balkon 144
DESCRIPTION
Balkon 144 "Menakar Pembangunan WIsdom Park"TRANSCRIPT
April 2014 1
balkonEdisi 144, April 2014
ww
w.ba
lairu
ngpr
ess.c
omMenakar Pembangunan
Wisdom Park
balkon2
April 2014 3
Iklan ini dipersembahkan oleh:
balkon4
balkonPenanggung Jawab
Nindias Nur Khalika
KoordinatorKrisnia Rahmadany
Tim KreatifAmanda Rachmaniar, Anis Putri, Ganesh Cintika,
Muhammad Syafiq
EditorAgung, Anggun, Fikri, Gilang, Inda, Onto,
Sofiyah, Sosiawan, Taufiq, Tya
RisetBagus, Iqbal, Rizqi, Wulan
RedaksiAgdzhur, Ahmad Yani, Catur, Dian, Erba, Erny
Faras, Gendrit, Hidayatmi, Ilyas, Kevin, M. Zaki, Mayang, Pandan, Shohieb, Surrohman, Tabitha,
Zulfikar
PerusahaanDzuvia, Evi, Fauzi, Ipin, Nelsa, Rina, Salma,
Solikhin
Produksi dan ArtistikAdam, Aldo, Aliftya, Angin, Anisa, Hanif, Halvin,
Hanin, Maria, Mutia, Nabila, Nala, Rais, Ryma, Zaki
CoverHanif
ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN, DAN, PROMOSI
Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281Website:
www. balairungpress.comEmail:
Manda (087812800221)Rekening BNI Yogyakarta
0258228557 a.n. Wiwit Endri Nuryaningsih
Redaksi menerima tanggapan, kesan, maupun saran pembaca sekalian yang berkaitan dengan
lingkungan UGM melalui email atau SMS ke 08174750099 atau juga dapat langsung
disampaikan ke Redaksi Balairung di Bulaksumur B-21
Editorial 5
Laporan Utama
Langkah Limbung Taman Kearifan 6
Laporan Utama
Menakar Pembangunan Wisdom Park 8
Sisi lain
Diorama Relokasi Sunmor 10
Jajak Pendapat
Menimbang Efektivitas Wisdom Park 12
Dialektika
Privatisasi Pengelolaan Air 14
Siasat
Menggugat Kearifan 16
Potret
Jendela Ilmu Yang Semu 17
Event
Stomp Out 20
Opini
SBI di Lingkungan Fakultas Ilmu Budaya 21
Rehal
RTH Instrumen Menuju Kota Hijau 22
Eureka
Kelestarian Lingkungan Ditengah Keterbatasan Lahan 24
Apresiasi
Refleksi Pemimpin Kini pada Zaman Dulu 26
Sosok
Profesor Agung: Terdampar di Tempat yang Tepat 28
Komunitas
GMFF: Merintis Tren Olahraga Baru 30
Gores 32
Penginterupsi
Taman Para Dewata 33
Si Iyik 33
Daftar Isi
April 2014 5
Editorial
Demi mewujudkan ambisinya menjadi universitas berkelas dunia, UGM terus berbenah diri. Pembangunan-pembangunan fisik beruntun dilakukan agar tak lagi terlihat ketinggalan zaman,
terutama soal penataan lingkungan guna menciptakan kawasan yang lebih nyaman dan mendukung mimpi educopolis-nya.
Program terbaru, UGM mencanangkan pembangunan Taman Kearifan—disebut juga Wisdom Park—di wilayah lembah, timur Jalan Notonegoro. Daerah yang pada awalnya kotor, kumuh, dan sering banjir ingin disulap agar lebih terawat dan berdaya guna. Sederet konsep mentereng pun disusun. Nantinya di wilayah itu akan dibangun kolam penampungan air hujan, lahan konservasi, hingga arboretum. Menurut pihak UGM, fasilitas-fasilitas itu nantinya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, juga dapat digunakan mahasiswa sebagai tempat pengembangan kegiatan akademik.
Kewajiban menyediakan tempat olahraga yang layak rupanya juga menjadi perhatian. Para pejabat kampus dengan bangga mengagung-agungkan wilayah kekuasaannya sebagai pusat kegiatan olahraga masyarakat. Tak bisa disangkal, memang demikian faktanya. Pun tak menjadi soal jika kemudian UGM memasukkannya sebagai bagian dari Wisdom Park. Lagi-lagi konsep mentereng dibuat. Program UGM sehat dibentuk dan sejumlah fasilitas olahraga akan dibangun. Selain itu, sepanjang Jalan Notonegoro dan Jalan Olahraga ingin dikembalikan sesuai peruntukan awalnya, jika menyitir pernyataan UGM, “sebagai pusat olahraga masyarakat”.
Sebagai bagian dari usaha mewujudkan program Wisdom Park, larangan untuk berjualan di sepanjang kedua jalan tersebut diserukan. Imbas paling besar dirasakan oleh para pedagang pasar Sunday Morning (Sunmor). Mereka diminta pindah berjualan di Jalan Lingkar Timur. Padahal, keberadaan Sunmor sudah turun - temurun digelar. Tak ayal konflik antara pedagang dan UGM pun terjadi. Pihak pedagang merasa konsep Wisdom Park tak jelas sebagai alasan untuk merelokasi mereka. Para pedagang juga merasa bahwa pihak UGM tidak membuka ruang dialog karena pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan selama ini cenderung pemberitahuan dan satu arah semata. Akan tetapi, di sisi lain pihak kampus tetap ngotot ingin mewujudkan konsep-konsep yang telah mereka rencanakan. Alhasil, konflik setiap minggu pagi masih terus terjadi.
Pembaca, alasan inilah yang mendasari kami mengangkat tema Balkon bulan ini. Pembangunan dan konsep besar boleh saja diwujudkan, namun tentu pertimbangan lain juga harus dipikirkan. Agar konsep tak hanya sekadar konsep, UGM perlu duduk manis memikirkan kembali langkah tepat yang hendak dilakukan. Bukan hanya soal untung rugi, namun juga memikirkan kelanjutan program ini agar tak berakhir seperti proyek-proyek pembangunan sebelumnya.
Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika!
Redaksi
balkon6
Laporan Utama
Langkah Limbung Taman KearifanRencana pembangunan Wisdom Park telah
dicanangkan. Namun, belum ada kepastian kapan proyek akan selesai.
Rabu sore (26/3) Universitas Gadjah Mada tengah
diguyur hujan dan biasanya akan terdapat genangan
air di beberapa titik. Jalan Notonegoro merupakan
salah satu wilayah yang cukup parah tergenang
jika terjadi hujan. Namun, kali ini tidak terlihat genangan
air menghiasi ruas jalan di depan Masjid Kampus (Maskam)
UGM tersebut. Ternyata pembangunan kolam penampungan
air atau biasa disebut embung yang dibangun tepat di depan
Maskam dapat mengurangi genangan air tersebut. Sebab kini
seluruh air hujan yang jatuh di ruas jalan langsung mengalir
dan tertampung ke dalam embung.
Embung sendiri merupakan bagian dari proyek Wisdom
Park yang kini tengah dibangun oleh UGM dengan konsep
lingkungan hidup berkelanjutan. Menurut Prof. Dr. Ir. Budi
Santoso Wignyosukarto, Dip. HE, Wakil Rektor Bidang Sumber
Daya Manusia dan Aset UGM, akan dibangun berbagai
proyek berwawasan lingkungan di Wisdom Park. Hasil dari
pembangunan Wisdom Park ini nantinya akan bisa dinikmati
oleh semua kalangan, baik mahasiswa maupun masyarakat
luas. “Kita harap Wisdom Park bisa menjadi contoh nyata apa
yang dinamakan dengan lingkungan hidup berkelanjutan,”
jelasnya.
Proyek yang telah lama direncanakan sejak rektor
sebelumnya ini memiliki tujuan untuk membuka Ruang
Terbuka Hijau (RTH) bagi masyarakat sekitar UGM. Taman
ini nantinya juga akan digunakan sebagai laboratorium alam
bagi mahasiswa. Selain itu, menurut Muhammad Yusuf S.T.,
MPA, Kepala Sub-Bidang Program Pengembangan dan Kinerja
Pengeloaan Sumber Daya Universitas, pembangunan embung
ini juga untuk mengatasi dampak banjir dari luapan Kali Belik.
“Kolam nantinya akan kita jadikan sebagai kolam detensi atau
kolam penampung air dari Kali Belik,” ujarnya.
Pembangunan yang telah berjalan sejak pertengahan
tahun 2013 tersebut terlihat tengah terhenti. Menurut
Ilustrasi : Balairung/Hanin
April 2014 7
Yusuf pembangunan Wisdom Park akan ada tahap-tahap
selanjutnya sedangkan embung adalah tahap awal dari
pembangunan ini. “Pembangunan selanjutnya adalah RTH,
jogging track dan Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM),”
ungkapnya. Sementara itu, pembangunan di tahun 2014 baru
akan dilaksanakan kembali pada Mei mendatang.
Untuk pembangunan SPAM sendiri, menurut Budi,
nantinya akan mengolah air yang berasal dari sungai
menjadi air siap minum. Hasil dari pengolahan air ini akan
didistribusikan ke seluruh lingkungan UGM. ”Air siap
minum ini nantinya dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan
mahasiswa, khususnya di lingkungan UGM,” ungkap Budi.
Dikarenakan konsep awalnya adalah RTH maka kendaraan
bermotor baik mobil ataupun sepeda motor pun disarankan
untuk tidak melewati Jalan Pancasila dan Notonegoro.
“Kemungkinan kendaraan yang boleh memasuki kawasan
Wisdom Park hanya kendaraan khusus seperti ambulans dan
mobil pemadam kebakaran,” ujar Yusuf.
Lahan yang digunakan untuk pembangunan Wisdom
Park, menurut Yusuf, juga cukup luas. “Pembangunan Wisdom
Park ini nantinya akan menggunakan hampir semua lahan di
kawasan Lembah UGM,” jelasnya. Budi juga menjelaskan
bahwa jalan di depan Fakultas Psikologi, Fakultas Filsafat,
dan Fakultas Ilmu Budaya juga menjadi bagian dari rencana
pembangunan Wisdom Park.
Meski telah terencana sejak lama, namun baru di tahun
2013 proyek ini terlaksana. Sebab, pembangunan ini akhirnya
dibiayai hibah oleh pihak Kementrian Pekerjaan Umum (PU)
dan Balai Besar Wilayah Sungai – Serayu Opak (BBWS-SO).
Selain itu juga, ada pihak Dirjen Tata Ruang hingga Menteri
Luar Negeri yang juga turut membiayai pembangunan
Wisdom Park ini. Namun karena dana berasal dari dana hibah,
pembangunan Wisdom Park ini masih belum bisa dipastikan
sampai kapan dapat diselesaikan. “Setiap tahun kita hanya
mendapat dana untuk satu proyek atau tahun berjalan, jadi
belum bisa pastikan apakah dana untuk selanjutnya tersedia
atau tidak,” aku Yusuf.
UGM sendiri tidak terlibat secara langsung dalam
pembangunan proyek Wisdom Park ini. UGM hanya sebatas
memberikan perencanaan dan menyediakan lahan. Bahkan
pemilihan kontraktor pun dilakukan oleh pihak PU dan BBWS-
SO sendiri. “Hubungan pembayaran kontaktor Wisdom Park
ini pun tanpa melalui UGM,” ungkap yusuf.
