c08sri.pdf
TRANSCRIPT
![Page 1: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/1.jpg)
oJ-21 BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON
(Haliotis asinina Lin.)
DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
SLAMET RIYADI
PROG S I ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PElUKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERT BOGOR
2008
![Page 2: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/2.jpg)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang be rjudul :
BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON (Haliotir asinina Lin.) DI
KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pemah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan infonnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkai dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar F'ustaka di Bagian Akhir Slcripsi ini
SLAMET RIYADI C64103082
![Page 3: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/3.jpg)
SLAMET WADI. Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis asinina Lin) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Di bawah bimbingan DEDI SOEDHARMA dan D. E. DJOKO SETYONO.
Penelitian ini dilakukan di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta pada tanggal 30 Maret-1 Mei 2008. Pengambilan sampel abalon dilakukan setiap selang waktu satu minggu pada fase bulan gelap (mati), transisi I (quarter I), purnama dan transisi II (quarter II) yang me~pz3kaII abalon hasil tangkapan nelayan. Analisa lapangan dan laboratorium meliputi pengukuran panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage (gonad dan kelenjar pencemaan), pengamatan tingkat kematangan gonad dan pengdcwan diameter telur. Analisa data meliputi deskripsi panjang cangkang, bobot total, bobot dagiig, dan bobot conical appendage, rasio kelamin, hubungan panjang dan bobot: faktor kondisi, ukuran pertama matang gonad, indeks kematangan gonad dan diameter telur.
Abalon (Haliotis asinina) yang diamati berjumlah 326 ekor terdiri dari 158 ekor (48,47%) jantan dan 168 ekor (5133%) betina. Dari analisa hubungan panjang dan bobot, diperoleh pola pertumbuhan pada abalon jantan adalah isometrik, sedangkan pada abalon betina adalah allometrik negatif. Ukuran pertama matang gonad pada individu abalon jantan ditemukan pada kelas panjang cangkang 35,l-40,O mm, dan 40,l-45,O mm pada abalon yang betina. Pada populasi abalon (>50% sampel), ukuran pertama matang gonad ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 40,145,O mm pada abalon jantan dan 50,l-55,O mm pada abalon betina Pada fase bulan pumama, abalon berada pada puncak kematangan gonad, sedangkan pada fase bulan gelap, abalon berada pada tahap pemijahan total (spent) yang menunjukkan abalon dengan puncak pemijahan tertinggi. Distribusi h a n diameter telur memperlihatkan lebih dari satu modus yang menggambarkan bahwa abalon Haliotis asinina memiliki pola pemijahan yang bersifat partial (partial spawner) yaitu pemijahan dilakukan lebii dari satu kali selama satu musim pemijahan.
![Page 4: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/4.jpg)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
pengetahuannya sehingga skripsi yang berjudul " Beberapa Aspek Reproduksi
Abalon (Haliotis nsinina Lin.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dapat di
selesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedhama, D.E.A. selaku pembimbing utama skripsi,
yang telah memberi arahan, biibingan dan bantuan baik moral dan
material dalam penulisan karya ini.
2. Kepala UPT Loka Pengembangan Bio Industri Laut, LIP1 Mataram,
Dr. Ir. D. E. Djoko Setyono, M.Sc. selaku pembimbiig anggota skripsi,
yang telah memberi arahan, bimbingan dan bantuan baik moral dan
material dalam penulisan karya ini.
3. Ir. Widodo, selaku p e m b i i i g akadmik atas segala masukan dan
arahannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
4. Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang telah memfasilitasi
penulis selama penelitan berlangsung.
5. Bapak Ranta di Laboratorium Penyakit Ikan Departemen Budidaya
Perairan, FPIK IPB yang telah membantu selama penelitian.
6. Bapak Adi di Laboratorium Anatomi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama penelitian.
7. Seluruh Staf Departemen ITK yang telah banyak membantu penulis
selama menempuh p e n d i d i i di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
8. Keluarga Besar (Bapak, Ibu, Kakak : Mba Dio, Mba Wiwi, Mas Wahyy
A' Udin dan Karib Kerabat) yang senantiasa mendoakan dan memberi
dukungan baik moral maupun material selama penulis menempuh
pendidikan.
![Page 5: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/5.jpg)
9. Bang Hakim, Pak Wappi, Mas Ahmad dan Keluarga di Pulau Panggang,
Kepulauan Seribu yang telah membantu penulis selama penelitian di
lapangan.
10. Teman-teman ITK, khususnya angkatan 40, Ganjar Saefhrabman,S.Pi
Yohan Sonny, Abie Aryo, Firman BDP'40, Handito dan semua teman-
teman yang tidak cukup disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua
bantuan, pengorbanan dan persahabatannya selama ini.
11. Kawan-kawan di rumah: Beni Setiawan, Andri, Iwan, Cantik Putri P,
Affan Hairil dan semua teman-teman di rumah yang tidak cukup
disebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis selama penelitian
dan menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
12. Rekan sekerja di Srengseng Aqualobster : Ganjar, Aldo, Abie, Firman,
Bang Beben, Nain, Danu clan semua yang pemah berada di Srengseng
Aqualobster.
13. Meza Muliaharty, S.E, atas kehadiran, semangat dan bantuannya di saat
penyelesaian skripsi ini.
14. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, baik dalam isi maupun penulisan. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan saran dan masukannya. Penulis berharap, semoga karya kecil ini
dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2009
Penulis
![Page 6: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/6.jpg)
BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI ABALON
(Haliotis asinina Lin.)
DI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh: SLAMET IUYADI
C64103082
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
PAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAW
INSTITUT PERTANLAN BOGOR
2008
![Page 7: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/7.jpg)
Nama
NIP
: Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliofis
asinina Li.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
: Slamet Riyadi
: C64103082
Disetujui:
Komisi P e m b i i i g
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedhanna. DEA Dr. Ir. D. E. Dioko Setvono. M.Sc
NIP 130 367 093 NIP 320 004 702
Perikanan dan Ilmu Kelautan
NIP 131 578 799
![Page 8: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/8.jpg)
DAFTAR IS1
Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
1.1 Latar belakang .................................................................................... 1 1.2Tujuan ................................................................................................ 2 1.3 Kerangka pendekatan ........................................................................ 3
2 . TINJAUAN BUSTAKA
2.1 Biologi mum abalon ............................................................. ............................................ 2.2 Morfologi dan anatomi abalon
2.3 Biologi reproduksi abalon .................................................. ................................................. 2.4 Nisbah kelamin (sex ratio)
2.5 Faktor kondisi ................................................................ 2.6 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ......................................
2.6.1 Perkembangan gamet ............................................ 2.6.1 . l Spermatogenesis ..................................................... 2.6.1.2 Oogenesis ................................................................
.......................................................... 2.7 Ukuran pertama matang gonad ..... 2.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) / Gonad Bulk Index (GBI-tc)
2.9 Diameter telui ................................................................ ........................................................ 2.10 Histologi sel gonad
3.1 Lokasi dan waktu ............................................................................... ................................................................................... 3.2 Mat dan bahan
3.3 Metode kerja ................................................................. 3.3.1 Pengumpulan sampel ............................................
.................... 3.3.2 Pengukuran panjang cangkang dan bobot .................................................................. 3.4 Analisa data
3.4.1 Hubungan panjang-bobot ........................................... 3.4.2 Nisbah kelamin (sex ratio) ...................................... 3.4.3 Faktor kondisi ....................................................
................. 3.4.4 Analisa Indeks Kematangan Gonad (GBI-tc) 3.4.5 Analisa Tigkat Kematangan Gonad .........................
................... 3.4.6 Penentuan ukuran pertama matang gonad ...................................... 3.4.7 Pengukuran diameter telur
viii
![Page 9: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/9.jpg)
4 . HASIL PEMBAHASAN
4.1 Struktur ukuran .................................................................................. 4.2 Distfibusi &wan ...............................................................................
4.2.1 Panjang cangkang ............................................................... 4.2.2 Bobot total .......................................................................... . . . . . . ' ...................................................................... 4.2.3 Bobot dapg 4.2.4 Bobot conical appendage ...................................................
4.3 Hubungan panjang-bobot .................................................................. 4.3.1 Panjang cangkang dan bobot total ...................................... 4.3.2 Panjang cangkang dan bobot daging .................................. 4.3.3 Bobot total dan bobot daging ............................................. 4.3.4 Bobot total dan bobot conical appendage ..........................
4.4 Nisbah kelamin (sex ratio) ................................................................ . . = 4.5 Faktor kondtsl ....................................................................................
4.6 Ti~lgkat Kematangan Gonad (TKG) .................................................. 4.7 Ukuran pertama matang gonad ..........................................................
...... 4.8 Ind'eks Kerntangan Gbnad (IKG) I Ganbii Bulk I d e x (GBIdc) ................................................................................ 4.9 Analisa histologi
.................................................................................. 4,9.1 Jantan 4.9.2 Betina ..................................................................................
.................................................................................. 4.10 Diameter telur
5 . KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 5.2 S m ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
![Page 10: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/10.jpg)
Tabel 1. Kriteria tingkat kematangan gonad abalon Haliotis asinina
(Setyono, 2006) ................................................................. 25
![Page 11: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/11.jpg)
Halaman
1 . Morfologi cangkang abalon Haliotis asinina ................................ 6
2 . Anatomi abalon Haliotis asinina ............................................. 6
3 . Skema conical appendage (gonad dan kelenjar pencemaan) ............. 22
4 . Sebaran frekuensi panjang cangkang abalon Haliotis asinina .............................................................................. 30
5 . Sebaran fiekuensi bobot total abalon Haliotis asinina ........................................................................ 31
6 . Sebaran fiekueasi bdbot daging tiljalan Haliotis asinina ..................................................................................... 31
7 . Sebaran frekuensi bobot conical appendage abalon Haliotis asinina .......................................................................... 32
8 . Hubungan panjang cangkang dan bobot total ....................................... 34
9 . Hubungan panjang cangkang dan bobot daging ........................... 35
10 . Hubungan bobot total dan bobot daging .................................... 36
11 . Hubungan bobot total dan bobot conical appendage ..................... 38
12 . Nilai faktor kondisi abalon menurut fase bulan ........................... 41
13 . Nilai faktor kondisi abalon menurut ukuran kelas panjang cangkang ............................................................ 42
14 . Nilai faktor kondisi menurut tingkat kematangan gonad ..................... 43
15 . Distribusi kkuensi tingkat kematangan gonad menurut fase bulan ............................................................ 45
16 . Disiribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang ................................................... 49
17 .Nil& GBI-t6 menurut fase bulan ............................................ 51
18 . Nilai GBI-tc menurut tingkat kematangan gonad ......................... 51
19 . Nilai GBI-tc menurut ukuran kelas panjang cangkang ................... 52
![Page 12: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/12.jpg)
20 . Histologi tingkat kematangan gonad abalon jantan ....................... 56
21 . Histologi tingkat kematangan gonad abalon betina ....................... 57
22 . Distribusi fiekuensi ukuran diameter telur menurut tingkat kematangan gonad .......................................... 60
23 . Ukuran diameter telur menurut fase bulan ................................... 61
xii
![Page 13: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/13.jpg)
Halaman
1. Foto cangkang abalon (Haliotis) tropis di perairan Indonesia @lidrink 1988 ~ Se@on0,2004) ..................................................... 68
...................... 2. Foto cangkang beberapa abalon (Haliotis) sub-tropis
3. Foto metode kerja pengambilan data dan sampel preparat ............................................................... histologi abalon
4. Metode pembuatan preparat histologi gonad abalon Haliotis asinina menurut Hermawati (2006) & Wibowo(2007) ......
5. Foto histologi gonad abalon Haliotis asinina matang (ripe) ............
6. Distribusi hkuensi panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage ...........................................................
7. Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin abalon Haliotis asinina jantan dan betina ..................................................................
8. Hasil atialia histolbgi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina ......................................
9. Faktor kondisi abalon Haliotis asinina ............................................
10. Nilai GBI-tc abalon Haliotis asinina ...............................................
11. Diameter telur abalon Haliotis asinina ...................................
12. Data analisa pengamatan indeks kematangan gonad ............................................................................ dan faktor kondisi
... Xlll
![Page 14: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/14.jpg)
1.1 Latar belakang
Abalon atau siput mata tujuh adalah kelompok moluska laut yang
tergolong dalam genus Haliotis, hidup di zona intertidal sampai kedalaman 80-
100 m, tersebar di daerah tropis sampai sub-tropis. Dari sekitar 100 spesies
abalon yang tersebar di dunia, terdapat tujuh spesies yang ditemukan di perairan
Indonesia antara lain Haliotis asinina, H. varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra,
H. planate dan H. crebrisculpta (Dharma, 1988 & Setyono, 2004b). Spesies
Haliotis asinina merupakan abalon tropis terbesar dengan panjang cangkang
mencapai 12 cm, terdapat di sepanjang perairan Indo-Pasifik, termasuk di perairan
Indonesia timur seperti Lombok, Surnbawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua
(Setyono, 2004b). Spesies hi sejak lama ditangkap nelayan k a n a mdki nilai
ekonomi yang tinggi.
Di perairan Lombok dan Kepulauan Seribu, selama ini nelayan
menangkap abalon untuk diionsumsi atau dijual ke pasar ekspor. Aktivitas
penangkapan ini semakin meningkat seiring meningkatnya pennintaan komoditas
abalon di bebenpa negara di dunia, terutarna Jepang, China, Amerika Serikat, -
Hongkong, dan Taiwan. Akibat aktivitas penangkapan yang semakin meningkat,
serta belum adanya regulasi ukuran minimum abalon yang diperbolehkan
ditangkap, menyebabkan stok dam abalon spesies ini semakin menurun.
Teridentifikasi adanya penurunan jurnlah stadia induk abalon di alam untuk
bereproduksi, yang mengakibatkan penurunan j d a h serta semakin kecil ukuran
abalon hasil tangkap. Kondisi ini terkait dengan tingkat kematangan gonad induk
![Page 15: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/15.jpg)
abalon untuk berpijah. Di wilayah beriklirn sedang, abalon umumnya memilii
periode musim bertelur yang bemariasi menurut spesies dan temperatur air
(Shepherd dan Law, 1974 & Setyono, 2004b; Ikenous dan Kafuku, 1992
Setyono, 2004b; Hooker & Setyono, 2004b; Creese, 1995; Wilson dan Schiel,
1995 & Setyono, 2004b). Abalon Haliotis asinina diietahui memijah sepanjang
tahun (Jarayabhan dan Paphavasit, 1998 & Setyono, 2004b; Capinpin et a]., 1998
in Setyono, 2004b), sehingga akan menyulitkan jika diterapkan pembatasan -
terhadap jumlah dan ukuran yang diperbolehkan untuk ditangkap pada saat
periode pemijahan. Oleh karena itu, penentuan ukuran pada saat induk abalon
matang gonad sangat penting diketahui sehingga dapat digunakan untuk
menentukan ukuran abalon yang diperbolehkan ditangkap, sehingga menjamin
keberlanjutan reproduksi induk abalon di dam.
