bioindikator

33
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya atau perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan. Organisme sebagai bioindikator kesehatan tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik, dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998 dalam Arianto, 2010). Jenis-jenis bioindikator adalah sebagai berikut : 1. Mikroflora sebagai bioindikator tanah terdiri atas bakteri, fungi, dan alga. Mikroflora berperan penting dalam dekomposisi atau transformasi bahan organik. 2. Mikrofauna sebagai bioindikator kesehatan tanah terdiri atas protozoa, nematoda, small size collembola dan mites. Mikrofauna ini berperan penting sebagai dekomposer bahan organik, mineralisasi nutrien, regulasi mikroflora termasuk patogen, dan dekomposisi agrokemikal. Jumlah keanekaragaman mikrofauna di dalam tanah dipengaruhi oleh pengolahan tanah, pemupukan, pH dan salinitas tanah serta pestisida. Populasi mikrofauna juga dipengaruhi oleh logam berat, limbah, polutan industri, dll sehingga keberadaan mikrofauna dapat dijadikan indikator adanya polutan tanah. 3. Makrofauna adalah invertebrata yang berukuran >2 mm. Makrofauna sangat berperan dalam bioindikator kesehatan. Peran makrofauna di dalam tanah antara lain adalah memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aerasi dan draenase, dekomposisi sampah, dll. Makrofauna yang berada di dalam tanah dikelompokkan kedalam beberapa ordo, yaitu Isopoda, Arachnida, Orthoptera, Coleoptera, Hymenoptera, Diptera, dan Makrofauna lain (Gasteropoda, Blattidae, Acarida, Homoptera dan Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, Chilopoda, dan Embioptera). Karakteristik Bioindikator Bioindikator kesehatan tanah harus memiliki karakteristik dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tanah. Karakteristik bioindikator kesehatan tanah antara lain : · Mempunyai peran penting di dalam tanah. · Memiliki daya tahan tinggi terhadap toksisitas akut maupun toksisitas kronis. · Populasinya stabil.

Upload: andi-rafika-dwi-rachma

Post on 16-Feb-2016

75 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Bioindikator sebagai indikator terhadap suatu badan air

TRANSCRIPT

Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya atau perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan. Organisme sebagai bioindikator kesehatan tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik, dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998 dalam Arianto, 2010). Jenis-jenis bioindikator adalah sebagai berikut :

1. Mikroflora sebagai bioindikator tanah terdiri atas bakteri, fungi, dan alga. Mikroflora berperan penting dalam dekomposisi atau transformasi bahan organik.

2. Mikrofauna sebagai bioindikator kesehatan tanah terdiri atas protozoa, nematoda, small size collembola dan mites. Mikrofauna ini berperan penting sebagai dekomposer bahan organik, mineralisasi nutrien, regulasi mikroflora termasuk patogen, dan dekomposisi agrokemikal. Jumlah keanekaragaman mikrofauna di dalam tanah dipengaruhi oleh pengolahan tanah, pemupukan, pH dan salinitas tanah serta pestisida. Populasi mikrofauna juga dipengaruhi oleh logam berat, limbah, polutan industri, dll sehingga keberadaan mikrofauna dapat dijadikan indikator adanya polutan tanah.

3. Makrofauna adalah invertebrata yang berukuran >2 mm. Makrofauna sangat berperan dalam bioindikator kesehatan. Peran makrofauna di dalam tanah antara lain adalah memperbaiki struktur tanah, meningkatkan aerasi dan draenase, dekomposisi sampah, dll. Makrofauna yang berada di dalam tanah dikelompokkan kedalam beberapa ordo, yaitu Isopoda, Arachnida, Orthoptera, Coleoptera, Hymenoptera, Diptera, dan Makrofauna lain (Gasteropoda, Blattidae, Acarida, Homoptera dan Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, Chilopoda, dan Embioptera).

Karakteristik Bioindikator

Bioindikator kesehatan tanah harus memiliki karakteristik dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tanah. Karakteristik bioindikator kesehatan tanah antara lain :

· Mempunyai peran penting di dalam tanah.

· Memiliki daya tahan tinggi terhadap toksisitas akut maupun toksisitas kronis.

· Populasinya stabil.

· Relatif mudah dikenali di alam.

Proses Bioindikator di dalam Tanah

Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya makrofauna tanah, sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya. Bahan organik dirombak oleh mikroba tanah. Bahan organik tanaman akan mempengaruhi tata udara pada tanah dengan adanya jumlah pori tanah karena aktivitas biota tanah. Oleh aktivitas biota tanah, bahan organik tanaman dirombak menjadi mineral dan sebagian tersimpan sebagai bahan organik tanah. Bahan organik tanah sangat berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan aktivitas biologi tanah dan meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman (Arianto, 2010).

Alga merupakan salah satu mikroflora yang dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, alga membutuhkan sebagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga (Bachtiar, 2007).

Pengaruh Bioindikator terhadap Kualitas Tanah

Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga (Magdoff, 2001). Menurut The Soil Science Society of America, yang dimaksud dengan kualitas tanah adalah kapasitas suatu jenis tanah yang spesifik untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosistem terkelola, untuk mendukung produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dan tumbuhan (Herrick,2000)

Untuk aplikasi di bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Secara lebih terinci kualitas tanah didefinisikan sebagai kecocokan sifat fisik, kimia, dan biologi yang bersamasama: (1) menyediakan suatu media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi; (2) mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan; serta (3) berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan. Untuk mengekspresikan kualitas tanah, berbagai indikator yang berbeda telah digunakan baik yang bersifat statis seperti kerapatan ruang (bulk density), porositas, dan kandungan bahan organik; ataupun yang bersifat dinamis dengan menggunakan model simulasi. Kerapatan ruang atau porositas bukan kriteria yang dapat dipercaya untuk membedakan pengaruh penggunaan lahan yang berbeda dalam jangka panjang, tetapi bahan organik tanah merupakan parameter yang relatif stabil yang menggambarkan pengaruh pengelolaan dan tipe tanaman pada periode yang cukup lama (Pulleman et al., 2000). Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi, seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi terhadap logam berat dan pestisida. Singkatnya sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan (Pankhurst, Doube, dan Gupta, 1997). Bioindikasi didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik sebagai bagian dari suatu individu suatu kelompok organisme untuk mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau sebagian dari lingkungannya (Hornby dan Bateman, 1997). Menurut Doran dan Zeiss (2000), tedapat lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu: (1) sensitif terhadap variasi pengelolaan; (2) berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan; (3) dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem; (4) dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta (5) mudah diukur dan tidak mahal.

Perbandingan Keefektifan Organisme Flora dan Fauna sebagai Bioindikator Tanah

Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1999).

Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 1997). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah., dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.

Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam, yaitu secara calorimeter dan pH meter. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo dkk., 1996).

Fauna Tanah

Fauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah (Suin,1997). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof (makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen) utama di dalam tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah.

Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-jaring makanan dalam tanah (Arief, 2001). Burges dan Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), menjelaskan bahwa secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut : pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mokroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut.

