bekantan

Upload: kikifatmawati040995

Post on 10-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bekantan

TRANSCRIPT

EKOLOGI TANAMAN Dinamika Populasi Hidup Bekantan (Nasalis larvatus)Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ekologi Tanaman.

Disusun oleh :

Kiki Fatmawati (1137060042)Agroteknologi 4B

JURUSAN AGROTEKNOLOGIFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGIUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATIBANDUNG2015

Pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini telah menyebabkan degradasi hutan yang berdampak pada perlunya upaya pelestarian satwa liar di berbagai ekosistem habitat hujan tropika. Di Indonesia, dalam kurun waktu kurang lebih 6 tahun yaitu antara 1998-2004 telah terjadi perubahan luas hutan tropika dari kondisi primer menjadi hutan sekunder rata-rata 1,15 juta ha per tahun dan perubahan dari hutan sekunder menjadi hutan terdegradasi 2,15 juta ha per tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Laju peningkatan lahan kritis dari tahun 2000-2006 rata-rata 3,62% per tahun bahkan untuk Kalimantan laju peningkatan lahan kritis sebesar 4,4% setahun (Departemen Kehutanan, 2007).Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) adalah jenis satwa yang termasuk ke dalam Ordo Primata, Famili Cercophitecidae, dan Subfamili Colobinae (Jolly, 1972) dengan status konservasi, mendapat perhatian sangat tinggi dalam upaya konservasinya. Jenis ini tergolong sangat langka dan endemik, dengan habitat terbatas pada hutan bakau, hutan di sekitar sungai, dan habitat rawa gambut di mana sebagian telah terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Walaupun tingkat kelahiran bekantan cukup tinggi, namun tidak seimbang dengan tingkat kematian bekantan akibat degradasi lahan habitat asli hewan endemik ini.Menurut McNeely et al. (1990), dari 29.500 km persegi habitat bekantan, saat ini telah berkurang seluas 40%, sedangkan yang berstatus kawasan konservasi hanya 4,1%. Pada tahun 2000, laju deforestasi habitat bekantan 3,49% per tahun. Dari enam tipe ekosistem habitat bekantan, pada tahun 1995 telah terjadi penurunan luas habitat antara 20-88% (Meijaard, 2000) dan laju penurunan habitat ini di dalam dan di luar kawasan konservasi dua persen per tahun. Akibat dari penurunan luas habitat tersebut maka populasi bekantan cenderung menurun karena primata ini kurang toleran terhadap kerusakan habitat (Wilson dan Wilson, 1975; Yeager, 1992).Sumber pakan primata dalam habitat merupakan faktor ekologis yang sangat menentukan terhadap kelestarian populasi primata (Bismark, 1994, 2004; Meijaard et al.,2006). Kualitas dan kuantitas pakan dapat mempengaruhi perilaku dan organisasi sosial primata (Raemaker dan Chivers, 1980), mempengaruhi luas daerah jelajah dan perilaku pergerakan primata (Whitten, 1982), dan juga mempengaruhi pakan sebagai sumber energi, pertumbuhan dan perkembangbiakan. Potensi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya kelompok dan populasi bekantan (Iskandar, 2006). Mengingat besarnya peranan sumber pakan terhadap perilaku dan kelangsungan hidup primata, maka pengelolaan populasi dan habitat bekantan dapat ditetapkan berdasarkan parameter ekologi makan, yaitu hubungan faktor lingkungan habitat terhadap pola perilaku makan dan aktivitas harian dalam habitatnya (Bismark, 2004; Soendjoto, 2005). Pakan bekantan banyak tersimpan di hutan bakau, maka penyelamatan hutan bakau akan sekaligus