banjir darah di tegal kuru
TRANSCRIPT
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
1 PANDAWA KURAWA
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
2 PANDAWA KURAWA
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
Karya
Hermawan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
3 PANDAWA KURAWA
Novel ini aku persembahkan untuk kedua
orang tuaku sebagai tanda baktiku dan
untuk adikku tercinta semoga kalian tetap
sehat dan berada bersama Allah SWT
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
4 PANDAWA KURAWA
DAFTAR ISI
1. AWAL BARATAYUDA ( Janji Wiratha ).........................................8
2. GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA..........................................31
3. MAJUNYA SANG PROFESOR.......................................................44
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
5 PANDAWA KURAWA
4. GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA..............................58
5. KEMARAHAN SANG ADIPATI.....................................................78
6. KEGELISAHAN DURYUDANA.....................................................87
7. SUMPAH ARJUNA.......................................................................113
8. MAJUNYA BURISRAWA.............................................................137
9. TEGAKNYA HARGA DIRI SANG PROFESOR.............................151
10. GUGURNYA SANG PROFESOR..................................................166
11. GUGURNYA PRAMUGARI PRINGGODANI................................182
12. DURSASANA GUGUR.................................................................193
13. GUGURNYA SANG PUTRA SURYA...........................................221
14. SIASAT ASWATAMA.................................................................244
15. PENGAKUAN KEMBAR.............................................................271
16. MENGENAL MASA LALU.........................................................296
17. SALYA GUGUR.........................................................................308
18. AKHIR BARATAYUDA..............................................................322
PRAKATA
Sebuah sejarah yang panjang yang mengisahkan darah yang bergejolak
dari sebuah negara yang harus di perebutan oleh dua orang yang masih keturunan
sama. Yaitu keturunan Prabu Barata. Terselip suatu peristiwa yang mengilhami
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
6 PANDAWA KURAWA
bahwa suatu peperangan dapat membuat negera tersebut menderita dan membawa
bencana tapi apakah suatu kekekuasan harus di peroleh dengan tindakan
kekerasan?. Dan mengapa agar suatu kekuasaan yang bukan miliknya harus
dipertahanan dengan menempuh perang ?.
Sebenarnya apa yang ada di pikiran manusia. Mengapa kekuasan dan
kewibawan yang berarti harus ada kemewahan dan keindahan dalam
pemerintahan ..??. Apa yang sebenarnya itu ?”.
Dari kisah yang saya tulis yang mengkisah dua keturunan yang berseteru.
Yaitu kurawa dan Pandawa. Kisah ini mengilhami kisah perang Baratayauda.
Dalam kisah ini pasti ada dua kubu. Yang satu baik dan jahat. Pandawa yang
merupakan kubu baik dan merupakan trah raja yang sah sebagai penerus kerajaan
Hastina. Tapi apa yang terjadi ..?”. Setelah Pandawa dewasa ia malah mendapat
perlakuan kasar dari para saudara Kurawa. Tapi mereka tetap diam selama masih
dalam Kebenaran. Saat mengumumkan Puntadewa sebagai pewaris tahta kerajaan
Hastina. Kurawa mulai menggunakan rencana licik agar kekuasan jatuh padanya.
Tapi apa yang didapatkan .../?”
Bahwa Kebenaran pasti Menang. Selama Pandawa masih dalam
Kebenaran maka kemenanagan akan datang. Sesuai janji yang tertulis dalam buku
yang pernah ditulis oleh eyang mereka tentang nasib kerajaan yang ditentukan
lewat perang jika hubungan damai tidak berhasil.
Dalam buku ini kisah patriot seorang anak Pandawa yang rela mati demi
kemenangan para junjungan. Walaupun sekarang banyak generasi muda yang
telah hilang semangat patriot tanah air bahkan rela negara dijajah.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
7 PANDAWA KURAWA
Tapi itu semua belum cukup. Bagaimana bahwa kebenaran itu harus
ditegakkan. Sesuai dengan agama yang kita anut.
Buku ini saya tulis hanya untuk sebagai contoh sikap hidup yang selalu
memegang teguh sikap Kebenaran sesuai dengan agama yang dianut. Dan untuk
memberikan gambaran bahwa Kebenaran akan selalu menang walaupun tidak
begitu cepat.
Demikian kata – kata yang dapat saya tulis dan ungkapkan. Bila dalam
penulisan kata atau kalimat tidak berkenan. Saya mohon maaf. Dan saya
menunggu saran dan kritik dari Anda untuk kemajuan buku yang saya tulis ini.
Sekian terima kasih
PENULIS
AWAL BARATAYUDA ( Janji Wirata )
Dan ketika pagi merekah, berangkatlah dengan suara gemuruh lasykar
besar dari Negara Wirata. Merah menyala busana barisan terdepan bagaikan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
8 PANDAWA KURAWA
semburat sinar matahari fajar yang membias mega dari puncak gunung
gemunung ketika hendak menerangi jagat.
Susul menyusul warna warni barisan yang lain bergerak bersama, yang
berwarna kuning kumpul sesama kuning terlihat seperti sekumpulan burung
podang yang menguasai pucuk ranting-ranting pohon besar. Barisan yang
berwarna putih berkumpul sesama putih, sehingga kelihatan bagaikan kumpulan
burung kuntul menyebar memenuhi rawa rawa. Demikian juga barisan dengan
seragam berwarna hijau, biru, hitam, ungu dan sebagainya terkumpul sesamanya.
Terlihat dari kejauhan, bebarisan prajurit dengan seragam berwarna warni
elok bagaikan kelompok kembang setaman. Suara gemerincing kendali dan
kerepyak ladam kuda membentur bebatuan jalan, bercampur dengan irama tidak
beraturan tangkai tombak yang saling beradu menambah hingar bingarnya suara
barisan. Kemeriahan barisan ditingkah dengan suara tetabuhan tambur, suling,
kendang dan bende serta kelebatnya bendera bersimbol warna warni, bagai hiasan
pesta, indah dipandang mata ! Debu akhir kemarau membubung tinggi dibelakang
barisan menambah dramatis dalam pandangan siapapun yang melihat.
Diatas awan para dewa, dewi, hapsara, hapsari menyebar bunga mewangi,
memuji, hendaknya barisan Pandawa dan sekutunya akan unggul dalam perang.
Pada barisan terdepan adalah lasykar setia dari Jodipati berbendera hitam
dengan gambar gajah. Terlihat sang Werkudara yang selamanya tidak pernah
berkendara, tetap dengan jalan kaki menggenggam gada super besar ditangannya.
Dibelakangnya Patih Gagakbongkol mengiring langkah gustinya dengan tegap.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
9 PANDAWA KURAWA
Berikutnya nampak Arjuna dengan kereta kencananya yang berhias
sesotya gemerlap, lasykarnya berbendera merah keemasan dengan gambar kera
ditengahnya. Disampingnya duduk istrinya, Wara Srikandi, anak Prabu Drupada,
seorang wanita berwatak prajurit.
Susul menyusul dibelakangnya sesama barisan saudara Pandawa yang
lain, Prabu Punta dengan memangku surat Jamus Kalimasadda, duduk diatas
kereta. Disampingnya duduk Wara Drupadi dengan rambut terurai melambai
ditiup angin. Dalam benak Sang Dewi terpikir, inilah saat yang ditunggu untuk
keramas dengan darah Dursasana, seorang yang coba mempermalukannya pada
pesta permainan dadu dahulu. Atas perlindungan dewa, kain kemben yang coba
dilepas sang Dursasana menjadi tak berujung. Saat itulah Draupadi bersumpah
untuk tidak bergelung sebelum keramas dengan darah Dursasana.
Susul menyusul dibelakangnya, kembar bungsu Pandawa Nakula dan
Sadewa, dengan berbendera ungu bergambar dewa kembar, Batara Aswin-Aswan.
Pada barisan sekutu, barisan Dwarawati dipimpin Prabu Kresna beserta
sang adik ipar Arya Setyaki, disambung barisan dari Wirata dengan pengawak
Prabu Matswapati diiring kedua Putranya Utara dan Wiratsangka. Resi Seta, putra
Sulung baginda Matswapati yang sedang dalam semedi di Selaperwata atau
Sukarini-pun segera disusul utusan untuk memintanya turun gunung, diberi warta
bahwa Baratayuda segera terjadi.
Dibelakangnya, lasykar Pancalareja/Pancalaradya prabu Drupada
didampingi Pangeran Pati Arya Drestajumna, atau Trustajumena. Dibelakangnya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
10 PANDAWA KURAWA
kembali menyusul raja raja sekutu yang lain yang mengharap kemukten dengan
ikut serta dalam perang suci ini.
Tak ketinggalan barisan yang dipimpin anak-anak muda Pandawa,
Gatutkaca dengan pasukan raksasa dan manusia biasa dari Pringgandani,
kemudian putra sang Arjuna, Abimanyu, putra sang Punta, Pancawala dan saudara
muda yang lain.
Sampailah barisan di tepi lapangan yang maha luas, tegal Kurukasetra.
Barisan yang mengumpul menjadi satu bagaikan pasangnya air samudra yang
meleber ke daratan. Beberapa pesanggrahan dibangun untuk menjadi base camp
dibeberapa tepi strategis. Prabu Puntadewa beserta para sesepuh menamai
pesanggrahan utama sebagai Pesanggrahan Randuwatangan. Dengan penguat
batang kayu pohon randu, dipadu patut dengan segala hiasan hingga menyerupai
istana.
Pesanggrahan untuk para senapati dengan nama pasanggrahan
Randugumbala, pesanggrahan dengan bahan kayu semak randu, sedang
pesanggrahan untuk prajurit garda depan dengan nama Glagahtinunu,
pasanggrahan dengan lahan rumput glagah yang dibakar terlebih dahulu.
Begitupun juga di pihak Kurawa, mereka membuat pesanggrahan yang
dihias bagaikan istana yang sesungguhnya, dinamakan Pesanggrahan Bulupitu,
pesanggrahan utama dimana para calon senapati dihimpun dalam satu naungan,
sementara para prajurit melingkup disekitar pesanggrahan.
Ditempat lain Adipati Karna menempati pesanggrahan Ngurnting, Prabu
Salya mesanggrah di Karangpandan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
11 PANDAWA KURAWA
Persiapan di pihak Pandawa dimatangkan, Dewi Kunti sudah datang
diantar kembali iparnya Arya Yamawidura beserta putra sang Yamawidura, Arya
Sanjaya ke Randuwatangan.
“Kanjeng Ibu, putra putra paduka mengharap restumu untuk mengemban
tugas suci ini”. Puntadewa memulai pokok pembicaraan setelah haru biru berlalu,
menyesali mengapa perang harus terjadi. Tetapi pada dasarnya mereka adalah
kesatria waskita, yang dianugrahi hati penuh kebijaksanaan.
Kunti dengan penuh wibawa menguatkan batin anak anaknya,“Anak
anakku, watak satria adalah mempunyai hati yang teguh. Tidak pernah merasa
ragu dalam bertindak. Bila sudah dikatakan dahulu bahwa negara akan
dikembalikan setelah masa perjanjian lewat, maka janji itu adalah hutang yang
harus dibayar, dan kalian pantas untuk mendapatkan apa yang dijanjikan”.
“Sedangkan kamu semua adalah kesatria yang diidamkan oleh ayahmu
dahulu, semua anak Pandu adalah anak anak yang teguh memegang janji.
Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk kalian semua berbakti kepada
mendiang ayahmu, menjaga kebanggaan akan sikap yang ditanamkan sejak kamu
masih kecil”
Sementara kebulatan tekad terlahirkan, Yamawidura , paman para
Pandawa dan Kurawa, tidak tega ikut dalam perang, dalam pikirannya masih
berkecamuk rasa sesal, kedua pihak adalah bagian dari darah dagingnya. Dan
minta pamitlah Arya Yamawidura kembali ke Panggombakan, kadipaten dalam
lingkungan kerajaan Astina.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
12 PANDAWA KURAWA
Pesanggrahan Bulupitu. Prabu Duryudana dalam sidang darurat penetapan
senapati.
Hadir didalamnya Prabu Salya dari Mandaraka sudah diundang datang.
Demikian juga Resi Bisma dan Begawan Durna.
“ Para sesepuh semua dan saudaraku, tidak sabar rasaku ini hendak mulai
menumpas Pandawa yang tidak tahu tata”. Duryudana mengambil inisiatif awal
dengan menunjuk seorang senapati.
“Eyang Bisma, dengan segala hormat, kami para Kurawa meminta
kanjeng Eyang menjadi senapati pertama”. Strategi Duryudana menunjuk. Dalam
pikirnya, Baratayuda akan dibuat sesingkat mungkin.
Ia berkesimpulan, siapapun dari pihak Pandawa tidak akan mampu
menanggulangi krida Sang Bisma Jahnawisuta, satria dengan nama muda
Dewabrata, sarat dengan ilmu kaprawiran dilambari kesaktian hasil dari mesu raga
olah batin pada sepinya pertapan Talkanda menjadikannya seolah tanpa tanding.
Sebenarnyalah Resi Bisma ada dalam situasi batin yang bertentangan
dengan pihak yang ia bela. Dalam hatinya, kesatria Pandawa-lah yang terkasih ini
tersimpan dalam relungnya.
Tetapi intuisi seorang Pandita waskita mengatakan, “inilah saatnya bagiku
untuk mengunduh segala pakrti yang aku pernah perbuat dimasa lalu”.
Dalam benaknya terbayang, ketika ia pernah muda dan salah langkah,
membunuh putri Kasi bernama Dewi Amba tanpa sengaja, untuk menghindari
batalnya sumpah kepada sang ibu sambung, dewi Durgandini, bahwa ia akan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
13 PANDAWA KURAWA
menjalani hidup sebagai brahmacarya, seorang yang tak kan pernah menyentuh
perempuan.
Terngiang dalam telinganya akan ajakan sang Dewi Amba ketika
menjelang ajalnya menjemput, bahwa ia akan menggandeng tangan sang
Dewabrata saat ia akan bertarung dengan prajurit wanita entah kapan. Dan dalam
pengamatannya prajurit wanita yang pantas menjadi sarana kemuliaan adalah
prajurit Pandawa. Kelompok satria utama yang pantas mengantarnya kembali ke
alam tepet suci.
Satu hal lagi, Bisma akan kembali bertarung dengan Seta, seorang putra
sulung raja Wirata yang sama sama gemar bertapa. Ketika itu mereka sepakat
akan kembali bertarung mengadu kesaktian akibat dipisahkan Hyang Naradda,
karena pertempuran mereka oleh suatu sebab menimbulkan panas hingga sampai
ke Kahyangan Jonggring Salaka. Dan momen ini tak dapat ia tinggalkan melihat
Wirata ada di pihak Pandawa.
Ketika itu kedua adiknya Citragada dan Wicitrawirya, diserahi putri
penengah dan terakhir sehingga dewi Amba tetap mengharap untuk dinikahi
Dewabrata. Namun sumpah Dewabrata kepada ibu tiri, Dewi Durgandini, yang
khawatir tahta akan jatuh kepada Dewabrata atau anak turunnya, menyebabkan
Dewabrata bersumpah untuk tetap melajang seumur hidupnya.
Demikianlah, Senapati utama telah ditunjuk, dengan senapati pendamping
Prabu Salya dan Pandita Durna. Formasi serangan mematikan telah disusun sesuai
dengan ambisi sang Prabu Duryudana yang tidak mau mengulur waktu segera
mengeluarkan jurus maut berisi orang orang sakti andalan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
14 PANDAWA KURAWA
Kata sepakat telah bulat, strategi telah disusun, pilihan jatuh pada gelar
Wukir Jaladri, gunung karang ditepi laut dengan deburan ombaknya. Kokohnya
pertahan karang laut dengan gerakan ombak laut yang dahsyat siap melumat
barisan prajurit Pandawa. Gemuruh langkah cepat prajurit yang bergerak maju
bagaikan membelah langit. Jumlah besar prajurit dari ujung hingga ke ujung
lainnya hampir tak kelihatan, ditambahkan dengan pandangan yang tertutup debu
yang mengepul. Kembali bebunyian penyemangat ditalu, tambur, suling, kendang,
gong beri ditabuh membahana memekakkan telinga.
Randuwatangan. Segala kemungkinan sedang dirembug, Baginda
Matswapati memberikan usul, “ Anak anak dan cucu cuku, negaraku, bahkan
jiwaku beserta anak- anakku sudah aku pertaruhkan untuk kejayaan Pandawa.
Sumpahku telah terucap, ketika cucu Pandawa sudah menyelamatkan keselamatan
keluarga dan negara Wirata dari musuh dari dalam, Kencakarupa, Rupakenca dan
Rajamala, dan musuh dari luar Para Kurawa lan sraya prajurit dari Trikarta Prabu
Susarman”. Demikian Matswapati membuka usulannya.
“Dari itu, perkenankan sebagai senapati, angkatlah anak anakku.
Ketiganya sekalian aku serahkan segala strategi gelar peperangan kepadamu
sekalian”.
“Sebagai pengayom dan pengarah laku, segala tindak yang akan dilakukan
untuk aku serahkan kepada Kanda Prabu Kresna” Puntadewa meminta Kresna
untuk mengambil alih segala kebijakan dan strategi.
“Baiklah Eyang dan adikku para pandawa, aku terima usul eyang Baginda
Matswapati. Uuntuk maju pertama kali sebagai senapati adalah eyang Seta
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
15 PANDAWA KURAWA
sebagai senapati pertama dan utama, sedangkan sebagai pendamping adalah eyang
Utara dan eyang Wirasangka”. Kresna memberikan ketetapan.
Gegap gempita penyambutan para prajurit. Siapa yang tak tahu Resi Seta?
Putra pertama Baginda Matswapati, guru sang Gatutkaca yang memiliki ajian
Narantaka. Ajian yang bisa disejajarkan dengan ajian Lebur Seketi kepunyaan
ayah Duryudana, Adipati Drestarastra. Bahkan bila Lebur seketi dapat meleburkan
benda apapun yang diraba, maka Narantaka lebih dari itu, perbawa
sekelilingnyapun menjadi panas terbakar bila aji ini dirapal.
Kesaktian Resi Seta bila dibandingkan, jauh diatas dari kesaktian adik
adiknya, Utara, apalagi Wratsangka yang agak penakut.
Walaupun para Pendawa menyebut ketiga putra Wirata sebagai eyang,
namun itu hanya sebatas sebutan menurut garis keturunan. Karena sesungguhnya
Utara dan Wiratsangka adalah orang orang yang masih sebaya dengan para
Pandawa, bahkan saking panjangnya umur Baginda Matswapati, putra pertama
Resi Seta adalah sebaya Bisma sedangkan putri terakhir, Dewi Utari, malah
sebaya dengan anak anak Pandawa.
Ketika strategi perang belum dibicarakan, Wara Srikandi yang bertugas
mengamati garda depan di Glagahtinunu dengan tergesa menghadap sidang.
Lapornya “Semua yang hadir, sekarang para Kurawa sudah mendatangi palagan
dengan menggelar strategi perang Wukir Jaladri. Kami di garda depan sudah
sempat berhadapan dengan barisan depan mereka, tetapi kami sendiri dan Setyaki
serta kakang Udawa berkesimpulan untuk kembali terlebih dulu sebagai wujud
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
16 PANDAWA KURAWA
kita semua menggelar peperangan ini bukanlah perang ampyak, melainkan
perang dengan memakai aturan “.
Braja Tiksna Lungid. Gelar serupa seberkas bola api meteor dirancang Sri
Kresna untuk menghadapi gelar lawan, meteor panas dan tajam yang mampu
meremukkan karang laut sekalipun. Gelar frontal yang dirancang langsung
berhadapan antar kedua senapati utama, untuk menghindari kelemahan para
pendamping, Utara dan Wratsangka. Namun sewaktu waktu gelar dapat dirubah
menjadi Garuda Nglayang dengan kedua sayap diisi senapati pendamping, dengan
back up Werkudara terhadap Arya Utara dan Arjuna terhadap Arya Wratsangka
disisi kiri dan kanan.
Diceritakan, kedua pihak barisan telah berhadapan. Gemetar sang Arjuna
melihat suasana yang tergelar didepan mata. Keraguan hati Arjuna disikapi Sri
Kresna. Didekatinya Arjuna yang berdiri termangu.
“Kanda Kresna, apalah artinya peperangan ini. Perang yang terjadi sesama
saudara. Mereka yang saling berhadapan adalah kakaknya, adiknya, keponakan,
paman dan seterusnya. Bahkan guru dan murid juga terlibat” demikian sang
Arjuna tersentuh rasa kemanusiaannya.
Lanjutnya “Apakah masih ada gunanya saya meneruskan suasana
seperti ini, apakah tidak sebaiknya apa yang terlihat didepan mata disudahi
saja?”.
“Iparku, bukankan sudah menjadi ketetapan dalam sidang bahwa inti dari
peperangan ini bukan lagi berkisar pada kembalinya Astina sebagai hal yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
17 PANDAWA KURAWA
utama, walaupun demikianlah kenyataannya” Kresna mulai mencoba
menghilangkan keraguan yang kembali meliputi batin Arjuna”.
“Tetapi darma dari satria yang tersandang dalam jiwa adalah menegakkan
aturan yang sudah ditetapkan. Dan lagi, perang ini bukan sekedar perang
memperrebutkan negara, tetapi dibalik itu, perang ini adalah sarana memetik hasil
pakarti para manusia didalamnya dan juga alat untuk meluwar janji yang telah
terucap, perang idaman para brahmana, jangka para dewa. . . . . . . .. . . .” Banyak
banyak nasihat yang dikatakan Kresna untuk menguatkan hati Arjuna.
“Tetapi apakah aku dapat tega melepas anak panah, bila dihadapanku
adalah orang yang aku agungkan?” Tanya Arjuna.
“Dalam perang bukanlah tempat untuk murid membalas jasa kepada guru,
bukan membalas kebaikan antara yang memberi dan menerima kebaikan, tetapi
dalam peperangan itu adalah berhadapannya kebaikan dan angkara murka. Lagi
pula banyak satria yang akan membantu menghadapi orang yang kau agungkan,
jadi tidak perlulah kamu sendiri yang menghadapinya. Tapi bila memang harus
bertanding juga, sembahlah terlebih dulu para junjunganmu sebelum kamu
bertempur, niscaya beliaupun akan menghormati kamu, Arjuna” Kresna
menjelaskan.
Demikianlah, maka perang campuh berlangsung sengit. Suara dentang
pedang beradu memekakkan telinga. Gesekannya memancarkan bunga api bagai
keredap kilat, mengerikan. Saling bunuh terjadi, siapa yang terlena akan terkena
senjata lawan. Teriakan kesakitan para prajurit dan hewan tunggangan yang
terkena senjata membuat giris prajurit yang berhati lemah. Dilain pihak, prajurit
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
18 PANDAWA KURAWA
yang haus darah terus merangsek penuh nafsu membunuh. Sementara di angkasa
hujan anak panah bagai ditumpahkan dari langit.
Pertempuran antara kedua senapati utama Seta dan Bisma juga
berlangsung seru, keduanya pernah beradu kesaktian kala itu, kembali bertempur
dengan peningkatan ilmu kanuragan yang tak pernah mereka tinggalkan
pengasahannya, sehingga tingkat kemampuan bertempur mereka berdua semakin
tinggi. Arena pertarungan seakan menjadi kepunyaan mereka, karena lingkaran
hawa panas keluar dari lingkaran peperangan, sebab tak ada prajurit yang berani
mendekati arena pertarungan antar keduanya.
Ditempat lain, pertempuran senapati pendamping juga berlangsung seru.
Senapati Kurawa, walaupun keduanya sudah tua, namun mereka dengan
kesaktiannya yang mapan dan matang mampu mengatasi kekuatan dua anak muda
Wirata. Tidak heran, karena semasa muda keduanya adalah satria pilih tanding.
Bahkan Durna dengan kekurangan fisik, walau hanya bertangan tunggal, tetapi
posisinya selalu diatas angin. Sehingga terus merangsek dan mendesak
Wratsangka. Ketika matahari sudah tergelincir kearah barat, Durna menyudahi
pertempuran. Wratsangka terkena pusaka Cundamanik, gugur sebagai tawur
perang.
“Wratsangka tewas . . . , Wratsangka tewas . . . . .!!” Teriakan para
prajurit Kurawa memberikan kipasan angin segar kepada kawan kawannya.
Motivasi prajurit Kurawa yang sudah mengendor kelelahan, berkobar
kembali ketika mendengar tewasnya Wiratsangka.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
19 PANDAWA KURAWA
Dilain pihak, gugurnya Wiratsangka membuat kedua kakaknya menjadi
makin liwung, beringas. Seta dengan ajiannya, Narantaka, kobaran api dari kedua
tapak tangannya meluluh lantaklah prajurit kecil yang menghalanginya. Hewan
tunggangan para senapati seperti kuda, gajah bahkan kereta perang banyak remuk
redam dan gosong terkena amuk Resi Seta. Demikian juga kroda sang Utara, yang
tak lama kemudian mampu merobohkan pertahanan Prabu Salya. Kereta yang
ditumpanginya Salya terkena sabetan gada Utara, pecah berantakan. Prabu Salya
selamat namun si kusir, patih Mandaraka Tuhayata, ikut tewas tertebas.
Putra Salya, Arya Rukmarata yang mencoba melidungi ayahnya akhirnya
tewas terkena panah Resi Seta yang sementara menghindari peperangan dengan
Bisma ketika mendengar adiknya terkasih tewas ditangan Durna.
Dendam membara menguasai hati Sang Seta. Dicarinya Durna yang segera
dilindungi rapat oleh para pengikut setianya. Bisma tak tinggal diam,
dibayanginya Seta hingga tidak dengan leluasa melampiaskan dendamnya kepada
Durna.
Sementara itu, Prabu Salya sangat terpukul. Anak lelaki tampan kekasih
hatinya tewas melindunginya. Tewas dengan dada tertembus panah. “Jagad dewa
batara..!, anakku …., kau yang aku harapkan menjadi penggantiku kelak, ternyata
malah mendahului aku. Seperti apa derasnya air mata yang tertumpah, bila ibumu
Setyawati mendengar kabar tentang kematianmu ngger….. “. Bagai kehilangan
seluruh kekuatannya, Prabu Salya membelai jasad anak tercintanya.
Tiba tiba Prabu Salya berdiri. Disapunya pandangan dengan nanar,
mencari dimana Utara berada. Kemarahannya menggelegak dengan hebatnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
20 PANDAWA KURAWA
Sementara Utara yang sedang ganti berhadapan dengan Kartamarma dan Durjaya
segera diterjang.
“Berikan lawanmu Kartamarma, Durjaya, orang ini pantas menjadi
korbanku hari ini!!!”
Kembali pertempuran yang terputus berlangsung. Kemarahannya
memaksa mengeluarkan raksasa bajang dari dalam tubuhnya. Tertebas gada sang
Utara, raksasa bajang bukannya mati, malah membelah diri menjadi dua. Dua dua
tertebas, raksasa bajang bertambah banyak dengan jumlah ganda. Itulah ajian
Candabirawa. Aji pemberian mertuanya, Resi Bagaspati.
Kerepotan Utara melayani lawan yang semakin banyak. Terlena sang
Utara, panah Prabu Salya, Kyai Candrapati yang dari tadi tertuju kepadanya
segera dilepaskan, mengena tubuh Utara, gugur pula ia sebagai kusuma bangsa
dalam peperangan pada ujung hari.
Senja telah datang di hari pertama itu. Dan hari pertama pertempuran telah
ditetapkan berakhir ketika sangkakala ditiupkan. Bangkai kuda, gajah kendaraan
para prajurit terkapar bersama ribuan sekalian prajurit.
Hari pertama itu mengawali delapan belas hari pertempuran yang akan
berlangsung penuh hingga selesai, dan empatbelas hari diantaranya berlangsung
ketika Bisma madeg senapati.
Malam telah larut. Api pancaka sudah hampir padam. Api suci yang
membakar kedua putra Wirata, Arya Utara dan Wratsangka, yang gugur sebagai
prajurit gagah berani. Kesunyian malam mulai mencekam, bintang dilangit
berkelipan menyebar, sebagian berkelompok membuat rasi. Menjadi pedoman
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
21 PANDAWA KURAWA
bagi manusia atas arah mata angin diwaktu malam mati bulan, serta menjadi titi
waktu kegiatan manusia sepanjang tahun, yang akan berulang dan terus berulang
entah sampai kapan. Angin semilir menyebarkan bau harum bunga liar. Lebah
malam terbang dengan dengung khasnya mencari bunga dan menghisap sari
kembang.
Para prajurit yang letih dalam perang seharian memanfaatkan malam itu
sebagai pemulihan tenaga yang esok hari peperangan pasti dilakoninya kembali.
Dalam pikiran mereka berkecamuk pertanyaan, apakah besok masih dapat
menikmati kembali terbenamnya matahari? Bagi para prajurit pihak Pandawa,
kalah menang adalah darma. Kebajikan dalam membela kebenaran akan memberi
kemukten dialam kelanggengan bila tewas, atau mendapatkan kedua duanya,
dialam fana juga dialam baka nanti, bila nyawa masih belum terpisahkan dari
raga.
Malam itu Resi Seta duduk gelisah. Rasa sasar sebelum mampu
membalaskan dendam kematian adik adiknya masih terus berkecamuk. Sesal
kenapa perang cepat berlalu hingga tak sempat dendam itu terlampiaskan saat itu
juga.
“Belum lega rasaku sebelum aku dapat membekuk kedua manusia yang
telah menyebabkan kematian kedua adikku”. Sayang, aturan perang tidak
mengijinkan perang diwaktu malam terus berlangsung.
Resi Seta terus terjaga, hingga ayam hutan berkokok untuk pertama kali
barulah mata terpejam. Didalam mimpinya yang hanya sekejap, terlihat kedua
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
22 PANDAWA KURAWA
adiknya tersenyum melambaikan tangannya. Mereka sangat bahagia, mengharap,
bila saatnya ketiganya akan berkumpul kembali.
Hari baru telah menjelang. Kembali hingar bingar membangunkan Seta
dari tidur. Hari itu gelar perang masih memakai formasi sehari lalu.Belum
matahari naik sejengkal campuh pertempuran berlangsung kembali. Kali ini Salya
dan Durna disimpan agak kebelakang. Sebagai gantinya, Gardapati dan Wersaya ,
dua raja sekutu Kurawa di masukkan dalam barisan depan sebagai pengganti
tombak kembar penggedor pertahanan lawan.
Dari pihak Randuwatangan, Werkudara dan Arjuna menjadi pengganti
posisi Utara dan Wratsangka untuk mengimbangi laju serang dua sayap Kurawa.
Dari jauh hujan panah sudah berlangsung. Seta dengan amukannya mencari biang
kematian kedua adiknya. Direntangnya busur dan anak panah ditujukan kepada
Salya, sayang luput dan hanya mengenai kereta perangnya yang kembali remuk.
Kartamarma dengan gagah berani menghadang, tetapi bukan tandingan
Seta. Kembali nasib baik masih menaungi Kartamarma, hanya kendaraannya yang
remuk, sementara Kartamarma selamat.
Bisma mencoba membantu, dilepas anak panah kearah Seta, terkena di
dadanya, tetapi tidak tedas, bahkan anak panah patah berkeping. Bukan main
marah Seta, kembali ia mengamuk semakin liwung. Kali ini Durna sebagai
sasaran anak panahnya, namun Duryudana membayangi, yang kemudian terkena
anak panah Seta. Walau tidak terluka, Duryudana mundur kesakitan dengan
menggandeng Durna menyingkir mencari selamat.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
23 PANDAWA KURAWA
Sebagai Senapati utama dari kedua pihak, Bisma dan Seta kembali
bertarung. Saling serang dengan gerakan yang semakin lama makin cepat. Seta
yang sebenarnya memiliki kesaktian lebih tinggi dari Bisma tidak bisa lekas
menyudahi pertempuran. Perhatiannya masih terpecah dengan rasa penasaran
untuk membela kematian adik adiknya. Dengan sengaja Seta menggeser arena
pertandingan mendekati Durna. Namun kesempatan itu tidak dapat ditemukannya.
Durna sangat dilindungi, demikian juga dengan Salya, keduanya seakan dijauhkan
dari dendam membara Seta.
Hari berganti, pertempuran seakan tak hendak padam. Sudah berjuta
prajurit tewas, tak terhitung lagi remuknya kereta perang dan bangkai kuda serta
gajah kendaraan para prajurit petinggi. Bau anyir darah dan jasad yang mulai
membusuk, mengundang burung burung pemakan bangkai terbang berkeliaran
diatas arena pertempuran. Pertarungan kedua senapati linuwih hanya dapat
dipisahkan oleh tenggelamnya matahari.
Hingga suatu hari, keseimbangan kekuatan keduanya mulai goyah,
kelihatan Seta lebih unggul dari Bisma, secara fisik maupun kesaktian. Mulai
merasa diatas angin Seta sesumbar“Hayo Bisma, keluarkan semua kesaktianmu,
setidaknya aku akan mundur walaupun setapak”.
“Jangan merasa jadi lelaki sendirian dimuka bumi ini, lawan aku, hingga
tetes darah penghabisan pun aku tak akan menyerah”. Bisma tidak mau kalah
menyahut.
Tetapi apa daya, tenaga Seta yang sedikit lebih muda mampu terus
mendesak pertahanan Bisma. Merasa terus terdesak, tak terasa posisi Bisma
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
24 PANDAWA KURAWA
sampai hingga ketepi bengawan Gangga. Terjatuh ia dari tepi jurang bengawan
yang kelewat luas dan dalam.
Tertegun Seta dibibir jurang, ditungguinya timbul Bisma ke permukaan air
beberapa saat, namun hingga sekian lama jasad Bisma tak kunjung muncul.
Diceritakan, Bisma yang terjerumus kedalam palung bengawan, ternyata
tidak tewas. Samar terdengar ditelinganya sapaan seorang perempuan,
“Dewabrata, inilah saat yang aku tunggu, kemarilah ngger. . . !”
Dicarinya suara itu yang ternyata keluar dari mulut seorang wanita cantik
dengan dandanan serba putih.
“Siapakah paduka sang dewi, yang mengerti nama kecil hamba. Pastilah
paduka bukan manusia biasa. Malah dugaanku padukalah yang hendak
menjemput hamba dari alam fana ini….” Dewabrata menjawab dengan seribu
tanya.”
Wanita itu menggeleng “ Bukan . . . , akulah Gangga ibumu”
“Benarkan itu, selamanya aku belum pernah melihatnya. Dan seumur
hidup ini aku selalu merindukan wajah itu.”
“Ya, akulah ibumu ini”, sang dewi mendekat membelai anaknya. Ibu yang
dahulu adalah seorang bidadari yang dipersunting Prabu Sentanu.
“Pantaslah kamu tidak mengenal wajah ibumu ini, karena aku telah
meninggalkan kamu sewaktu masih bayi”. Sambung Sang Batari.
Beginilah cerita singkatnya ngger anakku ,“Pada suatu hari ayah Prabu
Sentanu, ayahmu, yaitu Prabu Pratipa sedang bertapa. Saat sudah mencapai hari
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
25 PANDAWA KURAWA
matangnya semadi, aku duduk dipangkuan sang Prabu Pratipta, nyata kalau aku
terpesona oleh aura sang prabu yang bersinar kemilau dan juga ketampanannya.
Dari kencantikan yang aku punya, sebenarnya Prabu Pratipa juga sangat
terpesona denganku, namun tujuan utamanya bukanlah jodoh yang sang
Prabu dikehendaki. Maka Prabu Pratipa berjanji, bila dia mempunyai anak lelaki
kelak, maka ia akan menjodohkannya dengan diriku, disaksikanlah janji itu oleh
alam semesta.
Benar, takdir mempertemukan kembali aku dengan anak Prabu Pratipa,
Raja Muda Sentanu, ketika Sang Prabu sedang cengkeraman berburu.
Demikianlah, aku dan ayahmu saling jatuh cinta, dan kembali ke Astina
bersama sama.
Sayang seribu kali sayang, ada satu permintaan ku yang diasa kelewat
berat ketika diutarakan kepada ayahmu. Setiap aku melahirkan, maka anak itu
harus dihanyutkan di bengawan Gangga.
Sekian lama ayahmu, Sentanu tidak dapat memutuskan persoalan yang
maha berat baginya.
Asmara akhirnya mengalahkan logika. Kecantikanku yang selalu belalu
dihadapannya setiap waktu, memancing gairah kelelakian Prabu Sentanu hingga
disanggupinya permitaan yang satu itu.
Hari berganti, bulan berlalu dan tahun tahunpun susul menyusul
menjelang. Lahir satu demi satu anak anakku. Belum sampai menyusu, bayi
merah dihanyutkan di Bengawan Gangga. Hingga akhirnya lahir anakku yang ke
sembilan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
26 PANDAWA KURAWA
Anak yang lahir ini sangat mempesona Prabu Sentanu, dengan aura cahaya
cemerlang, senyum cerah dan tingkah lucu meluluhkan cinta sang Sentanu
terhadapku. Anak itu adalah kamu Dewabrata! Tambahan lagi kesadaran
ayahmu terhadap rasa kemanusiaan, mengalahkan cinta berlandas birahi terhadap
diriku.
Pertengkaran sebab dari perbedaan pendapat berlangsung setelah itu dari
hari kehari, hingga terucap kata kataku, bahwa aku harus meninggalkan Astina
kembali ke alam kawidodaren”.
Demikan Sang Batari Gangga mengakhiri cerita masa lalunya.
Memang demikaian adanya. Prabu Sentanu saat ditinggal istrinya, sangat
kesulitan mencarikan susuan untuk anaknya. Ratusan wanita tewas ketika
mengharap dapat dipersunting Sang Prabu, sebagai ganti atas air susu yang
dilahap putera kerajaan, Raden Dewabrata, atau Jahnawisuta alias Raden
Ganggaya . Kelak Sang Sentanu dapat menemukan kembali pengganti ibu
Dewabrata sekaligus istrinya, yaitu Dewi Durgandini, kakak Raden Durgandana
yang ketika bertahta menggantikan ayahndanya bergelar Sang Baginda
Matswapati.
Durgandini sendiri mengalami cerita asmara rumit antara Palasara kakek
moyang Pandawa, dan Sentanu.Itulah kenapa Bisma Jahnawisuta, Sang Putra
Bengawan, tidak pernah bertemu ibunya hingga saat Baratayuda tiba.
“Nah sekarang katakan, ada apa denganmu, kenapa kamu ada disini,
anakku..?” Sang Batari menyelidik atas peristiwa yang tak terduga ini.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
27 PANDAWA KURAWA
Lalu Dewabrata menceritakan dari awal hingga ia terjerumus kedalam
lautan.
“Pertolongan ibu sangat aku harapkan, agar aku tidak mendapat seribu
malu atas tanggung jawab Negara yang telah dibebankan diatas pundak ini, ibu!”
“Baiklah, sekarang kembalilah ke medan pertempura, Aku bekali dengan
senjata panah sakti bernama Cucuk Dandang, lepaskan kearah lawanmu”. Kasih
ibu sekali ini memberikan tunjangan terhadap anak yang sedang dalam kesulitan.
Gembira sang Bisma menerima pusaka itu. Niat untuk berlama- lama
melepas kangen dengan sang ibu diurungkan. Segera ia memohon pamit.
Seta kembali mengamuk di palagan setelah yang ditunggu tidak juga
timbul. Tandangnya membuat giris siapapun yang ada didekatnya. Namun tidak
sampai separuh hari, kembali ia dikagetkan dengan kemunculan Bisma.
“ Seta, jangan kaget, aku telah kembali. Waspadalah, apa yang kau lihat?”
Bisma datang dengan senyum lebar. Menggenggam busur serta anak panah
ditangan, kali ini ia yakin dapat mengatasi kroda sang Seta.
“ Hmm . . . , Bisma, apakah kamu baru berguru kembali? Atau kamu
kembali datang hendak menyerahkan nyawa?” Seta menyahut dengan masih
menyimpan percaya diri yang besar.
Segera tanpa membuang waktu, Bisma merentang busur dengan terpasang
anak panah Kyai Cucuk Dandang. Panah dengan bagian tajam berbentuk paruh
burung gagak hitam, melesat dengan suara membahana dari busurnya, tembus
dada hingga kejantung. Menggelegar tubuh sang resi terkena panah , jatuh kebumi
seiring muncratnya darah dari dada sang satria.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
28 PANDAWA KURAWA
Sorak sorai para Kurawa membelah langit senja. Dursasana terbahak
kegirangan. Durmagati berceloteh riang. Kartamarma dan adipati Sindureja
Jayadrata menari bersama, Srutayuda, Sudirga, Sudira dan saudara lainnya
memainkan senjatanya seakan perang telah berakhir dengan kemenangan didepan
mata.
Sementara itu, para Pendawa dan anak anaknya mendekati Resi Seta yang
berjuang melawan maut. Dengan lembut Arjuna memangku Seta dengan kasih.
Perlahan Seta membuka mata, “Cucuku Pendawa . . . . . Sudah tuntas …
Perjuanganku sudah berakhir, tetaplah berjuang… kebenaran ada pada pihakmu . .
. . . “
Kresna sangat marah dengan kematian Resi Seta, dihunusnya panah
Cakrabaswara hendak ditujukan kepada Resi Bisma.
Waspada sang Resi Bisma, didatanginya Kresna sambil mengingatkan
“Duh Pukulun Sang Wisnu yang aku hormati, apakah paduka Sang Kesawa
hendak mengubah jalannya sejarah yang sudah ditetapkan. Bukankan sumpah
dewi Amba, yang akan menjemput titah paduka
Adalah prajurit wanita”
Tersadar Kresna dengan perkataan itu, segera Kresna mundur dari
peperangan. Begitu pula Werkudara, melihat junjungannya tewas Werkudara
mengamuk hebat, dicabutnya pohon randu besar dan disapunya para prajurit
lawan didepannya hingga terpental bergelimpangan. Jadilah mereka korban yang
tak sempat menghindar. Yang masih sempat berkelit melarikan diri kocar kacir
mencari selamat.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
29 PANDAWA KURAWA
Senja hari menyelamatkan barisan Kurawa hingga korban yang lebih besar
terhindarkan.
Kembali Matswapati kehilangan putranya. Bahkan sekarang ketiga tiganya
telah sirna. Kesedihannya sangat mendalam, hilang semua putra yang diharapkan
menjadi penggantinya kelak. Pupus sudah harapan akan kejayaan penerus
keluarga Matswa. Tetapi dasarnya ia adalah raja besar yang menggenggam sabda
brahmana raja. Tak ada kata sesal yang terucap.
“Cucu-cucuku, jangan kamu semua merasa bersalah atas putusnya darah
Matswa, aku masih punya satu harapan besar atas darah keturunanku. Lihatlah di
Wirata, eyangmu Utari sudah mengandung jalan delapan bulan, anak dari
Abimanyu, anakmu itu Arjuna !” Matswapati memberikan pijar sinar kepada
Pandawa, agar rasa bersalah atas terlibatnya dengan dalam Wirata dalam perang.
“Bukankah keturunanku dan keturunanmu nanti sudah dijangka, akan
menjadi raja besar setelah keduanya, Abimanyu dan Utari, mendapat anugrah
menyatunya Batara Cakraningrat dan Batari Maninten?” Relakan eyang-eyangmu
Seta, Utara dan Wratsangka menjalani darma sehingga dapat meraih surga. Aku
puas dengan labuh mereka, yang nyata gagah berani menjalani perannya sebagai
prajurit utama, yang gugur sebagai kusuma negara.”
Malam itu Matswapati memberikan nasihat pembekalan kepada pemuka
pihak Pandawa yang hadir dalam sidang di pesanggrahan Randuwatangan, setelah
upacara pembakaran jenasah Seta selesai dilakukan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
30 PANDAWA KURAWA
Barata
GUGURNYA SANG PUTRA GANGGA
Segala bentuk kegembiraan terpancar pada setiap wajah yang hadir pada
sidang yang digelar di pesanggrahan Bulupitu. Malam setelah tewasnya senapati
Pendawa, Resi Seta. Prabu Duryudana dengan senyum sumringah duduk pada
kursi dampar kebesaran yang direka persis bagaikan dampar yang ada di balairung
istana Astina.
“Eyang Resi, kemenangan lasykar Kurawa sudah diambang pintu! “ Dada
Prabu Duryudana membuncah penuh dengan rasa pengharapan besar bahwa saat
kemenangan akan segera datang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
31 PANDAWA KURAWA
Lanjutnya “ Tidak percuma perang yang melelahkan selama tigabelas hari
telah berlangsung. Ditangan senapati seperti Eyang Bisma, tiada satupun prajurit
Pendawa yang akan dapat menandingi kesaktian paduka, Eyang!”
“Tidaklah berlaku, wangsit Dewata yang sebelumnya mengatakan, bahwa
siapapun yang mendapat perlindungan dari Prabu Kresna akan jaya dalam perang.
Pada kenyataannya siapa yang dapat menandingi tokoh sepuh sakti
mandraguna seperti Eyang Bisma?!!” Berkata lantang Prabu Duryudana, dengan
mulut penuh dalam jamuan yang diselenggarakan malam itu menyambut
kemenangan.
Demikan pula raja seberang sekutu Kurawa seperti Prabu Gardapati dari
Negeri Kasapta dan Wersaya dari Negara Windya yang sudah datang saat perang
dimulai serta, Prabu Bogadenta yang juga datang menyusul dari Turilaya serta
semua yang hadir sepakat, bahwa perang segera berakhir dengan kemenangan
ditangan.
Setelah menghela nafas panjang, dengan sareh Sang Jahnawi Suta
menyahut
“Ngger Cucu Prabu, jangan merasa sudah tak ada lagi rintangan yang
harus dilalui. Walaupun banyak orang menganggap, kalau aku sebagai manusia
sakti tanpa tanding, tetapi ada pepatah mengatakan, diatas langit masih ada langit.
Jalan didepan kita masih panjang. Angger tahu, kekuatan Pandawa ada dipundak
kedua saudaramu yang juga musuhmu, Werkudara dan Arjuna. Bila angger sudah
dapat mengatasinya, barulah kekuatan Pandawa akan berkurang dengan nyata!!.”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
32 PANDAWA KURAWA
“Apalagi, dibelakang mereka ada berdiri Prabu Kresna, seorang
penjelmaan Wisnu yang sungguh waskita dalam memberikan pemecahan berbagai
masalah. Jadi tetaplah waspada!!”
Sidang malam itu menetapkan, mereka akan menggelar formasi perang
Garuda Nglayang di esok hari, barisan mengembang dengan kedua sayap dihuni
Prabu Salya di sayap kiri, Resi Bisma di sayap kanan. Harya Suman pada kepala
serta Pandita Durna yang sudah terbebas dari ancaman Resi Seta menjadi paruh
serangan.
Sementara pada anggota badan Garuda, terdapat Prabu Duryudana diapit
dan dilindungi oleh para raja telukan, dibelakangnya Harya Dursasana siap pada
daerah pertahanan untuk menghalau para prajurit musuh yang dapat diperkirakan
menyusup ke dalam.
Rencana telah ditetapkan ketika sidang berakhir. Malam itu Prabu
Duryudana tidur mendengkur dengan nyenyaknya, seiring dengan kepuasan hati
dan kenyangnya perut. Mimpi indahlah Prabu Duryudana bertemu istrinya yang
molek jelita, Dewi Banuwati, yang segera dipondongnya keatas tilam rum.
Malam bertambah larut, dalam malam tak ada yang dapat diceritakan
selain sinar rembulan yang tengah purnama menerangi jagat raya. Sinarnya yang
temaram mampu membuat hati manusia terpengaruh menjadi romantis, terkadang
bagi pribadi lain akan menyebabkan kelakuannya menjadi lebih beringas,
sebagian lain menjadi murung.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
33 PANDAWA KURAWA
Burung malam melenguh membuat suara giris bagi yang mendengar
dengan hati dan pikiran yang kalut dan ketakutan, namun bagi yang sedang
gembira, suara itu bagaikan nyanyian malam pengantar tidur. Sementara serigala
pemukim hutan sekeliling Tegal Kurukasetra menggonggong dengan suara pnjang
membuat bulu roma berdiri, gerombolan liar itu tengah mengendus, kapan kiranya
suasana menjadi aman bagi mereka untuk memulai pesta pora.
Kembali fajar menyapa, segenap para prajurit dari kedua belah pihak
kembali siaga dengan senjata ditangan. Jumlah barisan yang semakin menyusut
tidak menjadi alasan bagi mereka berkecil hati. Bahkan mereka bangga menjadi
prajurit linuwih yang mampu melewati hari-hari panjang dan sulit mengatasi
musuh hingga saat ini, ternyata nyawa mereka masih tetap mengait pada raga.
Bende beri bersuara mengungkung, bersambut seruling yang ditiup dengan
irama pembangkit semangat dan ditingkah suara tambur bertalu berdentam
menggetarkan dada, berirama senada detak jantung yang mulai terpacu.
Pada malam sebelumnya juga sudah digelar sidang di pesanggrahan
Randuwatangan atau Hupalawiya. Garuda Nglayang, gelar sebelumnya yang
ditiru oleh prajurit Astina masih tetap dipertahankan. Prabu Kresna yang sudah
paham dengan apa yang harus dilakukan setelah bertemu dengan Resi Bisma hari
kemarin, masih menyimpan Wara Srikandi dibarisan tengah, yang sewaktu waktu
dipanggil untuk mengatasi kroda sang Dewabrata.
Sedangkan Drestajumna, adik Wara Srikandi, menjadi senapati utama.
Drestajumna, putra Prabu Drupada, dengan tameng baja menyatu didada sejak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
34 PANDAWA KURAWA
lahir sebagai manusia yang dipuja dari kesaktian ayahnya, ditakdirkan menjadi
prajurit trengginas sesuai dengan perawakannya yang langsing sentosa.
Kembali hujan panah dari Resi Bisma bagai mengucur dari langit. Segera
Arjuna melindungi barisan dengan melepas panah pemunah. Bertemunya ribuan
anak panah diangkasa bagaikan gemeratak hujan deras menimpa hutan jati kering
diakhir musim kemarau panjang.
Bertemunya kedua barisan besar dengan formasi yang sama campuh satu
sama lain terdengar seperti bertemunya gelombang samudra menerpa tebing laut.
Gemuruh mengerikan.
Pedang kembali ketemu pedang atau pedang itu menerpa tameng.
Dentangnya memekakkan telinga dibarengi dengan berkeradap bunga api yang
semakin membakar semangat. Kembali teriakan kemenangan mengatasi lawan
bercampur teriakan kesakitan prajurit yang roboh sebagai pecundang.
Disisi lain, Werkudara dengan gada besar Rujakpolo yang tetap melekat di
genggaman tangannya yang kokoh, menyapu prajurit yang mencoba menghadang
gerakannya. Gemeretak tubuh patah dan remuk membuat giris prajurit kecil hati,
membuat gerakan Sang Bima makin masuk kedalam barisan Kurawa. Bantuan
dari Setyaki yang sama-sama mempertontonkan cara mengerikan dalam
membantai musuh dengan gada Wesikuning, membuat kalang kabut barisan sayap
itu. Tak terhitung banyaknya korban prajurit dan adik-adik Prabu Duryudana
seperti Durmuka, Citrawarman, Kanabayu, Jayawikatha, Subahu dan banyak lagi.
Bahkan kuda dan gajah tunggangan bergelimpangan. Juga kereta perang yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
35 PANDAWA KURAWA
remuk tersabet gada kedua satria yang mengamuk dengan kekuatan tenaga yang
menakjubkan.
Bubarlah sayap kiri yang dihuni pendamping Prabu Salya, seperti Resi
Krepa, Adipati Karna dan Kartamarma serta Jayadrata. Mereka terdesak ke sayap
kanan mengungsi dibelakang sayap seberang yang masih terlindung oleh Sang
Resi Bisma.
Waspada Sang Bisma dengan keadaan ini, kembali panah sakti neracabala
dikaitkan pada busurnya, mengalirlah ribuan anak panah yang menghalangi laju
serangan. Bahkan Bima dibidik dengan panah sakti Cucukdandang yang
mengakhiri krida Resi Seta sebagai senapati Pandawa.
Oleh kehendak dewata, Werkudara tidak terluka dengan hantaman panah
sakti itu tetapi rasa kesakitan hantaman anak panah itu menyebabkan mundurnya
serangan bergelombang yang sedari tadi sulit untuk ditahan.
Kali ini Sri Kresna tidak lagi menunda korban yang berjatuhan.
“Yayi Wara Srikandi, sekarang tiba saatnya bagimu untuk
menyumbangkan jasa bagi kemenangan Pandawa. Kemarilah sebentar!” Prabu
Kresna melambaikan tangannya kearah Wara Srikandi untuk berdiri lebih
mendekat.
Apa yang harus aku lakukan Kakang Prabu?!” Srikandi maju mendekat
dengan segenap pertanyaan bergulung dibenaknya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
36 PANDAWA KURAWA
“Sekarang sudah tiba waktu bagimu untuk mengantar Eyang Bisma
menuju peristirahatannya yang terakhir” Prabu Kresna mengawali penjelasannya.
“Apakah adikmu yang perempuan ini mampu mengatasi kesaktian Eyang Bisma .
. .?! Sedangkan prajurit lelaki dengan otot bebayu yang lebih sentosa tak mampu
untuk membuat kulit Eyang Bisma tergores sedikitpun..!”
“Nanti dulu, akan aku jelaskan masalahnya. . . . . !” Tersenyum Prabu
Kresna melihat kebimbangan dalam hati Wara Srikandi.
Sambungnya sambil memancing ingatan Wara Srikandi yang pernah
diceritakan oleh suaminya, Arjuna, “Mungkin yayi Srikandi sudah mendengan
cerita asmara tak sampai dari Dewi Amba ketika Eyang Bisma masih bernama
Dewabrata ?!”
Aku tahu, tapi apa hubungannya dengan adikmu ini?! Apakah aku yang
diharapkan dapat menjadi sarana bagi Dewi Amba untuk menjemput Eyang
Dewabrata?”
“Nah, ternyata otakmu masih encer seperti dulu !” Prabu Kresna masih
sambil tertawa mendengar jawaban dari madu adiknya, Subadra.
Tersipu Wara Srikandi dengan pujian yang dilontarkan oleh kakak
iparnya. Hatinya menjadi sumringah oleh harapan dapat mengatasi kesulitan yang
tengah dialami oleh keluarga suaminya, Arjuna.
Arjuna yang dari tadi ada juga didekatnya juga tersenyum lega. Segera
dipegang lengan istrinya dan mengajakanya dengan lembut “ Ayolah istriku,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
37 PANDAWA KURAWA
jangan lagi membuang waktu, kasihan para prajurit yang rusak binasa oleh
amukan Eyang Bisma.”
Segera Wara Srikandi digandeng Arjuna naik kereta perang.
Diceriterakan, arwah sang Dewi Amba yang masih menunggu saat untuk
menjemput kekasih hatinya, segera menyatu dalam panah Wara Srikandi,
Sarotama, pinjaman sang suami. Kegembiraan sang Amba teramat sangat. Cinta
Dewi Amba yang terhalang oleh hukum dunia, sebentar lagi sirna, berganti
dengan cinta abadi di alam kelanggengan.
Resi Bisma ketika melihat majunya Wara Srikandi ke medan pertempuran
tersenyum. Dalam hatinya mengatakan -“Inilah saatnya bagiku untuk bertemu
dengan cinta sejatiku Dewi Amba sekaligus mengakhiri do’a ibundaku”.
Memang benar kata hati Resi Bisma, bahwa Dewabrata waku itu
dimintakan kepada Dewa oleh Dewi Durgandini dapat menjadi orang yang
berumur panjang dan tidak mudah dikalahkan bila bertemu musuh, sebagai
pengganti atas pengorbanannya tidak mengusik keturunan ayahnya dengan Dewi
Durgandini.
Permintaan ini juga sudah dibuktikan ketika Dewabrata bertemu sang guru
sakti Rama Parasu. Ketika itu Dewabrata dicoba ilmu kesaktiannya oleh sang guru
sambil dengan diam-diam mengajarkan dan menurunkan ilmu kesaktian selama
berbulan-bulan tanpa henti.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
38 PANDAWA KURAWA
Seketika sang Jahnawisuta menarik nafas panjang sambil memejamkan
mata. Dalam benaknya bergulung-gulung peristiwa masa lalu bagiakan gambar-
gambar yang diputar ulang bingkai demi bingkai, menjadikannya seakan-akan
peristiwa perjalanan hidupnya itu baru saja terjadi.
Ketika membuka matanya kembali, didepan matanya Wara Srikandi
dengan senyum mengambang di bibirnya sudah dalam jarak ideal untuk melepas
anak panah. Berdebar gemuruh jantung Dewabrata ketika melihat wajah Srikandi
bagai senyum kekasih hatinya, Dewi amba. Tak pelak lagi, kekuatan sang
Dewabrata bagaikan dilolosi otot bebayu dalam raganya. Memang demikian,
ketika panah Sarutama yang tergenggam ditangan Srikandi, seketika perbawa
Dewi Amba seakan melekat pada raganya. Tiada salahlah pandangan Resi Bisma
saat ini.
Maka ketika panah sakti melesat dari busur dalam genggaman Dewi Wara
Srikandi, maka terpejamlah matanya, seakan pasrah tangannya digandeng oleh
Dewi Amba.
Titis bidikan Srikandi yang terkenal sebagai murid terkasih olah senjata
panah Sang Arjuna. Terkena dada Sang Resi panah Sarotama menembus
jantungnya, rebah seketika di tanah berdebu Padang Kurusetra.
Seketika itu juga perang berhenti tanpa diberi aba-aba. Prabu Duryudana
dan Prabu Puntadewa seketika berlari sambil mengajak adik adik mereka masing-
masing, menyongsong raga sang senapati yang rebah ditanah basah tergenang
merah darah yang membuncah.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
39 PANDAWA KURAWA
Kedua belah pihak seakan melupakan permusuhan sejenak, karena kedua
raja ini memangku bersama raga pepunden mereka.
“ Duryudana, Puntadewa, sudah cukup kiranya perjalanan hidupku ini.
Lega rasa dalam dada ketika kamu berdua datang pada saat bersamaan
menyongsong raga rapuh, melupakan segala permusuhan dan peperangan menjadi
terhenti. . . .”
Tersendat dan gemetar suara Resi Bisma kepada kedua cucu trah Barata.
“ Terimakasihku kepada kalian berdua yang telah datang menyongsong
aku dan mendukung ragaku ini. Perlakuanmu berdua adalah tanda bakti yang tak
terhingga kepadaku”. Sambil sesekai nafasnya tersengal ia melanjutkan, “Kalian
berdua ada pada jalanmu masing-masing, teruskanlah peperangan ini, untuk
membuktikan pendapat diri siapa yang benar dalam peristiwa ini”.
Terdiam kedua pihak dengan pikiran menggelayut pada benak masing
masing. Seakan tanpa sadar mereka berdua mendekap raga eyangnya dengan erat.
“Lepaskan sejenak ragaku ini ngger, eyang mau berbaring”. Akhirnya mereka
tersadar atas permintaan Resi Bisma kali ini.
“Dursasana, ambilkan bantal untuk eyangmu !!” Perintah Prabu
Duryudana gemetar.
Seketika Dursasana pergi dan kembali dengan bantal putih bersih
ditangannya. Yang diambil Dursasana sebuah bantal empuk dan bau wangian –
wangian.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
40 PANDAWA KURAWA
Kecewa Prabu Duryudana ketika Bisma berkata “Bukan itu ngger yang
aku mau . . . Aku menghendaki bantal layaknya seorang prajurit di medan
perang”.
Kali ini Werkudara yang juga berdiri disisi raga eyangnya segera
melompat tanpa diperintah. Ketika kembali ditangannya tergenggan beberapa
potong gada patah dan pecah. Disorongkan barang barang itu ke bawah kepala
sang resi.
Tersenyum Bisma merasa puas, “Nah beginilah seharusnya bantal seorang
prajurit . . . .!”
Melotot jengkel Prabu Duryudana kepada Werkudara dengan pandangan
kurang senang.
Nafas satu demi satu mengalir dari hidung sang Resi Bisma, sebenar
bentar wajahnya menyeringai menahan sakit didadanya. Darah yang masih
mengalir dari dadanya membuat cairan tubuhnya berkurang. Sekarang yang terasa
adalah haus yang tak tertahankan. Terpatah patah perintah Sang Resi kepada
cucu-cucunya, “Kerongkonganku kering, tolong aku diberi minum walau hanya
setetes”.
Melompat Prabu Duryudana tak hendak tertinggal langkah. Segera
kembali kehadapan sang Senapati sepuh yang sedang meregang nyawa,
dibawanya secawan anggur merah segar.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
41 PANDAWA KURAWA
“Eyang pasti akan hilang rasa hausnya kalau mau merasakan anggur
mewah kerajaan”. Bangga Prabu Duryudana bersujud dihadapan eyangnya hendak
meneteskan minuman.
Sekali lagi kekecewaan Duryudana terpancar dari wajahnya ketika Resi
Bisma kembali menolak pemberiannya.
Habis kesabaran dua kali ditolak pemberiannya, dengan sugal ia
memerintahkan kepada adik adiknya untuk meninggalkan raga sang resi dengan
suara lantang, “Dursasana, Kartamarma, Citraksa dan kalian semua!! Tinggalkan
orang tua yang sedang sekarat itu!! Tidak ada guna lagi kalian menunggu hingga
ajalnya tiba.! Ayo semua kembali ke pakuwon masing masing . . . !”
Prabu Kresna yang dari tadi juga berada di tempat kejadian, segera
membisikan sesuatu kepada Raden Arjuna, “Yayi, celupkan ujung anak panahmu
Pasupati ke wadah kecil berisi air minum kuda perang, berikan kepada Eyangmu”.
Tanpa sepatah kata bantahan, Arjuna mematuhi perintah kakak iparnya.
Dipersembahkan air minum itu kepada Resi Bisma yang tersenyum meneguk air
pemberian cucunya itu. Senyum untuk terakhir kali.
Kidung layu-layu berkumandang. Sementara itu, taburan bunga sorga para
bidadari dari langit, mengalir bagaikan banjaran sari wewangian, mengantar
kepergian satria pinandita sakti berhati bersih. Ia telah menjalani hidup dengan
cara brahmacari, tidak akan menyentuh perempuan, demi kebahagiaan ayah dan
ibunda tercintanya. Perjalanan hidup yang kontradiktif dengan jiwa yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
42 PANDAWA KURAWA
bersemayam dalam raga yang berumur panjang. Sekarang segalanya telah
berakhir dengan senyum.
Bergandeng tangan dengan kekasih yang sangat memujanya selama ini,
kekasih yang dengan sabar menanti kapan kiranya dapat bersatu tanpa halangan
dari hukum dunia yang selama ini mengungkung mereka berdua, Dewi Amba dan
Raden Dewabrata, hingga mereka berdua tak mampu bersatu didunia. Sekaranglah
saat bahagia itu menjelang.
Barata
MAJUNYA SANG PROFESOR
Bagai tersaput kabut suasana dalam sasana Bulupitu. Gelap pekat dalam
pandangan Prabu Duryudana. Kesedihan yang teramat dalam dibarengi dengan
kekhawatiran akan langkahnya kedepan setelah gugurnya Resi Bisma, membuat
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
43 PANDAWA KURAWA
Duryudana duduk tanpa berkata sepatahpun. Sebentar sebentar mengelus dada,
sebentar sebentar memukul pahanya sendiri. Sebentar kemudian mengusap usap
keningnya yang berkerut. Hawa sore yang sejuk menjelang malam, tak
menghalangi keluarnya keringat dingin yang deras mengucur dan sesekali
disekanya, namun tetap tak hendak kering. Dalam hatinya sangat masgul, malah
lebih jauh lagi, ia memaki maki dewa didalam hati, kenapa mereka tidak berbuat
adil terhadapnya.
Tak sabar orang sekelilingnya dalam diam, salah satunya adalah Prabu
Salya. Dengan sabar ia menyapa menantunya.
“Ngger, apa jadinya bila pucuk pimpinan terlihat patah semangat, bila itu
yang terjadi, maka prajuritmu akan terpengaruh menjadi rapuh sehingga gampang
rubuh bila terserang musuh”.
Terdiam sejenak Prabu Salya mengamati air muka menantunya. Ketika
dilihat tak ada perubahan, kembali ia melanjutkan,
“Jangan lagi memikirkan apa yang sudah terjadi. Memang benar,
kehilangan senapati sakti semacam Resi Bisma, eyangmu itu, tak mudah untuk
digantikan oleh siapapun. Namun tidakkah angger melihat, aku masih berdiri
disini. Lihat, raja sekutu murid-murid Pandita Durna, yang disana ada Gardapati
raja besar dari Kasapta. Disebelah sana lagi ada Prabu Wersaya dari Negara
Windya, sedangkan disana berdiri Raja sentosa bebahunya, Prabu Bogadenta dari
Negara Turilaya, Prabu Hastaketu dari Kamboja, Prabu Wrahatbala dari Kusala,
disebelah sana ada lagi Kertipeya, Mahameya, Satrujaya, Swarcas *) dan tak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
44 PANDAWA KURAWA
terhitung raja raja serba mumpuni olah perang lainnya yang aku tidak dapat
disebu satu persatu.
Para manusia sakti mandraguna masih berdiri disekelilingmu. Belum lagi
gurumu Pandita Durna masih berdiri dengan segudang kesaktian dan perbawanya.
Ada kakakmu Narpati Basukarna. Dan jangan remehkan juga pamanmu Sangkuni,
manusia dengan ilmu kebalnya. Masih kurangkah mereka menjadi
penunjang berdirinya kekuatan Astina?”
Sekali lagi Prabu Salya mengamati wajah menantunya yang sebentar air
mukanya berubah cerah, mengikuti gerakan tangan mertuanya menunjuk para raja
dan parampara yang ada di balairung.
Sejenak kemudian, pikiran dan hati Prabu Duryudana mencair, tergambar
dari air mukanya yang menjadi cerah.
Tak lama kemudian, sabda Prabu Duryudana terdengar “ Rama Prabu
Mandaraka, Bapa Pandita Durna, Kakang Narpati Basukarna dan para sidang
semua, terliput mendung tebal seluruh jagatku, tatkala gugurnya Eyang Bisma,
seakan akan patah semua harapan yang sudah melambung tinggi, tiba-tiba
tebanting di batu karang, remuk redam musnah segalanya”.
Sejenak Prabu Duryudana terdiam. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia
melanjutkan “Namun setelah Rama Prabu Salya membuka mata saya, bahwa
ternyata disekelilingku masih banyak agul agul sakti, terasa terang pikirku, terasa
lapang dadaku!. Terimakasih Rama Prabu, paduka telah kembali membangkitkan
semangat anakmu ini”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
45 PANDAWA KURAWA
“Ngger anak Prabu, sekarang anak Prabu tinggal memilih, siapakah
gerangan yang hendak diwisuda untuk menjadi senapati selanjutnya. Silakan
tinggal menunjuk saja. Ssemua sudah menanti titah paduka, angger Prabu”.
Pandita Druna memancing dan mencadang tandang dan mengharap menjadi
senapati pengganti.
“Baiklah, besok hari, mohon perkenannya Paman Pandita Durna untuk
menyumbangkan segala kemampuan gelar perang, mengatur strategi bagaimana
agar secepatnya para Pandawa tumpas tanpa sisa”
Gembira Pandita Durna terlihat dari wajahnya yang berseri seri. “Inilah
yang aku harap siang dan malam, agar menjadi pengatur strategi yang nyatanya
sudah aku mengamati dari hari kehari, apa yang seharusnya aku lakukan untuk
kejayaan keluarga Kurawa”.
“Sukurlah kalau demikan, ternyata tak salah aku memilih Paman Pandita
yang sudah mengamati bagaimana cara menumpas musuh. Perkenankan Paman
Pandita membuka gelar strategi itu”. Kali ini senyum Prabu Duryudana makin
lebar.
“Begini ngger, seperti yang sudah pernah diutarakan oleh Resi Bisma,
kekuatan Pendawa itu sebenarnya ada pada Werkudara dan Arjuna. Nah, sekarang
mereka menggelar perang dengan formasi Garuda Nglayang, dengan sayap kiri
ditempati oleh Werkudara, sedangkan di sayap kanan ada di pundak Arjuna”.
“Bila kedua sayap itu dibiarkan utuh, maka kita akan keteteran
menghadapi serangan kedua orang itu. Cara satu satunya adalah bagaimana kita
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
46 PANDAWA KURAWA
melepas tulang sayap itu sehingga kekuatannya akan menjadi hilang. Satu hari
saja mereka dipisahkan dari barisan, segalanya akan berjalan mulus untuk
kemenangan kita”. Sejenak Pandita Durna menghentikan beberan strategi.
Matanya mengawasi para yang hadir didalam balairung. Setelah yakin bahwa
semua penjelasan awal dimengerti, terlihat dari anggukan hadirin, Durna
meneruskan.
“Sekarang bagaimana caranya?” Kembali ia berhenti. Matanya kembali
menyapu satu demi satu hadirin dengan percaya diri sangat tinggi. Lanjutnya
“Nak angger, untuk memuluskan langkah kita melolosi kekuatan Pandawa satu
demi satu, besok hari akan digelar barisan dengan tata gelar Cakrabyuha. Gelar ini
diawaki ruji-ruji terdiri dari Prabu Salya, Nak Mas Adipati Karna, Adipati
Jayadrata, Yayi Resi Krepa , Kartamarma, Prabu Bogadenta, Dursasana ,
Aswatama, Prabu Haswaketu, Kertipeya serta Wrahatbala. Semuanya
membentuk lingkaran, sedangkan dalam poros adalah anak Prabu Duryudana”.
Merasa tidak disebut, Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya berbareng
mengajukan pertanyaan, “Adakah kekurangan kami sehingga kami tedak
dipercaya terlibat dalam susunan gelar?”
Terkekeh tawa Pandita Durna mengamati mimik muka ketidak puasan
yang terpancar dari kedua Raja Seberang ini.”Jangan khawatir, justru kamu
berdua akan aku beri peran yang cukup besar untuk gelar strategi perang esok hari
!” Sambungnya sambil memainkan tasbih yang selalu melekat ditangannya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
47 PANDAWA KURAWA
Wajah wajah yang tadinya menampakkan rasa kecewa, wajah Prabu
Gardapati dan Prabu Wersaya kembali sumringah “Apakah peran kami berdua ?
Sebesar apa sumbangan yang bisa kami berikan agar jasa kami selalu dikenang
dibenak saudara-saudara kami Kurawa?” Tak sabar Gardapati mengajukan
pertanyaan.
“Naaa . . . Begini Gardapati, Wersaya, besok secara pelan dan pasti,
pancing kedua sayap kanan dan kiri Werkudara dan Janaka untuk mejauh dari
barisan utama dan ajaklah mereka bertempur hingga ke pinggir hutan pinggir
pantai. Anak Prabu Gardapati dan Wersaya, segera tancapkan senjata saktimu
ketanah berpasir, bukankah senjata pusakamu dapat membuat pasir menjadi
hidup dan berlumpur, mereka terperosok masuk dalam perangkap pasir itu.
Semakin kuat mereka bergerak, pasir hidup itu akan menarik mereka kedalam.
Pasti keduanya akan segera tewas”.
Sementara itu di Pesanggrahan Randuwatangan, Prabu Matswapati, Prabu
Puntadewa dan Prabu Kresna serta segenap para prajurit utama juga mengadakan
pertemuan membahas langkah yang dituju untuk mencapai posisi unggul di esok
hari.
Namun sebelumnya, mereka mengadakan upacara pembakaran jasad Resi
Bisma secara sederhana, namun dilimputi dengan suasana tintrim dan khidmad.
Walau sejatinya Resi Bisma adalah senapati lawan, namun kecintaan para
Pandawa terhadap leluhurnya taklah menjadi sekat terhadap rasa bakti mereka.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
48 PANDAWA KURAWA
Prabu Punta yang duduk berdiam diri dengan rasa sedih atas kematian
Resi Bisma, tak juga memulai sidang. Namun Prabu Kresna segera memecah
kesunyian, menyapa Prabu Punta. Tetapi yang terlontar dari jawaban Prabu
Puntadewa, adalah penyesalan diri. Mengapa perang terjadi sehingga
menyebabkan tewasnya Resi Bisma.
Kembali Kresna menasihati adik-adiknya. Semua diuraikan lagi, mengapa
perang ini harus berlangsung dan intisarinya perang Baratayuda sesungguhnya
apa.
Cair kebekuan hati Prabu Punta, segera inti pembicaraan sidang
ditanyakan kepada Prabu Puntadewa.“Yayi Prabu, sidang sudah menanti titah
paduka untuk langkah yang akan kita arahkan besok hari. Adakah yang perlu yayi
sampaikan dalam sidang ini ?”
“Terimakasih kakang Prabu yang selama ini sudah membimbing kami
semua, pepatah mengatakan kakang Prabu dan kita semua, sudah terlanjur basah,
alangkah lebih baik kita mencebur sekalian” Prabu Puntadewa sejenak terdiam.
Dalam pikirannya masih diliputi dengan peristiwa yang sore tadi berlangsung.
Selain itu dalam hal strategi, siapa yang tak kenal dengan Raja Dwarawati yang
diketahui memiliki ide-ide cemerlang. Maka tidak ragu lagi Prabu Punta
melanjutkan. ”Selanjutnya, segala pengaturan langkah, silakan kakang Batara
untuk mengatur langkah kita dibawah perintah paduka “.
“Dhuh yayi, kehormatan yang diberikan kepadaku akan aku junjung
tinggi, segala kepercayaan akan kami jalankan demi kejayaan kebenaran”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
49 PANDAWA KURAWA
Senapati yang kemarin belum akan diganti, masih ada ditangan Adimas
Drestajumna. Kemarilah lebih mendekat, yayi Drestajumna, Paparkan semua
strategi gelar yang akan dimas terapkan besok hari”. Prabu Kresna mulai
mengatur kekuatan langkah.
Segera Drestajumna maju menghaturkan sembahnya “Kanda Prabu, segala
tata gelar yang kemarin dijalankan, ternyata ampuh untuk mengusir dan mendesak
majunya prajurit Kurawa. Dari itu kanda, besok, gelar itu masih saya
pertahankan”
“Bagus! Kali ini berhati-hatilah, mereka masih punya banyak orang sakti”.
Prabu Kresna mengingatkan.
Dengan tegas Drestajumna melanjutkan “Saya harap, semua para satria
yang ada pada posisi penting, jangan sampai keluar dari tata baris yang
digariskan. Hal ini penting agar kekuatan kita merata sehingga sentosa menghalau
serangan musuh.
Demikianlah. Cakrabyuha dan Garuda Nglayang berbenturan pagi itu,
selagi matahari masih belum menuntaskan basahnya embun. Ringkik kuda dan
sorak prajurit yang bertenaga segar di pagi itu memicu semangat tempur semua
lasykar yang sudah berhari-hari terperas keringatnya. Kali ini, para generasi muda
mulai menampakkan kematangannya setelah pengalaman hari hari kemarin.
Pancawala anak Prabu Puntadewa mengamuk disekitar Raden Drestajumna.
Tandangnya trampil memainkan senjata membuat banyak korban dari
Pihak Kurawa semakin banyak berguguran. Sementara tak kalah pada sayap
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
50 PANDAWA KURAWA
seberang, krida pemuda bernama Sanga-sanga, putra Arya Setyaki, bersenjata
gada, juga mengamuk membuat giris lawan. Gerakan dan perawakannya yang
bagai pinang dibelah dua dengan sang ayah, hanya beda kerut wajah membuat
banyak lawan tertipu. Kedua orang ini sepertinya nampak ada dimana-mana.
Tak hanya itu, dibagian lain terlihat dua satria yang kurang lebih sama
bentuk perawakan dan kesaktiannya, Raden Gatutkaca dan Raden Sasikirana,
kedua orang bapak anak tak mudah dibedakan caranya berperang membuatnya
terperangah prajurit lawan. Tak kurang ratusan prajurit Astina tewas ditangan
keduanya termasuk patih dari Negara Windya dan Giripura.
Sementara di sayap gelar garuda nglayang, Werkudara segera dihadang
oleh Gardapati. Setelah bertempur sekian lama, kelihatan bahwa Gardapati
bukanlah tanding bagi Bimasena. Khawatir segera dapat dibekuk, Gardapati
segera bersiasat sesuai yang dipesankan oleh Pandita Durna “Werkudara!
Ternyata perang ditempat ramai seperti ini membuat aku kagok. Ayoh kita
mencari tempat sepi, agar kita tahu siapa sesungguhnya yang memang benar benar
sakti. Kejar aku..!!”
Lupa pesan panglima perang, Werkudara menyangupi “Ayo. .! Apa
maumu akan aku layani. Dimanapun arenanya, aku akan hadapi kamu”.
Gembira Gardapati sambil terus bercuap sesumbar, memancing langkah
lawannya menuju ketempat yang ditujunya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
51 PANDAWA KURAWA
Disisi sayap lain Wersaya menjadi lawan tanding Arjuna. Sama halnya
dengan Gardapati, Wersaya mengajak Janaka pergi menyingkir menjauh dari
arena di Kurusetra.
Diceritakan, sepeninggal kedua pilar kanan kiri barisan, angin kekuatan
berhembus di pihak Kurawa. Semangat yang tadinya kendor oleh amukan para
satria muda Pendawa, kembali berkobar. Tak sampai setengah hari, Garuda
nglayang dibuat kucar-kacir oleh barisan Cakrabyuha Kurawa. Kali ini banyak
prajurit Hupalawiya yang menjadi korban amukan dari sekutu Kurawa.
Haswaketu, Wrahatbala dengan leluasa mengobrak abrik pertahanan lawan.
Dursasana dan Kartamarma serta Jayadrata demikian juga. Ketiganya segera
merangsek maju hingga mendekati pesanggrahan para Pandawa. “Maju terus, kita
sudah hampir mendekati pesanggrahan Randuwatangan” teriak prajurit Kurawa.
Disisi lain, teriakan dari dalam barisan membahana memecah langit
“Bakar pesanggrahan Randu watangan kita akan terus melaju”. Tanpa adanya
kedua kekuatan di kedua sayap, Garuda nglayang bagaikan garuda lumpuh.
Keadaan barisan Randuwatangan makin kacau, mereka berlarian salang
tunjang tanpa ada yang dapat mengatur ulang barisan yang makin terpecah belah.
Murka sang Drestajumna melihat barisannya terdesak hebat. Segera dicari
tahu sebabnya. Dipacu kereta perangnya melihat apa yang terjadi. Begitu sudah
ketemu sebab musababnya, segera ia memacu kembali kereta kearah Prabu
Kresna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
52 PANDAWA KURAWA
“Duh kakang Prabu, lebih baik saya melepas gelar senapati. Akan aku
lepas kalungan bunga tanda senapati ini bila kejadiannya seperti ini”. Ucap
Drestajumna memelas.
“Bila saya sudah tidak dianggap lagi, perintah saya kepada kakang Arjuna
dan Werkudara dianggap bagai angin lalu, saya sudahi saja peran saya sampai
disini” sambungnya sambil bersiap melepas kalungan bunga tanda peran senapati.
“Lho . . ! Nanti dulu. Ada rembuk kita rembuk bersama”. Kresna tetap
tersenyum tanpa terpengaruh kisruh yang menimpa prajurit Randuwatangan atau
Mandalayuda, meredakan kisruh hati Raden Drestajumna.
Katanya lagi “Tidaklah pantas bagi satria sakti semacam Drestajumna,
satria pujan yang terjadi dari api suci yang ketika ayahmu Prabu Drupada
bersemadi meminta seorang putra sakti mandraguna. Karana yang lahir terdahulu
adalah selalu anak perempuan” sejenak Prabu Kresna berhenti, menelan ludah
“Tidaklah pantas seorang yang telahir sudah bertameng baja didada dan
punggungnya menggendong anak panah, melepas tanggung jawab yang sudah
diberikan”.
Tersadar Sang Senapati dengan apa yang sudah terjadi “ Aduh kakang
Prabu, seribu salah yang telah aku perbuat, kiranya kakang Prabu dapat memberi
pintu maaf seluas samudra. Apakah yang harus aku perbuat untuk memulihkan
kekuatan, kakangmas”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
53 PANDAWA KURAWA
“Baiklah. . ! Bila satu rencana gagal, tentu rencana cadangan harus kita
terapkan. Kita panggil satria lain sebagai pilar pengganti dan kita ubah gelar yang
sesuai dengan keadaan saat ini”. Kresna membuka nalar Drestajumna.
Siapakah menurut kakanda yang pantas untuk keadaan seperti saat ini?”
Sambar Drestajumna.
“Tak ada lain, keponakanmu, anak Arjuna, Abimanyu. Segera kirim
utusan untuk menjemput dia” Sri Kresna memberi putusan. Maka berangkatlah
sang Gatotkaca ke Plangkawati.
Syahdan. Ksatrian Plangkawati, Raden Abimanyu atau Angkawijaya
sedang duduk bertiga. Ketika itu ia diminta pulang ke Plangkawati terlebih dulu
menunggui kandungan Retna Utari yang sedang menjelang kelahiran putranya.
Disamping kiri kanannya duduk putri Sri Kresna, Dewi Siti Sundari. Sedang disisi
lain Dewi Utari yang tengah mengandung tua. Kedua tangan Dewi Siti Sundari
dan Dewi Utari tak hendak lepas dari tangan sang suami.
“Mimpiku semalam sungguh tidak enak kakangmas, siang ini jantungku
merasa berdebar tak teratur. Gelisah kala duduk, berdiri berasa lemas kaki ini.
Apa gerangan yang akan terjadi” demikian keluh Utari kepada suaminya.
“Utari, jangan dirasa rasa. Mungkin itu bawaan dari anakmu didalam
kandungan. Aku sendiri tidak merasai apapun” hibur Abimanyu.
Siti Sundari juga tak juga diam, pegangan tangannya semakin erat
menggelendoti suami tercintanya. “Akupun begitu, malah dari kemarin, banyak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
54 PANDAWA KURAWA
perabot yang aku pegang, terlepas pecah. Aku punya firasat buruk kakang”.
Semakin menggelayut pegangan Siti Sundari.
“Aku tidak mengandung seperti keadaan eyang Utari, apakah ini tanda
tanda aku juga mau hamil kakang”.Tambah Siti Sundari yang menyebut madunya
masih dengan garis keturunan, eyang.
“Mudah mudahan dewata menjadikan ucapanmu menjadi nyata” hibur
Abimanyu sambil tersenyum kearah Siti Sundari. Senyum itulah yang membuat
anak dari Prabu Kresna itu, rela menerjang tata susila, ketika kunjungan
Abimanyu ke Dwarawati selalu diajaknya Abimanyu kedalam keputren, hingga
mereka segera dikawinkan.
Terpotong pembicaraan suami dengan kedua istrinya, ketika Raden
Gatutkaca sampai dengan cepat, setelah diberi perintah oleh Sang Senapati.
Dengan terbang di angkasa, tanpa membuang waktu sampailah ia di Plangkawati.
“Adimas, mohon maaf atas kelancanganku mengganggu kemesraan kalian
bertiga. Sesungguhnya kedatanganku, adalah sebagai utusan dari para sesepuh
yang sedang dalam kesulitan di arena peprangan. Dimas diminta sumbangan
tenaganya untuk bergabung dengan kami di Kurusetra”.
Gatutkaca mencoba mengawali pembicaraan. Dalam hatinya ia sangat
tidak enak karena mengganggu kemesraan mereka, karena kedua istri adiknya
dilihatnya tengah menggelayut dipundak sang adik.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
55 PANDAWA KURAWA
Kaget seketika para istri Abimanyu. Seketika itu juga, pecahlah tangis
mereka.
Namun lain halnya dengan Abimanyu sendiri. Tersenyum sang
Angkawijaya. Wajahnya cerah bagai kanak-kanak mendapat mainan baru.
“Sudahlah Utari, Siti Sundari istriku, tak ada yang perlu kamu berdua khawatirkan
atas keselamatanmu, aku akan menjaga diriku baik-baik”.
Seribu ucapan Abimanyu menjelaskan arti dari tugas negara disampaikan
kepada istrimya, namun tangis keduanya malah be tambah tambah. Semakin erat
kedua istri Angkawijaya memegangi lengan suaminya. Ketika Angkawijaya
berdiri hendak pergi, keduanya masih juga memegangi erat selendang sang suami.
Tanpa ragu, diirisnya selendang hingga keduanya terlepas. Dengan cepat ia
berjalan memanggil Raden Sumitra, saudara seayah. Sesampai Angkawijaya ke
istal, kandang kuda, diajaknya serta saudaranya itu.
Sekelabatan lenyaplah kuda sang Angkawijaya yang bernama bernama
Kyai Pramugari yang berlari kencang, diiringi tangis kedua.
Barata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
56 PANDAWA KURAWA
GUGURNYA CALON RAJA MUDA HASTINA
Sementara itu, ketika Harya Werkudara dan Raden Arjuna yang dipancing
jauh keluar arena oleh Prabu Gardapati dan Wersaya, telah lupa akan pesan dari
senapati pengatur perang, Drestajumna.
Mereka punya pertimbangan bahwa tidak sepantasnya seorang kesatria
menghindar dari tantangan musuh.
Maka ketika mereka sudah terlepas dari induk peperangan, tak ada lagi
perasaan bahwa mereka telah masuk dalam perangkap licik lawan.
Tanding antara mereka dalam dua kelompok terjadi dengan sengit. Tetapi
sebetulnya tidaklah berat bagi kedua satria Pendawa ini untuk mengakhiri tanding
itu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
57 PANDAWA KURAWA
Tepat ketika matahari diatas kepala, dikenakai senjata sakti Gardapati dan
Wersaya tanah yang diinjak kedua satria Pandawa dengan cepat amblas berubah
menjadi pasir lumpur yang menyedot tubuh Arjuna dan Werkudara. Semakin
mereka melawan tenaga sedot pasir lumpur, makin mereka tenggelam.
Gardapati terbahak menyaksikan lawannya terperangkap dalam pasir
lumpur yang bagaikan hidup, menyeret tubuh didalamnya semakin dalam.
“Kalian berdua, berdoalah kepada dewa, pamitlah kepada saudara
saudaramu, bicaralah kepada ayahmu Pandu, bahwa hari ini kalian akan menyusul
ayahmu ke Candradimuka menggantikannya jadi kerak neraka itu”.
Sementara Abimanyu yang mendengarkan ayah dalam keadaan bahaya
segera maju ke palagan untuk menolongnya. Maka ia segera berangkat menemui
Uwak atau mertua menanyakan bagaimana selanjutnya...?”.
Nggemprang Kuda Pramugari bagai lari kijang dengan meninggalkan
debu mengepul diudara. Gerak lajunya bagai tak menapak tanah. Tak lama
Abimanyu sudah ada dihadapan Prabu Kresna dan Raden Trustajumna.
“Anakku yang bagus, sudah datang kiranya disini. Aku minta tenagamu
kali ini, ngger !” Sapa Prabu Kresna. Hatinya bergolak antara rasa tak tega kepada
sang menantu menyongsong kematian atau membiarkannya maju memperbaiki
formasi baris. Tetapi isi kitab jalan certita Baratayuda, Jitapsara di dalam
ingatannya, membawanya mengatur laku apa yang seharusnya terjadi. Isi kitab itu
lebih berpengaruh dalam benaknya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
58 PANDAWA KURAWA
Bersembah Abimanyu kehadapan ayah mertua, juga uwaknya,
“ Sembah bektiku saya berikan keharibaan uwa prabu. Bahagia rasanya
dapat terlibat dalam perkara yang sedang menggayuti para orang tua orang tua
kami”
“Baiklah, karena rusaknya barisan Hupalawiya sudah sangat parah,
sekaranglah saatnya bagimu anakku, untuk membereskan kembali barisan dan
gantilah dengan tata gelar baru”. Perintah sang uwa
“Uwa prabu, saya minta gelar apapun yang hendak dibangun, perkenankan
saya untuk ditempatkan pada garda depan”. Pinta Abimanyu.
“Yayi Drestajumna, apa gelar yang hendak kamu bangun?” Kembali Prabu
Kresna menegaskan kepada Raden Drestajumna.
“Kiranya yang cocok dengan keadaan saat ini adalah Supit Urang, atas
permintaan anakmas Abimanyu, kami tempatkan kamu dalam posisi sungut !”.
Demikian putusan Sang Senapati.
Segera, dengan sandi, dikumandangkan, para prajurit yang sudah kocar
kacir perlahan lahan membentuk diri lagi. Drestajumna menempati capit kiri
sedangkan Gatutkaca ada pada sisi capit kanan. Arya Setyaki ada pada bagian
kepala, sedangkan pada ekor adalah Wara Srikandi.
Perlahan namun pasti, barisan Pandawa Mandalayuda dapat kembali solid.
Demikian besar pengaruh kedatangan Abimanyu dalam membuat tegak kepala
para prajurit Randuwatangan. Amukan Abimanyu diatas punggung kuda
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
59 PANDAWA KURAWA
Pramugari, bagaikan banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu yang bagai
mengerti segenap kemauan penunggangnya, berkelebat mengatasi musuh yang
mengurung. Gerakannya gesit bagai sambaran burung sikatan. Olah panah yang
dimiliki penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, dan keris
Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tak lama membawa puluhan
korban. Tak kurang beberapa orang Kurawa seperti Citraksi, Citradirgantara,
Yutayuta, Darmayuda, Durgapati, Surasudirga dan banyak lagi, telah tewas.
Bahkan Arya Dursasana yang hendak meringkus terkena panah Abimanyu.
Walaupun tidak tedas, namun kerasnya pukulan anak panah menjadikannya ia
muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.
Haswaketu yang mencoba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas
tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang ayah, Arjuna. Raungan kesakitan
berkumandang dari mulut Haswaketu membuat jeri kawannya, Prabu Wrahatbala
dari Kusala.
Namun, malu Wrahatbala, bila diketahui perasaanya oleh kawan maupun
lawan, ia terus maju mendekati Abimanyu. Sekarang keduanya telah berhadapan.
Gerakan Wrahatbala gagap, kalah wibawa dengan Abimanyu yang masih sangat
muda, tetapi dengan gagah berani telah mampu memulihkan kekuatan barisan dan
bahkan telah menewaskan ratusan prajurit dalam waktu singkat. Oleh rasa yang
sudah kadung rendah diri, gerakannya menjadi serba canggung. Tak lama ia
menyusul temannya dari Kamboja terkena oleh pusaka yang sama. Tersambar
Kyai Pulanggeni, raga Wrahatbala roboh tertelungkup diatas kudanya dan tak
lama jatuh bergelimpang ke tanah.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
60 PANDAWA KURAWA
Namun bukan dari pihak Bulupitu saja yang tewas, ketika Bambang
Sumitra yang maju bersama Abimanyu dengan amukannya, terlihat oleh Adipati
Karna. Niat Adipati Karna sebenarnya hanya mengusir anak Arjuna agar tidak
maju terlalu ketengah dalam pertempuran. Perasaan seorang paman terhadap
keponakannya kadang masih menggelayuti hatinya. Teriakannya untuk mengusir
keponakannya tak dihiraukan, maka lepas anak panah menuju ke kedua satria
anak Arjuna. Abimanyu luput namun Sumitra terkena didadanya. Gugurlah salah
satu lagi putra Arjuna.
Dibagian lain juga terjadi hal yang sama, Bambang Wilugangga terkena
panah Prabu Salya rebah menjadi kusuma negara.
Sementara itu, para raja seberang, ketika melihat dua raja telah tewas
dalam waktu singkat menjadi jeri. Mahameya mendekati salah satu temannya
Swarcas, membisikkan strategi bagaimana cara menjatuhkan Abimanyu.
Ditetapkan kemudian mereka berempat, Mahameya, Swarcas, Satrujaya dan
Suryabasa akan maju bersama mengeroyok Abimanyu. Tak peduli hal itu
tindakan ksatria atau tidak, yang penting mereka dapat menghabisi tenaga baru
yang berhasil memukul balik kekuatan baris para Kurawa.
Namun bukan Abimanyu bila tidak mampu mengatasi serangan empat raja
sakti dari berbagai penjuru. Licin bagai belut, Abimanyu menghindari serangan
bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya. Bahkan sesekali
Abimanyu dapat mengenai pertahanan mereka satu persatu. Makin gemas ke
empat lawannya yang malah bagai dipedayai.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
61 PANDAWA KURAWA
Kelihatanlah kekuatan masing masing pihak, tak lama kemudian.
Ketika pedang Mahameya terpental karena lengannya terpukul Abimanyu,
sebab dari rasa kesemutan yang hebat memaksa ia melepaskan pedangnya. Pada
saat itulah Kyai Pulanggeni menusuk lambungnya. Kembali satu lawan roboh dari
atas punggung kudanya. Tiga lawan tersisa menjadi ciut nyalinya.
Gerakannyapun menjadi semakin tidak terarah, satu persatu lawan
Abimanyu dapat diatasi. Kali ini Swarcas menjadi korban selanjutnya.
Gerak kordinasi antar ketiga lawan tidak lagi serempak menjadikan
mereka saling serang. Swarcas terkena tombak dari Satrujaya. Meraung kesakitan
Swarcas, jatuh terguling tak bangun lagi.
Satrujaya dan Suryabasa gemetaran, mereka tak percaya dengan apa yang
barusan sudah terjadi.
“Hayuh, majulah kalian berdua, pandanglah bapa angkasa diatasmu, dan
menunduklah ke ibu pertiwi, saatnya aku antarkan kamu berdua ke Yamaniloka
!”. Kata kata Abimanyu hampir saja tak terdengar oleh mereka, karena kerasnya
dentam detak jantung kedua raja seberang yang semakin tak dapat menguasai
dirinya lagi.
Dengan sisa keberaniannya keduanya sudah kembali menyerang lawannya
dari kedua arah. Gerakannya yang semakin liar tak terkendali, tanda keputus-
asaan, membuat Abimanyu dengan mudah membulan-bulani mereka berdua.
Tanpa membuang waktu lagi, disudahi pertempuran keroyokan itu dengan sekali
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
62 PANDAWA KURAWA
ayunan Kyai Pulanggeni. Jerit ngeri keduanya mau tak mau membuat hampir
semua mata mengarahkan pandangannya kearah kejadian.
Pandita Durna sangat kagum dengan kroda prajurit muda belia itu. Dalam
hatinya ia mengatakan,
“Weleh . . . . ,tidak anak, tidak bapak.! Keduanya ternyata sama saktinya.
Kalau hal seperti ini dibiarkan, tak urung binasalah barisan prajurit Kurawa. . !”.
Segera dipanggilnya Sangkuni dan Adipati Karna serta Jayadrata. Setelah mereka
menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya,
“Adi Sangkuni, nak angger Adipati serta Jayadrata, bila dengan cara okol
kita tidak dapat mengatasi amukan Abimanyu, maka kita harus menggunakan
kekuatan akal kita. Setuju Adi Sengkuni ?”
“Eee. . . Kakang Durna, kalau masalah itu jangan lagi ditanyakan ke saya.
Pasti setuju!” Sangkuni mengamini.
“Terus anak Angger Adipati, kali ini tak ada jalan lain. Bila hal ini diterus
teruskan, maka akan kalah kita . Minta pendapatnya nak angger Adipati! ”.
Seakan Durna minta pertimbangan, padahal didalam otaknya sudah tersimpan
rencana licik bagaimana cara mengatasi keadaan yang sudah mengkawatirkan itu.
“Terserahlah paman pendita, kali ini aku menurut kemauanmu ! ”. Jawab
Narpati Basukarna sekenanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
63 PANDAWA KURAWA
“Nah begitulah seharusnya. Kali ini aku meminta jasamu nak angger
Adipati. Anak angger yang aku pilih karena memang seharusnya anak anggerlah
yang dapat mengatasi masalah ini”. Durna mulai membuka strategi.
“Baik Paman Pendita, apa yang harus aku lakukan?” Berat hati Karna
menyahut.
“Begini, Adi Sengkuni, segeralah naikkan bendera putih tanda menyerah.
Kemudian Anak Angger Adipati segera mendekati Abimanyu. Rangkul dan
rayulah. Katakan kehebatannya dan pujilah ia. Selanjutnya Jayadrata, panahlah
Abimanyu dari belakang. Bila sudah terkena satu panah, tidak lama lagi pasti akan
gampang langkah kita”. Pandita Durna menjelaskan strateginya.
“Baiklah Paman Pendita, mari kita bagi bagi peran masing masing”.
Adipati Awangga itu segera melangkah menjalankan strategi yang telah
dirancang.
Demikianlah. Maka akal culas Pendita Durna mulai dilakukan. Kibaran
bendera putih Patih Harya Suman membuat hingar bingar peperangan perlahan
terhenti. Dalam hati para prajurit tempur saling bertanya, kenapa perang
dihentikan? Sementara orang mengerti, bila perang terus berlanjut, maka
kebinasaan pihak Kurawa tinggal menunggu waktu.
Kali ini giliran Adipati Karna mengambil peran, didekatinya Abimanyu:
“Berhentilah anakku bagus . .!, Kemarilah. Sungguh hebat anakku yang
masih remaja sudah dapat membuat takluk barisan Kurawa. Uwakmu sungguh
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
64 PANDAWA KURAWA
ikut bangga dengan apa yang kamu perbuat . . . ” Setelah mendekat, dipeluknya
Abimanyu dengan hangat, layaknya seorang paman terhadap keponakan yang
telah berhasil berbuat hal yang menakjubkan.
“Apakah sungguh begitu uwa Narpati . ! Bila memang barisan uwa sudah
takluk, dan memang demikian adanya, segera eyang Durna dibawa kemari,
layaknya seorang senapati takluk terhadap lawan”. Bangga Abimanyu.
Kebanggaan itu ternyata tidak berlangsung lama, Jayadrata dengan
kemampuan memainkan gada yang luar biasa adalah juga seorang pemanah
ulung. Dibidiknya punggung Abimanyu, seketika jatuh terduduk Abimanyu
dengan darah menyembur dari lukanya.
Tak sepenuhnya tega Adipati Karna memegangi keponakannya yang
terluka, mundurlah ia menjauhi arena peperangan. Ditemui Pandita Durna untuk
diberi laporan.
“Paman Pendita, sekarang rencana paman sudah berhasil. Abimanyu
terluka dipunggungnya, untuk tindakan selanjutnya, saya tidak ikut mencampuri
urusan lagi”. Tutur Adipati Karna.
Terkekeh kekeh tawa Sang Pandita mengetahui rencananya sudah berhasil.
Pikirnya biarlah tanpa Adipati Karna pun kemenangan sudah sebagian besar
dicapai kembali. Segera Karna menjauh balik ke pesanggrahan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
65 PANDAWA KURAWA
Sepeninggal Adipati Karna, segera Durna memberi aba-aba untuk kembali
menyerang. Namun Abimanyu tidaklah gentar, malah ia semakin bergerak maju
menyongsong serangan.
“Heh para Kurawa . .!, Memang dari dulu sifat culas itu tidak akan pernah
hilang. Akan aku kubur sifat culas kalian, sekalian dengan yang raga
menyandangnya. Hayo majulah kalian bersama-sama. Tak akan mundur walau
setapakpun walau Duryudana sekalipun yang maju !!”.
Walau terluka, ternyata Abimanyu masih segar bugar. Suaranya masih
lantang dan berdirinya masih tetap tegar.
Melihat lawannya terkena panah yang masih menancap di punggungnya,
aba aba keroyok bersahut sahutan. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh
warga Kurawa, sementara yang dekat melontarkan tombak dan nenggala serta
trisula bertubi tubi. Dalam waktu singkat, segala macam senjata menancap
ditubuh satria muda itu.
Namun hebatnya satria muda yang terluka parah ini masih maju dengan
amukannya. Dari kejauhan gerakan sang prajurit muda itu bagai gerak seekor
landak, oleh banyaknya anak panah dan tombak yang menancap di sekujur
tubuhnya. Malah bila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini
bagaikan penganten sedang diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan
bunga yang terrangkai sementara tubuhnya bagaikan kembar mayang yang
mengelilingi raganya. Ada sebagian senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
66 PANDAWA KURAWA
memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti
halnya untaian melati menghiasi pinggang.
Darah yang mengalir deras bagaikan lulur penganten yang membuatnya
menjadi makin berkilau diterpa sinar matahari. Tidaklah berbau anyir darah
Abimanyu, malah mewangi sundul ke angkasa raya. Saat itulah para bidadari
turun menyaksikan kegagahan sang prajurit muda belia. Dalam pendengaran para
bidadari, suasana yang dilihat bercampur dengan kembalinya denting padang yang
beradu dan tetabuhan kendang, suling serta tambur penyemangat, bagaikan pesta
penganten yang berlangsung dengan iringan gamelan berirama Kodok Ngorek!
Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat akan sumpahnya kala
menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, ketika curiga
bahwa sang suami sudah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwa
bila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap tubuhnya
dengan senjata apapun.
Saat itu ia terhindar dari tuduhan Siti Sundari, namun setelah Kalabendana
raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, membocorkan rahasia
perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, akhirnya terbuka juga
rahasia yang tadinya tertutup rapi. Walau tak terjadi apapun akhirnya antar kedua
istri pertama dengan madunya, namun sumpah tetaplah sumpah, ia berketatapan
hati, inilah bayaran atas janjinya.
Diceritakan, Lesmana Mandrakumara alias Sarjakusuma, putra Prabu
Duryudana yang baru saja mendapat ijin dari sang ibu untuk pergi ke peperangan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
67 PANDAWA KURAWA
Padahal selamanya sebagai anak manja, ia tak banyak ia berkecimpung dalam
keprajuritan, sehingga sifat penakutnya sangat kentara.
Dengan jumawa, kali ini ia melangkah menghampiri Abimanyu. Lesmana
menghina Abimanyu dengan kenesnya, diiringi kedua abdinya yang selama ini
memanjakannya, Abiseca dan Secasrawa.
Segera Sarjakusuma menghunus kerisnya untuk menamatkan riwayat
Abimanyu. Anggapannya, ialah yang akan menjadi pahlawan atas gugurnya satru
sakti yang akan dipamerkan kepada ayahnya.
“E . . E . . E . . . , Abimanyu, bakalan tak ada lagi yang menghalangi aku
menjadi penganten bila aku kali ini membunuhmu. Atau jandamu biar aku ambil
alih. Rama Prabu pasti gembira tiada terkira, kalau aku berhasil memotong
lehermu”.
Dengan langkah yang masih seperti kanak-kanak sedang bermain main, ia
maju semakin mendekat masih dalam kawalan kedua abdinya yang sedikit
membiarkannya, memandang enteng kejadian didepan matanya.
Abimanyu yang melihat kedatangan Lesmana Mandrakumara mendapat
ide, tidak dapat membunuh Duryudana-pun tak apa, bila putra mahkota terbunuh,
maka akan hancur juga masa depan uwaknya itu. Makin dekat langkah
Sarjakusuma yang ingin segera menamatkan penderitaan sepupunya. Tapi malang
tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, dengan tenaga terakhir , sang prajurit
muda masih mampu menusukkan Kyai Pulanggeni ke dada tembus ke jantung
putra mahkota Astina, tak ayal lagi tewaslah Lesmana Mandrakumara,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
68 PANDAWA KURAWA
berbarengan dengan senyum terakhir mengembang dibibir prajurit muda gagah
berani itu. Abimanyu telah tunai melunasi janjinya.
Kembali suasana menjadi gempar. Gugurnya kedua satria muda dengan
beda karakter bumi dan langit membuat perang berhenti, walau matahari belum
lama beranjak dari kulminasi. Kedua pihak bagai dikomando segera
menyingkirkan pahlawan mereka masing masing.
Syahdan, Retna Siti Sundari yang hanya diiring oleh abdi emban
menyusul ke peperangan, telah sampai pada saat yang hampir bersamaan dengan
gugurnya sang suami tercinta. Oleh istri tuanya, Utari tidak diperkenankan pergi
bersamanya , sebab dalam kandungan tuanya terkadang terasa ada pemberontakan
didalam, seakan sang jabang bayi sudah tak sabar hendak mengikut kedalam
perang besar keluarga besarnya. Kemauan besar Retna Utari untuk ikut serta
kemedan perang, terhalang oleh madu dan anaknya yang masih ada di dalam gua
garba. Bahkan sang ibu mertua, Wara Subadra juga melarang Utari untuk pergi.
Ketika terdengar teriakan gemuruh menyatakan Abimanyu telah gugur,
jantung wanita muda ini makin berdegup kencang. Ia segera berlari ketengah
palagan tanpa menghiraukan bahaya yang mengintip diantara tajamnya kilap
bilah-bilah pedang dan runcingnya ujung tombak. Sesampai di hadapan jenasah
suaminya yang tetancap ratusan anak panah. Tidak terbayang sebelumnya akan
keadaannya yang begitu mengenaskan, Siti Sundari lemas dan kemudian tak
sadarkan diri. Suasana kesedihan bertambah mencekam dengan pingsannya sang
istri prajurit muda itu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
69 PANDAWA KURAWA
Bumi seakan berhenti berputar, awanpun berhenti berarak. Burung burung
didahan tak hendak berkicau, kombangpun berhenti menghisap madu. Jangankan
sulur gadung dan bunga bakung yang bertangkai lembek, bahkan bunga perdu,
seperti bunga melati dan cempaka ikut tertunduk berkabung terhadap satu lagi
kusuma negara yang gugur, di lepas siang .
Sebentar kemudian, setelah siuman, Retna Siti Sundari yang telah sadar
apa yang terjadi di sekelilingnya segera menghunus patrem, keris kecil yang
terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Segera arwah sang
prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya
meniti tangga tangga kesucian abadi menuju swargaloka. Raga sepasang suami
istri muda belia tergolek berdampingan. Mereka telah kembali ke pangkuan ibu
pertiwi.
Memang demikian, ketika itu, Pandu, ayah Werkudara adalah penghuni
Kawah Candradimuka, sebelum Werkudara sebagai anaknya mampu
mengentaskan ayahnya dari penderitaan atas kesanggupannya menghuni kawah
itu, ketika atas tangis istri mudanya, Dewi Madrim, yang ingin beranjangsana
menaiki lembu Andini, tunggangan Batara Guru.
“Tidak bertindak ksatria, bila dengan cara begini perangmu. Dunia akan
mengenangmu sebagai raja dengan cara perang yang paling pengecut!” Arjuna
menyahut dengan gerakan hati hati, karena bila ia bergerak, maka sedotan lumpur
makin menyeretnya tenggelam.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
70 PANDAWA KURAWA
Dilain pihak, Werkudara adalah satria yang telah tertempa lahir dan
batinnya. Perjuangan menempuh kesulian dalam alur hidupnya telah
menjadikannya kokoh luar dalam. Maka ketika sedang terjepit seperti ini tak lah
ia patah semangat. Ajian Blabag Pengantol-antol dikerahkan untuk mendorongnya
keluar dari seretan lumpur. Tidak percuma, ketika berhasil melompat keluar dari
pasir berlumpur maka Gardapati yang lengah segera digebuk dengan Gada
Rujakpolo, pecah kepalanya seketika tewaslah salah satu andalan perang pihak
Kurawa.
Pada saat yang sama Arjuna sudah dapat merayu Wersaya agar mendekat.
Namun setelah pancingannya mengena, ditariknya tangan Wersanya. Dengan
meminjam tenaga lawan keluarlah Arjuna dari kubangan lumpur. Pertarungan
sengit kembali terjadi, namun seperti semula, kesaktian Arjuna jauh diatas
Wersaya. Dengan tidak membuang waktu, diselesaikan pertempuran itu dengan
tewasnya Wersaya diujung keris Kyai Kalanadah.
Kedua satria yang telah kembali dari pertempuran yang jauh dari
induknya, dan mendapati perang telah usai. Namun mereka pulang dengan
menemukan suasana duka mendalam yang terjadi di pesanggrahan
Randuwatangan.
Melihat kenyataan didepan mata, Arjuna yang sangat menyesal telah
meninggalkan peperangan terjatuh pingsan. Kehilangan anak kesayangannya
membuatnya sangat terpukul. Demikian juga sang istri Wara Subadra tak henti
hentinya menangisi kepergian putra tunggalnya yang masih belia.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
71 PANDAWA KURAWA
Tak ketinggalan Retna Utari yang tak diperbolehkan bela pati oleh Prabu
Kresna, duduk dihadapan jasad kedua orang yang sangat dicintai dengan lelehan
air mata bagai hendak terkuras dari kedua matanya.
Sore itu juga, api pancaka segera dinyalakan untuk membakar kedua raga
suami istri belia itu. Suasana petang sebelum matahari tenggelam, seolah
mendadak seperti dipercepat waktunya oleh mendung yang menutup suasana sore
seperti mendung yang menggelayut pada semua yang hadir dalam upacara itu.
Begitu hening suasana balairung di Pasanggrahan Bulupitu siang
menjelang sore itu karena perang berhenti lebih cepat dari biasanya. Bahkan
keheningan itu menjadikannya helaan nafas berat Prabu Duryudana terdengar satu
satu. Kadang ia berdiri berjalan mondar mandir, kemudian duduk kembali.
Sebentar sebentar ia mengelus dada dan bergumam dengan suara tidak jelas.
Suasana itu juga berimbas pada keadaan di sekelilingnya. Namun orang
orang disekelilingnya sangatlah paham apa yang bergejolak dalam benak Prabu
Duryudana. Mereka mengerti betapa berat keadaan yang membebani jiwa raja
mereka. Putra lelaki satu satunya sebagai penerus generasi trah Kurawa telah
gugur, maka tiada satupun yang berani membuka mulutnya.
Bahkan Prabu Salya pun. Ia juga tersangkut dalam peristiwa tewasnya
Lesmana Mandrakumara, karena Lesmana adalah cucunya juga.
Lama pikiran Prabu Duryudana mengembara kemana mana dengan
kenangan terhadap pangeran pati yang dicintainya. Akibatnya ia merasa raganya
menjadi bagai lumpuh.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
72 PANDAWA KURAWA
Setengah hari telah berlalu, pada akhirnya bagai bergumam, ia memanggil
nama pamannya.
“Paman Harya Sangkuni!”
Yang dipanggil setengah kaget, ia merasa bersalah dengan kejadian yang
telah berlangsung. Dalam pikirnya, hukuman apakah yang hendak dijatuhkan
terhadap dirinya atas keteledoran membiarkan sang pangeran memasuki palagan
peperangan. Namun ditegarkan hatinya ia menjawab.
“Daulat sinuwun memanggil hamba “
“Ini siang atau malam?”
Pertanyaan Duryudana melegakan. Kelegaan yang menyesak dada
Sangkuni terasa terurai. Dengan suara lembut malah ia balik bertanya.
“Mengapa begitu paduka anak angger membuka sidang ini dengan
mempertanyakan waktu, ini siang atau malam, “
Bagai terbuka saluran beban yang memberati hatinya, Prabu Duryudana
mengeluarkan isi pikirannya.
“Siapa orangnya yang kuat menjalani, kejadian yang menimpa para
Kurawa, Duryudana dan para saudaranya. Seberat-beratnya beban yang disandang
manusia adalah, bila sudah menjadi lawan para dewata. Tetapi saya lebih percaya
bila bukan itu yang sedang terjadi, yang salah bukan para dewa.”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
73 PANDAWA KURAWA
“Yang saya percaya adalah, bahwa ada salah satu Pandawa yang
menyelonong untuk meminta kepada dewa, bila terjadi perang, maka maksudnya
adalah supaya membuat gelap jagad saya, seperti yang disandang sekarang ini”.
Setelah menarik nafas panjang ia melanjutkan.
“Anak lelaki yang hanya satu, satria Sarujabinangun, Lesmana
Mandrakumara yang siang malam aku mengharap, saya rancang, setelah selesai
Baratayuda Jayabinangun akan saya lungsuri keprabon, supaya “nyakrawati
mbahudenda” di dunia, di negara Astina. Tidak terduga apa yang akan terjadi
sebelumnya, cucu andika, gugur dalam peperangan”.
“Gugurnya Lesmana tidak urung membuat lumpuh bahu saya kanan dan
kiri”.
Sejenak sang Prabu kembali terdiam. Banyak kata yang hendak ia
sampaikan berjejalan untuk segera dilepaskan dari sesak didadanya.
“Kata para pintar dan piwulang para brahmana, sabda para muni, manusia
diberi wenang mepunyai cita cita apa saja. Walau lakunya lewat banyak jalan, ada
yang berusaha melewati cara dengan kerasnya bekerja, ada pula yang meraihnya
dengan cara laku tapa. Diumpamakan mereka tidak takut berjalan dalam
lelayaran luasnya samudra atau bertapa didalam gua gelap, tapi kemuliaan yang
hanya untuk kepentingan pribadi itu tidaklah berlaku apa apa dalam hidup.
Buatku, yang membuat laku kerja keras, itu adalah laku untuk mejadikan mukti
keturunanku, supaya besok aku dapat memperpanjang jaya keterunanku, dengan
cara menang dalam perang Baratayuda”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
74 PANDAWA KURAWA
Bicara Prabu Duryudana yang tadinya bagai bergumam, tiba tiba menjadi
ketus.
“Tetapi semuanya menjadi terbalik, semuanya menjadi terbalik!
“Yang terjadi adalah, para orang tua hanya yang ikut mengayom dalam
kemuliaanku diam saja. Bertopang dagu, duduk ngedangkrang tidak ikut dalam
repotnya penandang ! Padahal pada kenyataannya para orang tua itu tidak hanya
ngayom kepada kemuliaan negara. Padahal semestinya mereka bergerak tanpa
memperoleh perintah, tanpa harus diberi aba aba dan keluh kesah saya. Semestnya
mereka mengerti bahwa mereka mempunyai pekerjaan luhur, Yaitu menjalankan
perang dalam Baratayuda. Tetapi semuanya tidak ada nyatanya, semua
hanya berhenti dalam kata kata. Cuma berhenti dalam rembug, yang dirembug
siang malam hanya rembug yang tak ada kenyataannya. Padahal rembug kalau
tidak dilakukan tidaklah ada nyatanya !”
“Apakah harus saya sendiri yang melangkah kedalam peperangan
menyerang para Pandawa”.
Terdiam kembali Prabu Duryudana setelah segenap sesak di dadanya
dialirkan dihadapan semua parampara dan para prajurit yang hadir. Satu persatu
yang sedang hadir dalam sidang dipandanginya. Namun semua wajah menunduk
diam. Mereka terlihat memberi kesempatan kepada rajanya untuk mengeluarkan
segala unek unek yang terpendam didadanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
75 PANDAWA KURAWA
Barata
KEMARAHAN SANG ADIPATI
Namun tidak dengan Resi Krepa, kelihat keheningan yang kembali
melingkup sidang, ia membuka mulutnya.
“Seribu maaf, anak prabu. Saya dari Timpurusa ipar Pandita Durna .Saya
yang sanggup menjadi kekeset paduka, saya yang bernama Krepa”.
Krepa memperkenalkan kembali keberadaannya dalam sidang. Setelah
diawasinya semua yang menghadap di Bulupitu, ia melanjutkan.
“Awalnya saya pergi dari Timpurusa karena tertarik dan ada hubungannya
dengan persaudaraan ku dengan Pendita Durna. Karena kakak saya adalah wanita
bernama Kerpi. Karena kecintaanya kepada kakak ipar hamba Kumbayana.
Kkarena paduka menjadikannya sebagai penasihat Kurawa, saya juga tidak akan
ketinggalan. Walaupun tidak disuruh, hamba mengabdi datang ke Astina karena
terdorong oleh gregetnya hati, dalam pengharapan hamba, agar hamba tidaklah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
76 PANDAWA KURAWA
terpisah dari saudara ipar hamba, kakang Kumbayana. Tetapi apa yang
terjadi, ada kalanya bergeser dari rancangan semula. Semula hamba datang
tujuannya adalah ikut menikmati kemuliaan. Ikut memperlindungi raga saya yang
tak lagi muda, tetapi saya menemukan keadaan Astina telah menjadi glagah alang
alang, karena tersaput oleh api perangan. Sebab dari telah terjadinya perang
Baratayda Jaya Binangun”.
Setelah sejenak menelan ludah membasahi kerongkongannya, kembali
Krepa dengan percaya diri meninggi, melanjutkan jual dirinya.
“Mesti saja, tidak besar atau kecil, tua atau muda, saya terkodrat jadi
lelaki. Sekali lelaki tetaplah lelaki, dan saya sebagai lelaki pastilah berbekal
keberanian. Dan bila sinuwun hendak menanyakan berani dalam hal apa, silakan
sinuwun menanyakan”.
Krepa memancing.
“Berani dalam hal apa paman. Akan aku dengarkan”.
Penasaran, Prabu Duryudana menyahut.
“Bicaralah Krepa,akan saya dengarkan tidak hanya akan aku dengarkan
dengan telinga, tapi aku juga akan mendengarkan dengan rasa”.
Mendapat angin, Krepa makin percaya diri.
“Sukurlah, apakah sebabnya bila saya berbekal keberanian. Berapa lama
manusia hidup dalam dunia, lumrahnya hidup didunia ini hanya diumpamakan
cuma mampir minum. Ada kalanya orang harus memilih, hamba juga bisa
memilih negara yang lain. Hamba juga dapat memilih raja yang lain. Terapi
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
77 PANDAWA KURAWA
memang dari awal hamba sudah memilihnya, walaupun menjadi gagang
keringpun akan aku lakukan”.
“Tidak ada satupun orang yang mempunyai cita cita mengabdi dengan
sepenuh hati tak akan memperoleh nama harum, namun para orang yang
sebaliknya, mengabdi dengan setengah hati, itu adalah terserah mereka sendiri”.
“Dan pengabdian saya akan saya berikan dalam bentuk pengorbanan jiwa
raga dari atas pucuk rambut hinggga ke bawah keujung kaki”.
“Tetapi saat ini belum ada sarana yang bisa hamba pakai untuk
membuktikan, sebab perang Baratayuda ini sudah ditata oleh sang senapati. Yaitu
orang yang telah didapuk menjadi pengatur perang”.
Merasa dikenai hatinya atas segala ucapannya diawal pembicaraan, Prabu
Duryudana memotong.
“Kalau begitu, kalau yang aku bilang tadi, mencaci orang lain, terapnya
kurang tepat?!”.
Makin berani Krepa dengan kepala yang makin besar.
“Baiklah, silakan untuk dirasakan sendiri. Sekarang bila menggunakan
hitung hitungan waktu, kalau saya dianggap kurang berkemauan, saya dimarahi
karena saya hanya ikut merasakan kemukten saja. Apakah hal itu sudah benar?
Karena saya mengabdi ke Astina belumlah selama yang lain!”.
“Dan bila saya mengatakan berdasarkan keheranan, disini ada yang lebih
lama dan yang juga mempunyai babat, bibit, bobot dan bebetnya”.
“Maksud paman Krepa?”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
78 PANDAWA KURAWA
Duryudana meminta keterangan lebih lanjut karena dengan jumawa Krepa
memandangnya dengan sedikit memancing.
Kerpa menggeser duduknya yang mulai dirasa kurang nyaman, lanjutnya,
“Bibit disini ada yang tadinya hanya sekedar anak kusir, terus babatnya hanya ikut
orang tuanya, bebetnya, keadaannya hanyalah orang biasa , sekarang bobotnya
mempunyai jabatan tinggi karena dalam jabatannya ia adalah telah diberi gelar
senapati perang dan seharusnya ikut campur tangan dalam menata negara. Tidak
kurang kurang paduka telah memberkatinaya setinggi langit, dan meluberinya
segala kemewahan termasuk memberikannya kadipaten yang tidak aku sebut
namanya”.
“Sekarang ia telah dihormati, dan punya nama harum. Namun bukan oleh
karena kepribadiannya, tetapi karena diperolehnya dari pengayoman dari paduka
sinuwun. Lagi pula dia sebenarnya bukanlah manusia yang biasa saja. Sebenarnya
dialah seseorang turun dewa yang memberi kecerahan siang”.
“Tetapi kesulitan yang paduka sandang hingga membawa korban cucu
hamba Lesmana Mandrakumara, tetap menjadikannya orang tersebut hanya
berdiam diri. Tidaklah ia memberikan pemecahan masalah yang membuat beban
yang paduka sandang menjadi ringan. Orang itu hanya membutakan mata,
menulikan terlinga. Bila aku umpamakan, orang itu, bila berdiri, berdirinya adalah
condong. Condongnya dalam berdiri bukanlah memberikan cagak kekuatan
kepada teman, tetapi condongnya adalah mengayomi lawan”.
“Yang ditunjang oleh orang itu adalah musuh, yang pada kenyataanya
adalah masih saudara tunggal wadah. Dengan demikian, paduka hendaknya sekali
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
79 PANDAWA KURAWA
sekali mendindak orang yang bersalah. Sekali sekali hendaknya sinuwun
menindak orang yang membuat kekuatan Kurawa menjadi ringkih!”.
Sebenarnya apa yang dimaui Krepa sudah dirasakan oleh Adipati Karna.
Ia tidak syak lagi, bahwa Krepa menyindirnya. Namun demikian ia tahu siapa
Krepa. Dibiarkannya ia mengoceh dihadapan adik iparnya.
Dilain pihak, ipar Krepa, Begawan Durna Kumbayana, menjadi khawatir
dengan kata kata nyinyir Krepa. Akhirnya Durna berusaha mendinginkan suasana.
“Sinuwun, perkenankan hamba memadamkan api yang belum terlanjur
berkobar.
“Mengapa diumpamakan begitu?”
Duryudana yang sebenarnya sudah paham akan keadaan yang terjadi
mempertanyakan.
“Hamba mengerti, yang dimaui Krepa itu adalah orang yang hari ini juga
ikut duduk bersama sinuwun”. Kemudian sambung Durna memohon.
“Bila saya diperkenankan hamba akan wawancara dengan adik ipar saya
resi Krepa”.
“Terserahlah Paman Pendita, bila hasilnya adalah untuk memperkuat
persatuan Kurawa silakan Paman”. Pesan Prabu Duryudana.
“Krepa!! Kamu itu pintar tetapi jangan keterlaluan. Pintar boleh tapi
jangan hendaknya untuk meminteri. Kamu memang sudah terkenal doyan bicara,
tetapi kata katamu hendaknya membuat dingin suasana. Berkatalah dengan lambar
air kesabaran”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
80 PANDAWA KURAWA
Berkata Pendita Durna dengan mata tajam memandangi adik iparnya.
Yang dipandang hanya diam menunduk membuat Pendita Durna melanjutkan.
“Kalau api yang kau sulut itu akhirnya akan mengobarkan ketentraman.
Kalau yang terbakar hanya sebagian saja tidak mengapa. Lha kalau yang berkobar
adalah seluruh keluarga besar, merambat kepada para pembesar, tidak urung akan
merambat kepada semua rakyat!”
“Ketahuilah Krepa, bertindak selangkah, berbicara satu kalimat saja, selalu
menjadi perhatian para rakyat kecil, baik buruknya rakyat kecil adalah bagaimana
para pejabat berlaku.
Para pejabat seharusnya merasa dijadikan panutan oleh rakyat kecil.
Semua harus bisa menjadi contoh!”
“Pejabat yang kau sebut tadi diam bukannya tidak merasa. Ketahuilah
Krapa! Kamu datang ke negara Astina bukanlah siapa siapa yang membawa.
Tetapi aku yang membawa. Datang ke Astina kamu diberi jabatan sebagai
penasihat. Disini aku mengingatkan kepadamu, kata katamu tadi hendaknya kamu
cabut. Sebelum kejadian yang tidak diinginkan terjadi!
Karena itu jangan biasakan memanaskan suasana, karena disini
suasananya sudah terlanjur menjadi makin panas !”.
“Sumbanglah para Kurawa dengan ide ide yang bermanfaat agar semua
menjadi tenteram sehingga perang dimenangkan oleh Para Kurawa. Itu mauku !!”\
Panjang lebar Durna memberikan nasehat kepada adik iparnya yang
dikenal berhati batu itu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
81 PANDAWA KURAWA
“Benar apa yang dikatakan paman Pendita Durna. Ibarat orang yang
melangkah di samudra pasir, melangkah dipadang pasir. Ia tidak berharap
menemukan emas sebakul, namun yang diharap adalah setetes air pengobat
dahaga.”
Prabu Duryudana menyahut mengamini.
Namun kaget semua yang hadir, ketika Krepa menjawab dengan perasaan
tinggi hati.
“Hamba minta maaf sebesar besarnya sinuwun, tetapi, bila kata kata yang
telah aku sampaikan aku cabut kembali maka betapa malunya aku”.
“Bila diumpamakan kata kata hamba tadi adalah seperti halnya hamba
melepaskan anak panah, siapakah yang merasa perih ialah yang terkena anak
panah tadi”.
Adipati Karna yang dari tadi terdiam menahan sabar, sudah mencapai
batas ledakan didadanya. Segera ia melangkah kehadapan sang Prabu Duryudana.
“Mohon maaf yayi prabu Duryudana”.
Merasa apa yang hendak terjadi adalah kobaran api amarah, maka prabu
Duryudana malah berkata dengan nada memelas.
“Kakang Prabu kami minta pengayoman”
“Apa dasarnya”.Jawab Karna.
“Pengayoman itu adalah hendaknya kakang prabu berlaku sabar”.
Kembali Duryudana berusaha meredam kemarahan kakak iparnya.
“Saya tidak ingin menanggapi suara sumbang, yang suara itu bermaksud
memecah barang yang utuh. Suara itu kami anggap angin liwat, tetapi bila
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
82 PANDAWA KURAWA
kemarahan yang terpendam ini tidak tersalurkan dalam ledakan didada, maka
tindakan yang aku lakukan mejadi ngawur. Tidak aku salahkan bila sementara
orang yang tega memotong leher orang bila sudah terjadi hal yang seperti ini”.
Disambarnya tangan Krepa. Diseretnya ia keluar dari arena pertemuan.
Kaget setengah mati Krepa diperlakukan seperti itu. Namun tak ada lagi
kesempatan membela diri, dihajarnya Krepa hingga babak belur.
Tak hanya itu, segera dicabutnya keris pusaka Kaladete dari warangka,
tanpa ragu dipotong leher Krepa. Tewas seketika.
Geger para Kurawa melihat kejadian yang berlangsung tiba tiba itu.
Semua tidak menyangka kejadian yang sangat cepat akan membawa
korban.Aswatama adalah seorang yang semasa kecil ditinggal ayahnya, Pandita
Durna Kumbayana. Dan selalu dalam asuhan Ibu tirinya Dewi Kerpi dan sang
paman Arya Krepa. Melihat apa yang terjadi terhadap pamannya, dengan segera ia
melompat mendekati Adipati Karna yang berdiri puas menyaksikan
menggelundungnya kepala orang pandir yang nyinyir menyindir dirinya.
Aswatamam memandang apa yang terjadi didepan matanya merasa bagai
dipukul dadanya dengan palu godam, marahnya hingga mencapai ubun ubun.
Merah menyala dadanya. Matanya menyala nyalang, gemeratak giginya dengan
sudut bibir yang bergetar. Seluruh badannya bergetar memerah bagai warna bunga
wora wari.
“Karna bila kamu memang lelaki jantan ini Aswatama yang akan sanggup
berhadapan dengan saling adu dada. Tidak sepantasnya kamu membunuh paman
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
83 PANDAWA KURAWA
Krepa dengan tidak memberi kesempatan membela diri”. Berdiri Aswatama
dengan berkacak pinggang, mata melotot dan memelintir kumisnya.
Tersenyum sinis Karna mendengar tantangan Aswatama.
“Heh Aswatama! Kamu anak Kumbayana kan? Anak dari guru para
Pandawa dan Kurawa sekaligus. Kalau memang kamu sebagai orang sakti
keturunan bidadari selingkuh macam Wilutama. Majulah kesini akan aku susulkan
kamu kepada pamanmu yang kurang ajar itu!”
Pertarungan tanpa diberi aba dimulai. Saling serang kedua orang yang
dibakar kemarahan hanya berlangsung sekejap. Para petinggi di balairung yang
menyusul keluar Adipati Karna telah sampai dipinggir arena.
Prabu Duryudana memegangi Adipati Karna sedangkan Pandita Durna
memegangi anaknya. Aswatama.
“Anakku Aswatama ayolah segera meminta maaf kepada sinuwun Prabu
Duryudana. Kamu telah membuat malu bapakmu!”
Menurut apa yang dikatakan bapaknya, segera Aswatama menghaturkan
sembah.
“Sinuwun apapun yang hendak paduka lakukan terhadap hamba, tak akan
hamba menolaknya”.
“Mulai hari ini aku perintahkan kepadamu Aswatama, segera menjauh dari
pandangan mataku. Aku muak melihat tampangmu. Jangan sekali sekali
mendekat, bila tidak aku panggil!”
Lemas Aswatama mendengar perkataan junjungannnya. Dengan gontai
dan wajah menunduk dilangkahkan kakinya menjauh dari pandangan mata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
84 PANDAWA KURAWA
bapaknya yang berkaca kaca, melihat anak kesanyangannya pergi dengan hati
remuk.
Aswatama telah kehilangan paman kesayangannya yang mengasuhnya
dengan rasa sayang bagai seorang ayah kandung, dan kehilangan kepercayaan
sebagai seorang prajurit negara.
Barata
KEGELISAHAN DURYUDANA
Ketika itu di Pesanggrahan Bulupitu, segala kebijakan gelar perang tetap
ada di tangan senapati Pandita Durna. Tekad sang Senapati kali ini adalah hendak
mengembalikan nama baik yang tercoreng tebal, setelah kecolongan dengan
tewasnya putra Pangeran Pati Astina Raden Lesmana Mandrakumara. Kematian
Pangeran Pati yang berbuntut panjang dengan kericuhan di pasanggrahan
Bulupitu hingga menewaskan iparnya Krepa dan diusirnya anak semata
wayangnya Aswatama, mengharuskan kali ini nama baiknya akan pulih, dengan
memenangkan peperangan kali ini.