Selain dengan cara tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi. Dengan melihat proses aliran energi yang dikemukakan oleh Burges and Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), dapat dikatakan bahwa tanpa adanya keberadaan mesofauna tanah, proses perombakan materi (dekomposisi) tidak akan dapat berjalan dengan baik.

Peranan Fauna Tanah

Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo dkk., 1996). Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan. Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Wallwork (1976), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Szujecki (1987) dalam Rahmawaty (2000), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.

Fungsi Tanaman sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah

Tanaman yang tumbuh pada suatu lahan dapat mencirikan kondisi dari suatu lahan tersebut apakah mempunyai kualitas sifat tanah yang baik atau tidak. Tanaman yang perkembangannya baik dapat tumbuh dengan optimal dan menghasilkan produksi tinggi sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi bila tanaman ditanam pada lahan yang terdegradasi maka biasanya pertumbuhan tanaman tidak optimal dan terhambat sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah dan apabila pada tingkat yang lebih lanjut akan mati. Sebagai bioindikator pada kualitas tanah pada suatu lahan. Tanaman mempunyai bebrapa fungsi yaitu:

1. Dapat mengidentifikasi kekahatan unsur hara tanah melalui pertumbuhannya yang tidak optimal, misalnya melalui warna daun.

2. Dapat mengetahui tingkat kesuburan tanah berdasarkan pertumbuhan tanaman.

3. Produktivitas yang dihasilkan dapat menunjukkan kondisi suatu lahan bermasalah atau tidak (mengetahui kualitas tanah).

Hambatan Tanaman sebagai Bioindikator Kesehatan Tanah

Bagaimanapun terdapat hambatan dalam mengidentifikasi tanah terdegradasi bila hanya menggunakan faktor tanaman saja sebagai indikator. Hal ini disebabkan:

1. Tanaman mempunyai tingkat sensitivitas yang berbeda-beda terhadap perubahan sifat kualitas tanah. Ada tanaman yang cepat terpengaruh terhadap sifat tanah, dan ada juga yang tidak terpengaruh oleh perubahan sifat kualitas tanah.

2. Sering tidak menunjukkan adanya gangguan secara vegetatif. Terkadang tanaman pada tanah terdegradasi mempunyai fase vegetatif yang bagus tetapi tidak menghasilkan pada fase generatif.

3. Faktor pendukung tanaman berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dan berproduksi bagus tidak hanya dari faktor tanahnya tetapi terdapat faktorfaktor lain yaitu: varietas yang digunakan, penambahan bahan organik, penambahan pupuk, iklim, pengendalian PHT, dan kesesuaian lahan.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang

Manusia tidak akan pernah berhenti untuk berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan industri dan

teknologi telah dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Akan tetapi di sisi lain, berdampak kepada

lingkungan yang pada akhirnya berdampak pula terhadap lingkungan. Semua kegiatan tidak boleh

mengakibatkan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Tetapi harus sesuai dengan prinsip dasar

pengelolaan lingkungan hidup yang baik, yakni  “Sebelum dan sesudah ada kegiatan tidak ada perubahan

terhadap  keadaan lingkungan kecuali perubahan atau dampak yg bersifat positif”. Kegiatan yang tidak

menimbulkan dampak negatif disebut Environtment Zero Effect.

Untuk melihat indikator biologis, harus mengetahui daur pencemaran lingkungan, apakah terjadi

pencemaran atau tidak, maka harus diketahui keadaan lingkungan tersebut sebelum ada kegiatan yang

selanjutnya akan dipakai sebagai garis dasar. Apabila terjadi perubahan (kenaikan) terhadap garis dasar

(keadaan lingkungan sebelum ada kegiatan), berarti lingkungan telah mengalami pencemaran.

Pencemaran lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada akhirnya akan sampai juga

kepada manusia, maka perlu diketahui daur pencemaran lingkungan. Dengan memperhatikan daur

pencemaran lingkungan tersebut, akan memudahkan dalam melakukan penelitian dan pengambilan analisis

contoh lingkungan Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah indikator biologis perlu diketahui

dan ditentukan “ada tidaknya kenaikan keadaan lingkungan dari keadaan garis dasar, melalui analisis

kandungan logam/kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam hewan/tanaman/suatu hasil dari hewan

atau tanaman.

Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan / tanaman yang terletak pada daur pencemaran

lingkungan sebelum sampai kepada manusia. Maka pengambilan contoh lingkungan, baik yang berasal dari

hewan maupun tanaman, haruslah yang terletak pada jalur yang menuju dan berakhir pada manusia.

Indikator biologis dapat terjadi karena ada beberapa organisme/bagian organisme berlaku sebagai

biokonsentrasi logam/senyawa kimia.

1.2      Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian bioindikator?

2. Apa saja jenis-jenis bioindikator?

1.3      Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian bioindikator.

2. Untuk mengetahui jenis-jenis bioindikator.

1.4      Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan dari makalah ini yakni:

1. Sebagai syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Pengetahuan Lingkungan mengenai bioindikator.

2. Sebagai bahan diskusi mengenai bioindikator.

3. Sebagai referensi dalam proses perkuliahan, terutama mata kuliah pengetahuan lingkungan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indicator, bio artinya mahluk hidup seperti hewan,

tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang

terjadi dari waktu ke waktu. jadi bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan

sebagai indikator. Bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,

kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia

(Hendra. 2012:1).

Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif

adalah suatu spesies organisme, penghuni asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan

yang dapat diukur (misalnya perilaku, kematian,  morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop

(detektor). Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap

polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke suatu habitat untuk mengetahui dan

memberi peringatan dini terjadinya polusi          (Ghia. 2010:1).

Pada hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana. Sebelum terjadinya suatu

bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Therapy hewan yang normal sering digunakan

untuk memprediksi bencana alam. Berikut adalah contoh-contoh fenomena dan fakta tentang therapy normal

hewan sebagai bioindikator bencana, antara lain:

1. Hilangnya hewan peliharaan (anjing dan kucing) naik secara signifikan selama dua minggu sebelum

gempa di Loma Prieta, California Utara.

2. Sekitar 80% gempa di Jepang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya therapy normal

ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam, dapat tertangkap oleh nelayan di

pelatihan staf yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki

sensitivitas tinggi, terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti

inisial memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan bahasa

dari tanah sebelum gempa.

3. Sebulan sebelum terjadinya gempa di kota Haicheng di Provinsi Liaoning Cina bulan Februari 1975,

banyak ditemukan therapy normal hewan ternak seperti sapi, babi, kuda, dan anjing.

4. Tsunami besar yang melanda Sri lanka akhir 2004 lalu juga didahului therapy tak lazim bahasa dari

hewan-hewan. Kantor berita reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Sri lanka telah dipenuhi

mayat manusia, tetapi tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Hal nihil menunjukkan

bahwa hewan-hewan telah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri.

