book lay out sample

55
revolusimu revolusi kami revolusimu revolusi kita revolusi dunia (Njoto, 1961)

Upload: jr-wahyu

Post on 07-Mar-2016

273 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

book lay out

TRANSCRIPT

Page 1: Book Lay out sample

revolusimu revolusi kamirevolusimu revolusi kitarevolusi dunia (Njoto, 1961)

Page 2: Book Lay out sample

"Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang sarat gesekan itu."(Prof. Dr. M. Syafii Maarif, guru besar sejarah, cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta penerima Magsaysay Award 2008)

"Buku ini menarik terlepas dari sumber tunggal yang digunakan; memberikan informasi mengenai situasi Indonesia dari sudut pandang Harian Rakjat. Bagi sejarawan, buku ini menjadi sumber yang sangat berguna kalau mereka mau melakukan penelitian lanjut tentang peranan suratkabar, terutama pada periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Oleh karena itu, terlepas dari setuju atau tidak, buku ini merupakan salah satu buku yang sangat penting."(Dr. Anhar Gonggong, sejarawan)

"Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan 'masa keemasan'-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi 'seni untuk Rakyat' dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menye-diakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya, yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masa-nya. Buku ini berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat itu dikelola secara sek-sama dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi, perdebatan budaya, lepas dari soal bahwa kemudian ideologi itu salah atau benar. Maka buku ini patut dibaca agar kita bisa menajamkan kembali pikiran budaya kita yang tak terlepas dari kepentingan rakyat. Sebab selama tak ada pemihakan yang jelas, selama itu pula seni untuk rakyat tak ada."(Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)

"Buku ini penting dan menarik, sebab mencerminkan hasrat generasi muda negeri ini untuk menyusuri kembali jejak sejarah bangsanya dari perspektif yang berbeda. Yaitu, dari perspektif yang lebih terbuka, lebih kritis, lebih kreatif dan lebih bersikap positif terhadap rakyat. Di sini kelihatan bahwa jika dipercaya dan diberi kesempatan, rakyat Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memajukan dan memakmurkan bangsanya. Sayang sekali potensi itu telah diba-bat oleh segelintir penguasa yang suka berkolaborasi dengan keserakahan modal asing sambil melayani kepentingan diri-sendiri. Buku ini dapat menjadi pendorong untuk menegakkan kem-bali kedaulatan rakyat Indonesia."(Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat Sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

"Sosialisme sebagai sumber pemihakan tani-buruh dan seni budaya pro rakyat jelata yang hilang paska 1965 kini hidup kembali. Buku ini memberikan kita jejak pemikiran dan kepedulian popu-lis yang berbasis kerakyatan itu."(Dr. Mudji Sutrisno, penggiat budaya dan pengajar studi filsafat di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia)

"Ini adalah terbitan yang punya makna penting bagi Indonesia di masa periode Demokrasi Ter-pimpin. Nilai dari buku ini adalah bahwa ia dengan sangat hati-hati menggunakan/mengumpulkan bukti untuk menyingkirkan mitos tentang Lekra yang muncul sebelumnya. Setelah buku Keith Foulcher tentang Lekra yang terbit pada 1986, tak ada lagi studi yang komprehensif tentang subjek yang paling penting ini, sehingga kita sangat berterima kasih kepada penulisnya yang memberi gambaran yang jelas tentang sejarah kebudayaan Indonesia.(Prof Dr Adrian Vickers, Professor of Southeast Asian Studies School of Languages and Cultures)

"Riset ini membuka tabu; sebuah ruang ingatan yang ragu-ragu kita ketahui. Ragu karena trauma, ragu karena kegelapan, dan ragu karena hilangnya keberanian kritis untuk memeriksa masa lampau. Dengan caranya sendiri, serpihan tulisan ini mengantar kita untuk mengenal sebuah masa, tentang sebuah gerakan kebudayaan yang dengan keras kepala dan dengan kepercayaan penuh dipertahankan pemeluknya. Kisah tentang 'the true believers'." (Taufik Rahzen, ziarawan, kurator senirupa, dan penggiat festival)

Page 3: Book Lay out sample

Lekra tak MeMbakar bukuSuara Senyap Lembar kebudayaan

Harian Rakjat 1950 – 1965

Rhoma Dwi aRia YuliantRimuhiDin m Dahlan

Page 4: Book Lay out sample

LEKRA TAK MEMBAKAR BUKUSuara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965

Rhoma Dwi Aria Yuliantri | Muhidin M DahlanCopyright © Muhidin/Ria 2008

All rights reserved

Diterbitkan

Jl Nakula No 5 RT 1 RW 64, Pugeran, Maguwoharjo, JogjakartaTelp 081328690269 - 08886854721 Surat-e: [email protected]

Website: http:\\merakesumba.multiply.com

Cetakan 1, September 2008

Hak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Rhoma Dwi Aria YuliantriLekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965

/ penyusun, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Muhidin M Dahlan -- Yogyakarta:Merakesumba, 2008.584 hlm. ; 15 x 24 cm.ISBN: 978-979-18475-0-6 1. Esai Indonesia. I. Judul.II. Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

814

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

jrwahyu
Typewritten Text
Page 5: Book Lay out sample

Catatan Penulis

Puluhan tahun, panggung itu tertutup rapat. Sungguh rapat tiada bercelah. Gemuruh yang hiruk-pikuk tiada lagi terdengar sejak peristiwa yang dise-

but Presiden Sukarno Gestok itu meletus dan membakar seluruh jerami ke-ring di seluruh Indonesia. Bahkan untuk menyebut nama panggung itu tak dibolehkan karena ia sesuatu yang tabu. Ia senyap. Panggung kebudayaan sudah beres-beres; sudah dibersihkan dari lapangan politik. Ia diputihkan. Yang sastra harus kembali ke sastra. Yang musik harus kembali ke musik. Yang seni pertunjukan harus kembali ke gedung kesenian yang megah dan disaksikan hanya buat orang-orang berduit, yang film kembali menjadi film. Jangan lagi Rakyat dibiarkan menyelenggarakan panggung-panggung secara bebas, glamor, urakan, liar. Semuanya kembali ke pakem, kembali ke kod-ratnya. Kebudayaan tanpa dipanglimai politik. Kebudayaan harus kembali menjadi hiburan. Dan semata hiburan. Tak ada lagi musik yang meneriakkan protes. Tak ada lagi puisi-puisi pamflet dan urakan yang teriak sana gugat sini. Tak ada lagi cerita pendek yang membela si kromo atau si marhaen yang terus-terusan dijahili tuantanah-tuantanah di desa-desa sekeliling dan karena itu melawan dengan caranya sendiri: aksi sepihak. Semuanya harus berjalan normal, semuanya berjalan di rel keindahan yang tak boleh ngurusi politik atau menyeru-nyeru perlawanan. Sekali melampaui diri dan tak bisa menjaga diri; sekali bicara lantang anti feodalisme, anti imperialisme, dan terang-terangan bicara kerakyatan dan demokrasi, maka inilah sebutannya: K.O.M.U.N.I.S. Dan setiap pribadi atau komunitas yang kena cap itu sudah tahu di mana akhir hidupnya.

Dan rasa takut itu menjadi semacam phobia di bawah tempurung kesa-daran. Itulah kemudian di ranah sejarah disebut sejarah senyap (silence history). Ia adalah suara-suara kebenaran yang membisu karena hak bersuaranya un-tuk membela diri dari segala tuduhan yang berderet-deret, fitnahan yang

Page 6: Book Lay out sample

� i LEKRA

bertubi-tubi, tak pernah terselenggara. Mungkin separuh besar dari dosa-dosa tuduhan itu benar adanya, tapi mesti dibuktikan dengan memberi mere-ka panggung untuk menyuarakan kembali apa maunya dan apa prinsip kebe-naran yang mereka pegang sehingga mereka bisa berbuat yang demikian itu.

Sejarah senyap adalah sebuah metode dan usaha menggali kuburan ingat-an kolektif dari persemayaman yang dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra adalah nisan kebudayaan yang disenyapkan eksistensinya selama puluhan tahun lamanya. Aktivitas mere-ka yang bergemuruh dalam periode 1950-1965 seakan hilang tanpa jejak. Yang ada adalah deret ukur dosa politik kebudayaan mereka dalam mene-gakkan prinsip-prinsip yang mereka yakini sebagai kebenaran. Yang ada adalah jejak hitam dengan noda yang bopeng-bopeng. Mereka tak lagi pu-nya mulut untuk menuturkan sendiri apa yang mereka lakukan selama 15 tahun yang bergemuruh itu. Mulut mereka dilakban. Mereka dijurubicarai oleh orang lain yang sialnya adalah musuh-musuh politik kebudayaan mereka dalam kurun semasa. Beginilah hukum sejarah, siapa yang berkuasa ia yang menentukan siapa yang baik siapa yang jahat, siapa yang punya hak bicara yang banyak dan siapa yang menjadi figuran semata yang sekadar lewat atau menjadi komedi tertawaan para penonton.