Meskipun demikian, pembangunan Wisdom Park ini tetap
menuai permasalahan, salah satunya adalah dengan pedagang
Sunday Morning (Sunmor). Akibat dari pembangunan
Wisdom Park ini, para pedagang tentunya akan dipindah
ke tempat baru di Dusun Karangmalang. Namun, menurut
pedagang, tempat tersebut nantinya juga akan dijadikan
sebagai jalan umum. Alasannya adalah untuk mengganti Jalan
Olahgara dan Notonegoro yang ditutup. Maka kemungkinan
pedagang Sunmor akan direlokasi kembali. “Katanya setelah
direlokasi kesana kita juga akan direlokasi lagi, tapi tempatnya
belum pasti kemana,” ujar salah satu pedagang Sunmor.
Para pedagang mengaku ketika mereka akan direlokasi,
UGM hanya memberi alasan bahwa wilayah Lembah akan
dibangun untuk area olahraga. “Saya merasa bahwa UGM
enggak terbuka kepada para pedagang,” ujar Ninik. Para
pedagang Sunmor pun mengatakan saat direlokasi dari Jalan
Pancasila sebelumnya juga beralasan akan digunakan sebagai
area olahraga. Namun hingga saat ini, alasan tersebut belum
terwujud secara keseluruhan. Karena belum adanya kepastian
dari pihak UGM, para pedagang memilih kembali berjualan di
wilayah Lembah.
Meskipun Wisdom Park telah dilaksanakan proses
pembangunannya, banyak dari para mahasiswa mengaku
tidak tahu. Amanda Nurrachmadiani Putri, mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, mengaku belum
mengetahui rencana pembangunan Wisdom Park. “Malah
baru denger tuh,” ucap Amanda. Ia juga berpendapat,
jika kendaraan dilarang memasuki kawasan UGM maka
mahasiswa akan kesulitan karena tempat parkir semakin jauh.
Pihak Rektorat sendiri mengaku sosialisasi telah dilakukan ke
semua fakultas, namun masih sebatas dekan, dosen, dan staf.
“Kita menyerahkan kepada fakultas untuk sosialisasi kepada
para mahasiswanya,” jelas Yusuf.
Padahal menurut Anggri Setiawan, Dosen Geografi
dan Ilmu Lingkungan, suatu pembangunan harus
mempertimbangkan berbagai aspek. Ia mengatakan jangan
sampai hal ini terulang seperti Eco Park yang mengalami
kegagalan sebab hingga saat ini belum ada kejelasan. Hal-
hal yang perlu dipertimbangkan saat membangun antara
lain adalah tanah, air, wilayah, ekonomi dan sosial. “Agar
terintegrasi pembangunan yang baik maka perlu penerapan
multidisipliner ilmu,” pungkasnya. [Farras, Hidayatmi]
balkon8
Laporan Utama
Senin (17/3), terlihat papan seng memagari sebidang tanah luas di Dusun Karangmalang, dekat Lapangan Pancasila. Tinggi papan seng tersebut sekitar dua meter. Sore itu, sebuah alat berat sedang
mengangkat papan baja di sana. Papan-papan baja tersebut disusun menjadi kerangka atap gedung berbentuk lengkung. “Nantinya kerangka gedung itu akan digunakan sebagai Gelanggang Olah Raga (GOR) UGM,” ujar Muhammad Yusuf S.T., M.P.A. selaku Kepala Sub-Bidang Program Pengembangan dan Kinerja Pengelolaan Sumber Daya Universitas, Direktorat Perencanaan dan Pengembangan. Kasan, pemilik warung makan di Karangmalang, yang sering melihat pembangunan proyek tersebut, mengatakan, hampir setiap hari proyek pembangunan dikerjakan. “Saat lembur bahkan bisa sampai pukul dua belas malam,” tambahnya.
GOR yang dibangun sejak 2013 tersebut merupakan bagian dari rencana Wisdom Park. Wisdom Park adalah perwujudan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang akan digunakan sebagai fasilitas hiburan dan edukasi. Yusuf mengatakan, pembangunan Wisdom Park tidak hanya mencakup pembangunan GOR. “Pembangunan Wisdom Park juga mencakup pembangunan kolam detensi, Sistem Pengolahan Air Minum (SPAM), lansekap, dan jalan bebas kendaraan bermotor,” terangnya.
Terkait konsep Wisdom Park, Dr. M. Anggri Setiawan M.Si., Dosen Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan, menilai sudah baik. “Hal ini karena salah satu bagian Wisdom Park yakni kolam detensi memanfaatkan lahan yang hampir tidak terolah menjadi lebih produktif,” urainya. Namun, terdapat
potensi bahaya apabila membangun gedung di kawasan Lembah. Menurut Anggri, air di sana dapat terganggu. Sirkulasi air bisa menjadi tidak lancar. Oleh karena itu, UGM harus menyiapkan tindakan mitigasi untuk mengurangi risiko dampak pembangunan. “Tindakan mitigasi dapat dilakukan dengan mempersiapkan teknik pembangunan yang sesuai dengan kondisi di kawasan Lembah,” jelasnya.
Senada dengan Anggri, Ir. Budi Kamulyan, M.Sc. selaku Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Ilmu Lingkungan, mengatakan bahwa UGM perlu mewaspadai pembangunan GOR yang merupakan salah satu rencana Wisdom Park. “Pembangunan gedung di kawasan tersebut dapat menyebabkan sirkulasi air terganggu,” jelasnya. Menurut Prof. Ir. Joko Sujono, M.Eng., Ph.D., Guru Besar Jurusan Teknik Sipil dan Ilmu Lingkungan, hal itu karena tanah menjadi tertutup semen, aspal, dan bangunan. Akibatnya, ketika hujan datang tanah tidak bisa menyerap air. Oleh karena itu, Joko menyarankan agar UGM membangun sumur resapan. Sumur resapan ini penting dibangun untuk meningkatkan daya serap tanah. “Setiap gedung di UGM idealnya harus dilengkapi satu sumur resapan,” tambahnya.
Akan tetapi, adanya sumur resapan pun dinilai masih belum dapat sepenuhnya menanggulangi limpasan dari air hujan. Ir. Gunung Radjiman, M.Sc., peneliti Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan UGM, menerangkan hal ini karena sumur resapan memiliki titik jenuh. “Sumur resapan yang sudah sampai pada titik jenuh akan sulit untuk meresap air,” imbuhnya.
