bangkitnya kepemimpinan perempuan

36
BANGKITNYA PEREMPUAN UNTUK BERSUARA DAN MANDIRI: Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto (Sulawesi Selatan) dan Lombok Tengah (NTB) Tim Penyusun: Budhis Utami Salbiyah Yanti Muchtar KAPAL Perempuan Jakarta, Januari 2010

Upload: lily-pulu

Post on 24-Jun-2015

295 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

BANGKITNYA PEREMPUAN UNTUK BERSUARA DAN MANDIRI:

Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto (Sulawesi Selatan)dan Lombok Tengah (NTB)

Tim Penyusun:

Budhis UtamiSalbiyah

Yanti Muchtar

KAPAL Perempuan

Jakarta, Januari 2010

Page 2: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan
Page 3: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

iii

Daftar Isi

Daftar Isi .................................................................................................................. iii

Profil KAPAL Perempuan ......................................................................................... v

Pengantar KAPAL Perempuan ............................................................................... vii

Pengantar ACCESS .................................................................................................. ix

Persembahan .......................................................................................................... xi

Bangkitnya Perempuan untuk Bersuara dan Mandiri: Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto dan Lombok Tengah ...... 1

Jeneponto dan Lombok Tengah: Konteks Keberadaan Pemimpin Perempuan Komunitas ......................................................................................... 2

Gambaran Masyarakat Desa Lantan, Lombok Tengah .......................................... 2

Gambaran Masyarakat Desa Jenetallasa, Desa Garasikang, dan Desa Bontochini di Jeneponto ........................................................................ 4

Gambaran Proses Pengumpulan Data dan Informasi untuk Profil ......................... 5

Bangkitnya Perempuan untuk Bersuara dan Mandiri: Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto (Sulsel) dan Lombok Tengah (NTB)...........6

Modalitas dan Proses Menjadi Pemimpin Perempuan di Komunitas .....................6

Profil Pemimpin Perempuan Komunitas:Gambaran Perjuangan Perempuan ........ 7

Irdha Sewang:Pejuang Perempuan Melawan Pernikahan Dini ..............................8

Rosdiana:Saatnya Perempuan Bicara ............................................................... 10

Rahmia Sam: Mewarisi Ketokohan Orang Tuanya .............................................. 13

Irma, SE: Saatnya Perempuan Menjadi Kepala Desa .......................................... 15

Nurul Hidayah: Tekad Bulat, Membuat Sejarah Berbeda .................................... 17

Sri Rismawati: Fasilitator Desa Yang Tangguh ....................................................20

Saatnya Menggerakkan Komunitas Menuju Keadilan Sosial dan Gender ............ 22

Page 4: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan
Page 5: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

v

Profil KAPAL Perempuan

Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan atau KAPAL Perempuan didirikan pada 8 Maret 2000 sebagai tanggapan terhadap proses demokratisasi setelah rejim Suharto jatuh. Proses demokratisasi ini perlu diperkuat oleh gerakan

perempuan untuk memastikan keterlibatan perempuan dalam seluruh proses pengambilan keputusan baik di ranah publik maupun domestik. Oleh karena itu, visi KAPAL Perempuan adalah memperkuat pemikiran kritis di masyarakat, khususnya di kalangan perempuan untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, pluralis, berkeadilan sosial, dan berkeadilan gender.

Untuk mencapai visinya tersebut, KAPAL Perempuan telah bekerja di tiga ranah sejak tahun 2000 sampai saat ini. Ranah pertama adalah penguatan kapasitas masyarakat sipil terutama kelompok perempuan melalui pendidikan kritis dan pengorganisasian yang bertujuan memperkuat perspektif keadilan gender, kepemimpinan perempuan, keahlian hidup, dan pluralisme. Pendidikan ini menggunakan pendekatan partisipatif, berpusat pada pengalaman dan kebutuhan peserta. Sampai saat ini telah ada sekitar 500 alumni pendidikan KAPAL yang telah mengembangkan pendidikan serupa di wilayahnya masing-masing. Pada tingkat akar rumput, KAPAL telah berhasil memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok akar rumput di Jakarta dan Aceh.

Ranah kedua adalah advokasi kebijakan mewujudkan hak-hak orang miskin, perempuan, dan kelompok minoritas di berbagai tingkat di seluruh Indonesia. Advokasi yang dilakukan KAPAL menggunakan pendekatan advokasi berbasis data komunitas. Dalam kaitan inilah, KAPAL telah mengembangkan kartu penilaian pluralisme, pencapaian MDGs, dan pelayanan publik untuk pendidikan. Hasil data dan informasi dari kartu penilaian ini dijadikan advokasi kebijakan di tingkat desa, kabupaten, provinsi, dan nasional. Selain itu, untuk advokasi di bidang pendidikan, KAPAL memfokuskan pada kampanye pendidikan perempuan termasuk kampanye keaksaraan perempuan. Sedangkan untuk advokasi isu perempuan, KAPAL terlibat dalam advokasi PRT mingran dan kekerasan terhadap perempuan. Untuk memperkuat dukungan publik terhadap advokasi ini, KAPAL telah membangun jaringan di tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.

Ranah ketiga merupakan upaya mengakumulasi pengalaman empirik dan pengetahuan yang selama ini sudah didapat KAPAL sejak berdirinya pada tahun 2000. Akumulasi ini ingin diwujudkan dalam bentuk sebuah resource center yang akan mengembangkan perpustakaan, penelitian, dan publikasi yang berkaitan dengan hak-hak perempuan, pendidikan, dan pluralisme.

Page 6: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan
Page 7: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

vii

Pengantar KAPAL Perempuan

Isu kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam kebijakan publik merupakan isu krusial di tengah situasi demokratisasi di Indonesia saat ini. Tanpa partisipasi sejati dari perempuan tidak akan tercipta demokrasi dan keadilan di Indonesia.

Dalam konteks inilah penulisan profil pemimpin perempuan yang berjudul Bangkitnya Perempuan untuk Bersuara Mandiri: Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto (Sulawesi Selatan) dan Lombok Tengah (NTB) dilakukan. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian KAPAL Perempuan bekerja sama dengan ACCESS yang bertujuan mendeskripsikan karakter kepemimpinan perempuan komunitas di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam dinamika perubahan sosial di kedua wilayah ini. Perkawinan antara politik negara untuk perempuan dan kemiskinan di satu sisi dengan adat agama di sisi lain telah membentuk wajah pemimpin perempuan komunitas yang masih berada di persimpangan antara wilayah domestik dan publik. Temuan penelitian ini diharapkan dapat semakin memperkaya pengetahuan kita tentang kepemimpinan perempuan akar rumput sekaligus dapat digunakan untuk membangun strategi dalam mengembangkan partisipasi dan representasi perempuan yang substantif.

Penelitian dan penulisan laporan ini tidak akan terjadi tanpa bantuan berbagai pihak. Terima kasih pertama kami tujukan untuk pimpinan dan seluruh staff ACCESS di Bali serta di NTB dan Sulsel, yaitu Paul Boon (Program Director ACCESS), Nina FitSimons (Program Coordinato Phase II), Nina Shatifan (Monitoring Evaluation and Learning Advisor ACCESS), Nehik Sri Hidayati (Senior Technical Officer - Community Engagement & Governance), Dian Anggraeni (Koordinator Provinsi NTB), Nanik Muntohiyah (Program Officer NTB), Sartono (Koordinator Provinsi Sulsel), Muhammad Nurfajri (Program Officer), dan almarhumah Murni Ismail (Program Officer). Tanpa bantuan mereka proses penelitian tidak akan berjalan dengan lancar. Terima kasih kedua kami berikan kepada para narasumber dan teman-teman LSM di NTB dan Sulsel yang telah memberikan waktu berharganya untuk penelitian ini. Khususnya kepada Bapak Nasrudin (Kepala Desa Lantan), Irma, SE (Kepala Desa Bontochini), Diana Sampara (Desa Bulusibatang, Sulsel), Rahmia Sampara (Desa Bulusibatang, Sulsel), Andi Herawati (Desa Garassikang, Sulsel), Rina (Desa Garassikang, sulsel), Kasmawati (Desa Arungkeke, Sulsel), Rosdiana (Desa Jenetallasa, Sulsel), Irda Sewang (Bantaeng), Nurul Hidayah (Desa Sandik, NTB), Sri Rismawati (Desa Lantan, NTB), Nurjannah (Desa Lantan, NTB), dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang berada di Kabupaten Jeneponto dan Lombok Tengah.

Tak lupa kami ucapkan pula terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya bagi tim peneliti dan penulis KAPAL, yaitu Kurniawan Yusjam, Salbiyah, Budhis Utami, dan Yanti Muchtar, yang telah bekerja keras sehingga laporan ini dapat diberikan kepada publik.

Page 8: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

viii

Di samping itu terima kasih dan penghargaan kami berikan juga kepada tim lokal, yaitu Ika (peneliti lokal), Khaerulloh Lodji (panitia lokal) dari Lembaga Mitra Turatea Sulsel, dan Sumiyati (panitia lokal) dari Santiri Foundation, NTB.

Semoga hasil penelitian ini dapat menginspirasi dan memotivasi semua pihak untuk terus memperjuangkan kehidupan perempuan menjadi lebih baik.

Jakarta, 21 Januari 2010

KAPAL Perempuan

Page 9: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

ix

Pengantar ACCESS

Buku ini merupakan sebuah rekaman dari apa yang telah dialami dan dilakukan oleh perempuan-perempuan di dalam komunitasnya. Proses pembangunan yang dibangun secara partisipatif yang dimulai dari kelompok warga, kemudian

di dusun, di desa dan di kecamatan ternyata telah menjadi jalan baru bagi para perempuan, khususnya dari warga miskin untuk menyampaikan aspirasi dan suaranya dalam proses pembangunan. Proses tersebut ternyata menjadi sebuah titian untuk mengeluarkan dirinya dari cangkang yang selama ini membatasi ruang geraknya dalam pergulatan dunia di luar rumah-tangganya. Perjalanan itu sendiri bukan hal yang sederhana bagi mereka. Kekosongan ruang dan kesempatan untuk berbicara atas namanya sebagai warga negara dan sebagai aktor yang sepantasnya menjadi pelaku perubahan itu sendiri, akhirnya dapat diisi dengan menjadikan proses-proses pembangunan di tingkat desa sebagai arena. Pada titik tertentu, mereka setidaknya menuai perubahan-perubahan, baik di dalam dirinya sendiri, di dalam keluarganya dan di dalam komunitasnya. Mereka adalah kader, calon pemimpin dan pada akhirnya memperoleh pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin bagi komunitasnya.

