buku ajar klinik hukum anti korupsi kode mk -...
TRANSCRIPT
BUKU AJAR
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
KODE MK : NA 6214
TIM PENYUSUN
DOSEN KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-NYA akhirnya kami dapat menyelesaikan buku ajar Klinik
Hukum Anti Korupsi.
Secara garis besar buku ajar ini memuat materi-materi dasar tentang
tindak pidana korupsi dan peradilan tindak pidana korupsi. Buku ajar ini
kami susun dengan tujuan memberikan bimbingan keilmuan dasar bagi
mahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi sehingga mahasiswa saat
melakukan praktik dilapangan dapat menyesuaikan antara das sollen dan
das sein. Kemudian mahasiswa akan mampu menerapkan ilmu yang
diperolehnya baik itu di praktik ex house clinik dan teori dalam in house
clinic. Harapan kami mahasiswa Klinik Hukum Anti Korupsi akan dapat
mengembangkan pengetahuannya tentang proses peradilan korupsi
dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat saat terjun secara
langsung sebagai anggota masyarakat sehingga mampu menciptakan
keadilan.
Akhir kata, kami sadari jika Buku Ajar Klinik Hukum Anti Korupsi ini
masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu segala masukan yang
membangun sangat kami harapkan sebagai bentuk usaha
pengembangann ilmu. Semoga bahan ajar ini bisa berguna bagi
mahasiswa.
Denpasar, april 2015
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................... ii
1. Nama Mata Kuliah .............................................................. 1
2. Kode Mata Kuliah ............................................................... 1
3. Informasi Staff Pengajar ...................................................... 1
4. Deskripsi Singkat Mata Kuliah ............................................ 2
5. Tujuan Perkuliahan ............................................................ 2
6. Metode Pembelajaran .......................................................... 3
7. Penilaian ............................................................................ 4
8. Rencana Perkuliahan .......................................................... 4
9. Resiko Kegagalan dan Antisipasi ......................................... 7
10. Silabus ............................................................................. 9
11. SAP .................................................................................. 16
12. Daftar Bacaan .................................................................. 32
Pertemuan 1 Kuliah 1
Korupsi Dalam Perspektif Hukum Pidana ................................... 34
A. Pengertian Korupsi ............................................................ 34
B. Korupsi : Extraordinary Crime ........................................... 38
C. Ciri dan Tipologi Korupsi ................................................... 40
D. Pengaturan Korupsi di Indonesia ...................................... 43
E. UU Korupsi : UU Khusus .................................................. 47
Pertemuan 2 Kuliah 2
Peradilan Tindak Pidana Korupsi ................................................ 50
A. Pengantar .......................................................................... 50
B. Prinsip-Prinsip Umum Pengadilan Tipikor ......................... 52
C. Hukum Acara Pengadilan Tipikor ...................................... 53
Pertemuan 3 Kuliah 3
Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi ................................ 58
A. POLRI ................................................................................ 58
B. Jaksa ................................................................................ 60
C. KPK ................................................................................... 62
Pertemuan 4 Kuliah 4
Dualisme Kewenangan Antar Lembaga
Pemberantasan Korupsi ............................................................. 64
Pertemuan 5 Kuliah 5
Kasus-kasus Korupsi ................................................................. 70
A. Kasus BLBI ............................................................................ 70
B. Kasus PUSKUD Jateng .......................................................... 71
C. Kasus Akil Mochtar ................................................................ 72
Pertemuan 6 Kuliah 6
Kode Etik Profesi dan Pemeriksaan Pendahuluan ....................... 76
A. Kode Etik Polisi ...................................................................... 76
B. Kode Etik Jaksa ..................................................................... 77
C. Kode Etik Hakim .................................................................... 77
D. Pemeriksaan Pendahuluan .................................................... 78
Pertemuan 7 : Ujian Tengah Semester
Pertemuan 8 Kuliah 8
Penuntutan, Surat Dakwaan dan Eksepsi .................................. 83
A. Penuntutan ............................................................................ 83
B. Surat Dakwaan ..................................................................... 84
C. Eksepsi .................................................................................. 86
Pertemuan 9 Kuliah 9
Pemeriksaan Saksi, Saksi Ahli,
Keterangan Terdakwa dan Pembuktian ...................................... 90
A. Pemeriksaan Saksi, Saksi Ahli dan Keterangan Terdakwa ...... 90
B. Pembuktian ........................................................................... 91
Pertemuan 10 Kuliah 10
Penuntutan Pidana (Requisitoir), Pledooi,
Replik-Duplik, Simpulan ............................................................ 94
A. Penuntutan Pidana/Requisitoir .............................................. 94
B. Pledooi ................................................................................... 94
C. Replik-Duplik ......................................................................... 94
D. Simpulan ............................................................................... 95
Pertemuan 11 Kuliah 11
Putusan dan Upaya Hukum ....................................................... 96
A. Putusan ................................................................................. 96
B. Upaya Hukum ....................................................................... 96
Pertemuan 12 Kuliah 12
Riset Observasi ke Kepolisian ..................................................... 98
SOP Penanganan Tipikor ............................................................ 98
Pertemuan 13 Kuliah 13
Riset Observasi Ke Pengadilan Tipikor ........................................ 103
Pertemuan 14 Ujian Akhir Semester
RENCANA PROGRAM & KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)
1. NAMA MATA KULIAH : KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH/SKS : NA 6214/2 SKS
3. INFORMASI STAF PENGAJAR
Staf pengajar dalam mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi adalah Dosen-
dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berkompeten dalam bidang
ilmu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Beberapa Dosen diantaranya
memiliki pengalaman praktis yang pernah membantu penyelesaian beberapa
kasus korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tipikor Bali. Selain pengajar
yang berasal dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Klinik Hukum Anti
Korupsi juga mendatangkan pengajar dari Mitra Praktis yang diajak
bekerjasama oleh Unit Klinik Hukum.
Adapun staf pengajar tersebut :
a. Dosen FH UNUD :
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH. MS
2. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH. MH
3. Dr. Gde Artha, SH.MH
4. I Wayan Suardana, SH. MH
5. I Gusti AA Dike Widhiyaastuti, SH. MH (Koordinator Klinik Hukum Anti
Korupsi)
6. Made Walesa Putra, SH. MKn
7. I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH. MH
8. Made Diah Sekar Mayang Sari, SH. MH
9. Dewa Gede Dana Sugama, SH. MH
b. Pengajar Mitra :
1. KPK/BCW
2. Kepolisian, XXX
3. Kejaksaan, MMM
4. Pengadilan, YYY
5. LSM, FFF
4. DESKRIPSI SINGKAT MATA KULIAH
Mata kuliah Klinik Anti Korupsi pada dasarnya merupakan hasil kerjasama
penguatan mata kuliah antara FH UNUD dengan E2J yang didukung oleh
USAID dan TAF. Keberadaan mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi dalam
kurikulum FH UNUD merupakan bentuk konsistensi FH UNUD untuk
mengambil peran dalam upaya pencegahan korupsi dengan mengembangkan
perilaku anti korupsi kepada mahasiswa. Fokus pembelajaran yang
diarahkan kepada perilaku anti korupsi dilatarbelakangi oleh kondisi sosial
yang terjadi mengenai korupsi saat ini di Indonesia. Sebagaimana diketahui,
Indonesia hingga saat ini masih bergumul dengan persoalan korupsi yang
sepertinya tiada henti-hentinya. Kondisi ini tentu memprihatinkan sebab
korupsi melahirkan ketidaksejahteraan bagi masyarakat bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, perhatian terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan korupsi tidak semata-mata hanya dilakukan oleh UU dan
aparat penegak hukum saja. Akan tetapi juga perlu melibatkan dunia
pendidikan sebagai tempat pengembangan karakter manusia Indonesia yang
anti korupsi. Pemikiran-pemikiran ini secara umum melatarbelakangi
pemilihan pembentukan Klinik Hukum Anti Korupsi di FH UNUD.
Harapannya dengan adanya mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi,
mahasiswa akan memperluas khasanah pengetahuan tentang korupsi
kemudian mengembangkan perilaku anti korupsi baik pada dirinya sendiri,
lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu proses belajar
mengajar yang dilaksanakan dalam mata kuliah Klinik Hukum Anti Korupsi
FH UNUD akan lebih banyak bersifat praktis dengan mengembangkan metode
pembelajaran yang interaktif dan reflektif untuk memberikan pelayanan
hukum dan menciptakan keadilan sosial.
5. TUJUAN PERKULIAHAN
a. Memberikan pengetahuan teoritis dan praktis kepada mahasiswa
terkait korupsi sehingga mahasiswa bisa mengembangkan perilaku anti
korupsi
b. Mendidik mahasiswa untuk mengembangkan dan membudayakan
perilaku anti korupsi dalam kehidupannya sehari-hari
c. Mendidik kemampuan mahasiswa dalam menganalisis dan
memecahkan masalah-masalah hukum terkait pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
d. Mendidik mahasiswa untuk memiliki kompetensi praktis di masa yang
akan datang.
e. Mendidik dan mempertajam konsistensi mahasiswa untuk memberikan
pelayanan hukum dan menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat.
6. METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran yang dikembangkan dalam mata kuliah Klinik
Hukum Anti Korupsi adalah metode yang interaktif dan reflektif dengan
mengedepankan kemampuan analisa hukum, membangun kemampuan
teoritis dan praktis serta membudayakan perilaku profesionalisme.
a. Metode Interaktif akan ditempuh dengan cara diskusi kelompok,
curah pendapat, bermain peran, simulasi, peradilan semu dan
analisis kasus.
b. Metode Reflektif akan ditempuh dengan cara :
Evaluasi materi dan sistem pengajaran
Evaluasi efektivitas materi dan sistem pengajaran terhadap
peningkatan dan derajat pemahaman mahasiswa
Evaluasi sejauh mana mahasiswa telah belajar dari materi dan
sistem pembelajaran tersebut.
Realisasi metode pembelajaran interaktif dan reflektif dilakukan dengan
melaksanakan 3 komponen pembelajaran dalam Klinik Hukum yaitu :
1. Planning component
Planning component merupakan proses mahasiswa mempelajari teori
hukum, memahami strategi untuk memberikan pelayanan hukum dan
mempertimbangkan berbagai permasalahan hukum yang terkait.
2. Experiential component
Experiential component merupakan proses mahasiswa untuk
menerapkan pengetahuannya, keahliannya beracara dan melakukan
berbagai kegiatan praktis lainnya seperti memberikan penjelasan
tentang hukum kepada masyarakat awam.
3. Reflection component
Reflection component merupakan proses dimana mahasiswa
merefleksikan pengalaman yang telah diperoleh di lapangan dan
melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dilakukan
berdasarkan pengarahan dari dosen pembimbing.
7. PENILAIAN
Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard
skills dilakukan dengan mengkumulasikan experiential component dan
reflection sebagai nilai tugas ditambah dengan UTS dan UAS. Penilaian
soft skills meliputi penilaian terhadap kehadiran, keaktifan, kemampuan
presentasi, penguasaan materi, argumentasi, disiplin, etika dan moral
berdasarkan pada pengamatan tatap muka selama perkuliahan dan
pelaksanaan kegiatan klinik di lapangan.
Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan dengan menggunakan rumus
yang terdapat dalam Buku Pedoman FH UNUD 2013, yaitu :
(UTS + TT)
+ 2 (UAS)
2
NA =
3
8. RENCANA PERKULIAHAN
MINGGU
KE -
POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN METODE
PEMBELAJARAN
1 Konsep Tindak
Pidana Korupsi
Perspektif Hukum
Pidana
- Sejarah Korupsi
- Pengertian Tindak Pidana Korupsi
- Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
- Pertanggungjawaban
Pidana Tindak Pidana Korupis
- Pidana dan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
Tatap muka,
diskusi,
curah
pendapat
2 Peradilan Tindak
Pidana Korupsi
- Landasan Hukum Peradilan Tindak
Pidana Korupsi - Sejarah Peradilan
Korupsi
- Kekhususan dalam Peradilan Korupsi
- Mekanisme Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Tatap muka,
diskusi, curah
pendapat
3 Lembaga
Pemberantasan
- Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Tatap muka,
diskusi, curah
Tindak Pidana
Korupsi
a. Kepolisian
b. Kejaksaan c. Pengadilan d. KPK
e. ICW - Dasar Hukum
Lembaga-lembaga
Pemberantasan Korupsi
- Kode Etik lembaga - Dualism
Kewenangan
Mengadili Tipikor antara Kejaksaaan
Dan Kepolisian - Strategi dan
Optimalisasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh
Lembaga-lembaga Pemberantasan
Korupsi
pendapat, analisis
kasus
4 Dualism
Kewenangan
antara KPK
dan Polisi;
KPK dan
Jaksa serta
Strategi dan
Optimalisasi
Pemberantasan
Tipikor oleh
Lembaga-Lembaga
Pemberantasan
tipikor
- Dualism
kewenangan antara KPK dan Polisi
- Dualism
kewenangan antara KPK dan Jaksa
- Strategi dan
Optimalisasi Pemberantasan
Tipikor oleh Lembaga-Lembaga Pemberantasan
Tipikor
Tatap muka,
diskusi, curah
pendapat, analisis
kasus
5 Kasus-kasus tindak
pidana korupsi di
Indonesia
- Kasus 1 - Kasus 2 - Kasus 3
Diskusi, analisa
kasus, curah
pendapat,
memecahkan
masalah
6 Pemeriksaan
Pendahuluan di
Pengadilan Tipikor
- Pengertian
pemeriksaan pendahuluan menurut KUHAP dan
- Kode etik hakim - Kode etik jaksa - Kode etik
pengacara - Mekanisme
pemeriksaan pendahuluan di pengadilan tipikor
pengamatan dan
latihan kerja
dengan mitra
7 UTS
8 Penuntutan, Surat
Dakwaan dan
Eksepsi di
pengadilan Tipikor
- Pengertian
Penuntutan - Surat Dakwaan
- Pengertian Eksepsi - Mekanisme
penuntutan,
pembacaan surat dakwaan dan eksepsi di pengadilan tipikor
pengamatan dan
latihan kerja
dengan Mitra
9 Pemeriksaan Saksi,
Saksi ahli,
keterangan
terdakwa dan
Pembuktian
- Pengertian saksi dan pemeriksaan saksi
- Pengertian terdakwa dan kegunaan
keterangan terdakwa - Pengertian
pembuktian dan
pembuktian menurut KUHP
-
Pengamatan dan
latihan kerja
dengan Mitra
10 Pledoi, replik dan
duplik, simpulan
- Pengertian pledoi - Pengertian replik
- Pengertian duplik - Pengertian simpulan
- Mekanisme pembacaan pledoi, replik duplik dan
simpulan di pengadilan tipikor
pengamatan dan
latihan kerja
dengan Mitra
11 Putusan, Upaya
Hukum Biasa dan
Luar Biasa
- Pengertian putusan
- Pengertian upaya hukum
- Macam-macam
upaya hukum dalam pengadilan tipikor
pengamatan dan
latihan kerja
dengan Mitra
12 Laporan Riset
observasi
penanganan kasus
tindak pidana
korupsi di
Kepolisian
- Riset observasi penanganan kasus tindak pidana
korupsi di Kepolisian
Riset observasi di
Kepolisian
13 Laporan Riset
Observasi
penanganan kasus
tindak pidana di
Kejaksaan
Riset Observasi
penanganan kasus
tindak pidana di
Kejaksaan
Riset observasi di
Kejaksaan
14 UAS -
9. RESIKO KEGAGALAN DAN ANTISIPASI
NO RESIKO KEGAGALAN ANTISIPASI
1 Jika pertemuan tatap muka
tidak terlaksana
Tugas mandiri
2 Rasio dosen lebih kecil dari
mahasiswa
Pembagian mahasiswa atas
beberapa kelompok
3 Jika mahasiswa tidak
mengikuti UTS dan UAS
dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan
dan ada disposisi PD I
Ujian susulan
4 Jika tidak ada kasus tindak
pidana korupsi sedang
berjalan di Pengadilan
Tipikor
mempersiapkan street law
anti korupsi kepada
masyarakat
5 Jika street law tidak berhasil melakukan penyebaran
pamflet anti korupsi di
beberapa titik utama
wilayah kota denpasar
10. SILABUS
SILABUS MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
MATA KULIAH : KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
KODE MK : NA 6214
SEMESTER : VI (ENAM)
SKS : 2 (DUA)
NAMA DOSEN : TIM DOSEN KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH. MS 2. Dr. I Gst Ketut Ariawan, SH. MH 3. Dr. Gde Artha, SH. MH 4. Wayan Suardana, SH. MH 5. I Gst AA Dike Widhiyaastuti, SH. MH 6. Made Walesa Putra, SH. MKn 7. I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH. MH 8. Made Diah Sekar Mayang Sari, SH. MH 9. I Dewa Gede Dana Sugama, SH. MH
STANDAR KOMPETENSI : Dengan berbekal pengetahuan Hukum Pidana dan Acara Pidana, diharapkan :
1. Mahasiswa mampu mengenal korupsi, konsep dan pemberantasannya
2. Mahasiswa mampu mengenal dan menerapkan proses beracara bagi tindak pidana korupsi
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan menghayati proses pemberantasan korupsi
