blefarokonjungtivitis os ec hzo

51
Long Case Blefarokonjungtivitis OS ec Herpes Zoster Oftalmikus + Pterigium Primer Grade 2 OS Oleh: BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2014 1

Upload: muhammad-febriandi

Post on 20-Jul-2016

137 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Long Case

Blefarokonjungtivitis OS ec Herpes Zoster

Oftalmikus + Pterigium Primer Grade 2 OS

Oleh:

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR.MOHAMMAD HOESIN

PALEMBANG

2014

1

Page 2: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

HALAMAN PENGESAHAN

Long Case

Blefarokonjungtivitis OS ec Herpes Zoster

Oftalmikus + Pterigium Primer Grade 2 OS

Oleh:

Oleh:

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti

kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 4

Agustus – 8 September 2014

Palembang, Agustus 2014

Pembimbing

2

Page 3: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI

Nama : Wagito bin Kartotarono

Umur : 42 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Desa Sri Katon, Kec. Buay Madan Timur, OKU Timur

Agama : Islam

Pekerjaan : Guru

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 12 Agustus 2014

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Kelopak mata kiri semakin membangkak disertai mata merah sejak 1

hari yang lalu.

Riwayat Perjalanan Penyakit:

± 3 hari yang lalu, pasien mengeluh lepuh kemerahan pada puncak hidung.

Lepuh terasa nyeri (+) seperti terbakar (+), gatal (-), dan pasien mengeluh demam.

Pasien berobat ke Puskesmas dan diberi obat amoksisilin, natrium diklofenat, dan

ranitidin. Setelah minum obat pada malam hari, pasien mengeluh lepuh kemerahan

pada puncak hidung meluas ke ke dahi dan pipi kiri, nyeri (+) seperti terbakar (+),

gatal (-), demam (+). Pasien juga mengeluh kelopak mata kiri membengkak, warna

kemerahan (+), kelopak mata sulit membuka (+). Pasien mengeluh mata merah (+)

merata, berair (+), kotoran mata (-), pandangan kabur (-), rasa seperti mengganjal di

mata (+).

± 1 hari yang lalu, pasien mengeluh kelopak mata kiri semakin membengkak

disertai mata merah. Kelopak mata sulit dibuka (+), nyeri (+) pada kelopak mata,

mata merah merata, mata berair (+), kotoran mata (+), pandangan kabur (-), rasa

mengganjal di mata (+). Pasien juga mengeluh timbul lepuh baru di dahi, pipi, dan

kelopak mata kiri. Nyeri (+) seperti terbakar, gatal (-), demam (-). Pasien berobat ke

RSKMM dan dirujuk ke RSMH.

3

Page 4: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat alergi obat: obat golongan penisilin.

- Riwayat penyakit cacar (-)

- Riwayat darah tinggi (-)

- Riwayat kencing manis (-)

- Riwayat menggunakan kacamata (-)

- Riwayat trauma pada mata (-)

- Riwayat keluhan yang sama di lingkungan sekitar rumah

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalikus

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,8 °C

Status Oftalmologis

OD OS

Visus VOD: 6/9 ph 6/7,5 VOS: 6/9 ph 6/7,5

TIO TIOD: 18,5 mmHg TIOS: tidak dilakukan

Kedudukan

Bola Mata

Ortoforia

4

Page 5: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gerakan Bola

Mata

Segmen

Anterior

OD OS

Palpebra Tenang Tampak bula dan vesikel di dahi yang

meluas ke palpebra superior, nyeri (+)

Konjungtiva Tenang Injeksi konjungtiva (+), sekret (+),

tampak jaringan fibrovaskuler di nasal

dengan bentuk segitiga dengan puncak 1

mm dari tepi limbus

Kornea Jernih, FT (-) Jernih, FT (-)

Bilik Mata

Depan

Sedang Sedang

Iris Gambaran Baik Gambaran baik

Pupil Bulat, Sentral, Reflek Cahaya (+),

Ø 3 mm

Bulat, Sentral, Reflek Cahaya (+), Ø 3

mm

Lensa Jernih Jernih

Segmen

Posterior

OD OS

Refleks

Fundus

OD (+) OD (+)

Papil Bulat, batas tegas, merah (N), C/D

0,3, A/V 2:3

Tidak dilakukan

Makula Refleks Fovea (+) N Tidak dilakukan

Retina Kontur pembuluh darah baik Tidak dilakukan

5

Page 6: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gambar 1. Kondisi kedua mata pasien saat kunjungan ke Poli Mata 12 Agustus 2014

Gambar 2. Kondisi mata kiri pasien saat diperiksa

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium

– Pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck.

– Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan

mikroskop elektron.

– Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen.

6

Page 7: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

– Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

V. DIAGNOSIS BANDING

– Blefarokonjungtivitis OS e.c Herpes Zoster Oftalmikus + Pterigium Primer

grade 2.

– Blefarokonjungtivitis OS e.c Herpes Simplek + Pterigium Primer grade 2.

VI. DIAGNOSIS KERJA

– Blefarokonjungtivitis OS e.c Herpes Zoster Oftalmikus + Pterigium Primer

grade 2.

VII. PENATALAKSANAAN

– Informed consent

– Bed rest

– Hervis EO 5x1 OS

– Asiklovir tab 800 mg 5x1

– Konsul ke bagian kulit dan kelamin

– Kontrol ulang 3 hari

VIII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

IX. EDUKASI

Jelaskan kepada pasien proses penyembuhan harus dengan bed rest total

sekaligus menghindari penularan ke lingkungan sekitar.

Jangan menyentuh, menggosok dan menekan bola mata

Higienitas untuk mencegah infeksi

Jelaskan kepada pasien cara pemakaian obat salep mata dan teratur meminum

obat.

Kompres dingin untuk mengurangi nyeri

7

Page 8: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Persarafan Nervus Trigeminus

Gambar 1. Persarafan regio kranialis

Saraf otak kelima atau nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan

sensorik. Serabut motoriknya mempersarafi muskulus masseter, temporalis,

pterigoideus internus dan eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior

dari muskulus digastrikus. Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri,

suhu, raba, dan perasaan proprioseptif. Daerah yang diliputi oleh nervus trigeminus

adalah ialah wajah, selaput lendir lidah, rongga mulut, serta gusi dan rongga hidung.