Maka ditunjuknya pendamping sakti dari negara sebrang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
85 PANDAWA KURAWA
“Baik, sekarang aku minta anakmas Setyarata dan Setyawarman menjadi
pendamping senapati”.
Pandita Durna menujuk kedua orang yang disebut itu dengan jempolnya.
Yang ditunjuk sejenak kaget namun kemudian menjadi berseri seri. Kehormatan
sebagai pendamping senapati Durna adalah hal yang merupakan kehormatan tiada
tara bagi mereka.
“Sedangkan anakmas Kertipeya akan saya beri tugas khusus untuk
menghadang Werkudara agar tidak mudah menumpahkan dendamnya kepada
Jayadrata”. Kertipeya mengiyakan dengan perasaan bangga dan keyakinan diri
tinggi.
“Dan untuk perkara membekuk Arjuna, menurut telik sandi saat ini Arjuna
sedang dalam keadaan tertekan jiwanya dan tidak memperdulikan peperangan,
karena kematian anak kesayangannya. Nah dengan keadaan yang dialami Arjuna,
akan aku jalankan cara khusus untuk menawan Arjuna, yaitu dengan perangkap
asmara.” Pendita Durna adalah ahli strategi, maka diuraikan kepada kedua
pendamping senapati, mengenai strategi yang hendak dirancangnya itu.
“Kalau Arjuna masuk dalam perangkap asmara, maka tak akan lama ia
bakal tertawan dan tinggal dengan gampang membunuhnya”. Kembali Pendita
Durna berhenti bicara. Kemudian mendekat kearah Prabu Bogadenta. “Bukankan
anakmas Bogadenta datang bersama dengan Saudara perguruanmu yang cantik
itu? Anak angger Bogadenta dan saudara seperguruanmu akan aku pasrahi untuk
menawan Arjuna”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
86 PANDAWA KURAWA
Bogadenta belum sepenuhnya mengerti akan rancana Pandita Durna
“Bagaimana maksud paman Pendita? Apakah aku harus mencari keberadaan
Arjuna, dan aku harus bersama Murdaningsih dan gajah tunggangan saudara
seperguruanku Murdaningkung, ?
“Benar anakmas, nanti bila Arjuna sudah diketemukan, saudara
seperguruanmu harus merayu Arjuna agar lengah, kemudian bunuhlah dengan
belalai tunggangan gajah Murdaningkung !”. Durna memutus.
Memang benarlah demikian. Prabu Bogadenta yang datang dari
kerajaannya, Turilaya, ke Astina, disertai dengan saudara perguruannya seorang
wanita cantik, liar dan sakti bernama Murdanigsih yang memiliki hewan Gajah
putih bernama Murdaningkung.
Pertemuan itu terjadi ketika mereka berguru bersama sama menuntut ilmu
kanuragan. Bahkan setelah penuh ilmu, mereka dihadiahi suatu ajian, yang
membuat mereka akan hidup kembali ketika salah satunya terbunuh, bila salah
satunya menetesi air mata kesedihan terhadap kawan seperguruannya.
“Kemudian aku utus anakmas Kertipeya menghadapi Werkudara, secara
fisik aku kira tak beda jauh kekuatannya dibanding Werkudara, bila Werkudara
sudah dilumpuhkan, maka menawan Puntadewa adalah hal yang sangat mudah !”.
Secara fisik Prabu, Kertipeya memang gagah perkasa tinggi besar
sehingga layak ditandingkan dengan Werkudara.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
87 PANDAWA KURAWA
“Nah sekarang anak angger Bogadenta kami persilakan untuk berangkat
ke sisi hutan Minangsraya, perbatasan Kurusetra, kebiasaan Arjuna diwaktu
sedang sedih, biasanya dia akan pergi ke tempat sepi untuk menyegarkan kembali
kelelahan jiwanya”.
Selesai segala petunjuk sang senapati, sambil menghaturkan sembah,
mundurlah Bogadenta untuk memenuhi tugas meringkus Arjuna.
Sepeninggal Raja Turilaya, Pandita Durna segera memulai pasang strategi
kesukaannya yang dianggap ampuh untuk memenangkan peperangan hari ini.
Dalam pikirannya hanya muridnya, Arjuna yang dapat memecah gelar
Cakrabyuha, kecuali Abimanyu yang telah tewas di hari kemarin.
“Untuk yang akan melakukan tugas di peperangan Kurusetra, gelar yang
hendak aku rakit adalah Cakrabyuha. Walau gelar ini telah dapat diobrak abrik
oleh Abimanyu waktu itu, namun akan aku bangun kembali, dengan kepercayaan,
tak akan lagi gelar dapat dihancurkan tanpa adanya Arjuna yang tengah pergi
entah kemana, karena setengah gila memikirkan tewasnya anak kesayangannya
itu”.
Dilain pihak, Pesanggrahan Randugumbala, Gelar Perang Garuda
Nglayang dari pihak Pandawa diterapkan kembali, setelah mengubahnya kemarin
hari dengan Supiturang. Dengan sayap kanan ditempati Raden Werkudara, dan
disebelah kiri, karena ketiadaan Arjuna, adalah Arya Setyaki sebagai pengganti.
Paruh garuda ditempati Sang Senapati Raden Drestajumna sedangkan pada ekor
ditempati oleh Wara Srikandi.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
88 PANDAWA KURAWA
Berangkatlah kedua wadyabala kedua belah pihak, dengan suara gemuruh
menuju medan peperangan dihari itu.
Segera setelah barisan lawan masing masing terlihat, pecahlah perang
campuh kembali. Bagaikan kilat kelebat batang gada sang Setyaki mengamuk
dengan Wesi Kuning ditangannya. Banyak prajurit kecil terpukul gada pecah
brantakan tulang belulangnya, bahkan yang menunggang kuda terguling beserta
kuda kuda tunggangannya. Porak poranda tertebas gada satu sisi gelar
Cakrabyuha.
Dihadapannya menghadang Raden Durcala salah satu saudara Prabu
Duryudana. Sama sama bersenjata gada, ia tak tahan melihat banyaknya korban
yang jatuh pada salah satu juring ruji barisan.
Heh Setyaki ! Jangan hanya berani melawan prajurit kecil. Datanglah
kemari hadapi Durcala kalau kamu sebagai seorang prajurit sejati !”.
Segera setelah keduanya berhadapan, saling pukul dan gada serta hindaran
pukulan berlangsung sengit. Durcala tak lama kemudian keteteran menahan
serangan lawannya. Menyesal ia berhadapan dengan lawan ini. Ia salah
memperkirakan kehebatan lawannya. Namun sudah kepalang basah, dengan
sekuat tenaga ia menahan serangan lawan yang bertubi tubi datangnya bagaikan
banjir bandang. Lama kelamaan susutnya tenaga mengharuskan ia bersembunyi
disela sela rapatnya prajurit lain yang sedang beradu tenaga dengan lawannya
masing masing.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
89 PANDAWA KURAWA
Setyaki yang panas, tak hendak melepaskan lawannya yang sudah diujung
kekuatannya. Maka ketika melihat lawannya terjebak dalam sudut yang tak lagi
memungkinkan ia menghindar, karena dibelakangnya terdapat reruntuhan kereta
perang, maka sabetan gada Wesi Kuning mengakhiri perlawanan Durcala.
Citrabahu yang melihat saudaranya terpupuh gada, marah bukan kepalang.
Segera pertempuran antara Setyaki dengan Citrabahu memperpanjang amukan
Setyaki. Tenaga Setyaki yang bertubuh kecil padat, sejatinya ia bertenaga raksasa.
Citrabahu yang bertempur dalam keadaan marah dan kehilangan akal seakan akan
menjadi bulan bulanannya. Tanpa perlawanan berarti, dihentikan gerak limbung
Citrabahu dengan sekali pukul dikepalanya. Pecahnya kepala Citrabahu tanpa
sempat ia berteriak.
Raden Upamandaka dan Citrawarman bersepakat maju bersama untuk
menghentikan korban yang semakin besar. Dikerubutnya Arya Setyaki dari dua
arah dengan cecaran secara bergelombang. Namun Setyaki bukan prajurit lemah,
walau serangan keduanya bagai siraman air bah, tetapi tetap dapat ditahannya,
bahkan dengan garangnya ia menyerang keduanya bergantian, hingga membuat
kedua lawannya kerepotan menyerang dan berkelit berganti ganti. Sama dengan
lawan sebelumnya, kewaspadaan Upamandaka yang terkesima dengan
kegarangan Setyaki, menurun. Terlena sekejap dibayar dengan mahal.
Penggungnya tersenggol gada Setyaki yang menyebabkan ia kehilangan
keseimbangan. Tak menyia-nyiakan kesempatan yang terpampang didepan
matanya, sekali lagi dikenainya pinggang Upamandaka dengan kekuatan penuh,
terkapar Upamandaka tak bisa bangun selama lamanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
90 PANDAWA KURAWA
Melihat saudaranya terkapar tak bangun lagi Citrawarman gemetaran.
Sukmanya bagai ikut tercabut bersama lepas sukma Upamandaka. Tak ayal lagi
gerakannya menjadi kacau balau. Tak ada lagi harapan untuk menang, ia
melarikan diri. Namun kejaran Setyaki yang dilambari tenaga raksasanya berhasil
menghentikan langkah Citrawarman dengan menebas kakinya. Teriakan ngeri
menghambur dari mulut Citrawarman yang kemudian terhenti, ketika sekali lagi
gada Wesi Kuning menerpa kepalanya.
Tak ada lagi Kurawa berani mendekati amukan Setyaki membuat bubar
mawut, satu sisi ruji Cakrabyuha. Dibagian lain Wara Srikandi juga mengamuk
dengan luncuran anak panahnya. Salah satu musuh yang memperhatikan
datangnya anak panah mendekatinya dengan tujuan menghentikan hujan panah
yang membawa banyak korban. Ia adalah Wiringsakti.
Dengan mengendap endap ia berhasil mendekati kearah Wara Srikandi,
tanpa ragu dihadapinya untuk mengadu kesaktian
“Siapa kamu yang berani mengganggu kerjaku ?!” Srikandi yang merasa
terusik, menghentikan lepasan anak panahnya.
“Inikah Srikandi, yang telah berhasil membunuh Eyang Bisma ?!” Yang
ditanya tidak segera menjawab pertanyaan Srikandi, malah ia kembali balik
bertanya.
“Sekali lagi siapa namamu sebelum kamu mati tanpa membawa nama ?.
Dari ciri cirinya pastilah kamu salah satu saudara Kurawa !” Tak sabar, tanpa
mempedulikan pertanyaan balik si pengganggu, Srikandi menghardik.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
91 PANDAWA KURAWA
“Akulah Wiringsakti ! Salah seorang Kurawa yang hendak membalaskan
kematian Eyang Bisma !” Jumawa Wiringsakti akhirnya menjawab. Senang
hatinya ketika ia berhadapan langsung dengan Srikandi, karena dalam hatinya
mengatakan, inilah kesempatan memperlihatkan jasanya terhadap kakak
sulungnya, Prabu Kurupati-Duryudana, bila berhasil nanti.
“Jangan banyak cakap, majulah akan aku antarkan kau kehadapan Eyang
Bisma !”
Semula Wiringsakti menganggap enteng prajurit wanita ini. Ia hendak
meringkusnya dengan tangan kosong. Harapannya ia akan menangkap hidup
hidup sebagati sandera. Karena lama kelamaan Wiringsakti terdesak, senjata
pedang sudah ada dalam genggamannya. Tetap saja, ia tak juga berhasil mengenai
tubuh lawannya dengan senjatanya, mulailah ia geregetan. Dengan gerakan yang
mulai makin kasar, tak ragu lagi ia hendak meringkus lawannya dengan secepat
cepatnya. Namun yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika ada jarak
terbuka diantara mereka, dengan cepat Wara Srikandi memasangkan anak panah
pada busurnya. Kelincahan gerak pemanah wanita ini tidak diragukan lagi,
lepasnya anak panah yang meluncur dari jarak yang tak terlampau jauh, mengenai
dada Wiringsakti tembus ke jantung, menggelepar Wiringsakti, jatuh di tanah
berdebu.
Subasta, Suwarman, Habayuda dan beberapa saudaranya tak ragu lagi
untuk meringkus Wara Srikandi bersama-sama. Harapan mereka, satu tawanan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
92 PANDAWA KURAWA
bila dapat diringkusnya, akan sangat berharga untuk membuat semakin lemah dan
semakin hancur jiwa Arjuna, bila mengetahui istrinya ada dalam tangan Kurawa.
Namun yang diharapkan, menjadi mentah kembali. Gatutkaca yang
melihat keroyokan terjadi, segera turun dari angkasa, satu demi satu para
pengeroyok itu dipuntir lehernya, tak sanggup mereka bangun kembali selamanya.
Diceritakan, adalah amukan ditempat lain, Werkudara yang terbawa
dendam atas kematian Abimanyu mencari keberadaan Jayadrata si biang kematian
kemenakannya. Berteriak Werkudara dan prajurit Jodipati termasuk Patih Gagak
bongkol dan juga anak Antareja , Danurwenda, serta anak Gatutkaca, Sasikirana,
mengamuk sambil memanggil nama Jayadrata yang hendak dibunuhnya. Sapuan
gada Rujakpolo ditangan Wekudara-Bimasena mobat mabit kanan kiri menyasar
lawan didepannya. Korban berjatuhan banyaknya tak terhitung lagi. Dengan cara
seperti ini, jeri prajurit Kurawa lari tunggang langgang. Banyak para Kurawa yang
tewas, membuat Kertipeya segera menghadang Werkudara untuk menghindari
lebih banyak lagi prajurit yang menjadi korban.
Merasa dihalangi dalam menambah kurban ditangannya, tambah tambah
liwung amukannya. Tak pelak lagi Kertipeya menjadi sasaran amukan berikutnya.
Namun Kertipeya bukan prajurit rucah, tanding kekuatan berlangsung sengit. Silih
ungkih singa lena. Bagaimanapun akhirnya dapat ditebak. Kematangan tempur
Werkudara yang tertempa kerasnya ujian alam, telah berhasil mengungguli
Kertipeya. Terlena sekejap Kertipeya, tahu tahu gada Rujakpolo telah berada
didepan mukanya. Tak sanggup menghindar karena sudah dekat senjata lawan, ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
93 PANDAWA KURAWA
hanya bisa berteriak ketika pusaka super berat itu menimpa kepalanya. Pecah
kepala Kertipeya dengan isi otak yang berceceran. Satu lagi sekutu Kurawa
menjadi korban.
Satyarata dan Setyawarman maju berbarengan. Anggapan mereka, tenaga
mereka masing masing masih masih dibawah Kertipeya. Bila digabungkan, maka
pikirnya akan melebihi kekuatan temannya, Kertipeya. Tanpa ragu mereka berdua
menghadang amukan Bimasena. Keroyokan terjadi kembali kali ini. Pusat
perhatian Bima terpecah dengan serangan dari dua arah. Bila salah satu dicecar,
yang lain mengganggunya. Jengkel Werkudara dibuatnya. Dapat akal yang lebih
mudah, diletakkan gadanya, dengan tangan kosong dicengkeramnya musuh satu
persatu, kemudian saling dibenturkan kepalanya. Kembali teriakan kedua
pecundang mengakhiri perlawanan.
Begawan Durna yang tidak heran dengan tandang muridnya itu segera
waspada. Dipanggilnya Patih Sangkuni dan Jayadrata.
“Adi Cuni, kamu melihat Werkudara mengamuk itu ?”
“Ya Wakne Gondel, para prajurit Jodipati yang dipimpinannya
meneriakkan nama Jayadrata. Menurutmu bagaimana, kakang ?” Minta penjelasan
Patih Sengkuni.
“Sekarang aku minta kamu segera temani Jayadrata. Segera serahkan
Jayadrata untuk sementara ke orang tuanya di pesanggrahan Giri Ancala. Katakan
alasannya dengan tepat kepada Resi Sempani, ayahnya agar tidak salah paham !”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
94 PANDAWA KURAWA
Perintah Durna Kumbayana.
“Baik wakne Gondel, segera aku jalankan perintahmu”,
Sengkuni bersiap mengajak Jayadrata.
Tetapi Jayadrata yang diperintahkan mundur dulu oleh Durna dan
Sangkuni keberatan.
“Saya tidak takut dengan Werkudara .Kenapa saya harus diminta mundur
?!”
“Tidak ragu aku dengan kesaktianmu, tapi aku berharap hari ini saja,
anakku Jayadrata mundur dahulu “ Durna memberikan pengertian.
“Tapi ini bukan ciri Jayadrata yang menghindar dari musuh. Mati adalah
batas terakhir bisanya hamba mundur dari pertempuran, bapa” kembali Jayadrata
mengemukakan keberatannya.
“Hari ini saja, sebab banyak hal yang aku hendak lakukan untuk
menumpas Pendawa. Bila saatnya tiba, kembali anakmas Jayadrata aku
perkenankan untuk mengambil peran dalam perang besar ini ngger !”
Bujuk rayu Durna sementara berhasil mengantarkan kembali Jayadrata
kehadapan ayahnya, Sempani.
“Raden Patih Sangkuni, apakah perang sudah berakhir sehingga andika
datang ke pesanggrahan kami ini ?”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
95 PANDAWA KURAWA
“Maafkan kami kakang Panembahan atas gangguanku terhadap semadi
paduka kakang, yang siang malam memuji unggulnya Kurawa” Sangkuni
memulai penjelasannya.
“Perang belum berakhir, tetapi ada bahaya yang mengancam jiwa putramu
Jayadrata. Untuk itu aku sementara aku mengembalikan putramu ke
pesanggrahan ini demi keselamatannya”.
Keheranan Sempani mendengar tutur Patih Sengkuni.
“Andika meremehkan anak saya ? Dari kecil saya mengajarkan ilmu
jayakawijayan dan sikap sebagai prajurit sejati. Didalamnya terdapat salah satu
watak prajurit yang ditanamkan, menjunjung tinggi sikap dan harga diri seorang
prajurit yang tidak mengenal menyerah. Tidak ! Kami keberatan untuk menerima
anakku !”
“Dasarnya adalah begini kakang. Bila ini adalah dikatakan mundur, maka
jangan dikatakan ini mundur yang sebenarnya, ini mundur untuk maju kembali
dengan kemenangan . Ini adalah strategi. Pada saatnya nanti Jayadrata akan diberi
peran yang lebih besar dalam perang ini. Untuk hari ini saja, karena ini hanya
untuk memancing rasa penyesalan Pandawa lebih panjang. Seperti halnya
penasaran dan sesal dalam yang dialami oleh Arjuna. Setengah gila dan tiada lagi
mengambil peran dalam peprangan ini. Bila ini yang terjadi, maka amukan Bima
yang sia sia, akan melumpuhkan perasaannya. Sehingga selanjutnya makin
gampang untuk meringkusnya”. Sengkuni menjelaskan strategi yang hendak
dijalankan oleh Pandita Durna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
96 PANDAWA KURAWA
Sejenak Begawan Sempani berpikir. Kemudian katanya.
“Bila untuk meringkus Bima, serahkan kepadaku ! Anakku Jayadrata,
masuklah ke gedung baja perlindungan. Bila terjadi apa apa, ada suara apapun
yang ada diluar, jangan sekali kali kamu mencoba untuk mengintipnya dari
jendela udara, apalagi keluar dari baja perlindungan itu, sampai aku kembali
menemuimu.”
Syahdan, sesampainya di medan peperangan, segera Begawan Sempani
mempreteli tasbihnya yang terbuat dari butiran buah gemitri. Dengan disertai
rapal mantra saktinya, dipuja butir butir tasbihnya menjadi Jayadrata-Jayadrata
tiruan yang segera mengamuk merubung sang Bimasena.
Digebuk satu terbelah menjadi dua, digebuk dua terbelah menjadi empat,
digebuk empat menjadi duabelas Jayadrata dan seterusnya, hingga Jayadrata
tiruan memenuhi palagan peprangan. Jengkel Werkudara mengatasi keadaan itu,
diletakkan gadanya kemudian digulingkannya dengan kakinya.
Tergilas Jayadrata tiruan. Lebur satu persatu, namun bangun menjadi
berlipat lipat ganda. Ngeri Werkudara melihat kejadian itu !
Hilang akal, ia yang segera mundur dengan seribu tanya, bagaimana untuk
mengatasi tiruan Jayadrata alias Tirtanata. Orang yang sebenarnya terjadi karena
air rendaman bungkus yang melingkup Bratasena, Werkudara muda ketika lahir.
Sedangkan di Pasanggrahan bulupitu. Prabu Duryudana merasakn
kesedihakn yang mendalam atas kematian putranya. Saat merasakan kesediah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
97 PANDAWA KURAWA
Duryuna segera menemui sang istri yang ada didalam taman sari Astina. Taman
yang bernama Kadilengeng.
Yang tengah duduk dibawah pohon Nagasari, duduk diatas batu yang
tertata rapi, itulah prameswari raja Astina, putri dari raja Mandaraka Prabu Salya,
yang bernama Dyah Banuwati atau Banowati.
Bila diceritakan kecantikannya, maka tak ada kata kata yang sanggup
menggambarkan. Dari pucuk rambut hingga ujung jari kaki, sedikitpun tiada
cacatnya. Kulit kuning bagai sepuhan emas. Kenes serba pantas, menarik hati.
Bila berbicara ceriwis, namun tetap pandai menata kata. Lirikan matanya dan
senyum bibirnya, menampakkan aura yang menyinar. Dasarnya ia adalah wanita
yang pandai mempadu padan busananya, maka tiadalah aneh, bila ia selalu
menjadi buah bibir.
Jangankan golongan jelata atau lebih lagi para satria, bahkan para raja pun
banyak yang terpikat akan kecantikannya. Ketika Dyah Banuwati masih belia
hingga kinipun, sang Prameswari masih menjadi inspirasi kidung cinta. Panjang
rambutnya ketika tertiup angin bagai melambai lambai merayu. Dadanya yang
terlilhat padat berisi, siapapun yang melihat akan terpesona karena Sang Dewi
adalah wanita yang pandai merawat diri dengan segala jejamuan yang
menyebabkannya awet muda. Walau kini sang dewi menginjak sudah setengah
umur, namun tetap, kecantikannya bagai berrebut dengan sinar rembulan.
Ketika itu, siang dan malam ia merasa prihatin dengan terjadinya perang
Baratayuda Jayabinangun.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
98 PANDAWA KURAWA
Keheranan sang dewi, ketika terbuka pintu taman, terlihat datangnya sang
suami. Seketika ia bergegas menyambut kedatangannya, ia menghaturkan sembah
sebelumnya, kemudian ia menggandeng tangan sang Prabu.
“Sembah bektiku kepada kakanda prabu”. Dengan senyum yang mesra
disambutnya sang Prabu. Senyum yang mesra itu sebenarnya adalah senyum
sandiwara, karena selamanya sang dewi tak kan pernah mencintai Prabu
Duryudana.
“Ya! Kanjeng ratu, sembah bektimu bagiku, menjadikanku bagai tersiram
sejuknya air pegunungan”. Prabu Duryudana juga tersenyum melihat istrinya
menghaturkan sembah.
“Kenapa begitu bicara kakanda Prabu?” Sang Dewi seolah tak mengerti.
“Itu karena rinduku kepada kanjeng ratu telah memenuhi isi dadaku.
Ketika aku melangkah ke peperangan, pisah dengan istri, mulailah rasa rindu itu
tertimbun dihatiku”.
Dengan segala kejujuran hati, Prabu Duryudana menyampaikan rasa
rindunya. Bila perang telah berhenti dan kesibukan mengatur lasykar sudah usai di
hari hari kemarin yang melelahkan, yang tertinggal dalam benak sang Prabu
selama ini adalah bayangan istri tercintanya.
Rasa cinta sang Prabu terhadap istrinya, Banuwati, tercurah habis
kepadanya. Tetapi sebaliknya, bagi Dewi Banuwati, kenangan indah semasa muda
bercengkerama dengan Permadi, Arjuna muda, membekas dalam dihatinya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
99 PANDAWA KURAWA
Sehingga kawin paksa yang terjadi dengan Prabu Duryudana, tak pelak lagi
menjadikan rasa penasaran yang tak kunjung terlampiaskan dan membuahkan
sebuah janji serta selingkuh berkepanjangan.
“Kita kan sudah bukan lagi penganten baru, sudah berusia lebih dari
tigapuluh tahun dan sudah berputra dewasa. Harusnya tidak lagi perasaan itu
dimunculkan!”. Tukas sang dewi.
“Ya, terus terang saja . . . . , rasa itu yang telah menggelayut dalam
dadaku”. Jawab Duryudana terus terang.
Akhirnya Duryudana mengalihkan pembicaraan.
“Aku hendak menanyakan beberapa hal. Pertama, sejak aku
meninggalakan puraya agung ke peperangan, bagaimana keadaannya semua yang
ada di Kedaton ini ?”.
“Para abdi saling bergilir berjaga jaga, tak ada yang melalaikan
pekerjaanya”. Banuwati menjawab singkat.
“Sukurlah . Yang kedua, lalu bagaimana mengenai kesehatanmu ?”.
Pertanyaan basa basi terlontar dari mulut Prabu Duryudana.
“Tetep sehat sehat saja. Tetapi bila menanyakan ketentraman hati hamba ,
pastilah tidak tenteram. Negara yang dalam ancaman pastilah berakibat pada
ketenteraman batin hamba, sinuwun”. Jawaban basa basi membalas pertanyaan
suaminya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
100 PANDAWA KURAWA
“Ya !”, jawab singkat Duryudana sambil mengangukkan kepalanya.
“Apakah perang sudah selesai sehingga paduka kembali ?”. Tanya Dewi
Banuwati ketika sang Prabu terdiam sejenak.
“Nanti dulu. Yang Ketiga, kamu jangan kaget. Karena kanjeng ratu dan
aku sendiri, telah kehilangan harta yang nilainya melebihi seluruh isi istana !.”
Ragu Prabu Duryudana hendak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
Tak sabar Banuwati mengejar. “Sabda paduka yang tersirat demikian
mohon dibuat terang saja, mengapa mengatakan hal yang mengandung
perumpamaan seperti itu ?”
“Nanti dulu . . . . , akan aku pikirkan bagaimana caranya aku akan
mengatakan kepadamu. Karana dalam hitungan, jangan jangan setelah aku
mengatakan berita ini kepadamu, jangan sampai kanjeng ratu menjadi sakit
bahkan meninggal. Kalau hal ini yang terjadi lebih baik aku yang
menggantikannmu. . . .” Prabu Duryudana terdiam. Demikian juga istrinya yang
makin penasaran, namun tetap memberikan waktu bagi suaminya. Dengan lirih
akhirnya coba memulai dengan cerita yang hendak dipanjang panjangkannya.
“Yayi kanjeng ratu . . . , memang bukan kemauanku. Pesanggrahan
anakmu yang dikepung wadya penjaga yang jagaannya begitu sangat rapat.
Tetapi apa sebabnya, Lesmana yang selalu dalam pandangan mataku. Tanpa ijin
dariku, ia maju ke medan pertempuran”. Kemudian Prabu Duryudana terdiam
lagi.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
101 PANDAWA KURAWA
“Saya percaya, walaupun begitu Pandawa tak ada satupun yang tega
membunuh Lesmana, terutama Arjuna. Kalaupun ia tega maka ia berarti tega
terhadap “anunya” sendiri” !. Tak sabar sang Dyah Banuwati menyambar, sampai
sampai ia menyerempet menyebut nama selingkuhannya.
“Aku tidak mengerti”. Pura pura tak mengerti Duryudana menjawab
dengan tidak senang.
“Anunya itu, artinya keponakannya sendiri”. Banuwati berkilah
sekenanya. Pikirnya, diketahui suaminyapun, ia tak akan berani memarahi. Ia
mengetahui benar, bahwa Duryudana adalah tipe suami takut istri.
“Tapi ini beda dengan pengharapanmu, Lesmana bukan bertanding dengan
Arjuna”. Pelahan Duryudana memberi penjelasan
“Lalu siapa ?”. Tak sabar Banuwati hendak mencari tahu.
“Ketika itu ia bertanding dengan Abimanyu. Sewaktu ia berada di
peperangan ia mendekati Abimanyu dengan membawa pusakanya kyai Kokop
Ludira. Namun ia kalah cepat, ia terkena pusaka Abimanyu. Hari itu anakmu
gugur di medan peperangan !!”.
Bersiap Duryudana hendak menangkap istrinya yang dikira akan kaget
atau jatuh pingsan, atau lebih jauh lagi akan terhenti detak jantungnya. Namun apa
yang terjadi, ia cuma memandang dengan tatapan kosong, termangu, malah
sejenak kemudian ia menyalahkan anak dan suaminya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
102 PANDAWA KURAWA
“Jadi anak selalu semaunya sendiri, bertindak tanpa ijin dari orang tua, ya
begitulah jadinya !”.
Terheran Duryudana, sambil menggelengkan kepala, ia bergumam
“Dikabari anaknya mati bukannya sedih, susah, malah tidak kaget sama sekali . . .
. .”.
“Apakah susah dan sedih harus dipamerkan? Kejadian seperti itu bukan
salah Lesmana tetapi salah paduka, kalau hamba boleh mengatakan!”. Jawab
Banuwati ketus.
“Salahku ada dimana?” Dikerasi istrinya, Duryudana melembek.
“Paduka itu kurang waspada sinuwun”, kali ini ia menyalahkan suaminya.
“Baratayuda bukan perang yang hanya memperhatikan orang seseorang,
selain harus menjaga diriku sendiri, aku juga harus bertanggung jawab atas
keselamatan semua, tanggung jawab ada pada pundakku . Dan aku tidak
menyangka, bahwa ia berani beraninya maju ke peperangan !”. Ia memberikan
alasan.
“Ya itulah, kenapa Lesmana tidak menerima perintah paduka ! ”. Kembali
Banuwati menyalahkan anaknya.
“Begitukah ?” Bingung Prabu Duryudana menghadapi keadaan ini.
“Penyesalanku, sedihku, itu harus berdasarkan apa ?” Kembali Banuwati
mempertanyakan hal mengapa ia harus menyesal. “Bila ia tunduk dan patuh
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
103 PANDAWA KURAWA
kepada orang tuanya, makanya tidaklah aku harus menyesal. Hidupnya Lesmana
kebanyakan menambah nambah rasa malu, tak ada lain !”.
Kekesalan Banuwati mulai mengungkit ungkit peristiwa lama. “Berapa
kali ia gagal menikah? Berapa kali …..? Apakah itu namanya tidak memalukan
orang tua…. ? Jadi anak kok begitu sialnya !, yang ditiru itu siapa sih sebenarnya
?!”
Tak mau berlarut larut dalam ketegangan, Duryudana mengalihkan
perhatian. “Tetapi ada sebagian yang membuatku bangga, tidak ada yang
melebihi kebanggaan itu. Matinya juga membawa kematian si Abimanyu !”
Kali ini justru Prabu Duryudana menjadi bertambah heran, terperangah
dengan peristiwa yang ada dihadapannya. Dewi Banuwati yang diberitahu
kematian Abimanyu malah menangis tersedu sedu. Maka, setengah menggumam,
ia menumpahkan rasa herannya.
“Aneh sekali, aneh sekali kejadian ini. Dikabari anaknya, Lesamana, mati,
marah marah kepadaku, menyalahkan Lesmana. Tetapi dikabari Abimanyu tewas,
kamu malah menangis sesenggrukan….. !”
Setelah beberapa saat didiamkan dalam tangisnya oleh Prabu Duryudana,
Banuwati menjawab disela sela sedunya. “Kalau Lesmana mati kan hanya saya
dan paduka yang bersedih. Tetapi kalau Abimanyu yang tewas pastilah banyak
orang yang ikut merasakan sedihnya. Seperti Arjuna, aku membayangkan betapa
ia kehilangan, bagaimana sikapnya. Yang kedua adalah Wara Subadra, ia telah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
104 PANDAWA KURAWA
kehilangan anak nya yang tunggal, belum lagi istri istrinya Siti Sundari dan Utari.
Padahal Eyang Utari sedang mengandung, bagaimana rasanya dia.”
Setengah sugal, Duryudana menjawab. “Itu bukan urusanku . . . . !, itu
bukan perkaramu !. Abimanyu isrinya dua atau selusinpun, masa bodoh amat !!
“Ternyata rasa cintamu itu telah berpaling . . . . !
“Kali ini Prabu Duryudana yang marah marah,“Siang malam tak ada
gunanya aku menyellimutimu dengan sutra. Aku basuh kakimu dengan air mawar,
makan aku ladeni minum aku bawakan, dimanja setinggi langit, aku jaga bagai
jimat. Tetapi apa yang terjadi, apakah dasarnya kamu memprihatinkan musuh ?”
“Hamba manusia juga sinuwun”. Mencoba berkilah Banuwati.
“Ya memang !”. Tak senang dengan jawab istrinya, prabu Duryudana
menyahut sekenanya.
“Kalau manusia itu harus menggunakan rasa kemanusiaan !”. Namun
yang terjadi justru sang Dewi yang meneruskan kalimatnya.
Makin tak senang , ditantangnya istrinya berdebat. “Yang tidak
mempunyai rasa kemanusiaan itu aku atau Pendawa ?”
“Paduka berkata begitu itu atas dasar apa ?!” Yang diajak berdebat malah
makin galak.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
105 PANDAWA KURAWA
“Tidak lah aneh kalau Pandawa itu mengerti bahwa Kurawa itu adalah
saudara tuanya. Kalau manusia yang masih waras harusnya ingat itu !. Bisma itu
gurunya, itupun Pandawa berani membunuhnya !”.
“Jelas, Bisma itu mengikut Kurawa ! Tapi begitu aku melihat gugurnya
satria tiga, Seta, Utara dan Wratsangka, yang pernah dingengeri, yang memberi
tumpangan ketika ia telah selesai menjalankan pembuangannya selama duabelas
tahun, menjadi pengemis sudra. Dihidupi oleh orang Wirata, tetapi akhirnya ia
membalasnya dengan mengorbankan orang-orang yang telah berbuat baik. Itulah
tandanya bahwa ia adalah orang orang yang terbuang sebenar-benarnya !”
“Pandawa sudah bagaikan hewan hutan yang lapar, yang hendak memakan
tuannya !”.
Diungkitnya kejelekan Pandawa dari sudut pandangnya sendiri.
“Sinuwun, apakah aku diperkenankan mengatakan sesuatu kembali ?”
Disalahkan para Pandawa yang menjadi pujaan hatinya, panas hati Dewi
Banuwati.
Dengan ketus Prabu Duryudana menjawab. “Boleh saja, tetapi aku tidak
mau kau kalahkan !”. Beringsut Prabu Duryudana, dan kemudian berdiri
mendekati jendela. Panas hati dan suasana telah memaksanya mencari semilirnya
sejuk angin.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
106 PANDAWA KURAWA
“Hamba tak mau mengalahkan sinuwun ! Tetapi bila Pandawa dikatakan
telah kehilangan rasa kemanusiaan apakah memang begitu semestinya ?! “ Jawab
Banuwati dengan nada tinggi.
“Memang begitu !” Kembali ketus jawaban Duryudana.
“Yang tipis rasa kemanusiaanya sebenarnya adalah paduka sendiri !”.
Jawab Banuwati terus terang.
“Perkara yang mana ?” Kembali tanya Duryudana dengan pandangan yang
tajam.
Makin meruncing pertengkaran, tetapi sang istri semakin berani
menyampaikan rasa yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Tetapi sebenarnya hamba agak takut mengatakannya dan ini adalah
sebuah rahasia. Sudah lama hamba menahannya tetapi lama kelamaan sudah tidak
kuat lagi menahannya. Saya mengatakannya sekarang juga !”.
“Tunggu apa lagi, katakan !” Duryudana mempersilakan istrinya kembali
membuka isi hatinya.
“Sebenarnya yang tipis rasa kemanusiaannya adalah paduka sendiri. Kalau
dalam lubuk hati paduka yang paling dalam mengatakan, seharusnya yang
bertahta di Astina itu Pandawa atau Kurawa ! Namun kapankan Pandawa itu
menagih haknya ?.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
107 PANDAWA KURAWA
Tidak pernah ! Bahkan mereka mampu membuat negara dari keringatnya
sendiri, Negara Amarta !. Pandawa tidak diberikan secuwilpun tanah Astina. Tapi
mereka selalu diusahakan untuk selalu disengsarai, difitnah. Akhirnya dengan
dalih permainan dadu, Astina dan Amarta dijadikan taruhan dan para Pendawa
diusir paksa, sehingga mereka menjadi manusia hutan selama bertahun tahun. Jadi
yang tipis rasa kemanusiaannya itu sebenarnya Pendawa atau Kurawa ?!”
Bagai bendungan yang jebol, segala unek unek ditumpahkan dihadapan
suaminya. Dalam hati, inilah saatnya, selagi ia ditantang untuk terus terang.
“Aku tidak peduli . . . . . ! Aku – tidak – peduli . . . ! ” jawab Duryudana
tandas.
“Silakan sinuwun mengatakan !” Kali ini Sang Dewi yang menantang.
“Perkara permainan dadu, kamu jangan menyalahkan aku. Dimanapun
yang namanya permainan pasti tidak ada yang mau kalah !”.
“Itu bab permainan dadu. Lalu bagaimana mengenai negara Astina itu ?!”
Saling bantah makin seru.
“Mereeka tidak becus mengurus negara. Sudah terlalu lama
mereka bergaul dengan segala macam binatang hutan !”. Alasan sekenanya
disampaikan, berharap ia tak diserang lagi.
Namun kembali ia dicecar pertanyaan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
108 PANDAWA KURAWA
“Itu kan waktu setelah pembuangan di hutan ! Bagaiman mengenai
sebelum itu ?”
“Itu salah mereka, mengapa mereka tiada pernah meminta negara Astina!”.
Jengkel Prabu Duryudana dengan tarik urat yang berlarut larut.
“Itu namanya paduka seperti mengulum madu, terasa manis, hingga tak
hendak melepehnya. Sinuwun kalaupun kata kataku sebagai istri, sebagai belahan
jiwa, tak ada satupun yang hendak diperhatikan, bila demikian halnya, silakan
hamba dikembalikan saja ke Mandaraka”. Tak lagi hendak berlarut larut
bertengkar, sang Dewi menantang.
“Baik . . . , kapan ?!” Keceplosan kata, sang Prabu menerima tantangan
istrinya..
“Ketimbang aku melihat runtuhnya negara Astina atas angkara murka
paduka, sekarang juga lebih baik segera pulangkan hamba ke Mandaraka !.”
Jawab senang Banuwati
“Kamu menantang ?!” Gertak Prabu Duryudana.
“Sukurlah bila kehendakku paduka laksanakan !”
Berbalik badan Banuwati hendak pergi dari hadapan suaminya. Tetapi
langkahnya tertahan oleh cengkeraman tangan sentosa Prabu Duryudana
dilengannya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
109 PANDAWA KURAWA
Sadar apa yang dilakukan, Prabu Duryudana kemudian ia mengendurkan
pegangannya. Katanya memelas.
“Mau kemana ?”
“Bukankan sinuwun sudah mengatakan, bahwa sinuwun merelakan saya
kembali ke Mandaraka ?!” Masih dengan setengah marah dan nada merajuk,
Banuwati bertanya balik.
Jurus bujuk rayu diterapkan oleh sang Prabu, agar sang Dewi tetap berada
di istananya, Kadilengeng, tempat ia memanjakan istrinya setinggi langit, Itulah
kenyataannya, di kedalaman hatinya, seluruh jiwa, rasa dan raga serta cinta buta
Prabu Duryudana mengatakan, tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan
keberadaan istri yang cantik molek itu.
Tak kasat mata, bagaimanapun jerat kecantikan Banuwati telah
mencengkeram Sang Prabu hingga ke tulang sungsumnya, jauh melebihi kekuatan
cengkeraman, tangan sentosa Duryudana . . . . .
Barata
SUMPAH ARJUNA
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
110 PANDAWA KURAWA
Dursilawati. Satu satunya wanita trah Kurawa. Ia adalah istri dari
Jayadrata-Tirtanata. Atas hubungan adik kakak ipar inilah Jayadrata, anak Raja
Sindu, menjalin persaudaraan rapat dengan para Kurawa. Sejatinya Jayadrata
adalah anak kepenginan dari Dewi Drata dan Prabu Sempaniraja karena telah
bertahun tahun tidak mempunyai anak. Maka ditemukan sarana atau cara untuk
mendapatkan anak. Atas wangsit dewata, dengan meminumkan air rendaman
bungkus Bima-Werkudara, kepada istri Sang Prabu Sempani. Kebetulan kala itu
bungkus yang melimput Bratasena, nama Werkudara muda, setelah bungkus
pecah. Pecah oleh kekuatan Gajah Sena. Namun kedekatan secara kejadian, tidak
membuat Jayadrata rapat terhadap para Pendawa.
Di kasatrian Banakeling itu, sang Dewi Dursilawati hanya duduk berdua
dengan anak tunggal kesayangannya Raden Wisamuka. Masih muda belia, namun
berjiwa keras, menurun dari sang ayah Raden Jayadrata.
“Ibu, apakah ibu akan bangga bila mempunyai anak yang dapat
mengangkat derajat keluarga sehingga ke tataran yang lebih tinggi ?” Wisamuka
memancing ibunya ketika basa basi telah usai dibicarakan.
“Apa maksud pertanyaanmu anakku ?” Terheran sang ibu ketika anaknya
menanyakan hal yang tak terduga.
“Tolong jawab dulu pertanyaanku, ibu. Setelah itu akan aku sampaikan
maksudku” tanpa menghiraukan pertanyaan ibunya Wisamuka mengejar jawaban
ibunya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
111 PANDAWA KURAWA
“Baiklah, semua orang tua, pasti mengharapkan agar anaknya menjadi
manusia atau satria yang berguna bagi nusa, bangsa, agama. Pada akhirnya harkat
dan derajat manusia itu akan terangkat oleh laku budi luhur itu. Perilaku anak itu
secara langsung maupun tidak, membawa naik martabat bagi orang tua si anak”
Jawab sang ibu akhirnya.
“Bila demikian, cita cita atau keinginan kanjeng ibu dapat terujud dalam
waktu singkat”
Bahagia terpancar dari raut wajah Wisamuka, ketika ibunya menjawab
runtut pertanyaanya.
“Sekarang katakan maksudmu dengan pertanyaan yang kau ajukan itu”.
Ibunya tidak sabar dengan perubahan raut muka anak kesayangannya. Anak satu
satunya.
“Aku telah mendengar berita yang santer, bahwa pada perang Baratayuda,
ada prajurit muda belia yang seumur denganku, tetapi telah dapat mengobrak
abrik barisan Kurawa. Alangkah gagahnya dia. Bila ia tidak ditahan dengan akal
akalan oleh para Kurawa, saya yakin, ia adalah prajurit yang dapat mengakhiri
perang dengan kemenangan. Alangkah bangganya orang tuanya”. Bicara
Wisamuka , tak tahu bahwa ayahnya terlibat dalam kecurangan itu. Jiwa mudanya
yang bergelora hanya berpikir, bagaimana ia ingin memperlihatkan akan
keberadaannya, sebagai anak muda yang merasa setingkat kemampuannya dengan
anak Janaka.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
112 PANDAWA KURAWA
Ia meneruskan ketika ibunya hanya memandanginya penuh selidik.
“Aku juga bisa seperti Abimanyu itu. Dan belajar dari kejadian yang lalu,
kuncinya adalah kewaspadaan agar tidak terkena reka daya. Dengan waspada itu
perkenankan anakmu hendak maju ke peperangan “.
Wisamuka menyatakan maksud yang sebenarnya.
“Jangan gegabah, anakku, Apalagi ayahmu sudah berpesan agar jangan
sekali-kali kamu berangkat ke palagan, bila tidak mendapat ijin dan restu dari
ayahmu !”. Larang ibunya.
“Tidak ibu, kapan lagi aku dapat memperlihatkan kepiawaianku terhadap
penguasa negara. Apakah aku harus menunggu perang menjadi selesai. Tidak !
Sekaranglah saatnya !”. Wisamuka yang tadinya duduk manis disamping ibunya,
kemudian berdiri. Sang ibupun ikut bangkit dari kursinya, kemudian dipeganginya
tangan anaknya.
“Wisamuka, sekarang ibu mau bertanya kepadamu nak, Apakah kamu
sayang terhadap ibumu ?”. Dibimbingnya anak muda itu kembali duduk.
Wisamuka tak hendak menurut perlakuan ibunya. Namun ibunyalah sekarang
yang duduk kembali, dan melihat kedalaman mata anaknya seakan hendak
menyelami isi dalam hati buah hatinya.
“Pasti ibu, bukankan yang hendak aku lakukan adalah ujud rasa sayangku
kepada keluarga Banakeling, terutama ibuku ?”. Wisamuka malah kembali
bertanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
113 PANDAWA KURAWA
“Bukan ! Bukan seperti itu caranya. Bila kamu sayang ibumu, maka turuti
apa yang ayah ibumu katakan”. Si ibu menyanggah pertanyaan anaknya.
“Aku bukan anak kecil lagi, yang bila jatuh masih menangis dan berlari
kepangkuan ibunya. Sekarang anakmu sudah dewasa, sudah dapat memilih mana
yang harus aku lakukan atau mana yang tidak. Aku mohon pamit, ibu”. Kembali
anaknya membantah.
Dengan lemah lembut layaknya seorang ibu, didekatinya kembali anaknya
setelah sang ibu bangkit dari duduknya. Diraihnya kepala anaknya yang sudah
lebih tinggi jauh diatas ibunya. Dielus rambut itu sambil berkata.
“Wisamuka, kasihani ibumu. Apa kata ayahmu nanti bila mengetahui
anaknya dibiarkan pergi tanpa ijinnya. Apakah kamu tega bila ibumu dimarahi
ayahmu ?”.
“Sudahlah ibu, nanti aku akan ketemu dulu dengan ayah. Boleh atau
tidaknya serahkan kepada ayah setelah nanti aku ketemu disana”.
Dursilawati tahu tabiat anaknya. Dijeratnya pasti dia akan memutus jerat
itu dan dipalang jalannya ia akan melompat. Akhirnya dilepaskan pegangannya,
anak itu menyembah khidmat dihadapan ibunya. Itulah sembah anaknya yang
terakhir.
Kenapa demikian ? Sebelum ia bertemu dengan ayahnya di pesanggrahan
Bulupitu, Wisamuka, dalam perjalanannya ketemu dengan Arjuna di hutan tempat
ia berjalan tanpa tujuan dengan jiwa yang kosong.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
114 PANDAWA KURAWA
Jiwa yang setengah sakit ditinggal anaknya yang sangat dicintainya,
membuat Arjuna bagaikan menemukan segarnya udara alam swargaloka, ketika
Wisamuka terlihat berjalan sendirian. Dalam pandangan matanya, Abimanyu-lah
yang berjalan mendekatinya.
Memang secara fisik, ciri Abimanyu dengan Wisamuka tidak jauh
berbeda, keduanya masih muda belia dengan sosok dan ciri yang hampir sama.
Makin kaburlah pandangan Arjuna Janaka menyaksikan satria remaja dengan ciri
yang bagai pinang dibelah dua dengan anaknya.
“Anakku tampan, kemarilah, aku sudah rindu dengan kamu, anakku”.
Wisamuka tercengang. Tak dinyana ia bertemu dengan Arjuna ditempat
yang tak terduga. Setahu Wisamuka, pamannya sedang ada dalam larutnya
peperangan di Kurusetra. Belum sempat ia menjawab, rangkulan Arjuna membuat
ia kaget. Tetapi karana yang keluar dari mulut Arjuna – lah, yang akhirnya
membuat ia makin mengerti sebab musababnya.
“Abimanyu anakku, mengapa sekian lama kamu baru datang ? Kemana
sajakah selama ini ? Tidakkah kamu kasihan terhadap ayah dan ibumu yang
sangat rindu akan kedatanganmu ?”
Sejenak Wisamuka tak tahu ia harus berbuat apa. Namun otak
cemerlangya segera bekerja. Inilah kesempatan yang ia idamkan ! Gelar pahlawan
akan dengan mudah didapatnya, karena pamannya itu sedang tidak sepenuhnya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
115 PANDAWA KURAWA
sadar diri. Terpikir ia segera melakukan tindakannya, tapi pertimbangannya
menyarankan untuk menguji kewaspadaan pamannya terlebih dahulu.
“Paman Janaka, aku Wisamuka anak Banakeling. Aku bukan Abimanyu!”.
“Jangan main main, ayolah kita pulang. Ibumu pasti sudah menunggu
setelah sekian lama kamu pergi.”. Jawaban pamannya membuat ia makin yakin,
kali ini ia akan menjadi pahlawan.
Segera ia melepaskan pelukan Arjuna. Tanpa ragu dipukulnya tubuh
Arjuna dengan sekuat tenaga. Harapannya segera ia dapat melumpuhkan Arjuna
dan dipersembahkan ke hadapan Prabu Duryudana.
Namun harapan itu tak terpenuhi. Bahkan dengan senyum dibibirnya,
Arjuna malah merayunya.
Kembali tangan Wisamuka mengayun memukul bertubi tubi ke dada
Arjuna.
“Pukulanmu masih kuat, tapi jangan main main begitu. Nanti aku akan
ajarkan cara memukul yang lebih baik bila kamu ingin menjadi prajurit yang
tanpa tanding”.
Tak menyangka diperlakukan seperti itu, Wisamuka melolos senjatanya.
Sebilah keris sakti sudah siap ditangannya untuk menamatkan riwayat pamannya.
Tidak menangkap hidup hiduppun tak apa. Cukuplah dengan kepala Arjuna yang
gampang ditenteng, bukti sebagai pahlawan akan tersemat didadanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
116 PANDAWA KURAWA
Ditusuknya dada Arjuna dengan sigap. Tak menghindar Arjuna, bahkan
kembali senyumnya membayang.
“Sudahlah Abimanyu, jangan bermain dengan senjata, marilah pulang
bersamaku. Kamulah satu satunya yang aku harapkan siang malam dalam segala
laku prihatin yang pernah aku jalani. Nanti juga aku berikan keris yang lebih sakti
dengan pamor yang lebih berkilau. Bila kamu mau pulang sekarang juga,
sekarangpun aku berikan keris Kalanadah melengkapi pusakamu yang telah aku
berikan sebelumnya, Kyai Pulanggeni”.
Diceritakan, Batara Narada yang kepanasan, karena sesuatu tak wajar
terjadi di arcapada, yang berkekuatan hendak merobah alur cerita Baratayuda. Ia
segera menerawang, mencari penyebab keanehan. Setelah diketahui penyebabnya,
sukma Abimanyu segera diperintahkan untuk menggugah alam sadar ayahnya.
Sesampainya di hadapan ayahnya, segera ia menyembah. Arjuna adalah satria
sakti kesayangan para dewa. Dengan hanya badan halus, kedatangan Abimanyu
menggugah kesadarannya, setelah sapaan anaknya menyentuh kalbu.
“Kanjeng rama, perkenankan putramu menjelaskan, jangan lagi kanjeng
rama menyesali kematianku, anakmu sudah menemukan kebahagiaan sejati”.
“Sekarang bangkitlah rama ! Dihadapanmu adalah trubusan musuh, anak
uwa Jayadrata. Bila rama berkenan, rama dapat menuntaskan utang yang
disandang uwa Jayadrata !”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
117 PANDAWA KURAWA
Terang benderang hati sang Arjuna, terlihat Wisamuka tak jauh darinya,
didekatinya Wisamuka yang tak mengira Arjuna sudah sadar. Kaget Wisamuka
ketika rambutnya dijambak dan tangannya ditelikung, segera dipagas leher
Wisamuka, tak bernyawa ia.
Bersamaan dengan jatuhnya raga di rerumputan hutan.
Terceriterakan, Dewi Dursilawati yang tak tega melepas anaknya
sendirian, menyusul bersama Patih Sindulaga. Sempat tersusul oleh kedua orang
itu, namun keadaan sudah terlambat. Yang terlihat dihadapannya adalah, tubuh
orang kesayangannya yang telah terpisah dengan kepalanya. Darah segar masih
mengucur dari luka akibat luka terkena keris Arjuna.
Melihat anak junjungannya tewas, Patih Sindulaga, hendak bela pati.
Tidak ada keraguan bagi patih Sindulaga terhadap siapa yang mengakhiri hidup
anak junjungannya, karena yang terlihat didepannya, adalah hanya manusia yang
dikenalnya dengan nama Arjuna.
Melihat Sindulaga menyerang, maka dilolos anak panah dari
gendongannya, terpasang pada busur, segera direntang dan dilepas dengan suara
membahana. Panah meluncur mengenai dada Patih Sindulaga tembus ke jantung,
tewas Sindulaga menyusul Wisamuka.
Tak rela anaknya terbunuh, kemudian pengawal setianya juga
menyusulnya, Dewi Dursilawati menghunus patremnya, rasa sesal sedih campur
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
118 PANDAWA KURAWA
aduk, membawa tangannya ringan mengayunkan keris kecilnya kedada. Tamat
riwayat Dursilawati.
Termangu Arjuna melihat ketiga orang yang ada hubungannya dengan
Jayadrata. Biang kematian anaknya. Kembali melihat kematian, kembali pula
kesedihan membeban di hatinya.
Terucap dalam cerita. Dewi Murdaningsih wanita liar yang cantik dan
mempunyai daya pikat luar biasa, telah sampai ke tempat Arjuna berada.
Murdaningsih yang muda tetapi telah matang, datang dengan dandanan
serba menantang. Dadanya yang setengah terbuka menampakkan sekilas sisi
cengkir gading. Kukunya dibiarkan sedikit panjang dengan pulasan warna merah
dadu serasi dengan kulit sang dewi yang kuning gading cenderung putih. Matanya
yang sedikit sipit dihiasi sekeliling kelopaknya dengan pulasan lembut serasi.
Begitu juga bibirnya yang terpulas warna merah delima, kontras dengan kulit
putih wajahnya. Senyum merekah dibibirnya, memperlihatkan giginya yang putih
tertata bagai deretan mutiara. Maka semakin menambah daya tarik ia terhadap
lawan jenis. Bau harum merangsang kelelakian juga menghambur dari tubuh sang
Dewi. Siapapun akan terpesona dengan kecantikan dan gerak geriknya.
Berkendara seekor gajah putih yang berjalan dengan anggun. Terpesona
Arjuna melihat apa yang tampak dihadapannya. “Bidadari manakah gerangan
yang hendak menyejukkan hati yang terlanjur gersang ini ?” Pikir Arjuna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
119 PANDAWA KURAWA
Tempat hening dan kondisi jiwa Arjuna yang labil, ditambah watak dasar
Arjuna yang memang gampang jatuh cinta, menyebabkan semakin mudah jerat
asmara mengurung sukmanya.
“Bidadari manakah yang ada dihadapanku ini, selama aku merajai taman
surga, belum pernah aku melihat sosok seperti andika. Siapakah gerangan andika
sang Dewi ?” Sapa Arjuna dengan senyum terkulum. Senyum yang sanggup
menjerat wanita manapun, hingga ia digilai para wanita. Memang demikian apa
yang terjadi di masa lalu, atas hadiah mengenyahkan Prabu Niwatakawaca waktu
hendak meminang Dewi Supraba, oleh Sang Hyang Jagatnata, Arjuna dihadiahi
tahta di karang kawidadaren dengan jejuluk Prabu Kiritin atau Kirita. Tak pelak
lagi, hampir semua sosok bidadari dikenalnya.
Namun kali ini, wanita asing dihadapannya datang dengan ciri ciri yang
belum pernah dikenalnya, dirasa lebih cantik dari yang pernah ia temui. Biasalah
demikian, tak perlu diceritakan lagi.
Pertanyaan Arjuna dibalas dengan lirikan mata dan tebaran pesona yang
membuat Arjuna semakin mabuk kepayang.
Pelahan atas perintah Dewi Murdaningsih, si gajah merunduk.
Mambiarkan tuannya turun dari punggungnya. Dengan luwesnya Dewi
Murdaningsih turun dari punggung gajah dan segera berjalan semakin dekat ke
tempat Arjuna berada.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
120 PANDAWA KURAWA
Disekeliling Arjuna dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Bagai kerbau tercocok hidungnya, Arjuna ikut berputar badannya mengikuti gerak
sang Dewi.
Kemudian tangan Murdaningsih yang lembut meraih kedua tangan Arjuna
dan berkata memuji. Tetap ia tak berhenti bergerak lincah.
“Ternyata tanah Jawa terdapat lelaki yang sempurna segalanya, tak ada
tandingannya dibanding di negaraku. Satria bagus, siapa nama andika ?” Pujian
Murdaningsih mengabaikan pertanyaan mengenai namanya.
“Tadinya aku berpikir, hanya rupamu yang cantik, sehingga jiwaku
terpasung, mataku tak sanggup untuk berkedip. Tetapi begitu andika sang Dewi
mengucapkan kata kata, sekalimat demi sekalimat, hatiku runtuh terbawa sapuan
arus kidung cinta yang mengalun bersama sapa suaramu, sang Dewi ?” Aku
Arjuna penengah Pendawa”. Arjuna menyebut nama memperkenalkan diri.
“Ooh, inikah satria dengan nama harum yang menjadi inspirasi kidung
cinta ? Inikah satria dengan sorot mata yang mampu meruntuhkan hati wanita
siapapun. Bahkan wanita dengan keangkuhan setinggi langitpun, akan takluk
dihadapan yang namanya Raden Arjuna. Saking orang banyak yang memuja,
sampai sampai ada yang mengatakan, kerikilpun, bila andika berjalan, mereka
minta andika pijak ?”
“Bahagianya hatiku, karena tidak sia sia aku datang dari jauh, ketemu
dengan andika Raden, seakan sukmaku telah tertawan ditanah ini, dan tak hendak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
121 PANDAWA KURAWA
aku pulang ke Turilaya”. Kembali pujian yang dikatakannya melupakan perintah
kakak seperguruannya, tentang tugas yang sebenarnya diemban.
“Puja pujimu teramat tinggi sang Dewi, membawaku terbang ke awan.
Melayang sukmaku mendengar pujian dari bibirmu yang sungguh bagus itu. Tapi
siapakah sang Dewi sebenarnya ?” Kembali Arjunapun yang lalai akan kewajiban
yang seharusnya dilaksanakan, ia menanyakan nama wanita itu.
“Masihkan aku perlu menyebut namaku ?” Murdaningsih manja mengulur
rasa penasaran lawan bicaranya.
“Ya sudahlah aku pergi saja, kalau kamu tak mau memperkenalkan
dirimu”. Sambil melepaskan pegangan tangan Murdaningsih, Arjuna kemudian
melangkah pergi, jurus rayu itu diterapkan.
“Eeh…, nanti dulu, jadi lelaki kok merajuk !” Murdaningsih mengejar,
menyambar tangan Arjuna.
“Bukan merajuk, tapi apa gunanya aku berhadapan muka dengan orang
yang tak aku kenal”Arjuna menyanggah.
“Aku Murdaningsih, sengaja datang kemari untuk menemuimu, Raden.
Nama dan cerita yang beredar di negaraku, membuat sasar rasaku, sehingga jauh
jauh aku datang untuk membuktikan kebenaran cerita itu”. Kali ini Murdaningsih
menumpahkan isi hatinya.
“Terus apa yang andika lihat pada diriku, sang Dewi ?” Pancing Arjuna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
122 PANDAWA KURAWA
“Seperti yang aku katakan tadi, aku tak akan lagi pulang ke Turilaya.
Hatiku telah tertambat disini, bawalah diriku kemana Raden pergi”.
Suasana hutan yang sunyi sungguh gampang berubah menjadi suasana
romantis, membuat kedua insan yang dimabuk asmara itu lupa segala galanya.
Arjuna lupa akan tugas negara sebagai prajurit, sedangkan Murdaningsih lupa
bahwa tujuannya adalah untuk meringkus Arjuna. Sekarang yang ada hanyalah
puja puji serta kidung asmara, berisi rayuan yang berhamburan dari mulut kedua
asmarawan dan asmarawati itu.
Namun tidak demikian dengan gajah Murdaningkung. Ia adalah seekor
gajah dengan sifat yang sudah bagaikan manusia. Melihat keadaan tidak sesuai
dengan apa yang digariskan, tidak ada keraguan dalam otaknya segera mendekati
kedua insan yang tengah memadu kasih. Diulurkan belalai, Arjuna yang tidak
waspada, diangkat tinggi dan dilempar dari sisi Murdaningsih.
Terjerembab Arjuna ditanah hutan yang lembab. Belum sempat ia berdiri
sempurna, gajah Murdaningkung kembali memburunya. Tak ada usaha lain
kecuali Arjuna menghindar melompat dari raihan belalai yang kembali hendak
meringkusnya. Kemarahan yang amat sangat merasuki ubun ubunnya karena
terganggu kesenangannya. Segera diraihnya anak panah yang tersandang
dipunggungnya dan dilepas busur yang tersandang dibahunya. Terpasang anak
panah pada busurnya, segera ditarik tali busur dan meluncur mengenai kepala
gajah itu. Lelehan otak bercampur darah mengalir dari tubuh besar yang terguling.
Mati seketika gajah Murdaningkung.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
123 PANDAWA KURAWA
Dewi Murdaningsih yang terpana melihat kejadian yang begitu cepat
membunuh gajah kesayangannya, kemudian berlari memburu kearah gajah
kesayangannya sambil menangis.
Air mata sang Dewi yang jatuh ditubuh gajah itu secara ajaib
membangunkan sang gajah dari kematian.Terheran Arjuna melihat kejadian itu.
Begitu juga Murdaningsih yang baru kali ini membuktikan kesaktian yang
diberikan gurunya.
Pada saat itu, Prabu Bogadenta yang dari tadi mengikuti perjalanan adik
seperguruannya , muncul ditengah kejadian.
Taulah sekarang Arjuna siapa mereka sebenarnya ketika mendengar Prabu
Bogadenta memarahi adik seperguruannya.
“Adikku yang cantik, sekali ini kamu terjebak oleh ketampanan lawanmu.
Tadinya aku tak ragu lagi untuk melepaskan kamu sendiri. Tapi setelah kamu tak
mampu menahan godaan Arjuna . Sekarang aku ambil alih peran kamu.”
“Arjuna ,Ssekarang kamu sudah ada dalam genggamanku jangan sampai
kamu melawan, percuma hanya membuang tenaga. Sekarang mendekatlah
ulurkan kedua tanganmu akan aku ikat tanganmu dan aku bawa kehadapan Prabu
Duryudana. !”
“Siapa kamu !” Tanya Arjuna penasaran
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
124 PANDAWA KURAWA
“Prabu Bogadenta dari Turilaya.” Bangga sang Prabu memperkenalkan
dirinya
“Kamu boleh menawanku kalau kamu sudah bisa melangkahi jasadku.”
Arjuna menantang.
“Rupanya kamu hendak meraih sorga. Majulah !”
Kali ini Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan. Saling serang dengan
tempo tinggi terjadi hingga hutan menjadi riuh oleh geretak ranting patah dan
tumbangnya pepohonan runtuh tersapu serangan kedua pihak. Kali ini Arjuna
tidak membuang waktu. Ketika serangan agak berkurang, Arjuna melompat
mundur, kemudian bidikan anak panah meluncur mengenai dada Prabu
Bogadenta. Tewas seketika sang Prabu.
Gajah Murdaningkung berlari mendekati tuannya dan meneteskan air mata
sedih atas kematiannya. Keajaiban kembali terjadi, bagai terbangun dari tidur,
bangkit kembali Prabu Bogadenta dari kematiannya.
Pusing Arjuna mengatasi lawan yang tiga tiganya saling bisa menolong
sesama kawannya.
Prabu Kresna yang dari kemarin mencari Arjuna mendengar keributan
yang terjadi segera menghampiri yang dicari cari.
“Aduh adikku, ternyata kamu ada disini !”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
125 PANDAWA KURAWA
Melihat kedatangan Prabu Kresna segera Arjuna bersimpuh “Sembah
baktiku kanda”
Penuh selidik Prabu Kresna berkata “Ya aku terima, tetapi lain kali
jangaan seperti ini. Aku tahu betapa remuk hatimu dengan kematian anak
kesayanganmu. Darma satria sudah kau lupakan sekarang. Padahal seandainya
kamu masih ingat akan janji setia Pandawa, bahwa mati salah seorang Pandawa,
maka yang lain akan mengikuti kematian yang satu itu. Bila itu terjadi, maka
kamu yang akan dituduh sebagai biang dari kematian saudaramu. Alangkah
malunya kamu. Jiwa satriamu akan luntur dan menjadi contoh buruk sepanjang
tergelarnya jagad”.
“Kanda, adikmu minta pengayoman “ Tercetus kata pasrah Arjuna.
“Apa yang bisa aku ayomi” jawah Kresna.
“Saya keteteran menghadapi lawan lawan itu.” Aku Arjuna
“Baik aku sekarang mengerti. Tapi tegakah kamu dengan wanita cantik itu
?”. Tanpa ada yang tersembunyi dari mata Arjuna, alasan Kresna menanyakan
tentang wanita cantik itu.
“Terpaksa kanda”. Sekenanya Arjuna menjawab.
“Penyakitmu belum sembuh sembuh juga ! Aku tahu, aku percaya. Kamu
adalah jago memanah tanpa tanding. Kecepatan memanahmu dalam satu waktu
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
126 PANDAWA KURAWA
dengan jumlah lepasan anak panahnya tak ada yang bisa mengalahkan. Itu yang
belum kamu lakukan !”.
Belum habis bicara Prabu Kresna, Arjuna sudah bersiap dengan ketiga
anak panahnya yang terpasang dalam satu busur. Dengan cara yang tidak mudah
ditiru siapapun, anak panah yang terluncur dari satu busur menuju sasaran masing
masing. Mengenai ketiga pendatang dari Turilaya, tamat riwayat ketiganya
bersamaan.
“Ayoh Arjuna, kita segera pulang. Jangan lagi berpaling, jangan lagi
menyesali yang sudah terjadi. Istrimu sudah menunggumu”.Tersipu malu Arjuna
mendengar kata kakak iparnya.
Palagan peperangan Kurusetra, Arjuna kaget dengan keadaan pasukannya
yang terdesak hebat oleh amukan Jayadrata tiruan yang jumlahnya tak terhitung,
membuat ngeri siapapun yang melihatnya. Bahkan kakaknya, Werkudara mundur.
Setelah diberi keterangan oleh Prabu Kresna mengenai kejadian yang
sebenarnya, segera Arjuna melepaskan panah neracabala. Ribuan anak panah
segera terlepas dari busurnya menghalau amukan ribuan Jayadrata, setelah itu
disapunya seluruh bangkai Jayadrata dengan ajian Guntur Wersa, berupa hujan
lebat dengan banjir yang menyapu hebat seluruh padang Kurusetra didepan
Arjuna. Ia telah diberitahu sebelumnya oleh Prabu Kresna, bahwa Jayadrata tiruan
akan tak dapat berbuat apapun jika dalang yang menggerakkannya telah
dilumpuhkan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
127 PANDAWA KURAWA
Ketika banjir melanda Kursetra di pertahanan prajurit Randuwatangan,
Bagawan Sempani yang tak mau terlanda hujan terpaksa meninggalkan pabaratan,
kembali buru buru ke pesanggrahannya, tidak kuat dengan air hujan dan kerasnya
arus banjir yang hendak melandanya.
Lenyap ribuan Jayadrata tiruan, tetapi rasa penasaran Arjuna belum sirna.
Yang diarah dari usaha yang sebenarnya adalah Jayadrata asli. Jayadrata yang
menjadi penyebab gugurnya Abimanyu anaknya. Betapapun matinya
Wersakusuma masih saja belum memuaskan rasa dihatinya.
Dari rasa penasaran itu, yang keluar dari mulut Arjuna akhirnya sepotong
kalimat sumpah.
“Kakanda Prabu, bila nanti sampai matahari tenggelam hari ini, Jayadrata
asli tidak dapat aku bunuh, maka hamba akan naik pancaka, untuk bakar diri !”.
Sumpah Arjuna terdengar oleh banyak orang yang segera bersambung lidah
mencapai telinga lawan. Geger lawan yang segera menutup rapat jalan kearah
persembunyian Jayadrata.
Sedangkan Prabu Kresna terdiam sejenak, kemudian kata tanya ditujukan
kepada Arjuna “Begitukah ? Padahal hari sudah mendekati sore. Apa usahamu
untuk melaksanakan sumpahmu ?” Tanya Prabu Kresna menjajagi sumpah adik
iparnya.
“Semua usaha akan aku pasrahkan kepada kanda Prabu”. Ternyata Arjuna
mengandalkan kakak iparnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
128 PANDAWA KURAWA
Tersenyum Prabu Kresna. “ Oooh begitu, akhirnya aku juga yang kau
andalkan !” Bila memang itu maumu ayo ikut aku !
Prabu Kresna mengajak Arjuna mencari tempat yang strategis dalam
menlihat tempat persembunyian Jayadrata
“Tunggu disini. Lihat apa yang ada didepanmu?” Itulah tempat
berlindungnya Jayadrata !”
Apa yang harus hamba lakukan sekarang kanda Prabu ?
“Aku akan membuat suasana menjadi petang seakan matahari sudah
tenggelam. Bila nanti itu sudah terjadi, segera nyalakan api pancaka,
berpakaianlah serba putih, dan perintahkan seluruh prajurit untuk berhenti dan
menyaksikan ritual kematianmu dalam api suci !”
Berbalik badan Kresna melangkah dengan masih berkata.“Tunggulah
sebentar, akan aku atur segala sesuatu yang bersangkut dengan bagaimana kamu
harus melakukan pancingan agar Jayadrata dapat ditemukan”.Segera bergerak
Prabu Kresna mendekati saudara saudara Pendawa, untuk menjelaskan apa yang
hendak dilakukan, kemudian ia melepaskan senjata Cakra Baswara keangkasa.
Senjata cakra adalah senjata sakti yang sejatinya adalah bagaikan senjata
yang terkendali oleh rasa yang ada pada hati dan diri Prabu Kresna. Mempunyai
kesaktian triwikrama sebagaimana yang berlaku pada diri Prabu Kresna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
129 PANDAWA KURAWA
Segera dalam keremangan sore setelah prahara hujan buatan dari Arjuna,
maka tak terasalah bahwa sinar matahari yang tertutup senjata cakra bagai
menyambung ke masa senja yang sebenarnya.
Api pancaka sudah disulut, para Pandawa yang sudah dibisiki oleh Prabu
Kresna akan tindakan yang hendak dilakukan, mengenakan pakaian serba putih.
Tidak hanya para prajurit Pandawa yang hendak menyaksikan peristiwa itu, para
Kurawapun ikut juga tersulut rasa penasarannya, menyaksikan dengan
kegembiraan yang tiada terkira. Dalam hatinya mereka mengatakan, bahwa
sekaranglah saatnya salah satu bahu Pendawa akan lumpuh dengan kematian
Arjuna.
Arjuna yang sudah diberi pembekalan segera naik ke panggung ,
bersembunyi dalam kobaran api berseberangan dengan tempat Jayadrata berada.
Jayadrata, seorang manusia keras hati, pada dasarnya ia tidak rela dengan
keadaan yang memaksanya bersembunyi bagai seorang pecundang. Rasa
penasaran mengalahkan ingatannya yang telah ditanamkan pada benaknya, bahwa
ia tak boleh terpengaruh oleh apapun yang terjadi disekitarnya. Maka ketika
suasana makin meriah dengan teriakan yang menyebutkan Arjuna bakar diri,
pertama yang dilakukan adalah melihat dari celah lubang udara. Gelapnya suasana
membuat ia tak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi diluar. Makin
penasaran, sekarang lehernya dikeluarkan untuk melihat dengan lebih jelas yang
terjadi diluar sana.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
130 PANDAWA KURAWA
Kejadian berlangsung sangat cepat. Ketika kepala Jayadrata keluar dari
lubang persembunyian, matahari muncul kembali setelah Cakra dikendalikan
untuk segera bergeser dari tempatnya. Secepat itu pula, Kyai Pasopati segera
dilepaskan. Putus leher Jayadrata menggelinding keluar dari bunker baja.
Kembali suasana terang matahari sore membuat gaduh suasana.
Werkudara sigap segera mengejar kepala Jayadrata. Saking geregetan
ditendangnya kepala Jayadrata yang jatuh itu menjadi bulan bulanan para prajurit
Hupalawiya. Kepala itu pada akhirnya mendarat didepan Resi Sempani.
Orang tua itu menangis memelas, melihat betapa nista jasad anaknya yang
dibuat permainan itu.
“Jayadrata anakku, walau kamu sudah tidak berbadan lagi, sebenarnya
kamu belumlah mati. Kamu masih hidup !”
Ajaib. Kepala yang tadinya tak berdaya, dengan mata terbuka, menyala
dendam terpancar dari bola mata itu !
“Gigitlah patrem ini, mengamuklah kamu atas kemauanku !” Sabda sang
Resi melayangkan kepala tanpa badan kembali ke medan pertempuran.
Kembali geger suasana di Kurusetra. Sepotong kepala mengamuk dengan
keris tergigit di giginya. Perasaan ngeri menghinggapi seluruh prajurit
Randuwatangan melihat kejadian yang membuat bulu tengkuk berdiri. Puluhan
prajurit kecil menjadi korban disisa hari dengan cara yang tak terkira. Tidak hanya
itu, putra lain Arjuna, Raden Gandawardaya, Raden Gandakusuma dan dan Raden
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
131 PANDAWA KURAWA
Prabukusuma tewas oleh amukan kepala yang melayang layang mengerikan.
Sepotong kepala dengan senjata dimulutnya !
Tidak mau banyak lagi yang menjadi korban, Kresna segera mencari tahu
dimana Resi Sempani yang diketahuinya menjadi penyebab kejadian mengerikan
ini. Setelah ditemukan, segera dihampiri Sempani yang tengah mengucapkan
berulang ulang ucapan sakti penyebab amukan kepala anaknya. “Hiduplah
Jayadrata, jangan mati”.
Berulang kalimat ini diucapkan.
Kresna hendak mengganggu dengan membalikkan kata kata namun awas
perasaan Sempani dengan akal akalan Kresna. Tetap ia mengucapkan kata mantra
dengan benar.
Tidak mau kalah akal Prabu Kresna, segera menjadi lalat yang
mengganggu bibir dan hidung. Sehingga salahlah ia mengucapkan kata mantra
sakti hingga terbalik, “ Matilah Jayadrata ! Sadar dengan ucapannya, dan kaget
dalam hatinya yang segera ia maju ke peperangan. Tidak terima ia dengan akal
akalan yang dilakukan Kresna.
Kepala Jayadrata yang kembali terkulai ditanah, kali ini tak dibiarkan
utuh, gada Rujakpolo atau gada Lukitasari Werkudara, segera menghancurkan
kepala itu menjadi tak berbentuk lagi.
Namun bahaya belum berakhir, sekarang berganti bahaya datang dari
amukan Sempani. Pendeta tua, bekas raja sakti itu mendesak maju dengan sebilah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
132 PANDAWA KURAWA
pedang menebas-nebas ganas bengis, siapapun yang menghalangi krodanya.
Drestajumna mencoba menghentikan amukan Sempani. Sesama menggunakan
pedang ia mencoba melayani permainan pedang jago tua itu. Tetapi kekuatan
orang tua itu tidak dapat dianggap enteng. Saling serang berlangsung hingga
matahari sudah menyentuh ufuk.
Tidak mau bertele tele, Kresna segera mendekati Arjuna. “Adimas, segera
kembali turunkan hujan, Sempani adalah orang yang tidak tahan terhadap
dinginnya hujan”.
Demikianlah, tak percuma Arjuna bernama Indratanaya, yang berarti anak
Batara Indra, dewa hujan. Maka hujan senja hari kembali turun dengan lebat.
Ternyata memang tidak salah, orang tua itu menggigil kedinginan, terkena
hujan yang turun dingin dilangit senja. Ia jatuh terduduk tak berdaya yang
kemudian napas tuanya memburu keluar satu persatu dan akirnya satu tarikan
nafas mengakhiri hidup ayah prajurit sakti Jayadrata.
Jayadrata seorang yang sejatinya mempunyai kedekatan kejadian dengan
Bimasena, tetapi sepanjang hidupnya ada dipihak lawan, karena hubungan
kekerabatan kakak adik ipar yang dekat dengan Prabu Duryudana , ia lebih
memilih tinggal di kesatrian Banakeling, daripada menjadi raja di tlatah Sindu . ...
Barata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
133 PANDAWA KURAWA
MAJUNYA BURISRAWA
Pegal, sebal, rasa Prabu Duryudana. Kembali ke Astina disela sela perang,
dirancang bakal mengendurkan rasa tegang. Tetapi yang terjadi adalah rancangan
yang berubah menjadi mentah. Yang ditemui di taman Kadilengeng bukan
layanan penuh kasih sang istri yang didadamba siang dan malam sepeninggalnya
dari istana. Yang ditemui ternyata hanyalah keruwetan yang menambah kusut
masai keadaan hati didalam. Ricuh di taman Kadilengeng masih meninggalkan
rasa sebah tetapi rindu terhadap sang istri, belum terlampiaskan. Sehingga rasa
hati itu akhirnya terbayang diwajah kusut sang Prabu.
Untuk mengobati segala rasa itu, segera ia mandi. Didalam mandinya,
tetap yang terbayang adalah sang istri, Dewi Banowati.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
134 PANDAWA KURAWA
Setelah mandi ia berganti busana kependitaan hendak bersamadi
menenangkan batin. Ubarampe persembahan utama telah disediakan berupa
sebongkah kemenyan sebesar kepala kerbau yang diletakkan diatas pedupaan.
Segera disulut dengan api secara hati hati, namun berkali kali gagal. Dalam sekian
kali usaha akhirnya berhasil ia menyalakan pedupaan itu. Segera upacara
dilakukan dengan duduk bersila, ia berusaha memusatkan perasaan heningnya,
menutup semua sembilan lubang tubuhnya.
Bau kembang gadung dan semerbak bunga menur tercampur akar akaran,
mewangi tercampur dengan asap dupa yang berkeluk meliuk naik keangkasa
berbaur mega, yang bila terlihat bagai bayangan sosok dewata.
Tak lagi samar akan sinar pamor sang suksma yang melayang
dikeheningan sepi. Yang tersimpan didalam kalbu sang Prabu hanyalah kunci
pembuka pintu hati. Dalam keadaan yang setengah sadar, bagai pesat laju
lepasnya mimpi, sang sukma Duryudana menyusup dalam kesejatian rasa.
Namun belum tuntas dalam melakukan ritual itu, bayangan Dewi
Banowati kembali membayang menggoda pemusatan rasa sang Prabu. Gagal sang
Prabu mencapai puncak pemuja, kembali ia berusaha dari awal. Namun kembali ia
gagal
Berkali kali berusaha, berkali itu pula ia gagal dan gagal lagi. Murka sang
Prabu Duryudana, ditendangnya pedupaan hingga pecah berantakan. Dalam
hatinya ia memaki dewata yang dikiranya berbuat rencana buruk buat dirinya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
135 PANDAWA KURAWA
Merasa tak lagi ada gunanya ia kembali ke Astina, segera dipanggilnya
tunggangan sang Prabu, berrupa gajah putih bernama Kyai Pamuk. Segera dipacu
tunggangan itu kembali ke Pesanggrahan Bulupitu, dengan secepat cepatnya. Ia
hendak melampiaskan kekesalan yang menggunung tumpuk menumpuk
didadanya.
Tak beberapa lama saking cepat lari sang gajah, sore itu sudah kembali ke
pesanggrahan Bulupitu, yang ditinggalkan setelah ricuh tempo hari.
Kembali ia menemukan kenyataan sangat pahit. Berita kematian adik
iparnya, Jayadrata, membuatnya semakin murka.
“Paman Pendita Durna, sudah berapa hari andika menjadi senapati ?
Kesanggupan andika paman dalam menumpas Pandawa, meringkus Puntadewa
selama itu tak kelihatan nyatanya ! Gugurnya anakku yang merupakan
kehilangan lebih dari seisi harta kekayaan negara, sekarang telah andika tambahi
dengan menyusulnya adipati Banakeling, Jayadrata ! Itukah yang andika telah
lakukan dalam ujud pengabdian sebagai senapati ! Kalau boleh aku sebut, andika
adalah seorang guru yang telah melakukan pilih kasih. Paduka sang Penembahan
telah melakukan perbuatan dengan standar ganda. Raga andika ada di sekitar para
Kurawa,namun dikedalaman hati, para Pandawalah yang bersemayam dalam hati.
“Itu dapat dilihat dari pencapaian selama andika menjadi senapati. Hanya
matinya Abimanyu-kah yang dapat andika lakukan ? Taklah itu seimbang dengan
gugurnya Pangeran Pati Astina, satu satunya anakku lelaki sebagai penyambung
keturunanku. Apakah aku sendiri yang harus maju menjadi senapati !”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
136 PANDAWA KURAWA
Pandita Durna yang dicerca sedemikian bertubi tubi, malu dalam hatinya.
Melihat Prabu Duryudana masih hendak menyambung kata katanya, tak tahan ia.
Segera pergi ia tanpa pamit. Dalam lubuk hatinya, sangatlah sakit diperlakukan
demikian. Apalagi peristiwa kemarin hari, yang menyebabkan tewasnya adik
iparnya, dan diusirnya Aswatama, membuat ia merasa bagai terkeping keping
hancurnya hati.
Kejadian di Bulupitu menjadikan Prabu Salya sangat prihatin.
“Aduh anak Prabu, sudahkah anak Prabu berpikir jernih dengan kata
katamu tadi ?” Salya yang dari tadi diam, berbicara ia mengingatkan. “Akan
susut kekuatan Kurawa bila ia tidak lagi ada pada pihak kita. Ia belumlah
melangkah ke palagan dengan kekuatan dirinya. Selama ini ia baru menggunakan
kekuatan orang orang disekelillingnya. Seharusnya anak Prabu memberi
kesempatan kepadanya dengan lebih luas untuk meringkus para Pandawa dengan
kekuatannya sendiri.”
Sesal sang Prabu tiada guna. Dipanggilnya patih Sangkuni “Paman Harya,
segera susul Pandita Durna, sampaikan rasa sesalku yang tak kuat menahan beban
rasa yang menggelayut didadaku. Mintalah ia segera untuk kembali ke Bulupitu”.
“Daulat titah anak Prabu. Malam ini juga akan aku cari beliau. Tak akan
pamanmu pulang, sebelum Kakang Durna ditemukan. Namun bolehkah hamba
ditemani Aswatama ?”
Tanya Sangkuni ragu, karena setahu ia , Aswatama telah menjadi orang
yang tak disukai sang Prabu, ketika terjadi ricuh di Bulupitu. Namun otaknya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
137 PANDAWA KURAWA
yang encer mengatakan, Aswatama-lah yang hendak dijadikan pasal untuk
merayu kembalinya Dahyang Durna, bila ia ketemu nanti.
“Terserahlah Paman mau ditemani siapa. Yang penting adalah kembalinya
Pandita Durna”.
Mundur Patih Harya Sangkuni sambil menghaturkan sembah.
Sesampainya diluar, diperintahkan prajurit pecalang untuk menghadirkan
Aswatama. Malam gelap itu ia ditemani anak Durna berjalan tanpa tujuan,
mencari seseorang dengan jejak yang tak nampak. Sasar susur kedua orang itu
malam yang pekat mencari keberadaan Pandita Durna. Tak terasa mereka telah
jauh meninggalakan medan Kurusetra.
Sementara di Bulupitu, merenung Prabu Duryudana memikirkan situasi
yang terjadi atas barisannya. Setengah menyerah, setengah semangat berganti
ganti terrasa didalam hatinya. Bagaimanapun juga, adanya orang tua itu telah
menjadikan rasa dan pikirnya semangat, karena kesaktian gurunya itu sebenarnya
sejajar dengan keberadaan Resi Bisma ketika itu, yang sama sama murid dari
Ramaparasu. Petapa sakti yang panjang umurnya. Pertapa yang hidup sebelum
jaman Ramayana berlaku hingga ia mempunyai murid Dewabrata dan
Kumbayana yang kemudian ia dipanggil dewata sebagai penghuni kahyangan.
Prabu Duryudana akhirnya ia berpikir akan negaranya, Astina, bila ia maju
sendiri ke peperangan sebagai senapati.
Bahkan sempat terlintas dipikirannya, bila ia mati dalam peperangan,
maka suksesi kepemimpinan akan dikemanakan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
138 PANDAWA KURAWA
Teringat tentang hal ini, dipanggilnya adiknya Arya Dursasana. Dalam
pikirnya, ia harus menyiapkan pangeran pati baru sebagai pengganti anak
sulungnya Lesmana Mandrakumara.
“Adikku Dursasana, tahukah kenapa aku panggil kamu ?” Duryudana
membuka pembicaraan dengan maksud menjajagi hati adik kesayangannya.
“Tidak kanda prabu. Kalaupun hamba sudah dipanggil pastilah hamba
bakal dipercaya menjadi senapati. Ngiler rasanya bagaikan ngidam rujak
cempaluk. Cepatlah kanda Prabu mengatakan, sekaranglah hamba harus
melangkah kemedan pertempuran sebagai seorang senapati melawan Pandawa”.
Sudah menunggu sekian lama saya mengharap maju sebagai senapati, ikut
perang di hari hari kemarinpunpun serba dibatasi. Apalagi dijadikan senapati.
Hari ini hamba dipanggil, gembiranya hati adikmu ini bagaikan mendapat
ganjaran yang tiada ternilai harganya. Perkenankan adikmu ini, untuk segera
melangkah ke peperangan “. Harapan akan tugas sebagai senapati memenuhi dada
Dursasana.
“Jauh dari yang kamu harapkan”. Tegas kata sang Prabu.
“Hah . . . Bagaimana sebenarnya ?. Kecewa berat Dursasana mendengar
jawaban kakak sulungnya itu dengan seribu tanya dihatinya.
“ Hari ini, kamu saya suruh kamu pulang ke istana”. Makin tak mengerti ia
mendengar jawaban kakaknya. Belum jelas apa yang dimaksud kakaknya, ia
melanjutkan “Apakah ada musuh yang menerabas dari belakang ?”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
139 PANDAWA KURAWA
“Ada pekerjaan yang harus kamu lakukan. Jagalah kakak mu Banuwati”
Kaget setengah tak percaya ia mendengar titah kakaknya. Sampai sampai ia
menanyakan kembali perintah itu, tapi jawabannya sama saja.
Tidak puas Dursasana menawar “Bagaimanapun saya seorang prajurit,
yang seharusnya maju ke medan perang. Kenapa haru kembali ke istana ? Kalau
boleh kali ini hamba menolak perintah paduka”
“Apa kamu tidak takut aku ?” Tanya Duryudana mempengaruhi adiknya.
“Takut ? Pasti. Karena kanda prabu adalah raja hamba, juga kakak sulung
hamba”. Kecewa Dursasana makin dalam. Keringat dingin yang mengalir
diwajahnya dibiarkan mengalir. Ia tak peduli dengan keadaan dirinya ketika
batinnya berontak hebat.
“Yang saya ingin sampaikan adalah, kekhawatiranku akan terjadinya apa
apa terhadap kakak iparamu dan terhadap kamu sendiri”. Dijelaskannya maksud
dari semua perintah terhadap adiknya.
Tabiat Dursasana dikenal sebagai seorang Kurawa pemberani cenderung
ugal ugalan. Maka ketika diberi tugas menjaga wanita, batinnya sangat tidak
terima. Tetapi apa daya, rasa bakti terhadap kakaknya mengalahkan segalanya.
Maka berangkatlah dengan langkah gontai, Raden Arya Prawira
Dursasana. Semangat menggebu gebu diawal, terkubur oleh perintah kakaknya
yang menyebabkan ia merasa, seakan didandani dengan bedak tebal dimukanya,
dipoles bibirnya dengan gincu, sementara gelung rambutnya dirubah seperti
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
140 PANDAWA KURAWA
bentuk gelung malang, gelung para wanita. Dalam perasaannya ia juga bagai
dipakaikan kain minting minting bak dandanan wanita.
Hari telah berganti lagi, pagi baru menjelang. Kekosongan senapati
membuat putra Mandaraka, Burisrawa, adik Banuwati, tanpa diperintah telah
mengambil alih peran Pandita Durna. Segera ia menyusun barisan tanpa pola
menyerang maju ke padang Kuru dengan ampyak awur awur, serabutan membabi
buta.
Ketika dilapori bahwa hari itu pasukan Bulupitu datang dengan pimpinan
Burisrawa, Werkudara yang sedang berjaga di garis depan, pesanggrahan
Randugumbala segera bersiap menghadang.
Tetapi Setyaki, yang dari dulu sudah menjadi musuh bebuyutan, segera
menyelonong kehadapan Arya Werkudara.
“Kanda Arya, ini yang aku tunggu dari kemarin ! Sekaranglah waktunya
yang tepat untuk menuntaskan dendam berkepanjangan antara aku dengan
Burisrawa” ingatan Setyaki berbalik ke masa masa lalu, yang berkali kali gagal
menuntaskan permusuhan bebuyutan dengan Burisrawa. Terakhir kali ingatnya, ia
bertempur sewaktu mengikut Prabu Kresna ketika didaulat menjadi kusirnya
sebagai duta terakhir sebelum pecah perang.
“Bungkik, apa yang menjadi bekal kamu dalam menghadapi Burisrawa
yang berbadan lebih besar dan kekuatan bagaikan orang hutan” Tanya Werkudara
meyakinkan tekad Setyaki.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
141 PANDAWA KURAWA
“Yang paling utama adalah tekad !” Jawab Setyaki yakin.
“Tekad tidak cukup !” Kembali Werkudara menjawab
“Jadi harus bagaimana ?” Tanya Setyaki memancing.
“Sebelum kamu maju menghadapi Burisrawa, akan aku uji dulu
kekuatanmu !“ Werkudara menawarkan cara
“Silakan kanda Arya !” Setyaki bersiap diri.
“Angkat Gada Lukitasari punyaku, bila kau sanggup mengangkatnya,
kamu pantas menghadapi Burisrawa”. Ujian pertama ditawarkan.
Segera disorongkan batang gada kehadapan Setyaki, dengan sekali usaha,
terangkat gada super berat Arya Bimasena.
“Bagus , kamu memang pantas menyandang nama Bima Kunting !” .
Bima Kunting artinya adalah Bima dengan tubuh kecil. Dijuluki demikian,
Setyaki tetap bangga.
“Tapi itu belum cukup ! Satu lagi, bila kamu bisa kuat menerima pukulan
gadaku ini, kamu boleh berangkat sekarang !.” Kembali ujian kedua ditawarkan.
“Silakan kanda.” Kembali Setyaki bersiap diri.
Dipukulnya Setyaki dengan gada Rujakpolo. Gelegar suara benturan
badan Setyaki dengan batang gada bahkan menggetarkan tanah tempat Setyaki
berpijak. Gelegar suara itu bagai menerpa batang baja. Setyaki tetap bergeming.
Gembira Werkudara menyaksikan kekuatan adik misannya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
142 PANDAWA KURAWA
“Ayoh berangkat akan aku awasi dari jauh !” Werkudara memberi aba aba
Bangga Setyaki lulus dalam ujian yang tidak ringan itu.
Semakin percaya diri Setyaki menghadapi Burisrawa. Iapun sesumbar.
“Nanti siapapun yang kalah, tak ada seorangpun yang boleh membantu !”
Maka berhadapanlah kedua satria yang sudah lama saling mendendam.
Bara dendam memercikkan semangat untuk saling mengalahkan dalam arena
resmi ini. Mereka berdua bertekad untuk menyelesaikan adu kekuatan dengan
kemenangan.
“Heee Setyaki yang datang menjemput aku, sudah bosan rasanya aku
melihat kamu lagi. Kali ini adalah kali yang terakhir. Aku tak mau melihat
tampangmu lagi. Biar aku tekuk kamu sekarng ! Tidak mungkin kamu
mengalahkan aku !”
“Apapun katamu, sekarang tak ada lagi yang bakal menunda kematianmu
!”.
“Apa yang kamu andalkan ? Besarnya badan, lebih besar aku. Kekuatan
pasti lebih kuat aku. Majulah kemari orang kecil, terkena sambaran kakiku lunas
nyawamu !”
“Jangan banyak mulut, serang aku sekarang juga !”
Adu kekuatan mulanya berjalan seimbang. Pukulan tangan kosong dada
Setyaki dilancarkan Burisrawa. Berkelit sambil memiringkan badan Setyaki
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
143 PANDAWA KURAWA
menghindar sambil mengayunkan sapuan kaki kanannya. Tak mau terkena sasaran
kaki Setyaki, Burisrawa meloncat. Sambil berbalik badan, kakinya mengarah ke
leher Setyaki.
Kali ini benturan tak dapat dielakkan lagi, Setyaki merunduk sambil
mengerahkan kekuatan ditangannya, kaki Burisrawa ditebas dengan tangan
berkekuatan penuh. Benturan keras terjadi. Sementara tangan Setyaki kesemutan,
Burisrawa mendaratkan kakinya dengan terpincang pincang.
Kembali adu kekuatan kaki dan tangan keduanya berlangsung silih
berganti. Saling serang dengan kekuatan raksasa, diselingi dengan ketangkasan
beradu gada.
Setengah hari telah berlalu. Lama kelamaan kekuatan tenaga dari kedua
satria itu makin dapat ditebak keseimbangannya. Walaupun Setyaki bertenaga
raksasa penjelmaan raksasa Singa Mulangjaya, namun Burisrawa adalah anak raja
Mandaraka yang hampir tak pernah betah tinggal di istana. Ia lebih suka berkelana
dihutan hutan hingga kesisi lautan. Berguru pada berbagai orang sakti, hingga
Batari Durga dan Betara Kala sekalipun pernah menjadi gurunya. Tak heran ia
menjadi manusia dengan kekuatan gorila, karena rajinnya ia mencari kesaktian
dan menyadap kekuatan alam.
Maka pada suatu saat, Setyaki terkunci oleh gerak pitingan Burisrawa.
Setyaki mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi bagai terjepit ragum baja
raksasa, rontaannya tak sanggup ia lepas dari jepitan kekuatan raksasa Burisrawa.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
144 PANDAWA KURAWA
Bangga Burisrawa akan usahanya menjepit Setyaki “Disini akhir hidupmu
Setyaki. Akan aku patahkan tulang belulangmu sedikit demi sedikit, agar kamu
tahu, betapa sakitnya berani beraninya melawan Burisrawa !”.
Belas kasih Prabu Kresna melihat adik istrinya, Setyaboma, terjepit oleh
kekuatan raksasa Burisrawa. Tapi di awal sudah ada perjanjian antar keduanya,
bahwa peperangan tanding itu tidak boleh dibantu oleh siapapun. Tak kurang akal,
Kresna memanggil Arjuna hendak melakukan sandiwara agar adik iparnya itu
dapat ditolong.
“Arjuna, aku masih ragu terhadap trauma atas kematian anak anakmu.
Apakah jiwamu sudah penuh kembali seperti semula atau belum ! Karena masih
banyak para sakti yang masih bermukim di pesanggrahan Bulupitu. Ujian akan
aku berikan, hingga aku tahu sampai dimana kembalinya pemusatan pikirmu.
Sekarang aku uji pemusatan pikiranmu, dengan memanah sehelai rambut yang
ada ditanganku ini, kenai dengan panahmu Kyai Pasopati . . !”
“Marilah kanda Prabu, akan aku buktikan kembalinya kekuatan jiwa
ragaku” mantap Arjuna menerima tantangan ujian itu.
Terlepas panah Pasupati memutus rambut yang terpegang Prabu Kresna,
tetapi sejatinya, arah yang diharapkan Prabu Kresna adalah searah dengan
keberadaan Burisrawa yang tengah memiting Setyaki. Maka tak ayal lagi
terserempet Kyai Pasupati, lengan Burisrawa terputus, tergeletak jatuh ketanah.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
145 PANDAWA KURAWA
Merasa pitingan lawan kendor, disertai raungan kesakitan Burisrawa,
Setyaki punya kesempatan meraih gadanya. Dipukul kepala Burisrawa berkali
kali, tewas seketika Burisrawa.
Bangga Setyaki melihat lawannya tergeletak tak bernyawa lagi.
“Huh Burisrawa . . . ! Sumbarmu bagai hendak memecahkan langit !
Kepentok kesaktianku, mati kamu sekarang !” Berkacak pinggang Setyaki
didepan jasad Burisrawa.
“Setyaki siapa yang membunuh Burisrawa ?” Kresna yang menyusul
kearah Setyaki menjajagi rasa bangga Setyaki.
“Tentu saja adikmu yang gagah sentosa ini !” Kebanggaan Setyaki belum
habis juga
“Coba lihat sekali lagi, apa penyebab kamu bisa lepas dari pitingan
lawanmu ?” Tanya Kresna.
“Oooh . . . . . Jadi lengannya telah putus lebih dulu sebelum hamba pukul
kepalanya ?”
“Makanya jadi orang jangan pandir, hayuh minggir , lihat ayah Burisrawa,
Prabu Salya tidak terima !” Buru - buru Setyaki diseret Prabu Kresna agar
menjauhi jasad Burisrawa.
Memang yang terjadi adalah Prabu Salya hendak maju kemedan perang.
Tapi tak tega Prabu Duryudana segera memegangi Prabu Salya, agar berlaku
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
146 PANDAWA KURAWA
sabar terlebih dulu. Duryudana merasa belum saatnya sang mertua untuk
bertindak walaupun tahu betapa sedihnya hati orang tua itu tatkala melihat
anaknya lelaki yang tinggal satu itu, setelah kematian kakak Burisrawa,
Rukmarata, maka yang tertinggal adalah ketiga anak perempuannya, Erawati,
Surtikanti dan Banuwati.
Barata
TEGAKNYA HARGA DIRI SEORANG PROFESOR
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
147 PANDAWA KURAWA
Sejenak kita kembali kepada saat padang Kurusetra bergejolak, atas
kehendak Adipati Karna dalam menjalankan perang di waktu malam. Kita beralih
ke tempat yang lain namun dalam waktu yang bersamaan, di hutan Minangsraya.
Ditempat ini terlihat bentangan suasana alam nan luas. Suasana yang tergelar
samar dan muram, seperti halnya cahaya kunang kunang. Tak berdaya sinarnya,
kalah tertelan oleh cahaya bulan purnama di awang awang. Ketika itu pranata
mangsa telah menunjuk pada musim kemarau dan awan tipis berarak di kaki
langit, menjadikan terpesona yang melihatnya. Bahkan juga mahluk seisi
hutanpun ikut terpana, batang pohon kayu besar-pun terbakar.
Gambaran suasana yang ada di hutan Minangsraya ini, saat Pandita Durna
yang terlunta lunta dan sakit hati, dijatuhi murka sang Duryudana. Duduk bersila
dibawah pohon baniyan, resi Durna mengheningkan cipta. Semua pancaindriya
dimatikan, hanya rasa jati yang dimunculkan. Terseret sukma sang begawan
kedalam alam layap leyep, alam samar. Dan pesatlah laju suksma sang Pandita
melesat keharibaan sang gurunadi, guru sejati, Ramaparasu.
Kaget sang Ramaparasu melihat datangnya Kumbayana yang menampakkan
wajah murung.
Sembah bakti telah dihaturkan ke haribaan Ramaparasu atau
Ramabargawa. Kemudian Kumbayana menyampaikan segala isi hatinya.
“Guru, hamba telah kehilangan harta yang tak bernilai harganya. Bahkan
seluruh raga ini telah terasa bagai terseret runtuhan gunung Mahameru. Luluh
lantak sudah tak berujud lagi”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
148 PANDAWA KURAWA
“Apa sebab kamu merasa demikian, segala kesaktian, guna kawijayan
kanuragan, kasantikan telah kau terima dariku waktu lalu, bagaikan telah tertuang
habis mengalir kepadamu. Dan bila kamu merasa telah kehilangan harta yang tak
ternilai seperti yang kau sebutkan tadi, segera jelaskan apa maksudnya.” Rama
Bargawa menanyakan, namun dalam hatinya ia tidak syak lagi, bahwa didepan
telah menjelang peristiwa besar yang menanti garis perjalanan Kumbayana
muridnya.
“Bapa Guru, hamba telah kehilangan kepercayaan dari junjungan hamba
Prabu Duryudana dalam mengemban tugas sebagai seorang senapati. Inilah yang
hamba anggap kehilangan yang terbesar dalam hidup. Kehilangan kepercayaan
yang berturut turut terjadi, setelah putra kesayangan hamba satu satunya
Aswatama, telah diusir jauh dari pandangan mata junjungannya. Dan kini
kehilangan kepercayaan dari seorang raja mengenai kegagalan hamba dalam
melakukan tugas, adalah, bagai runtuh dan leburnya harga diri. Sekali telah
runtuh, banyak waktu dan usaha yang teramat sulit untuk mendirikannya kembali,
malah mungkin tak kan pernah lagi terbangun kepercayaan itu lagi” sedih
Kumbayana memuntahkan isi hatinya, mukanya tertunduk dalam, menanti jawab
sang guru yang apapun ucapannya nanti, dalam niatnya ia akan menjalankan
sepenuh hati.
“Jadi apa maksudmu sekarang ? Apalagikah yang harus aku berikan untuk
mengatasi masalahmu ?” Sang guru sebenarnya berwatak keras sepanjang
hidupnya, namun sekarang tersentuh hatinya menanyakan maksud Kumbayana.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
149 PANDAWA KURAWA
“Berilah hamba pencerahan. Krisis kepercayaan yang terjadi pada diri
hamba sekarang, telah menutup nalar hamba terhadap segala pertimbangan dan
keputusan yang harus hamba ambil. Sekali lagi mohon pencerahannya bapa guru.”
Memohon dengan seribu hormat Kumbayana kepada sang guru.
“Sekarang kamu sedang menimbang perkara apa ?” Kembali Ramaparasu
menegaskan pertanyaannya.
“Haruskah hamba meneruskan peran yang sedang hamba pikul dipundak
ini, apakah cukup disini riwayat Kumbayana, dan kemudian beban itu kami
letakkan ? Kemudian hamba minta kerelaan paduka guru, agar hamba
dapat menjadi abdi paduka guru selama lamanya !” Kumbayana mengakhiri
kalimat itu dengan kesan mendalam bagi sang guru bahwa ia benar benar ada
dalam keputus asaan yang berat.
“Kumbayana, pantang bagi manusia sepertimu yang walaupun pada
kenyataanya kamu adalah seorang pandita, namun dalam jiwamu masih
bersemayam jiwa satria yang kuat. Seharusnya kamu tidaklah meletakkan beban
yang disandangkan ke punggungmu, bila belum memperoleh kata perintah
berhenti dari yang memberi beban. Apalagi menyerah kemudian memilih pergi ke
alam kesejatian”. Sejenak Rama Parasu berhenti berbicara, ia mengamati
perubahan air muka Kumbayana. Lanjutnya “Bila alam kesejatian yang hendak
kau raih, jalan kearah itu janganlah dilalui melewati keputus asaan. Segeralah
kembali ke medan Kurusetra. Tak perlulah kamu kembali kehadapan Duryudana,
tapi segeralah kerjakan apa yang menjadi tugasmu. Menang atau kalah itu adalah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
150 PANDAWA KURAWA
darma satria. Menang kamu harus meneruskan darmamu, dan bila kalah, jalan
kesejatianlah itulah benar yang seharusnya kau lalui menuju tepet suci. Itu adalah
seharusnya jalan utama bagi seorang kesatria yang harus dilalui ”
“Baik, hamba akan menuruti segala sabda paduka Guru.” Mengangguk
Kumbayana, mengerti yang dimaksudkan oleh gurunya.
“Terimalah bekal sarana sakti dalam menuntaskan tugas itu. Bulu merak
ini mampu membuatmu tak kan terlihat dengan mata telanjang. Syaratnya adalah
kamu tidak boleh bicara ketika menggunakannya. Tetapi bila anak anakmu
Pandawa kuasa untuk mengantarmu kealam abadi nanti, itu pertanda bahwa
merekalah yang sebenarnya berlaku benar dan pantas memenangi perang, atau
sebaliknya.”
Kembali ke raga, sukma sang Kumbayana, setelah mendapatkan
pembekalan dari sang gurunadi. Langkah ringan Pandita Durna diayun kembali ke
Kurusetra. Ia telah menimbang nimbang tentang hal dihadapannya. Mukti dan
mati sekarang terlihat bagai hanya tersekat oleh lembaran setipis kulit bawang.
Ketidak percayaan akan kemampuannya sebagai senapati, akan ia balikkan
menjadi keberhasilan bagi negara tempat ia mengayom, bagi dirinya sendiri dan
terpenting bagi anak turunnya Aswatama. Itulah tekad yang menguat di hatinya.
Apapun kejadiannya nanti, telah tidak menjadi beban lagi baginya.
Malam tinggal sepotong. Malam yang ditempat lain, di padang Kurusetra
baru saja terhenti persabungan nyawa, prajurit Pringgandani melawan prajurit dari
negara Awangga dan segenap jajahannya. Malam dengan pemandangan dan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
151 PANDAWA KURAWA
peristiwa yang mengerikan. Namun ditempat ini, langkah Pandita Durna seakan
diberkati alam semesta. Pemandangan alam yang dilalui menampakkan asrinya
hamparan keindahan bagai sebuah tamasya. Bulan lepas purnama mengambang
dilangit, sinarnya terbias oleh air telaga bening bagai bayangan seekor kura kura
yang mengambang. Sementara sisa gelap malam masih mengelipkan bintang
bintang yang menyebar bagai terpencarnya sari bunga tertiup angin. Ayam hutan
berkokok merdu dari arah ladang pegagan, ketika sang Pendita telah sampai
dipinggir hutan menjelang terang fajar.
Dan ketika semburat merah matahari kembali menerangi hamparan perdu
pinggir hutan Minangsraya, dilihatnya Patih Sangkuni berjalan diiring oleh anak
terkasihnya Aswatama. Dapat akal ia untuk menguji ilmunya, segera ajian Laring
Merak dirapal menurut petunjuk sang guru. Dicolek patih Sangkuni dengan gaya
kocak kebiasaan mereka berdua yang sering bercanda.
“Aswatama, kamu mencolek colek aku, ada apa ?!” Sangkuni yang
terheran, menanyakan ke Aswatama ketika punggungnya merasa ada yang
menyentuh.
“Hamba tidak melakukan itu paman” sanggah Aswatama.
“Lha kalau begitu, pasti disini banyak jin setan periprayangan yang
kerjaannya mengganggu manusia !” Sangkuni setengah berbisik mengatakan
kepada Aswatama.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
152 PANDAWA KURAWA
“Tapi hamba tak diganggunya. Mungkin hamba orang yang tidak banyak
dosa jadi tidak diganggu.” Jawab Aswatama sekenanya.
“Kalau begitu aku ini manusia yang banyak dosa, begitu ?” Kembali
Sangkuni menegaskan.
“Ya begitu, memang kenyataannya !” Terkekeh Pandita Durna menyahut.
Maka tampaklah sosok Durna dihadapan keduanya.
Gembira Patih Sangkuni segera merangkul Pandita Durna. Kemudian
berganti sang Pandita merangkul anak tunggal kesayangannya, Aswatama.
“Lha Wakne Gondel, sudah dua malam aku mencarimu, ayolah kakang,
Sinuwun sudah mengharapkan wakne Gondel untuk meneruskan peran andika
sebagai senapati. Sinuwun Prabu Duryudana menyampaikan rasa sesal yang tak
terkira. Maklumlah, beliau banyak beban dipunggungnya yang kian berat. Apalagi
kematian putra lelaki satu satunya, telah meruntuhkan moral perangnya. Tugas
wakne Gondel sekarang adalah, mengangkat kembali moral sinuwun Prabu
Duryudana.”
“ Ya aku sanggupi. Hari ini sebelum matahari tenggelam, aku sanggup
menyelesaikan perang dengan kemenangan !“. Pendeta Durna menjanjikan.
“ Anakku Aswatama, untukmu aku pesankan, jangan dulu kamu ikut
dalam pertempuran ini, pergilah menjauh dari arena. Kalau aku sudah dapat
membuktikan kerjaku, pasti sinuwun Duryudana akan mengampuni kesalahan
kamu “.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
153 PANDAWA KURAWA
Berita kembalinya Pandita Durna telah memberi bahan bakar semangat
baru bagi prajurit Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar kedatangan
kembali agul agul sakti sebagai senapati. Melebihi kegembiraan ketika malam
tadi, kakak iparnya, Adipati Karna telah berhasil membunuh Gatutkaca.
Walaupun sang Pendita tidak langsung menghadap, namun kesediaannya
kembali mengatur peperangan yang disampaikan oleh pamannya, Sangkuni, telah
menjadikannya Duryudana bangkit kepercayaan dirinya lagi.
Perang campuh pun kembali berlangsung siang itu. Telah tersedot habis
tenaga dalam peprangan malam kemarin, sisa prajurit Kurawa yang selamat dari
kehancuran perang malam telah kembali bertarung mengadu peruntungan siang
ini.Melihat kelelahan yang mendera para prajurit Bulupitu, sang Senapati tidak
tega. Maka diambil alihlah kendali peperangan dengan peran utama ada pada
tangan Pandita Durna sendiri. Amukan sang Senapati tua, yang kembali dari
pengasingan diri kemarin hari, membawa korban sedemikian besar bagi para
prajurit Amarta. Senjata Jayangkunang ditangannya dengan ajian laring merak
yang membuatnya tidak kasat mata. Mengerikan bagai seberkas api ndaru braja
berkobaran ditengah palagan peperangan, menghanguskan siapapun yang berani
menghadang gerakannya. Gerakannya yang kadang mematikan nyala kerisnya dan
berpindah posisi amukannya membuat lawan kerepotan dalam menentukan
dimana arena amukannya akan terjadi.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi prajurit Amarta,
Drestajumna segera menghadap Sri Kresna dan Arjuna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
154 PANDAWA KURAWA
“Dhuh para sekti, kami meminta pertimbangan kepada paduka, apakah
yang harus kita lakukan agar dapat menghentikan amukan senapati yang tak
terlihat dengan mata para prajurit”.
“Adimas Drestajumna, sudah aku pikirkan sebelum dimas sampai
dihadapanku. Aku akan mengutus kakakmu Arjuna, untuk menghentikan jatuhnya
korban dari tangan Pandita Durna”. Tenang Prabu Kresna memberikan ketegaran
hati kepada sang senapati Pandawa.
“Adikku Arjuna, hanya kamulah yang dapat menghentikan amukan
gurumu Resi Kumbayana. Hanya pesanku, jauhkan rasa yang mengatakan itu
adalah gurumu yang harusnya kamu hormati dan patuhi semua perkataannya.
Ingatlah kata kataku waktu lalu, yang mengatakan, ini adalah perang dimana tidak
ada balas budi antara guru dengan muridnya. Yang ada hanyalah perang dimana
tempat itu adalah arena untuk meluwar segala janji dan memetik yang kita
tanam”. Kresna mengulangi pesan yang pernah ia sampaikan ketika perang baru
saja berlangsung. Ketika itu ragu hati Arjuna menyaksikan lawannya adalah para
saudara sendiri, paman, eyang, bahkan gurunya sendiri, hingga membuat
semangatnya luluh dan ia jatuh terduduk dengan badan yang gemetar.
“Kata kata kanda Prabu akan kami junjung tinggi dan akan hamba
laksanakan. Mohon petunjuk kanda Prabu selanjutnya” Mantap Janaka menjawab.
“Baiklah. Sarana untuk melihat keberadaan lawanmu adalah rumput
Sulanjana yang kamu miliki sejak lama, pergunakanlah untukmu sendiri dan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
155 PANDAWA KURAWA
orang orang yang kamu percayai dalam membantu usahamu, adimas”. Pesan
Prabu Kresna mengakhiri pembicaraan.
Maka beranjaklah Arjuna mengatur barisan dan menggunakan sarana agar
dapat melihat dimana adanya musuh yang tidak terlihat itu. Sementara Kresna
memberi pesan juga, agar mengulur waktu karena dirinya hendak mencari
keberadaan Werkudara yang meninggalkan Tegal Kuru tanpa pamit hendak
kemana.
Prabu Drupada yang mendapatkan jatah rumput sulanjana segera
menghadang gerakan Pandita Durna. Ia merasa masih punya ganjalan dengan
teman karibnya dahulu. Setengah memaksa kepada Arjuna dan anaknya
Drestajumna, agar ia dapat melayani senapati Bulupitu itu.
Maka ketika sari rumput sulanjana sudah diteteskan pada matanya,
Drupada dengan mudahnya mendapati dimana Begawan Durna berada.
“Heh Kumbayana, tak ada gunanya kamu bersembunyi dalam ajianmu.
Ayolah kita menentukan siapa sejatinya yang lebih benar dalam persoalan trah
Barata ini”.
“Ooh . . Kakang Sucitra, baik aku layani segenap kesaktian yang kamu
miliki. Lupakan saat dahulu ketika bersama sama berguru. Lupakan saat kita
sudah melewati simpang jalan dan kamu sudah mukti wibawa di Pancalaradya,
yang mengakibatkan kamu kurang berkenan, karena aku kurang tata susila ketika
aku menemuimu. Peristiwa yang membuat marah adik iparmu Gandamana dan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
156 PANDAWA KURAWA
membuat cacat seluruh ragaku. Tapi dalam pertemuan ini, persahabatan kita harus
berakhir dalam permusuhan. Salah satu dari kita harus berakhir masa
pengabdiannya sebagai tokoh yang membawa kebenaran dalam sudut pandang
kita masing masing”.
Maka bersiaplah kedua tokoh tua itu. Serangan demi serangan segera
mengalir gencar. Pada mulanya anggauta tubuh sang Drupada yang lebih lengkap
ditambah dengan ajiannya Lembu Sekilan mampu mendesak posisi sang Pandita
yang hanya bertangan fungsi tunggal. Namun pandita Durna adalah seorang guru
yang setiap kali menurunkan ilmunya bukan menjadi berkurang, tetapi malah
semakin matang. Sementara Prabu Drupada adalah seorang raja yang walaupun
sakti pada masa mudanya, tetapi kehidupan istana yang lebih menjanjikan
kemewahan pelayanan membuat ia kurang terasah kemampuan fisiknya.
Maka kembali lelaku pengasahan ilmu yang berkesinambungan-lah yang
unggul. Hal ini yang membuat Durna berada diatas angin. Apalagi ketika ada
kesempatan terbuka, sang pandita mampu menancapkan senjatanya. Tembus dada
sang Sucitra tua hingga kejantungnya.
“Kumbayana, aku mengakui kesaktianmu lebih unggul dariku,
dan rasanya sudah dekat ajalku . . . . . “ terpatah kata kata Sucitra yang sudah
roboh ditanah yang bersimbah darah. Ia menyampaikan isi hati dihadapan
Kumbayana yang masih berdiri mematung. Dengan nafas yang makin satu satu
keluar dari mulut yang berlumur darah, Drupada lirih melanjutkan, “namun . . .
Persahabatan kita hendaknya tidak berhenti . . . . Sampai disini. Aku akan sabar
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
157 PANDAWA KURAWA
menungguimu kembali ke alam kelanggengan bersamamu . . . Mudah mudahan
waktu tunggu . . . . Ini tak akan lama”
Termangu sang Kumbayana ketika melihat teman seperguruan tewas
ditangannya. Seketika tersadar ketika sorak sorai membahana mengabarkan
tewasnya Prabu Drupada.
Dilain pihak, sesal sang Arjuna melihat mertuanya tewas. Tetapi itu tak
lah berguna. Kehendak keras Prabu Drupada yang memintanya agar diberi
kesempatan bertarung dengan teman lamanya, ternyata adalah saat ia
mengantarkan jiwanya menuju keabadian.
Tak ada pilihan lagi bagi Arjuna-Dananjaya untuk mengatasi runtuhnya
moral prajuritnya, karena gugurnya Prabu Drupada. Maka majulah ia kehadapan
gurunya.
“Sembah baktiku kami haturkan kehadapan Bapa Guru” Dananjaya
mengaturkan sembahnya.
“Ya, aku terima. Betapapun kamu sebagai musuhku, kamu tidak lupa akan
suba sita. Inilah yang aku kagumi dari watak para anak Pandu” Durna terkesima
dengan apa yang terjadi dihadapannya.
Lanjutnya “Lain dari itu, kesaktian anak Pandawa tidak aku ragukan lagi.
Ajian Laring Merak yang aku banggakan tidaklah ada artinya dihadapanmu.
Marilah kita mengakhiri cerita masa lalu. Sudah saatnya Baratayuda menentukan,
mana pakarti kita sebelumnya yang harus dipanen pada saat ini”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
158 PANDAWA KURAWA
Sekali lagi Arjuna melakukan sembahnya dan bangkit untuk melakukan
kewajiban sebagai seorang prajurit yang tak lagi mengenal status sebagai guru dan
murid.
Pertempuran tangan kosong telah dimulai. Arjuna yang masih ada
perasaan sedikit segan terhadap gurunya, bertempur dengan setengah hati.
Pukulan dan gerak yang dilancarkan tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga,
maka tak lama kemudian punggungnya terkena sabetan kaki gurunya hingga ia
merasa kesakitan. Tersengat rasa Arjuna yang berubah menjadi panas karena rasa
sakit yang mendera bagian tubuh yang dikenai oleh Pandita Durna, kali ini ia
bersungguh sungguh. Kesempurnaan raga dan timbunan kesaktian yang ditambah
dengan tenaga yang lebih baik karena faktor usia, membuat ia mendesak sang
Pandita.
Mundur Durna sejenak dan mencipta api berkobar dari senjatanya.
Kobaran dahsyat api dari ajian guntur geni melanda medan Kurusetra membuat
lari tunggang langgang prajurit Amarta.
Waspada sang Dananjaya, segera mencipta mendung pekat melayang
diatas palagan. Seketika hujan deras disertai prahara melanda medan Kuru
memadamkan kobaran api. Itulah ajian guntur wersa-prahara dari gurunya sendiri
yang disempurnakan oleh Batara Indra. Adu kesaktian pengabaran berlangsung
silih berganti. Segala bentuk kesaktian yang diciptakan Pandita Durna berhasil
dipunahkan Arjuna, bahkan mendesak balik pertahanan Durna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
159 PANDAWA KURAWA
Ketika ilmunya dapat dipunahkan, segera Kumbayana melolos keris
kecilnya Cis Jayangkunang dan kembali perang tanding senjata keris berlangsung
seru. Perimbangan pertempuran berlangsung mengagumkan dengan keris
Pulanggeni ditangan Arjuna, hingga banyak prajurit dari kedua pihak berhenti
menonton tanding senjata itu.
Kematangan Sang Begawan dalam menggunakan ilmu kesaktiannya
menjadikan peperangan berlangsung dengan seimbang. Hingga Kresna kembali
dari pencarian terhadap Werkudara yang berhasil membunuh Dursasana,
pertempuran masih tetap berlangsung sengit. Maka yang terjadi selanjutnya
adalah perang strategi. Bila secara wajar pertempuran akan memakan waktu dan
berlarut larut, maka segera ia menyusun strategi.
“Werkudara, ketahuilah, bahwa gurumu itu dalam bertempur mempunyai
tujuan tertentu”.
“Apa maksudmu ? Werkudara menukas.
“Nanti dulu, aku akan menunjukkan kepadamu sesuatu. Ingatlah, beberapa
hari ini gurumu meninggalkan peperangan karena sakit hati atas ketidak
percayaan Duryudana kepada anak bapak Sokalima. Misi dari gurumu sekarang,
tidak lain adalah mengembalikan harga dirinya dan sekaligus mengembalikan
kepercayaan junjungannya kepada anak tercintanya, Aswatama. Semua yang ia
lakukan adalah bermuara kepada kemukten bagi anak yang dicintainya itu”.
Sejenak Kresna diam dan menyelidik, apakah kata katanya dimengerti oleh adik
sepupunya itu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
160 PANDAWA KURAWA
Yang dipandanginya mengangguk setengah mengerti. “Teruskan
dongengmu, biar aku tidak setengah setengah menelan omonganmu”
“Kamu lihat siapa yang menaiki gajah dan berperan sebagai senapati
pendamping ?” Kresna bertanya, namun kembali ia meneruskan “Itu adalah raja
dari negara Malawapati, Prabu Permeya”.
“Terus apa hubungannya dengan reka dayamu ?” Kembali Bima
memotong.
“Gajah yang dinaiki itu bernama Hestitama, bunuh prabu Permeya dengan
gajahnya sekalian, kemudian kabarkan pada semua prajurit agar mereka
mengatakan Aswatama telah tewas !”
Melompat Werkudara dengan menimang gada Rujakpolo. Dihampiri
Permeya yang duduk pongah diatas gajahnya. Terkejut Permeya ketika
dihadapannya telah berdiri dengan teguh sosok Werkudara. Terkesiap darahnya
ketika melihat gada ditangan Bima-Werkudara berputar mengancam dirinya. Tak
pelak lagi mentalnya jatuh. Memang demikian, kesaktian Permeya memang tak
sebanding dengan Werkudara. Maka disertai mental yang telah runtuh, tak sulit
Werkudara menebas keduanya, Permeya beserta tunggangannya, gajah Estitama.
Tanpa bisa mengaduh, keduanya tewas dengan isi kepala terburai.
Seperti direncanakan oleh Sri Kresna, geger para prajurit meneriakkan
Aswatama telah tewas. Dan berita itu tak lama kemudian sampai ditelinga
Begawan Durna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
161 PANDAWA KURAWA
Barata
GUGURNYA SANG PROFESOR
Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut
sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana
kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya.
“Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”
“Benar begitu, ini yang saya dengar !” Jawab beberapa prajurit yang ia
tanya.
Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang
dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa
“Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat
katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”
“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya
menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
162 PANDAWA KURAWA
penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya
menjadi lunglai.” Ah . . Sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa
dipercaya !” Ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang
selamanya tak pernah bohong.
Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita
kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa
dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu
agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan
menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda
Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa
akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.
Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami
lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”
Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut
pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.
“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang
mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah
itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang
berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta,
tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya
juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji
Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
163 PANDAWA KURAWA
“Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang
katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama
sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!” Setengah mendesak agar ia
mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam
keadaan hidup.
Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan,
maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang
kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan
kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan
salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega,
ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan
Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah
tewas.
Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang
mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi
yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih
membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun, punya
peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.
Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk
membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak
menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih
kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
164 PANDAWA KURAWA
belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-
nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat
gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala
kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia
sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh
Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya
berguru kepada Begawan Durna.
Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa
yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra
dari Adipati Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.
Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.
Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di
Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan
Durna ditempat pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada
didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmu kanuragan, kasantikan beserta
segenap wejangannya.
Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan
olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam
memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
165 PANDAWA KURAWA
Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-
Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara
keduanya.
Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah
permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.
“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima,
Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu
bakal mengalahkan murid terkasihnya !” Masygul dipermalukan, bahkan sumbar
sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru
musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan
menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima
murid selain saudara sedarah Barata-nya.
Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran
tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.
Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia
sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan
mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut
dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru,
perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu
ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga
sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan
paduka guru yang tiba tiba ini”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
166 PANDAWA KURAWA
Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa
bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”
“Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila
memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”.
Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa
kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.
“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba
kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak
disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap
permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa
guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah
warastra.
“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka
berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika
terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis
Ekalaya.
“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar
permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar
permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah
penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik
sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila
dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
167 PANDAWA KURAWA
Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu
keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan
usulnya.
“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu
dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada
dibelakangmu itu, Palgunadi”
“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran
dengan permintaan Arjuna.
“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat
dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil
meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan
menganggukkan kepalanya.Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut
sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan
antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat
memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan,
sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri
diminta lelaki lain.
Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih.
Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya
cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”
Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera
memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
168 PANDAWA KURAWA
Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini
adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa
suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah
ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid
perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan
status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.
Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda,
apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan
seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang
suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak
berhak memiliki . . . .”
“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan
kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam
dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun
yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna,
maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan tersiksa dan goyah lahir-batinnya
hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan
menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan
jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus
jarinya.
“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . Cincinku beserta
segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
169 PANDAWA KURAWA
status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang
sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan
yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap
kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah
diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya
sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta
kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan
kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi
yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.
Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang
timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji
bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas
pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di
Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun )
tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang
mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna,
bahwa ia tidak ingkar janji.
“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi
adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu,
bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
170 PANDAWA KURAWA
pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” Antara rela dan tidak
Palgunadi megutarakan isi hatinya.
“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang
juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong
pembicaraannya.
Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan
dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin
Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya
hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi
bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian
ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.
Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya,
hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada
genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada
tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam
sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau
harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.
Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga
suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku
sebagai muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai
aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
171 PANDAWA KURAWA
Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong,
sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka
bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut
muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! Dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini
adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan
menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan
aku jadikan bulan bulanan kepalamu !” Sesumbar Drestajumna liar dengan mata
jelalatan mencari dimana Durna berada.
Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh
panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . .
. , huuu . . . Kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan
Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan
peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan
menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang
bukan sembarangan, tetapi kamu adalah manusia linuwih. Kamulah anak
setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu
pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara
Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti.
Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada
ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku
dengan anak tampanmu. . .” Menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya
meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
172 PANDAWA KURAWA
Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah
Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung
mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka
sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari
medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan
Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa
Begawan Durna.
Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan
menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak
hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding
ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.
Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra,
yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak
usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum
mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran
Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama
tidak saling jumpa.
Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan
hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang
tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku
Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana
memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
173 PANDAWA KURAWA
Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci
keabadian.
Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata
Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya
yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi
dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru
para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh
yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia
melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.
Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang
memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata.
Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima
atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu,
semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.
Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu
Kresna dan Werkudara.
Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak
kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan
memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu
sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu,
sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas
kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
174 PANDAWA KURAWA
perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang
setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”
Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga
Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan
bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah
gugur ?” Tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.
“Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun
menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu
dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni
menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.
“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” Muntap kemarahan Aswatama,
kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak
giginya dan sudut bibirnya bergetar.
“Pelakunya adalah Drestajumna . . . . !”. Belum selesai Sangkuni
mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat
kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai
Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang
menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar
bergemuruh ditangannya.
Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari
mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak
kan lagi cukup untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
175 PANDAWA KURAWA
bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan
kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang
dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati
Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru
para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya,
senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias
pucat bagai segumpal kapas !”
“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi
senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat
mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal
dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan
berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan
itu!”
Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap
menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya.
Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna
berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa
hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang
penasihat perang”.
Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh
menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah
yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
176 PANDAWA KURAWA
bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu,
Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali
Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.
“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna
memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna
pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih
berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali
menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin
memburu Derstajumna.
Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha
dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha
menembus kokohnya benteng baja.
Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur
dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang
kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum
membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes
kelor !”
Barata
GUGURNYA PRAMUGARI PRINGGODANI
Sesungguhnya Dursasana waktu mendapat tugas dari kakaknya sudah
enggan segera berangkat ke istana. Namun kematian Burisrawa kawan karibnya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
177 PANDAWA KURAWA
yang hanya bisa ia saksikan dari jauh, sebab ia sudah menyanggupi kembali ke
Astina, menjadikan ia terpicu untuk segera berangkat malam kemarin.
Keengganan yang berkepanjangan memaksa dirinya menunda keberangkatannya,
namun kini ia terpaksa kembali ke peperangan dengan hati yang panas terluka.
Tak disangka oleh siapapun tadinya, malam kemarin itu sepeninggal
Dursasana ternyata menjadi malam yang mengerikan. Prabu Salya yang terluka
hatinya karena kematian putra kebanggaannya, satria Madyapura Arya Burisrawa,
memarahi orang orang disekelilingnya. Sesabar-sabarnya Prabu Salya, kematian
putra lelakinya yang terakhir kalinya ini, membuat ia betul-betul kehilangan
kendali diri. Kemarahan melebar hingga lagi-lagi murka itu menyerempet kepada
Adipati Karna. Tidak terima menjadi tumpuan kemarahan, Adipati Karna segera
menyatakan madeg senapati malam itu juga. Dua kali ia telah dikenai hatinya oleh
mertuanya dan sekali oleh resi Krepa, membuat ia kembali bergolak
kemarahannya. Kemarahan yang tidak dapat dilampiaskan sebagaimana ia
melampiaskan kepada Krepa, membuatnya ia memilih jalan lain untuk
melampiaskan kekesalan hatinya.
Adipati Karna adalah seorang adipati dengan pengaruh kuat terhadap
negara negara jajahannya, segera ia menyusun barisan yang berisi prajurit jajahan
Awangga. Tak peduli lagi tentang tata krama perang yang berlaku, dengan
menyalakan obor beribu-ribu ia menggerakkan pasukannya yang berujud para
raksasa dari negara Pageralun yang dipimpin oleh Prabu Gajahsura, negara
Pagerwaja yang dipimpin oleh Kelanasura dan negara Pagerwatangan dengan
Lembusaka.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
178 PANDAWA KURAWA
Majunya Adipati Karna sebagai senapati dan akan menggempur lasykar
Randuwatangan malam itu benar benar tanpa tata krama, barisan raksasa
membakari beberapa pasanggrahan garis depan dengan tiba tiba. Arya
Drestajumna dan Wara Srikandi serta Setyaki yang lelah siang tadi bertarung
sudah harus kembali menahan serangan musuh. Berita serangan itu akhirnya
sampai ketelinga penghuni Randuwatangan.
Arjuna yang dari tadi duduk tenang segera menggeser duduknya. Panasnya
hati mendengar kejadian yang tidak lazim, membuat ia menawarkan diri untuk
menandingi majunya senapati Kurawa malam itu “Kanda Prabu, perkenankan
adikmu ini hendak menandingi kesaktian kanda Basukarna. Bagi kami, kanda
Adipati adalah jodoh kami dalam perang. Hamba mohon sekarang kami diijinkan.
Inilah saat yang hamba nantikan kanda Prabu”.
“Arjuna, bila majunya Karna ada pada waktu yang benar, maka aku
ijinkan kamu untuk menandinginya. Tapi sekarang yang terjadi adalah perang
dengan tidak menggunakan tata aturan perang yang sudah disepakati. Perang
waktu malam adalah tindakan yang bukan watak satria. Tenanglah lebih dulu,
jangan terbawa oleh hawa kemarahan”. “Werkudara, bila anakmu aku wisuda jadi
prajurit untuk menghadapi musuh malam ini, apakah kamu setuju ?” Kresna yang
dihadapi oleh Werkudara malam itu menanyakan kerelaannya.
“Anakku dilahirkan memang sebagai prajurit. Sudah semestinya peristiwa
malam ini menjadi harapan bagi anakku untuk diberi kehormatan sebagai
senapati. Tetapi kenapa harus Gatutkaca yang harus menjadi senapati malam ini
?”. Sahut Werkudara.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
179 PANDAWA KURAWA
“Anakmulah yang mempunyai mata Suryakanta, yang dapat awas diwaktu
malam, dan kotang Antrakusuma yang menyorot hingga dapat menerangi
sekelilingnya”. Kresna menjelaskan dengan menyembunyikan kenyataan yang ia
telah ketahui dari kitab Jitapsara. Saat inilah Gatutkaca harus pergi untuk
menghadap hyang widi wasa.
“Apakah bila anakku ada apa-apanya, kamu bertanggung jawab atas
penunjukanmu atas Gatutkaca ?” Kembali Werkudara dengan rasa was-was,
naluri seorang ayah, menanyakan kepada Kresna.
“Aku adalah manusia yang mungkin dapat melakukan kesalahan, tetapi
bila sampai anakmu gugur nanti, itu adalah mati dalam membela negara, mati
sempurna sebagai kusuma bangsa, bukan mati sia sia. Kejadiannya akan tercatat
dalam lembar sejarah dengan nama harum yang tak kan pernah tersapu oleh angin
jaman. Masihkah kamu ragu ?” Kembali Kresna meyakinkan hati adik iparnya
yang masih saja ragu.
“Aku menurut apa kata katamu “ Werkudara akhirnya merelakan.
“Baik, adikku Drestajumna, panggil keponakanmu Gatutkaca
menghadapku. Sekarang juga ”.
Segera menghadap Raden Gatutkaca kehadapan uwaknya, yang
mengatakan bahwa kesaktian Gatutkaca-lah yang mampu membendung serangan
Adipati Karna. Begitu mengetahui ia diberi kehormatan untuk menjadi senapati
untuk berhadapan dengan Sang Arkasuta-Karna. Bangga hati Gatutkaca. Raden
Arjuna-pun ikut memuji kesaktiannya yang dimiliki sang keponakan. Tersenyum
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
180 PANDAWA KURAWA
lega hati dan gembira sang Gatutkaca setelah penantiannya, kapan ia akan
diwisuda menjadi senapati dalam peperangan besar, segera malam ini terlaksana.
“Uwa Prabu, Rama Kyai, dan semua sesepuh, perkenankan hamba hendak
berpamitan untuk maju ke medan pertempuran. Walaupun dalam dada ini
tersimpan kemantapan diri yang besar, namun kesaktian uwa adipati Karna
memang tidak dapat dianggap enteng. Dan tugas yang diberikan oleh para sesepuh
dan orang tua kami, menjadikan rasa hamba bagaikan diberi kehormatan yang
demikian tinggi, sejajar dengan derajat dari uwa Adipati Karna. Dan juga
pemberian kesempatan sebagai senapati ini, putramu mengupamakan, sebagai
hendak meraih bongkahan inten permata didalam taman surga”. Pamit Sang
Purbaya kepada Prabu Kresna dan para sesepuh yang menyatakan sebagai meraih
kebahagian sorga. Ia telah tidak sengaja berkata bagaikan pengucapan kata
pamitan terakhir kalinya.
Kaget sang paman, Arjuna yang mendengar kata kata keponakannya itu.
Kata kata terakhir ucapan Garutkaca, dalam pikiran Arjuna seperti halnya pamitan
seseorang yang hendak mati. Segera dirangkulnya pundak Gatutkaca dengan air
mata yang mulai menetes dikedua belah pipinya.
“Aduh anakku, kepergian adikmu Abimanyu sudah aku relakan. Ketika
melihat sifat dan kesaktian yang kamu miliki, seakan tergantikan semua yang ada
pada diri anakku. Namun dengan pernyataanmu tadi, aku merasakan adanya
keanehan dalam ucapanmu tadi”.
“Permadi, tidak layaklah seorang satria memberi bekal tangis serta
mengucapkan kata kata seperti itu kepada seorang senapati ketika ia hendak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
181 PANDAWA KURAWA
menunaikan tugasnya. Minggirlah, biar aku kalungi rangkaian melati buyut Prabu,
sebagai tanda, bahwa sekaranglah saatnya Gatutkaca aku wisuda menjadi
senapati”. Kata kata yang diucapkan Prabu Matswapati mau tidak mau membuat
Arjuna menyisih memberikan kesempatan untuk eyangnya mengalungkan bunga
sebagai tanda senapati.
Tak diceritakan persiapan prajurit Pringgandani, yang digerakkan oleh
paman paman dari Raden Gatutkaca, Brajawikalpa, Brajalamatan dan para braja
yang lain. Maka malam itu, campuh perang begitu mengerikan. Kedua pasukan
yang berujud raksasa saling serang dengan suara raungan sebagaimana para
raksasa. Suaranya terdengar bagai auman singa lapar dipadang rumput yang
sedang berpesta bangkai kijang. Obor ditangan kiri dan senjata ditangan kanan
mobat mabit membuat suasana perang menjadi begitu lain dari biasanya.
Gemerlap pedang yang memantul dari cahaya merah obor berkilat bagai petir
yang menyambar nyambar. Obor yang terpental jatuh seiring jatuhnya prajurit
raksasa yang menjadi pecundang, tak urung membuat tanah yang mulai tergenang
merah darah menjadi semakin merah. Bagaikan banjir api! Dan diangkasapun
terang obor dimedan Kuru seakan menelan sinar sang hyang wulan.
Tandang sang Gatutkaca tak kalah membikin giris siapapun yang
melihatnya. Gerakannya bagai kilat hingga yang terlihat adalah ujud Gatutkaca
seribu. Sigap tangannya menyambar nyambar kepala lawan. Yang lunak
ditempelengnya hingga hancur, sedangkan yang liat dipuntirnya kepala hingga
terlepas.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
182 PANDAWA KURAWA
Ketiga sraya dari negara taklukan Awangga tak berdaya. Kelumpuhannya
tinggal menunggu waktu kapan ia didekati oleh sang Gatutkaca, maka kepalanya
akan segera lepas dari lehernya.
Benarlah, tanpa perlawanan berarti ketiga sraya itu berhasil disudahi oleh
tangan kekar Gatutkaca.
Tetapi tidak hanya musuh yang tewas, kecepatan gerak dengan terbatasnya
pandangan karena gelap malam dan sama sama berujud raksasa, para braja paman
Gatutkaca ikut tewas oleh trengginasnya gerakannya yang begitu cepat.
Adipati Karna tidak dapat berbuat sesuatu lagi, selain harus menghadapi
Gatutkaca sendiri. Maju ia setelah melihat prajuritnya banyak berkurang. Segera
Raden Gatutkaca dan Adipati Karna saling berhadapan. Adu kesaktian dan
kekuatan saling dikeluarkan untuk melumpuhkan lawannya. Babak pertama Karna
yang merasa keteter segera menerapkan ajiannya, Kalalupa. Ujud raksasa keluar
dari tapak tangan Adipati Karna semakin banyak, menambah jumlah para raksasa
yang dari ketiga negara jajahan Awangga. Dikerubut oleh makin banyak raksasa
dengan perawakan yang sama, akhirnya membuat Gatutkaca keteteran. Segera
serangan balik dilancarkan. Aji Narantaka warisan sang guru sekaligus buyut,
Resi Seta, segera dirapal. Kobaran api menyembur dari kedua tapak tangan sang
senapati, berkobar makin hebat padang Kurusetra oleh nyala api tambahan dari aji
Narantaka. Semburan api dengan gemuruh keras membasmi raksasa jadian dari
telapak tangan Karna. Mundur sang Adipati ngeri melihat semburan dahsyat api
yang keluar dari ajian Narantaka senapati Pringgandani.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
183 PANDAWA KURAWA
Terpesona Prabu Karna, dengan kesaktian sang Gatotkaca. Namun hal ini
membawanya mengubah cara perangnya dengan menaiki kereta Jatisura, dengan
kusirnya, yang juga patih Awangga, Patih Hadimanggala.
Malam yang sudah mencapai sunyi lewat tengah malam dihari lain, malam
ini tidak berlaku. Geriap para raksasa yang sedang bertempur dengan geramannya
masih membuat susana malam bagai terserang angin ribut. Kali ini ditambah
dengan perbawa kesiur angin lesatan kereta Adipati Karna.
Diatas kereta, sang Adipati menyiapkan senjata Kunta Druwasa. Pusaka
dewata yang dahulunya hendak dihadiahkan kepada Arjuna untuk memutus tali
pusat Jabang Tetuka, bayi Gatutkaca, Atas keculasan Suryatmaja, nama Karna
muda, pusaka itu jatuh ketangannya. Sedangkan Arjuna hanya mendapat
sarungnya. Sarung itulah yang akhirnya bersemayam dalam puser sang Gatutkaca,
ketika tali pusar berhasil diputus.
Waspada sang Gatutkaca ketika melihat Adipati Karna menghunus senjata
Kunta Druwasa, dan bersiap melepaskan anak panahnya itu. Adipati Karna
diuntungkan dengan sinar kutang Antrakusuma yang menyorot melebihi pijar
sinar purnama didada musuhnya. Gatutkaca menghindari dengan naik lebih tinggi
terbangnya, bersamaan lepasnya senjata Kunta. Ia melesat keatas awan, dengan
harapan taklah panah Kunta berhasil mencapainya.
Syahdan, Kala Bendana, paman sang Gatutkaca, si raksasa boncel yang
berhati bersih. Ia yang terbunuh tidak sengaja oleh keponakannya ketika bersaksi
atas menduanya Abimanyu dalam beristri, dalam peristiwa Gendreh Kemasan, Ia
masih tetap setia menunggu sang keponakan di alam madyantara.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
184 PANDAWA KURAWA
Rasaksa lucu yang kini berujud sukma setengah sempurna itu, hendak
menjemput sang keponakan pada waktunya, ketika perang besar Baratayuda
berlangsung. Saat inilah yang ditunggu. Maka ia bersiap berkeliling diatas arena
tegal Kuru malam itu.
Maka ketika melihat lepasan sang Kunta Druwasa, disambarnya anak
panah yang sebenarnya tak kuat sampai di sasaran diatas awan itu dan dibawanya
menghadap Gatutkaca.
Kaget sang Gatutkaca ketika melihat sang paman datang keatas awan
dengan membawa Kyai Kunta Druwasa sambil menyapa.
“Anakku Gatutkaca, sudah sampai saatnya pamanmu menjemputmu, Mari
anakku, aku gandeng tanganmu menuju sorga “.
Takzim Gatutkaca menghormat pamannya.“Oh, paman . . . Aku tidak
mengelak akan kesediaanku sesuai dengan janjimu. Putramu ikhlas, mari paman.
Tapi perkenankan anakmu meminta sesuatu darimu”. Tak dapat menolak
Gatutkaca atas ajakan pamannya. Ia telah pasrah dan mengaku segala
kesalahannya dimasa lalu. Ia minta sesuatu sebagai permintaan terakhir terhadap
pamannya.
“Dengan senang hati, anakku. Apa permintaanmu ?” Senyum sang paman
menanyakan permintaan keponakannya.
“Kematianku harus membawa korban dipihak musuh sebanyak
banyaknya, hingga perang malam ini berakhir”. Jawab Gatutkaca mantap.
“Baik aku bisa melakukannya !”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
185 PANDAWA KURAWA
Maka diarahkannya pusaka Kunta itu ke arah pusar sang Gatutkaca yang
tersenyum menerima takdirnya. Melayang sukma Raden Gatutkaca ketika pusaka
Kyai Kunta Druwasa masuk kedalam sarungnya. Dengan rasa kasih,
digandengnya tangan kemenakannya menuju swarga tunda sanga. Penantian
panjang sang paman akan keinginannya pergi berbarengan ke suarga bersama
kemenakan tersayang, hari ini berakhir.
Bersatunya Kunta Druwasa kedalam sarungnya, menimbulkan akibat yang
hebat. Sejenak kemudian diiringi suara mendesing, kemudian disusul suara
gelegar hebat bagai suara meteor, raga Gatutkaca melesat menuju medan
peperangan dibawah sana. Kecepatan lesatan raga Gatutkaca tak terkira cepatnya
menimpa kereta perang Adipati Karna beserta sang kusir Hadimanggala. Tewas
seketika sang patih. Remuk kereta Jatisura terkena tubuh sang Gatutkaca yang
meledak menggelegar, menimbulkan lubang besar bertumbak-tumbak luasnya.
Begitu pula dengan putra Adipati Karna, Warsakusuma yang ikut ayahnya
dalam peperangan juga tewas. Namun Adipati Karna berhasil menghindar.
Akibatnya, arena bagai terkena bom dengan daya ledak tinggi, hingga
menewaskan banyak barisan prajurit. Gelombang kejut yang terjadi dari ledakan
tubuh sang Gatutkaca menimbulkan hawa panas yang dahsyat hingga mampu
meleleh luluh lantakkan apapun yang ada disekitar jatuhnya raga. Jangankan
tubuh manusia, hewan tunggangan dan para raksasa, persenjataan yang terbuat
dari logam-pun, cair meleleh, kemudian menjadi abu. Dan seketika perang
terhenti !
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
186 PANDAWA KURAWA
Berhenti perang meninggalkan luka dalam dihati Werkudara. Segera
dicarinya Adipati Karna yang lari tinggalkan gelanggang peperangan.
Segera Sri Kresna menghentikan tindakan Werkudara. Disabarkan hati
adik iparnya agar menunda dendamnya. “Lebih baik beritahu istrimu lebih dulu
mengenai kejadian yang berlangsung malam ini. “Mari kita datang bersama
dengan saudaramu yang lain untuk menghibur hatinya”.
“Kalau mau pergi ke Pringgandani, pergilah ! Aku tidak tega melihat
apa yang akan terjadi disana !”. Werkudara pergi sendirian kearah tak tentu
dengan hati yang kosong. Kerasnya baja perasaan sang Bimasena tidak kuasa
untuk membayangkan, lebih jauh lagi melihat dengan mata kepalanya sendiri,
betapa hancur perasaan istri yang sangat dicintainya. Istri sakti yang tindakannya
dimasa lalu berbuah jasa yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya, bahkan
bagi kelangsungan hidup dan kejayaan seluruh keluarga Pandawa.
Kedatangan para Pandawa di sisa malam tanpa suaminya, membuat Dewi
Arimbi terkesiap hatinya. Naluri seorang ibu mengatakan ada sesuatu yang terjadi
terhadap suami atau terlebih lagi bagi anaknya. Maka begitu diberitahu akan
peristiwa yang terjadi malam tadi, ia berkeputusan untuk mengakhiri hidup
dengan bakar diri dalam api suci. Demikan juga dengan Dewi Pregiwa, keduanya
sepakat untuk bersama sama mengiring kepergian anak dan suami mereka. Semua
saudara ipar dan Prabu Kresna tidak kuasa untuk membendung keinginannya.
Maka upacara segera dimulai.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
187 PANDAWA KURAWA
Dengan busana serba putih, sang Arimbi naik ke agni pancaka,
menggandeng menantunya. Ia telah memutuskan pilihannya, tetap bersama suami
atau mendampingi anak tunggal kekasih hatinya.
Barata
DURSASANA GUGUR
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
188 PANDAWA KURAWA
Kembali kita ke taman Kadilengeng. Siang belum lagi menjelang, Dewi
Banowati mencoba menyenangkan hati dengan berjalan jalan ditaman sari. Taman
yang jalur jalannya lajur demi lajur dihampar batu akik hijau merah biru putih dan
keemasan. Diterpa sinar matahari yang belum naik sempurna memancarkan sinar
semburat bagai warna pelangi. Disuatu tempat yang menjadi kesukaannya, sang
Dewi duduk diatas batu marmer putih mengkilap yang direka pokok kayu.
Terpesona sang Dewi memandang taman yang asri itu dengan berbagai macam
tanaman. Tanaman hias dalam jambangan yang ditata teliti, berpasang pasang,
serasi warnanya dengan paduan bunga bunga yang harum mewangi. Tidak hanya
dalam jambangan, bunga bunga perdu juga menghias hamparan taman
bergerombol disela sela rumput lembut.
Bertambah indah suasana taman dengan terbangunnya rekaan telaga yang
berair biru bening dengan berbagai macam ikan warna emas, merah, putih dan
warna tembaga yang ditebar. Bila diterpa sinar matahari, seakan ikan ikan itu
bagaikan bintang bintang malam yang saling bertukar tempat.
Tersenyum puas sang Dewi dengan kerja para abdi dalem yang setiap
waktu memelihara dengan penuh cinta. Sejenak ia melupakan keresahan hati
memikirkan perang yang belum juga usai. Resah hati yang membawanya setiap
malam membakar sesaji dengan pedupaan yang bertumpuk tumpuk. Dalam setiap
pemujaan sang Dewi selalu berharap, agar segeralah selesai perang yang sedang
berkecamuk. Untuk kemenangan siapa, hanya Dewi Banowati saja yang tahu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
189 PANDAWA KURAWA
Belum puas Sang Dewi menikmati indahnya suasana, kali ini ia kembali
kaget dengan kedatangan adik iparnya, Raden Dursasana. Ketika diketahui yang
datang adalalah adik ipar yang tidak ia senangi, yang bertingkah laku mirip
dengan adiknya sendiri, Burisrawa, setengah malas ia melambaikan tangannya
agar iparnya itu segera mendekat. Dursasana segera menyampaikan sembahnya,
kemudian duduk dengan takzim.
Terheran Dewi Banowati dengan kedatangan adik iparnya bergantian
dengan suaminya yang hari hari kemarin datang. Dalam hatinya ia bertanya, ada
kejadian apa lagi di peperangan. Siapa lagikah korban peperangan yang hendak
dilaporkannya. Mudah mudahan hati ini kuat mendengar apapun yang terjadi.
Atau ada sesuatukah yang sangat perlu, hingga adik iparnya yang dikenal sebagai
manusia yang penuh kekerasan meninggalkan peperangan yang keras itu, tetapi
malah datang ke taman sari. Tempat indah penuh kelembutan. Seribu tanya ia
simpan sejenak.
Basa basi sang Dewi bertanya, “Baik baik sajakah kedatanganmu, adikku
?”.
“Sembah hamba kehadapan kakanda Banowati”. Dursasana menghaturkan
baktinya.
“Apakah perang sudah selesai ?” Tak sabar sang Dewi ingin mengetahui
apa yang terjadi.
Dursasanapun mulai mengawali menceriterakan kenapa ia diminta untuk
kembali ke istana.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
190 PANDAWA KURAWA
“Pertama, kami mengabarkan kepada kanda Dewi, bahwa adik paduka
Arya Burisrawa telah tewas dalam peperangan”.
Dewi Banuwati kembali hanya terdiam sesaat, seperti yang pernah terjadi
ketika putranya, Lesmana Mandrakumara, tewas. Ia hanya melihat kedepan
dengan tatapan kosong, tak ada rasa sedih yang terbersit dari wajahnya.
Banuwati dan Burisrawa, walaupun kakak beradik, dan pada
kesehariannya keduanya sering bersama ada di Astina. Tetapi keduanya tidaklah
seperti kakak beradik yang dekat dihati satu sama lain. Banuwati malah lebih
dekat kepada adiknya yang jauh, dan lebih senang bersama ayah ibunya di
Mandaraka, Arya Rukmarata, yang kini juga telah tewas.
Sama seperti adik iparnya, Dursasana, Burisrawa adalah manusia yang liar
dan cenderung ugal ugalan. Kesamaan itu yang membuat Burisrawa dekat dengan
Dursasana. Mereka hanya renggang bila Burisrawa sudah bosan dengan suasana
resmi istana, dan kabur ke hutan hingga berbulan bulan, baru ia kembali lagi ke
Astina. Apalagi setelah Burisrawa gagal mempersunting Wara Sumbadra kala itu,
hingga ia bersumpah, tak akan ia pulang ke Mandaraka, bila ia belum bisa
mempersunting dewi impiannya yang gagal, atau memperistri wanita yang mirip
dengan Sumbadra, seperti yang pernah diceriterakan.
Akhirnya setelah diam sebentar, kata pasrahlah yang terucap dari bibir
Banuwati “Perang itu, kalau tidak kalah ya menang. Kalau tidak membunuh, ia
akan dibunuh. Kalau Burisrawa terbunuh, itu adalah bagian dari kodrat perang itu
sendiri”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
191 PANDAWA KURAWA
Mahfum dengan watak kakak iparnya, Dursasana kembali melanjutkan,
“Yang kedua, adikmu diutus kanda Prabu, untuk kembali ke istana”.
“Dan hal inilah yang saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai pangeran
sepuh yang sekarang dijadikan pangeran pati sekaligus, harus disingkirkan, dan
harus dikembalikan ke istana. Terus terang saja, kali ini saya ditugaskan oleh
kakanda Prabu, untuk menjagai keberadaan paduka kanda Banowati”.
“Kalau begitu, kanda Prabu sebenarnya sedikit banyak mempunyai rasa
curiga terhadap aku, begitukah ? Banuwati mulai kesal dengan apa yang
sebenarnya terjadi. Pikirnya, apakah ini buntut dari kericuhan kemarin ketika
suaminya datang ?
“Ya, kira kira begitu. Saya juga tidak pernah bertanya lebih jauh kepada
kanda Prabu, karena saya ini apalah. Hanya sebagai adiknya dan hanya sebagai
abdinya. Dititahkan apapun hamba tidak akan sanggup menolak”. Dursasana
sudah mulai jengah. Inilah suasana yang sudah ia ia bayangkan sebelumnya.
Suasana yang paling tidak senangi, bergaul dengan wanita, apalagi wanita itu
adalah kakak iparnya yang walau cantik, namun dimatanya ada sinar yang warna
cahayanya sebagai sorot warna ndaru braja, komet berracun. Hal inilah
yang membuat Dursasana menjadi serba salah duduknya. Bergeser geser mencari
posisi yang enak, namun tak juga ia menemukan posisi duduk yang nyaman.
Gerah rasa seluruh tubuhnya, walau angin pagi masih tersisa bertiup membawa
uap embun yang baru saja kering. Tak urung keringat sudah membasahi seluruh
tubuhnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
192 PANDAWA KURAWA
“ Menungguiku, apaku yang ditunggui. Katakan ! Kamu itu jadi seorang
satria kok begitu bodoh, begitu dungunya ! “ berubah menjadi galak Dewi
Banuwati. Suasana indahnya taman sudah hilang dari perasaannya.
“Apa sebabnya, saya yang hanya diperintah, kenapa saya dibodoh-
bodohkan, didungu dungukan. Silakan kanda Dewi menjelaskan . . ” Dursasana
menyabarkan diri. Mungkin bila ini bukan istri kakaknya ia sudah berdiri marah
atau bahkan tangannya sudah melayang. Tabiat Dursasana yang tidak sabaran
sebenarnya sudah mencapai ambang batas kekuatan menahan, namun rasa hormat
kepada kakak sulungnya, tak pelak lagi mengorbankan habis sifat urakan yang
menjadi ciri dari lahir. Bahkan gerakan tangannya yang biasanya tak pernah diam
seakan terkunci ketat erat.
“Sebenarnya kamu itu sedang dicoba oleh kakakmu itu. Satria itu
seharusnya berperang. Tetapi kakakmu mengatakan kamu harus kembali ke
istana. Kenapa kamu menerima perintah itu dengan begitu lugunya. Apakah itu
bukan dikatakan sebagai satria bodoh yang penakut dan jeri akan tumpahnya
darah !”
Menuding nuding sang Dewi sambil bangkit dari duduknya dan berkacak
pinggang. Panas hatinya dicurigai akan berbuat yang tidak tidak.
“Bukan itu kanda Dewi, yang memerintah tidak salah, yang diperintah
juga tidak salah. Tetapi kenapa hamba yang diperintah dimarahi seperti ini ? Tapi
terus terang kemarahan ini menjadi bahan pelajaran dimasa datang. Dan takut
hamba terhadap kemarahan paduka kanda Dewi, hamba lebih takut akan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
193 PANDAWA KURAWA
kemurkaan kanda Prabu Duryudana”. Masih mencoba sabar Dursasana. “Dan bila
hamba disuruh maju perang, maka betapapun saktinya lawan, akan hamba
laksanakan titah kanda Prabu dengan senang hati”
“Duh . . Sumbarmu ! Seperti bisa memecahkan balok besi, menjilat
panasnya besi membara ! Sinis dewi Banawati berkata.
“Dapat hamba buktikan ! Bila kanda Dewi mengatakan hamba ini satria
bodoh yang takut perang, hal itu adalah sebaliknya. Dan bila hamba diperintah
untuk menjagai wanita, yang terjadi sebenarnya adalah . . . . . , kanda Prabu itu
orang yang kelewat sabar . .”. Berhenti sejenak Dursasana ragu mengatakan,
namun sejurus kemudian ia melanjutkan. “Tidak ada orang yang sabar didunia ini
melebihi kanda Prabu. Walaupun di istana ini sebenarnya terdapat tanaman yang
sangat berbisa, yang selalu tumbuh dan tumbuh dengan subur, yang pada akhirnya
akan membuat gatal orang senegara. Tapi karena besarnya cinta kanda Prabu
terhadap tanaman itu, maka yang terlihat, hanya bentuk dan rupanya yang cantik
saja, sementara bisa racunnya tidak dihiraukan . . . “.
Kamu mengatakan begitu, aku ini kamu anggap apa ? Bagaikan mendidih,
darah diubun ubun dewi Banuwati, yang merasa dikenai hatinya.
“Nanti dulu . . , kalaupun hamba mengatakan perumpamaan terdapat
tanaman berbisa yang dipelihara kanda Prabu, terus terang saja kanda Banowati,
yang sebagai istri kanda Prabu, sebenarnya, paduka kanda Dewi tidak cinta lahir
batin kepada kanda Prabu Duryudana. Kalau dilihat sepintas, perilaku kanda Dewi
terhadap kanda Prabu itu seperti cinta yang sebenar benarnya. Tetapi hal itu hanya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
194 PANDAWA KURAWA
terhenti dalam tata lahir, dan dalam hati kanda Dewi yang sebenarnya, orang
dinegara Astina ini sudah tahu semuanya. Termasuk hamba sendiri”. Keterus
terangan Dursasana makin menjadi-jadi, ia memuntahkan seluruh isi hatinya. Ia
melampiaskan belenggu rasa yang dari tadi menjerat erat
“Bagaimana ? Apa yang kamu ucapkan tadi itu, dihatiku cinta sama siapa
?” Banuwati menantang. Walaupun jawaban yang akan diucapkan oleh adik
iparnya itu sebenarnya dirasa mudah untuk ditebak jawabannya, tapi ia masih
hendak mencoba mencocokkan dengan perkiraannya.
“Terus terang tadinya hamba tidak akan mengatakan sampai kesitu, tapi
karena kanda Dewi sendiri yang menantang, akan hamba buka yang sebenarnya
terjadi. Kanda pasti tahu, sesuatu yang tersimpan dihati kelamaan akan menjadi
penyakit, sekarang sebaiknya hamba keluarkan unek unek dihati hamba”.
Dibawah sorot mata tajam kakak iparnya ia melanjutkan curahan isi
hatinya. Terlanjur basah, mandi sajalah sekalian, pikirnya. Masalah ada aduan
yang sampai kepada kakak sulungnya, itu soal nanti. Sekarang sekarang, nanti ya
nanti. Kebiasaannya dalam berpikir pendek, menjadikannya ia meneruskan kata
katanya dengan lancar.
“Saya memperhatikan setiap kali ada perang tanding antara Kurawa dan
Pandawa, bila ada warga Pandawa yang menang, paduka bergembira dengan
membagi bagikan hadiah kepada abdi dalem dan siapapun. Itu salah satu
buktinya. Sebaliknya ? Contoh terakhir, ketika putra Paduka, Lesmana
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
195 PANDAWA KURAWA
Sarojakusuma tewas, paduka menyalahkan kanda Prabu dan putra paduka sendiri,
tetapi ketika Abimanyu yang tewas, paduka menangis histeris. Itu kejadiannya !
Maka pada setiap semedi, paduka kanda Dewi selalu memohon dewata,
kapan kiranya Baratayuda berakhir dan Kurawa kalah serta musnah. Dengan
demikian kanda Dewi dapat segera melaksanakan keinginan kanda Dewi untuk
menjadi keset Arjuna. Iya kan ? Habis sudah, tumpah ruah segala kesah hati
Dursasana tercurah.
“Keparat kamu Dursasana ! Kamu megucapkan sesuatu tanpa perhitungan.
Ketahuan kamu sebagai satria yang takut darah, malah menguak rahasia orang
lain. Kalau memang kamu sebagai satria sejati, dan kalau aku diberi wewenang
untuk menjagokan, kamu aku adu dengan Arjuna, berani kamu ? Habis kesabaran
Banuwati. Kebanggaanya akan Arjuna dimunculkan dengan tidak malu malu lagi.
“Jangankan Arjuna, Pendawa lima maju bersama tak akan hamba mundur
sejangkah !” Kembali Dursasana sesumbar. Panas hatinya sudah semakin
membakar perasaannya. Bahkan tempat yang didudukinya sudah terasa bagai
beralaskan paku membara.
“Sumbarmu ! Tetapi kamupun bisa menang bila aku adu kamu dengan
Arjuna, bila sudah terjadi kodok memakan liang nya !” Banuwati yang sudah
terkena dengan telak isi hati dan kelakuan dibelakang suaminya serta bosan
dengan kericuhan yang terjadi segera berbalik badan meninggalkan Dursasana
yang tertawa senang sekaligus panas hatinya karena kata kata kakak iparnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
196 PANDAWA KURAWA
Berdiri Arya Dursasana, setelah ditinggalkan Banuwati, lega rasanya
seakan ia sudah terbebas sangkar yang mengurungnya. Dipandanginya kepergian
Banuwati dengan berkacak pinggang dan muka yang ditengadahkan. Puas tetapi
panas.
“Kena kamu Banuwati ! Lagakmu seperti orang yang suci, tidak
menengok ke tengkuk sendiri menuduh orang yang tidak tidak. Aku buka
rahasiamu, mencak mencak seperti orang kalap. Kamu anggap aku ini apa ? Kalau
kamu bukan istri kakakku sudah aku . . . . . . . Huhh . . ! Apakah aku kelihatan
seperti orang yang bergelung malang dengan bibir berpoles gincu, diberi bedak
tebal mukaku dan dipakaikan kemben tubuhku ? Lihat apa yang akan aku lakukan
untuk membuktikan kata kataku.
Hari ini tak usah aku meminta ijin dari kanda Prabu, akan aku penggal
kepala Arjuna, sekaligus semua saudaranya”. Panas hati Dursasana membawa
keputusannya untuk kembali melangkah ke hamparan padang Kuru.
Kembali remuk hati Aswatama. Belum lagi jelas pulihnya kepercayaan
Prabu Duryudana kepadanya setelah terjadinya kericuhan di Bulupitu waktu lalu
hingga menewaskan paman terkasihnya, Resi Krepa, kembali kematian ayahnya
bagaikan meremuk redamkan sisa bagian hatinya yang masih utuh. Remuknya
hati dibawanya menyingkir dari palagan peperangan disore yang mulai mendung.
Seribu hitungan langkah yang ia rencanakan selanjutnya berkecamuk dalam
pikirannya. Rencana bagaimana cara membalaskan sakit hati atas pokal orang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
197 PANDAWA KURAWA
Pancalaradya utamanya, dan orang Pandawa bersaudara atas kematian orang
tuanya secara keseluruhan.
“Bapa, disini aku akan bersumpah untukmu atas perilaku Drestajumna.
Belum merasa lega hati anakmu, bila belum bisa menumpas anak anak
Pancalaradya. Sanggup anakmu ini melakoni usaha apapun, bahkan menjadi
hewan paling hina-pun anakmu akan tetap berusaha menuntut balas atas
kematianmu ”.kilat dan serentak suara gelegarnya menjadi saksi sumpah
Aswatama.
Sedih hati Aswatama membawanya mengenang orang orang yang
dicintainya. Pamannya, Krepa, yang menganggapnya sebagai anak kandungnya
sendiri, pamannya itu yang telah mencurahkan segala kasih sayang kepada
dirinya, tak terbatas pada rasa sayang seorang paman. Dirinya yang ditinggal
ayahnya sedari kecil di Timpuru telah mendekat-lekatkan hatinya kepada
pamannya itu. Sedangkan ayahnya yang menikahi ibu sambungnya, Krepi, bukan
atas nama cinta, tetapi semata mata hanyalah berdasar usaha melepas beban
mengasuh dirinya sebagai anak bayi Aswatama kecil. Dalih menikahi Krepi
adalah perilaku yang menghindari diri dari kerepotan itu, demi mengejar angan
tinggi seorang perantau muda yang haus akan pengalaman dan cecapan kebebasan
masa mudanya.
Angan kebebasan berpetualang yang membawa ayahnya menjadi rusak
raga atas hajaran Raden Gandamana, namun ayah tercintanya juga diberkati
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
198 PANDAWA KURAWA
kesaktian pinunjul ketika berguru kepada Rama Bargawa dan menjadi guru ilmu
kanuragan para Kurawa dan Pandawa.
Kemudian bayangan angan Aswatama menerawang mengenang kasih
sayang sang ayah ketika ia menyusul ke Sokalima. Ayahnya yang merasa bangga
dengan sosok dirinya yang merupakan keturunan satu satunya. Bagi ayahnya
adalah pelecut semangat hidup, ketika raganya telah rapuh dan tak lagi sempurna.
Sosok dirinya yang mengingatkan atas sosok muda ayahnya, hingga ia dilimpahi
kasih sayang tak terhingga dari ayahnya itu.
Tidak berpanjang panjang angan Aswatama, ketika Harya Suman yang
mencari dirinya telah menemukannya.
“Aswatama, jangan lagi menyesali kematian orang tuamu berpanjang
panjang, marilah anakku, aku iring langkahmu menuju balairung Bulupitu.
Sinuwun Prabu Duryudana berkenan memanggilmu”
Ragu Aswatama mendengar perkataan Harya Suman. Dalam benaknya
masih tersimpan ingatan, bagaimana junjungannnya Prabu Duryudana sangat
marah, ketika ia berusaha membela pamannya terkasih, Resi Krapa, ketika
pertengkaran pamannya itu dengan Adipati Karna, yang berujung pada kematian
pamannya.
Harya Suman sangat mengerti perasaan Aswatama, maka ia melanjutkan.
“Sinuwun Prabu Duryudana memanggilmu atas kemurahan hati beliau,
yang menganggap orang tuamu telah menjadi pahlawan atas gugurnya dalam
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
199 PANDAWA KURAWA
membela para Kurawa dan melihat kesetiaanmu kepada negara. Ayolah anakku,
jangan ragukan kata kata pamanmu. Aku yang akan menjadi jaminan atas sabda
Prabu Duryudana”.
“Baiklah paman, hamba mengerti akan keadaan ini” Aswatama menuruti
kata kata Patih Sangkuni. Ia ingin mengumpulkan kembali kekuatannya lahir dan
batin. Dengan bergabung kembali ke barisan Kurawa, seribu kemungkinan akan ia
dapatkan dalam usahanya membalaskan sakit hati kepada trah Pancala. Hitungan
dalam kepalanya juga mengarah kepada suatu agenda tersendiri yang hanya ia
yang tahu.
Kembali seorang dari saudara Pendawa terkena tekanan jiwa karena
kematian anak tercinta. Padahal mereka tahu, kematian bagi seseorang yang
masuk dalam arena pertempuran pilihannya adalah mukti atau mati. Tetapi tetap
saja terjadi, setelah kematian Abimanyu anak Arjuna yang menjadikan Arjuna
kehilangan pegangan diri, kali ini Sang Bima Sena-pun mengalami hal yang sama.
Tidaklah ia menyalahkan siapapun, Prabu Kresna, Karna atau dirinya sendiri.
Kerelaannya melepas kepergian anaknya menjadi senapati malam itu adalah atas
niat suci. Namun kenyataan yang terjadi tidak urung membuat perasaannya yang
teguh sedikit banyak telah terguncang. Ketiga anak lelakinya telah mendahuluinya
meraih surga. Yang pertama ketika mengikhlaskan Antareja menjadi tawur atas
kejayaan trah Pandawa sebelum pecah perang waktu lalu .
Kemudian berita telah sampai pula ditelinganya, ketika Antasena juga
telah merelakannya akhir hidupnya atas keinginannya untuk tidak menyaksikan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
200 PANDAWA KURAWA
dan mengalami perang Barata, asalkan para orang tuanya unggul dalam perang
itu. Ia dengan sukarela tersorot mata api yang tajam Batara Badawanganala,
hingga lebur menjadi abu.*)
Maka ketika anak lelaki keduanya tersambut rana dalam peperangan, maka
remuk redam hatinya tanpa dapat mengalirkan air mata. Dengan pikiran yang
kosong Werkudara berjalan menjauhi arena peperangan. Tak terasa langkahnya
sampai dipinggir bengawan Cingcingguling ketika waktu belum lagi menjelang
siang. Rasa lelah semalaman dalam menghadapi barisan raksasa dari Pagerwaja,
Pageralun dan Pagerwatangan, membebani raga sang Bima, ditambah jiwa yang
terluka menganga, merana ditinggalkan semua anak tercintanya. Walau amuknya
semalam telah menelan korban kedua adik dari Patih Sengkuni, Anggabasa dan
Surabasanta, namun tetap ia tidak puas sebelum membalas kematian terhadap
Adipati Karna. Rebahlah dibawah randu hutan dipinggir bengawan, sang Bima
melepas lelah.
Satu bingkai demi bingkai bayangan peristiwa masa lalu mengalir bagai
kejadian yang baru saja terjadi. Dibayangkannya sosok sang istri yang begitu
menyayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita yang sesuai dengan angan
angan ketika ia memilih istri. Wanita yang lembut namun perkasa dan sakti
mandraguna.
Berkelebat bayangan kejadian pahit manis perjalanan kasih, hidup dan
perjuangannya dengan sang istri. Saling bahu membahu dengannya ketika
membangun Negara Amarta dari asal hutan Wisamarta yang demikian angker
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
201 PANDAWA KURAWA
dengan penunggu para lelembut sakti. Para Drubiksa penghuni hutan yang
ternyata mereka adalah pemilik negara maya dalam hutan itu, bahkan telah
menyatu dalam jiwa masing masing pribadi para Pandawa. Terpesonanya diri
ketika melihat perubahan ujud raseksi Arimbi yang begitu perkasa dan sakti,
menjadi sedemikian cantik karena sabda sang ibu, Prita-Kunti Talibrata, ketika
menyaksikan Arimbi yang demikian cantik budi perilakunya dalam membantu
anak anaknya, sehingga tercetus kata mantra Sabda Tunggal Wenganing Rahsa ke
telinga Arimbi.
Istri yang telah memberikan warna hidup hingga lebih cerah ketika ia
melahirkan seorang putra yang walau masih ujud bayi merah, Jabang Tetuka,
tetapi oleh olah para Dewata, anaknya itu dibuat cepat dewasa dengan kekuatan
bagaikan berotot kawat tulang besi. Ia telah berhasil membebaskan Kahyangan
Jonggring Saloka dengan mengenyahkan Prabu Kalapercona dan para
punggawanya yang sedemikian sakti. Putra yang sangat ia banggakan dengan
sosok yang dambaan yang melekat pada angan angannya. Putra sempurna yang
merajai negara tinggalan dari orang tua ibunya, sekaligus musuh Pandu, orang
tuanya, yaitu Prabu Trembuku. Itulah Negara Pringgandani.
Tetapi belum semua kelebat bayangan masa lalunya usai, angan angannya
itu buyar, ketika terdengar suara berisik yang dikenalinya. Warna suara itu, suara
teriakan sesumbar itu. Itulah suara sesumbar dari Dursasana.
Manusia berangasan yang sedang panas hatinya sekembali dari taman
Kadilengeng di istana Astina, nyerocos sepanjang jalan. Tantangan dari iparnya,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
202 PANDAWA KURAWA
Banuwati, untuk mengalahkan Arjuna, serta hinaan kepadanya yang dituduh
sebagai manusia yang takut darah, menjadikannya ia sangat bernafsu untuk segera
menaklukkan Pandawa.
Sekarang hati Werkudara menjadi gembira bukan main, seakan ia menjadi
anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hatinya mengatakan, inilah
pelampiasan dendam atas kematian anaknya tadi malam.
Bangun ia dari rebahannya, segera diketatkan segala pakaian yang
melekat ditubuhnya siap untuk bertempur kembali. Kelelahan jiwa raga yang
mendera, berganti dengan kesegaran yang mengalir dari dalam rasa hati.
Melompat sang Bima menuju kearah suara yang nyerocos sesumbar tak henti
hentinya.
Demikan juga dengan Dursasana yang merasa sangat senang, ketika
melihat Werkudara menghadang langkahnya. Tidak disangka, belum sampai
dimedan peperangan, orang yang dicari muncul lebih cepat dari pada yang ia
bayangkan.
“Hee . . .Wekudara, kamu ternyata ada disini ! Tidak usah repot repot
mencarimu ditengah banyaknya manusia yang sedang menyabung nyawa
! Sekalian aku hendak membalaskan kematian anakku Dursala karena ulah
anakmu Gatutkaca ! Kalimat yang terucap disertai tawa yang mengalir dari
mulutnya tanda kegembiraan karena keinginannya akan segera terwujud.
“Apa maumu ?!” Bimasena menyahut sekenanya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
203 PANDAWA KURAWA
“Sekarang atau nanti, di Palagan Kurusetra atau disini sama saja.
Sekaranglah waktunya untuk kita mengadu kesaktian, satu lawan satu, siapakah
sebenarnya yang mempunyai kaki yang lebih kokoh, lengan yang lebih kekar dan
tenaga yang paling kuat diantara kita berdua !” Yakin Dursasana kali ini dapat
menjadi pahlawan ketika nanti ia dapat merobohkan tulang punggung trah
Pandawa ini.
“Waspadalah, ayo kita mulai !” Siaga Werkudara setelah ia berhenti
berucap.
Maka tanding antara tulang punggung kedua bersaudara Pandawa dan
Kurawa mulai berlangsung. Kaki kanan Dursasana mengayun ke dada Werkudara
dielakkan dengan sedikit memiringkan badan. Merasa tidak akan bisa mengenai
sasaran, segera Dursasana menarik kembali serangannya, kemudian ganti tangan
kirinya hendak menyapu pundak Bima. Gerakan Dursasana yang lurus menyerang
pundaknya segera ditangkis dengan tangan kanan, benturan kedua tangan terjadi.
Sentuhan tangan keduanya memulai kontak tenaga sebagai penjajakan atas
kekuatan diantara keduanya. “He he he . . . . Bagus juga kekuatanmu, jangan
keburu senang dengan berhasil menghindari serangan pertamaku. Ayolah
sekarang ganti kamu yang menyerang, aku tidak akan mengelak seberapapun
kekuatan yang hendak kau kerahkan”
“Jangan banyak mulut, terimalah kerasnya tapak kakiku !”
Kembali keduanya siap dengan kuda kudanya. Kali ini kaki kanan
Werkudara diangkat mengarah dada Dursasana yang mencoba menahan dengan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
204 PANDAWA KURAWA
kedua tangannya yang bersilang didepan dadanya. Ketika kaki Werkudara beradu
dengan tangan Dursasana, segera Werkudara menambah daya kedut pada kakinya
hingga Dursasana terpaksa menahan. Sejenak kemudian kekuatan kaki Werkudara
telah mendesak tahanan serangan Dursasana yang terpaksa menggulingkan diri.
Werkudara mencecar dengan hendak menginjaknya, namun waspada Dursasana
yang segera menyapu gerakan kaki Werkudara sambil meloncat bangun. Benturan
kaki keduanya terjadi dengan kerasnya dilambari dengan kekuatan ajian masing
masing.
Terlempar keduanya beberapa langkah kebelakang dengan mulut masing
masing mendesis menahan nyeri tulang kering mereka. Kemudian mulut
Dursasana mengalirkan sumpah serapah seperti kebiasaanya.
Kembali Dursasana mengayunkan kaki mengarah ke lambung Werkudara
yang sudah siap dengan kuda kudanya. Tetap dengan mulut yang tak mau diam
dengan caci makinya. Kaki beradu kaki berulang terjadi, berganti kanan kiri
diselingi sambaran kepalan tangan dari keduanya. Saling serang dan elak
berlangsung seimbang pada mulanya. Tanding keduanya bagaikan perkelahian
seekor gajah dengan seekor harimau. Gerak sentosa Werkudara yang kokoh maju
setapak setapak menahan dan menyerang balik Dursasana yang berkelahi bagai
seekor singa. Hutan pinggir sungai bagai terbabat oleh sabetan tangan dan kaki
kedua musuh abadi itu. Tanaman perdu patah rata tanah, sedangkan yang besar
besar batangnya bertumbangan bahkan ada yang rungkat beserta akarnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
205 PANDAWA KURAWA
Tapi yang berkembang kemudian adalah akibat dari jejak laku dari
keduanya. Werkudara yang telah tertempa secara fisik dan telah menyerap segala
kesaktian dari Ajian Bandung Bandawasa, Blabag Pengantol-antol hingga
menyatunya saudara tunggal bayu serta kekuatan raksasa Kumbakarna yang ia
peroleh di sekitar hutan Kutarunggu. Ketika itu Kresna yang menyamar menjadi
Begawan Kesawasiddi dan memberi wejangan Hastabrata kepada Arjuna,
sehingga Werkudara mendapat tambahan kekuatan selagi ia mencari keberadaan
Kresna dan Arjuna. Usaha “tarak brata” inilah yang membuat ia lama kelamaan
menjadikannya Werkudara unggul telak daripada Dursasana yang jarang
melakukan usaha peningkatan ilmu kesaktian dengan lebih enak tinggal di istana.
Ketika Dursasana gagal mengungguli dengan kekuatan tangan kosong,
berganti ia mencoba menggunakan limpung dan kemudian gada. Werkudara
melayani kemauan Dursasana dengan kuku pancanaka dan batang gada
Lukitasari. Dengan langkah mantap, Werkudara melayani serangan bertubi tubi
dari Dursasana. Namun tetap saja, walau Dursasana mengerahkan segala
kesaktiannya, keteguhan Werkudara tetap tak tergoyahkan.
Merasa keteteran dengan tandang Werkudara, Dursasana mencoba
mencari akal lain dengan berusaha menguras tenaga lawan. Ia berlari dan
melawan dengan berulang ulang kemudian melompati kali Cingcingguling.
“Werkudara . . . . Ayuh kejar aku keseberang! Kamu tunjukkan seberapa
kuat tenaga seribu gajah yang kamu miliki ! “ Ia berharap sebelum kaki
Werkudara menapak tebing seberang ia sudah kembali menyerang sehingga
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
206 PANDAWA KURAWA
lawannya kehilangan keseimbangan kemudian serangan beruntun dilancarkan
hingga lawan dengan mudah disasarnya.
Ketika perkelahian itu berlangsung, Prabu Kresna yang kehilangan
adiknya, segera melacak jejak Werkudara. Pengalaman ketika ia kehilangan jejak
Arjuna ketika adiknya itu terkena tekanan jiwa atas kematian Abimanyu,
membuat intuisi Kresna segera menemukan dimana adanya Werkudara yang
mengalami kesamaan peristiwa seperti Arjuna ketika itu.
Maka ketika dilihatnya yang dicari sedang bertempur diarena yang tidak
resmi dan ia berketapan hati Dursasana akan dikalahkannya, maka diutusnya
seseorang untuk menjemput Drupadi.
Dan memang benar. Tak lama kemudian usaha Dursasana dalam
mengubah strategi menjadi tak berarti karena kalah unggul kekuatan dan
kesaktiannya. Tambahan lagi, ketika campur tangan pihak ketiga juga ikut
bermain. Sarka dan Tarka, kedua arwah tumbal yang tak rela atas kematiannya
masih juga melanglang di alam madyantara juga hendak menuntut balas atas
kematiannya.
Maka begitu kesempatan itu datang, juntaian akar pohon tepi sungai
menjadi sarana atas dendam keduanya. Kaki Dursasana yang diperkirakan
menginjak tebing sungai dengan mulus, tersandung akar dan goyah langkahnya.
Kesempatan ini digunakan sepenuhnya oleh Werkudara yang dengan sigap
menjambak rambut lawannya, dan kakinyapun mengunci gerak lawannya. Dengan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
207 PANDAWA KURAWA
tenaga penuh dipuntirnya tubuh Dursasana bagaikan seekor buaya memutar
mangsanya, Werkudara memperlakukan tubuh musuhnya.
Pucat pasi wajah Dursasana ketika sudah terkunci tak bisa bergerak lagi
dengan tulang yang sudah patah pada beberapa bagian. “ Adikku Werkudara,
lepaskan aku ! Berikan kakakmu sedikit rasa kemanusiaanmu. Kendurkan
pitinganmu, aku mengaku kalah, ampuni aku, berikan aku hidup. . . . . . . .”
Memelas kata kata permohonan ampun meluncur dari mulut Dursasana.
“Tutup mulut buayamu yang kotor ! Kamu harus ingat ketika kamu masih
dalam keadaan jaya, tingkah lakumu sungguh sangat membuat jengkel saudara
sepupumu. Sekarang waktunya kamu menuai tindakanmu dahulu yang selalu
mencari kematian kami semua bersaudara anak Pandu. Bahkan kakak iparku
Drupadi hendak kau buat malu ketika kamu menang dalam judi dadu, hingga
sumpahnya harus aku luwar, agar ia dapat kembali bergelung”. Mendengar
permohonan ampun tidak digubris, dengan muka yang memerah marah dan
gemetar, kemudian berubah pucat pasi tanda keputus asaan mendera dadanya.
Maka takdir menjemput akhir hidup manusia yang selalu berjalan dalam
kepongahan itu dengan sumpah serapah yang masih membuncah dari mulutnya.
Kekesalan Bima terlampiaskan dengan memelintir anggauta tubuh lawannya
hingga tercerai berai. Tidak puas juga, bagian anggauta badan Dursasana yang
sudah tercerai berai dilemparkan kesegala penjuru.
Memang demikian, Dewi Drupadi, ia pernah mempunyai janji, ia tak kan
pernah bergelung rambutnya apabila ia belum berkeramas dengan darah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
208 PANDAWA KURAWA
Dursasana. Janji itu terucap ketika ia hendak dipermalukan oleh Dursasana di
arena judi dadu. Janji itu terucap disaksikan oleh semua yang hadir dalam arena
itu termasuk Prabu Kresna. Walaupun ia tak dapat dipermalukan karena
pertolongan dewa, kain yang menutup tubuhnya tak dapat dilepas seakan tiada
berujung. Maka kesempatan itu tak hendak dilalukan. Bima yang teringat akan
sumpah kakak iparnya segera menyedot darah Dursasana dengan mulutnya hingga
kumis dan jenggotnya tergenang merah darah. Sampai ditempat kakak iparnya
Draupadi, dituangkannya darah Dursasana dari mulut dan perasan darah dari
jenggot dan kumisnya, yang kemudian dipersembahkan dihadapan Drupadi yang
dengan senang hati menjadikannya luwar atas janjinya ketika itu.
Ular sawah menelan telur ayam,
Padahal sungguh sedang dieram
Di dalam perut telur itu menetas
Merayap keluar dari mulut ular
Anak ayam menghilang ke hutan
Ular sawah tidur kekenyangan,
Kematian Dursasana yang mengenaskan segera tersebar ke segala penjuru
pertempuran. Dengan rasa ngeri diceritakan bagaimana Bima tidak lagi bertindak
seperti manusia. Ia menghancurkan wajah Dursasana yang buruk rupa,
menggocohnya sampai menjadi bubur, menyobek perutnya dengan pisau,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
209 PANDAWA KURAWA
mengeluarkan ususnya, dan menghirup darah sebanyak-banyaknya. Demikianlah
diceritakan dalam Kakawin Bharata-Yuddha:
Pada waktu itu berbicaralah Bhima dengan suara yang lantang dan tidak
menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.
”Wahai kelompok pahlawan semuanya dan khususnya dewa-dewa yang
menjelma di dunia ini! Lihatlah Bhima ini yang sedang akan memenuhi janjinya
di tengah medan pertempuran. Darah Dussasana inilah yang akan saya minum.
Lihatlah!
”Dan untuk dewi Draupadi inilah hari yang terakhir untuk mengurai
rambutnya. Terima ini dengan ikhlas hati, wahai Dussasana dan rasakan pahalamu
untuk membuat kejahatan yang terus menerus. Bah, bahwa kau ini tetap meronta-
ronta dan tidak tinggal diam, wahai kamu anjing yang tidak sopan, pada waktu ini
kamu akan dibunuh. Apa yang kau pikir dalam hatimu? Akan kau lanjutkan
perbuatanmu yang jahat itu? Buktinya, kamu berusaha untuk bangkit lagi!”
Demikianlah ucapan Bhima yang pendek tegas. Setelah Bhima meringkus
Dussasana dengan tangannya dan dapat memegang perutnya, perut inilah yang
disudet. Pada ketika itu Dussasana telah tidak sadarkan akan dirinya lagi;
kemudian dada yang telah disudet itu dibuka lebih lebar lagi. Kelihatannya
seolah-olah Dussasana yang tetap hatinya dan gagah berani itu tetap dengan
dendamnya mencoba untuk menerjang dan menggigit. Ketika Bhima minum
darahnya itu, Dussasana secara mata gelap memukul-mukul ke kiri dan ke kanan,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
210 PANDAWA KURAWA
meronta-ronta dan mencoba memegang Bhima, padahal badannya telah
berkejatan.
Sangat mengerikan kelihatannya, ketika Bhima minum darah dan dengan
ketetapan hati menarik usus Dussasana dari perutnya. Kelihatannya seolah-olah ia
akan menunjukkan bagaimana ia pada suatu ketika dapat memuaskan apa yang
dikehendakinya. Rambutnya dapat disamakan dengan mega merah, matanya dapat
disamakan dengan matahari yang dengan sinarnya yang berkilauan, sedangkan
suara yang keluar dari tenggorokan dapat disamakan dengan petir dan suara yang
keluar dari mulutnya sebagai tanda kepuasan dapat disamakan dengan halilintar.
Mukanya yang penuh dengan darah itu dapat disamakan dengan mega
merah yang kena sinar matahari. Bhima yang berjalan dengan angkuhnya itu
dapat diumpamakan sebagai gunung yang menjolak ke atas. Dengan segera ia
melempar-lemparkan mayat Dussasana ke atas, disertai oleh kata-kata seperti
guruh yang berkumpul. ”Inilah pembantumu, bah!” Demikianlah ucapan Bhima
dan dilemparkannya mayat Dussasana itu ke arah Suyodhana.
Drupadi mendengar semuanya. Ia berada dalam tenda di belakang garis
pertempuran di Kurusetra. Seorang penjaga dipanggilnya.
”Bawalah bokor ini kepada Bima,” katanya.
Bima yang wajahnya penuh darah mengerti makna bokor itu. Drupadi
ingin menyanggul rambutnya sekarang juga. Maka dicarinya mayat Dursasana
yang telah dilemparnya. Para prajurit menyingkir ngeri melihat cara Bima
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
211 PANDAWA KURAWA
memeras darah dari mayat Dursasana. Perang memang hanya kekejaman. Benar
dan salah hanya kekerasan. Apakah tidak ada cara lain untuk menjadi ksatria?
”Inilah air kutukan itu, Dewi.”
Bokor itu berisi darah, namun Drupadi melihatnya sebagai tirta amerta
yang bercahaya. Ia tidak berpikir tentang dendamnya terhadap Dursasana, ia ingin
melengkapkan putaran roda kehidupan. Di dalam tenda diangkatnya bokor emas
itu ke atas kepalanya.
Pada senja di hari kematian Dursasana itu, orang-orang melihat cahaya
berkilat menyemburat ke langit dari tenda Drupadi. Cahaya terang yang
memancar-mancar. Para pengawal berlarian menuju tenda itu. Namun mereka
berpapasan dengan dayang-dayang yang berwajah pucat.
”Dewi Drupadi…”
”Kenapa Dewi Drupadi?”
”Mandi darah.”
Pengawal pertama yang menyibak tenda terkejut. Drupadi bersamadi
dengan seluruh tubuh bersimbah darah. Cahaya memancar dari tubuhnya,
semburat ke angkasa. Lunas sudah piutangmu Dursasana tak terlunaskan piutang
pada kesuciansemua kejahatan ada bayarannya meski kebaikan tidak minta
balasan Pada malam hari Drupadi berkumpul dengan lima suaminya. Hari itu
Karna juga telah gugur.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
212 PANDAWA KURAWA
”Apa hasil perang ini,” kata Drupadi, ”putra-putra Pandawa yang perkasa
seperti Irawan, Abimanyu, dan Gatotkaca telah gugur. Kita akan menang, tapi apa
arti kemenangan ini selain pelampiasan dendam yang tidak terpuaskan. Orang-
orang yang kita hormati telah tiada. Kemenangan ini akan kita persembahkan
kepada siapa?”
Kresna bicara.
”Bharatayudha adalah suatu penebusan, Drupadi. Resi Bhisma menebus
kelalaiannya kepada Dewi Amba. Mahaguru Dorna menebus rasismenya kepada
Ekalaya dari Nisada. Esok pagi Salya akan menebus kebenciannya terhadap
Bagaspati, mertuanya sendiri. Kita hidup dalam lingkaran karma. Kodrat tak
terhindarkan, tapi tidak untuk disesali, seperti penghayatan dirimu sebagai
perempuan dengan suami lima. Bahkan Salya pun tidak punya niat jahat, karena ia
dulu adalah Sumantri yang mengingkari Sukasrana. Bagaimanakah caranya kita
menghindari diri kita Drupadi? Tidak bisa. Bharatayudha hanyalah jalan bagi
setiap orang untuk memenuhi karmanya, melengkapkan perannya, untuk
membersihkan dunia. Kelak anak Utari yang bernama Parikesit akan menjadi raja,
saat itu dunia bersih bagai tanpa noda, tapi tetap saja ada yang bernama
malapetaka. Maka hidup di dunia bukan hanya soal kita menjadi baik atau
menjadi buruk, tapi soal bagaimana kita bersikap kepada kebaikan dan keburukan
itu. Perang ini penuh perlambangan. Siapakah yang lebih jahat Drupadi,
Dursasana yang menelanjangimu atau Bima yang menghirup darah Dursasana?
Perang ini adalah sebuah pertanyaan. Apakah jalan kekerasan para ksatria bisa
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
213 PANDAWA KURAWA
dibenarkan?”
Drupadi menjawab.
”Aku Drupadi, seorang perempuan, terus terang menghendaki darah
Dursasana, untuk memberi pelajaran kepada penghinaan.”
”Jawabannya bisa lebih panjang Drupadi. Engkau seorang perempuan
telah memberi pelajaran tentang bagaimana perempuan menghidupkan diri
dengan dendam. Sama seperti dendam Amba kepada Bhisma, sama seperti
dendam Gandari kepada penglihatan karena mendapat suami dalam kebutaan.
Perang ini memberi peringatan, wahai Drupadi, betapa dendam bisa begitu
mengerikan. Para Pandawa adalah ahli bertapa, namun di seluruh anak benua tiada
pembunuh yang lebih besar daripada mereka.”
”Kresna yang bijak, ingatlah bahwa para Pandawa selalu membela
kebenaran.”
”Tidak ada yang keliru, duhai Drupadi yang cerdas, bahkan mereka akan
selalu dilindungi para dewa. Tapi renungkanlah kembali makna kekerasan.”
”Dunia ini penuh kekerasan, Kresna. Terutama aku, perempuan, yang
selalu jadi korban.
”Maka memang menjadi pilihan, Drupadi, kita akan menghindari atau
menggunakan kekerasan.”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
214 PANDAWA KURAWA
Drupadi berdiri.
”Kresna, engkau sungguh pandai bicara. Tapi engkau belum pernah
menjadi korban. Itulah masalahmu Kresna, engkau mengerti segalanya, namun
engkau tidak pernah merasakannya. Aku adalah korban, dan aku menggunakan
hak diriku sebagai korban untuk menjawab nasibku dengan kemarahan. Engkau
mengatur segala-galanya. Kau korbankan Gatotkaca, agar Karna melepaskan
Konta, sehingga Arjuna bisa menandinginya. Apakah engkau tidak pernah
mendendam Kresna, engkau memutar leher Sishupala hanya karena kata-kata,
engkau membunuh Salwa orang bodoh yang mengacau Dwaraka. Itukah
pelajaranmu untuk dunia? Aku sudah menjadi korban, dan dari seseorang yang
sudah menjadi korban, engkau memintanya berjiwa besar. Apakah itu tidak terlalu
berlebihan? Biarlah Resi Bhisma atau Karna atau Yudhistira berjiwa besar, tapi
aku Drupadi, seorang perempuan, menggunakan hak diriku sebagai korban untuk
melakukan pembalasan.”
”Itu hanya membuktikan, wahai Drupadi, bukan hanya kejantanan menjadi
korban kekerasan.”
”Kresna, Kresna, bagimu pelaku kekerasan adalah korban. Lantas harus
diberi nama apa korban kekerasan itu sendiri?”
Yudhistira berdiri.
”Kresna kakakku, Drupadi istriku. Janganlah diteruskan lagi. Masih
banyak yang harus kita atasi.”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
215 PANDAWA KURAWA
Drupadi menarik nafas. Wajahnya terang dan bercahaya, dalam tatapan
kagum kelima suaminya.
Barata
GUGUR SANG PUTRA SURYA
Malam kembali jatuh. Di Pesanggrahan Bulupitu, Prabu Duryudana sangat
berduka dengan apa yang terjadi pada peperangan hari tadi. Kematian demi
kematian para sanak saudara bahkan gurunya, telah membuat ia merasa telah
terlolosi otot dan tulang tulang dari sekujur tubuhnya. Kematian gurunya Pendita
Durna-lah yang membuat serasa lumpuh. Ditambah lagi dengan kematian adiknya
Dursasana yang sudah ia terima dari abdi telik sandi. Kematiannya yang diluar
arena resmi sangat ia sesalkan. Ditambah lagi dengan kematiannya yang sangat
menyedihkan dengan badan yang tercerai berai, membuahkan dendam kepada
Werkudara.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
216 PANDAWA KURAWA
“Rama Prabu, sekaranglah waktunya putramu untuk maju sendiri kemedan
pertempuran” Duryudana tidak lagi terkendali rasa hatinya ketika orang orang
terkasihnya tewas satu persatu.
“Pikirkanlah baik baik langkah yang hendak kau ambil, anak mantu
Prabu”. Salya mencoba menyabarkan hati menantunya. Kemudian ia mencoba
memberikan pilihan. “Barangkali dengan telah tewasnya banyak andalan pihak
kita, anak Prabu mempunyai pertimbangan untuk mengakhiri saja perang ini. Dan
bila anak Prabu berkenan akan tindakan ini, aku sanggup untuk menjadi perantara
dalam menyampaikan pesan perdamaian kepada adik adikmu Pandawa”.
“Tidak rama Prabu, akan sia sia pengorbanan yang telah diberikan oleh
para prajurit dan senapati yang telah gugur. Tidak layak putramu berdamai dengan
Para Pandawa dengan landasan bangkai para prajurit dan bergelimang dengan
darah para bebanten perang”. Duryudana menjawab dengan tegas. Perasaan
dendam yang membara didadanya atas kematian adik terkasihnya, Dursasana,
telah mendorongnya mengatakan bantahan atas pilihan tawaran dari Prabu Salya.
“Baiklah, bila demikian. Anak Prabu masih mempunyai satria agul-agul
yang kiraku dapat mengatasi keadaan ini dengan memenangi perang. Disini masih
berdiri kokoh seorang calon senapati yang bukan orang sembarangan. Orang itu
adalah anak dewa penerang hari, yang telah kuasa memenangi pertempuran
malam dengan korban yang tak terkira jumlahnya termasuk senapati muda
Gatutkaca”. Tutur Salya sambil melirik mantunya yang paling ia tidak sukai dari
ketiga mantu yang lain sambil tersenyum penuh arti. Senyum yang keluar bukan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
217 PANDAWA KURAWA
dari hati yang tulus. Senyum yang setengah mengejek, karena rasa yang terlanjur
tidak suka terhadap mantu itu. Juga senyum sinis itu disebabkan atas hasil
kemenangan yang dicapainya baru baru ini yang tidak dilakukan dengan cara
kesatria, layaknya perang yang terjadi di waktu waktu sebelumnya yang terjadi
diwaktu yang wajar, siang hari.
“Terimakasih rama Prabu, anakmu setuju atas kehendak rama. Hanya
kepada kanda Adipati, kami menyandarkan kekuatan para Kurawa dalam
memenangi perang ini. Kami harap kanda Adipati dapat melaksanakan segala
gelar perang yang akan terlaksana besok pagi”.
“Kehormatan yang tiada terkira yang saya cadang siang dan malam telah
terucap dari sabda paduka adinda Prabu. Ada satu permintaan yang akan kami
sampaikan kepada adinda Prabu, dalam perang nanti, kami pasti akan berhadapan
dengan adimas Arjuna. Ini sudah menjadi takdir yang sudah terucap dari sabda
Batara Narada waktu lalu, bahwa kami berdua adimas Arjuna bakal bertemu
kembali dalam medan Baratayuda. Dari itu, para Pandawa akan menampilkan
adimas Arjuna sebagai senapati dari pihak Hupalawiya”. Kembali Adipati Karna
mengingatkan akan peristiwa masa lalu ketika anugrah Kuntawijayandanu yang
hendak diberikan kepada Arjuna sebagai pemutus tali pusar Gatutkaca, telah salah
diterimakan kepada Karna-Suryatmaja.
Perkelahian keduanya terjadi ketika Arjuna tidak terima atas kesalahan
pemberian pusaka itu, dan bahwa ia juga telah dibebani tugas oleh kakaknya,
Bratasena Werkudara, untuk mendapatkan senjata yang bisa memutus tali pusar
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
218 PANDAWA KURAWA
keponakannya. Pertempuran yang kemudian dipisah oleh Narada, dijanjikannya
bakal terlaksana hingga salah satunya tewas pada saat Perang Baratayuda
berlangsung nanti.
“Permintaan apakah yang hendak kanda sampaikan. Kalau masih dalam
jangkauan kami, pasti akan kami kabulkan” Duryudana setengah menyanggupi
permintaan yang hendak ia sampaikan.
“Adinda Prabu, Bila terjadi perang tanding dengan kereta perang nanti
antara kami dengan dimas Arjuna, tidak urung adimas Arjuna akan dikusiri oleh
Prabu Kresna. Bila ini yang terjadi, mohon kesanggupannya agar kami dikusiri
juga oleh manusia yang setimbang dengan derajat Prabu Kresna”. Sejenak Karna
diam, ragu dalam hati ia hendak menyampaikan maksudnya kepada adik iparnya
itu.
Jeda kesunyian itu kemudian diseling dengan pertanyaan sang Prabu.
“Kanda, apakah kanda hendak dikusiri oleh Kartamarma, ataukah oleh paman
Harya Sangkuni? Akan kami perintahkan kapanpun, pasti keduanya dengan
senang hati akan memenuhi kehendak kanda Adipati”.
Adipati Karna tersenyum hambar. Perasaan sungkan yang ia pendam
sedari tadi telah ia keluarkan dan ia buang sedikit demi sedikit. Keinginan
membalas perlakuan mertuanya yang selalu tidak cocok dihatinya, dalam
peristiwa ini, bagaikan suatu sarana untuk melawan balik sikap mertuanya itu.
Bagaimanapun permintaan seorang senapati akan dipenuhi tanpa harus tercampuri
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
219 PANDAWA KURAWA
oleh urusan pribadi. Dan urusan negara ini akan dijadikan dalih dalam melawan
sikap mertuanya itu. Inilah saatnya, pikir Karna.
“Adinda Prabu, bukan seorang Kartamarma atau Paman Sengkuni yang
aku kehendaki. Keduanya belum setimbang dengan derajat yang disandang oleh
Prabu Kresna. Satu satunya orang yang dapat menyamai derajatnya, adalah . . .
Rama Prabu Salya”.
Terkejut Salya dengan permintaan yang diajukan oleh menantunya. Tidak
senang ia berkata. “Ooh . . , inikah ujud bakti seorang menantu terhadap
mertuanya? Aku ini dianggap apa? Derajat Prabu Kresna yang kau anggap sebagai
dalih agar mertuamu ini mau kau perintahkan aku sebagai kusirmu? Sekali
menjadi mantu kualat, tetap menjadi menantu kualat juga. Belum juga sembuh
rasa hati atas tuduhanmu diawal perang, telah kau lukai hati ini sekali lagi dengan
permintaanmu yang merendahkan derajat raja Mandaraka”. Tanpa diduga
sebelumnya oleh Karna, rayuannya atas derajat yang ia lontarkan kepada
mertuanya, tidak mempan mengatasi anggapan rendah seorang kusir bagi dirinya.
Bahkan kembali Salya mengungkit ungkit sakit hatinya atas tuduhan menantunya
diawal perang.
“Rama Prabu, bila rama tidak berkenan atas permintaan kanda Adipati,
baiklah sekarang putramu sendiri yang akan maju kemedan Kurusetra. Saya
relakan jiwaku demi kemenangan yang hendak aku raih. Putramu minta diri untuk
berangkat malam ini juga”. Duryudana mencoba untuk menarik perhatian ayah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
220 PANDAWA KURAWA
mertuanya. Ia berharap mertuanya akan menyanggupi permintaan kakak iparnya
bila ia mengancam akan bertindak sendiri.
Kembali diluar dugaan, Salya berkata sambil tertawa sumbang. “Anak
mantu Duyudana, aku ini orang tua yang sudah makan asam garam kehidupan.
Tidak usahlah merajuk seperti itu. Dalam pendengaranku, kata kata anakmas
Duryudana tadi, bukan keluar dari lubuk hati anakmas sendiri. Tidak usahlah
memaksa dengan ancaman halus seperti yang anak Prabu katakan, aku akan
menuruti keinginan menantuku Awangga yang tampan itu, anak mantu yang
membuat anakku Surtikanti mabuk kepayang”. Akhirnya Salya menyanggupi
permintaan itu. Karna yang mendengar permintaannya dikabulkan bukannya
senang, namun ia malah tersenyum kecut penuh arti.
“Terimasih rama Prabu, yang telah mengabulkan permintaan anakmu ini.
Mohon perkenannya adinda Prabu Duryudana, mulai malam ini kanjeng rama ada
dalam tugas sebagai kusir senapati Awangga”. Adipati Karna akhirnya
mengatakan kalimat seperti itu. Telah telanjur basah ia dalam melawan rasa benci
dari sang mertua, maka sekalianlah basah dengan memerintahkan peran itu dari
saat ini juga.
“Baiklah anakku tampan, perintahkan kepada kusirmu tugas apa yang
hendak kau perintahkan untuk mengantarmu?” Salya sudah muak dengan tingkah
menantunya sekalian memanjakan semu kemauan menantunya.
“Mohon maaf rama, mohon rama menemani kami untuk kembali sejenak
ke Awangga. Anakmu mantu ingin ketemu sejenak dengan putri rama, Surtikanti.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
221 PANDAWA KURAWA
Sudah lama anakmu tidak memberi kabar ataupun berita. Dan pasti ia ingin
mengetahui keselamatan suaminya. Sekali lagi mohon perkenannya. Ketemu
dengan istri bukanlah masalah pribadi, ini sebagian dari tugas seorang senapati.
Ketemu dengan istri adalah sebagai penguat jiwa, sebagai penambah moral bagi
seorang lelaki sekaligus suami dalam menjalankan tugas. Apalagi ini adalah tugas
luar biasa, tugas yang taruhannya adalah nyawa”. Karna mencoba memberi
penjelasan kepada mertuanya.
Namun sang mertua yang sudah pegal hatinya setengah hati menjawah.
“Dalih apapun yang kamu hendak berikan kepadaku, taklah menjadi sebuah arti.
Mari ikuti aku, kita segera berangkat ke Awangga”
“Anak mantu Duryudana, perkenankan kami mohon diri sejenak. Kusir ini
akan mengantarkan senapati agung”. Prabu Salya meminta diri.
“Semoga keselamatan rama Prabu dan Kanda Adipati menyertai
perjalanan ini nanti” demikian Duryudana mengakhiri sidang dan beranjak
mengikuti Prabu Salya dan Adipati Karna sampai di gapura pesanggrahan.
Lenyap bayang dua sosok menantu dan mertua itu di keremangan malam.
Tetapi dua sosok tubuh yang lain muncul. Mereka adalah Harya Sangkuni dan
Aswatama. Segera keduanya menghaturkan sembah kepada junjungannya.
Diajaknya kemudian keduanya menuju balairung pesanggrahan. Setelah
basa basi sejenak, dan menceritakan apa yang terjadi baru saja, berkata Prabu
Duryudana, “Aswatama, telah saya cabut kata kataku mengenai pengusiranmu
dari hadapanku. Kematian ayahmu sebagai seorang tawur peperangan adalah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
222 PANDAWA KURAWA
labuh seorang pahlawan sejati. Sebagai seorang anak pahlawan, selayaknya kamu
harus aku berikan perlakuan layaknya seorang anak pahlawan. Sedangkan
perilakumu semasa pembuangan, aku lihat tetap bersikap sebagaimana prajurit
yang setia terhadap negara. Itulah yang mendasari kamu aku dekatkan kembali
dihadapanku”.
“Terimakasih atas kepercayaan gusti Prabu terhadap hamba. Akan kami
pelihara sikap kesetiaan kami terhadap negara ini dengan kesanggupan hamba
sebagai mata mata atas kedua parampara paduka gusti Prabu. Kenapa hamba
mengatakan sanggup menjadi orang yang setia, dan hubungannya dengan kedua
parampara paduka yang barusan pergi. Mohon seribu maaf, karena keduanya
adalah masih ada hubungan batin dan jiwa dengan musuh paduka para Pandawa.
Prabu Salya adalah uwak dari kembar Nakula dan Sadewa. Sedangkan kanda
Adipati Karna adalah saudara tunggal wadah dengan para Pandawa melalui bibi
paduka Dewi Kunti. Maka menurut hamba, keduanya harus diawasi benar benar
pergerakannya. Sekali lagi sinuwun Prabu, hamba mohon maaf.
Hubungan gusti Prabu dengan mertua paduka kali ini hamba
kesampingkan”. Aswatama menghaturkan kata kata itu dengan hati hati.
Sebenarnya ia khawatir mengatakan itu. Namun angin mengarah kepada
dirinya hingga diberanikan dirinya mengutarakan isi hatinya.
Takut ia dengan kemurkaan kembali gustinya, ia menunduk dalam. Tetapi
hatinya menjadi besar, ketika Patih Sengkuni mengamini kata katanya.” Anak
Prabu, benar apa yang dikatakan Aswatama. Segala sesuatu dapat saja terjadi
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
223 PANDAWA KURAWA
dengan keduanya. Kami sependapat, dan Aswatama akan membuktikan
keterangan yang diberikan besok hari ketika perang esok hari telah usai”.
Maka malam itu ketika sudah larut, Aswatama tak segera dapat
memejamkan matanya. Kenangan masa lalu dan rencana kedepan hilir mudik
mengisi kepalanya. Tapi putusannya adalah, siapapun yang akan memenangi
Baratayuda tidaklah menjadi persoalan baginya. Tak ada lagi untung rugi yang ia
hitung hitung dalam perkara ini. Yang utama adalah bagaimana ia dapat
membalaskan sakit hati terhadap pembunuh ayah dan pamannya, baik itu melalui
tangannya sendiri maupun melalui tangan orang lain. Sekarang telah diputuskan,
bahwa dirinya akan menjadi seorang oportunis sejati. Kurawa menang, dirinya
aman, tetapi bila Pandawa yang menang, kembali ke Timpuru atau Atasangin
menjadi pilihan terakhir. Bahkan dibayangkannya ia dapat menggulung kedua
pihak yang sedang berperang, Pendawa dan Kurawa sekaligus, dan kemudian
bertahta diatas bangkai mereka, nyakrawati mbahu denda di kerajaan Astina
dengan permaisuri Dewi Banuwati. Entahlah ini dipikirkan ketika ia masih terjaga
atau sudah terlelap dalam mimpi besarnya.
Tak lama sang Adipati tiba di Awangg. Surtikanthi telah menyambut
kedatangannya. Suasana ketika Adipati Karna bertemu dengan istri tercintanya,
Surtikanti. Maka ia segera meminta sang istri untuk menemani. Surtikanthi
menuruti perintah sang suami. Maka pada waktu esok pagi. Saat waktu yang
masih menampakan aroma pagi yang semerbak. Dan telah bersiap pasuakan
Awangga yang dipimpin patih Adimanggala. Maka sambil mohon restu sang
Adipati berangkat ke Tegal Kuru.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
224 PANDAWA KURAWA
Yang terjadi kemudian adalah waktu pagi yang terik, dimana pertempuran
sengit berkecamuk kembali di padang Kurukasetra yang sudah berhari hari
menjadi panggung ajang drama pertempuran yang mengerikan. Sisa sisa tenaga
prajurit yang kini mulai jenuh dan lelah, hanya punya pilihan, segera perang
selesai. Entah dirinya yang menjadi korban atau ia membunuh lawan lawannya
dengan cepat.
Hawa panas menjelang penghujan menyengat menguatkan bau anyir darah
dan busuk bangkai manusia dan hewan tunggangan para adipati serta segenap
pembesar perang yang tak lagi sempat dirawat oleh sesama prajurit. Berserakan
senjata yang bergeletakan mencuat diantara reruntuhan kereta perang, sungguh
membuat meremang bulu kuduk orang orang yang bermental lemah. Belum lagi
erangan para prajurit terluka menahan rasa sakit yang tak terkira, tetapi tidak
kunjung ajal menjemput. Suara rintihan itu bagai nyanyian peri prayangan.
Sementara burung gagak pemakan bangkai berputar kekitar diangkasa yang biru
dengan gumpalan awan disana sini, menanti kapan waktunya untuk kembali
berpesta pora.
Di salah satu sisi medan pertempuran, terdengar pembicaraan dua orang
prajurit yang sama sama terluka, entah kepada sesama teman atau lawan. Yang
mengalami luka serius menyandar pada pokok pohon kering, sementara lawan
bicaranya tadi tertelungkup dengan sesekali terbatuk memuntahkan darah segar
dari mulutnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
225 PANDAWA KURAWA
“Sesungguhnya apakah yang kita dapat dari peperangan yang kita jalani,
kisanak?
“Inilah yang kita dapat! Kebinasaan! Hukum alam telah menuliskan,
keseimbangan alam telah mengharuskan manusia melakukan kekerasan, saling
baku bunuh untuk kembali ke keseimbangan baru, baik itu melewati perang
seperti ini, bencana alam, atau manusia dengan sadar mengerem lajunya jumlah
turun. Kita ini sedang ada didalam bagian dari putaran proses itu, kisanak”.
Keduanya berbincang diantara desing anak panah dan denting senjata serta
gelegarnya meriam dengan sesekali berhenti menahan rasa sakit, suara
pembicaraan keduanya kadang tertelan oleh kemeretak roda kereta dan derap
ladam kuda yang melintas disekitar mereka. Sementara kepulan debu dan asap
sendawa mengepul menyesakkan nafas.
Diceriterakan, adalah Raden Sanjaya. Yang merasa tertantang setelah
bertemu dengan Wara Srikandhi dan menyatakan hendak memberi sesumbang
jiwa raga terhadap para Pandawa. Akan tetapi niat baik Randen Sanjaya telah
dianggap sebagai manusia yang bersifat oportunis.
“Sanjaya, kalau kamu hendak membela para Pandawa, kenapa tidak dari
semula, kenapa baru sekarang ketika Kurawa sudah lemah, ketika kamu sudah
merasa, tak akan para Kurawa menang atas Pandawa. Apakah itu jiwa dan watak
seorang prajurit?. Apakah itu bukan manusia yang bertujuan untuk mencari
kemuliaan dan kesenangan belaka?. Apakah sekiranya bila kamu tidak bergabung
dengan para Pandawa, Pandawa tidak akan menang? Malah aku kira, permintaan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
226 PANDAWA KURAWA
bergabungnya kamu dengan para Pandawa adalah sebagai mata mata. Kenapa aku
sebut begitu, karana sejak lahir, kamu adalah warga Panggombakan yang ada
dalam wilayah Astina !”.
Tersentuh rasa panas hati Sanjaya yang dituding mencari kemuliaan atas
kemenangan Pandawa, maka ia bersumpah akan menandingi kesaktian Adipati
Karna. Berangkat ke medan perang Sanjaya dengan hati terluka oleh tuduhan
yang tidak beralasan dari Wara Srikandi. Andai saja Sumbadra tidak terlambat
dalam mencegah keberangkatan Sajaya yang sudah melangkah ke medan Kuru,
maka mungkin kejadiannya akan berbeda. Memang Wara Sumbadra tahu, betapa
ayah dari Senjaya, Raden Yamawidura, adalah seorang yang berjasa sangat besar
pada Pandawa. Ketika terjadi peristiwa bale Sigala-gala, orang tua Sanjaya telah
membaui hal yang mencurigakan ketika pesta itu diadakan oleh usul Sengkuni.
Ketika itu Raden Yamawidura menyelamatkan para Pandawa dari api yang
membakar pesanggrahan mereka, ketika mereka terbius tidur oleh para Kurawa.
Kemudian mereka membakar habis seluruh pesanggrahan.\
Yamawidura yang menjelma menjadi garangan putih, telah membuat
lubang bawah tanah menembus sapta pratala dan menyelamatkan kemenakannya.
Kemenakan yang selalu terlihat benar dimatanya, tetapi karena sesuatu hal ia
harus sembunyi sembunyi menyelamatkannya. Hal itulah yang dikatakan Wara
Sumbadra kepada Wara Srikandi, yang kemudian telah membuat sesal dihati
Srikandi.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
227 PANDAWA KURAWA
Namun rasa bersalah Wara Srikandi ketika mendengar keterangan dari
Sumbadra, menjadi tidak berarti, ketika putra Yamawidura itu telah melangkah ke
palagan.
Maka didalam peperangan Kurusetra itu, Sanjaya mencari sosok Adipati
Karna. Ia hendak memperlihatkan kesungguhannya dalam menyatakan diri ada di
pihak Pandawa. Ia berteriak lantang menantang Adipati Karna.
Ketika putra Awangga kedua yaitu Raden Wersasena mengetahui ayahnya
ditantang oleh Raden Sanjaya, kemarahan anak muda itu terbangkit.
Dihampirinya Sanjaya, ia tidak rela bila ayahnya ditantang oleh sesama anak
muda lain.
“Heh Sanjaya! Sejak kapan kamu telah memberontak terhadap negara
yang telah menghidupimu, yang telah memberi kumuliaan terhadap orang tuamu
dan keluargamu?”.
“Sejak dulu memang aku lebih bersimpati terhadap putra uwa’ Pandu
Dewanata. Sekaranglah aku hendak memperlihatkan betapa aku telah merasa
salah, membiarkan saudara tuaku para Padawa ada dalam kesengsaraan yang
berlarut larut. Sekarang katakan, dimana senapati Kurawa berada?”
“Tak usah kamu mencari dimana senapati itu, hadapi dulu putra Awangga
sebagai putra senapati. Langkahi dulu mayatku sebelum kamu bisa berhadapan
dengan ayahku!”.
“Baik, akan aku turuti kata katamu. Waspadalah!”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
228 PANDAWA KURAWA
Pertempuran dua anak muda itu berlangsung sengit. Kelihatan mereka
mencoba mengerahkan segenap kesaktiannya, untuk menentukan siapa salah
satunya yang harus tewas ditangan masing masing.
Semakin lama semakin tegas terlihat, bahwa Sanjaya lebih unggul
daripada Warsasena. Ketika sampai di puncak kemampuannya, Sanjaya
menyudahi perlawanan Warsasena dengan menewaskannya. Kemarahan Adipati
Karna tidak terbendung ketika mendengar anak lelakinya yang tinggal satu telah
tewas.
Sorak sorai bala tentara telah mengatakan akhir dari pertempuran kedua
anak muda itu. Segera Adipati Karna mendekati Sanjaya untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Pertempuran kembali terjadi. Tetapi kesaktian Sanjaya
ternyata tidaklah imbang dihadapan Adipati Karna. Sekarang berganti, terdesak
Sanjaya, dan tak lama kemudian keris Kyai Jalak mengakhiri hidup Raden
Sanjaya. Ia gugur dalam usahanya membuktikan darma baktinya terhadap saudara
saudara sepupunya para Pandawa.
Diceriterakan, telah tiba saat kedua satria pilihan dari kedua pihak akan
bertemu dalam pertempuran atas nama darma satria. Ketika telah terdengar aba-
aba bahwa Senapati dari Pihak Wirata telah siap siaga, maka segera Adipati Karna
meloncat menaiki kereta perangnya. Tetapi oleh suasana hati Prabu Salya yang
masih tetap panas, ada saja masalah kecil yang menjadikannya tidak berkenan.
Ketika melihat menantunya telah menaiki kereta, dan ia masih ada dibawah,
kemarahannya kembali meledak. “Apakah kamu bukan manusia yang mengerti
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
229 PANDAWA KURAWA
tata bagaimana menghormati orang tua, keparat! Orang tua masih dibawah, kamu
sudah duduk nangkring diatas kereta!”.
Namun Adipati Karna mencoba membela diri, serba salah telah mendera
hatinya dari waktu ke waktu “Mohon seribu maaf rama Prabu, maksud hamba
dari semula, adalah hanya menetapi darma. Disini derajat kusir ada dibawah
senapati”.
“Sudah tak terhitung berapa kali rasa sakit yang pernah melukai hatiku
karena kelakuanmu. Sewaktu Prabu Kresna menjadi duta di awal perang kemarin,
kamu sudah melukai hatiku dalam pasamuan agung. Belum sembuh luka itu,
sekarang kamu melakukan hal yang sama, aku kamu jadikan seorang kusir. Kalau
tidak sungkan dengan anak Prabu Duryudana, aku tidak sudi melihat mukamu
yang membuat aku muak. Dan kamu tidak berwenang untuk memerintah aku!”.
Kejengkelan Prabu Salya tidak juga reda.
“Rama, sekali lagi putra paduka mohon maaf, kami persilahkan rama
Prabu untuk menaiki kereta. Ketahuilah rama, sudah ada tanda tanda dalam diri
putramu, detak jantung didada ini mengisyaratkan kematian putramu sudah
menjelang. Kami persilakan rama Prabu untuk mengantarkan kematianku, rama
Prabu . . . . ”.
Campur aduk perasaan kedua manusia menantu dan mertua itu mengawali
langkahnya menuju ke palagan peperangan. Inilah titik dimana perasaan yang
tidak sepenuhnya bulat telah melemahkan moral perang senapati Kurawa.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
230 PANDAWA KURAWA
Baru saja kereta bergerak, mendadak melayang bagai awan hitam
bergulung diatas palagan. Itulah Naga Raja Guwa Barong, Prabu Hardawalika.
Seekor naga yang mengincar kematian Arjuna. Adipati Karna yang melihat
keanehan naga mengarah ketempat ia bersiap, segera menghentikan laju geraknya
dan menanyakan maksudnya “Heh kamu mahluk yang mencurigakan, siapa kamu
dan apa maksudmu membuat keruh suasana peperangan!”.
“Aku penjelmaan raja raksasa dari Guwa Barong. Aku bermaksud hendak
membantu kamu menandingi Arjuna”. Naga raksasa itu dengan tidak ragu
mengatakan maksudnya.
Tetapi sungguh tidak disangka, jawaban yang diterima adalah bentakan
yang menyuruhnya ia pergi. “ Heh naga mrayang, Arjuna adalah saudaraku.
Kalaupun aku berselisih sehari tujuh kalipun, tak akan pecah persaudaraanku.
Menyingkirlah atau akan aku percepat sempurnanya kematianmu!”.
“Haaah . . Perbuatan yang sia sia. Ternyata aku mengatakan hal ini kepada
tempat mengadu yang salah. Tetapi hal ini tidak akan menghalangiku untuk
membalas kematianku moyangku”. Melayang kembali Hardawalika kearah
berlainan untuk mencari keberadaan Arjuna.
Kresna yang tidak pernah terhalangi kewaspadaanya sedikitpun, segera
tahu apa yang ada dihadapannya, ketika awan mendung tiba tiba membayang
diatasnya.
“Arjuna, diatas pertempuran itu ada seekor naga penjelmaan Prabu
Hardawalika. Lepaskan panahmu, sempurnakan kematian Prabu Hardawalika”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
231 PANDAWA KURAWA
Tidak lagi membuang waktu, segera dipentangnya busur yang telah diisi
anak panah. Melesat anak panah menempuh bayangan naga, sirna seketika ujud
dari naga Hardawalika yang kembali membuat suasana palagan menjadi terang.
Syahdan, kedua Senapati dari kedua belah pihak telah sama sama bergerak
mendekat. Maka suasana palagan peperangan menjadi gaduh, kemudian setelah
jarak keduanya menjadi semakin dekat kejadiannya justru menjadi terbalik.
Peperangan segera terhenti bagai dikomando. Suasana yang berkembang
menjadikannya Arjuna termangu. Prabu Kresna yang melihat suasana hati Arjuna
segera dapat menebak apa yang dipikirkannya.
“Arjuna, tatalah rasa hatimu! Hari ini sudah sampai waktumu harus
meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna”.
“Kanda, bagaimankah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda
Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkan akan Ibu Kunti”
keluh Arjuna.
Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan
Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu
dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah
perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia
tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.
“Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya
wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan
kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
232 PANDAWA KURAWA
tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu
Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada
seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya,
kecuali dirimu.
Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan
akulah yang akan menjadi kusirmu”. Selesai berdandan busana Keprajuritan,
segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang
dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda
setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta
Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian
kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.
Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata
dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan
peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun
satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.
Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari
keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna
mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna
“Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera
sambut dan ciumlah kakinya”.
Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah
dengannya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
233 PANDAWA KURAWA
“Baktiku kanda Adipati”, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati
Karna setelah menghaturkan sembahnya.
“Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menagis
meraung raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela bela
diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang
aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus
berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung!”. Karna menumpahkan
isi hatinya.
“Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk
menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti,
untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar
bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati”.
Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.
Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya. “
Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang
kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama
sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang
ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan
dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku
menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam
sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
234 PANDAWA KURAWA
dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan
keadaan seperti yang aku katakan?”.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna
melanjutkan.”Tak ada seorangpun didunia ini yang dapat mengantarkan aku
menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku
nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang
tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya . . . “
Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi
hati terhadap Arjuna.
Kembali suasana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan
nada tegas. “Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk
menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!”.
“Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani
dengan saudara yang lebih tua”. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata
ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.
Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah
berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda
ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama,
sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk
membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta
yang dinaikinya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
235 PANDAWA KURAWA
Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah
Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
“Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala
hamba terpental oleh panah adi Arjuna”.
“Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku
hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung”.
Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.
Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta
Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata
kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna
ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas
anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang
sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan
mencabik segenggam rambutnya.
“Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati.
Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba?”. Arjuna
menanyakan.
“Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan
rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali”. Jawab Kresna,
yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
236 PANDAWA KURAWA
Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin
bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu.
Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan
terkagum.
Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu
pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan
kawijayan antara kesaktian mereka berdua.
Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan.
Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.
“Arjuna !”, Kresna memberikan isyarat, “Sekaranglah saatnya!. Hanya
sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk
mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!”.
Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas
anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil
memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian
tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna.
Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna
dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari
lehernya. Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta.
Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari
kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
237 PANDAWA KURAWA
Namun kejadian sejak dari awal pertempuran tadi, tidak terlepas dari
sepasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakan sekecil apapun yang
dilakukan Prabu Salya. Itulah sepasang mata Aswatama!
Barata
SIASAT ASWATAMA
Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang
menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik.
Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi
Para Pandawa. Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung,
walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu. Meski demikian, ia adalah sosok
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
238 PANDAWA KURAWA
yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara
mudanya.
Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan
kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia
tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan
prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan. Ia telah
menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia
telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu
Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten. Dengan terbunuhnya Adipati
Karna yang menyisakan dendam pembelaan dari Kyai Jalak yang gagal, maka
secara kenyataan adalah, telah terhenti perang campuh para prajurit di arena
padang Kurusetra. Dikatakan demikian karena jumlah prajurit Kurawa yang
tinggal, boleh diumpamakan telah dapat dihitung dengan jari saja. Ditambah lagi
kenyataan, bahwa para Kurawa seratus, yang tinggal hanya duapuluh orang
termasuk Prabu Duryudana dan Kartamarma. Maka lengkaplah apa yang disebut
sebagai kenyataan, bahwa perang Baratayuda sebenarnya sudah berakhir. Tetapi
pengakuan terhadap kekalahan itu, belumlah terucap dari bibir Prabu Duryudana.
Sore ketika Adipati Karna telah gugur, mendung gelap yang disusul oleh
rintik hujan, juga seakan mentahbiskan suasana dalam hati Panglima Tertinggi
Kurawa yang juga terlimput oleh gelap. Dihadapannya Prabu Salya dengan sabar
menunggu ucapan apa yang hendak terlontar dari bibir menantunya. Demikian
juga Patih Harya Suman dan Raden Kartamarma, hanya tertunduk lesu. Keduanya
berlaku serba canggung menyikapi keadaan dihadapannya. Keraguan akan hasrat
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
239 PANDAWA KURAWA
menyampaikan usulan dan pemikiran, telah dikalahkan oleh rasa takut akan
murka junjungannya.
Hal ini juga berlaku pada perasaan Aswatama yang sesungguhnya hanya
berderajat rendah, hanya sebagai tuwa buru. Sebuah derajat rendah yang hanya
mengurus segala keperluan para Kurawa dalam menyelenggarakan kegemaran
mereka berburu dihutan. Derajat rendah itulah yang diberikan oleh penguasa
Astina, ketika mendiang ayahnya diangkat menjadi guru bagi sekalian anak anak
Pandawa dan Kurawa. Derajat yang sampai saat inipun masih tetap tersandang,
walaupun waktu demi waktu telah berlalu. Apalagi ketika ia harus kehilangan
kepercayaan dari Prabu Duryudana, pada saat ia membela pamannya Krepa. Juga
tewasnya ayah tercinta yang merupakan gantungan baginya dalam mengabdi
kepada Prabu Duryudana, telah lengkap meruntuhkan ketegaran dirinya terhadap
penguasa tertinggi Astina. Lengkap sudah perasaan takut yang mencekam
jiwanya. Padahal sesuatu yang hendak diajukan sebagai saksi mata atas suatu
peristiwa di medan perang, telah mendesak kuat dalam hati untuk disampaikan.
Tetapi mulutnya terkunci, tetap tak berani mengatakan sesuatu apapun.
Dan iapun hanya diam tertunduk, duduk di tempat paling belakang dari pembesar
yang hadir.
Dalam ketidak sabaran menunggu sabda Prabu Duryudana, akhirnya Prabu
Salya berbicara. “ Anak Prabu, walaupun paduka anak Prabu tidak mengatakan
dengan sepatah kata, namun saya sudah merasa, pastilah perkiraan saya benar.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
240 PANDAWA KURAWA
Pasti anak Prabu merasa kehilangan Senapati yang menjadi bebeteng negara,
kakak iparmu, anak menantuku, Adipati Karna”.
Tetap bergeming Prabu Duryudana mendengarkan kata kata pemancing
dari Prabu Salya, sehingga kembali ia melanjutkan.
“Menurut tata cara, seharusnya aku tetap diam menunggu. Tetapi oleh
karena terdorong oleh gemuruh dalam dada, perkenankan aku mertuamu
menyampaikan isi hati ini”
“Rama Prabu, itulah yang sebenarnya yang aku nanti. Besar hati anakmu
tanpa dapat diumpamakan, karena sebegitu besarnya perhatian yang rama Prabu
berikan terhadap putramu”. Akhirnya beberapa patah kata meluncur dari bibir
Prabu Duryudana, terbawa oleh rasa penasaran, apakah yang hendak dikatakan
oleh ayah mertuanya.
Mencoba tersenyum Prabu Salya. Senyum getir, karena suasana yang
dihadapi tidaklah nyaman dirasakan. Tetapi ia tetap berusaha menguatkan hati
Prabu Duryudana .“Kalaupun aku tidak memperhatikan anak Prabu, aku ini
seakan menjadi manusia yang tidak lengkap panca indraku. Setelah saya timbang
timbang, ternyata pancaindriaku masih lengkap. Oleh karena itu, aku akan
menyampaikan sesuatu”.
“Waktu sepenuhnya aku serahkan kepada rama Prabu”. Duryudana kali ini
mencoba pula tersenyum, walau terasa hambar.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
241 PANDAWA KURAWA
Melihat menantunya serba kikuk, Prabu Salya tertawa. Walaupun tawa itu
terdengar sumbang, namun Ia mencoba memecah kebuntuan suasana. “Terhitung
selama perang berlangsung, aku baru bisa tertawa kali ini. Begitu anak Prabu
mengatakan bahwa waktu telah sepenuhnya anak Prabu berikan, itu artinya anak
Prabu masih mempunyai kepercayaan kepadaku”.
Prabu Salya kemudian mengangkat dan mengungkit peristiwa yang
berlangsung pada masa lalu, ketika ia sedang ada pada balairung istananya di
Mandaraka.
Ketika itu ia sedang merembuk bagaimana ia berrencana hendak
memberikan negara kepada anak turun, serta bagaimana ia menyampaikan cara
dalam menata negara. Ketika itu, tiba tiba ia dikejutkan dengan kedatangan dua
orang utusan yang belum dikenalnya. Ketika mereka mendekat dan memberikan
surat. Ternyata mereka berdua mengundang untuk mendatangi pahargyan di suatu
tempat yang merupakan pesanggrahan yang baru dibangun, pesanggrahan yang
begitu indah. Disitu telah menunggu para wanita yang muda muda dan begitu
cantik cantik. “Disitulah aku disuguhi makanan yang serba nikmat diiring
tetabuhan dan kidung yang menyenangkan hati”. Prabu Salya meneruskan,
“Tanpa ragu makanan yang serba nikmat itu aku makan dengan begitu lahapnya .
Bawaannya aku belum makan ketika berangkat, maka sekejap aku telah
menghabiskan sebagian besar hidangan yang telah tersaji”.
Setelah merenung sejenak, Prabu Salya menyambung, “Begitu aku sudah
merasa kenyang, tiba tiba anak Prabu Duryudana datang dari belakang tanpa aku
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
242 PANDAWA KURAWA
ketahui, dan memeluk aku. Sebagai orang yang mengerti akan tata krama dan
balas budi dan terdorong oleh rasa puas karena semua kesenangan yang tersaji
telah aku nikmati, maka ketika paduka anak Prabu meminta saya untuk bersedia
berdiri di pihak anak Prabu ketika perang Baratayuda berlangsung nanti, seketika
aku menyanggupi. Dan ini adalah peristiwa yang mengharuskan aku menyaksikan
darah yang tertumpah. Darah yang mengalir dari tubuh tubuh anak kemenakanku
sendiri”.
Suasana kembali hening ketika Prabu Salya mengakhiri cerita yang
berujung sesal. Kejadian awal dari mengapa ia terseret-seret dalam peristiwa besar
ini. Maka ketika tak ada lagi yang membuka mulut, Prabu Duryudana memanggil
Patih Harya Sangkuni.
“Paman, tinggal berapakah Kurawa sekarang?”
Geragapan Patih Sangkuni menjawab pertanyaan itu, setelah rasa
terkejutnya hilang. “Kalau tidak salah hitung, tinggal duapuluh orang saja”.
“Apakah mereka menjadi ketakutan karena jumlah yang tinggal sedikit
itu?”
“Sama sekali tidak, bahkan mereka mengharap, kapan gerangan hendak
diperintah untuk beradu dada dengan para Pandawa”.
“Bagus! Kenapa begitu?“ Prabu Duryudana mempertegas pertanyaannya.
“Mereka itu mengingat dan merasa, bahwa hidup mereka semua adalah
ada dalam perlindungan dari anak Prabu. Kenikmatan yang mereka terima selama
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
243 PANDAWA KURAWA
ini, adalah berkat pemberian dari anak Prabu. Maka ketika mereka dihadapkan
dalam peristiwa seperti ini, tak lain dan tak bukan, bahwa mereka telah rela
menjadi tetameng, bahkan bebanten dalam membela kejayaan anak Prabu”. Jawab
Sangkuni, yang adalah manusia super licik. Maka kata katanya kemudian lancar
nyinyir mengalir menggelincirkan lawan bicaranya.
“Jagad dewa batara! Bila demikian, walaupun Kurawa cuma tinggal
duapuluh orang, itu sudah cukup memberiku rasa besar hati. Mereka itulah
manusia yang mengerti akan rasa kemanusiaan, manusia yang mengerti akan rasa
kebaikan, manusia yang mengerti apa itu kewajiban. Bila demikian Paman, semua
orang yang masih hidup di Astina, ternyata masih punya rasa bela negara, tanpa
memandang dari mana asal muasalnya. Seumpama ada seseorang pembesar,
seseorang yang menjadi sesembahan. Walaupun ia tidak dalam peperintahan
negara Astina, tetapi ia memiliki kulit daging yang mukti wibawa di negara
Astina ini. Hidupnya diliputi oleh segala kemewahan, dipuji puji dan diagung
agungkan orang senegara. Namun ketika negara itu menjadi ajang kebrutalan
musuh, menurut Paman Sangkuni bagaimana seharusnya manusia itu bersikap?”
Prabu Duryudana yang sedari kecil ada pada asuhan pamannya, sangat
mengerti, umpan apakah yang tengah ia pasang. Maka semakin lancarlan kata
katanya mengikuti arah pembicaraan pamannya itu.
“Wah, kalau saya . . . . Ini kalau saya . . ., saya akan segera
bertindak! Segera saya akan melangkah ke palagan peperangan, mengatasi musuh
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
244 PANDAWA KURAWA
yang hendak berbuat semena mena atas negara ini. Ini kalau saya . . .! “ dengan
jumawa Patih Harya Suman menjawab.
“Apakah ada Paman, orang yang saya telah berikan semua rasa mukti
wibawa, tetapi tidak mengerti akan balas budi itu?”
“Ada saja ! Itulah istri paduka sendiri, Dewi Banuwati!”
Prabu Salya yang sudah kenyang makan asam garam, sebenarnya sudah
tahu apa maksud pembicaran mereka berdua. Tetapi ia masih dengan sabar dan
senyum mengembang di bibir mengikuti pembicaraan mereka. Ia menjadi
penasaran, sandiwara itu akan sampai mana ujungnya. Maka ia tetap terdiam
ketika Prabu Duryudana kembali mengajukan pertanyaan kepada pamannya.
“Apakah ada orang yang lain selain istriku?”
“Tidak, tidak ada lagi! Walaupun istri Paduka anak Prabu adalah wanita
yang pada mulanya juga sudah mukti wibawa di Negara Mandaraka, tetapi ketika
ia diperistri oleh paduka anak Prabu, ia telah mendapatkan jauh lebih tinggi
derajat dan kemukten yang tiada taranya. Itulah, dari rasa sayang Paduka Angger
Anak Prabu yang tiada terkira, sebetulnya dalam kenyataannya, negara Astina
telah dipasrahkan seutuhnya kepada istri Paduka , Dewi Banuwati.”
“Itulah memang yang menjadi niat saya! Kalau demikian, yayi Banowati
itu , seberapapun bobotnya harus menanggung semua baik buruk atas negara
Astina ini?”.
“Tak jauhlah dari yang paduka kehendaki”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
245 PANDAWA KURAWA
“Tetapi paman, ia adalah seorang wanita. Apakah mungkin, wanita yang
seharusnya hanya aku manjakan, bersolek, mempercantik diri, harus maju ke
medan perang adu kesaktian dengan para Pendawa”.
“Lho kalau perlu memang demikian! Kalau semua para luhur sudah tidak
mau tutun tangan, maka istri sendiripun harus ikut. Saya kira istri Paduka pun
tidak akan rela melihat paduka kerepotan”. Sandiwara dengan dialog antar
keduanya masih berlangsung, masih mengalir lancar. Dan Prabu Salya masih tetap
sabar dalam duduknya.
Dan sampai disini Duryudana sedikit mentok, keteteter dengan kepiawaian
pamannya mengolah kata. “Ya . . . . . Tetapi . . . . . Apakah ini . . . . . . , apakah
aku harus menangis dihadapan istriku? Si Paman jangan menyangka aku takut
akan darah, tetapi istri itu . . . Yang sejatinya bukan sanak, tapi ia sudah
merasakan enak, sudah aku ajak menikmati kenikmatan dan mukti wibawa.
Waktu dalam keadaan enak, ia sudah merasakan kenikmatan. Tetapi ketika
menemukan papa sengsara, seharusnya ia tidak menghindar dari segala kesulitan.
Tetapi saya tak bisa hidup tenang tanpa dia, paman. Seumpama saya melangkah
ke medan pertempuran berdua dengan istriku, Dewi Banowati, menurut si paman
bagaimana?”
“Saya sangat setuju . . .sangat setuju!”
Tidak syak lagi, Prabu Salya yang mendengarkan dengan seksama dan
tadinya tak hendak memotong pembicaraan mereka, sudah mengerti kemana
gerangan arah pembicaraan itu. Tetapi saat ini ia menjadi gerah. Dan berkatalah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
246 PANDAWA KURAWA
Prabu Salya, setelah menarik nafas dalam dalam. Ia berusaha menekan
perasaannya yang tiba tiba panas bagai terbakar bara api.
“Jagad Dewa Batara! Aku merasakan tidak ada sesuatu apapun terjadi.
Tetapi kepala saya bagai terbakar panasnya bara api. Panasnya sedemikian
menyengat hingga sampai ke dada ini. Di seluruh jagad ini tidak ada yang
menandingi kepiawaian dari anak Prabu, apalagi bila sudah dipadukan dengan
kepiawaian mengolah kata dari Patih Sengkuni. Tetapi kepintaran itu. Bila sudah
manunggal, dan kemudian dipakai di jalan yang tidak sesuai dalam keutamaan,
bisa menjadi kabur dan ludes terbakar api. Saya mengerti. Kalau saya dibolehkan
menggambarkan, anak Prabu saat ini sedang dalam posisi berpeluk tangan, tapi
kelihatan olehku dari sini, Paduka anak Prabu seperti melambaikan tangannya.
Melempar sesuatu kearah utara, tapi yang dikenai adalah benda yang diarah
selatan, seperti halnya orang yang sedang memancing di air keruh. Yah, saya
sudah tua. Tak usahlah disindir, saya ini sudah kenyang makan asam garam.
Gambalangnya begini, paduka anak Prabu sekarang sedang bersedih atas
gugurnya anak mantuku Adipati Karna. Paduka sebetulnya mengatakan, kenapa,
orang tua yang sudah dibuat mukti wibawa karena anak nya, tetapi orang itu
sekarang diam saja. Bukankah itu yang Paduka maksudkan?”
Sudah disengaja Prabu Duryudana menyindir mertuanya itu. Tetapi ia sudah
kadung basah, maka walau dengan debaran dada, ia mengatakan, “Silakan bila
rama Prabu mengatakan demikian. Tetapi itu memang benar!”.
“Saya sudah mengatakan tadi, apakah saya hendak mengangkat muka
melihat tingginya sosok para Pandawa? Apakah saya tidak kuasa untuk
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
247 PANDAWA KURAWA
merangkul betapapun besarnya ujud para Pandawa? Apakah saya harus gemetar
melihat kesaktian Pandawa? Yang terlihat olehku, Pandawa itu adalah sebagai
anak anak belaka. Bila aku mau, tandang para Pandawa dapat aku hentikan kurang
dari setengah hari! Dalam setengah hari itu, mereka sudah pulang ke kahyangan
Batara Yama. Oleh sebab itulah, saya hendak menjalankan sabda paduka dengan
dua landasan. Ketika bebanten para Kurawa dimulai dari gugurnya Eyang Bisma,
sampai Resi Durna, jagad sudah mengingatkan kepada paduka anak mantu, bahwa
Baratayuda seharusnya dihentikanlah! Apakah sebenarnya pokok persoalannya?
Siapakah sebenarnya yang menang, dan siapakah sebenarnya yang dikalahkan?
Oleh sebab itu, silakan anak Prabu merasakan, betapa sengsaranya yang sudah
gugur dalam perang ini. Itu yang pertama!”
“Kedua siapapun akan mengerti. Siapakan Prabu Karna itu? Adipati Karna
itu manusia bukan manusia selayaknya manusia. Ia adalah anak Batara Surya
yang menerangi jagat. Walaupun ini hanya cerita yang kadung dilebih lebihkan,
tapi sewaktu terlahir dari goa garba Kunti, ia sudah mengenakan anting anting dan
permata kawaca. Belum lagi jumlah pusakanya, kunta Druwasa, Wijayandanu,
siapakah yang kuat menadahkan dadanya pada pusaka itu? Keris kyai Jalak,
siapapun tak mampu menadahkan dadanya. Bahkan bila ditujukan ke gunung ,
gunung itu akan menjadi runtuh, dan bila dikenakan terhadap lautan, samudra
itupun akan mendidih. Walau demikian, Arjuna dapat mengalahkan dengan panah
bertajam bentuk bulan sabit, Kyai Pasupati. Lepasnya panah Arjuna telah
membawa kematian baginya. Bila anak Prabu hanya menuruti kehendak hati, aku
hanya bisa berharap, anakku Banuwati kelak tidak menjadi janda”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
248 PANDAWA KURAWA
Diceritakan, Aswatama yang sedari tadi menahan beban perkara yang
menghimpit dadanya, lama - kelamaan ia menggeser duduknya maju mendekati
Prabu Duryudana. Ia seakan terpicu, ketika mendengar peristiwa tanding satria
sakti linuwih itu diungkap kembali. Keberaniannya tumbuh saat ia harus
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Melihat gerak dan raut muka Aswatama
yang mengandung sejuta keinginan untuk mengatakan susuatu, Prabu Duryudana
memberikan sasmita kepadanya untuk mendekat.
“Aswatama adakah sesuatu yang hendak kamu katakan?”
“Perkenankan Paduka memberi seribu maaf, karena hamba berani
beraninya memutus pembicaraan para agung”. Beriring sembah, Aswatama
meminta waktu.
“Bila memang ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, saya
memberimu maaf. Silakan apa yang hendak kamu katakan?!”
Sejenak Aswatama terdiam. Bagaiamanapun ia harus menata hati untuk
menyampaikan cerita yang menyangkut pembesar negara. Dalam pikirnya,
sekarang atau tidak sama sekali. Dan ia telah terlanjur maju, tak ada lagi jalan
kembali terbentang dihadapannya. Maka dengan tatag ia berkata, “Ketika sedang
ramainya tetanding antara Sinuwun Adipati Karna dan Arjuna, mestinya
Arjunalah yang mati”.
“Apa sebab kenapa kamu bicara terbalik dengan kenyataan?” Terheran
Prabu Duryudana mendengar kata kata Aswatama.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
249 PANDAWA KURAWA
“Jalannya kereta yang dikendarai oleh sinuwun Adipati yang dikusiri oleh
Prabu Salya, saya lihat sudah benar. Dan lepasnya panah kunta seharusnya telah
pas mengenai leher Arjuna. Tetapi arah panah itu meleset, oleh sebab adanya
seseorang pembesar yang telah melakukan kecurangan”
Sampai disini Prabu Duryudana sudah dapat menebak. Tetapi ia hendak
mendengar sendiri, beranikah Aswatama menyampaikan dengan mulutnya
sendiri. “Siapa pembesar yang melakukan itu?
“Tidak lagi hamba menutup nutupi, jalannya kereta yang seharusnya sudah
benar. Namun tiba tiba kendali kekang kuda ditarik, sehingga kuda menjadi binal
dan kereta menjadi oleng. Panahpun tidak mengenai leher Arjuna, hanya
mengenai sejumput rambutnya saja. Maka hamba berani bicara, bahwa gugurnya
gusti Adipati Karna bukan karena Arjuna, tetapi oleh pakarti Prabu Salya!”
“Iblis keparat kamu Aswatama!”
Memerah muka Prabu Salya. Tak disangka seseorang mengamati dengan
sempurna perbuatannya. Hendak dikemanakan muka itu bila rahasia itu
terbongkar, maka yang bisa diperbuat adalah memaki sejadi jadinya Aswatama
dan bertamengkan kekuasaan anak menantunya itu.
“Heh Asatama! Kamu anak Durna kan? Kamu disini pangkatmu hanya
tuwa buru. Paling tinggi tugasmua hanya memberi makan kuda kuda kendaraan
para Kurawa! Tahukah kamu, bahwa derajatmu hanya dibawah celanaku yang aku
pakai ini. Kamu telah melakukan kesalahan. Kesalahanmu, pertama, kamu sudah
berani beraninya memotong pembicaraan para agung. Kedua kamu sudah berani
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
250 PANDAWA KURAWA
mengatakan yang bukan bukan! Kamu sudah berani menuduh aku telah
menyebabkan gugurnya mantuku. Dimana ada mertua yang tega terhadap anak
menantu. Kemana kamu ketika gugurnya Bapakmu ketika itu? Kelihatan batang
hidungmupun tidak! Kamu berniat merenggangkan hubungan antara aku dengan
Prabu Duryudana, begitukah maksud dari kata katamu tadi?! Hayoh iblis, kalau
kamu memang anak Durna, segera ucapkan japa mantramu, hunus kerismu
Cundamanik pemberian ibumu Batari Wilutama, bidadari yang berlaku selingkuh
selamanya! Dalam hitungan yang ketujuh kamu tidak berani melangkah
menghadapi Prabu Salya, akan kutebas batang lehermu!”
“Aduh rama Prabu, rama kami persikan berlaku sabar! Aswatamu itu
hanya berderajat rendah. Tidak sepantasnyalah rama Prabu melayani Aswatama”
maka Prabu Duryudana segera menghentikan langkah Prabu Salya ketika melihat
mertuanya seakan telah kehilangan pengamatan dirinya.
“Belum lega rasanya bila aku tidak memenggal kepala Aswatama”. Masih
dengan kata marah Prabu Salya dalam hadangan Prabu Duryudana.
“Rama Prabu, jangankan hanya seorang Aswatama, dewapun tak akan
mampu bila berhadapan dengan rama Prabu ketika sedang murka seperti itu.
Mohon diingat rama Prabu, jangan mendengarkan suara orang cari muka seperti
Aswatama.
Rama mesti mengingat, masih banyak kewajiban yang harus dijalankan.
Mohon bersabar rama Prabu”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
251 PANDAWA KURAWA
“Huh Aswatama, bila tidak dalam sidang agung ini, kepalamu sudah
terpisah dari tubuhmu. Jangankan kamu, bila orang tuamu masih adapun, tak akan
mundur sejangkah menghadapi orang tuamu itu!” Masih juga belum berhenti
kemarahan Prabu Salya, bahkan ia mengungkit ungkit ayah Aswatama.
Setelah suasana terkendali, Prabu Duryudana mendekati Aswatama. Ia
telah membuat keputusan dengan menimbang bobot antara kedua orang yang
bersilang pendapat itu. “Aswatama, jangan membuat suasana menjadi bertambah
ruwet. Aku sudah tak lagi membutuhkan kamu. Pergilah!”
“Aduh Sinuwun, bila sudah tak lagi sinuwun mendengarkan kenyataan
yang terjadi di palagan peperangan, kami minta diri sinuwun”. Luka hati
Aswatama kembali kambuh, bahkan sekarang semakin parah. Keputusan hari
kemarin bahwa ia akan menjadi seorang oportunis sejati telah mengeras. Dirinya
yang dibobot ringan oleh Prabu Duryudana, mundur dari hadapannya dengan
sejuta rencana tumbuh didalam rongga kepalanya.
Aswatama segera pergi ke istana. Melepas kuda terbaik dari dalamnya,
melepas tali yang mengikat ke toggak, kemudian ia memacu kudanya dengan
kecepatan penuh meninggalkan percikan lumpur kotor. Ia seakan ingin membuang
segala keruwetan yang mendera dadanya. Beban yang menindihnya, seakan
hendak ia angkat dan campakkan, dengan cara memacu kuda itu sekencang
kencangnya bagai dikejar setan. Tujuan yang semula telah ia rancang dengan rasa
was-was, saat ini tidak lagi mendera dadanya. Sepenuh hati rencana telah
digenggamnya tanpa keraguan sedikitpun. Banuwati, ya, Banuwati! Ia hendak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
252 PANDAWA KURAWA
menuju ke hadapannya. Ia adalah anak dari Prabu Salya dan istri dari Prabu
Duryudana. Setelah kejadian di balairung tadi, sebuah rencana yang tertanam dari
hari hari terakhir kemarin telah tumbuh subur. Dihatinya juga telah timbul tekad
bahwa ia tak lagi merasa sebagai bawahan Prabu Duryudana.
Junjungannya dimasa lalu yang telah menilai kecil perannya selama ini. Ia
merasa sadar sekarang bahwa dimasa lalunya ia telah dikerdilkan dengan hanya
diberi derajat yang hanya dipandang sebelah mata. Kekesalan yang terpendam
mencapai puncaknya ketika ia telah dibobot ringan dengan pengusiran yang kedua
kali terhadap dirinya.
Dendam membara juga berkobar dalam dadanya kepada Prabu Salya,
orang tua Banowati. Ia hanya bisa berkata dalam hati, jangankan kepada
menantunya Prabu Salya tega, kepada mertuanya-Resi Bagaspati-pun ia sampai
hati menghabisi hidupnya hanya karena perasaan malu mempunyai mertua
berujud raksasa. Tapi kata katanya tersekat pada korongkongan, tak terlahirkan
oleh perasaan tidak enak kepada Prabu Duryudana. Maka ia hanya dapat
mendendam, kepada Banuwati-lah ia hendak lampiaskan. Dan malam dengan
hujan rintik itu telah membawanya menuju taman Kadilengeng. Malam ketika
melintas kutaraja Astina, ia tak menemui kesulitan apapun. Semua prajurit tunggu
istana telah mengenal Aswatama dengan baik. Dan taman Kadilengeng telah ada
didepan mata.
Tinggalkan malam di Mandaraka. Ditempat yang lain, Aswatama dengan
kebulatan tekad telah memasuki Taman Kadilengeng di lepas sore itu. Dan di
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
253 PANDAWA KURAWA
taman itu, Dewi Banuwati tengah duduk didampingi oleh para dayang dayang-
nya. Mereka dengan setia memberikan bermacam hiburan yang ditujukan agar
junjungannya dapat melupakan kemelut yang sedang menyelubungi negaranya.
Ketika Aswatama masuk ke Taman Kadilengeng, suasana hingar bingar
mendadak terhenti. Hampir semua mata menuju kearah kedatangan Aswatama.
Semua menerka nerka, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan
oleh sang tamu. Sosok tamu yang semua sudah mengenalnya sebagai anak
Pedanyang Sokalima, anak dari Sang Pujangga Astina.
Begitu pula dengan Dewi Banuwati, yang memendam seribu tanya. Ada
apakah gerangan berita yang dibawa dari peperangan. Dalam suasana perang yang
sudah berhari hari berlangsung, maka pastilah kejadian demi kejadian akan cepat
berganti waktu demi waktu dan segala kemapanan pasti goyah dengan cepat.
Tidak menunggu lama, diperintahkan oleh Dewi Banuwati para dayang dayang-
nya untuk segera menjauh darinya. Berita mengenai segala perubahan di
peperangan hendak ia bicarakan empat mata saja dengan Aswatama.
Sembah bakti Aswatama telah dihaturkan. Basa basi telah diucapkan oleh
keduanya. Bagi Aswatama, kebiasaan pada waktu waktu yang telah lampau, tetap
ia lakukan demi siasat yang hendak ia jalankan. Kebiasaan yang masih berlaku
hormat kepada istri Prabu Duryudana. Walau dalam hatinya ia mengatakan
bahwa ia tak akan lagi menjadi abdi negara Astina, tetapi pesona kecantikan Sang
Dewi masih membuat dirinya juga tak berdaya dihadapan Banuwati.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
254 PANDAWA KURAWA
Pada masa lalu, kekagumannya kepada kecantikan Banowati dipendamnya
dalam-dalam. Karena dalam pikirannya, tidak sepantasnyalah ia mengagumi
kecantikan dari junjungannya. Padahal dalam hatinya yang paling dalam, senyum
Banuwati telah lama mengguncangkan hatinya. Setiap kali ia menyaksikan
kemanjaan sikap dari Banuwati, ketidak berdayaannya atas keinginannya untuk
memiliki Sang Dewi semakin menindih perasaannya. Tidak pantaslah juga, ia
mengidam idamkan Banuwati yang cantik, Banuwati yang manja, Banuwati yang
sorot matanya menyinarkan pesona bagi siapa saja yang menapnya. Tapi bagi
Aswatama, tidak ada keberanian baginya untuk menatap mata itu. Ketika itu,
keberaniannya hanya sebatas memandang pesona itu dari sudut matanya saja.
Tetapi saat ini sekuat tenaga ia hendak meruntuhkan tabu tabu atas masa
lalu. Dan pada saat yang dipandang tepat nanti, ia ingin mereguk dengan segenap
isi jiwanya, pesona yang terpancar dari sosok seorang Banuwati.
“Aswatama, apakah perang sudah usai?” Itulah yang setiap kali diucapkan
Sang Dewi ketika ada seseorang yang kembali dari peperangan. Kembali
pertanyaan itu diucapkan. Aswatama dengan getar di dadanya mendengarkan
ucapan dari bibir merah Banuwati masih dengan angan angannya. Sangat jarang
Aswatama berhadapan langsung dengan Sang Dewi, bisa dikatakan tak lebih dari
hitungan jari sebelah tangannya. Maklumlah jabatan yang ia sandang tidak
memungkinkan sering bertemu, walau ia sudah berada di istana sejak dari muda.
Pertanyaan Banuwati dengan nada yang kenes, sesuai sifat dasarnya, membuat
runtuh jantung Aswatama yang berdentang keras. Begitu kuat ternyata pesona
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
255 PANDAWA KURAWA
yang terpancar dari sosok Banuwati dari dekat. Hal inilah yang membuat kata-
kata yang disusun sebelumnya, menjadi berantakan tak karuan.
Tetapi gugupnya Aswatama dimata Dewi Banuwati dartikan lain.
Dimatanya, kegugupan itu mengisyaratkan telah terjadi sesuatu hal dalam
peperangan yang menentukan yang kehidupan negara selanjutnya. Dan
Aswatama merasakan kesan yang memancar dari mata Banuwati itu. Maka
timbullah keberaniannya untuk segera melakukan tindakan yang semula
dirancangnya. Kembali ia dikejutkan dengan pertanyaan Banuwati mengulang.
Serta merta Aswatama menjawab, setelah terkaget dengan ulangan
pertanyaan itu.
“Memang ada yang hamba akan laporkan Sang Dewi, mengenai kejadian
penting di palagan peperangan.”
“Cepat katakan, Aswatama! “ Tak sabar Banuwati segera menyahut.
“Apakah Paduka Ratu berkenan dengan apa yang hendak hamba
katakan?”.
“Ya ya. . . Segera katakanlah.”
“Saat sekarang kekuatan Kurawa sudah dapat dikatakan lumpuh, dan
tinggal menunggu saat saat terakhir perlawanan. Maka Baginda Prabu Duryudana
memerintahkan kepada hamba untuk membawa Paduka Sang Dewi, keluar dari
taman Kadelengeng”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
256 PANDAWA KURAWA
Oooh begitukah? Biarkan saja aku tetap di Keputren ini. Tak akan ada
sesuatu yang membuat aku khawatir akan keselamatan diriku. Datar saja ucapan
Dewi Banuwati, tak ada sedikitpun kecemasan membayang di wajahnya oleh
sebab dari berita yang disampaikan Aswatama. Berita kekalahan Kurawa,
sepertinya adalah hanya merupakan masalah kecil baginya. Aswatama hanya
mengangguk anggukkan kepalanya, dan ia tidak terlalu heran dengan sikap
Banuwati.
Sejenak Aswatama terdiam, kemudian otaknya kembali bekerja. Katanya
kemudian.
“Tetapi ini adalah perintah dari Gusti Prabu Duryudana. Hamba akan
bersalah bila tidak menjalankan titah yang telah digariskan”.
“Kembalilah ke Kurusetra. Katakan kepada kanda Prabu. Bahwa tak perlu
ada yang dikhawatirkan tentang keselamatanku. Musuh Kurawa pada perang
Baratayuda adalah para Pandawa. Mereka itu adalah para kesatria yang tahu
bagaimana memperlakukan musuh, mereka tak akan mungkin mencelakakan aku.
Apalagi sifat dimas . . . . “ Terhenti ucapan yang sudah ada dikerongkongannya
dan segera ditelan kembali. Dan warna merah dadu menghiasi wajah Sang Dewi
atas ketelanjurannya, walau terputus. Namun Aswatama segera tahu apa yang
hendak Banuwati ucapkan. Dan ini telah membuat otak Aswama seketika terang
benderang
“Tetapi perkenankan hamba berterus terang. Gusti Prabu Duryudana
sudah berada di suatu tempat. Mereka sudah menunggu jemputan ini. Disana
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
257 PANDAWA KURAWA
sudah menunggu pula ayahnda Paduka Prabu Salya beserta Para Pandawa. Atas
kehendak ayahanda Paduka Sang Dewi, perdamaian diantara yang sedang
berperang hendak diselenggarakan. Dan diperkenankan Gusti Ratu sebagai saksi
atas perdamaian itu. Dari pihak Kurawa akan langsung dipimpin oleh Gusti Prabu
Duryudana, sedangkan dari Pihak Pandawa akan dipimpin oleh Raden
Arjuna.” Sengaja Aswatama menyebut nama Arjuna untuk memancing kenangan
terhadap kekasih gelapnya.
“Ah . . .”, Banuwati berdesah, senyum dibibirnya hampir saja terkembang,
tetapi segera dipalingkan mukanya untuk menyembunyikan perasaannya. Dari
sudut matanya, Aswatama mencuri pandang terhadap raut muka Sang Dewi
Banuwati yang dengan susah payah hendak menyembunyikan perasaan yang
berkecamuk dihatinya. Namun senyum sekilas tadi telah mengembangkan sejuta
asa di hati Aswatama. Dalam hatinya mengatakan, “Inilah saatnya!”
Sejenak hening disekitar mereka. Aswatama membiarkan saja perasaan
Banuwati melayang layang. Namun Aswatama sudah tahu, apa pikiran yang
membayang di rongga kepala Banuwati.
Tetapi tak lama suasana itu hening itu berlangsung, kemudian Banuwati
memecahkan kesunyian.
“Bila begitu yang akan terjadi, apapun yang menurut rama Prabu Salya
lakukan, hendaknya dilakukan. Tetapi yang aku sesalkan, kenapa baru sekarang
kanda Prabu hendak berdamai setelah kekalahan nampak dipelupuk matanya.
Perdamaian yang sebelumnya telah membawa banyak korban!” Sejenak Dewi
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
258 PANDAWA KURAWA
Banowati terdiam, kemudian ia menyambung. “Tetapi baiklah, Aswatama, kapan
kita hendak berangkat?”
“Sinuwun Prabu Duryudana tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Malam ini juga hamba dititahkan untuk segera mengantarkan Kusuma Dewi ke
hadapannya”. Jawab Aswatama setelah menarik napas panjang. Kelegaan
memenuhi dadanya, setelah sekian lama merasa tertindih beban yang begitu
berat.
“Kita perlu pengawal untuk perjalanan malam ini Aswatama!”
“Tidak perlu Gusti Ratu, ini akan memperlambat perjalanan kita.
Sedangkan malam terus berjalan dan akan semakin larut bila waktu dibuang untuk
mempersiapkan segala sesuatu. Toh kita besok sudah kembali lagi ke Astina”.
Berpikir tangkas Aswatama segera menolak usul yang disampaikan Dewi
Banuwati.
“Baiklah Aswatama, kita pergi sekarang!”.
Maka dengan persiapan singkat, Dewi Banuwati berganti busana dan
segera menaiki kuda. Dan Aswatama menaiki kudanya pula. Tak kecurigaan
apapun ketika mereka melewati penjagaan demi penjagaan, pengawalan
terakhirpun telah melepasnya. Dan tak terasa malam makin merambat dan
perjalanan mereka semakin cepat.
Batas negara telah terlewat dan sawah kemudian ladang pegagan sudah
mereka lalui. Hujan yang turun sore tadi telah lama reda,langit hanya menyisakan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
259 PANDAWA KURAWA
awan bergumpal di sana sini. Namun sebagian, masih menampakkan bintang
bintang yang berkelipan malu malu. Kemudian tibalah mereka di padang perdu
dan kemudian hutan dengan tumbuhan kayu besar yang makin pepat. Dan malam
semakin merambat larut, sementara perjalanan terus berlanjut.
“Aswatama, apakah tempat itu masih jauh?” Tanya Banuwati yang merasa
curiga dengan perjalanan malam yang seperti tak berujung.
“Tinggal beberapa yojanya kita akan sampai?” Aswatama berkilah
“Benarkah? Aku lihat kita malah berputar putar arah tidak karuan bahkan
kita memasuki hutan dan jurang yang curam di kanan kiri kita!” Tanya Banuwati
ketika sampai pada tempat yang lapang ditumbuhi beberapa pohon pohon perdu
ditepi jurang.
“Mhmm . . . , baiklah! Sekarang aku tidak lagi hendak menyembunyikan
apa sejatinya yang kulakukan terhadapmu”. Sejenak Dewi Banuwati bagai
terhenti jantungnya. Ia mendengar ucapan Aswatama yang bernada lain dari
biasanya. Tetapi sekuat tenaga ditenangkan hatinya. Doa akan keselamatannya ia
panjatkan untuk mengatasi kejadian yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Dilain pihak, Aswatama yang sudah sekian lama bersikap hormat sebagai anak
Pedanyangan, ketika mengabdi pada Prabu Duryudana, kini berusaha bersikap
tegak. Secara naluri Banuwati menjauhkan kudanya dari kuda tunggangan
Aswatama.
Aswatama turun dari kudanya dan menambatkan di sebatang pohon.
“Tempat yang agak lapang ini memungkinkan aku berterus terang terhadap
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
260 PANDAWA KURAWA
Banuwati.”, demikian pikirnya dengan debar dada yang masih bergemuruh. Tetapi
setelah diingat bahwa ia hanya berdua saja dengan Banuwati, dan apalah artinya
wanita tanpa pendamping dihadapan lelaki yang terkodrat lebih kuat. Maka jebol-
lah keraguan yang semula melimputi dirinya. Dipandangnya Banuwati dari ujung
rambut hinggga ke ujung kaki dengan mata nyalang. Senyum aneh tersungging di
bibir Aswatama bagai orang yang mabuk tuak.
Banuwati yang dipandang seperti itu merasa risih, dan ketakutan mulai
membayang diwajahnya. Kembali hatinya dibesarkan, walau degup jantungnya
masih juga tidak hendak reda. Setelah menarik nafas dalam dalam, ia menanya,
dengan tetap duduk diatas punggung kuda.
“Sekarang katakan apa sebenarnya yang kamu kehendaki, Aswatama?”
Bergetar bibir Banuwati menanyakan maksud Aswatama. Padahal sebenarnya
pertanyaan itu telah diketahui jawabnya. Namun ia masih menunggu jawab
Aswatama yang masih dengan senyum kemenangan dibibirnya. Kemudian
dilihatnya Aswatama berdiri didepan kuda, dan berkata dengan dada tengadah.
“Didunia ini tidak genap dua hitungan jumlah perempuan yang memiliki
pesona yang begitu hebat. Pesona yang kamu miliki itu! Raja Astina yang begitu
agung-pun bertekuk lutut. Menurut apa yang kamu perintahkan dengan tidak ada
suatu katapun yang bernada menentang. Bahkan suatu contoh, bila keinginanmu
untuk ketemu Arjuna tidak diturut, hanya sedikit kata rayuan dan seribu alasan,
permintaan itu akhirnya dikabulkan. Benar benar Prabu Duryudana bagai kerbau
yang dicocok hidungnya. Dan pesona dari dirimu tidak urung telah menebar
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
261 PANDAWA KURAWA
keseluruh lingkunganmu. Pesonamu juga telah menyusup menembus dalam
dijantungku. Setiap dirimu lewat didekatku, terasa dadaku hendak pecah. Ya,
terus terang saja! Sudah lama aku memendam perasaan ini terhadapmu,
Banuwati. Perasaan cinta yang tadinya hampir tak mungkin kesampaian karena
aku dulu mengabdi kepada Prabu Duryudana! Dan sekarang, Duryudana ada
dalam keadaan sekarat. Daripada keduluan yang lain, terimalah takdirmu bahwa
Aswatama adalah pemilik yang sah dari Banuwati untuk selanjutnya he he he . . . .
! Masih dengan ketawanya, Aswatama mendekat dan memandang dengan
nyalang sosok Banuwati yang tertegun duduk diatas kuda. Tanpa berkedip, di
kegelapan yang hanya tersinari bintang, sosok siluet Banuwati dikeremangan itu
makin mempesona dimata anak Pedanyangan yang dimabuk keberhasilan itu.
Hilang kewaspadaannya, dan tidak terpikir bahwa suatu saat, kuda itu dapat
dilecut hingga lari dan tak dapat dikejar.
Sementara di dalam otak Banuwati berputar mencari celah untuk dapat
melarikan diri. Tanpa sesadarnya kuda diarahkan mundur kembali menjauhi
Aswatama yang selalu mengikuti langkah kemana saja kuda Banuwati bergerak.
Banuwati yang lambat laun bisa menguasai dirinya, kemudian berusaha
tersenyum. Ia sudah dapat melihat dengan jelas, langkah apa yang seharusnya
dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang menjepit dirinya.
“Ooh . . . Begitukah? Siapapun, termasuk kamu dapat saja menjadi
suamiku bila ia memiliki kecekatan berpikir. Dan gerak cepatmu telah
membawamu untuk memboyong aku kemana kamu suka. Bawalah aku ke
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
262 PANDAWA KURAWA
Timpuru atau ke Atasangin, kesanalah kita akan mukti wibawa meneruskan
kejayaan Astina! Lihat bintang bintang dilangit adalah saksinya!”
Sang Dewi mengatakan sambil menunjuk ke langit dimana bintang-
bintang masih bergelayutan. Tanpa sadar bagai tersihir, Aswatama juga ikut
mendongak ke langit. Dan saat yang sedikit itu digunakan dengan sempurna oleh
Banuwati. Secepat kilat ditariknya kendali dan dipacu kuda itu tanpa menoleh
kanan kiri. Kaget setengah mati Aswatama dan terlanggar kuda Banuwati.
Bergulingan ia menahan sakit didadanya, dan merah padam mukanya oleh
perasaan marah yang tidak terkirakan. Segera ia menuju kearah kudanya dengan
tertatih tatih, dilepaskan ikatannya dengan terburu buru. Sumpah serapah
membuncah dari mulutnya. Terlambat sedikit, kuda yang ditunggangi Banowati
telah menghilang dikelebatan hutan dan pekatnya malam. Derap kaki kuda yang
bergulung gulung menggema diantara tebing telah memperlambat usaha
Aswatama dalam menelusuri jejak Banuwati. Sementara kabut telah turun setelah
malam menjadi dingin menjelang pagi. Sempurnalah kesulitan Aswatama dalam
melacak jejak buruannya.
Dewi Banuwati yang terlepas dari tangan Aswatama ternyata tidak mahir
mengendalikan kudanya. Terpental pental ia diatas punggung kuda yang menjadi
liar menyelusup diantara pepatnya pepohonan hutan. Walau sekuat tenaga
Banuwati bergayut, namun tetap ia tak berhasil menguasai keseimbangan badan
diatas pelana. Ia terhempas dan terperosok ke dalam kelebatan perdu yang tumbuh
menyebar ditebing jurang. Aswatama mencari Banowati. Tetapi tidak kunjung
ketemu maka ia segera kembali ke Sokalima.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
263 PANDAWA KURAWA
Barata
PENGAKUAN KEMBAR
Sementara itu di balairung Bulupitu, sepeninggal Aswatama, perasaan
marah dan setengah dipermalukan oleh Aswatama., masih mendekam didalam
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
264 PANDAWA KURAWA
hati Prabu Salya. Hingga ia tak lagi berminat mengatakan sesuatu apapun.
Suasana hening melimputi suasana sidang. Mereka yang hadir seperti terpaku
ditempatnya. Hanya dalam pikiran masing masing yang berputar putar
menanggapi peristiwa yang baru saja terjadi. Ketika kesunyian itu masih saja
terjadi, Prabu Duryudana akhirnya berkata kepada pamannya.
“Paman Harya Sengkuni, sungguh tidak masuk akal apa yang dikatakan
oleh Aswatama. Seorang ayah menegakan kematian anaknya, walau itu hanya
anak menantu. Apakah ia hanya bercerita atas karangan ia sendiri? Apakah ada di
dunia peristiwa semacam itu Paman?”
Patih Sengkuni kemudian mengangkat wajahnya. Dipandangi wajah Prabu
Duryudana dengan perasaan ragu. Ia hendak menyelami apa sesungguhnya
kehendak keponakannya dengan mengatakan demikian. Tapi ini memang menjadi
watak Sengkuni, bahkan dengan nada meyakinkan ia mengipaskan kembali
suasana yang sudah mengendap dengan jawabannya, “Ooooh Sinuwun, ada saja!
Jangankankan mertua yang tega atas menantunya, sebaliknya menantu yang
melakukan pembunuhan terhadap mertuanya juga juga ada. Bahkan ia telah
membunuh mertuanya dengan tangannya sendiri”.
“Dimana peristiwa itu terjadi Paman? Siapakah orang yang telah tega
berbuat demikian?” Prabu Duryudana kembali terbawa oleh arus pembicaraan
Pamannya. Ia telah tahu apa yang dikehendaki pamannya. Dan jawaban Patih
Harya Sangkuni dengan tidak lagi ragu “Tidak jauh dari sini, bahkan . . . “
“Cukup . . . . . !” Kali ini Prabu Salya menukas dengan ketus. Bara
kemarahan yang belum sempurna padam kini sudah kembali berkobar. Bahkan ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
265 PANDAWA KURAWA
sudah tak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Maka tak lagi ia berpikir panjang
dan segera menyambung kata katanya, “Jangan lagi sandiwara seperti yang kau
ucapkan tadi itu diteruskan. Aku sudah mengerti arah pembicaraan itu, Suman!
Bukankah engkau hendak mengatakan bahwa pada masa lalu aku telah
membunuh ayah mertuaku sendiri? Itukah yang kamu maksudkan dan kamu
hubungkan dengan kematian anakku Basukarna? Sudahlah, aku ini sudah tahu
arah tujuan dengan kata katamu. Kamu hendak memanasi aku kembali, agar aku
mau maju ke Medan Kurukasetra ! Tanpa kamu panasi dengan kata kata itupun
aku sudah mempunyai tekad, besok aku akan maju ke palagan peperangan.
Lihatlah, esok anak anak Pandawa akan aku kirimkan ke alam kelanggengan. Aku
ulangi, tidak perlu mamakan waktu lama, tak sampai setengah hari semua
keinginanmu akan terwujud!”
“Lho Sinuwun Prabu Salya, bukan maksud kami menceritakan tentang
Paduka Prabu Salya, tapi bila paduka merasakan itu, ya silakan saja” Patih
Sangkuni menjawab dengan nada merendah. Tetapi dalam hatinya ia tertawa
terbahak bahak, menyaksikan pancingannya berhasil diasambar sasarannya.
Sesak didalam dada Prabu Salya mendengar Patih Sangkuni yang masih
saja memberi jawaban. Namun kini yang bicara adalah paman dari Prabu
Duryudana.
Maka ia tidak bisa gegabah menyalurkan kemarahan sebagaimana
dilakukan terhadap Aswatama. Tidak hendak berlarut larut dalam kemarahan, ia
menghela nafas panjang. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memadamkan bara yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
266 PANDAWA KURAWA
membakar hatinya. Karena ia tak lagi mau termakan provokasi Sangkuni, ia
berkata kepada Prabu Duryudana dengan berusaha setenang yang ia bisa.
“Baiklah anak Prabu Duryudana, saya meminta waktu sekejap saja. Aku
ingin kembali dulu menemui ibumu, Setyawati. Rasa kangenku terhadap ibumu
tak lagi dapat ditahan. Mohon jangan bergerak dulu ke medan Kuru sebelum aku
kembali dari Mandaraka”.
“Baiklah rama Prabu, doa kami menyertai kepulangan rama” Duryudana
melepaskan kepulangan sementara Prabu Salya dengan rasa keraguan yang tetap
menekan dadanya. Bahkan dalam hati kecilnya rasa frustrasi telah menuntunnya
ke tindakan seorang pengecut.
“Paman Harya Sangkuni, segala merah hijaunya perang dan jalannya
pertempuran aku serahkan kepada si paman untuk besok hari. Ikuti segala perintah
dari Rama Prabu Salya. Besok aku tidak akan ikut campur urusan perang yang
sudah aku berikan sepenuhnya kepada si paman dan rama Prabu Salya”.
Malam itu juga kereta kebesaran Prabu Salya bergerak kencang menuju ke
keputren Mandaraka. Prabu Salya pulang ke Mandaraka dengan hati masgul.
Dan kedatangan Prabu Salya pada saat lepas sore itu benar benar mengejutkan
Prameswari Mandaraka, Dewi Setyawati.
“Sinuwun kanda Prabu, kaget dan gembira rasa hati ini, ketika melihat
Paduka Sinuwun telah berada kembali di Mandaraka. Apakan perang sudah
selesai? Siapakah yang unggul dalam perang yang pasti melelahkan jiwa dan raga
itu?”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
267 PANDAWA KURAWA
“Pastilah kedatanganku membuat kamu berdua menjadi kaget. Dan perlu
dinda Setyawati, bahwa perang belumlah benar benar selesai. Kedatanganku
sesungguhnya hanya melepas kangen, sebab, aku merasa sudah terlalu lama, sejak
pecah perang, baru kali ini aku kembali ke Mandaraka meninggalkanmu.
Ketahuilah, bahwa esok hari aku akan menjadi senapati perang. Dan
sebagai seorang senapati, ibaratnya adalah seperti orang yang siap bepergian.
Karena rasa sayangku terhadapmu, bila aku pergi nanti, maka kita harus pergi
berdua. Secara kebetulan, bahwa kita berdua adalah orang yang punya hari lahir
yang sama, maka bila kita pergi, sebaiknya juga kita pergi juga bersama-sama”.
Mendengar kata kata suaminya, Dewi Setyawati nampak tertegun. Sebagai
seorang wanita anak Resi Bagaspati, yang tidak lain seorang pandita yang tak
diragukan kewaskitaanya, ia sudah mempunyai firasat buruk terhadap apa yang
dikatakan suaminya. Ia telah merelakan anak anak lelakinya habis dalam
peperangan itu, tapi kali ini, ia tidak akan lagi rela melepas suaminya menjadi
bebanten perang seperti yang terjadi pada anak anaknya. Maka ia bangkit dari
duduknya dan bergelayut pada selendang suaminya. Prabu Salya yang melihat
tingkah istrinya itu, kemudian tersenyum kepadanya. “Apa yang menjadi
kekhawatiranmu Dinda Ratu, aku akan mendengarkan apa yang menjadi isi
hatimu”, kata Salya masih dengan senyumnya.
“Kanda, anak- anak lelaki kita, satu demi satu sudah gugur dalam
membela Negara Astina. Bahkan anak perempuan kita Surtikanti juga telah bela
pati atas kematian suminya Basukarna. Terlepas dari siapakah yang benar dalam
perang itu, hamba sudah pasrah. Tapi, untuk kali ini, hamba tidak akan melepas
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
268 PANDAWA KURAWA
kepergian paduka kemedan perang. Cukuplah sudah pengorbanan kita untuk
mukti wibawa anak kita Banuwati. Malah bila mungkin, mintalah anak mantu kita
menyudahi pertempuran, dan anak kita sekalian diminta untuk kembali ke
Mandaraka. Negara Mandaraka sudah tidak lagi mempunyai Pangeran Pati,
biarkan anak mantu Prabu Duryudana-lah yang sekiranya dapat kita turunkan
negara ini untuknya. Dan kita sudah saatnya untuk menikmati hari tua ini di
Pertapaan Argabelah dengan memasrahkan diri kepada dat yang maha kasih.
Mohon maaf kanda Prabu untuk kelancangan hamba memberikan pilihan
kemungkinan yang tak lagi mengorbankan seorangpun.”
Masih dengan senyumnya, Prabu Salya malah berkata memuji. Makin
rapat sang istri memeluk suaminya. Prabu Salya pun membalas dengn memegang
tangan istrinya “Itulah kenapa dari dulu aku menyayangimu, seorang anak
gunung, yang jauh dari keramaian kota dan tata krama kerajaan. Tetapi dalam
dirimu yang dikaruniai kecantikan yang sempurna, yang telah mampu merampas
segenap sukmaku. Sampai sekarang walaupun engkau sudah berputra putri
dewasa, kecantikan itu tidak pudar dimakan oleh waktu, malah semakin bersinar.
Dan tak kalah dari yang telah aku ucapkan tadi, adalah mengenai sosok dirimu
secara keseluruhan. Dasar pemikiran cemerlang yang kamu punya itu, selalu
muncul setiap kali aku merasa buntu dalam menjalankan tata kenegaraan. Hingga
segala pertimbangan atas buah pikiranmu selalu menuntun aku keluar dari
masalah pelik. Maka, walaupun kita dikatakan tidak pernah terpisah sejengkalpun
seumpamanya, dari muda hingga rambut kita sudah dua warna, tetapi ketika aku
berpisah walau sekejap, rasa kangen ini selalu saja memenuhi dadaku. Dan bukan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
269 PANDAWA KURAWA
oleh karena permintaan rama Resi Bagaspati, bila aku memperistrimu aku tidak
boleh menduakan dinda Setyawati. Tetapi memang tidak ada gunanya aku
menduakanmu. Dari dirimu, semua rasa tentram, rasa bahagia dalam mengarungi
bahtera kehidupan ini, rasanya sudah dinda berikan tanpa henti hari demi hari,
tahun demi tahun. Jangan lagi dipikirkan yang akan terjadi besok, lihat, malam ini
suasana sangat indah! Kenapa kita tidak menikmati karunia yang telah dewata
limpahkan?
Jatuh kedalam pelukan mesra, Dewi Setyawati ke dada suaminya.
Sanjungan suaminya yang dikenalnya sejak lama dan selalu saja dengan nada
yang romantis telah berkali-kali ia dengar. Tapi kali ini sungguh ia dibuat terbang
sukmanya. Dibimbingnya sang istri ke peraduan. Sudah tidak muda lagi
keduanya, tetapi kemesraan diantaranya tetap terjalin waktu demi waktu. Tidak
heran, bahwa lima orang putra putri telah lahir dari buah kasih mereka. Dan nama
Setyawati adalah benar-benar sebagai ujud dari nama Endang Pujawati semasa
gadisnya. Mereka berdua adalah manusia manusia yang dikaruniai kasih setia
yang dalam satu sama lain.
Dipandangnya wajah istrinya ketika ia sudah terlelap terbuai mimpi indah.
Dalam hatinya tak dapat dipungkiri, ia sangat mencintai istrinya. Dan Prabu Salya
sangat memanjakan istrinya dengan berlaku setia penuh. Mungkin ia hendak
membayar kesalahan yang telah dilakukan atas permintaannya dulu ketika rasa
malunya mempunyai mertua berujud raksasa. Tetapi sesampainya di Mandaraka
ketika memboyong istrinya, ia malah mendapat murka dari ayahnya, Prabu
Mandrapati. Ia mengatakan hal yang sebenarnya terjadi atas mertuanya, tetapi ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
270 PANDAWA KURAWA
tidak mengetahui bahwa Resi Bagaspati adalah saudara seperguruan ayahnya.
Diusirlah Narasoma, Salya muda, ketika itu, yang diikuti oleh Madrim adiknya.
Dari situlah ia menyerahkan Dewi Madrim dan Dewi Kunti ke tangan Pandu, atas
pengakuan kekalahannya. Padahal ia telah memenangkan sayembara pilih dan
berhak memboyong Kunti puteri Mandura. Kenangan masa lalu Salya terhenti
ketika ia memutuskan sesuci dan masuk ke sanggar pamujan, meninggalkan sang
istri yang masih terlelap tidur.
Kokok ayam yang pertama di pagi buta telah lama berlalu. Matahari di
hari belum lagi bersiap menerangi semesta dengan cahaya merah diufuk timur.
Dalam balutan busana putih di sanggar itu, Prabu Salya dikejutkan dengan
kedatangan seorang utusan yang mengatakan telah menunggu dua orang tamu
yang hendak menghadap.
Barata
Bayangan jingga belum lagi terbias diantara mega mega di langit timur,
ketika Aswatama telah berada jauh jaraknya dalam pencarian jejak Banuwati.
Kelamnya hutan dan kabut menjelang pagi amat mempersulitnya dalam melacak
lari kuda yang ditumpangi Banuwati. Jejak kaki kuda dan patahan ranting yang
masih baru kadang masih dapat terlihat sebagai tanda lacaknya, namun sejatinya
kuda itu telah lama kehilangan penumpangnya yang terperosok jatuh di tempat
yang sudah jauh tertinggal.
“Keparat Banuwati, kau telah membuat dendamku makin dalam! Ya, tidak
ada yang dapat aku katakan, belum akan mati dengan dada lapang Aswatama, jika
aku belum berhasil membunuh perempuan celaka yang berlindung dibalik
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
271 PANDAWA KURAWA
kecantikan parasnya!” Perasaan sesal dan dendam melonjak lonjak dalam dada
Aswatama. Segenap sisi hutan telah ia selusuri meneliti dengan seksama tanda
tanda dimana adanya Dewi Banowati, namun Sang Dewi seolah ditabiri oleh
kekuatan gaib yang tak kasat mata.
Barata
Sementara itu di Mandaraka, abdi istana telah menghadirkan kedua orang
tamu yang sedari lepas tengah malam menunggu, kapan kiranya akan ditemui oleh
tuan rumah. Prabu Salya yang masih belum beranjak dari tempat sesuci telah
mengira, siapa sebenarnya yang hendak menghadap. Firasatnya mengatakan,
bukan orang lain yang hendak bertemu dengannya. Maka ia masih tetap dalam
busana putih yang ia kenakan ketika ia memuja Hyang Maha Agung, dan juga
belum hendak beranjak dari sanggar pemujan.
Prabu Salya menarik nafas panjang ketika ia melihat dihadapannya
berjalan dua sosok yang sangat ia kenal dengan baik. Dialah kemenakannya,
Nakula dan Sadewa. Kemenakannya yang lahir dari gua garba adik perempuannya
Madrim. Adik perempuan satu satunya yang sangat ia kasihi. Seketika tangannya
dilambaikan kearah kedua satria yang baru saja dipanggilnya menghadap. Sambil
tetap duduk ditempat semula, tangannya mengusap usap kepala kemenakannya
dengan sepenuh kasih ketika Nakula dan Sadewa bersimpuh dan menghaturkan
sembah bakti kepadanya.
“Pinten, Tangsen, duduklah dekat kemari” Masih disertai senyum, Sang
Uwak, ketika melepaskan elusan tangannya. Prabu Salya terbiasa memanggil
kemenakannya dengan panggilan kecil, Pinten dan Tangsen, kepada Nakula dan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
272 PANDAWA KURAWA
Sadewa. Ia masih saja menganggap kemenakannya masih saja selayaknya kanak
kanak, walau mereka sebetulnya sudah lepas dewasa. Panggilan itu seakan ia
ucapkan sebagaimana ia dengan segenap kasih ingin menumpahkannya kepada
anak yang terlahir piatu itu. Dan masih tercetak kuat dalam benaknya, betapa
sejak kecil keduanya telah ditinggalkan oleh sepasang orang tuanya, sehingga tak
terkira betapa kasihsang Uwak tertumpah kepada kedua kemenakannya itu.
Nakula dan Sadewa beringsut sejengkal memenuhi keinginan uwaknya.
Tanya seputar keselamatan masing masing telah mereka ucapkan dengan singkat,
hingga kemudian Prabu Salya membuka pembicaraan ke hal selain basa basi.
“Kedatanganmu kemari, aku merasakan seperti halnya ibumu hadir dalam
diri kamu berdua. Kembar, alangkah malangnya kamu berdua ditakdirkan terlahir
sebagai anak piatu”. Sejenak Prabu Salya yang baru saja membuka kata, terdiam.
Matanya menerawang mengingat adiknya Madrim dengan segala tingkah
polahnya.
“Didunia ini, siapakah orangnya yang tidak mengenal Prabu Pandu
Dewanata, ayahmu. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan keterangan
selengkap yang aku berikan mengenai keberadaan ayahmu, kecuali keterangan itu
datang dari diriku. Dulu sewaktu ibumu hamil, ia ngidam kepengin naik Lembu
Andini. Padahal ia tahu, Lembu Andini itu kendaraan Hyang Guru. Itupun ia
mengendarainya hanya sendirian saja”.
Yang diajak bercerita masih diam sambil sesekali mengangguk anggukkan
kepalanya. Dibiarkannya uwaknya berceritera. Walaupun cerita itu sudah berkali
kali ia dengar dari mulut uwaknya, Prabu Salya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
273 PANDAWA KURAWA
“Pinten, Tangsen, aku akan menceritakan kembali apa yang terjadi pada
kedua orang tuamu. Dengarkan ya”. Prabu Salya menyambung, “Ibumu,
Madrim, ternyata meniru tindakan Istri Batara Guru, yaitu Dewi Uma, yang juga
ingin menaiki Lembu Andini berdua dengan Batara Guru, suaminya. Walau
banyak suara sumbang ingin menggagalkan permintaan Uma atas keinginannya
itu, tetapi cinta Batara Guru terhadap Dewi Uma mengalahkan keberatan
parampara kahyangan Jonggiri Kaelasa”.
Cerita yang diceritakan Prabu Salya melebar, namun demikian Nakula dan
Sadewa masih saja mendengarkan dengan sesekali mengangguk kecil. “Waktu
demi waktu berlalu, berdua melanglang jagat menaiki lembu Andini. Tak lah
aneh, bila segala keinginan Batari Uma dituruti, karena cinta mereka sebagai
suami istri yang baru mereka jalani. Mereka lupa bahwa berdua ada punggung
Lembu Andini. Kekuatan asmara telah menggiring mereka melakukan olah
asmara diatas punggung Lembu Andini. Hingga kemudian meneteslah kama
salah, jatuh kelautan dan menjelma menjadi raksasa yang dinamai Batara Kala.
Dialah putra Batara Guru dengan Dewi Uma, yang membuat jagat yang semula
tentram menjadi kisruh, yang suci-bening menjadi tercemar, yang tegak menjadi
berantakan”.
“Tetapi ternyata perbuatan itu telah ditiru mentah mentah oleh ayahmu,
Pandu. Walau Dewa telah memberi peringatan, tetapi ayahmu telah berlaku terlalu
tinggi hati, mentang-mentang ayahmu telah sangat berjasa bagi Kahyangan.
Ayahmu lupa bahwa ia telah diberikan anugrah ketika ia telah berhasil
menyingkirkan musuh Kahyangan, Prabu Nagapaya. Ganjaran yang telah Dewa
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
274 PANDAWA KURAWA
berikan berupa Minyak Tala. Bahkan ayahmu telah berjudi dengan nasibnya,
dengan menyanggupi diri untuk menjadi kerak Kawah Candradimuka. Itulah
ayahmu, watak tinggi hati dan rasa cinta terhadap ibumu yang tiada terkira,
membuat ia lupa segalanya”.
Walau mereka berdua telah berkali kali mendengar cerita tentang kedua
orang tuanya, tetapi tidak urung Nakula dan Sadewa telah meruntuhkan air
matanya. Kali ini uwaknya menceriterakan kembali peristiwa yang mengiringi
riwayat kejadian atas diri mereka berdua.
“Perlukah aku ceritakan bagaimana kematian kedua orang tuamu? “
Sejenak Nakula Sadewa terdiam. Mereka teringat, kedatangan mereka sebenarnya
adalah dalam tugas negara. Seperti perintah yang diberikan oleh Prabu Kresna,
mereka diberikan kewajiban untuk bagaimana melululuhkan hati uwaknya, agar
dalam perang di terang hari nanti, uwaknya akan merelakan hidupnya untuk
kejayaan Para Pandawa. Kresna telah mengetahui, bila tidak ada usaha untuk
membuat Prabu Salya merelakan kematiannya, maka Para Pandawa tak akan
dapat mengalahkan senapati bentukan Prabu Duryudana kali ini, yaitu Prabu
Salya.
Maka Nakula dan Sadewa telah mengambil keputusan untuk mengulur
perasaan Prabu Salya, agar nanti dengan gampang masuk mengutarakan
maksudnya.
Mereka pun menjawab, “ Uwa Prabu, kami akan mendengarkan apa yang
hendak Uwa Prabu ceriterakan”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
275 PANDAWA KURAWA
“Baiklah. Ketika kamu dikandung ibumu menjelang kelahiranmu, terjadi
pemberontakan oleh sebuah negara yang ada dalam bawahan Negara Astina.
Negara Pringgondani yang dipimpin oleh Prabu Trembuku hendak memisahkan
diri dari kekuasaan Astina. Prabu Trembuku yang merasa sudah kuat dan mampu
mengalahkan ayahmu telah dengan berani melakukan pememberontakan. Dalam
perang tanding antara ayahmu dan Prabu Trembuku, ayahmu dapat mengalahkan
kesaktian Prabu Trembuku yang kala itu menggunakan pusaka berujud keris yang
bernama Kala Nadah. Sekali lagi kukatakan, ayahmu adalah orang yang tinggi
hati. Prabu Trembuku, oleh ayahmu, sudah dianggap tak berdaya, hingga ayahmu
Pandu lengah. Ketika sesumbar atas kemenangannya, ayahmu melangkah hendak
berdiri diatas tubuh Kala Trembuku, sebagai tanda atas kemenangannya. Namun
Trembuku ternyata masih kuat untuk menusukkan senjata keris Kala Nadah ke
telapak kaki ayahmu. Berhari hari Keris Kyai Kala Nadah mengeram dikakinya.
Tak ada seorangpun yang mampu mencabut keris Kala Nadah, hingga membuat
kesehatan ayahmu menurun hari demi hari. Dan akhirnya, ketika kamu berdua
terlahir kedunia, yang disertai kematian ibumu karena kehabisan darah, ayahmu
juga ikut wafat setelah memberi nama buat kamu berdua”.
Sebentar prabu Salya membenahi tempat duduknya dan bergeser
duduknya. Kemudian ia melanjutkan ceritanya. “Kegaiban terjadi, ketika kedua
orang tuamu telah wafat, tiba tiba saja jasad keduanya telah hilang tak berbekas.
Sudah menjadi suratan takdir bahwa kematian kedua orang tuamu adalah menuai
apa apa yang mereka tanam. Janji ayahmu Pandu untuk sanggup menjadi kerak
Neraka Yomani, telah berbuah. Ucapan orang tuamu ketika meminjam Lembu
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
276 PANDAWA KURAWA
Andini, sanggup mukti waktu itu, dan sanggup sengsara kemudian telah menjadi
kenyataan”.
“Keris perenggut nyawa ayahmu diberikan oleh pamanmu,Yamawidura,
kepada Arjuna kakakmu. Sejak saat kamu berdua menghirup udara dunia, kamu
sudah ada dalam asuhan ibu dari Puntadewa, Werkudara dan Arjuna, ya Kunti
itulah yang memberi perlindungan atasmu sebagaimana ia memperlakukan
kasihnya terhadap anak kandungnya.
Maka itu Pinten, Tangsen, perlakukan ibumu, Kunti, dengan kasih yang
sepenuh hati. Perlakukan ibumu Kunti, seperti saudara saudaramu tua menyayangi
ibunya”.
“Semua titah Uwa Prabu sudah hamba lakukan, sebagaimana Ibu Kunti
dengan tak membeda bedakan kasihnya antara kami berdua dengan saudara
saudara kami yang lahir dari rahim ibu Kunti”. Jawab Nakula dan Sadewa
serentak dengan suara yang sedikit serak, ketika uwaknya menghentikan ceritanya
sesaat.
“Baik”, sekali ini Prabu Salya kembali menghela nafas panjang dengan
senyum puas, “Selain dari pada itu anak anakku, kamu berdua hendaklah tidak
pernah menyerah dalam menjalani Perang Baratayuda ini. Tetaplah ada pada
kedekatan jarakmu dengan kakakmu Puntadewa. Aku lihat kamu sekarang malah
datang kehadapanku di Mandaraka. Apa yang hendak kau sampaikan Pinten,
Tangsen”.
Kedua bersaudara kembar itu saling berpandangan. Keduanya merasa
pintu telah terbuka. Kemudian bersepakat dengan sinar matanya, siapakah yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
277 PANDAWA KURAWA
hendak menyampaikan hal penting sebagai utusan dari Prabu Kresna. “Siapakah
diantara kami Para Pandawa yang tidak merasa khawatir, sebab kami telah
mendengar bahwa terang tanah hari ini, Uwa Prabu sudah diangkat wisuda
sebagai senapati perang Astina. Tak lain yang akan dihadapi adalah kami semua
saudara Pandawa”.
Berdebaran dada Nakula yang hendak menyatakan inti dari maksud
kedatangannya. Kembali dengan suara parau ia mengatakan, “Maka Uwa Prabu,
dari pada memperpanjang cerita, yang tidak urung nanti Para Pandawa akan
runtuh di medan Kuru, maka kami akan menyerahkan kematian kami sekarang
juga, Uwa. Dan akan jelaslah bahwa kematian kami, kemenakan Paduka Uwa
Prabu, adalah atas tangan Paduka Uwa Salya”.
Terkaget sejenak Prabu Salya mendengarkan uraian kedua kemenakannya,
dengan suara meninggi ia mengatakan, “ Heh . . . Apa yang kamu ucapkan?
Sedari tadi aku menceriterakan bagaimana keperwiraan orang tuamu, Pandu, juga
dengan segala kelemahannya. Bagaimana orang tuamu yang semua orang di jagat
ini telah tahu, ternyata ia juga adalah bagaikan seekor harimau yang sangat
ditakuti. Kesaktian dan kewibawaan orang tuamu ibarat bisa menunduk-
runtuhkan gunung Himawan. Tetapi apa yang terjadi terhadapmu, tidaklah
membekas apa yang ada pada Pandu yang melekat pada dirimu. Harimau
itu ternyata hanya beranak dua ekor tikus!”
Hening melimputi suasana sanggar pamujan, dengan pikiran berputar
putar pada rongga kepala ketiga manusia didalam sanggar itu. Namun sejenak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
278 PANDAWA KURAWA
kemudian dengan suara berat Salya bertanya kepada kedua kemenakannya,
“Baratayuda itu sebenarnya siapa yang berperkara?”
Hampir serempak kedua satria itu menjaawb, “Itu perkara hamba Para
Pandawa dan Kurawa”.
“Bila benar begitu, kenapa perkara itu justru merembet kepada para
pepundenmu, para orang tua orang tua yang seharusnya kamu beri kemukten.
Kamu berikan kebahagian. Malah orang tua orang tua itu telah kamu jadikan
korban. Dan bila kamu adalah manusia manusia yang berakal, tentunya kamu
tidak akan menghadapku dan menyatakan minta aku bunuh disini. Itu seperti
halnya kamu sudah melihat hal yang sudah pasti, sehingga kamu telah mengambil
kesimpulan.” Kata Prabu Salya dengan kalimat yang bertekanan.
“Kalau kamu berdua datang bukan kepada Prabu Salya, maka tentu yang
kau datangi sudah menumpahkan rasa iba. Tapi bagiku, kedatangan kamu berdua
hanya merupakan gambaran dari betapa kamu berdua adalah sebetul betulnya
manusia yang berjiwa kerdil”. Ketus Prabu Salya menyambung.
“Werkudara kakakmu, adalah seorang manusia yang teguh bukan hanya
tergambar dari kewadagannya, tetapi keteguhannya merasuk jauh hingga ke lubuk
hati dan jiwanya yang paling dalam. Aku telah menjadi saksi, betapa dengan
keteguhannya, dengan segala kekuatannya ia berrenang dalam banjir darah yang
ia ciptakan. Arjuna yang begitu titis dalam olah panah, sehingga sudah begitu
banyak para sraya Prabu Duyudana yang tumbang oleh ketepatan olah warastra.
Mereka adalah sebenar benarnya anak Pandu Dewanata. Dan tak kalah dari orang
tuanya, orang muda Pandawa seperti Abimanyu dan Gatutkaca, telah bersimbah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
279 PANDAWA KURAWA
darah, dengan gagah berani mereka telah merelakan jiwanya, gugur menjadi
kusuma bangsa”.
Lho sedangkan kamu itu apa? Datang berdua ke Mandaraka menyerahkan
jiwa! Kamu takut menjalani peperangan heh?
“Terserahlah yang Uwak katakan . . . .” Nakula menjawab dengan lesu.
“Pinten, Tangsen, bukan Prabu Salya, bila menjadi samar dengan segala
ulahmu. Dari aku mendengar berita kedatanganmu, melihat sosok kamu berdua,
melilhatmu mencium kaki dengan air mata yang berlinangan; aku sejatinya sudah
tahu. Itu bukan gambaran sosok anak Pandu !!
Keheningan kembali menyungkup. Hanya pandangan mata tajam Prabu
Salya menghujam kearah kedua kemenakannya berganti ganti. Namun sebentar
kemudian Prabu Salya mengatakan dengan nada tinggi hal yang membuat kedua
satria kembar itu terhenyak, “Kedatanganmu kemari adalah ada yang
menyuruhmu, iya apa iya . . ?! “
Menohok rasa kalimat tanya yang dilontarkan Prabu Salya, tak ada kata
lain, Sadewa kali ini yang menjawab setelah terbungkam beberapa saat, “Kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya Uwa Prabu . . . . .”
“Tidak . . , aku tidak akan memberimu maaf. . !” Masih dengan suara
tinggi Prabu Salya menjawab ketus. Ia kecewa dengan kedua kemenakannya.
“Harus bagaimana hamba berdua Uwa Prabu?” Tanya Sadewa.
“Kamu berdua harus mengaku dulu, kamu sebetulnya disuruh seseorang
untuk berbuat seperti itu?” Prabu Salya masih bersikeras.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
280 PANDAWA KURAWA
“Ini hal yang sebenar-benarnya hamba lakukan atas kemauan kami sendiri
. . .” Nakula dan Sadewa masih mencoba ingkar.
“Tidak . . . . Tidak mungkin!! Kenyataan yang terjadi sekarang adalah
macan yang beranak tikus. Ooooh Pandu, apa yang terjadi dengan anak
kembarmu. Apakah bila kamu sudah berlinangan air mata dihadapanku, maka
Salya akan larut. Ketahuilah, dalam perang nanti, siapa yang menjadi musuh
Duryudana, ia akan menjadi musuh Salya pula!” Prabu Salya masih mencoba
mengancam
“Silakan Uwa memarahi kami berdua . . . Tetapi biar bagaimanapun,
silakan uwa Prabu untuk membunuh hamba berdua, sekarang juga di Mandaraka
ini”. Sadewa tetap pada pendiriannya. Bagaimanapun pembekalan dari Prabu
Kresna ketika ia hendak pergi ke Mandaraka telah ia coba lakukan dengan
sepenuh kekuatan untuk memenuhinya.
“Ketahuilah Pinten, Tangsen, aku masih berharap besar kepadamu berdua
sepeninggal kakakmu Burisrawa dan Rukmarata. Aku masih berharap akan ada
sejumput ketenteraman yang bisa kau berikan kepada uwakmu ini, sebab kamu
berdua adalah masih darah dagingku sendiri”.
“Dari tata lahirku, aku ada di pihak Kurawa. Tapi tertanam dalam dalam
dihati ini, Pandawa adalah kebenaran sejati dalam perang Barata ini”.
“Hmm . .”“Sekarang katakan kepadaku, begini, Pinten, Tangsen. Tirukan
kata kataku: Uwa Prabu, bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru
sebagai senapati Astina, kami para Pandawa minta kepada Uwa, hendaknya Uwa
Prabu menyerahkan nyawanya; Ayo katakan itu kepadaku . . . !“ Prabu Salya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
281 PANDAWA KURAWA
menggeram menahan pepatnya rasa hati. Akhirnya dengan nada datar ia
mengatakan kepada kedua kemenakannya. Kalimat yang ia reka dan akan ia
katakan inilah yang seharusnya Nakula dan Sadewa katakan terus terang kepada
dirinya.
Nakula dan Sadewa kembali saling pandang. Namun tak ada kata sepakat
apapun yang tersimpul dari pandangan sinar mata masing masing.
Keduanya mengalihkan pandangannya ketika Prabu Salya kembali
memecah kesunyian, dengan pertanyaan disertai suara yang dalam. “Kamu berdua
menginginkan unggul dalam perang Baratayuda, begitu bukan? Sekarang
jawablah!”
“Tidak salah apa yang uwa Prabu tanyakan”. Jawab Sadewa.
“Sebab itu, tirukan kata kata yang aku ucapkan tadi”. Kembali Salya
memerintahkan kepada kedua kemenakannya dengan setengah memaksa.
Kedua satria kembar itu kembali saling pandang. Kali ini Nakula bertanya
kepada adiknya, Sadewa. “Bagaimana adikku, apa yang harus aku lakukan?”
“Tersesrahlah kanda, saya akan duduk dibelakang kanda saja.” Jawab
Sadewa lesu
Kembali Nakula bersembah dengan mengatakan, “Dosa apakah yang akan
menimpa kami . . . .” Baru berapa patah kata Nakula berkata , namun dengan
cepat Prabu Salya memotong ucapan yang keluar dari bibir Nakula
“Bukan!! Bukan itu yang harus kamu katakan! Tetapi katakan dan
tirukan kalimat yang telah aku ucapkan tadi”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
282 PANDAWA KURAWA
Sinar mata memaksa dari Prabu Salya telah menghujam ke mata Nakula
ketika ia memandang uwaknya. Seakan tersihir oleh sinar mata uwaknya, maka
ketika Prabu Salya menuntun kalimat demi kalimat itu, Nakula menuruti kata
yang terucap dari bibir Prabu Salya bagai kerbau yang tercocok hidungnya.
“Uwa Prabu . . ““Uwa Prabu”, tiru Nakula
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati
Astina . . . .,”
“Bila nanti Uwa Prabu hendak maju ke medan Kuru sebagai senapati
Astina,”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa . . . .”
“Kami para Pandawa minta kepada Uwa “
“Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa Uwa di peperangan. . .”
Sesaat Nakula tak berkata sepatah katapun, hingga kalimat terakhir itu
diulang oleh Prabu Salya. Dengan kalimat yang tersendat, akhirnya Nakula
menggerakkan bibirnya, “Hendaknya Uwa Prabu menyerahkan nyawa di
peprangan nanti”.
Bangkit Prabu Salya begitu kemenakannya mengucapkan kalimat terakhir
itu. Dirangkulnya Nakula, dielusnya kepala kemenakannya itu dengan penuh
kasih.
Setelah beberapa saat berlalu dengan keheningan, Prabu Salya melepas
pelukan, kemudian duduk kembali. Katanya, “Kembar, itulah kalimat yang aku
tunggu. Aku rela mengorbankan jiwa untuk kejayaan Para Pandawa. Dari semula
aku tidak berlaku masa bodoh terhadap peristiwa yang terjadi dalam perang ini.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
283 PANDAWA KURAWA
Aku tidak samar dengan siapa sejatinya yang benar dan siapa yang salah, siapa
yang jujur dan siapa yang curang. Dalam hal ini, Pandawa berhak mengadili siapa
yang salah dalam perang Barata ini”. Keduanya hanya menganggukkan kepala
dengan lemah.
“Begini Pinten, Tangsen, mulai saat ini, uwakmu akan turun tahta.
Dengarkan kata kataku, aku akan turun tahta keprabon Mandaraka”. Nakula dan
Sadewa menatap mata uwaknya dengan pandangan tidak mengerti. Sejurus
kemudian Prabu Salya meneruskan, “Setelah aku, uwakmu, turun tahta, seisi
Kerajaan Mandaraka dengan segenap jajahan dan bawahannya, aku akan serahkan
kepada kamu berdua. Mulai saat ini, kamu berdua aku wisuda sebagai Raja-raja
baru di Mandaraka. Kamu berdua akan aku beri nama Prabu Nakula dan Prabu
Sadewa”.
Sejenak Nakula dan Sadewa terdiam. Dengan sang uwak mengatakan hal
ini, maka jelaslah bahwa Prabu Salya tidak lagi bermain dalam tata lahir. Dengan
menyerahkan Negara Mandaraka, maka sudah begitu terang benderang,
kesanggupannya menyerahkan nyawa di Medan Kurusetra adalah tumbuh dan
terlahir dari dalam hati yang terdalam. Maka Nakula dan Sadewa yang diberi
kepercayaan hanya berkata menyanggupi “Hamba, uwa Prabu, semua yang uwa
Prabu katakan akan hamba junjung tinggi”.
Kemudian Prabu Salya melanjutkan, “Kewajiban kamu berdua adalah;
Nakula, kamu akan aku berikan tugas sebagai raja yang menangani urusan di
dalam negara. Sedangkan Sadewa, kamu kuberikan kewajiban sebagai raja yang
menangani urusan di luar negara. Yang saya maksudkan adalah, Sadewa,
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
284 PANDAWA KURAWA
melakukan hubungan ketatanegaraan denga raja raja diluar Mandaraka.
Sedangkan Nakula, lakukan penggalangan dengan raja raja jajahan yang ada
dalam lingkup Negara Mandaraka”.
“ Menjadi raja itu sebenarnya tidaklah mudah tetapi juga tidak sulit. Tetapi
ibarat orang yang hendak bepergian, ia haruslah membawa bekal yang cukup. Bila
selayaknya orang yang bepergian dengan arti yang sebenarnya, cukuplah dengan
bekal uang dan barang barang tertentu. Tetapi bila berbicara mengenai bekal bagi
orang yang hendak menjadi pemimpin negara, haruslah kamu berdua memiliki
sedikitnya empat hal yang harus kamu berdua kuasai”.
“Uwa Prabu, kami akan mendengarkan segala petuah yang hendak paduka
berikan kepada kami berdua”, keduanya mengatakan kesanggupannya.
“Pertama, pujilah Asma yang Maha Agung atas kekuasaannya terhadap
alam semesta. Mengertilah, bila kamu menjumpai sesuatu yang ada, pastilah ada
yang menciptakan. Pencipta itu langgeng namun yang diciptakan akan rusak atau
berganti oleh berlalunya waktu. Ikuti perubahan yang terjadi dan janganlah tetap
tinggal dalam sesuatu yang tidak langgeng. Bergeraklah dalam perubahan bila
tidak ingin terlindas oleh perubahan itu. Maka benarlah sebagian orang
mengatakan perubahan itulah, langgeng yang sebenarnya.”.
“Kedua, lakukan tata cara bersembah, menurut tata cara yang telah
digariskan atas kepercayaan masing masing. Jangan pernah memaksa tata cara dan
kepercayaan lain yang sudah mereka anggap benar. Tetapi tegakkan terlebih dulu
tata cara bersembah yang telah menjadi kepercayaanmu itu. Dan hendaknya kamu
berdua jangan mengatur segala hal mengenai kepercayaan secara resmi dalam
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
285 PANDAWA KURAWA
negara. Dengan keresmian pembentukan wadah kepercayan kepada yang Maha
Tunggal oleh negara, ini akan mengakibatkan kapercayan yang telah terbentuk
oleh negara akan menguasai dan bertindak sewenang wenang atas kepercayaan
kelompok kepercayaan kecil yang lain. Awasi saja agar kepercayaan itu tumbuh
dengan kewajaran dalam jalur yang lurus, tidak saling mengalahkan atas
kebenaran menurut kepercayaan masing masing. Ciptakan kebebasan terhadap
setiap pribadi dalam menentukan kepercayaan yang dipilih. Katakan kepada setiap
pribadi dan golongan; jangan kalimat dalam kitab suci mereka, dipahami secara
sempit, hingga mereka terkungkung oleh langit yang mereka ciptakan sendiri dari
ajaran yang dianut”.
“Ketiga, pahami kebenaran sejati. Jangan pernah menyalahkan kebenaran
yang dianut orang lain dan jangan menyalahkan juga kebenaran yang sudah
menjadi kepercayaanmu sendiri. Bila kamu senang menyalahkan kebenaran yang
dianut orang lain apalagi kelewat mengatakan kepada pihak lain, bahwa
kebenaran yang paling benar adalah kebenaran yang kau anut, maka mereka yang
kau katai akan kembali menyalahkan kebenaran yang kau anut. Tentu kamu sudah
tahu apa akibatnya”.
“Bila itu yang kau lakukan, maka kamu sudah bersifat Adigang, Adigung
dan Adiguna. Sifat yang dimiliki oleh watak tiga binatang, yaitu; Adigang, sifat
atau watak kijang, Adigung, watak seekor gajah dan Adiguna watak ular. Kijang
yang menyombongkan dirinya dengan mengandalkan kecepatan larinya. Gajah
yang mengandalkan dirimya yang paling besar dan kuat sedangkan ular yang
sombong mengandalkan bisa atau racunnya yang mematikan. Bila sifat itu yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
286 PANDAWA KURAWA
kamu majukan dalam menata negara, itu seperti halnya kamu tidak akan dapat
menata negara dengan berlandaskan rasa keadilan. Kedilan yang sebenar benarnya
adil dan dapat dirasakan oleh orang banyak adalah, tetaplah dalam perilaku yang
berlapang dada terhadap perbedaan dan mengertilah akan rasa peri kemanusiaan”.
Nakula dan Sadewa yang mendengarkan petuah uwaknya tetap ditempat
bagai terpaku pada lantai sanggar. Keduanya hanya duduk tertunduk dan
mengangguk kecil bila sang uwak memandangnya meminta apakan ia memahami
apa yang dikatakannya.
“Dan keempat, tetaplah selalu mencari ilmu dan pengetahuan yang selalu
baru. Bisalah kamu berdua menyatukan antara ilmu dan pengetahuan. Orang
yang menguasai imu itu sebenarnya bagaikan manusia yang berjalan dalam pekat
malam namun diterangi dengan sinaran yang cukup terang, atau orang yang
berjalan dalam licin namun ia bertongkat. Dan ilmu itu sejatinya berkuasa
mengurai sesuatu barang atau keadaan yang kusut. Ilmu itu harus kamu jalankan
atas landasan budi pekerti yang luhur. Orang yang berilmu dan berpengetahuan
tinggi, akan menghancurkan sesamanya bila tidak berjalan diatas landasan budi
pekerti yang luhur. Sebaliknya perilaku luhur budi yang didorong oleh ilmu
pengetahuan akan menciptakan tata dunia yang tentram tertib dan adil ”.
Sampai disini Prabu Salya diam dan memandang kembali kedua
kemenakannya. Yang dipandang hanya mengangguk tanda mengerti.
Lanjutnya“Sedikitnya empat hal inilah yang kamu harus penuhi ketika
kamu menjadi raja.“Sekarang kembalilah. Kembalilah ke pesanggrahan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
287 PANDAWA KURAWA
Hupalawiya. Terang tanah yang sebentar lagi datang, aku sudah akan datang
kembali ke medan Kurukasetra sebagai seorang senapati perang”.
“Baiklah Uwa Prabu, kami berdua undur diri, hendaklah kejadian nanti di
Medan Kuru tidaklah menjadi timbulnya dosa baru bagi kami sendiri atau Para
Saudara kami Pandawa nanti”. Serempak keduanya memohon diri setelah
dianggap cukup semua peristiwa yang akan menentukan masa depan keduanya,
uwaknya Prabu Salya serta saudaranya Para Pandawa.
“Ya, ya anakku, semoga semua akan berjalan baik. Puja keselamatan aku
panjatkan kepada yang Maha Adil untuk kejayaan Para Pandawa”.
Undur diri Nakula dan Sahadewa dengan perasaan campur aduk.
Kebesaran hati sang uwak telah mengusik ketidak tegaan kemenakannya. Terpikir
bagaimana saudara saudaranya harus menyingkirkan rasa tega terhadap orang tua
yang sebenarnya tidak condong dalam mengayomi Para Kurawa, walau uwaknya
itu telah menyatakan kesanggupannya menyerahkan jiwa untuk kemenangan Para
Pandawa.
Barata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
288 PANDAWA KURAWA
MENGENANG MASA LALU
Prabu Salya yang ditingalkan oleh kedua kemenakannya segera beranjak
dari Sanggar Pemujaan. Ia teringat dengan kewajibannya bahwa hari ini harus
segera kembali ke medan Kurukasetra. Ketika ia menengok kedalam tilam sari,
dilihatnya istrinya Dewi Setyawati masih tertidur pulas memeluk guling.
Termangu Prabu Salya memandang tubuh istrinya yang tergolek bagai boneka
kencana. Ragu dalam hati Salya meninggalkan tempat istrinya berbaring diam
dengan tarikan nafas yang teratur. Tetapi ia segera menetapkan diri akan
kewajiban dan kesanggupannya terhadap menantunya, Prabu Duryudana. Tanpa
membuang waktu lagi, bergegas ia berganti busana pamujan ke busana
keprajuritan. Diperhatikan pusakanya seksama dengan perasaan yang tidak
menentu.
Berangkatlah Prabu Salya dengan tanpa pamit dengan istrinya. Namun
perasaan bersalah menghentak dalam dadanya. Ia telah meninggalkannya dengan
sembunyi-sembunyi. Sepucuk surat telah ia letakkan di sisi pembaringan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
289 PANDAWA KURAWA
Kereta yang ditumpangi Prabu Salya yang melaju pesat di dini hari yang
masih berembun. Semilir angin pagi yang menusuk tulang namun memberi
kesegaran baru. Segala yang dilalui seakan akan bergerak cepat kearah belakang
bagai scene cerita yang berkeradapan bingkai demi bingkai. Gambaran masa lalu,
ketika ia pertama kali ketemu dengan istri tercintanya, Setyawati. Tidaklah
mengherankan bahwa masa lalu itu terlintas, kegalauan hati masih berkecamuk
ketika ia meninggalkan sang istri, telah membawanya mengenang masa lalu
ketika dirinya masih muda.
Bingkai gambar itu dimulai saat pertama kali tatapan mata Salya muda itu
saling bertumbuk dengan sinar mata Endang Pujawati, nama muda Setyawati.
Kejadian di Pertapaan Argabelah ketika dirinya tersuruk suruk
meninggalkan kerajaan Mandaraka, setelah diusir oleh ayahndanya, Prabu
Mandrakesywara.
Ayahnya yang kecewa dengan perintah kepada dirinya agar segera
menikah telah ditolaknya dengan halus. Permintaan itu disodorkan oleh ayahnya
waktu itu, agar ketika ayahndanya menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada
putranya, maka dirinya sudah bertaut dengan seorang wanita. Namun dirinya yang
waktu itu masih bernama Narasoma, mengajukan syarat, bahwa dirinya harus
menikah dengan wanita yang serupa persis dengan ibunya. Ayahnya yang salah
memahami permintaan dirinya akhirnya mengusir dirinya hingga terlunta lunta
sampai di Pertapaan Argabelah.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
290 PANDAWA KURAWA
Tumbukan sinar mata di pertapaan Argabelah itu telah memercikkan api
dan mengobarkan asmara keduanya. Maka ketika Endang Pujawati pun terbakar
api itu, diseretnya sang ayah, Begawan Bagaspati, untuk menemui dirinya.
Terperanjat dirinya waktu itu, ketika melihat ayah Pujawati yang ternyata berujud
seorang raksasa. Dalam hati bergolak sebuah pertanyaan, benarkah Pujawati,
wanita dengan sejuta pesona, berayah seorang pendeta raksasa? Tetapi pertanyaan
ketidak mungkinan itu ditepisnya sendiri. Seketika akalnya berputar, bagaimana
caranya memetik “bunga cempaka mulia indah nan mewangi, tetapi ditunggui
oleh seekor buaya putih”. Apa kata ayahnya bila ia berbesan dengan seorang
raksasa?!
“Pujawati, inikah satria yang kau katakan telah mempesonamu?” Begawan
Bagaspati menanyakan kepada anaknya. Namun pertanyaan itu hanya basa basi
saja. Dalam kenyataannya Begawan Bagaspati telah mengetahui apa yang sedang
terjadi pada keduanya. Maka tanpa menunggu jawaban ayahnya, Begawan
Bagaspati menanyakan kepada Narasoma.
“Raden siapakah andika sebenarnya?” Sapa Bagaspati.
“Heh Pendeta Raksasa, siapakah namamu?”, Sifat tinggi hati Salya muda
tak mau kalah.
“Ooh tidak mau mengalah rupanya satria ini. Baiklah, namaku adalah
Begawan Bagaspati. Sedangkan siapakah nama andika, Raden?” Tanya Bagaspati
kembali.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
291 PANDAWA KURAWA
“Akulah anak Raja Mandaraka, Prabu Mandrakesywara. Namaku
Narasoma”. Kata Narasoma waktu itu dengan muka tengadah. Dirinya tak
memungkiri bahwa dimasa muda, berwatak degsura. Namun dilain pihak
Begawan Bagaspati seakan terhenyak. Mandrakesywara adalah salah seorang
saudara seperguruannya, bertiga bersama seorang saudara seperguruan yang lain,
yang bernama Begawan Bagaskara yang juga berujud seorang raksasa. Namun ia
tak mengatakana sesuatau apapun. Sifat Narasoma dan alasan yang tidak bisa ia
ungkapkan, menuntunnya untuk tidak mengatakan sedikitpun mengenai jati
dirinya.
“Raden, perkenankan andika menyembuhkan sakit yang diderita oleh
anakku ini”. Bagaspati menjelaskan.
“Lho, kamu itu seorang pendita, yang pasti memiliki segala ilmu agal alus.
Tidakkah kamu dapat menyembukan penyakit anakmu sendiri?”
“Tapi penyakitnya adalah penyakit asmara, Raden. Hanya seorang yang
dapat menyembuhkan penyakit itu kecuali andika Raden. Bersediakah Raden
mengobati anakku?”. Bagaspati berterus terang dengan bahasa halus. Tanyanya
mengharap.
Sepercik sinar telah menerangi akal pikiran Narasoma ketika itu. Terbuka
kesempatan bagaimana cara melenyapkan duri yang menghalangi hubunganku
dengan wanita yang menjadi pujaan hati. “Baiklah, aku mempunyai syarat agar
putrimu dapat sembuh dari sakit itu. Syaratnya kamu harus menjawab teka teki
dariku. Sanggupkah?”
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
292 PANDAWA KURAWA
Silakan Raden memberi teka teki kepadaku. Akan kujawab semampuku,
bila aku tahu jawabannya”. Begawan Bagaspati adalah seorang Pendeta yang
sudah tak lagi samar dengan polah tingkah manusia. Ia adalah manusia sakti yang
mengetahui setiap keadaan didepan dengan penglihatannya yang tajam
berdasarkan getar isyarat dan gelagat yang ia terima. Meskipun demikian ia masih
juga ingin melihat dengan seutuhnya getaran itu dengan lebih jelas. Maka ia
masih tetap ingin mendengarkan langsung kata teka teki dari mulut Narasoma.
“Ini teka-teki ku, dengarkan baik baik. Suatu hari ada seekor kumbang
jantan yang sedang terbang tak bertujuan. Terlihat olehnya ada setangkai bunga
cempaka yang sedang mekar dengan indahnya. Penuh dengan sari madu yang
membuat sang kumbang begitu terpesona dan terbitlah rasa lapar ingin menghisap
sari madu itu. Namun ternyata didekat bunga mekar itu, terdapat seekor buaya
putih yang sedang menunggui. Sedangkan kumbang hanya dapat menghisap sari
madu bunga cempaka itu, bila buaya putih penunggu telah terbunuh”.
Sampai disini Begawan Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah
mengetahui maksud dari teka teki yang diberikan oleh Narasoma. Maka katanya
kepada Pujawati, “Raden, tidak usah kau teruskan teka teki itu hingga selesai.
Aku sudah dapat menebak teka teki itu. Pujawati, pergilah ke sanggar pamujan,
siapkan segenap perangkat upacara kematian. Bentangkan selembar mori putih
dan kekutug kemenyan beserta mertega sucinya. Segeralah anakku Pujawati”.
Seketika tercekat kerongkongan Pujawati. Kegelisahan telah merayapi
jantungnya, namun ia masih saja meminta keterangan kepada ayahnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
293 PANDAWA KURAWA
“Untuk apa dan siapa yang hendak diupacarai, Bapa?” Gemetar suara
Pujawati.
“Sudahlah nanti kamu juga akan tahu sendiri. Bukankah engkau
menghendaki Narasoma menjadi kekasih hatimu? Inilah syarat yang harus kamu
sediakan dalam menjawab teka teki dari calon suamimu, Pangeran Pati
Mandaraka, Raden Narasoma. Segeralah kamu lakukan apa permitaanku
Pujawati”.
Dipandangnya Pujawati dengan sinar mata yang seakan menyihir Pujawati
agar segera meninggalkan keduanya.
Sebagai anak yang selalu patuh, Pujawati mohon diri disertai pandangan
Narasoma yang terpesona dengan tingkah dan kecantikannya. Dilain pihak
Pujawati lengser dengan dihinggapi perasaan yang amat gundah.
Sepeninggal Pujawati, Begawan Bagaspati melangkah lebih dekat ke
depan Narasoma. Kemudian ia mengatakan “Raden Narasoma, calon menantuku
yang bagus, aku tidak samar dengan apa yang kau maui dengan teka teki yang kau
ucapkan. Baiklah, aku akan meminta syarat bila menghendaki Pujawati sebagai
istrimu”.
“Katakan Begawan, tentu aku akan kabulkan semua persyaratan yang kau
ajukan”. Narasoma penuh percaya diri menyanggupi.
“Bila nanti kamu sudah beristrikan Pujawati, cintai dia dengan sepenuh
kasih sayang. Janganlah kau perlakukan anakku dengan sia sia, walaupun ia hanya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
294 PANDAWA KURAWA
seorang anak perempuan gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata
pergaulan kerajaan. Selanjutnya, bila nanti kamu sudah kembali ke Mandaraka,
tidak urung nanti kamu akan menggantikan kedudukan ayahmu, Prabu
Mandrakesywara. Walaupun kamu berwenang untuk mengambil selir
seberapapun banyaknya, tetapi hendaknya engkau tetap setia dengan seorang
Pujawati saja. Peganglah teguh janjimu bila tidak ingin menemui petaka”.
“Persyaratan yang mudah. Baiklah begawan, sekarang katakan jawaban
atas pertanyaan teka-teki itu”. Jawab Narasoma, masih terbawa oleh pesona
terhadap kecantikan seorang wanita. Maka segalanya mudah saja baginya
menyangupi. Tetapi sesaat kemudian kembali Narasoma mengungkit tentang
pertanyaan teka teki yang belum terjawab. Pertanyaan yang sebenarnya mudah
jawabannya bagi seorang Bagaspati.
“Jawabannya gampang gampang susah. Gampang untuk mengucapkan
dengan lidah, tetapi tidak gampang menyelesaikan dengan tindakan. Begini bagus
Narasoma, kumbang jantan yang kau maksud disini adalah dirimu itu. Sedangkan
rasa lapar pada si kumbang dan ingin menghisap madu itu adalah, rasa asmara
yang tak tertahankan. Kembang cempaka mulya disini diartikan sebagai anakku
Pujawati. Tidaklah samar lagi, siapa yang kau sebut sebagai buaya putih
penunggu kembang cempaka, itu adalah aku sendiri”. Sejenak Begawan Bagaspati
diam. Diamati raut wajah Narasoma yang tegang dan memendam gejolak pada
matanya. Lanjut Begawan Bagaspati.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
295 PANDAWA KURAWA
“Penjelasannya adalah, kamu kepengin menyunting anakku Pujawati,
tetapi dirimu malu mempunyai mertua semacam aku ini. Maka kamu
menginginkan, agar aku disingkirkan dari madyapada ini, agar kamu tidak
mendapat malu didepan orang tuamu. Itukah yang kau maksud dengan teka teki
itu, raden?”
Getaran hebat menjalari seluruh jantung Narasoma. Walaupun
perumpamaan itu sudah yakin akan dijawab dengan mudah oleh Begawan
Bagaspati, namun tak urung ia terjerumus dalam jurang rasa salah yang teramat
dalam. Setelah diredam rasa itu dengan segala kekuatannya ia menjawab dengan
gemetar; “Aduh Panembahan, benar tanpa sedikitpun yang tertinggal. Namun aku
memintakan seribu maaf atas keinginanku yang sedemikian itu. Aku tidak ingkar,
itulah sejatinya maksud dari teka teki itu”.
Sedikitpun tak ada raut marah atau kecewa Begawan Bagaspati terbayang
diwajahnya Bahkan ia mengatakan kepada Narasoma, “Aku tidak kecewa dengan
apa yang menjadi kehendakmu. Tetapi sungguhkah persyaratanku atas
keinginanmu menyunting anakku dapat kau pegang teguh?”
“Ya, aku berjanji untuk memegang teguh persyaratan yang kau minta”.
Serta merta Narasoma menjawab terdorong keterkejutan karena sikap Bagaspati
yang dialaminya.
“Baiklah lega rasanya hati ini. Menantuku yang tampan, perkenankan aku
menyebutmu menantuku sekarang. Tak ada waktu lagi kedepan aku menyebutkan
kau sebagai menantuku, karena aku telah mengiklaskan jiwaku sekarang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
296 PANDAWA KURAWA
Lekaslah agar tidak membuang waktu, segeralah cabut pusakamu, tancapkan ke
dada ini”.
“Maafkan aku rama Begawan, semoga semua yang aku lakukan kalis dari
semua dosa dosa”. Narasoma mencoba menjawab sambil tetap meredam getar di
dada.
Maka keris pusaka Narasoma telah dihunus. Dipandangnya sejenak keris
pusaka yang selama ini tak pernah mengecewakan dirinya. Tetapi ketika keris itu
menyentuh dada Begawan Bagaspati, keris pusaka itu bagai menumbuk lembaran
baja yang begitu tebal. Berdentang memercikkan api, ujung keris yang menerpa
dada Begawan Bagaspati, tetapi segores lukapun tak nampak pada dada Sang
Begawan. Tetapi tidak kalah kaget begawan Bagaspati dengan kegagalan yang
dialami oleh Narasoma.
Dengan murka Narasoma berkata. “Heh Begawan Bagaspati, ternyata
ucapanmu tidak lahir terus ke batinmu. Janjimu hanya sebatas sampai ke bibir
saja, tidak terus ke hatimu. Kenapa kamu tidak juga merelakan jiwamu? Malah
kamu mempertontonan kesaktianmu!”
“O o o . . . , Sabar Raden, ada suatu yang terlupa. Didalam tubuhku masih
terpendam ajian yang dinamai Aji Candabhirawa. Ujudnya hanyalah manusia
kerdil berwajah raksasa, tetapi bila ia dilukai oleh senjata, maka ia akan
bertambah jumlahnya menjadi seratus. Bila mereka dilukai kembali, mereka akan
berlipat jumlahnya menjadi seribu dan seterusnya. Ajian ini akan sekalian aku
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
297 PANDAWA KURAWA
serahkan kepadamu dengan syarat kamu harus memelihara Candabirawa dengan
sebaik-baiknya”.
“Ya,Baklah, rama Begawan, aku akan menerima segala yang kau
kehendaki. Katakan syarat itu.
“Sebentar aku hendak semadi, untuk menyuruh Candabhirawa keluar dari
dalam hatiku”.
Beberapa saat Begawan Bagaspati mengatupkan tangannya, terpejam mata
dalam khusuknya tepekur, menguncupkan empat panca indera, hanya indera
perasa yang ia kerahkan dengan tajam. Sesaat terloncat ujud manusia kerdil
dengan wajah yang menakutkan! Itulah Candabhirawa!
Mencium kaki seketika Candabhirawa dengan takzim. Kemudian ia
menanyakan “ Oooh Begawan . . , ada apakah gerangan, hamba disuruh keluar
dari gua garba paduka Sang Resi?”
“Sudah sampai waktuku untuk aku pergi ke keabadian sejati. Untuk itu
sudah aku sediakan sosok pengganti untuk kamu mengabdi. Lihat, siapakah yang
berdiri didepanmu. Itulah sosok yang akan kau huni sebagai penerus dari kejayaan
Candabhirawa”.
Namun terbayang kekecewaan Candabhirawa, ketika ia melihat sosok
yang dilihatnya. Sosok yang dilihatnya menyiratkan manusia yang kurang
melakoni tindak prihatin. Sosok yang lebih mementingkan kesenangan pribadi
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
298 PANDAWA KURAWA
belaka dan terkesan sombong. Maka dengan memelas ia mengatakan kepada
Bagaspati.
“Aduh Bapa Resi, bisakah hamba ikut Bapa untuk selama lamanya?
Hamba melihat hal yang berbeda dari pada yang biasanya hamba alami ketika
bersama dengan kebiasaan Bapa Begawan. Yang aku lihat pada sosok itu tidaklah
akan membuat aku betah tinggal pada raganya” meratap Candabirawa dikaki Sang
Begawan. Begitu kecewa ia membayangkan perpisahan dengan Bagaspati.
“Raden! Raden sudah mendengar sendiri keluhan dari Candabirawa.
Maka bila raden berkenan untuk diikuti oleh Candabhirawa bersama dengan
kesaktiannya yang tiada tara, maka Raden harus berjanji sekali lagi untuk
menyanggupi permintaan Aji Candabhirawa”.
“Akan aku penuhi perminatanmu Begawan, dengan segala kemampuan
yang ada padaku. Apakah permintaannya?”
“Candabhirawa akan lapar, bila raden kenyang. Candabhirawa akan sedih
bila Raden senang senang berlebihan dan segala sesuatu akan terbalik bila Raden
merasakan kenikmatan yang berlebihan. Sanggupkah Raden hidup dalam suasana
yang serba sederhana?”
“Baik, aku bersedia! Hendaknya bumi dan langit menjadi saksi.” Kembali
Narasoma mengucap janji.
“Sekarang ulangi lagi apa yang sudah Raden lakukan tadi. Segeralah,
mumpung Pujawati belum kembali”. Sinar mata Begawan Bagaspati menerobos
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
299 PANDAWA KURAWA
dinding hati Narasoma yang sedang terguncang menerima peristiwa yang datang
secara bertubi tubi. Maka tanpa berpikir panjang, kembali keris pusakanya
dicocokkan ke dada Begawan Bagaspati. Tak ayal lagi percobaan kedua ini telah
berhasil. Tembus dada raksasa Bagaspati. Darah menyembur dari luka Begawan
Bagaspati, bergetar seluruh tubuh sang Begawan. Tetapi ia tewas sesaat kemudian
dengan bibir tersenyum puas.
Rasa bersalah yang berusaha ia tepiskan tak segera pergi. Gemetar
tangannya yang masih menggenggam kerisnya, hingga ia tidak dapat melakukan
apapun. Ia masih berdiri termangu mangu, hingga ia dikejutkan dengan suara
yang menyapanya.
“Narasoma menantuku, aku titipkan anakku Pujawati sesuai dengan
janjimu. Hingga nanti bila perang besar tiba dan kau jumpai senapati yang
berdarah putih, pada saat itulah aku hendak menjemputmu bersama sama dengan
anakku Pujawati. Aku akan menunggu di alam madya, hingga waktu itu tiba”.
Terkesiap Narasoma ketika terdengar suara itu.
Barata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
300 PANDAWA KURAWA
SALYA GUGUR
Tetapi seketika angan Salya buyar oleh suara gemuruh prajurit yang
menunggu kedatangannya hingga siang hari di medan Kuru. Ya, kedatangan Salya
di Tegal Kuru itu telah terlambat. Matahari di hari itu telah menuntaskan basah
embun sedari lama.
Pada saat yang sama, kesiangan Sang Dewi Satyawati terbangun dari
mimpi indah, ketika sinar matahari menerobos celah jendela kamarnya.
Geragapan Sang Dewi membenahi pakaiannya yang kusut, menyisir rambunya
dengan jari. Tatapan matanya seketika tertuju pada sepucuk surat yang tergeletak
di pembaringan. Dibacanya dengan seksama surat itu yang menyatakan ia telah
pergi kembali ke Kurusetra dan telah diserahkan negara Mandaraka kepada
kemenakannya Nakula dan Sadewa.
Setengah teriak ia memanggil Endang Sugandini, saudara dekat putri dari
Begawan Bagaskara. Endang Sugandini telah menjadi kawan setia Setyawati
sejak ia dikalahkan oleh Prabu Salya dan diruwat dari ujudnya semula, raseksi
bernama Tapayati, emban Prabu Kurandageni dari negara Girikedasar.
Yang dipanggil buru-buru datang. Yang dijumpainya, sedang menangis
tersedu, “Sugandini, tenyata malam tadi adalah malam yang penuh kenangan. Aku
sudah merasa bahwa malam tadi adalah malam terakhir bagi aku bersama kanda
Prabu Salya. Sugandini aku akan pergi menyusul Kanda Prabu ke peperangan”.
“Kusumaratu, hamba tidak mau paduka pergi seorang diri. Hamba akan
ikut bersama paduka kemedan Kuru”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
301 PANDAWA KURAWA
Sementara itu di Pandawa Mandala Yudha, Nakula dan Sadewa telah
kembali dari Mandaraka. Telah diceritakan dengan lengkap apa yang terjadi
sepanjang lepas tengah malam hingga ia tiba kembali di Pesanggrahan
Hupalawiya. Setelah semuanya menjadi jelas bagi Prabu Kresna, ia membuka
pembicaraan penting dengan Prabu Puntadewa.
“Sudah tiba waktu yang dijanjikan paman Prabu Salya, dinda
Puntadewa!”.
“Apakah yang kanda Kresna maksudkan?” Tanya Prabu Puntadewa.
“Dinda, sudah saatnya dinda maju menjadi Senapati, menandingi senapati
Kurawa, Paman Prabu Salya”.
“Kanda hamba tidak ingin lagi melihat mengalirnya darah yang tertumpah
dari dada orang-orang tua kami yang hamba hormati”. Kembali Kresna melihat
sifat asli dari Prabu Puntadewa.
“Tetapi ingatlah, berkali kali sudah kanda katakan, perang ini bukan lagi
tempat untuk berbakti antara orang muda terhadap orang yang lebih tua, tetapi
perang yang terjadi adalah perang yang berdasar atas keutamaan dan
berpayungkan atas keadilan”. Jurus pertama Kresna ajukan dalam membujuk
Prabu Puntadewa untuk mau maju sebagai senapati.
“Bila begitu kanda, kanda Prabu telah menentukan bahwa Uwa Prabu
Salya adalah orang yang tidak berlaku adil. Dimanakah letak ketidak adilan yang
terdapat pada diri Uwa Salya”. Jawab Prabu Puntadewa tenang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
302 PANDAWA KURAWA
“Tidakkah dinda melihat, bahwa Prabu Duryudana adalah sosok yang
melakukan tindak angkara. Tetapi dinda lihat sendiri, paman Prabu Salya tetap
membela tingkah pakarti yang dilakukan oleh kanda Duryudana”. Terus
mendesak Kresna untuk meyakinkan Prabu Puntadewa.
“Tetapi hamba tidak bisa mengatakan bahwa Prabu Salya tidak bertindak
adil. Mestinya kanda Prabu Kresna tahu, bahwa kanda Prabu Duryudana adalah
salah seorang dari menantu Prabu Salya. Bila ada seorang mertua yang membela
menantu, apakah ini bisa desebut salah” Prabu Puntadewa menjawab.
“Benar disatu sisi tapi tidak benar disisi yang lain. Memang benar bahwa
Prabu Duryudana adalah menantu pada garis kekeluargaan. Tetapi dalam sisi
kebenaran semesta, tindakan Prabu Salya adalah salah. Prabu Duryudana yang
tidak bertindak dalam garis kebenaran, tidak selayaknya dibela oleh Paman Prabu
Salya. Tidakkah dinda ketahui siapa yang seharusnya memiliki bumi Astina.
Mestinya bukankah dinda Puntadewa?!”. Kresna masih ngotot merayu Prabu
Punta.
“Tetapi kanda, saya sudah merelakan hal itu. Biarkan kanda Prabu
Duryudana tetap menikmati manisnya madu yang terkulum. Perang Baratayuda
dimualai bukan atas kemauan hamba, diakhiri sekarangpun juga bukan kemauan
hamba”.
Krena menghela nafas panjang. Sulit sekali merasakan bagaimana ia harus
menundukkan hati manusia yang begitu kukuh dalam memegang kesucian.
Namun sejenak kemudian, rayuannya kembali mengalun, “Dinda, ini adalah
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
303 PANDAWA KURAWA
perang Baratayuda. Yang sudah banyak memakan korban bukan saja dari prajurit
kecil, tapi sudah meluas mengorbankan para orang orang tua kita dan anak anak
kita yang harus kita lindungi dan orang yang seharusnya kita beri kemukten. Bila
dahulu sewaktu peprangan dimulai dinda diam saja, sekarang begitu sudah banyak
makan korban dengan mudahnya dinda hendak menghentikan. Mengapa pada
awal pecah perang dinda diam saja”.
Masih dengan tenang Puntadewa menjawab, “Bila dulu hamba diam saja,
itu tidak berarti hamba setuju. Tapi apalah saya ini, bila saudara kami yang empat
sudah mempunyai kemauan yang tak dapat dihalangi, maka peristiwa yang
seharusnya terjadi itu terjadilah. Biarlah semua orang didunia mengatakan, bahwa
Puntadewa adalah seorang raja yang tidak teguh dalam menjalankan negara, dan
tidak becus dalam memimpin adik adiknya. Hamba adalah orang yang siap untuk
diberi cap sebagai raja yang pantas untuk dicela, tidak bisa dijadikan tauladan.
Hamba menjadi raja bukan atas kemauan hamba, dan semua pengaturan tata
negara sudah hamba berikan kepada saudara kami yang empat”.
Diam, suasana balairung kembali sunyi. Kresna setengah putus asa.
Akhirnya ia berkata kepada Werkudara, “Werkudara, bisakah kamu memberi
usulan bagaimana kakakmu itu bisa maju menandingi senapati Astina paman
Prabu Salya?”.
“Hlaaa, jangankan aku. Yang sebagai adiknya. Kamu sendiri yang selalu
menjadi tempat untuk mengurai kekusutanpun, tak lagi diturut omongannya!” .
Jawaban Werkudara tidak membuat Kresna puas.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
304 PANDAWA KURAWA
“Arjuna, kamu tentunya bisa memberikan sumbang saran?”. Pertanyaan
Kresna beralih ke Arjuna.
“Aduh kanda, hamba yang sebaga saudara muda, apalah daya yang hamba
miliki kanda Kresna”.
“Dimas Nakula Sadewa, bagaimana?” Kresna menanya kepada kembar
dengan jawaban yang sudah ia perkirakan.
Yang disebut namanya hanya saling pandang.
“Jadi bagaimana Werkudara?” Kembali pertanyaan ditujukan kepada
Werkudara.
“Baiklah, kanda Puntadewa. Bila sudah tidak ada rasa memiliki adik
adikmu ini. Sekarang aku dan saudaramu yang empat akan melakukan bakar diri”.
“Silakan dinda. Tetapi setahuku, orang yang hendak bunuh diri dengan
mengatakan kepada orang lain, itu biasanya perbuatan yang tidak sungguh
sungguh”.
Jawab Puntadewa. Kresna yang mendengar jawaban Puntadewa tersenyum
kepada Werkudara penuh arti.
“Kresna, aku sudah tidak sanggup!” Keluh Bima seenaknya.
Kesunyian kembali menggenang, keputus asaan Kresna membuat ia tak
kuasa untuk memutar otak yang seakan kusut. Tapi tiba tiba Puntadewa berkata,
“Kanda, bila hamba diminta menjadi senapati menandingi senapati dari Astina
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
305 PANDAWA KURAWA
hamba sanggup, tetapi hamba harus tetap kalis dari dosa. Hamba sanggup
melakukan itu bila jaminan itu ada, kanda”.
Terang pikiran Prabu Kresna seketika mendengar kalimat kalimat yang tak
terduga meluncur dari bibir Prabu Punta. Maka dengan sepenuh hati ia
meyakinkan keinginan yang tertuang dari hati Prabu Puntadewa. “Baiklah dinda,
saya pastikan dinda akan tetap suci dan tidak terlumuri dosa, bila yang
memerintah paduka adalah Sang Hyang Wisnu. Lihatlah dinda, kanda akan
memperlihatkan diri dalam bentuk Wisnu, dan dengarkan apa yang pukulun Sang
Hyang Wisnu hendak katakan”.
Perlahan Prabu Kresna memuja semedi, dikerahkan kekuatan untuk
membuka pintu batinnya dan mampu memperlihatkan kesejatian dirinya dalam
rupa Batara Wisnu. Telah tercapai maksudnya, berkata ia kepada Prabu
Puntadewa, “Heh titah ulun Puntadewa, hendaknya kamu segera maju ke medan
perang. Tandingi kekuatan Prabu Salya dengan sarana Pusaka Jamus
Kalimasadda. Lepaskan pusakamu untuk menyirnakan jasad Prabu Salya”.
Tersenyum Kresna ketika ia telah berhasil membujuk Prabu Puntadewa.
Canggung gerak Prabu Puntadewa ketika menaiki kereta dengan sepasang kuda
perang putih dengan didampingi oleh Nakula dan Sadewa. Sedangkan Arjuna dan
Werkudara pun tidak mengambil jarak yang cukup jauh dalam menjaga
keselamatan kakak sulungnya.
Sementara di padang Kurusetra, amuk Prabu Salya seakan tak terbendung.
Berbagai macam senjata telah mengenai sosok Prabu Salya, namun tak satu
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
306 PANDAWA KURAWA
senjata yang mampu melukai kulit Sang Senapati.Tak diketahui orang yang
sedang berada di peperangan, Sukma Sang Bagaspati melayang menunggu saat
yang ditunggu tunggu. “ Salya menantuku, sekarang sudah saatnya bagiku untuk
menjemput kamu. Narasaoma, aku tidak membenci kamu walaupun kamu telah
membunuhku. Tapi kehendakku, belum akan kembali ke tepet suci bila tidak
bersama dengan anak dan menantuku. Nah sekarang lah waktunya. Aku akan
menyatu dalam tubuh Puntadewa. Salya tunggu kedatanganku”. Melayang sukma
Bagaspati menyatu dalam diri Prabu Punta.
Ketika melihat kedatangan Puntadewa yang menaiki kereta itu, hatinya
tercekat. Ia sudah merasa terdapat aura aneh yang terpancar pada diri lawannya.
Semakin dekat Prabu Puntadewa, semakin berdebar jantung Prabu Salya.
Firasatnya mengatakan inilah saat yang ia janjikan. Namun kemudian Prabu Salya
teringat kembali akan keberadaan ajiannya yang diturunkan oleh mertuanya,
Begawan Bagaspati. Aji Candabirawa.
Sejurus kemudian dipusatkannya segenap rasa dalam pamuja, meloncat
dari goa garba ujud mahluk bajang berwajah raksasa. Itulah Aji Candhabhirawa!
“Raden Narasoma, hendak menyuruh apa kepadaku, Raden?!” Tanya
Candabirawa.
“Sekali lagi aku meminta kerjamu. Lihat didepanku, dialah musuhku,
Prabu Puntadewa. Bunuh dia!” Tanpa membantah, Candabirawa segera berlalu
dari hadapan Prabu Salya. Ia kemudian mengamuk sejadi jadinya kearah para
prajurit pengawal Prabu Puntadewa. Sementara Prabu Puntadewa sendiri
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
307 PANDAWA KURAWA
telah rapat dijaga oleh para prajurit dan Arjuna serta Werkudara. Terkena senjata
para prajurit yang terbang bagaikan gerimis yang tercurah dari langit,
Candabirawa membelah diri. Menjadi sepuluh, seratus, seribu dan tanpa hitungan
lagi yang dapat terlihat. Geger para prajurit Hupalawiya lari salang tunjang
melihat kejadian disekelilingnya yang begitu nggegirisi. Kresna segera bertindak
menghentikan rangsekan musuh dalam ujud mahluk kerdil yang begitu
menyeramkan itu. Perintah Kresna untuk bertindak tanpa melawan amukan
Candabirawa disebarkan ke seluruh prajurit yang segera menyingkir.
Ketika serangan berhenti, maka para mahluk kerdil itupun ikut terhenti,
saling berpandang dan termangu mangu sejenak. Sebagian lagi larut menjadi
semakin sedikit. Tetapi tak lama kemudian mereka bergerak kembali kearah
dimana Prabu Puntadewa berada. Ketika sudah dekat jarak antara para manusia
kerdil itu, tiba-tiba gerombolan itu berhenti mendadak. Mereka kemudian saling
berbisik. “Heh teman temanku semua, kita sudah memperbanyak diri. Tapi begitu
aku melihat ke arah Prabu Puntadewa, kelihatan olehku disitu bersemayam
sesembahanku yang lama, Begawan Bagaspati. Teman, kita telah lama merasakan
lapar dan capek ikut Prabu Salya yang kurang memperhatikan kita, terbawa oleh
kesenangan yang ia jalankan sehari hari. Prabu Salya kebanyakan bersuka ria dari
pada melakukan olah penyucian diri. Akan lebih baik bila kita ikut kepada
sesembahan kita yang lama! Mari kawan semua, kita kembali ke haribaan
Begawan Bagaspati”.
Bagai arus bah mengalir, para mahluk kerdil berwajah raksasa segera larut
dalam raga Prabu Puntadewa. Peristiwa ajaib yang dilihat Prabu Salya
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
308 PANDAWA KURAWA
membuatnya jantung Prabu Salya semakin berdebar. Guncang moral Prabu Salya,
hingga terasa menyentuh dasar jantungnya yang terdalam. Semakin yakin ia
bahwa saat yang djanjikannya telah tiba.
Prabu Puntadewa telah bersiap melepaskan panah dengan pusaka Jamus
Kalimasadda yang disangkutkan pada bedhor anak panah. Busur telah terpegang
pada tangan kirinya dan terutama ketetapan hati telah diambil. Tak akan menjadi
dosa bila Batara Wisnu yang memerintahkan membunuh musuh.
Walau Prabu Puntadewa tidak sesering para saudaranya berolah warastra,
tetapi sejatinya ia adalah salah satu murid Sokalima yang tidak jauh kemampuan
olah senjata panah dibanding dengan Arjuna. Sebagaimana Arjuna yang
mempunyai hati lebih tegar, maka Puntadewa sejatinya adalah pemanah jitu, baik
menuju sasaran diam setipis rambut maupun sasaran bergerak secepat burung
sikatan. Hatinya yang suci dan cenderung peragu-lah yang membuat ia tidak
seterkenal adiknya, Arjuna, dalam olah warastra.
Maka ketika anak panah meluncur dari busurnya, tidaklah ia
melakukannya untuk kedua kali. Sekali ia melepaskan anak panah kearah Prabu
Salya, maka menancaplah anak panah itu kedada bidang Prabu Salya. Kulit Salya
yang kebal terhadap berbagai macam senjata telah terpecah, rebah Prabu Salya!
Sakit di dada Prabu Salya tak terasakan, hanya kepuasan hati yang terasa
ketika ia telah menyender di bangkai gajah. Ia telah memenuhi janji terhadap
kemenakannya, Nakula dan Sadewa. Janji itu telah terlaksana dengan sempurna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
309 PANDAWA KURAWA
Senyum lemah di bibir Prabu Salya ketika menarik nafas dan
menghembuskannya untuk terakhir kalinya.
Seketika perang berhenti. Prabu Punta yang tidak lagi ingin melihat
tumpahnya darah segera memberi aba aba kembali ke pakuwon, sedangkan
prajurit Kurawa dengan sendirinya telah mundur mencari pembesar yang
sekiranya masih bisa menaungi.
Hanya Patih Sengkuni yang merasa telah putus asa telah berbuat nekad.
Kenyataan yang begitu pahit seakan tidak dapat diterimanya dengan akal
sehatnya. Kurawa seratus dengan bantuan begitu banyak raja seberang, telah
tumpas oleh krida Para Pandawa. Dengan sesumbarnya yang mengesankan
sebagai manusia yang telah kehilangan asa, ia gentayangan mengincar kematian
Para Pandawa.
Patih Sengkuni adalah seseorang yang sejak kelahirannya telah ditakdirkan
membawa watak culas. Kelahirannya ditandai dengan terusirnya seorang dewa
dari pusat Kahyangan, Paparjawarna. Dewa yang memang memangku sifat culas
yaitu Batara Dwapara. Terusirnya Batara Dwapara itu bersamaan dengan lahirnya
Harya Suman, nama kecil dari Sengkuni atau Sakuni.
Putra Prabu Gandara itu telah disusupi oleh Batara Dwapara yang
diperbolehkan oleh Sang Hyang Wenang untuk menitis kepada seorang anak
manusia yang tertakdir sebagai tukang memanasi suasana. Maka sepanjang
hidupnya, ia telah berlaku mengipas segala bentuk bara angkara sekecil apapun
menjadi berkobar liar menyambar-nyambar.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
310 PANDAWA KURAWA
Dengan tidak lebih duapuluh Kurawa yang tersisa, Harya Sengkuni
mengamuk menarik perhatian Prabu Kresna dan Werkudara yang masih saja siaga
menghadapi suasana yang mungkin saja terjadi.
“Werkudara! Lihat Sangkuni mengamuk! Jangan dikira ia yang bertubuh
bungkuk dan lemah, dapat kamu kalahkan dengan segenap kekuatan tenagamu.
Tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang yang kebal senjata. Tetapi otakmu harus
kau gunakan juga. Mungkin kamu dulu sudah ketahui, bahwa ia telah
berlumurkan minyak Tala ketika cupu berisi minyak Tala peninggalan orang
tuamu Prabu Pandu menjadi rebutan dan jatuh ke sumur dalam. Ketika itu Pendita
Kumbayana telah berhasil mengangkat cupu itu, tetapi karena masih jadi rebutan
dan minyak Tala itupun tumpah. Sangkuni telah melumuri dirinya dengan minyak
Tala dengan bergulingan diatas tumpahan minyak. Tetapi ada yang terlewat, yaitu
bagian duburnya. Bagian itulah yang kamu dapat jadikan sasaran awal untuk
menyobek kulit dagingnya!”
Melompat Werkudara tidak sabar untuk menyelesaikan tugas di ujung sore
itu. Didekati Sangkuni yang terbungkuk bungkuk sesumbar maciya ciya tanpa
memperhatikan sekelilingnya. Ilmu kebalnya telah membuat ia bagaikan tak ada
yang bisa mengalahkannya. Lengah Arya Suman!
Dan sejumlah Kurawa yang mencoba menghadang menjadi sasaran
amukan Werkudara. Mereka bagaikan laron yang masuk kedalam kobaran api.
Tumpas Kurawa yang menghadang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
311 PANDAWA KURAWA
“Hayoh keparat Pandawa! Maju kemari bila masih bernyali melawan
Harya Suman . . . . !” Belum habis kata kata Sangkuni, Werkudara telah
menyambar tubuh lawannya yang memang tidak lagi gesit setelah raganya
dirusak oleh Patih Gandamana. Patih Astina ketika Prabu Pandu Dewanata
bertahta.
Pundak Harya Sangkuni dipegang erat, kemudian diangkat kakinya
sehingga ia terbalik. Sejurus kemudian kuku Pancanaka Werkudara telah
mendarat di sela sela bokong Sengkuni. Sementara kaki Werkudara telah
menahan salah satu kaki Sengkuni yang satu lagi. Belah raga Sengkuni dengan
jerit mengiring kematiannya.
“Werkudara, belum cukup kamu menangani raga Sengkuni. Ingat sumpah
ibumu, Kunti, ketika ia telah dilecehkan olehnya, sehingga kemben ibumu
melorot dan menjadi tontonan dan sorakan orang-orang Kurawa. Ketika itu ibumu
bersumpah, tak akan berkemben bila tidak menggunakan kulit dari Patih Sengkuni
yang telah mempermalukannya. Kuliti sekalian dinda!”
Barata
Senja telah menjelang usai gugurnya sang senapati utama, Prabu Salya.
Layung senja oleh terbawa awan mendung melayang menyorotkan cahaya jingga,
ketika Dewi Setyawati telah sampai di medan Kurukasetra. Berdua dengan
Endang Sugandini, Dewi Satyawati seakan berenang dalam genangan darah.
Sebentar sebentar ia membolak balik jenazah yang terkapar, mencari cari jangan
jangan jenazah itu adalah sang suami. Sementara mendung makin tebal terkadang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
312 PANDAWA KURAWA
seleret petir menyambar menerangi walau sesaat sosok demi sosok yang ia
perkirakan adalah raga Prabu Salya.
Ketika untuk kesekian kali kilat menerangi medan perang itu, Dewi
Setyawati tak lagi ragu terhadap sosok yang ia perkirakan sebagai jenazah
suaminya. Menjerit Dewi Setyawati memanggil nama suaminya. Dipeluk sosok
yang belum lagi kering darah didadanya. “Kanda Prabu, paduka telah
meninggalkan hamba. Paduka gugur sebagai tawur perang ini. Walau paduka
telah tidak lagi bernyawa, namun sikap tubuh dalam gugur paduka, seakan akan
melambai mengajak hamba turut serta”. Sejenak Setyawati menciumi jenazah
suaminya yang sudah semakin dingin. Ditetapkannya hatinya untuk menyusul
kematian suami tercintanya, “ Marilah kanda, ajakan kanda untuk pergi bersama
seperti yang Paduka ucapkan semalam, tak kan kuasa hamba tolak”. Segera diraih
cundrik, sejenis keris kecil yang terselip di pinggang Dewi Setyawati, tewas Sang
Dewi menyusul kekasih hatinya. Sementara Begawan Bagaspati dengan senyum
menjemput dan menggandeng anak dan menantunya menapaki keabadian.
Endang Sugandini yang sama sama mencari jenazah Prabu Salya tak jauh
dari Dewi Setyawati segera datang menghampiri, ketika mendengar jerit saudara
sekaligus temannya karibnya. Melihat Prabu Salya dan Dewi Setyawati yang
keduanya saling berpeluk, terpekik. Tanpa pikir panjang segera ia juga melepas
cundrik yang menancap di dada Dewi Setyawati, kemudian menyusul Salya dan
Setyawati.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
313 PANDAWA KURAWA
BARATA
AKHIR BARATAYUDA
Malam itu di Pesanggrahan Pandawa Mandalayuda, Prabu Puntadewa
masih duduk di bangunan yang dirupa sebagai pendapa. Diantaranya duduk Prabu
Matswapati dan Prabu Kresna.
“Eyang Baginda, tak ada rasa sedih seperti yang terjadi pada saat ini.
Kemenangan demi kemenangan telah kami dapatkan hari demi hari disepanjang
Perang Baratayuda Jayabinangun ini. Namun kemenangan demi kemenangan
telah dibeli dengan jatuhnya tawur para saudara, orang tua, guru, dan semua orang
yang sepantasnya hamba beri kemukten. Puncaknya, hari ini, tangan hamba telah
mengantarkan Uwa Prabu Salya ke tepet suci. Sekecil ujud debupun, hamba tidak
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
314 PANDAWA KURAWA
mengira, bahwa gerak tangan hamba ini akan menjadi lantaran perginya Uwa
Mandaraka”.
Prabu Matswapati menarik nafas panjang. Apa yang dikatakan oleh Prabu
Puntadewa adalah hal yang sangat dipahaminya. Sesal sekecil apapun pasti
membekas di dada Puntadewa yang begitu teguh memegang kesucian diri. Maka
sejurus kemudian ia berkata, “Cucu Prabu, sebagaimana telah terjadi pada trah
Matsya, tumpasnya anak anak lelaki yang aku punyai Seta, Utara dan Wratsangka
pada mulanya telah membuat sesal dan sedih. Tetapi semoga cucu Prabu
menjadikan contoh dari perasaanku terhadap takdir. Semua kejadian yang telah
terjadi hendaknya dipasrahkan saja kepada Yang Maha Mengatur. Berikanlah jiwa
ini keringanan beban, serahkan segalanya kembali kepada-Nya, sehingga kita
menjadi ringan dalam melangkahi hari hari didepan.
Kalimat yang dikatakan Eyangnya yang sangat dihormati telah sedikit
memberi pencerahan di hati Prabu Puntadewa yang segera mengatakan isi hatinya
yang masih terpendam “Sabda Eyang Baginda Matswapati sedapat mungkin akan
hamba akan lakukan. Tetapi Eyang, masih ada beberapa saudara kita Kurawa
termasuk Kanda Prabu Duryudana masih belum kelihatan dalam perang hari ini.
Maka perkenankan hamba mohon kepada Kanda Prabu Kresna, mumpung dalam
pertemuan ini juga hadir, agar besok hari untuk bersama sama membimbing
saudara saudara kami Pandawa, untuk mencari keberadaan kanda Prabu
Duryudana. Ajaklah kanda Prabu untuk kembali ke Astina”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
315 PANDAWA KURAWA
Sejenak Prabu Puntadewa terdiam, seakan ada sesuatu yang penting
hendak disampaikan; “Eyang, hamba akan pasrahkan seutuhnya Negara Astina
untuk membangun kembali diatas reruntuhan yang terjadi dalam perang. Hamba
bersaudara telah mengambil keputusan untuk hanya menempati Negara yang kami
bangun dengan keringat dan darah kami sendiri, Negara Indraparahasta atau
Amarta!”
Tersenyum Prabu Matwapati, sangat mengerti ia akan keluhuran budi
cucu yang satu itu. Keputusan yang sebenarnya telah disampaikannya pada
sebelum korban berjatuhan dan menjadi luluh lantak. Walau kemenangan sudah
dikatakan telah ada di tangan, tetapi keputusan semula masih saja ia
pegang “Cucu Prabu Punta, begitu luhur budimu. Untukmu kaki Kresna, segera
setelah sidang sore ini terlaksana, bersiaplah untuk mencari keberadaan Prabu
Duryudana. Eyangmu sangat setuju dengan putusan yang diambil oleh cucu
Puntadewa, yang hanya mengambil Negara yang dibangun atas landasan hutan
Mertani ketika itu.
Maka ketika cerah mentari pagi telah menerangi hari, Prabu Kresna telah
berada diluar Medan Kuru yang hari itu menjadi demikian sepi. Hiruk pikuk
peperangan yang telah berlangsung sejak delapan belas hari telah menyisakan
pemandangan yang begitu mengerikan.
Namun Prabu Kresna teringat akan ucapannya ketika Prabu Baladewa
yang disisihkan dengan tipu dayanya, agar tidak ikut ikutan dalam perang, dan
harus bertapa di Grojogan Sewu atau air terjun dengan seribu alur. Tetapi ia
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
316 PANDAWA KURAWA
berjanji bahwa walaupun hanya sekejap sajapun, kakaknya diberi waktu untuk
menyaksikan perang itu.
Disitu Prabu Baladewa bertapa memuja ke hadapan Dewa, agar
diberikanlah kerukunan antara saudara saudaranya Kurawa dan Pandawa. Ketika
itulah Kresna sudah sampai di tempat Prabu Baladewa bersemedi.
“Dosa besarlah namanya, Werkudara, bila seseorang membangunkan
orang yang sedang bertapa. Tetapi kali ini ada hal yang tidak dapat ditunda lagi.
Mari dinda, bantu aku mengheningkan cipta untuk membangunkan kanda
Baladewa dengan aji Pameling”. Kata Kresna kepada Werkudara setelah berada di
hadapan Prabu Baladewa yang selalu dijaga putranya Raden Setyaka.
Segera Prabu Kresna bersemadi membisikkan aji Pameling kearah telinga
hati Prabu Baladewa. Demikianlah pesat cipta Prabu Kresna telah mampu
mengubah jalannya waktu. Terkena aji Pameling, Prabu Baladewa seketika
terbangun dari tapa. Bagai bangun dari tidur dengan mimpi yang nggegirisi,
dihadapannya telah berdiri Kresna dan Werkudara.
“Dinda kamulah yang aku tunggu, apakah Baratayuda sudah dimulai. Atau
bahkan perang sudah selesai?”
“Kurawa sudah tumpas hari ini kanda Prabu. Tetapi ada satu yang masih
kita cari, Prabu Duyudana”. Jawab Kresna.
“Jagad dewa batara, ternyata tragis akhir hidup para Kurawa. Sudahlah,
sekian saja Werkudara, cukup sampai disini kita menyudahi pertengkaran yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
317 PANDAWA KURAWA
membawa kehancuran. Kamu harus ingat bahwa Pandawa dan Kurawa adalah
berasal dari satu turun. Turun dari Eyang Wiyasa. Betapapun pasti Eyang Wiyasa
sangat sedih melihat apa yang sudah terjadi”.
“Sudah aku ingatkan kanda Prabu Duryudana sejak semula tapi itulah
yang terjadi” Jawab Werkudara.
“Mari Kanda, kita cari dimana dinda Duryudana sekarang berada. Dinda
Punta sudah merelakan Negara Astina tetaplah menjadi milik Kurawa”. Ajak
Kresna
Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali dengan mengerahkan ketajaman
insting Kresna. Tak lama kemudian terlihat seekor gajah yang dengan tenangnya
merumput.
“Lihat kanda, kita bertemu dengan gajah yang tidak asing lagi. Gajah
Kyai Pamuk. Tetapi lihat lagi, dipunggung gajah itu terlihat busana dari Prabu
Duryudana, serta bermacam senjata. Hamba pikir di telaga itulah Prabu
Duryudana bersembunyi dibawah rimbunnya tanaman teratai merah yang
mengambang”.
“Aku juga berpikir begitu. Biarlah aku akan memanggil Prabu Duryudana.
Betapa kangennya rasa hati ini walau tidak sampai sebulan aku telah terpisah. Dan
akan aku tebus tapaku untuk kedamaian antara saudara saudaraku Pandawa dan
Kurawa”. Baladewa menimpali.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
318 PANDAWA KURAWA
Dengan lantang kemudian Baladewa memanggil manggil Prabu
Duryudana , “Dinda Prabu, ternyata dinda ada disini. Sudah kangen rasa ini untuk
bertemu dengan dinda Prabu Duryudana. Saya kakakmu Prabu Baladewa. Dinda,
perkenankan dinda keluar dari air telaga walaupun hanya sebentar. Kita dapat
berbicara dari hati kehati”.
Suara itulah yang ditunggu tunggu Prabu Duryudana. Walau sayup suara
Prabu Baladewa karena lebarnya telaga, namun ia telah yakin, yang ditunggu
sudah tiba. Keluar dari tempat persembunyian ditengah telaga dan segera
mendekati arah Prabu Baladewa. Berrangkulan keduanya tanpa menghiraukan
sekelilingnya.
“Terimakasih kanda telah bersusah payah mencari kami, kanda. Kandalah
yang selama ini hamba tunggu. Bukannya hamba lari dari tanggung jawab, ngeri
atau pengecut, tetapi hamba ingin melawan musuh hamba dengan olah gada. Olah
gada yang kanda Prabu ajarkan. Selayaknya kanda Prabu menjadi saksi
ketrampilan olah gada yang aku tekuni. Sepantasnya guru menjadi saksi kesaktian
muridnya”.Duryudana berkilah.
“Oooh dinda, kami datang bukan untuk menantang perang. Tetapi justru
kami datang dengan ajakan berdamai. Telah banyak para orang tua tua kita yang
menjadi tawur perang! Kami beserta para Pandawa telah bersepakat untuk
mengajak paduka dinda untuk kembali ke Astina, dan melupakan kejadian yang
telah lalu, yang sejatinya kita bisa jadikan pelajaran kita melangkah kedepan”.
Baladewa mencoba memberikan penjelasan.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
319 PANDAWA KURAWA
“Para Pandawa sudah menerima bahwa mereka rela menyerahkan Negara
Astina dan hanya meminta negara Amarta yang mereka bangun dengan jerih
payah sendiri”.
Namun jawaban Prabu Duryudana tidak menjadikannya persoalan selesai
“Tidak, tidak kanda! Kanda telah mengecilkan hamba. Prajurit kami telah gugur
berribu ribu jumlahnya. Apa gunanya hamba yang tinggal sendirian takut mati.
Tidak! Hamba adalah raja besar. Raja yang sudah bertahun tahun hidup dalam
kemuliaan. Tidak selayaknya hamba melepaskan begitu saja tanggung jawab itu”.
Dibiarkannya Prabu Duryudana menumpahkan rasa hatinya oleh
Baladewa, sesat kemudian Duryudana menyambung “Kalah atau menang,
Pandawa akan kecewa. Seumpama saya yang menang itu sudah menjadi
kewajiban kami untuk membangun kembali kemuliaan kami, dan kemuliaan
Prabu Duryudana akan menyudul hingga kelangit tujuh. Tetapi bila Pandawa yang
menang, mereka akan kecewa. Negara Astina sudah hancur. Mereka hanya akan
merawat anak anak yatim dan janda janda korban perang. Mereka hanya akan
menemukan reruntuhan demi reruntuhan”.
Menarik nafas panjang Prabu Baladewa yang kemudian menggelengkan
kepala lemah, katanya “Keterlaluan dinda Duryudana yang mempunyai watak
gunung. Tak bisa diperlakukan rendah. Baiklah sekarang kanda akan menuruti
kemauan dinda Prabu”.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
320 PANDAWA KURAWA
“Paduka Kanda Prabu Baladewa hendaknya menjadi saksi, kami minta
perang tanding gada dengan salah seorang Pendawa, yang mempunyai sosok
seimbang”. Jawab Duryudana.
Demikianlah, setelah selesai mengenakan kembali busana keprajuritan
yang terletak dipunggung gajah, maka Duryudana telah berhadapan dengan
Werkudara. Satu lawan satu! Kresna mendekati Werkudara sebelum perang
tanding dimulai dengan membisikkan sesuatu yang disusul anggukan kepala
Werkudara penuh arti.
Ketika Prabu Duryudana bergeser, maka Werkudara-pun bergeser pula. Ia
menyadari sepenuhnya, bahwa Duryudana itu sudah siap untuk meloncat
menyerangnya.
Tetapi Werkudara-pun sadar, bahwa Duryudana mulai serangan gadanya
dengan menjajagi kemampuannya, sebagaimana juga akan dilakukan oleh
Werkudara.Demikianlah, maka sejenak kemudian Duryudana meloncat
menyerang dengan penggada tepat kearah dada. Namun seperti yang diduga oleh
Werkudara, Duryudana belum mempergunakan tataran ilmunya yang tertinggi.
Meskipun demikian namun pukulan itu seakan-akan telah meluncur secepat lidah
api dan melontarkan angin yang keras mendahului gerak tangan Duryudana yang
terjulur itu.
Werkudara bergeser selangkah menyamping. Meskipun ia tahu bahwa
lawannya belum menyerang dengan sepenuh kemampuan, namun Werkudara
tidak mau merendahkannya. Karena itu, sejak awal ia telah mulai mengetrapkan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
321 PANDAWA KURAWA
ilmu kebalnya Bandung Bandawasa. Ilmu yang dapat melindungi ujud wadagnya,
meskipun ia masih belum yakin jika serangan lawannya cukup kuat dengan
lambaran ilmu yang sangat tinggi, hingga serangan itu akan dapat menyusup, dan
memecahkan perisai ilmu kebal itu.
Berapa saat, pertarungan berjalan semakin seru.Tetapi baik Werkudara
maupun Duryudana tidak mau tergesa-gesa. Justru karena masing-masing melihat
kelebihan lawannya, mereka harus mebuat perhitungan yang sebaik-baiknya
dalam pertempuran itu. Bagaimanapun mereka tidak boleh membuat kesalahan
yang akan dapat menjerumuskan mereka kedalam kesulitan yang gawat.
Serangan-serangan Duryudana itu semakin cepat menyambar nyambar
Werkudara dari segala arah. Langkahnya seakan-akan sama sekali tidak diberati
oleh bobot tubuhnya. Seperti seekor burung sikatan Duryudana itu meloncat
menyambar dan sekali sekali mematuk dengan gadanya.
Sengitnya perang tanding masih diawasi dengan tegang oleh Prabu Kresna
dan Baladewa. Sebentar sebentar mimik muka keduanya menegang, sebentar
kemudian kembali cair. Terasa kesiur angin panas dari ayunan gada mulai
menampar tubuh keduanya dan memaksanya sedikit menjauh dari arena
pertempuran. Sementara pukulan gada keduanya dari waktu ke waktu semakin
dahsyat. Keduanya telah sampai pada tataran teringgi kemampuannya. Kekuatan
yang bagaikan taufan saling menghantam badan keduanya, tetapi mereka adalah
manusia manusia pilihan yang telah tertempa oleh pengalaman berguru dan
pengalaman tempur yang panjang.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
322 PANDAWA KURAWA
Duryudana melontarkan gelombang-gelombang pukulan gada yang
dahsyat beruntun susul menyusul. Namun Werkudara dengan ajian Blabak
Pengantol antol dan dibantu sukma Kumbakarna yang menyatu selagi Werkudara
ada di lereng gunung Kutarunggu, sangat sulit ditaklukkan. Sementara tamparan
serangan itupun mulai terasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih
menyengat tubuhnya. Arena perang tanding telah menjadi hangus bagai terkena
sengatan halilintar. Bahkan suara gelegar benturan kedua gada pusaka terdengar
membahana bagai sejuta guruh dilangit berpetir.
Namun kekuatan Duryudana adalah kekuatan simbol dari angkara murka
yang tidak begitu saja dapat diatasi oleh laku kebaikan. Maka perang tanding itu
sudah seharian tanpa ada kelihatan siapa yang bakal unggul. Setingkat demi
setingkat Duryudana itu meningkatkan ilmunya yang nggegirisi. Kekuatan angin
yang melanda Werkudara oleh kesiur gadanya menjadi semakin dahsyat. Bahkan
kemudian angin itu mulai berputar, Werkudara mulai merasa dirinya dihisap oleh
pusaran angin yang begitu panas. Seolah-olah pusaran air yang mempunyai
kekuatan tidak terbatas telah menghisapnya keatas. Sedangkan udara panas
semakin lama menjadi semakin panas menerpa kulitnya. Namun aji Blabak
Pangantol antol telah menerapkan dirinya bagai terpaku dalam tanah. Dalam satu
kesempatan ketika Duryudana melompat menyerang, maka dikenai pahanya
sebelah kiri Prabu Duryudana dengan penggada yang bagai bobot gunung
Semeru. Dengan keluh terahan, disusul kata kata kotor, ambruk Prabu Duryudana!
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
323 PANDAWA KURAWA
Tetapi begitu Duryudana mencoba bangkit, sekali dua kali, tiga kali gada
Werkudara masih saja menggempur tubuhnya. Remuk rempu tubuh Duryudana
tak berujud lagi.
Prabu Baladewa murka melihat Prabu Duryudana yang sudah tidak
berdaya terkena hajaran gada Werkudara. Walau ia mengerti bahwa kekuatan
Duryudana tiada tara namun kekuatan gada Werkudara yang bagai bobot gunung
Mahameru pasti akan menghancurkan sosok Duryudana.
“Keparat Werkudara ayoh tandingi aku Baladewa. Jangan mentang
mentang kamu menang, sehingga kamu berlaku sia sia terhadap pihak yang kalah.
Duryudana sudah tidak berdaya kamu perlakukan seperi layaknya binatang
buruan! Ayoh tandingi Baladewa!”
Kresna yang dari tadi siaga menjaga agar tidak ada peristiwa yang
mengkhawatirkan terjadi, telah menyongsong gerak Prabu Baladewa, “Sabar
kanda, sabar. Hamba sudah bilang sebelumnya, kemauan hati tak lah kuasa untuk
membelokkan takdir. Baratayuda dalah peristiwa luwarnya kaul atau janji, itu hal
yang pertama. Kedua adalah arena tagih menagih antara yang menghutangi dan
yang diberi hutang, baik dalam hal rasa ataupun budi pekerti. Dan ketiga adalah,
syarat bagi hilangnya angkara murka. Hilangnya angkara itu kanda, tidaklah bisa
sirna bila tidak bersamaan dengan yang menyandangnya”.
Kresna yang melihat di mata kakaknya sudah surut kemarahannya segera
menyambung, “Mestinya ada banyak peristiwa yang tentunya kanda Prabu sudah
mengerti bahwa Prabu Duryudana juga mempunyai hutang budi, hutang pati dan
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
324 PANDAWA KURAWA
hutang seribu malu yang disandang manusia manusia yang telah ia hutangi. Maka
kanda, ikhlaskan kematian Prabu Duryudana. Marilah kita bersama melangkah
kedepan dalam satu tindakan bersama sama para saudara kita Pandawa, yang telah
terbukti menjadi sarana hilangnya angkara”.
Hari kembali buram di sore itu sewaktu perang tanding berakhir. Kembali
langit membiaskan layung senja yang entah kapan sore berlayung itu akan
berakhir. Demikianlah, setelah merawat jenazah Duryudana maka ketiganya telah
kembali menghadap Baginda Matswapati di Hupalawiya.
Golongan Kurawa, Kartamarma dan Aswatama masih berkeliaran. Namun
Perang Dunia ke empat ini praktis telah berakhir . . . .
Surak surak manengker gumuruh
Swaraning wadya surak gambira
Unggul Baratayuda para Pandawa
Labuh Negara Astina balane
Kurawa gugur tengahing palagan
Pandawa . . . Pandawa unggul ing prang Baratayuda.
Perang Baratayudha telah usai, Resiwara Bisma telah moksha ke alam
kadewatan sesuai dengan waktu yang diinginkannya, setelah kematian Prabu
Suyudana sebagai penutup Perang Baratayudha.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
325 PANDAWA KURAWA
Resiwara Bisma dalam perjalanannya menuju surga bertemu dengan Dewi
Amba, kekasih pujaan didunia. Ia kelihatan bahagia. Hal itu tidak akan terjadi
kalau ia masih hidup. Karena didunia ia seorang Brahmacari.
Kurawa pun sudah habis, semua sudah gugur di medan perang Kurusetra.
Demikian pula Pandawa juga telah kehilangan banyak sanak saudaranya.
Dewi Drupadi, juga mengalami hal yang serupa, ia telah kehilangan
ayahnya, Prabu Drupada. Keluarga Wirata, telah kehilangan Prabu Matswapati,
Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka dalamPerang Baratayudha.
Terlebih lagi Pandawa disamping telah kehilangan sanak saudaranya, juga
kehilangan saudara saudaranya Para Kurawa, Eyangya, Gurunya, sahabat serta
kerabatnya. Namun yang menjadikan Keluarga Pandawa mempunyai semangat
hidup mereka masih memiliki Ibu Kunti dan Eyang Abiyasa.
Dengan kemenangan Pandawa, maka Pandawa beserta seluruh keluarga
tang tersisa memasuki Istana Astina. Kedatangan Para Pandawa disambut
oleh Dewi Kunti. Dewi Kunti terharu, karena betapa mahalnya untuk sebuah
kemerdekaan Indraprasta, terlalu banyak yang menjadi korbannya. Dewi Kunti
juga mengucapkan terima kasihnya pada Kresna yang telah mendampingi Para
Pandawa selama Perang Baratayudha.Kedatangan Pandawa telah diketahui oleh
Uwa Prabu Drestarastra dan Uwa Dewi Gendari. Para Pandawa dijemput oleh
Paman Yama Widura yang merangkulnya penuh keharuan. Dalam perang
Baratayudha, Paman Yama Widura kehilangan satu orang puteranya, Sang
Yuyutsu, yang telah gugur di medan pertempuran Barata Yudha dipihak Pandawa.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
326 PANDAWA KURAWA
Ketika meeka sedang berbincang bincang, datanglah Sanjaya, anak
Paman Yama Widura pertama, yang disuruh Uwa nya Prabu Drestarastra,
agar Pandawa keistana Kasepuhan, karena Prabu Drestarastra telah menunggu
kedatangan para Pandawa.
Sementara itu Prabu Sri Batara Kresna merasakan fiirasat yang
buruk.Prabu Kresna membisikkan agar para Pandawa berhati hati dan waspada
dalam menghadapi segala kemungkinan yang ada, karena ini mungkin perang
belum selesai. Pandawa memakluminya. Mereka segera menemui Uwa Prabu
Drestarastra.
Prabu Drestarastra sedang duduk serimbit dengan Dewi Gendari. Prabu
Drestarastra memeluk satu persatu para Pandawa.Walaupun ia memeluk para
Pandawa, namun sebenarnyan hatinya merindukan anak anak kandungnya sendiri
, yaitu Para Kurawa yang telah tiada. Sekarang giliran Werkudara yang hendak
dipeluk Prabu Drestarastra. Werkudara segera mendekati Uwa nya. Namun Prabu
Kresna menarik tangan Werkudara, sambil berbisik, tidak perlu mendekati. Biar
saja uwa nya yang datang menjemput. Prabu Drestarastra menangisi kematian
putera puteranya para Kurawa, karena tidak satupun yang disisakan hidup, oleh
Para Pandawa. Sebenarnya Pandawa bisa saja menyisakan Suyudana untuk hidup.
Tetapi semuanya sudah terjadi. Prabu Drestarastra akhirnya berdiri mendekati
Wekudara. Sementara itu Werkudara berdiri dekat sebuah patung raksasa sebesar
Werkudara.Werkudara menghindar ketika uwa nya mengulurkan kedua tangannya
untuk memeluknya. Tetapi yang tersentuh adalah Patung raksasa yang
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
327 PANDAWA KURAWA
menghalangi Werkudara dan patung pun menjadi hancur lebur.dari kedua tangan
uwa nya masih mengeluarkan api yang menyala nyala.
Semua terjadi karena uwa nya telah menyalurkan aji Kumbalageni yang
sebenarnya ditujukan untuk membunuh Werkudara. Keadaan menjadi hening
tidak satupun orang berkata. Prabu Drestarastra menyesal telah membunuh
Werkudara. Ia mohon maaf kepada Dewata karena ia tak mampu menahan nafsu
balas dendam pada Pandawa khususnya Werkudara yang telah membunuh
Suyudana anaknya yang paling dicintainya. Andaikata ia mampu, Werkudara
akan dihidupkannya. Ia menyesal tak bisa menjaga amanat Pandu adiknya, untuk
menjaga keselamatan Pandawa.Namun Dewi Gendari berkata lain, ia menyesal
melihat kegagalan Prabu Drestarastra untuk membunuh Werkudara.
Dewi Gandari bersupata, bahwa Kresna juga akan mengalami penderitaan
Bangsa Kuru, karena Kresna adalah yang membunuh seluruh para Kurawa,
walaupun tidak dengan tangannya sendiri Maka bangsa Yadawa, juga akan
mengalami hal yang sama, Bangsa Yadawa akan mengalami perpecahan, hingga
terjadi pertumpahan darah antar bangsa Yadawa sendiri, yang pada akhirnya
bangsa Yadawa tertumpas habis dengan sendirinya.. .
Prabu Kresna terperanjat mendengar supata Dewi Gendari. Keadaan
menjadi hening, tidak satu pun orang bersuara. Prabu Drestarastra merasa bahagia
ketika mengetahui Werkudara masih hidup. Werkudara kemudian merangkul
Prabu Drestarastra, Prabu Destarastra mengharap diantara yang masih hidup
jangan ada pertengkaran lagi, jangan ada pembunuhan lagi. Prabu Batara Kresna
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
328 PANDAWA KURAWA
mohon maaf kepada Prabu Drestarastra dan Ibu Gendari serta siapa saja yang
dendam pada Prabu Kresna dan juga atas nama Pandawa, yang didalam perang
Bartayudha juga memakan korban banyak para putera Pandawa, termasuk juga
kehilangan saudara saudara saudara para Kurawa. Maupun Kurawa. Prabu
Drestarastra akhirnya merelakan kepergian seluruh para putreranya, yaitu Para
Kurawa.
Para Pandawa kemudian mohon pamit untuk memasuki pakuwon
Pandawa. Disanalah para Pandawa beristirahat, Sementara itu Dewi Utari telah
melahirkan sorang anak yang tampan. Arjuna memberi nama Parikesit.Setelah
kelahiran Parikesit, Prabu Sri Batara Kresna berpesan agar Para Pandawa tidak
boleh lengah, tetap waspada, dan jagalah bayi Parikesit dari segala yang
mengancam. Prabu Kresna berpesan agar jangan sampai bayi ditegakan tidak
dijaga, dan dibawah kaki Parikesit, ditaruh senjata pusaka Pulanggeni yang sudah
dilepas dari warangkanya..Setelah banyak berpesan Prabu Sri Batara Kresna
berpamitan kembali ke Dwarawati. Karena Dwarawati dalam keadaan
darurat.Sampai di tengah malam Pandawa masih kuat untuk berjaga menunggui
bayi Parikesit yang tidur di tempat nya.
Sementara itu Aswatama yang sudah lama menghilang dari medan perang
Kurusetra, yang sejak pengangkatan Prabu Salya menjadi senapati, dimana
Aswatama memprotes pengangkatan itu, karena sudah jelas kelihatan curangnya
Prabu Salya yang menyelamatkan kermatian Arjuna dari Karna.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
329 PANDAWA KURAWA
Kini Aswatama telah muncul kembali.. Kali ini ia telah menghimpun
kekuatan baru, yaitu bergabung dengan Resi Krepa dan Kertawarma. Kertamarma
adalah adik Prabu Suyudana yang satu satunya masih hidup. Para Pandawa dan
bahkan Prabu Drestarastra tidak menyangka, ternyata masih ada sisa Kurawa yang
masih hidup.
Mereka berencana mau memberontak ke Astina, untuk merebut kembali
Astinapura ketangan Kurawa, Tetapi mereka tak ada keberanian. Pertapaan
Sokalima walaupun luasnya sama dengan kerajaan Pancala, namun tidak memiliki
perajurit. Mereka memutuskan akan memasuki Istana Astina secara diam diam,
pada malam hari dan akan membunuh orang orang Pandawa sebanyak banyaknya.
Sebenarnya Aswatama sudah membuat terowongan di taman Kadilengen,
dan sudah tembus ke Goa. Sekarang Aswatama dengan bekal sebuah oncor
sebagai penerang jalan,dan ditemani Kertawarma dan Resi Krepa memasuki.
Namun ditengah jalan, mereka terkejut karena ada sebagian tanah yang gugur
sehingga menutup jalan masuk ke goa. Aswatama terpuruk, terlebih lebih ketika
api oncor padam, tidak tahu harus bagaimana. Tiba tiba saja ada cahaya yang
menerangi Goa. Ternyata Dewi Wilutama datang menolong.
Dewi Wilutama adalah ibu Aswatama. Dewi Wilutama menerangi goa
dengan sinar dari kedua telapak tangannya. Pintu goa yang telah dilalui juga
roboh dan menutupi pintu goa. Sehingga walaupun mereka pulang juga tidak bisa
keluar. Mereka terjebak didalam goa, pulang tidak bisa, terus juga tidak bisa.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
330 PANDAWA KURAWA
Dewi Wilutama menanyakan,apakah mereka mau mmembatalkan niatnya
sehingga mau kembali ke jalan semula, atau mau meneruskan kehendaknya.,
Aswatama ingin meneruskan perjalanannya ke Astina. Dewi Wilutama tidak mau
membantu keinginan dan tidak mau ikut bertanggung jawab atas perbuatan
Aswatama yang akan dilakukan. Dewi Wilutama membuka jalan ke pintu
depan Goa. Sehingga apabila mereka berniat mau pulang kembali, bisa
lewat kepintu goa semula. Dan akan keluar dengan mudah.
Namun, Dewi Wilutama tidak tega pada Aswatama,karena Aswatama
sudah tidak bisa dihentikan niatnya. Akhirnya Dewi Wilutama memberikan
senjata untuk menyingkirkan tanah tanah yang menghalangi perjalananannya.
Ibunda Dewi Wilutama tidak ikut bertanggung jawab apa yang hendak dilakukan
oleh Aswatama, dan disarankankan anaknya pulang saja kembali ke Sokalima.
Resi Krepa ganti membujuk Aswatama agar pulang saja kembali ke
Sokalima. Akhirnya Resi Krepa meninggalkan mereka semua, kembali ke
pertapaannya. Dewi Wilutama sebelum meninggalkan Aswatama
meninggalkan pusaka cahaya, yang akan menerangi goa, sampai Aswatama
keluar dati goa, dan sampai ditaman Kadilengen, maka kembalilah Dewi
Wilutama kembali kekahyangan..
Dalam waktu singkat Aswatama beserta Kertawarma telah memasuki
Istana Astinapura. Kertawarma tidak mengikuti kepergian Aswatama yang
memasuki Istana Astinapura. Kertawarma menunggu diluar istana. Ia
bersembunyi di luar Istana.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
331 PANDAWA KURAWA
Aswatama membaca mantera agar orang orang yang ada didalam Istana
Astina tertidur.Sementara itu seluruh penghuni Istana telah tertidur semua.
Memasuki kamar pertama, terlihat Pancawala dan Drestajumna sedang tidur
dengan nyenyaknya. Tanpa pikir panjang lebar, ditebasnya calon Raja Astina
baru, Pancawala dan Pembunuh ayahnya, Drestajumna sehingga terpelantinglah
kedua kepalanya.
Dendam masih membara ia membuka kamar yang kedua, terlihat Srikandi
tidur tergeletak tidak berdaya, ia kelihatan lemah gemulai seperti wanita wanita
biasa lainnya, walaupun dalam perang Baratayudha ia kelihatan gagah perkasa
bagaikan seorang pria jantan dalam menghadapi musuh musuhnya. Ia akan segera
membunuhnya, tetapi dirasanya percuma saja karena tidak merasakan sakitnya
kalau dibunuh, Srikandi tidak akan merasakan kematiannya. Dengan cepat penuh
dendam Aswatama menjambak rambut Srikandi. Srikandi terbangun, dan terkejut
ada Aswatama masuk kamar dan dirinya sudah di pegang oleh Aswatama. Ia
berusaha melawan tetapi tidak berdaya. Aswatama menjambak Srikandi dan
membentur-benturkan kepala Srikandi ke dinding kamar, hingga tewas.
Dendam masih membara, ia melihat Dewi Sembadra sedang tertidur
pulas,langsung dibunuh sebagai pembayar utang Arjuna, demikian pula Niken
Larasati dan Sulastri terbunuh.
Dilihatnya pula Dewi Banowati istri Prabu Suyudana, dengan pandangan
sinisnya, menganggap Banowati, adalah seorang wanita murahan, dengan
mudahnya selingkuh drngan Arjuna. Tanpa ampun lagi Banowati dibunuhnya.
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
332 PANDAWA KURAWA
Aswatama tidak mengetahui posisi dimana Parikesit tidur karena pengaruh
senjata Pulanggeni, dan pasti pula ada didalam lindungan Dewata. Aswatama
melihat pula Dewi Drupadi, namun ketika akan membunuhnya terdengar, seperti
ada suara tangisan bayi, Aswatama terkejut. Ia mengalihkan niatnya untuk
membunuh Drupadi, dan ia melihat dengan mata batinnya suatu tempat yang
penuh kabut. Aswatama melihat bayi itu. Aswatama memandang benci kepada
Parikesit, karena Pancawala sudah terbunuh, maka bayi ini adalah pewaris tahta
Astina pura. Segera Aswatama berusaha menikam bayi itu. Tetapi kekuasaan
dewa yang menentukan lain. Tiba tiba saja keris Pulanggeni yang terletak
dibawah kaki jabang Parikesit,tertendang sang bayi, dan keris Pulanggeni
terpental dan menembus dada Aswatama, Aswatama tewas.
Sementara ada keributan dan suara tangisan mereka yang terhindar dari
pembunuhan, seperti Dewi Untari dan dewi Drupadi. Menjadikan Werkudara dan
Arjuna terbangun dari tidurnya. Mereka langsung keluar dari Keputren.
Sementara itu, Kertawarma bersiap memukul Werkudara, andaikata melewati
persembunyiannya. Werkudara akhirnya melewati persembunyian Kertawarma.
Melihat Werkudara berjalan melewati persembunyiannya, Kertawarma segera
memukul Werkudara dengan gadanya dengan keras, namun Wekudara dapat
menangkisnya.
Terjadilah perkelahian, antara Werkudara dan Kertamarma.Kepala
Kertawarma pecah terkena pukulan Gada Rujakpala, Kertamarma pun tewas
Pandawa pagi ini dirundung duka. Semua istri Arjuna yang berada di Istana
terbunuh semua, juga Dewi Drupadi kehilangan puteranya Pancawala, Srikandi
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
333 PANDAWA KURAWA
dan Drestajumna. Arjuna semakin tersayat hatinya, melihat jasad dewi Banowati
yang wajahnya dirusak oleh Aswatama..
Seluruh keluarga Pandawa berduka. Prabu Kresna kecewa tidak bisa ikut
menjaga ketentraman Istana Astina. Prabu Kresna sendiri masih
menghadapi pergolakan keluarga Yadawa. Prabu Kresna minta agar Puntadewa
segera menyiapkan pemerintahan Astina. Untuk itu dibutuhkan pengangkatan
seorang raja. Kemudian mereka merencanakan pelantikan seorang raja. Setelah
mereka berembug maka ditunjuklah Parikesit menjadi Raja Astina. Mengingat
Parikesit masih bayi, maka Puntadewa diminta untuk menjadi wali. Maka
diangkatlah Prabu Puntadewa mewakili Parikesit. Dengan gelar Prabu
Kalimataya. Uwa Drestarastra merestui pengangkatan Puntadewa menjadi Ratu
Wali. Prabu Kalimataya dalam pemerintahannya dibantu oleh Sadewa, Sadewa
ditunjuk menjadi patih Kerajaan Astinapura.
Sedangkan Nakula menjadi raja di Mandaraka menggantikan uwanya,
Prabu Salya. Prabu Salya lebih mencintai kedua anak Dewi Madrim adiknya. Lagi
pula seluruh anaknya tewas dalam perang Baratayudha.Sedangkan Sadewa
menjadi patih di Astinapura, mendampingi Prabu Parikesit.
Barata
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
334 PANDAWA KURAWA
Nama : Hermawan
Alamat : Jln Menteri 4 Gg Sejahtera no 90 Martapura
Email : [email protected]
No : 082155969038
Bank : Mandiri syariah No rek : 7041610427 an Banjarbaru Kalimatan Selatan
Saya dulu lulusan SMK Muh Prambanan Yogyakarta tahun 2008. Pernah
disekolah SMP N 2 Prambanan. Sekarang masih kuliah di STKIP – PGRI
BANJIR DARAH DI TEGAL KURU
PANDAWA & KURAWA
HERMAWAN
335 PANDAWA KURAWA
Banjarmasin jurusan Matematika. Saya ini bukan siapa – siapa, saya menulis baru
kali pertama. Disini saya menulis hanya sebagai cara saya memperkenalkan
budaya Indonesia yang hampir tak di ingat oleh generasi muda, semangat ini saya
tunjukkan agar generasai muda tidak melupakan budaya sendiri. Agar kemajuan
suatu bangsa dapat bangkit sehebat negera lain didunia.