bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat banjar the …

15
Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat 14 BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE MYTH TYPES IN BANJAR’S FOLKLORE Saefuddin Balai Bahasa Kalimantan Selatan [email protected] ABSTRAK Masalah yang dikaji dalam penelitian ini ialah bagaimana bentuk- bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar. Tujuan penelitian ini akan mengungkap bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar. Cerita rakyat yang berbentuk mite ialah salah satu jenis sastra lama dan bersifat anonim. Cerita mitos bukan milik perseorangan, tetapi dihasilkan oleh masyarakat. Penyebarannya dilakukan dari mulut ke mulut. Mitos secara umum berhubungan dengan kisah-kisah tentang keajaiban dan erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap dewa- dewa mendapat tempat luas dalam masyarakat. Kisah-kisah mitos dapat dilihat pada cerita rakyat Banjar, salah satunya ialah cerita Puteri Junjung Buih yang menceritakan tentang manusia yang lahir dari hasil pertapaan dan manusia lahir dari buih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif ialah suatu metode untuk memperoleh informasi tentang narasi dalam cerita mitos secara lebih terperinci. Hasil penelitian memberi gambaran tentang bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar di Kalimantan Selatan. Kata kunci: Mitos, cerita rakyat Banjar ABSTRACT The problem which is discussed in this study is how the types of myth in Banjar’s foklore are. The aim of this study is to reveal the types of myth in Banjar’s folklore. The myth in folklore is one of old literatures and is anonymous. Myth is not belong to an individual, but it is produced by a society. The dissemination was done from mouth to mouth. Generally myth has connection with story about miracle and has close relation with believing to the God and Goddess that has special relation in the society. Myth story can be seen in Banjar folklore, one of them is the story of Putri Junjung Buih that tell us about human who was born from the result of hermitage and foam. The method which is used in this study is descriptive qualitative. This method is a method to get information about narration in myth story deeply. The result gives description about type of myth in Banjar folklore, South Kalimantan. Key words: Myth, Banjar folklore.

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

14

BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR

THE MYTH TYPES IN BANJAR’S FOLKLORE

Saefuddin

Balai Bahasa Kalimantan Selatan

[email protected]

ABSTRAK

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini ialah bagaimana bentuk-

bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar. Tujuan penelitian ini akan

mengungkap bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar. Cerita

rakyat yang berbentuk mite ialah salah satu jenis sastra lama dan

bersifat anonim. Cerita mitos bukan milik perseorangan, tetapi

dihasilkan oleh masyarakat. Penyebarannya dilakukan dari mulut ke

mulut. Mitos secara umum berhubungan dengan kisah-kisah tentang

keajaiban dan erat hubungannya dengan kepercayaan terhadap dewa-

dewa mendapat tempat luas dalam masyarakat. Kisah-kisah mitos dapat

dilihat pada cerita rakyat Banjar, salah satunya ialah cerita Puteri

Junjung Buih yang menceritakan tentang manusia yang lahir dari hasil

pertapaan dan manusia lahir dari buih. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini ialah metode deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif ialah

suatu metode untuk memperoleh informasi tentang narasi dalam cerita

mitos secara lebih terperinci. Hasil penelitian memberi gambaran

tentang bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar di Kalimantan

Selatan.

Kata kunci: Mitos, cerita rakyat Banjar

ABSTRACT

The problem which is discussed in this study is how the types of myth in

Banjar’s foklore are. The aim of this study is to reveal the types of myth

in Banjar’s folklore. The myth in folklore is one of old literatures and

is anonymous. Myth is not belong to an individual, but it is produced by

a society. The dissemination was done from mouth to mouth. Generally

myth has connection with story about miracle and has close relation

with believing to the God and Goddess that has special relation in the

society. Myth story can be seen in Banjar folklore, one of them is the

story of Putri Junjung Buih that tell us about human who was born from

the result of hermitage and foam. The method which is used in this

study is descriptive qualitative. This method is a method to get

information about narration in myth story deeply. The result gives

description about type of myth in Banjar folklore, South Kalimantan.

Key words: Myth, Banjar folklore.

Page 2: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

15

PENDAHULUAN

Salah satu sarana pewarisan masyarakat yang ada di daerah ialah cerita

rakyat, yaitu kisah atau dongeng yang lahir dari imajinasi manusia, khayalan

manusia tentang kehidupan mereka sehari-hari. Oleh Claude Levi-Strauss, seperti

cerita mitos yang tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan

masyarakatnya. Levi-Strauss memaknai mitos itu sebagai bentuk ekspresi atau

perwujudan dari keinginan-keinginan masyarakat yang tidak disadari, yang sedikit

banyak tidak konsisten, tidak sesuai, tidak klop dengan kenyataan sehari-hari

(Ahimsa-Putra, 2004: 77).

Dalam cerita rakyat inilah khayalan manusia memperoleh kebebasan yang

mutlak, karena di situ ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak

mungkin ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, cerita tentang

bidadari turun dari langit yang selendangnya dicuri oleh seorang perjaka; seekor

kancil yang mampu menipu harimau; seorang anak durhaka kepada ibunya yang

dikutuk menjadi batu; dan sebagainya. Untuk memahami kebudayaan masyarakat

pemilik/pendukung cerita, fenomena tersebut tidak kemudian dinilai apakah cerita

yang disampaikan nyata atau tidak, tetapi harus dilihat bagaimana mitos itu

bekerja dalam masyarakat (Ahimsa-Putra, 1984:52).

Masyarakat pemilik/pendukung mitos tidak mempermasalahkan apakah suatu

cerita itu nyata atau tidak. Ia semata-mata dijadikan sarana komunikasi,

pengembangan pengetahuan, dan pembentukan perilaku. Yang lebih penting lagi

ialah bagaimana mengartikulasikan hal-hal yang abstrak ke dalam bahasa yang

mudah dipahami oleh anak-anak. Sarana yang mudah untuk menggambarkan

sesuatu yang abstrak ialah benda-benda atau makhluk-makhluk di sekitar mereka

sebagai metafor, agar sebuah pesan dapat dipahami dan diterima. Penggambaran

tentang perilaku dan sifat-sifat, seperti kejujuran, kesetiakawanan, cerdas, cantik,

anggun, disamakan dengan fenomena alam sehari-hari di sekitar mereka. Wajah

seorang putri yang cantik, misalnya, diibaratkan rembulan, rambutnya yang

panjang dan bergelombang seperti mayang terurai, matanya yang bercahaya

seperti bintang timur (Taslim, 2007:96). Penggambaran yang demikian

membangun imajinasi anak-anak dan memengaruhi cara pandang mereka terhadap

kehidupan.