Rekaman perjalanan perempuan-perempuan ini adalah sejarah dari praktek-praktek keseharian perempuan dalam membaktikan hidupnya terhadap sebuah perubahan sosial. Pengalaman ini memang bukan hal yang revolusioner dalam tanda kutip, namun menggunakan praktek keseharian perempuan sebagai bagian dari kehidupan keluarga dan bagian dari kehidupan sosial, politik dan ekonomi di desa untuk menyuarakan apa yang selama ini tersembunyi dan sekaligus mengaktualisasikan potensi mereka sebagai aktor perubahan di desanya sendiri. Dari cara yang sederhana inilah perempuan bergerak, perlahan-lahan membangun kekuatan dirinya, membangun jejaring antar sesama dan diantara mereka dan menggagas pengorganisasian mereka yang menjadi kebutuhan untuk memperluas akses terhadap ruang dan peluang yang lebih besar. Bagi kami peningkatan pemahaman tentang sistem-sistem dan daya pandang yang kritis membuka peluang bagi perempuan untuk mengaktualisasikan hak politiknya.

Bagi kami ACCESS, buku ini menjadi kebanggaan kami sekaligus sebuah penghargaan terhadap perjuangan perempuan-perempuan selama ini.Sebagai pihak yang mendukung diterbitkannya rekam jejak kiprah perempuan yang bergerak dari bawah ini, kami merasa bangga bahwa sebagai sebuah inisiatif pendukung penguatan masyarakat sipil, ACCESS telah mendukung upaya mereka melalui pendekatanprogram yang memastikan inklusi sosial dan gender termasuk mengambil tindakan afirmatif memastikan partisipasi aktif berbagai pihak. Bagi kami tidak ada jalan lain daripada memastikan bahwa orang miskin, perempuan, dan kelompok terpinggirkan lainnya menjadi aktor yang memimpin dan benar-benar memperoleh manfaat dari kegiatannya. Memulai dengan tindakan affirmatif untuk memastikan bahwa setiap kegiatan yang didukung oleh ACCESS harus melibatkan laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang seimbang dan menyediakan ruang-ruang khusus bagi perempuan, khususnya yang

Page 10: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

x

selama ini trepinggirkan dari proses-proses pengambilan keputusan publik. Langkah ini ternyata mampu mendorong perubahan yang signifikan baik bagi diri perempuan maupun tingkat keterlibatan perempuan dalam proses-proses pembangunan di desa.

Buku ini kami harapkan dapat menjadi tangga untuk membuat lompatan yang lebih tinggi. Dari pengalaman perempuan ini sudah terbukti bahwa proses-proses pembanguan di desa berpotensi menjadi ruang dan peluang dalam meningkatkan kapasitas diri perempuan dan mendongkrak tingkat keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Buku ini memberi sinyal bagi semua pembaca, khususnya penggerak perubahan “bagaimana mendorong perempuan pemimpin dari akar rumput, dari warga miskin dan terpinggirkan benar-benar menjadi pemimpin transformatif” yang mampu membawa perubahan mendasar dan berkontribusi pada peningkatan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan dan peningkatan kualitas hidup bagi warga miskin baik perempuan maupun laki-laki.

Bagi para pembaca, narasi dari sebagian kehidupan perempuan pemimpin arus bawah ini adalah cuplikan dari kontribusi perempuan akar rumput dalam pemberdayaan perempuan Indonesia.

Akhirnya kami menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi terhadap kelahiran buku ini,kepada para pemimpin perempuan yang menyumbang pengalaman dan secara khusus kepada tim Kapal Perempuan yang telah bersedia menjadi pengawal bagi terbitnya buku ini.

Denpasar, 25 Mei 2010

Paul Boon

Direktur Program ACCESS Tahap II

Page 11: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

xi

“ Tulisan ini didedikasikan untuk almarhumah MURNI ISMAIL, seorang

pemimpin perempuan yang meninggal dalam perjuangannya.

Page 12: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan
Page 13: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

1

Bangkitnya Perempuan untuk Bersuara dan Mandiri:

Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto dan Lombok Tengah

““... diriku ini bukan hanya untuk suami dan anakku saja, melainkan juga

untuk orang miskin dan perempuan marginal. Aku sudah bertekad, mulai saat ini, aku adalah lilin, rela hancur demi kegelapan. Aku rela mati demi

membela masyarakat miskin dan perempuan...” (Rosdiana, pemimpin perempuan Jeneponto, Sulawesi Selatan, 2009)

Pernyataan ini disampaikan oleh Rosdiana, seorang pemimpin perempuan yang berasal dari desa Jenetallasa di Jeneponto, Sulawesi Selatan, dalam sebuah workshop yang bertujuan menggali pemikiran perempuan tentang

perjuangannya selama ini. Pernyataan ini memang terdengar sedikit bombastis tetapi pada tingkat tertentu menunjukkan pada kita bahwa perempuan sudah mulai bangkit, bersuara, dan berkiprah bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk komunitas yang lebih luas. Perempuan-perempuan seperti Rosdiana ini sudah mulai banyak bermunculan, yang merupakan hasil dari interaksi mereka dengan berbagai proses dan konteks yang melingkupinya. Kemiskinan, adat agama yang mengungkung, dan berbagai pembatasan lainnya, membuat perempuan siap untuk berjuang mendapatkan keadilan dan kehidupan lebih baik. Kesiapan ini kemudian mendapatkan stimulannya melalui berbagai intervensi pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh berbagai organisasi termasuk ACCESS yang bekerja di tingkat komunitas untuk memperkuat partisipasi dan kepemimpinan perempuan komunitas. Rosdiana adalah salah satu gambaran dari hasil interaksi tersebut.

ACCESS adalah sebuah program kerjasama pemerintah Australia dan Indonesia yang bertujuan memperkuat kapasitas masyarakat sipil, memang secara khusus memberikan perhatian pada penguatan partisipasi dan kepemimpinan perempuan di beberapa provinsi termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Dengan segala keterbatasannya, program-program ACCESS ini sudah berhasil memunculkan sejumlah pemimpin perempuan komunitas di NTB dan Sulsel, khususnya di Kabupaten Jeneponto dan Lombok Tengah. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan beberapa

Page 14: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

2

profil dari para pemimpin perempuan tersebut, yang disusun berdasarkan pengalaman nyata mereka sebagai perempuan, ibu, istri, dan pemimpin di komunitas-komunitas mereka yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh adat dan agama yang lebih mengutamakan kepemimpinan laki-laki.

Penulisan pengalaman para pemimpin perempuan ini pada dasarnya merupakan upaya penulisan sejarah perempuan dengan meletakkan perempuan sebagai pembuat sejarah aktif. Kekuatan, ketabahan, dan kepedulian para perempuan ini diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi para perempuan lainnya untuk terus berjuang merebut kembali hak-hak mereka di tengah berbagai sistem dan struktur yang membatasinya.

Jeneponto dan Lombok Tengah: Konteks keberadaan Pemimpin Perempuan Komunitas

Pemimpin perempuan komunitas yang diprofil dalam tulisan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, budaya dan politik yang melatarbelakangi dan melingkupi karya-karya mereka. Konteks-konteks ini akan diletakkan dalam kehidupan mereka yang paling nyata, yaitu kehidupan mereka di tingkat desa. Desa Lantan adalah desa di mana pemimpin perempuan dari Kabupaten Lombok Tengah tinggal dan bekerja. Sementara Desa Jenetallasa, Desa Garasikang, dan Desa Bontochini adalah desa-desa tempat tinggal dari para pemimpin perempuan yang berasal dari Jeneponto. Keempat desa ini akan dideskripsikan secara lebih rinci berikut ini.

Gambaran Masyarakat Desa Lantan, Lombok Tengah

Desa Lantan yang terletak di bawah kaki gunung Rinjani termasuk desa baru yang dahulunya merupakan kawasan hutan dan merupakan bagian dari wilayah Desa Air Darek (air yang agak asin). Masyarakat yang ada di Desa Lantan umumnya berasal dari Lombok Selatan yang merupakan daerah kering dan pernah mengalami kelaparan pada sekitar tahun 1955-1966. Akibat peristiwa tersebut, penduduk pindah ke wilayah-wilayah yang lebih subur. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan membuka lahan pertanian. Daerah ini mulai didiami penduduk sekitar tahun 1980-an. Desa yang di setiap dusunnya dihuni oleh 150 KK ini termasuk daerah onderneming yang luasnya sekitar 200 ha. Sejak tahun 2000, masyarakat diberi peluang mengelola hutan oleh Departemen Kehutanan, yaitu HKM (Hutan Kemasyarakatan) dengan sistem kontrak untuk jangka waktu 10 tahun. Dalam pengelolaannya, dibagi menjadi dua macam, yaitu hutan ketahanan pangan dan hutan industri. Sebagai hutan ketahanan makanan mensyaratkan 70% lahan harus ditanami dengan jenis tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, dan 30% lahan ditanami dengan tanaman-tanaman kayu yang memiliki nilai jual. Dalam pengelolaan hutan industri, 70% lahan harus ditanami jenis kayu-kayuan, dan 30% lahan ditanami tanaman pangan.

Penduduk Desa Lantan umumnya bekerja sebagai petani, berkebun pisang dan kopi yang merupakan komoditi unggulan desa. Namun kondisi warga secara umum masih dalam kemiskinan sehingga banyak warga khususnya perempuan mencari penghasilan di luar desa bahkan bekerja ke luar negeri sebagai PRT migran. Negara tujuan utama mereka biasanya Arab Saudi dan Malaysia. Tetapi sayang, banyak di antara mereka yang kemudian mengalami penipuan dan kekerasan di tempat kerja. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa bayangan indah untuk mendapatkan

Page 15: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

3

kerja layak dan aman serta upah cukup untuk dikirim ke rumah tidak terwujud. Namun nasib para perempuan yang tetap tinggal di Desa Lantan ternyata tidak kalah menyedihkan. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam yang dilakukan KAPAL Perempuan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan perempuan Desa Lantan masih rendah, rata-rata hanya sampai tingkat SD; mempunyai beban ganda karena sekalipun bekerja di kebun tetap mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga; umumnya dinikahkan pada usia anak-anak; dan sebagian diceraikan dengan sewenang-wenang oleh suami mereka.

Nikah paksa pada usia dini adalah fakta yang paling nyata ditemukan di Desa Lantan ini. Kuatnya tradisi perkawinan merarik merupakan salah satu penyebab utamanya. Dalam tradisi merarik perempuan dibawa lari oleh laki-laki yang menginginkannya dan mereka harus menikah sekalipun pihak perempuan tidak menyukainya dan usianya masih anak-anak. Banyak ditemui anak-anak perempuan terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena dimerarik. Selain pernikahan dini, banyak ditemukan perempuan di Desa Lantan yang sudah menjadi janda di usia muda. Umumnya yang terjadi, suami dapat dengan mudah menceraikan istrinya secara sepihak dengan hanya mengucapkan kata-kata “saya siang kamu (saya ceraikan kamu)”, yang berarti talak cerai sudah jatuh dan mereka dianggap sudah bercerai. Talak cerai ini juga biasa dilakukan laki-laki dengan mengirim pesan pendek melalui telpon seluler (SMS) apabila istrinya bekerja di luar negeri. Namun perceraian ini umumnya tidak dilakukan melalui catatan sipil tapi hanya sampai tingkat kelurahan sehingga mereka tidak memiliki surat cerai.a Para lelaki ini kemudian dengan mudah dapat kawin lagi dengan menggunakan tradisi merarik sekalipun mereka tidak memiliki surat cerai resmi. Kemudahan kawin cerai semacam ini dianggap hal biasa di Desa Lantan dan juga di desa-desa lainnya di Kabupaten Lombok Tengah di NTB.

Fakta lain yang ditemukan di Desa Lantan adalah masih cukup tingginya angka kematian bayi, walaupun jumlahnya cenderung menurun karena adanya program-program peningkatan kesehatan ibu hamil dan bayi. Kematian bayi dianggap wajar dan biasa karena masih kuatnya kepercayaan masyarakat Sasak bahwa anak yang meninggal nantinya akan menjadi penjemput di surga. Fakta kematian bayi di Desa Lantan ini adalah hal biasa tercermin dari kebiasaan melontarkan pertanyaan “berapa banyak anaknya yang meninggal?” ketika seseorang berkenalan dengan orang baru. Pertanyaan ini mengandung arti dan pengandaian bahwa setiap orang tua pasti memiliki anak yang meninggal. Tingginya angka kematian bayi ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain adalah karena mereka menggunakan jasa dukun beranak yang belum terlatih, kebiasaan “memapah,” dan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan anak. Kebiasaan memapah adalah kebiasaan memberikan makanan sisa kepada bayi. Makanan tersebut dikunyah terlebih dahulu oleh orang tua sang bayi sebelum diberikan kepada bayinya.

Rendahnya partisipasi dan kepemimpinan perempuan di Desa Lantan merupakan fakta lain lagi yang ditemukan selama penelitian berlangsung. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam yang dilakukan KAPAL Perempuan menemukan bahwa perempuan biasa dan miskin masih merupakan masyarakat kelas dua yang tidak pernah dilibatkan dalam forum-forum pengambilan keputusan. Para perempuan yang terlibat dalam forum pengambilan keputusan biasanya adalah para perempuan yang masuk

Page 16: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

4

kategori “elit desa”, yaitu pengurus dan anggota PKK yang notabenenya adalah istri dari para staff desa, atau perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan. Namun demikian tetap mereka belum mampu secara maksimal menyampaikan aspirasi dan agenda kebutuhan perempuan miskin. Partisipasi dan keterwakilan mereka masih sebatas pada representasi fisik dan formalitas semata, belum merupakan representasi yang substantif.

Gambaran Masyarakat Desa Jenetallasa, Desa Garasikang, dan Desa Bontochini di Jeneponto

Kabupaten Jeneponto dikenal sebagai daerah gersang atau kering dengan jumlah mata air yang sangat sedikit. Situasi sama ditemukan di Desa Jenetallasa, Desa Garasikang, dan desa Bontochini, desa-desa dari para pemimpin perempuan Jeneponto yang diprofil dalam tulisan ini. Secara umum, masyarakat di tiga desa ini tidak memiliki WC termasuk WC umum. Warga yang ingin buang air besar biasanya melakukan di belakang rumah atau di kebun karena sumber mata air sangat jauh dan tidak sampai ke rumah-rumah mereka yang umumnya adalah rumah panggung. Sekalipun sudah masuk program penyediaan air bersih dari PNPM Mandiri, namun belum mencukupi kebutuhan warga. Ini bisa dilihat dari banyaknya bak-bak penampungan air yang kosong. Selain itu, untuk dapat mengakses air, masyarakat juga diharuskan membayar iuran air yang perbulannya 10.000 rupiah, seperti yang terjadi di Desa Jenetallasa. Bagi sebagian besar masyarakat Jenetallasa, uang 10.000 rupiah merupakan jumlah yang besar sehingga warga lebih memilih untuk mengambil air di sumur yang tempatnya cukup jauh dari desa mereka.

Mata pencaharian warga di ketiga desa ini umumnya adalah petani. Sistem pertanian yang dipakai adalah sistem tadah hujan, artinya para petani hanya bisa menanam pada saat musim hujan. Kondisi alam ini menyebabkan pada musim panas sebagian besar warga beralih profesi, umumnya menjadi tukang becak di Kota Makasar. Mereka akan tinggal di Kota Makasar dalam jangka waktu beberapa bulan sampai musim hujan tiba. Setelah itu mereka akan kembali ke desanya untuk bercocok tanam. Kebiasaan berpindah-pindah ini berdampak pada tingginya angka putus sekolah di Kabupaten Jeneponto karena ketika orang tuanya menjadi tukang becak di Kota Makasar, si anak akan diajak serta. Situasi ini mengakibatkan kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan mereka sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Koperasi Tambang Batua yang menggambarkan bahwa untuk makan sehari-hari saja mereka mengalami kesulitan.

“”Sebagian besar laki-laki di kampung saya bekerja hanya sebagai tukang becak dan berkebun jagung. Sehingga untuk makan sehari-hari pun susah. Makan nasi pun kadang-kadang masih dicampur jagung” (Ketua Koperasi Tambung Batua, wawancara pada tanggal 14 Oktober 2009).

Dari sisi agama, 100% penduduk ketiga desa tersebut beragama Islam. Ini merupakan merupakan cerminan dari situasi Kabupaten Jeneponto sendiri. Kabupaten ini adalah satu-satunya kabupaten di Sulawesi Selatan yang tidak mempunya warga beretnis Cina

Page 17: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

5

dan juga tidak mempunyai tempat ibadah bagi umat non Islam seperti gereja, wihara, dan sebagainya. Perdagangan dikuasai oleh etnis Bugis sebagai etnis mayoritas. Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat Jeneponto adalah masyarakat yang homogen dan cenderung tertutup dan sulit menerima keberagaman.

Masyarakat di 3 desa penelitian juga masih memegang kuat adat istiadat, salah satunya adalah budaya siri’ (harga diri) yang ditengarai sebagai pelestari kemiskinan masyarakat. Budaya harga diri (siri) ini terlihat pada budaya perkawinan yang harus dibuat semeriah mungkin untuk menaikkan harga diri sebuah keluarga sekalipun harus berhutang. Pola pikir ini menyebabkan masyarakat Jeneponto, khususnya di ketiga desa ini, sulit keluar dari jerat kemiskinan dan hutang. Seperti di NTB, kawin lari juga terjadi di Kabupaten Jeneponto, yang dikenal dengan nama sillariang. Kawin lari merupakan sebuah aib bagi keluarga dan yang paling dirugikan dalam hal ini adalah pihak perempuan. Mereka akan mendapat cap buruk dari masyarakat karena kawin lari biasanya terjadi karena pasangan tidak mampu memenuhi keharusan penyelenggaraan pernikahan yang membutuhkan biaya besar. Dalam konteks ini, pihak perempuan dianggap tidak dihargai. Sillariang juga terjadi karena pasangan yang telah saling menyukai tidak disetujui oleh salah satu keluarga karena perbedaan status sosial, seperti perempuan dari golongan bangsawan (karaeng) akan menikah dengan laki-laki golongan biasa. Pasangan yang melakukan sillariang akan dibuang dari keluarga dan desanya sampai keluarga kedua belah pihak mau menerima mereka kembali. Mereka biasanya harus menunggu selama 3 sampai 4 tahun untuk diterima kembali oleh keluarganya. Selain sillariang, di Jeneponto ada perkawinan yang disebut nillariang yaitu kawin lari tapi terjadi karena pemaksaan dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Perkawinan ini terjadi apabila pihak laki-laki menculik perempuan yang diinginkannya atau cukup dengan memegang tangan, mencolek atau menyentuhnya. Tindakan ini sudah dianggap siri’ (harga diri) dan merupakan aib keluarga jika si perempuan tidak menikah dengan lelaki telah menculik atau menyentuhnya. Jadi sekalipun perempuan tidak menyukainya tetap harus menikah.

Budaya sirri cenderung melemahkan posisi perempuan dan membebankan tanggung jawab pelaksanaannya pada pihak perempuan. Misalnya lebih banyak peraturan yang harus dijalankan perempuan dibandingkan untuk laki-laki seperti tidak boleh pulang malam, tidak boleh bergaul luas, harus menikah dengan orang yang sederajat, dan menjaga jangan sampai mengalami sillariang maupun nillariang. Berbagai aturan ini menyebabkan perempuan lebih banyak tinggal di dalam rumah, yang pada gilirannya membatasi partisipasi mereka dalam berbagai kegiatan di luar rumah termasuk dalam forum-forum pengambilan keputusan di tingkat komunitas.