Buku-buku yang menjurubicarai Lekra sudah banyak ditulis oleh pakar dan penulis-penulis yang berminat pada kebudayaan. Beberapa dari penulis-penulis itu sudah melakukan wawancara mendalam dari tokoh-tokoh Lekra yang masih hidup yang boleh jadi ingatan mereka sudah tak terlalu bersih-jernih dan bahkan posisi mereka sudah dibaik-baikkan lantaran sudah dicuci puluhan tahun dalam upacara penyiksaan yang rapi dan sistemik.

Peran buku ini adalah membangunkan kembali panggung buat Lekra “se-persis” mungkin pada periode-periode yang bergemuruh itu. Terutama sete-lah Kongres Nasional I Lekra berlangsung di Solo pada 1959. Tentu saja ini bukan pembelaan yang buta terhadap Lekra, tapi memberi bagi si bisu ini ke-sempatan untuk berbicara apa sesungguhnya yang mereka lakukan selama 15 tahun itu. Sebagai penyanggah panggung itu, kami dibantu oleh tiang-tiang utama sekira 15 ribu artikel kebudayaan yang kami seleksi sedemikian rupa dari terbitan Harian Rakjat mulai sekira April 1951 hingga tiga hari pertama bulan Oktober 1965 berjalan. Tema yang menjadi fokus pemanggungan ini bu-kan hanya sastra, tapi juga film, musik, seni pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), seni tari, buku, dan pers.

Suara-suara persemayaman Lekra yang sejatinya hiruk-pikuk itu kami biarkan mengaok-ngaok dominan seperti apa adanya. Kami hanya mengatur tempo dan menggilir siapa yang naik panggung duluan dan siapa yang kena giliran berikutnya. Untuk memberi suasana raut wajah dan suara semasa, maka kami sebanyak mungkin mengiringi kembali seluruh bahasan dengan kutipan langsung dari potong-potongan berita beraksen ejaan lama itu. Seka-

Page 7: Book Lay out sample

ligus buku ini menjadi dokumen sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan kepada generasi muda.

Mulanya kami mengira bahwa panggung ini hanya memakan dua ratusan halaman. Namun, dari penyusuran dan penulisan kembali, bahasan tema ini bergerak liar dan mencakup begitu banyak soal. Jadilah kemudian buku ini sangat gemuk dan boleh jadi lebih luas cakupannya dari buku-buku serupa yang sudah dituliskan. Dari sini kemudian kami pun tahu bahwa Lekra dan or-gan-organ sevisi dengan mereka tak pernah bosan menyebut dan mengeja mu-suh-musuh mereka. Frase imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme terus-menerus disebut ulang sepanjang 15 tahun dengan tak bosan-bosan. Kami yang menuliskan kembali riset ini saja sampai bosan membaca tiga frase itu. Tapi barangkali itulah cara Lekra mengingatkan bahaya laten imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme, yang masih bercokol hingga sekarang yang kemu-dian melahirkan gerakan sosialisme baru, terutama di Amerika Latin. Dipim-pin oleh Presiden Sukarno, pengganyangan terhadap Amerika sebagai biang kerok dari nyaris semua penyabotan tanah-tanah di Asia-Afrika, intensif di-lakukan. Dan Sukarno (24 tahun) konsisten menyerukan itu sejak ia mem-bacakan pleidoinya di hadapan pengadilan kolonial di Landraad Bandung yang terkenal dengan sebutan “Indonesia Menggugat”.

Data-data yang menjadi penopang tiang panggung dibuku ini kami da-patkan di Jogjakarta dalam sebuah kamar perpustakaan yang digembok dan di sana dituliskan peringatan yang menciutkan nyali: bacaan terlarang. Data itu telah tersangkar selama 30-an tahun. Dengan cara persuasif akhirnya ka-mi diperkenankan untuk membuka kembali “bacaan terlarang” itu. Kami mesti bekerja keras memilih dan membuka kembali bundel-bundel ikatan dalam kepungan ribuan rayap yang kelaparan mengisap kertas-kertas kuning tua itu. Seluruh koran yang berafiliasi secara langsung atau tidak dengan PKI mesti menempati kamar rayap yang digembok itu, seperti Harian Rakjat, Warta Bakti, Terompet Masjarakat, Bintang Timur, dan brosur-brosur komu-nis. Tapi kami fokus pada Harian Rakjat yang alasannya bisa dibaca di bab “Riwayat Harian Rakjat” dalam salah satu bab dalam buku ini. Adapun halam-an kebudayaan “Lentera” Bintang Timur kami pisahkan dan berusaha membu-atkan rekamannya di buku yang lain. Jadilah beberapa hari lamanya, siang-malam, kami menjadi kerani yang dengan kecepatan luar biasa berhasil me-rekam nyaris seluruh artikel dan guntingan berita kebudayaan yang menjadi konsens Lekra.

Penulisan buku esei panjang berjudul Lekra tak Membakar Buku ini sebetulnya berlangsung selama 1.5 tahun dan intensif penulisannya sejak April sampai pertengahan Agustus 2008, termasuk dua buku lainnya yang segan-dengan: Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Harian Rakjat-Lekra dan Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Harian Rakjat-Lekra. Dalam periode 1.5 ta-hun itu kami mesti menyelinginya dengan mengerjakan riset berkelompok kami yang lain, yakni riset intensif Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia

Catatan Penulis i �

Page 8: Book Lay out sample

KroniK KebangKitan

indonesia1913-1917

taufiK rahzenMuhidin M dahlandian andiKa winda

M arief rahMatoryza aditaMa

petriK Matanasi

Page 9: Book Lay out sample

KroniK KebangKitan indonesia

1913 - 1917© i:boeKoe

Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Cetakan Perdana, Agustus 2009

PenerbitI:BOEKOEJl Patehan Wetan 3, Alun-Alun Selatan, Kec. Kraton, JogjakartaTelp. 0274-372690

email: [email protected]: www.indonesiabuku.com

Supervisi: Taufik RahzenPemimpin riset dan penulisan: Muhidin M DahlanStaf Editor: Iswara Noor Raditya Akbar, Lilih Prilian Ari Pranowo, Petrik Matanasi, Tunggul Tauladan, Oryza AditamaTim Riset: Dian Andika Winda, Petrik Matanasi, Muhammad Arief Rahmat, Oryza Aditama

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kronik Kebangkitan Indonesia 1913/Muhidin M Dahlan dkk. – Jakarta I:BOEKOE, 2009 820 hlm.; 15 x 24 cm ISBN: 978-979-1436-10-6 1. Sejarah I. Muhidin.

814

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

LIMITED EDITION CODE

Page 10: Book Lay out sample

Pembuka

Buku ini dihadirkan dalam kerangka untuk melihat Indo-nesia dalam perjalanannya yang sudah seratus tahun pada kalender 2008. Pada tahun itu tepat seabad ke-bangkitan Indonesia, jika titik waktu kita ukur dari la-

hirnya organ Boedi Oetomo. Pada momentum seabad itu coba diurai dan dicatat keseluruhan perjalanan manusia-manusia Indonesia dalam membangun kepribadiannya, merumuskan konsensus-konsensus politiknya, menata ekonomi dan kohesi sosialnya. Dan yang lebih jauh adalah bagaimana manusia-ma-nusia itu memahat kesadaran kolektifnya sebagai bangsa dan merumuskan tujuannya sebagai negara. Terutama sekali jejak lahirnya tokoh, organisasi pergerakan, pers, partai politik, pertumbuhan kota, intensitas pencarian bahasa, religiusitas, dan toleransi sosial.

Gugus yang dituju dari semua proses penulisan Kronik Ke-bangkitan Indonesia ini adalah merentangkan kembali ingatan perihal Indonesia dari perspektif yang lebih segar, optimistik, serta futuristik dari puluhan penulis muda Indonesia di bawah usia 25 tahun. Keseluruhan bilangan penulis itu bahu-membahu membuka kembali arsip dan rekaman-rekaman tertulis yang pernah dicatatkan oleh masa silam yang sekiranya bisa menyumbang dan sekaligus mengikat ingatan tentang manusia-manusia Indonesia dalam mengorganisasi kehidupannya dari hari ke hari, dari tanggal 1 hingga 30, dari Januari hingga Desember, dari 1908 hingga 2008, selama seabad.

Page 11: Book Lay out sample

1913-1917

Kronik ini, oleh karena itu, bisa dipahami sebagai upaya intens untuk menghadirkan riwayat Indonesia sebagai sebuah konti-nuasi yang tak pernah usai dari dimensi masa silam, masa kini, dan masa depan. Dari situ bisa terlihat bagaimana setiap peris-tiwa berhubungan satu sama lain, secara langsung atau tidak dan disadari atau tidak, dan lantas membentuk kolase peristiwa yang dari sana paras dan riwayat Indonesia bisa digambarkan, betapa pun kaburnya gambaran itu. Sebuah ikhtiar melawan lupa dari sebuah negeri yang disebut-sebut mengidap penyakit akut amnesia.