Pewarisan nilai dan konsepsi melalui cerita yang sudah sedemikian mapan

telah menjadi budaya turun-temurun di masyarakat Nusantara. Cerita mitos tidak

saja merefleksikan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dahulu, tetapi juga

mengantarkan nilai-nilai itu kepada masyarakat sekarang. Hal itu disebabkan

cerita pada satu generasi diwariskan dari cerita masyarakat sebelumnya

(Nurgiantoro, 2005: 117). Dengan memahami dan menceritakan kembali cerita-

cerita lama kepada para generasi berikutnya, maka proses pewarisan nilai-nilai

luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap hidup, serta akan menumbuhkan

kecintaan pada budaya sendiri kepada setiap generasi. Misalnya kalangan anak-

anak dapat mencintai sastra daerah (cerita rakyat) Banjar yang ada di Kalimantan

Selatan.

Sastra lisan atau cerita rakyat Banjar ialah kesusastraan yang dihasilkan oleh

masyarakat Banjar sebagai medianya. Sastra lisan Banjar, seperti juga sastra-

sastra lisan lainnya di Indonesia, tergolong sastra lama atau sastra tradisional,

Page 3: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

16

yakni sastra yang dihasilkan oleh masyarakat dan masih dalam keadaan

tradisional, masyarakat yang belum memperlihatkan pengaruh barat secara

intensif (Baried dkk., 1985:9). Dengan demikian, sastra lama atau sastra

tradisional tertuang dalam bahasa daerah. Sastra lama atau sastra tradisional ialah

milik bersama masyarakatnya. Artinya, tidak seorang pun dapat mengakui bahwa

sebuah karya sastra sebagai hasil penciptaannya. Setiap orang dapat menambah

dan atau mengurangi cerita sesuai dengan situasi dan kondisi si pencipta serta

situasi dan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, sastra lama dan

masyarakatnya sangatlah erat hubungannya.

Membaca cerita rakyat masyarakat Banjar berarti mendapat informasi tentang

tatanan prilaku kehidupan berbudaya masyarakat Banjar. Karya sastra ialah

pancaran masyarakat (Alisyabana, 1984:4), karena karya sastra menampilkan

berbagai gambaran kehidupan manusia. Damono (1993:13) mengemukakan

bahwa karya sastra diciptakan oleh sastrawannya ialah untuk dinikmati,

dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Sastrawan sebagai pencipta

ialah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu, sastra

menampilkan lukisan kehidupan itu sendiri ialah sebuah kenyataan sosial.

Cerita rakyat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, di mana

masyarakat itu berada. Apabila dilihat dari sisi manfaatnya, paling tidak dapat

dikaitkan dengan fungsi pemberi keindahan (Wellek dan Werren, 1989:25).

Fungsi sastra lisan itu tercermin dalam kemerduan permainan bunyi, keteraturan

irama, serta gaya bahasa dan majas, penyajian yang memikat, menyejukkan

perasaan dan menimbulkan rasa keindahan sehingga kenyataan hidup dapat

terlupakan sesaat. Fungsi dan kegunaan sastra lisan terwujud dalam isinya yang

bersifat pendidikan. Hal yang bersifat pendidikan yaitu mengandung pelajaran

keteladanan, terutama tentang kearifan hidup, cara hidup bermasyarakat, dan

kehidupan beragama (Sudjiman, 1991:15).

Manfaat cerita rakyat seperti di atas tumbuh subur dalam sastra di Indonesia,

termasuk dalam sastra lisan Banjar. Teeuw (1994:10) mengatakan bahwa dari

segi kuantitas dan kualitas sastra lisan Indonesia luar biasa kayanya dan aneka

ragamnya. Dalam cerita rakyat Indonesia terungkap kreativitas sesuatu yang luar

biasa dan dalam hasil sastra itu manusia Indonesia berusaha mewujudkan hakikat

dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun untuk menusia

modern, ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan manfaat--asal saja dia berusaha

merebut maknanya bagi dia sebagai manusia modern.

Keberadaan cerita rakyat di masyarakat perlu terus dijaga kelestariannya

dan isinya perlu dilakukan kajian. Salah satu jenis cerita rakyat yang perlu

dilakukan kajian isinya ialah mite yang menjadi bagian dari cerita rakyat Banjar.

Mite sama halnya dengan cerita jenis lain, mite dituturkan dari mulut ke mulut.

Mite telah dikenal oleh masyarakat kita selama bertahun-tahun yang lalu dan

telah mampu membentuk pola pikir, sistem sosial, dan sistem budaya

masyarakatnya. Pada masanya, jauh sebelum ekpresi tulis berkembang, opini yang

disebarkan melalui mite merupakan bagian dari sistem komunikasi masyarakat

masa lalu telah mampu memproses pola pikir sacara alamiah masyarakatnya.

Masyarakat modern dewasa ini, cenderung meninggalkan nilai-nilai moral (lama)

yang ada dalam mite dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang datang dari

Page 4: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

17

budaya lain. Padahal, nilai-nilai baru itu semakin menghimpit kesadaran falsafati

yang telah dimilikinya.

Di tengah-tengah kecenderungan tersebut, mite pada satu sisi, di masyarakat

pengaruhnya telah mendapat tempat secara luas, karena yang diyakini oleh

masyarakat itu sesuatu yang dianggap sesuatu bagian dari hidup masyarakatnya,

walaupun hal ini hubungannya dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa. Di sisi

lain, mite yang sudah dianggap mapan itu, seharusnya yang paling penting

bagaimana kisah-kisah lama itu diserap oleh masyarakat dan sekaligus diteladani

pesan-pesan moralnya yang bermanfaat dalam mite itu. Sementara jenis konkret

tulis dan lisannya mite dapat dikatakan tidak banyak berkembang lagi. Boleh jadi,

suatu saat akan ditinggalkan. Mite di Banjar yang hidup dan berkembang di

Kalimantan Selatan juga mempunyai nasib yang tidak jauh berbeda dengan nasib

mite di daerah lain. Sekarang banyak mite Banjar banyak tidak dikenal lagi,

apalagi anak-anak dan generasi muda. Orang yang dianggap masih mengenal

mite atau cerita lain, biasanya ialah orang yang usianya sudah lanjut. Kalau hal itu

terus berlanjut sudah barang tentu dapat mengancam kelestarian mite dan cerita

lain di Banjar. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan penelaahan terhadap mite

perlu dilakukan.

