biomassa dan estimasi simpanan karbon pada lamun...
TRANSCRIPT
BIOMASSA DAN ESTIMASI SIMPANAN KARBON PADA
LAMUN Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata DI PANTAI
GELAMAN DAN PANTAI ALANG–ALANG DI TAMAN
NASIONAL KARIMUNJAWA JEPARA
SKRIPSI
Oleh:
VINY RATNASARI
26020115120005
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
ii
BIOMASSA DAN ESTIMASI SIMPANAN KARBON PADA
LAMUN Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata DI PANTAI
GELAMAN DAN PANTAI ALANG–ALANG DI TAMAN
NASIONAL KARIMUNJAWA JEPARA
Oleh:
VINY RATNASARI
26020115120005
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Derajat Sarjana S1 pada Departemen Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
iii
iv
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Dengan ini saya, Viny Ratnasari menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi
ini adalah asli karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan
sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S1) dari
Universitas Diponegoro maupun perguruan tinggi lain.
Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini berasal dari penulis
baik yang dipublikasikan atau tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip
nama sumber penulis dengan benar dan semua ini dari karya ilmiah/skripsi ini
sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.
Semarang, 20 Oktober 2019
Penulis,
Viny Ratnasari
NIM.26020115120005
vi
RINGKASAN
Viny Ratnasari. 26020115120005. Biomassa dan Estimasi Simpanan Karbon
pada Lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata di Pantai Gelaman dan
Pantai Alang–Alang di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara (Ali Djunaedi dan
Adi Santoso)
Pemanasan global telah menjadi isu lingkungan yang menghkawatirkan di
berbagai Negara, disebabkan oleh berbagai aktifitas kegiatan manusia dan
menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke atmosfer bumi yang
bedampak pada perubahan iklim. Ekosistem padang lamun berkemampuan
menyerap dan menyimpan jumlah besar karbon dari atmosfir yang dapat
mengurangi emisi karbon.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kerapatan, tutupan lamun, nilai
biomassa dan simpanan karbon pada lamun jenis Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata yang ada di perairan Pantai Gelaman (Stasiun 1) dan Pantai
Alang–Alang (Stasiun 2) di Taman Nasional Karimunjawa Jepara. Metode
sampling menggunakan line transect quadrant yang mengacu pada metode LIPI
2017. Pengamatan nilai kerapatan, persentase penutupan lamun dilakukan di
semua titik, sampling dilakukan pada titik 50 m setiap substasiun dengan metode
pencuplikan. Pengukuran karbon pada sampel lamun menggunakan metode LOI
(Loss on Ignition).
Hasil penelitian ditemukan sebanyak 6 lamun pada 2 Stasiun yaitu, Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Thalassia hemprichii, Halodule
uninervis dan Halophila ovalis. Kerapatan lamun total di Stasiun 1 yaitu sebesar
1235 ind/m2 dan nilai total tutupan lamun sebesar 68,76%. Kerapatan lamun total
di Stasiun 2 yaitu sebesar 1135 ind/m2 dan nilai total tutupan lamun sebesar
51,78%. Nilai rata-rata biomassa lamun jenis Cymodocea serrulata di kedua
Stasiun sebesar 12,00 gbk/m2. Pada Enhalus acoroides di kedua Stasiun sebesar
365,43 gbk/m2. Nilai rata-rata karbon lamun jenis Cymodocea serrulata di kedua
Stasiun sebesar 2,75 gC/m2. Nilai rata-rata karbon jenis Enhalus acoroides di
kedua Stasiun sebesar 105,42 gC/m2.
Kata kunci : Karbon, lamun, Biomassa, Simpanan Karbon, Karimunjawa
vii
SUMMARY
Viny Ratnasari. 26020115120005. Biomass and Carbon Savings Estimated at
Seagrass Enhalus acoroides and Cymodocea serrulata in Gelaman Beach and
Alang-Alang Beach in Karimunjawa National Park, Jepara (Ali Djunaedi and
Adi Santoso)
Global warming has become a worrying environmental issue in many
countries, it is caused by various human activities and producing most carbon
dioxide gas (CO2) to earth atmosphere that affectthe climate change. Seagrass
ecosystem is able to absorb and store large number of carbon from the atmosphere
that can reduce carbon emissions. This research aims to determine the density,
seagrass cover, biomass value and carbon storage in seagrass species Enhalus
acoroides and Cymodocea serrulata that exist in Gelaman Beach (Station 1) and
Alang–Alang Beach (Station 2) watersin Karimunjawa National Park Jepara.
The sampling method used line transect quadrant that is reffering to LIPI
2017 method. Observation of the density value, the percentage of seagrass closure
was conducted in all points, while the sampling was conducted at the point 50 m
on each substation by sampling method. Carbon measurement in seagrass sample
used LOI (Loss on Ignition) method.
From the research result, it is found 6 seagrasses in 2 Stations that are,
Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Thalassia hemprichii,
Halodule uninervis and Halophila ovalis. Total seagrass density in Station 1 that
is totaling 1235 ind/m2 and the total value of seagrass closure is68,76%. Total
seagrass density in Station 2 is 1135 ind/m2 and total value of seagrass closure is
51,78%. Biomass average value of seagrass type Cymodocea serrulata in both
Stations is 12,00 gbk/m2. In the type of Enhalus acoroides is 365,43 gbk/m2.
Carbon average value of seagrass type Cymodocea serrulata in both Stations is
2,75 gC/m2. Carbon avaerage value for seagrass type Enhalus acoroides in both
Stations is 105,42 gC/m2.
Keywords : Carbon, Seagrass, Biomass, Carbon Storage, Karimunjawa
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis laporan penelitian
dengan judul “Biomassa dan Estimasi Simpanan Karbon pada Lamun Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata di Pantai Gelaman dan Pantai Alang–Alang
di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara” ini dapat diselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada:
1. Ir. Ali Djunaedi, M.Phill selaku dosen pembimbing utama dan Ir. Adi
Santoso, M.Sc selaku pembimbing kedua dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini;
2. Ir. Adi Santoso, M.Sc selaku dosen wali yang telah memberikan
bimbingan selama perkuliahan
3. Orangtua, keluarga, sahabat serta teman-teman Ilmu Kelautan 2015, yang
telah memberikan bantuan kepada penulis selama penulis melakukan
perkuliahan sampai dengan penelitian
Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan
laporan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih
sangat jauh dari sempurna. Karena itu, saran dan kritik demi perbaikan penulisan
skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Semarang, Oktober 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................................................ iv
RINGKASAN ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Pendekatan dan Perumusan Masalah ........................................................ 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 3
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5
2.1 Lamun ...................................................................................................... 5
2.2. Jenis–Jenis Lamun ..................................................................................... 6
2.2.1. Enhalus acoroides ............................................................................. 6
2.2.2. Cymodocea serrulata ........................................................................ 7
2.2.3. Thalassia hemprichii ......................................................................... 8
2.2.4. Cymodocea rotundata ....................................................................... 9
2.2.5. Halodule uninervis ............................................................................ 9
2.2.6. Halophila ovalis .............................................................................. 10 2.3. Persebaran Lamun di Indonesia .............................................................. 11
2.4. Ekosistem Padang Lamun ....................................................................... 12
2.5. Parameter Ekologi Lamun ....................................................................... 14
2.5.1 Suhu ................................................................................................. 14
2.5.2. Salinitas ............................................................................................ 14
2.5.3. Kecerahan ........................................................................................ 14
2.5.4. Kedalaman ....................................................................................... 15
2.5.5. Nutrien ............................................................................................. 15
x
2.5.6 Substrat ............................................................................................ 16
2.5.7. Arus .................................................................................................. 16 2.6. Fotosintesis ............................................................................................... 17
2.6.1 Definisi ............................................................................................. 17
2.6.2. Tanaman Air .................................................................................... 18
2.7. Biomassa ................................................................................................... 19
2.8. Karbon .................................................................................................... 20
2.8.1. Definisi Karbon.............................................................................. 20
2.8.2. Siklus Karbon Pesisir .................................................................... 21
2.8.3. Lamun Penyerap Karbon ............................................................... 22
III. MATERI DAN METODE............................................................................ 24
3.1. Materi......... .............................................................................................. 24
3.1.1 Materi Penelitian ............................................................................. 24
3.1.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 24 3.2. Metode…….. ............................................................................................ 25
3.3. Prosedur Penelitian .................................................................................. 26
3.3.1 Penentuan Lokasi dan StasiunPeneltian ........................................ 26
3.3.2. Pengamatan dan Pengambilan Sampel Lamun ............................. 27
3.3.3. Pengambilan Parameter Kualitas Air ............................................. 29
3.3.4. Pengukuran Biomassa Lamun ........................................................ 29
3.3.5. Pengukuran Karbon Lamun ............................................................ 29 3.4. Analisis Data ............................................................................................ 30
3.4.1 Kerapatan dan Presentasi Tutupan Lamun .................................... 30
3.4.2 Keanekaragaman ............................................................................. 30
3.4.3 Keseragaman ................................................................................... 31
3.4.4 Dominansi ........................................................................................ 31
3.4.5 Biomassa .......................................................................................... 31
3.4.6 Karbon.............................................................................................. 32
3.4.7. Total Stok Karbon ........................................................................... 33 3.5. Skema Diagram Alir Penelitian............................................................... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 34
4.1. Hasil .................................................................................................... 34
4.1.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian .................................................. 34
4.1.2 Komposisi Lamun ........................................................................... 35
4.1.3 Kerapatan dan Presentase Tutupan Lamun ................................... 35
4.1.4. Indeks Ekologi ................................................................................. 38
4.1.5. Biomassa Lamun ............................................................................ 39
4.1.6. Nilai Estimasi Stok Karbon Lamun ............................................... 42
4.1.7. Karakteristik dan Kondisi Perairan................................................ 45 4.2. Pembahasan .............................................................................................. 47
4.2.1. Kerapatan dan Tutupan Lamun...................................................... 47
4.2.2. Indeks Ekologi ................................................................................ 49
4.2.3. Biomassa Lamun ............................................................................ 50
xi
4.2.4. Kandungan Karbon Pada Lamun ................................................... 51
V. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 54
5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 54
5.2. Saran ..................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 55
LAMPIRAN ............................................................................................................. 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Enhalus acoroides (Kordi, 2011)……………………….………………...…....6
2. Cymodocea serrulata (Kordi, 2011)…………………………………………...7
3. Thalassia hemprichii (Kordi, 2011)……………………………………..……..8
4. Cymodocea rotundata (Kordi, 2011)……………………………………..……9
5. Halodule uninervis (Kordi, 2011)………………………………………….…10
6. Halophila ovalis (Kordi, 2011)……………………………………………….11
7. Peta lokasi Penelitian…………………………………………………………27
8. Transek 50 x 50 cm (Rahmawati et al., 2017)………………………………..27
9. Transek Garis dalam Satu Stasiun (Rahmawati et al., 2017)…………………28
10. Grafik Kerapatan Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2…………….………….37
11. Grafik Persentase Tutupan Lamun di Stasiun1 dan 2………………….…....38
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kerapatan Padang Lamun Ind/m2 di Stasiun 1 dan Stasiun 2. ........................... 75
2. Persentase Tutupan Lamun (%) di Stasiun 1 dan Stasiun 2. .............................. 77
3. Indeks ekologi Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2. ............................................. 79
4. Biomassa Lamun (gbk/m2) di Stasiun 1 dan Stasiun 2. ...................................... 80
5. Biomassa Lamun Cymodocea serrullata (gbk/m2) di Stasiun 1 dan 2. ............. 83
6. Biomassa Lamun Enhallus acoroides (gbk/m2) di Stasiun 1 dan 2. .................. 84
7. Karbon Lamun Cymodocea serrullata (gC/m2) di Stasiun 1 dan 2. .................. 85
8. Karbon Lamun Enhallus acoroides (gC/m2) di Stasiun 1 dan 2 ........................ 85
9. Hasil Analisa Kadar Abu Sampel Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2. .............. 86
10. Hasil Analisa Ukuran Butir Sedimen di Stasiun 1 dan Stasiun 2….. ............. .88
11. Dokumentasi Lapangan. ..................................................................................... 89
12. Dokumentasi Laboratorium. ............................................................................... 90
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global atau global warming telah menjadi isu lingkungan yang
menghkawatirkan di berbagai negara (IPCC, 2007). Pemanasan global disebabkan
oleh berbagai aktifitas kegiatan manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil,
produksi semen dan alih fungsi lahan. Aktivitas kegiatan manusia tersebut
menjadi penyumbang gas karbon dioksida (CO2) terbanyak ke udara maupun
atmosfer bumi yang bedampak pada perubahan iklim (Nellemann et al., 2009).
Karbon dioksida akan berikatan dengan air laut dan menimbulkan reaksi yang
menyebabkan penurunan pH air laut sehingga mempengaruhi konsentrasi ion
karbonat. Ion karbonat dibutuhkan oleh biota laut seperti koral, kepiting dan
kerang untuk membentuk kerangka tubuhnya. Biota laut ini berperan dalam rantai
makanan di laut (Susana, 1988).
Menurut Fourqurean et al. (2012), 83.000 metrik ton karbon dapat diserap
padang lamun dalam setiap kilometer persegi. Nilai ini lebih besar dari
kemampuan hutan menyerap karbon sebesar 30.000 metrik ton dalam setiap
kilometer perseginya. Dengan besarnya nilai karbon yang diserap dan disimpan
padang lamun, dapat menyimpan 10 persen dari kandungan karbon di lautan di
seluruh dunia. Menurut Rustam et al. (2013), Penelitian secara intensif dan
menyeluruh terkait peranan lamun sebagai blue carbon dalam upaya mitigasi
perubahan iklim juga telah dilakukan sejak 10 tahun terakhir selain hutan di
daratan. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penelitian pada ekosistem lamun di
2
Teluk Banten sebagai penyerap (CO2) pada Agustus 2009 dan Juli 2010
berdasarkan pada perbedaan tekanan parsial (CO2) pada atmosfer dan air.
Lamun memanfaatkan karbon dioksida untuk fotosintesis dalam
pertumbuhannya dan disimpan dalam biomassa yang dikenal dengan blue carbon.
Serasah dan lamun bagian bawah seperti rhizome dan akar dapat tersimpan dalam
sedimen dalam waktu yang sangat lama. Biomassa dan simpanan karbon lamun
dipengaruhi oleh kerapatanya, semakin tinggi keraptan makan akan semakin
tinggi nilai biomassa dan kandungan karbonya (Kiswara dan Ulumuddin, 2009).
Padang lamun di perairan Pantai Alang–Alang dan Pantai Gelaman
berpotensi sebagai penyimpan karbon. Potensi lamun di Pantai Alang–Alang dan
Pantai Gelaman sebagai penyimpan karbon didukung dengan adanya luasan
padang lamun dan keragaman spesies yang berada di kedua Pantai tersebut . Hal
ini sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Hafizt dan Danoedoro
(2017), Estimasi stok karbon padang lamun di pulau Kemujan kepulauan
Karimunjawa sebesar 6,66 ton Karbon di mana termasuk kandungan karbon yang
tinggi.
Lamun yang diukur kandungan karbonnya adalah lamun jenis Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata. Kedua jenis lamun tersebut merupakan
lamun berukuran besar yang memiliki waktu pergantian komponen relatif lama
dan kemampuanya dalam menyimpan karbon. Fungsi ini menjadikan padang
lamun berperan sebagai reservoir karbon (Kennedy dan Bjork, 2009).
Maka dari itu dilakukan suatu perhitungan estimasi simpanan karbon pada
lamun yang terdapat di Pantai Alang–Alang dan Pantai Gelaman, Taman Nasional
Karimunjawa Jepara.
3
1.2 Pendekatan dan Perumusan Masalah
Lamun merupakan tumbuhan laut yang mempunyai kemampuan untuk
menyerap karbon. Kandungan karbon dapat diketahui dengan pendekatan
biomassa, kerapatan, kondisi morfologi dan kualitas perairan sehingga faktor–
faktor tersebut akan mempengaruhi dalam kemampuan penyerapan karbon
(Kiswara dan Ulumuddin, 2009).
Pantai Gelaman di Pulau Kemujan dan Pantai Alang-Alang di Pulau
Karimun Besar menjadi perwakilan lokasi terhadap penelitian ini dikarenakan
Pantai Gelaman mewakili perairan dengan kondisi lamun yg rapat dengan kondisi
perairan yang keruh dan Pantai Alang-Alang mewakili perairan dengan kondisi
lamun yang rapat serta kondisi perairan yang jernih (Ristina et al., 2018).
Kurangnya pengelolaan ekosistem lamun menjadi salah satu faktor, kenapa belum
banyaknya penelitian maupun pemanfaatan fungsi lamun bagi lingkungan.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui nilai biomassa dan simpanan
karbon. Pada lamun jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata, yang ada
di perairan Pantai Alang–Alang dan Pantai Gelaman.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
penyerapan karbon pada lamun di Pantai Alang–Alang dan Pantai Gelaman,
Kepulauan Karimunjawa, Jepara. Data dan informasi pada penelitian ini
4
diharapkan juga dapat digunakan sebagai data pendukung bagi penelitian
selanjutnya dalam konservasi dan rehabilitasi ekosistem padang lamun.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 April – 07 Mei 2019,
penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu penelitian lapangan dan dilanjutkan dengan
penelitian laboratorium. Lokasi pengambilan sampel penelitian berada diperairan
Pantai Alang–Alang dan Pantai Gelaman di Pulau Kemujan dan Karimun besar,
Taman Nasional Karimunjawa. Analisa biomassa dilakukan di laboratorium
kimia, Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro. Analisa karbon dilakukan di laboratorium teknologi hasil
perikanan Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga, berbiji satu dan sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di laut. Tumbuhan ini terdiri dari
rhizome, daun, bunga, buah dan akar. Rhizome merupakan batang yang terendam
merayap secara mendatar, serta berbuku-buku. Rhizome yang berbuku-buku
tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, dan berbunga. Akar
dan rhizome tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga
tahan terhadap gelombang dan arus. Sebagian besar lamun berumah dua, artinya
dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem
pembiakannya bersifat khas karena mampu melakukan penyerbukan didalam air
(hydrophilous pollination) dan buahnya dapat terendam dalam air (Nontji, 1992).
Lamun mampu hidup dan tumbuh subur pada daerah terbuka. Terutama
pada daerah pasang surut dan perairan pantai yang bersubstrat pasir, lumpur,
kerikil, maupun pecahan karang mati. Pada daerah tropis lamun dapat
berkembang sangat baik dan dapat tumbuh di berbagai habitat mulai pada kondisi
nutrien rendah sampai nutrien tinggi (Dahuri et al., 2001).
Lamun dapat tumbuh bertahun-tahun dan rimpangnya tumbuh memanjang
membentuk pasangan daun dan akar baru. Lamun dapat membentuk komunitas
yang lebat sehingga menjadi padang lamun (seagrass bed) yang cukup luas.
Padang lamun mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi dan terdapat
macam-macam biota laut seperti crustacea, molusca serta berbagai jenis ikan
(Romimohtarto,2001).
6
2.2. Jenis–Jenis Lamun
2.2.1. Enhalus acoroides
Secara morfologi jenis lamun Enhalus acoroides termasuk tumbuhan
tropis yang mempunyai akar kuat dan dilapisi oleh benang-benang hitam yang
kaku. Rhizome tertanam di dalam substrat dan pada akarnya terdapat rambut bisus
(Kordi, 2011). E. acoroides hidup pada sedimen halus tetapi mampu juga hidup
pada substrat berbatu sedang dan besar (Hutomo, 1987).
E. acoroides memiliki daun seperti pita atau pita rambut (panjang 30-150
cm, lebar 1,25–1,75 cm). Rimpang merambat, kasar, tidak bercabang atau
bercabang (diameter 1-3 cm), dikelilingi oleh kulit luar yang tebal. Rimpang
ditutupi dengan untai berserat hitam dengan akar kuat. Akar panjang dan berbulu
(panjang 5-15 cm, diameter 2-4 mm) (Short dan Coles, 2001).
Lamun jenis ini merupakan tanaman yang kuat, yang memiliki daun yang
panjang dengan permukaan yang halus dan memiliki Rhizome yang tebal.
Terdapat bunga yang besar dari bawah daun, dan terdapat sepanjang Indo-Pasifik
barat di daerah tropis (Waycott et al., 2004).
Gambar 1. Enhalus acoroides (Kordi, 2011).
7
2.2.2. Cymodocea serrulata
Cymodocea serrulata memiliki daun berbentuk selempang yang
melengkung dengan bagian pangkal menyempit dan ke arah ujung agak melebar.
Ujung daun yang bergerigi memiliki warna hijau atau orange pada rhizome
Memiliki rhizome yang halus dan bersifat herbaceous (sedikit lebih kuat). Helai
daun berwarna ungu muda berbentuk segi tiga yang lebar dan menyempit pada
pangkal (Waycott et al., 2004).
Lamun spesies ini memiliki daun (panjang 5-15 cm, lebar 4-9 mm) dan
lebih bulat, ujung daun bulat dengan sedikit gerigi. Seludang daun kokoh, dengan
tunas tegak pendek. Rimpang gemuk (diameter 2-3 mm, panjang antar ruas 2-5
mm), setiap ruas ada 2-5 daun (Short dan Coles, 2001).
C. serrulata hidup di perairan dengan substrat pasir berlumpur atau pasir
dari pecahan karang pada daerah pasang surut. Dapat bertahan hidup pada
intensitas cahaya yang rendah. Hal tersebut dikarenakan lamun jenis ini memiliki
rimpang vertikal panjang yang dianggap menguntungkan untuk akuisisi cahaya
dan untuk mencegah tanaman dari terkubur oleh sedimen, karena memungkinkan
kanopi mencapai lebih tinggi ke dalam kolom air (Terrados et al., 1998).
Gambar 2. Cymodocea serrulata (Kordi, 2011).
8
2.2.3. Thalassia hemprichii
Lamun Thalassia hemprichii bentuk daunnya seperti selendang yang
muncul dari stem yang tegak lurus dan rhizome penuh oleh sarung daun (leaf
sheath). Daun berbentuk pita, terdapat sepuluh sampai tujuh belas tulang-tulang
daun yang membujur, pada helaian daun terdapat ruji-ruji hitam yang pendek,
ujung daunnya membulat, tidak terdapat ligula (Kordi, 2011). T. hemprichii
memiliki daun melengkung dengan bintik-bintik kecil berwarna hitam, ujung daun
bulat dan bergerigi, memiliki rhizoma tebal. Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa
rambut-rambut kaku. Panjang daun berkisar 100-300 mm dan lebar daun 4-10 mm
(Soedharma et al., 2007).
T. hemprichii hidup dalam semua jenis substrat, bervariasi dari pecahan
karang hingga substrat lunak bahkan pada lumpur cair, tetapi akan dominan pada
substrat keras dan dapat membentuk vegatasi monospesifik pada pasir kasar (Den
Hartog, 1970).
Gambar 3. Thalassia hemprichii (Kordi, 2011).
9
2.2.4. Cymodocea rotundata
Lamun Cymodocea rotundata ujung daunnya halus dan licin (tidak
bergerigi). Daun berbentuk seperti pita melengkung dengan bagian pangkal
menyempit dan agak melebar di bagian ujung. Rhizoma kecil dan lebih rapuh
berwarna putih. Panjang daun berkisar 5 - 16 cm dan lebar daun 2 – 4 mm, tulang
daun berjumlah 9 - 15 (Soedharma et al., 2007)
C. rotundata selain itu memiliki kantong daun yang tertutup penuh dengan
daun muda, terkadang berwarna gelap dan bagian daun dapat muncul dari vertical
stem, memiliki bagian ujung yang halus dan bulat. Dapat tumbuh di substrat pasir
berlumpur atau pecahan karang pada daerah pasang surut. Habitat dari lamun jenis
ini berada pada zona subtidal rendah dan intertidal dangkal, tumbuh baik di
perairan terlindung yang cenderung memiliki kondisi pasir (Kordi, 2011). C.
rotundata mempunyai teloransi tinggi pada daerah terbuka (Tomascik et
al.,1997).
Gambar 4. Cymodocea rotundata (Kordi, 2011).
2.2.5. Halodule uninervis
Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk trisula dan
runcing, terdiri dari 1-3 urat halus yang jelas, memiliki sarung serat dan rhizome
berwarna putih dengan serat-serat berwarna hitam kecil pada nodesnya. Lebar dan
10
panjang daunnya masing-masing 0.2–4 mm dan 5–25 cm (Waycott et al., 2004).
Bagian tengah tulang daun yang hitam biasanya mudah robek menjadi dua pada
ujungnya. Tulang daun tidak lebih dari tiga, daun selalu berakhir pada tiga titik,
yang jelas pada ujung daun, ujung daun seperti trisula (Kordi, 2011). H. uninervis
merupakan jenis lamun pionir hidup pada substrat halus sampai kasar di zona
intertidal dan subtidal (Hutomo, 1987).
Gambar 5. Halodule uninervis (Kordi, 2011).
2.2.6. Halophila ovalis
Lamun Halophila ovalis memiliki ciri-ciri helai daun bulat telur dan
bergaris (panjang 1-4 cm dan lebar 5-20 mm), dengan tulang daun jelas dan 1-20
pasang daun yang sebelah-menyebelah memotong urat daun. Panjang tangkai
daun 1 - 4 cm. Rimpang menjalar dan bulat (diameter 1-2 mm) (Short dan Coles,
2001). H. ovalis hidup hingga dikedalaman 10 (sepuluh) sampai dengan 12 (dua
belas) meter pada substrat pecahan karang hingga lumpur lunak (Tomacik et
al.,1997).
11
Gambar 6. Halophila ovalis (Kordi, 2011).
2.3. Persebaran Lamun di Indonesia
Menurut El Shaffai (2011), terdapat sekitar 60 spesies lamun di seluruh
dunia. Lamun ini dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis. Lamun yang
terdapat di perairan tropis umumnya tersebar di perairan laut Atlantik dan Indo-
Pasifik. Keanekaragaman lamun di wilayah perairan tropis sangat tinggi, terutama
di wilayah Indo-Pasifik, diketahui terdapat hingga 14 spesies lamun dalam satu
ekosistem. Lamun yang terdapat di perairan tropis didominasi oleh spesies
Thalassia sp. Di Indonesia, hingga saat ini diketahui terdapat 13 spesies lamun
dari tujuh marga, tiga diantaranya (Enhalus Sp., Thalassia Sp., Halophila Sp.)
termasuk suku Hydrocaritaceae, sedangkan empat lainnya (Halodule Sp.,
Cymodocea Sp., Syringodium Sp. dan Thallasodendron Sp.) termasuk suku
Cymodoceae (Kuo, 2007).
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir pada umumnya
berkesinambungan, perbedaan yang terdapat biasanya pada komposisi jenisnya
vegetasi tunggal atau campuran maupun luas tutupannya (Hutomo, 1985)
Secara umum ada 3 tipe vegetasi padang lamun yaitu:
1. Padang lamun vegetasi tunggal, dimana hanya terdapat satu spesies saja.
12
2. Padang lamun yang berasosiasi dengan dua atau tiga spesies, dimana lebih
sering dijumpai dibandingkan vegetasi tunggal.
3. Padang lamun vegetasi campuran, umumnya terdiri dari spesies-spesies
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis dan Halophila
ovalis.
Padang lamun menyebar hampir di seluruh kawasan perairan pantai
Indonesia. Tipe perairan tropis seperti Indonesia, padang lamun lebih dominan
tumbuh dengan koloni beberapa jenis pada suatu kawasan tertentu yang berbeda
dengan kawasan temperate atau daerah dingin yang kebanyakan didominasi oleh
satu jenis lamun.
2.4. Ekosistem Padang Lamun
Perairan pantai lamun tumbuh membentuk padang yang terdiri dari satu
jenis sampai beberapa jenis yang disebut padang lamun. Padang lamun merupakan
suatu ekosistem di kawasan pesisir yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati
yang cukup tinggi dan sebagai penyumbang nutrisi yang sangat berpotensial bagi
perairan disekitarnya karena memiliki tingkat produktivitas yang tinggi.
Ekosistem padang lamun memberikan habitat bagi biota laut (Kiswara dan
Hutomo, 1985).
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang
memiliki produktivitas tinggi. Di samping itu, ekosistem lamun mempunyai
peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan ekosistem di laut
13
dangkal. Diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal
sebagai berikut (Nusi, 2014) :
1. Produsen primer
Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi bila dibandingkan
dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu
karang.
2. Habitat biota
Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Padang lamun merupakan daerah pemijahan,
padang pengembalaan dan tempat mencari makan bagi berbagai jenis ikan
herbivora dan ikan–ikan karang.
3. Penangkap sedimen
Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus
dan ombak sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Rhizome dan akar
lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan
menstabilkan permukaan substrat. Padang lamun yang berfungsi sebagai
penangkap sedimen, dan dapat mencegah erosi.
4. Pendaur zat hara
Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan
elemen-elemen yang langka di lingkungan laut.Peranan padang lamun adalah
sebagai daerah asuhan, dimana sebagian besar ikan penghuni padang lamun
adalah ikan-ikan juvenil dan apabila telah dewasa akan menghabiskan hidupnya
pada tempat lain (Hutomo,1985)
14
2.5. Parameter Ekologi Lamun
2.5.1 Suhu
Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu
terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme,
penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns, 1986). Walaupun
padang lamun secara geografis tersebar luas yang diindikasikan oleh adanya
kisaran toleransi yang luas terhadap temperatur, pada kenyataannya spesies lamun
di daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan
temperatur. Kisaran suhu optimal bagi spesies lamun adalah 28-300C.
Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur
perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Dahuri, 2003).
2.5.2. Salinitas
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam yang terlarut
dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan 0/00 (Nontji, 1993).
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang
tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar. Spesies lamun memilki
kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar
memilki kisaran yang lebar yaitu antara 10 dan 400/00. Nilai salinitas optimum
untuk spesies lamun adalah 350/00. Salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan
ekosistem padang lamun adalah meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh
berkurangnya suplai air tawar dari sungai (Dahuri, 2003).
2.5.3. Kecerahan
Keberadaan tumbuhan lamun sangat dipengaruhi penetrasi cahaya
matahari, karena cahaya tersebut diperlukan untuk proses fotosintesis. Lamun
15
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melaksanakan proses
fotosintesis. Hal ini terbukti dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa
distribusi padang lamun hanya terbatas pada daerah yang tidak terlalu dalam
(Dahuri, 2003).
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebaran komunitas lamun di
dunia masih ditemukan hingga kedalaman 90 m, syaratnya pada kedalaman ini
masih terdapat cahaya matahari. Beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan
muatan sedimen pada badan air akan berakibat pada tingginya kekeruhan perairan,
sehingga berpotensi mengurangi penetrasi cahaya. Aktivitas tersebut dapat
menimbulkan gangguan terhadap produktivitas primer ekosistem padang lamun
(Dahuri, 2003).
2.5.4. Kedalaman
Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai
kedalaman 30 m. Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara
vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga
mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang
didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, C. serullata dan
Holodule pinifolia, sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona
intertidal bawah (Hutomo, 1987).
2.5.5. Nutrien
Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan
dan morfologi lamun pada perairan yang jernih. Penyerapan nutrien oleh lamun
dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar
terutama di daerah tropik. Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar
16
lamun. Lamun mengambil unsur hara terlarut melalui akar dan daun dengan
mekanisme tergantung pada jenis unsur hara dan konsentrasinya. konsentrasi pada
kolom air tinggi, maka pengambilan melalui daun mungkin lebih dominan.
Sebaliknya apabila nilai ambang di kolom air rendah, pengambilan unsur hara
akan lebih banyak dilakukan melalui akar (Hutomo, 1987).
2.5.6 Substrat
Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur
sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40%.
Kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencangkup
2 hal, yaitu pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta
pemasok nutrient. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama
untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun (Dahuri, 2003).
Jenis substrat yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis
lamun dan dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan serta pertumbuhan lamun,
hal ini didasari oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir
akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses
dekomposisi dan mineralisasi yang terjadi di dalam substrat (Kiswara, 1992).
2.5.7. Arus
Pasang surut akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari ke dasar
perairan serta laju kecepatan arus air laut. Kondisi ini akan mempengaruhi sebaran
nutrien diperairan yang mendukung tingkat pertumbuhan lamun dan biomassanya.
Kecepatan arus merupakan faktor yang mempunyai pengaruh sangat nyata
terhadap pertumbuhan lamun di suatu perairan. Produktivitas padang lamun
tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan. Padang lamun
17
mempunyai kemampuan maksimum menghasilkan “standing crop” pada saat
kecepatan arus 0,5 m/dtk (Dahuri, 2001)
2.6. Fotosintesis
2.6.1 Definisi
Proses kehidupan tanaman salah satunya yaitu fotosintesis, dimana adanya
proses biokimia untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi). Karbon dioksida
(CO2) dan air (H2O) dibawah pengaruh cahaya diubah ke dalam persenyawaan
organik yang berisi karbon dan kaya energy (Bengen, 2001).
Fotosintesis merupakan proses yang dilakukan dengan menggunakan
energi dari cahaya matahari yang diserap oleh klorofil untuk membuat bahan
makanan dari molekul sederhana menjadi molekul yang lebih kompleks
(Kimball, 2002).
Reaksi Fotosintesis:
6CO2 + 6H2O + cahaya → C6H12O6 + 6O2
Reaksi tersebut, maka bahan yang digunakan untuk melakukan fotosintesis
yaitu karbondioksida dan air yang kemudian diubah menjadi karbohidrat dan
oksigen dengan bantuan foton yang diserap oleh klorofil. Jadi fotosintesis
merupakan suatu proses pembentukan atau penyusunan senyawa kompleks dari
senyawa sederhana (Benyamin, 2004).
Rangkaian reaksi fotosintesis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
bagian utama, yaitu reaksi terang dan reaksi gelap (Salisbury, 1998). Reaksi
terang adalah proses untuk menghasilkan ATP dan reduksi NADPH2. Reaksi ini
memerlukan molekul air. Proses diawali dengan penangkapan foton oleh pigmen
sebagai antena. Pigmen klorofil menyerap lebih banyak cahaya terlihat pada
18
warna biru (400-450 nanometer) dan merah (650-700 nanometer) dibandingkan
hijau (500-600 nanometer). Cahaya hijau ini akan dipantulkan dan ditangkap oleh
mata kita sehingga menimbulkan sensasi bahwa daun berwarna hijau. Fotosintesis
akan menghasilkan lebih banyak energi pada gelombang cahaya dengan panjang
tertentu. Hal ini karena panjang gelombang yang pendek menyimpan lebih banyak
energi . Reaksi gelap terjadi pada bagian matrik stroma kloroplas. Pada bagian ini,
terdapat seluruh perangkat untuk reaksi-reaksi penyusunan zat gula. Reaksi
tersebut memanfaatkan zat berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang
yaitu ATP dan NADPH. Pada tumbuhan proses biokimia yang terpicu adalah
siklus Calvin yang mengikat karbon dioksida untuk membentuk ribulosa (dan
kemudian menjadi gula seperti glukosa). Reaksi ini disebut reaksi gelap karena
tidak bergantung pada ada tidaknya cahaya sehingga dapat terjadi meskipun
dalam keadaan gelap tanpa cahaya (Benyamin, 2004).
2.6.2. Tanaman Air
Berbeda dengan tumbuhan darat yang dengan mudah menyerap karbon
dioksida dari udara atmosfer melalui lubang stomata mereka (hadir di atas dan sisi
bawah daun), air dari tanah melalui sistem akar mereka dan energi radiasi dari
sinar matahari (Sasmitamihardja dan Siregar, 1996). Tanaman air memerlukan
adaptasi khusus untuk melakukan fotosintesis, seperti melakukan adaptasi
terhadap sistem pada perakaran dan daun untuk membantu penyerapan air juga
mencegah atau menghilakan garam sesegera mungkin agar tidak masuk ke sistem
jaringan mereka. Semua proses ini membantu dalam mengatur keseimbangan
osmotik, yang jika tidak akan menyebabkan pencucian air dan pengeringan
tanaman. Dengan cara ini, tanaman air menjalani fotosintesis bawah air. Hasil dari
19
fotosintesis pada tumbuhan air pada dasarnya karbohidrat dan oksigen yang
digunakan oleh organisme lain yang hidup dalam komunitas biotik yang sama
(Bengen, 2001). Oksigen yang dibutuhkan oleh tumbuhan tidak sebanyak yang
dibutuhkan oleh manusia jugahewan. Oksigen pada tumbuhan hanya akan diserap
sedikit dan sisanya akan mereka lepaskan pada saat fotosintesis (Graha, 2015).
2.7. Biomassa
Biomassa dapat diartikan sebagai massa semua bagian tanaman yang
berasal dari proses fotosintesis, unsur hara dan air yang diserap oleh tanaman
selanjutnya akan diolah melalui proses biosintesis. Biomassa merupakan salah
satu indikator pertumbuhan tanaman dan biasanya didasarkan pada berat kering
tanaman (Sitompul, 1995).
Menurut Kiswara (2009), kerapatan lamun dipengaruhi oleh faktor tempat
tumbuh dari lamun tersebut, beberapa faktor yang mempengaruhi kerapatan
lamun diantaranya adalah tipe sedimen, arus air dan kecerahan. Nilai kerapatan
lamun akan berbanding lurus dengan nilai biomassa lamun.
Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat abu) lamun
bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga)
dan bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan dalam
satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Biomassa di bawah substrat umumnya
lebih besar dibanding di atas substrat. Salah satu manfaat besarnya biomassa di
bawah substrat adalah ketersediaan cadangan makanan pada musimmusim
tertentu dimana produktivitas lamun sangat kecil (Lee et al., 2007). Menurut
Graha (2015), biomassa disusun oleh senyawa utama karbohidrat yang terdiri dari
20
unsur karbon dioksida, hydrogen dan oksigen. Biomassa pada tumbuhan
dipengaruhi oleh umur, komposisi dan struktur tegakan itu sendiri.
Menurut Prasetyo (2008), pengukuran biomassa suatu ekosistem dapat
memberikan informasi tentang kandungan nutrisi dan persediaan karbon dalam
ekosistem secara menyeluruh atau jumlah bagian-bagian tertentu. Sedangkan
menurut Vialli (2013), besarnya biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi
dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari kerapatan atau
kepadatan.
2.8. Karbon
2.8.1. Definisi Karbon
Karbon merupakan salah satu dari senyawa non-logam yang memiliki
nomer atom 6 pada simbol C dalam table periodik dan termasuk kedalam unsur
golongan IV A. Karbon juga sebagai penyusun senyawa–senyawa organik yang
ada di alam dan pembentuk bahan organik yang didalamnya termasuk mahluk
hidup (Munari, 2011). Karbon memiliki cara sendiri untuk terbentuk di alam yang
di mulai dari atmosfer hingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan fotosintesis
tumbuhan. Proses siklus karbon dimulai dari karbon yang ada di atmosfer berupa
senyawa CO2 yang akan dimanfaatkan sebagai bahan untuk melakukan
fotosintesis tumbuhan dan akan kembali ke atmosfer (Indriyanto, 2006).
Menurut Davis et. al. (1995), penyerapan karbon dapat terjadi dengan
adanya bantuan proses fotosintesis dapat mengubah karbon anorganik (CO2)
menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar
ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer
sebagai CO2. Karbon diambil dari atmosfer dengan cara fotosintesis tumbuhan
21
untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen
ke atmosfer.
2.8.2. Siklus Karbon Pesisir
Siklus karbon merupakan siklus biogeokimia dimana terjadinya pertukaran
atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan
atmosfer bumi. Siklus ini mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali
lagi ke komponen abiotik. Siklus karbon menghasilkan reaksi-reaksi kimia dalam
lingkungan abiotik. Hutan, tanah laut dan atmosfer semuanya menyimpan karbon
yang berpindah secara dinamis diantara tempat-tempat penyimpanan tersebut
sepanjang waktu. Proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi
proses lainnya (Sutaryo, 2009).
Menurut Janzen (2004), Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon,
di mana sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Karbon anorganik yaitu
senyawa karbon tanpa ikatan karbon-karbon atau karbon-hidrogen. Pertukaran
karbon ini menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan juga dapat berubah
sebagai sumber atau lubuk karbon. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke
atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO2) berpindah dari
atmosfer ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat terbentuk:
CO2 + H2O ⇌ H2CO3
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia,
reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan
ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada
pH:
H2CO3⇌ H++ HCO3-
22
Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang
dihubungkanoleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer.
Biosferteresterial biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-
hayatiorganik seperti karbon tanah, lautan dan sedimen. Pergerakan tahuan
karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia,
fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengandung kolam
aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian
dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer (Houghton,
2005).
2.8.3. Lamun Penyerap Karbon
Penyerapan karbon juga dapat dilakukan oleh lautan yang tersimpan dalam
bentuk sedimen yang berasal dari mangrove, salt marshes dan padang lamun.
Proses penyerapan karbon ini dikenal sebagai blue carbon. Menurut Kawaroe
(2009), Blue carbon mampu menyerap karbon bebas di atmosfer lebih tinggi dari
pada daratan, diperkirakan mencapai 55% dan memiliki kemampuan dalam
menyimpan karbon mencapai jutaan tahun melebihi hutan tropis yang berada
didaratan.
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang berperan
dalam penyerapan karbon. Peran ekosistem lamun terhadap penyerapan karbon
dimulai dari proses fotosintesis yang kemudian disimpan sebagai biomassa.
Ekosistem lamun melalui fotosistesis dapat merubah CO2 dari udara dan air
menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk disimpan oleh
ekosistem dan sebagian oksigen dilepaskan ke atmosfer. Karbon yang telah
23
diserap oleh lamun disimpan dalam biomassa pada bagian daun, akar dan rhizome
(Kiswara dan Ulumuddin, 2009).
24
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
3.1.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan pada penelitian ini yaitu sampel lamun dan data
parameter kualitas air (suhu, pH, salinitas dan ukuran butir sedimen) yang terdapat
di Pantai Alang–Alang Pulau Karimun Besar dan Pantai Gelaman Pulau Kemujan,
Taman Nasional Karimunjawa.
3.1.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan dan
penelitian di laboratorium pada penelitian ini akan disajikan pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian Lapangan
No Nama Keterangan
1. Transek kuadran Mengukur luasan area sampling dan pengambilan
biomassa karbon
2. Roll meter Mengukur titik dari satu Stasiun ke Stasiun lainnya
3. Alat Tulis Mencatat hasil saat pengamatan
4. GPS Menetukan titik koordinat lokasi
5. pH meter Mengukur pH
6. DO meter Mengukur kadar oksigen
7. Thermometer Mengukur suhu
8. Refraktometer Mengukur salinitas
9. Secchidisk Mengukur kecerahan suatu perairan
25
Lanjutan Tabel 1.
10. Buku identifikasi
lamun
Mengidentifikasi spesies lamun
11. Kamera Mengambil dokumentasi
12. Skin dive Membantu pengambilan data
13. Padang Lamun Objek yang diamati
14.
15.
16.
17.
18.
Coolbox
Neraca analitik
Kertas label
Plastik ziplock
Herbarium basah
lamun
Mengawetkan sampel
Menimbang berat sampel basah
Memberi tagging pada sampel
Menyimpan sampel
Bahan penelitian
Tabel 2. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian Laboratorium
No. Nama Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Aquadest
Neracanalitik
Alat tulis
Oven
Desikator
Cawan porselen
Gunting
Laptop
Alumunium foil
Membersihkan sampel
Mengukur berat kering
Mencatat hasil pengamatan
Mengeringkan sampel
Menghilangkan kadar air
Wadah sampel
Memperkecil sampel
Mengolah data
Membungkus sampel
3.2. Metode
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif eksploratif. Metode penelitian dekriptif yaitu metode penelitian yang
digunakan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerah tertentu pada suatu wilayah
26
(Suryana, 2010). Metode eksploratif adalah menggali secara luas tentang sebab
atau hal yang mempengaruhi sesuatu (Arikunto, 2002).
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer utama dan
primer pendukung. Data primer utama meliputi kerapatan, biomassa dan stok
karbon yang ada pada lamun. Data primer pendukung meliputi parameter
lingkungan di antaranya suhu, salinitas, pH dan ukuran butir sedimen.
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1 Penentuan Lokasi dan Stasiun Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan pada 2 lokasi. Lokasi pertama terdapat di
Pantai Gelaman Pulau Kemujan sebagai Stasiun 1 untuk mewakili perairan
dengan kondisi lamun yang rapat dengan kondisi perairan yang keruh. Lokasi
kedua terdapat di Pantai Alang-Alang Pulau Karimun Besar sebagai Stasiun 2
untuk mewakili perairan dengan kondisi lamun yang rapat serta kondisi perairan
yang jernih. Kedua Stasiun masuk dalam wilayah administratif Kecamatan
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Secara geografis Stasiun 1
terletak pada 05050’18.38’’ LS dan 110025’08.85’’ BT, sedangkan Stasiun 2
terletak pada 5048’01,90’’ LS dan 110027’30,87’’ BT.
27
Gambar 7. Peta lokasi Penelitian.
3.3.2. Pengamatan dan Pengambilan Sampel Lamun
Pengamatan dan pengambilan sampel lamun dilakukan di Stasiun 1 dan
Stasiun 2. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey. Data
diperoleh melalui pengambilan sampel, penghitungan lamun, pengukuran kualitas
air serta pengambilan sedimen.
Gambar 8. Transek 50 x 50cm (Rahmawati et al., 2017).
Metode sampling mengacu pada buku panduan monitoring padang lamun
LIPI dengan menggunakan metode line transect quadrant. Line transect quadrant
terdiri dari line transect yang ditarik di atas ekosistem padang lamun dan kuadrat
28
adalah bingkai berbentuk segiempat sama sisi berukuran 50x 50 cm yang dibagi
menjadi 4 sub/bidang berukuran 25 x 25 cm yang diletakkan pada garis tersebut
(Gambar 8). Tiga garis transek dibentangkan disetiap titik Stasiun setelah
melakukan pengamatan lingkungan dengan keadaan lamun yang ada di lokasi
tersebut. Transek garis dibentangkan tegak lurus terhadap garis pantai, dimulai
dari titik 0 pada roll meter. Penentuan titik 0 dimulai dari ditemukannya jenis
lamun pertama, kemudian ditarik garis kearah laut lepas sepanjang 100 m. Setiap
Stasiun terdiri dari 3 transek garis pengulangan, dengan jarak antar garis ke
samping adalah 50m. Jarak transek dalam satu garis transek adalah 10 m,
pengulangan dilakukan sampai ujung garis transek mencapai 100 m, sehingga
total transek dalam satu garis transek adalah 11 transek. Gambar 8 merupakan
gambaran garis pengulangan transek yang dibentangkan pada satu Stasiun
pengamatan (Rahmawati et al., 2017).
Gambar 9. Transek Garis dalam Satu Stasiun (Rahmawati et al., 2017).
Menurut Azkab (1999), lamun yang diambil adalah bagian akar dengan
pemotongan rhizoma yang menjalar ke samping (batas luar kuadran/ transek) dan
daun lamun. Sampel lamun kemudian dibersihkan dan dikemas menjadi
herbarium basah. Sampel lamun yang diambil merupakan lamun yang
29
mendominasi pada transek tersebut. Sampel lamun yang berupa herbarium basah,
dipisahkan menurut jaringannya yaitu akar, rhizome dan daun kemudian dipotong
menjadi bagian terkecil dan ditimbang berat basahnya (Graha, 2015).
3.3.3. Pengambilan Parameter Kualitas Air
Pengambilan data parameter kualitas air yang diukur yaitu parameter fisika
meliputi suhu, salinitas, pH, kecerahan, arus, nitrat dan fosfat. Parameter suhu
dapat diambil menggunakan termometer, salinitas menggunakan refraktometer,
pH menggunakan kertas pH, tingkat kecerahan dapat diukur dengan menggunakan
secchi disk dan arus menggunakan bola duga. Pengambilan data nitrat dan fosfat
menggunakan sampel air pada masing-masing Stasiun (McKenzie et al., 2014).
3.3.4. Pengukuran Biomassa Lamun
Pengukuran biomassa pada sampel lamun E. acoroides dan C. serrulata
dilakukan setelah dilakukan proses pengeringan dan penimbangan berat per
tegakan lamun di laboratorium dengan cara memasukkan ke dalam oven pada
temperatur tetap 60°C selama 4-5 jam. Pengukuran biomassa diketahui dengan
membagi berat total setiap sampel dengan jumlah tegakannya (Supriadi, 2012).
3.3.5. Pengukuran Karbon Lamun
Pengukuran karbon pada sampel jaringan lamun (daun, rhizome dan akar)
dianalisis dengan menggunakan metode LOI (Loss on Ignition) atau disebut
sebagai metode pengabuan (Helrich, 1990). Metode ini dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut: Cawan porselin yang akan digunakan dicuci, dibilas dan
dikeringkan, lalu cawan dimasukkan ke dalam tanur listrik selama 2-3 jam pada
suhu 5500C. Cawan porselin lalu didinginkan ke dalam desikator selama 30 menit,
kemudian ditimbang sebagai cawan kosong.
30
Sampel lamun ataupun sedimen yang telah dikeringkan dimasukkan ke
dalam cawan dan dicatat sebagai berat cawan + berat sampel. Cawan ini
dimasukkan kembali dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 5500C hingga
menjadi abu yang dapat dilihat dari perubahan warna menjadi warna putih keabu-
abuan tanpa ada bintik hitam. Cawan porselin didinginkan ke dalam desikator lagi
kemudian ditimbang dan didapatkan nilai berat cawan + berat abu (Helrich,
1990).
3.4. Analisis Data
3.4.1 Kerapatan dan Presentasi Tutupan Lamun
Kerapatan jenis yaitu jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas.
Kerapatan Lamun dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Brower, 1990):
Keterangan :
D = Kerapatan Jenis (Tegakan/m2)
Ni = Jumlah Tegakan (Teagakan)
A = Luas Daerah yang disampling (m2)
Persen tutupan (% cover) lamun dianalisa dengan menggunakan rumus
sesuai dengan buku panduan monitoring padang lamun (Rahmawati et al., 2017) :
3.4.2 Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis lamun ditentukan dengan menggunakan indeks
keanekaragaman Shanon-Weanner (Brower and Zar, 1998) :
31
H’ =
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weaner
Pi = Proporsi frekuensi jenis ke-1 terhadap jumlah total
ni = Jumlah individu dari suatu jenis ke-1
N = Jumlah total individu seluruh jenis
3.4.3 Keseragaman
Indeks keseragaman jenis dihitung dengan menggunakan rumus Shannon
weaner (Brower and Zar, 1998):
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman.
H’ = Indeks Keanekaragaman
3.4.4 Dominansi
Indeks dominasi dihitung dengan menggunakan rumus menurut Odum
(1998):
Keterangan :
D = Indeks dominasi Simpson
Pi = Proporsi frekuensi jenis ke-I terhadap jumlah total
3.4.5 Biomassa
Rumus yang digunakan untuk menghitung biomassa ditunjukkan oleh
persamaan menurut Duarte (1990) :
32
B = W x D
Keterangan :
B = Biomassa Lamun (gram.m- 2 )
W = Berat Kering sebuah Tunas Lamun (gram.tunas-1)
D = Kepadatan Lamun (tunas.m- 2)
3.4.6 Karbon
Rumus yang digunakan untuk menghitung kandungan karbon jaringan
lamun dengan metode pengabuan dapat dihitung dengan persamaan oleh Helrich
(1990):
Keterangan :
a = berat cawan
b = berat cawan + berat kering jaringan lamun
c = berat cawan + berat abu jaringan lamun
Bahan organik dihitung dengan metode pengabuan yaitu pengurangan
berat saat pengabuan oleh Helrich (1990) :
Keterangan :
a = berat cawan
b = berat cawan + berat sampel
c = berat (cawan + abu)
Nilai kandungan karbon jaringan lamun dihitung dengan persamaan
Helrich (1990):
Keterangan :
1,724 = konstanta nilai bahan organik
33
3.4.7. Nilai Estimasi Kandungan Karbon
Estimasi kandungan karbon dihitung menggunakan rumus sebagai berikut
(Sulaeman et al., 2005):
Estimasi Kandungan Karbon
3.5. Skema Diagram Alir Penelitian
Mulai
Studi Literatur
Penentuan Lokasi
Identifikasi Masalah
Data Primer Utama Data Primer Pendukung fPPendukung
Parameter Lingkungan
(Suhu, Salinitas, Ph,
Ukuran Butir Sedimen)
Lamun
Pengukuran
Biomassa Pengukuran
Karbon
Analisa Data
Kandungan Karbon
Kesimpulan
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pantai Gelaman sebagai lokasi Stasiun 1 terdapat di Dusun Merican Pulau
Kemujan yang berseberangan langsung dengan Pulau Merican yang terletak di
Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dengan titik
koordinat terdapat pada 5048’01,90’’ LS dan 110027’30,87’’ BT. Sekitar Stasiun 1
terdapat banyak sekali penduduk yang rata-rata bermata pencaharian sebagai
nelayan pencari ikan, karena banyak sekali kapal nelayan yang bersandar.
Kecerahan perairan tergolong keruh karena mempunyai substrat pasir berlumpur.
Kedalaman perairan berkisar antara 0.5–3 meter dengan pantai yang landai dan
terdapat banyak vegetasi mangrove.
Sebagai lokasi Stasiun 2, Pantai Alang–Alang merupakan salah satu pantai
di Pulau Karimun besar yang bersebelahan dengan Pantai Tanjung Gelam yang
terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Koordinat
Stasiun 2 terdapat pada 05050’18.38’’ LS dan 110025’08.85’’ BT. Berbeda
dengan Stasiun 1, sekitaran Stasiun 2 tidak banyak terdapat penduduk. Aktivitas
yang ada disekitar Stasiun 2 diantaranya aktivitas perikanan seperti penangkapan
ikan dan adanya kapal nelayan yang bersandar. Substrat pada Stasiun ini berjenis
pasir. Kedalaman perairannya berkisar antara 0.5–4 meter, Kecerahan perairan
sampai dasar dan terdapat sedikit vegetasi mangrove.
35
4.1.2 Komposisi Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah di lakukan, lamun yang terdapat
di Stasiun 1 dan Stasiun 2 akan disajikan secara lengkap pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis–jenis lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2.
No. Jenis Lamun Stasiun1 Stasiun2
1. Enhalus acoroides + +
2. Cymodocea serrulata + +
3. Thalassia hemprichii + +
4. Cymodocea rotundata + +
5. Halodule uninervis + +
6. Halophila ovalis - +
Jumlah spesies 5 6
Keterangan :
- : Tidak ditemukan
+ : Ditemukan
Berdasarkan hasil yang didapatkan terlihat bahwa jenis lamun Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii, C. rotundata dan
Halodule uninervis merupakan jenis spesies yang ditemukan pada kedua Stasiun.
Jenis lamun H. ovalis hanya ditemukan pada Stasiun 2 saja, hal ini bisa
dikarenakan jenis substrat pasir kasar sampai kerikil mendominasi di Stasiun 2
dibandingkan Stasiun 1.
4.1.3 Kerapatan dan Presentase Tutupan Lamun
Hasil pengukuran kerapatan lamun merupakan jumlah tegakan (Ind) per
satuan luas (m2). Hasil kerapatan dan presentase tutupan lamun akan disajikan
pada Tabel 4.
36
Tabel 4. Hasil Kerapatan (Ind/m2) dan Tutupan (%) Lamun di Stasiun 1 dan
Stasiun 2
Jenis Lamun Stasiun 1
Stasiun 2
Kerapatan Tutupan Kerapatan Tutupan
E. acoroides 191 18.75
110 11.74
C. serrulata 653 21.21
403 14.58
T. hemprichii 244 16.48
177 9.28
C. rotundata 107 8.71
283 10.11
H. uninervis 40 3.61
99 4.36
H. ovalis - - 63 1.70
Σ 1235 68.76
1135 51.78
X 247 13.75 189 8.63
Tabel 5. Skala Kondisi Padang Lamun berdasarkan Kerapatan (Braun-Blanquet,
1965).
Kerapatan (ind/m2) Kategori
> 175 Sangat rapat
125-175 Rapat
75-125 Agak rapat
25-75 Jarang
< 25 Sangat jarang
Tabel 6. Kategori Persentase Tutupan Lamun (Rahmawati et al., 2017).
Tutupan (%) Kategori
0-25 Jarang
26-50 Sedang
51-75 Padat
76-100 Sangat Padat
37
Nilai total kerapatan lamun tertinggi ada pada Stasiun 1 sebesar 1235
tegakan/m2 dengan 5 jenis lamun. Nilai kerapatan pada Stasiun 1 berkisar antara
40–653 tegakan/m2. Kerapatan tertinggi di Stasiun 1 yaitu pada jenis lamun
Cymodocea serrulata sebesar 653 tegakan/m2 dan kerapatan terendah pada jenis
lamun Halodule uninervis sebesar 40 tegakan/m2. Nilai total kerapatan terendah
ada pada Stasiun 2 sebesar 1135 tegakan/m2 dengan 6 jenis lamun. Nilai kerapatan
pada Stasiun 2 berkisar antara 63–403 tegakan/m2, sama halnya dengan Stasiun 1
pada Stasiun 2 kerapatan tertinggi ada pada jenis lamun C. serrulata sebesar 403
tegakan/m2. Nilai kerapatan terendah pada Stasiun 2 ada lamun H. uninervis
sebesar 63 tegakan/m2. Hasil ini berbeda dengan Stasiun 1 dikarenakan pada
Stasiun 1 tidak di temukan lamun jenis Halopila ovalis . Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Grafik kerapatan lamun (Ind/m2) di Stasiun 1 dan Stasiun 2
(Gambar 10).
Gambar 10. Grafik Kerapatan Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata;
Th : Thallasia hemprichii; Cr : Cymodocea rotundata;
Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis
38
Nilai rata-rata tutupan lamun tertinggi, terendah serta nilai total tutupan
lamun pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 dapat dilihat pada Grafik persentase tutupan
lamun (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik Persentase Tutupan Lamun di Stasiun 1 dan 2.
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata;
Th : Thallasia hemprichii; Cr : Cymodocea rotundata;
Hu ; Halodule uninervis;
Ho : Halophila ovalis.
4.1.4. Indeks Ekologi
Penilaian kondisi padang lamun juga dapat dilakukan dengan menghitung
indeks ekologi lamun yang meliputi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman
dan indeks dominansi yang akan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 7. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Lamun di
Stasiun 1 dan Stasiun 2
Stasiun Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
H' Kategori E Kategori D Kategori
1 1.83 Sedang
0.92 Tinggi
0.35 Tidak
2 2.05 Sedang 0.88 Tinggi 0.27 Tidak
39
Nilai indeks keanekaragaman dihitung menggunakan rumus Shannon
Weinner. Nilai keanekaragaman jenis lamun di lokasi penelitian dikategorikan
sedang, karena hasil yang diperoleh adalah H’<1 dan 1<H’<3 (Odum, 1998).
Keanekaragaman jenis lamun pada Stasiun1 dan 2 tergolong sedang karena
memiliki nilai indeks lebih dari 1.
Nilai keseragaman jenis lamun pada semua Stasiun dikategorikan tinggi
karena memiliki nilai indeks lebih dari 0,6. Menurut Odum (1998), keseragaman
yang tinggi memiliki nilai indeks lebih dari 0,6. Keseragaman sedang memiliki
nilai indeks 0,4 sampai 0,6. Nilai indeks kurang dari 0,4 dikategorikan sebagai
keseragaman yang rendah.
Nilai dominansi dihitung menggunakan Simpson’s Index. Nilai dominansi
jenis lamun pada semua Stasiun dikategorikan sebagai tidak ada dominansi. Nilai
D mendekati 0, maka tidak ditemukan spesies yang mendominasi lokasi tersebut,
jika D mendekati 1 maka terdapat spesies yang mendominasi. Indeks dominansi
berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman. Indeks keanekaragaman
tinggi, menandakan bahwa tidak adanya dominansi spesies sehingga indeks
dominansi rendah (Odum, 1998).
4.1.5. Biomassa Lamun
Nilai biomassa dibagi menurut jaringan bawah substrat yang terdiri dari
akar serta rhizome dan jaringan atas substrat yang terdiri dari daun. Biomassa
yang diambil dan dianalisis dalam penelitian ini adalah lamun jenis Cymodocea
serrulata dan Enhalus acoroides. Nilai biomassa lamun jenis C. serrulata
disajikan dalam Tabel 6, nilai biomassa lamun jenis E. acoroides disajikan dalam
Tabel 7 dan nilai biomassa lamun di kedua Stasiun akan disajikan dalam Tabel 8.
40
Tabel 8. Nilai Biomassa (gbk/m2) lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 1 dan
Stasiun 2
Stasiun Sub Stasiun
Total Biomassa
Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1
a 6.36 5.98 12.34
b 7.37 5.18 12.54
c
Total
6.20
19.92
5.78
16.94
11.98
36.87
2
a 4.05 5.44 9.49
b 5.85 4.90 10.75
c
Total
7.02
16.92
7.09
17.43
14.11
34.35
Nilai biomassa pada lamun Cymodocea serrulata pada Stasiun 1 yaitu
sebesar 11,98–12,54 gbk/m2. Nilai tersebut terdiri dari nilai biomassa pada bagian
atas substrat dan bagian bawah substrat. Nilai biomassa pada bagian bawah
substrat yaitu sebesar 6,20–6,36 gbk/m2. Nilai biomassa pada bagian bawah
substrat terdiri dari biomassa lamun pada bagian akar dan Rhizome. Nilai bagian
atas substrat yaitu sebesar 5,18-5,98 gbk/m2.
Hasil nilai biomassa pada lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 2 tidak
jauh berbeda dari Stasiun 1 yaitu sebesar 9,49–14,11 gbk/m2. Nilai biomassa pada
bagian bawah substrat sebesar 4,05–7,02 gbk/m2 dan pada bagian atas substrat
sebesar 4,90–7,09 gbk/m2.
41
Tabel 9. Nilai Biomassa (gbk/m2) lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1 dan
Stasiun 2
Stasiun Sub Stasiun
Total Biomassa
Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1
a 192.95 83.53 276.48
b 198.43 138.79 337.22
c
Total
446.34
837.73
208.13
430.44
654.47
1268.17
2
a 257.78 140.03 397.81
b 137.79 88.61 226.40
c
Total
228.90
624.47
71.32
299.96
300.22
924.43
Hasil nilai biomassa yang dihasilkan lamun Enhalus acoroides tergolong
lebih besar jika dibandingkan dengan lamun jenis Cymodocea serrulata
dikarenakan ukuran morfologi dari lamun E. acoroides lebih besar dari lamun C.
serrulata. Nilai biomassa lamun jenis E. acoroides pada Stasiun 1 yaitu sebesar
276,48–654,47 gbk/m2. Bagian bawah substrat menghasilkan nilai biomassa
sebesar 192,95–446,34 gbk/m2 dan bagian atas substrat sebesar 83,53–208,13
gbk/m2.
Lamun jenis Enhalus acoroides pada Stasiun 2 menghasilkan nilai
biomassa sebesar 226,40–397,81 gbk/m2. Nilai biomassa pada bagian bawah
substrat sebesar 192,95–446,34 gbk/m2 dan bagian atas substrat sebesar 71,32-
140,03 gbk/m2.
42
Tabel 10. Nilai total Biomassa (gbk/m2) lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Stasiun
Total Biomassa
Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1 857.65 447.38 1305.03
2 641.39 317.39 958.78
Hasil nilai total biomassa didapatkan dari nilai biomassa bawah subsrat
dan atas substrat pada kedua lamun. Stasiun 1 menghasilkan nilai total biomassa
lebih besar dari Stasiun 2, yaitu sebesar 1305,03 gbk/m2. Stasiun 2 menghasilkan
nilai total biomassa sebesar 958,78 gbk/m2.
4.1.6. Nilai Estimasi Stok Karbon Lamun
Nilai estimasi stok karbon lamun dapat diketahui setelah dilakukan
konversi kandungan karbon pada jenis lamun Cymodocea serrulata dan Enhalus
acoroides dengan metode pengabuan. Nilai kandungan karbon dalam jaringan
lamun didapatkan dari nilai biomassa pada setiap transek yang dikonversi dengan
nilai kandungan karbon, sehingga didapatkan nilai estimasi kandungan karbon
terhadap lamun di semua titik. Nilai kandungan karbon yang didapatkan kemudian
dikonversikan kembali menjadi nilai persen karbon/konsentrasi karbon. Nilai
estimasi stok karbon pada bagian (akar, rhizome dan daun) lamun E. acoroides
dan C. serrulata disajikan pada Tabel 9 dan 10. Nilai estimasi kandungan karbon
lamun di kedua Stasiun akan disajikan pada Tabel 11. Nilai estimasi kandungan
karbon dibawah substrat dan diatas substrat akan disajikan dalam bentuk Tabel
12.
43
Tabel 11. Nilai stok karbon (gC/m2) lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 1 dan
Stasiun 2
Stasiun Sub Stasiun
Total Stok Karbon
Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1
a 2.13 1.54 3.67
b 1.79 1.39 3.19
c
Total
1.21
5.14
0.96
3.89
2.17
9.03
2
a 1.01 0.90 1.91
b 1.17 1.05 2.22
c
Total
1.77
3.95
1.58
3.53
3.35
7.48
Nilai estimasi stok karbon lamun jenis Cymodocea serrulata di Stasiun 1
dan Stasiun 2 ialah 1,91–3,67 gC/m2. Nilai estimasi stok karbon lamun tertinggi
terletak di Stasiun 1 dibandingkan Stasiun 2 karena tingginya kerapatan lamun C.
serrulata pada Stasiun 1. Nilai estimasi stok karbon terendah terletak di Stasiun 2
karena kerapatan lamun C. serrulata lebih rendah dari Stasiun 1. Nilai estimasi
stok karbon lamun jenis C. serrulata bagian bawah substrat yaitu 1,01–2,13
gC/m2, sedangkan pada bagian atas substrat yaitu 0,90–1,58 gC/m2.
44
Tabel 12. Nilai stok karbon (gC/m2) lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1 dan
Stasiun 2
Stasiun Sub Stasiun
Total Stok Karbon
Bawah
Substrat Atas Substrat Total
1
a 44.90 37.13 82.03
b 62.50 42.93 105.44
c
Total
139.68
247.08
30.66
110.72
170.34
357.80
2
a 95.31 64.36 159.67
b 58.92 15.31 74.23
c
Total
18.66
172.90
22.14
101.81
40.80
274.71
Nilai estimasi stok karbon lamun jenis Enhalus acoroides di Stasiun 1 dan
Stasiun 2 ialah 40,80–159,67 gC/m2. Nilai estimasi stok karbon lamun E.
acoroides tertinggi terletak di Stasiun1 dengan nilai total 357,80 gC/m2. Nilai
estimasi stok karbon lamun jenis E. acoroides bagian bawah substrat ialah 18,66–
139,68 gC/m2. Nilai estimasi stok karbon lamun jenis E. acoroides bagian atas
substrat ialah 15,31–64,36 gC/m2.
Tabel 13. Perbandingan nilai total estimasi stok Karbon (gC/m2) lamun di Stasiun
1 dan Stasiun 2
Stasiun
Total Stok Karbon
Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1 252.22 114.61 366.83
2 176.84 105.34 282.18
Hasil yang didapatkan dari perbandingan nilai total estimasi stok karbon
lamun tertinggi ada pada Stasiun 1 sebesar 366,83 gC/m2 dan terendah ada di
45
Stasiun 2 sebesar 282,18 gC/m2. Hal ini bisa disebabkan karena pada Stasiun 1
kerapatan lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata lebih tinggi jika di
bandingkan dengan Stasiun 2.
Tabel 14. Perbandingan Nilai Estimasi Stok Karbon (gC/m2) Lamun Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata
Jenis Lamun
Total Stok Karbon
Bawah
Substrat
Atas
Substrat
Total Stok
Karbon
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
1.51
70.00
1.24
35.42
2.75
105.42
Perbandingan nilai estimasi stok karbon pada kedua jenis lamun disajikan
dalam Tabel 10. Data yang didapat pada lamun jenis Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata memiliki perbandingan nilai yang signifikan, dilihat dari
kandungan stok karbon dibawah substrat dan kandungan stok karbon diatas
substrat. Lamun jenis C. serrulata memiliki nilai estimasi karbon dibawah
substrat yang rendah yaitu 1,51 gC/m2 dan nilai estimasi karbon diatas substrat
sebesar 1,24 gC/m2. Lamun jenis E. acoroides memiliki nilai estimasi dibawah
substrat yang tinggi, yaitu sebesar 70,00 gC/m2 dan nilai estimasi karbon diatas
substrat sebesar 35,42 gC/m2. Total estimasi karbon pada lamun jenis E.
acoroides didapatkan hasil yang lebih besar yaitu sebesar 105,42 gC/m2
dibandingkan dengan total estimasi karbon pada lamun jenis C. serrulata dengan
nilai 2,75 gC/m2.
4.1.7. Karakteristik dan Kondisi Perairan
Karakteristik dan kondisi lingkungan perairan merupakan salah satu faktor
utama yang mempengaruhi kondisi padang lamun di perairan tersebut.
46
Pengukuran parameter perairan yang telah dilakukan dalam penelitian ini akan
disajikan dalam bentuk Tabel 13. Tipe substrat di perairan akan disajikan dalam
bentuk Tabel 14.
Tabel 15. Parameter lingkungan perairan di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Parameter Stasiun
Baku Mutu(*) 1 2
Suhu (oC) 30,9 31 28,0 – 30,0
pH 7,8 7,7 7,0 – 8,5
Salinitas (ppt) 32 30 33,0 – 34,0
Kedalaman (m) 0,5 - 2 0,5 - 1,5 -
Kecerahan (m) 2- 2,5 0,1 - 0,5 -
Kecepatan Arus (m/s) 0,2- 0,5 0,4 - 0,8 0,15
Nitrat (mg/L) 0,0264 0,0318 0,0080
Fosfat (mg/L) 0,6154 0,5641 0,0150
Keterangan :
(*) Kepmen LH Nomor 200 Tahun 2004 untuk ekosistem lamun
Suhu yang diperoleh pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 adalah 30,9oC dan 31oC,
Stasiun 2 merupakan Stasiun dengan suhu tertinggi dengan lebih tinggi 1oC
dibandingkan suhu optimum yang ditetapkan. Nilai pH yang diperoleh pada
Stasiun 1 dan Stasiun 2 yaitu sebesar 7,8 dan 7,7. Salinitas yang diperoleh dari
Stasiun 1 dan Stasiun 2 adalah sebesar 32 ‰ dan 30 ‰. Salinitas pada Stasiun 1
dan 2 memiliki nilai lebih rendah 1-2 ‰ dibandingkan salinitas optimum yang di
tetapkan, dikarenakan pengambilan data lapangan dilakukan setelah hujan.
Kedalaman di lokasi penelitian berkisar antara 0,5-2 m. Kecerahan yang diperoleh
pada lokasi penelitian yaitu 0,5-2,5 m. Kecerahan pada Stasiun 1 lebih keruh
dibandingkan dengan Stasiun 2 yang relatif cerah. Kecepatan arus pada kedua
lokasi diperoleh sebesar 0,3-0,6 m/s. Hasil pengukuran nitrat dan fosfat berasal
47
dari sampel air pada tiap Stasiun penelitian. Kandungan nitrat dan fosfat di kedua
Stasiun mengalami lonjakan sangat tinggi dan melebihi kisaran optimum.
Tabel 16. Tipe substrat (%) Perairan di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Tipe Substrat Presentase substrat
Stasiun 1 Stasiun 2
Kerikil 0 1.92
Pasir kasar 70.83 75.88
Pasir halus 22.69 17.95
Lanau 6.48 4.25
Tipe substrat pada kedua Stasiun yaitu pasir, Stasiun 2 dengan presentase
pasir kasar tertinggi yaitu 75,88 % dan Stasiun 1 sebesar 70,83 %. Presentase
pasir halus dan lanau tertinggi pada Stasiun 1, dengan 22,69 % dan 6,48 %.
Stasiun 2 memiliki presentase pasir halus dan lanau sebesar 17,95 % dan 4,25 %.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kerapatan dan Tutupan Lamun
Hasil pengamatan menunjukan spesies lamun yang ditemukan pada lokasi
penelitian terdapat lebih dari 2 spesies lamun (Tabel 3). Lamun jenis Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata mempunyai kerapatan yang tinggi dibanding
jenis lamun yang lain (Tabel 4), disebabkan karena kedua jenis lamun tersebut
mempunyai bentuk morfologi yang berbeda dan adaptasi yang baik dibandingkan
dengan lamun jenis lain. Den Hartog (1970), menyatakan bahwa lamun jenis E.
acoroides mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap jenis substrat berpasir
maupun berlumpur karena mempunyai struktur akar yang kuat dan menancap
kokoh pada substrat yang membuat pertumbuhan lamun jenis ini lebih cepat.
Secara morfologis lamun jenis C. serrulata relatif lebih kecil bila dibandingkan
48
dengan jenis Enhalus acoroides. Lamun jenis Cymodocea serrulata ini mudah
ditemukan pada perairan berpasir yang relatif tenang (Lanyon, 1986),
Stasiun 1 menghasilkan tingkat kerapatan yang tinggi (Tabel 4). Kondisi
tersebut dikarenakan keadaan arus yang relatif tenang (Tabel 13). Philips and
Menez (1988), menyatakan bahwa lamun umumnya dapat tumbuh baik pada
perairan tenang. Arus yang tenang memungkinkan lamun dapat tumbuh dan
berkembang, karena akar dapat lebih mudah tertanam ke dalam substrat sehingga
membantu penyerapan unsur–unsur hara sebagai sumber makanan. Stasiun 2
menghasilkan tingkat kerapatan yang lebih rendah dibandingkan Stasiun 1 (Tabel
4), hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kondisi arus yang lebih kuat (Tabel 13).
Kondisi arus yang lebih kuat dapat membuat akar dan rimpang tidak tertanam
secara maksimal dan membuat tegakan lamun rentan terlepas dari substrat
(Rahman et al.,2016).
Stasiun 2 menunjukkan tingkat kerapatan lamun yang lebih rendah, namun
jumlah lamun yang ditemukan lebih banyak di bandingkan Stasiun 1 (Tabel 3).
Menurut Terrados et al. (1997), ditemukan lebih banyak lamun karena umunnya
distribusi lamun dalam suatu komunitas cenderung beberapa jenis saja, hal ini
diduga berkaitan dengan kemampuan adaptasi suatu jenis lamun terhadap
lingkungannya. Beberapa faktor dapat mempengaruhi jenis dan kerapatan lamun
diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, arus dan tipe substrat.
Persentase tutupan lamun total pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 (Tabel 4)
menunjukkan bahwa nilai tutupan lamun di kedua lokasi tidak jauh berbeda.
Stasiun 1 dan Stasiun 2 memiliki kondisi padang lamun yang tergolong sangat
padat (Pandungan Monitoring Padang Lamun, 2014). Tutupan lamun di lokasi
49
sangat berkaitan dengan kerapatan, semakin tinggi tingkat kerapatan maka
persentase tutupan lamun akan semakin tinggi pula (Hartati et al., 2012).
Persentase tutupan jenis lamun paling tinggi jenis Cymodocea serrulata
(Tabel 4). Jenis tersebut merupakan jenis lamun yang paling banyak ditemukan di
habitat bersubstrat pasir halus yang kaya dengan kandungan bahan organik
(Riniatsih, 2016). Jenis lamun dengan persentase tutupan paling rendah berasal
dari jenis Halophila ovalis (Tabel 4). Persentase tutupan lamun yang berbeda dari
masing–masing spesies juga dapat terjadi karena adanya faktor seperti sedimentasi
dan nutrient dari daratan (Van katwijk et al., 2011).
4.2.2. Indeks Ekologi
Indeks ekologi lamun meliputi indeks keanekaragaman, keseragaman
dandominansi yang menunjukan kondisi lamun pada lokasi Stasiun penelitian
(Tabel 5). Nilai keanekaragaman jenis lamun di lokasi penelitian dikategorikan
sedang (Tabel 5). Menurut Odum (1998), bila 0 < H’ ≤ 1 maka keanekaragaman
rendah, bila 1 < H’ ≤ 2 maka keanekaragaman sedang, sedangkan H’ > 2 maka
keanekaragaman tinggi. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman menunjukan
perairan tersebut stabil (Kamaruddin et al., 2016).
Nilai indeks keanekaragaman pada Stasiun 1 dan 2 menunjukkan
keanekaragaman sedang (Tabel 5). Tetapi ditemukan lebih banyak lamun pada
Stasiun 2 dari pada Stasiun 1, disebabkan substrat lanau pada Stasiun 1 cukup
tinggi (Tabel 14). Lamun yang memiliki ukuran morfologi kecil seperti Halophila
ovalis tingkat adaptasinya tergolong rendah jika subsrat yang ada didominasi
lanau dan lempung. Lamun H. ovalis mudah ditemukan pada substrat yang
bertekstur pasir keras sampai halus (Dahuri, 2003).
50
Indeks keseragaman Stasiun 1 dan 2 tergolong tinggi (Tabel 5) karena
memiliki nilai indeks lebih dari 0,6. Menurut Odum (1998), keseragaman yang
tinggi memiliki nilai indeks lebih dari 0,6 keseragaman sedang memiliki nilai
indeks 0,4 sampai 0,6, sedangkan nilai indeks kurang dari 0,4 dikategorikan
sebagai keseragaman yang rendah. Menurut Suryanti et al.(2014), semakin kecil
indeks keseragaman maka semakin besar perbedaan jumlah antara spesies dan
semakin besar indeks keseragaman maka semakin kecil perbedaan jumlah antara
spesies sehingga kecenderungan dominasi oleh jenis tertentu.
Indeks dominansi dihitung dengan Indeks Simpson. Nilai indeks
dominansi berkisar antara 0-1. Semakin besar nilai indeks semakin besar
kecenderungan salah satu spesies yang mendominasi populasi (Odum, 1998).
Pada Stasiun 1 dan 2 tidak terjadi dominansi (Tabel 5), tidak ada satu spesies
tertentu yang mendominasi spesies lainya. Hasil ini menjadi tanda bahwa kondisi
ekosistem relatif stabil (Tabel 13). Nilai indeks dominansi akan berbanding
terbalik dengan dengan nilai indeks keseragaman dan nilai indeks
keanekaragaman.
4.2.3. Biomassa Lamun
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat perbedaaan
nilai biomassa pada jenis lamun Cymodocea serrulata dan Enhalus acoroides.
Perbedaan terdapat pada bagian bawah substrat dan atas substrat (Tabel 6 dan
Tabel 7). Nilai biomassa yang berada pada bagian bawah substrat lebih tinggi dari
pada bagian lamun yang berada pada bagian atas substrat.
Hasil yang didapatkan, bagian bawah substrat memiliki nilai yang lebih
besar dibandingkan bagian atas substrat. Hal ini sesuai dengan pernyataan
51
Hemminga and Duarte (2000), bahwa biomassa lamun pada umumnya lebih besar
tersimpan pada bagian bawah substrat (below ground) dibandingkan dengan
bagian atas substrat (above ground). Dikarenakan rhizome mengandung banyak
zat pati dan unsur hara dimana zat tersebut didistribusikan dari hasil fotosintesis
yang disimpan pada bagian dibawah substrat, sehingga biomassa pada rhizome di
bawah substrat lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan lainnya (Erftemeijeret
al.,1993).
Hasil pengamatan lainnya menunjukan lamun jenis Enhalus acoroides
memiliki nilai biomassa lebih tinggi dibandingkan lamun jenis Cymodocea
serrulata (Tabel 6 dan 7), dikarenakan morfologi lamun jenis E. acoroides lebih
besar bila dibandingkan dengan lamun jenis C. serrulata. Pernyataan ini sesuai
dengan Kiswara (1985), lamun E. acoroides merupakan jenis yang mempunyai
ukuran paling besar dengan helaian daun mencapai satu meter (Kiswara, 1985).
Keadaan tersebut memungkinkan jenis ini memiliki biomassa tertinggi diantara
jenis lamun lainnya yang memiliki persentasi tutupan yang sama. Pertumbuhan E.
acoroides dipengaruhi oleh kedalaman, pasang surut dan musim (Estacion and
Fortes, 1988). Sedangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi biomassa
lamun adalah nutrien, salinitas, suhu dan cahaya (Govindasamy et al., 2013).
4.2.4. Kandungan Karbon Pada Lamun
Berdasarkan hasil perhitungan karbon (Tabel 9 dan Tabel 10) didapatkan
hasil stok karbon pada lamun jenis C. serrulata dan E. acoroides memiliki
kandungan karbon lebih besar pada bagian bawah substrat dibandingkan bagian
atas substrat. Tingginya nilai karbon bawah substrat disebabkan oleh karbon
52
bawah substrat tidak terlalu terpengaruh oleh pengaruh fisik lingkungan,
sebagaimana stok karbon yang ada di bagian atas substrat (Supriadi, 2012).
Graha (2015), menyatakan variasi kandungan karbon lamun dipengaruhi
oleh perbedaan biomassa antar jenis ataupun antar jaringan. Semakin tinggi
kandungan biomassa pada lamun maka nilai kandungan karbon pada jaringan
lamun juga semakin meningkat, yang artinya kandungan karbon berbanding lurus
dengan kandungan nilai biomassa pada lamun (Wardah et al., 2009). Nilai
biomassa pada bagian lamun dipengaruhi oleh morfologi jenis lamun yang
ditemukan, semakin besar morfologi lamun tersebut maka cenderung akan
menyimpan biomassa yang lebih besar pada bagian bawah substrat dan kapasitas
untuk mengakumulasi karbon menjadi semakin tinggi (Laffoley and Gimsditch,
2009).
Hasil lainnya didapatkan bahwa lamun jenis E. acoroides memiliki total
nilai karbon yang lebih besar jika dibandingkan dengan lamun jenis C. serrulata
(Tabel 12). Tingginya total nilai karbon lamun jenis E. acoroides dapat
disebabkan karena morfologi dari lamun jenis ini lebih besar jika dibandingkan
dengan lamun jenis C. serrulata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Graha (2015),
lamun jenis E. acoroides memiliki nilai biomassa dan kandungan karbon yang
cenderung lebih besar dibandingkan lamun jenis lain, sehingga jenis lamun E.
acoroides memiliki kontribusi terbesar sebagai penyimpan karbon.
Data yang diperoleh dari penelitian ini didapatkan bahwa nilai estimasi
karbon relatif tinggi pada Stasiun 1 yang terletak di perairan pantai Gelaman
(Tabel 11). Dapat disebabkan karena Stasiun 1 memiliki kerapatan dan persentase
lamun yang lebih besar dibandingkan dengan Stasiun 2. Hal ini diduga disebabkan
53
oleh adanya perbedaan kondisi parameter lingkungan pada perairan tempat lamun
tersebut tumbuh. Parameter tersebut dapat berupa parameter fisik maupun kimia,
di mana setiap perairan memiliki karakteristik tersendiri karena adanya faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kondisi di perairan tersebut (Papilo et al., 2015).
Rendahnya nilai estimasi karbon pada Stasiun 2 diduga karena faktor tekanan
lingkungan dan proses fisiologis yaitu fotosintesis yang berdampak terhadap
penyerapan karbon pada lamun, laju respirasi dan pertumbuhan lamun (Graha et
al., 2016). Pada stasiun 2 kecepatan arus relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan stasiun 1, Menurut Kordi (2011), arus yang baik untuk pertumbuhan
lamun adalah sebesar 0,5 m/s. Arus yang tenang berperan dalam membersihkan
sedimen atau partikel berlumpur pada daun-daun lamun sehingga proses
fotosisntesis berjalan optimal. Kecepatan arus yang tinggi dapat menyebabkan
naiknya padatan tersuspensi sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari ke
perairan dan mengakibatkan berkurangnya laju produktivitas.
Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian oleh
Graha (2015) di pantai Sanur, Denpasar sebesar 20,86 gC/m2. Hal ini dikarenakan
pantai Sanur memiliki kategori tutupan lamun yang rendah sehingga berkorelasi
dengan biomassa dan kandungan karbon pada lamun tersebut juga rendah.
Tingginya nilai stok karbon pada lokasi penelitian ini, diduga karena kondisi
perairan pantai Gelaman dan pantai Alang-Alang masih belum terkena aktivitas
antropogenik manusia yang tinggi dan kondisi lingkungan yang masih dalam
kisaran yang baik jika dillihat dari baku mutu Kementerian Lingkungan Hidup
(2004), dibandingkan dengan kondisi lingkungan di Pantai Sanur Bali
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan :
1. Nilai rata–rata biomassa lamun di Stasiun 1
- Jenis Cymodocea serrulata sebesar 12,29 gbk/m2
- Jenis Enhalus acoroides sebesar 422,72 gbk/m2
Nilai rata-rata biomassa lamun di Stasiun 2
- Jenis C. serrulata sebesar 11,45 gbk/m2
- Jenis E. acoroides sebesar 308,14 gbk/m2
2. Nilai rata-rata simpanan karbon lamun di Stasiun 1
- Jenis C. serrulata sebesar 3,01 gC/m2
- Jenis E. acoroides sebesar 119,27 gC/m2
Nilai rata-rata simpanan karbon lamun di Stasiun 2
- Jenis C. serrulata sebesar 2,49 gC/m2
- Jenis E. acoroides sebesar 91,57 gC/m2.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, saran yang bisa diberikan.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat nilai penyerapan karbon
pada sedimen atau substrat. Selain itu dilakukan penelitian mengenai penyerapan
karbon lamun secara periodik, sehingga dapat dilihat besarnya serapan karbon
setiap tahunnya
55
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi
Kelima. Rineka Cipta. Jakarta.
Azkab, M.H. 1999. Kecepatan Tumbuh dan Produksi Lamun dari Teluk
KutaLombok. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi OH, Aswandy I, Editor.
Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok,
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pp. 26-33.
Bengen, G.D. 2001. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangove Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institit Pertanian
Bogor. Bogor.
Benyamin, L. 2004. Dasar - Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Brouns, J.J.W.M. and F.M.L. Heijs, 1986 Structural and Functional Aspects of
Seagrass Community and Associated Algae from The Tropical West-
Pacific. PhD thesis, Catholic Univ. Nijmegen. Pp. 431.
Brower, J.E., Zar, J.H. and Von Ende, C.N. 1990. Field and Laboratory Methods
for General Ecology. 3rd ed. Brown Publisher, USA, p 345.
Cox, G.W. 2002. General Ecology Laboratory Manual. Edisi ke-8. New York:
McGraw-Hill Higher Education.
Davis, C. dan Natarina. 1995. Sains dan Teknologi 2 : Berbagai Ide Untuk
Menjawab Tantangan dan Kebutuhan oleh Ristek Tahun 2009.
Gramedia, Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Balai Pustaka. Jakarta.
. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Den Hartog, C. 1970. The Seagasses of The world. Verhandelingen, Afdeling
Natuurkunde. Koninklijke Nederlandse Akademie Van Wetenschappen.
North Holland Publishing Company, Amsterdam, London
56
Duarte, C.M. 1990. Seagass Nutrient Content. Mar. Ecol. Prog. Ser., 67:201-207.
El Shaffai, A. 2011. Field Guide to Seagrasses of The Red Sea. 1st ed. Gland,
Switzerland: IUCN and Courbevoie, France.
Erftemeijer, P.L.A., Osinga, R. and Mars, A.E. 1993. Primary Production of
Seagass Beds in South Sulawesi (Indonesia): a Comparison of Habits,
Method and Species. Aquat Bot., 46: 67-90.
Estacion, J. S. dan M. D. Fortes. 1988. Growth Rates and Primary Production of
Enhalus acoroides (L.f.) royle from Lag-it, North Bais Bay, the Philippines.
Aquatic Botany., 29:347-356.
Fourqurean, J.W., Duarte, C.M., Kennedy, H., Marba, N., Holmer, M., Matoe,
M.A., Apostolaki, E., Kendrick, G.A., Jensen, D.K., McGlathery, K.J., and
Serrano, O. 2012. Seagrass Ecosystems as a Globally Significant Carbon
Stock. Nature Geoscience. pp 1-5.
Graha, Y.I. 2015. Simpanan Karbon Padang Lamun di Kawasan Pantai Sanur,
Kota Denpasar. Progam Pascasarjana, Universitas Udayana, Bali.
Govindasamy, C., M. Arulpriya, K. Anantharaj, P. Ruban dan R. Srinivasan.
2013. Seasonal Variations in Seagrass Biomass and Productivity in Palk
Bay, Bay of Bengal, India. International Journal of Biodiversity and
Conservation, 5: 408-417.
Hafizt, M. dan P. Danoedoro. 2017. Kajian Estimasi Standing Carbon Stock
Padang Lamun Menggunakan Citra Quickbird di Pulau Kemujan,
Kepulauan Karimunjawa. Universitas Gajah Mada.
Hartati, R., A.Djunaedi, Hariyadi, dan Mujiono. 2012. Struktur Komunitas
Padang Lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa.
International Journal Marine Science., 17(4): 217 – 225.
Hemminga, M.A., dan C.M. Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Australia:
Cambridge University Press.
Helrich, K. 1990. Method of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemists. Fifteenth Edition. Virginia.
Hutomo, M. 1985. Telaah Ekologik Komunitas Ikan Padang Lamun (Seagrass,
Antophyta) di Perairan Teluk Banten. IPB, Bogor. pp. 299
., dan M. H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal.
Oseana-LIPI 7(1): 13 – 23.
Indriyanto, K. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta
57
IPCC [Climate Change]. 2007. The Physical Science Basic, Contribution of
Working Goup I to The Fourth Assessment Report of the Intergovermental
Panel on Climate Change.
Janzen, H. 2004. Carbon Cycling in Earth Systems - a Soil Science Perspective.
Agriculture, Ecosystems and Environment., 104: 399 – 417.
Kamaruddin, Z.S., S.B. Rondonuwu dan P.V. Maabuat. 2016. Keragaman Lamun
(Seagrass) di Pesisir Desa Lihunu Pulau Bangka Kecamatan Likupang
Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Jurnal ipa Unsrat., 5(1): 20-24.
Kawaroe, M. 2009. Perspektif Lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Dalam:
Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun Tanggal 18 November
2009. Jakarta, Indonesia
Kennedy, H. dan M. Bjork. 2009. Seagrass Meadows. The Management of
Natural Coastal Carbon sinks, Glan: IUCN.
Kimball, J.W. 2002. Fisiologi Tumbuhan. Erlangga. Jakarta.
Kiswara, W. dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun.
Oseana 10: 21-30.
. 1992. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi
dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. Jakarta: P3O LIPI, pp. 54-61
. 2004. Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten 1998 – 2001.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 33 hlm.
. dan Y.I. Ulumuddin. 2009. Peran Vegetasi Pantai Dalam Siklus Karbon
Global: Mangrove dan Lamun Sebagai Rosot Karbon. Workshop Ocean and
climate change. Laut sebagai pengendali perubahan iklim: peran laut
Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan global. Bogor
Kordi, K.H.G.M. 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass) : Fungsi, Potensi, dan
Pengelolaan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Kuo, J. dan C. den Hartog. 2007. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. in
A.W.D. Larkum, R.J. Orth dan C.M. Duarte (ed). Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation. Springer. Dordrecht. Netherlands
Laffoley, D dan Gimsditch G. 2009. The Management of Natural Coastal Carbon
Sink. IUCN. Gland Switzerland.
Lanyon, J., 1986. Seagrass of the Great Barrier Reef. Great Barrier Reef Marine
Park Authority Special Publication Series (3), 54 hal
58
Lee, K-S., S.R. Park dan Y.K. Kim. 2007. Effects of Irradiance, Temperature, and
Nutrients on Growth Dynamics of Seagrasses: A review. J. Exp. Mar. Biol.
Ecol 350: 144-175
Nellemann, C., E. Corcorn, C.M. Duarte, L.Valdés, C. DeYoung, L. Fonseca and
G. Grimsditch. 2009. Blue Carbon. A Rapid Response Assessment. United
NationsEnvironment Programme, Norway. 78pp.
Nontji, A. 1992. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372 hlm.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi-Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta.
Nusi, S. R. 2014. Struktur Komunitas Lamun Di Perairan Pulau Saronde Kec.
Ponelo Kepulauan Kab. Gorontalo Utara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan.,1(1): 1-5
Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. 3rd ed. Universitas Gadja Mada,
Yogyakarta.
Papilo, P., Kunaifi, Erliza H., Nurmiati dan Rizfi F.P. 2015. Penilaian Potensi
Biomassa Sebagai Alternatif Energi Kelistrikan. Jurnal PASTI.,9 (2): 164-
176.
Philips, C.R. dan E.G. Meñez. 1988. Seagrass. Washington D.C.: Smith Sonian.
Institutions Press.
Prasetyo. 2008. Tanaman Budidaya dan Macamnya. Universitas Gadjah Mada
Press. Yogyakarta.
Pratiwi, T.N., R. Hartati dan I. Pratikto. 2017. Biomassa dan Estimasi Simpanan
Karbon pada Ekosistem Padang Lamun di Pulau Menjangan Kecil dan
Pulau Sintok, Kepulauan Karimunjawa. Buletin Oseanografi Marina., 6(1)
:74–81
Rahman, A, A., Andi, I, N., dan Muhammad, R. 2016. Studi Laju Pertumbuhan
Lamun (Enhalus acoroides) di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram
Kabupaten Konawe Selatan. Sapa Laut., 1(1): 10-16.
Rahmawati, S. 2011. Estimasi cadangan karbon pada komunitas lamun di Pulau
Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. J. Segara.,7(1): 1-12.
. dan B. Prayuda. 2014. Etimasi Cadangan dan Serapan Karbon dengan
Pendekatan Pengideraan Jauh, Analisis OBIA (Object Based Image
Analysis). Report. P2OLIPI, Jakarta.
., A. Irawan, I. H. Supriyadi dan M. H. Azkab. 2017. Panduan Monitoring
Padang Lamun . CRITC COREMAP CTI LIPI.
59
Riniatsih, I. 2016. Distribusi Jenis Lamun dihubungkan dengan Sebaran Nutrien
Perairan di Padang Lamun Teluk Awur Jepara. Jurnal Kelautan Tropis.,
19(2): 101-107.
Ristina, M., B. Sulardino dan A. Solichin. 2018. Hubungan Kerapatan Lamun
(Seagrass) dengan Kelimpahan Teripang (Holothuria) di Pantai Alang-
Alang Taman Nasional Karimunjawa. Journal of Maquares., 7(4):452-457.
Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. PT.
Djambatan. Jakarta.
Rustam, A., W.S. Pranowo, T.L. Kepel, N.S. Adi dan B. Hendrajana. 2013. Peran
Laut Jawa dan Teluk Banten sebagai Pelepas dan Penyerap CO2. J Segara.,
9(1): 75–84.
Salisburry, F. B. 1998. Photosynthesis 6 Th Edition. Cambridge University.
London.
Sasmitamihardja, D. dan A.H. Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Dalam: Proyek
Pendidikan Akademik Dirjen Dikti.Depdikbud, Bandung.
Short, F.T. dan R.G. Coles. 2001. Global Seagrass Reasearch Methods. Elsevier
B.U, 482 hal.
Soedharma D., D.G. Bengen, dan N.P. Zamani. 2007. Spesies-Spesies Lamun.
Sistem Informasi Ekologi Laut Tropis, Institut Pertanian Bogor.
Sitompul , S.M dan B. Guritno. 1992. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press, Jakarta.
. 1995. Fisiologi Tanaman Tropis. Universitas Mataram. Lombok
Sulaeman, S. dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman, Air
dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryanti, C. A dan C.N. Tishmawati. 2014. Hubungan Kerapatan Lamun
(Seagrass) dengan Kelimpahan Syngnathidae di Pulau Panggang Kepulauan
Seribu. Diponegoro Journal of Maquares., 3(4): 147-153.
Suryati, E., H. Triana., U. Widyastuti dan A. Tenriulo. 2016. Regenerasi Dan
Perbanyakan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii hasil Transformasi Gen
Superoksida Dismutase (Masod). Jurnal Riset Akuakultur., 11(4): 321-330.
Susana, T. 1988. Karbon Dioksida. Oseana LIPI. 8(1):1-11.
60
Supriadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau
Barranglompo Makassar (disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sutaryo, D. 2009. Perhitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon
dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme,
Bogor.
Terrados J. 1997. Is Light Involved In The Vertical Growth Response of
Seagrasses When Buried by Sand. Mar.Ecol.Prog.Ser. 152: 295-299
., C.M. Duarte, M.D. Fortes, J. Borum, N.S.R. Agawin, S. Bach, U.
Thampanya, L. Kamp-Nielsen, W.J. Kenworthy, O. Geertz-Hansen dan J.
Vermaat. 1998. Changes in Community Structure and Biomass of Seagrass
Communities along Gradients of Siltation in SE Asia. Elsevier, 46 (5): 757-
768
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of
Indonesian Seas. 2nd ed. The Ecology of Indonesia Series.
Van Katwijk, M. M., M. E. W. van der Welle, E. C. H. E. T. Lucassen, J. A.
Vonk, M. J. A. Christianen, W. Kiswara, I. I. al Hakim, A. Arifin, T. J.
Bouma, J. G. M. Roelofs et al. 2011. Early Warning Indicators for River
Nutrient and Sediment Loads in Tropical Seagrass Beds: A Benchmark
from a Near-Pristine Archipelago in Indonesia. Marine Pollution Bulletin,
62:1512-1520.
Vialli, R. 2013. Kepadatan dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii pada
Berbagai Rasio C:N:P Sedimen di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
Universitas Padjajaran. Jatinangor.
Wardah., B. Toknok., dan Zulkaidhah. 2009. Persediaan Karbon Tegakan
Agoforestri di Zona Penyangga Hutan Konservasi Taman Nasional Lore
Lindu, Sulawesi Tengah. [Penelitian Strategi Nasional]. Universitas
Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A
Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook
University, Townsville-Queensland Australia
Zieman, J.C., and Wetzel, R.G., 1993. Productivity in seagrasses: methods and
rates. In: Phillips, R.C., McRoy, C.P. (Eds.), Handbook of Seagrass
Biology: An Ecosystem Perspective. Gardland STPM Press, New York, pp.
87–116.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1. Kerapatan Padang Lamun Ind/m2 di Stasiun 1 dan Stasiun2
Stasiun 1
Transek Jumlah Tegakan
SubStasiun Meter Ea Cs Th Cr Hu Ho
1
0 16 27 7 0 0 0
10 12 29 5 4 2 0
20 6 21 4 5 3 0
30 7 19 13 8 2 0
40 7 27 11 0 3 0
50 7 36 3 5 2 0
50 3 30 12 2 0 0
70 3 29 6 0 0 0
80 3 15 9 0 0 0
90 2 15 2 0 0 0
100 2 9 4 0 0 0
Jumlah 68 257 76 24 2 0
2
0 11 26 4 0 0 0
10 5 26 7 5 0 0
20 7 8 11 8 2 0
30 12 12 0 0 3 0
40 3 28 25 9 4 0
50 7 28 8 8 3 0
60 7 6 10 0 2 0
70 2 25 4 5 0 0
80 1 14 7 2 0 0
90 4 17 3 1 0 0
100 1 15 3 0 0 0
Jumlah 60 205 82 38 14 0
3
0 7 8 11 8 2 0
10 12 12 0 0 3 0
20 3 28 25 9 4 0
30 7 28 8 8 3 0
40 7 6 10 0 2 0
50 2 25 4 5 0 0
60 1 14 7 2 0 0
70 4 17 3 1 0 0
80 1 15 3 0 0 0
90 15 28 12 3 0 0
100 4 10 3 9 0 0
Jumlah 63 191 86 45 14 0
Jumlah Total 191 653 244 107 40 0
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
63
Lampiran 1. Lanjutan
Stasiun 2
Transek Jumlah Tegakan
SubStasiun Meter Ea Cs Th Cr Hu Ho
1
0 6 33 16 8 0 0
10 4 15 12 23 9 0
20 2 19 8 0 9 0
30 7 19 12 11 7 7
40 2 15 3 16 1 20
50 2 12 8 6 9 0
50 8 7 4 16 3 0
70 1 4 0 5 0 0
80 0 5 0 0 0 0
90 1 0 0 0 0 0
100 1 4 0 0 0 0
Jumlah 34 133 63 85 38 27
2
0 3 14 6 17 0 0
10 7 22 11 14 0 0
20 1 10 8 20 12 0
30 3 19 10 16 9 10
40 5 25 19 12 6 0
50 6 16 5 31 13 0
60 6 23 4 0 4 0
70 4 8 8 5 0 8
80 3 0 0 3 2 0
90 2 6 3 0 0 0
100 1 5 2 0 0 0
Jumlah 41 148 76 118 46 18
3
0 3 5 3 6 0 0
5 5 15 0 29 3 0
10 5 21 11 18 4 0
15 10 17 10 5 0 8
20 0 21 5 6 0 0
25 3 15 4 8 8 10
30 5 12 3 8 0 0
35 2 5 2 0 0 0
40 1 6 0 0 0 0
45 0 1 0 0 0 0
50 1 4 0 0 0 0
Jumlah 35 122 38 80 15 18
Jumlah Total 110 403 177 283 99 63
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
64
Lampiran 2. Persentase Tutupan Lamun (%) di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Keterangan :Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii; Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule
uninervis; Ho : Halophila ovalis.
65
Lampiran 2. Lanjutan
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii; Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho :
Halophila ovalis.
66
Lampiran 3. Indeks ekologi Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2
STASIUN 1
No. Lamun
Kerapatan
Jenis
Kerapatan
Relatif (ni/N) Keanekaragaman Dominansi
Di=ni/A Rdi=(Ni/∑n)*100 ni/N/log(ni/N) (ni/N)^2
1 Ea 191 15.466 0.155 0.416 0.024
2 Cs 653 52.874 0.529 0.486 0.280
3 Th 244 19.757 0.198 0.462 0.039
4 Cr 107 8.664 0.087 0.306 0.008
5 Hu 40 3.239 0.032 0.160 0.001
2 1235 100.000 1.000 1.831 0.351
Keanekaragaman: 1.831
Keseragaman: 0.915
Dominansi 0.351
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
Lampiran 3. Lanjutan
STASIUN 2
No. Lamun
Kerapatan
Jenis
Kerapatan
Relatif (ni/N) Keanekaragaman
Dominansi
Di=ni/A Rdi=(Ni/∑n)*100 ni/N/log(ni/N) (ni/N)^2
1 Ea 110 10.732 0.107 0.346 0.012
2 Cs 403 39.317 0.393 0.530 0.155
3 Th 177 17.268 0.173 0.438 0.030
4 Cr 283 27.610 0.276 0.513 0.076
5 Hu 99 9.659 0.097 0.326 0.009
6 Ho 63 6.146 0.061 0.247 0.004
2 1025 100.000 1.000 2.053 0.274
Keanekaragaman: 2.053
Keseragaman: 0.884
Dominansi 0.274
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
67
Lampiran 4. Biomassa Lamun (gbk/m2)di Stasiun 1 dan Stasiun 2
Stasiun 1
Sub stasiun
Titik (m)
Spesies Tegakan Bagian
Pengukuran
Berat Foil
(gr)
Berat Basah + foil
(gr)
Berat Kering + foil
(gr)
Berat Kering
(g)
Biomassa (gbk/m2)
1
0
Cs 5
akar 0.36 0.6 0.55 0.19 1.03
rhizom 0.35 1.29 1.01 0.66 3.56
daun 0.34 2.36 1.24 0.9 4.86
Ea 1
akar 0.37 1.77 1.07 0.7 26.60
rhizom 0.46 11.66 6.55 6.09 231.42
daun 0.37 5.52 2.2 1.83 69.54
50
Cs 6
akar 0.22 0.76 0.6 0.38 1.67
rhizom 0.22 1.76 1.27 1.05 4.62
daun 0.41 2.67 1.52 1.11 4.88
Ea 1
akar 0.33 1.11 0.75 0.42 10.08
rhizom 0.4 8.86 5.31 4.91 117.84
daun 0.37 11.3 5.02 4.65 111.60
100
Cs 4
akar 0.19 0.57 0.47 0.28 2.30
rhizom 0.48 1.48 1.2 0.72 5.90
daun 0.36 2.39 1.36 1 8.20
Ea 1
akar 0.51 2.69 1.56 1.05 29.40
rhizom 0.35 10.51 6.19 5.84 163.52
daun 0.37 6.84 2.85 2.48 69.44
2
0
Cs 5
akar 0.21 0.59 0.47 0.26 1.40
rhizom 0.21 1.47 1.15 0.94 5.08
daun 0.31 1.96 1.13 0.82 4.43
Ea 1
akar 0.34 3.51 1.82 1.48 56.24
rhizom 0.34 13.68 7.21 6.87 261.06
daun 0.35 12.14 4.91 4.56 173.28
50
Cs 6
akar 0.21 0.51 0.45 0.24 1.06
rhizom 0.19 1.56 1.17 0.98 4.31
daun 0.3 2.36 1.24 0.94 4.14
Ea 1
akar 0.19 3.47 1.86 1.67 40.08
rhizom 0.23 9.36 5.78 5.55 133.20
daun 0.35 10.95 5.66 5.31 127.44
100
Cs 5
akar 0.23 0.51 0.46 0.23 1.89
rhizom 0.26 1.73 1.28 1.02 8.36
daun 0.25 2.14 1.1 0.85 6.97
Ea 1
akar 0.26 1.55 0.95 0.69 19.32
rhizom 0.29 5.47 3.34 3.05 85.40
daun 0.33 8.58 4.46 4.13 115.64
3 0 Cs 5
akar 0.2 0.55 0.44 0.24 1.30
rhizom 0.26 1.41 1.07 0.81 4.37
daun 0.23 2.49 1.41 1.18 6.37
Ea 1 akar 0.36 4.08 2 1.64 62.32
68
rhizom 0.39 20.47 12.78 12.39 470.82
daun 0.42 17.12 8.87 8.45 321.10
50
Cs 6
akar 0.19 0.47 0.39 0.2 0.88
rhizom 0.26 1.14 0.89 0.63 2.77
daun 0.38 1.58 1.03 0.65 2.86
Ea 1
akar 0.32 2.75 1.2 0.88 21.12
rhizom 0.36 24.94 17.18 16.82 403.68
daun 0.34 6.18 3.76 3.42 82.08
100
Cs 3
akar 0.29 0.52 0.48 0.19 1.56
rhizom 0.26 1.56 1.2 0.94 7.71
daun 0.37 2.39 1.36 0.99 8.12
Ea 1
akar 0.25 2.07 1.09 0.84 23.52
rhizom 0.37 11.58 7.25 6.88 192.64
daun 0.39 15.65 8.29 7.9 221.20
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
Lampiran 4. Lanjutan
Stasiun 2
Sub stasiun
Titik (m)
Spesies Tegakan Bagian
Pengukuran
Berat
Foil (gr)
Berat Basah + foil (gr)
Berat Kering + foil (gr)
Berat
Kering (g)
Biomassa (gbk/m2)
1
0
Cs 4
akar 0.24 0.64 0.51 0.27 1.46
rhizom 0.23 1.07 0.8 0.57 3.08
daun 0.3 1.57 0.97 0.67 3.62
Ea 1
akar 0.25 1.37 0.83 0.58 22.04
rhizom 0.27 9.66 7.72 7.45 283.10
daun 0.3 5.98 3.79 3.49 132.62
50
Cs 7
akar 0.23 0.58 0.48 0.25 1.10
rhizom 0.25 1.16 0.67 0.42 1.85
daun 0.27 1.29 0.9 0.63 2.77
Ea 1
akar 0.23 3.79 1.85 1.62 38.88
rhizom 0.33 12.41 10.04 9.71 233.04
daun 0.31 12.05 8.45 8.14 195.36
100
Cs 3
akar 0.28 0.65 0.53 0.25 2.05
rhizom 0.25 1.06 0.57 0.32 2.62
daun 0.29 2.36 1.5 1.21 9.92
Ea 1
akar 0.28 3.66 1.9 1.62 45.36
rhizom 0.31 7.37 5.7 5.39 150.92
daun 0.38 6.44 3.67 3.29 92.12
2 0
Cs 5
akar 0.27 0.48 0.41 0.14 0.76
rhizom 0.25 1 0.79 0.54 2.92
daun 0.26 1.54 0.9 0.64 3.46
Ea 1
akar 0.26 1.77 1.03 0.77 29.26
rhizom 0.25 4.96 2.13 1.88 71.44
daun 0.36 5.58 2.55 2.19 83.22
69
50
Cs 6
akar 0.25 0.51 0.43 0.18 0.79
rhizom 0.24 1.16 0.83 0.59 2.60
daun 0.27 1.75 1 0.73 3.21
Ea 1
akar 0.28 2.41 0.96 0.68 16.32
rhizom 0.3 14.95 6.29 5.99 143.76
daun 0.36 7.33 2.38 2.02 48.48
100
Cs 5
akar 0.28 0.69 0.57 0.29 2.38
rhizom 0.26 1.79 1.25 0.99 8.12
daun 0.31 2.17 1.29 0.98 8.04
Ea 1
akar 0.48 6.03 1.85 1.37 38.36
rhizom 0.3 11.23 4.38 4.08 114.24
daun 0.31 13.82 5.1 4.79 134.12
3
0
Cs 4
akar 0.24 0.71 0.58 0.34 1.84
rhizom 0.31 1.37 1.03 0.72 3.89
daun 0.33 2.43 1.43 1.1 5.94
Ea 1
akar 0.37 5.71 2.62 2.25 85.50
rhizom 0.26 11.59 7.78 7.52 285.76
daun 0.31 5.58 2.59 2.28 86.64
50
Cs 6
akar 0.32 0.79 0.67 0.35 1.54
rhizom 0.27 1.58 1.11 0.84 3.70
daun 0.25 2.28 1.35 1.1 4.84
Ea 1
akar 0.42 6.78 2.89 2.47 59.28
rhizom 0.4 9 6.15 5.75 138.00
daun 0.42 6.72 3.31 2.89 69.36
100
Cs 3
akar 0.26 0.74 0.61 0.35 2.87
rhizom 0.29 1.53 1.17 0.88 7.22
daun 0.36 2.76 1.64 1.28 10.50
Ea 1
akar 0.31 3.03 1.77 1.46 40.88
rhizom 0.32 4.85 3.08 2.76 77.28
daun 0.41 5.27 2.48 2.07 57.96
Keterangan :
Ea : Enhallus acoroides; Cs : Cymodocea serrullata; Th : Thallasia hemprichii;
Cr : Cymodocea rotundata; Hu ; Halodule uninervis; Ho : Halophila ovalis.
70
Lampiran 5. Biomassa LamunCymodocea serrullata (gbk/m2)di Stasiun 1 dan 2
Stasiun Titik
Biomassa Per-organ Total Biomassa
Akar Rhizome Daun Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
Stasiun 1
Substasiun 1
0 1.03 3.56 4.86 4.59 4.86 9.45
50 1.67 4.62 4.88 6.29 4.88 11.18
100 2.30 5.90 8.20 8.20 8.20 16.40
Stasiun 1
Substasiun 2
0 1.40 5.08 4.43 6.48 4.43 10.91
50 1.06 4.31 4.14 5.37 4.14 9.50
100 1.89 8.36 6.97 10.25 6.97 17.22
Stasiun 1
Substasiun 3
0 1.30 4.37 6.37 5.67 6.37 12.04
50 0.88 2.77 2.86 3.65 2.86 6.51
100 1.56 7.71 8.12 9.27 8.12 17.38
Stasiun 2
Substasiun 1
0 1.46 3.08 3.62 4.54 3.62 8.15
50 1.10 1.85 2.77 2.95 2.77 5.72
100 2.05 2.62 9.92 4.67 9.92 14.60
Stasiun 2
Substasiun 2
0 0.76 2.92 3.46 3.67 3.46 7.13
50 0.79 2.60 3.21 3.39 3.21 6.60
100 2.378 8.118 8.04 10.50 8.04 18.53
Stasiun 2
Substasiun 3
0 1.836 3.888 5.94 8.12 5.94 14.06
50 1.54 3.696 4.84 5.24 4.84 10.08
100 2.87 7.216 10.496 10.09 10.50 20.58
Total 6.27 5.73 12.00
71
Lampiran 6. Biomassa Lamun Enhallus acoroides(gbk/m2)di Stasiun 1 dan 2
Stasiun Titik
Biomassa Per-organ Total Biomassa
Akar Rhizome Daun Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
Stasiun 1
Substasiun 1
0 26.60 231.42 69.54 258.02 69.54 327.56
50 10.08 117.84 111.60 127.92 111.60 239.52
100 29.40 163.52 69.44 192.92 69.44 262.36
Stasiun 1
Substasiun 2
0 56.24 261.06 173.28 317.30 173.28 490.58
50 40.08 133.20 127.44 173.28 127.44 300.72
100 19.32 85.40 115.64 104.72 115.64 220.36
Stasiun 1
Substasiun 3
0 62.32 635.74 321.10 698.06 321.10 1019.16
50 21.12 403.68 82.08 424.80 82.08 506.88
100 23.52 192.64 221.20 216.16 221.20 437.36
Stasiun 2
Substasiun 1
0 22.04 283.10 132.62 305.14 132.62 437.76
50 38.88 233.04 195.36 271.92 195.36 467.28
100 45.36 150.92 92.12 196.28 92.12 288.40
Stasiun 2
Substasiun 2
0 29.26 71.44 83.22 100.70 83.22 183.92
50 16.32 143.76 48.48 160.08 48.48 208.56
100 38.36 114.24 134.12 152.60 134.12 286.72
Stasiun 2
Substasiun 3
0 85.50 285.76 86.64 371.26 86.64 457.90
50 59.28 138.00 69.36 197.28 69.36 266.64
100 40.88 77.28 57.96 118.16 57.96 176.12
Total 243.70 121.73 365.43
72
Lampiran 7. Karbon Lamun Cymodocea serrullata (gC/m2)di Stasiun 1 dan 2
Stasiun Sub
stasiun
Stok karbon (gC/m) Total Stok Karbon (gC/m)
Akar Rhizome Daun Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1
1 0.59 1.54 1.54 2.13 1.54 3.67
2 0.35 1.45 1.39 1.79 1.39 3.19
3 0.29 0.92 0.96 1.21 0.96 2.17
2
1 0.35 0.65 0.90 1.01 0.90 1.91
2 0.25 0.92 1.05 1.17 1.05 2.22
3 0.51 1.26 1.58 1.77 1.58 3.35
Total 1.51 1.24 2.75
Lampiran 8. Karbon Lamun Enhallus acoroides (gC/m2) di Stasiun 1 dan 2
Stasiun Sub
stasiun
Stok karbon (gC/m) Total Stok Karbon (gC/m)
Akar Rhizome Daun Bawah
Substrat
Atas
Substrat Total
1
1 3.16 41.74 37.13 44.90 37.13 82.03
2 11.11 51.39 42.93 62.50 42.93 105.44
3 6.25 133.43 30.66 139.68 30.66 170.34
2
1 12.21 83.10 64.36 95.31 64.36 159.67
2 5.05 53.87 15.31 58.92 15.31 74.23
3 18.66 50.51 22.14 18.66 22.14 40.80
Total 70.00 35.42 105.42
73
Lampiran 9. Hasil Analisa Kadar Abu Sampel Lamun di Stasiun 1 dan Stasiun 2
74
Lampiran 9. Lanjutan
75
Lampiran 10. Hasil Analisa Ukuran Butir Sedimen di Stasiun 1 dan Stasiun 2
76
Lampiran 11. Dokumentasi lapangan
(A).Pengamatan Lamun dalam Transek pada
kuadran stasiun 2
(B). Pengamatan Lamun Secara Visual pada
Stasiun 2
(C). Pengamatan Kecerahan Perairan (D). Pengamatan pH Perairan
(E). Lamun Cymodocea serrulata (F). Lamun Enhalus acoroides
77
Lampiran 12. Dokumentasi Laboratorium
(A). Pengeringan Sampel dengan Oven (B). Penimbangan Berat Kering Sampel
(C). Penimbangan sampel Kadar Abu
Sampel
(D). Proses Pengabuan Sampel
(E). Proses Pengabuan Sampel
RIWAYAT HIDUP
Viny Ratnasari, dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 10 Juni 1997,
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Haris
Gunawan dan Ibu Ati Hendrawati. Penulis menempuh pendidikan awal di
TK Pelita Pertiwi, dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SD Mardi
Yuana. Selanjutnya penulis lulus dari SMP Negeri 1 Cicurug tahun 2012.
Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cicurug pada tahun 2015 dan sekaligus diterima sebagai
mahasiswa di Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro, Semarang melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu SM UNDIP
sebagai Staff ahli periode 2016, BEM FPIK sebagai Staff muda periode 2017 dan Kepala
bidang hubungan masyarakat periode 2018. Penulis juga aktif dalam organisasi SeaCrest
sebagai Anggota Bidang PR periode 2017 dan Wakil Ketua 3 periode 2018. Penulis telah
menyelesaikan Praktek Kerja Lapangandi Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu SPTN
Wilayah I dan telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Ketanen Kecamatan Trangkil
Kabupaten Pati. Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Mikrobiologi Laut, Budidaya
laut dan Konservasi. Sebagai tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian dan menyusun
sebuah skripsi dengan judul “Biomassa dan Estimasi Simpanan Karbon pada Lamun Enhalus
Acoroides dan Cymodocea Serrulata di Pantai Gelaman dan Pantai Alang–Alang di Taman
Nasional Karimunjawa Jepara”.