4. Mahasiswa mampu menyusun riset observasi kasus dan memecahkan masalah
5. Mahasiswa mampu mengkonstruksi laporan yang berbasis riset observasi.
N
O
KOMPETE
NSI
DASAR
MATERI
POKO
K
PENGALA
MAN
BELA
JAR
INDIKAT
OR
PENC
APAIA
N
PENI
L
A
I
A
N
ALOKASI
WAKT
U
SUM
B
E
R
/
BAH
A
N
/
ALAT T U
K
U
S
T
M
P L
1 Mahasisw
a
dihara
pkan
dapat
mema
hami
dan
menen
tukan
konse
p
tindak
pidana
korups
i
perspe
ktif
huku
m
pidana
Sejarah
koru
psi,
Peng
ertia
n
tinda
k
pidan
a
koru
psi,
bent
uk-
bent
uk
tipiko
r dan
Unsure-
unsu
rnya,
Pertangg
ungja
waba
n
dala
m
tinda
k
pidan
a
koru
psi
Pidana
dan
pemi
dana
Mempela
jari
dan
mend
iskus
ikan
tenta
ng
sejar
ah
koru
psi,
penge
rtian
tinda
k
pidan
a
koru
psi,
bentu
k-
bentu
k
tipiko
r dan
unsu
r-
unsu
rnya,
perta
nggu
ngjaw
aban
tinda
k
pidan
a
koru
Mahasis
wa
dapat
meng
uraik
an
sejar
ah
koru
psi,
dapat
menj
elask
an
tenta
ng
peng
ertia
n
tinda
k
pidan
a
koru
psi,
meng
klasif
ikiasi
kan
bent
uk-
bent
uk
tinda
k
pidan
a
koru
psi
v v v 6
0
4
0
SAP,
si
la
b
u
s,
b
a
h
a
n
aj
a
r
LCD
whit
e
boar
d
spid
ol
an
dala
m
tinda
k
pidan
a
koru
psi
psi
serta
pidan
a dan
pemi
dana
an
dala
m
tinda
k
pidan
a
koru
psi
dan
unsu
r-
unsu
r,
meng
urai
perta
nggu
ngja
waba
n
tinda
k
pidan
a
koru
psi,
serta
pidan
a dan
pemi
dana
an
dala
m
tinda
k
pidan
a
koru
psi
2 Mahasisw
a
dihara
pkan
mamp
u
menge
nal
dan
mende
Landasa
n
huku
m
Perad
ilan
Tipik
or,
Sejarah
Perad
Mempela
jari
dan
mend
iskus
ikan
tenta
ng
landa
san
Mahasis
wa
mam
pu
mene
ntuk
an
landa
san
huku
v v v 6
0
4
0
idem
finisik
an
Peradil
an
Tindak
Pidana
Korup
si
ilan
Tipik
or di
Indo
nesia
,
Kekhusu
san
dala
m
Perad
ilan
Tipik
or,
Mekanis
me
Perad
ilan
Tipik
or
huku
m
perad
ilan
tipiko
r,
sejar
ah
perad
ilan
tipiko
r,
kekh
usus
an
dala
m
perad
ilan
tipiko
r dan
meka
nism
e
perad
ilan
tipiko
r
m
perad
ilan
tipiko
r,
mam
pu
menc
eritak
an
sejar
ah
perad
ilan
tipiko
r,
mam
pu
meny
impul
kan
kekh
usus
an
perad
ilan
tipiko
r dan
meka
nism
e
perad
ilan
tipiko
r
3 Mahasisw
a
mamp
u
mengi
dentifi
kasika
Lembaga
-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
Mendisk
usika
n
tenta
ng
Lemb
aga-
Mahasis
wa
dapat
meng
identi
fikasi
lemb
v v v 6
0
4
0
idem
n
Lemba
ga
Pembe
rantas
an
Tindak
Pidana
Korup
si
Tipik
or :
kepol
isian,
kejak
saan,
peng
adila
n dan
lemb
aga
indep
ende
n
KPK
Dasar
huku
m
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
Tipik
or
Kode
Etik
Profe
si
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
Koru
psi
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
Tipik
or :
kepol
isian,
kejak
saan,
peng
adila
n dan
lemb
aga
indep
ende
n
KPK
Dasar
huku
m
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
Tipik
or
Kode
Etik
Profe
si
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
aga-
lemb
aga
pemb
erant
asan
tipiko
r,
menj
elask
an
dasar
huku
m
lemb
aga-
lemb
aga
tipiko
r,
meng
emuk
akan
kode
etik
profe
si
lemb
aga-
lemb
aga
pemb
erant
asan
tipiko
r
asan
Koru
psi
4 Mahasisw
a
dihara
pkan
mamp
u
menga
nalisis
dan
memec
ahkan
masal
ah
tentan
g
dualis
m
kewen
angan
antara
KPK
dan
Polisi;
KPK
dan
Jaksa
serta
Strate
gi dan
optima
lisasi
pembe
rantas
an
Tipikor
oleh
lemba
ga-
Dualism
Kewe
nang
an
antar
a
KPK
dan
Polisi
; KPK
dan
Jaks
a
serta
Strategi
dan
Opti
malis
asi
Pemb
erant
asan
Tipik
or
oleh
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
tipiko
r
Melatih
kema
mpua
n
maha
siswa
mend
iskus
ikan,
mere
mbug
kan,
meng
anali
sis
dan
mem
ecahk
an
masa
lah
Duali
sm
Kewe
nang
an
antar
a KPK
dan
Polisi
; KPK
dan
Jaksa
serta
Strategi
dan
Opti
Mahasis
wa
mam
pu
mend
iskus
ikan,
mere
mbug
kan
dan
meng
anali
sis
masa
lah
kewe
nang
an
antar
a
KPK
dan
Polisi
serta
kewe
nang
an
antar
a
KPK
dan
Jaks
a
serta
menil
ai
dan
v v v 4
0
6
0
idem
lemba
ga
Pembe
rantas
an
Tipikor
malis
asi
Pemb
erant
asan
Tipik
or
oleh
Lemb
aga-
Lemb
aga
Pemb
erant
asan
tipiko
r
mem
berik
an
solus
i
strate
gi
dan
optim
alisas
i
pemb
erant
asan
koru
psi
oleh
lemb
aga-
lemb
aga
pemb
erant
asan
koru
psi
5 Mahasisw
a
dihara
pkan
mamp
u
menga
nalisis
dan
menyi
mpulk
an
masal
ah-
masal
ah
Kasus-
kasu
s
tinda
k
pidan
a
koru
psi di
Indo
nesia
Melatih
kema
mpua
n
maha
siswa
mend
iskus
ikan,
meng
anali
sis,
mem
ecahk
an
masa
Mahasis
wa
mam
pu
mend
iskus
ikan
dan
meng
anali
sis
serta
mem
ecah
kan
masa
v v v 4
0
6
0
idem
penega
kan
huku
m
dalam
kasus
tindak
pidana
korups
i
lah
serta
meny
impul
kan
masa
lah-
masa
lah
peneg
akan
huku
m
dala
m
kasu
s
tinda
k
pidan
a
koru
psi
lah-
masa
lah
huku
m
dala
m
pene
gaka
n
huku
m
dala
m
kasu
s
tinda
k
pidan
a
koru
psi
6 Mahasisw
a
dihara
pkan
mamp
u
menge
nal
dan
meliha
t
proses
pemeri
ksaan
penda
hulua
n
dalam
penga
Proses
dan
meka
nism
e
peme
riksa
an
pend
ahul
uan
dala
m
peng
adila
n
tipiko
r
Mahasis
wa
meng
amati
dan
meng
anali
sis
prose
s dan
meka
nism
e
peme
riksa
aan
pend
Mahasis
wa
mam
pu
menc
eritak
an,
meng
anali
sis
dan
mend
iskus
ikan
prose
s dan
meka
nism
e
v v v 4
0
6
0
dilan
tipikor
ahulu
an
peme
riksa
an
pend
ahul
uan
7 UJIAN TENGAH SEMESTER
8 Mahasiswa
diharap
kan
mampu
menget
ahui
proses
dan
mekani
sme
pembac
aan
surat
dakwaa
n,
eksepsi
serta
menyus
un
berkas
penunt
utan,
surat
dakwaa
n dan
eksepsi
Proses
dan
mek
anis
me
pen
unt
uta
n,
pem
bac
aan
sur
at
dak
waa
n,
ekse
psi
dala
m
pen
gadi
lan
tipi
kor
Mahasisw
a
menga
mati,
menga
nalisis
proses
penun
tutan,
surat
dakwa
an,
ekseps
i
dalam
penga
dilan
tipikor
Mahasi
swa
ma
mpu
men
cerit
aka
n
dan
men
yus
un
berk
as
pen
unt
uta
n,
sura
t
dak
waa
n
dan
ekse
psi
v v v 4
0
6
0
idem
9 Mahasiswa
diharap
kan
mampu
mengan
alisis
Proses
pem
erik
saa
n
sak
Mahasisw
a
mendi
skusik
an
proses
Mahasi
swa
ma
mpu
men
disk
v v v 4
0
6
0
idem
dan
mendis
kusikan
proses
pemerik
saan
saksi
dan
saksi
ahli,
keteran
gan
terdakw
a dan
pembuk
tian
si
dan
sak
si
ahli,
kete
ran
gan
terd
akw
a
dan
pem
buk
tian
pemeri
ksaan
saksi
dan
saksi
ahli,
ketera
ngan
terdak
wa dan
pembu
ktian
usik
an
pros
es
pem
erik
saa
n
saks
i
dan
saks
i
ahli,
kete
rang
an
terd
akw
a
dan
pem
buk
tian
1
0
Mahasiswa
diharap
kan
mampu
mengen
al,
mengan
alisis
dan
mendis
kusikan
proses
tuntuta
n
pidana,
pledoi,
replik/d
uplik,
Proses
pen
unt
uta
n
dan
pida
na,
pled
oi,
repli
k/d
upli
k,
sim
pula
n.
Mahasisw
a
mendi
skusik
an
proses
pemeri
ksaan
saksi
dan
saksi
ahli,
ketera
ngan
terdak
wa dan
pembu
ktian
Mahasi
swa
ma
mpu
men
disk
usik
an
pros
es
pem
erik
saa
n
saks
i
dan
saks
v v v 4
0
6
0
idem
simpula
n.
i
ahli,
kete
rang
an
terd
akw
a
dan
pem
buk
tian
1
1
Mahasiswa
diharap
kan
mampu
mengan
alisis
dan
mendis
kusikan
putusa
n,
upaya
hukum
biasa
dan luar
biasa di
pengadi
lan
tipikor
Proses
put
usa
n,
upa
ya
huk
um
bias
a
dan
luar
bias
a
Mahasisw
a
melati
h
kema
mpuan
analisi
s dan
evalua
si
terhad
ap
proses
putusa
n,
upaya
huku
m
biasa
dan
luar
biasa
di
penga
dilan
tipikor
Mahasi
swa
ma
mpu
men
gan
alisi
s
dan
me
mbe
ntu
k
pen
dap
at,
mer
emb
ukk
an
pros
es
put
usa
n,
upa
ya
huk
um
bias
v v v 4
0
6
0
idem
a
dan
luar
bias
a di
pen
gadi
lan
tipik
or
1
2
Mahasiswa
diharap
kan
mampu
mempra
ktekkan
menulis
laporan
hasil
riset
dan
observa
si dalam
penang
anan
kasus
tindak
pidana
korupsi
di
kantor
kepolisi
an
Membu
at
me
mpr
akte
kka
n
men
ulis
lapo
ran
hasi
l
riset
dan
obs
erva
si
dala
m
pen
ang
ana
n
kas
us
pida
na
di
kan
tor
kep
Mempelaj
ari
tentan
g
Teknik menulis laporan hasil observasi
Proses pnanganan kasus di kepolisian
Praktek menulis laporan hasil reset dan observasi di kantor polisi
Mahasi
swa
ma
mpu
prak
tik
men
ulis
lapo
ran
hasi
l
riset
dan
obse
rvas
i
pros
es
pen
ang
ana
n
kas
us
tind
ak
pida
na
kor
upsi
di
v v v 4
0
6
0
idem
olisi
an
(eva
luas
i
refle
ksi)
kant
or
kep
olisi
an
(eval
uasi
dan
refle
ksi)
1
3
Mahasiswa
diharap
kan
mampu
memper
aktekka
n
menulis
laporan
hasil
riset
dan
observa
si dalam
penang
anan
kasus
tindak
pidana
korupsi
di
kantor
kejaksa
an
Membu
at
me
mpr
akte
kka
n
men
ulis
lapo
ran
hasi
l
riset
dan
obs
erva
si
dla
m
pen
nga
nan
kas
us
tind
ak
pida
na
kor
upsi
di
Mempelaj
ari
tentan
g
Teknik menulis laporan hasil observasi
Proses pnanganan kasus di kepolisian,kejaksaan
Praktek menulis laporan hasil reset dan observasi di kantor polisi, dan kejaksaan
Mahasi
swa
ma
mpu
prak
tik
men
ulis
lapo
ran
hasi
l
riset
dan
obse
rvas
i
pros
es
pen
ang
ana
n
kas
us
tind
ak
pida
na
kor
upsi
di
v v v 4
0
6
0
idem
kan
tor
keja
ksa
an
(eva
luas
i
refle
ksi
kant
or
keja
ksa
an
(eval
uasi
dan
refle
ksi)
1
4
UJIAN AKHIR SEMESTER
Keterangan :
T = Tertulis UK = Untuk Kerja US = Unjuk Sikap Tm = Tatap Muka
P = Pratikum L = Latiha
xxix
11. SAP
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 1 (satu)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa dapat menguraikan sejarah korupsi, dapat menjelaskan tentang pengertian tindak pidana korupsi, mengklasifikiasikan bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan unsur-unsur, mengurai pertanggungjawaban tindak pidana korupsi, serta pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi
6. MATERI POKOK Sejarah korupsi, Pengertian tindak pidana korupsi, bentuk-bentuk tipikor dan
Unsure-unsurnya, Pertanggungjawaban dalam tindak pidana
korupsi Pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana
korupsi
7. PENGALAMAN BELAJAR Mempelajari dan mendiskusikan tentang sejarah korupsi, pengertian tindak pidana korupsi, bentuk-bentuk tipikor dan unsur-unsurnya, pertanggungjawaban tindak pidana korupsi serta pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Menyampaikan Silabus, SAP, SOP
Klinik Hukum Anti Korupsi
Melihat, mendengar
penjelasan dan mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media
belajar :
xxx
white board, LCD
Penyajian 1. Mengulas tentang Sejarah korupsi, Pengertian tindak pidana korupsi, bentuk-bentuk tipikor danUnsure-unsurnya, Pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi Pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi
2. Memotivasi mahasiswa berdikusi dalam perkuliahan
3. Meresponsi diskusi
Mendengar, mencatat dan berdiskusi tanya jawab
idem
Penutup Merangkum pokok bahasan, memberikan evaluasi.
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1.
Dosen : Tandatangan :
xxxi
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 2 (dua)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu menentukan landasan hukum peradilan tipikor, mampu menceritakan sejarah peradilan tipikor, mampu menyimpulkan kekhususan peradilan tipikor dan mekanisme peradilan tipikor
6. MATERI POKOK Landasan hukum Peradilan Tipikor, Sejarah Peradilan Tipikor di Indonesia, Kekhususan dalam Peradilan Tipikor, Mekanisme Peradilan Tipikor
7. PENGALAMAN BELAJAR Mempelajari dan mendiskusikan tentang landasan hukum peradilan tipikor, sejarah peradilan tipikor, kekhususan dalam peradilan tipikor dan mekanisme peradilan tipikor
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengajukan pertanyaan review terhadap mahasiswa terkait materi hk pidana umum
Melihat dan mendengar,
menjawab review dosen
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media
belajar : white
xxxii
board, LCD
Penyajian 1. Memberikan ulasan umum Landasan hukum Peradilan Tipikor, Sejarah Peradilan Tipikor di Indonesia, Kekhususan dalam Peradilan Tipikor, Mekanisme Peradilan Tipikor
2. Memfasilitasi
diskusi
Mendengar, mencatat dan berdiskusi tanya jawab, mengajukan pendapat
Idem
Penutup Merangkum pokok bahasan, memberikan evaluasi.
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta 2. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta 3. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan
Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada 4. KUHP 5. UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Tandatangan :
xxxiii
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 3 (tiga)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa dapat mengidentifikasi lembaga-lembaga pemberantasan tipikor, menjelaskan dasar hukum lembaga-lembaga tipikor, mengemukakan kode etik profesi lembaga-lembaga pemberantasan tipikor
6. MATERI POKOK Lembaga-Lembaga Pemberantasan Tipikor : kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga independen KPK
Dasar hukum Lembaga-Lembaga Pemberantasan Tipikor
Kode Etik Profesi Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi
7. PENGALAMAN BELAJAR Mendiskusikan tentang Lembaga-Lembaga Pemberantasan Tipikor : kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga independen KPK
Dasar hukum Lembaga-Lembaga Pemberantasan Tipikor
Kode Etik Profesi Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi
xxxiv
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengulas tindak pidana korupsi secara umum
Melihat dan mendengar, mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media
belajar : white board, LCD
Penyajian 1. Memberikan ulasan Lembaga-Lembaga Pemberantasan Tipikor : kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga independen KPK Dasar hukum Lembaga-Lembaga Pemberantasan TipikorKode Etik Profesi Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi
2. Memfasilitasi
diskusi
Mendengar, mencatat dan berdiskusi tanya jawab, mengajukan pendapat
Idem
Penutup Merangkum pokok bahasan, memberikan evaluasi.
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
xxxv
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1. Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada
2. Baharudin Lopa, 1989, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum , Pradnya Paramita
3. Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
4. Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Maharani Press
5. Andi Hamzah, 2001, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia
6. KUHP 7. UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 4 (empat)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu mendiskusikan, merembugkan dan menganalisis masalah kewenangan antara KPK dan Polisi serta kewenangan antara KPK dan Jaksa serta menilai dan memberikan solusi strategi dan optimalisasi pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga pemberantasan korupsi
xxxvi
6. MATERI POKOK Dualism Kewenangan antara KPK dan Polisi; KPK dan Jaksa serta
Strategi dan Optimalisasi Pemberantasan Tipikor oleh Lembaga-Lembaga Pemberantasan tipikor
7. PENGALAMAN BELAJAR Melatih kemampuan mahasiswa mendiskusikan, merembugkan, menganalisis dan memecahkan masalah Dualism Kewenangan antara KPK dan Polisi; KPK dan Jaksa serta
Strategi dan Optimalisasi Pemberantasan Tipikor oleh Lembaga-Lembaga Pemberantasan
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengulas peradilan
korupsi di Indonesia
Melihat dan mendengar, mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media
belajar : white board, LCD
Penyajian 1. Memberikan ulasan umum Dualism Kewenangan antara KPK dan Polisi; KPK dan Jaksa serta
Strategi dan Optimalisasi Pemberantasan
Tipikor oleh Lembaga-Lembaga Pemberantasan tipikor
2. Memfasilitasi diskusi tentang strategi dan optimalisasi pemberantasan
Mendengar, mencatat dan berdiskusi tanya jawab, mengajukan pendapat
Idem
xxxvii
korupsi oleh lembaga-lembaga pemberantasan korupsi
Penutup Merangkum pokok bahasan, memberikan evaluasi.
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1. Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
2. Syaiful Ahmad Dinar & Syarif Fadillah Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung
3. Deni Setiawan, 2008, KPK memburu Koruptor, Pustaka Timur, Jakarta
4. Diana Napitupulu, 2010, KPK in Action, Raih Asa Sukses, Jakarta
5. Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK 6. Andi Hamzah, 2001, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang
Wewenang Kepolisian dan Kejaksaaan Di bidang Penyidikan 7. O.C Kaligis, 2006, Pengawasan Terhadap Jaksa selaku
Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung
8. KUHP 9. KUHAP 10. UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
xxxviii
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 5 (lima)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu mendiskusikan dan menganalisis serta memecahkan masalah-masalah hukum dalam penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi
6. MATERI POKOK Mahasiswa diharapkan mampu menganalisis dan menyimpulkan masalah-masalah penegakan hukum dalam kasus tindak pidana korupsi
7. PENGALAMAN BELAJAR Kasus-kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengulas kasus-kasus tipikor secara umum
Melihat dan mendengar
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media belajar :
white board, LCD, ruang moot court
Penyajian memberikan kasus
Membaca, menganalisa, mendiskusikan
Idem
Penutup Memberikan evaluasi
Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi 1. KUHP 2. KUHAP 3. UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi 4. Literature bebas terkait
xxxix
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 6 (enam)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu menceritakan, menganalisis dan mendiskusikan proses dan mekanisme pemeriksaan pendahuluan
6. MATERI POKOK Proses dan mekanisme pemeriksaan pendahuluan dalam pengadilan tipikor
7. PENGALAMAN BELAJAR Mahasiswa mengamati dan menganalisis proses dan mekanisme pemeriksaaan pendahuluan
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Membacakan SAP dan silabus
Melihat dan mendengar
Perangkat belajar :
Bahan ajar Klinik Hk Anti Korupsi, SAP, Silabus.
Media
belajar : white board, LCD,
ruang moot court
Penyajian Proses dan mekanisme pemeriksaan pendahuluan dalam
mendengar, mengamati, menganalisa, mencatat, dan menyusun laporan
Idem
xl
pengadilan tipikor
Penutup Memberikan evaluasi Menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas, disarankan lebih mengacu pada pencapaian hasil akhir riset observasi
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PENGAJARAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 7 (tujuh)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu menceritakan dan menyusun berkas penuntutan, surat dakwaan dan eksepsi
6. MATERI POKOK Proses dan mekanisme penuntutan, pembacaan surat dakwaan, eksepsi dalam pengadilan tipikor
7. PENGALAMAN BELAJAR Mahasiswa mengamati, menganalisis proses penuntutan, surat dakwaan, eksepsi dalam pengadilan tipikor
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan Membacakan SAP
dan silabus
Melihat dan
mendengar serta mencatat
Perangkat
belajar : Bahan ajar,
SAP, Silabus
Media Belajar
: White board,
LCD,
xli
Praktek lapangan
Penyajian Proses dan mekanisme penuntutan, pembacaan surat dakwaan, eksepsi dalam pengadilan tipikor
mendengar, mengamati, mencatat, mendiskusikan di pengadilan tipikor
Idem
Penutup Memberikan evaluasi Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PENGAJARAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
8. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
9. KODE MATA KULIAH NA 6214
10. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
11. PERTEMUAN KE 8 (delapan)
12. INDIKATOR PENCAPAIAN
Mahasiswa mampu mendiskusikan proses pemeriksaan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa dan pembuktian
13. MATERI POKOK Proses pemeriksaan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa dan pembuktian
14. PENGALAMAN BELAJAR
Mahasiswa mendiskusikan proses pemeriksaan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa dan pembuktian
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
xlii
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengulas Proses pemeriksaan saksi, saksi ahli, keterangan terdakwa dan pembuktian
Melihat dan mendengar serta mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar, SAP, Silabus
Media
Belajar : White board,
LCD, Praktek lapangan
Penyajian Proses pemeriksaan saksi dan saksi ahli, keterangan terdakwa dan pembuktian
mendengar, mengamati, menganalisa dan mencatat di pengadilan tipikor
Idem
Penutup Memberikan evaluasi
Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PENGAJARAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 9 (sembilan)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu mendiskusikan proses penuntutan, pledoi, replik/duplik, simpulan
xliii
6. MATERI POKOK Proses penuntutan dan pidana, pledoi, replik/duplik, simpulan
7. PENGALAMAN BELAJAR Mahasiswa mendiskusikan proses penuntutan, pledoi, replik/duplik, simpulan
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Mengulas Proses pemeriksaan di
pengadilan dan Proses putusan pengadilan
Melihat dan mendengar serta mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar, SAP,
Silabus Media
Belajar : White board,
LCD, Praktek lapangan
Penyajian Proses penuntutan dan pidana, pledoi, replik/duplik, simpulan
mengamati dan mendengarkan di Pengadilan tipikor dan menyusun
Idem
Penutup Memberikan evaluasi Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
Tandatangan :
SATUAN ACARA PENGAJARAN
xliv
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 10 (sepuluh)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu menganalisis dan membentuk pendapat, merembukkan proses putusan, upaya hukum biasa dan luar biasa
6. MATERI POKOK Proses putusan, upaya hukum biasa dan luar biasa
7. PENGALAMAN BELAJAR Mahasiswa melatih kemampuan analisis dan evaluasi terhadap proses putusan, upaya
hukum biasa dan luar biasa
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN
KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
Melihat dan mendengar serta mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar, SAP, Silabus
Media
Belajar : White board,
LCD
Penyajian Proses putusan, upaya hukum biasa dan luar biasa
mengamati dan menyaksikan proses putusan di Pengadilan Tipikor
Idem
Penutup Memberikan evaluasi Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
xlv
Tandatangan :
\
SATUAN ACARA PENGAJARAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 11 (sebelas)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu praktik menulis laporan hasil riset dan observasi proses penanganan kasus tindak pidana korupsi di Kepolisian (evaluasi refleksi)
6. MATERI POKOK Membuat mempraktekkan menulis laporan hasil riset dan observasi dlam penanganan kasus tindak pidana korupsi di Kepolisian
7. PENGALAMAN BELAJAR Mempelajari tentang
Teknik menulis laporan hasil observasi
Proses pnanganan kasus di kepolisian,kejaksaan
Praktek menulis laporan hasil reset dan observasi di kantor polisi, dan kejaksaan
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATAN MAHASISWA
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Menerangkan
aturan riset observasi
Melihat dan mendengar serta mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar, SAP, Silabus
Media Belajar : White board,
LCD, Masyarakat
Penyajian Membuat mempraktekkan menulis laporan hasil riset dan observasi di
Melaksanakan riset observasi di Kepolisian
Idem
xlvi
Kepolisian (evaluasi refleksi
Penutup Memberikan evaluasi Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
Tandatangan :
xlvii
SATUAN ACARA PENGAJARAN
KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
1. MATA KULIAH KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI
2. KODE MATA KULIAH NA 6214
3. WAKTU PERTEMUAN 100 MENIT
4. PERTEMUAN KE 12 (duabelas)
5. INDIKATOR PENCAPAIAN Mahasiswa mampu praktik menulis laporan hasil riset dan observasi proses penanganan kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan (evaluasi dan refleksi)
6. MATERI POKOK Membuat mempraktekkan menulis laporan hasil riset dan observasi dlam penanganan kasus tindak pidana korupsi di Kejaksaan (evaluasi refleksi)
7. PENGALAMAN BELAJAR Mempelajari tentang
Teknik menulis laporan hasil observasi
Proses pnanganan kasus di kejaksaan
Praktek menulis laporan hasil reset dan observasi kejaksaan
STRATEGI PEMBELAJARAN
TAHAPAN KEGIATAN DOSEN KEGIATAN MAHASISW
A
PERANGKAT DAN
MEDIA
(1) (2) (3) (4)
Pembukaan 1. Membacakan SAP dan silabus
2. Menerangkan mekanisme laporan
Melihat dan mendengar serta mencatat
Perangkat belajar :
Bahan ajar, SAP, Silabus
Media Belajar
:
xlviii
White board, LCD, Masyarakat
Penyajian Membuat mempraktekkan menulis laporan hasil riset dan observasi di Kejaksaan(evaluasi refleksi
Melaporkan hasil riset observasi di Kejaksaan
Idem
Penutup Memberikan evaluasi Melaporkan hasil, menyimak, mengajukan pertanyaan dan pendapat, menjawab pertanyaan evaluasi
Idem
Post Test Ujian tertulis atau lisan, evaluasi proses pembelajaran, dan unjuk sikap
Referensi Bebas
Dosen :
Tandatangan :
12. DAFTAR BACAAN
BUKU-BUKU :
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta
------------------, 2001, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang
Kepolisian dan Kejaksaan di Bidang Penyidikan, Departemen
Kehakiman dan HAM RI, Jakarta
Aziz Syamsudin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
Deni Setiawan, 2008, KPK Memburu Koruptor, Pustaka Timur, Jakarta
xlix
Diana Napitupulu, 2010, KPK in Action, Raih Asa Sukses, Jakarta
Edi Setiadi & Rena Yulia, 2005, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika,
Jakarta
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
Elwi Danil, 2014, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Hariman Satria, 2014, Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta
O.C Kaligis, 2006, Pengawasan Terhadap Jaksa selaku Penyidik Tindak
Pidana Khusus dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Alumni,
Bandung
Syaiful Ahmad Dinar & Syarif Fadillah Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan
dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung
PERATURAN PERUUAN
KUHP
KUHAP
UU TINDAK PIDANA KORUPSI
KODE ETIK KEJAKSAAN
KODE ETIK KEPOLISIAN
KODE ETIK KEHAKIMAN
KODE ETIK KPK
l
PERTEMUAN I : PERKULIAHAN SATU
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
A. PENGERTIAN KORUPSI
Memahami makna korupsi tidak bisa dilakukan hanya dengan
menggunakan satu jenis pendekatan saja. Dengan kata lain untuk memiliki
pemahaman yang lebih dalam tentang makna korupsi diperlukan pula
pengertian-pengertian korupsi dari berbagai sudut pandang ilmu. Hal ini akan
membantu dalam memahami korupsi. sehubungan dengan itu berikut akan
li
diuraikan beberapa pandangan-pandangan yang menggunakan pendekatan
multidisipliner dalam memahami korupsi.
1. Dari segi terminology, istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam
bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula
untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang busuk.
Dalam Webster’s New American Dictionary, kata “corruption” diartikan
sebagai “decay” (lapuk), “contamination“ (kemasukan sesuatu yang
merusak) dan “impurity” (tidak murni). Sedangkan kata “corrupt”
dijelaskan sebagai “to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau
buruk), juga “to induce decay in something originally clean and sound”
(memasukkan sesuatu yang busuk atau yang lapuk ke dalam sesuatu
yang semula bersih dan bagus).1
2. Henry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an act done with an
intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights
of others”, (terjemahan bebasnya : suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai
dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk dalam
pengertian “corruption” menurut Black adalah perbuatan seseorang
pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk
mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan
kewajibannya.2
3. A. S Hornby istilah korupsi diartikan sebagai suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and
accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay).3
4. David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai
bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan
1 Elwi Danil, 2010, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.,
hlm. 3 2 Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West Publishing co, St. Paul, hlm. 182 3 OpCit., hlm. 4
lii
dengan manipulasi di bidang ekonomi dan menyangkut bidang
kepentingan umum.4
5. Wertheim5 yang menggunakan pengertian yang lebih spesifik.
Menurutnya, seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana
korupsi, adalah apabila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan memengaruhinya agar mengambil keputusan yang
menguntungan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang
pengertian ini juga mencakup perbuata menawarkan hadiah, atau bentuk
balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas jasa
karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan
seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan
korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian korupsi
adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah pengawasan
pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang
bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah
dianggap telah melakukan penggelapan uang negara dan masyarakat.6
6. David H Baley memberikan pengertian yang lebih luas tentang makna
korupsi bila dibandingkan dengan pengertian Wertheim. Ia mengatakan,
korupsi sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah
umum yang meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat
pertimbangan keuntungan pribadi yang tidak selalu berupa uang.
Batasan yang luas dengan titik berat pada penyalahgunaan wewenang
memungkinkan dimasukkannya penyuapan, pemerasan, penggelapan,
pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik sendiri untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke dalam korupsi. Dalam
hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak secara
4 OpCit., hlm. 4 5 Wertheim dalam Elwi Danil, OpCit., hlm. 5 6 OpCit., hlm. 6
liii
langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan
masyarakat.7
7. Robert Klitgaard memahami bahwa korupsi ada manakala seseorang
secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan
rakyat, serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.8 Korupsi
muncul dalam banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai
pada soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan
instrument-instrument kebijakan seperti soal tariff, pajak, kredit, sistem
irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan menyangkut
keamanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman dan
sebagainya. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa korupsi itu dapat
terjadi tidak saja di sector pemerintahan, tapi juga di sector swasta,
bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sector tersebut.9
8. John A Gardiner dan David J Olson dalam bukunya “Theft of the City”,
Reading on Corruption in Urban America sebagaimana dikutip Soedjono
Dirdjosisworo, memberi pemahaman secara umum dari sumber-sumber
pengertian korupsi, dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English
Dictionary;
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial;
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan dalam
pemerintahan;
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar;
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan umum.
9. Dari kategori perumusan secara umum yang dilihat dengan
pengelompokkan seperti dikemukakan John A. Gardiner dan David J
Olson itu, Soedjono Dirdjosisworo sampai pada sebuah kesimpulan
7 OpCit. 8 Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor, Jakarta, hlm. xix 9 Ibid.
liv
bahwa korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dan klik, golongan ke
dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.10
Berdasarkan keseluruhan pendapat tersebut di atas harus dipahami
bahwa dalam memahami korupsi, cara pandang setiap orang akan
berbeda-beda. Artinya tidak akan sama persis satu dengan yang lainnya.
Kondisi ini sangat tergantung pada iklim politik, budaya, kesadaran
hukum masyarakat dan perkembangan sistem hukum masing-masing.
Oleh karena itu tidak jarang dijumpai adanya pengertian yang berbeda-
beda dalam memahami korupsi. Tidak jarang terjadi pula pandangan
mengenai perbuatan yang dianggap sebagai korupsi di suatu negara
namun di negara lain belum tentu itu termasuk dalam perbuatan korupsi
bisa jadi hanya penggelapan atau penyuapan biasa. Oleh karena itu harus
dipahami bahwa dalam memahami makna korupsi sangat tergantung dari
politik hukum pidana yang dianut oleh suatu negara.
B. KORUPSI : EXTRAORDINARY CRIME
Memasuki abad ke 21, perhatiann dan keprihatinan masyarakat dunia
internasional terhadap masalah korupsi kian meningkat. Ini bisa dilihat
dari semakin seringnya Kongres-Kongres Internasional khususnya yang
diadakan PBB/United Nations mengangkat isu tentang permasalahan
korupsi. Keprihatinan masyarakat internasional mencapai puncaknya
dengan dideklarasikannya United Declarations Convention Against
Corruption (UNCAC) yang disahkan dalam Konferensi Diplomatik di
Merida Mexico pada Desember 2003. Jadi dalam bagian pembukaan
10 Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia,
Sinar Baru, Bandung, hlm. 18-20 dalam Elwi Danil, OpCit., hlm. 8-9
lv
Konvensi PBB tersebut ditegaskan, bahwa masyarakat internasional
(peserta konvensi) prihatin atas keseriusan (kegawatan) masalah-masalah
dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas
dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan
nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilann, serta
membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.
Oleh karena itu perlu diyakininya suatu pendekatan komprehensif dan
multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.11
Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong
sebagai kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat,
maupun terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan
perekonomian negara adalah akibat nyata yang yang menjadi dasar
pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk
perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan
tetapi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu
negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih
berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan
ekonomi semata.12 Hal ini dapat menjadi indicator berbahayanya tindak
pidana korupsi jika dibiarkan berkembang secara terus menerus. Sifat
berbahaya dari tindak pidana korupsi dan efek yang luas terhadap
kehidupan bernegara dan masyarakat juga telah ditegaskan dalam
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-9. Hasil kongres di Kairo ini
kemudian dibicarakan oleh Commition on Crime Prevention and Criminal
Justice, di Wina yang menghasilkan resolusi tentang Actions agains
corruptions dan menegaskan korupsi merupakan masalah serius karena
dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
nilai-nilai demokrasi dan moralitas (underminded the values of democracy
11 OpCit., hlm. 64 12 Mardjono Reksodiputro, 1998, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian UI, Jakarta, dalam OpCIt., hlm. 70
lvi
and morality) dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan
politik (jeopardized social, economic and political development).13
Dengan demikian dapat dipahami adapun sifat extraordinary crime
dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara
yang berdampak pada kerugian perekonomian suatu bangsa. Dalam
konteks ini korban dari kerugian keuangan negara berimbas sangat luar
biasa. Selain itu sifat extraordinary crime dari korupsi juga dapat dilihat
dari praktik yang dilakukan. Kebanyakan menunjukkan korupsi yang
berlangsung sistemik dan meluas sehingga kerugian tidak hanya dialami
oleh negara dalam bentuk kerugian keuangan negara tetapi juga
memberikan kerugian kepada hak-hak
Untuk di Indonesia, menurut Elwi Danil ada beberapa alasan-alasan
yang memposisikan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yaitu :
a. Karena masalah korupsi sudah berurat akar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Korupsi tidak saja merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, tapi juga telah
“memorak porandakan” tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga kondisi itu telah memprihatinkan masyarakat internasional;
b. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang
besar dalam kehidupan masyarakat, karena sebagian besar
masyarakat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya dia peroleh;
c. Karena korupsi itu telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat pesat, maka masalahnya tidak lagi merupakan masalah
hukum semata, tapi korupsi itu sudah dirasakan sebagai pelanggaran
terhadap hak sosial dan ekonomi masayrakat sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
13 Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 88
lvii
d. Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi;
e. Karena korupsi bukan lagi hanya berkaitan dengan sektor publik;
melainkan sudah merupakan kolaborasi antara sektor publik dengan
sektor swasta.
C. CIRI DAN TIPOLOGI KORUPSI
Berikut akan diuraikan mengenai ciri dan tipologi korupsi menurut
pandangan beberapa ahli.
Syed Hussein Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu :
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah
begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat akar, sehingga
individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada daalam
lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan
mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbale balik;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
memengaruhi keputusan-keputusan itu;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan itu;
lviii
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.14
Meskipun ciri-ciri di atas masih bisa diperluas, namun ciri-ciri korupsi yang
dikemukakan Syed Hussein Alatas itu sudah cukup dan dapat digunakan
sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan korupsi. Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai korupsi
haruslah didekati dengan ciri-ciri tersebut, sehingga kita dapat menghindari
pemahaman yang sempit tentang makna korupsi.
Selanjutnya mengenai tipologi korupsi diketahui ada beberapa
pandangan antara lain menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt
yang memandang korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan
korupsi. Untuk itu mereka menjelaskan adanya empat tipe korupsi, yakni
political bribery, political kickbacks, election fraud dan corrupt compaign
practices. Political bribery berkaitan dengan kekuasaan di bidang
legislative sebagai badan pembentuk undang-undang. Badan legislative
tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang
dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan
aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana.
Individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota
parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum
dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan
usaha atau bisnis mereka. Sedangkan political kickbacks adalah kegiatan
korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara
pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha yang
memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang
bagi kedua belah pihak. Sementara election fraud adalah korupsi yang
berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pemilihan
umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa atau calon anggota
14Elwi Danil., OpCit., hlm. 7
lix
parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum. Sedangkan
corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan kegiatan
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan bahkan juga
menggunakan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang
kekuasaan.15
Kemudian Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek,
dan untuk itu beliau memberikan pemahaman terhadap korupsi atas
empat jenis, yaitu :
a. Discretionary corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasa dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan
regulasi tertentu.
c. Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.16
Tipologi terakhir dikembangkan oleh Vito Tanzi adalah sebagai berikut:
15 OpCit., hlm 9 - 10 16 OpCit., hlm 11 - 12
lx
1. Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua
belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau
orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
3. Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untuk mengatisipasi adanya keuntungan di masa
datang.
4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang
seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
D. PENGATURAN KORUPSI DI INDONESIA
Di Indonesia, masalah korupsi konon telah terjadi sejak masanya
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Para pejabat kerajaan konon biasa
mempraktekkan perilaku korupsi tradisional. Sampai kemudian
masuknya penjajah VOC yang juga mempraktekkan perilaku korupsi
birokratif. Perilaku-perilaku ini nampaknya berkembang terus dan
dipelajari oleh setiap manusia Indonesia sehingga manusia Indonesia
cenderung permisif terhadap perilaku yang menjurus pada perbuatan
lxi
korupsi. Terkait itu, sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi
di negeri ini pernah berkomentar dengan mengatakan bahwa “corruption
is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan
dan jalan kehidupan bangsa Indonesia.17 Jauh sebelum komentar sinis
tersebut dilontarkan, Muhammad Hatta, salah seorang tokoh proklamator
kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan penilaian yang sama
dengan mengatakan bahwa korupsi cenderung sudah membudaya, atau
sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.18
Apa yang dikhawatirkan Bung Hatta pada sekitar akhir tahun 60-an
itu, sampai dewasa ini telah semakin menjadi sebuah fakta yang amat
sulit dibantah. Skala korupsi yang terjadi telah menjadi semakin
“menggurita”. Korupsi di Indonesia, tidak saja telah membudaya, namun
juga telah melembaga. Perilaku menyimpang itu telah mengalami proses
institusionalisasi, sehingga hampir-hampir tidak ada lembaga negara
yang steril dari perilaku menyimpang tersebut.19 Hal ini jika diseksamai
dapat memberikan penilaian kurang baik terhadap upaya penegakan
hukum di Indonesia. Penilaian kurang baik ini wujudnya pun bisa
bermacam-macam salah satunya adalah ketidakpercayaan terhadap
kemampuan hukum khususnya hukum pidana dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi.
Berbicara mengenai hukum di Indonesia, patut diketahui bahwa ada
beberapa pengaturan tindak pidana korupsi yang pernah diupayakan oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka mencegah dan memberantas korupsi
antara lain :
17 Amien Rais, Pengantar dalam Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (ed), Menyikapi Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta dalam Elwi Danil, OpCit., hlm. 65 18 Mubyarto, 1995, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Medika, Yogyakarta, dalam Elwi Danil, OpCit. 19 Elwi Danil., OpCit.
lxii
1. Peraturan Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 merupakan
peraturan yang menjadi tonggak awal pengaturan korupsi di
Indonesia.
2. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei
1957.
3. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM 011/1957 yang dikeluarkan
pada tanggal 1 Juli 1957 sebagai dasar hukum penguasa militer
melakukan penyitaan dan perampasan harta benda yang
mencurigakan.
4. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nmor
Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda (hanya
berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat)
5. Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Nomor Prt/zl/17 tanggal
17 April 1958 khusus bagi pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
perbuatan korupsi dan penilikan harta benda yang dilakukan di
daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Laut.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) Nomor 24
Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi, LN Nomor 72 Tahun 1960 jo. UU Nomor 24 Prp
Tahun 1960.
7. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
LNRI Tahun 1971 Nomor 19.
8. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan yang terakhir yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan
salahsatu bentuk pembaharuan substansi hukum pidana terkait korupsi.
Undang-undang ini tercipta karena banyaknya kelemahan yuridis dalam
lxiii
UU No. 3 Tahun 1971 yang menyebabkan UU No. 3 Tahun 1971
dipandang tidak mampu menjangkau kejahatan korupsi di Indonesia.
Selain itu dapat dijumpai pula dalam konsideran UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan bahwa undang-undang ini dibentuk dengan suatu
kesadaran dan pengakuan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia selama ini sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Di samping itu, korupsi telah menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
adanya efisiensi tinggi. Ditambah dalam rangka mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas.
Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan yang mendorong
pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di samping peraturan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pemerintah juga secara substansial menyiapkan peraturan-peraturan
lain yang kedepannya akan menyokong bekerjanya UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yaitu :
1. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
3. UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
4. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
5. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
lxiv
6. UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption 2003.
Dengan banyaknya pengaturan-pengaturan yang dibentuk sebagai
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
masyarakat akan berpandangan bahwa permasalahan korupsi akan
dapat ditanggulangi dengan mudah. Pandangan ini tidak dapat
dibenarkan, sebab permasalahan korupsi tidak bisa hanya diselesaikan
dengan pembentukan undang-undang. Dengan kata lain, pencegahan
dan pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan bersama secara
komprehensif antara undang-undang, aparat hukum dan masyarakat
sebagai penggerak budaya. Jadi undang-undang yang dalam bekerjanya
tidak didukung oleh sikap konsisten dan konsekuen dari aparatnya akan
menjadi sia-sia, dengan kata lain tidak efektif. Demikian pula jika
undang-undang tidak disertai dengan adanya perubahan dalam persepsi
dan perilaku masyarakaat mengenai korupsi maka undang-undang ini
hanya akan menjadi benda mati yang tidak bisa bekerja. Oleh karena itu
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak boleh
dipandang mudah dan harus dilakukan secara konsisten dan konsekuen
diikuti oleh perubahan paradigm dalam memandang perilaku koruptif.
E. UU KORUPSI : UU KHUSUS
Hukum Pidana Indonesia dapat dibedakan atas hukum pidana umum
dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum memuat tindak
pidana-tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP sedangkan hukum
pidana khusus memuat tindak pidana yang ada diluar KUHP dan memiliki
kekhususan-kekhususan. Secara umum diketahui kekhususan-
kekhususan ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap KUHP yang
keberadaannya diperbolehkan sendiri oleh KUHP berdasarkan Pasal 103.
Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.
lxv
Terkait dengan hal itu, UU Korupsi pun dikategorikan sebagai UU
Khusus yang memilliki kekhususan tersendiri. Kekhususan ini tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan peraturan perundang-undangan tipikor
seperti UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
UU No. 30 Tahun 2002 tentnag Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU No. 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
TUGAS 1. PELAJARI TENTANG :
1. Kekhususan UU Korupsi
2. Pengertian tindak pidana korupsi baik menurut teori ataupun UU Korupsi
3. Subjek hukum tindak pidana korupsi
4. Unsur-unsur tindak pidana korupsi
5. Ruang lingkup tindak pidana korupsi
6. Pertanggungjawaban tindak pidana korupsi
7. Pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi
TUGAS 2. ANALISA DAN DISKUSI
Perhatikan kasus-kasus berikut dan diskusikan tipologi korupsi yang
dilakukan.
1. Kasus Rudi Rubiandini mantan Kepala SKK Migas yang dituduh
melakukan korupsi berupa penerimaan suap. Sesuai pengakuan Rudi
Rubiandini di Sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, bahwa dana pada SKK
migas dan dari Pertamina sebagian dibagi-bagikan kepada anggota DPR
di Komisi Energi agar dapat meloloskan program-program yang telah
dirancang oleh SKK Migas.
lxvi
2. Kasus Nazarudin Samsudin yang berkaitan dengan sistem kontrak
pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dengan pengusaha dalam
proyek sekolah olahraga Hambalang.
3. Isu penerimaan uang 8 (delapan) milyar Rupiah oleh Anas Urbaningrum
yang juga Ketua Umum Partai Demokrat. Uang tersebut diberikan
Nazarudin Samsudin untuk kepentingan pemilihan Ketua Umum Partai
Demokrat/NS mendanai AU untuk menang dalam pemilihan tersebut.
4. Kebijakan yang dibuat Andi Malarangeng selaku Menpora yang menurut
fakta persidangan ikut mengatur mega proyek sekolah olahraga
Hambalang sehingga menimbulkan kejahatan korupsi yang merugikan
keuangan negara dalam jumlah besar.
lxvii
PERTEMUAN 2 : PERKULIAHAN 2
PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. PENGANTAR
Salah satu sumber daya lainnya yang penting dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsia adalah keberadaan pengadilan
tindak pidana korupsi. Pada tahun 2002, pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang dalam Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 diamanatkan
pembentukan Pengadilan Tipikor untuk mendukung kinerja KPK. Sejak
itu setiap perkara tipikor, proses peradilannya dilakukan oleh pengadilan
tipikor.
Keberadaan pengadilan tipikor di Indonesia sempat mengalami pasang
surut. Salah satunya di tahun 2006, Mahkamah Konstitusi membekukan
keberadaan pengadilan tipikor melalui Putusan Nomor : 012-016-
019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006. Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa keberadaan pengadilan tipikor yang dasar
pembentukannya adalah Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 dinilai
bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga perlu diatur kembali dalam
suatu peraturan perundang-undangan baru. MK membekukan
pengadilan tipikor dengan membatalkan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002
dan tindakan MK tersebut dibenarkan oleh Pasal 24A ayat (5) UUD NRI
1945 dan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasca putusan tersebut dikeluarkan, keberadaan UU Pengadilan Tipikor
menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak harus diwujudkan. Oleh
lxviii
karena itu dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun (sesuai tenggat waktu yang
diberikan MK) pemerintah RI berhasil membentuk sebuah undang-
undang yang mengatur tentang Pengadilan Tipikor dan mensahkannya
sebagai UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Banyak hal krusial yang diatur dalam UU No. 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, salah satunya tentang Hakim
Pengadilan Tipikor, Hukum Acara Pengadilan Tipikor, Kedudukan
Pengadilan Tipikor, dan Ruang Lingkup Wewenang Pengadilan Tipikor.
Beberapa kategori tindak pidana yang dapat diperiksa, diadili dan
diputus oleh Pengadilan Tipikor, merujuk pada ketentuan Pasal 6 UU No.
46 Tahun 2009 adalah :
1. Tindak Pidana Korupsi
2. Tindak Pidana Pencucian Uang, dan
3. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan
sebagai tindak pidana korupsi.
Pada asasnya Hukum Acara yang dipergunakan dalam pemeriksaan di
sidang Pengadilan Tipikor adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku,
yakni UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditambah dengan UU No. 31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor
dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung. Namun ada beberapa kekhususan dalam Hukum Acara
Pengadilan Tipikor, yaitu :
1. Penegasan tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan
Tipikor
lxix
2. Komposisi majelis hakim dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Tipikor
baik di tingkat pertama, banding dan kasasi
3. Jangka waktu penyelesaian perkara tipikor pada setiap tingkatan
pemeriksaan
4. Alat bukti yang diajukan di dalam proses pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Tipikor; termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil
penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan.
5. Adanya kepaniteraan khusus Pengadilan Tipikor yang dipimpin oleh
seorang panitera.
B. PRINSIP UMUM PENGADILAN TIPIKOR
Prinsip-prinsip umum yang dianut oleh Pengadilan Tipikor pada
dasarnya sama dengan yang diatur di dalam KUHAP yaitu independen
dan tidak memihak, sederhana dan cepat, transparan dan akuntabel.
Pengadilan Tipikor yang independen dan tidak memihak ditujukan
agar : 1) institusi pengadilan tidak memihak; 2) mampu memainkan
peranan penting dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang adil,
jujur, terbuka dan bertanggung jawab; 3) institusi peradilan bebas dan
merdeka dari campur tangan, tekanan dan paksaan baik secara langsung
maupun tidak langsung dari pihak-pihak lain diluar pengadilan; serta 4)
ada independensi baik pada personal hakim maupun secara
kelembagaan.
Pengadilan Tipikor yang sederhana dan cepat dimaksudkan agar : 1)
proses di pengadilan harus dibuat secara sederhana, baik dari segi biaya,
waktu, lokasi maupun prosedur; 2) untuk mencegah ketidakadilan dan
rasa frustasi akibat proses yang berbelit-belit, namun tetap harus ada
lxx
jaminan ketelitian dalam pengambilan keputusan; 3) proses pengadilan
tidak berlangsung dalam waktu lama.
Mengenai pelaksanaan Pengadilan Tipikor yang transparan dan
akuntabel diatur dalam Pasal 24 UU No. 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tipikor. Terkait persoalan transparan, pada prinsipnya yang
dimaksud adalah keterbukaan yang bukannya tanpa batas. Artinya
publik diperkenankan untuk mengakses informasi terkait pelaksanaan
Pengadilan Tipikor untuk melakukan kontrol dan koreksi namun
kebebasan publik tersebut seyogyanya tidak membahayakan jalannya
proses peradilan yang sedang berlangsung.
C. HUKUM ACARA PENGADILAN TIPIKOR
Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan sidang Pengadilan
Tipikor pada dasarnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku
yaitu UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No
31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor,
dan UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung (Pasal 25 UU No 46 Tahun 2009).
Mekanisme Pengadilan Tipikor (KUHAP):20
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan adalah kegiatan yang rinciannya berupa
pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan.
Dalam ketentuan Pasal 1 Butir 2 KUHAP disebutkan, penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara-cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta, mengumpulkan bukti, dan
20 Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h.165-170.
lxxi
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangka.
2. Penuntutan
Diatur dalam Pasal 1 Butir 7 KUHAP. Pengertian penuntutan adalah
tindakan untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
3. Pemeriksaan Akhir
Pemeriksaan akhir berlangsung di pengadilan, yang tahap-tahapnya
meliputi:
a. Pembacaan Surat Dakwaan (Pasal 155 KUHAP);
Pada hari persidangan yang ditentukan, Hakim Tipikor mempersilahkan
Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat dakwaan
(requisitor). Perumusan dakwaan tidak perlu mengikuti urutan unsur-
unsur tindak pidana (delik) yang didakwakan, misalnya urutan unsur-
unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (1) UU
No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001, yaitu: (1) melawan hukum;
(2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan
(3) dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
b. Eksepsi (Pasal 156 KUHAP);
Eksepsi adalah hak terdakwa untuk mengajukan keberatan setelah
mendengar isi dari surat dakwaan dari JPU. Eksepsi dilakukan jauh
hari sebelum pengadilan memeriksa pokok perkaranya. Dengan kata
lain, eksepsi diajukan sebelum sidang yang pertama digelar.
c. Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli;
lxxii
Pemeriksaan saksi-saksi ditujukan untuk meneliti apakah para saksi
yang dipanggil sudah hadir di persidangan. Saksi-saksi diperiksa
secara bergantian. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (1) sub B
KUHAP, dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi terdapat 2 kategori
saksi: (1) saksi de charge (saksi yang memberatkan terdakwa) dan (2)
saksi a de charge (saksi yang meringankan terdakwa).
d. Keterangan Terdakwa (Pasal 177-178 KUHAP);
Dalam pemeriksaan terdakwa di persidangan terdakwa tidak diambil
sumpah.
e. Pembuktian (Pasal 181 KUHAP);
Pembuktian meliputi barang bukti, yaitu barang yang digunakan
terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi atau hasil
dari suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyelidik
sebagai bukti dalam sidang pengadilan. Ada 5 alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berkaitan dengan alat
bukti, ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No 46 tahun 2009 menegaskan
bahwa alat bukti yang diajukan di dalam proses pemeriksaan di
Sidang Pengadilan Tipikor, termasuk alat bukti yang diperoleh dari
hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Seperti dipahami relevan dengan ketentuan UU 46 tahun 2009 adalam
ketentuan Pasal 26 A UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
yang mengarisbawahi bahwa sumber perolehan alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk (sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat
(2) KUHAP), selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
lxxiii
keterangan terdakwa, khusus perkara Tipikor juga dapat diperoleh
dari:
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu, tetapi tidak terbatas pada penghubung
data elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-
mail), telegram, teleks, dan faksimili; dan
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
f. Requisitor atau Tuntutan Pidana (Pasal 187 huruf A KUHAP);
Apabila menurut hakim pemeriksaan atas terdakwa dan para saksi telah
cukup, JPU dipersilahkan menyampaikan tuntutan pidana (requistor).
Isi surat tuntutan adalah identitas terdakwa, surat dakwaan,
keterangan saksi/saksi ahli, keterangan terdakwa, barang bukti, hal-
hal yang meringakan serta memberatkan terdakwa, serta tuntutan
(permohonan kepada hakim).
g. Pledoi (Pasal 196 ayat (3) KUHAP);
Setelah JPU membacakan tuntutan pidananya, hakim ketua sidang
memberikan kesempatan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya
untuk menyampaikan pembelaannya (pledoi). Isi pembelaan (pledoi)
meliputi: pendahuluan, isi dakwaan, fakta-fakta yang terungkap
lxxiv
dalam persidangan, teori hukum, kesimpulan, permohonan dan
penutup.
h. Replik-Duplik (Pasal 182 ayat (1) butir C KUHAP);
Merespon atas pledoi terdakwa, JPU dapat memberikan jawabannya yang
dikenal dengan istilah replik. Terdakwa dan penasehat hukumnya
masih memiliki kesempatan untuk menjawab replik ini. Jawaban atas
replik JPU dikenal dengan duplik.
i. Kesimpulan (Pasal 182 ayat (4) KUHAP); dan
Sesudah sidang ditutup, JPU dan penasehat hukum terdakwa masing-
masing membuat kesimpulan yang menjadi dasar bagi majelis hakim
untuk mengambil keputusan yang dilakukan dengan musyawarah di
antara para hakim.
j. Putusan Pengadilan
Di dalam KUHAP dijumpai beberapa jenis putusan pengadilan,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta
pasal 193 ayat (1) KUHAP, yaitu:
k. Putusan bebas (Pasal 191 ayat (1)),
1. Putusan yang menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atau
2. perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan;
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2)),
4. Berisi tentang alasan pembenar dan alasa pemaaf,
5. Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) dan
lxxv
6. Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh hakim apabila
kesalahan terdakwa dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan
TUGAS 1. PELAJARI
1. Hukum acara menurut KUHAP
2. Tata Cara Pemilihan Hakim Pengadilan Tipikor
3. Ruang Lingkup dan Wewenang Pengadilan Tipikor
4. Kedudukan Pengadilan Tipikor
TUGAS 2. DISKUSIKAN
1. Konsep Pembuktian Terbalik yang dianut dalam Hukum Acara Pengadilan
Tipikor.
2. Strategi pemberantasan tipikor.
PERTEMUAN 3 : PERKULIAHAN 3
LEMBAGA-LEMBAGA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. POLRI
Sejatinya KUHAP tidak mengatur secara khusus kewenangan
Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi, mengingat KUHAP hanya mengatur kewenangan penyelidikan
dan penyidikan Polri secara umum terhadap semua tindak pidana yang
terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali undang-
undang menentukan sebaliknya. Namun demikian, ketentuan tersebut
kiranya dapat menjadi dasar bagi Kepolisian untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Adapun ketentuan yang dimaksud
adalah dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP disebutkan bahwa : Penyidik adalah
pejabat polisi Negara Republik atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
lxxvi
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Sama halnya dengan ketentuan dalam KUHAP, dalam Undang-Undang
Kepolisian, tidak ada satu pasal yang secara tegas menyebutkan
wewenang polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
korupsi. Ketentuan yang ada hanya menyatakan secara umum
kewenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan semua
tindak pidana. Kewenangan Polri sebagai penyidik sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Kepolisian yaitu “Penyidik
adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan”.
Sedangkan kewenangan Penyidik Polri melakukan penyidikan tindak
pidana korupsi, jika diamati Undang-Undang Kepolisian tersebut adalah
Pasal 14 ayat (1) huruf g yang bunyinya sebagai berikut : “Melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kepolisian sebagaimana diinstruksikan dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Huruf kesebelas butir 10 diinstruksikan kepada
Kepolisian sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang
negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dalam rangka
penegakan hukum;
lxxvii
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengembalian lerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi.
Pada hakikatnya, lembaga Kepolisian menangani seluruh tindak
pidana pada umumnya, termasuk pula tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik KUHAP, Undang-Undang
Kepolisian hingga Surat Keputusan Nomor Pol.Skep/1205/IX/2000
tanggal 11 September 2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis
Proses Penyidikan Tindak Pidana dan Buku Petunjuk Pelaksanaan
tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana maka ditegaskan apabila
seorang penyidik menerima suatu laporan atau pengaduan dari seseorang
baik secara tertulis maupun lisan maka penyidik harus mencatatnya
kemudian ditandatangani baik oleh pelapor/pengadu maupun penyidik
tentang dugaan tindak pidana korupsi.
B. JAKSA
Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi juga dilakukan oleh
Kejaksaan. Kejaksaan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana
memegang peranan yang sangat penting. Peran jaksa selaku penuntut
umum yang mewakili kepentingan umum, bertindak untuk dan atas
nama negara dalam perkara pidana, merupakan salah satu wujud
penegakan ketertiban dan perlindungan terhadap semua kepentingan
hukum yang dimiliki oleh setiap orang berlaku subjek hukum seperti yang
tertera pada Undang-Undang Kejaksaan. Namun berdasarkan Pasal 30
lxxviii
ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan menyebutkan di bidang
pidana, salah satu tugas dan wewenang jaksa adalah Melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang.
Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana
diatur misalnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan pasal tersebut di atas
memberikan pengertian/maksud dari “tindak pidana tertentu” adalah
perkara-perkara pidana yang dapat meresahkan masyarakat luas
dan/dapat membahayakan keselamatan Negara, dan dapat merugikan
perekonomian Negara.
Kewenangan Kejaksaan sebagai penyidik tindak pidana korupsi
dengan memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 27 yang
tersurat ‘Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya, maka, dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi
Jaksa Agung”.
Mencermati isi Pasal 27 tersebut di atas, dalam penjelasannya
disebutkan bahwa yang dimaksud “tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya”, antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan,
perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka,
atau di bidang moneter dan keuangan yang :
a. bersifat lintas sektoral;
lxxix
b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau
c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai
Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi
Kejaksaan sebagaimana diinstruksikan dalanm Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, Huruf Kesebelas butir 9 diinstruksikan kepada
Jaksa Agung, sebagai berikut :
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan
uang negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalamn
rangka penegakan hukum;
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi.
Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-
518/A/J.A./11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor KEP-132/J.A/11/1994 tanggal 7
November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan
Kelaziman Praktik Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Modus
operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif
lxxx
penyidik sendiri atau karena adanya laporan/informasi seseorang tentang
telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada hakekatnya, Kejaksaan sebagai institusi yang berwenang
menangani tindak pidana korupsi dapat bertindak selaku penuntut
umum yang mendapatkan hasil penyidikan (BAP) dari Kepolisian
mengenai tindak pidana korupsi dan dapat pula bertindak sebagai
penyidik langsung tindak pidana korupsi. Di dalam praktek, seringkali
ditemukan bahwa untuk tindak pidana korupsi hanya berupa informasi
saja yang dilaporkan. Bila informasi perkara korupsi tersebut hanya
melingkupi satu kabupaten maka cukup ditangani Kepala Kejaksaan
Negeri setempat, namun bila meliputi berbagai kabupaten maka ditangani
oleh Kepala Kejaksaan Tinggi.
C. KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk pada Desember 2003
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi atau disingkat KPK.
KPK adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini
dimaksudkan agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat ditangani
secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Sehingga apa yang
menjadi tujuan KPK dapat tercapai, yakni untuk meningkatkan daya guna
dan daya hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Untuk mencapai tujuan tersebut, komisi ini diberikan
kewenangan yang luar biasa besarnya dalam upaya memberantas korupsi
yang dapat terlihat dari penjelasan umum Undang-Undang KPK. Hal
tersebut didasari pemikiran bahwa penegakan hukum untuk
memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional
lxxxi
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan karena korupsi di
Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehinggga tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas. Maka diperlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa melalui suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
pelaksanaannya diharapkan optimal, intensif, efektif, profesional, serta
berkesinambungan.
TUGAS 1. PELAJARI
1. Kewenangan Polri dalam Memberantas Tipikor
2. Kewenangan Jaksa dalam Memberantas Tipikor
3. Kewenangan KPK dalam Memberantas Tipikor
TUGAS 2. Diskusikan
Setiap lembaga-lembaga penegakan hukum yang ada di Indonesia
diberikan wewenang dalam memberantas korupsi.
PERTEMUAN 4 : PERKULIAHAN 4
lxxxii
DUALISME KEWENANGAN LEMBAGA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu. Tanpa
wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan tidak memiliki landasan
yang kuat. Menurut Max Weber, wewenang adalah “suatu hak yang telah
ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijakan-
kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan-
persoalan yang penting dan untuk menyelesaikan pertentangan-
pertentangan”.21 Berbicara mengenai kewenangan dalam penanganan
tindak pidana korupsi diketahui ada 3 (tiga) lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.
Ketiga lembaga tersebut adalah Polisi, Jaksa dan KPK. Ketiga lembaga ini
pernah berseteru terkait wewenang untuk menyidik dan menuntut.
Menurut Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diberi tugas untuk
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi adalah penyidik yang
didasarkan hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6
KUHAP yang berbunyi : penyidik adalah Polisi Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang. Ini artinya bahwa menurut UU Korupsi sendiri, penyidik
tindak pidana korupsi bisa saja anggota POLRI atau Pejabat PNS tertentu
yang diberikan wewenang khusus. Terkait wewenang penyidik tindak
pidana korupsi mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7
KUHAP.
Wewenang penyidik (POLRI dan PPNS) yang diatur dalam Pasal 7
KUHAP menunjukkan bahwa tugas penyidik khususnya penyidik
kepolisian amat sangat luas. Oleh karena itu Pasal 27 UU Korupsi
21 Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta
lxxxiii
memberikan keleluasaan bagi kepolisian negara apabila menemukan
kesulitan dalam penyidikannya dapat membentuk tim gabungan di bawah
koordinator Jaksa Agung. Sehubungan dengan hal ini diketahui bahwa
dalam kasus korupsi sering terjadi tumpang tindih penyidikan antara
Polisi dan Jaksa. Polisi berpendapat bahwa sebagai penyidik tunggal
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, tetapi di lain
pihak Jaksa berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan disebutkan bahwa Kejaksaan berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang. Hal ini diperkuat dengan pengaturan yang terdapat
dalam Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menegaskan bahwa dalam
hal ditemukannya tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,
maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Memperhatikan kenyataan seperti ini timbul kesan bahwa tumpang
tindih penyidikan bisa menyebabkan due process of law tidak akan
berjalan, yang pada akhirnya akan merugikan pencari keadilan dan
masyarakat. Selain itu kondisi seperti ini bisa menimbulkan penegakan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal tujuan penegakan
hukum adalah perlindungan masyarakat berupa penghukuman terhadap
yang bersalah dan masyarakat menjadi puas karena keadilan
ditegakkan.22
Selain lembaga kepolisian dan kejaksaan, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya ada lembaga lain yang berwenang untuk
melakukan penyidikan dan penuntutan yaitu Komisi Pemberantasan
Korupsi atau KPK. Wewenang yang dimiliki KPK dalam melakukan segala
bentuk tindakan hukum dalam upayanya mencegah dan memberantas
22 Hariman Satria, 2014, Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta, hlm.130
lxxxiv
korupsi bersifat absolute dan monopoli. Kewenangan yang penuh ini
termasuk juga dalam hal penyidikan dalam mana wewenang penyidikan
KPK tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan lain selain yang ditentukan
dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adanya ketentuan ini dimaksudkan agar pejabat negara pimpinan KPK
memiliki derajat yang sama dengan pejabat negara lain sehingga dalam
hal proses pemeriksaan tindak pidana korupsi tidak akan terhambat
hanya dikarenakan persoalan-persoalan birokrasi. Khususnya apabila
tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara.
Model wewenang Komisi Pemberantasn Korupsi ini menerapkan model
keteladanan yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas dan akses
masyarakat ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi serta kepastian
hukum dan perlindungan kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Prinsip ini dikenal sebagai Trigger Mechanism atau pemacu kerja baik
terhadap kepolisian, kejaksaan dalam menangani perkara korupsi.23
Dengan mengacu kepada prinsip ini, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi diberikan wewenang untuk mengambil alih (take over)
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani oleh kedua instansi tersebut jika antara lain
laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti
atau proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda tanpa alasan
yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan atau penanganannya
dimaksudkan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang
sesungguhnya atau ada hambatan penanganan tindak pidana korupsi
karena campur tangan eksekutif, yudikatif atau legislative.24
Komisi Pemberantasan Korupsi juga merupakan lembaga yang
memiliki wewenang koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang
23 OpCit., hlm. 131 24 OpCit.
lxxxv
berwenang melakukan pemberantasan korupsi yaitu kepolisian dan
kejaksaan. Agar wewenang yang bersifat powerfull ini dapat berlangsung
efektif ditegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Sehubungan dengan hal itu, dalam penuntutan juga sering terjadi
tumpang tindih antara KPK dengan Kejaksaan. Tumpang tindih
kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk melakukan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi muncul setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 26 undang-undang ini
menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan
hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang ini. Hal ini juga sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang menyebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
TUGAS PELAJARI DAN DISKUSIKAN
KASUS 1.
KASUS DJOKO SUSILO; KPK HARUS TEGAR25
25 http://hukum.kompasiana.com/2012/09/29/kasus-djoko-susilo-kpk-harus-tetap-tegar-497615.html
lxxxvi
Ulah Irjen (Polisi) Djoko Susilo semakin merusak nama buruk Polri, dan ulah
para pengacaranya juga semakin membuat stigma profesi pengacara di
mata publik menjadi semakin hitam. Pernyataan ini saya kemukakan
berkaitan dengan mangkirnya Irjen (Polisi) Djoko Susilo (DS) dari
panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan
korupsi pengadaan simulator mengemudi di Korlantas Polri. Seharusnya,
DS datang memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa pada Jumat, 28
September 2012 ini, tetapi itu tidak dilakukan. Alasannya bukan karena
sakit, atau alasan sejenis lainnya, tetapi alasannya adalah DS menolak
diperiksa KPK karena menganggap kewenangan KPK memeriksanya
masih patut dipertanyakan.
DS dan tim pengacaranya yang terdiri dari Hotma Sitompoel, Juniver Girsang,
Tommy Sihotang, dan Dion Pongkor berargumen bahwa karena ada dualisme
kewenangan menyidik terhadap DS, yakni KPK dan Polisi, maka hal itu perlu
dipastikan terlebih dahulu, siapakah di antara kedua lembaga penegak hukum
tersebut yang lebih berwenang. Untuk itu mereka merasa perlu menunggu ada
fatwa Mahkamah Agung (MA) tentang hal tersebut.
KASUS 2
KPK LIMPAHKAN KASUS BG KE KEJAKSAAN AGUNG26
JAKARTA - KPK akhirnya “menyerah” dan tidak mengambil jalan peninjauan
kembali (PK) atas putusan praperadilan yang menyatakan status tersangka
Komjen Budi Gunawan tidak sah. KPK memilih melimpahkan perkara korupsi
BG ke Kejaksaan Agung.
Langkah KPK juga sekaligus melaksanakan putusan praperadilan yang
menyatakan bahwa KPK tidak berwenang melanjutkan penyidikan kasus BG.
Seusai rapat koordinasi di gedung KPK, Jaksa Agung HM. Prasetyo menyatakan,
26 http://www.jawapos.com/baca/artikel/13749/kpk-limpahkan-kasus-bg-ke-kejaksaan-agung
lxxxvii
keputusan itu diambil mengacu pada undang-undang yang menyebutkan KPK
tidak dapat menghentikan penyidikan perkara (SP3).
"Hakim meyatakan penetapan tersangkanya tidak sah. Oleh karena itu,
penanganannya harus ditinjau kembali. Dan KPK tidak mungkin menghentikan
penyidikan," kata Prasetyo dalam keterangan pers di KPK, Senin (2/3).
Dia menambahkan, KPK segera menyerahkan berkas penyelidikan dan
penyidikan kepada Kejagung. "Dengan disertai catatan KPK bahwa nampaknya
kepolisian pun sudah pernah menangani kasus yang sama," tuturnya.
Sementara itu, Wakapolri Badrodin Haiti yang kini menjadi calon Kapolri
menyambut baik keputusan KPK melimpahkan kasus BG pada Kejagung. Dia
menyatakan, Polri akan melakukan koordinasi dengan Kejakgung terkait
dengan berkas penyelidikan kasus BG. "Kami lihat hasil penyelidikan tim dari
Bareskrim dan Kejaksaan akan berkoordinasi soal berkas-berkas yang
dilimpahkan dari KPK," tuturnya.
Di sisi lain, Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi SP membantah anggapan
pelimpahan kasus BG ke Kejakgung merupakan sinyal bahwa komisi
antirasuah menyerah. Menurut dia, keputusan tersebut telah melalui
pembahasan panjang dan disepakati kelima pimpinan. "Jangan diartikan kami
menyerah begitu saja," kata dia.
Dia menambahkan, keputusan pelimpahan kasus tersebut telah dipikirkan
secara matang dan sesuai dengan norma hukum. "Jadi hormati keputusan yang
telah diambil itu," tuturnya.
Johan juga mengatakan, KPK pernah melimpahkan kasus ke Kejagung. Yakni,
kasus yang melibatkan orang yang bukan penyelenggara negara atau penegak
lxxxviii
hukum. Hal itu terkait dengan pernyataan hakim Sarpin Rizaldi yang menyebut
BG bukanlah penyelenggara negara.
Jaksa Agung HM. Prasetyo juga menyatakan, tidak perlu ada kekhawatiran
adanya konflik kepentingan dalam penanganan kasus tersebut. "Penetapan dan
penyidikan tersangka BG oleh KPK dinilai tidak sah. Itu yang harus dijadikan
kajian," tegasnya.
PERTEMUAN 5 : PERKULIAHAN 5
KASUS-KASUS KORUPSI
A. KASUS BLBI
DISITA, ASET BLBI ADRIAN KIKI MASUK KAS NEGARA27
TEMPO.CO , Jakarta: Direktur Bank Surya Adrian Kiki diekstradisi
dari Australia ke Indonesia setelah lebih dari enam tahun buron dalam
Kasus BLBI. Dia dijemput oleh tim terpadu pencari tersangka/terpidana
dan aset . Tim terpadu ini berangkat ke Perth Australia untuk menjemput
Adrian Kiki. Buron itu akhirnya malam tadi tiba di Kejaksaan Agung.
Serah terima buron ini berlangsung lancar. Selanjutnya Adrian akan
ditahan di LP Cipinang, Jakarta. Dia akan mejalani pidana seumur hidup
dan denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan di LP Cipinang.
Kejaksaan Agung menyita aset-aset miliknya. berupa bangunan di
Kedoya, Kebun Jeruk seluas 350 meter persegi. Ia juga memiliki tanah di
Kembangan, Jakarta Barat seluas 250 meter persegi. Kedua aset inilah
yang disita oleh negara.
Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan, kedua aset tersebut
telah dilelang. Dengan nilai masing-masing Rp 1 miliar 75 juta dan Rp 1
27 (http://www.tempo.co/read/news/2014/01/23/063547520/Disita-Aset-BLBI-Adrian-Kiki-Masuk-Kas-Negara)
lxxxix
miliar 770 juta. "Sudah kami setorkan ke kas negara," kata Andhi di
Kejaksaan Agung, Rabu, 22 Januari 2014. Adrian adalah bekas Direktur
Utama PT Bank Surya yang menerima BLBI. Dalam penyaluran BLBI ini,
negara merugi hingga Rp 1,9 triliun. Pada 2001, Adrian melarikan diri ke
Australia. Dalam persidangan inabsentia di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 2002 Adrian dipidana penjara seumur hidup karena
dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi.
Pada 2 Juni 2003, putusan Pengadilan Tinggi DKI menyatakan Adrian
Kiki bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dipidana seumur
hidup. Kiki pun masih harus membayar kerugian negara Rp 1,5 triliun
yang ditanggung bersama Wakil Direktur Utama Bank Surya Bambang
Sutrisno.
B. KASUS PUSKUD JATENG
Kasus Korupsi Puskud Jateng28
Mantan Direktur Utama, Jahiludin, disidangkan pada PN Denpasar dalam
perkara korupsi 10 M. Perkara itu disidangkan majelis hakim Tuan Adil,
Tuan Pasti dan Tuan Tepat. Dalam sidang pertama jaksa penuntut umum
(Teguh dan Tegas) secara bergantian membacakan surat dakwaan setebal
40 halaman. Terdakwa didampingi dua penasehat hukumnya, Amin dan
Pasrah.
Pada dakwaan primer jaksa mendakwa Jahiludin baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan Hajarudin (Manajer Keuangan dan
Akuntansi) yang telah menyalahgunakan kewenangan dan kesempatan
karena jabatan atau kedudukannya yang merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Jaksa menguraikan sesuai dengan Akad
perikatan kerja No 1 tahun 2015, sebagai dirut Jahiludin memiliki
28 Evi Hartanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 90
xc
kewenangan antara lain membuka usaha baru yang layak, baik berbentuk
unit usaha sendiri maupun unit kerja sama operasi atau perusahaan
patungan dengan pihak ketiga.