Hingga saat ini mite Banjar menurut hemat penulis belum banyak dilakukan

kajian secara khusus. Dongeng Banjar memang pernah dilakukan penelitian,

antara lain Sastra Lisan Banjar (Sunarti dkk., 1978). Cerita Rakyat Daerah

Kalimantan Selatan (Ismail dkk., 1984). Nilai-Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat

Banjar (Effendi dkk., 1997). Namun, mite dari segi bentuk mitosnya belum

banyak dikaji secara lebih terperinci, yang kemudian atas dasar itu masalah yang

akan dilakukan kajian ini ialah bentuk-bentuk mite dalam cerita rakyat Banjar dan

tujuan penelitian ini akan mengungkap tentang bentuk-bentuk mite dalam cerita

rakyat Banjar tersebut. Oleh karena itu, mite Banjar banyak memiliki ragam dari

masing-masing daerah yang ada di Kalimantan Selatan. Dalam hubungan ini,

mite Banjar yang pernah berkembang pada masyarakat Banjar dan mempunyai

fungsi sebagai pembentuk sistem nilai sosial budaya bagi masyarakat

pendukungnya. Penelitian bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat Banjar

merupakan upaya untuk mengungkap masalah kepercayaan masyarakat, adat

istiadat, tata kehidupan masyarakat, pandangan hidup serta pikiran-pikiran

masyarakat lama dalam mite Banjar. Mite yang akan dikaji dalam makalah ini

yaitu mite yang terdapat dalam cerita Puteri Junjung dan Buaya Kuning dan

Buaya Putih (Datu Kartamina, Si Manusia Buaya). Dua cerita rakyat ini dapat

memberikan gambaran (contoh mite) dalam cerita rakyat masyarakat Banjar.

KERANGKA TEORI

Dalam KBBI (2016:921—922) mite mengandung maksud cerita yang

mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang

benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan

umumnya ditokohi oleh dewa. Kepercayaan itu menjadi melekat pada masyarakat

yang meyakini, keyakinan itu dapat disebut pula sebagai mitos. Mitos dalam

KBBI (2016: 922) ditegaskan, mitos ialah cerita suatu bangsa tentang dewa dan

pahlawan zaman dahulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta

Page 5: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

18

alam, manusia, dalam bangsa itu sendiri yang mempunyai arti mendalam yang

diungkapkan dengan cara gaib.

Pengertian mite dan legenda menurut pendapat William Bascom (1965b)

membagi sastra lisan atas dua jenis yaitu legende dan mite. Legenda dianggap

benar-benar terjadi, ditokohi oleh manusia yang sakti, dan berlokasi di dunia.

Mite, selain dianggap benar-benar terjadi, juga diyakini kebenaran terjadinya, dan

disajikan dalam bentuk upacara-upacara suci. Mite ditokohi oleh dewa-dewa atau

mahkluk halus dan banyak berlokasi di luar jangkauan indera manusia.

Mitos juga didefinisikan sebagai sistem kepercayaan dari suatu kelompok

manusia, yang berdiri atas sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang

suci yang berhubungan dengan masa lalu. Mitos yang dalam arti asli sebagai

kiasan dari zaman purba merupakan cerita yang asal usulnya sudah dilupakan,

tetapi ternyata pada zaman sekarang mitos dianggap sebagai suatu cerita yang

dianggap benar. Mitos biasanya berisi wahyu tentang kenyataan yang bersifat

supranatural, yang mempunyai realitas, seperti mitos kosmogami, adanya dewa

dan kekuatan yang gaib. Mitos bagi masyarakat pendukungnya bukanlah sekadar

cerita yang menarik atau dianggap bersejarah, tetapi merupakan satu pernyataan

dan kebenaran yang tinggi, atau kenya-taan yang utama yang memberikan pola

dan landasan bagi kehidupan dewasa ini (Harsojo, 1988:228).

Definisi lain diungkapkan oleh C.A Van Peursen (1992:28) yang

mendefinisikan mitos sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah

tertentu kepada sekelompok orang. Lebih lanjut, Van Peursen menjelaskan bahwa

mitos memberikan arah kepada kelakuan manusiawi dan merupakan pedoman

untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos, manusia dapat turut serta mengambil

bagian dalam kejadian di sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya kekuatan di

sekitarnya. Definisi ini mengandung arti bahwa di dalam mitos, keberadaan

kekuatan lain daya, di luar manusia memang ada di alam sekitar hidup manusia.

Menurut William Bascom (1965b) yang dikutip Danandjaya (1991:50),

mite atau mitos ialah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta

dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohkan oleh para dewa atau

makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan

seperti yang dikenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mitos merupakan

kepercayaan berkenaan kejadian dewa-dewa dan alam seluruhnya. Mitos juga

merujuk kepada satu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai

kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa dahulu. Ia

dianggap sebagai suatu kepercayaan dan kebenar-an mutlak yang dijadikan

sebagai rujukan, atau merupakan suatu dogma yang dianggap suci dan memunyai

konotasi upacara.

Dari beberapa definisi di atas, terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam

mitos, yaitu sebagai berikut. 1) mitos merupakan cerita yang terjadi di masa lalu

dan dianggap suci oleh yang memiliki cerita tersebut, 2) dalam mitos terkandung

kekuatan gaib, kekuatan lain di luar manusia, dunia supranatural atau dunia lain,

3) mitos merupakan sistem kepercayaan sekelompok manusia yang dijadikan

pedoman bagi masyarakat pendukungnya, 4) mitos mempunyai kebenaran

tertinggi dan kepercayaan mutlak yang dijadikan rujukan dalam kehidupan

dewasa ini (Danandjaja, 1998:42).

Page 6: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

19

Dalam kehidupan manusia, eksistensi mitos tergantung dari bagaimana

masyarakat pendukungnya memperlakukan mitos. Sebagai representasi dari

sistem kepercayaan, keyakinan akan kebenaran mitos menjadi faktor utama.

Seperti yang diungkapkan Gale (Belief System, in Workd of Sociology) yang

dikutip oleh Liliweri (2014:14), sebuah sistem kepercayaan dari kelompok

tertentu selalu ditandai dengan keyakinan yang diterima oleh individu dalam

kelompok itu. Tanpa adanya keyakinan, mitos akan terancam keberadaannya.

Senada dengan hal itu, Cassirer (1991:22) juga menyatakan bahwa dalam mitos,

imajinasi mistis selalu melibatkan tindakan percaya. Tanpa kepercayaan bahwa

objeknya nyata, maka mitos kehilangan dasar-dasarnya. Keyakinan dan

kepercayaan inilah yang tetap menjaga mitos sebagai bagian dari kehidupan

masyarakat. Keyakinan individu dan keyakinan kolektif itu sendiri terwujud

apabila ada regenerasi atau adanya upaya pewarisan mitos oleh masyarakat

pendukungnya.

Regenerasi bisa dilakukan melalui tuturan/ oral dalam bentuk suatu

kegiatan. Menurut Van Peursen, mitos dapat dituturkan dan dapat juga

diungkapkan dalam tari atau pementasan wayang. Hal paling umum yang bisa

ditemui ialah dalam bentuk tuturan/ penceritaan kembali secara langsung kepada

generasi selanjutnya, bisa melalui cerita, peringatan atau tersirat dalam ritual

tertentu.

