bioindikator
DESCRIPTION
Bioindikator sebagai indikator terhadap suatu badan airTRANSCRIPT
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya atau perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan. Organisme sebagai bioindikator kesehatan tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik, dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998 dalam Arianto, 2010). Jenis-jenis bioindikator adalah sebagai berikut :
1. Mikroflora sebagai bioindikator tanah terdiri atas bakteri, fungi, dan alga. Mikroflora berperan penting dalam dekomposisi atau transformasi bahan organik.
2. Mikrofauna sebagai bioindikator kesehatan tanah terdiri atas protozoa, nematoda, small size collembola dan mites. Mikrofauna ini berperan penting sebagai dekomposer bahan organik, mineralisasi nutrien, regulasi mikroflora termasuk patogen, dan dekomposisi agrokemikal. Jumlah keanekaragaman mikrofauna di dalam tanah dipengaruhi oleh pengolahan tanah, pemupukan, pH dan salinitas tanah serta pestisida. Populasi mikrofauna juga dipengaruhi oleh logam berat, limbah, polutan industri, dll sehingga keberadaan mikrofauna dapat dijadikan indikator adanya polutan tanah.
3. Makrofauna adalah invertebrata yang berukuran >2 mm. Makrofauna sangat berperan dalam bioindikator kesehatan. Peran makrofauna di dalam tanah antara lain adalah memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aerasi dan draenase, dekomposisi sampah, dll. Makrofauna yang berada di dalam tanah dikelompokkan kedalam beberapa ordo, yaitu Isopoda, Arachnida, Orthoptera, Coleoptera, Hymenoptera, Diptera, dan Makrofauna lain (Gasteropoda, Blattidae, Acarida, Homoptera dan Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, Chilopoda, dan Embioptera).
Karakteristik Bioindikator
Bioindikator kesehatan tanah harus memiliki karakteristik dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tanah. Karakteristik bioindikator kesehatan tanah antara lain :
· Mempunyai peran penting di dalam tanah.
· Memiliki daya tahan tinggi terhadap toksisitas akut maupun toksisitas kronis.
· Populasinya stabil.
· Relatif mudah dikenali di alam.
Proses Bioindikator di dalam Tanah
Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya makrofauna tanah, sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya. Bahan organik dirombak oleh mikroba tanah. Bahan organik tanaman akan mempengaruhi tata udara pada tanah dengan adanya jumlah pori tanah karena aktivitas biota tanah. Oleh aktivitas biota tanah, bahan organik tanaman dirombak menjadi mineral dan sebagian tersimpan sebagai bahan organik tanah. Bahan organik tanah sangat berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologi tanah dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman (Arianto, 2010).
Alga merupakan salah satu mikroflora yang dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, alga membutuhkan sebagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga (Bachtiar, 2007).
Pengaruh Bioindikator terhadap Kualitas Tanah
Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga (Magdoff, 2001). Menurut The Soil Science Society of America, yang dimaksud dengan kualitas tanah adalah kapasitas suatu jenis tanah yang spesifik untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosistem terkelola, untuk mendukung produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dan tumbuhan (Herrick,2000)
Untuk aplikasi di bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Secara lebih terinci kualitas tanah didefinisikan sebagai kecocokan sifat fisik, kimia, dan biologi yang bersamasama: (1) menyediakan suatu media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi; (2) mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan; serta (3) berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan. Untuk mengekspresikan kualitas tanah, berbagai indikator yang berbeda telah digunakan baik yang bersifat statis seperti kerapatan ruang (bulk density), porositas, dan kandungan bahan organik; ataupun yang bersifat dinamis dengan menggunakan model simulasi. Kerapatan ruang atau porositas bukan kriteria yang dapat dipercaya untuk membedakan pengaruh penggunaan lahan yang berbeda dalam jangka panjang, tetapi bahan organik tanah merupakan parameter yang relatif stabil yang menggambarkan pengaruh pengelolaan dan tipe tanaman pada periode yang cukup lama (Pulleman et al., 2000). Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi, seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi terhadap logam berat dan pestisida. Singkatnya sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan (Pankhurst, Doube, dan Gupta, 1997). Bioindikasi didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik sebagai bagian dari suatu individu suatu kelompok organisme untuk mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau sebagian dari lingkungannya (Hornby dan Bateman, 1997). Menurut Doran dan Zeiss (2000), tedapat lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu: (1) sensitif terhadap variasi pengelolaan; (2) berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan; (3) dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem; (4) dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta (5) mudah diukur dan tidak mahal.
Perbandingan Keefektifan Organisme Flora dan Fauna sebagai Bioindikator Tanah
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1999).
Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 1997). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah., dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.
Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam, yaitu secara calorimeter dan pH meter. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo dkk., 1996).
Fauna Tanah
Fauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah (Suin,1997). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof (makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen) utama di dalam tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah.
Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-jaring makanan dalam tanah (Arief, 2001). Burges dan Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), menjelaskan bahwa secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut : pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mokroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut.
Selain dengan cara tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi. Dengan melihat proses aliran energi yang dikemukakan oleh Burges and Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), dapat dikatakan bahwa tanpa adanya keberadaan mesofauna tanah, proses perombakan materi (dekomposisi) tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Peranan Fauna Tanah
Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo dkk., 1996). Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Wallwork (1976), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Szujecki (1987) dalam Rahmawaty (2000), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.
Fungsi Tanaman sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah
Tanaman yang tumbuh pada suatu lahan dapat mencirikan kondisi dari suatu lahan tersebut apakah mempunyai kualitas sifat tanah yang baik atau tidak. Tanaman yang perkembangannya baik dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan produksi tinggi sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi bila tanaman ditanam pada lahan yang terdegradasi maka biasanya pertumbuhan tanaman tidak optimal dan terhambat sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah dan apabila pada tingkat yang lebih lanjut akan mati. Sebagai bioindikator pada kualitas tanah pada suatu lahan. Tanaman mempunyai bebrapa fungsi yaitu:
1. Dapat mengidentifikasi kekahatan unsur hara tanah melalui pertumbuhannya yang tidak optimal, misalnya melalui warna daun.
2. Dapat mengetahui tingkat kesuburan tanah berdasarkan pertumbuhan tanaman.
3. Produktivitas yang dihasilkan dapat menunjukkan kondisi suatu lahan bermasalah atau tidak (mengetahui kualitas tanah).
Hambatan Tanaman sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah
Bagaimanapun terdapat hambatan dalam mengidentifikasi tanah terdegradasi bila hanya menggunakan faktor tanaman saja sebagai indikator. Hal ini disebabkan:
1. Tanaman mempunyai tingkat sensitivitas yang berbeda-beda terhadap perubahan sifat kualitas tanah. Ada tanaman yang cepat terpengaruh terhadap sifat tanah, dan ada juga yang tidak terpengaruh oleh perubahan sifat kualitas tanah.
2. Sering tidak menunjukkan adanya gangguan secara vegetatif. Terkadang tanaman pada tanah terdegradasi mempunyai fase vegetatif yang bagus tetapi tidak menghasilkan pada fase generatif.
3. Faktor pendukung tanaman berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dan berproduksi bagus tidak hanya dari faktor tanahnya tetapi terdapat faktorfaktor lain yaitu: varietas yang digunakan, penambahan bahan organik, penambahan pupuk, iklim, pengendalian PHT, dan kesesuaian lahan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia tidak akan pernah berhenti untuk berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan industri dan
teknologi telah dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Akan tetapi di sisi lain, berdampak kepada
lingkungan yang pada akhirnya berdampak pula terhadap lingkungan. Semua kegiatan tidak boleh
mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Tetapi harus sesuai dengan prinsip dasar
pengelolaan lingkungan hidup yang baik, yakni “Sebelum dan sesudah ada kegiatan tidak ada perubahan
terhadap keadaan lingkungan kecuali perubahan atau dampak yg bersifat positif”. Kegiatan yang tidak
menimbulkan dampak negatif disebut Environtment Zero Effect.
Untuk melihat indikator biologis, harus mengetahui daur pencemaran lingkungan, apakah terjadi
pencemaran atau tidak, maka harus diketahui keadaan lingkungan tersebut sebelum ada kegiatan yang
selanjutnya akan dipakai sebagai garis dasar. Apabila terjadi perubahan (kenaikan) terhadap garis dasar
(keadaan lingkungan sebelum ada kegiatan), berarti lingkungan telah mengalami pencemaran.
Pencemaran lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada akhirnya akan sampai juga
kepada manusia, maka perlu diketahui daur pencemaran lingkungan. Dengan memperhatikan daur
pencemaran lingkungan tersebut, akan memudahkan dalam melakukan penelitian dan pengambilan analisis
contoh lingkungan Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah indikator biologis perlu diketahui
dan ditentukan “ada tidaknya kenaikan keadaan lingkungan dari keadaan garis dasar, melalui analisis
kandungan logam/kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam hewan/tanaman/suatu hasil dari hewan
atau tanaman.
Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan / tanaman yang terletak pada daur pencemaran
lingkungan sebelum sampai kepada manusia. Maka pengambilan contoh lingkungan, baik yang berasal dari
hewan maupun tanaman, haruslah yang terletak pada jalur yang menuju dan berakhir pada manusia.
Indikator biologis dapat terjadi karena ada beberapa organisme/bagian organisme berlaku sebagai
biokonsentrasi logam/senyawa kimia.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian bioindikator?
2. Apa saja jenis-jenis bioindikator?
1.3 Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian bioindikator.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis bioindikator.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dari makalah ini yakni:
1. Sebagai syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Pengetahuan Lingkungan mengenai bioindikator.
2. Sebagai bahan diskusi mengenai bioindikator.
3. Sebagai referensi dalam proses perkuliahan, terutama mata kuliah pengetahuan lingkungan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indicator, bio artinya mahluk hidup seperti hewan,
tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dari waktu ke waktu. jadi bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan
sebagai indikator. Bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,
kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia
(Hendra. 2012:1).
Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif
adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan
yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop
(detektor). Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap
polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan
memberi peringatan dini terjadinya polusi (Ghia. 2010:1).
Pada hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana. Sebelum terjadinya suatu
bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Therapy hewan yang normal sering digunakan
untuk memprediksi bencana alam. Berikut adalah contoh-contoh fenomena dan fakta tentang therapy normal
hewan sebagai bioindikator bencana, antara lain:
1. Hilangnya hewan peliharaan (anjing dan kucing) naik secara signifikan selama dua minggu sebelum
gempa di Loma Prieta, California Utara.
2. Sekitar 80% gempa di Jepang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya therapy normal
ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam, dapat tertangkap oleh nelayan di
pelatihan staf yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki
sensitivitas tinggi, terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti
inisial memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan bahasa
dari tanah sebelum gempa.
3. Sebulan sebelum terjadinya gempa di kota Haicheng di Provinsi Liaoning Cina bulan Februari 1975,
banyak ditemukan therapy normal hewan ternak seperti sapi, babi, kuda, dan anjing.
4. Tsunami besar yang melanda Sri lanka akhir 2004 lalu juga didahului therapy tak lazim bahasa dari
hewan-hewan. Kantor berita reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Sri lanka telah dipenuhi
mayat manusia, tetapi tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Hal nihil menunjukkan
bahwa hewan-hewan telah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri.
5. Sebelum terjadinya gempa bumi melanda yang Cianjur, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi tahun 2009,
situs berita dalam negeri memberitakan bahwa hewan-hewan di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor
menunjukkan therapy terapi aneh. Dilaporkan, empat puluh ekor gajah tampak histeris dan
mengeluarkan lengkingan suara keras bahasa dari belalainya.
Selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan.
Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya. Perubahan
yang terjadi dapat menunjukkan terjadinya pencemaran. Bioindikator dapat digunakan untuk
mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara, udara, dan tanah (Shiddieqy, 2010).
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Bioindikator
Bioindikator berasal dari kata bahasa Inggris yaitu bio dan indicator. Bio artinya mahluk hidup
seperti hewan, tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Jadi bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang
dijadikan sebagai indikator.
Selain itu, bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,
kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas
manusia. Bioindikator petunjuk waktu dan lokasi atau endemi; bioindikator dapat menunjukkan endemi dari
suatu jenis tumbuhan atau hewan. Untuk lebih jelasnya dapat memperhatikan contoh pada bunga Raflesia
Arnoldi, bunga Raflesia Arnoldi akan banyak diketemukan atau tumbuh pada sepanjanng jalur migrasi babi.
Raflesia Arnoldi merupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki akar, sehingga untuk dapat tumbuh dan
berkembang Raflesia Arnoldi akan menyerap makanan/nutrisi dari tumbuhan lain yang ada disekitarnya.
Saat bermigrasi babi akan memakan tumbuhan terutama umbi-umbian yang ditemuinya selama dalam
perjalanan dengan cara mencabut tumbuhan tersebut hingga ke akar atau umbinya. Raflesia Arnoldiakan
tumbuh dengan cara menyerap makanan/nutrisi dari sisa-sisa akar/umbi dari tumbuhan yang telah dimakan
babi. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi atau endemi Raflesia Arnoldibanyak diketemukan di sepanjang
jalur migrasi babi.
Contoh lain adalah pada ikan Salmon, pada saat musim kawin dan bertelur maka ikan Salmonakan
bermigrasi menuju hulu sungai, atau disebut juga dengan istilah Anadromus. Setelah menetas maka ikan-
ikan Salmon ini akan kembali menuju ke hilir sungai atau ke laut. Hal ini juga terjadi pada belut
raksasa Sidat yang melakukan migrasi ke hilir sungai atau laut untuk kawin dan bertelur, hal ini disebut
juga dengan istilah Katadromus.
Bioindikator petunjuk kondisi alam; bioindikator dapat menggambarkan kondisi alami dari lingkungan yang
ada disekitarnya. Kondisi alami ini dapat berupa bencana alam seperti banjir atau letusan gunungapi.
Sebagai contoh adalah pada prilaku buaya yang memindahkan sarang dan telur-lelurnya ketempat yang
relatif tinggi dan jauh dari badan air atau sungai. Jika hal ini dilakukan buaya maka dapat diindikasikan
bahwa air sungai tersebut akan meluap dan terjadi banjir di daerah tersebut.
Bioindikator sebagai petunjuk perubahan kualitas lingkungan; perubahan kualitas lingkungan yang
terjadi disini disebabkan karena aktifitas manusia. Pada daerah perairan atau sungai, ikan merupakan
bioindikator yang paling baik untuk menunjukkan kualitas air pada perairan atau sungai tersebut. Beberapa
jenis ikan terutama yang memiliki warna sisik yang cerah ada terang dapat dimanfaatkan sebagai
bioindikator terhadap pencemaran air. Jika suatu perairan telah tercemar zat kimia terutama pestisida dan
logam berat maka warna sisik ikan yang semula terang dan cerah akan berubah menjadi kabur dan tidak
jelas. Hal ini terjadi karena sel-sel pembawa warna pada ikan “Cloroflas” akan rusak sehingga warna sisik
ikan menjadi pudar karena zat pembawa warna menjadi mengecil. Hal lain yang dapat diamati pada ikan
adalah gerakannya. Jika suatu perairan telah tercemar maka akan mengganggu insang ikan dalam proses
penyerapan oksigen dalam air, sehingga gerakan ikan menjadi tak beraturan karena insang tidak dapat
mengambil oksigen dengan baik. Selain ikan, beberapa jenis tumbuhan air seperti kangkung juga dapat
menunjukkan kualitas suatu perairan. Kangkung akan mengalami perubahan warna menjadi merah atau
kemerahan jika perairan tersebut telah tercemar logam berat Mg, Cd dan Hg.
3.2 Jenis Bioindikator
Agar lebih mudah dipahami, dalam pembahasan ini bioindikator dapat kita bagi menjadi dua bagian, yakni
bioindikator hewan, dan bioindikator tumbuhan.
3.2.1 Bioindikator Hewan
Hewan makrozoobentos invertebrata merupakan hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat dilihat
oleh mata biasa dengan ukuran lebih besar dari 200µm – 500µm (Slack et al., 1973; Weber, 1973;
Wiederholm, 1980; Suess, 1982 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini hidup pada dasar kolam,
danau, dan sungai untuk seluruh atau sebagian tahapan hidupnya. Mereka dapat hidup pada batuan, ataupun
bergerak bebas pada ruang antar batuan, pada runtuhan bahan organik (Standard Methods, 1989). Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia, bentos adalah organisme yang mendiami daerah dasar perairan.
Bentos merupakan organisme yang melekat di permukaan substrat dasar sungai (Odum, 1993). Sedangkan
makrozoobhentos adalah bentos yang dapat terlihat dengan mata biasa. Biasanya menempati ruang kecil
antara batuan di dasar dalam runtuhan bahan organik, di atas batang kayu dan tanaman air atau di dalam
sedimen halus. Biasanya berukuran lebih besar dari 1 mm. Makrozoobentos ini pada umumnya terdiri dari
larva Insecta, Crustacea, Mollusca, Oligochaeta, dan Arachnidae (Feminella dan Flynn, 1999). Hewan-
hewan ini secara terus menerus terkena substansi yang diangkut oleh aliran sungai sehingga memiliki
kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan
makrozoobentos sesuai untuk dijadikan indikator ekologi dari suatu perairan
Makrozoobentos tersebut dapat dikuantifikasi dengan menentukan kekayaan spesies (jumlah jenis hewan
yang tercuplik dalam sampel), kelimpahan (jumlah total individu dalam sampel), kelimpahan rata-rata
(jumlah rata-rata satu jenis hewan terhadap jenis yang lainnya), dan keanekaragaman spesies (distribusi total
individu setiap jenis pada sampel). Mudahnya kuantifikasi makrozoobentos tersebut menunjukkan bahwa
makrozoobentos memenuhi syarat sebagai bioindikator selain terpenuhinya syarat-syarat yang lainnya
(variasi genetis yang sedikit, mobilitas terbatas, dan mudah pengindentifikasian masing-masing jenis)
(Rosenberg dan Resh, 1993).
Beberapa keuntungan penggunaan makrozoobentos adalah:
Hewan-hewan ini terdapat di mana-mana sehingga dapat dipengaruhi oleh perubahan kondisi
lingkungan pada berbagai tipe perairan,
Jenis dari makrozoobentos sangat banyak sehingga memungkinkan spektrum luas dalam pengamatan
terhadap respons stres di lingkungan,
Hewan-hewan ini pergerakannya cenderung sedikit sehingga dapat dilakukan analisis spasial yang
efektif terhadap efek dari polutan,
Siklus hidup yang panjang memungkinkan diuraikannya perubahan yang bersifat sementara akibat
gangguan yang terjadi.
Keuntungan-keuntungan ini menyebabkan makrozoobentos bertindak sebagai pengawas secara terus-
menerus terhadap kualitas air tempat hidupnya (Rosenberg dan Resh, 1993). Namun disamping berbagai
keuntungan yang bisa didapatkan dari bioindikator makrozoobentos, terdapat pula kerugian dari penggunaan
makrozoobentos tersebut. Selain itu, makrozoobentos juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik air,
seperti kecepatan arus air. Kemudian pada tahap analisis masih banyak jenis-jenis makrozoobentos yang
sulit untuk diidentifikasi (Rosenberg dan Resh, 1993).
Seperti yang telah disebutkan, hewan makrozoobentos dapat digunakan menjadi indikator pencemaran
dengan beberapa kategori. Beberapa hewan makrozoobentos ada yang memiliki sifat hidup intoleran
terhadap pencemaran yang terjadi, contohnya: Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera. Beberapa jenis yang
lain digolongkan fakultatif yaitu dapat hidup pada lingkungan yang bersih sampai tercemar sedikit atau
sedang, contohnya: beberapa taxa dari Diptera, Odonata, Coleoptera, Pelecypoda. Sedangkan beberapa jenis
yang lain memiliki sifat hidup toleran terhadap berbagai pencemaran yang terjadi pada habitatnya,
contohnya: beberapa jenis Diptera, Hirudinae, Oligochaeta.
Berdasarkan Wilhm (1975) dan Basmi (1999) (Alma Sina, 2005), kepekaan jenis-jenis makrozoobentos di
sungai terhadap polusi bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Kelompok intoleran, contohnya: Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera.
2. Kelompok fakultatif, contohnya: Odonata, beberapa Diptera (Tipulidae & Rhagionidae), Pelecypoda.
3. Kelompok toleran, contohnya: beberapa Diptera (Tanypodinae & Simuliidae), Hirudinae, Gastropoda.
ü Kelompok intoleran
Kelompok ini merupakan kelompok makrozoobentos yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai
macam pencemaran. Berbagai faktor perubahan lingkungan dapat menyebabkan hilangnya jenis-jenis dari
kelompok ini. Jenis-jenis pada kelompok ini biasanya hidup pada lingkungan akuatik (sungai) yang
memiliki arus cukup deras (Mellanby, 1963). Lingkungan yang biasa disukai adalah jeram yang suhunya
cukup dingin (Ward, 1992; Silalom, 1999). Selain itu terdapat hubungan yang baik antara alkalinitas,
konduktivitas, total solid yang terlarut ammonia-nitrogen dan nutrat-nitrogen dengan jumlah larva (Silalom,
1999). Larva pada ordo Trichoptera umumnya tidak terlalu toleran atau sensitf terhadap pencemaran organik
ringan tapi dapat digunakan sebagai indicator perairan yang bersih. Namun pada jenis-jenis dari
Ephemeroptera dan Plecoptera sangat sensitif terhadap pencemaran organik. Terhadap pencemaran, seperti
pencemaran yang berasal dari industri tekstil atau penyamakan kulit, jenis-jenis pada kelompok ini sangat
sensitif.
Setiap ordo pada kelompok intoleran ini memiliki ciri habitat yang berbeda-beda. Bahkan famili pada
masing-masing ordo memiliki preferensi kualitas lingkungan tempat hidupnya. Hal ini menyebabkan jenis
dari kelompok ini dikategorikan. Hal ini menyebabkan jenis dari kelompok ini dikategorikan memiliki
relung atau niche yang kecil.
1. Ordo Ephemeroptera (Mayfly)
Ordo ini akan mencapai kelimpahan yang tinggi jika berada pada lingkungan yang cenderung dingin,
berarus sedang sampai deras serta berbatu. Pada beberapa famili dari ordo ini bersifat burrowers atau
penggali pada sedimen halus dari sungai yang berada di atas bebatuan. Spesies Baetis sp. dari famili
Baetidae merupakan jenis yang paling toleran dari ordo ini untuk pencemaran yang ringan. Hewan ini
memerlukan banyak oksigen.
Ordo ini merupakan serangga terestrial pada masa dewasanya, tetapi pada tahap nimpha, ordo ini merupakan
hewan akuatik sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator perairan. Beberapa jenis hidup di perairan
tenang (lentik) dan yang lainnya hidup di perairan deras (lotik). Nimpha dewasa menunjukkan morfologi
yang beragam sebagai bentuk adaptasi terhadap habitatnya masing-masing. Waktu hidup nimphanya bisa
beberapa tahun sedangkan yang sudah dewasa hanya bertahan tiga hari.
Secara umum, morfologi dari nimpha dewasa memiliki ciri tubuh yang memanjang, bagian kepala yang
besar, bagian mandibula pada mulut yang berkembang dengan baik, kaki yang kuat, antena filiform
(berbentuk seperti jarum) dan mata majemuk yang besar. Bagian abdomen atau perut terdiri dari 10 segmen
dan memiliki insang trakeal pada permukaan dorsal (punggung) atau lateral (perut) di bagian tersebut.
Biasanya pada ujung abdomen terdapat dua atau tiga filament ekor (filamen kaudal) yang berjumbai dan
bersegmen (Pennak, 1978) (Gambar 1).
Gambar 1. Gambar beberapa famili dari ordo Ephemeroptera (www.pkukmweb.ukm)
Berdasarkan Mackie (2001), hewan pada ordo Ephemeroptera lebih menyukai kondisi lingkungan yang
memiliki pH dengan kisaran netral. Sedangkan berdasarkan Roback (1974 dalam Hart dan Fuller, 1974)
setiap famili pada ordo ini memiliki preferensi lingkungan hidupnya masing-masing, hal tersebut dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Famili Baetidae
Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong scraper atau tipe hewan yang memakan organisme yang
menempel pada substrat perairan atau yang disebut perifiton. Biasanya hewan pada golongan ini akan
menurun kelimpahannya jika terdapat sedimentasi serta polusi organik.
Ciri lingkungan tempat hidup famili ini adalah:
1. pH berkisar 5,6 – 8,5
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 4 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 5,00 ppm
4. nitrat antara 0,03 – 15,4 ppm
5. fosfat antara <0,01 – 0,62 ppm
6. nilai BOD 0,3 – 15,4 ppm
7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm
1. Famili Ephemerellidae
Famili ini memiliki sifat makan yang sama dengan famili Baetidae yaitu scraper. Ciri lingkungan tempat
hidup famili ini adalah:
1. pH berkisar 6,6 – 8,4
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 4 – 11 ppm
3. amonium antara <0,01 – 0,05 ppm
4. nitrat antara 0,12 – 2,3 ppm
5. fosfat antara <0,01 – 0,05 ppm
6. nilai BOD 0,5 – 4,1 ppm
7. kekeruhan pada 10 – 120 ppm
1. Famili Leptophlebiidae
Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong shredder atau tipe hewan yang memakan tumbuhan baik
yang masih hidup maupun sisa tumbuhan yang sudah mati atau materi organik yang kasar. Biasanya hewan
pada golongan ini sensitif pada perubahan vegetasi. Hewan pada kelompok makan ini sangat baik untuk
digunakan sebagai indikator toksikan yang menempel pada materi organik.
Ciri lingkungan hidup famili ini adalah:
1. pH berkisar 5,4 – 8,5
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 2 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 0,97 ppm
4. nitrat antara 0,21 – 0,50 ppm
5. fosfat antara < 0, 01 – 0,12 ppm
6. nilai BOD 0,4 – 2,5 ppm
7. kekeruhan pada 7 – 140 ppm
1. Famili Caenidae
Famili ini memiliki sifat makan yang sama dengan Baetidae tergolong scraper atau tipe hewan yang
memakan organisme yang menempel pada substrat perairan atau yang disebut perifiton. Biasanya hewan
pada golongan ini akan menurun kelimpahannya jika terdapat sedimentasi serta polusi organik. Ciri
lingkungan tempat hidup famili ini adalah:
1. pH berkisar 5,5 – 8,5
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 2 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 0,34 ppm
4. nitrat antara 0,03 – 1,18 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,87 ppm
6. nilai BOD 0,4 – 7,5 ppm
7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm
1. Famili Oligoneuridae (Heptagenidae)
Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong collector-filterers atau tipe hewan yang memakan materi
organik halus yang berada pada air dan yang berada pada sedimen. Ciri lingkungan tempat hidup famili ini
adalah:
1. pH berkisar 5,5 – 8,4
2. kadar oksigen terlarur berkisar antara 3 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 5,00 ppm
4. nitrat antara 0,03 – 0,50 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,86 ppm
6. nilai BOD 0,5 – 2,2 ppm
7. kekeruhan pada 1 – >72000 ppm
1. Ordo Trichoptera (Caddisfly)
Ordo ini merupakan salah satu ordo serangga yang bermetamorfosis sempurna. Tahapan larva dari ordo ini
termasuk ke dalam hewan makrobentos dan biasa dijadikan bioindikator perairan. Larva dan pupa berada di
daerah akuatik. Sebagian besar larva dari ordo ini membangun sarang, baik yang dapat dipindahkan maupun
tidak. Biasanya sarang tersebut dibuat dari kerikil kecil, butiran pasir, debris, tumbuhan, alga dan lainnya.
Selain itu, beberapa famili membangun jaring di depan sarangnya untuk menangkap debris, sebagai
makanannya, yang hanyut oleh air.
Secara umum larva ordo ini memiliki bagian kepala dan dada yang tersklerotisasai (terbuat dari zat tanduk)
dan berwarna gelap. Ketiga bagian dada terpisah satu dengan yang lainnya. Bagian abdomen biasanya
lembut dan berwarna hijau, coklat, abu-abu, krem atau keputih-putihan. Pada bagian kepala terdapat
sepasang antena yang sangat kecil, mulut termasuk ke dalam tipe pengunyah dan memiliki dua ocelli (mata
tunggal) berwarna hitam. Kaki prothorax biasanya kuat dan kecil, berfungsi untuk memegang makanan
tetapi tidak digunakan untuk pergerakan. Pada bagian ujung tubuh terdapat sepasang proleg yang berbentuk
kait sehingga larva dapat mengaitkan diri pada sarang atau substrat hidupnya. Pada bagian samping tubuh
terdapat garis samping tubuh dan memiliki jumbai rambut pada setiap sisi beberapa segmen abdomen bagian
atas (Pennak, 1978) (Gambar 3).
Gambar 2. Gambar ordo Trichoptera
(www.pkukmweb.ukm)
1. Ordo Plecoptera (Stonefly)
Ordo nimpha Plecoptera merupakan hewan akuatik. Metamorfosis yang terjadi tidak lengkap. Nimpha ordo
ini memiliki antena yang panjang berbentuk filiform, bentuk mulut yang termasuk tipe pengunyah, insang
trakea yang berfilamen (berlembar-lembar), bagian abdomen yang memiliki 10 segmen, berwarna kuning
atau coklat atau kehitam-hitaman, biasanya hidup di bawah batu pada perairan deras/lotik (Gambar 3).
Menurut Roback (1974), secara umum hewan-hewan pada ordo ini memiliki kisaran toleransi kimiawi yang
menjadi faktor pembatas untuk bertahan hidup, antara lain sebagai berikut:
1. pH berkisar antara 5,5 – 8,8
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 5 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 5,0 ppm
4. nitrat antara 0,06 – 1,10 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,48 ppm
6. nilai BOD 0,4 – 2,8
7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm
Beberapa famili dari ordo ini termasuk kelompok cara makan collector-filterer yaitu kelompok hewan yang
mendapatkan makanan dari mengumpulkan bahan organik yang terbawa oleh arus (Pennak, 1978). Namun
beberapa famili yang termasuk dalam kelompok karnivorus.
Gambar 3. Gambar ordo Plecoptera (www.pkukmweb.ukm)
ü Kelompok fakultatif
Hewan pada kelompok ini memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan hidupnya. Biasanya
hewan dari kelompok ini dapat hidup pada daerah yang bersih sampai tercemar sedang, baik oleh polutan
organik maupun anorganik.
Hewan pada kelompok ini lebih menyukai tempat hidup yang dangkal di perairan. Untuk hewan dari kelas
Insekta, lebih menyukai tempat yang berarus sedang sampai deras, sedangkan dari kelas Pelecypoda lebih
menyukai daerah yang berarus lambat sampai perairan yang tenang.
Hewan dari kelas Insekta pada kelompok ini merupakan jenis karnivora sehingga tempat hidupnya akan
mengikuti daerah yang terdapat banyak mangsa dan mudah untuk ditangkap. Sedangkan, pada kelas
Pelecypoda lebih menyukai daerah yang berlumpur karena terdapat makanan yang lebih banyak.
Berdasarkan Streamkeepers Database (2000) famili Tipulidae dan Rhagionidae dari ordo Diptera termasuk
dalam kategori hewan fakultatif terhadap pencemaran. Ordo Diptera biasanya dikenal sebagai lalat, nyamuk,
dan serangga kecil (flies, mosquitos, midges). Ciri khas morfologi dari ordo ini adalah tubuh yang berbentuk
menyerupai thorax dan sembilan segmen abdomen, tubuh yang lembut dan fleksibel, berwarna putih, abu-
abu, kuning, kemerahan, coklat, dan hitam. Permukaan segmen badan dapat ditutupi oleh rambut atau duri,
atau dapat pula halus tanpa rambut. Antena jarang yang menonjol keluar. Pada beberapa famili terdapat kaki
yang pendek dan kecil. Tipe mulut pada ordo ini sangat beragam tergantung pada kebiasaan makannya.
Menurut Roback (1974) (dalam Alma Sina, 2005), kedua famili ini memiliki preferensi kondisi lingkungan
tempat hidupnya, yaitu sebagai berikut:
1. Famili Tipulidae
Famili ini termasuk pada kelompok cara makan collector-filterer yaitu kelompok hewan yang mendapatkan
makanan dari mengumpulkan bahan organik yang terbawa oleh arus (Pennak, 1978). Kondisi habitat famili
ini adalah:
1. pH berkisar antara 4,4 – 8,4
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 11 ppm
3. amonium antara 0,02 – 0,35 ppm
4. nitrat antara 0,12 – 2,30 ppm
5. fosfat antara 0,02 – 0,56 ppm
6. nilai BOD 0,2 – 4,4
7. kekeruhan pada 2 – 24 ppm
1. Famili Rhagionidae
Kondisi habitat ini adalah:
1. pH berkisar antara 6,3 – 8,2
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 9 ppm
3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm
4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,72 ppm
6. nilai BOD 0,6 – 2,8
7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm
ü Kelompok toleran
Kelompok ini merupakan kelompok yang dapat hidup pada daerah yang tercemar berat, walaupun ada
beberapa jenis yang dapat hidup di daerah yang tercemar sedang. Sebagian jenis dari kelompok ini
merupakan karnivora, sedangkan yang lainnya memakan materi organik dari lingkungan hidupnya. Hewan
dari famili Hirudinae (lintah) merupakan jewan predator dan pemakan sisa mahluk hidup yang telah mati.
Hewan dari famili ini menyukai daerah yang hangat, arus yang tidak terlalu deras, dapat hidup pada daerah
yang bersifat asam, dan yang menjadi faktor pembatas untuk distribusinya adalah rendah. Sedangkan hewan
dari kelas Gastropoda lebih menyukai daerah yang berarus tenag dan tercemar parah.
1. Subfamili Tanypodinae, famili Chironomidae, ordo Diptera
Hewan yang berasal dari kelas Insekta pada kelompok ini merupakan subfamili dari famili Chironomidae
yang termasuk ke dalam ordo Diptera. Ordo Diptera memiliki ciri khas morfologi tersendiri dari famili
Chironomidae adalah tubuh larva memanjang dan berbentuk silindris, memiliki sepasang proleg pada
segmen thorax pertama dan segmen abdomen terakhir, terdapat insang anal pada permukaan lantroventral,
berwarna putih, kekuningan, kehijauan, kebiruan, kemerahmudaan, atau merah tua. Hewan ini memiliki
kondisi habitat sebagai berikut:
1. pH berkisar antara 4,4 – 8,8
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 3 – 14 ppm
3. amonium antara < 0,01 – 1, 10 ppm
4. nitrat antara 0,05 – 1,3 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,87 ppm
6. nilai BOD 0,2 – 4,4 ppm
7. kekeruhan pada 2 – > 72000 ppm
1. Famili Simuliidae, ordo Diptera
Simulidae merupakan salah satu famili yang berada pada ordo Diptera dari kelas Insekta. Ciri khas
morfologi famili ini adalah berwarna abu-abu, coklat, atau hitam, berbentuk silindris, berkulit halus, pada
prothorax terdapat proleg yang kuat dengan kait kecil, pada bagian akhir tubuh terdapat piringan datar,
terdapat insang darah yang rektratil pada anus. Sebagai tambahan, pada daerah yang biasanya merupakan
tempat duduk mulut, terdapat dua struktur prominen yang berbentuk seperti kipas. Kondisi habitat famili ini
adalah:
1. pH berkisar 7,2 – 8,2
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 9 ppm
3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm
4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm
5. fosfat antara < 0,01 – 0,72 ppm
6. nilai BOD 0,6 – 2,8
7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm
1. Kelas Hirudinae
Hirudinae merupakan salah satu kelas dari filum Annelida. Hirudinae atau yang lebih dikenal sebagai lintah
merupakan hewan dorsoventral yang memiliki penghisap pada bagian ventral tubuhnya. Bagian mulut dari
kelas ini dikelilingi oleh penghisap oral yang berukuran besar atau kecil menghadap ke arah ventral.
Penghisap bagian ekor biasanya menghadap ventral, sedangkan anus berada pada bagian dorsal dan di depan
penghisap. Tubuh Hirudinae biasanya memiliki otot yang kuat dan kelas ini dapat bergerak dengan bebas.
Hirudinae merupakan hewan yang dikenal sebagai hewan yang parasit pada mahluk hidup. Beberapa famili
dari Hirudinae memakai larva Insekta yang ada di perairan sebagai tempat hidupnya. Tempat hidup yang
disukai oleh Hirudinae merupakan perairan tawar sebagai tempat hidupnya. Tempat hidup yang disukai
Hirudinae merupakan perairan yang memiliki substrat dasar yang keras untuk memudahkan pergerakannya.
Biasanya Hirudinae menyukai habitat yang berarus antara 10 – 30 cm/detik. Hirudinae memiliki toleransi
yang tidak biasa terhadap DDT jika dibandingkan dengan beberpa jenis nyamuk dan lalat rumahan. LC50
dari DDT pada beberapa jenis Hirudinae menunjukkan bahwa Hirudinae memiliki toleransi yang cutup
tinggi terhadap jenis pestisida ini. Kehadiran Hirudinae dapat diasosiasikan denganb uruknya kondisi
lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena Hirudinae merupakan parasit pada hewan-hewan yang
telah diasosiasikan secara langsung dengan pencemaran pada lingkungan seperti Oligochaeta, larva Insekta,
dan Crustacea kecil. Kondisi habitat yang disukai Hirudinae adalah:
1. pH berkisar antara 7,0 – 7,5
2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,0 – 11,5 ppm
3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm
4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm
5. fosfat antara 0,1 – 0,6 ppm
6. nilai BOD 0,6 – 2,8
7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm
1. Kelas Gastropoda (Siput)
Gastropoda atau lebih dikenal sebagai siput air ini merupakan salah satu makrozoobentos yang terdapat di
berbagai perairan. Kelas ini memiliki variasi yang beragam pada perairan tawar dengan cangkangnya yang
beragam dari bentuk yang spiral sampai yang berbentuk piringan. Dalam pengindentifikasiannya,
Gastropoda biasa dibedakan dari jenis cangkangnya. Biasanya siput perairan air tawar memiliki warna yang
gelap yaitu abu-abu, coklat, dan kehitaman. Permukaan cangkang terlihat halus tetapi jika diperhatikan lebih
jauh terdapat garis pertumbuhan yang longitudinal. Selain itu kelas ini dibedakan pula dari bentuk bukaan
cangkangnya.
Gastropoda biasanya mengkonsumsi algae serta debris tumbuhan maupun hewan pada permukaan batu atau
tumbuhan tempat tinggalnya. Gastropoda terbagi menjadi dua kelompok yaitu prosobranchia (Gastropoda
yang berinsang) dan pulmonata (Gastropoda berparu-paru). Pada Prosobranchia, sensitivitas terhadap
oksigen yang terlarut sangat tinggi sehingga kelompok ini tidak dapat hidup pada daerah yang kurang kadar
oksigen terlarutnya dan tercemar organik. Sedangkan pada Pulmonata, karena organ pernafasannya berupa
paru-paru maka kelompok ini tidak bergantung pada kadar oksigen terlarut dalam air, mereka naik ke
permukaan untuk mengambil oksigen yang diperlukan. Banyak jenis pada kelompok Pulmonata yang
memiliki habitat di tempat yang tercemar berat.
Kondisi habitat yang disukai oleh Gastropoda adalah berada pada pH dengan kisaran antara 6,7 – 9,0 serta
kadar oksigen terlarut antara 0,5 – 14 ppm. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Gastropoda dapat
bertahan hidup pada daerah yang tercemar berat dan bahan-bahan pencemar tersebut, seperti logam berat,
pestisida, radioaktif, terkonsentrasi pada organ serta cangkang Gastropoda.
Gambar 4. Gambar kelas Gastropoda (www.pkukmweb.ukm)
3.2.2 Bioindikator Tumbuhan
Tumbuhan, sifat-sifatnya merupakan pencerminan yang ada di dalam tumbuhan itu (hereditas), tetapi selain
itu pertumbuhannya juga dipengaruhi lingkungan. Jadi fenotipe yang terjadi merupakan paduan dari
hereditas dan lingkungan itu. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan.
Suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan tempat
tumbuhnya, disebut indikator biologi atau bioindikator atau fitoindikator. Atau dengan istilah lain tumbuhan
yang dapat digunakan sebagai indikator kekhasan habitat tertentu disebut tumbuhan indikator.
Banyaknya tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan. Dalam suatu komunitas
tumbuhan beberapa diantaranya dominan dengan jumlah yang melimpah. Tumbuhan semacam ini
merupakan indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Dengan
demikian dapatlah dinyatakan bahwa komunitas atau setidak-tidaknya kebanyakan tumbuhan merupakan
indikator yang lebih baik daripada tumbuhan yang tumbuh secara individual.
Tanaman dapat berfungsi sebagai indikator kondisi lingkungan. Tanaman bereaksi terhadap kondisi tanah
maupun kondisi cuaca. Banyak tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan.
Beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijadikan indikator pencemaran lingkungan, antara lain sebagai
berikut:
1. Lamun sebagai Bioindikator Timbal (Pb)
Kerusakan lingkungan akibat industrialisasi, diakibatkan oleh limbah yang umumnya mengandung bahan-
bahan berbahaya bagi kehidupan, di antaranya adalah unsur logam berat. Salah satu unsur logam berat
tersebut adalah timbal (Pb), yang menunjukkan beracun pada sistem syaraf, mempengaruhi kerja ginjal dan
menyebabkan kelumpuhan. Tumbuhan Lamun dapat digunakan sebagai bioindikator logam berat Pb di
wilayah pesisir, di mana kandungan logam Pb adalah sebesar (biomass lamun/m2 x kandungan Pb
mg/kg)/1000 dengan mangakumulasi dari sedimen. Selain itu bagian daun lamun dapat berfungsi sebagai
bioakumulator terakhir sehingga dapat digunakan untuk menentukan sebaran kandungan logam berat Pb
dalam suatu perairan besar. Lamun juga dapat digunakan untuk membantu mengurangi toksisitas logam
berat Pb.
1. Bunga Terompet Biru
Bunga terompet biru yang berwarna ungu kebiruan ini termasuk dalam famili Solanaceae (terong-terongan).
Bunga ini berbentuk seperti terompet, berwarna ungu kebiruan, buahnya yang kering jika dikenai air selama
beberapa detik akan pecah/meledak seperti petasan namun tidaklah berbahaya karena ukurannya kecil (1cm-
2,5 cm). Bunga ini digunakan sebagai indikator untuk mengukur asam basa.
1. Bunga Sepatu (Hibiscus rosa sinensis)
Bunga sepatu memang sudah dikenal dapat digunakan sebagai indikator asam basa. Bunga sepatu atau nama
ilmiahnya Hibiscus rosa-sinensis termasuk dalam famili Malvaceae atau kapas-kapasan bermanfaat sebagai
tanaman hias, bahan campuran kosmetik (sabun), dan sebagai indikator. Bunga sepatu ini memiliki banyak
varietas warna dan bentuk. Namun biasanya yang digunakan untuk indikator adalah yang berwana merah.
Bunga ini digunakan sebagai indikator asam-basa.
1. Bunga Suring
Tanaman yang daunnya di beberapa daerah seperti Puworejo, Kebumen, Pati, dsb ini dijadikan sayuran
lezat, ternyata bunganya pun bermanfaat sebagi indikator asam basa. Tanaman ini masih berkerabat jauh
dengan bunga matahari dan bunga krisan yang termasuk famili Compositae. Bunga suring pun memiliki
beberapa varietas dan jenis yang bermacam-macam, ada yang bunganya berwarna kuning, oranye, dan pink
keunguan. Namun yang kami gunakan untuk indikator adalah yang berwarna oranye.
1. Bunga Terompet Ungu
Bunga ini sekilas mirip dengan bunga terompet biru. Namun jika lebih diperhatikan, warnanya lebih ungu
daripada bunga terompet biru. Apalagi jika kita melihat bentuk tanamannya, baik batang maupun daunnya
sangat berbeda. Jika bunga terompet biru daunnya membulat ujungnya, maka daun bunga terompet ungu ini
berbentuk oval dengan ujung daun meruncing, bunga terompet biru batangnya tidak terlalu tinggi sedangkan
bunga terompet ungu batangnya tinggi. Tetapi bunga ini masih termasuk famili Solanaceae.
1. Bunga Canna sanseviera
Bunga yang sering kita jumpai di tepi-tepi jalan sebagai penghias tepi jalan ini dapat pula dijadikan indikator
asam basa. Bunga yang berwarna merah ini termasuk dalam famili Cannae atau tasbih-tasbihan.
Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa L)
Bunga yang termasuk dalam famili Nyctaginaceae ini termasuk tanaman multifungsi. Manfaatnya yaitu
sebagai obat tradisional, terutama batang, akar, daun, dan bijinya. Akan tetapi kami menemukan manfaat
lain dari tanaman ini, yaitu bunganya dapat dijadikan indikator asam basa.
1. Bunga Pacar Cina
Bunga ini biasa kita temui di pinggir-pinggir kebun, tepi jalan, atau di depan rumah kita. Tanaman ini
bunganya berbentuk seperti bunga anggrek, warnanya bermacam-macam; ada yang oranye, merah, ungu,
pink, putih, dll. Daunnya biasa dijadikan cat kuku dengan cara ditumbuk lalu dibubuhkan pada kuku.
Buahnya berbentuk oval dan berisi biji-biji kecil yang coklat bila sudah tua. Tanaman ini termasuk dalam
famili Balsaminaceae. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai indikator adalah daunnya karena bunganya
tidak dapat digunakan.
1. Acanthus icilifliu
Digunakan untuk mengetahui habitat saline Tumbuhan ini tumbuh dan tahan dalam habitat dengan
kandungan garam tinggi Kegaraman tanah antara lain oleh NaCl, CaSO4, NaCO3, KCl.
1. Astragalus rocemosus
Digunakan sebagai indikator logam berat Kebanyakan tumbuhan sensitif terhadap logam berat Sebagian
besar logam berat ini merupakan deposit di dinding sel-sel perakaran dan daun.
1. Butea monosperma
Tumbuh ditanah yang alkalinitasnya tinggi, digunakan sebagai indikator karakteristik tanah.
1. Capparia deciduas
Digunakan sebagai indikator karakteristik tanah.
1. Peganum harmala
Tanah kaya akan N dan garam-garam, baik untuk pertanian Digunakan sebagai indikator karakteristik tanah
1. Polytrichum
Menunjukkan tanah berkapur dan halofit menunjukkan tanah bergaram. Digunakan untuk mengukur reaksi
tanah.
1. Silene vulgaris
Digunakan untuk mengetahui kadar logam berat pada tanah Tanah yang mempunyai cadas berkandungan
logam berat, khususnya Zn, Pb, Ni, Co, Cr, Cu, Mr, Mg, Cd, Se, dan lain-lain.
1. Lumut Kerak (lichen)
Lichen dapat digunakan sebagai indikator polusi udara alami dengan cara membandingkan jumlah tumbuhan
lumut kerak (Lichen) yang terdapat pada batang pepohonan di suatu derah. Semakin sedikit tumbuhan lumut
kerak (Lichen) yang tumbuh pada pepohonan di suatu lingkungan, maka tingkat polusi di lingkungan
tersebut tinggi. Begitu pula sebaliknya, semakin banyak tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang tumbuh, maka
tingkat polusi si lingkungan tersebut rendah. Polusi udara mengakibatkan kondisi suhu udara di lingkungan
menjadi meningkat, serta tanah dan tumbuhan dilingkungan yang terkena polusi udara menjadi kering.
1. Tumbuhan Alga
Alga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, alga
membutuhkan berbagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan
sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah
yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi
logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga.
1. Bunga Raflesia Arnoldy
Bunga Raflesia Arnoldi akan banyak diketemukan atau tumbuh pada sepanjang jalur migrasi babi. Raflesia
Arnoldimerupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki akar, sehingga untuk dapat tumbuh dan
berkembang Raflesia Arnoldiakan menyerap makanan/nutrisi dari tumbuhan lain yang ada disekitarnya. Saat
bermigrasi babi akan memakan tumbuhan terutama umbi-umbian yang ditemuinya selama dalam perjalanan
dengan cara mencabut tumbuhan tersebut hingga ke akar atau umbinya. Raflesia Arnoldi akan tumbuh
dengan cara menyerap makanan/nutrisi dari sisa-sisa akar/umbi dari tumbuhan yang telah dimakan babi. Hal
ini menunjukkan bahwa lokasi atau endemi Raflesia Arnoldi banyak diketemukan di sepanjang jalur migrasi
babi.
1. Jamur
Tumbuhan jamur merupakan Indikator tumbuhan untuk humus karena dapat hidup pada humus yang tebal di
dalam tanah.
1. Saccharum munja, Acacia, Calotropis, Agare, Opuntia.
Tumbuhan-tumbuhan ini yang lebih suka hidup di daerah kering dan akan menunjukkan kandungan air
tanah yang rendah di dalam tanah. Sedangkan Citrullus dan Eucalypus adalah tumbuhan yang tumbuh di
tanah yang dalam.
1. Rumex acetosa Rhododendron, Polytrichum dan Spagnum
Merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai Indikator tumbuhan untuk menunjukkan tanah kapur dan
bergaram.
1. Metallocolus atau Metallophytes
Digunakan sebagai Indikator tumbuhan untuk mineral. Tumbuhan semacam itu seperti di bawah ini :
1. Vallozia candida menunjukkan adanya intan di Brasilia.
2. Equisetum speciosa, Thuja sp, tumbuh di tanah yang mengandung mineral emas.
3. Eriogonium ovalifolium tumbuh di tanah yang mengandung perak di USA.
4. Stelaria setacea tumbuh di tanah yang mengandung air raksa di Spanyol.
5. Astragalus sp., Neptunia amplexicalis, Stanleya pinnata, Onopsis condensator menunjukkan
adanya Selanium.
6. Astragalus sp. tumbuh di tanah berkandungan uranium di USA.
7. Viscaria alpina di Norwegia, Gymnocolea acutiloba di Amerika, Gypsophila patrini di Rusia tumbuh
di tanah yang kandungan Cu nya tinggi.
8. Viola calaminara, V. lutea di Eropa tumbuh di tanah yang mineral Zinc nya tinggi.
9. Salsola nitrata, Eurotia cerutoides tumbuh di tanah yang kandungan BO tinggi.
10. Silene cobalticola di Kongo dan Nyssa sylvatica di Amerika tumbuh di tanahdengan
kandungan Cobalt tinggi.
11. Lychnis alpina di Swedia menunjukkan adanya Ni.
12. Allium, Arabis Oenothera, Atriplex tumbuh di tanah yang ber Sulfur.
13. Lycium, Juncus, Thalictrum tumbuh dengan adanya lithium (Li).
14. Damara orata, Dacrydium aledonicum di skotlandia tumbuh di tanah mengandung mineral Fe (Iron).
15. Flex aquifolium di Italia tumbuh dengan adanya Alumunium.
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan
4.1.1. Bioindikator adalah merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi
alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia.
4.1.2. Bioindikator dapat dibagi menjadi dua jenis yakni bioindikator hewan dan tumbuhan.
4.2 Saran
ü Bagi mahasiswa sebaiknya, menjaga kondisi lingkungan sekitar melalui hal-hal kecil, seperti tidak
membuang sampah sembarangan khususnya di sungai agar ekosistem air tidak terganggu.