buku hujan bulan juni, 30 september 2014.docx

2
Buku Hujan Bulan Juni Hanya mengambil yang kuinginkan. Aku dan buku Hujan Bulan Juni. Pertama kali aku melihatnya di Gramedia Veteran. Malam itu dan sampai hari ini, sampulnya masih hujan, berdasar putih, hardcover. Begitu mempesona. Selain karena ia adalah sepilihan sajak karya Sapardi Djoko Damono yang notabene menjadi favoritku sejak 2005, aku juga merasa love at first sight dengan buku itu. September 2013, menuju kasir Gramedia. Ditanganku sudah ada dua buku. Ah, mataku terpaut pada buku putih-hujan-berdaun. Sayangnya dana yang terbatas membuatku mengurungkan niat membeli buku itu. Begitulah, mengingat status yang belum mandiri finansial. Karena dua buku yang kupegang jauh lebih penting dari keinginan memiliki buku Hujan Bulan Juni. Sudah. Lupakan dulu tentang buku Hujan Bulan Juni. Aku menginginkannya. Aku mengharapkannya. Namun, kupilih mengabaikan segala pikiran tentang keinginan memilikinya. Berbulan-bulan aku tidak lagi menyebutnya dalam hati. Ada kehidupan lain yang membuatku lebih sibuk. Menyita waktuku puluhan jam dalam sepekan. Februari 2014, milad FLP. Lomba menulis cerpen berhadiah voucher buku. Ini menarik. Meski aku tak pernah tertarik dengan cerpen. Jujur saja, jika nonfiksi adalah sesuatu yang menjengkelkan, maka bagiku fiksi adalah sesuatu yang menjemukan. Terutama karena aku selalu kesulitan dalam mendeskripsikan sesuatu. Kulihat pamfletnya, aku ingin hadiah kedua, vouchernya cukup untuk buku itu. Kuharap Tuhan mengizinkanku memilikinya dengan cara ini. Dibawah tekanan deadline, terselesaikanlah sebuah cerpen. Kirim. Akhir Februari, kata panitia cerpenku masuk tiga besar. Bersyukur, kuharap semoga bisa dapat hadiah kedua. Terimakasih Allah, sudah memberiku hadiah pertama, vouchernya cukup untuk tiga buku terpilih. Nomor satu tentu saja Hujan Bulan Juni, lalu The Kite Runner (Khaled Hosseini), dan terakhir Berjalan Menembus Batas (Ahmad Fuadi). Seperti yang kukatakan diawal, aku hanya mengambil yang kuinginkan. Jadi, Hujan Bulan Juni cukup. Yang dua untukmu saja. Sampai hari ini, ia akan selalu menjadi buku paling spesial di lemariku. Sampai kapanpun, ia akan menjadi buku yang paling sering berada di tasku dan akan selalu kuletakkan di dekatku, seperti saat ini.

Upload: chandra-wulan

Post on 30-Sep-2015

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Buku Hujan Bulan JuniHanya mengambil yang kuinginkan. Aku dan buku Hujan Bulan Juni. Pertama kali aku melihatnya di Gramedia Veteran. Malam itu dan sampai hari ini, sampulnya masih hujan, berdasar putih, hardcover. Begitu mempesona. Selain karena ia adalah sepilihan sajak karya Sapardi Djoko Damono yang notabene menjadi favoritku sejak 2005, aku juga merasa love at first sight dengan buku itu. September 2013, menuju kasir Gramedia. Ditanganku sudah ada dua buku. Ah, mataku terpaut pada buku putih-hujan-berdaun. Sayangnya dana yang terbatas membuatku mengurungkan niat membeli buku itu. Begitulah, mengingat status yang belum mandiri finansial. Karena dua buku yang kupegang jauh lebih penting dari keinginan memiliki buku Hujan Bulan Juni. Sudah. Lupakan dulu tentang buku Hujan Bulan Juni. Aku menginginkannya. Aku mengharapkannya. Namun, kupilih mengabaikan segala pikiran tentang keinginan memilikinya. Berbulan-bulan aku tidak lagi menyebutnya dalam hati. Ada kehidupan lain yang membuatku lebih sibuk. Menyita waktuku puluhan jam dalam sepekan. Februari 2014, milad FLP. Lomba menulis cerpen berhadiah voucher buku. Ini menarik. Meski aku tak pernah tertarik dengan cerpen. Jujur saja, jika nonfiksi adalah sesuatu yang menjengkelkan, maka bagiku fiksi adalah sesuatu yang menjemukan. Terutama karena aku selalu kesulitan dalam mendeskripsikan sesuatu. Kulihat pamfletnya, aku ingin hadiah kedua, vouchernya cukup untuk buku itu. Kuharap Tuhan mengizinkanku memilikinya dengan cara ini. Dibawah tekanan deadline, terselesaikanlah sebuah cerpen. Kirim. Akhir Februari, kata panitia cerpenku masuk tiga besar. Bersyukur, kuharap semoga bisa dapat hadiah kedua. Terimakasih Allah, sudah memberiku hadiah pertama, vouchernya cukup untuk tiga buku terpilih. Nomor satu tentu saja Hujan Bulan Juni, lalu The Kite Runner (Khaled Hosseini), dan terakhir Berjalan Menembus Batas (Ahmad Fuadi). Seperti yang kukatakan diawal, aku hanya mengambil yang kuinginkan. Jadi, Hujan Bulan Juni cukup. Yang dua untukmu saja. Sampai hari ini, ia akan selalu menjadi buku paling spesial di lemariku. Sampai kapanpun, ia akan menjadi buku yang paling sering berada di tasku dan akan selalu kuletakkan di dekatku, seperti saat ini.

*Kutulis bukan untuk apa-apa, anggap saja memperingati satu tahun pertemuan pertamaku dengan buku Hujan Bulan Juni.**Kita hanya perlu waktu terhadap sesuatu yang benar-benar diinginkan. Aku percaya.