* * *

1913 Tahun ini adalah tahun ketika Indische Partij (PI) naik pentas dan sekaligus ambruk seiring de-

ngan jatuhnya putusan sebagai partai terlarang. Regeering Reg-lement (Peraturan Pemerintah) pasal 111 yang melarang kegiat-an organisasi yang bersifat politik telah memangsa IP. Larang-an ini seperti menabur api di dada pengelolanya. Maka pada medio tahun ini terbit artikel Soewardi Soerjaningrat berjudul “Als ik eens Nederlands was” (Seandainya Saya Orang Belan-da). Tulisan Soewardi itu merupakan kritik pedas kepada Peme-rintah Kolonial Hindia Belanda yang sedang bersiap-siap meng-adakan perayaan untuk memeringati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis. Kejatuhan IP justru tak berim-pak pada Sarekat Islam (SI) yang mulai membesar dan hidup di pelbagai kota di Jawa dan Sumatera. Cabang-cabang SI juga oleh Pemerintah Kolonial diberikan rechtpersoon (status badan hukum). Lalu tahun ini ditandai pula dengan munculnya pel-bagai perkumpulan “non-politik”, seperti Sino Japaneese Asso-ciation, Bong Jang Siauw Hak Tong di Tegal, Marde Pertjaja (Kristen), Katholieke Sociale Bond. Selain itu, kejadian-keja-dian sosial seperti kriminal turut terekam seperti civiel gezag-hebben (pejabat sipil) di Landak (Borneo) yang ditembak pen-jahat dari kolong rumah panggung tepat di bawah ranjang ti-dur. Atau tawuran antarsiswa sekolah berbeda bangsa di Pa-dang (Indische School versus Europeesche School). Ada seng-keta tanah di Pamanukan, Jawa Barat. Ada kerusuhan rasial antara Tionghoa dan SI yang merembet ke pelbagai kota seper-ti Tuban, Rembang, Cirebon, dan Solo. Dan sepanjang tahun ini diisi laporan kematian akibat pes yang mengamuk di Jawa Timur sampai-sampai akibat pes ini orang yang pulang naik

Page 12: Book Lay out sample

KRONIK KEBANGKITAN INDONESIA

haji harus diperiksa terlebih dahulu di Pulau Onrust sebelum pulang ke daerah masing-masing untuk mencegah komplikasi penyakit menular.

1914 Tahun ini adalah tahun represif bagi aktivis per-gerakan bersamaan dengan keluarnya pasal 66a

dan 66b seperti tercantum dalam staatblad (Lembar Negera) No. 205-206: aparat hukum akan menghukum siapa pun yang dianggap menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah Koloni-al Hindia Belanda. Dalih persdelict (Pelanggaran Pers) satu per satu menyeret ke bui jurnalis-jurnalis kritis seperti Mas Marco Kartodikromo yang di tahun ini juga membikin koran pam-flet Doenia Bergerak yang menjadi corong Inlandsche Journa-list Bond (IJB)— organisasi wartawan pribumi pertama-tama. Dalam suasana represi ini justru tumbuh duri-duri seperti usa-ha Hendricus Joshepus Franciscus Marie Sneevliet—tokoh komunis Belanda yang juga seorang jurnalis mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) di Surabaya. Se-lain rapat besar Boedi Oetomo di Semarang tentang sikap me-nyokong Pemerintah Belanda membentuk milisi Pribumi un-tuk Perang Eropa, tahun ini juga ditandai oleh meletupnya ti-tik-titik rusuh seperti Perkebunan Bajabang di Distrik Radja-mandala dan kerusuhan rasial antara suku dayak Kalimantan Barat melawan orang-orang Tionghoa. Di bidang kesehatan, selain amukan pes yang belum mereda di Jawa Timur, di Bata-via dihunjam kolera. Muncul juga penyakit sapi di Klepu dan Ungaran (Jawa Tengah).

191� Tahun ini Semaoen berjumpa dengan Sneevliet yang menjadi titik kisar sikap radikalismenya.

Juga muncul sosok Hadji Misbach di Kauman Solo yang mener-bitkan pers radikal Medan Moeslimin; di mana pada saat bersa-maan Mas Marco Kartodikromo terkena ranjau persdelict untuk dua artikelnya sekaligus. Ranjau pers itu turut menimpa redak-tur Selompret Hindia, Warna Warta. Tjipto Mangoenkosoemo pun tak luput dari ranjau delik pers lantaran brosurnya berjudul “Ik Beschuiding” (Saya Menuduh). Tahun ini juga muncul orga-nisasi Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) di Batavia yang menjadi cikal Jong Java yang dibentuk pada 1918. Sosrokardono turut mendirikan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB). Selain catatan ihwal bantuan 334 peti pakaian Hindia

Page 13: Book Lay out sample

10

1913-1917

sa dan masyarakat dalam melawan kealpaan yang berjejal-je-jal dan membangkrutkan martabatnya agar mereka mawas diri dari kesalahan masa lalu atau mengail inspirasi dari kebaikan-kebaikan yang disumbang kesilaman untuk masa depan.

“Onhoorbaar goeit de padi (tak terdengar tumbuhlah padi),” ka-ta Multatuli. Dan dalam semangat metafor itu pula para penulis muda ini mengerjakan program ini dalam sunyah yang tak ter-jangkau oleh deru dan sorak kereta kemajuan kecuali rasa perih diri ditelan dilindap sehabis-habisnya oleh data-data bisu di ga-nisa-ganisa buku tua dan sobekan koran lampau yang terarsip di mana kebisuan menjadi abadi.

Muhidin M dahlanKetua Riset dan Penulisan

Page 14: Book Lay out sample

11

Daftar IsI

Pembuka » �

1913 I Dian Andika WindaJanuari » 19Februari » 3�Maret » �1April » ��Mei » ��Juni » 89Juli » 103Agustus » 121September » 133Oktober » 143November » 1��Desember » 1��Daftar Rujukan » 1�8

Page 15: Book Lay out sample

12

1913-1917

1914 I Petrik MatanasiJanuari » 189Februari » 203Maret » 213April » 22�Mei » 23�Juni » 24�Juli » 2��Agustus » 2��September » 2��Oktober » 28�November » 29�Desember » 30�Daftar Rujukan » 31�

1915 I Muhammad Arief RahmatJanuari » 32�Februari » 339Maret » 3�1April » 3�3Mei » 3��Juni » 389Juli » 40�Agustus » 41�September » 429Oktober » 441November » 4�3Desember » 4�3Daftar Rujukan » 4�1

1916 I Oryza AditamaJanuari » 4��Februari » 489Maret » �03April » �1�Mei » �31Juni » �4�Juli » ���Agustus » ��3September » �8�Oktober » �9�

Page 16: Book Lay out sample

13

KRONIK KEBANGKITAN INDONESIA

November » �0�Desember » �23Daftar Rujukan » �33

1917 I Muhammad Arief RahmatJanuari » �41Februari » ��3Maret » ��3April » ���Mei » �91Juni » �0�Juli » �1�Agustus » �31September » �41Oktober » �49November » ��1Desember » ��1Daftar Rujukan » �80

akronIm Dan sIngkatan » �82Daftar IstIlah » �8�Daftar Pustaka » 802InDeks » 808Para keranI » 81�

Page 17: Book Lay out sample
Page 18: Book Lay out sample

kronIk kebangkItan

InDonesIa

1913Dian Andika Winda

Page 19: Book Lay out sample

20

Dewa Manggis VIII, Raja Kerajaan Gianyar, meletakkan ja-batannya sebagai Stedehouder dan digantikan putranya, Dewa Ngurah Agung, yang kemudian terkenal sebagai Ida Anak Agung Ngurah Agung (ayah dari Ida Anak Agung Gde Agung). Kemudian Dewa Manggis VIII meninggal dunia setahun setelah pensiun dari tahtanya. (IK, 4)

1 JanuarI 1913Oemar gelar Datuk Raden Mandank dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, Sumatera Barat. Mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Normal di Padang Panjang (1928-1932), kemudian menjadi guru di beberapa tempat di Sumatera Barat. Sesudah itu bekerja sebagai guru Muhammadiyah dan Sekolah Landschap di Medan (1936-1941). Kemudian kembali ke Sumatera Barat dan mengajar di beberapa tempat. Biarpun tidak jelas corak keislamannya, dia dapat dikategorikan dalam barisan pujangga kesusasteraan Islam,

