bell's palsy yang disebabkan oleh paresis saraf kranial vii
DESCRIPTION
Bell's Palsy Yang Disebabkan Oleh Paresis Saraf Kranial VIITRANSCRIPT
Bell’s Palsy yang Disebabkan Karena Paresis N. VII Perifer
Frischa Wibowo
102012512
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Pendahuluan
Sistem saraf merupakan suatu “kabel” yang tersusun sangat spesifik membentuk jalur-
jalur anatomik yang rapi untuk meyalurkan sinyal dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain.
Informasi dibawa sepanjang rantai neuron ke tujuan yang diinginkan melalui perambatan
potensial aksi disertai transmisi melalui sinaps. Salah satu bagian dari sistem saraf tersebut
adalah saraf kranial yang merupakan bagian dari sistem saraf tepi namun berlokasi di dekat
sistem saraf pusat yakni cranium atau tengkorak. Terdapat 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau angka romawi. Saraf-saraf tersebut antara lain olfaktorius (I),
optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusen (VI), fasialis (VII),
vestibulokoklear (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), aksesorius (XI) dan hipoglosus (XII).
Saraf kranial I, II dan VIII merupakan saraf sensorik murni; sedangkan saraf kranial III, IV, VI,
XI dan XII adalah saraf motorik. Dan saraf kranial V, VII, IX dan X merupakan saraf gabungan.
Adanya gangguan pada salah satu atau lebih dari susunan saraf terserbut tentunya akan
mengakibatkan kelainan pada proses berlangsungnya penyampaian sinyal dari satu bagian tubuh
ke bagian tubuh lain yang bersangkutan.
Dalam kasus yang akan dibahas ini, kelainan terjadi pada sistem saraf kranial ke VII
(Bell’s Palsy) yang menyebabkan kelumpuhan pada bagian wajah pasien. Saraf ke VII
merupakan bagian dari saraf kranial yang memegang peranan penting dalam mengatur ekspresi
wajah, gangguan pada jalur saraf facialis dapat mencetuskan beberapa gejala seperti
ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata, garis-garis pada dahi menghilang, dan penurunan
sudut salah satu sisi mulut, dll. 1,2
1
Dengan demikian, makalah ini disusun dengan tujuan agar setiap mahasiswa mampu
mengerti dan memahami mengenai anamnesis, pemeriksaan yang diperlukan pada kasus ini,
serta mampu menentukan diagnosis dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan yang ada, dan juga
mampu menentukan komplikasi, pencegahan, penatalaksanaan dari kasus ini. Mahasiswa juga
diharapkan mampu memahami etiologi, epidemiologi dan anatomi perjalanan N. VII dan
persarafannya.
Skenario
Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kiri tidak
dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan
keluhan timbul secara tiba-tiba dan membuat dirinya cemas.
Keterangan Tambahan:
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit DM, hipertensi, maupun infeksi telinga.
Pemeriksaan wajah didapatkan wajah terlihat asimetri, kerutan dahi kiri menghilang,
kelopak mata kiri tidak dapat menutup sempurna, mulut miring ke arah kanan.
Anamnesis
Anamnesis merupakan sebuah proses wawancara antara dokter terhadap pasien yang disertai
dengan empati agar dapat terjalin hubungan yang terbuka dan rasa percaya dari pasien terhadap
dokter.3 Setelah melakukan anamnesis didapatkan hasil anamnesis sebagai berikut; seorang
pasien laki-laki berusia 25 tahun dengan keluhan utama, mata kiri tidak dapat ditutup dan
mulutnya mencong ke kanan sejak 1 hari yang lalu. Pada riwayat penyakit dahulu, pasien tidak
mempunyai riwayat penyakit DM, hipertensi, maupun infeksi telinga. Untuk riwayat penyakit
keluarga, sebaiknya tanyakan “apakah di keluarga ada yang mengalami hal yang sama?”,
“apakah ada anggota keluarga yang menderita DM, hipertensi, ataupun riwayat infeksi telinga?”