5. Sebelum terjadinya gempa bumi melanda yang Cianjur, Tasikmalaya, Garut, Sukabumi tahun 2009,

situs berita dalam negeri memberitakan bahwa hewan-hewan di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor

menunjukkan therapy terapi aneh. Dilaporkan, empat puluh ekor gajah tampak histeris dan

mengeluarkan lengkingan suara keras bahasa dari belalainya.

Selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan.

Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.   Perubahan

yang terjadi dapat menunjukkan terjadinya pencemaran. Bioindikator dapat digunakan untuk

mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara, udara, dan tanah (Shiddieqy, 2010).

 BAB III PEMBAHASAN

3.1       Pengertian Bioindikator

Bioindikator berasal dari kata bahasa Inggris yaitu bio dan indicator. Bio artinya mahluk hidup

seperti hewan, tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-

perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Jadi bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang

dijadikan sebagai indikator.

Selain itu, bioindikator juga merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,

kondisi alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas

manusia. Bioindikator petunjuk waktu dan lokasi atau endemi; bioindikator dapat menunjukkan endemi dari

suatu jenis tumbuhan atau hewan. Untuk lebih jelasnya dapat memperhatikan contoh pada bunga Raflesia

Arnoldi, bunga Raflesia Arnoldi akan banyak diketemukan atau tumbuh pada sepanjanng jalur migrasi babi.

Raflesia Arnoldi  merupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki akar, sehingga untuk dapat tumbuh dan

berkembang Raflesia Arnoldi  akan menyerap makanan/nutrisi dari tumbuhan lain yang ada disekitarnya.

Saat bermigrasi babi akan memakan tumbuhan terutama umbi-umbian yang ditemuinya selama dalam

perjalanan dengan cara mencabut tumbuhan tersebut hingga ke akar atau umbinya. Raflesia Arnoldiakan

tumbuh dengan cara menyerap makanan/nutrisi dari sisa-sisa akar/umbi dari tumbuhan yang telah dimakan

babi. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi atau endemi Raflesia Arnoldibanyak diketemukan di sepanjang

jalur migrasi babi.

Contoh lain adalah pada ikan Salmon, pada saat musim kawin dan bertelur maka ikan Salmonakan

bermigrasi menuju hulu sungai, atau disebut juga dengan istilah Anadromus. Setelah menetas maka ikan-

ikan  Salmon  ini akan kembali menuju ke hilir sungai atau ke laut. Hal ini juga terjadi pada belut

raksasa  Sidat  yang melakukan migrasi ke hilir sungai atau laut untuk kawin dan bertelur, hal ini disebut

juga dengan istilah Katadromus.

Bioindikator petunjuk kondisi alam; bioindikator dapat menggambarkan kondisi alami dari lingkungan yang

ada disekitarnya. Kondisi alami ini dapat berupa bencana alam seperti banjir atau letusan gunungapi.

Sebagai contoh adalah pada prilaku buaya yang memindahkan sarang dan telur-lelurnya ketempat yang

relatif tinggi dan jauh dari badan air atau sungai. Jika hal ini dilakukan buaya maka dapat diindikasikan

bahwa air sungai tersebut akan meluap dan terjadi banjir di daerah tersebut.

Bioindikator sebagai petunjuk perubahan kualitas lingkungan; perubahan kualitas lingkungan yang

terjadi disini disebabkan karena aktifitas manusia. Pada daerah perairan atau sungai, ikan merupakan

bioindikator yang paling baik untuk menunjukkan kualitas air pada perairan atau sungai tersebut. Beberapa

jenis ikan terutama yang memiliki warna sisik yang cerah ada terang dapat dimanfaatkan sebagai

bioindikator terhadap pencemaran air. Jika suatu perairan telah tercemar zat kimia terutama pestisida dan

logam berat maka warna sisik ikan yang semula terang dan cerah akan berubah menjadi kabur dan tidak

jelas. Hal ini terjadi karena sel-sel pembawa warna pada ikan “Cloroflas” akan rusak sehingga warna sisik

ikan menjadi pudar karena zat pembawa warna menjadi mengecil. Hal lain yang dapat diamati pada ikan

adalah gerakannya. Jika suatu perairan telah tercemar maka akan mengganggu insang ikan dalam proses

penyerapan oksigen dalam air, sehingga gerakan ikan menjadi tak beraturan karena insang tidak dapat

mengambil oksigen dengan baik. Selain ikan, beberapa jenis tumbuhan air seperti kangkung juga dapat

menunjukkan kualitas suatu perairan. Kangkung akan mengalami perubahan warna menjadi merah atau

kemerahan jika perairan tersebut telah tercemar logam berat Mg, Cd dan Hg.

3.2       Jenis Bioindikator

Agar lebih mudah dipahami, dalam pembahasan ini bioindikator dapat kita bagi menjadi dua bagian, yakni

bioindikator hewan, dan bioindikator tumbuhan.

3.2.1        Bioindikator Hewan

Hewan makrozoobentos invertebrata merupakan hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat dilihat

oleh mata biasa dengan ukuran lebih besar dari 200µm – 500µm (Slack et al., 1973; Weber, 1973;

Wiederholm, 1980; Suess, 1982 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini hidup pada dasar kolam,

danau, dan sungai untuk seluruh atau sebagian tahapan hidupnya. Mereka dapat hidup pada batuan, ataupun

bergerak bebas pada ruang antar batuan, pada runtuhan bahan organik (Standard Methods, 1989). Dalam

kamus besar Bahasa Indonesia, bentos adalah organisme yang mendiami daerah dasar perairan.

Bentos merupakan organisme yang melekat di permukaan substrat dasar sungai (Odum, 1993). Sedangkan

makrozoobhentos adalah bentos yang dapat terlihat dengan mata biasa. Biasanya menempati ruang kecil

antara batuan di dasar dalam runtuhan bahan organik, di atas batang kayu dan tanaman air atau di dalam

sedimen halus. Biasanya berukuran lebih besar dari 1 mm. Makrozoobentos ini pada umumnya terdiri dari

larva Insecta, Crustacea, Mollusca, Oligochaeta, dan Arachnidae (Feminella dan Flynn, 1999). Hewan-

hewan ini secara terus menerus terkena substansi yang diangkut oleh aliran sungai sehingga memiliki

kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan

makrozoobentos sesuai untuk dijadikan indikator ekologi dari suatu perairan

Makrozoobentos tersebut dapat dikuantifikasi dengan menentukan kekayaan spesies (jumlah jenis hewan

yang tercuplik dalam sampel), kelimpahan (jumlah total individu dalam sampel), kelimpahan rata-rata

(jumlah rata-rata satu jenis hewan terhadap jenis yang lainnya), dan keanekaragaman spesies (distribusi total

individu setiap jenis pada sampel). Mudahnya kuantifikasi makrozoobentos tersebut menunjukkan bahwa

makrozoobentos memenuhi syarat sebagai bioindikator selain terpenuhinya syarat-syarat yang lainnya

(variasi genetis yang sedikit, mobilitas terbatas, dan mudah pengindentifikasian masing-masing jenis)

(Rosenberg dan Resh, 1993).

Beberapa keuntungan penggunaan makrozoobentos adalah:

Hewan-hewan ini terdapat di mana-mana sehingga dapat dipengaruhi oleh perubahan kondisi

lingkungan pada berbagai tipe perairan,

Jenis dari makrozoobentos sangat banyak sehingga memungkinkan spektrum luas dalam pengamatan

terhadap respons stres di lingkungan,

Hewan-hewan ini pergerakannya cenderung sedikit sehingga dapat dilakukan analisis spasial yang

efektif terhadap efek dari polutan,

Siklus hidup yang panjang memungkinkan diuraikannya perubahan yang bersifat sementara akibat

gangguan yang terjadi.

Keuntungan-keuntungan ini menyebabkan makrozoobentos bertindak sebagai pengawas secara terus-

menerus terhadap kualitas air tempat hidupnya (Rosenberg dan Resh, 1993). Namun disamping berbagai

keuntungan yang bisa didapatkan dari bioindikator makrozoobentos, terdapat pula kerugian dari penggunaan

makrozoobentos tersebut. Selain itu, makrozoobentos juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik air,

seperti kecepatan arus air. Kemudian pada tahap analisis masih banyak jenis-jenis makrozoobentos yang

sulit untuk diidentifikasi (Rosenberg dan Resh, 1993).

Seperti yang telah disebutkan, hewan makrozoobentos dapat digunakan menjadi indikator pencemaran

dengan beberapa kategori. Beberapa hewan makrozoobentos ada yang memiliki sifat hidup intoleran

terhadap pencemaran yang terjadi, contohnya: Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera. Beberapa jenis yang

lain digolongkan fakultatif yaitu dapat hidup pada lingkungan yang bersih sampai tercemar sedikit atau

sedang, contohnya: beberapa taxa dari Diptera, Odonata, Coleoptera, Pelecypoda. Sedangkan beberapa jenis

yang lain memiliki sifat hidup toleran terhadap berbagai pencemaran yang terjadi pada habitatnya,

contohnya: beberapa jenis Diptera, Hirudinae, Oligochaeta.

Berdasarkan Wilhm (1975) dan Basmi (1999) (Alma Sina, 2005), kepekaan jenis-jenis makrozoobentos di

sungai terhadap polusi bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

1. Kelompok intoleran, contohnya: Ephemeroptera, Plecoptera, Trichoptera.

2. Kelompok fakultatif, contohnya: Odonata, beberapa Diptera (Tipulidae & Rhagionidae), Pelecypoda.

3. Kelompok toleran, contohnya: beberapa Diptera (Tanypodinae & Simuliidae), Hirudinae, Gastropoda.

ü  Kelompok intoleran

Kelompok ini merupakan kelompok makrozoobentos yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap berbagai

macam pencemaran. Berbagai faktor perubahan lingkungan dapat menyebabkan hilangnya jenis-jenis dari

kelompok ini. Jenis-jenis pada kelompok ini biasanya hidup pada lingkungan akuatik (sungai) yang

memiliki arus cukup deras (Mellanby, 1963). Lingkungan yang biasa disukai adalah jeram yang suhunya

cukup dingin (Ward, 1992; Silalom, 1999). Selain itu terdapat hubungan yang baik antara alkalinitas,

konduktivitas, total solid yang terlarut ammonia-nitrogen dan nutrat-nitrogen dengan jumlah larva (Silalom,

1999). Larva pada ordo Trichoptera umumnya tidak terlalu toleran atau sensitf terhadap pencemaran organik

ringan tapi dapat digunakan sebagai indicator perairan yang bersih. Namun pada jenis-jenis dari

Ephemeroptera dan Plecoptera sangat sensitif terhadap pencemaran organik. Terhadap pencemaran, seperti

pencemaran yang berasal dari industri tekstil atau penyamakan kulit, jenis-jenis pada kelompok ini sangat

sensitif.

Setiap ordo pada kelompok intoleran ini memiliki ciri habitat yang berbeda-beda. Bahkan famili pada

masing-masing ordo memiliki preferensi kualitas lingkungan tempat hidupnya. Hal ini menyebabkan jenis

dari kelompok ini dikategorikan. Hal ini menyebabkan jenis dari kelompok ini dikategorikan memiliki

relung atau niche yang kecil.

1. Ordo Ephemeroptera (Mayfly)

Ordo ini akan mencapai kelimpahan yang tinggi jika berada pada lingkungan yang cenderung dingin,

berarus sedang sampai deras serta berbatu. Pada beberapa famili dari ordo ini bersifat burrowers atau

penggali pada sedimen halus dari sungai yang berada di atas bebatuan. Spesies Baetis sp. dari famili

Baetidae merupakan jenis yang paling toleran dari ordo ini untuk pencemaran yang ringan. Hewan ini

memerlukan banyak oksigen.

Ordo ini merupakan serangga terestrial pada masa dewasanya, tetapi pada tahap nimpha, ordo ini merupakan

hewan akuatik sehingga biasa digunakan sebagai bioindikator perairan. Beberapa jenis hidup di perairan

tenang (lentik) dan yang lainnya hidup di perairan deras (lotik). Nimpha dewasa menunjukkan morfologi

yang beragam sebagai bentuk adaptasi terhadap habitatnya masing-masing. Waktu hidup nimphanya bisa

beberapa tahun sedangkan yang sudah dewasa hanya bertahan tiga hari.

Secara umum, morfologi dari nimpha dewasa memiliki ciri tubuh yang memanjang, bagian kepala yang

besar, bagian mandibula pada mulut yang berkembang dengan baik, kaki yang kuat, antena filiform

(berbentuk seperti jarum) dan mata majemuk yang besar. Bagian abdomen atau perut terdiri dari 10 segmen

dan memiliki insang trakeal pada permukaan dorsal (punggung) atau lateral (perut) di bagian tersebut.

Biasanya pada ujung abdomen terdapat dua atau tiga filament ekor (filamen kaudal) yang berjumbai dan

bersegmen (Pennak, 1978) (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar beberapa famili dari ordo Ephemeroptera (www.pkukmweb.ukm)

Berdasarkan Mackie (2001), hewan pada ordo Ephemeroptera lebih menyukai kondisi lingkungan yang

memiliki pH dengan kisaran netral. Sedangkan berdasarkan Roback (1974 dalam Hart dan Fuller, 1974)

setiap famili pada ordo ini memiliki preferensi lingkungan hidupnya masing-masing, hal tersebut dapat

dilihat sebagai berikut:

1. Famili Baetidae

Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong scraper atau tipe hewan yang memakan organisme yang

menempel pada substrat perairan atau yang disebut perifiton. Biasanya hewan pada golongan ini akan

menurun kelimpahannya jika terdapat sedimentasi serta polusi organik.

