bioteknologi untuk mewujudkan ketahanan …
TRANSCRIPT
Vol 01, Ed 2, Maret 2021
BIOTEKNOLOGI UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN: MASALAH, POTENSI, DAN TANTANGAN
Hal. 1
PEMBANGUNAN RUMAH MBR MELALUI MEKANISME FLPP HARUS TETAP MENGUTAMAKAN ASPEK LAYAK HUNI
Hal. 3
TANTANGAN HOLDING ULTRA MIKRO
Hal. 5
OPTIMALISASI LNG MELALUI PEMBEBASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Hal. 7
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Rastri Paramita, S.E., M.M.
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E.
Dahiri, S.Si., M.Sc.
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo, S.M.
Rosalina Tineke Kusumawardhani, S.E.
Editor
Deasy Dwi Ramiayu, S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari
Musbiyatun
Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Industri dan Pembangunan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran,Badan Keahlian DPR RI.
Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan
merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
Artikel 1 Bioteknologi untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan: Masalah, Potensi, dan
Tantangan ............................................................................................................................................ 1
Artikel 2 Pembangunan Rumah MBR Melalui Mekanisme FLPP Harus Tetap
Mengutamakan Aspek Layak Huni ............................................................................................. 3
Artikel 3 Tantangan Holding Ultra Mikro .................................................................................................. 5
Artikel 4 Optimalisasi LNG Melalui Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) .................. 7
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Bioteknologi merupakan ilmu yang mempelajari
pemanfaatkan makhluk hidup, khususnya mikroorganisme (jasad
renik) atau sel-sel organisme hidup lainnya. Salah satu
pemanfaatan bioteknologi yaitu untuk menghasilkan benih
varietas unggul yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan
produktivitas. Namun, hasil penelitian benih varietas unggul
tersebut belum sebanding dengan realita di lapangan. Hal ini dapat
dilihat dari produktivitas hasil penelitian varietas padi IPB 9G
sebesar 9,09 ton/ha pada tahun 2017. Sedangkan produktivtas di
lapangan hanya 5,1 ton/ha pada tahun 2020. Produktivitas hasil
penelitian varietas jagung JH 234 sebesar 10,1 ton/ha, tetapi
realita di lapangan hanya 5,23 ton/ha. Kemudian produktivitas
hasil penelitian varietas kedelai Devon 1 2,75 ton/ha, tetapi
realitas di lapangan hanya 1,51 ton/ha. Kondisi tersebut
merupakan sinyalemen negatif terhadap implementasi hasil
penelitian. Padahal hasil penelitian sangat diharapkan dapat
menghasilkan outcome yaitu peningkatan produktivitas.
Permasalahan belum sebandingnya hasil penelitian dengan realita
di lapangan di atas, mengindikasikan pendistribusian dan
pemanfaatan hasil penelitian masih minim. Meskipun
pendistribusian sudah dilakukan, tetapi pemanfaatan benih belum
sesuai dengan kondisi lahan. Hal tersebut tercermin pada saat
masih ada subsidi benih, dimana petani mengeluhkan benih yang
diberikan oleh pemerintah karena varietas tidak cocok dengan
kondisi lahan tanam, sehingga produksi tidak sesuai harapan.
Permasalahan yang telah diuraiakan di atas harus menjadi perhatian pemerintah, karena hasil penelitian menunjukkan potensi untuk meningkatkan produktivitas. Berdasarkan Laporan Tahunan 2019 Balitbang Kementan, hasil penelitian varietas ungul pada tahun 2019 juga menunjukkan adanya peningkatan produktivitas dengan rincian yaitu sebagai berikut: 1. Komoditas tanaman padi. Hasil penelitian varietas Inpari-46
(9,08 ton/ha dengan rata-rata 6,74 ton/ha), Inpari-IR (9,98
ton/ha dengan rata-rata 6,21 ton/ha), Baroma (9,18 ton/ha
dengan rata-rata 6,01 ton/ha), dan Pamera (11,33 ton dengan
rata-rata 6,43 ton/ha).
2. Komoditas jagung. Hasil penelitian varietas Jharing-1 (13,78
ton/ha dengan rata-rata 11,03 ton/ha), JH-29 (12,6 ton/ha
dengan rata-rata 11,7 ton/ha) , dan JH-30 (12,6 ton/ha dengan
rata-rata 11,3 ton/ha).
Komisi IV
BIOTEKNOLOGI UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN:
MASALAH, POTENSI, DAN TANTANGAN
• Produktivitas hasil penelitian varietas unggul belum sebanding dengan realita produktivitas di lapangan
• Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu pertama, hasil penelitian benih varietas unggul diimplentasikan pada program food estate. Kedua membentuk wilayah binaan pertanian dengan pemanfaatan hasil penelitian benih varietas unggul. Ketiga, baik food estate maupun wilayah binaan pertanian harus dilakukan pendampingan oleh peneliti dan penyuluh pertanian. Pendampingan yang dimaksud dimulai dari awal penyemaian benih sampai dengan panen, yang berdasarkan standar penelitian yang telah dilakukan.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Dahiri & Rosalina Tineke K
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
2
3. Komoditas Kedelai. Hasil penelitian varietas Dering-2 (3,32 ton/ha), Dering-3 (2,99 ton
dengan rata-rata 2,42 ton/ha), Demas-2 (3,27 ton dengan rata-rata 2,79 ton/ha), Demas-
3 (2,88 ton dengan rata-rata 2,66 ton/ha).
Dari hasil penelitian di atas diperoleh bahwa hasil penelitian varietas ungul
komoditas tanaman pangan menunjukkan adanya peningkatan produktivitas. Sangat
disayangkan jika hasil penelitian-penelitian tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik
seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, tantangan bagi pemerintah adalah
bagaimana pemanfaatan hasil penelitian dapat sebanding dengan realita produktivitas di
lapangan. Jangan sampai hasil penelitian hanya sebatas laporan semata.
Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan hasil penelitian di atas, pemerintah dapat
melakukan upaya sebagai berikut:
1. Hasil penelitian benih varietas unggul diimplentasikan pada program food estate.
2. Membentuk wilayah binaan pertanian dengan pemanfaatan hasil penelitian benih
varietas unggul .
3. Baik food estate maupun wilayah binaan pertanian harus dilakukan pendampingan oleh
peneliti dan penyuluh pertanian. Pendampingan yang dimaksud dimulai dari awal
penyemaian benih sampai dengan panen, yang berdasarkan standar penelitian yang telah
dilakukan.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
3 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)
yang dijalankan sejak tahun 2010 merupakan penyaluran
pembiayaan kepemilikan rumah dari pemerintah melalui bank
pelaksana kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),
dengan bunga tetap dan terjangkau untuk mengatasi masalah
backlog di Indonesia. Meskipun sudah berjalan satu dekade dan
sudah relatif banyak perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah,
namun penyediaan rumah bagi MBR ini masih dihadapkan pada
berbagai masalah. Salah satunya adalah kelayakan rumah yang
disediakan. Penyediaan rumah bagi MBR tidak boleh hanya
sekedar tersedia, murah dan terjangkau. Pemerintah juga harus
mengutamakan beberapa aspek agar rumah bagi MBR layak huni.
Kelayakan tersebut tidak hanya sebatas dari aspek teknis atau
konstruksi bangunan. Namun, juga harus memperhatikan
beberapa aspek, antara lain sarana dan prasarana (infrastruktur
dasar, air minum, sanitasi, energi, dan pembuangan limbah),
aksesibilitas dan lokasi (dikaitkan dengan mata pencaharian,
layanan pendidikan, kesehatan dan sosial lainnya, dan biaya yang
dikeluarkan selain biaya pembelian rumah), serta kelayakan
budaya.
Hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat Evaluasi Bantuan
Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR pada 2017 ditemukan
sebanyak 36,42 persen unit rumah subsidi (dari total sampel
14.393 unit) yang belum dihuni, dimana penyebabnya banyak
berkaitan dengan kondisi fisik bangunan dan prasarana umum
perumahan yang belum tersedia (Bramantyo, 2019). Penilaian
Direktorat Perumusan Kebijakan dan Evaluasi Kementerian PUPR
pada 2018, menunjukkan bahwa 55,4 persen unit bersubsidi yang
dibangun oleh pengembang tidak memenuhi standar minimum
konstruksi dan persyaratan infrastruktur seperti yang diatur
dalam peraturan subsidi KPR (Bank Dunia, 2020). Dalam Kajian
Belanja Publik Indonesia (2020), Bank Dunia menyebutkan bahwa
perumahan bersubsidi cenderung berada di lokasi yang buruk,
yang pada gilirannya akan mengakibatkan biaya jangka panjang
yang lebih tinggi bagi penerima manfaat. Selain itu, laporan
tersebut juga menyebutkan bahwa tingginya jumlah hunian yang
tidak terisi, yang menambah jumlah rumah tidak layak huni.
Alasan ketidakterisian rumah subsidi tersebut adalah kondisi
infrastruktur dasar yang buruk (44 persen), kualitas konstruksi
Komisi V
PEMBANGUNAN RUMAH MBR MELALUI MEKANISME FLPP HARUS
TETAP MENGUTAMAKAN ASPEK LAYAK HUNI
• Selama satu dekade pelaksanaannya, program FLPP masih dihadapkan pada berbagai masalah, salah satunya yaitu kelayakan rumah yang disediakan baik dari aspek teknis maupun aspek lainnya seperti sarana dan prasarana, aksesibilitas dan lokasi serta kelayakan budaya.
• Berdasarkan hasil survei Direktorat EBPP Kementerian PUPR dan Kajian dari Bank Dunia, terlihat bahwa jumlah hunian rumah subsidi banyak yang tidak terisi karena aspek layak huni yang tidak terpenuhi.
• Untuk mengoptimalkan manfaat dan layak huni dari rumah subsidi, Pemerintah perlu melakukan beberapa hal yaitu penguatan law enforcement terkait layak huni, menerbitkan beleid baru pengganti Kepmen Kimpraswil 403 tahun 2002, kerja sama dan sinergi yang solid antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya, memastikan penerapan aplikasi SiPetruk, serta penerapan reward and punishment bagi pengembang.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Robby Alexander Sirait & Emillia Octavia
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
4 4
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
yang buruk (27 persen), serta kurangnya listrik dan air bersih (17 persen).
Pada tahun 2021, pemerintah merencanakan alokasi FLPP senilai Rp16,66 triliun untuk rumah sebanyak 157.500 unit. Agar pembangunan rumah subsidi memberikan manfaat yang optimal dan layak huni bagi MBR, maka ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah. Pertama, perlunya penguatan law enforcement untuk memastikan rumah subsidi layak huni. Beberapa regulasi untuk memastikan rumah subsidi bagi MBR layak huni sebenarnya sudah ada, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016 (PP No. 64 Tahun 2016), Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 403 Tahun 2002 (Kepmen Kimpraswil No. 403 Tahun 2002), Peraturan Menteri PUPR No. 27/PRT/M/2018, dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 05/PRT/M/2016. Meskipun sudah ada regulasi yang mengaturnya, namun masih banyaknya rumah subsidi bagi MBR yang belum layak huni. Hal ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam implementasi regulasi yang telah ada. Oleh karena itu, perlu penguatan law enforcement terkait standar teknis pembanguan, Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Kedua, mempercepat penerbitan beleid baru pengganti Kepmen Kimpraswil No. 403 Tahun 2002. Beleid ini merupakan acuan dalam standar bangunan rumah bagi MBR yang diberlakukan hingga saat ini. Dari sisi substansi, beleid ini sudah perlu dilakukan perubahan atau bahkan penggantian karena sudah tidak relevan dengan perkembangan kebutuhan untuk menghadirkan rumah layak huni bagi MBR. Sebenarnya wacana dan proses revisi ini sudah mulai dilakukan oleh Kementerian PUPR sejak tahun 2018. Namun, hingga saat ini belum ada penerbitan beleid baru. Padahal, Pasal 3
PP No. 64 Tahun 2016 secara spesifik mengamanahkan Menteri PUPR untuk menerbitkan regulasi standar pembangunan perumahan MBR.
Ketiga, perlu adanya kerja sama dan sinergi yang solid antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya terkait penentuan lokasi pembangunan rumah subsidi dan pemenuhan sarana prasarana pendukung. Hal ini diperlukan karena kelayakan huni rumah bersubsidi tidak boleh hanya dipandang dari kelayakan konstruksi atau fisik saja. Namun, lokasi dan sarana prasarana pendukung yang dikaitkan dengan kehidupan sosial (salah satunya akses ke layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik dan moda transportasi) dan mata pencaharian penerima manfaat juga menjadi hal yang sangat penting.
Keempat, memastikan penerapan aplikasi Sistem Pemantauan Konstruksi atau SiPetruk. Penerapan SiPetruk (bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) merupakan kebutuhan yang perlu segera dilaksanakan. Namun, pelaksanaannya harus independen dan transparan. Tidak hanya itu saja, penerapan aplikasi ini sebaiknya lebih komprehensif. Pemantauan tidak hanya konstruksi saja. Namun, aplikasi ini juga harus memantau ketersediaan sarana prasarana pendukung yang sesuai standar agar layak huni.
Terakhir, perlu adanya penerapan reward and punishment bagi pengembang. Punishment dalam bentuk penerapan blacklist diperlukan agar pengembang memiliki komitmen kuat untuk menyediakan hunian yang sesuai dengan standar dan aturan dari pemerintah. Sedangkan reward dalam bentuk pemberian insentif diperlukan agar pengembang terpacu untuk memberikan kualitas dan kinerja terbaik dalam penyediaan rumah layak huni.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
5 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Saat ini jumlah pelaku usaha mikro mendominasi, yaitu lebih
dari 98% dari total pelaku usaha (usaha besar, menengah, kecil,
dan mikro) di Indonesia. Namun sayangnya masih terdapat gap
pembiayaan ultra mikro, di mana sebanyak 65% dari sekitar 54
juta pelaku usaha atau pekerja segmen ultra mikro (UMi) masih
belum terlayani oleh lembaga keuangan formal. Pelaku usaha
mikro tersebut umumnya memiliki literasi keuangan rendah,
akses yang terbatas, dan tidak memiliki aset kolateral. Untuk itu,
Pemerintah berencana melakukan integrasi BUMN untuk
mendorong penetrasi pembiayaan ultra mikro yang terdiri dari PT
Bank Rakyat Indonesia (PT BRI), PT Pegadaian dan PT Permodalan
Nasional Madani (PT PNM) yang ditargetkan terbentuk pada tahun
2021. Gambar 1. Struktur Transaksi Holding Ultra Mikro
Sumber: Kementerian Keuangan, 2021.
Pembentukan integrasi BUMN ini akan dilakukan melalui
aksi rights issue PT BRI, setelah mendapat arahan dari Komite
Privatisasi dan rekomendasi dari Menteri Keuangan serta
dikonsultasikan dengan DPR RI sesuai dengan PP 33/2005
tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan. Seluruh
saham seri B Negara pada PT Pegadaian dan PT PNM akan
disetorkan ke PT BRI dalam rangka partisipasi Pemerintah dalam
rights issue PT BRI tersebut. Penyetoran seluruh saham seri B
Negara pada PT Pegadaian dan PT PNM kepada PT BRI dilakukan
sesuai PP 72/2016 tentang Tata Cara Penyertaan Modal Negara
kepada BUMN. Setelah transaksi rights issue, PT BRI akan memiliki
seluruh saham seri B PT Pegadaian dan PT PNM, sedangkan
Pemerintah RI memiliki 1 lembar saham seri A Dwiwarna pada PT
Pegadaian dan PT PNM.
Kepemilikan saham pemerintah di PT BRI dipastikan
terjaga di level ±56,75% ≤ 60% sementara publik masih
Komisi VI
TANTANGAN HOLDING ULTRA MIKRO
• Pemerintah akan melakukan integrasi BUMN melalui holding ultra mikro yang terdiri dari PT Bank Rakyat Indonesia, PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani yang ditargetkan terbentuk pada tahun 2021.
• Holding ini diharapkan dapat membantu mencapai rasio target kredit UMKM dari 19,75% di 2020 menjadi 22% di 2024 dan dapat mempermudah akses layanan keuangan formal serta mengurangi biaya pendanaan usaha UMi dengan menjadi alternatif utama dari kredit dengan bunga tinggi.
• Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu terkait core business yang berbeda; kepastian bahwa holding company tidak akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja di PT Pegadaian dan PT PNM; dan jangan sampai pengawasan kepada anak usaha menjadi melemah.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Ervita Luluk Zahara
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
6
menguasai ±40% ≤ 43,25% saham PT BRI.
Setelah integrasi BUMN ini terbentuk, PT
BRI akan memegang 99,99 persen saham
PT PNM dan PT Pegadaian, sedangkan
pemerintah RI memiliki saham Seri A
Dwiwarna.
Holding ultra mikro ini memiliki
beberapa potensi manfaat. Bagi perusahaan,
holding ini dapat meningkatkan valuasi
entitas, meningkatkan efisiensi bisnis melalui
sinergi entitas dan tata kelola yang lebih baik
dan penurunan cost of fund bersumber dari
dana murah segmen ultra mikro dan sumber
pendanaan alternatif. Bagi pemerintah,
holding ini diharapkan dapat membantu
mencapai rasio target kredit UMKM dari
19,75% di 2020 menjadi 22% di 2024 sesuai
agenda pembangunan nasional Indonesia,
menciptakan lapangan kerja dan bisnis baru
di segmen ultra mikro, memperkuat kerangka
sistem finansial Indonesia melalui integrasi
layanan keuangan yang strategis, membentuk
wadah untuk pendistribusian program
pemerintah dari berbagi kementerian yang
menargetkan segmen ultra mikro, dan
meningkatkan efisiensi tata kelola BUMN
dengan mengurangi jumlah entitas BUMN
tentunya jika dapat dikelola sesuai dengan
prinsip good corporate governance. Kemudian
bagi masyarakat, dengan holding ini
diharapkan dapat mempermudah akses
layanan keuangan formal serta mengurangi
biaya pendanaan usaha UMi dengan menjadi
alternatif utama dari kredit dengan bunga
tinggi.
Namun demikian, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan jika holding ultra
mikro ini dilaksanakan. Pertama, core
business ketiga perusahaan yang berbeda
meskipun terdapat target yang sama yaitu
pelaku UMKM dan ultra mikro. Jangan sampai
dengan holding ini efektivitas perusahaan
menjadi menurun. Seperti yang diketahui
bahwa PT BRI sendiri merupakan perusahaan
terbuka dan berfokus pada pelayanan industri
jasa keuangan perbankan. Selain itu, terdapat
saham yang dimiliki oleh publik yang
pengelolaannya berbasis pada keterbukaan
dan business oriented. Sementara PT
Pegadaian dan PT PNM dibentuk salah
satunya bertujuan untuk pelayanan publik
atau misi sosial seperti pengentasan
kemiskinan. Jika holding ini dilakukan, perlu
menjadi perhatian terutama agar core business
PT Pegadaian dan PT PNM tetap
dipertahankan. Apalagi sejauh ini untuk PT
Pegadaian memiliki kinerja baik terbukti PT
Pegadaian tetap mampu tumbuh positif di
tengah pandemi Covid-19. Proses pencairan di
PT Pegadaian pun relatif lebih cepat
dibandingkan dengan perbankan, dan selama
ini sangat membantu masyarakat khususnya
dalam kategori mikro dan ultra mikro yang
sebagian besar nasabahnya masuk ke dalam
status unbankable. Sehingga dibutuhkan
kejelasan proses bisnis dari holding ultra
mikro dan strategi menghadapi perbedaan
budaya organisasi diketiga BUMN tersebut.
Karena dengan adanya holding ini, perbedaan
budaya kerja tetap dipertahankan, namun
memiliki tujuan baru yang sama.
Kedua, harus dapat dipastikan holding ultra mikro ini tidak akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja di PT Pegadaian dan PT PNM dengan alasan efisiensi. Karena setelah wacana holding ini muncul, banyak pegawai dan serikat pegawai PT Pegadaian yang menolak holding company ini. Maka selain diperlukan kajian yang komprehensif dan perencanaan yang matang terkait bagaimana peran masing-masing perusahaan jika holding ini terlaksana, diperlukan juga sosialisasi dengan pihak-pihak yang terdampak nantinya. Ketiga, hal yang juga perlu diwaspadai yaitu jangan sampai pengawasan kepada anak usaha menjadi melemah. Misalnya pengawasan oleh DPR dan BPK dikhawatirkan akan menjadi longgar karena yang bisa dikontrol secara langsung hanya holdingnya saja dalam hal ini nantinya adalah PT BRI. Sehingga diperlukan kontrol yang ketat untuk mengetahui bagaimana implementasi dan kepatuhan dari dilakukannya holding ini agar berjalan sesuai tujuannya yaitu menjangkau lebih banyak pelaku usaha ultra mikro dan meningkatkan layanan dan memberdayakan masyarakat di bidang ultra mikro secara berkelanjutan.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
7 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
Upaya penguatan sumber energi nasional melalui optimalisasi jenis Liquified Natural Gas (LNG) kerap menjadi perhatian pemerintah. Pada tahun 2019, produksi gas bumi Indonesia mencapai 772,1 ribu Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD), yang kemudian diubah menjadi LNG dan diekspor sebanyak 22,08 persen, sementara sisanya dipasarkan di dalam negeri. Namun, meningkatnya kebutuhan LNG ini belum diikuti dengan peningkatan produksi. Dalam Laporan Ditjen Migas, produksi tahun 2019 hanya mencapai 16,43 juta ton atau menjadi yang terendah selama lima tahun terakhir (Gambar 1). Sementara itu, total kapasitas operasi kilang LNG hanya sebesar 31,24 MMTPA, atau 70,8 persen dibandingkan total kapasitas terpasangnya. Artinya, masih terdapat potensi besar untuk meningkatkan produksi LNG dalam negeri.
Gambar 1. Produksi LNG Tahun 2015-2019 (juta ton)
Sumber: Laporan Tahunan Ditjen Minyak dan Gas Bumi, diolah
Peliknya permasalahan LNG antara lain adalah faktor harga gas di Indonesia yang disebabkan inefisiensi produksi gas dalam negeri. Indikator natural gas rent, yang merupakan selisih antara total nilai pasar gas bumi suatu negara dengan seluruh biaya produksinya, dimana Indonesia masih cukup tertinggal. Menurut Bank Dunia, natural gas rent Indonesia tahun 2018 baru mencapai 1 persen, atau lebih rendah dibandingkan Malaysia (3 persen) dan Myanmar (3,5 persen). Padahal, faktor harga erat kaitannya dengan produktivitas serta rencana pengembangan industri LNG dalam negeri. Untuk itu, Pemerintah perlu memperhatikan unsur-unsur yang dapat mempengaruhi harga tersebut.
Salah satu isu yang sempat menjadi perdebatan adalah pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada LNG. Sebelumnya, pengenaan PPN dilakukan sejak terbitnya Putusan
Komisi VII
OPTIMALISASI LNG MELALUI INSENTIF PEMBEBASAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
• Pada tahun 2019, produksi LNG dalam negeri hanya mencapai 16,43 juta ton. Padahal, total kapasitas operasi kilang LNG baru mencapai 70,8 persen dibandingkan total kapasitas terpasang sehingga masih terdapat potensi besar untuk meningkatkan produksi LNG.
• Indikator natural gas rent Indonesia tahun 2018 masih menunjukkan 1 persen, yang berarti belum efisiennya produksi dan harga LNG.