Mitos bukan hanya berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat

pendukungnya dalam bertindak, tetapi mitos juga memiliki fungsi lain. Van

Peursen (1992:52) menyatakan bahwa fungsi mitos, yaitu dapat menyadarkan

manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidak memberikan informasi

kekuatan itu tetapi membantu manusia agar ia bisa menghayati daya itu sebagian

kekuatan yang bisa memengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan. Dalam

sebuah upacara, alam bersatu dengan alam atas/dunia gaib. Oleh karena itu, ada

pemisahan antara dunia sakral/angker mitos dapat memberikan jaminan masa kini,

misalnya dongeng masa lalu yang diceritakan melalui tarian. Peragaan ini seolah-

olah menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dengan demikian

dijamin keberhasilan usaha serupa, sebagai contoh: pada musim tanam, siang

malam dinyanyikan atau didongengkan cerita yang bertalian dengan tema

kesuburan.

Mitos juga dapat berfungsi sebagai pengatur tingkah laku. Mitos bisa menjadi

pembatas tingkah laku/fungsi kontrol (di mana anggota masyarakat saling

mengingatkan satu sama lain untuk bertindak sesuai dengan mitos yang berlaku,

Laksono (2000:14) menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat tradisional

keberadaan mitos berfungsi untuk mengukuhkan sesuatu yang bernilai sosial.

Mitos merupakan kontrol bagi aktivitas masyarakat. Rasa keberanian dan

ketakutan seringkali dipengaruhi oleh adanya mitos. Dengan kata lain, mitos tidak

ubahnya peraturan tak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat.

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif-

kualitatif. Metode ialah suatu prosedur untuk mencapai suatu tujuan yang telah

ditetapkan (Semi, 1990: 105). Metode deskriptif, ialah suatu metode untuk

Page 7: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

20

memperoleh informasi tentang kondisi yang ada pada suatu penelitian dan

melukiskan “apa yang ada itu” (Furchan, 1982: 44).

Metode kualitatif memberi ruang kepada peneliti untuk terlibat langsung

dengan objek yang diteliti sebagai pengamat dan pemberi interpretasi. Metode

kualitatif mengutamakan keda-laman penghayatan terhadap interaksi antara

konsep-konsep yang sedang diteliti. Dengan metode kualitatif ini bentuk-bentuk

mitos dalam cerita rakyat Banjar, kemudian data itu diinterpretasi dan hasil

interpretasi itu menjadi sebuah hasil kajian.

Teknik yang yang dipakai dalam penelitian ialah studi pustaka. Data yang

telah dikumpulkan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi, verifikasi, interpretasi

data, dianalisis sampai pada pembahasan hingga diperoleh kesimpulan sementara

atas jawaban-jawaban dari informan terhadap pertanyaan yang berdasarkan pada

pedoman wawancara. Analisis mencakupi penafsiran semua data yang

dikumpulkan, mengatur hasil-hasil penelitian yang sedemikian rupa sehingga

menjadi informasi yang jelas tentang bentuk-bentuk mitos dalam cerita rakyat

Banjar.

Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung selama proses

penelitian, karena setiap informasi yang akan dijadikan materi penulisan harus

melalui suatu proses pertimbangan dan di dalamnya mengandung aktivitas

analisis. Analisis deskriptif itu akan menguraikan serta menghubungkan antara

hasil yang diperoleh dari data dan wawancara mendalam dengan catatan lapangan.

Antara apa yang dilihat dan apa yang didengar, diuraikan secara cermat dalam

kata-kata sehingga dapat membangun konsep yang lebih bermakna, dalam

mengkaji permasalahan penelitian. Selanjutnya, membuat kesimpulan-kesimpulan

sebagai hasil analisis permasalahan penelitian. Kesimpulan tersebut diharapkan

dapat memeberikan gambaran tentang perilaku yang terjadi pada masyarakat

melalui cerira rakyatnya (Puteri Junjung Buh dan Si Manusia Buaya Manusia

Jadi-jadian) yang menjadi objek penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cerita Mitos dalam Cerita Puteri Junjung Buih

Mitos Puteri Junjung Buih cikal bakal menjadi raja Banjar

Cikal bakal atau yang sering disebut seorang putera daerah dalam konteks

kedaerahan sudah ada sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Tampaknya,

di suatu daerah bukan tanpa alasan jika di zaman sekarang ini isyu menjadi

pemimpin harus berasal dari putera daerah atau orang yang berasal dari tempat di

mana daerah seseorang itu dilahirkan. Konteks kedaerahan berkaitan dengan

kearifan lokal (mitos) yang berkembang atau berada di daerah, hal semacam ini

sudah lama ada dan muncul ke permukaan sejak kearajaan Banjar masa-masa awal

itu ada. Jika dirunut dari cerita Puteri Junjung Buih, persoalan untuk mengantikan

seorang raja (memilih para raja Banjar) telah juga tergambar dalam cerita Puteri

Junjung Buih yang kemudian cerita yang mengandung unsur mite tersebut

menjadi bagian dari latar masyarakat Banjar, bagaimana gambaran proses atau

cara memilih pemimpin di masa sekarang. Lain halnya di masa lalu di masa

kejayaan raja-raja Banjar terdahulu, kutipan dalam cerita Puteri Junjung Buih

sebagai berikut.

Page 8: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

21

“Empu Jatmika memiliki dua orang anak dari hasil perkawinanya

dengan Sira Manguntur, yakni Empu Mandastana dan Lembu

Mangkurat (Lambung Mangkurat). Karena masyarakat sekitar Candi

percaya barangsiapa yang menjadi raja, sedangkan dia bukanlah dari

golongan raja, maka akan mendatangkan marabahaya. Maka Empu

Jatmika yang bukan keturunan raja, melainkan hanya seorang

saudagar yang kaya raya menyadari harus mencari raja yang

sebenarnya. Oleh karena itu, sebelum dia mangkat, dia

memerintahkan kepada kedua orang putranya untuk mencari raja

sesungguhnya dengan jalan bertapa. Empu Mandastana diperintahkan

agar bertapa di gunung, di dalam goa atau di pohon besar, sedangkan

Lambung Mangkurat bertapa di pusar air di atas rakit batang pisang di

daerah Ulu Banyu atau yang sekarang dikenal dengan nama Nagara

(Asmuni, 2012:18).