Ciri lingkungan tempat hidup famili ini adalah:

1. pH berkisar 5,6 – 8,5

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 4 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 5,00 ppm

4. nitrat antara 0,03 – 15,4 ppm

5. fosfat antara <0,01 – 0,62 ppm

6. nilai BOD 0,3 – 15,4 ppm

7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm

1. Famili Ephemerellidae

Famili ini memiliki sifat makan yang sama dengan famili Baetidae yaitu scraper. Ciri lingkungan tempat

hidup famili ini adalah:

1. pH berkisar 6,6 – 8,4

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 4 – 11 ppm

3. amonium antara <0,01 – 0,05 ppm

4. nitrat antara 0,12 – 2,3 ppm

5. fosfat antara <0,01 – 0,05 ppm

6. nilai BOD 0,5 – 4,1 ppm

7. kekeruhan pada 10 – 120 ppm

1. Famili Leptophlebiidae

Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong shredder atau tipe hewan yang memakan tumbuhan baik

yang masih hidup maupun sisa tumbuhan yang sudah mati atau materi organik yang kasar. Biasanya hewan

pada golongan ini sensitif pada perubahan vegetasi. Hewan pada kelompok makan ini sangat baik untuk

digunakan sebagai indikator toksikan yang menempel pada materi organik.

Ciri lingkungan hidup famili ini adalah:

1. pH berkisar 5,4 – 8,5

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 2 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 0,97 ppm

4. nitrat antara 0,21 – 0,50 ppm

5. fosfat antara < 0, 01 – 0,12 ppm

6. nilai BOD 0,4 – 2,5 ppm

7. kekeruhan pada 7 – 140 ppm

1. Famili Caenidae

Famili ini memiliki sifat makan yang sama dengan Baetidae tergolong scraper atau tipe hewan yang

memakan organisme yang menempel pada substrat perairan atau yang disebut perifiton. Biasanya hewan

pada golongan ini akan menurun kelimpahannya jika terdapat sedimentasi serta polusi organik. Ciri

lingkungan tempat hidup famili ini adalah:

1. pH berkisar 5,5 – 8,5

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 2 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 0,34 ppm

4. nitrat antara 0,03 – 1,18 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,87 ppm

6. nilai BOD 0,4 – 7,5 ppm

7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm

1. Famili Oligoneuridae (Heptagenidae)

Famili ini memiliki sifat makan yang tergolong collector-filterers atau tipe hewan yang memakan materi

organik halus yang berada pada air dan yang berada pada sedimen. Ciri lingkungan tempat hidup famili ini

adalah:

1. pH berkisar 5,5 – 8,4

2. kadar oksigen terlarur berkisar antara 3 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 5,00 ppm

4. nitrat antara 0,03 – 0,50 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,86 ppm

6. nilai BOD 0,5 – 2,2 ppm

7. kekeruhan pada 1 – >72000 ppm

1. Ordo Trichoptera (Caddisfly)

Ordo ini merupakan salah satu ordo serangga yang bermetamorfosis sempurna. Tahapan larva dari ordo ini

termasuk ke dalam hewan makrobentos dan biasa dijadikan bioindikator perairan. Larva dan pupa berada di

daerah akuatik. Sebagian besar larva dari ordo ini membangun sarang, baik yang dapat dipindahkan maupun

tidak. Biasanya sarang tersebut dibuat dari kerikil kecil, butiran pasir, debris, tumbuhan, alga dan lainnya.

Selain itu, beberapa famili membangun jaring di depan sarangnya untuk menangkap debris, sebagai

makanannya, yang hanyut oleh air.

Secara umum larva ordo ini memiliki bagian kepala dan dada yang tersklerotisasai (terbuat dari zat tanduk)

dan berwarna gelap. Ketiga bagian dada terpisah satu dengan yang lainnya. Bagian abdomen biasanya

lembut dan berwarna hijau, coklat, abu-abu, krem atau keputih-putihan. Pada bagian kepala terdapat

sepasang antena yang sangat kecil, mulut termasuk ke dalam tipe pengunyah dan memiliki dua ocelli (mata

tunggal) berwarna hitam. Kaki prothorax biasanya kuat dan kecil, berfungsi untuk memegang makanan

tetapi tidak digunakan untuk pergerakan. Pada bagian ujung tubuh terdapat sepasang proleg yang berbentuk

kait sehingga larva dapat mengaitkan diri pada sarang atau substrat hidupnya. Pada bagian samping tubuh

terdapat garis samping tubuh dan memiliki jumbai rambut pada setiap sisi beberapa segmen abdomen bagian

atas (Pennak, 1978) (Gambar 3).

Gambar 2. Gambar ordo Trichoptera

(www.pkukmweb.ukm)

1. Ordo Plecoptera (Stonefly)

Ordo nimpha Plecoptera merupakan hewan akuatik. Metamorfosis yang terjadi tidak lengkap. Nimpha ordo

ini memiliki antena yang panjang berbentuk filiform, bentuk mulut yang termasuk tipe pengunyah, insang

trakea yang berfilamen (berlembar-lembar), bagian abdomen yang memiliki 10 segmen, berwarna kuning

atau coklat atau kehitam-hitaman, biasanya hidup di bawah batu pada perairan deras/lotik (Gambar 3).

Menurut Roback (1974), secara umum hewan-hewan pada ordo ini memiliki kisaran toleransi kimiawi yang

menjadi faktor pembatas untuk bertahan hidup, antara lain sebagai berikut:

1. pH berkisar antara 5,5 – 8,8

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 5 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 5,0 ppm

4. nitrat antara 0,06 – 1,10 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,48 ppm

6. nilai BOD 0,4 – 2,8

7. kekeruhan pada 3 – >72000 ppm

Beberapa famili dari ordo ini termasuk kelompok cara makan collector-filterer yaitu kelompok hewan yang

mendapatkan makanan dari mengumpulkan bahan organik yang terbawa oleh arus (Pennak, 1978). Namun

beberapa famili yang termasuk dalam kelompok karnivorus.

Gambar 3. Gambar ordo Plecoptera (www.pkukmweb.ukm)

ü  Kelompok fakultatif

Hewan pada kelompok ini memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan hidupnya. Biasanya

hewan dari kelompok ini dapat hidup pada daerah yang bersih sampai tercemar sedang, baik oleh polutan

organik maupun anorganik.

Hewan pada kelompok ini lebih menyukai tempat hidup yang dangkal di perairan. Untuk hewan dari kelas

Insekta, lebih menyukai tempat yang berarus sedang sampai deras, sedangkan dari kelas Pelecypoda lebih

menyukai daerah yang berarus lambat sampai perairan yang tenang.

Hewan dari kelas Insekta pada kelompok ini merupakan jenis karnivora sehingga tempat hidupnya akan

mengikuti daerah yang terdapat banyak mangsa dan mudah untuk ditangkap. Sedangkan, pada kelas

Pelecypoda lebih menyukai daerah yang berlumpur karena terdapat makanan yang lebih banyak.

Berdasarkan Streamkeepers Database (2000) famili Tipulidae dan Rhagionidae dari ordo Diptera termasuk

dalam kategori hewan fakultatif terhadap pencemaran. Ordo Diptera biasanya dikenal sebagai lalat, nyamuk,

dan serangga kecil (flies, mosquitos, midges). Ciri khas morfologi dari ordo ini adalah tubuh yang berbentuk

menyerupai thorax dan sembilan segmen abdomen, tubuh yang lembut dan fleksibel, berwarna putih, abu-

abu, kuning, kemerahan, coklat, dan hitam. Permukaan segmen badan dapat ditutupi oleh rambut atau duri,

atau dapat pula halus tanpa rambut. Antena jarang yang menonjol keluar. Pada beberapa famili terdapat kaki

yang pendek dan kecil. Tipe mulut pada ordo ini sangat beragam tergantung pada kebiasaan makannya.

Menurut Roback (1974) (dalam Alma Sina, 2005), kedua famili ini memiliki preferensi kondisi lingkungan

tempat hidupnya, yaitu sebagai berikut:

1. Famili Tipulidae

Famili ini termasuk pada kelompok cara makan collector-filterer yaitu kelompok hewan yang mendapatkan

makanan dari mengumpulkan bahan organik yang terbawa oleh arus (Pennak, 1978). Kondisi habitat famili

ini adalah:

1. pH berkisar antara 4,4 – 8,4

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 11 ppm

3. amonium antara 0,02 – 0,35 ppm

4. nitrat antara 0,12 – 2,30 ppm

5. fosfat antara 0,02 – 0,56 ppm

6. nilai BOD 0,2 – 4,4

7. kekeruhan pada 2 – 24 ppm

1. Famili Rhagionidae

Kondisi habitat ini adalah:

1. pH berkisar antara 6,3 – 8,2

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 9 ppm

3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm

4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,72 ppm

6. nilai BOD 0,6 – 2,8

7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm

 

ü  Kelompok toleran

Kelompok ini merupakan kelompok yang dapat hidup pada daerah yang tercemar berat, walaupun ada

beberapa jenis yang dapat hidup di daerah yang tercemar sedang. Sebagian jenis dari kelompok ini

merupakan karnivora, sedangkan yang lainnya memakan materi organik dari lingkungan hidupnya. Hewan

dari famili Hirudinae (lintah) merupakan jewan predator dan pemakan sisa mahluk hidup yang telah mati.

Hewan dari famili ini menyukai daerah yang hangat, arus yang tidak terlalu deras, dapat hidup pada daerah

yang bersifat asam, dan yang menjadi faktor pembatas untuk distribusinya adalah rendah. Sedangkan hewan

dari kelas Gastropoda lebih menyukai daerah yang berarus tenag dan tercemar parah.

1. Subfamili Tanypodinae, famili Chironomidae, ordo Diptera

Hewan yang berasal dari kelas Insekta pada kelompok ini merupakan subfamili dari famili Chironomidae

yang termasuk ke dalam ordo Diptera. Ordo Diptera memiliki ciri khas morfologi tersendiri dari famili

Chironomidae adalah tubuh larva memanjang dan berbentuk silindris, memiliki sepasang proleg pada

segmen thorax pertama dan segmen abdomen terakhir, terdapat insang anal pada permukaan lantroventral,

berwarna putih, kekuningan, kehijauan, kebiruan, kemerahmudaan, atau merah tua. Hewan ini memiliki

kondisi habitat sebagai berikut:

1. pH berkisar antara 4,4 – 8,8

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 3 – 14 ppm

3. amonium antara < 0,01 – 1, 10 ppm

4. nitrat antara 0,05 – 1,3 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,87 ppm

6. nilai BOD 0,2 – 4,4 ppm

7. kekeruhan pada 2 – > 72000 ppm

1. Famili Simuliidae, ordo Diptera

Simulidae merupakan salah satu famili yang berada pada ordo Diptera dari kelas Insekta. Ciri khas

morfologi famili ini adalah berwarna abu-abu, coklat, atau hitam, berbentuk silindris, berkulit halus, pada

prothorax terdapat proleg yang kuat dengan kait kecil, pada bagian akhir tubuh terdapat piringan datar,

terdapat insang darah yang rektratil pada anus. Sebagai tambahan, pada daerah yang biasanya merupakan

tempat duduk mulut, terdapat dua struktur prominen yang berbentuk seperti kipas. Kondisi habitat famili ini

adalah:

1. pH berkisar 7,2 – 8,2

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 8 – 9 ppm

3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm

4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm

5. fosfat antara < 0,01 – 0,72 ppm

6. nilai BOD 0,6 – 2,8

7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm

1. Kelas Hirudinae

Hirudinae merupakan salah satu kelas dari filum Annelida. Hirudinae atau yang lebih dikenal sebagai lintah

merupakan hewan dorsoventral yang memiliki penghisap pada bagian ventral tubuhnya. Bagian mulut dari

kelas ini dikelilingi oleh penghisap oral yang berukuran besar atau kecil menghadap ke arah ventral.

Penghisap bagian ekor biasanya menghadap ventral, sedangkan anus berada pada bagian dorsal dan di depan

penghisap. Tubuh Hirudinae biasanya memiliki otot yang kuat dan kelas ini dapat bergerak dengan bebas.

Hirudinae merupakan hewan yang dikenal sebagai hewan yang parasit pada mahluk hidup. Beberapa famili

dari Hirudinae memakai larva Insekta yang ada di perairan sebagai tempat hidupnya. Tempat hidup yang

disukai oleh Hirudinae merupakan perairan tawar sebagai tempat hidupnya. Tempat hidup yang disukai

Hirudinae merupakan perairan yang memiliki substrat dasar yang keras untuk memudahkan pergerakannya.

Biasanya Hirudinae menyukai habitat yang berarus antara 10 – 30 cm/detik. Hirudinae memiliki toleransi

yang tidak biasa terhadap DDT jika dibandingkan dengan beberpa jenis nyamuk dan lalat rumahan. LC50

dari DDT pada beberapa jenis Hirudinae menunjukkan bahwa Hirudinae memiliki toleransi yang cutup

tinggi terhadap jenis pestisida ini. Kehadiran Hirudinae dapat diasosiasikan denganb uruknya kondisi

lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena Hirudinae merupakan parasit pada hewan-hewan yang

telah diasosiasikan secara langsung dengan pencemaran pada lingkungan seperti Oligochaeta, larva Insekta,

dan Crustacea kecil. Kondisi habitat yang disukai Hirudinae adalah:

1. pH berkisar antara 7,0 – 7,5

2. kadar oksigen terlarut berkisar antara 5,0 – 11,5 ppm

3. amonium antara 0,01 – 5,0 ppm

4. nitrat antara 0,4 – 0,9 ppm

5. fosfat antara 0,1 – 0,6 ppm

6. nilai BOD 0,6 – 2,8

7. kekeruhan pada 5 – 36 ppm

1. Kelas Gastropoda (Siput)

Gastropoda atau lebih dikenal sebagai siput air ini merupakan salah satu makrozoobentos yang terdapat di

berbagai perairan. Kelas ini memiliki variasi yang beragam pada perairan tawar dengan cangkangnya yang

beragam dari bentuk yang spiral sampai yang berbentuk piringan. Dalam pengindentifikasiannya,

Gastropoda biasa dibedakan dari jenis cangkangnya. Biasanya siput perairan air tawar memiliki warna yang

gelap yaitu abu-abu, coklat, dan kehitaman. Permukaan cangkang terlihat halus tetapi jika diperhatikan lebih

jauh terdapat garis pertumbuhan yang longitudinal. Selain itu kelas ini dibedakan pula dari bentuk bukaan

cangkangnya.

Gastropoda biasanya mengkonsumsi algae serta debris tumbuhan maupun hewan pada permukaan batu atau

tumbuhan tempat tinggalnya. Gastropoda terbagi menjadi dua kelompok yaitu prosobranchia (Gastropoda

yang berinsang) dan pulmonata (Gastropoda berparu-paru). Pada Prosobranchia, sensitivitas terhadap

oksigen yang terlarut sangat tinggi sehingga kelompok ini tidak dapat hidup pada daerah yang kurang kadar

oksigen terlarutnya dan tercemar organik. Sedangkan pada Pulmonata, karena organ pernafasannya berupa

paru-paru maka kelompok ini tidak bergantung pada kadar oksigen terlarut dalam air, mereka naik ke

permukaan untuk mengambil oksigen yang diperlukan. Banyak jenis pada kelompok Pulmonata yang

memiliki habitat di tempat yang tercemar berat.

Kondisi habitat yang disukai oleh Gastropoda adalah berada pada pH dengan kisaran antara 6,7 – 9,0 serta

kadar oksigen terlarut antara 0,5 – 14 ppm. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Gastropoda dapat

bertahan hidup pada daerah yang tercemar berat dan bahan-bahan pencemar tersebut, seperti logam berat,

pestisida, radioaktif, terkonsentrasi pada organ serta cangkang Gastropoda.

Gambar 4. Gambar kelas Gastropoda (www.pkukmweb.ukm)

 

3.2.2        Bioindikator Tumbuhan

Tumbuhan, sifat-sifatnya merupakan pencerminan yang ada di dalam tumbuhan itu (hereditas), tetapi selain

itu pertumbuhannya juga dipengaruhi lingkungan. Jadi fenotipe yang terjadi merupakan paduan dari

hereditas dan lingkungan itu. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan.

Suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan tempat

tumbuhnya, disebut indikator biologi atau bioindikator atau fitoindikator. Atau dengan istilah lain tumbuhan

yang dapat digunakan sebagai indikator kekhasan habitat tertentu disebut tumbuhan indikator.

Banyaknya tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan. Dalam suatu komunitas

tumbuhan beberapa diantaranya dominan dengan jumlah yang melimpah. Tumbuhan semacam ini

merupakan indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat hubungan dengan habitatnya. Dengan

demikian dapatlah dinyatakan bahwa komunitas atau setidak-tidaknya kebanyakan tumbuhan merupakan

indikator yang lebih baik daripada tumbuhan yang tumbuh secara individual.

Tanaman dapat berfungsi sebagai indikator kondisi lingkungan. Tanaman bereaksi terhadap kondisi tanah

maupun kondisi cuaca. Banyak tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu lingkungan.

Beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijadikan indikator pencemaran lingkungan, antara lain sebagai

berikut:

1. Lamun sebagai Bioindikator Timbal (Pb)

Kerusakan lingkungan akibat industrialisasi, diakibatkan oleh limbah yang umumnya mengandung bahan-

bahan berbahaya bagi kehidupan, di antaranya adalah unsur logam berat. Salah satu unsur logam berat

tersebut adalah timbal (Pb), yang menunjukkan beracun pada sistem syaraf, mempengaruhi kerja ginjal dan

menyebabkan kelumpuhan. Tumbuhan Lamun dapat digunakan sebagai bioindikator logam berat Pb di

wilayah pesisir, di mana kandungan logam Pb adalah sebesar (biomass lamun/m2 x kandungan Pb

mg/kg)/1000 dengan mangakumulasi dari sedimen. Selain itu bagian daun lamun dapat berfungsi sebagai

bioakumulator terakhir sehingga dapat digunakan untuk menentukan sebaran kandungan logam berat Pb

dalam suatu perairan besar. Lamun juga dapat digunakan untuk membantu mengurangi toksisitas logam

berat Pb.

1. Bunga Terompet Biru

Bunga terompet biru yang berwarna ungu kebiruan ini termasuk dalam famili Solanaceae (terong-terongan).

Bunga ini berbentuk seperti terompet, berwarna ungu kebiruan, buahnya yang kering jika dikenai air selama

beberapa detik akan pecah/meledak seperti petasan namun tidaklah berbahaya karena ukurannya kecil (1cm-

2,5 cm). Bunga ini digunakan sebagai indikator untuk mengukur asam basa.

1. Bunga Sepatu (Hibiscus rosa sinensis)

Bunga sepatu memang sudah dikenal dapat digunakan sebagai indikator asam basa. Bunga sepatu atau nama

ilmiahnya Hibiscus rosa-sinensis termasuk dalam famili Malvaceae atau kapas-kapasan bermanfaat sebagai

tanaman hias, bahan campuran kosmetik (sabun), dan sebagai indikator. Bunga sepatu ini memiliki banyak

varietas warna dan bentuk. Namun biasanya yang digunakan untuk indikator adalah yang berwana merah.

Bunga ini digunakan sebagai indikator asam-basa.

1. Bunga Suring

Tanaman yang daunnya di beberapa daerah seperti Puworejo, Kebumen, Pati, dsb ini dijadikan sayuran

lezat, ternyata bunganya pun bermanfaat sebagi indikator asam basa. Tanaman ini masih berkerabat jauh

dengan bunga matahari dan bunga krisan yang termasuk famili Compositae. Bunga suring pun memiliki

beberapa varietas dan jenis yang bermacam-macam, ada yang bunganya berwarna kuning, oranye, dan pink

keunguan. Namun yang kami gunakan untuk indikator adalah yang berwarna oranye.

1. Bunga Terompet Ungu

Bunga ini sekilas mirip dengan bunga terompet biru. Namun jika lebih diperhatikan, warnanya lebih ungu

daripada bunga terompet biru. Apalagi jika kita melihat bentuk tanamannya, baik batang maupun daunnya

sangat berbeda. Jika bunga terompet biru daunnya membulat ujungnya, maka daun bunga terompet ungu ini

berbentuk oval dengan ujung daun meruncing, bunga terompet biru batangnya tidak terlalu tinggi sedangkan

bunga terompet ungu batangnya tinggi. Tetapi bunga ini masih termasuk famili Solanaceae.

1. Bunga Canna sanseviera

Bunga yang sering kita jumpai di tepi-tepi jalan sebagai penghias tepi jalan ini dapat pula dijadikan indikator

asam basa. Bunga yang berwarna merah ini termasuk dalam famili Cannae atau tasbih-tasbihan.

Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa L)

Bunga yang termasuk dalam famili Nyctaginaceae ini termasuk tanaman multifungsi. Manfaatnya yaitu

sebagai obat tradisional, terutama batang, akar, daun, dan bijinya. Akan tetapi kami menemukan manfaat

lain dari tanaman ini, yaitu bunganya dapat dijadikan indikator asam basa.

1. Bunga Pacar Cina

Bunga ini biasa kita temui di pinggir-pinggir kebun, tepi jalan, atau di depan rumah kita. Tanaman ini

bunganya berbentuk seperti bunga anggrek, warnanya bermacam-macam; ada yang oranye, merah, ungu,

pink, putih, dll. Daunnya biasa dijadikan cat kuku dengan cara ditumbuk lalu dibubuhkan pada kuku.

Buahnya berbentuk oval dan berisi biji-biji kecil yang coklat bila sudah tua. Tanaman ini termasuk dalam

famili Balsaminaceae. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai indikator adalah daunnya karena bunganya

tidak dapat digunakan.

1. Acanthus icilifliu

Digunakan untuk mengetahui habitat saline Tumbuhan ini tumbuh dan tahan dalam habitat dengan

kandungan garam tinggi Kegaraman tanah antara lain oleh NaCl, CaSO4, NaCO3, KCl.

1. Astragalus rocemosus

Digunakan sebagai indikator logam berat Kebanyakan tumbuhan sensitif terhadap logam berat Sebagian

besar logam berat ini merupakan deposit di dinding sel-sel perakaran dan daun.

1. Butea monosperma

Tumbuh ditanah yang alkalinitasnya tinggi, digunakan sebagai indikator karakteristik tanah.

1. Capparia deciduas

Digunakan sebagai indikator karakteristik tanah.

1. Peganum harmala

Tanah kaya akan N dan garam-garam, baik untuk pertanian Digunakan sebagai indikator karakteristik tanah

1. Polytrichum

Menunjukkan tanah berkapur dan halofit menunjukkan tanah bergaram. Digunakan untuk mengukur reaksi

tanah.

1. Silene vulgaris

Digunakan untuk mengetahui kadar logam berat pada tanah Tanah yang mempunyai cadas berkandungan

logam berat, khususnya Zn, Pb, Ni, Co, Cr, Cu, Mr, Mg, Cd, Se, dan lain-lain.

1. Lumut Kerak (lichen)

Lichen dapat digunakan sebagai indikator polusi udara alami dengan cara membandingkan jumlah tumbuhan

lumut kerak (Lichen) yang terdapat pada batang pepohonan di suatu derah. Semakin sedikit tumbuhan lumut

kerak (Lichen) yang tumbuh pada pepohonan di suatu lingkungan, maka tingkat polusi di lingkungan

tersebut tinggi. Begitu pula sebaliknya, semakin banyak tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang tumbuh, maka

tingkat polusi si lingkungan tersebut rendah. Polusi udara mengakibatkan kondisi suhu udara di lingkungan

menjadi meningkat, serta tanah dan tumbuhan dilingkungan yang terkena polusi udara menjadi kering.

1. Tumbuhan Alga

Alga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena dalam proses pertumbuhannya, alga

membutuhkan berbagai jenis logam sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan

sangat bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat yang melebihi jumlah

yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi

logam dalam lingkungan adalah polutan bagi alga.

1. Bunga Raflesia Arnoldy

Bunga Raflesia Arnoldi akan banyak diketemukan atau tumbuh pada sepanjang jalur migrasi babi. Raflesia

Arnoldimerupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki akar, sehingga untuk dapat tumbuh dan

berkembang Raflesia Arnoldiakan menyerap makanan/nutrisi dari tumbuhan lain yang ada disekitarnya. Saat

bermigrasi babi akan memakan tumbuhan terutama umbi-umbian yang ditemuinya selama dalam perjalanan

dengan cara mencabut tumbuhan tersebut hingga ke akar atau umbinya. Raflesia Arnoldi akan tumbuh

dengan cara menyerap makanan/nutrisi dari sisa-sisa akar/umbi dari tumbuhan yang telah dimakan babi. Hal

ini menunjukkan bahwa lokasi atau endemi Raflesia Arnoldi banyak diketemukan di sepanjang jalur migrasi

babi.

1. Jamur

Tumbuhan jamur merupakan Indikator tumbuhan untuk humus karena dapat hidup pada humus yang tebal di

dalam tanah.

1. Saccharum munja, Acacia, Calotropis, Agare, Opuntia.

Tumbuhan-tumbuhan ini yang lebih suka hidup di daerah kering dan akan menunjukkan kandungan air

tanah yang rendah di dalam tanah. Sedangkan Citrullus dan Eucalypus adalah tumbuhan yang tumbuh di

tanah yang dalam.

1. Rumex acetosa Rhododendron, Polytrichum dan Spagnum

Merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai Indikator tumbuhan untuk menunjukkan tanah kapur dan

bergaram.

1. Metallocolus atau Metallophytes

Digunakan sebagai Indikator tumbuhan untuk mineral. Tumbuhan semacam itu seperti di bawah ini :

1. Vallozia candida menunjukkan adanya intan di Brasilia.

2. Equisetum speciosa, Thuja sp, tumbuh di tanah yang mengandung mineral emas.

3. Eriogonium ovalifolium tumbuh di tanah yang mengandung perak di USA.

4. Stelaria setacea tumbuh di tanah yang mengandung air raksa di Spanyol.

5. Astragalus sp., Neptunia amplexicalis, Stanleya pinnata, Onopsis condensator menunjukkan

adanya Selanium.

6. Astragalus sp. tumbuh di tanah berkandungan uranium di USA.

7. Viscaria alpina di Norwegia, Gymnocolea acutiloba di Amerika, Gypsophila patrini di Rusia tumbuh

di tanah yang kandungan Cu nya tinggi.

8. Viola calaminara, V. lutea di Eropa tumbuh di tanah yang mineral Zinc nya tinggi.

9. Salsola nitrata, Eurotia cerutoides tumbuh di tanah yang kandungan BO tinggi.

10. Silene cobalticola di Kongo dan Nyssa sylvatica di Amerika tumbuh di tanahdengan

kandungan Cobalt tinggi.

11. Lychnis alpina di Swedia menunjukkan adanya Ni.

12. Allium, Arabis Oenothera, Atriplex tumbuh di tanah yang ber Sulfur.

13. Lycium, Juncus, Thalictrum tumbuh dengan adanya lithium (Li).

14. Damara orata, Dacrydium aledonicum di skotlandia tumbuh di tanah mengandung mineral Fe (Iron).

15. Flex aquifolium di Italia tumbuh dengan adanya Alumunium.

BAB IV PENUTUP

4.1    Simpulan

4.1.1.      Bioindikator adalah merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, kondisi

alam (bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia.

4.1.2.      Bioindikator dapat dibagi menjadi dua jenis yakni bioindikator hewan dan tumbuhan.

4.2    Saran

ü  Bagi mahasiswa sebaiknya, menjaga kondisi lingkungan sekitar melalui hal-hal kecil, seperti tidak

membuang sampah sembarangan khususnya di sungai agar ekosistem air tidak terganggu.