Menakar Pembangunan Wisdom Park
Wisdom Park merupakan rencana perwujudan Ruang Terbuka Hijau. Namun, dalam pembangunannya, para ahli menemukan celah yang harus diantisipasi agar tidak
berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar
balkon8
April 2014 9
menjelaskan bahwa penanganan banjir harus dilakukan secara keseluruhan, tidak parsial. “Harus ada koordinasi yang padu antarinstansi,” tambahnya.
Hal lain yang perlu dilakukan oleh pihak pembangun Wisdom Park adalah sosialisasi, terutama sosialisasi pembangunan GOR. “Hal tersebut supaya warga mengetahui pembangunan yang terjadi di padukuhan ini,” tutur Darman, Kepala Dukuh Karangmalang. Ia menambahkan, memang sosialisasi terkait pembangunan kolam detensi sudah diberikan, tetapi sosialisasi terkait pembangunan GOR belum. “Saya kecewa dengan sikap pihak pembangun tersebut,” kata Darman. Selain permasalahan itu, warga Karangmalang juga mengaku merugi sekitar 8,5 juta akibat pembangunan GOR. Kerugian tersebut mencakup biaya konsumsi tukang bangunan, biaya tikar, serta biaya kos tukang bangunan yang belum dibayarkan.
Terkait persoalan tersebut, Darman mengaku pihaknya sudah menyampaikannya kepada pihak UGM. “Beberapa waktu lalu saya sudah menyampaikan ke Prof. Budi, tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjut,” ungkap Darman. Meski demikian, Darman mengatakan, pihaknya tidak ingin masalah ini menjadi berlarut-larut sampai melibatkan pihak berwajib. “Saya ingin pihak pembangun segera berinisiatif membereskan hutang-hutang mereka dan mengadakan sosialisasi,” imbuhnya.
Menanggapi keluhan Darman, Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, berkata, “Menurut kami, sosialisasi mengenai pembangunan GOR kurang perlu diadakan karena lokasinya tidak terlalu dekat dengan pemukiman warga.” Lantas, terkait hutang-hutang tukang bangunan dan sebagainya, Yusuf mengungkapkan bahwa tanggung jawab pembayaran pegawai proyek sepenuhnya dipegang oleh Kementrian PU sebagai penanggung jawab proyek. “Uang untuk pekerja langsung diberikan oleh Kementrian PU kepada pihak petugas proyek,” papar Yusuf. Ia menambahkan, UGM hanya menyediakan lahan dan konsep grand design kepada Kementrian PU. “Sementara itu, untuk manajemen teknis sepenuhnya dipegang Kementrian PU,” ujarnya.
Terlepas dari semua permasalahan itu, Yusuf berharap konsep Wisdom Park bisa dijadikan contoh bagi instansi-instansi lain. “Hal ini karena RTH di Yogyakarta sedikit,” lanjutnya. Ia juga berharap, para mahasiswa mau menggunakan fasilitas di RTH tersebut. “Daripada membayar mahal untuk menggunakan fasilitas di luar kampus, lebih baik menggunakan fasilitas kampus yang lebih murah,” pungkasnya.
Di sisi lain, Siti Maryam, mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian mengharapkan, ada konsistensi dalam pembangunan Wisdom Park. Ia tidak ingin Wisdom Park bernasib sama seperti Gama Book Plaza. “Pihak UGM maupun kontraktor harus konsisten dengan niat awal, yakni menciptakan RTH bagi sivitas akademika dan masyarakat umum,” tegasnya. [Ilyas, Pandan, Zaki]
Rencana pembangunan Wisdom Park lainnya adalah membangun jalan bebas kendaraan bermotor di sepanjang Jalan Sosio Humaniora. Yusuf menerangkan, tujuan dibangunnya jalan tersebut adalah mengurangi polusi suara. “Nantinya yang diperbolehkan lewat di sana hanya kendaraan-kendaraan tertentu, seperti ambulans dan mobil pemadam kebakaran,” ujarnya.
Menanggapi rencana tersebut, Prof. Dr.Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc., Guru Besar Jurusan Perencanaan Wilayah Kota, berpendapat jalan bebas kendaraan dapat menyebabkan berkurangnya lahan parkir karena lahan parkir di fakultas-fakultas ditutup. Maka dari itu UGM harus menyiapkan tindakan antisipasi. “Hal itu dapat diantisipasi dengan menyediakan alternatif tempat parkir,” saran Munawar. Mengenai hal itu, Yusuf mengungkapkan, “Lahan parkir yang berada di Jalan Sosio Humaniora akan dialihkan ke Grha Sabha Pramana.”
Saat ini, rencana Wisdom Park yang telah terealisasi adalah kolam detensi yang berada di seberang Masjid Kampus UGM. ”Kolam detensi adalah embung yang berfungsi untuk menampung air lalu mengalirkannya ke sungai-sungai sekitar,” urai Yusuf. Sejauh ini, pembangunan tersebut dapat mengurangi debit banjir di Sagan hampir setengahnya. “Hal ini karena sampah yang tadinya banyak ditemukan di area sungai, kini telah dibersihkan sehingga tidak lagi menghambat air sungai,” tambahnya.
Meski demikian, kondisi banjir di Sagan tidak terlalu berbeda setelah dibangun kolam detensi. Sartika, pemilik kios jus di Kuningan menuturkan, saat banjir, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Terkait hal tersebut, Gunung
Foto : Balairung/Nabila
April 2014 9
balkon10
Sisi Lain
Fajar belum menyingsing, tetapi puluhan orang telah berkerumun di depan Lembah UGM. Beramai-ramai mereka menuju portal yang sedang dijaga SKKK. Untuk kesekian kalinya, pedagang Sunmor mencoba
menjebol portal yang sengaja digembok oleh pihak UGM. Besarnya massa membuat SKKK tak berdaya dan membiarkan para pedagang membuka portal. Tak lama, pedagang berhasil membuka portal yang sudah digembok berganda.