Perjalanan dari masing-masing cabang perifer nervus trigeminus adalah sebagai

berikut:3

1. Cabang pertama (cabang oftalmik)

Cabang ini mengantarkan impuls protopatik dari bola mata serta ruang

orbita, kulit dahi, sampai verteks. Impuls sekretomotorik dihantarkannya ke glandula

lakrimalis. Jika dibagi secara sistematik, cabang pertama dibagi menjadi 3 kelompok

serabut, yaitu:

- Serabut-serabut dari dahi yang menyusun nervus prontalis, yang memasuki

ruang orbita melalui foramen supraorbita.

8

3

Page 9: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

- Serabut-serabut dari bola mata (kornea, iris dan corpus siliaris) dan rongga

hidung yang bergabung menjadi seberkas saraf yang dikenal dengan nervus

nasosiliaris.

- Berkas saraf yang menuju ke glandula lakrimalis, yang dikenal sebagai nervus

lakrimaris.

Saraf-saraf yang terletak di belakang fisura orbitalis superior tersebut

mendekati satu sama lain menjadi seberkas syaraf yang dinamakan cabang oftalmikus

nervi trigemini. Cabang tersebut menembus dura untuk melanjutkan perjalanannya di

dalam dinding sinus kavernosus, kemudian keluar melalui dinding prosesus

klinoideus posterior dan berakhir di ganglion gasseri.3

2. Cabang kedua (cabang maksilaris)

Cabang ini tersusun oleh serabut-serabut somatosensorik yang mengantarkan

impuls protopatik dari wajah bagian pipi, kelopak mata bawah, bibir atas, hidung, dan

sebagian rongga hidung, gigi geligi rahang atas, ruang nasofaring, sinus maksilaris,

pala tumole, dan atap rongga mulut.

Serabut-serabut yang berasal dari kulit wajah, mukosa, rongga hidung,

selaput lendir, dan gigi geligi rahang atas, tergabung dalam nervus infraorbitalis, yang

dikenal sebagai cabang maksilar nervus V. Setelah keluar dari dinding tersebut,

serabut-serabut ini berakhir di dalam ganglion gasseri. Selain serabut-serabut tersebut

di atas, cabang N.V. menerima juga serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura

fosa kranii media dan fosa pterigopalatinum.3

3. Cabang ketiga (cabang mandibular)

Cabang ini tersusun oleh serabut somatomotorik, sensorik, dan serabut

sekremotorik. Serabut-serabut somatomotorik, setelah muncul pada permukaan lateral

ponds, menggabungkan diri pada berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang

mandibular ganglion gasseri.3

Jika cabang mandibula dilukis menurut komponen eferennya, maka ia keluar

dari ruang intrakranial melalui foramen ovale, dan tiba di fosa infra temperalis (disitu

nervus meningiamedia menggabungkan diri pada pangkal cabang mandibular, yang

juga mempersarafi meningien) kemudian keluar dari ruang intrakranial melalui

foramen spinosum dan tergabung dalam cabang mandibular ekstrakranial. Di depan

9

Page 10: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

fosa infratemporalis, cabang mandibular bercabang dua, yaitu cabang posterior,

merupakan pangkal dari serabut-serabut aferen yang berasal dari kulit daun telinga

(nervus aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah,

2/3 bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis, dan gusi rahang bawah

(nervus dentalis inferior), dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot

omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus. Cabang anterior, terdiri dari

serabut aferen, yang menghantarkan impuls dari kulit dan mukosa pipi bagian bawah,

dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot temporalis, maseter, pterigoideus, dan

tensor timpani.1,2

Melalui juluran aferen sel-sel ganglion gasseri, impuls raba dan pesan

disampaikan ke nukleus sensibilis prinsipalis, sedangkan impuls nyeri dan suhu

disampaikan ke nukleus spinalis nervus trigemini. Serabut-serabut tersebut besinapsis

sepanjang wilayah inti tersebut dan dikenal sebagai traktus spinalis nervi trigemini.

Serabut-serabut tersebut bersinapsis menuruti penataan sigmentasi. Serabut yang

menghantarkan impuls dari kawasan cabang mandibular terkumpul di bagian dosal

dari kawasan maksilar ditengah-tengah, sedangkan serabut dari kawasan oftalmik

berkonvergen dibagian ventral nukleus spinalis nervi trigemini. Nukleus sensibilis

prinsipalis dan nukleus spinalis N.V.sebenarnya bukan dua inti yang tersendiri,

melainkan satu kontinuitas dari sel-sel yang menerima impuls dari ganglion gasseri.

Lain halnya dengan inti mesensefalik N.V. yang khusus menerima impuls

proprioseptif dan berdiri sendiri pada tingkat menensefalon.

Lintasan trigeminal selanjutnya dari nukleus sinsibilis dan nukleus spinalis

nervus V menjulurkan serabut-serabut ke nukleus ventroposteromedialis talami

(VPM) sisi kontralateral, juga serabut-serabut dari nukleus mesensefalik nervus V

yang mengakhiri perjalannya di inti VPM, namun tidak hanya secara kontralateral

tetapi sebagian ipsilateral. Lintasan yang menghubungkan inti sensibilitas insifalis

serta nukleus spinalis nervus V dengan nukleus VPM talami dinamakan jaras

trigeminotalamik ventral. Jaras yang menghubungkan nukleus mensensefalik N.V.

dengan nukleus VPM talami kedua sisi dinamakan jaras trigemino talamik dorsal.