Studi mengenai aspek reproduksi spesies abalon tropis Haliotis asinina
telah dilakukan di Thailand dan Filipina, sedangkan di Indonesia, studi ini telah
dilakukan di perairan Lombok selatan. Selain itu, pengembangan teknologi
budidaya abalon Haliotis asinina saat ini sedang dilakukan di beberapa Loka
Budidaya Perikanan di Lombok dan Bali. Spesies abalon Haliotis asinina juga
ditemukan dan ditangkap nelayan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Oleh karena
itu, penelitian ini mengambil topik Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis
asinina Lin.) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan
kematangan gonad dan ukuran pada saat pertarna kali matang gonad serta
![Page 16: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/16.jpg)
menjelaskan informasi tentang morfometrik abalon Qopis Haliotis asinina yang
hidup di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Informasi ini diiarapkan dapat
digunakan untuk menjelaskan aspek reproduksi dan morfologi abalon tropis
Haliotis asinina sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan
penangkapan abalon yang berkelanjutan serta dapat diterapkan dalam
pengembangan budidaya abalon di Indonesia.
1.3 Kerangka pendekatan
Penelitian ini me~pZ+kaII studi perbandingan dari reproduksi abalon
Haliotis asinina yang telah dilakukan di perairan Lombok selatan. Pendekatannya
diawali dengan mempelajari hasil studi mengenai reproduksi abalon yang telah
dilakukan di perairan Lombok selatan, kemudian deskripsi ini dibandingkan
dengan abalon yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
![Page 17: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/17.jpg)
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi umum abalon
Klasifikasi abalon Haliotis asinina menurut Kruatrachue at al., (2004) :
Filum : Moluska
Subfilum : Conchifera
Superkelas : Visceroconcha
Kelas :Gastropods
Subkelas : Orthogastropoda
W e l a s : Vetigastropoda
Superfamili : Haliotoidea
Famili : Haliotidae
Genus : Halioiis
Spesies : Haliotis asinina (Limeus, 1758)
Siput abalon ditemukan di perairan dangkal pada daerah yang berkarang
atau berbatu yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Abalon
bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. -
Gerakan kaki abalon sangat lambat, sehingga memudahkan predator untuk
memangsanya (Tahang et aL, 2006).
Pada siang hari atau suasana terang, siput abalon lebii cendemg
bersembunyi di karang atau batu, sedangkan pada suasana malam atau gelap lebih
aktif melakukan gerakan berpindah tempat @enifat nocturnal). Ditinjau dari
segi perairan, kehidupan siput abalon sangat d i p e n g d kualitas air. Secara
![Page 18: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/18.jpg)
umnm, spesies siput abalon mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-
beda, seperti Haliotis kamschatkana dapat hidup dalam suhu yang lebii dingin
sedangkan Haliotis asinina dapat hidup dalam air bersuhu tinggi sampai 30 "C
Parameter kualitas air yang berpengaruh yaitu pH antara 7-8, salinitas 3 1-32 ppt,
HzS dan NH3 kurang dari 1 ppm (Tahang et al., 2006).
Penyebaran siput abalon sangat terbatas. Tidak semua pantai yang
berkarang atau barbatu terdapat siput abalon. Secara umum siput abalon tidak
ditemukan di daerah estuaria. Hal ini berkaitan dengan fluktuasi salinitas dan
tingkat kekeruhan yang tinggi dan konsentrasi DO yang rendah. Siput abalon
me~pakan hewan herbivora pemakan makroalga (seaweeds) dan mikroalga.
Jenis alga yang biasa dimakan yaitu alga merah (Corallina, LLhothamium,
Gracillarla, Porphyaj, alga coklat (Laminaria, Macrocysis, Sargasum), alga
hijau (Ulvaj (Tahang et al., 2006).
2.2 Morfologi dan anatomi abalon
Watabe (1988) & Ramli (2003) menyatakan bahwa cangkang moluska
terdii dari lapisan dalam dan luar. Lapisan luar cangkang biasa disebut
periostracum yang me~pakan lapisan organik tipis, ketebalan lapisan ini -
berhubungan dengan habitat organisme. Lapisanperiostracum yang tebal
biasanya dijumpai pada organisme yang hidup di air tawar dan dataran tinggi,
sedangkan yang tipis dijumpai pada organisme yang hidup di daerah tropis.
Lapisan dalam cangkang meNpakaII lapisan kalsit yang terbagi atas lapisan
homogen, prismatik, foliat, nacreous, silimder bersilang dan lapisan kompleks
(Watanabe, 1988 & Ramli, 2003).
![Page 19: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/19.jpg)
Abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas tubuh.
Cangkang berbentuk seperti telimga yang menutupi bagian tubuh yang lunak
(Gambar 1). Cangkang abalon berwama abu-abu sampai merah sesuai dengan
tipe karang di habitatnya (FAO, 1995). Cangkang abalon berbentuk spiral dengan
spire sangat tipis. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah
yang sesuai dengan ukuran abalon, semakin besar ukuran abalon maka semakin
banyak lubang yang terdapat pada cangkang yang tertata rapi mulai dari ujung
depan hingga belakang cangkang (Tahang, et aL, 2006).
Dibandingkan abalon yang hidup di sub-tropis, Haliotis asinina tergolong
spesies abalon yang berukuran kecil yang hidup di tropis. Panjang cangkang yang
mum diionsumsi adalah 6 cm. Ukurannya cukup kecil. Spesies abalon yang
sangat popular di Jepang dan Korea adalah ezoawabi (H discus hannai) yang
berukuran hingga 14 cm clan rnedaka (H gigantea) yang berukuran hingga 25 cm
(JIvlPMMA, 1980 & Faisal, 2005), sedangkan di Eropa, spesies abalon Haliotis
tuberculata dapat mencapai panjang cangkang 123 mm (Stephenson, 1924 &
FAO, 1995).
Gambar 1. Morfologi cangkang abalon Gambar 2. Anatomi abalon Haliotis Haliotis asinina asinina
Sumber : Riyadi, 2008 Sumber : Fistech Inc, 2001
![Page 20: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/20.jpg)
Organ internal abalon tersusun di antara kaki dan cangkang (Gambar 2).
Organ yang paling tampak adalah gonad yang berbentuk seperti bulan sabit,
benvama abu-abu atau hijau pada betina dan coklat (cream) pada jantan. Gonad
menjulur pada sisi yang berlawanan pada lubang cangkang sampai pada bagian
belakang. Abalon mempunyai sepasang mata dan mulut dan sepasang tentakel
yang panjang. Di dalam mulut terdapat bagian seperti lidah yang panjang disebut
radula yang digunakan untuk menggaruk makanan seperti alga. Ruang insang
terdapat dekat mulut, di bawah lubang pernapasan. Air masuk melewati bawah
ujung cangkang dan kemudian mengalir melewati insang dan keluar melalui
lubang pada cangkang. Sisa pencemaan dan kelenjar kelamin dibawa keluar
bersama aliran air. Karena tidak adanya susunan syaraf sejati, abalon dianggap
sebagai hewan primitif. Abalon mempunyai jantung pada sisi kiri tubuh. Allan
darah mengalii melalui arteri, sinuses clan pembuluh darah (Fistech Inc, 2001).
2 3 Biologi reproduksi abalon
Studi mengenai aspek reproduksi abalon tropis Haliotis asinina telah
dilakukan di Filipina (Capinpin et al., 1998 & Setyono, 2005d); Thailand
(Jarayabhan dan Paphavasit, 1996 &z Setyono, 2005d); Australia (Jabreen et al.,
2000 &t Setyono, 2OOSd; Counihan eta]., 2001) dan Indonesia (Setyono, 2006).
Abalon bersifat gonokoris, memiliki satu gonad (jantan atau betina) yang
berada di sebelah kanan tubuh. Abalon mengalami matang gonad setelah benunw
6-8 bulan dengan panjang cangkang 35,O-40,O mm (Akuakultur Indonesia, 2006).
Jenis kelamin abalon mudah dikenali, yaitu ketika gonad telah masak, testes
berubah berwarna cream dan ovari menjadi kehijauan. Fertilisasi ekstemal tejadi
![Page 21: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/21.jpg)
saat jantan dan'betina mengeluarkan gamet langsung ke kolom air. Ukuran telur
sangat kecil, sekitar 0,2 mm dan bejumlah sangat banyak. Fekunditas sangat
bergantung pada spesies. Dinyatakan pula bahwa fekunditas abalon memiliki
hubungan eksponensial dengan panjang cangkang dan memiliki hubungan linear
dengan bobot basah tubuh (Faisal, 2005).
Di wilayah sub-tropis, abalon mempunyai periode bertelur (breeding) yang
be~ariasi menurut spesies dan termperatur air (Shepherd dan Laws, 1974 &
Setyono, 2004b; Ikenous clan Kafuku, 1992 & Setyono, 2004b; Hooker dan
ereese, 1995 & Setyono, 2004b; Setyono, 2003 & Setyono, 2004b) sehingga
memudahkan untuk mencegah populasi abalon ditangkap pada saat periode
kematangan gonad, yaitu pada saat pun& musim pemijahan (spawning). Di
wilayah tropis, abalon ditemukan memifah sepanjang tahun (Capinpin et al., 1998
in Setyono, 2004a; Jarayabhan dan Paphavasit, 1996 & Setyono, 2004a; Setyono, -
2003 Setyono, 2004a) sehingga sangat sulit untuk mengatur populasinya
dengan menutup musim tangkapan, tetapi dapat dilakukan dengan membatasi
ukuran yang boleh ditangkap nelayan.
Pemijahan pada Haliotis asinina sangat teratur dibandingkan famili
Haliotid dan invertebrata laut lainnya Periode pemijahan cenderung serentak
(synchronous;). Peristiwa yang terjadi ini dipengaruhi lebii dari satu faktor
lingkungan. Musim pemijahan abalon di Heron Reef Australia, berlangsung dari
Oktober-April yang berhubungan erat dengan peningkatan temperatur air.
Pengeluaran gamet tejadi dalam 2 malarn setiap 2 minggu pada periode bulan
gelap clan pumama. Hubungan antara pemijahan dengan periode bulan (lunar
periode) belum diketahui secara pasti. Terkadang pemijahan berlangsung pada 2
![Page 22: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/22.jpg)
lokasi populasi Haliotis asinina di Heron Reef, Australia. Diduga perbedaan
pasang surui sangat mempengaruhi pemijahan. Perseniax pemijahan terbesar,
terjadi ketika ada kehadiran kelamin abalon yang berlawanan. Frekuensi ejakulasi
jantan tertinggi ketika ada kehadiran betina. Di tempat budidaya abalon,
pemijahan serentak terjadi dalam 6 minggu dan setelah periode ini pemijahan
menjadi tidak teratur dan tidak serentak (Counihan et al., 2001).
2.4 Nisbah kelamin (sex ratio)
Jarayabhan dan Paphavasit (1996) & Setyono (2005e); Capinpin et al.,
(1998) & Setyono (2005e) menyatakan bahwa tidak ada perbedan ukuran tubuh
Haliotis asinina antara jantan dan betina pada saat dewasa. T i a t
perkembangan dari mortalitas pada populasi abalon jantan dan betina relatif sama.
Fenomena ini cendemg seragam pada genus Haliotis lainnya. Meskipun
demikian, di perairan Lombok, Indonesia, Setyono (2005e) menemukan bahwa
ukuran panjang cangkang pada abalon jantan dan betina terlihat berbeda. Abalon
betina berukuran maksimum lebii besar dibanding jantan.
Pada beberapa jenis abalon, dilaporkan memilii nisbah kelamin 1 :1,
seperti H. roei dan H. cyclobates di Australia Selatan (Skpherd clan Laws, 1974
in Setyono, 2004b), H. fulgens, H. corrugata dan H. sorenseni di Caliornia -
Selatan (Tutschulte dan Connell, 1981 & Setyono, 2004b), H. iris dan H. aus?ralis
di New Zeland (F'oore, 1973; Wilson clan Schiel, 1995 & Setyono, 2004b), H.
midae di Afrika Selatan (Wood dan Buxton, 1996 & Setyono, 2004b) dan H.
ovina, H. varia dan H. asinina di Thailand dan Filipina (Jarayabhan dan
Papbavasit, 1996 & Setyono, 2 004b); Capinpin et al., 1998 & Setyono, 2004b).
![Page 23: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/23.jpg)
Di perairan Lombok, ditemukan bahwa nisbah kelamin abalon jantan dan betina
pada ukuran panjang cangkang <50,0 mrn tidak berbeda nyata dari 1:1,
sedangkan pada ukuran panjang cangkang >SO,O mm, abalon memiliki nisbah
kelamin yang berbeda nyata dari 1:l (Setyono, 2004b).
Di beberapa wilayah seperti Jawa, Maluku, Bali, dan Lombok, populasi
abalon tropis terus menurun karena eksploitasi yang b e r l e b i . Jumlah hasil
tangkap semakin menurun dan abalon yang ditangkap juga semakin berukuran
kecil (Setyono, 2005e).
2.5 Faktor kondisi
Faktor kondisi (Kn) mempakan indikasi umum yang digunakan untuk
mengetahui kegemukan biota dalarn bentuk an& Faktor kondisi menunjukkan
keadaan biota dilihat dari kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan
proses reproduksi (Effendie, 1979). Faktor kondisi mempakan derivat dari
pertumbuhan rdatif yang tergantung pada ketersediaan makanan, umw, jenis
kelamin, dan kematangan gonad.
2.6 Tingkat Kematangan Gonad W G ) *
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan bagian dari aspek
reproduksi biota sebelum terjadi pemijahan yaitu perkembangan gonad yang
semakin masak. Penentuan TKG dapat digunakan untuk menggambarkan umw
atau ukuran biota mencapai matang seksual, waktu dan tempat pemijahan
(Atmadja, 1994 & M i , 2003). Selama proses itu, sebagian besar hasil
metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan te jadi
![Page 24: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/24.jpg)
perubahan bobot dalam gonad tersebut Wffendie, 1979). TK6 pada tiap waktu
bervariasi. TKG biota laut dengan nil& tinggi akan didapatkan paling banyak
pada saat menjelang pemijahan (Effendie, 1979).
Penentuan tingkat kematangan gonad didasari pada penampalcan sperma
atau ovari pada sampel histologi jaringan gonad. Tingkat perkembangan gonad
ditandai dengan k e h a d i i garnet pada fase spesifik-gametogenesis. Setyono
(2006) membagi gonad abalon pada lima tingkat tahap perkembangan gonad yaitu
previtellogenic (immature danproliferative) maturing, ripe, partly spawned, clan
spent. Volume yang besar dari testes atau ovari menunjukkan tingginya tingkat
kematangan gonad pada abalon. Semakin matang gonad maka akan semakin jelas
bentuk dari tabung atau tempat penyimpanan sperma atau sel telur (Yulianda et
at., 2000 & Ramli, 2 003).