Kutipan cerita Puteri Junjung Buih di atas dapat memperlihatkan, bahwa

keturunan atau orang yang dapat melanjutkan tahta kerajaan harus dianggap orang

yang tepat untuk menjadi raja. Puteri Junjung Buih ialah orang yang dianggap

tepat oleh Empu Jatmika. Sekalipun Empu Jatmika telah memiliki keturunan dua

orang laki-laki dari hasil perkawinanya dengan Sira Manguntur, yakni Empu

Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat), kedua puteranya

tidaklah dianggap akan serta merta menjadi pengganti raja sebelumnya. Karena

alasan kedua puteranya ini belum dianggap layak atau tepat untuk menggantikan

sang raja sebelumnya yang merupakan cikal bakal kerajaan Banjar. Namun, Empu

Jatmika memiliki pandangan lain, selain keluhuran budi seorang pemimpin dia

merupakan seorang yang bijaksana. Mitos yang muncul di sini justru bagaimana

memilih seorang pemimpin itu harus dari proses uji kepatutan yang layak dan

pantas serta teruji. Proses lahirnya seorang pemimpin baru yang bernama Puteri

Junjung Buih itu merupakan proses yang panjang, yakni melalui proses pertapaan

yang memerlukan waktu yang panjang pula.

Hal ini menyiratkan bahwa mitos atau bentuk kearifan lokal yang sekaligus

merupakan simbol, bahwa dalam memilih pemimpin itu harus orang yang tepat,

memiliki kecerdasan, memiliki keahlian di bidangnya, dan keahlian-keahlian

khusus lainnya yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Memilih

pemimpin bukan sekadar menunjuk seseorang untuk memimpin atau

menggantikan pemimpin sebelumnya, sesuai dengan yang dikehendaki oleh orang

yang menunjuknya. Katakanlah, karena ayahnya ialah seorang pemimpin di suatu

tempat atau daerah, maka kemudian muncul anggapan bahwa anaklah yang akan

menjadi penerus sang ayah. Tampaknya hal demikian dalam cerita Puteri Junjung

Buih, titah semacam asal tunjuk sesuai yang dikehendaki itu tidak berlaku. Ini

kemudian dapat ditafsirkan bahwa cerita Puteri Junjung Buih merupakan

gambaran yang dapat dijadikan contoh bahwa Puteri Junjung Buih merupakan

cikal bakal sekaligus memberikan gambaran yang akan menjadi sosok-sosok

pemimpin atau raja-raja Banjar di masa depan itu seperti apa, pemilihan raja

Banjar yang cukup cermat itu akan menentukan masa depan masyarakat Banjar ke

depan. Sehingga dengan hadirnya sosok Puteri Junjung Buih yang merupakan

Page 9: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

22

cikal bakal raja Banjar di masa depan, maka mau tidak mau hal ini melahirkan

mitos yang berkembang di masyarakat Banjar, jika memilih seorang pemimpin

(contohnya memilih seorang calon gubernur atau bupati di daerah, sekurang-

kurangnya harus asli putera daerah. Alasan ini dapat diterima karena orang asli

putera daerah memiliki keinginan yang kuat untuk memajukan daerahnya.

Pemimpin yang berasal dari daerah setempat lebih banyak mengetahui apa yang

menjadi keperluan masyarakat yang ada di daerah (masyarakatnya). Oleh karena

itulah, mitos semacam ini menjadi positif berkembang di masyarakat dan harus

dijaga dan dilestarikan dengan catatan masyarakat setempat juga tidak menutup

diri untuk kehadiran pemimpin yang bukan berasal dari putera daerah jika itu akan

lebih memperbaiki keadaan masyarakat setempat.

Mitos tentang Puteri Junjung Buih melahirkan raja-raja Banjar

Asala usul Puteri Junjung Buih yang lahir buih dan Pangeran Suryanata

ialah lahir dari hasil pertapaan, ini membuktikan bahwa pasangan suami isteri ini

ialah pasangan yang cukup diselimuti oleh hal-hal di luar nalar manusia

kebanyakan. Mitos tentang Puteri Junjung Buih bukanlah wanita sembarangan,

walaupun asal-usulnya masih banyak diselimuti oleh misteri, tetapi dari dirinyalah

trah raja-raja Banjar berasal. Rahim Puteri Junjung Buih merupakan asal usul dari

Raja-raja Banjar, yaitu Pangeran Suryanata bahkan sampai sekarang. Hal itu

merupakan suatu konsepsi kedaerahan yang jelas. Walaupun pangeran Suryanata

berasal dari Jawa (Kerajaan Majapahit), Putri Junjung Buih merupakan puteri asli

daerah Kalimantan Selatan. Hal itu secara tidak langsung menyatakan bahwa raja-

raja Banjar berasal dari daerah asli Kalimantan atau berasal dari pribumi. Boleh

jadi, alasan yang mendasar memilih putera daerah bukan latar belakang kesukuan

atau karena ras tertentu, melainkan karena alasan seorang putera daerah dianggap

lebih mengetahui daerah asalnya, serta hal ihwal apa yang menjadi keperluan

masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika keberadaan Puteri

Junjung Buih masih diakui dan dimitoskan oleh masyarakat Banjar sampai

sekarang. Bahkan diyakini sebagian masyarakat Banjar perwujudan Puteri

Junjung Buih sewaktu-waktu menampakkan diri sebagaimana manusia biasa,

Puteri Junjung Buih seperti dalam masyarakat Jawa yang meyakini keberadaan

mitos Nyai Roro Kidul, Ratu Kidul atau Ratu Pantai Selatan untuk wilayah pesisir

Jawa.

Keberadaan Puteri Junjung Buih mengandung mitos dan nilai-nilai

kearifan lokal yang cukup kental, antara lain; pertama, kelahiran Puteri Junjung

Buih yang berasal dari buih atau sungai mengandung arti bahwa masyarakat

Banjar identik dengan kebudayaan sungai, bahkan memiliki julukan kota seribu

sungai. Kedua, air sebagai simbol hawa dingin, sementara itu Pangeran Suryanata

(suami Puteri Junjung Buih) mewakili simbol panas. Hal itu berarti terdapat

keharmonisan alam yang saling melengkapi antara Puteri Junjung Buih dan

Pangeran Suryanata. Ketiga, dari cara proses kematiannya yang tidak biasa, yaitu

jasadnya hilang hingga sampai sekarang pun tidak dapat diketahui keberadaa dan

di mana makamnya. Hal itu menunjukkan bahwa Puteri Junjung Buih oleh

sebagian masyarakat Banjar, ialah orang yang dianggap suci dan memiliki

Page 10: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

23

kekuatan gaib tertentu, karena itu cerita Junjung Buih ialah cerita yang di

dalamnya banyak mengandung unsur-unsur mitos.

Selain itu, cerita Puteri Junjung Buih tokoh Lambung Mangkurat

merupakan tokoh inti dalam cerita, tokoh ini tokoh yang dapat dianggap paling

diperhitungkan. Dalam cerita Junjung Buih juga dapat diketahui bahwa ada

disebutkan dua alam, atau ditinjau dari nama tokoh Puteri Junjung Buih disebut

sebagai perwakilan dari tokoh alam bawah dan Pangeran Suryanata sebagai tokoh

yang mewakili alam atas, yakni alam bawah mengandung makna alam perempuan

yang biasa dilambangkan dengan simbol naga/ular sakti, Jata/biwata, sedangkan

alam atas mengandung makna, yaitu alam laki-laki yang biasa dilambangkan

dengan simbol burung tinggeng/ binai/ enggang dalam mitologi Dayak, Raja

Tongtong Matandau/ penjuru matahari atau manusia yang dihasilkan dari

pertapaan. Pangeran Suryanata sebagai putera yang didapat dari langit hasil

pertapaan Raja Majapahit menjadi unsur kepercayaan alam atas, sedangkan Puteri

Junjung Buih yang keluar dari buih, yaitu hasil pertapa dari dalam air (sungai)

menjadi unsur alam bawah. Makna kedua dari simbol itu, yaitu alam atas dan alam

merupakan keseimbangan kosmologi, di antaranya kesimbangan antara kebaikan

dan keburukan, dunia gelap dan dunia terang, dan seterusnya seperti dalam

mitologi China Yin dan Yang antara yang baik dan yang buruk.

Kemudian cerita sejarah ini bukan terletak pada cerita Puteri Junjung Buih,

melainkan pada masyarakat Banjar yang mempercayainya, terhadap cerita Puteri

Junjung Buih yang memiliki mitos yang cukup kuat. Namun, mitos atau kisah

Putri Junjung Buih ini memberikan kekuatan legitimasi bagi bangsawan Banjar

dalam memegang kekuasaan politik, karena itu mitos tentang Puteri Junjung Buih

sebagai cikal bakal raja sebagai bentuk kearifan lokal cukup menonjol dan cukup

kuat. Selain itu, mulai dari kisah pendirian Kerajaan Banjar di (Candi) yang

berada di Amuntai, yaitu Empu Jatmika tidak diperkenankan menjadi Raja sebab

dia hanya merupakan seorang pedagang (mengandung arti “pendakwah”). Untuk

menjaga kelangsungan kerajaan yang baru dibangunnya, maka dibutuhkan

legalitas atau sebuah hegemoni kekuasaan, seperti yang dilakukan raja-raja Jawa

pada cerita tentang mitos Ratu Laut Selatan (Nyai Roro Kidul). Pertemuan alam

bawah dan alam atas menunjukkan keharmonisan dua dunia. Sehingga

keturunannya bukanlah kalangan rakyat biasa, tetapi mereka yang “luar biasa”,

mereka yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Pembedaan stratifikasi secara

vertikal ini melahirkan golongan yang memiliki eksklusifitas dalam politik untuk

memerintah rakyat.

Dari cerita ini juga menunjukkan bahwa seorang raja hanya merupakan

sebagai simbol pada sebuah wujud kerajaan. Tampuk pimpinan atau pemerintahan

juga lebih banyak dijalankan atau di pegang oleh Lambung Mangkurat yang

secara hierarki merupakan pewaris kerajaan Banjar (pada periode Dipa) dari

Empu Jatmika sebagai Mangku Bumi (perdana mentri). Hal ini penting sebagai

penjelasan terhadap eksistensi dan legalitas kekuasaan yang diakui oleh orang-

orang yang dipimpinnya, sedangkan asal usul raja Banjar yang legendaris (yang

dimitoskan oleh sebagian masyarakat Banjar) diwakili oleh sosok Putri Junjung

Buih dan Pangeran Suryanata sebagai simbol kerajaan Banjar juga sebagai

legitimasi raja Jawa, yaitu kerajaan Majapahit.

Page 11: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

24

Bayi yang berasal dari buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh

Raja Tua. Bayi itu kemudian dinamai Putri Junjung Buih. Sementara itu, Ratu

Kuripan diangkat menjadi pengasuh Putri Junjung Buih. Ratu Kuripan

mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya dan membimbing Putri Junjung Buih

hingga dewasa, Puteri Junjung Buish telah dipersiapkan sedari awal untuk

memimpin Banjar. Karena kecerdasannya, Putri Junjung Buih tumbuh menjadi

putri yang sangat cantik dan memiliki kepandaian yang luar biasa. Raja Tua

sangat menyayanginya. Kelak di kemudian hari, Putri Junjung Buih menjadi

anutan rakyat Amuntai dan menikah dengan pangeran dari kerajaan Majapahit.

Akhirnya mereka menurunkan raja-raja yang berkuasa di wilayah Kalimantan.

Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan seorang raja haruslah keturunan raja

puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri

Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat juga mengaku sebagai

keturunan Puteri Junjung Buih. Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung

Buih/Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa

Sakti Raja Kutai Kartanegara kesatu, sedangkan menurut Drg. Marthin Bayer,

Puteri Junjung Buih ialah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang

dikenal dalam masyarakat Dayak. Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa

(tahun 1524), ialah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku

Kedayan yang dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih

yang keluar dari buih di sungai) atau cerita rakyat yang ada di Kalimantan Selatan

(Rass, 1998:19).

Puteri Junjung Buih ialah seorang Raja Puteri dari Kerajaan Negara Dipa

menurut Hikayat Banjar (Rass, 1998:20). Puteri ini berasal dari unsur etnis

pribumi Kalimantan. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan biasanya mengaku sebagai

keturunan dari puteri pribumi ini. Puteri Junjung Buih merupakan anak dari

Ngabehi Hileer (Rass, 1998:40) dan merupakan saudara angkat Lambung

Mangkurat yang diperolehnya ketika “balampah” (bahasa Banjar: bertapa) yang

muncul sebagai wanita dewasa dari dalam buih di sungai. Raja puteri ini

kemudian menikah dengan Pangeran Suryanata dari Majapahit. Salah seorang

anak mereka yaitu Pangeran Aria Dewangga menikah dengan Putri Kabuwaringin,

puteri dari Lambung Mangkurat (unsur pendiri negeri), kemudian mereka

berdualah yang menurunkan raja-raja dari Kerajaan Negara Dipa, Kerajaan

Negara Daha hingga Kesultanan Banjar dan Kepangeranan Kotawaringin.

Mitos Tentang Buaya Kuning dan Buaya Putih (Datu Kartamina, Si Manusia

Buaya)

Mitos Tentang Datu Kartamina, Si Manusia Buaya Di Kalimantan Selatan terdapat sebuah daerah yang disebut daerah Kalua.