Dalam penyelenggaraan usaha harus didasarkan atas proposal atau studi
kelayakan yang disetujui Pengurus, untuk dicantumkan dalam Rencana
Kerja dan Rencana Anggaran Pendapatan Biaya Tahunan. Dalam hal
penyelenggaraan belum tercantum dalam RAPB Tahunan, atau belum
disahkan dalam rapat anggota maka terlebih dahulu mengajukan
proposal atau studi kelayakan untuk dibahas dan diputus dalam rapat
pengurus direksi. Dalam membukan usaha baru berupa kerja sama
operasi (KSO) dengan pihak ketiga, terdakwa telah menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada lantaran jabatan atau
kedudukannya. Kenyataannya terdakwa dalam membuat KSO tidak
didasarkan atas proposal atau studi kelayakan yang disetujui pengurus.
Selaku Dirut, terdakwa saat itu juga berwenang melakukan segala bentuk
transaksi keuangan yang berhubungan dengan penerimaan dana atau
pengeluaran dana. Pengeluaran dana itu seharusnya memenuhi kriteria
rentabilitas, liquiditas, dan solvabilitas yang sehat berdasarkan prinsip
kehati-hatian dan akuntabilitas. Dalam pengeluaran dana untuk
penyelenggaraan KSO dengan pihak ketiga, terdakwa tidak berpegang
pada kriteria rentabilitas, likuiditas dan solvabilitas yang sehat dan
memenuhi prinsip kehati-hatian. Dalam mengeluarkan dana guna
pembiayaan kerja sama operasional dengan pihak ketiga terdakwa
bertentangan dengan sistem dan prosedur akuntansi keuangan. Dalam
mempermudah perbuatannya segera setelah diangkat menjadi dirut,
terdakwa melakukan perubahan struktur organisasi manajemen yang
didalamnya terdapat direktur keuangan atau finansial. Namun sejak saat
itu pula jabatan direktur keuangan sengaja dikosongkan sehingga ini
mempermudah terdakwa dalam melakukan berbagai pengeluaran uang.
xci
Fungsi direktur keuangan dipengang langsung oleh terdakwa sehingga
fungsi kontrol terhadap mekanisme pengeluaran uang menjadi lemah dan
mempermudah terdakwa mengeluarkan dana yang tidak sesuai dengan
sistem dan prosedur yang ada.
C. KASUS AKIL MOCHTAR
KPK RESMI TETAPKAN AKIL MOCHTAR SEBAGAI TERSANGKA29
JAKARTA—Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham
Samad di Jakarta Kamis (3/10) mengatakan lembaganya secara resmi
menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi tersangka
dua kasus dugaan suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (pilkada).
Menurut Abraham, dalam ekspose perkara yang dilakukan, KPK telah
menemukan bukti permulaan yang cukup tentang adanya dugaan
penyuapan pada pengurusan kasus sengketa Pilkada Gunung Mas
Kalimantan Tengah, sehingga kasus ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Samad memaparkan, "Untuk dugaan tindak pidana korupsi pilkada
Gunung Mas Kalimantan Tengah. AM dan CN ditetapkan sebagai
tersangka selaku penerima. Diduga melanggar pasal 12c Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, atau pasal 6 ayat
2 junto pasal 55 ke 1 KUHP. Yang berikutnya ditetapkan sebagai
tersangka HD, dan CAN. Keduanya diduga sebagai pemberi suap. Mereka
melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a undang-undang tipikor junto pasal 55
ayat 1 ke 1 KUHP."
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga ditetapkan sebagai
tersangka dugaan penyuapan pada pengurusan kasus sengketa Pilkada
Lebak Banten. Abraham Samad menjelaskan, dalam kasus ini penyidik
telah menemukan bukti-bukti permulaan sehingga kasus ditingkatkan ke
29 http://www.voaindonesia.com/content/kpk-resmi-tetapkan-akil-mochtar-sebagai-tersangka/1762747.html
xcii
penyidikan.
"Untuk dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus sengketa pilkada
Lebak Banten ditetapkan AM sebagai tersangka bersama dengan STA
selaku pihak yang menerima. Diduga melanggar pasal 12c undang-
undang tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Atau pasal 6 ayat 2 junto
pasal 55 ke 1 KUHP. Yang berikutnya ditetapkan sebagai tersangka ECW
alias W dan kawan-kawan selaku pemberi. Melanggar pasal 6 ayat 1 huruf
a undang-undang tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP," tambah
Samad. Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto menjelaskan 6 orang
tersangka itu ditahan di rumah tahanan KPK Jl HR Rasuna Said
Kuningan Jakarta. Dalam penyidikan kasus penyuapan ini tambah
Bambang, KPK menjalin kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi. "Baik
KPK maupun MK vingin menjaga citra dan kewibawaan dari lembaga
penegak hukum. Yang kedua disepakati, bahwa KPK akan mendapatkan
akses sesuai dengan pertauran perundang-undangan, dan itikad baik dari
MK membuka seluas-luasnya proses penegakan hukum," terang
Bambang.
Bambang Widjoyanto menambahkan, segenap pimpinan KPK
mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah melaporkan
kasus ini.
Sementara itu, Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar menyatakan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini (Jum’at 4/10)
melakukan rapat terkait pemberhentian Akil Mochtar sebagai Ketua MK.
"(Sudah) Dilaksanakan pertemuan Majelis Kehormatan untuk menindak
lanjuti beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
status Akil Mochtar setelah ditetapkan sebagai tersangka. Jadi proses
pemberhentiannya ditindaklanjuti oleh Majelis Kehormatan," ujar
Patrialis.
Patrialis menambahkan, Majelis Kehormatan MK juga melakukan
pemeriksaan terhadap hakim konstitusi lain. Hakim yang diperiksa
xciii
adalah mereka yang ikut menangani dua perkara sengketa Pilkada yang
menjerat Ketua MK Akil Mochtar yang saat ini berstatus non aktif. KPK
melakukan ekspose dalam dua kasus. Pertama, kasus dugaan korupsi
pada pengurusan sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Kedua, kasus dugaan korupsi pengurusan sengketa Pilkada Lebak
Banten. Ketua MK Akil Mochtar terkena di dua kasus tersebut.
Di kasus Gunung Mas, status tersangka juga ditetapkan kepada Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golongan Karya Chairunissa (CN),
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih (HB), dan seorang pengusaha tambang
bernama Cornelis Nalau (CAN). Akil dan Chairunissa disangka sebagai
penerima suap, sedangkan Hambit dan Cornelis disangka sebagai
pemberi suap.
Di kasus Lebak, status tersangka ditetapkan kepada advokat Susi Tur
Andayani (STA), dan Tubagus Chaeri Wardana (TCW), suami Airin Rachmi
Diany. Airin adalah adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akil dan
Susi disangka sebagai penerima suap, sedangkan Tubagus sebagai
pemberi suap.
TUGAS 1 : ANALISA KASUS TERSEBUT DIATAS
Perhatikan beberapa hal berikut saat mengerjakan kasus :
1. UU Korupsi dan UU terkait lainnya
2. Tipologi kasus korupsi
3. Unsur-unsur tindak pidana korupsi
4. Pertanggungjawaban dan Pidana serta Pemidanaan tindak pidana korupsi
(tuntutan, dakwaan dan vonis hakim)
xciv
5. Pembuktian dalam tindak pidana korupsi
TUGAS 2 : ROLE PLAY DAN MOOT COURT
1. Perhatikan kasus tersebut di atas dengan seksama.
2. Ambillah peran yang anda minati dalam sistem penegakan hukum tipikor
(Polisi, Jaksa, Hakim, KPK) dan mulai mengelompokkan diri dengan
sesama peran.
3. Kerjakan kasus tersebut diatas sesuai dengan peran yang anda minati,
misalnya jika menjadi polisi apa yang harus dilakukan dalam
menyelesaikan kasus tipikor seperti di atas.
4. Presenting role play dengan membuat sebuah moot court tipikor.
PERTEMUAN 6 : PERKULIAHAN 6
KODE ETIK PROFESI DAN PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
Kode etik profesi merupakan panduan bagi profesi-profesi tertentu
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Terkait tindak pidana
korupsi diketahui ada beberapa lembaga-lembaga yang bertugas untuk
menangani, mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Setiap
lembaga-lembaga tersebut memiliki kode etiknya masing-masing. Berikut
akan diulas secara singkat mengenai kode etik profesi lembaga-lembaga
pemberantasan korupsi.
xcv
A. KODE ETIK POLISI30
Kode etik kepolisian diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No. 14 Tahun 2011.
Secara garis besar Kode Etik Kepolisian atau disingkat KEPP ini memuat
norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau
filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang
diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam
melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
KEPP juga menyebutkan tentang Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-
nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta
mencerminkan jati diri setiap Anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang
meliputi etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan kepribadian.
Mengenai Ruang lingkup KEPP meliputi pada Etika Kenegaraan, Etika
Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan dan Etika Kepribadian. KEPP memuat
juga tentang larangan dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh anggota POLRI
dalam melaksanakan tugasnya. KEPP menyertakan pula pengaturan tentang
sanksi bilamana hal-hal tersebut dilanggar.
B. KODE ETIK JAKSA
Kode Etik Jaksa diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor Per–014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa.
Kode Etik Jaksa ini dibuat untuk mewujudkan Jaksa yang memiliki
integritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan prima
kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif,
efisien, transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri Krama
Adhyaksa.
30 Lihat lampiran dalam Buku Ajar ini.
xcvi
Dalam Kode Etik Jaksa ini disebutkan bahwa Profesi Jaksa adalah
tugas dan wewenang yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi
Kejaksaan di bidang pidana, perdata dan tata usaha negara, di bidang
ketertiban dan ketentraman umum dan tugas-tugas lain berdasarkan
undang-undang. Sedangkan Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian
norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan
mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya,
menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam
melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan.
Kode Etik Jaksa ini juga mengatur tentang kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang Jaksa. Bagi Jaksa yang melanggar perintah
dan larangan yang diatur dalam Kode Etik Jaksa maka kepada Jaksa
tersebut dapat dikenakan tindakan administrative.
C. KODE ETIK HAKIM
Kode Etik Hakim diatur dalam sebuah Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No.
047/KMA/SKB/IV/2009 dan No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode
Etik dan Perilaku Hakim.
Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi
dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika
dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.
Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri
dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan
prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai
warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab
masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan
Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan
anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum
xcvii
sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi
Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan
yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut :
(1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan
Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung
Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9)
Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional.
D. PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
Pemeriksaan Pendahuluan adalah kegiatan yang rinciannya berupa
pemeriksaan persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan.
1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 5 KUHAP).
Penyelidikan akan dilakukan oleh penyelidik yaitu mereka, pejabat
polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 4 KUHAP).
Wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP antara
lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana; kemudian mencari keterangan dan barang bukti; dapat
menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; kemudian dapat mengadakan
tindakan lain yang menurut hukum yang bertanggung jawab.
xcviii
Kemudian, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan
penyitaan; dapat melakukan tindakan pemeriksaan dan penyitaan
surat; mengambil sidik jari dan memotret seseorang serta membawa
dan menghadapkan seseorang pada penyidik. (Pasal 5 ayat (1) huruf
b)
2. Penyidikan
Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal menurut cara-cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta, mengumpulkan bukti dan
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangka.
Penyidik berdasarkan Pasal 1 butir KUHAP adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
Wewenang Penyidik diatur dalam Pasal 7 ayat (1) antara lain menerima
laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari
dan memotret seseorang; memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi; mendatangkan orang ahli
yang diperlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara;
mengadakan penghentian penyidikan; mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggungjawab.
xcix
Mengenai tugas penyidik dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3)
KUHAP. Secara garis besar tugasnya adalah membuat berita acara
pelaksanaan tindakan dan menyerahkannya kepada penuntut umum.
Perhatikan bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut
penyidikan :
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3. Pemeriksaan di tempat kejadian
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5. Penahanan sementara
6. Penggeledahan
7. Pemeriksaan atau interograsi
8. Berita acara (penggeledahan, interogerasi, dan pemeriksaan di
tempat)
9. Penyitaan
10. Penyampingan perkara
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya
kepada penyidik untuk disempurnakan.
TUGAS 1:
1. DISKUSIKAN TENTANG KODE ETIK POLISI, JAKSA DAN HAKIM.
TEMUKAN PERBEDAANNYA DAN PERSAMAANNYA DALAM UPAYA
PENEGAKAN HUKUM.
c
2. CARILAH KODE ETIK KPK KEMUDIAN DISKUSIKAN DALAM KELOMPOK.
MINGGU DEPAN REPORTING.
PERTEMUAN : UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)
ci
PERTEMUAN 8 : PERKULIAHAN 8
PENUNTUTAN, SURAT DAKWAAN DAN EKSEPSI
A. PENUNTUTAN
Ketentuan tentang penuntutan diatur dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP
yang menentukan penuntutan adalah tindakan untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur undang-undang dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan dilakukan oleh Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini (Pasal 13 KUHAP) dan disebut sebagai penuntut umum.
Wewenang penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 antara
lain menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu; mengadakan pra penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal
110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; memberikan perpanjangan
penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
membuat surat dakwaan; melimpahkan perkara ke pengadilan;
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan; melakukan penuntutan; menutup perkara demi
kepentingan hukum; mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini; dan melaksanakan penetapan hakim.
cii
B. SURAT DAKWAAN
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan
dakwaan itulah pemeriksaan pengadilan dilakukan. Hakim tidak dapat
menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan. Jadi jelaslah bahwa
pemeriksaan di pengadilan itu didasarkan pada dakwaan dan menurut
Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi
putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak
dalam batas itu.31 Dengan demikian, terdakwa hanya dapat dipidana jika
terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika
terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan,
maka ia tidak dapat dipidana.32
Hal-hal yang diuraikan dalam dakwaan berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 143 KUHAP ayat (2) yang berbunyi penuntut umum memuat surat
dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana itu dilakukan.
Mengenai perumusan dakwaan didasarkan pada hasil pemeriksaan
pendahuluan di mana dapat diketemukan baik berupa keterangan
terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk
keterangan ahli. Dalam konteks ini dipahami bahwa antara pemeriksaan
31 Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, hlm. 167 32 Andi Hamzah, OpCit., hlm. 168
ciii
pendahuluan dengan penuntutan tidak dipisahkan hanya dapat
dibedakan.
Dakwaan dapat disusun secara :
a. Tunggal
b. Kumulatif
c. Alternative
d. Subsidair
Dakwaan tunggal biasanya disusun untuk seseorang (pelaku) yang
melakukan hanya satu perbuatan pidana/delik/tindak pidana.
Sedangkan jika seseorang atau lebih (pelaku) melakukan lebih dari satu
perbuatan/delik maka dakwaan yang akan disusun adalah dakwaan
kumulatif. Dalam dakwaan kumulatif biasanya terdakwa akan didakwa
dua macam perbuatan sekaligus. Untuk itu biasanya dakwaan disusun
sebagai dakwaan I, dakwaan II, III dan seterusnya. Jika dakwaan disusun
secara kumulatif, maka tiap perbuatan delik itu harus dibuktikan sendiri-
sendiri walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik
gabungan yakni Pasal 63-71 KUHP. Untuk itu dalam pembuatan dakwaan
kumulatif teori-teori dan peraturan-peraturan tersebut harus benar-
benar dicermati dan diperhatikan.
Mengenai dakwaan alternative, menurut Bemmelen dapat dibuat dalam
dua hal yaitu :
1) Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana, apakah yang
satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan (umpama
suatu perbuatan apakah merupakan pencurian atau penadahan)
civ
2) Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang
akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut
pertimbangannya telah nyata tersebut.33
Bemmelen menambahkan dalam hal dakwaan alternative yang
sesungguhnya, maka masing-masing dakwaan tersebut saling
mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan
dakwaan mana yang telah terbukti dan bebeas untuk menyatakan bahwa
dakwaan kedua yang telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu
tentang dakwaan pertama.34 Lain halnya dengan dakwaan subsidair yang
sesungguhnya katanya, karena dalam hal ini pembuat dakwaan
bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair dan
jika ini tidak terbukti, barulah diperiksa dakwaan subsidair.35
Selanjutnya mengenai perubahan terhadap surat dakwaan masih
dapat dilakukan dengan catatan belum terjadi proses pemeriksaan
peradilan. Jadi perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan
sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Hal ini diatur dalam
Pasal 144 KUHAP
C. EKSEPSI
Eksepsi adalah hak terdakwa untuk mengajukan keberatan setelah
mendengar isi surat dakwaan dari JPU. Jadi terdakwa atau penasihat
hukumnya, setelah mendengar isi surat dakwaan, berhak mengajukan
keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan tersebut. Eksepsi ini dilakukan
33 OpCit., hlm. 186 34 Van Bemmelen dalam OpCit., hlm. 186 35 OpCit.
cv
jauh hari sebelum pengadilan memeriksa pokok perkaranya. Dengan kata
lain, eksepsi diajukan sebelum sidang yang pertama digelar.
Perhatikan hal-hal berikut :
1. Surat Edaran Nomor : SE-003/A/JA/02/2010 tanggal 25 Februari 2010
tentang pedoman tuntutan pidana perkara tindak pidana korupsi, berisi
tentang tolak ukur tuntutan pidana untuk seluruh kejaksaan di
Indonesia, maksud dikeluarkannya pedoman tuntutan ini adalah agar
tidak terjadi disparitas antar kejati dan kejari di seluruh Indonesia.
2. Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : kep-
003/f/fjp/03/2010 tanggal 24 Maret 2010 tentang Pengangkatan
Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK)
Divisi penuntutan terdiri dari 30 orang jaksa yang tugas utamanya
melakukan penuntutan, upaya hukum dan atau eksekusi perkara
tindak pidana korupsi, dengan pengendalian direktur penuntutan.
3. Standard Operating Procedure (SOP) tentang Tata Kelola Administrasi
dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus yang ditetapkan
dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor : Perja-39/A/JA/10/2010
tanggal 29 Oktober 2010, yang pada intinya mempunyai maksud dan
tujuan sebagai berikut : a. Dalam rangka pelaksanaan program
reformasi birokrasi Kejaksaan RI diperlukan penyusunan tata laksana
yang menghasilkan standar prosedur operasi (standard operating
procedure / sop). b. Dengan penataan standar pelayanan administrasi
dan teknis penanganan perkara tindak pidana khusus diharapkan
proses kerja dan out put kinerja dapat lebih kredibel, sehingga
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan republik
indonesia. c. Standar pelayanan administrasi dan teknis penanganan
perkara tindak pidana khusus di lingkungan Kejaksaan RI berlaku
sebagai panduan kinerja jajaran tindak pidana khusus dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya yang profesional,
cvi
proporsional dengan penuh kearifan. d. Pelayanan administrasi dan
teknis penanganan perkara tindak pidana khusus yang selama ini
berjalan belum mendasarkan pada prinsip-prinsip bussines process
yang bersifat lengkap dan kronologis berciri spesifik, dapat diukur,
dapat dicapai, sesuai kepentingan / keinginan stakeholder dan jelas
penentuan batas waktunya. e. Bahwa mekanisme kerja yang selama ini
berjalan dipandang sudah tidak dapat mendukung kecepatan,
kepastian, dan peningkatan kinerja serta peningkatan kepercayaan
masyarakat, sehingga perlu diatur tata kelola yang bertumpu pada
bussines process yang terurai secara lengkap dan kronologis, dan dapat
digambarkan dalam suatu flowchart / workflow.
4. Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : kep-
003/f/fjp/03/2010 tanggal 24 Maret 2010 tentang Pengangkatan
Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK)
Divisi penuntutan terdiri dari 30 orang jaksa yang tugas utamanya
melakukan penuntutan, upaya hukum dan atau eksekusi perkara
tindak pidana korupsi, dengan pengendalian direktur penuntutan.
5. Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : Kep-
015/F/Fjp/11/2010 tanggal 24 Nopember 2010 tentang Pengangkatan
Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK)
Divisi Penyelidikan terdiri dari 24 orang jaksa yang tugas utamanya
melakukan penyelidikan perkara tindak pidana korupsi, dengan
pengendalian oleh direktur penyidikan.
6. Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : KEP-
016/F/Fjp/11/2010 tanggal 24 Nopember 2010 tentang Pengangkatan
Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK)
divisi penyidikan terdiri dari 60 orang jaksa yang tugas utamanya
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi, dengan
pengendalian oleh direktur penyidikan.
cvii
7. Keputusan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : KEP-
017/F/Fjp/11/2010 tanggal 24 Nopember 2010 tentang Pengangkatan
Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK)
divisi penuntutan terdiri dari 30 orang jaksa yang tugas utamanya
melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi, dengan
pengendalian oleh direktur penuntutan.
cviii
PERTEMUAN 9 : KULIAH 9
PEMERIKSAAN SAKSI, SAKSI AHLI, KETERANGAN TERDAKWA
DAN PEMBUKTIAN
A. PEMERIKSAAN SAKSI, SAKSI AHLI, DAN KETERANGAN TERDAKWA
Pemeriksaan saksi-saksi ditujukan untuk meneliti apakah para saksi
yang dipanggil sudah hadir di persidangan. Saksi-saksi diperiksa secara
bergantian. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (1) sub b KUHAP, dalam
tahap pemeriksaan saksi-saksi terdapat 2 (dua) kategori saksi : (1) saksi
de charge (saksi yang memberatkan terdakwa) dan (2) saksi a de charge
(saksi yang meringankan terdakwa).
Terkait saksi pada dasarnya siapa saja bisa menjadi saksi, akan tetapi
Pasal 168 KUHAP menentukan beberapa pengecualian, yaitu :
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b) Saudara dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Kemudian dalam Pasal 170 juga ditentukan bahwa dikecualikan
sebagai saksi adalah mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat
cix
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan
dari kewajiban memberi keterangan saksi. Misalnya seorang pendeta
agama Katolik dapat meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan
keterangan karena dalam harkat martabat sumpahnya sebagai pengayom
umat.
Kemudian pengecualian berikutnya terlihat dalam Pasal 171 KUHAP
yang mengatakan tentang kekecualian untuk memberi kesaksian di
bawah sumpah ialah :
a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali
Selanjutnya mengenai saksi ahli. Menurut Pasal 183 KUHAP,
keterangan seorang saksi ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan
kedua. Dan keterangan seorang ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
186 ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Yang
perlu dicatat adalah isi keterangan saksi ahli dengan saksi adalah
berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami saksi itu
sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu
penilaian terkait hal-hal yang sudah nyata dan mengambil kesimpulan
atas hal tersebut.
Mengenai keterangan terdakwa dinyatakan bahwa semua keterangan
terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan,
pengakuan ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan.
Dalam hal ini seorang hakim tidak perlu mempergunakan semua
keterangan terdakwa atau saksi.
B. PEMBUKTIAN
cx
Pembuktian (Pasal 181 KUHAP);
Pembuktian meliputi barang bukti, yaitu barang yang digunakan
terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana korupsi atau hasil dari
suatu tindak pidana. Barang-barang ini disita oleh penyelidik sebagai
bukti dalam sidang pengadilan. Ada 5 alat bukti yang disebut dalam Pasal
184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Berkaitan dengan alat bukti, ketentuan Pasal 28
ayat (1) UU No 46 tahun 2009 menegaskan bahwa alat bukti yang
diajukan di dalam proses pemeriksaan di Sidang Pengadilan Tipikor,
termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus
diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Seperti dipahami relevan dengan ketentuan UU 46 tahun 2009 adalam
ketentuan Pasal 26 A UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 yang
mengarisbawahi bahwa sumber perolehan alat bukti yang sah dalam
bentuk petunjuk (sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2)
KUHAP), selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa, khusus perkara Tipikor juga dapat diperoleh dari:
Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu, tetapi tidak terbatas pada penghubung data elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili; dan
Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,
angka, atau perforasi yang memiliki makna.
cxi
Kendati demikian, ketentuan pasal 28 ayat (2) UU No 46 tahun 2009
mengisyarakatkan bahwa hakim Pengadilan Tipikor yang akan
menentukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan,
baik yang diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun oleh terdakwa
sendiri (dengan mekanisme pembuktian terbalik). Ikhwal ‘pembuktian
terbalik’ diatur ketentuannya dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tahun 31 Tahun
1999 jo UU No 20 tahun 2001 yang menyatakan terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Karenanya, dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti (Pasal 37 ayat (2) UU No 31 tahun 1999 jo UU No
20 tahun 2001).
“Pembuktian Terbalik” bersifat “premium remidium” dan sekaligus
mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri, yang
diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan pada
tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari
salah satu tindak pidana (Predicate crime).
Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, pasal
15 dan Pasal 16 UU No 31 tahun 1999 serta pasal 5 s.d Pasal 12 UU No
20 tahun 2001, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak
pidana korupsi (Pasal 38 B ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo Pasal 12 UU
No 20 tahun 2001). Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh
terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok
dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. Hakim wajib
membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang
cxii
diajukan terdakwa tersebut (Pasal 38B ayat (4) dan (5) UU No 31 tahun
1999 jo Pasal 12 UU No 20 tahun 2001).
PERTEMUAN 10 : KULIAH 10
REQUISITOIR, PLEDOI, REPLIK-DUPLIK DAN SIMPULAN
A. REQUISITOIR
Apabila menurut hakim pemeriksaan atas terdakwa dan para saksi telah
cukup, JPU dipersilahkan menyampaikan tuntutan pidana (requistor). Isi surat
tuntutan adalah identitas terdakwa, surat dakwaan, keterangan saksi/saksi
ahli, keterangan terdakwa, barang bukti, hal-hal yang meringakan serta
memberatkan terdakwa, serta tuntutan (permohonan kepada hakim).
B. PLEDOI
Mengenai Pledoi diatur dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP. Setelah JPU
membacakan tuntutan pidananya, hakim ketua sidang memberikan
kesempatan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk menyampaikan
pembelaannya (pledoi). Isi pembelaan (pledoi) meliputi: pendahuluan, isi
dakwaan, fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, teori hukum,
kesimpulan, permohonan dan penutup.
C. REPLIK-DUPLIK
cxiii
Replik-Duplik diatur dalam Pasal 182 ayat (1) butir C KUHAP; Dalam
merespon atas pledoi terdakwa, JPU dapat memberikan jawabannya yang
dikenal dengan istilah replik. Terdakwa dan penasehat hukumnya masih
memiliki kesempatan untuk menjawab replik ini. Jawaban atas replik JPU
dikenal dengan duplik.
D. SIMPULAN
Pasal 182 ayat (4) KUHAP; Sesudah sidang ditutup, JPU dan penasehat
hukum terdakwa masing-masing membuat kesimpulan yang menjadi dasar bagi
majelis hakim untuk mengambil keputusan yang dilakukan dengan
musyawarah di antara para hakim.
cxiv
PERTEMUAN 11 : PERKULIAHAN 11
PUTUSAN DAN UPAYA HUKUM
A. PUTUSAN PENGADILAN
Di dalam KUHAP dijumpai beberapa jenis putusan pengadilan,
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta pasal
193 ayat (1) KUHAP, yaitu:
1. Putusan bebas (Pasal 191 ayat (1)),
2. Putusan yang menyatakan bahwa kesalahan terdakwa atau perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2)),
4. Berisi tentang alasan pembenar dan alasa pemaaf,
5. Pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) dan
6. Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh hakim apabila kesalahan
terdakwa dianggap terbukti secara sah dan menyakinkan.
B. UPAYA HUKUM
cxv
KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya
hukum biasa diatur dalam bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa
diatur dalam Bab XVIII.
1. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian yaitu
a. bagian kesatu tentang pemeriksaan tingkat banding dan
b. bagian kedua tentang pemeriksaan kasasi
2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari dua bagian yaitu
a. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum
b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
cxvi
PERTEMUAN 12 : KULIAH 12
RISET OBSERVASI PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI DI KEPOLISIAN
SOP Penanganan Tindak Pidana Korupsi
KANIT KASUBDIT DIR RESKRIMSUS
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH BALI
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI
NO DOKUMEN : ---
SOP/RESKRIMSUS/SUBDIT
III
NO. REVISI
00
HALAMAN 23/ 27
TANGGAL TERBIT : 7 JUNI 2012
MULAI
LI ANALISA SP. LIDIK
LIDIK REN LIDIK
cxvii
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH BALI
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI
NO DOKUMEN : ---
SOP/RESKRIMSUS/SUBDIT
III
NO. REVISI
00
HALAMAN 24/ 27
TANGGAL TERBIT : 7 JUNI 2012
LHP ANALISA
GELAR ANALISA
C
U
K
U
P
B
U
K
T
I
TDK
CU
KU
P
BUKTI
LP REN SIDIK
cxviii
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH BALI
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI
NO DOKUMEN : ---
SOP/RESKRIMSUS/SUBDIT
III
NO. REVISI
00
HALAMAN 25/ 26
TANGGAL TERBIT : 7 JUNI 2012
SIDIK -
MINDIK
WAS DAL SP. SIDIK
BA
- SAKSI
- SAKSI AHLI
- TSK
WAS DAL
Upaya
Paksa
- Sita
- Kap
- Han
WAS DAL SP
GELAR ANALISA
cxix
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH BALI
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI
NO DOKUMEN : ---
SOP/RESKRIMSUS/SUBDIT
III
NO. REVISI
00
HALAMAN 26/ 27
TANGGAL TERBIT : 7 JUNI 2012
SP
3
T
A
H
A
P
I
WAS DAL - Surat Pengantar
SP
P
-
2
1
P-
1
9
WAS DAL
LENGKAP
I WAS DAL
cxx
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH BALI
DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL KHUSUS
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI
NO DOKUMEN : ---
SOP/RESKRIMSUS/SUBDIT
III
NO. REVISI
00
HALAMAN 27/ 27
TANGGAL TERBIT : 7 JUNI 2012
TUGAS MAHASISWA :
1. Mahasiswa mengamati proses penanganan tindak pidana korupsi di
Kepolisian.
2. Mahasiswa menganalisa proses penanganan tindak pidana korupsi di
Kepolisian
3. Mahasiswa membuat laporan akhir terkait hasil riset observasinya di
Kepolisian.
TAHAP II
WAS DAL Surat Pengantar
LH SIDIK
cxxi
PERTEMUAN 13 : KULIAH 13
RISET OBSERVASI PROSES PERADILAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI PENGADILAN TIPIKOR
TUGAS MAHASISWA :
1. Mahasiswa mengamati proses peradilan tindak pidana korupsi di
pengadilan tipikor
2. Mahasiswa melakukan penganalisaan terhadap proses peradilan tindak
pidana korupsi di pengadilan tipikor
3. Mahasiswa membuat laporan akhir terkait hasil riset observasinya di
pengadilan tipikor.
cxxii
PERTEMUAN 14 : UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)