2.6.1 Perkembangan garnet
2.6.1.1 Spermatogenesis
Webber (1977) & Ramli (2003) menyatakan bahwa yang terjadi dalam
spermatogenesis adalah sebagai berikut :
1. Spermatositogenesis
Pada tahap ini terjadi pembentukan spermatogonia (*5 p) yang
membelah secara mitosis dan kebanyakan memiliki nucleolus tunggal yang
disebut spermatosit I. Spermatosit I ini dicirikan dengan pertambahan volume
sitoplasma dan perubahan kecil pada nucleus. Pada beberapa spesies pertambahan
volume sitoplasma ini menyebabkan dinding inti menghilang. Selanjutnya akan
terjadi pembelahan yang pertama dan menghasilkan spennatosit 11. Pada
![Page 25: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/25.jpg)
spermatosit 11, nucleus akan mengalami perubahan bentuk. Tahap ini diakhiri
dengan periode kematangan kedua.
2. Spermiogenesis
Spermiogenesis merupakan tahap lanjutan spermatosit II menjadi
spermatid dan akhirnya akan membentuk spermatozoa yang akan digunakan
dalam proses fertilisasi.
2.6.1.2 Oogenesis
Tahap Oogenesis menurut Webber (1977) & Ramli (2003) adalah sebagai
beikut :
1. Perubahan premeiosis
Peristiwa yang terjadi pada premeiosis adalah : a) merupakan tahap
oogonial, nucleus berukuran kecil dan homogen; b) nucleus tumbuh dan kromatin
tersebar ke dalam nucleus; c) ukuran nucleus clan nucleolus bertambah dan
kromosom dapat dilihat; d) te jadi vltellogenesis pada sitoplasma; e) pertumbuhan
penuh oosit, nucleus bergerak ke arah permukaan oosit.
2. Pertumbuhan sitoplasma
Pada saat nucleus beaambah besar, maka massanya pun bertambah.
Pertambahan sitoplasma berkaitan erat dengan perkembangan oosit. Tahapan
yang terjadi adalah : a) oosit muda dikelilingi sel folikel ; b) penyerapn
sitoplasma yang mengakibatkan perkembangan oosit ; c) penyerapan kembali sel
folikel ke dalam oosit.
3. Tahap kematangan
Sentrosom mulai terlihat dan berhubungan dengan inti. Kromarin granula
menjadi kromosom. Membran inti yang mengeliligi germinal vesikel
![Page 26: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/26.jpg)
hilang memasuki tahap metafase dan replikasi kromosom.
2.7 Ukuran pertama matang gonad
Faktor-faktor yang mempengaruhi saat biota laut pertama kali mencapai
matang gonad yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam yang berpengaruh antara
lain umur, ukuran serta sifat fisiologi individu, sedangkan faktor luar antara lain
suhu, arus, dan adanya individu yang be rjenis kelamin berbeda pada tempat
berpijah yang sama (Lagler et al., 1962 & Ramli, 2003). Di daerah tropis, diduga
faktor yang berperan besar adalah suhu dan musim (Aida et a1.,1992 Ramli,
2003).
2.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) I Gonad Bulk Index (GBI-tc)
Indeks kematangan gonad (lKG) adalah nilai yang dapat menggambarkan
perubahan kondisi yang terjadi pada gonad secara kuantitatifyang merupakan
nilai perbandingan bobot gonad dan bobot total yang dinyatakan dalam persen.
Nilai K G akan meningkat dan mencapai maksiium pada saat menjelang
pemijahan dan menurun setelah pemijahan.
Gonad Bulk Index of Tutschulte and Connell (1986) (GBI-tc) (F'oore, -
1973; Shepherd dan Law, 1974; Creese, 1980; Joll, 1980; Tutschulte dan Connell,
1981; Hooker dan Creese, 1995; Wilson dan Schiel, 1995; Wood dan Buxton,
1996; Ward dan Davis, 2002 & Setyono, 2006) umumnya digunakanpada
moluska untuk menduga siklus reproduksi tahunan. GBI-tc dihitung bedasarkan
perubahan volume gonad. Hann (1989a) & Setyono (2006) menggunakan metode
analisa terhadap gonad untuk menjelaskm siklus reproduksi beberapa Haliotis,
![Page 27: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/27.jpg)
seperti indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad, dan frekuensi
ukuran telur. GBI-tc me~pakan metode paling sederhana clan banyak digunakan
pada Haliotis, meskipun demikian masih ditemukan beberapa bias kesalahan pada
penggunaannya (Shepherd dan Law, 1974 & Setyono, 2006; Hann, 1989a @
Setyono, 2006).
Gonad Bulk Index oflhtschulte and Connell(1986) ((GBI-tc) digunakan
untuk menerangkan siklus perkembangan gonad yang akurat dan sensitif pada
pembahau volume gonad, terutama pa& saat periode pemijahan total, pemijahan
sebagian dan setelah pemijahan. Pada saat tejadi peningkatan volume gonad
berarti terjadi peningkatan ukuran telur dan jumlah sperma pada akhir
kedewasaan. Dengan demikian, pengurangan volume gonad dianggap sebagai
pelepasan sperms atau telur setelah pemijahan.
GBI-tc juga telah digunakan oleh Capinpin et al., (1998) & Setyono
(2006) untuk menjelaskan siklus reproduksi Haliotis asinina di perairan Filipina.
Capinpin et al., (1998) & Setyono (2006) menyatakan bahwa nilai m a k s i i
GBI-tc Haliotis asinina di Filipina mendekati 57 pada jantan dan 70 pada betina.
Di Indonesia, Setyono (2006) menyatakan bahwa nilai maksimun GBI-tc sebesar
122,5 pada jantan dan 157,l pada betina. -
2.9 Diameter telur
Effendie (1979) menyatakan bahwa diameter telur semakin membesar
dengan berkembangnya gonad. Hal ini disebabkan adanya pengendapan k e g
telur, hidrasi, dan pembentukan butir-butir minyak secara bertahap dalam
perkembangan tingkat kematangan gonad.
![Page 28: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/28.jpg)
Diameter telur semakin membesar seiring dengan meningkatnya .
kematangan gonad saat biota mendekati pernijahan (Effendie, 1979). Ukuran
telur digunakan untuk menentukan kuantitas kandungan kuning telur. Telur yang
berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran lebii besar dibanding
larva yang d i h a s i i telur berukuran kecil (Effendie, 1979). Wotton (1983) @
Wibowo (2007) menyatakan bahwa biota yang mempunyai pola pemijahan
berganda akan mengeluarkan telur yang mempunyai ukuran yang lebih kecil pada
pemijahan berikutnya Ukuran telur biota dapat dinyatakan dalam banyak cara
yaitu dengan diameter tunggal maupun diameter terpanjang dan lebar telur
(Tamsil, 2000 @ Wibowo, 2007).
Frekuensi pemijahan &pat diduga dari penyebaran ukuran diameter telur
pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan meli i t modus penyebarannya
(Lumbanbatu, 1979 & Sanusi, 2000), sedangkan periode pemijahan dapat diduga
dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak
berukuran sama besar semua, menunjukkan periode pemijahan yang pendek,
sedangkan periode pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai oleh
banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Lumbanbatu, 1999 &
Sanusi, 2000). -
Ukuran telur abalon sangat kecil yaitu sekitar <0,2 mm dan berjumlah
sangat banyak. Fekunditas sangat tergantung pada spesies. Haliotis laevigata
dilaporkan mampu menghasilkan 2 juta telur, sedangkan Haliotis discus hannai
mampu menghasilkan 10 juta telur (Fallu, 1991 & Faisal, 2005). Pena (1986) jg
Faisal(fOO5) menyatakan bahwa Haliotis coccinea canariensis memiliki diameter
0,103 mrn dan diameter kuning telur 0,08 mm. Fekunditas m d i hubungan
![Page 29: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/29.jpg)
eksponensial dengan panjang cangkang d& memiliki hubungan linear dengan
bobot tubuh. Hal tersebut tarnpak pada jumlah telur yang diielwkan oleh
Haliotis canariensis pada ukuran 29 mm sebanyak 11.000 butir mencapai 70.000
butir pada ukuran 49 mm. Telur abalon tidak melayang dan pada air tenang akan
tenggelam. Namun karena ukurannya yang sangat kecil, dan massa jenisnya yang
tidak jauh berbeda dari massa jenis air laut, gerakan air sed'ikit saja dapat
mengangkat telur-telur ini ke kolom air (Fallu, 1991 & Faizal, 2005).
2.8 Histologi sel gonad
Histologi adalah cabang biologi yang mempelajaii tentang jaringan
(Banks, 1986 & Ramli, 2003). Histologi sel gonad mentpakan cara pengamatan
terhadap jaringan sel gonad secara mikroskopis.
Pada histologi sel gonad Checoreus capucims (fatnili Muricidae)
menunjukkan bahwa pada gonad gastropods jantan, perkembangan gonad dapat
t e r l i i pada pe~bahan-pe~bahan yang te rjadi pada seminiferous tubulus.
Kematangan gonad jantan ditunjukkan dengan adanya spermatozoa. Pada betina,
tingkat kematangan gonad ditandai dengan perkembangan germital epithelium
dan ukuran diameter telur yang semakin membesar.
![Page 30: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/30.jpg)
3. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan waktu
Pengambilan sampel abalon dilakukan setiap selang waktu satu minggu
dari tanggal 30 Maret -1 Mei 2008 pada fase bulan gelap (mati), transisi I (quarter
I), purnama dan transisi I1 (quarter 11). Sampel abalon diperoleh dari hasil
tangkapan nelayan di sekitat perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Proses
pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Penyakit Ikan, Fakultas
Perikanan dan Ihnu Kelautan, sedangkan pengamatan preparat histologi dilakukan
di Laboratorium Biologi Laut, Fakultas Perikanan dan Ihnu Kelautan, dan
Laboratotium Anatomi Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
3.2 Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah kantung platik, plastik
transparansi, sarung tangan, handukhh, jangka sorong, neraca EleRfrik, alat
bedah, lamtan Bouin 3, akohol70%, botol film, mikroskop, mikrometer okuler,
dan kamera digital bermerk Canon Powershot A570IS beresolusi 7,l MP. -
3 3 Metode kerja
33.1 Pengumpulan sampel
Sampel abalon diambil dari nelayan pengumpul di Pulau Panggang, yang
mempakan hasil tangkapan nelayan di sekitar perairan Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta.
![Page 31: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/31.jpg)
Gonad abalon diambil selama 3 hari pada setiap fase bulan, yaitu pada fase
bulan gelap, transisi I, pumama, dan transisi 11. Gonad diawetkan dalam larutan
Bouin's selama minimal 24 jam dan maksiial72 jam, kemudian sampel
dipindahkan ke dalam larutan alkohol70%, selanjutnya dibawa ke Laboratoriurn
Penyakit Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
untuk diproses menurut standar histologi.
3.3.2 Pengukuran panjang cangkang dan bobot
Pengukuran panjang cangkang dan bobot total abalon dilakukan di Pulau
Panggang. Sampel abalon adalah hasil tangkapan nelayan yang d i p u l k a n oleh
nelayan pengumpul pada waktu pengambilan data. Untuk abalon yang berukuran
30,O-60,O mm, sebanyak minimal 15 ekor jantan dan 15 ekor betina dibawa ke
Taman Nasional Kepulauan Seribu, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu untuk
dilakukan pembedahan dan penimbangan bobot daging dan bobot conical
appendage (gonad dan kelenjar pence-).
Sebelum pengukuran dilakukan, sampel abalon diletakkan pada
handukikain kering untuk menyerap air dari tubuh dan cangkangnya. Selanjutnya
dilakukan pengukuran terhadap panjang caugkang (shell length/SL) dan bobot -
total. Pembedahan dilakukan untuk memisahkan conical appendage dari tubuh
dan cangkang. Panjang cangkang diukur dengan menggunakan jangka sorong
dengan ketelitian 0,l rnrn. Secara berumtan, setelah pengulcuran panjang
cangkang, dilanjutkan dengan menimbang abalon dengan mengguuakan neraca
EleRtrlik dengan ketelitian 0,01 gram yaitu penimbangan bobot total (body
weightiBW) dilanjutkan penimbangan bobot daging (meat weightlMW) yaitu
![Page 32: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/32.jpg)
bobot setelah cangkang dan conical appendage dipotong dari tubuh abalon. Hal
ini dilakukan untuk menduga hubungan panjang cangkang dan bobot. Bobot
conical appendage juga ditimbang untuk menentukan hubungan bobot gonad dan
bobot total.
3.4 Analisa data
3.4.1 Hubungan panjang-bobot
Metode regresi yang digunakan untuk menghitung hubungan panjang
bobot adalah dengan rumus (Effendie, 1979), yaitu :
W= a~~
LogW=Loga+bLogSL
D i i a : W = Bobot abalon (gram)
L = Panjang cangkang (mm)
Bedasarkan pola hubungan linear, dapat dilihat korelasi parameter dari
hubungan panjang-bobot yang dapat d i l i i t dari nilai konstanta b (sebagai
pendugaan tingkat keeratan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesa :
1. J i i b=3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama
dengan pertumbuhan bobot). -
2. Jika b#3, dikatakan memiliki hubungan allometrlk yaltu pola hubungan
panjang tidak sama dengan pola pertumbuhan bobot.
Untuk menentukan pola pertumbuhan dari persamaan panjang-bobot
menggunakan uji-t (Steel dan Tome, 1995 &z Sanusi, 2000) terhadap nil& b pada
selang kepercayaan 95%. Apabila nilai hitung< maka terirna Ho, artinya nilai
b=3 sehingga pola pertumbuhan isometrik, sedangkan apabila > &I maka
![Page 33: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/33.jpg)
tolak Ho, artinya nilai W3,sehingga pola perhunbuhannya adalah allometrik
negatif @<3) atau allometdc positif (b3).
3.4.2 Nisbah kelamin (sex ratio)
Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah antara
abalon jantan dan betina. Nisbah kelamin dihitung dengan rumus :
Keterangan :
X = Nisbah kelamin
M = Jumlah abalon jantan (ekor)
F = Jumlah abalon betina (ekor)
Keseragaman sebaran nisbah kelamin dihitung dengan uji Chi-square
(Steel dan Tome, I995 & Sanusi, 2000).
Keterangan :
h2 = peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri khi
kuadrat.
Oi = frekuensi abalon jantan dan betina yang diamati.
ei = kkuensi harapan, yaitu frekuensi rata-rata abalon jantan ditambah
betina
![Page 34: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/34.jpg)
3.4.3 Faktor kondisi
Faktor kondisi dihitung dengan rumus sistem metrik (Effendie, 1979), yaitu
Keterangan : ' W = Bobot individu (gram)
L = Panjang cangkang (mm)
Rumus ini digunakan apabila pola hubungannya isometrik, sedangkan
apabila pola hubungannya dlometrik digunakan rumus :
Keterangan : a, b = konstanta
Dengan nilai a diperoleh :
L O ~ W X ~ ~ C ( L O ~ L ) ~ - yxC ~ o ~ z x ~ ( ~ o ~ z x ~ o g w ) Log a G
N X ~ ( L O ~ L ~ ) - (Z LO~L)'
Makk untuk mencari nilai b :
3.4.4 Anaka Indeks Kematangan Gonad (GBI-tc)
Analisa Indeks Kematangan Gonad dilakukan dengan menggunakan
Indeks Kematangan Gonad modifikasi (GBI-tc) dari Tutschulte dan Connell
(1981) oleh Setyono (2006). Metode ini menghasilkan pendugaan yang akurat
dengan memperkirakan perubahan volume gonad sebagai indikator yang baik
pada kematangan gonad H. rufescens, H. @/gens, H. corrugata dan H. sorenseni
![Page 35: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/35.jpg)
(Tutschulte clan Connell, 1981 & Setyono, 2006) dan Haliotis asinina (Setyono,
2006).
