahun 2002-2003 dan saat ini mengajar di Lembaga Bimbingan Belajar BTA 8

Jakarta pada mata ajar frsika.

Sebagai salah satu syarat rmtuk memperoleh gelar sajana pada Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi

dengan judul "Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis asinina. Lm) di

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta"