batas waktu penyidikan tindak pidana umum ii.pdfsuatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar...
TRANSCRIPT
37
BAB II
BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM
DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA
DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA
1.1. Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum
Setiap tindak pidana yang terjadi memiliki tenggang waktu kadaluwarsa
penuntutan sesuai dengan ancaman hukuman yang dirumuskan dalam undang-undang,
oleh karena itu proses penyidikan memegang peranan penting bagi suksesnya
penuntutan dan harus memperhitungkan waktu jangan sampai keterlambatan
penyelesaian penyidikan mengakibatkan perkara kadaluwarsa masa penuntutannya.
Disamping itu adanya batas waktu proses penanganan perkara pada tahap penyidikan
akan memberi kepastian hukum terhadap perkara yang sedang ditangani baik dipandang
dari sudut aparat penegak hukum tidak mempunyai tunggakan penanganan perkara yang
bertumpuk, maupun dari sudut masyarakat pencari keadilan dengan cepat mengetahui
arah penanganan kasusnya .
1.1.1. Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana
Setiap peristiwa yang terjadi dimuka bumi memiliki tenggang werjadi waktu
tertentu, perlunya ditentukan tenggang waktu adalah untuk memastikan suatu peristiwa
terjadi, setelah terjadi peristiwa, langkah apa selanjutnya akan dilakukan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia 3, tenggang (waktu) berarti “batas waktu”, batas waktu
yang dibutuhkan oleh suatu peristiwa ada singkat, ada juga yang lama.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Waktu” menurut Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia adalah : “Seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan
berada atau berlangsung. Dalam hal ini, skala waktu merupakan interval antara dua
buah keadaan/kejadian, atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian;
lamanya (saat yang tertentu); saat yang tertentu untuk melakukan sesuatu”1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana tidak ada memberi batasan apa yang disebut dengan waktu,
namun demikian dalam KUHP terdapat rumusan pengertian “sehari” dan “ sebulan”
serta “ malam”, yaitu :
Ketentuan Pasal 97 KUHP : Yang dikatakan sehari yaitu masa yang lamanya dua puluh
empat jam.
Ketentuan Pasal 97 KUHP : Sebulan yaitu masa yang lamanya tiga puluh hari.
Pasal 98 KUHP : yang dikatakan malam yaitu masa diantara matahari terbenam dan
matahari terbit 2
Batas waktu dikaitkan dengan penyidikan perkara tindak pidana umum adalah
tenggang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyidikan suatu perkara tindak
pidana umum, misalnya selama sebulan, berarti penyidikan suatu perkara pidana umum
harus selesai dalam waktu selama tiga puluh hari
1.1.2. Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana
Sebelum membicarakan mengenai peristiwa pidana terlebih dahulu perlu diketahui
mengenai difinisi dari pada peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah suatu kejadian
dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum atau yang dapat
menggerakan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum didalamnya dapat
berlaku konkret3. Dari peristiwa hukum tersebut dapat dibedakan atas peristiwa hukum
publik (pidana) dan peristiwa hukum privat (perdata).
Peristiwa hukum pidana atau tindak pidana berasal dari bahasa belanda strafbaar
feit yang secara harfiah artinya “ peristiwa yang dapat dipidana” . Simon merumuskan
1 Agustin, Risa, tanpa tahun, Kamus Lengkap Besar Bahasa Indonesia, Serba Jaya, Surabaya, hal
634.
2 Soesilo, R. 1994, Kitab Unang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ulang, Politeia, Bogor, hal 103-104
3 Arrasjid, Chainur, 2000, Op.Cit. hal. 134 .
delik atau strafbaar feit ialah : kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab 4. Suatu peristiwa yang mempunyai akibat hukum terhadap
publik dan peristiwa-peristiwa tersebut diatur dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang kemudian disebut dengan hukum, tentu peraturan perundang-undangan
tersebut mengandung perintah, larangan serta sanksi yang harus dibebankan kepada
orang yang melanggarnya secara umum disebur sebagai peristiwa atau tindak pidana.
E.Utrech memberikan difinisi dari perbuatan pidana atau peristiwa pidana adalah:
a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum
(onrechhtmatig atau wederechtelijk);
b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de
overtreder te wijten);
c. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar)5
Ahli hukum pidana Hazewinkel Suringha merumuskan strafbaar feit adalah : Suatu
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana
dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya6.
Administrasi penanganan perkara pidana umum dalam praktek sehari-hari aparat
penegak hukum maupun masyarakat mengkwalifikasi tindak pidana kedalam tiga
katagori yaitu:
pertama adalah tindak pidana umum, yaitu suatu peristiwa pidana yang konstruksi
hukum materiilnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
hukum pidana formil atau hukum acara pidananya diatur dalam Undang Undang Nomor
8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
kedua adalah tindak pidana khusus, yaitu suatu peristiwa pidana yang mempunyai
spesifikasi /kekhususan tertentu (extra ordinarry) baik pengaturan hukum pidana
materiil maupun hukum pidana formilnya yang diatur secara tersendiri dalam undang-
undang tersebut disamping secara umum tetap juga berpedoman kepada Kitab Undang-
4 Hamzah,Andi 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika
Offset, Jakarta, hal. 48
5 Siahaan, Monang, 2013, Korupsi Penyakit Sosial Yang Mematikan, PT. Elex Media
Komputerindo- Kompas Gramedia, Jakarta, hal. 4
6 Ibid. hal . 4
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya tindak pidana pelanggaran HAM
berat, tindak pidana korupsi dan lain-lain. Sudarto mengatakan hukum pidana khusus
diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan
subjeknya dan perbuatannya yang khusus (bijzonderlijk feiten)7 , dari segi sanksi tindak
pidana korupsi sebagai bagian tindak pidana khusus juga memiliki cirri tersendiri yaitu
sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku dapat bersifat kombinasi (badan, denda serta
tambahan uang pengganti kerugian) ; dan
ketiga adalah tindak pidana umum lain, yaitu peristiwa pidana yang ketentuan hukum
materiilnya diatur dalam undang-undang tertentu diluar KUHP sedangkan hukum
pidana formilnya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Tindak pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana oleh undang-undang 8 . Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam katagori
pertama dan ketiga diatas secara umum disebut sebagai tindak pidana umum, hal ini
terjadi karena dibentuknya berbagai perundang-undangan yang mengatur pidana
materiil tersendiri merupakan perluasan dari ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana , ruang lingkupnya diperluas dan ancaman pidana
(sanksi) diperberat.
1.1.3. Pengertian Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada memberi difinisi
dari pada hukum acara pidana, oleh karena itu saya mengambil pendapat ahli hukum
pidana yang memberi pengertian dari hukum acara pidana tersebut, diantaranya:
7 Ibid, hal. 5
8 Hamzah,Andi, Op.Cit hal .164
Moelyatno memberikan difinisi dari Hukum Pidana, adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
atauran-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut 9
Pengertian hukum pidana menurut Moelyatno tersebut cukup langkap karena
didalamnya mencakup pengertian hukum pidana materiil sekaligus juga hukum pidana
formil.
Pengertian dari Hukum Acara Pidana menurut E.Y. Kanter, adalah sebagai berikut
:
Seluruh garis hukum yang menjadi dasar/pedoman bagi penegak hukum dan
keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil,
dengan kata lain hukum acara pidana yaitu mengatur tentang bagaimana caranya
negara dengan peraturan badan-badanya (Polisi, Jaksa, Hakim) dapat
menjalankan kewajibannya untuk menyidik, menuntut, menjatuhkan dan
melaksanakan pidana10
1.1.4. Pengertian penyidik dan Penyidikan Tindak Pidana Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan pedoman umum
dalam melaksanakan hukum acara pidana di Indonesia secara tegas telah mengatur
mengenai tata cara penegakkan hukum pidana (materiil), bagaimana aparat penegak
hukum harus bertindak, bagaimana seseorang yang diduga melakukan kejahatan harus
diperlakukan, bagaimana cara membuktikan bahwa tersangka/terdakwa benar
9 Ali Zaidan, M. Op.Cit. hal 2
10 Kanter,E.Y. 1982, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-
PTHM, Jakarta, hal. 20
melakukan kejahatan, bagaimana cara mereka menjalani pemidanaan. Dalam hukum
acara pidana yang berlaku di Indonesia saat ini seseorang tersangka/terdakwa
ditempatkan sebagai subyek hukum, hak-hak mereka dilindungi dan dihormati, aparat
penegak hukum yang memperlakukan tersangka/terdakwa, saksi-saksi dengan
sewenang-wenang diancam dengan sanksi sanksi.
Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 memberi
pengertian penyidikan sebagai berikut “Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tindakan penyidikan
merupakan tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan, pada tahap ini penyidik melakukan
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti yang diperoleh pada tahap penyelidikan, tindakan
penyidik selain melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang sudah ada juga
berusaha memperkuat alat bukti yang sudah diperoleh penyelidik dengan
mengumpulkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang sedang
disidik, apabila pada tahap penyelidikan belum ditemukan tersangka maka pada tahap
penyidikan inilah penyidik diwajibkan menemukan tersangkanya.
Ketentuan Pasal 110 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 menentukan
selain tindakan penyidikan, ada juga tindakan penyidikan tambahan namun dalam
ketentuan tersebut tidak memberi pengertian apa yang dimaksud dengan penyidikan
tambahan. Bambang Waluyo memberi pengertian dari penyidikan tambahan yaitu
“Tindakan penyidik untuk melengkapi hasil penyidikannya, yang harus diselesaikan
dalam jangka waktu empat belas hari sesuai dengan petunjuk penuntut umum11”,
penyidikan tambahan dilakukan berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh penuntut
umum setelah meneliti berkas hasil penyidikan.
Menurut De Pinto, penyidikan adalah pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang
untuk itu ditunjuk oleh U.U. segera setelah dengan jalan apapun mendengar kabar yang
sekedar beralasan bahwa terjadi suatu pelanggaran12
11 Ibid. hal. 45,
12 Hamzah, Andi, 1984, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana
Hukum, Galia Indonesia, Jakarta, hal 5.
Pasal 1 angka 1 memberi pengertian dari pada penyidik, yaitu : “Penyidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indoensia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan” .
Penyidik sebagaimana di maksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, dipertegas
oleh ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang menentukan siapa
saja yang ditetapkan sebagai penyidik, yaitu :
Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP mengatur mengenai persyaratan kepangkatan bagi seseorang bisa
diangkat menjadi penyidik baik Polri maupun Pagawai Negeri Sipil, Pasal 2
menyebutkan : Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat
Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 thun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, yang salah satu pasalnya merupakan penyempurnaan dari Pasal 2 huruf b
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 27 tahun 1983, dengan memperluas dan memperjalas
pengertian Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu, sehingga dalam ketentuan Pasal 1
angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 menentukan : “Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang Selanjutnya disebut Pejabat PPNS adalah pegawai negeri
sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun
daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang”. Perubahan peraturan
pemerintah tersebut memberi peluang kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dapat
diangkat sebagai Pejabat Penyidik adalah baik pegawai negeri sipil di tingkat pusat
maupun yang bertugas di daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) asalkan memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang.
Penyidik dalam peraturan perundang-undangan secara umum terdiri dari Penyidik
Keplosian R.I. dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu, dalam tulisan ini
penulis hanya membahas mengenai tugas dan wewenang Penyidik Polri. karena pokok
bahasan tulisan ini adalah ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Ius Constitutum.
Penyidik baru akan melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangan bidang
penegakan hukum (penyidikan) apabila menerima laporan atau pengaduan dari
masyarakat khususya bagi mereka yang mengalami, melihat atau mengetahui terjadinya
suatu peristiwa pidana, disamping itu ada juga peristiwa pidana yang ditemukan
sendiri oleh aparat penyidik (Polri). Untuk peristiwa pidana yang ditemukan sendiri oleh
aparat penyidik pada umumnya peristiwa pidana yang tidak menimbulkan korban secara
langsung seperti misalnya peristiwa perjudian, narkotika dan lain sebagaimnya.
Pasal 1 angka 24 KUHAP menjelaskan yang dimaksud dengan laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
akan terjadinya peristiwa pidana.
Sedangkan Pasal 1 angka 25 KUHAP. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
Difinsi antara laporan dan pengaduan tersebut memiliki perbedaan yang mendasar,
sebagai dasar penindakan bagi orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, untuk
laporan sebagai dasar penindakan suatu peristiwa pidana aparat penegak hukum
khususnya penyidik sudah dapat bertindak melakukan penyelidikan atau penyidikan jika
mengetahui atau ada dugaan telah terjadi peristiwa pidana, dan yang menjadi pelapor
bukan hanya mereka yang menjadi korban peristiwa pidana tersebut melainkan setiap
orang yang mengetahui, melihat atau mendengarnya. Sedangkan untuk pengaduan
sebagai dasar penindakan, aparat penegak hukum tidak akan mengambil tindakan
hukum terhadap peristiwa yang diduga tindak pidana jika pihak yang bersangkutan
dengan masalah tersebut tidak membuat pengaduan dan pengaduan yang sudah
disampaikan kepada aparat penegak hukum sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pengadu.
Laporan atau pengaduan masyarakat yang diterima oleh aparat penyidik tidak
serta merta dapat dilakukan tindakan penyidikan melainkan terlebih dahulu dilakukan
tindakan penyelidikan. Tindakan penyelidikan dipandang sangat perlu dilakukan karena
laporan yang disampaikan oleh masyarakat belum tentu memenuhi syarat untuk
dilakukan tindakan penyidikan, sehingga laporan-laporan tersebut terlebih dahulu
dilakukan identipikasi, diselidiki apakah peristiwa yang dilaporkan tersebut benar
merupakan peristiwa pidana, ada alat bukti pendukung yang sah, ditemukan pelakunya.
Mengenai betapa pentingnya tugas polisi sebagai penyidik dalam perkara tindak
pidana umum Andi Hamzah menyatakan :
Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku di seantero dunia.
Kekuasaan dan kewenangan (power and outhority) polisi sebagai penyidik luar
biasa penting dan sangat sulit, lebih-lebih yang di Indonesia. Di Indonesia Polisi
memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP) berbeda dengan negeri
lain. Lagi pula masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang
mempunyai adat istiadat yang berbeda13.
Posisi sentral kepolisian sebagai penyidik tindak pidana diatur baik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981) maupun
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara R.I. dengan
posisi sentral seperti itu, masyarakat masih bertanya-tanya apakah Polri sudah siap
memikul tanggung jawab sebagai penyidik untuk semua tindak pidana baik mengenai
sumber daya manusia (SDM) maupun mengenai sarana dan prasarana pendukung dari
tingkat pusat sampai ke daerah terpencil / pelosok.
Penyidikan perkara tindak pidana secara materiil harus diarahkan untuk
mendukung pembuktian unsur-unsur dari pasal (tindak pidana) yang disangkakan
terhadap tersangka/terdakwa. Kesuksesan kegiatan penuntutan/ pembuktian
dipersidangan sangat ditentukan oleh hasil penyidikan, karena hasil penyidikan
merupakan bahan dasar untuk pembuatan surat dakwaan dan surat dakwaan merupakan
dasar dari pemeriksaan perkara di persidangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) menentukan disamping
ada aparat penyidik juga dikenal adanya Penyidik Pembantu, sebagaimana diberikan
difinisi dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) “Penyidik Pembantu adalah pejabat
13 Pangaribuan, Luhut M.P. 2013, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat di Pengadilan,
Praperadilan, Eksepsi,Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasaski dan Peninjauan Kembali Cetakan
Pertama, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 44
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan “. Mengenai syarat kepangkatan
yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun
1983, Pasal 3 ayat (1) menyatakan:
i. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat sersan dua polisi
ii. Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu dalam lingkup Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda
(golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu .
Yang disempurnakan dalam Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010,
salah satu adalah persyaratan untuk dapat diangkat sebagai penyidik anggota kepolisian
berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana
strata satu atau yang setara;
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil telah
disempurnakan lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 3A ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 58 tahun 2010, antara lain menyebukan “Untuk dapat diangkat sebagai pejabat
PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (antara lain) :
b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;
dalam ketentuan ini mengenai kepangkatan Pegawai Negeri Sipil menjadi paling
rendah III/a dan berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara, mengenai persyaratan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan tingkat kemajuan
pengetahuan, keterampilan serta penguasaan teknis dari pejabat penyidik baik penyidik
kepolisian maupun pegawai negeri sipil tertentu
Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2), masih dimungkinkan adanya penyidik
selain kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil, walaupun terbatas pada penyidikan
perkara-perkara pidana dengan ketentuan acara secara khusus, seperti jaksa selaku
penyidik dalam perkara pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia ( HAM
berat), penyidik TNI Angkatan Laut untuk perkara pelanggaran zone ekonomi ekslusif /
perikanan, Penyidik Bea dan Cukai dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi selaku
penyidik perkara korupsi 14.
Istilah penyidikan sebelum berlakunya undang-undang Nomor 8 tahun 1981
penulis dapat temukan dalam beberapa ketentuan seperti Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sedangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya digunakan istilah
“penggusutan”, sebagaimana disebutkan antara lain dalam :
1. Dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) dan HIR sebagai ketentuan
umum dalam penanganan perkara-perkara pidana maupun perdata, dalam
penanganan perkara pidana menggunakan istiah “pengusutan”
2. Dalam undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3. Perpu 24/1960, Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
Pasal 2 (1) Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan
biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekedar tidak ditentukan lain dalam peraturan
ini.
Namun dari peraturan tersebut tidak ada yang memberi pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan tindakan pengusutan, akan tetapi secara harfiah pengertian
pengusutan tersebut dapat disamakan dengan pengertian penyidikan .
Berbagai istilah yang digunakan dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana
pada tahap permulaan (pengusutan atau penyidikan), maka dari tindakan tersebut akan
menghasilkan berkas perkara (dossier). Andi Hamzah memberi pengertian dari berkas
perkara, yaitu “kumpulan catatan atau tulisan secara lengkap yang bersifat autentik
mengenai perkara pidana yang dibuat oleh penyidik dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang. Berisi pemeriksaan saksi, tersangka, daftar barang bukti, perintah
penahan” 15.
Berkaitan dengan tindakan penyidikan Pasal 7 ayat (1) huruf j jo pasal 109 ayat
(2) KUHAP dan Pasal 16 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
14 Sunaryo, Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Edisi pertama, Cetakan
pertama, Universitas Muhamadyah Malang, Malang, hal. 227.
15 Hamzah,Andi Op. Cit hal .24
tentang Kepolisian Negera Repbulik Indonesia adalah ketentuan perundang-undangan
yang memberi wewenang kepada penyidik untuk melakukan tindakan hukum berupa
“mengadakan penghentian penyidikan”, kewenangan tersebut diperoleh secara atribusi
oleh penyidik.
Ketentuan Pasal : 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dengan tegas
merumuskan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal tersebut
kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya”. Ketentuan-ketentuan tersebut
dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, karena jika tidak ada
kewenangan “penghentian penyidikan” maka terlalu banyak perkara pada tahap
penyidikan yang tidak ada ujung penyelesaianya . namun dalam ketentuan tersebut
tidak ditentukan tenggang waktu berapa lama penyidik harus sudah mengambil tindakan
penghentian penyidikan sejak mengetahui bahwa perkara yang sedang ditangai
memenuhi syarat untuk dihentikan penyidikannya.
1.2. Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Tersangka
Asas Equality be for the law serta pemahaman bahwa setiap manusia dimuka bumi
mempunyai hak-hak yang hakiki yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun dalam
keadaan apapun, pembatasan hak-hak asasi manusia hanya bisa dilakukan atas dasar
undang-undang, demi menjamin hak-hak asasi orang lain.
Perlindungan mengandung makna bahwa setiap hak yang dimiliki oleh manusia
harus dijaga, ditegakan dan dipenuhi jangan sampai dirampas oleh pihak lain termasuk
didalamnya aparat pemerintah dengan alasan apapun.
1.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia yang dikumandangkan oleh Perserikatan
Bangsa Bangsa tahun 1948 yang lebih dikenal dengan Declaration of Human Rihts yang
merupakan pengakuan hak asasi manusia secara internasional, memberi pengertian dari
pada hak asasi manusia sebagai berikut : “Hak Azasi Manusia adalah semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama”.
Difinisi tersebut memberi pandangan bahwa setiap manusia dilahirkan ke muka
bumi dalam keadaan bebas dan merdeka serta memiliki derajat serta hak-hak yang
sama, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hari nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
terhadap hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dan
hak-hak ini dikenal dengan hak asasi yang non derogable yaitu hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.
Perkembangan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia secara
internasional semakin berkembang dan pada tahun 1966 telah dideklarasikan dua jenis
hak asasi manusia yang lebih spesifik dari deklarasi hak asasi manusia tahun 1948, yaitu
hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) beserta Protokol Opsional (Optional Protocol), dan hak asasi
manusia dibidang ekonomi, sosial dan budaya (Internasional Covenant on Economic,
Social and Cultural Right (ICESR) beserta Protokol Opsional (Optional Protocol).
Deklarasi hak asasi manusia yang mengatur hak-hak dibidang hukum adalah
kovenan hak sipil dan politik (International Convenant on Civil and Political Rights),
beserta protokol tambahanya yang dikenal dengan perkembangan Hak Asasi Manusia
generasi pertama (I) tahun 1966 . Pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan
hak asasi manusia dibidang hukum, diantaranya Pasal 10 dan 14 ICCPR : Pasal 10
mengatur mengenai “hak sebagai tersangka dan terdakwa diperlakukan secara
manusiawi”, dan dalam Pasal 14 “ hak atas kedudukan yang sama dimuka hukum”
Perwujudan bagi Bangsa Indonesia dalam rangka pengakuan, penghormatan dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia pada tahun 1999 Pemerintah R.I. telah mengesahkan
dan mengundangkan undang-undang tentang hak asasi manusia, sebagaimana diatur
dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia, Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut memberikan difinis atau pengertian
mengenai hak asasi manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
memberikan pengertian hak asasi manusia sebagai berikut :
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia
Kamus Dental dictionary, memberi difinisi Human Right is The legal and moral
rights of humans recognized by national and international laws 16 . Hak asasi manusia
merupakan hak moral yang secara legal ada pada setiap manusia, diakui oleh hukum
nasional maupun internasional .
Indonesia sebagai bagian dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara
konstitusi telah turut meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Hak Sipil Politik ( ICCPR), dalam penjelasan umum point 3. Pokok-
pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 9,10, 11 dan
14 mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia dibidang hukum.
Landasan prinsip/dasar secara filofis bagi Bangsa Indonesia turut melakukan
ratifikasi terhadap kovenan hak sipil dan politik tersebut adalah:
Instrumen Internasional ICCPR tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD. Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat
Negara R.I. sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam
hukum, dan keinginan Bangsa Indonesia untuk secara terus menerus memajukan
dan melindungi hak-hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara17.
Kovenan Hak Sipil dan Politik ( International Covenan Civil and Political
Rights/ ICCPR ) tanggal 16 Desember 1966 yang telah diratifikasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 secara tegas dan terrinci mengatur mengenai
hak-hak asasi manusia dibidang hukum dan peradilan, sebagaimana tertuang pada
Bagian III Pasal 9, 10, 11, serta Pasal 14 dan 15,
16 http://www.answers.com/topic/human-rights
17 Sunarso Siswanto H., Op.Cit, hal.99
Article 9 ( Pasal 9)
1. Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be
subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty
except on such grounds and in accordance with such procedure as are
established by law.
1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang
pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang
pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang
sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
2. Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons
for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan
harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan
terhadapnya.
3. Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly
before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and
shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the
general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release
may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the
judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib
segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi
kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan
berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan
merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili
harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk
hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan
putusan, apabila diputuskan demikian.
4. Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to
take proceedings before a court, in order that that court may decide without
delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is
not lawful.
4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau
penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan
agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan
penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan
tidak sah menurut hukum.
5. Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an
enforceable right to compensation.
5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang
tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan.
Article 10 (Pasal 10)
1. All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with
respect for the inherent dignity of the human person.
1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri
manusia. 2. (a) Accused persons shall, save in exceptional circumstances, be segregated from
convicted persons and shall be subject to separate treatment appropriate to their status as unconvicted persons;
(b) Accused juvenile persons shall be separated from adults and brought as
speedily as possible for adjudication.
2. (a.) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus
dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara
berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat
mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
3. The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential aim
of which shall be their reformation and social rehabilitation. Juvenile offenders
shall be segregated from adults and be accorded treatment appropriate to their
age and legal status.
3. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di
bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai
dengan usia dan status hukum mereka.
Article 11 (Pasal 11)
No one shall be imprisoned merely on the ground of inability to fulfil a contractual
obligation.
Tidak seorang pun dapat dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya
untuk memenuhi suatu kewajiban yang muncul dari perjanjian.
Article 14 (Pasal 14)
1. All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination
of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at
law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent,
independent and impartial tribunal established by law. The press and the public
may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order
(ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest
of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in
the opinion of the court in special circumstances where publicity would
prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case
or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile
persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes or
the guardianship of children.
1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan
dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau
dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap
orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu
badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk
menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti
seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau
keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila
benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus,
dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun
setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-
anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan
dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
2. Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed
innocent until proved guilty according to law.
2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
3. In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be
entitled to the following minimum guarantees, in full equality: 3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang
berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang
penuh:
(a) To be informed promptly and in detail in a language which he
understands of the nature and cause of the charge against him;
a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang
dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang
dikenakan terhadapnya;
(b) To have adequate time and facilities for the preparation of his defence
and to communicate with counsel of his own choosing;
b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan
pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya
sendiri;
(c) To be tried without undue delay;
c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
(d) To be tried in his presence, and to defend himself in person or through
legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have
legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to
him, in any case where the interests of justice so require, and without
payment by him in any such case if he does not have sufficient means to
pay for it;
d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara
langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk
diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan
untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan
tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk
membayarnya;
(e) To examine, or have examined, the witnesses against him and to obtain
the attendance and examination of witnesses on his behalf under the
same conditions as witnesses against him;
e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang
memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-
saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan
saksi-saksi yang memberatkannya;
(f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand or
speak the language used in court;
f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia
tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang
digunakan di pengadilan;
(g) Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt.
g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan
dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.
4. In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account
of their age and the desirability of promoting their rehabilitation.
4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka.
5. Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and sentence
being reviewed by a higher tribunal according to law.
5. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap
keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai
dengan hukum.
6. When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence and
when subsequently his conviction has been reversed or he has been pardoned
on the ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there
has been a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a
result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is
proved that the non-disclosure of the unknown fact in time is wholly or partly
attributable to him.
6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata
diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta
yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah
terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah
menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti
rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta
yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena
dirinya sendiri.
7. No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he
has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and
penal procedure of each country.
7. Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana
yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan,
sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
Article 15 (Pasal 15)
1 . No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
omission which did not constitute a criminal offence, under national or
international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the
criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the offence,
provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender
shall benefit thereby.
1. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana
karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan
tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional
maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan
hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak
pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana
muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus
mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
2. Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for
any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal
according to the general principles of law recognized by the community of
nations.
2. Tidak ada satu hal pun dalam pasal ini yang dapat merugikan persidangan
dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau
yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu
kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa.
Pengaturan hak asasi manusia dalam hukum Indonesia hendaknya mencakup
aspek-aspek, antara lain :
a. Menjadikan HAM bagian dari hukum indonesia.
b. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM
tersebut
c. Terdapat pengadilan yang bebas
d. Terdapat pula profesi hukum yang bebas18
Mardjono Reksodiputro menyatakan pendapatnya bahwa cara pelaksanaan
pengaturan hukum hak asasi manusia dalam peraturan hukum harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
1. Menjadikan HAM sebagai bagian dari hukum indonesia.
2. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM
3. Terdapat pengadilan yang bebas ( an independent judiciary)
4. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession) 19
Ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan : “Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “. maka sudah
18 Sujata, Antonius, Op.Cit. hal. 31-32
19 Nuraeny Henny, Op.Cit.. hal 120
menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memberi perlindungan,
memenuhi serta menegakan hak-hak asasi manusia
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pemerintah Republik
Indonesia telah mengeluaran berbagai peraturan perundang-undangan, yang mengatur
mengenai perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia,
diantara :
1. Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Pembentukan Komisi Nasional
Hak Asisi Manuasia
2. Ketetapan MPR R.I. Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3. Jauh sebelumnya pengaturan hak asasi Warga Negara R.I. juga telah diatur dalam
konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, kemudian dilakukan amandemen /
perubahan terhadap Undang-undang Dasar 1945 sebanyak empat kali, dengan
agenda utama adalah pengaturan mengenai hak asasi manusia secara lebih detail
terutama pada saat dilakukan amandemen ke dua tanggal 7 – 18 Agustus 2000,
dengan menambahkan satu bab sesudah Bab X yaitu Bab XA tentang Hak Asasi
Manusia yaitu dalam Pasal 28 A sampai J 20
4. Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan hak
asasi manusia.
Apabila kita simak kebelakang, bahwa pengaturan hak asasi manusia dibidang
hukum secara pundamental telah diatur oleh pemerintah sejak berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 s/d
33; Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari pernyataan
Pasal 27 ayat (1) tersebut terkandung makna perlakuan yang sama terhadap semua
warga Negara tanpa terkecuali dihadapan hukum (equality befor the law), perlakuan
yang sama penulis maksudkan terhadap semua warga Negara termasuk mereka yang
terlibat dalam permasalahan hukum (tersangka) mendapat pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasinya.
20. Ibid, hal. 126
1.2.2. Hak Asasi Tersangka
Selain berbagai ketentuan internasional yang mengatur mengenai hak-hak asasi
manusia khususnya dibidang hukum, juga yang menjadi cikal bakal pengakuan hak-hak
asasi tersangka / terdakwa dibidang hukum yang diikuti oleh negara-negara didunia
adalah Hukum Acara Pidana Amerika Serikat yang dikenal dengan Miranda Rule.
Miranda Rule adalah Suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang
secara konstitusional yang dituduh atau disangka melakukan tindak pidana/kriminal,
sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang berwenang21.
Hak-hak tersangka/ terdakwa yang diatur dalam ketentuan Miranda Rule adalah
suatu aturan yang mengatur tentang hak-hak seseorang yang dituduh atau disangka
melakukan tindak pidana / kriminal, sebelum diperiksa oleh penyidik/instansi yang
berwenang22, pada pokoknya meliputi hak untuk diam, hak untuk didampingi atau
mendapatkan /menghubungi penasehat hukum sejak awal suatu proses perkara pidana
sampai tahap akhir. Dalam perlindungan dan penegakan hak-hak tersangka / terdakwa
juga dikenal adanya Miranda Right dan Miranda Warning.
Miranda Rights adalah ketentuan yang mewajibkan aparatur penegak hukum
khususnya penyidik untuk memberitahukan kepada tersangka atas hak-hak yang
dimilikinya sebelum dilakukan penangkapan, penahanan23. penyidik sebelum
melakukan tindakan upaya paksa terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana maka terlebih dahulu harus diberitahu mengenai hak-hak hukum orang tersebut
seperti hak menghubungi penasehat hukum, hak didampingi penasehat hukum dan
sebaginya.
21 Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 15
22 Sofyan Lubis, Loc.Cit
23 Sofyan Lubis, Op.Cit, hal. 17
Sedangkan Miranda warning adalah peringatan yang harus diberikan oleh
penyidik kepada tersangka24 misalnya hak bagi tersangka untuk diam/tidak menjawab,
hak untuk mendapat pendampingan hukum pada saat pemeriksaan dan lain sebagainya.
Hak asasi tersangka/terdakwa adalah sejumlah hak-hak bagi seseorang yang
didudukan sebagai tersangka /terdakwa yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai
dengan 74 KUHAP .
Dibandingkan dengan ketentuan perlindungan terhadap hak-hak tersangka /
terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dengan hak-hak tersangka / terdakwa yang diatur dalam Miranda Rule, Miranda
Rights, maupun dalam Miranda Princip hampir sama. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai hak tersangka/terdakwa “memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik, tidak boleh dipaksa, ditekan “, dalam pasal ini
secara implisif diatur mengenai kebebasan tersangka untuk memberi keterangan atau
tidak memberi keterangan (diam) , tersangka / terdakwa tidak bisa dipaksa/ditekan
untuk memberi keterangan sesuai kemauan penyidik.
1.2.3. Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang ditetapkan mulai
berlaku sejak 31 Desember 1981 telah berusia lebih dari tiga puluhan tahun, secara teori
ketentuan tersebut sudah harus dilakukan pembaharuan, dalam kurun waktu tersebut
telah terjadi banyak perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan yang
mengatur berbagai aspek kehidupan warga negara dan apabila terjadi pelanggaran
terhadapat peraturan perundang-undangan tersebut banyak masalah hukum yang tidak
mampu dijangkau oleh ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana ( KUHAP), oleh karena itu dibentuklah berbagai hukum acara pidana
yang disatukan dalam perundang-undangan organik untuk menjangkau perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, sehingga terlihat selain hukum
acara pidana yang diatur dalam KUHAP juga terdapat hukum acara pidana yang
tersebut dalam peraturana perundang-undangan secara khusus.
Pendapat mengenai pembaharuan hukum pidana diungkapkan oleh Andi Hamzah
yang menyatakan, disamping penciptaan peraturan yang lebih baik mengenai peradilan
pidana, juga orang yang harus menegakkan peraturan itu perlu ditingkatkan
pengetahuan, moral dan akhirnya wibawanya25, proses peningkatan moralitas, integritas,
profesionalitas dan proforsionalitas aparat penegak hukum dilakukan dengan cara
memberi pendidikan dan pelatihan teknis administratif maupun teknis penanganan
perkara, pendidikan budi pakerti yang dimulai sejak pembentukan awal penyidik, jaksa
maupun hakim.
Pembaharuan hukum acara pidana mengandung pengertian dilaksanakanya
pembaharuan / perubahan baik secara menyeluruh (general) maupun bagian-bagian
tertentu (parcial) dari hukum acara pidana yang sedang berlaku (ius constitutum).
Pembaharuan hukum acara pidana ( Ius Constituendum) diharapkan selain membawa
perubahan secara mendasar bagi hukum acara pidana dalam hal ini menyangkut
tenggang waktu penyelesaian setiap tahap pemeriksaan perkara juga mampu
menyatukan hukum acara pidana yang berlaku (kodifikasi) serta bersifat dinamis.
Pembaharuan hukum acara pidana dapat dilakukan dengan cara pembentukan
hukum baru, perubahan hukum acara yang sudah ada, melalui penemuan hukum atau
yang dalam pengertian luas disebut sebagai kebijakan hukum pidana (Penal Polyce).
25 Hamzah Andi, 1993. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan Praktek,
Penahanan-Dakwaan-Requisitoir, Reneka Cipta , Jakarta, hal. 11