Conical appendage dipisabkan dari tubuh abalon dengan cara memotong
pada bagian dekat dasar lempeng visceral. Pengukuran lebar dan tinggi conical
appendage dilakukan melahi titik tengah conical appendage. Secara skematik
pengukuran bagian-bagian conical appendage dilukiskan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema conical appendage
Ketemngan Gambar :
A : Skema conical appendage yang memperlihatkan gonad (G) dan
kelenjar pencemaan @G), 1 = panjang conical appendage
B : Skemapotongan melintang yang diambil dari titik tengah conical 7
appendage, x = lebar conical appendage, y = tinggi conical
appendage, a = lebar kelenjar pencernaan b = tinggi kelenjar
pencernaan (digestive gland) (Tutschulte dan Comell, 1982 & Hahn,
1989a & Setyono, 2006)
![Page 36: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/36.jpg)
GBI-tc dihitung dengan membagi perkiraan volume gonad (EGV) dengan
bobot total (BW). EGV dihitung dengan persamaan (Tutschulte clan Comell,
1981 & Setyono, 2006) yaitu :
D i a n a : 1 : Panjang conical appendage (mm)
x : Lebar conical appendage (mm)
y : Tinggi conical appendage (mm)
a : Lebar kelenjar pencernaan (digestive gland) (mm)
b : Tiggi kelenjar pencernaan (mm)
Sedangkan nilai GBI-tc dicari dengan persamaan :
EGV GBI-tc = -
BW
GBI-tc : Gonad bulk index (cmlgram)
EGV : Estimated gonad volume (cm)
BW : Bobot conical appendage (gram)
GBI-tc dihitung pada sampel abalon yang berukuran 30,O-60,O mm. Nilai
rata-rata diplotkan terhadap ukuran panjang cangkang, tingkat kematangan gonad
dan fase bulan (lunar period).
![Page 37: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/37.jpg)
3.4.5 Analisa Tigkat Kematangan Gonad (TKG)
Setelah pengukuran GBI-tc, gonad diawetkan dalam larutan Bouin 's untuk
waktu selcurangnya 24 jam. Jaringan gonad selanjutnya diproses dengan
menggunakan prosedur standar histologi menurut Hermawati (2006) & Wibowo
(2004) (Lampiran 2).
Kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat perkembangan
kematangan gonad berdasarkan Setyono (2006) hasil modifikasi dari Wood dan
Buxton (1996) dan Capinpin el a1 (1998) seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
![Page 38: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/38.jpg)
Tabel 1. Kriteria tingkat kernatangangonad abalon Haliotis asinina (Setyono, 2006)
Tigkatan
I diameter mencapai 50 pm. Ripe/Matang I Testes telah pen& I Ovari mengandung telur
Prol~erative
Maturing
Immature I Gonad dicirikan dengan 1 Sama dengan jantan. fantan Betina
sedikit atau tanpa germinal epitelium di antara epidermis terluar clan kelenjar pencemaan. . Spermatogonia berdiameter 5 pm yang berasosiasi dengan
. trabeculae.
Fase gametogenesis berada di sekitar tubulus. Lapisan tipis spermatid atau spermazoa mulai Zampd.
dengan spermatozoa.
Spent/Memijah total l------
Oogonia krdiameter 5-1 0 p t , bermsiasi defigah trabeculae. Oogonia yang . berdiameter 1045 p terkelompok pada dindiig trabeculae. Tahap kematangan awal ovari yang mengandung telur bertangkai, berdiameter 25-30 p. Vitellogenesis terinisiasi pada tatrap ini.
yddg
terlwba? menjadi bertangkai dengan
dengan diameter 2120 p. Telur yang matang lepas dari .trabeculae dengan diameter rata-rata 135 pm.
1 ,
L ( trabeculae abu tubulus. (
Ovari mengandung telur matang yang berkurang.
Partly spawned/ Memiiah sebagian
dimana spermatozoa mengosongkan diri, sedangkan area lainnya tampak matang.
Gonad kehilangan garnet yang yang tampak hanya aktivitas gametogenetik ymg tidak penting. Lumen gonad hancur dengan melipat
Ruang testes tampak nyata di sekitar tubulus,
Lumen gonad hancur secant partial dengan melipat dinding trabeculae. Sejumlah telur yang matang mash tersisa clan sejumlah atea masih penuh dengan telur yang matang. Ovati mempunyai beberapa sisa telw yang matang, tetapi telur previtellogenitic yang dominan.
![Page 39: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/39.jpg)
3.4.6 Penentuan ukuran pertama matang gonad
Ukuran pertama matang gonad pada populasi abalon, ditentukan
berdasarkan ukuran panjang cangkang abalon, dimana ditemukan lebih dari
50,00% sampel abalon dalam satu kelas ukuran panjang cangkang yang memiliki
gonad pada tingkat kematangan ripe, partly spawned dan spent.
3.4.7 Penpkuran diameter telur
Diameter telur abalon diukur dari pengamatan sampel histologi. Sampel
histologi abalon diletakkan be rjajar di atas gelas objek dengan metode penyapuan
dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan &meter okuler.
Milcrometer okuler tersebut ditera dengan mikrometer objektif dengan
perbesararan 10 kali. Ukuran telur ditentukan berdasarkan pengukuran sebanyak
44 telur dari setiap sampel abalon Perkembangan telur dicirikan dengan ukuran
rata-rata telur terhadap tingkat kematangan gonad.
![Page 40: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/40.jpg)
4. EASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktur ukuran
Ukuran panjang cangkang (SL =shell length) abalon Haliotis asinina
terpanjang pada individu yang diarnati yaitu 77,l mm pada jantan dan 76,6 mm
pada betina, sedangkan panjang terendah, yaitu 33,O mm pada jantan dan 32,2 mm
pada betina Ukuran panjang cangkang rata-rata sebesar JO,:! mm pada jantan dan
53,O mrn pada betina. Hasil ini menunjukkan bahwa panjang cangkang yang
ditemukan pada individu abalon jantan lebih besar dibanding yang betina,
sedangkan pada populasi, panjang cangkang rata-rata abalon jantan lebih kecil
dibanding bet- Setyono (2006) menemukan bahwa individu abalon Haliotis
asinina di perairan Lombok memiliki panjang terpanjang sebesar 89,O mm pada
jantan dan 91 ,O mm pada betina, sedangkan panjang cangkang rata-rata sebesar
60,O mm pada jantan dan 61,O mm pada betina. Dari ha1 ini, menunjukkan bahwa
pada individu maupun populasi, abalon yang hidup di Kepulauau Seribu memiliki . panjang wgkang lebih kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.
Berdasarkan studi perbandingan ini, diketahui bahwa pada individu,
abalon yang ditemukan di Kepulauan Seribu dan perairan Lombok terdapat -
perbedaan struktur ukuran panjang cangkang, tetapi pada populasi, menunjukkan
adanya kesamaan, yaitu abalon jantan berukuran lebii kecil dibanding betina.
Dengan demikian, studi perbandigan ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup
di Kepulauan Sedbu memiliki ki panjang cangkang yang lebih kecil
dibanding yang hidup di perairan Lombok.
![Page 41: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/41.jpg)
Pada abalon jantan, bobot total @W = body weight) terbesar yaitu 57,84
gram dan terendah yaitu 4,88 gram. Pada abalon, betina bobot total terbesar yaitu
41,31 gram dan terendah yaitu 3,81 gram. Bobot total rata-rata sebesar 19,61
gram pada jantan dan 20,29 gram pada betina Setyono (2006) menemukan
bahwa abalon yang hidup di perairan Lombok m e d i bobot total terbesar
103,50 gram pada jaatan dan 13020 gram pada betina, sedangkan bobot total
rata-rata sebesar 41,20 gram pada jantan dan 44,50 gram pada betina Studi
perbandingan ini menunjukkan bahwa pada individu maupun populasi, abalon
yang hidup di Kepulauan Seribumemiliki bobot total yaag lebihrendah dibandang
yang hidup di perairan Lombok.
Pada abalon jantan, bobot daging (MW = meat weight) terbesar yaitu
40,56 gram dan teradah yaitu 339 gram. Pada abalon betina, bobot daging
terbesar yaitu 24,94 gram dan yang terendah yaitu 2,10 gram. Bobot daging rata-
rata sebesar 14,62 gram pada jantan dan dan 13,04 gram pada betina. Ukuran
bobot daging diwakili 67,88% dari bobot total pada jantan dan 65,94% pada
betina. Setyono (2006) menemukan bahwa bobot daging pada jantan diwakili
67,000Jo dan betina 66,10% dari bobot total. Ukuran rata-rata bobot daging
sebesar 27,90 gram pada jantan dan 29,90 gram pada betina. Studi perbandimgan -
ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu memiliki bobot
daging yang lebih kecil dibandhg yang hidup di perairan Lombok, tetapi proporsi
bobot daging terhadap bobot totalnya memiliki nilai yang hampir sama.
Pada abalon jantan, bobot conical appendage (CW = conical appendage
weight) terbesar yaitu 12,85 gram dan terendah yaltu 0,f 6 gram, sedangkan pada
abalon betina, bobot conical appendage terbesar yaitu 24,40 gram dan terendah
![Page 42: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/42.jpg)
yaitu 0,54 gram. Bobot rata-rata conical uppenduke sebesar 2,20 gram pada
jantan dan 2,68 gram pada betina Setyono (2006) menemukan bahwa bobot rata-
rata conical appendage abalon yang hidup di perairan Lombok sebesar 3,00 gram
pada jantan dan 3,10 gram pada betina Studi perbandingan ini menunjukkan
bahwa bobot conical appedage abalon yang hidup di Kepulauan Seribu lebih kecil
dibanding yang hidup di perairan Lombok.
Dari studi perbandingan di atas, diketahui bahwa terdapat perbedan
panjang cangkang dan bobot (bobot total, bobot daging dan bobot conical
appendage) abalon. Abalon yanghidup di Kepulauan Seribu memiliki b a n
panjang dan bobot yang lebii kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.
Penyebab perbedan ini diduga adalah kondisi faktor lingkungan perairan di kedua
lokasi, terutama kelimpahan makanan berupa alga baik kualitas maupun kuantitas.
Setyono (2006) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas makanan di perairan
Lombok mendukung untuk pertumbuhan abalon. Selain itu, tekanan penangkapan
abalon yang tinggi di perairan Kepulauan Seribu diduga menjadi penyebab
terjadinya kondisi tersebut.
4.2. Diitribosi nkuran
4.2.1 Panjang cangkang
Distribusi frekuensi ukuran panjang cangkang abalon disajikan dalam
Garnbar 4. Distribusi fiekuensi ukuran panjang cangkang menunjukkan bahwa
pada abalon jantan, frekuensi tertinggi (29,75%) didapati pada ukuran kelas 45,l-
50,O mrn yaitu sebanyak 47 ekor, sedangkan fiekuensi terendah (0,63%) didapati
pada kelas 75,l-80,O mm yaitu sebanyak 1 ekor
![Page 43: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/43.jpg)
30,0350 35.W0.0 40.l45.0 45F50.0 50.F56.O 56150.0 60.1550 65F70.0 70.+750 75F80.0
Ukuran kelaspanjang eangkang (rnrn)
Gambar 4. Sebaran frekuensi panjang cangkang abalon Haliotis asinina
Pada abalon betina, frekuensi tertinggi (23,21%) didapati pada ukuran
kelas 50,l-55,O mm yaitu sebanyak 39 ekor, sedangkan frekuensi terendah
(1,19%) didapati pada kelas 95,l-80,O mm y a h sebanyak 2 ekor. Hasil ini
menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu telah mengalami
tekanan penangkapan secara intensif, yakni semakin sulit untuk memperoleh hasil
tangkap pada ukuran besar 0 5 5 mm pada jantan clan >60 mm pada betina).
Pada ukuran kelas 255,l mm, abalon betina ditemukan dengan frekuensi
yang lebii tinggi dibanding jantan. Hal ini diduga karena abalon jantan berukuran
maksimum lebih kecil dibanding betina karena jantan telah terlibat dalam proses
reproduksi lebih cepat dengan ukuran lebih kecil dibanding betina, sehingga
sebagian besar energi digunakan untuk reproduksi bukan untuk pertumbuhan.
4.2.2 Bobot total
Distribusi frekuensi bobot total abalon (Gambar 5), menunjukkan bahwa
pada abalon jantan, fekuensi teainggi (45,92%) didapati pada ukuran kelas 10,Ol-
20,OO gram yaitu sebanyak 62 ekor, sedangkan frekuensi terendah (0,74%)
![Page 44: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/44.jpg)
didapati pada ukuran kelas 50,O-60,OO gram yaitu sebanyak 1 ekor. Pada abalon
betina, ftekensi tertinggi (47,36%) didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram yaitu
sebanyak 54 ekor, sedangkan ftekuensi terendah (0,88%) didapati pada ukuran
kelas 40,Ol-50,OO gram yaitu sebanyak 1 ekor. Dari hasil ini diketahui bahwa
abalon yang hidup di Kepulauan Seribu banyak diambil pada ukuran kelas bobot
total 10,Ol-20,OO gram baik pada jantan atau betina. Dengan demikian, semakh
sulit ditemukan abalon dengan bobot total >30,00 gram pada jantan dan betina.
I 0.0+0.00 0.0%20.00 20.0+30.00 3O.OMO.00 40.0%50.00 50.00-60.00
Ukuran kelas bobot total (gr)
Gambar 5. Sebaran frekuensi bobot total abalon Haliotis asinina
4.2.3 Bobot daging
Distribusi frekuensi bobot daging abalon ini disajikan dalam Gambar 6.
0.0+0.00 O.O+ZODO 20.0+30.00 30.0M0.00 40.0F45.00
Ukuran kelas bobot daging (gr)
Gambar 6. Sebaran frekuensi bobot daging abalon Haliotis asinina
![Page 45: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/45.jpg)
Berdasarkan distribusi frekuensi bobot daging di atas, diketahui bahwa
pada abalon jantan, fekuensi tertinggi didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram,
sedangkan frekuensi terendah didapati pada kelas 30,Ol-40,OO gram. Pada abalon
betina, frekuensi tertinggi didapati pada kelas 10,Ol-20,OO gram, sedangkan
fiekuensi terendah didapati pada kelas 30,Ol-40,OO gram. Hasil ini menunjukkan
bahwa bobot daging abalon yang hidup di Kepulauan Seribu pada ukuran panjang
cangkang 30,O-60,O mm, banyak ditangkap pada ukuran kelas bobot daging
10,Ol-20,OO gram. Dengan demikian, akan semakin sulit menemukan abalon
dengan bobot daging >20,00 gram, baik pada jantan maupun betina.
4.2.4. Bobot wnical appendage
Pengukuran bobot conical appendage dilakukan pada sampel abalon
berukuran panjang cangkang 30,O-60,O mm. Distribusi frekuensi bobot conical
appendage abalon disajikan dalam Gambar 7.
O.O+'LW 10%2.W 2.0U.00 3.0i4.W
Ukuan kelas bobot conical appendage (gr) 1 Gambar 7. Sebaran hrekuensi bobot conical appendage abalon
Haliotis asinina
Distribusi fiekuensi bobot conical appendage (Gambar 7 ) menunjukkan
bahwa pada abalon jantan dan betina, fiekuensi tertinggi didapati pada kelas 1,Ol-
![Page 46: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/46.jpg)
2,00 gram, sedigkan frekuensi yang terendah didapati pada kelas 0,Ol-1,00 gram
pada jantan clan 3,Ol-4.00 gram pada betina. Hasil ini menunjukkm bahwa
sebagian besar abaion pada ukuran panjang cangkang 30,O-60,O mm, mempunyai
bobot conical appendage sebesar 1,01 gram sampai 2,00 gram.
4.3. Hubungan panjang-bobot
4.3.1 Panjang caugkang dan bobot total
Hasil analisa regresi linear hubungan panjang dan bobot total pada abalon
jantan diperoleh persamaan : BW = 0,0001 * s L ~ ~ ~ ~ ~ ~ atau Log BW = -3,8269 +
3,0141 *Log SL, dengan koefisien korelasi (I) sebesar 0,81 dan koeflsien
determinasi (R2) sebesar 0,65 (Gambar 8a). Nilai koefisien determinasi ini
menunjukkan bahwa perubahan variabel panjang cangkang abalon jantan
mengakibatkan pembahan bobot total sebesar 65,00% atau pertambahan panjang
akan menyebabkan pertambahan bobot total. Nilai pangkat @) dari variabel
panjang Cangkang abalon jantan adalah 3,014. Hasil Uji t terhadap nilai b
menghasikan t hiM, yang berada pada wilayah kritik (&I) yang berarti nilai b=3
atau tipe pertumbuhan abalon jantan adalah isometrik yaitu pola pertumbuhan
panjang selaras dengan pertumbuhau bobot total. Pada abalon betina diperoleh
persamaan BW = 0 , 0 0 0 4 * ~ ~ ~ ~ ~ atauLog BW = - 3,3868 + f,74Of*Log SL,
dengan koefisien korelasi (I) sebesar 0,82 dan koefisien determinasi (RZ) sebesar
0;67 (Gambar 8b): Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa pembahan
satu satuan variabel panjang cangkang abalon betina mengakibatkan perubahan
bobot total sebesar 67,00% atau pertambahan panjang akan menyebabkan
pertambahan bobot. Nilai pangkat b dari variabel panjang cangkang abalon betina
![Page 47: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/47.jpg)
adalah 2,7402. Hasil Uji t terhadap nilai b menghasilkan thinmg yang lebih kecil
dari @ < 3) yang berarti b # 3 atau tipe pertumbuhan abalon betina adalah
allometrik negatif yaitu pola hubungan panjang tidak selaras dengan pola
perhmbuhan bobot total.
Jantan / 5 0 - 1
I 0 20 30 40 50 60 70 80
Panjang cangkang (mm)
50 Betina
I I
0 0 20 30 40 50 60 70 Panjang cangkang (mm) 1
Gambar 8. Hubungan panjang cangkang dan bobot total
(a) jantan dan @) betina
Setyono (2006) menyatakan bahwa hubungan panjang cangkang dan bobot
total pada abalon betina adalah logaritma, sedangkan pada abalon jantan memiliki
hubungan eksponensial. Kemiringan regesi liiearnya berbeda nyata dari 0,05
(P<O,001). Sehingga dapat dikatakan bahwa abalon mempunyai pola
perhmbuhan yang berbeda nyata di antam jantan clan betina.
![Page 48: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/48.jpg)
4.3.2 Panjang cangkang dan bobot daging
I-Iasil analisa regresi linear mtuk hubungan panjang cangkang dan bobot
daging (MW) abalon jantan, diperoleh persamaan : MW= ~ E - o ~ * s L ~ ~ " ' atau Log
MW = - 4,3925 + 3,2501*Log SL, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,82 dan
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,67 (Gambar 9a). Nilai koefisien determinasi
ini menmjukkan bahwa perubahan satu satuan variabel panjang cangkang abalon
betina mengakibatkan perubahan bobot daging sebesar 67,00% atau pertambahan
panjang akan menyebabkan pertambahan bobot daging.
Jantan - I
i 0 0 20 30 40 50 60 70 Bobot total (gram)
1 0 0 20 30 40 50 60 70
1 Panjang cangkang (mm)
Gambar 9. Hubmgan panjang cangkang total dan bobot daging (b) jantan dan (b) betina.
Pada abalon betina, diperoleh persamaan : MW = atau Log
MW = - 4,1494 + 3,0837*Log SL, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,87 clan
koefisien determinasi (R? sebesar 0,76 (Gambar 9b). Nilai koefisien determinasi
![Page 49: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/49.jpg)
ini menunjukkan bahwa pembahan satu satuan variabel panjang cangkang abalon
betina mengakibatkan perubahan bobot daging sebesar 76,00% atau pertambahan
panjang akan menyebabkan pertambahan bobot daging.
4.3.3 Bobot total dan bobot daging
Hasil analisa regresi linear hubungan bobot total clan bobot daging abalon
jantan, diperoleh persamaan MW = -0,0093 + 0,6834*BW, dengan koefisien
korelasi (r) sebesar 0,95 dan koefisien deterrninasi (R') sebesar 0,90 (Gambar
10a). Nilai koefisien deterrninasi ini menjelaskan bahwa variabel bobot total
abalon jantan dapat menjelaskan bobot daging sebesar 90,00% atau pertambahan
bobot total abalon jantan hampir pasti menyebabkan pertambahan bobot daging.
Jantan
0 0 20 30 40 50 80 70 80 Bobot total (gram)
0 U 20 30 40 54 60 70 8(
Bobot total (gr)
Gambar 10. Hubungan bobot total dan bobot daging (a) jantan dan (b) betina.
![Page 50: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/50.jpg)
Pada abalon betina diperoleh pemmaan MW = 1,0773 + 0,6021*BW
dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,91 clan koefisien determinasi (R2) sebesar
0,82 (Gambar lob). Nilai koefisien determinasi ini meajelaskan bahwa variabel
bobot total abalon betina dapat menjelaskan bobot total sebesar 82,00% atau
pertambahan bobot total abalon betina hampir pasti menyebabkan pertambahan
bobot daging.
43.4 Bobot total dan bobot conical appendage
Hasil aualisa regresi linear hubungan bobot total dan bobot conical
appendage pada abalon jantan diperoleh persamaan : CW = 0,0586*BW + 0,7916
dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,75 dan koefisien determinasi (R2) sebesar
0,56 (Gambar 1 la). Nilai koefisien determinasi ini menunjukkan bahwa
perubahan satu satuan variabel bobot total mengakibatkan perubahan bobot
conical appendage sebesar 56,00%. Rendahnya koefisien determinasi ini
menunjulckan bahwa perubahau bobot total tidak memberi pengaxuh yang besar
terhadap pentbahan bobot conical appendage, karena bisa jadi ditemukan bobot
total yang tinggi yang memiliki bobot conical appendage yang rendah karena
gonad telah melepas garnet ke perairan (spawning). Pada abalon betina diperoleh -
persamaan : CW = 0,0585*BW+ 0,634 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,64
dan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,41 (Gambar llb). Nild koeflsien
determinasi ini menunjdckan bahwa perubahan satu satuan variabel bobot total
mengakibatkan perubahan bobot conical appendage sebesar 41,00% artinya
peatambahan bobot gonad tidak dipengaruhi bobot total.
![Page 51: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/51.jpg)
5 Jantan I - i 2 4
8 = .- s U g 3 - a 2 2 g 63 31
I
0 U 20 30 40 50 60 70 8(
Bobot total (gr)
0 U 20 30 40 50 60 70 81 Bobot total (gr)
Gambar 11. Hubungan bobot total dan bobot conical appendage (a) jantan dan (b) betina.
4.4 Nisbah kelamin (sex ratio)
Berdasarkan pengamatan secara morfologi dari sampel abalon
sebanyak 326 ekor, terdiri daxi 168 ekor betina dan 158 ekor jantan, nisbah
kelamin secara keseluruhan adalah 1:1,06 atau 48,47% dari populasi sampel
jantan dan 51,53% betina. Dengan uji "Chi-Square" pada tarafnyata 0,05
diperoleh bahwa rasio kelamin antara abalon jantan clan betina secara keseluruhan
adalah tidak berbeda nyata dari 1 : 1 (kondisi seimbang). Nisbah kelamin dapat
berubah menjelang dan selama m u s h pemijahan wkolsky, 1969 & Sanusi,
2000). Pada abalon, nisbah kelamin semakin meningkat (mendekati pola 1: 1)
selama mush pemijahan. Purwanto et a1.,(1986) & Rahman (2007) menyatakan
bahwa untuk mempertahankan kelestarian populasi, diharapkan perbandingan
![Page 52: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/52.jpg)
biota jantan dan betina berada dalam kondisi seimbang atau sedapat-dapatnya
biota betina lebih banyak daripada jantan. Berdasarkan pemyataan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nisbah kelamin abalon yang hidup di Kepulauan Seribu
berada dalam kondisi seimbang, sehingga diharapkan populasi abalon di dam
dapat mempertahankan kelestarian populasi.
Nisbah kelamin pada abalon berukuran 4 0 mm sebesar 1,21:1. Dengan
uji "Chi-Square" pada tuafnyata 0,05 diperoleh bahwa rasio kelamin antara
abalon jantan dan betina pada ukuran ini tidak berbeda nyata dari 1:l. Sedangkan
pada abalon benilcuran >50,0 mm memiliki nisbah kelamin sebesar 0,76:1.
Dengan uji "Chi-Square" pada taraf nyata 0,05, diperoleh bahwa rasio kelamin
antara abalon jantan dan betina pada ukuran ini tidak berbeda nyata dari 1:I. Dari
nisbah kelamin berdasarkan ukuran ini, diketahd bahwa pada ukuran 3 0 mm
abalon jantan yang ditangkap lebih banyak dibanding betina, sedangkan pada
ukuran >50,0 mm abalon betina lebih banyak dibanding jantan.
Setyono (2005e) menyatakan bahwa ppulasi abalon di perairan Lombok
selatan m e d i nisbah kelamin 1 : 1 pada ukuran 550,O mm dan 1 : 1,3 pada
ukuran >50,0 mm. Nisbah kelarnin id tidak berbeda nyata dari 1:l pada ukuran
250,O mm @test d F l 0,05<P<0,75 tetapi berbeda nyata dari 1:l pada sampel - -
>50,0 mm (X2 test, df=l O,Ol<P<O,O5).
Beberapa spesies abalon juga dilaporkan memilii nisbah kelamin berbeda
nyata dari 1 :l. Pada Haliotis laevigata dan Haliotis scalaris, populasi jantan lebih
banyak yang muda (berukuran kecil), sedangkan betina lebii banyak pada ukuran
besar atau berumur tua. Pada Hdfotis rubra, sejumlah besar populasi jantan
berumur tua (berukuran besar) (Shepherd dan Law, 1974 &g Setyono, 2005e),
![Page 53: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/53.jpg)
sedangkan betina ditemukan lebii banyak daripada jantan pada kelompok ukuran
yang lebih kecil(<600 g). Pada abalon Haliotisfulgens, Haliotis corrugata dan
Baliotis sorenseni, abalon jantan lebih banyak dibanding betina pada kelompok
ukuran yang lebih besa (2600 g), sedangkan pada Haliotis corrugata dan Haliotis
sorenseni, juga ditemukan adanya perbedan ukuran pada jantan dan betina
(Tutschulte dan Cornel, 1981 & Setyono, 2005e).
Jarayabhand dan Paphavasit (1996) & Setyono (2005e) dan Capinpin et
al., (1998) & Sevono (2005e) menduga bahwa tidak terdapat perbedaan struktur
ukuran pada abalonHaliotis asinina yang dewasa pada jantan dan betina
Pertumbuhan dan tingkat kematian rata-rata pada populasi abalon jantan dan
betina cenderung sama Fenomena ini merupakan hal umum pada famili Haliotid.
Hal hi sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa perbedaan ukuran pada kelamin
abalon Haliotis asinina tidak berbeda nyata.
4.5 Faktor kondisi
Nilai faktor kondisi Muktuasi menurut fase bulan. Nilai faktor kondisi
abalon jantan berkisar 1,38-2,10, dengan nilai rata-rata 1,60. Faktor kondisi
tertinggi didapati pada fase bulan gelap, sedangkan yang terendah didapati pada
fase bulan transisi I. Pada abalon betina, nilai faktor kondisi berkisar 0,88-1,44
dengan nilai rata-rata 1,07. Nilai faktor kondisi tertinggi didapati pada fase bulan
gelap, sedangkan yang terendah didapati pada fase bulan transisi I1 (Garnbar 12).
Nilai faktor kondisi yang tinggi pada h e bulan gelap tidak menunjukkan abalon
yang banyak matang gonad sebab berdasarkan analisa histologi, pada fase ini
justru ditemukan banyak abalon dalarn fase spent. Nilai faktor kondisi abalon
![Page 54: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/54.jpg)
jantan lebii besar dari betina yang menunjukkan bahwa pada panjang cangkang
yang sama, abalon jantan lebii gemuk (bobot total lebih besar) dari yang betina
0 i , &lap Trenrts8 I Pumama Tmnstst ll
Fase bulan
Gambar 12. Nilai faktor kondisi abalon menurut fase bulan
Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 12), nilai faktor
kondisi berfluktuasi dengan kisaran 1,30-1,77 pada abalon jantan dan 0,97-1,23
pada yang betina (Lampiran 6). Effendie (1979) mengatakan bahwa nilai faktor
kondisi berfluktuasi menurut ukuran biota. Biota berukuran kecil mempunyai
nilai faktor kondisi yang relatif tinggi dan akan menurun ketika ukuran biota
bertambah besar. Dari Gambar 13 tidak ditemukan adanya @en seperti yang
dinyatakan Effendie (1979). Garnbar 13 menunjukan nilai faktor kondisi pada
abalon jantan dan betina yang pada awalnya semakin meningkat dengan
bertambahnya kelompok ukuran dan mencapai puncak pada ukuran kelas 43,l-
50,O mm, kemudian menurun kembali dengan me~ngkainya kelompok ukuran
panjang cangkang. Pola ini menunjukkan bahwa faktor kondisi tidak memiliki
hubungan linear dengan ukuran panjang c a n w g . Diduga faktor kondisi hanya
dipengaruhi bobot total yang berhubungan dengan perhmbuhan.