Daerah ini berada wilayah selatan Hulu Sungai yang terletak di Kabupaten

Tabalong. Cerita mitos yang berkembang dan melekat pada daerah Kalua ialah

manusia buaya atau buaya jadi-jadian yang boleh jadi memiliki keterkaitan

dengan cerita mitos tentang Buaya Kuning dan Buaya Putih hingga hari ini orang

yang berasal atau memiliki keturunan dari wilayah Kalua selalu memiliki

peristiwa-peristiwa yang selalu dihubungkan dengan mitos si manusia buaya. Di

benak kita boleh jadi muncul pertanyaan mengapa? Jika merunut pada suatu cerita

Page 12: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

25

rakyat Banjar di daerah tersebut yang berupa cerita mite tentang para datu

tepatnya pada abad ke-14 di Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong hiduplah

seorang Datu yang bernama Kartamina. Menurut cerita, Ia ialah berasal dari

keturunan Raja Gagalang Kalua. Ia mempunyai watak pemberani dan agak liar.

Kebiasaannya suka berendam kaki ke dalam air.

Datu Kartamina mempunyai kesaktian bisa menciptakan buaya dengan

mengubah batang korek api menjadi buaya. Korek api itu Ia ambil sebatang dan

diletakkan di telapak tangan kanan sambil mulut komat-kamit membaca mantra:

oh, Gusti di alam hening, hamba bermohon dengan bening, ubahlah bilah ini

menjadi buaya kuning, bernyawa berenang-renang menjaga keamanan. Dengan

membaca itu, selanjutnya ia pejamkan mata beberapa saat, sementara mulut terus

berkomat-kamit, maka batang korek api itupun berubah menjadi buaya, mula-

mula kecil seperti cecak kemudian akan menjadi besar apabila dimasukan ke

dalam sungai.

Selain itu, Datu Kartamina bisa mengubah diri menjadi buaya kuning. Kalau

sudah menjadi buaya, Ia berdiam di dasar sungai dan sesekali muncul ke

permukaan sungai. Kalau buaya itu muncul ke permukaan sungai orang-orang

yang melihatnya akan merasa ketakutan karena bentuknya tidak seperti buaya

kebanyakan, bentuk buaya kuning ini besar seperti pohon aren (enau) dan sangat

menyeramkan. Jika Ia ingin kembali menjadi manusia, tampaklah air sungai itu

beriak-beriak dan berbuih tebal, kemudian muncul buaya kuning di permukaan

sungai dan terus naik ke darat kemudian buaya kuning itu lambat laun berubah

kembali menjadi manusia seperti semula, yaitu Datu Kartamina.

Datu Kartamina bersahabat dengan Raja dari Kerajaan Negara Dipa,

Amuntai. Karena sangat dekatnya mereka sering bertemu dan bercengkrama,

kadang-kadang Datu Kartamina datang ke Amuntai untuk bertemu dan kadang-

kadang pula Raja Negara Dipa yang datang ke Kalua. Dari cerita manusia buaya

jadi-jadian ini masih memiliki keterkaitan dengan cerita Puteri Junjung Buih, yaitu

cerita yang mengaikan dengan budaya sungai. Suatu hari sang raja datang

berkunjung ke Kalua untuk melepas rindu pada sahabatnya Datu Kartamina

karena lebih kurang dua bulan mereka tidak bertemu, setelah tiba di rumah Datu

Kartamina, sang raja mengetuk pintu rumahnya, tetapi setelah diketuk beberapa

kali tetap tidak ada jawaban, maka sang raja bertanya kepada tetangga di samping

rumah Datu Kartamina. Oleh tetangga di samping rumahnya itu, Ia berkata bahwa

tadi Datu Kartamina sedang berada di sungai.

Sang Raja pun bergegas untuk menuju ke sungai sebagaimana yang telah

dikatakan oleh tetangga tentang Datu Kartamina tersebut. Namun, raja tidak dapat

menemuinya, lalu sang raja berteriak-teriak memanggil sahabatnya itu dari pinggir

sungai. “Kartamina …! Kartamina … ! di mana kau? Aku sahabatmu ingin

bertemu” kata sang raja. Setelah beberapa kali berteriak memanggil, tak lama

kemudian air di sungai di hadapan sang raja menjadi beriak-riak dan berbuih tebal,

kemudian muncullah buaya kuning yang menyeramkan sebesar pohon enau.

Melihat pemandangan yang ada di hadapannya sang raja terkejut dan takut yang

luar biasa. Sebelum Datu Kartamina tidak mengatakan kepada temannya bahwa ia

berubah menjadi buaya menjadi kuning, belum lagi kejutan yang hilang dan takut,

Page 13: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

26

raja telah menyerang lagi dengan suara-suara buaya yang memanggil namanya.

“Jangan takut sahabatku, akulah Kartamina yang kau cari” kata buaya itu.

Setelah naik ke darat berubahlah buaya kuning itu menjadi Datu Kartamina

yang asli. Sejak kejadian itu sang raja semakin senang bersahabat dan bergaul

dengan Datu Kartamina sang raja pun sangat menghormati Datu Kartamina. Mitos

yang kemudian berkembang hingga sekarang pada masyarakat yang berasal dari

daerah Kalua Kabupaten Tabalong itulah cerita tentang Datu Karmina bermula

mengapa di Kalua selalu dikaitkan dengan mitos manusia buaya atau manusia

jadi-jadian yang kemudian mewariskan keturunan-keturunannya memiliki

peliharaan buaya jadi-jadian.

Menurut kepercayaan orang zaman dahulu masyarakat setempat hingga

sekarang pun, di daerah Kalua ada kerajaan besar para buaya mahluk halus yang

dipimpin oleh Raja Datu Abi atau Raju Datu Banyu yang ada di alam gaib atau

orang setempat menyebut alam sebelah, yang tidak dapat melihatnya secara kasat

mata atau dengan mata telanjang. Boleh jadi, hanya orang yang memiliki keahlian

khusus atau ilmu gaib saja yang dapat malihat dan mengetahui keberadaannya.

Memang sebagian orang di Kalua Datu Nini bahari, banyak orang Kalua yang

memiliki buaya peliharaan jadi-jadian, tetapi bukan berarti semua orang yang

bearasal dari Kalua semua memiliki peliharaan buaya jadi-jadian. Dalam setiap

peristiwa acara hajatan perkawinan, apabila di antara yang bersangkutan ada

memiliki keturunan yang memiliki peliharaan buaya jadi-jadian maka sebelum

melangsungkan acara hajatan tersebut, buaya-buaya itu harus diberi makan

terlebih dahulu berupa sesajen dengan menyajikan sendiri ke sungai. Isi sesajen

berupa; telur dan nasi ketan (lakatan), jika pemberian sesajen ini dilupakan oleh

pihak keturunan, maka di antara keturunan pemilik buaya jadi-jadian itu akan ada

yang kesurupan yang sulit disembuhkan.

Mitos buaya jadi-jadian pada masyarakat Kalua sudah melekat yang tidak

dapat dipisahkan, karena dari cerita mitos tentang Buaya Kuning dan Buaya Putih

(Datu Kartamina, Si Manusia Buaya) pada masyarakat Kalua melekat manusia

buaya. Buaya putih sebenarnya menurut masyarakat setempat memiliki makna

buaya putih berkaitan kelompok masyarakat yang berketurunan ningkat kelas,

sedangkan buaya kuning bermakna masyarakat yang berasal kelas biasa. Oleh

karena itu, mitos tentang manusia buaya atau buaya jadi-jadian sebagai legitimasi

yang yang dilanggengkan ke dalam sebuah cerita rakyat (cerita Datu Karmina

sebagai manusia buaya) yang berlangsung di masyarakatnya, dalam hal ini

khususnya masyarakat yang berasal dari Kalua.

PENUTUP

Mite di masyarakat pengaruhnya telah mendapat tempat secara luas, karena

yang diyakini oleh masyarakat itu sesuatu yang dianggap sesuatu bagian dari

hidup masyarakatnya, walaupun hal ini hubungannya dengan kepercayaan

terhadap alam gaib atau tentang dewa-dewa. Mite yang sudah dianggap mapan itu,

seharusnya yang paling penting bagaimana kisah-kisah lama itu diserap oleh

masyarakat dan sekaligus diteladani pesan-pesan moralnya yang bermanfaat

dalam mite itu. Sementara jenis konkret tulis dan lisannya, mite dapat dikatakan

tidak berkembang lagi. Boleh jadi, suatu saat akan ditinggalkan. Mite di Banjar

Page 14: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

27

yang hidup dan berkembang di Kalimantan Selatan juga memunyai nasib yang

tidak jauh berbeda dengan nasib mite di daerah lain. Sekarang banyak mite Banjar

yang tidak banyak berkembang atau dikenal lagi, apalagi anak-anak dan generasi

muda. Orang yang dianggap masih mengenal mite, biasanya ialah orang yang

usianya sudah lanjut. Kalau hal itu terus berlanjut sudah barang tentu dapat

mengancam kelestarian mite yang ada di masyarakat Banjar. Oleh karena itu,

upaya pelestarian dan penelaahan terhadap mite perlu dilakukan.

Selain itu, cerita mite yang menjadi bahan analisis tersebut dapat disimpulkan

bahwa 1) mite atau mitos merupakan cerita yang terjadi di masa lalu dan dianggap

suci oleh yang memiliki cerita tersebut, 2) dalam mitos terkandung kekuatan gaib

tertentu, kekuatan lain di luar manusia kebanyakan, dunia supranatural atau dunia

lain, seperti pada cerita Puteri Junjung buih (Puteri Junjung Buih yang lahir dari

buih dan Suryanata anak hasil dari pertapaan) dan Manusia Jadi-jadian: Datu

Kartamina Si Manusia Buaya (manusia yang dapat berubah menjadi buaya karena

ilmu kesaktiannya), 3) mitos merupakan sistem kepercayaan sekelompok manusia

yang dijadikan pedoman bagi masyarakat pendukungnya termasuk masyakat

Banjar di Kalimantan Selatan, termasuk cara menentukan calon pemimpin harus

berasal dari putera daerah yang sebagian masyarakatnya Puteri Junjung Buih

dianggap sebagai manusia yang memiliki kesaktian (kalau di zaman harus

memiliki kekauatan finasial yang cukup) dan merupakan cikal bakal raja Banjar,

dan 4) mitos mempunyai kebenaran tertinggi dan kepercayaan mutlak yang

dijadikan rujukan dalam kehidupan dewasa ini di dalam kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (1984). Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan

lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2004). Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya

Sastra. Yogyakarta: Galang Press.

Alisyahbana, S. Takdir. (1984). Puisi Lama. Jakarta: Dian Rakyat.

Asmuni, Fahrurraji. (2012). Datu Datu Terkenal Kalimantan Selatan. Amuntai:

Hemat.

Baried, Siti Baroroh. (1985). Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bascom, Wiliam R. (1965)a. “Foklore and anthropogy” dalam Alan Dundes The

Study of Folklore, Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.

----- (1965)b. “Four Function of Foklore” dalam Alan Dundes. The Study of

Folklore, Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.

Cassirer, Ernst. (1990). “Mitos dan Religi” dalam Manusia dan Kebudayaan:

Sebuah Esei Tentang Manusia. Jakarta : PT Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko,dkk. (1993). Sastra Daerah Di Sumatra: Analisis Tema,

Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Page 15: BENTUK-BENTUK MITOS DALAM CERITA RAKYAT BANJAR THE …

Tuah Talino Volume 12 Nomor 1 Edisi Juli 2018 Balai Bahasa Kalimantan Barat

28

Danandjaja, James. (1998). Pendekatan Foklor dalam Penelitian Bahan-Bahan

Tradisi Lisan dalam Fudensia MPSS (Ed.). Metodologi Kajian Tradisi

Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Danandjaja, James. (2002). Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-

lain. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Effendi, Rustam dkk., (1997). Tema dan Amanat Dongeng Banjar. Bagian Proyek

Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan.

Furchan, Arif. (1982). Pengantar Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha

Nasional.

Harsojo. (1988). Pengantar Antropologi. Yogyakarta:-----

Ismail, Abdurachman dkk. (1984). Cerita Rakyat Daerah Kalimantan Selatan.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Laksono, P.M. dkk. (2000). Perempuan di Hutan Mangrove: Kearifan Ekologis

Masyarakat Papua.Yogyakarta : Galang Press.

Liliweri, Alo. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung : Nusa Media.

Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rass, Johanes Jakobus. (1998). Hikayat Banjar. Terjemahan Siti Saleh Hawa

Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian

Malaysia.

Semi, M. Atar. (1990). Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bandung: Angkasa.

Sudjiman, Panuti. (1991). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sunarti, dkk. (1978). Sastra Lisan Banjar. Jakarta Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Taslim, Noriah. (2007). “Pantun Sebagai Puisi Bunyi: Dinamika Kelisanan dan

Penciptaan Pantun”, dalam Supyan Hussin dan Ding Choo Ming (ed.),

Prosiding Seminar Pantun Melayu: Semalam, Hari Ini dan Esok.

Selangor: Institut Alam dan Tamadun Melayu.

Tim Penyusun. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Teeuw, A. (1994). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta

Pustaka Jaya.

Van Peursen, CA. (1992). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.

Wellek, Rene dan Austin Werren dalam Melani Budianta (Penerjemah). (1989).

Teori kesusastraan. Jakarta: Gramedia.