menyelamatkan populasi bekantan. Dalam program pelestarian bekantan tersebut diperlukan informasi tentang perilaku dan faktor lingkungan habitat yang mendukung terhadap kebutuhan pakannya dan keamanan dari perburuan. Di hutan mangrove populasi bekantan dapat mencapai 60 individu per km (Bismark, 1986). Dilihat dari komposisi umur dalam kelompok dan jumlah bayi mencapai 4 individu dalam kelompok menunjukkan bahwa tingkat reproduksi bekantan cukup tinggi. Dalam 9 tahun pengamatan populasi bekantan di TN Kutai jumlah individu per km menurun sebesar 28,2% atau rata-rata 3,1% setahun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh bertambahnya intensitas kerusakan habitat di tepi sungai dan kerusakan hutan mangrove.Pada tahun 1985, populasi bekantan di TN Tanjung Puting adalah 62,9 individu per km, pada tahun 1989 turun menjadi 27,7 individu per km, dan 41 individu per km pada tahun 1991. Dalam waktu 6 tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% setahun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya polusi air sungai akibat penambangan emas, degradasi habitat, dan meningkatnya lalulintas angkutan sungai (Yeager, 1992). Penurunan populasi dapat disebabkan oleh meningkatnya populasi predator akibat pembukaan hutan. Di hutan rivarian populasi biawak (Varanus salvator) cukup tinggi dan biawak adalah salah satu predator primata yang potensial (Rodman, 1978; Yeager, 1990). Perbedaan populasi di antara jenis-jenis primata, selain dipengaruhi oleh tingkat kerusakan habitat (Yeager dan Blondal, 1992) pula oleh tekanan predator (Jolly, 1972; Tilson, 1977; Bennett, 1983), parasit (Rijksen, 1978, Freeland, 1976), dan geografi sebaran (Happel et al., 1987; Chivers, 1974), sistem sosial (Happel et al., 1987) serta pola dan perilaku makan, seperti primata pemakan daun lebih tinggi populasinya daripada primata pemakan buah (Chivers dan Raemaker, 1980; CluttonBrock dan Harvey, 1977), dan perbedaan fisiologi pencernaan (Bennett, 1983). Tingginya tingkat prioritas konservasi bekantan disebabkan oleh kekhawatiran akan penurunan populasi di alam dengan cepat. Populasi bekantan di Kalimantan kurang lebih 25.000 individu, dan dari hasil identifikasi pada 12 lokasi sebaran bekantan, populasi diperkirakan berjumlah 9.200 individu dan semakin lama diprediksi bahwa populasi tinggal 15.000 individu dengan laju deforestasi habitat 2,49%. Pada tahun 1994 total populasi bekantan di Indonesia sejumlah 114.000 individu dengan salah satu contoh di TN Kutai berjumlah 400 individu (Bismark dan Iskandar, 2002).Pengamatan Yeager (1992) di TN Tanjung Puting pada tahun 1985 menunjukkan kepadatan populasi bekantan sebesar 62,9 individu per km persegi, dan 41 individu per km persegi dalam tahun 1991. Dalamwaktu enam tahun telah terjadi penurunan populasi sebesar 35% atau sekitar 6% per tahun. Hal ini disebabkan oleh polusi air sungai akibat penambangan emas di hulu sungai, degradasi habitat sungai, dan meningkatnya lalu lintas perahu motor. Mengingat bekantan sangat sensitif terhadap kerusakan habitat maka populasi bekantan dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan hutan rawa. Populasi bekantan dalam kondisi habitat yang mengalami kerusakan berat mencapai ratarata sembilan individu per km persegi (Yeager dan Blondan, 1992). Menurut M. Bismark tahun 2009, telah diidentifikasi permasalahan kerusakan habitat dan dampaknya pada kelestarian bekantan seperti terlihat dalam gambar berikut:

Untuk mengatasi permasalahan habitat dan penurunan populasi bekantan perlu dibuat program-program kegiatan sebagai berikut: Inventarisasi sebaran, habitat, dan populasi bekantan. Rehabilitasi dan restorasi habitat yang potensial bagi pengembangan populasi bekantan. Pengembangan tingkat kepedulian masyarakat dalam melakukan konservasi sempadan sungai dan satwa. Pengaturan penggunaan sungai sebagai alat transportasi, pencegahan masuknya limbah ke sungai, dan pengembangan bangunan di sempadan sungai habitat bekantan. Pengembangan konservasi eksitu. Pengembangan wisata alam dengan objek bekantan sebagai upaya peningkatan nilai ekonomi masyarakat lokal dan manfaat satwaliar. Peningkatan peran kelembagaan dan budidaya usaha pengelolaan kawasan hutan yang terkait dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.

DAFTAR PUSTAKABennett, E. L. 1983. The Banded Langur: Ecology of a Colobinae in West Malaysian Rain Forest. Ph.D. Dissertation, Cambridge University, Cambridge.Bismark, M. 1986. Perilaku bekantan (Nasalis larvatus) dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timor. Thesis Magister Sains, Program Pascasarjana IPB, Bogor.Bismark, M. 1986. Keragaman burung di hutan bakau Taman Nasional Kutai. Bul. Pen. Hut. 482: 11-22.Bismark, M. 1994. Parasit biawak (Varanus salvator) Aponomma lucasidi Cagar Alam Kepulauan Krakatau. Bul. Pen. Hut. 558: 14-25.Bismark, M. dan S. Iskandar. 2002. Kajian total populasi dan struktur sosial bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Bul. Pen. Hut. 631:p.17-29.Bismark, M., R. Sawitri, dan S. Iskandar. 2004. Pengaruh sistempenebangan ramah lingkungan dan TPTI di hutan produksi terhadap keragaman jenis ikan. Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(2):147-155.Bismark, M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis larvatus.Jurn. Pen. Hut. dan Kons. Alam I(3):309-320.Bismark, M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis lavatus). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam: 113-114.Chivers, D.J. 1974. The siamang in Malaya: a field study of a primate in tropical rain forest. Contrib. Primat. (4) : 1-335.Chivers, D. J. and J. J. Raemakers. 1980. Longterm changes in behaviour, p. 209-258. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers, ed.). Plenum Press, New York.Clutton-Brock, T. H. and P. H. Harvey. 1977. Species differences in feeding and ranging behaviour in primates, p. 557-584. In: Primate Ecology (T .H. Clutton-Brock ed.). Academic Press, London.Departemen Kehutanan. 2005. Data Strategis Kehutanan. Jakarta.Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Jakarta.Freeland, W. J. 1976. Pathogens and the evolution of primate sociality. Biotropica 8 (I) : 12-24.Happel, R. E., J. F. Noss, dan C. W. Marsh. 1987. Distribution,abundance, and endan germent of primates, p. 63-82. In: Primates Conservation in The Tropical Rain Forest, (C.W. Marsh and R.A. Mittermeier ed.). Alan R. Liss. IncIskandar, E. 2006. Habitat dan populasi owa Jawa (Hylobates moloch) di TN Gunung Halimun Salak Jawa Barat, Disertasi IPB.Jolly, A. 1972. The evolution of primate behavior. Mac-Millan Publishing Co., Inc. New York.McNelly, J. A., K. R. Miller, W. V. Reid, R. A. Miltermeier and T. B. Werner. 1990. Coserving the worlds biological diversity. IUCN, Gland. Switzerland.Meijaard, E. and V. Nijman. 2000. Distribution and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan Indonesia. Biol. Conserv. 92: 15-24.Meijaard, E, and D. Sheild. 2006. Hutan pasca pemanenan melidungi satwaliar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. CIFOR, Bogor.Raemakers, J. J. and D. J. Chivers. 1980. Socioecology of Malayan forest primates, p. 279-315. In: Malayan Forest Primates (D.J. Chivers ed.). Plenum Press. London.Rijksen, H. D. 1978. A field study of the sumatran orangutan: Ecology, behaviour and conservation. Vienman, Wageningen.Rodman, P. S. 1978. Diets, densities and distribution of bornean primates, p. 465-478. In:The Ecology of Arboreal Folivore (G.G. Montgomery, ed.). Smithsonian Institution Press. Washington, D. C.Soendjoto, A. M., H. S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto.2005. Vegetasi tepi baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 6(1):40-44.Tilson, R. L. 1977. Social organization of simakobu monkeys (Nasalis concolor) in Siberut Island, Indonesia. J. Mammalogy 58 (2):202-11.Whitten, A. J. 1982. Diet and feeding behaviour of kloss gibbonon Siberut Island, Indonesia. Folia Primatol. 37: 177-208.Whitten, A. J. 1982. Home range use by kloss gibbon (Hylobates klossii) on Siberut Island. Indonesia. Anim. Behav. 30: 182-198.Wilson, C. C. and W. L. Wilson. 1975. The influence of selective logging on primates and some other animals in East Kalimantan. Folia Primatol 23: 245-274.Yeager, C.P. 1990. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization group structure. Am. J. of Primatology 20: 95-106.Yeager, C. P. and T. K. Blondal. 1992. Conservation status of proboscis monkey (Nasalis larvarus) at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indo nesia. Forest Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies Publication 2 : 220-228Yeager, C. P. 1992. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization. Nature and possible functions of inter group patterns of association. Am. J. of Prima tology 26 : 133-137.