Pemeriksaan Fisik
Dalam menentukan apakah N VII (facialis) masih dapat berfungsi dengan baik
melaksanakan tugas-tugasnya, ada beberapa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan sebagai
adjuvant dalam penentuan diagnosis penyakit.
2
A. Pemeriksaan Fungsi Motorik
Mengangkat Alis dan Mengerutkan Dahi
Pasien diminta untuk melakukan hal ini, hal yang paling penting diperhatikan adalah
apakah ada asimetri atau tidak. Pada kelumpuhan jenis sentral (supranuklir) penderita
masih dapat melakukan fungsi-fungsi yang dalam konteks ini berupa mengangkat alis
dan mengerutkan dahi dikarenakan otot-otot yang berfungsi melaksanakan tugas ini
mendapat persarafan bilateral, namun pada penderita kelumpuhan saraf perifer dapat
terlihat adanya asimetris.4
Memejamkan Mata
Jika pasien memiliki parese (paresis: partial paralysis5) pada N.VII maka
pasien tidak dapat memejamkan matanya dengan adekuat (gangguan
ringan), atau bahkan tidak dapat memejamkan matanya (gangguan
berat); untuk memastikan hal ini pasien dapat diminta untuk
memejamkan matanya dan pemeriksa berusaha menaikkan kelopak
matanya. Pasien dapat juga diminta untuk mencoba memejamkan
matanya satu persatu untuk melihat bagian mana yang mengalami
kelumpuhan, namun perlu diingat juga bahwa pada orang normal juga
ada sekelompok orang yang tidak dapat memejamkan matanya satu
persatu.4
Menyeringai, Mencucurkan Bibir, dan Menggembungkan Pipi
Hal yang perlu diperhatikan disini apakah ada asimetri pada sudut mulutnya, jika
penderita mengakui sebelumnya dia mampu untuk bersiul kita test dengan meminta dia
untuk bersiul sekarang juga; jika N.VII mengalami kelumpuhan maka fungsi ini akan
terganggu. Menyeringai pun salah satu cara untuk mengetahui apakah ada asimetris/tidak
pada sudut mulut pasien, jika pasien tidak dapat diajak bekerja sama ataupun
kesadarannya menurun, kita dapat memberikan stimulus rasa nyeri dengan cara menekan
m. masseter (sudut rahang) pasien.4
3
B. Gejala Chvostek
Gejala chovstek dipicu melalui pengetokan N.VII contohnya didepan telinga, bila
hasilnya positif maka akan didapatkan kontraksi otot yang dipersarafinya. Kalsium yang
terionisasi mempunyai peranan penting dalam menstabilkan eksitabilitas neuromuscular, yang
membuat sel neuron menjadi kurang sensitive terhadap stimulus; neuron yang terekspos kadar
kalsium terionisasi yang rendah akan menurunkan ambang rangsang eksitasi neuron, yang
menyebabkan sel neuron menjadi semakin mudah tereksitasi.6 Chovstek sign ini dapat juga
positif pada penderita tetani.4
C. Fungsi Pengecapan
Kerusakan N.VII yang terjadi sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan
ageusi (hilangnya kemampuan pengecapan) pada 2/3 anterior lidah. Untuk mengujinya
pemeriksa akan menggunakan beberapa bahan seperti bubuk gula, garam, dll yang akan
dilakukan secara bergiliran dan pengujian setiap bahan akan diselingi beberapa waktu. Pada
waktu pengujian, pasien dilarang untuk menarik lidahnya kembali ke dalam dikarenakan akan
bercampur dengan air ludah dan hal tersebut menyebabkan bubuk tadi terkena bagian lidah lain
yang tidak dipersarafi oleh N.VII; jika terjadi lesi nervus pada daerah korda timpani maka
menyebabkan kurangnya produksi air ludah.4
Pemeriksaan Penunjang
Gula Darah dan Hba1c
Untuk mengetahui apakah pasien menderita diabetes mellitus atau tidak yang merupakan
salah satu factor predisposisi dari neuropathy.
Titer Serum HSV
Untuk mengetahui apakah ada infeksi dari HSV yang merupakan factor penyebab
terbanyak pada penyakit bells palsy.