Page 20: Book Lay out sample

21

KRONIK KEBANGKITAN INDONESIA

seperti Amir Hamzah, Rifai Ali, Hasjmy, Samadi dan lain-lain. Kumpulan sajaknya “Sebab Aku Terdiam...” bersem-boyankan firman Allah, “adakah kamu menyuruh manusia berbuat kebaikan dan kamu lupakan dirimu sendiri, pada-hal kamu membaca kitab; tiadakah kamu berakal?” (S:2:Al-Baqoroh:44). Karyanya yang telah dipublikasikan di an-taranya adalah: “Narumalina”, Balai Pustaka (1932), “Pan-tun Orang Muda”, Toko Buku (tak bernama), Medan 1939 dan “Sebab Aku Terdiam...”, Pustaka Kita, Medan 1939. Sajak-sajaknya tersebar di majalah Pandji Poestaka, Pu-djangga Baroe, Penindjauan, dan Pedoman Masjarakat. (JP, 199)

Perseteruan mengenai libur tahun baru di kalangan pekerja Tionghoa terjadi di beberapa daerah di Hindia Belanda. Mereka menyoal apakah mengikuti tahun baru Masehi ataukah tahun baru Cina. Contohnya adalah perselisihan yang terjadi di Pangkalan Brandan. Pegawai Tionghoa pa-da Bataafsche Petroleum Maatschappij diberi kesempatan libur selama 2 hari, yaitu tanggal 1 dan 2 Januari (tahun ba-ru Masehi); dengan catatan bahwa pada tahun baru Cina 1 Tjiagwe yang jatuh pada tanggal 6 Januari mereka harus bekerja seperti hari-hari biasa. Ini menimbulkan polemik di antara para pegawai Tionghoa. Sebagian dari mereka memilih libur pada tanggal 6 untuk memperingati tahun baru Cina. Sedangkan bagian yang lain memilih untuk me-ngikuti tahun masehi. Perusahaan milik orang Eropa tentu saja tidak mengenal libur pada 1 Tjiagwe. Kejadian serupa ini banyak terjadi. Di Solo terjadi pertentangan antara go-longan Tionghoa pro Tiongkok yang tetap mengacu pada tahun Cina dan golongan yang menginginkan mengikuti penanggalan Masehi. Sebagian masyarakat ikut meraya-kan tahun baru masehi dengan mengibarkan bendera Ke-rajaan Belanda untuk menghormati Ratu Belanda. Go-longan ini bertujuan untuk berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Sedangkan golongan lain menganggap hal tersebut sebagai pengkhianatan terhadap tanah air dan kebudayaan leluhur. Pertentangan semacam ini terja-di di beberapa tempat di Hindia Belanda seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya dan sebagainya. (Pernia-gaan, 8 Januari 1913)

Page 21: Book Lay out sample

22

1913

Pemerintah bersama Kasultanan Jogjakarta memulai pembangunan landbouwschool (sekolah pertanian) di Jogjakarta. Sekolah ini diperuntukkan bagi rakyat kebanyak-an. Pelajaran yang diajarkan setingkat dengan pelajaran di Sekolah Kelas 2 atau Sekolah Ongko Loro. Pendirian seko-lah ini merupakan inisiatif bersama antara Sri Sultan Ha-mengkubuwono VII dan Residen Jogjakarta. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Jogjakarta, uta-manya rakyat jelata. Pembangunan gedung sekolah dan pe-nyediaan peralatan menggunakan dana dari Sultanaatkos (uang kas Kasultanan) sebesar f. 10.000. Sedangkan pihak Gubernemen menyediakan guru yang berasal dari kalangan landbouwkundige (ahli pertanian), baik dari bangsa Eropa/Belanda maupun Bumiputera. Sekolah ini didirikan di da-erah yang bernama Kebonangan, Jogjakarta bagian selat-an. Kebonangan merupakan tanah khusus, penduduknya tidak dikenai pajak. Tetapi wajib membayar hasil bumi saja. Hal serupa juga dilakukan oleh Susuhunan di Kraton Surakarta. Sunan mengeluarkan dana sebesar f 30.000 untuk membiayai proyek ini. (Perniagaan, 4 Juni 1913)

2 JanuarI 1913Suratkabar Perniagaan hari ini mengabarkan bahwa di Betawi, perusahaan keretalistrik Bataviasche Electrische Trammaatschappij mulai mengoperasikan rute baru tram listrik jurusan Menteng-Gunung Sahari. Selain itu juga mu-lai melaksanakan pembangunan proyek baru jurusan Kra-mat-Meester Cornelis (Jatinegara). (Perniagaan, 2 Januari 1913)

Jumlah officier (opsir) Tionghoa di Bandung ditambah jum-lahnya, mengingat pada akhir tahun 1912 jumlah orang Ti-onghoa di Bandung mencapai angka lebih dari 1000 orang. (Perniagaan, 3 Januari 1913)

Polisi Jogjakarta melakukan pembongkaran kuburan untuk perluasaan Stasiun NIS (Nederlandsch Indische Spoor) Lempuyangan. Tanah tersebut akan digunakan sebagai gudang. Perusahaan keretapi NIS menyediakan biaya pemindahan kuburan kepada lebih dari 2000 ahli waris. (Djawi Kando, 4 Januari 1913)

Page 22: Book Lay out sample

23

KRONIK KEBANGKITAN INDONESIA

3 JanuarI 1913R. Hadiwinoto yang semula menjabat sebagai Patih Ngawi, diangkat menjadi Bupati Mojokerto menggantikan R.M. Adi-pati Ronggokoesoemodiningrat yang pensiun. R.M. Adipati Ronggokoesoemodiningrat sendiri mendapat penghargaan berupa payung kuning keemasan dari Residen Madiun atas jasa-jasanya. Ronggokoesoemodiningrat menjadi Bu-pati Mojokerto menggantikan bupati sebelumnya, Broto-diningrat, yang dipecat karena mengeluarkan kata-kata ke-ras kepada Residen Donner sehingga ia dibuang ke Padang. (Perniagaan, 5 Januari 1913)

4 JanuarI 1913Suratkabar Perniagaan hari ini mewartakan, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengambil alih pengelolaan keretapi jurusan Betawi-Bogor dari NISM (Nederlandsch Indisch Spoor Maatscappij). Keputusan ini telah dibicarakan dan diputuskan pada 27 September 1912 di Amsterdam. Peme-rintah diwakili seorang komisaris dan yang ditunjuk pihak NISM diwakili oleh seorang direktur. Disepakati pula bahwa pengambilalihan akan ditetapkan oleh perundangan yang akan disahkan paling telat pada 1 Juli 1913. Pemerintah akan membayarkan uang sebesar f 8.500.000 dalam jangka 8 tahun. Dalam rentang waktu tersebut NISM akan menda-pat bunga dari pemerintah sebesar f. 340.000 setiap tahun. (Perniagaan, 4 Januari 1913)

Suratkabar mingguan Hoa Pit berubah nama menjadi Hin-dia. Pemilihan nama tersebut untuk lebih mendekatkan Hoa Pit dengan masyarakat yang lebih luas dari pelbagai ras dan golongan. Demikian seperti yang diwartakan suratkabar Perniagaan hari ini. (Perniagaan, 4 Januari 1913)

Banjir hebat melanda Jember, Jawa Timur. Rumah pejabat administratur onderneming (perkebunan) Kalisolok ikut ter-endam air banjir. (Perniagaan, 8 Januari 1913)

Suratkabar Djawi Kando hari ini menurunkan berita tentang calon dokter perempuan Jawa. Seorang gadis Jawa telah diterima untuk menuntut ilmu di sekolah dokter STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).

Page 23: Book Lay out sample

A NEW THEORY OF EDUCATION REFORM IN INDONESIA:

GLOBALISATION AND RECONTEXTUALISATION IN THE POSTCOLONIAL CONDITION

ELLA YULAELAWATI

Page 24: Book Lay out sample

A NEW THEORY OF EDUCATION REFORM IN INDONESIA: GLOBALISATION AND RECONTEXTUALISATION IN THE POSTCOLONIAL CONDITION

ELLA YULAELAWATICopyright © NAGARA 2009

All rights reserved

Published byNAGARAJl Veteran I/25 Jakarta PusatTelp. 021-3840127email: [email protected]: www.nagaraonline.com

Printed byIBOEKOEJl Patehan Wetan 3, Alun-alun Selatan, Kreaton DI Yogyakartae-mail: [email protected]; [email protected]: www.indonesiabuku.com

First published in NAGARA April, 2009

National Library: Catalog in Publication (KDT)

A New Theory Of Education Reform In Indonesia: Globalisation And Recontextualisation In The Postcolonial Condition 2009/Ella Yulaelawati. – Jakarta Nagara, 2009 408 hlm.; 15 x 24 cm ISBN: 978-979-1436-17-5 1. Education I. Ella.

All right reserved. No part of this book may be used or reproduced in any manner whatsover without written permission from publisher.

Page 25: Book Lay out sample

I dedicate this thesis to Indonesian primary childrenthe future of the nation. I also wish to dedicate it to their teachers who are patient,

unrecognised, hardworking and an inspiration for this thesis. I pray that God the almighty will accept my humble endeavor.

Page 26: Book Lay out sample
Page 27: Book Lay out sample

DECLARATION

I hereby declare that my work in this thesis is original except those texts which have been explicitly acknowledged. I also declare that

this thesis has not been previously submitted for a degree at this or any other university or institution.

Ella Yulaelawati

Page 28: Book Lay out sample

TABLE OF CONTENTS

Declaration » 7Acknowledgment » 9Abstract » 13Table of Content » 14List of Figures » 20List of Tables » 23

Chapter 1 Biography of the Thesis: Relocating Identity » 25Chapter 2 Indonesian Education, Culture and Reform: An Historical Perspective » 39

2.1 Introduction » 392.2 Historical Perspective and the Context of Change » 402.3 The Tension between Decontextualisation and Recontextuali-

sation » 482.4 Education in the Traditional System » 49

2.4.1 Adat and Surivor Elements » 502.4.2 Hinduism and Feudalism » 512.4.3 Buddhism and Enlightenment » 522.4.4 Islam and Pondok Pesantren » 53

2.5 Education in the Colonial Era » 552.5.1 Colonial and Local Education Systems » 572.5.2 Colonial and Western Education Systems » 59

2.5.2.1 Differentiation » 59

Page 29: Book Lay out sample

2.5.2.1.1 Vernacular Primary School System » 602.5.2.1.2 Dutch-language Primary School System » 62

2.5.2.2 Discrimination » 682.5.3 Pesantren in the Colonial Era » 70

2.6 Present Education System » 752.7 Tension between Dominant Survivor Culture and Educational Reform » 792.8 Conclusion: Unresolved Tensions in Education Reform » 82

Chapter 3 Indonesian Culture and Identity in Postcolonial and Global Contexts: A Model for Change » 893.1 Introduction » 893.2 The Absence of Local Power in Postcolonial Theory » 903.3 Globalisation : The Tension between Global and Local Culture » 98

3.3.1 Supra-national Power » 1023.3.2 Cultural Products » 1033.3.3 Cultural Imperialism » 1043.3.4 Education » 1053.3.5 Tension between Local and Global Power » 1073.3.6 A Local Power View of Globalisation » 1103.3.7 Local Culture as Local Power » 112

3.4 Decontextualised Local Culture » 1143.5 Recontextualising Local Culture in New Times » 1313.6 Contemporary Indonesian Culture » 143

3.6.1 Bhinneka Tunggal Ika: A Shared Motto » 1453.6.2 Bahasa Indonesia: A Shared Language » 1463.6.3 Marriage: A Shared Institution and A Part of the Life

Cycle » 1483.6.4 ‘Our’ as A Way of Seeing Things » 151

3.7 Conclusion » 156Chapter 4 Researching Changes in Primary Education

Decontextualised Survey Results » 1574.1 Introduction » 1574.2 A Study of Education Change » 158

4.2.1 Background of the Study » 1584.2.1.1 Rationale » 1584.2.1.2 Problems » 1604.2.1.3 Research Questions » 1634.2.1.4 The Purpose of the Pilot Study » 163

4.2.2 Theoretical Framework » 1644.2.2.1 Educational Change » 1644.2.2.2 Centralised Management of Primary » 1664.2.2.3 Educational Reforms in Primary School » 169

TABLE OF CONTENTS i 15

Page 30: Book Lay out sample

16 i ELLA YULAELAWATI

4.2.2.4 Institutionalisation of Innovations and the View of Cultural Values » 1714.2.2.5 The Implementation of Curriculum Reform

Policy » 1734.2.2.5.1 Resource Pressure » 1744.2.2.5.2 Public Pressure » 1754.2.2.5.3 Pressure of Changing in Educational Policies » 1754.2.2.5.4 Pressures from Related institutions » 175

4.2.2.6 Educational Reform and Its Implementation » 176

4.2.3 Methodology » 1814.2.3.1 Approach » 1814.2.3.2 Sampling » 1834.2.3.3 Methods of Data Collection » 1844.2.3.4 Instrumentation » 184

4.2.3.4.1 Semi-structured Interviews » 1844.2.3.4.2 The Questionnaire » 184

4.2.3.5 Data Collection » 1854.2.3.6 Type of Data and Data Analyses » 186

4.2.4 Quantitative Results and Discussion » 1874.2.4.1 Results » 187

4.2.4.1.1 Participants’ Personal Details » 1874.2.4.1.1.1 Teachers » 1874.2.4.1.1.2 Principals » 1874.2.4.1.1.3 School Supervisors » 1884.2.4.1.1.4 Planners » 188

4.2.4.1.2 Understanding of Educational Change » 188

4.2.4.1.2.1 Teachers » 1884.2.4.1.2.2 Principals » 1894.2.4.1.2.3 School Staff » 1894.2.4.1.2.4 Administrators » 189

4.2.4.1.3 The lmplementation of Change » 1894.2.4.1.3.1 Teachers’ Perceptions » 1984.2.4.1.3.2 Principals’ Perceptions » 1994.2.4.1.3.3 School Staff s Perceptions » 1994.2.4.1.3.4 Administrators’ Perceptions » 200

4.2.4.2. Discussion » 2004.2.4.2.1 Gender Issues » 2004.2.4.2.2 In-service Training » 201

Page 31: Book Lay out sample

4.2.4.2.3 Understanding of Educational Change » 2024.2.4.2.4 The Implementation of Change » 203

4.2.5 Qualitative Findings » 2034.2.5.1 Overview of Research Sites » 204

4.2.5.1.1 Bali » 2044.2.5.1.2 Nusa Tenggara Barat (NTB) » 2064.2.5.1.3 Special Territory of Jakarta » 207

4.2.5.2 Overview of Research Sites » 2074.2.5.3 Classroom Practices » 208

4.2.5.3.1 A Science Lesson » 2134.3 Conclusion » 217

Chapter 5 Struggles For Local Heterocultures In Primary Education » 2195.1 Introduction » 2195.2 The Contexts: Changes in Local and Global Education » 220

5.2.1 Educational Changes and Economic Rationalism » 2255.2.2 Local Conditions Under Global Pressures » 227

5.3 Cultural Conditions of Educational Changes » 2305.3.1 Local Heterocultures » 2305.3.2 Educational Reform and Its Implementation » 233

5.4 Perception of Educational Changes: A Recontextualisation » 238

5.4.1 The Concept of Educational Change » 2395.4.2 Foundations of Educational Changes » 2415.4.3 Requirments for Productives Changes » 2435.4.4 Developing Innovative Attitudes » 2465.4.5 Perceptions of the National Curriculum » 2495.4.6 Perceptions of Local Curriculum Content » 2515.4.7 Designing Local Curriculum Content » 2545.4.8 Shared Perceptions of Educational Change » 254

5.4.8.1 The Purpose of Education Change » 2545.4.8.2 Key Factors for Reform Implementation » 2575.4.8.3 Cultural Source for Curriculum Development » 258

5.5 Conclusion » 259Chapter 6 The Cultural Politics Of Educational Leadership » 263

6.1 Introduction » 2636.2 The Cultural Conditions of Educational Leadership » 2636.3 Local LeadershiPractices » 269

6.3.1 Patron-client » 2706.3.2 Adat-value Driven » 2716.3.3 Community Figure, Subtle Leader » 2716.3.4 Management by Respect » 272

TABLE OF CONTENTS i 17

Page 32: Book Lay out sample
Page 33: Book Lay out sample

CHAPTER 1

BIOGRAPHY OF THE THESIS: RELOCATING IDENTITY

As well as being an ‘analysis’and a ‘reading of the world’, this the-sis is a self-reflection. Before my PhD research, I was trying to re-

build my identity, an identity that had been distracted by a curious and provocative hypothesis that there are many other truths in addi-tion to the truth of canonical published texts, truths which have been kept in silence because they have yet to find spaces for articulation, discussion and critique.

In the context of Indonesian education, I feel the pain of Indonesian teachers who obediently implement one reform after another in their efforts to educate our children, our next generation. I also appreciate their patience with administrators and policy makers. At the same time, I understand that huge efforts have been undertaken by central authori-ties, policy makers, curriculum writers and government bureaucrats, to improve Indonesian education. It is a difficult job to serve the needs of the country, with its scarce resources, vast population and the pres-sures, as well as the imperatives and dilemmas of globalisation.

I have seen and experienced first hand the problems and tensions when a ‘given’ new idea in education is implemented in Indonesia. In-deed, the rhetorical explanation of the problems inevitably refers to a discrepancy between ‘what should be’ and ‘what is’. The problems of curriculum, teacher competencies, school resources, textbooks and teacher welfare all have their own rhetorical spaces in both academic

Page 34: Book Lay out sample

26 i ELLA YULAELAWATI

and official discussion. However, the real practical problems consistent-ly identified by both our teachers or practitioners are far deeper than such discussions recognise. It is the problem of balancing and provid-ing spaces for diverse educational voices to speak. Until this is recog-nised as a central educational issue, suitable ways of solving education-al problems will not be set up in the system. A lot of practical endea-vours have been undertaken to solve the rhetorically framed problems; sadly though, as this thesis illustrates, real progress is slow.

I believe the roots of this slow progress have their basis in prob-lems of communication between the knower and the known. Let me explain further. From the point of view of the academics, the dominant discourse of the knower is based on the mastery of western texts. The known are the local agents who are supposed to put substantial theo-ries into practice. Ironically, the one who is expected to put theory in-to practice has lacked exposure to such theories in his or her training. However, s/he is expected to implement better practices from one re-form to another. There is here a problem of interaction when the know-er is a poor listener to the known’s local condition. In this situation, the knower tends to perceive the known as the Other. Good communi-cation does not occur when the theoretical knowledge is imposed on a practitioner in a one-sided, monologic manner.

Conversely, from the practitioner’s point of view there is a tendency to ‘other back’ the theoretician. “They know theory; they don’t know practice” is a statement which I have often heard in the field, not neces-sarily only at the grassroots school level, but also in upper level educa-tional administrative offices. These two contextual realities exist along a continuum from theoretician to practitioner. My role was to active-ly move along the continuum from one to another as an educational planner (curriculum writer) at national level. In this role−as a hybrid, shifting agent−I began to believe that there is no single truth about edu-cational reform.

I arrived at the Graduate School of Education, the University of Qu-eensland in August 1994. My first proposal was about “Problem Solving in Science Education”. I intended to extend my Master’s work in this area, carried out at the Institute of Education, University of London in 1991. This work was initiated as an action research in project Cianjur district, West Java, in the fiscal year of 1992/1993, and was financial-ly supported by the Office of Research and Development in Education and Culture (Balitbang Dikbud), a division of the Ministry of Education and Culture in Indonesia. In the fiscal year of 1993/1994 the research site was extended to six provinces. However, in 1995, my provision-al year as a PhD student, with my original proposal and research data stored on a disk, in 1995, I began to write a different story.

“Did I have cultural shock?” This is the question which I return to again and again. If not, why has it been so difficult to form my ideas?

Page 35: Book Lay out sample

CHAPTER 1 i 27

Is it a language barrier? If so, why it is so easy for me to continually second guess and critically appraise ‘what I intend to and what I do not want to write’. Initially, I was excited and motivated to know more about Australian Science Education. I observed my daughter’s year six science learning material from Ironside State School in Brisbane. Fur-ther, I interviewed a senior science curriculum official in The Queens-land Department of Education. I then interviewed a senior official in the National Academy of Science in Canberra and observed one prima-ry school in Canberra to get some data on Primary Investigations−The Australia Science Program for the whole school (Australian Academy of Science Newsleter, 1993). I attended one workshop on primary inves-tigation conducted by CSIRO and presented a paper at the conference of the Australian Science Teachers’ Association (CONASTA). I was on my way, or so I thought then, to a successful research program.

The data from interview and observation on Primary Investigations indicated that the effort of change in teaching science relies heavily on changing methods and approaches in the texts. This observation pro-vides an insight into the distinctive approaches of professional develop-ment taken by Australian and Indonesian teachers. Texts and materi-al are significantly important for Australian teacher professional deve-lopment. However, face-to-face social interaction is more significant for Indonesian teachers. My thesis was, then, and remains at its heart an investigation of the implementation of education change in Indone-sia. But it is an investigation that became a dynamic, at times unstable, work-in-progress−with theory and practice woven together to argue for new models and a new perspective of change.

My struggle to find a space of belonging in western academic discus-sion provided my first exposure to the idea that contexts are as impor-tant as texts. To my complete surprise, the exposure to dominant dis-courses and texts in academic training is not necessarily liberating but can be handicapping in as much as the canonical texts of western scho-larship may productively underestimate different ways of reading the world. The freedom to tell a different story across all boundaries of grand narrative and metatheory has been limited for us ‘overseas stu-dents’ who are engaged in academic writing. The conflict I faced was whether to participate in a western epistemology based on individual assertiveness within a particular monocultural discourse and academic style, or to experiment with a different ‘way of seeing’, drawn from my own cultural perception and concerns about communal stability. Rather than writing a thesis on science education reform, I decided to write a thesis that theorises and reconstructs Indonesian practices and con-texts of educational reform in primary education.

However, I am struggling to find legitimation for my academic expe-riment. There is a conflict between making ‘alien’ knowledge more vi-sible by annihilating my own cultural contexts, and localising the ap-

Page 36: Book Lay out sample

Aku dAn IbukuCatatan Bakti Sepekan Anak-anak Jambu Kediri

Page 37: Book Lay out sample

Aku dAn IbukuCatatan Bakti Sepekan anak-anak JamBu kediri

© I:bOEkOE

Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

diterbitkan olehI:bOEkOEJl Patehan Wetan 3, Alun-Alun Selatan, kec. kraton, JogjakartaTelp. 0274-372690; 08886854721surel: [email protected]: www.indonesiabuku.comfacebook: Indonesia buku

berkerja sama dengan Gelaranibuku

Pemimpin Program: Muhidin M dahlanEditor: Ahmad Ikhwan

Pemeriksa aksara: nurul Hidayah

Perpustakaan nasional: katalog dalam Terbitan (kdT)

Aku dan Ibuku: Catatan bakti Sepekan Anak-anak Jambu kediri Ahmad Ikhwan (ed.) – Yogyakarta I:bOEkOE, 2008 350 hlm.; 13 x 20 cm ISbn: 978-979-1436-20-5 1. Catatan Harian I. Ahmad.

1. Aku dan Ibuku. I. Judul.II. Ahmad Ikhwan (ed.).

814

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

LIMITEd EdITIOn COdE

Page 38: Book Lay out sample

MenggAlI yAng TerpendAM

Pada mulanya...

Ide menerbitkan catatan harian bersama ini bermula dari obrolan yang biasa dan tak terduga di ruang tamu sebuah

rumah yang baru selesai dibangun. Awalnya hanya obrolan ringan sambil menikmati sesisir pisang dan segelas teh hangat. bertegur sapa tentang kabar, sedikit canda tawa, sampai berbi-cara tentang taman baca. dari obrolan-obrolan ringan tersebut, hal terakhirlah yang sangat menarik dan menyita perhatian sa-ya; sebuah taman baca untuk masyarakat.

Sudah lama saya berangan dan membayangkan bilamana di desa tempat saya tinggal—desa Jambu, kayen kidul, kediri—berdiri sebuah taman baca. namun, selama itu pula saya ber-kubang dalam kebingungan, dari dan bagaimana harus memu-lainya. Hingga akhirnya obrolan tersebut memberikan saya pencerahan tentang ide taman baca dan terbitnya antologi ini. Sungguh tak merugi saya beranjang ke Jogjakarta waktu itu.

di Jambu, menulis dan membaca memang belum menjadi budaya. Jangankan membaca buku-buku pengetahuan atau kar-ya fiksi, koran saja hanya segelintir warga yang membaca dan membelinya. Walaupun itu hanya sekali semiggu—hari Sabtu yang banyak info lowongan kerjanya. Atau terkadang kalau se-dang iseng, membaca potongan berita dari sesobek koran bung-kus nasi pecel, lombok, tempe, atau terasi. balai desa pun tak menyediakan fasilitas koran tempel. Perpustakaan sekolah saja terkadang kondisinya tak keruan dan minim koleksi buku. Sela-in kondisi materialnya, faktor lain yang membuat budaya baca masih lemah tak lain berasal dari dalam diri. Waktu untuk kerja lebih utama dari sekadar membaca.

Walaupun budaya membaca dan menulis pengetahuan po-puler atau karya fiksi begitu lemah, namun bukan berarti buda-ya tersebut tidak ada sama sekali. Masyarakat di desa ini dan

Page 39: Book Lay out sample

AKU DAN IBUKU

diri seorang anak didik. Imajinasi dan proses kreatif yang ma-sih terpendam. Inilah tantangan seorang guru, selain sebagai pendidik dan fasilitator, dia juga harus mampu menggali dan memunculkan segala potensi yang terpendam itu dalam diri setiap peserta didiknya.

ucap syukur tak terhingga ke hadirat Allah SWT yang akhir-nya antologi ini terselesaikan juga. Walaupun batas waktu penye-lesaian buku ini jauh seperti yang telah direncanakan. karena selain sebagai karya dan koleksi taman baca, awalnya buku ini juga hendak dimaksudkan sebagai kado buat ibu mereka di hari kartini. Semua itu dikarenakan kesibukan diri dan kesulitan membagi waktu antara pekerjaan di sekolah maupun di luar se-kolah. dari karya ini saya bisa menyimpulkan, tugas menjadi editor memang tidak bisa dibilang mudah dan sepele. Semua itu memberikan pelajaran dan pengalaman baru yang sangat berharga bagi saya pribadi.

Terima kasih kepada mas Muhidin dan Mbak nurul atas diskusi kecil dan sambutannya yang ramah waktu saya an-jang ke Jogjakarta. Semua begitu berkesan dan memberikan saya banyak ide dan pencerahan. Juga sms yang bertubi-tubi tentang tenggat pengiriman pengantar buku antologi ini, yang saya rasakan sebagai “intimidasi” dan dorongan di tengah kesibukan kerja saya. Sekali lagi saya minta maaf baru mengi-rim pengantarnya ketika ISbn dan lay out telah siap. Terima kasih kepada tim Gelaran Ibuku yang telah bersedia memban-tu penerbitannya dan mengetik ulang naskah anak-anak yang rupa tulisannya tak keruan.

Terima kasih juga saya haturkan kepada drs. khoiri selaku kepala MTs Miftahul Huda Jambu atas dukungannya terhadap ide pembuatan taman baca dan buku antologi ini. Seluruh guru-guru di MTs Miftahul Huda. Serta manager Tigaa-net dan crew yang memberikan saya kesempatan libur di Jogja untuk mengedit naskah ini. Walaupun dengan izin cuti tersebut, saya masih digaji penuh; bahkan dinaikkan. Terima kasih, bung...

Tak lupa untuk kawan-kawan komunitas Cangkir kopi Pare tempat saya masih bertahan hingga hari ini untuk berkarya dan mencipta. Tanpa mereka mungkin otak saya menjadi mandul berimajinasi.

dan terakhir, saya acungkan dua jempol dan saya tumpah-kan haru biru kebahagiaan saya untuk seluruh siswa-siswi ke-

Page 40: Book Lay out sample

las IX angkatan 2008 – 2009 yang kini telah lulus semua dan melanjutkan sekolahnya ke tingkat aliyah, kujuruan, atau me-nengah atas. Meskipun beberapa di antaranya ada pula yang ti-dak bisa melanjutkan karena faktor biaya. Inilah karya kalian. karya yang akan mengabadi sepanjang zaman. karya yang kelak bisa kalian banggakan dan ceritakan kepada anak cucu.

Masa-masa mengajar dan belajar bersama mereka, membuat saya semakin mencintai pekerjaan saya sebagai seorang guru. Selamat membaca...

Tabik,Jambu, 10 Agustus 2009

AhmAd IkhwAn SuSIlo

Guru bahasa dan Sastra Indonesia kelas IX MTs Miftahul Huda Jambu

PeNgANtAr eDItor

Page 41: Book Lay out sample
Page 42: Book Lay out sample

Aku dAn nenekku“Nenekku yang suka marah-marah”

Olly Novitasari | 15 Tahun | Jambu | Kayen Kidul Kediri

Page 43: Book Lay out sample

AKU DAN NeNeKKU

16

jalan. Meskipun ibuku tidak di rumah tetapi aku tidak bosan untuk sms ibuku.

***Menjelang isya’ aku dijemput sama teman-teman untuk

les bahasa Indonesia dan nenekku sedang nonton TV sama adikku sambil bercanda. Aku muter-muter sama Ayu temanku dan aku pulang lagi untuk ganti kerudung soalnya kerudung-ku bau susunya adikku. nenekku masih nonton TV dan aku ditanya, “kenapa kok pulang lagi?” dan aku menjawab, “Aku mau ganti kerudung, nek”.

”O…ya sudah. Cepat berangkat ntar ketinggalan les.”Akupun berangkat les. Pukul 21.00 aku sudah pulang dari

les dan aku lihat nenek sedang tidur dan akupun beranjak ti-dur.

HArI ke III

Menjelang subuh nenekku sudah bangun untuk memasak nasi. Sebelum memasak nasi nenekku mancuci beras

terlebih dahulu dan memasaknya di luweng1. ketika adzan subuh terdengar nenekku bergegas mengambil air wudhu kemudian sholat subuh. Sehabis sholat subuh nenekku mema-sak sayur terong dan menggoreng telur. Jam 05.39 aku sudah bangun dan melihat nenekku sedang menimba air di sumur. Meskipun ada sanyo tetapi nenekku lebih suka menimba. La-lu membangunkan kakak keponakanku untuk menjemput tu-kang urut. karena aku disuruh nenek tidak mau lalu aku di-marahi.

Jam 08.20 aku akan berangkat les bahasa Inggris karena ha-ri ini libur dan aku pamitan sama nenekku. Sehabis pulang dari rumah guru-guru lain aku pulang ke rumah dan aku me-lihat nenekku ngomel-ngomel sama aku karena aku dianggap bohong. nenekku menyangka aku keluyuran, padahal nggak gitu. Trus aku bertengkar sama nenek aku. Aku pikir dari pa-da berantem terus lebih baik aku makan aja. Aku langsung beli gule menjelang magrib dan aku makan sendiri aja. Soalnya ka-

Pembakaran yang terbuat dari tanah liat1.

Page 44: Book Lay out sample

17

lau sedang marah aku makan banyak banget. dari pada dibikin pusing mending makan saja sampai nasi di dapur habis aku santap. Setelah makan banyak tapi belum juga kenyang bapak-ku mengajak aku beli ayam bakar dan ice cream. Huh…uenak… mantep...kenyang banget perutku ini.

Jam 19.20 nenekku sholat isya’ dan aku berangkat ke mas-jid buat istighosah yang diselenggarakan oleh sekolahku. Sebe-lum berangkat istighosah aku sempat bertengkar sama nenek, tapi santai aja karena perutku sudah kenyang.

Jam 21.45 ibuku beli pulsa 25.000 dan aku dapat bonus 10.000 uenaaak plus mantap coyyy. Jam 21.45 ibuku sedang makan Tomyam dan aku nggak ngerti makanan macam apa itu, ya? Menurutku tomyam itu rasanya nggak enak soalnya dari namanya saja bikin neg perutku aja he..he..he. Jam 22.00 aku dan nenek mau tidur neeh. dan ibuku jua mau tidur.

Met bo2 yach….

HArI ke IV

Pagi tadi nenekku bangun jam 04.30 lalu memasak nasi. Lain cerita dengan hari kemarin, karena kali ini aku bangun

pukul 06.13 dan aku mendengarkan MP3 sambil siap-siap berangkat. Eits...tapi tunggu dulu, sebelumnya aku mandi du-lu dong. Setelah mandi kakakku mengajak aku ngobrol pan-jang lebar dan uppppsss… sudah jam 07.00. Lalu aku berlari se-kencang mungkin sampai nenekku bilang, ”Oeeyy, Oll… kowe ra pamit, ora tak sangoni2” lalu aku menjawab ”I’m sorry be happy” lalu nenekku marah lagi. Yach, dari pada aku disem-prot lagi, mending aku berangkat sekolah dengan uang saku pas-pasan.

Ooza… sehabis pulang sekolah nenek memapak3 aku di de-pan pintu. Waduhh... mati aku! Aku kira nenekku marah lagi sama aku, eh…ternyata.

”Oll...ndang adus trus budalo nek Pare, jupuken duwetku nuk ATM4”. Trus aku jawab, ”Ok..cuyy”

Oeeyy,Oll…kamu tidak pamit, tidak aku kasih uang sakuMenjemput Oll…buruan mandi trus pergi ke Pare, tolong ambilkan uangku di ATM

2.

3.

4.

olly NovItAsArI

Page 45: Book Lay out sample

jejak majapahit

Prof. dr. sartono kartodirdjoProf. dr. r. soekmono

Prof. dr. ir. Parmono atmadiProf. dr. edi sedyawati

dan kawan-kawan

Page 46: Book Lay out sample

Jejak Majapahit

prof. dr. sartono kartodirdJo, dkkCopyright © naGara 2009

all rights reserved

Published bynaGarajl Veteran i/25 jakarta Pusattelp. 021-3840127email: [email protected]: www.nagaraonline.com

Printed byiBoekoejl Patehan wetan 3, alun-alun selatan, kreaton di yogyakartae-mail: [email protected]; [email protected]: www.indonesiabuku.com

first published in naGara april, 2009

national Library: Catalog in Publication (kdt)

jejak majapahit 2009/sartono kartodirdjo dkk. – jakarta nagara, 2009 408 hlm.; 15 x 24 cm isBn: 978-979-1436-17-5 1. education i. ella.

all right reserved. no part of this book may be used or reproduced in any manner whatsover without written permission from publisher.

Page 47: Book Lay out sample
Page 48: Book Lay out sample

peta majapahit

Page 49: Book Lay out sample

Dikutip dari:Slamet Mulyana

Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya

dalam abad xiv

Page 50: Book Lay out sample

daftar isi

Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma MangrvaProf. dr. edi sedyawati dan drs. Ph. soebroto, m.sc. » 40

Kondisi Geografis Keraton Majapahitdr. soetikno » 40

Masyarakat dan Seistem Politik MajapahitProf. dr. sartono kartodirdjo » 40

Sejarah Perkembangan Majapahitdrs. riboet darmosoetopo » 40

Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa MajapahitProf. dr. r. soekmono dan dra. inajati a.r. » 40

Agama dan Kepercayaan Masyarakat Majapahitdrs. kunsen, dra. sumijati a.s., dra. inajati a.r. » 40

Bunga Rampai Arsitektur dan Pola Kota Keraton MajapahitProf. dr. Pramono atmadi » 40

Pertanian Majapahit sebagai Puncak Evolusi Budayadrs. daud aris tanudirdjo, m.a. » 40

Page 51: Book Lay out sample

Sektor Pertanian sebagai Penyangga Kehidupan Perekonomian Majapahitdrs. Ph. soebroto, m. sc. » 40

Perdagangan pada Masa Majapahitdrs. slamet Pinardi dan drs. winston s.d. mambo » 40

Sektor Industri pada Masa Majapahitdrs. Ph. soebroto, m. sc. dan drs. slamet Pinardi » 40

Perpajakan pada Masa Majapahitdrs. djoko dwijanto » 40

Seni Majapahitdrs. kunsen, drs. timbul Haryono m. sc., dan drs. edi triharyantoro » 40

Kesusasteraan Zaman Majapahitdr. ignatius kuntara wiryamartana » 40

Majapahit dan Kedatangan Islam serta Prosesnyadrs. Uka tjandrasasmita » 40

Biodata Penulis » 40

Daftar Singkatan » 40

Glossary » 40

daftar isi i 9

Page 52: Book Lay out sample
Page 53: Book Lay out sample

KONDISI GEOGRAFIS keratON majapahit

DR. SuTikNo

Pengantar

telaah kondisi geografis masa lampau adalah hal yang ti dak mu-dah dan bahkan cenderung sulit. Hal tersebut diakibatkan oleh tidak tersedianya data sekunder atau catatan tertulis mengenai kondisi geografis secara lengkap dari masa lampau. Prasasti

merupakan peninggalan catatan masa lampau yang dapat dipercaya, tetapi pada umumnya isinya lebih menjurus ke bidang yang berkaitan dengan kesejarahan dan arkeologis, dan hanya sedikit menyinggung masalah geografis. meskipun sedikit informasi geografis yang tercan-tum dalam suatu prasasri, informasi tersebut dapat mempunyai arti yang sangat penting untuk menafsirkan kondisi geografis masa lam-pau. yang tidak tertulis, baik yang alami maupun yang artificial. Ber-dasarkan pada informasi yang diperoleh dari prasasti, tinggal an kepur-bakalaan yang alami dan artificial, maka dapat dibuat suatu intepre-tasi keadaan geografis masa lampau suatu daerah, dalam hal ini kera-ton majapahit.

interpretasi kondisi geografis masa lampau didasarkan atas bebera-pa konsep dasar sebagai berikut:

1. Proses fisikal dan hukum-hukum yang bekerja atau berlangsung saat sekarang juga telah bekerja sepanjang zaman geologi mes-kipun intensitasnya tidak perlu sama dengan sekarang.

2. Proses-proses geomorfik meninggalkan bekas yang nyata pada ben tang alam, dan setiap proses geomorfik akan berkembang se su ai dengan karakteristik bentuk lahannya.

Page 54: Book Lay out sample

16 i JeJak MaJapahit

3. sebagian besar dari topografi permukaan bumi tidak lebih tua dari zaman Pleistosen.

4. interpretasi yang tepat terhadap bentang alam saat sekarang adalah tidak mungkin tanpa memperhatikan pengaruh peruba-han geologi dan iklim pada zaman Pleistosen (thornbury, 1669: 16 – 33).

konsep dasar pertama dan kedua digunakan untuk menafsirkan kon disi geografis masa lampau berdasar proses yang sekarang sedang be kerja, dan bekas-bekas yang ditinggalkan proses masa lampau. misal-nya apabila di bagian selatan dari trowulan saat sekarang terjadi long-soran, pada masa lalu juga pernah terjadi longsoran. Longsoran masa la lu dapat ditelusuri dari bekas-bekas yang ditinggalkan misalnya dari to po grafi atau material yang dilongsorkan.

konsep dasar yang ketiga dan keempat digunakan untuk menginte-pre tasikan bahwa bentang alam yang terdapat di daerah keraton maja-pahit dan sekitarnya pada masa lampau adalah mirip dengan keadaan se karang. anggapan tersebut didasarkan atas peristiwa bahwa pada za-man Pleistosen di muka bumi ini terjadi perubahan secara besar-be-saran terhadap keadaan geologi dan iklimnya. Pada zaman Pleistosen tersebut proses tektonik dan vulkanik sangat aktif, sehinggga menyebab-kan perubahan muka bumi yang mendasar. setelah itu proses terse-but berhenti tetapi untuk beberapa daerah masih berlangsung dengan in ten si tas yang rendah. Perubahan terhadap permukaan bumi hing-

Foto No. 1Gunung Pananggunagan, sebagai salah satu Prototype gunungapi yang melatarbelakangi Majapahit (Rep.: land of Ancient Mystery, hlm. 61)

Page 55: Book Lay out sample

kondisi GeoGrafis keraton MaJapahit i 17

ga saat ini juga terus berlangsung, tetapi yang dominan adalah pros-es oksigen, kecuali pada daerah-daerah yang aktif vulkanik, seperti di se be lah selatan trowulan dan sekitarnya. Perubahan iklim yang dras-tis sejak zaman Pleistosen hingga saat sekarang tidak pernah terjadi, dan akhir-akhir ini saja ada isu perubahan iklim global sebagai akibat efek rumah kaca.

atas dasar pertimbangan konsep dasar tersebut maka dapat diinte-pretasikan bahwa kondisi geografis daerah kraton majapahit dan seki-tarnya pada masa lampau mirip dengan kondisi saat ini. sudah barang tentu ada perbedaannya, tetapi perbedaan tersebut masih dalam julat (range) yang dapat diterima. Perbedaan tersebut tentunya lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas gunungapi yang relatif terletak di sebelah se-latannya (gunung api anjasmoro, kelud dan Pananggungan).

anggapan bahawa daerah kraton majapahit dan sekitarnya mem-punyai kondisi geografis yang mirip dengan saat sekarang dapat didu-kung oleh informasi dari prasasti. dalam prasasti kamalagyan (mes-kipun umurnya lebih tua dari pada majapahit) disebutkan: bahwa kare-na seringnya sungai Brantas meluap airnya dan menggenangi daerah di bagian hilir maka drawya haji menjadi berkurang dan sawah-sawah hancur (Boechari, 1981 dalam soetjipto wirjosoeparto, 1958). informa-si dari prasasti tersebut mengandung arti bahwa banjir merupakan ke-jadian yang terjadi sejak dulu dan hingga sekarang masih terus terja-di. salah satu penyebab banjir adalah curah hujan dengan intensitas tinggi, dengan demikian dapat diintepretasikan bahwa kondisi iklim pada masa sebelum kerajaan majapahit adalah mirip dengan kondisi sekarang. di dalam kitab nagarakrtagama disebutkan bahwa paman raja Hayam wuruk, Bhre singhasari, tahu akan hal ikhwal di desa-de-sa di seluruh Pulau jawa, sehingga dipahami bahwa yang dihitung bu-kan hanya berbagai jenis tanah seperti sawah, pegagan, tegal, kebun, padang, hutan rawa-rawa, sungai, lembah dan bukit, tetapi juga jum-lah penduduk atau sekurang-kurangnya jumlah kepala keluarga (Boe-chari, 1982). informasi adanya sawah, sungai, lembah dan rawa-rawa di dalam kitab nagarakrtagama tersebut dapat diasosiasikan bahwa ik-lim pada waktu itu beriklim tropis basah, karena sungai, lembah, dan rawa dapat terjadi di daerah tropis basah seperti ekarang ini.

Uraian tersebut di atas merupakan pendekatan yang digunakan dalam membincangkan kondisi geografis kraton majapahit. kondisi geografis yang diuraikan dalam sub-sub bab ini adalah: iklim, geologi, geomorfologi, tata air dan penggunaan lahan. oleh karena tidak ter-dukung oleh data sekundar yang memadai, maka uraian kondisi ge-ografis ini bersifat kualitatif interpretatif.

iklimsecara garis besar telah disinggung di atas bahwa iklim pada masa

kerajaan majapahit diintepretasikan mirip dengan kondisi iklim saat