Gambaran Proses Pengumpulan Data dan Informasi untuk Profil

Pengumpulan data dan informasi untuk menyusun profil pemimpin perempuan komunitas di Kabupaten Jeneponto (Sulsel) dan Kabupaten Lombok Tengah (NTB) ini dilakukan dengan berbagai metode. Metode pertama adalah kajian literatur yaitu mengkaji dokumen dan literatur yang berkaitan dengan program ACCESS di kedua kabupaten tersebut, dan dokumen-dokumen tentang kabupaten dan desa-desa ini yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan Lembaga Swadaya Masyarakatnya.

Page 18: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

6

Metode kedua, melalui workshop multi-stakeholder yang bertema ”Menilai Peluang dan Tantangan Pengembangan Kepemimpinan Perempuan” yang diselenggarakan di Mataram (NTB) pada tanggal 5-6 Oktober 2009 dan di Jeneponto (Sulsel) pada 13-14 Oktober 2009. Kedua workshop ini sebagian besar dihadiri oleh pemimpin perempuan komunitas. Dalam workshop ini mereka diminta untuk berbagi cerita tentang keberhasilan-keberhasilan yang telah mereka capai dalam mengembangkan partisipasi dan kepemimpinan mereka didalam keluarga, maupun di komunitas.

Metode ketiga adalah wawancara mendalam yang dilakukan terhadap para pemimpin perempuan komunitas yang paling menonjol dan telah berhasil melakukan kegiatan-kegiatan yang berguna untuk komunitas mereka. Wawancara mendalam ini dilakukan secara imformal dan santai di rumah mereka masing-masing sehingga data dan informasinya dapat diperoleh lebih mendalam. Metode ketiga ini kemudian disempurnakan dengan metode keempat, yaitu pengamatan lapangan yang berguna untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam bagaimana para pemimpin perempuan ini melakukan aktifitas mereka sehari-hari baik di dalam keluarga maupun di komunitasnya.

Bangkitnya Perempuan untuk Bersuara dan Mandiri: Profil Pemimpin Perempuan Komunitas di Jeneponto (Sulsel) dan Lombok Tengah (NTB)

Modalitas dan Proses Menjadi Pemimpin Perempuan di Komunitas

Bagi perempuan di Jeneponto dan Lombok Tengah, menjadi pemimpin di komunitas bukanlah satu proses yang mudah, jika tidak ingin dikatakan merupakan proses yang sulit dan berliku. Apalagi di kedua kabupaten ini sebagaimana telah digambarkan di atas masih sangat kuat berlaku nilai-nilai adat dan agama yang lebih mengutamakan kepemimpinan laki-laki. Mereka harus berjuang mulai dari mendapatkan restu dari suami dan keluarga untuk berkegiatan diluar rumah sampai harus membuktikan ke masyarakat bahwa mereka memiliki kualitas sama dengan laki-laki. Kebeterimaan suami, keluarga, dan masyarakat menjadi syarat utama bagi perempuan di komunitas untuk melangkah dan membangun kepemimpinannya di tingkat komunitas dan publik.

Namun jika ditelusuri lebih mendalam, ke-6 pemimpin perempuan yang diprofil ini sebenarnya sudah memiliki modalitas untuk menjadi pemimpin dalam konteks masyarakatnya sebelum disentuh oleh berbagai program yang datang ke desa mereka. Mereka bukanlah “perempuan biasa” dan pada umumnya. Tingkat pendidikan mereka lebih tinggi dari masyarakat di tempat tinggalnya. Misalnya, Kasmawati yang berasal dari Desa Arung Keke, Jeneponto, meskipun hanya tamatan SMP, tetapi tetap pendidikannya paling tinggi dibandingkan perempuan-perempuan seusianya. Demikian juga dengan Rosdiana, dari Desa Jenetalassa yang lulusan D2, juga Rina dan Hera dari Desa Garasikang dan Saminda yang merupakan lulusan perguruan tinggi. Tingginya pendidikan mereka merupakan prestasi dan pencapaian yang luar biasa mengingat masih rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka buta huruf di masyarakat mereka. Selain itu, hasil wawancara menunjukkan mereka juga berasal dari keluarga terpandang dan memiliki posisi seperti kepala desa dan keturunan bangsawan. Dalam konteks Jeneponto dan Lombok Tengah yang masih memegang kuat nilai-nilai

Page 19: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

7

feodalisme, latar belakang keluarga merupakan modalitas bagi pemimpin perempuan tersebut untuk terlibat dalam program-program yang masuk ke desa mereka, termasuk program ACCESS, sebagaimana diakui oleh Mia Sam, fasilitator Desa Bulusibatang, Jeneponto, sebagai berikut:

“ “Jujur saya terpilih jadi fasilitator desa ya memang karena masyarakat memandang latar belakang keluargaku yaitu bapakku adalah tokoh masyarakat dan pernah menjabat sebagai kepala desa” (Mia Sam, Wawancara 18 Oktober 2009)

Para pemimpin perempuan tersebut umumnya memulai karirnya sebagai TPD (Tim Pelaksana Desa) yang bertanggung jawab mengelola program-progam yang sudah diusulkan dan disepakati oleh masyarakat. Agenda-agenda yang biasanya menjadi program bersama tersebut adalah pelatihan-pelatihan dan pengembangan ekonomi masyarakat. Implementasi kegiatan ditandai dengan terbentuknya LED (Lembaga Ekonomi Desa). Mereka juga mendapatkan penguatan kapasitas melalui berbagai macam training, diantaranya training pengembangan usaha rumahan berbasis lokal seperti pembuatan dodol rumput laut, pembuatan gula merah, pelatihan pembibitan rumput laut, training pembukuan, training managemen kerumahtanggaan, training kepemimpinan perempuan, dan training gender. Melalui berbagai kegiatan ini mereka terus membangun kapasitas mereka untuk berpartisipasi dan memimpin proses-proses pembuatan keputusan di keluarga dan komunitas mereka.

Profil Pemimpin Perempuan Komunitas: Gambaran Perjuangan Perempuan

Profil ke-6 pemimpin perempuan yang berhasil disusun dalam tulisan ini adalah profil pejuang perempuan yang tabah dan berani. Mereka yang awalnya ragu dan tak percaya diri menjelma menjadi perempuan yang berani mengambil resiko dan siap bekerja untuk keluarga dan komunitasnya tanpa pamrih. Berikut ini adalah profil mereka.

Page 20: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

8

Irdha Sewang

Pejuang Perempuan Melawan Pernikahan Dini

“ “Sebelum tahun 2003, saya adalah orang yang terpinggirkan di desa. Saya tidak kenal kepala desa sendiri, bahkan tidak pernah menginjak Kantor Kepala Desa. Namun keterlibatan saya dalam kegiatan Jarpuk di Desa Bontomanae yang bekerjasama dengan ACCESS, membuat saya berubah. Sekarang saya sudah tidak takut lagi datang ke kantor lurah, karena kantor itu milik bersama, milik masyarakat. Pendamping mengatakan kalau saya punya keluhan silahkan ungkapkan disini.” (Irdha Sewang, wawancara Oktober 2009)

Irdha Sewang adalah seorang pemimpin di Desa Bontomanae, Kabupaten Jepenponto. Saat ini dia memegang beberapa jabatan, yaitu tim perencana dan pelaksana KSM, bendahara LED, dan fasilitator pendukung Jalindo. Berbagai

aktifitas yang ditekuninya saat ini tidak terlepas dari kontribusi program ACCESS. Irdha mulai terlibat aktif di berbagai kegiatan desa setelah menjadi peserta FGD (Focus Group Discussion) yang diselenggarakan dan difasilitasi oleh Jarpuk (Jaringan Perempuan Usaha Kecil) yang bekerjasama dengan ACCESS. Kegiatan yang diselenggarakan pada akhir tahun 2003 tersebut bertujuan memetakan situasi desa, menggali kebutuhan masyarakat, dan potensi yang dimiliki desa tersebut. Setelah pertemuan itu, ACCESS menindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan untuk merancang kegiatan yang bisa dilakukan bersama dengan masyarakat. Irdha pun terlibat aktif dalam setiap pertemuan. Karena keaktifannya inilah, perempuan berusia 26 tahun ini terpilih sebagai tim perencana dan pelaksana desa (fasilitator desa) yang bertugas melaksanakan kegiatan yang sudah disusun bersama masyarakat, seperti membangun usaha produktif, pembuatan kue, pengolahan rumput laut, dan ternak kambing.

Sebelum aktif berkegiatan dalam program-program yang masuk ke desanya tersebut, Irdha sudah berjuang melawan pernikahan dini yang banyak terjadi di desanya. Anak-anak perempuan di desanya sudah dipaksa menikah pada usia 13-15 tahun karena dianggap beban keluarga, terutama bagi keluarga miskin. Dengan menikahkan anak perempuan mereka pada usia kanak-kanak, para orang tua merasa beban mereka terkurangi sekaligus mendapatkan kebanggaan karena anak mereka sudah “laku” dan tidak dianggap perawan tua. Kakak, adik, dan para sepupu Irdha mengalami pernikahan dini ini. Irda sendiri hampir mengalaminya, ia berkali-kali dijodohkan oleh

Page 21: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

9

orang tuanya. Tapi untunglah ia terus menolak karena ingin melanjutkan sekolahnya. Semangat Irdha yang kuat ini dibuktikannya dengan ikut saudara jauhnya yang kebetulan menjadi camat (sekarang menjadi wakil Bupati Bantaeng) untuk melanjutkan sekolah sampai akhirnya lulus SMA. Pengalaman hidupnya itu menjadi motivasi bagi Irdha untuk melakukan perubahan di masyarakatnya termasuk menghilangkan praktek pernikahan dini di lingkungannya. Sayangnya, usahanya ini belum berhasil dan masih mendapatkan tantangan dari masyarakat. Bahkan, pada bulan Oktober 2009 ini saja, sepupu Irdha dinikahkan pada usia 14 tahun dengan pria yang berumur sama juga. Menurut Irdha pernikahan dini ini terus terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Padahal di sisi lain, kebiasaan menikahkan anak pada usia dini secara nyata justru menyumbang pada tingginya angka buta huruf perempuan di desanya. Ini merupakan siklus kemiskinan yang tak pernah terpotong.

Semangat belajar Irdha tidak pernah padam bahkan terus menyala. Ia aktif dalam berbagai kegiatan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi atau LSM yang bekerja di desanya. Akibatnya, kapasitas dan kepemimpinannya terus berkembang, yang pada gilirannya membuat kepercayaan masyarakat kepada dirinya semakin bertambah. Bahkan ketika pembentukan LED (Lembaga Ekonomi Desa) Sipanekang yang menaungi 12 KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), Irdha terpilih sebagai bendaharanya.

Kepemimpinan Irdha terus berkembang, dia dipercaya menjadi fasilitator pendukung lembaga Jalindo. Posisi yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh dirinya, seperti ungkapannya berikut ini:

“ “…Karena saya punya keinginan untuk belajar dan juga berkat keberanian saya, maka saya sekarang dipercayakan untuk menjadi fasilitator Jalindo sebagai fasilitator pendukung. Posisi yang tidak pernah terbayangkan oleh saya di mana sebelumnya saya cuma warga biasa yang bahkan tidak berani masuk ke Kantor Kepala Desa”. (Irdha Sewang, Wawancara Oktober 2009)

Keterlibatan Irdha di berbagai kegiatan ACCESS, tidak hanya membawa perubahan dalam dirinya, tapi juga perannya di komunitas. Saat ini, bahkan Irdha dipercaya masyarakat di sekitarnya untuk mengurus berbagai hal termasuk mengurus KTP dan Jamkesmas, karena masyarakat enggan untuk masuk ke kantor desa. Menurut Irdha, hal yang paling mengharukan ketika ada warga yang masuk rumah sakit dan tidak kuat membayar, dia dimintai bantuannya untuk mengurus surat Askeskin karena Irdha dianggap orang yang sudah biasa masuk ke kantor kelurahan dan kecamatan.

Page 22: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

10

Rosdiana

Saatnya Perempuan Bicara

“”Masyarakat tidak ada yang berani mengkritisi kepala desa, cuma saya saja yang berani. Saya tidak takut sama kepala desa, meskipun kepala desanya adalah sepupu sendiri” (Rosdiana, wawancara 15 Oktober 2009)

Rosdiana atau biasa dipanggil Diana adalah sosok pemimpin yang berani. Pada saat lulus SMA pada tahun 1993, dia adalah satu-satunya perempuan di desa Jenetallasa (Jeneponto, Sulsel) yang berhasil menyelesaikan pendidikan SMA.

Diana menikah pada usia 18 tahun, usia yang sudah cukup matang bagi masyarakat yang biasanya menikahkan anak-anak perempuannya pada usia dini. Sebelum mengenal ACCESS, ibu dua anak ini sudah aktif sebagai kader dan pengurus desa, seperti di PKK, Puskemas Desa, melakukan pendataan warga miskin, mendistribusikan raskin (beras miskin), dan JPS (Jaring Pengaman Sosial).

Ketika program ACCESS masuk di desanya pada tahun 2004 dan memberikan bantuan penyediaan air bersih dengan cara mengebor, Diana dipilih oleh warga sebagai pengurus KPA (Kelompok Pengelola Air Bersih) selama periode 2004-2009. Tugasnya adalah menagih uang iuran pemeliharaan air kepada masyarakat dan bertanggung jawab terhadap kerusakan sarana dan prasarana penyediaan air. Sarana yang dimaksud adalah pipa yang menyalurkan air dari sumber air ke bak-bak penampungan yang ada di desanya. Setiap 1 bak air digunakan untuk 20 kepala keluarga. Uang iuran dari warga sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) ini dikelola oleh KPA untuk digunakan sebagai biaya perbaikan alat jika ada kerusakan dan dapat dipinjam oleh masyarakat jika ada yang membutuhkan. Diana juga mengusulkan agar KPA juga mengelola jasa mengkoordinir pembayaran listrik masyarakat. Sebelumnya pembayaran listrik masyarakat dikelola oleh seorang warga yang juga bekerja sebagai PNS dan uang jasa yang diberikan masyarakat dimanfaatkannya untuk pribadi. Usulan tersebut menimbulkan ketidaksenangan yang mengantarkan Diana merasakan dinginnya jeruji tahanan selama 2 hari karena dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menghasut warga.

Keberanian dan kepercayaan diri Diana semakin meningkat setelah mengikuti berbagai pelatihan seperti pelatihan pemetaan masalah desa, persoalan perempuan

Page 23: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

11

(KDRT), trafiking, dan kekerasan terhadap anak. Untuk meningkatkan kemampuan/keahliannya, Diana mengikuti training managemen rumah tangga, pembukuan, membuat produk rumah tangga seperti pembuatan gula merah, dan sebagainya. Tidak berhenti disitu saja, Diana juga meneruskan pendidikannya sampai lulus D2 bidang keagamaan. Seluruh kemampuan dan potensinya tersebut mendorongnya terlibat aktif dalam berbagai kegiatan di desanya baik dalam program ACCESS maupun kegiatan yang diinisiasinya sendiri. Saat ini, Diana juga menjadi fasilitator pendamping di AKUEPb (Aliansi Koperasi Usaha Ekonomi Produktif), Ketua Koperasi Tambung Batua, Ketua Koperasi pengelola handtractor dan terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa atau yang lebih dikenal dengan Musrenbangdes.

Selain kesibukannya sebagai guru SD, Diana mendirikan TK di kolong rumahnya yang diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu yang dibiayainya sendiri. Namun sayangnya usaha ini tidak mendapat dukungan baik dari pemerintah setempat maupun dari masyarakat yang masih kurang kesadarannya akan arti penting pendidikan. Akhirnya TK tersebut ditutup karena tidak sanggup menggaji guru.

Potensi kepemimpinan Diana semakin terlihat dari berbagai usulannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang dan kepentingan kelompok miskin dan marginal. Contohnya adalah usulannya untuk mengubah dana hibah dari program kerjasama Dinas Koperasi dan ACCESS sebesar 60 juta menjadi dana bergulir yang dikelola secara berkelompok sehingga lebih banyak orang yang dapat memanfaatkannya. Namun usulan ini tidak disetujui oleh Kepala Desa dan Kepala Dinas sehingga dana tersebut tetap berupa dana hibah.

“”Sebenarnya pernah ada bantuan modal sebesar 60 juta yang berasal dari program kerjasama Dinas Perkoperasian dan ACCESS. Bantuan modal itu adalah dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Saya mengusulkan agar dana tersebut dijadikan dana bergulir sehingga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Namun usulan tersebut tidak disetujui oleh kepala desa. Dan juga kepala dinas tetap menyatakan uang tersebut adalah dana hibah”. (Rosdiana, wawancara 15 Oktober 2009)

Selain bantuan modal seperti di atas, warga Desa Jennetalasa juga mendapat bantuan dari Dinas Pertanian berupa sempuracung (penyemprot peptisida), bibit jagung kuning, pompa air, dan handtractor sebanyak 1 buah. Namun bantuan handtractor itu belum bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena diserahkan kepada kepala desa. Pada penyerahan tahap pertama pada tahun 2006, handtractor tersebut dijual oleh kepala desa untuk kepentingannya sendiri. Trauma dengan peristiwa tersebut, Diana bersikeras agar bantuan handtractor tahap kedua dikelola langsung oleh masyara-kat sendiri. Berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan dari masyarakat, handtrac-tor tersebut disimpan di rumah Diana. Setelah 3 hari, kepala desa bersama pengawal dan premannya datang ke rumah Diana dan mengambil handtractor tersebut dengan paksa ketika rumah dalam keadaan sepi. Diana kemudian melaporkan kepala desanya ke kantor polisi dengan tuduhan perampasan barang milik masyarakat secara paksa. Akhirnya, handtractor itu ditaruh di kantor Dinas Pertanian sampai sekarang agar tidak

Page 24: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

12

dirampas oleh kepala desa. Kepala desa pernah beberapa kali mencoba mengambil handtractor tersebut di kantor Dinas Pertanian, namun tidak pernah berhasil karena ia tidak membawa surat kuasa dari Diana. Budaya korupsi para pejabat desa semacam ini menurut Diana yang membuat masyarakat Desa Jenetallasa semakin miskin. Namun masyarakat tidak berani mengkritisinya karena kuatir berkonflik dengan kepala desa yang nantinya akan mempersulit mereka jika mereka hendak mengurus masalah ad-ministrasi atau mendapatkan bantuan. Tetapi Diana tidak pernah takut sebagaimana diungkapkannya:

“”Kalau saya tidak perlu takut, karena kalau saya dipersulit maka saya akan langsung ke kecamatan dan ke kabupaten karena saya sudah kenal banyak dengan staff di kecamatan dan kabupaten. Bahkan staff-staff di kecamatan dan kabupaten itu lebih kenal saya dari pada kepala desa”. (Rosdiana, wawancara 15 Oktober 2009)

Diana juga terlibat dalam musyawarah-musyawarah desa. Ia banyak menyampaikan usulan-usulan termasuk penyediaan WC di desanya. Sayangnya usulan Diana ini belum diperhatikan secara serius karena kepala desa masih menganggap drainase lebih penting dibandingkan WC walaupun tidak ada satu rumah di Desa Jenetallasa mempunyai WC. Menurut Diana, usulan-usulannya kerap diabaikan karena yang cenderung didengar dalam musyawarah-musyawarah desa adalah orang-orang yang dekat dengan para pengambil keputusan. Memang dalam kegiatan Musrenbangdes sudah banyak perempuan yang terlibat, namun usulan yang diajukan perempuan hanya sampai tingkat kecamatan dan itu pun umumnya tidak terealisasi.

Diana terus membuktikan keberadaan dirinya dalam dunia publik. Pada Pemilu tahun 2009 kemarin, dia memberanikan diri menjadi Calon Legislatif (Caleg). Walaupun suara yang diperolehnya tidak terlalu besar, tetapi tetap membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat atas kepemimpinannya terus bertambah. Namun seperti kata pepatah “semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin menerpanya”, begitu pula yang dialami oleh Rosdiana. Ia sering dibicarakan dan dicurigai oleh para tetangganya. Misalnya saat menghadiri lokakarya tentang persoalan perempuan di Bali pada tahun 2007, Diana dituduh mencari pacar sehingga ia dipukul oleh suaminya yang percaya pada berita tersebut. Namun ia berhasil membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar dengan cara memanggil seluruh teman-temannya yang ikut kegiatan di Bali tersebut untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Sejak saat itu, ia selalu mensosialisasikan hasil setiap pelatihan dan pertemuan yang dikutinya kepada suami dan keluarganya agar ia mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari mereka semua.

Keaktifan Diana dalam berbagai kegiatan tersebut pada tingkat tertentu telah meningkatkan pendapatan ekonomi keluarganya. Pendapatan Diana dan suaminya, rata-rata setiap harinya adalah 50 ribu yang diperolehnya dari dari hasil usaha dagang dan menyewakan mobilnya. Mobil itu dibelinya secara kredit yang ia peroleh dengan mudah karena keaktifannya dalam masyarakat.

Page 25: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

13

Rahmia Sam

Mewarisi Ketokohan Orang Tuanya

“ “Jujur, saya terpilih jadi fasilitator desa ya memang karena masyarakat memandang latar belakang keluarga saya. Bapak saya adalah tokoh masyarakat dan pernah menjabat sebagai Kepala Desa Bulusibatang dan juga tim suksesnya Bupati Radja Milo pada Pilkada tahun 2008.” (Rahmia Sam, Wawancara Oktober 2009)

Rahmia Sam adalah seorang fasilitator di Desa Bulusibatang, Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Keluarga Mia, panggilan akrabnya, sudah terlibat aktif di masyarakat bahkan punya posisi dalam pemerintahan desa. Latar belakang

keluarganya ini, menginspirasi Mia untuk melakukan perubahan di komunitasnya. Mia termasuk perempuan yang berpendidikan tinggi, lulusan D3 Administrasi Negara, Universitas Hasanuddin.

Perkenalannya dengan ACCESS dimulai pada tahun 2003, ketika ACCESS masuk ke desanya, Bulusibatang, bekerjasama dengan LIPKEM (Lembaga Informasi Pengembangan Kesehatan dan Ekonomi Masyarakat). Namun pada tahun tersebut, perempuan berusia 26 tahun ini belum benar-benar terlibat karena masih sekolah. Mia baru terlibat aktif dalam program ACCESS yang bekerjasama dengan Mitra Turatea pada tahun 2007. Pada awal keterlibatannya, Mia dipilih menjadi salah satu fasilitator desa bersama 2 fasilitator lainnya. Ketentuan pemilihan fasilitator terdiri dari 1 orang laki-laki, 2 orang perempuan. Terpilihnya Mia menjadi fasilitator desa tidak terlepas dari latar belakang keluarganya sebagai orang terpandang di desanya. Ayah Mia adalah mantan Kepala Desa Bulusibatang, dan pada Pilkada Bupati pada tahun 2008, ayahnya menjadi tim sukses Bupati terpilih saat ini, Radja Milo. Kakek Mia juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Bulusibatang. Saat ini jabatan Kepala Desa di desanya dipegang oleh sepupunya.

Bersama para fasilitator di desa lainnya yang terpilih, Mia mendapat training pendataan tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga pelatihan pembuatan peta. Training ini disebut sebagai pelatihan CLAPP yang dilakukan secara bertahap. Setiap training dihadiri oleh fasilitator dari 10 desa sehingga jumlah total seluruhnya ada 30 peserta. Mia merupakan alumni CLAPP ke-3 yang diselenggarakan pada tahun 2007. Setelah pelatihan, dilakukan pemetaan dan menggali pontensi desa, hasilnya digunakan oleh Pemda bersama ACCESS untuk memilih desa-desa yang akan mendapatkan crash program. Kriteria desa yang mendapat crash programc adalah desa yang miskin. Untuk menjalankan program ini, para fasilitator dilatih cara membuat perencanaan desa. Meskipun Desa Bulusibatang tidak mendapatkan crash program karena dianggap sebagai desa makmur, Mia tetap aktif terlibat dalam program-program ACCESS.

Page 26: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

14

Setelah mengikuti berbagai training, Mia tumbuh menjadi pribadi yang berani dan percaya diri sebagaimana diungkapkannya:

“ “Dahulu saya canggung berhadapan atau tampil di depan umum. Sekarang sekarang saya berani bicara dan mengeluarkan pendapat di depan umum. Ini adalah perubahan dan capaian yang sangat luar biasa buat diri saya…” (Rahmia Sam, wawancara Oktober 2009)

Kepercayaan diri yang meningkat disertai bertambahnya pengetahuan dan kapasitas membuatnya Mia semakin dipercaya oleh masyarakat. Ia ditunjuk sebagai pengurus di beberapa organisasi.

“ “…masyarakat semakin percaya kepada saya sehingga saya pun mengalami kenaikan posisi. Misalnya di UPK PNPM-MP, yang tadinya saya sebagai sekretaris sekarang berubah jadi bendahara. Begitu pun di lembaga lain, yang biasanya hanya jadi peserta dan tenaga fasdes (fasilitator desa), sekarang saya duduk di deretan penggerak dan inisiator kegiatan dari lembaga tersebut. Saya juga dipercaya bergabung dengan salah satu NGO (Non Government Organization) yakni AKUEP yang didanai oleh ACCESS bekerjasama dengan pihak Pemda Jeneponto. Organisasi ini adalah kumpulan KSM-KSM yang dikelola oleh perempuan dan bertujuan meningkatkan sumber daya dan kemampuan berfikir dan pergerakan bagi perempuan”. (Rahmia Sam, wawancara Oktober 2009)

Seperti pemimpin perempuan lainnya, Mia juga mengalami banyak hambatan dalam menjalankan kegiatannya, antara lain jarak desanya yang sangat jauh dari pusat kota. Jalan-jalan yang harus dilaluinya banyak yang rusak parah dan tidak ada penerangan lampu sehingga sangat gelap di malam hari. Hambatan lainnya adalah kecurigaan dari masyarakat karena perempuan masih dianggap tabu jika banyak beraktifitas di luar rumah. Namun di tengah keterbatasan itu, Mia tetap semangat berorganisasi.

“ “Namun tantangan itu saya anggap sebagai angin lalu karena jika saya mendengarkan kata orang saya tidak akan berkembang, dan saya juga mencoba untuk faham bahwa mereka belum faham apa yang sedang saya lakukan”

Dalam hal kepemimpinan, Mia berpendapat perempuan harus bisa menjadi pemimpin. Seorang pemimpin itu tidak dilihat dari jenis kelaminnya tapi dari kemampuannya dalam mengkoordinir masyarakat. Namun Mia masih berpendapat bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak boleh atau tidak pantas dipimpin perempuan, misalnya di dalam agama dan keluarga. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin sholat dan pemimpin keluarga sekalipun pendapatannya lebih tinggi dari suaminya. Menurutnya hal ini merupakan nilai dan adat orang Makasar yang tidak mungkin diubah.

Page 27: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

15

Irma, SE

Saatnya Perempuan Menjadi Kepala Desa

“ “Saya diminta dan dibujuk oleh keluarga besar untuk menggantikan bapak sebagai kepala desa, keluarga bilang kalau bukan kamu siapa lagi. Mungkin jika masih boleh, bapak yang akan kembali menjadi kepala desa, cuma tidak bisa karena bapak sudah 2 periode”. (Irma, SE, wawancara Oktober 2009)

Perempuan yang lahir di Desa Bisanti, Kecamatan Rumbia, pada 20 Desember 1983 ini menjabat sebagai Kepala Desa Bontocini, kabupaten Jeneponto, Sulsel, sejak tahun 2008. Irma, yang lulus sebagai Sarjana Ekonomi Akutansi,

Universitas Teknologi Yogyakarta ini terpilih menggantikan ayahnya yang sudah 2 kali periode menjabat sebagai kepala desa. Awalnya, dia merasa enggan untuk ikut pemilihan, namun karena dukungan keluarga dan para fasilitator yang mendampingi Desa Bontocini, dia bersedia ikut dalam pemilihan kepala desa.

Sebelum terlibat dalam program-program ACCESS, Irma mengatakan bahwa dirinya adalah perempuan yang belum tahu apa-apa dan tidak mau (cuek) terlibat dalam pembangunan desa. Irma mulai mengikuti kegiatan ACCESS awal tahun 2007, ketika ACCESS berkegiatan di Desa Bontocini. Pada saat ada pemilihan 3 fasilitator desa, Irma ditunjuk oleh masyarakat sebagai salah satu fasilitator yang mewakili Desa Bontocini. Para fasilitator desa ini kemudian dilatih cara melakukan pemetaan dan membuat peringkat kesejahteraan. Setelah pelatihan, para fasilitator turun ke lapangan untuk membuat peta desa dan peringkat kesejahteraan masyarakat. Sikap tidak mau tahu yang sebelumnya dimiliki Irma seketika berubah menjadi rasa miris dan kasihan karena kondisi masyarakat di desanya sangat memprihatinkan. Pada saat itulah Irma menjadi terbuka dan termotivasi untuk terlibat dalam kegiatan desa supaya ada perubahan yang lebih baik bagi masyarakatnya.

Hasil pembuatan peta dan peringkat kesejahteraan Desa Bontocini yang dilakukan oleh Irma dan fasilitator desa lainnya digunakan sebagai dasar penyusunan perencanaan RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). Hasil dari perencanaan tersebut menjadi dasar penentuan dilaksanakannya Crash Program di desa Bonticini. Crash Program ini diberikan pada Desa Bonticini karena dianggap sebagai desa yang sangat tertinggal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

Setelah itu, karir Irma semakin meningkat, masyarakat Bontocini memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjabat sebagai Bendahara TPK Desa Bontocini

Page 28: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

16

pada PNPM, LDK pada PNPM Fisio, mengikuti pelatihan BPS (Badan Pusat Statistik), menjadi PPS (Panitia Pemungutan Suara). Puncak prestasinya adalah menjadi Kepala Desa Bontocini. Namun perjuangan Irma untuk menjadi kepala desa tidaklah mudah. Pada saat mencalonkan diri sampai dilantik menjadi Kepala Desa Bontocini banyak mendapat cibiran terutama dari masyarakat yang menjadi lawan politiknya. Bagi mereka, perempuan hanyalah kaum lemah yang tidak mampu menjadi pemimpin apalagi dirinya masih muda. Namun berkat dorongan dan motivasi yang diberikan oleh orang tua, teman-temannya, dan sebagian masyarakat Bontocini, Irma melalui semuanya dengan penuh kepercayaan diri. Sikap demokratis yang dijunjung keluarganya juga memberikan kemandirian dalam dirinya.

Page 29: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

17

Nurul Hidayah

Tekad Bulat, Membuat Sejarah Berbeda

“ “Saya hampir tidak melanjutkan sekolah ke SMU. Ayah saya tidak mengizinkan saya untuk melanjutkan sekolah. Selain karena tidak ada biaya juga karena masih kuatnya anggapan bahwa perempuan nantinya hanya akan mengurus rumah tangga saja. Namun saya ingin sekali sekolah dan saya nekad mendaftar sekolah sendiri tanpa diketahui orang tua, baru ketika diterima, saya ngomong sama orang tua. Akhirnya orang tua saya mengizinkan saya sekolah” (Nurul Hidayah, wawancara Oktober 2009)

Nurul Hidayah, perempuan berusia 26 tahun ini adalah fasilitator desa program ACCESS di Desa Sandik, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Ungkapan Nurul di atas menggambarkan betapa sulitnya perempuan

mendapatkan pendidikan yang tentunya akan sangat berpengaruh pada kepemimpinan perempuan. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Sandik dapat dikatakan rendah karena mayoritas masyarakatnya bersekolah hanya sampai tingkat SD dan banyak diantaranya putus sekolah. Bahkan di Dusun Armanis, tempat tinggal Nurul, sampai saat ini belum ada warganya yang kuliah. Salah satu penyebabnya adalah kemiskinan. Masyarakat Desa Sandik umumnya bekerja sebagai petani dan sebagai buruh migran (TKI) di Malaysia dan Arab Saudi. Para perempuannya mayoritas bekerja sebagai pengusaha kecil industri rumahan, petani, dan PRT (Pekerja Rumah Tangga) baik di daerah sekitar maupun di luar negeri, seperti ke Arab Saudi dan Malaysia. Dalam kondisi ini tentu perjuangan Nurul untuk melanjutkan sekolahnya sangat berat. Namun karena tekadnya yang kuat, dia berhasil menamatkan studinya sampai SMU. Dia telah membuat sejarah yang berbeda di antara perempuan-perempuan yang ada di desanya.

Perkenalan Nurul dengan ACCESS, dimulai pada tahun 2005, ketika Koperasi Harmonis Sandik bekerjasama dengan ACCESS menyelenggarakan pertemuan penjajakan untuk membuat peta desa, menggali kebutuhan masyarakat, dan potensi Desa Sandik. Koperasi Harmonis Sandik sudah ada di desanya sejak tahun 1995 yang melayani masyarakat sampai tingkat Kecamatan Batu Layar, dampingan PPK Mataram. Dalam pertemuan penjajakan tersebut Nurul hadir mewakili ibunya yang merupakan anggota Koperasi Harmonis Sandik. Kebetulan ibunya sedang sibuk sebagai pedagang beras. Hasil pertemuan tersebut akan dijadikan dasar bagi program-program yang akan dikoordinir oleh TPD (Tim Pelaksana Desa). Karena keaktifan dan pendidikannya yang cukup tinggi, Nurul terpilih sebagai wakil bendahara TPD (Tim Pelaksana Desa).

Page 30: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

18

Program-program yang dilaksanakan akhirnya adalah pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat desa (ekonomi kreatif) seperti pelatihan menjahit, managemen pembukuan, wiraswasta, pembuatan VCO (Virgin Coconut Oil), pelatihan pertanian organik, dan mengelola dana bergulir. Dana bergulir ini tidak boleh dikelola oleh Koperasi Harmonis Sandik tapi harus dikelola dan diberikan kepada masyarakat Desa Sandik. Alasan pemberian dana ini karena banyak masyarakat yang berhutang pada rentenir yang dikenal sebagai “bank subuh”. Nama ini diberikan masyarakat karena para rentenir menagih pembayaran pada saat subuh, ketika masyarakat baru bangun dari tidur. “Ketika masyarakat bangun dan membuka mata, sudah dihadapkan pada hutang”, ungkap Nurul untuk menunjukan kekesalan dan menggambarkan betapa tertekannya masyarakat yang berhutang pada rentenir-rentenir itu.

Dengan modal awal yang diberikan ACCESS sebesar Rp.22.500.000, pada tahun 2005, dibentuklah LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Jabatan Nurul berubah menjadi bendahara LKM. Pada tahun 2006, LKM berubah menjadi koperasi namun belum berbadan hukum karena persyaratannya harus beroperasi selama 1-2 tahun. Nurul menjabat sebagai Ketua Koperasi menggantikan ketuanya yang mengundurkan diri karena menjadi staff desa. Koperasi tersebut diberi nama Koperasi Wanita Al-Ukhtina karena anggotanya 95% adalah perempuan. Pada September 2008, koperasi ini telah berbadan hukum. Dana yang semula 22.500.000 kini, per Agustus 2009, telah berkembang menjadi Rp. 40.480.200 (empat puluh juta empat ratus delapan puluh ribu dua ratus) rupiah. Selain melayani simpan pinjam, kegiatan koperasi lainnya adalah pengembangan home industry seperti pembuatan kripik singkong, kripik pisang, kue khas Lombok yaitu kue bawang dan kuping gajah. Menurut Nurul, tidak ada pertemuan rutin dalam kelompoknya karena umumnya anggota sibuk bekerja sebagai petani dan menjual dagangannya ke pasar sehingga sulit untuk mencari waktu luang.

Saat ini, Nurul merasa sudah bisa menjadi motivator bagi teman-temannya di desa, termasuk mencarikan peluang pekerjaan untuk mereka seperti pekerjaan di salon, kursus menjahit, dan menjadi tutor KF (Keaksaraan Fungsional). Awalnya banyak gadis di desanya tidak memiliki kepercayaan diri dan keinginan untuk maju, namun Nurul terus memberikan motivasi bahwa mereka mampu dan tidak boleh menyerah pada keadaan. Untuk lebih memperkuat dirinya, Nurul juga terlibat dalam beberapa organisasi seperti SP (Solidaritas Perempuan) dan JMS (Jaringan Masyarakat Sipil), aktif di Pengawas Forum Pengusaha Perempuan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) bagian pemberdayaan perempuan, dan terlibat di Community Centre (CC). Awal keterlibatan Nurul di CC ketika SP membuat pelatihan dan mengundang mitra-mitra ACCESS, termasuk pengurus Koperasi Wanita Harmonis Sandik yang kemudian merekomendasikan Nurul untuk ikut pelatihan CC. Dalam pelatihan ini, peserta dilatih cara menerima pengaduan KDRT, pelayanan puskesmas bagi koban KDRT, dan diajarkan menyelesaikan kasus-kasus KDRT. Sejak saat itulah dia selalu aktif dalam pertemuan-pertemuan CC di kecamatan lain karena di desanya belum terbentuk.

Selain itu, ia pernah juga mendapatkan pelatihan gender dan aktif mensosialisasikan isu gender ini ke para anggota melalui diskusi-diskusi informal. Sosialisasi yang dilakukannya ini, menurut Nurul, pada tingkat tertenti telah mendorong terjadinya perubahan di desanya terutama dalam hal hubungan kekuasaan laki-laki dan

Page 31: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

19

perempuan. Misalnya beberapa laki-laki yang ada di desanya sudah mulai mau melakukan pekerjaan rumah tangga yang dahulu dianggap tabu. Sekarang perempuan boleh ke kuburan, yang dahulu ditabukan. Ini akibat datangnya dua orang tuan guru ke desanya, berceramah tentang tidak benar perempuan tabu pergi ke kuburan. Perempuan masuk hotel juga sudah tidak ada masalah lagi. Dahulu perempuan yang masuk hotel dianggap perempuan nakal karena hotel dianggap sebagai tempat mesum. Sosialisasi Nurul membuat masyarakat paham bahwa hotel tidaklah sejelek yang mereka anggap selama ini. Setelah ada training gender, motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya juga semakin besar. Jika motivasi ini terus dibangun diharapkan jumlah anak perempuan yang menikah dini akan semakin menurun.

Nurul juga terlibat dalam Musrenbangdes yang masih didominasi oleh laki-laki. Menurut Nurul, agenda-agenda yang diusulkan oleh perempuan masih sebatas ketrampilan dan kesehatan, khususnya kesehatan anak dan perbaikan ekonomi. Nurul mengharapkan kedepannya perempuan mampu menganalisis seluruh peluang dan tantangan yang dihadapinya sehingga mampu menyusun agenda-agenda yang benar-benar strategis bagi pencapaian keadilan gender di desanya.

Page 32: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

20

Sri Rismawati

Fasilitator Desa yang Tangguh

“”Metode yang saya dapatkan di training, saya terapkan di kelompok-kelompok yang saya fasilitasi. Misalnya, untuk menggali ide dan perasaan anggota kelompok, saya menggunakan metode menggambar bunga. Bunga mawar yang mekar menandakan bahwa perasaan kelompok tersebut sedang bagus, sedangkan bunga mawar yang rontok/layu menandakan situasi kelompoknya sedang tidak bagus. Metode ini lebih efektif karena masih sulit meminta anggota kelompok untuk berbicara mengungkapkan perasaan atau pendapatnya secara langsung”. (Sri Rismawati, wawancara September 2009)

Sri adalah fasilitator di Desa Lantan, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Sri seorang fasilitator desa yang tangguh dan tidak mudah putus asa. Ketangguhan ini terlihat dari keberanian dan ketekunannya mengembangkan Koperasi Milih

Maju. Setiap hari, dia harus menempuh jarak yang cukup jauh mendatangi para anggota koperasi yang rumah-rumahnya berjarak 5 km dari tempat tinggalnya di Desa Tana Beak (tanah yang merah). Setiap hari, Sri menggunakan motor bebeknya, menempuh jalan yang sangat berliku dengan tanjakan-tanjakan yang sangat terjal. Bahkan ketika hamil, dia tetap aktif, yang pada akhirnya berdampak pada bayinya yang harus lahir prematur. Tetapi semua ini dilakukannya agar Koperasi “Milih Maju” berkembang.

Sri merupakan keturunan bangsawan Bali dari garis ayahnya yang bergelar gusti. Namun ayahnya memutuskan masuk Islam setelah menikah dengan ibunya yang orang asli NTB. Oleh karenanya Sri yang lahir pada tahun 12 Agustus 1984 ini bergelar Baiq (Gelar bangsawan masyarakat Islam NTB untuk anak perempuan). Kakek Sri dari pihak ibu juga merupakan tokoh dan merupakan orang yang pertama kali membuka desanya yang dahulunya masih hutan belantara. Kakek Sri juga membangun masjid yang pertama di desanya. Sekalipun punya gelar bangsawan dan berasal keluarga terhormat, Sri tidak merasa malu atau enggan melakukan pekerjaan pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan banyak pengorbanan.

Sri mulai terlibat dalam berbagai kegiatan sejak masih SMA, dengan aktif di LSM bernama PAR (Partisipasi Masyarakat di Kawasan Rinjani). Di organisasi ini dia belajar menggambar dan membuat peta desa dan mengetahui potensi-potensi yang dimiliki desa. Sri juga kader dari YKSSI yang telah melakukan pengorganisasian di Desa Lantan sejak tahun 2000. Di YKSSI, Sri adalah kader multifungsi, tepatnya kader kesehatan ibu dan anak (posyandu) dan kesehatan reproduksi remaja. Tugasnya memberikan

Page 33: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

21

penyuluhan ke masyarakat tentang gizi buruk, kesehatan ibu dan anak, serta cara menjaga organ reproduksi remaja.

Sri terlibat aktif dalam kegiatan ACCESS pada saat ACCESS bekerjasama dengan YKSSI melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat di Desa Lantan pada tahun 2004. Sri aktif mengikuti pertemuan-pertemuan yang bertujuan membuat peta desa, menggali kebutuhan masyarakat dan potensi yang ada di desa tersebut. Sri dipilih warga untuk menjadi anggota tim TPD. Tugas TPD adalah memfasilitasi, mengkoordinir, dan mengorganisir kegiatan-kegiatan, seperti ketrampilan managemen kerumahtanggaan, pelatihan pembukuan, pelatihan ketrampilan yang mengelola sumber daya yang dihasilkan desa, yaitu pisang anyaman bambu, pembuatan jamu traditional dan dodol. Selain ketrampilan, TPD juga bertugas mengelola dana bergulir. Dengan dana tersebut dibentuklah KUB (Kelompok Usaha Bersama) pada tanggal 5 Aprill 2005 dengan nama Koperasi ”Milih Maju”. Sri menjadi bendaharanya dan posisi ketua dijabat oleh Nur Jannah, mantan fasilitator desa YKSSI yang menikah dengan pemuda desa. KUB ini kemudian resmi berbadan hukum koperasi pada tanggal 20 November 2006. Di dalam koperasi ini ada 4 unit usaha kerja, yaitu unit simpan pinjam, unit hutan kemasyarakatan, unit pembangkit listrik tenaga mikro hidro, yang menjadi sumber energi utama untuk penerangan dan listrik seluruh desa Lantan, dan unit pos kesehatan dusun. Saat ini modal koperasi telah berkembang menjadi 191.000.000 rupiah dari modal awalnya sebesar 97.000.000 rupiah.

Kapasitas dan kepemimpinan Sri semakin berkembang terutama setelah ia mengikuti berbagai training yang diselenggarakan tidak hanya di sekitar desanya tetapi juga sampai keluar kota. Seperti pelatihan perkoperasian, pelatihan analisa usaha, administrasi, pembukuan, managemen, kerumahtanggaan, pelatihan home industri, pelatihan kepemimpinan dan pelatihan gender. Dari sekian banyak pelatihan yang telah diikutinya yang paling berkesan adalah pelatihan gender, meskipun hanya satu kali ia mengikutinya. Melalui pelatihan gender tersebut, Sri mengaku ia mulai sadar bahwa harus pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di rumah tangga. Selama ini ia beranggapan seluruh pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan seorang perempuan. Sekarang ia sudah menerapkan pembagian tugas dengan suaminya untuk pekerjaan-pekerjaan domestik.

“ “...sekarang saya tidak membawa anak saya lagi kalau bekerja tapi suami saya yang menjaganya di rumah. Biasanya saya bawa anak saya ke sini atau saya titip ke keluarga, tapi sekarang tidak lagi, dia yang jaga. Suami saya juga sekarang menyapu halaman, mungkin sebulan sekali saja saya nyapu halaman. Suami saya juga yang mengambil air, saya tinggal masak saja”. (Sri Rismawati, wawancara September 2009)

Pembagian tugas di wilayah domestik tersebut membuat Sri mempunyai waktu lebih banyak untuk berorganisasi dan mengembangkan koperasi. Akan tetapi menariknya, tetap saja Sri masih beranggapan bahwa keluarga adalah utama dan tugas utama perempuan adalah mengurus anak dan suami. Sri masih menganggap kegiatan dan usahanya mencari nafkah keluar rumah hanya sekedar bantuan bagi suaminya yang

Page 34: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

22

berfungsi sebagai kepala rumah tangga. Sri masih berada di persimpangan antara menjadi perempuan otonom dan perempuan yang selalu melekatkan dirinya dengan suami dan keluarga.

“”Perempuan itu kan tiang negara dan tiang keluarga. Kalau tiangnya sudah goyang maka ambruklah keluarga, misalnya kalau anaknya tidak mendapatkan perhatian dari perempuan maka otomatis anaknya bisa jadi anak yang brutal, tidak seperti anak yang dibina oleh ibunya. Sebenarnya sama antara perempuan dan laki-laki, emansipasi wanita, namun kalau untuk perempuan banyak pertimbangan-pertimbangan. Buat perempuan yang paling penting adalah mengurus rumah tangganya”

Sri mengakui bahwa kehadiran YKSSI dan ACCESS telah banyak membawa perubahan baik dalam kehidupan pribadinya maupun bagi masyarakatnya. Secara pribadi, Sri merasakan pengetahuan terhadap masalah sosial dan kemampuan berorganisasinya bertambah. Dia sudah dapat melakukan lobby ke dinas-dinas yang berkaitan dengan bidang kerjanya, dan terlibat aktif dalam berbagai musyawarah di tingkat desa dengan mengusulkan berbagai perbaikan seperti kesehatan perempuan dan anak, serta perbaikan ekonomi masyarakat. Namun Sri juga mengalami hambatan dan tantangan dalam mengembangkan kepemimpinannya. Kemampuannya memimpinnya sering diremehkan tapi ia menganggap hal itu justru sebagai ”pupuk” baginya untuk terus maju. Baginya teguran adalah sesuatu yang positif, yang membuatnya sadar untuk berbuat lebih baik lagi.

Saatnya Menggerakkan Komunitas Menuju Keadilan Gender.

Keenam pemimpin perempuan di atas telah membukakan mata kita bahwa perempuan akar rumput sangat potensial menjadi penggerak perubahan dalam masyarakatnya. Kemiskinan dan keterkungkungan justru menjadi pendorong utama bagi mereka untuk bergerak dan maju. Kepemimpinan mereka diuji dalam arena yang paling sulit karena terlalu lamanya mereka membisu dalam ruang-ruang domestik.

Mereka harus berjuang untuk melawan hegemoni pemikiran bahwa perempuan harus di rumah mengurus suami dan anak. Perempuan tidak boleh memimpin dan perempuan hanya membantu suami sebagai kepala rumah tangga. Cara berpikir ini sudah begitu mendalam dan sangat sulit untuk diubah. Tapi tetap harapan masih ada, pemikiran itu akan berubah secara perlahan sejalan dengan berkembangnya peran perempuan sebagai pencari nafkah keluarga dan semakin mandiri secara ekonomi.

Saatnya juga bagi pemimpin perempuan untuk memperkuat perjuangannya. Pemimpin perempuan harus benar-benar merepresentasikan kepentingan dan agenda yang dimandatkan kepadanya oleh perempuan-perempuan yang masih membisu dan ketakutan. Berdebat dan bernegosiasi dalam forum-forum publik untuk memperjuangkan agenda dan pentingan perempuan tersebut adalah keniscayaan.

Page 35: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan

23

Saatnya partisipasi dan representasi yang sifatnya fisik dan formalistik ditinggalkan diganti dengan representasi subtantif. Keadilan gender bukan hanya sekedar kata-kata tapi diwujudkan dalam berbagai aksi nyata dari tingkat individu sampai komunitas.

Catatan Akhira Situasi ini juga pernah diberitakan dalam Tempo Interaktif (27/10/2009) yang memuat berita

tentang maraknya perceraian di NTB yang dilakukan “di bawah tangan” (tanpa prosedur Pen-gadilan Agama) atau melalui SMS, dan sebagian besar yang mengalami perceraian sewenang-wenang adalah perempuan yang buta aksara. Dalam artikel yang sama juga diberitakan ten-tang pernyataan dari Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana NTB, Ratningdiah, dalam acara Presstrip Humas Pemerintah Provinsi Jawa timur di Kantor Gubernur NTB, Sabtu (21/11) siang, yang menyatakan bahwa di daerah Bima, tingkat kesadaran perem-puannya untuk melaporkan kasus perceraiannya ke pengadilan agama, terbilang tinggi, sedan-gkan yang terendah adalah di Kabupaten Lombok Barat.

b AKUEP adalah wadah yang dibentuk oleh para alumni CWL untuk saling tukar pikiran dan ide dalam rangka mengembangkan koperasi-koperasi hasil dampingan program ACCESS, khu-susnya dalam hal pemasaran.

c Crash program adalah realisasi-realisasi program ACCESS kerjasama dengan pemda yang diproses melalui pemetaan dan penggalian kebutuhan dari masyarakat secara partisipatif.

Page 36: Bangkitnya Kepemimpinan Perempuan