EMG
Electromyografi merupakan suatu alat untuk merekam aktivitas elektrik di otot.
MRI
Pada penderita bells palsy idiopatic dapat dilihat adanya pembengkakan dan enhancement
dari nervus facialis.
4
Working Diagnosis
Bell’s Palsy
Bell’s palsy (paralisis wajah) karena keterlibatan perifer saraf kranial VII pada salah satu
sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot wajah. Penyebabnya tidak diketahui,
meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herpes
simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun atau kombinasi semua faktor ini.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis
perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Pada hampir semua kasus, keadaan Bell’s palsy hampir selalu unilateral.2
Differential Diagnosis
1. Paresis N. VII Sentral
Paresis yang terjadi pada sentral
perlu dibedakan dengan yang terjadi di
perifer, pada paresis sentral lesi atau
kelainan terletak pada level nucleus facialis;
salah satu tanda penting untuk membedakan
keduanya adalah lebih sedikit efek pada dahi
otot – otot periocular pada sentral palsy.
Penjelasannya adalah dikarenakan neuron
yang terletak superior dari nucleus facialis
pada pons menerima impuls dari kedua
hemisfer otak; jadi ada lesi unilateral dari
korteks motorik otak dapat dikompensasi oleh korteks pada hemisphere satunya, selain itu yang
perlu dijadikan perhatian adalah bagian kaudal dari nucleus facialis dipengaruhi oleh hemisphere
yang contralateral. Sebagai tambahan, lesi sentral biasanya ditemani dengan kelemahan bagian
lainnya pada tubuh yang tidak diinervasi oleh nervus facialis contohnya lidah akan berdeviasi ke
arah yang mengalami paralisis.7
5
Gambar 1. Paresis N. VII Perifer dan Sentral
2. Transient Iscemic Attack (TIA)
TIA merupakan episode dari gejala stroke yang hanya berlangsung secara sebentar; lebih
spesifik lagi durasinya < 24 jam dan kebanyakan kasus TIA berlangsung < 1 jam. Sumber lain
mengatakan bahwa defisit neurologis membaik dalam waktu < 30 menit. Kausa dari TIA pun
mirip sekali dengan kausa dari stroke iskemik; TIA dapat terjadi apabila ada emboli maupun
thrombosis yang terbentuk di otak dan menghambat pembuluh darah namun akhirnya oklusi
pembuluh darahnya akan kembali terbuka dan fungsi neurologis dapat kembali seperti semula.
Salah satu symptom TIA yang spesifik adalah transient monocular blindness dimana terjadi
proses emboli yang menghambat arteri retina sentral pada salah satu mata.8,9 Resiko terjadinya
stroke setelah terkena TIA adalah sekitar 10-15% dalam 3 bulan pertama dan dapat diestimasi
secara baik menggunakan metode ABCD2 seperti tabel dibawah ini.
Tabel 1. Resiko Terjadinya Stroke Setelah TIA8
Faktor Klinis Skor
A: Age (umur) ≥ 60 tahun 1
B: SBP > 140 mm Hg atau DBP > 90 mmHg 1
C: Clinical symptoms
Unilateral weakness 2
Speech disturbance without weakness 1
D: Duration
>60 minutes 2
10-59 minutes 1
D: Diabetes (oral medication / insulin) 1
Total score Sum each category
ABCD2 score total 3-month Rate of Stroke (%)
0 0
1 2
2 3
6
3 3
4 8
5 12
6 17
7 22
3. Stroke Iskemik
Oklusi akut terhadap pembuluh darah intracranial dapat menyebabkan aliran darah
menuju ke jaringan otak menjadi berkurang sesuai region mana yang disumbat. Tidak adanya
aliran darah sama sekali menuju jaringan otak selama 4-10 menit menyebabkan matinya jaringan
otak secara spontan. Jika oklusi tersebut hanya terjadi secara sebentar maka keadaan tersebut
disebut TIA (Transient Ischemic Attack) dan kelainan neurologis bersifat reversible.8
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30
kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan
tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.10,11
Etiologi
7
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah
bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetic.
Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
Didapat
1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll
3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
5. Sindroma paralisis n. fasialis familial12
Anatomi Perjalanan N. VII & Persarafannya
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae
(n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga
tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot
ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air
mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi
8
eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan
serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius
Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal
fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif
mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di
bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan
nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus
akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu
berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot-
otot wajah.13
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus
fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu
terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
9
Gambar 2. Anatomi Perjalanan N. VII & Persarafannya
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena
adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris
“cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela
yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di
pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis
atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.14
10
Gejala Klinis
Gejala pada Sisi Wajah Ipsilateral
Pada bagian wajah yang mengalami paralisis akan terjadi beberapa simtom seperti: kelemahan
otot wajah ipsilateral, kerutan dahi (ipsilateral), sulit/tidak mampu mengedipkan mata, tampak
seperti orang yang letih, sulit berbicara, sulit makan & minum, sensitive terhadap suara, salivasi
yang berlebihan atau berkurang, berkurang atau hilangnya rasa kecap, nyeri didalam atau sekitar
telinga.9
Gejala pada Mata Ipsilateral
Sulit atau tidak dapat menutup mata ipsilateral, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak
bawah mata jatuh.9
Komplikasi
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut
otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi
lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul
gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.
Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali)
dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu
sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan
kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan
tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
11
Terapi
Non Medikamentosa
Untuk membantu mengurangi gejala simptomatis dapat dilakukan beberapa cara seperti:
menggunakan kertas saat tidur untuk menekan kelopak mata bagian atas mencegah kornea
kering, memijit bagian otot yang melemah, memakai kacamata lensa gelap untuk menjaga mata
tetap lembab, jika terdapat rasa nyeri kompres hangat dapat membantu.8,9
Suplemen Vitamin B
Berfungsi penting dalam sistem saraf.
Perawatan Mata
Untuk mencegah komplikasi dari mata kering, dapat diberikan air mata buatan, lubrikan, maupun
pelindung mata.9
Medikamentosa
Untuk menghilangkan penekanan pada syaraf dapat diberikan prednisone (jika muncul tanda-
tanda radang) dan antiviral; antiviral yang umum dipakai adalah asiklovir dan famsiklovir, dapat
juga diberikan valasiklovir yang merupakan obat terbaru yang lebih mutakhir
Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang
baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6
bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.14
Kesimpulan
Bell’s palsy merupakan suatu penyakit yang terjadi karena adanya kelumpuhan pada saraf
kranialis N.VII dimana penyebab pasti dari kelumpuhan tersebut belum diketahui. Kelumpuhan
12
ini menyebabkan bagian wajah seperti mata ataupun mulut menjadi tampak tidak simetris dengan
bagian di sisi lainnya. Kebanyakan kelumpuhan pada Bell’s palsy bersifat unilateral (hanya satu
sisi). Walaupun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa sebagian penderita Bell’s palsy
dapat sembuh sendiri tanpa diberikan terapi.
Dengan demikian, hipotesis diterima; bahwa pasien laki-laki berusia 25 tahun tersebut
menderita Bell’s palsy.
Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2011. h.134.2. Muttaqin A. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.
Jakarta: Salemba Medika; 2008. h. 17 & 210.3. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th ed. Jakarta: Internal publishing; 2009.4. Lumbantobing SM, Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. 9th ed. Jakarta: FK UI;
2006. H. 58-9.5. Bateman H, Hillmore R, Jackson D, Lusznat S, McAdam K, Regan C. Dictionary of
medical terms.4th ed. London: A&C Black; 2005.6. Porth CM. Essentials of pathophysiology. 3rd ed. China: Wolters kluwer health |
Lippincott Williams & Wilkins; 2011. h 187-88.7. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamental of neurology an illustrated guide. New
York: Thieme Stuttgart;2006.h 1978. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s principles of
internal medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2011.9. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. 1st ed. Jakarta: EGC; 2009.h 137-41. 10. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22 Desember 2011).
11. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
12. Djamil Y, Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2009. h. 297-300.
13. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.14. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”, (diakses
tanggal 12 Desember 2011).
13