![Page 55: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/55.jpg)
30.535.0 35.140.0 40.W.O 45.M0.0 50.+55.0 55.+60.0 ! Ukupn kelas panjang cangeng
Gambar 13. Nilai faktor kondisi menurut ukuran panjang cangkang
Nilai faktor kondisi abalon jantan, pada tahap immature sebesar 1,73,
proIifrative sebesar 1,72, maturing sebesar 1,67, ripe sebesar 1,67,partly
spawned sebesar 1,53, dan spent sebesar 1,54. Pada abalon betina, nilai faktor
kondisi pada tahap immature sebesar 1,07,proliferative sebesar 1,15, maturing
sebesar 1,01, ripe sebesar 1,13,partly spawned sebesar 1,03, dan spent sebesar
1,29 (Gambar 14). Effendie (1999) menyatakan bahwa &or kondisi meningkat
sesuai perkembangan sel kelamin dan mencapai puncaknya sebelum tejadi
pemijahan. Ramli (2003) juga menyebutkan bahwa peningkatan nilai faktor
kondisi terdapat pula pada waktu biota laut mengisi gonadnya dengan set sex clan
akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pernuahan. Dalam penelitian ini tidak
ditemukan tren seperti pernyataan di atas sebab pada abalon betina, tahap
memijah (spent) justru merniliki nitd &or kondisi yang lebih ftnggi dibanding
tahap perkembangan gonad yang lebih awal (Gambar 14). Diduga faktor kondisi
lebih dipengaruhi kelimpahan makanan dibandiig tingkat kematangan gonad.
![Page 56: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/56.jpg)
I Tingkat perkembangan kematangan gonad
Gambar 14. Nilai faktor kondisi menurut tingkat kematangan gonad
4.6. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Tingkat kematangan gonad diamati secara histologi. Jumlah sampel
abalon yang diamati selama penelitian sebanyak 124 ekor, terdiri dari masing-
masing 62 ekor jantan clan betina (15-16 ekor setiap sampling). Dari pengamatan,
ditemukan semua tahap perkembangan kematangan gonad dimulai dari tahap
immature (muda), proliferative, maturing, ripe (matang), partly spawned
(memijah sebagian) hingga spent (memijah total) dengan persentase yang
bervariasi.
Pada abalon jantan (Gambar 15a), tahap immature ditemukan sebesar
6,45% yaitu sebanyak 4 ekor,prolifeative sebesar 6,45% yaitu sebanyak 4 ekor,
maturing sebesar 9,68% yaitu sebanyak 6 ekor, ripe sebesar 33,87% yaitu
sebanyak 21 ekor, tahappartly spawned sebesar 40,32% yaitu sebanyak 25 ekor
dan spent sebesar 3,23% yaitu sebanyak 2 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa
pada abalon jantan, tahap partly spawned ditemukan dengan fiekuensi tertinggi,
sedangkan frekuensi terendah ditemukan pada tahap spent. Pada abalon betina,
tahap immature ditemukan sebesar 24,19% yaitu sebanyak 15 ekor,proIiferative
sebesar 20,97% yaitu sebanyak 13 ekor, maturing sebesar 17,74% sebanyak i 1
![Page 57: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/57.jpg)
ekor, ripe sebesar 20,97% yaitu sebanyak 13 ekor, partly spawned sebesar
1 1,29% yaitu sebanyak 7 ekor, dan spent sebesar 4,84% yaitu sebanyak 3 ekor.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada abalon betina, Bekuensi tertinggi didapati
pada tahap immature, sedangkan frekuensi terendah didapati pada tahap spent.
Dari hasil ini, diketahui bahwa frekuensi pada tahap immature, prolqetive
dan maturing pada abalon jantan lebih rendah dibanding betina, tetapi pada tahap
ripe danpartly spawned, abalon jantan memiliki frekuensi yang lebih tinggi
dibanding betina. Dengan demikian, diketahui bahwa pada populasi abalon
dengankisaran panjang cangkang yang sama, abalon jantan lebh banyak yang
matang gonad dibanding betina Dengan kata lain, gonad abalon jantan matang
lebih dulu &banding betina.
Badasarkan h e bulan, tingkat kematangan gonad abalon jantan pada
tahap immature hanya ditemukan pada fase bulan gelap sebesar 18,75% dan
transisi I sebesar 6,67%, tahapprolifrative ditemukan pada fase bulan gelap
sebesar 6,25%, purnama 12,5%, dan transisi I1 6,67%, dan tidak ditemukan pada
transisi I. Tahap maturing ditemukan pada semua fase bulan, yaitu pada fase
bulan gdap (13,33%), purnama (13,33%), transisi 1 (625 %) dan transisi 11
(6,25%). Tahap ripe ditemukan dengan kisaran 31,25%-400? pada masing-
masing fase bulan dengan persentase tertinggi pada transisi I dan transisi I1
dengan jumlah yang sama, ydtu 40%. Tahappartlyspawned berkisar 31 f 5-50%
dengan persentase tertinggi pada h e bulan purnama dan terendah pada fase bulan
gelap. Tahap spent hanya ditemukan pada fase bulan gelap dan purnama dengan
pementase sangat kecil ydtu 6,25% (Gambar 15). Had1 ini menunjukkan bahwa
abalon jantan dan betina yang matang gonad pada fase ripe, ditemukan pada
![Page 58: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/58.jpg)
semua fase bulan. Pada abalon jantan, tahap spent ditemukan pada fase bulan
gelap dan purnarna, sedangkan pada abalon betina, hanya ditemukan pada fase
bulan gelap dengan kekuensi yang cukup tinggi. Dengan demikian, disimpulkan
bahwa pada fase bulan gelap, abalon paling banyak melakukan pemijahan. Di
wilayah tropis, abalon ditemukan memijah sepanjang tahun (Capinpin et al., 1998
in Setyono, 2004a; Jarayabhan dan Paphavasit & Setyono, 2004% 1996; Setyono, -
2003 & Setyono, 2004a). Counihan et al,. (2001) menduga bahwa periode bulan
adalah faktor utama yang mengatur te rjadinya pemijahan serentak (synchronous)
pada invertebrata laut. Setyono (2006) menyatakan bahwa abalon Haliotis
asinina cenderung memijah terus menerus. Ditemukannya variasi abalon dengan
tingkat kematangan gonad yang berbeda dalam satu fase bulan menunjukkan
bahwa abalon Haliotis asinina abalah moluska yang memiRki tipe pemijahan
terus menerus @artial spawner)
Fase bulan
Gdsp T m i d l P u m a T m i d l i Fase butsn
Garnbar 15. Distribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad menurut fase bulan
![Page 59: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/59.jpg)
Fretter (1984) Ramli (2003) menyatakan bahwa m u s h reproduksi
berhubungan dengan asal geografis dan strategi reproduksi kelompok organisme.
Variasi mush reproduksi adalah bukti selang geograAs atau spesies. Secara
urnurn, abalon di daerah sub-tropis matang gonad dan memijah pada musim
panas. Di daemh tropis, abalon dapat matang gonad dan mernijah sepanjang
tahun. Faktor-fhktor yang mempengaruhi kematangan gonad dibedakan atas
faktor yang berkaitan dengan sistem endokrinologi atau sistem hormonal yang
bekeja di dalam (endogenous) tubuh dan faktor lingkungan yang ada di luar
(exogenous) tubuh. Faktor-mktor yang mempengaruhi kematangan gonad
meliputi temperatur air, kualitas air, periode panjang hari (photoperiode), pasang
sunit, gelombang, temperatur udara, saliitas, dan makanan (kualitas dan kuntitas)
(Setyono, 2 0 0 .
4.7. Ukuran pertama matang gonad
Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 16a), pada kelas
30,l-35,O mm, abalon jantan hanya ditemukan pada tahap maturing. Hal ini
menunjukkan bahwa pada ukuran tersebut, abalon jantan barn akan memasuki
tahap kematangan gonad Pada ukuran >40 mm ditemukan abalon dalarn tahap -
ripe (matang). Pada abalon betina (-bar 16b), tahap ripe mulai ditemukan
pada ukuran L45,l mm, sedangkau pada ukuran <45,0 mrn hanya ditemukan tahap
immature danprollfeative (tahap awal perkembangan kematangan gonad).
Dengan dernikian, diketahui bahwa abalon betina di Kepulauan Seribu mulai
matang gonad pada ukuran 145,O mm. Pada abalon jantan, tahap immature
ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 35,l-45,O mm, tetapi pada kelas
![Page 60: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/60.jpg)
50,l-55.0 mm juga ditemukan testes pada tahap immature dalam jumlah yang
sangat kecil(4,71%) yaitu 1 ekor. Pada abalon betina, tahap immature ditemukan
pada ukuran kelas 45,O mm. Pada abalon jantan, gonad yang matang mulai
ditemukanpada ukuran kelas 40,1-45,0 mm sebesar 71,4% yaitu sebanyak 5 ekor.
Pada abalon betina, gonad yang matang mulai ditemukan pada ukuran kelas 40,l-
45,O mm sebesar 13,00% yaitu sebanyak 2 ekor.
Abalon jantan pada ukuran kelas 30,l-35,O mm dan 35,1-40,0 mm, gonad
ditemukan pada tahap menuju matang (mahrring). Pada ukuran kelas yang sama,
ovari mas& berada pada tahap immature. Proporsl gonad muda (immature dan
proliferative) men- seiring dengan meningkatnya kematangan gonad (ripe).
Ukuran pertama matang gonad pada individu abalon ditemukan pada ukuran kelas
panjang cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan, dan 40,l -45,O mm pada betina
Hasil ini menunjukkan bahwa individu abalon Haliofis asinina yang hidup di
Kepulauan Seribu mencapai pertama matang gonad pada ukuran kelas panjang
cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan, dan 40,1-45,0 mm pada betina Ukuran
pertama matang gonad pada populasi abalon (>50,00%), dimana abalon berada
pada tahap ripe, partly spawners dan spent, ditemukan pada ukuran kelas panjang
cangkang 40,1-45,0 mm pada jantan, yaitu sebesar 63,64%, sedangkan pada -
abalon betina ditemukan pada ukuntn kelas panjang cangkang 541-55,O mm,
yaitu sebesat 53,33%. Setyono (2005 d) menyatakan bahwa individu abalon yang
hidup di perairan Lombok, mencapai pertama matang gonad pada ukuran kelas
panjang cangkang 35,1-40,0 mm pada jantan dan 40,1-45,0 mm pada betina.
Populasi abalon jantan dan betha mencapai pertama matang gonad pada ukuran
kelas panjang cangkang 45,l-50,O mm pada jantan dan 50,l-55,O pada betina.
![Page 61: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/61.jpg)
Dengan demikian, diketahui bahwa pada individu maupun populasi, abalon yGg
hidup di Kepulauan Seribu mencapai pertama matang gonad dengan ukuran
panjang cangkang lebih kecil dibanding yang hidup di perairan Lombok.
Berdasarkan hal tersebut, disarankan bahwa pada penangkapan di alam, abalon
yang diperbolehkan ditangkap oleh nelayan seharusnya memilii panjang
cangkang lebih dari 40,O mm pada jantan dan lebih dad 55,O mm pada betina
Hal ini bertujuan untuk menjamin keberlangsungan stok abalon di dam karena
diharapkan pada ukuran tersebut, >50% populasi abalon telah melakukan
sedikitnya satu kali pemijahan.
Di Fiipina, Capinpin et al., (1986) b Setyono (2005d) menemukan bahwa
pada hatchev pembenihan abalon, ukuran pertarna matang gonad ditemukan pada
panjang cangkang 35,O mm pa& jantan dan 35,9 mm pada yang betina Pada
penangkapan alam abalon di Panagatan Cays, ukuran pertama matang gonad
didapati pada panjang cangkang 40,6 mrn pada jantan dan betina.
Tahap pemijahan sebagian (partly spawned) pada abalon jantan mulai
ditemukanpada ukuran kelas panjang cangkang 40,145,O mm dan 45,l-50,O mm
pada yang betina Hasil W menunjukkan bahwa abalon jantan yang hidup di
Kepulauan Seribu, mengeluarkan garnet pada ukuran lebih kecil dibanding betina. -
Dengan kata lain, abalon jantan berperan dalam reproduki lebih dulu dibanding
betina
Ukuran pertama matang gonad pada abalon bervariasi menurut spesies,
misalnya 55,O mm pada H. australis dan 60 mm pada H. iris di New Zealand
(Poore, 1973 &I Setyono, 2005d), 40,0118.0 mm padaH. cycyclobates dan 45,O-55,O
mm pada H. roei di Australia Selatan (Shepherd dan Laws, 1974 @ Setyono,
![Page 62: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/62.jpg)
2005d) clan 29,O mm pada H. canariensis yang betina di Spanyol (Pena, 1986 &
Setyono, 2005d). Baik jantan maupun betina Haliotis usinina yang hidup di
perairan Kepulauan Seribu memiliki gonad pada tahap spent pada ukuran kelas
panjang cangkang 45,l-50,O mm. B e d pada ukuran ini, abalon banyak yang
telah terlibat dalam proses reproduksi. Dengan demikian, disarankan bahwa
ukuran kelas ini merupakan batas minimal ukuran abalon yang boleh ditangkap.
Setyono (2006) menyatakan bahwa abalon Haliotis usinina yang hidup di perairan
Lombok selatan memiliki gonad pada tahap spent pada ukuran kelas 50,l-55,O
mm. Hal ini menunjukkan bahwa abalon yang hidup di Kepulauan Seribu telah
terlibat dalam reproduksi dengan ukuran yang lebih kecil dibanding abalon yang
hidup di perairan Lombok selatan.
30.1~35.0 35AO.O 40.1;45.0 45.1-50.0 50.0~55.0 55.1-80.0
Ukuran kelas panjang cangkang (mm)
Gambar 16. Dislribusi fiekuensi tingkat kematangan gonad abalon menurut panjang cangkang
![Page 63: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/63.jpg)
Laju pertumbuhan abalon Haliotis aiinina akan menurun seiring dengan
bertambahnya urnur (Singhagraiwan dan Sasaki, 1991 &z Setyono, 2005d) yang
berkaitan dengan peningkatan kematangan gonad. Dalam stud ini, abalon jantan
tumbuh lebii cepat sebelum kematangan gonad, tetapi melambat setelah
kernatangan. Kemungkinan terjadinya kondisi ini, yaitu abalon jantan
menghabiskan energi yang besar selama proses reproduksi dibanding betina, serb
memerlukan energi yang lebih banyak untuk menghasilkan volume gamet yang
sama dengan betina Energi besar yang dikeluarkan untuk reproduksi akan
memperlambat laju pertumbuhan sehingga pada saat dewasa (dengan umur yang
sama dengan betina) abalon jantan akan berukuran lebii kecil (Setyono, 2006).
4.8 Indeks Kematangan Gonad (IKG) I Gonad Bulk Index (GBI-tc)
Nilai GBI-tc pada abalon jantan bervariasi, berkisar 1,77-16475 dengan
nilai rata-rata sebesar 38,52. Nilai rata-rata GBI-tc tertinggi ditemukan pada fase
bulan transisi I yaitu sebesar 55,06, sedangkan nilai terendah ditemukan pada f q
bulan gelap yaitu sebesar 29,16. Pada abalon betina, d a l GBI-tc berIdsar 020-
164,33 dengan nilai rata-rata sebesar 46,49. Nilai rata-rata tertinggi ditemukan
pada fase bulan transisi I, yaitu sebesar 53,44, sedangkan nil& terendah ditemukan
pada h e bulan gelap, yaitu sebesar 3400 (Gambar 17). Nilai GBI-tc yang tinggf
pada fase bulan transisi I menunjukkan bahwa abalon banyak yang berada pada
tahap mulailtelah matang gonad atau belumlsedikit memijah. Pa& fase bulan
gelap, abalon banyak ditemukan pada tahap telah memijah (spent). Hadl ini juga
diperkuat dengan hasil analisa histologi yang menunjukkan bahwa pada fase bulan
gelap, abalon banyak ditemukau pada tahap spent. Menurut Effendie (1979), nilai
![Page 64: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/64.jpg)
indeks kematangan gonad (KG) (dalam penelitian ini diwakili dengan GBI-tc)
akan men- pada waktu memijah dan setelah memijah. Hasil ini juga
menunjukkan nilai GBI-tc abalon jantan dan betina yang semakin meningkat
seiring kematangan gonad dan men- setelah mulai memijah. Abalon betina
memilii nilai GBI-tc yang lebii tinggi dibandiing jantan. Hal ini menunjukkan
bahwa gonad abalon betina lebih banyak terisi gamet dibanding jantan.