Disamping serabut somatosensorik dan somatomotorik, serabut

sekretomotorik yang bersifat parasimpatik ikut menyusun nervus trigeminus. Melalui

ganglion sfenopalatinum, optikum, dan mandibulare, impuls sekretomotorik

dihantarkan kepada berbagai kelenjar parasimpatetik di kepala. Sekresi lendir rongga

hidung, uvula, palatumole dan sekresi gandula lakrimalis diurus melalui ganglion

10

Page 11: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

sfenopalatinum. Dengan perantara ganglion optikum, aktivitas glandula parotis diatur

dan melalui ganglion submandibularis, aktivitas glandula sub-mandibularis dan

lingualis dapat diaktivasi.1,2,3

Gambar 2. Lintasan nervus trigeminus

B. Manifestasi Gangguan Nervus Trigeminus

Perasaan nyeri atau raba pada wajah dapat diperiksa secara objektif dengan

melakukan pemeriksaan refleks kornea. Pada perangsangan terhadap kornea, kelopak

mata langsung menutup. Busur nervus kornea tersebut terdiri dari serabut sensorik

yang terhubung ke nukleus nervus fasialis. Jika serabut sensorik N.V terputus, maka

refleks kornea terputus. Tindakan pemeriksaan refleks kornea sering juga digunakan

untuk menentukan derajat kesadaran, selain dari suatu tindakan untuk melengkapi

pemeriksaan sensibilitas wajah.4

Fungsi motorik dari nervus V dapat diselidiki dengan memeriksa fungsi

otot-otot yang dipersarafinya. Otot maseter dan temporalis bekerja untuk mengangkat

rahang bawah. Dengan menyuruh menggitgit sekeras-kerasnya dengan gigi geligi

sendiri, maka konsistensi dan bentuk otot-otot tersebut dapat dipalpasi. Konsistensi

11

Page 12: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

yang lunak dan atrofi dapat dikorelasikan dengan paralisis cabang mandibular N.V.

Otot pterigoideus internus dan eksternus dapat diperiksa pada waktu rahang bawah

digerakkan ke samping. Dengan menahan gerakan ke samping itu, kekuatan otot

pterigoideus kontralateralis dapat dinilai. Jika salah satu otot-otot tersebut lumpuh

secara unilateral, rahang bawah akan menyimpang ke arah oto pterogoideus yang

lumpuh pada waktu mulut dibuka.5

Kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi N.V. dapat diungkapkan dengan cara

membangkitkan refleks maseter. Refleks tersebut dapat dibangkitkan dengan cara

sebagai berikut, ketokan wajah pada waktu mulut setengah terbuka, akan langsung

dijawab dengan gerakan ke atas dari rahang bawah.

Keutuhan serabut-serabut sensorik N.V. dapat diperiksa dengan jalan

merangsang permukaan wajah dengan sepucuk kapas (perasaan raba), tusukan jarum

(perasaan nyeri), atau dengan botol berisi air panas atau air dingin. Kawasan cabang

oftalmik, maksilar, dan mandibular bisa terganggu secara sendiri ataupun secarar

tergabung, dan tiap pola defisit sensorik pada wajah mempunyai arti diagnostik topik. 1,2

C. Herpes Zoster Opthalmicus

1. Definisi

Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus

varisela zoster dan dapat terjadi bagian tubuh manapun. Manifestasi herpes zoster

seringkali mengikuti pola dermatom. Menurut lokasi lesinya, herpes zoster

dibagi menjadi herpes zoster opthalmicus, fascialis, brachialis, thorakalis, lumbalis ,

dan sacralis.3

Herpes zoster opthalmicus (HZO) merupakan bentuk herpes zoster dimana

virus menyerang atau teraktifasi dari ganglion gasseri, menyebabkan rasa sakit dan

erupsi pada kulit sepanjang divisi oftalmik dari syaraf kranial kelima (nervus

trigeminus), mungkin juga ada keterlibatan dari saraf kranial ketiga. Herpes zoster

opthalmicus melibatkan jaringan yang diinervasi oleh divisi oftalmik dari nervus

trigeminus dan menyumbang 10-25% dari semua kasus herpes zoster. 4,5,6

12

Page 13: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

2. EpidemiologiInfeksi Varisela zoster virus dapat memberikan risiko menderita herpes

zoster pada seseorang. Di Amerika, lebih dari 90% populasi dewasa terinfeksi virus

ini dan sekitar 100% pada populasi berusia 60 tahun. Laporan tahunan menyebutkan

bahwa kasus varisela-zoster bervariasi dari 1,5-3,4 kasus per 1000 individu. Herpes

zoster opthalmicus terjadi sebanyak 10-25% kasus dari seluruh kasus herpes zoster.

Sekurangnya setengah dari seluruh pasien mengalami komplikasi akibat herpes zoster

opthalmicus. Risiko komplikasi opthalmicus tidak ada hubungannya dengan usia,

seks, ataupun beratnya lesi.2

Insidensi penyakit ini mulai meningkat pada dekade keenam kehidupan, di

antara orang yang berusia lebih dari 75 tahun, kasus penyakit ini melampaui 10 kasus

per 1000 individu. Herpes zoster oftalmikus terjadi sekitar 10-25 persen pada semua

kasus herpes zoster. Meskipun herpes zoster oftalmikus lebih sering menghasilkan

lesi dermatom yang klasik, sebagian kecil pasien hanya menunjukkan manifestasi

pada matanya. Keterlibatan okular secara langsung tidak berhubungan dengan umur,

jenis kelamin, dan tingkat keparahan penyakit.7

3. Etiologi dan Faktor Risiko

Varicela-zoster virus (VZV) adalah anggota dari keluarga Herpesviridae,

yang merupakan agen etiologi dari varicella (cacar air), yang merupakan infeksi

primernya dan herpes zoster merupakan reaktivasinya.8

Golongan herpes virus, disebut juga herpesviridae, merupakan virus DNA

intranukleus besar yang mempunyai kecenderungan kuat untuk menimbulkan infeksi

laten dan rekuren. Famili herpes viridae terdiri atas 3 genus, yaitu Alphaviridae