• Insentif berupa pembebasan PPN untuk LNG dalam PP 48/2020 diharapkan dapat meringankan beban pelaku industri serta mengurangi harga jual LNG. Namun skema insentif ini perlu dicermati lebih lanjut dan disesuaikan dengan pola industri hulu dan hilir.
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita · Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Deasy Dwi Ramiayu
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
8 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 2, Maret 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Mahkamah Agung (MA) tahun
2018 sebagai hasil judicial review
dimana LNG merupakan Barang Kena
Pajak (BKP). Namun, pengenaan PPN ini
berdampak besar bagi pelaku usaha
industri LNG karena kontrak jual beli
yang belum memasukkan unsur PPN
dalam komponen harga kontrak dan
potensi penambahan beban subsidi
pemerintah. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, Pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 48 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas PP Nomor 81 Tahun
2015 tentang Impor Dan/Atau
Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan
Dari Pengenaan PPN.
Pembebasan PPN untuk pola
industri hulu bertujuan untuk
mengurangi harga jual gas pada industri.
Pada pola hulu migas, harga beli gas
dapat berkontribusi sebesar 70 persen
terhadap pembentukan gas industri.
Untuk itu, perlu diperhatikan apakah
skema pembebasan PPN ini sesuai
dengan pola industri hulu. Kegiatan
pengambilan migas (upstream) dan
pengolahan menjadi bahan lain
(downstream) dalam satu rantai
produksi pada industri LNG pola hulu
membuat pola ini kurang ekonomis dan
kompetitif. Biaya pemrosesan gas alam
dari kegiatan menjadi LNG yang
dilakukan kontraktor kontrak kerja
sama (KKKS) harus ditanggung sebagian
sesuai dengan proporsi kontrak oleh
negara dalam bentuk cost recovery.
Padahal, kerap terjadi perbedaan
pendapat antara pemerintah dan KKKS
atas biaya yang dijadikan cost recovery.
Dalam kontrak bagi hasil produksi
antara pemerintah dan KKKS, terdapat
prinsip assume and discharge yang
berarti seluruh PPN akan dikembalikan
negara kepada KKKS dalam
bentuk reimbursement.
Pada industri pola hilir, skema PPN
juga sangat penting untuk diperhatikan.
Jika berkaca pada alasan penerbitan
putusan MA tahun 2018, alasan
pengujian materi yang dilakukan oleh
salah satu pelaku industri pola hilir ialah
karena hilangnya hak produsen LNG
dalam mengkreditkan pajak
masukannya. Sementara dalam skema
pembebasan PPN ini, perlakuan pajak
masukan atas penyerahan BKP yang
dibebaskan PPN pada prinsipnya sama
dengan penyerahan non-BKP yang tidak
dapat dikreditkan. Sehingga
pembebasan PPN ini kurang
menguntungkan bagi pelaku industri
pola hilir. Terlebih lagi, perlu diingat
bahwa terdapat industri yang
memproses gas alam menjadi LNG
terpisah dengan kegiatan KKKS migas.
Dengan demikian, produsen LNG harus
bersaing dengan produsen asing yang
impor LNG-nya mendapat fasilitas bebas
PPN.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa skema dan
mekanisme pembebasan PPN LNG
belum tentu dapat mempengaruhi harga
gas bumi. Untuk itu, rekomendasi yang
dapat disampaikan ialah Pemerintah
perlu menyusun aturan lebih lanjut
terkait PPN LNG yang dikaitkan dengan
pola industri, baik hulu dan hilir yang
setara. Pada pola hilir, pemerintah juga
dapat memberikan insentif pajak yang
berkaitan dengan biaya distribusi atapun
penyimpanan untuk menekan harga
LNG. Selain itu, pemerintah juga harus
mengupayakan efisiensi produksi dan
harga jual gas tanpa menggantungkan
pembebasan PPN saja. Jika tujuan lain
pemerintah untuk meningkatkan
investasi, maka tawaran insentif lain
juga perlu dipertimbangkan.