20 10
0 . Gslap Tmnsisi I Pumama Tranrisi ll
Fase bulan
Gambar 17. Nilai GBI-tc menurut fase bulan
IM P M R es s Tingkat perkembangan kematangan gonad
Gambar 18. Nilai GBI-tc menurut tingkat kematangan gonad
Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang (Gambar 19), nilai GBI-tc
pada abalon jantan berfluktuasi dengan panjang cangkang. Hasil penelitian tidak
menemukan adanya tren antara peningkatan panjang cangkang dengan kenaikan
nilai GBI-tc.
![Page 65: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/65.jpg)
1 so, 1 I
0 -a- Betina 0
30.0-35.0 35.U0.0 40.U5.0 45.+50.0 50.M5.0 55.Wi0.0
Ukuran kelas panjang cangkang (mm)
Gambar 19. Nilai GBI-tc menurut ukuran kelas panjang cangkang
Pada abalon betina, terliiat adanya kenaikan nilai GBI-tc seiring
meningkatnya ukuran panjang cangkang, tetapi pada ukuran panjang cangkang
S9,l-60,O mm terjadi p e n m a n kembali. Dengan demikian, diiyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan linear antara panjang cangkang dan nilai GBI-tc.
4.9 Analisa histologi
4.9.1 Jantan
Gambar 20a memperlihatkan awal dari perkembangan testes yaitu tahap
immature, dimana terliiat adanya pengelompokan jaringan yang ditunjukkan
dengan adanya bulatan-bulatan sel berwarna merah yang nantinya akan menjadi
seminifeous tubulus. Tahap ini merupakan awal dari proses spermatogenesis.
Pada gambar terlihat bahwa perkembangan seminifrous tubulus belum sempuma
yang ditandai belum terdapatnya sel-sel spermatogenetik pada seminferous
tubulus.
Pada tahap kedua @rolifrative) texjadi pembentukan sel-sel
spermatogenik pada seminiferous tubu2us [Gambar 20b). Spermatogenik pada
gambar tersebut berukuran kecil dan homogen yang diduga masih dalam bentuk
![Page 66: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/66.jpg)
spermotoginia yaitu sel spermatogenik yang paling awal atau primif. Selain sel
spermatogenik yang terdapat dalam seminiferous tubulus juga terdapat sel sertoli.
Sel sertoli atau sel penyokong merupakan kelompok sel yang mempunyai peran
sangat penting dalam proses perkembangan spermatogenik. Dellman clan Brown
(1987) & Ramli (2003) menyatakan bahwa sel sertoli memiliki fungsi nutritif,
protektif, dan suportif bagi sel spermatogenik. Masing-masing sel spermatogenfk
dipisahkan oleh sel penghubung yang disebut sel Leydig.
Fase ketiga yaitu maturing (Gambar 20c) yang memperliitkan
spermatogonia yang terdapat dalam seminifrous tubulus kemudian berkembang
menjadi spermatosit. Spermatosit ini memiliki ukuran yang lebih besar dari
spermatogonia Dellman dan Brown (1987) & Randi (2003) menyebutkan bahwa
spermatosit berkembang menjadi sel terbesar &am rangkalan sel spermatogentk.
Proses perkembangan sel spermatogenik dari spermatogonia menjadi spermatosit
disebut spermatositogenesis. Selama proses tersebut, sel spermatogenik
merupakan sel yang diploid.
Tahap keempat yaitu tahap matang (ripe) dimana seminifrous tubulus
terlfhat semaldn berkembang, ukwm dad seminlfrous tubulus semakin
membesar (Qambar 20d). Dari gambar terlihat adanya sel spermatogenik
bentkuran lebii kecil yang disebnt spermatid, sedangkan beberapa bagian masih
terdapat sedikit spermatosit. Spermadd memiliki ukuran yang kurang lebih
setengah dari spermatosit (Copenhaver et a1.,1978 & Ramli, 2003). Keadaan ini
menunjukkan bahwa sel spermatogenik sudah melalui proses meiosis dimana
spermatosft membelah menjadi dua yang menghasillcan spermaad dengan jumlah
kromosom yang haploid (Dellmann dan Brown, 1987 @ M i , 2003).
![Page 67: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/67.jpg)
Selanjutnya spermatid akan berkembang menjadi spermatozoa yaitu dengan
berubahnya bentuk sel dari sel yang bulat atau lonjong menjadi sel yang terdiri
dari beberapa bagian yaitu kepala, leher, clan ekor. Proses hi dinamakan
spermiogenesis. Crambar selanjutnya yaitu tahap keliia (Gambar 20e)
menunjukkan bahwa dindimg seminiferous tubulus semakin terliiat tidak jelas.
Hal id diduga disebabkan dinding seminiferous tubulus sebagian besar sudah
terbuka. Vongpanich dan Autonya (1997) & Ramli (2003) menyebutkan bahwa
tejadi peristiwa reduksi pada seminiferous tubulus saat memasuki tahappartly
spawned.
Tahap keenam adalah istirahat Tahap istirahat terjadi setelah pemijahan
total. Pada tahap ini gonad terlihat sudah kosong. Hanya terdapat kantung-
kantung yang didugamerupakan &a dari dinding seminiferous tubulus yang iidak
terdapat sel-sel spermatogenik (Oambar 200.
4.9.2 Betina
Tahap awal dari perkembangan gonad abalon betina, ditunjukkan pada
Gambar 21.a Dari gambar terlihat bahwagermiml epithelium belum terbentuk.
Pada beberapa bagian mulai tmlihat membentuk lipid. Selanjutnya gonad mulai -
memasuki tahiy, berkembang @roliferutive) yaitu dengan membentuk g e r m i d
epithelium clan sel-sel folikel. Oambar 21.b menunjukkan germinal epithelium
yang terbentuk berbentuk lonjong memanjang. Di sini terlihat bahwa
pembentukkan butlr-butk Upfd yang terdapat dalam germinal epithelium semakin
banyak Effendie (1979) menyatakan bahwa pembentdckm butir-butir minyak
bejalan bertahap seiring perkembangan tingkat kematangan gonad. Pada gambar
![Page 68: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/68.jpg)
tidak terlihat adanya sel telur, ha1 ini disebabkan karena banyaknya butir-butir
lipid yang menutupi sebagian besar germinal epithelium.
Pada perkembangan gonad yang lebih maju (maturing), terjadi perubahan
pada germinal epithelium dilihat dari bentuk dan kandungannya (Gambar 21 .c).
Germinal epithelium terliiat berbentuk lebii bulat dan berisi oogonia dan oosit
mu& Oogonia merupakan sel paling primitif dalarn rangkaian perkembangan sel
telur. Oosit memiliki garis tengah yang lebih besar dari o o g o ~ a Semakin
tingginya tingkat kematangan gonad, butir-butir lipid yang terdapat dalam
germinal epithelium semakfn s e a t (Gambar 2l.d). Selain itn, kembali terjadi
perubahan bentuk pada germinal epithelium menjadi lebih besar dan lonjong.
Diameter oosit terlii t semakin membesar (ripe). Perubahau tersebut disebabkan
adanya proses penyerapan kuning telur dan lipid selama proses pematangan sel
telur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1979) yaitu bahwa semakin
berkembangnya sel gonad, telur yang terkandung di dalarn semakin besar garis
tengahnya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur, hidrasi, dan pembentukan
butir-butir minyak. Talcashima dan Hibiya (1997) & Wibowo (2007)
menyebutkan salah satu tanda menuju kematangan yaitu bergabungnya butir-butir
lipid menjadi satu atau beberapa butir yang lebii besar. Tahap selanjutnya yaitu -
partly spawned (Gambar 21 .e), diiana oosit tampak mulai hilang yang
selanjutnya diiuti tahap spent (Gambar 954, dimana oodt telah dikeluarkan dan
yang tampak hanya sisa-sisa telur berukuran sangat kecil.
![Page 69: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/69.jpg)
a. Immature b. Proliferative
c. Maturing d. Ripe
e. Partly spawned j: Spent
Perbesaran mikroskop 20x10
Garnbar. 21. Histologi tingkat kematangan gonad abalon jantan
![Page 70: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/70.jpg)
a Immature b. Proliferative
c. Maturing d. Ripe
e. Partly spawned $ Spent
Perbesaran mikroskop 20x1 0
Gambar. 21. Histologi tingkat kematangan gonad abalon betina
![Page 71: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/71.jpg)
4.10 Diameter telur
Diameter telur abalon bervariasi, berkisar 10-180 pm (Gambar 22). Pada
tahapproliferative, diameter telur berkisar 10-80 p, dengan ukuran rata-rata 45
pn, tahap maturing berkisar 10-130 pm, dengan ukuran rata-rata 50 pm, tahap
ripe berkisar 10-180 pm, dengan ukuran rata-rata 99 pm, tahappartly spwned
berkisar 10-130 pm, dengan ukuran rata-rata 70 p dan tahap spent berkisar 10-
100 pm, dengan ukuran rata-rata 55 pm.
Distdbusi ukuran diameter telur meningkat seiring meningkatnya tahap
kematangan gonad dan menurun kembali setelah pelepasan telur (partly spawned
dan spent). Distribusi diameter telur memperlihatkan lebii dari satu modus yang
menggambarkan pola pemijahan abalon Hdiotis minim yang bersfmt parsial
(Oambar 22c). Pada tahap ripe, diameter telur memilii dua puncak penyebaran.
Puncak pertama terdapat pada ukuran 30 pm dan puncak kedua pada ukuran 100
pm, sedangkan tahap part& spawned terdapat pada ukuran 20 pn dan 80 pm.
Puncak kedua adalah telur-telur yang akan diieluarkan pertama kali saat memijah
yang kemudian akan disusul dengan pemijahan berikutnya yaitu telur-telur yang
bxada pada puncak pertama Hal ini menunjukkan bahwa abalon termasuk
moluska yang memijah bagian demi bagian (partial sgawner). Di wilayah
sub-tropis abalon mempunyai periode breeding yang bervariasi menurut spesies
dan temperatur air (Shepherd dan Laws,1974 & Setyono, 2004b; lkenous dan
Kafuku, 1992 Setyono, 2004b).
Tingkat kegagalan reproduksi (mortalitas telur) pada biotapartial spawner
lebih rendah dibandhg total spawner karena waktu pemijahan yang ddak hanya
sekali dan pendek, tetapi beberapa kali dan panjang sehingga apabila faktor
![Page 72: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/72.jpg)
lingkungan tidak m e n d h g dan rekruitmen tidak sukses maka rekruitmen dapat
berlangsung pada pemijahan berikutnya (Heath, 1994 & Wibowo, 2007).
Biota yang melakukan total spmvner mengeluarkan seluruh telurnya pada
saat memijah diiana Indeks Kematangan Gonad (KG) akan mencapai
maksimum pada saat akan terjadi pemijahan dan mencapai minimum setelah
pemijahan. Jenis biotapartial spmvner memijah secara bertahap selama
reproduksmya. Indeks Kematangan Gonad (KG) tidak akan mencapai
maksinlum clan minimum sebelum dan sesudah pemijahan.
Berdasarkan h e bulan (Gambar B), ukuran rata-rata diameter telur
semakin meningkat dari fase bulan gelap, transisi I clan pumama, tetapi menutun
kembali pada transisi 11. Hal ini menunjukkan bahwa puncak tejadinya
kematangan gonad berlangsung pada h e bulan pumama, sedangkan pada fase
bulan gelap, abalon banyak yang telah mengeluarkan telur ke kolom air
(memijah). Perkembangan telur serentak (synchromus) tejadi setiap 2 minggy
tetapi spermatogenesis terjadi terns menerus (Jebreen, et al., 2000 & Setyono,
2005d; Counihan et al., 2001; Norris dan Preston,2003 Setyono, 2005d).
Abalon Huliotis minim yang hidup di perairan Lombok selatan, juga m e d m
tingkat perkembangan gonad yang serentak (synchronous) (Setyono,2006).
![Page 73: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/73.jpg)
Partly spawned I I I
spent 1:: 1 i
Gambar 22. Distribusi fiekuensi ukuran diameter telur menurut tingkat kematangan gonad
![Page 74: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/74.jpg)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpullcan bahwa
abalon Haliotis asinina yang hidup di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta,
memiliki struktur ukuran panjang cangkang, bobot total, bobot daging, dan bobot
conical appendage yang lebih kecil dibanding yang hidup di pemimn Lombok
selatan. Faktor lingkungan perairan terutama makanan y a k kelirnpahan alga dan
juga tekanan penangkapan yang tinggi diduga menjadi penyebab tejadinya
kondisi ini. Ukumn mta-mta abalon jantan lebih kecil dibanding yang be&
Pola pertumbuhan abalon jantan bersifat isometrik, sedangkan abalon betina
bersifat allometrik negatif. Faktor kondisi bewariasi menurut fase bulan. Pada
abalon jantan, faktor kondisi tertinggi ditemukan pada f'ase bulan gelap,
sedangkan yang terendah ditemukan pada fase bdan transisi I. Pada abalon
betina, faktor kondisi tertinggi ditemukan pada fase bulan gelap dan terendah pada
fbse bulan transisi 11. Faktor kondisi yang tinggi pada abalon tidak berhubungan
dengan abalon yang sedang matang gonad, sebab b e r k k a n analisa histologi,
abalon dalam kondisi tingkat kematangan gonad yang tinggi justru ditemukan -
pada fase bulan pumama. Faktor kondisi diduga hanya dipengaruhi oleh bobot
total yang berhubungan dengan pcrtumbuhan.
Nisbah kelarnin mendekati 1 : 1 yang menunjukkan bahwa abalon di dam
berada dalarn kondisi seimbang. Pada individu abalon, ukuran pertama matang
gonad sudah ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 35,l-40,O mm pada
jantan dan 40,l-45,O mm pada betma Pada populasi abalon, ukuran pertama
![Page 75: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/75.jpg)
matang gonad ditemukan pada ukuran kelas panjang cangkang 40,l-45,O rnm
pada jantan dan 541-55,O mm pada betina, dimana padaukuran tersebut >50%
populasi abalon telah matang gonad atau pun memijah.