(terdiri dari virus herpes simplex tipe 1 dan 2, serta virus varicella-zoster),

Betaherpesvirinae (terdiri dari cytomegalovirus), dan Gammaherpesvirinae (terdiri

atas virus Epstein-Barr).9

Virion herpesvirus berbentuk sferik berukuran 150-200 nm dengan kapsid

berbentuk ikosahedral (bidang 20) yang besarnya 100 nm. Kapsid terdiri dari 162

kapsomer yang mempunyai gambaran sebagai prisma memanjang berlubang

berbentuk hexagonal (150 buah hexon) dan pentagonal (12 buah penton) dengan

sumbu lubang di tengah-tengahnya. Kapsid ikosahedral yang berdiameter 100 nm

memperlihatkan suatu simetri rangkap 5:3:2. 9

13

Page 14: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Virion merupakan partikel yang mempunyai peplos (selubung) yang terdiri

dari lipoprotein dengan diameter keseluruhan 150-200 nm; patikel yang tidak

terselubung (naked atau non envelope) yang berdiameter 100 nm juga sering terlihat,

bahkan pada preparat irisan yang tipis dalam kapsid luar didapatkan dua lapisan

lipoprotein tambahan (multiple shell).9

Asam nukleat herpesvirus merupakan suatu DNA berantai ganda (double

stranded) dengan berat molekul sebesar 100 juta Dalton dan mempunyai kandungan

guanindan sitosin yang tinggi. Nukleokapsid dari pelbagai jenis herpesvirus

mempunyai struktur antigen golongan yang bersamaan dan dapat dibuktikan dengan

teknik imuno-difusi atau reaksi pengikatan komplemen.

Faktor risiko untuk yang menyebabkan teraktivasinya atau reaktivasi herpes

zoster berhubungan dengan status imunitas yang diperantarai sel (cell mediated

immunity) untuk VZV. Berbagai faktor predisposisi dapat menjelaskan peningkatan

insiden herpes zoster adalah sebagai berikut: 8,9

VZV-specific immunity dan sel-mediasi immunitas, yang umumnya

menurun dengan bertambahnya umur khususnya dekade 5 keatas

Imunosupresi (misalnya, infeksi HIV, AIDS)

Terapi imunosupresif.

Infeksi primer pada saat di rahim atau pada masa infansi, ketika respon imun

normal menurun

Herpes zoster lebih sering mengenai orang dengan penurunan imunitas

seluler seperti pada usia lanjut, pasien dengan keganasan, pasien yang mendapat

kemoterapi atau terapi steroid jangka panjang dan orang dengan HIV. Namun, herpes

zoster dapat terjadi pada semua usia.8

4. Patofisiologi

Varicela zoster virus (VZV) masuk ke tubuh melalui mukosa saluran napas

atas dan orofaring, berkembang biak serta disebarkan ke berbagai organ terutama kulit

dan lapisan mukosa. Bila virus tersebut masuk untuk pertama kali ke tubuh disebut

infeksi primer dengan manifestasi klinis pada kulit dan mukosa sebagai varisela

(cacar air). Setelah infeksi primer selesai, virus tidak hilang tuntas dari tubuh

melainkan masuk ke ujung saraf sensoris dan menuju ke ganglion saraf tepi serta

bersembunyi (fase dorman) untuk beberapa tahun. Pada saat ini orang yang pernah

14

Page 15: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

mengalami cacar air menjadi kebal terhadap virus tersebut sehingga bila terinfeksi

virus varisela zoster tidak menyebabkan cacar air lagi.10

Kondisi selanjutnya tergantung pada pertahanan atau kekebalan tubuh

penderita. Virus dapat menjadi aktif kembali apabila sistem imun tubuh penderita

menurun. Virus akan berkembang biak dan merusak sehingga terjadi peradangan di

ganglion sensoris, menyebar dari saraf tepi tempat persembunyiannya menuju kulit.

Sebelum menunjukkan gejala di kulit akan mengalami fase prodromal, selanjutnya

akan bermanifestasi ke kulit sesuai dermatom berupa bercak kemerahan pada daerah

sesuai persarafan kulit atau mukosa yang terkena virus. Beberapa hari kemudian (1-2

hari) muncul vesikel dan pustul tersusun berkelompok yang akan pecah menjadi

krusta. Pada mukosa biasanya memberikan gambaran sariawan atau bercak

keputihan.11

Pada herpes zoster opthalmicus, setelah infeksi primer, VZV memasuki

ganglia akar dorsal (trigeminal = herpes zoster oftalmicus, geniculate = herpes zoster

oticus), dimana ia menetap secara laten untuk seumur hidup dari individual tersebut.

ketika teraktifasi dan keluar dari ganglion trigeminal, VZV yang teraktifasi tersebut

berjalan menuju cabang pertama dari nervus trigeminal yakni cabang oftalmikus yang

kemudian menuju ke nervus nasosiliari. Cabang ini terbagi menjadi serabut-serabut

saraf yang menginervasi permukaan dari bola mata dan kulit yang ada di sekitar

hidung sampai ke kelopak mata. Proses ini biasanya membutuhkan waktu 3-4 hari

agar parikel dari virus mencapai ujung dari saraf (nerve ending). Bersamaan dengan

proses perjalanan virus, terjadi inflamasi di dalam dan sekitar saraf yang dilalui

sehingga menyebabkan kerusakan pada mata itu sendiri dan/atau struktur

disekitarnya.12

Frekuensi keterlibatan secara dermatologi dari herpes zoster mirip dengan

distribusi sentripetal dari lesi varicella yang pertama. Pola ini mungkin

menggambarkan bahwa latensi timbul dari penyebaran secara kontagius dari virus

(ketika seseorang menderita varicella/ cacar air) dari sel kulit yang terinfeksi berlanjut

secara asending ke ujung saraf sensori ganglia. Hal ini juga memberikan kesan

bahwa ganglia juga dapat terinfeksi secara hematogen selama fase viremia dari

varicella dan frekuensi keterlibatan dermatom di herpes zoster mencerminkan ganglia

yang paling sering terekspose oleh stimulus reaktivasi. Pada pasien imunokompeten,

antibodi spesifik (imunoglobulin G, M, dan A) tampil lebih cepat dan mencapai titer

yang lebih tinggi selama reaktivasi (herpes zoster) dari pada saat infeksi primer.12,13

15

Page 16: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gambar 3. Distribusi cabang pertama nervus trigeminus

Munculnya ruam kulit karena herpes zoster bertepatan dengan proliferasi

masal sel T spesifik VZV . produksi Interferon-alfa muncul bersamaan dengan

resolusi herpes zoster. Dengan begitu, pasien memiliki kekebalan yang kuat dan lama

yang diperantarai respon imunitas yang diperantarai sel untuk VZV (cell mediated

immune respon ).13

5. Manifestasi Klinis

Gejala prodromal herpes zoster berupa rasa sakit dan parestesi pada

dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi.

Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita

(terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi. Gambaran yang

paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral. Jarang

erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit

yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai dengan eritema

makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula

yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari

kemudian lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi dua

sampai tiga minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua.

Pada anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit

segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap walaupun krustanya sudah

menghilang.14

16

Page 17: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gambar 4. Erupsi sepanjang dermatom nervus trigeminus. Herpes zoster ophthalmicus with Hutchinson sign. Image courtesy of C. Stephen Foster, MD,

Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi

virus secara langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis. Komplikasi

yang paling umum dari herpes zoster ke okuli adalah inflamasi korneal, beberapa

vesikel kecil yang tumbuh di korneal epitelium dan hal tersebut diikuti dengan

bengkaknya stroma kornea. Selain itu, suplai saraf yang terganggu di kornea

sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan kornea

berkembang menjadi keratitis dengan erosi epitelial yang berbentuk pungtat

(Neuroparalitik keratitis). 15

Gambar 5. defek epitel karena infeksi sekunder virus varicella-zoster.Image courtesy of C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute,

Harvard Medical School.

17

Page 18: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Terdapat tiga fase klinis dalam herpes zoster opthalmicus yaitu akut, kronis

dan relaps, dengan manifestasi herpes zoster keratitis. Fase akut sendiri dibagi

menjadi:14

- Keratitis epitelial Akut, muncul kurang lebih 2 hari dari gejala awal.

Karakteristiknya ditemukan dendrit yang kecil dan halus atau lesi stelate.

- Numular keratitis, biasanya muncul 10 hari sejak munculnya gejala.

Karakteristiknya ditandai dengan granula halus multipel dan dikelilingi oleh

halo.

- Disiform keratitis, muncul kurang lebih 3 minggu sejak gejala awal

- Neutropic keratitis

- Mucous Plak keratitis

Gambar Patogenesis Keratitis Zoster

Keratitis Herpes zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada

keratitis seperti nyeri, mata merah dan dapat meyebabkan penurunan visus. Herpes

zoster keratitis bermanifest dalam bentuk klinis yaitu: 14,15,16

18

Virus Varicella Zoster

Paparan pertama

Varicella Keratitis Zoster

Inaktif (dorman)

Reaktivasi

N. Opthalmicus

N. Nasociliary

Vesikel di kornea

Keratitis herpes zoster

Page 19: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Keratitis epithelial akut

Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan

sembuh secara spontan beberapa hari kemudian. Ditandai dengan adanya lesi yang

dendritik, kecil dan halus(pseudodendrit) yang positif jika di tes dengan fluoresen

atau rose Bengal.15,16

Gambar 6. Lesi epitelial dendritik pada herpes zoster opthalmicus

Keratitis nummular

Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut, biasanya sepuluh

hari setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple granular

infiltrat pada stroma anterior dikelilingi oleh “halo of stromal haze” pada daerah yang

sebelumnya terkena punctat epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi ini hanya bersifat

sementara, tetapi dapat pula meninggalkan jaringan parut yang samar-samar.Lesi

memberi respon pada pemberian steroid tapi dapat “recurrence” jika pemberian

dihentikan terlalu cepat.15,16

Disciform keratitis

Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya berkembang 3-4

bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului oleh keratitis stroma akut epitel

atau anterior keratitis stroma. Pada pemeriksaan akan tampak disk shaped, well

defined, disertai edema stromal difus tanpa disertai vaskularisasi. Pada tahap ini akan

tampak jelas edema pada kornea dan inflamasi pada bilik mata depan. Edema

disciformik ini dapat mengakibatkan jaringan parut, neovaskularisai atau kadang

ditemukan adanya deposisi lemak.15,16

19

Page 20: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gambar 7. Keratitis nummularis pada herpes zoster opthalmicus

Gambar 8. Tipe keratitis zoster:A, Punctate epithelial keratitis. B, Microdendritic

epithelial ulcer. C, Nummular keratitis. D, Disciform keratitis

Neurotropik Keratitis

Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa disertai

dengan adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi, maka

proses epitelisasi akan sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi

sekunder pada mata.16

20

Page 21: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Gambar 9. Ulkus kornea dengan pemberian fluorescein

Image courtesy of C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

6. Diagnosis

Riwayat penyakit

Pasien-pasien dengan herpes zoster sering melaporkan adanya riwayat

cacar air. Dalam beberapa kasus, terdapatnya kondisi immunokompromise pernah

dicatat. Gejala prodormal dari herpes zoster yaitu demam, malaise, sakit kepala,

dysesthesia yang terjadi 1-4 hari sebelum perkembangan lesi kulit (ruam). Sakit

prodromal biasanya terbatas pada distribusi dermatomal yang sama. Ruam, yang pada

awalnya vesikuler, secara bertahap menjadi pustular dan kemudian krusta kira-kira

selama periode 7-10 hari. Serupa dengan cacar air, ketika sudah terbentuk krusta lesi

tidak lagi bersifat infeksius. 17

Jaringan parut dan hipopigmentasi atau hiperpigmentasi dapat bertahan untuk jangka

waktu lama, daerah lesi yang terinfeksi dan mengalami perubahan bentuk dapat

menyebabkan terbentuknya luka ( atau jaringan parut ) yang dalam.

Untuk gejala herpes zoster opthalmicus, perlu ditanyakan hal-hal sebagai

berikut:5,14,17

- lesi akut pada bola mata berkembang dalam 3 minggu ruam. Lesi ini dapat

sembuh dengan cepat dan sempurna, atau akan dapat berkembang menjadi

kronis selama bertahun-tahun.

- Rekurensi merupakan fitur karakteristik herpes zoster oftalmikus. Relaps

dapat terjadi selambat-lambatnya 10 tahun setelah onset.

21

Page 22: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

- Gejala herpes zoster oftalmikus dapat termasuk rasa sakit pada mata, mata

merah (biasanya unilateral), penurunan penglihatan, ruam kulit atau kelopak

mata disertai rasa sakit, demam, malaise, dan robek.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:6,10,17

- Exanthem, yang merupakan kelompok vesikel, biasanya

melibatkan 1, tapi terkadang sampai 3 dermatom yang berdekatan. Vesikel

menjadi pustular, dan kadang-kadang hemoragik, dengan evolusi menjadi krusta

dalam 7-10 hari.

- Ruam vesikuler, melibatkan divisi oftalmik dari saraf

trigeminal. krusta dimulai pada hari kelima - keenam.

- Tanda hutchinson, yang merupakan salah satu indikator

prognostik herpes zoster ophtalmicus, yakni terdapatnya lesi herpes zoster pada

puncak, sisi atau pangkal dari hidung. Tanda hutchinson terlihat pada gambar

dibawah. Daerah Ini adalah area yang diinervasi oleh saraf etmoidalis anterior

cabang dari saraf nasosiliaris. Karena nervus nasosiliari juga menginervasi kornea

lesi kulit seperti itu juga dapat menyebabkan keterlibatan okular yang berat.

Gambar 10. Hutchinson signImage courtesy of C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute,

Harvard Medical School.

22

Page 23: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

7. Pemeriksaan Penunjang

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu

menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula

pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes

serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang

mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,

hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan

mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara

imunofluoresensi. Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan

diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan

penunjang antara lain: 14,18

- Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan

mikroskop elektron

- Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen

- Tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.

8. Diagnosis Banding

Keratitis herpes simplek

Keratitis herpes simplex merupakan radang kornea yang disebabkan oleh

infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Penyakit ini dapat merupakan

infeksi primer dan bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat

epitelial dan ringan. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi lakrimasi,

fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur (tergantung lokasi dan luasnya

lesi). Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel

karena adanya hipestesi atau insensibilitas kornea.5,17,18

Blefaritis herpes simplek

Radang pada tepi kelopak mata, bersifat ringan dengan terbentuknya krusta

kuning basah pada tepi bulu mata sehingga kedua kelopak mata lengket.18

23

Page 24: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

9. Penatalaksanaan

Terapi Sistemik

Obat antivirus oral

Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi

timbulnya vesikel, menghentikan perkembangna virus, dan mengurangi kejadian serta

komplikasi lebih lanjut. Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera setelah

timbulnya ruam, namun hal ini tidak berpengaruh pada post herpetik neuralgia.

Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis 800 mg, 5 kali sehari selama 10

hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10 hari, famciclovir,

500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam sejak timbulnya

kemerahan.18,19,20

Analgesik.

Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan

sehingga harus diberikan pengobatan dengan kombinasi analgesik seperti asam

mefenamat dengan paracetamol/pentazocin/petidin (ketika sangat berat ).20

Steroid sistemik

Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan penyakit

pada post herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada lansia harus

dipertimbangkan. Steroid pada umumnya digunakan untuk menangani komplikasi

dari kasus neurologis seperti kelumpuhan nervus okulomotorius dan neuritis optik.

Sampai saat ini, pemakaian steroid sistemik masih kontroversial.19,20

Terapi Lokal untuk Mata

1. Untuk keratitis zoster19,20

a. Tetes mata steroid 4 kali sehari.

b. Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate

atau salep mata atropin

c. Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.

2. Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.18

3. Untuk glaukoma sekunder 20

a. Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5%

b. Acetazolamide oral 250mg diberikan 4 kali sehari.

24

Page 25: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

4. Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpez zoster, dilakukan

Tarsorrhaphy lateral.19,20

5. Kerusakan epitel yang menetap, digunakan:19,20

a. Tetes air mata buatan

b. Soft contact lens bandage

6. Keratoplasty 20

Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster

dengan jaringan parut yang tebal. Namun hal ini beresiko tinggi.

10. Prognosis

Prognosis penyakit pada umumnya baik bergantung pada tindakan

perawatan. Tingkat kesembuhan penyakit ini umunya tinggi pada dewasa dan anak-

anak dengan perawatan secara dini. Prognosis penyakit menjadi baik karena

pemberian asiklovir yg dapat mencegah komplikasi ke mata sampai ke arah

penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motorik. Selain itu, bengkak dan

merah pada mata dapat hilang, namun pada kulit dapat menimbulkan makula

hiperpigmentasi atau sikatrik.16

Pengobatan antiviral IV seharusnya diadministrasi seperti yang telah

disebutkan dalam pengobatan di atas. Prognosa juga ditentukan dari waktu pemberian

antiviral yang sebaiknya diberikan 72 jam pertama setelah onset. Pasien yang dirawat

jalan seharusnya mempunyai tindak lanjut yang adekuat untuk penanganan pada

keratitis HZO. Pemeriksaan ulang setelah maksimum 1 minggu haruslah dijadualkan

pada stadium awal. Pengobatan dengan menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan

dan diteruskan seperti di atas.15

11. Komplikasi

Dalam herpes zoster oftalmikus, komplikasi yang spesifik dapat ditekankan

pada kerusakan struktur okular yang bermanifestasi pada berbagai macam penyakit

mata yang dapat mengarah kepada kehilangan penglihatan secara permanen.

Kerusakan struktur yang sering terjadi ialah:15,20

Berhubungan dengan perubahan inflamasi (bentuk infiltrasi, misalnya,

keratitis, atau bentuk vasculitis, misalnya, episkleritis/scleritis, iritis, papillitis

iskemik, vaskulitis orbital).

25

Page 26: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Kerusakan saraf (misalnya, keratitis neurotropik, beberapa kelumpuhan

motor/saraf okular, neuralgia) dan bekas luka jaringan (misalnya, deformitas

dari kelopak, neuralgia, lipid keratopati). sindrom Ramsay Hunt (zoster yang

melibatkan saraf kranial V, IX, dan X) biasanya menyebabkan gejala yang

lebih parah dari pada palsy Bell. Dalam banyak penelitian , hanya 10-22% dari

individu dengan kelumpuhan wajah yang berat sembuh sempurna. Namun,

dalam satu laporan, 66% dari pasien dengan kelumpuhan tidak lengkap telah

sembuh sempurna.

Infeksi bakteri sekunder, biasanya streptokokus atau stafilokokus, dapat terjadi

di lokasi ruam. dapat menyebabkan luka yang dalam sehingga meninggalkan

bekas. Infeksi tersebut dapat dihindari dengan menjaga kebersihan dengan

baik dan dengan mencegah garukan, yang dapat menyebabkan pelepasan

krusta dan gangguan perbaikan jaringan.

Nuralgia postherpetik (rasa sakit yang berlangsung selama lebih dari 1 bulan

setelah resolusi dari ruam vesikuler) sering terjadi dan seringkali menjadi

komplikasi herpes zoster yang paling mengganggu. Ini sering terjadi pada

pasien yang berumur lebih dari 50 tahun.

26

Page 27: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Herpes zoster opthalmicus (HZO) merupakan bentuk herpes zoster di mana virus menyerang atau teraktifasi dari ganglion gasseri, menyebabkan rasa sakit dan erupsi pada kulit sepanjang divisi oftalmik dari saraf kranial kelima (nervus trigeminus)

2. Etiologi dari HZO adalah virus golongan herpes virus disebut juga herpesviridae, yang merupakan virus DNA intranukleus besar yang mempunyai kecenderungan kuat untuk menimbulkan infeksi laten dan rekuren pada hal ini berasal dari genus alphaviridae, dimana jika terdapat faktor risiko seperti immukompromise maka akan menyebabkan teraktivasinya atau reaktivasi herpes zoster dari ganglion gasseri.

3. Pada anamnesis dapat ditemukan adanya penurunan visus, mata merah dan nyeri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ruam vesikuler melibatkan divisi oftalmik dari saraf trigeminal. Krusta dimulai pada hari kelima – keenam dan ditemukannya indikator prognostik HZO yakni tanda hutchinson, dimana terdapatnya lesi HZ pada puncak, sisi, atau pangkal dari hidung.. Daerah ini adalah area yang diinervasi oleh saraf etmoidalis anterior cabang dari saraf nasosiliaris. Karena nervus nasosiliari juga menginervasi kornea, lesi kulit seperti itu juga dapat menyebabkan keterlibatan okular yang berat.

4. Perwatan medik pada HZO terdiri dari agen antiviral sistemik, kortikosteroid, dan pengontrol rasa sakit yang adekuat.

5. Rekurensi merupakan fitur karakteristik herpes zoster oftalmikus. Relaps dapat terjadi selambat-lambatnya 10 tahun setelah onset.

B. Saran

Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat perlu diperhatikan

oleh para tenaga kesehatan untuk meminimalkan komplikasi yang dapat terjadi dari

herpes zoster opthalmica.

27

Page 28: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan D, Ashbury. Ophtalmology Umum 17th ed. Jakarta: EGC, 2010.

Halaman : 131-135

2. Crick R.P, Khaw P.T., A Texbook of Clinical Ophthalmology Third ed.

Singapore: World Scientic Publising, 2003. Page : 171, 330

3. James W.D, Berger T.G., Elston D.M., Andrews’ Disease of The Skin, Clinical

Dermatology, 10th ed, British, Saunders Elsevier, 2006, p: 379-384

4. Kanski, Jack J. Clinical Ophtalmology A Systemathic Approach Sixth ed.

London : Elsevier, 2007. Page : 266-270

5. Khurana, A K. Comprehensive Ophtalmology Fourth ed. India: 2007.

Page:103-106

6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI, 1998. Halaman :1-

13, 150-151.

7. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ.

Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatrick’s : Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology, 6th ed. United State of America : The McGrow – Hill

Company, 2009, p: 837-844

8. Thomas SL, Hall AJ. What does epidemiology tell us about risk factors for

herpes zoster?. Lancet Infect Dis 2004;4(1):26-33.

9. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PAller AS, Leffell DJ.

Varicella and Herpes Zoster, In: Fitzpatrick’s : Dermatology in General

Medicine. 7th Edition. United State of America : The McGrow – Hill

Company, 2008, p: 1885-1898

10. Yanoff , M, Jay, Duker S. Ophtalmology third ed. London : Elsevier, 2009.

11. Hall, Anthony JH. Herpes Zoster Opthalmicus. American Uveitis Society.

2003

12. Catron, Thomas, Gene Hern. Herpes Zoster Opthalmicus. West J Emerg Med.

2008 August; 9(3): 174–176.

13. Liesegang TJ. Herpes Zoster Ophthalmicus. Ophthalmology 2008;115:S3-

S12.

14. Shaikh S, Ta CN. Evaluation and Management of Herpes Zoster

Ophthalmicus. Am Fam Physician. 2002;66:1723–1730.

28

Page 29: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

15. Ragozzino MW, Melton LJ, 3d, Kurland LT, Chu CP, Perry HO. Population-

based study of herpes zoster and its sequelae. Medicine. 2002;61:310–316.

16. Sanjay, Huang, Lavanya. Herpes Zoster Ophthalmicus. Curr Treat Options

Neurol. 2011 Feb;13(1):79-91.

17. Zaal MJ, Völker-Dieben HJ, D’Amaro J. Prognostic Value of Hutchinson’s

Sign in Acute Herpes Zoster Ophthalmicus. Graefes Arch Clin Exp

Ophthalmol. 2003;241:187–191.

18. Harding SP, Lipton JR, Wells JC. Natural History of Herpes Zoster

Ophthalmicus: Predictors of Postherpetic Neuralgia and Ocular Involvement.

Br J Ophthalmol. 2007;71:353–358.

19. Severson EA, Baratz KH, Hodge DO, Burke JP. Herpes Zoster Ophthalmicus

in Olmsted County, Minnesota: have Systemic Antivirals Made a Difference?

Arch Ophthalmol. 2003;121:386–390.

20. Morton P, Thomson AN. Oral Acyclovir in The Treatment of Herpes Zoster in

General Practice. N Z Med J. 2009;102:93–95.

29

Page 30: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

PEMBAHASAN

1. Apa gejala klinis pada herpes zoster oftalmikus?

Jawab

Gejala prodromal herpes zoster berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom

yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi. Gejala

konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita

(terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi. Gambaran

yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral.

Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada

daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Erupsi mulai

dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua puluh empat jam kemudian

terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari ketiga.

Seminggu sampai sepuluh hari kemudian lesi mengering menjadi krusta. Krusta

ini dapat menetap menjadi dua sampai tiga minggu.1

Pada kasus diatas, ditemukan gejala prodormal berupa rasa sakit seperti

terbakar pada dermatom yang terkena. Sementara itu, gejala konstitusi yang

dialami pasien berupa demam. Pada pasein ditemukan gambaran khas yaitu erupsi

unilateral yang hanya terdapat pada bagian kiri wajah yaitu dahi dan pipi kiri.

Terdapat bula dan vesikel ditemukan pada dahi dan pipi kiri yang meluas hingga

ke palpebra superior. Hal ini menyebabkan terjadinya blefarokonjungtivitis karena

herpes zoster opthalmicus (HZO) merupakan bentuk herpes zoster dimana virus

menyerang atau teraktifasi dari ganglion gasseri, menyebabkan rasa sakit dan

erupsi pada kulit sepanjang divisi oftalmik dari syaraf kranial kelima (nervus

trigeminus)

2. Apa tanda herpes zoster oftalmikus?

Jawab:

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata

dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi

terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik.

Selain itu tanda hutchinson merupakan salah satu indikator prognostik herpes

zoster ophtalmikus, yakni terdapatnya lesi herpes zoster pada puncak, sisi atau

30

Page 31: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

pangkal dari hidung. Daerah Ini adalah area yang diinervasi oleh saraf etmoidalis

anterior cabang dari saraf nasosiliaris. Karena nervus nasosiliari juga

menginervasi kornea, lesi kulit dapat menyebabkan keterlibatan okular yang berat.

Pada kasus ditemukan tanda hutchinson yaitu terdapat bula dan vesikel di

bagian ujung hidung dan penyebaran unilateral yaitu pada bagian dahi dan pipi

kiri pasien.

3. Bagaimana cara mengedukasi pasien yang mengalami Herpes Zoster Oftalmikus?

Jawab:

Jelaskan kepada pasien proses penyembuhan harus dengan bed rest total

sekaligus menghindari penularan ke lingkungan sekitar.

Jangan menyentuh, menggosok dan menekan bola mata

Higienitas untuk mencegah infeksi

Jelaskan kepada pasien cara pemakaian obat salep mata dan teratur meminum

obat.

Kompres dingin untuk mengurangi nyeri

4. Bagaimana tatalaksana herpes zoster oftalmikus?

Jawab:

Terapi Sistemik

Obat antivirus oral

Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi

timbulnya vesikel, menghentikan perkembangna virus, dan mengurangi kejadian

serta komplikasi lebih lanjut. Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera

setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak berpengaruh pada post herpetik

neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis 800 mg, 5 kali

sehari selama 10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10

hari, famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam sejak

timbulnya kemerahan.2,3,4

Analgesik

Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan

sehingga harus diberikan pengobatan dengan kombinasi analgesik seperti asam

mefenamat dengan paracetamol/pentazocin/petidin (ketika sangat berat ).4

31

Page 32: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

Steroid sistemik

Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan

penyakit pada post herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada

lansia harus dipertimbangkan. Steroid pada umumnya digunakan untuk

menangani komplikasi dari kasus neurologis seperti kelumpuhan nervus

okulomotorius dan neuritis optik. Sampai saat ini, pemakaian steroid sistemik

masih kontroversial.3,4

Terapi Lokal untuk Mata

7. Untuk keratitis zoster3,4

d. Tetes mata steroid 4 kali sehari.

e. Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate

atau salep mata atropin

f. Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.

8. Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.2

Pada kasus diatas, terapi yang menggunakan antoviral yaitu asiklovir berupa

salep mata hervis dengan dosis 5 kali per hari sebagai terapi lokal untuk mata dan

asklovir tablet 800 mg dengan dosis 5 kali per hari sebagai terapi sistemik untuk

menghindari penyebaran virus ketempat lain. Karena pasien mengeluh nyeri

seperti terbakar pada dahi hingga ke pipi kirinya, kompres dingin dapat menjadi

pengganti analgetik untuk meredam rasa nyeri yang dialami pasien.

32

Page 33: Blefarokonjungtivitis OS Ec HZO

DAFTAR PUSTAKA

1. Shaikh S, Ta CN. Evaluation and Management of Herpes Zoster

Ophthalmicus. Am Fam Physician. 2002;66:1723–1730.

2. Harding SP, Lipton JR, Wells JC. Natural History of Herpes Zoster

Ophthalmicus: Predictors of Postherpetic Neuralgia and Ocular Involvement.

Br J Ophthalmol. 2007;71:353–358.

3. Severson EA, Baratz KH, Hodge DO, Burke JP. Herpes Zoster Ophthalmicus

in Olmsted County, Minnesota: have Systemic Antivirals Made a Difference?

Arch Ophthalmol. 2003;121:386–390.

4. Morton P, Thomson AN. Oral Acyclovir in The Treatment of Herpes Zoster in

General Practice. N Z Med J. 2009;102:93–95.

33