Tanpa pikir panjang, pedagang mulai menjalankan aktivitas seperti biasanya. Satu demi satu rangka besi mulai disusun. Lapak demi lapak akhirnya berdiri. Berbagai macam barang mulai disiapkan. Gantungan, meja, kompor, tikar mulai diturunkan dari kendaraan. Salah satu dari mereka menghembuskan nafas lega sambil berkata, “Akhirnya Sunmor kembali lagi.”
Pada September lalu, keluar edaran dari UGM untuk meliburkan Sunmor setiap akhir bulan sampai Desember. Selama beberapa minggu, Sunmor yang digelar di sepanjang Jalan Olahraga dan Jalan Notonegoro tidak beraktivitas. Lalu, keluar lagi edaran yang menyatakan bahwa Sunmor akan direlokasi. Lokasi yang digunakan untuk relokasi adalah sepanjang Jalan Lingkar Timur, UGM. Sampai pada akhir tahun sudah dilakukan musyawarah dengan universitas sebanyak tiga kali. Namun, tidak menemukan titik temu dan UGM tidak memberikan alasan relokasi dengan jelas.
Menurut para pedagang, UGM tidak memberikan alasan yang jelas terkait relokasi ini. Sejak bulan September sampai Januari sudah dilakukan beberapa kali musyawarah.“Selama 10 kali musyawarah, UGM memberikan alasan berbeda-beda,” ungkap Desi Triyanto, Ketua Himpunan Pedagang Sunmor UGM (HIMPA). Beberapa alasan diungkapkan seperti adanya audit, kepentingan dosen yang terhalang dan adanya proyek Wisdom Park. Sutopo, salah satu pedagang kaos kaki menambahkan bahwa alasan yang disampaikan selalu berubah.
Sampai pada pertengahan bulan Februari tahun ini, muncul rencana pembangunan Wisdom Park oleh UGM. Pembangunan Wisdom Park bertujuan untuk meyediakan ruang publik dan pendidikan bagi mahasiswa dan masyarakat. Pembangunan proyek Wisdom Park meliputi seluruh kawasan Lembah UGM. Hal ini menjadikan Sunmor yang berada di Jalan Olahraga dan Jalan Notonegoro harus direlokasi.
Sejak dikeluarkannya rencana ini, sudah dilaksanakan lima kali uji lokasi oleh para pedagang. Banyak hambatan dan kekurangan yang dirasakan. Santo, salah satu pedagang Sunmor, mengatakan bahwa kekurangan yang dirasakannya antara lain tidak adanya kamar mandi dan sempitnya
lahan parkir. Tidak hanya itu, pedagang juga mengeluhkan sempitnya jalanan lokasi berjualan. “Jalan selebar enam meter ditempati dua meter sebelah timur dan barat untuk lapak, tinggal dua meter untuk mobil dan motor, apa bisa lewat?”jelas Desi Triyanto.
Pernyataan ini disampaikannya juga terkait permasalahan yang timbul dengan Polsek Bulaksumur. Pihak Polsek menginginkan akses lalu lintas depan kantor polisi ke utara tidak boleh tertutup. Pedagang hanya diperbolehkan berjualan dari depan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY sampai Polsek Bulaksumur. “Dari FBS sampai Polsek nggak muat menampung 784 pedagang”, imbuh Desi.
Kurang memadainya lokasi berjualan berdampak langsung kepada para pedagang makanan lesehan. Relokasi Sunmor menuju Jalan Lingkar Timur memaksa para pedagang harus memperkecil lapak-lapak mereka. Semestinya mereka memerlukan tempat 7x11 meter. Namun, di Jalan Lingkar Timur para pedagang tidak memperolehnya. Akibatnya beberapa dari mereka terpaksa tidak berjualan karena tidak mendapatkan tempat yang sesuai.
Permasalahan lain yang dihadapi pedagang adalah tempat berjualan. Tak jarang, beberapa pedagang harus
DIORAMA RELOKASI SUNMORSunmor memberi nilai tidak hanya kepada para pedagang,
tetapi juga masyarakat dan pariwisata
Ilustrasi : Balairung/Mutia
April 2014 11
berebut tempat. “Kalau di tempat kemarin (Jalan Lingkar Timur--red) itu saya harus rebutan sama orang lain,” keluh Suratinah. Sejak malam hari, pedagang harus mencari tempat untuk mendirikan lapaknya. Namun, paginya tempat yang sudah dipilih sudah dipakai pedagang lain.
Oleh karena itu, terkait persoalan ini, para pedagang menanggapinya dengan sikap kontra. Mereka menolak untuk dipindahkan. “Tidak ada niat dari kami untuk pindah ke Jalan Lingkar Timur,” kata Desi Triyanto.
Relokasi Sunmor merupakan hal yang memberatkan bagi para pedagang. Bagi mereka, Sunmor merupakan lahan utama untuk mencari nafkah. Pak Sutopo, salah seorang pedagang menuturkan bahwa nafkah utama beliau didapatkan dengan berjualan kaos kaki di Sunmor. ”Dalam sehari saya dapat meraih untung sampai Rp 700.000,” katanya. Dengan usahanya ini, Pak Sutopo dapat menghidupi keluarganya untuk satu bulan.
Hal senada juga disampaikan oleh Bu Sumini, pedagang bros. Meskipun tidak menyebutkan untung yang diperoleh, Bu Sumini menjelaskan bahwa hasilnya dapat mencukupi kebutuhan. “Penghidupan saya sehari-hari berasal dari sini,” imbuhnya.
Ketergantungan terhadap Sunmor juga dirasakan pedagang yang berjualan pada hari biasa di tempat lain. Mereka dapat meraup untung lebih besar dari berjualan biasanya. “Saya jualan di depan Samsat Sleman, tapi pendapatan 6 hari itu setara pendapatan 1 hari di Sunmor”, ungkap Bu Suratinah. Beliau menambahkan bahwa dirinya dapat membiayai sekolah anaknya karena berjualan di Sunmor.
Sunmor, selain sebagai lahan pekerjaan juga banyak
menjadi tempat wisata bagi masyarakat. Tempat wisata yang murah dan mudah untuk semua kalangan. Pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari masyarakat sekitar, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Nisa, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga merasa senang dengan adanya Sunmor. “Sunmor cukup menyenangkan buatku,” katanya. Meskipun tidak setiap Minggu datang kesana, ia juga mengungkapkan dengan berjalan-jalan di Sunmor kejenuhannya berkurang.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ratna, pengunjung dari Jogja. Dia dan keluarganya memanfaatkan hari libur dengan jalan-jalan di Sunmor. Menurutnya barang-barang yang dijual disana memiliki kualitas dan harganya bisa ditawar.
Ratna merasa nyaman berbelanja di Sunmor. Jumlah pedagang yang banyak, membuatnya mudah memilih barang yang dinginkan. Kondisi jalan yang ramai tidak menghalanginya berbelanja. Namun, berbeda halnya dengan yang disampaikan oleh Veni, pengunjung lain. Dia mengeluhkan bahwa Sunmor sempit dan terlalu padat, sehingga kurang nyaman. Menurutnya kapasitas jalan Sunmor kurang memadai, sehingga barang dagangan tersebut memakan tempat. Kondisi ini membuat Veni tidak sering pergi ke Sunmor.“Saya kalau kesini sudah mempunyai tujuan, kalau hanya iseng-iseng tidak,” jelasnya.
Meskipun sudah dilakukan uji lokasi, beberapa pengunjung Sunmor tidak mengetahui rencana relokasi. Para pengunjung tidak mempermasalahkan jika Sunmor dipindah. Hanya saja mereka berharap jika Sunmor direlokasi akan lebih baik dan nyaman untuk mereka.
Terkait relokasi ini, Desi Triyanto menyatakan bahwa para pedagang akan melakukan usaha apapun termasuk menjebol portal agar dapat berjualan. Aksi penjebolan portal oleh pedagang ini sudah dilakukan sejak bulan Februari lalu. Beliau menambahkan dalam waktu dekat HIMPA akan mengirim surat kepada Rektor UGM. Hal ini merupakan salah satu upaya pedagang untuk menyelesaikan masalah.
Pedagang menganggap rencana UGM membangun Wisdom Park dan merelokasi Sunmor dilakukan secara sepihak. Tidak ada pemberitahuan secara resmi dari universitas. Ibu Suratinah menuturkan bahwa pemberitahuan hanya dari surat dan baliho itu saja. Pihak UGM tidak memberikan penjelasan secara langsung terkait rencana tersebut.
Para pedagang merasa selama perencanaan pembangunan Wisdom Park kurang dilibatkan. Padahal hal ini sangat mempengaruhi hajat hidup mereka. Para pedagang mengharapkan agar mereka dianggap menjadi bagian dari UGM. “Sunmor ini kan yang membesarkan UGM,” kata Desi.
Mereka mengharapkan agar UGM memberikan alasan yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman. Karena selama ini Sunmor memiliki dampak yang besar. Sunmor tidak hanya berguna untuk pedagang, tetapi juga mahasiswa dan pariwisata Jogja”, terang Sutopo. [Gendrit, Catur, Dian]
April 2014 11
balkon12
Jajak Pendapat
Belakangan ini Jalan Notonegoro kerap mendapat sorotan. Jika kita layangkan pandangan ke sisi timur jalan, tepatnya di depan Gedung D3 Ekonomi, akan ditemui sebuah proyek pembangunan. Proyek ini
adalah pembangunan Wisdom Park. Proyek pembangunan Wisdom Park menjadi isu penting karena terindikasi mengorbankan Sunday Morning untuk direlokasi di Jalan Lingkar Timur UGM.
Pembangunan Wisdom Park bertujuan untuk menunjang aktivitas pendidikan dan penelitian. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset UGM, Prof. Budi Wignyosukarto pada situs resmi UGM (18/10/2013). Wisdom Park akan dijadikan sebuah taman rekreasi masyarakat, area olahraga, kolam tampungan (embung) sebagai daerah resapan air dan untuk penelitian ( konservasi) serta pendidikan. Ir. Haryana, perancang Wisdom Park menambahkan, fungsi taman itu akan selaras dengan semangat Wisdom. Antara lain adalah edukasi, riset, teknologi, kesehatan dan budaya serta pelestarian.
Wisdom Park sebenarnya adalah sebuah rangkaian mega proyek. Pihak UGM berencana mencanangkan sebuah program pembangunan berkelanjutan. Mega proyek ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 2005. Namun, Wisdom Park baru dimulai pembangunannya pada tahun 2010. Maka dapat diasumsikan bahwa pembangunan tersebut tergolong mangkrak.
Namun, sungguh ironis saat isu Wisdom Park bergeliat ke permukaan ternyata banyak mahasiswa yang masih belum tahu. Tim riset BPPM Balairung memutuskan untuk melakukan penelitian dengan menyebar polling tentang pembangunan Wisdom Park. Polling disebarkan ke 19 fakultas di UGM termasuk Sekolah Vokasi. Penelitian ini melibatkan responden sebanyak 95 yang setiap fakultasnya dibagi sejumlah lima responden. Hasil penelitian menunjukan sebanyak 49 responden mengetahui perihal pembangunan Wisdom Park sedangkan 46 lainnya tidak. Artinya, hampir separuh responden tidak mengetahui masalah pembangunan ini.
Pihak UGM pernah mensosialisasikan Wisdom Park pada akhir tahun 2013. Namun, pada kenyataanya hasil sosialisasi tersebut belum maksimal. Padahal, pembangunan
Menimbang Efektivitas Wisdom ParkSebagai salah satu proyek besar, Wisdom Park justru terkesan mangkrak pembangunannya. Jangka waktu yang lama semakin menenggelamkannya.
Perlukah pembangunan Wisdom Park?
Tahukah anda perencanaan pembagunan Wisdom Park?
Grafis : Balairung/Rais
April 2014 13
Wisdom Park telah disosialisasikan akan mendatangkan banyak manfaat bagi masyarakat. Untuk itu dibutuhkan peran mahasiswa sebagai mediator antara pihak kampus dengan masyarakat, serta penerang fungsi dan manfaat Wisdom Park. Sayangnya, belum banyak mahasiswa yang mengetahui hal ini.
Terlepas dari ketidaktahuan itu, sebenarnya mahasiswa menyambut baik pembangunan taman ini. Hal tersebut juga dapat dilihat dari hasil penelitian kami yang menunjukkan sebanyak 74 responden merasa perlu adanya pembangunan Wisdom Park. Sementara itu, 21 lainnya memilih menolak pembangunan Wisdom Park.
Ada beberapa hal yang mendasari responden merasa perlu adanya pembangunan Wisdom Park. Pembangunan ini dirasa perlu sebagai upaya menambah lahan hijau di UGM. Mereka menambahkan, dengan adanya embung akan sangat bermanfaat sebagai daerah resapan air. Sebagaimana kita ketahui saat musim hujan, daerah Sagan sampai jalan Notonegoro kerap terjadi banjir. Mereka juga beranggapan
Efektifkah pembangunan Wisdom Park?
Bermanfaatkah pembangunan Wisdom Park?
bahwa, semakin banyak fasilitas yang disediakan pihak kampus akan meningkatkan aktivitas yang bertujuan positif oleh warga UGM. Misalnya, sarana olahraga yang mendukung bakat dan minat mahasiswa.
Dalam perkembangannya, sebanyak 78 responden berpendapat bahwa Wisdom Park akan mendatangkan banyak manfaat. Misalnya saja, dengan adanya embung daerah resapan air UGM dan sekitarnya akan bertambah. Adanya lahan hijau luas juga sangat mendukung program Go Green UGM. Masyarakat di sekitar UGM juga bisa menjadikan Wisdom Park sebagai alternatif tempat wisata.
Dari seluruh responden,17 responden meragukan kemanfaatan pembangunan Wisdom Park. Salah satu alasannya adalah berkaca pada lembah UGM yang tidak terawat. Semestinya lembah UGM sangatlah potensial dengan berbagai fasilitasnya, antara lain keberadaan danau buatan, taman kuliner, bahkan kandang rusa sebagai alternatif wisata. Dengan demikian, hendaknya pihak UGM mengoptimalkan fungsi sekaligus perawatan fasilitas yang sudah ada di lingkungan UGM.
Sejumlah 58 responden mengatakan pembangunan Wisdom Park akan efektif. Responden memiliki ekspektasi yang sama dengan awal pembangunan Lembah UGM. Mereka beranggapan akan ada lebih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan melalui pembangunan Wisdom Park ini. Akan tetapi, masih tersisa 37 responden yang menganggap pembangunan Wisdom Park tidak efektif. Sekali lagi berkaca dengan keberadaan Lembah UGM yang juga tidak efektif setelah pembangunannya. Serta proyek-proyek lain yang berhenti tanpa sebab yang jelas.
Selain itu pembangunan Wisdom Park dinilai hanya membuang-buang anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal yang lebih bermanfaat. Menurut mereka, tidak cukup sekadar untuk membangun, estimasi dana perawatan juga harus dipertimbangkan kedepannya.
Permasalahan lingkungan menjadi salah satu aspek yang paling dipertimbangkan dalam pembangunan Wisdom Park. Terutama daerah resapan banjir. Pasalnya dampak resapan ini akan dirasakan masyarakat luas, tidak hanya pihak UGM. Beberapa sumber juga mengatakan bahwa pembangunan daerah resapan air ini juga akan berlanjut di tempat-tempat lain di Yogyakarta. Maka perlu diadakan mediasi dengan harapan tidak ada kesepakatan sepihak dan kesejahteraan bersama dapat dicapai.
Tentu semua pihak berharap hal yang baik dari segala kebijakan. Akan lebih baik jika sebuah kebijakan benar-benar dipikirkan secara matang, tidak serta-,merta bertujuan melambungkan nama dan polularitas lembaga. Selain itu, berkaca pada pengalaman masa lalu juga tidak kalah penting. Sebagai contoh, berbagai proyek UGM yang menggebu di awal dan berhenti di tengah jalan. Harus ada komitmen untuk saling menjaga dan merawat antar elemen, baik UGM maupun masyarakat. Harapannya, agar tidak jatuh ke lubang yang sama, apalagi jika suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. [Bagus, Wulan]
balkon14
DialektikaDialektika
Dua per tiga bumi ini dipenuhi oleh air,
sebagaimana tubuh manusia. Air telah menjadi
bagian yang fundamental dalam kehidupan
manusia. Bahkan pada 2010, Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) menetapkan bahwa hak untuk mengakses
air bersih dengan mudah merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Sayangnya, masih banyak pihak yang berusaha
untuk melancarkan privatisasi air. Hal ini menimbulkan
kontradiksi dan kegelisahan atas tuntutan dipenuhinya
kebutuhan air bersih yang mudah dijangkau bagi seluruh
manusia.
Permasalahan ini dicoba dibahas dalam dialektika
bertajuk “Tata Kelola Air di Indonesia”. Diskusi diadakan
di Jalan Kembang Merak B21 pada Kamis (20/3) silam.
Dalam diskusi ini, Bosman Batubara, lulusan Water Resource
Engineering Vrije Universiteit, diundang sebagai pembicara.
Bosman membuka diskusi dengan mengutip salah satu
isi dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menjelaskan kalau
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kepentingan
rakyat. Namun, Bosman menyayangkan adanya usaha
privatisasi air di beberapa kota di Indonesia, seperti Batam
dan Jakarta. Menurutnya hal ini sangat bertentangan dengan
semangat gotong royong yang dijunjung tinggi oleh para
pendiri bangsa ini. “Bentuk usaha yang berasaskan sama rata
sama rasa kini sudah dikesampingkan, diganti dengan bentuk
korporat,” ujarnya.