Abalon jantan dan betina yang matang gonad pada tahap ripe ditemukan
pada semua fase bulan dengau fkkuensi tertinggi pada fase bulan purnama. Hal
ini menunjukkan bahwa pada fase bulan tersebut, abalon berada dalam puncak
kematangan gonad. Pada abalon betina, tahap pemijahan total yaitu spent, hanya
ditemukan pada fase bulan gelap, dimana pada fase tersebut juga ditemukan
abalon jantan pada tahap partly spawned clan spent. Dengan demikian, abalon
dengan puncak pemijahan tertinggi diduga berlangsung pada fase bulan gelap.
Tipe pemijahan abalon bersifatpartial spawner yaitu abalon
mengehkan gamet ke perairan bagian demi bagIan dalam satu periode
pemijahan.
5.2 Saran
Untuk mendapatkan data yang lebih lengkap serta meli i t adanya
pengaruh fase bulan terhadap reproduksi abalon, diperlukan penelitian lebih lanjut
dalam jangka waktu yang lebii lama (1 tahun), sehingga diharapkan akurasi data -
akan semakin tinggi.
![Page 76: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/76.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Counihan, R.T., D.C. McNamara, D.C. Souter, E.J. Jebreen, N.P. Preston, C.R. Johnson, B.M. Degnan. 2001. Pattern, synchrony and predictability of spawning of tropical abalone Haliotis asinina &om Heron Reef, Australia. Marine Ecology Progress Series. 213: 193-202
Diiktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2005. Petunjuk teh is budidaya laut abalon (Haliotis asinina). Indonesia. v + 44h.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.1 l2h.
Faisal, F. 2005. Embriogenesis dan perkembangan larva abalon mata tuiuh (Haliotis asinina Lin.). IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas ~ k l c a k i n dan Ilmu ~elaut&. M t u t ~ertanian ~ o g o r .
FAO. 1995. Synopsis of Biologycal Data on The European Abalon (Ormer) Haliotis tube~~culala Linnaeus. 1758 (Gastr~~oda: Haliotidae). FA0 Fisheries Synopsis. 156: 1-22
Hermawan, A., Sudjiharno. 1998. Rekayasa teknologi pemijahan dan pemeliharaan larva abalone (Haliotis asinina). Laporan Tahunan Budidaya Laut. Departemen Pertanian Diektorat Jenderal Perikanan Balai Budidaya Laut, Lampung
Kruatrachue, K., S. Sawatpeera, Y. Chitramvong, P. Sonchaeng, E.S. Upatham, S. Sangpradub. 2004. Journal of Shelesheries Research.
Ramli, A. 2003. Biologi Reproduksi : Pendekatan Histologi Gonad Keong Macan (Babylonia spirata, L.). IPB. Skripsi. Tidak dipubliiikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Rahrnan, Z.A. 2 007. Biologi Reproduksi Ikan Balak (Saurida tumbil, Bloch) di Perairan Pantai Mayangan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilrnu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sanusi, M. 2000. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Lundu Macrones gulio Gunter di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. IPB. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Setyono, D.E.D. 2004a Abalone (Haliotis asinina L): 2. Factor affect gonad maturation. Oseana. XXM(4): 9-1 5.
Setyono, D.E.D. 2004b. Abalone (Haliotis asinina L): 1. A prospective spesies for aquaculture in Indonesia. Oseana. XXM(2): 25-30
![Page 77: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/77.jpg)
Setyono. D.E.D. 2004c. Abalone (Haliotis asinina L) 3. Induction of spawning. Oseana. XMZ(3): 17-23.
Setyono, D.E.D. 2004d. Broodstock conditioning of the tropical abalone (Haliotis asinina) in the laboratory. Oseanologi dun Limnologi di Indonesia.
Setyono, D.E.D. 2005a. Abalone (Haliotis asinina L): 5. Early juvenile rearing and ongrowing culture. Oseana. XXX(2)r 1-10.
Setyono, D.E.D. 2005b. Abalone (Haliotis asinina L): 4. Embryonic and larva development. Oseana. XXX(1)r 15-19.
Setyono, D.E.D. 2005c. Peranan nutrisi dalam siklus hidup abalon. Oseana. XXX(3): 1-7.
Setyono, D.E.D. 2005d. Size fust sexual maturity of the tropical abalone (Haliotis asinina) in southem Lombok water r A basis for fisheries management. Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Akuakulrur Berkelanjutan. 472-476.
Setyono, D.E.D 2005e. Size structure and morphometric information of the tropical abalon (Haliotis asinina) in southern Lombok water. Prosiding Seminar Nasional Biologi dun Akuakultur Berkelanjutan. 399-404
Setyono, D.E.D. 2006. Reproductive aspect of tropical abalone, Haliotis asinina, &om southern Lombok waters, Indonesia. Marine Research in Indonesia. 30: 1-14.
Tahang, M., Imran, dan Bangun. 2006. Pemeliharan siput abalone (Haliotis asinina) dengan metode pen-culture (kurungan tancap) dan kerarnba jaring apung. Departemen Kelautan dan Perikanan. Indonesia. 30 h.
Wibowo, N.A. 2007. Biologi Reproduksi Ikan Terbang (Hirundivhicthys oxycephalus) di Laut Flores. IPB. Skripsi . Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan clan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
.2006. Pembenihan Abalone. Akuakultur Indonesia. Edisi I Mei
http:/lid.wikipediaorg!wiki/Histologi [7 Desember 20061
http:llwww.abalonefarm.cod [7 Desember 20061
http://www.fishtech.corn/facts.htmls [9 Januari 20071
www.visualhistology.cod~dex.php [7 Desember 2 0061
![Page 78: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/78.jpg)
http://www.ab2000.org.zalfinlprog.html[27 Maret 20071
http://www.lib.noaagovkorealmainnspecie~ [3 Januari 20091
http://www.shells4u.com/lgshelll.htm [3 Januari 20091
http://www.gastropods.codO/Shell_l040.html[25 Januari 20091
![Page 79: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/79.jpg)
LAMPIRAN
![Page 80: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/80.jpg)
Lampiran 1. Foto cangkang abalon (Haliotis) tropis di perairan Indonesia (Dharrna, 1988 & Setyono, 2004)
Haliotis asinina Sumber : Riyadi, 2008
Haliotis varia Haliotis squamata Sumber : www.gastropods.com Sumber : www.gastropods.com
Haliotis ovina Haliotis glabra Swber : www.gastropods.com S m e r : www.gas~opods.com
Haliotis planate Haliotis crehrisculpta Sumber : www.gastropods.com Sumber : www.gastropods.com
![Page 81: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/81.jpg)
Lampiran 2. Foto cangkang beberapa abalon (Haliotis) sub-tropis
Haliotis rufescens Haliotis discus hannai ~ i ~ t r i b ~ ~ i geografis : samudra pasifik Distribusi geografis : Samudra Pasifik
Sumber : seashellcollector.com Sumber : Korea-Us Aquaculture
Haliotis cracherodi Haliotis fitlgens Distribusi geografis : Perairan Amerika Distribusi geografis : Pasifik Timur
Sumber : shells-of-aquarius.com Sumber :shells-of-aquarius.com
![Page 82: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/82.jpg)
Lampiran 3. Foto metode kerja pengambilan data clan sampel preparat histologi abalon
Langkah Ke rja 1. Sampel abalon 2. Pengukuran panjang cangkang dengan jangka sorong 3. Penimbangan bobot dengan neraca elekrrik (akurasi 0.01 gram) 4. embeda ah& bagian tub& abalon (tampak cmlcal appenAge b e m a
kehijananhtina) 5. P e n g u k m panjang conical appendage (orange=jantan) 6. Pernotongan sampel histologi conical appendage (gonad) 7 . Pengawetan sampel dengan larutan Bouin 8. Sampel gonad abalon siap dibawa ke laboratorium
![Page 83: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/83.jpg)
Lampiran 4. Metode pembuatan preparat histologis gonad abalon Haliotis asinina menurut Hermawati (2006) @ Wibowo (2007)
Fiksasi
Gonad ikan difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam setelah itu dipindahkan ke alkohol70 % selama 24 iam.
Dehidrasi
Gonad direndam dalam &oh0170 % (24 jam), alkohol80 % (2 jam), alkohol90 % (2 iam),alkohol95 % (2 jam), &oh01 100 % (12 jam).
1 I Clearing (penjernihan) I
Gonad direndam dalam alkohol 100 % + xylol(1 : 1) selama 30 menit, kemudian diindam dalam Xylol I, Xylal 11, Xylol III masing - masing 30 menit.
I Embedding (penyusupan I infiltrasi) I Gonad direndam dalam parafin - xylol (1:l) selama 45 menit dalam oven suhu 65 - 75" C, selanjutnya direndam dalam parafin I, parafin 11, p a r a h III selama masing - masing 45 menit yang dipanaskan dalam oven suhu 65 - 7 9 C dan kemudian jaringan dieetak dalam eetakan selama 12 jam (proses blocking).
I Pernotongan I Gonad dipotong dengan ketebalan 4 - 6 p dengan mikrotom, diapungkan dalam air suam kuku dm diletakkan di atas hot plate 40" C sampai agak kering.
.L
Preparat diindam berturut - turut dalam xylol I, xylol I1 masing - masing selama 5 menit.
I - - Dehidrasi 11
Preparat diiendam secara berurutan dalam &oh01 100 % I, akohol 100 % II, alkohol 95 %, alkohol 90 %, alkohol 80 %, alkohol 75 %, alkohol 71 %, alkohol 50 % masing - masing selama 2 menit, setelah itu preparat dicuci dengan aquades sampai putih
![Page 84: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/84.jpg)
Pewarnaan
Frepwat diendam dalam larutan haemotoxylin selama 5 - 7 menit selanjutnya direndam dalam lamtan eosin selama 3 menit dan cuci dengan air mengalir.
1 Dehidrasi III
Preparat direndam berturut - twut dengan alkohol50 %, alkohol70 %, alkohol SO %, alkohol 85 %, allcohol 90 %, aikohol 95 %, alkohol 100 % I, alkohol 100 % I1 masing - masing selama 2 menit.
Clearing I1
Preparat direndam xylol I, xylol II, dan xylol III masing -masing selama 2 menit.
Mounting
Preparat diberi zat perekat entelan/canada balsam kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass) dan dibiarkan selama 12 jam.
![Page 85: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/85.jpg)
ampiran 5. Foto Histologi gonad abalon Haliotis asinina matang (ripe)
a. Abalon jantan (sel sperrna)
b. Abalon betina (sel telur)
![Page 86: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/86.jpg)
Lampiran 6. Distribusi kkuensi panjang cangkang, bobot total, bobot daging dan bobot conical appendage
1 a. Distribusi frekuensi menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina
jantan dan betina
b. Dstribusi fiekuensi bobot total abalon Haliotis asinina jantan dan betina
![Page 87: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/87.jpg)
75
c. Dstribusi fiekuensi bobot daging abalon Haliotis asinina jantan dan betina
d. Dstribusi frekuensi bobot conical appendage (gonad dan kelenjar penoemaan) abalon Haliotis asinina jantan dan betina
![Page 88: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/88.jpg)
~ambiran 7. Uji Chi-sequare terhadap nisbah kelamin abalon Haliotis asinina jantan dan betina.
1 . Nisbah kelamin total
Hipotesis :
Ho : jantan : betina = 1 : 1 (nisbah kelamin seimbang)
HI : jantan : betina = 1 # 1 (nisbah kelamin ti& seimbang)
Jenis Kelamin Jantan Betina Total
Erekuensi harapan
= 0,306748
X? tabel = &.osV=z-1) = 3,841
Keputusan : X himg < X*,. maka gagal tolak HO
Kesimpulan : Nisbah kelamin abalon total seimbang.
2. Berdasarkan kelas ukuran panjang cangkang
a. Ukuran panjang cangkang 550,O mm
Jumlah (ekor) 158 168 326 163
Jenis Kelamin
Betina Total 150
Frekuensi 75
= 1,30667
2 tabel = = 3,841
Keputusan : X hmmg < Xtabel, maka gagal tolak Ho
Kesimpulan : Nisbah kelamin abalon seimbang.
![Page 89: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/89.jpg)
Hipotesis :
Ho : j a n b : M i a = 1 : 1 (nisbah kelamin seimbang)
HI : jantan : betina = 1 # 1 (nisbah kelamin tidak seimbang)
Jenis Kelamin Jantan Betina Total
Frekuensi harapan
= 1,63636
X? tabel = %.osor=z-1) = 3,841
Keputusan : X hitung < Xabcl, maka gaga1 tolak Ho
Kesimpulan : Nisbah kelamin seimbang.
Jumlah (ekor) 76 100 176 88
![Page 90: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/90.jpg)
Lampiran 8. Hasil analisa histologi tingkat kematangan gonad menurut panjang cangkang abalon Haliotis asinina jantan dan betina
![Page 91: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/91.jpg)
![Page 92: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/92.jpg)
Lampiran 9. ~akto; kondisi abalon Halioiis asinina jantan clan betina
a. Berdasarkan fase bulan
b. Berdasarkan ukuran kelas panjang cangkang
c. Bedasarkan tingkat perkembangan kematangan gonad
![Page 93: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/93.jpg)
Lampiran 10. Nilai GBI-tc abalon Haliotis asinina jantan dan betina
a. Berdasarkan fase bulan
b. berdasarkan tingkat perkembangan kematangan gonad
c. berdasarkan ukuran kelas panjang cangkaug
![Page 94: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/94.jpg)
Lampiran 11. Diameter telur abalon Haliotis asinina
![Page 95: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/95.jpg)
Lampiran 12. Data analis pengamatan indeks kematangan gonad dan faktor kondisi
![Page 96: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/96.jpg)
![Page 97: C08sri.pdf](https://reader030.vdocuments.mx/reader030/viewer/2022012900/55cf9de2550346d033afb0ab/html5/thumbnails/97.jpg)
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1983.
Penulis merupakan anak kelima yang terlahir dari pasangan
Bapak Karto Ribut dan Ibu Asih. Pendidiian formal
pertama diawali dari SDN 11 Pagi Jakarta (1990), SMPN
21 1 Jakarta (1996), SMUN 38 Jakarta (1999). Pada tahun
2003 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis memilih program studi Ilmu Kelautan
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HIMITEKA
(Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) periode 2004-2005 pada
Departemen LITJAK dan 2005-2006 pada Bidang Kewirausahaan. Penulis juga
pemah aktif sebagai panitia dari beberapa kegiatan yang diselenggarakan di
lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di antaranya sebagai ketua
panitia Fieldtrip mata kuliah Oseanografi Umum 2005, ketua panitia Pendidikan
Kelautan, Gebyar Kelautan Nusantara (GENTAR 2006) HIMITEKA IPB dan
HIMfTEKINDO dan delegasi pada Mukemas Himpunan Mahasiswa Kelautan
Indonesia (NIMITEKINDO) IV 2005 di Bogor. Penulis juga pemah menjadi
koordinator asisten praktikum mata kuliah Biologi Laut pada periode 2005-2006.
Selain itu penulis juga pemah bekerja di PT. Securindo Packatama Indonesia pada
tahun 2002-2003 dan saat ini mengajar di Lembaga Bimbingan Belajar BTA 8
Jakarta pada mata ajar frsika.
Sebagai salah satu syarat rmtuk memperoleh gelar sajana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi
dengan judul "Beberapa Aspek Reproduksi Abalon (Haliotis asinina. Lm) di
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta"