blok 17-tugas tutorial rabies
TRANSCRIPT
TUGAS PENGGANTI TUTORIAL
“RABIES”
OLEH :
Ika Niswatul Chamidah
102010101086
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
MARET 2013
I. PENDAHULUAN
Rabies atau juga dikenal sebagai Lyssa, Tollwut, Hydrophobia dan di
Indonesia dikenal dengan Anjing Gila adalah infeksi viral dan akut pada
susunan saraf ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir
dengan kematian.
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis (menular dari hewan ke
manusia) tertua yang pertama kali dikenal di Mesir dan Yunani Kuno sejak
tahun 2300 sebelum Masehi. Rabies ditemukan di sebagian besar dunia,
sedangkan negara-negara yang hingga kini bebas dari rabies adalah Australia,
Selandia Baru, Inggris, Belanda, Hawaii (Amerika Serikat) dan sejumlah
pulau-pulau terpencil di Pasifik.
Rabies di Indonesia sudah lama ditemukan dan hampir semua daerah
tertular virus. Rabies pertama kali ditemukan pada kerbau oleh Esser (1884),
anjing oleh Penning (1889), dan pada manusia oleh E.V.de Haan (1894) yang
ketiganya ditemukan di Jawa Barat.
Selanjutnya beberapa tahun kemudian kasus rabies ditemukan di Sumatera
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956),
Sumatera Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), Aceh
(1970), Jambi dan Yogyakarta (1971), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975),
Kalimantan Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983), Pulau Flores NTT
(1997), Pulau Ambon dan Pulau seram (2003).
Ressang (1983), melaporkan kejadian rabies dari tahun 1977-1978 tercatat
142 kasus rabies pada manusia. Sedangkan selama kurun waktu 1979-1983
jumlah kasus rabies pada manusia mencapai 298 kasus dengan rata-rata 60
kasus per tahun.
Situasi Rabies di Indonesia sampai 19 September 2011 dilaporkan
52.503 kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa
(kematian Rabies) sebanyak 104 orang dan telah dilakukan pemberian
VAR (Vaksin Anti Rabies) sebanyak 46.051 (87,71%) (Depkes RI,
2011).
Kementerian Pertanian melaporkan hingga saat ini tercatat 24 provinsi
di Indonesia masih masuk dalam kategori daerah endemis rabies. Tahun
2011 terdapat 9 provinsi yang dinyatakan bebas endemis rabies. 9 provinsi
tersebut adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan DKI Jakarta,
NTB, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat. Sehingga
sampai dengan tahun 2011, sudah ada sembilan provinsi di Indonesia yang
bebas rabies dan tinggal 24 provinsi yang masih diusahakan untuk bebas
rabies tahun 2020.
Bali dan Nusa Tenggara Timur merupakan kasus tertinggi di Indonesia.
Kasus rabies di Indonesia mulai menurun per tahunnya. Hingga 2012 ini
kasusnya mencapai 50.000 kasus saja. lima tahun, Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) mencatat terdapat 44.981 kasus gigitan hewan penular rabies,
dimana 40.552 kasus di antaranya mendapat vaksin anti rabies dan sebanyak
51 orang positif rabies.
Di Bali, kasus suspek Rabies pada manusia dalam 5 bulan terakhir pada
tahun 2012 sebanyak 3 orang, masing-masing di Kabupaten Karangasem
sebanyak 2 orang dan 1 di Kabupaten Klungkung.
Angka absolut jumlah kasus rabies di Indonesia setiap tahun lebih
sedikit bila dibandingkan dengan negara lain seperti India, Filipina, Vietnam,
dan China. India, terjadi 25.000 kasus/tahun, China, 2.500/tahun, Philipina
200-300 kasus/tahun, Vietnam 9.000 kasus/tahun. Indonesia rata-rata 125
kasus/tahun. Tetapi walaupun jumlah kasusnya sedikit, kematian manusia tak
dapat diganti dengan apapun. Penyakit ini harus mendapat perhatian besar,
karena dapat berkembang cepat bila tidak dilakukan pengendalian.
II. TANDA-TANDA RABIES
Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi
peradangan otak (encephalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia.
Pada manusia keinginan untuk menyerang orang lain pada umumnya tidak ada.
Masa inkubasi rabies pada anjing dan kucing berkisar antara 10 sampai
8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda dan babi berkisar antara 1 sampai 3 bulan.
Tanda klinis pada hewan pemamah biak dapat dilibat seperti gelisah,
gugup, liar dan adanya rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki
belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua gejala klinis
terlihat biasanya temperatur normal, anorexia, eskpresi wajah berubah dari
biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesiftk bagi hewan yang
menderita rabies.
Pada manusia gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari
setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih
dari 1 tahun. Masa inkubasi biasanya paling pendek pada orang yang digigit
pada kepala, tempat yang tertutup celana pendek, atau bila gigitan terdapat di
banyak tempat.Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada
tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya
dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak
badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak
terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot tenggorokan
dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi akibat
adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan.
Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan
ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka
penyakit ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air).
III. CARA PENULARAN RABIES
Masa inkubasi pada anjing dan kucing kurang lebih dua minggu (10 hari
sampai 8 minggu). Pada manusia 2 sampai 3 minggu, yang paling lama satu
tahun tergantung pada jumlah virus yang masuk melalui luka gigitan, dalam
atau tidaknya luka, luka tunggal atau banyak dan dekat atau tidaknya luka
dengan susunan syaraf pusat.
Virus ditularkan tenrtama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa
carnivora adalah hewan yang paling utama (efektif) sebagai penyebar rabies
antara hewan atau manusia.
Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan ditempat
suntikan selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf
perifer dengan kecepatan 3mm per jam (dean dkk, 1963) kemudian virus
berkembang biak di sel- sel syaraf terutama di hypocampus, sel purkinye
dan kelenjar ludah akan terus infektif selama hewan sakit.
IV. PENCEGAHAN RABIES
Pencegahan rabies pada hewan adalah tanggung jawab Dinas Peternakan
dan dalam pelaksanaannya akan bekerjasama dengan semua isntansi. Agar
pencegahan dan pemberantasan lebih efektif, maka disusun pedoman khusus
berlandaskan pada surat keputusan bersama antara menteri Kesehatan, Menteri
pertanian dan Menteri Dalam Negeri tentang pencegahan dan penanggulangan
rabies.
Adapun langkah-langkah pencegahan rabies dapat dilihat dibawah ini:
- Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing,
kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
- Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daerah bebas rabies.
- Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-
daerah bebas rabies.
- Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
- Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing
yang telah divaksinasi.
- Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan
jalan pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
- Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita
rabies selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama
observasi atau yang dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk
dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk diagnosa.
- Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan
sebangsanya yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
- Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies
sekurang- kurangnya 1 meter.
V. TINDAKAN TERHADAP ORANG YANG DIGIGIT ATAU
DIJILAT OLEH HEWAN YANG TERSANGKA ATAU MENDERITA
RABIES.
1. Apabila terdapat infonnasi ada orang yang digigit anjing atan dijilat oleh
hewan yang tersangka rabies harus segera ke Puskesmas terdekat guna
mendapatkan perawatan luka akibat gigitan.
2. Apabila dianggap perlu orang yang digigit atau dijilat hewan yang
tersangka rabies harus segera dikirim ke Unit Kesehatan yang mempunyai
fasilitas pengobatan anti rabies.
3. Apabila hewan yang dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan
pemeriksaan klinis maupun laboratories dari Dinas Peternakan, maka
orang digigit atau dijilat harus segera mendapat pengobatan khusus di unit
Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan anti rabies.
4. Apabila hewan yang menggigit itu tidak dapat ditangkap, atau tidak dapat
diobservasi atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka orang
digigit atan dijilat tersebut harus segera dikirim ke unit Kesehatan yang
mempunyai fasilitas anti rabies.
VI. TINDAKAN TERHADAP HEWAN TERSANGKA ATAU
MENDERITA RABIES
Apabila ada informasi hewan tersangka rabies atau menderita rabies,
maka Dinas Peternakan harus melakukan penangkapan atau membunuh hewan
tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila setelah dilakukan
observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup,
maka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat
dimusnahkan apabila tidak ada pemilikinya.
VIII. VAKSINASI RABIES DAN MANFAATNYA TERHADAP
ANJING, KUCING DAN KERA.
Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh
Victor Galtier. Selanjutnya pada tahun 1884 vaksin tersebut dikembangkan oleh
Louis Pastuer membuat vaksin rabies menggunakan virus yang berasal dari
sumsum tulang belakang anjing yang terkena rabies kemudian dilintaskan
pada otak kelinci dan diatenuasikan dengan pemberian KOH.
Pada tahun 1993 Kliger dan Bernkopf berhasil membiakan virus rabies
pada telur ayam bertunas. Cara pembiakan virus tersebut dipakai oleh
Koprowski dan Cox untuk membuat vaksin rabies aktif strain flury HEP pada
tahun 1955.
Dengan berkembangnya cara pengembangbiakan virus dengan biakan
sel, Naguchi pada tahun 1913 dan Levaditi pada tahun 1914 berhasil
membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel.
Pada tahun 1958 Kissling membiakan virus rabies CVS pada biakan sel
ginjal anak hamster. Selanjutnya pada tahun 1963 Kissling dan Reese berhasil
membuat vaksin rabies inaktif menggunakan virus rabies yang dibiakan pada
sel ginjal anak hanlster (BHK).
Dengan metoda pembuatan vaksin dengan biakan sel ini dapat
dihasilkan titer virus yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biakan virus
memakai otak hewan yang ditulari virus rabies.
Disamping itu metode biakan sel dapat menghasilkan virus dengan
jumlah yang lebih banyak untuk produksi vaksin rabies dengan skala besar.
Pengendalian penyakit rabies dapat dilakukan antara lain dengan jalan
mengusahakan agar hewan yang peka terhadap serangan rabies kebal terhadap
serangan virus rabies. Oleh karena itu sebagian besar populasi hewan harus
dikebalkan melalui vaksinasi. Untuk mencapai keberhasilan vaksinasi
dibutuhkan vaksin yang berkualitas baik, tersedia dalam jumlah cukup dan tepat
waktu pendistribusiannya.
VIII. KESIMPULAN
Rabies adalah penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia melalui
gigitan anjing, kucing, atau kera yang positif rabies. Virus rabies banyak
terdapat dalam air liur penderita rabies. Mengingat bahaya rabies terhadap
kesehatan dan ketentraman hidup masyarakat, maka usaha pengendalian
penyakit berupa pencegaban dapat dilakukan dengan jalan menvaksinasi hewan
peliharaan yaitu anjing, kucing dan kera setiap setahun sekali.
Akibat dari gigitan yang positif rabies apabila orang yang digigit anjing
tersebut tidak divaksinasi sebanyak 14 kali didaerah pusar, maka dapat
menyebabkan gejala rabies. Penderita rabies sekali gejala klinis timbul
biasanya diakhiri dengan kematian. Terhadap bahaya rabies termasuk
diatas ini akan mengakibatkan timbulnya rasa cemas atan rasa takut baik
terhadap orang yang digigit maupun masyarakat pada umumnya.
Untuk mencegah penyakit rabies perlu diberi vaksin pada semua
anjing, kucing dan kera biasanya dalam hal ini perlu kesadaran dari
pemilik hewan peliharaan untuk mengvaksinasi secara teratur dan
berkesinambungan, sedangkan dari pihak Dinas Peternakan perlu memberi
penyuluhan tentang rabies melalui media masa. Mengingat bahaya dan
keganasan rabies terhadap kesehatan dan ketentraman hidup masyarakat, maka
usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan perlu dilaksanakan seinsentif mungkin. Untuk melaksanakan
hal tersebut perlu adanya pedoman umum bagi para petugas Departemen
Kesehatan, Departemen Pertanian dan Departemen Dalam Negeri.
DAFTAR PUSTAKA
British Veterinary Association, Handbook on Animal Diseases in the
Tropics, vet, Assoc. London, 1976.
Hubbert, W.T. W.F. Mc. Culloch dan P.R. Schnurrenberger, Diseases
Transmitted
From Animal to Man, ed. 6 C.C. Thomas, Springfield, 1975.
Pencegahan dan Pemberantasan Rabies., Dirjen Peternakan Departemen
Pertanian,
1982.
Ressang A.A. Patologi Khusus Veteriner. IFAD Project. Denpasar Bali, 1984.
Schnurrenberger. P.R. dan William T. Hubbert. Ikhtisar Zoonosis.
Penerbit ITB
Bandung, 1991.