Beberapa contoh lain juga dikemukakan Bosman seperti
yang terjadi di Bolivia pada tahun 1950 atau pembangunan
bendungan di laut Aral oleh Uni Soviet sekitar tahun 1990.
Pada kasus laut Aral, Bosman bercerita mengenai kerusakan
ekologi dalam skala besar dari pembangunan bendungan
tersebut. Perlu diketahui, laut Aral bukanlah lautan lepas
melainkan sebuah danau air asin yang sangat luas. “Karena
debit air yang berkurang drastis, konsentrasi garamnya
meningkat, sehingga banyak tumbuhan dan hewan yang
tidak bisa hidup di dalamnya,” jelas Bosman.
Bosman berpendapat, jauh sebelum ada sirkulasi uang
Privatisasi Pengelolaan AirMeski dinilai sebagai kebutuhan dasar manusia,
pengelolaan sumber daya air belum lepas dari praktik monopoli kaum elit.
Foto : Balairung/Aliftya
April 2014 15
dan ekonomi, air telah terlebih dulu mengalir dalam tubuh
manusia. Begitu juga dengan kehidupan di perkotaan dan
pedesaan. “Ibaratnya saluran air di perkotaan itu seperti urat
nadi dalam tubuh manusia, di dalamnya darah kita mengalir,”
ujar Bosman.
Salah satu permasalahan terbesar yang dihadapi dalam
gerakan anti-privatisasi air adalah paradigma perusahaan
yang menganggap air sebagai sebuah komoditas. Dalam
hal ini, Bosman sangat tidak setuju dan memberikan definisi
lain mengenai komoditas. “Komoditas adalah barang yang
sengaja dibuat untuk dipasarkan,” tutur Bosman. Dengan
demikian, air bukan merupakan komoditas dagang karena
air tidak dibuat melainkan memang sudah ada dari alam.
Di sebuah perusahaan berbasis kapitalis, mereka tidak akan
pernah berhenti mengembangkan perangkat baru untuk
mendukung tujuannya. Salah satunya, mereka menjadikan air
sebagai sebuah komoditas fiktif, semata-mata untuk dijual.
Langkah nyatanya adalah dengan usaha privatisasi air ini.
Selanjutnya, Bosman berfokus terhadap kasus privatisasi
air yang terjadi di Indonesia. Bosman melihat UU tahun
1967 mengenai penanaman modal asing, kehutanan, dan
pertambangan sebagai cara untuk memuluskan privatisasi air
di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan UU Agraria tahun
1960 yang menjelaskan bahwa tanah dan air merupakan
kepemilikan umum.
Sebagai contoh, Bosman mengambil kasus privatisasi
air di Jakarta. Ia menjelaskan kalau diskriminasi hak akan
air sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda untuk setiap
lapisan masyarakat. Pelayanan terbaik diutamakan kepada
penduduk keturunan Belanda, lalu diberikan kepada
masyarakat Cina dan Arab, baru setelah itu masyarakat
pribumi diberikan pelayanan yang paling dianaktirikan.
“Sayangnya, ketidakadilan ini masih diwariskan bahkan
setelah Indonesia merdeka,” tutur Bosman.
Bosman merunutkan akar masalah dari buruknya
pelayanan air bersih di Jakarta. Menurut Bosman, kurangnya
kemampuan teknis terhadap pengelolaan air menjadi
salah satu sumber masalah pengelolaan air. Salah satunya
pemilihan kepengurusan masih dilakukan oleh elit politik
yang tengah berkuasa. “Sudah bukan rahasia lagi kalau
perusahaan air itu dikuasai oleh para bupati dan gubernur
sebagai alat untuk mengeruk uang rakyat,” tutur Bosman. Ia
juga berpendapat kalau seharusnya pemilihan kepengurusan
ditentukan oleh rakyat sebagai konsumen. “Kalau masih
seperti sekarang, apa ini yang disebut demokrasi?” kritiknya.
Selain menyampaikan kritiknya terhadap pengelolaan
air sekarang, Bosman juga menawarkan solusi terhadap
masalah tersebut. Menurutnya, masyarakat bisa bercermin
pada revolusi air di Santa Cruz, Bolivia pada tahun 1999.
Selain itu, Bosman juga menyarankan pengelolaan air yang
berbentuk koperasi seperti yang diterapkan disana dengan
nama koperasi SAGUAPAC. Selain itu, Bosman juga berharap
para pelajar, utamanya mahasiswa dapat menempatkan isu
tentang pemeliharaan air sebagai suatu bahan penelitian
yang serius. “Hingga saat ini, belum ada gerakan radikal
yang membela kepentingan rakyat akan air, mahasiswa
juga masih kurang antusias dalam membahas isu ini,” keluh
Bosman. Kaum terpelajar di Indonesia saat ini masih saja
terperangkap dalam pembahasan isu yang menurutnya itu-
itu saja. “Seperti sejak kasus 11 September, semuanya masih
saja sibuk membahas tentang islam moderat,” ujar Bosman
memberikan contoh.
Dias Prasongko, salah satu peserta diskusi ini
memberikan pendapatnya mengenai hal tersebut. Dias
sendiri memberikan contoh privatisasi salah satu mata air
di Jawa Barat yang kemudian membuat masyarakat sekitar
tidak bisa memanfaatkan mata air tersebut secara penuh.
Namun mengenai kurang antusiasnya mahasiswa dalam
membahas permasalahan privatisasi air, hal ini dinilainya
wajar. “Orang-orang kesulitan melakukan polarisasi antara
manusia dan sumber daya alam di sekitarnya, sehingga
permasalahan ini menjadi tidak menarik,” ungkap Dias.
Bosman tidak setuju kalau permasalahan air ini dianggap
sebagai isu yang kurang menarik. Sebaliknya, Ia berpendapat
kalau ini merupakan warisan penindasan intelektual di
era Orde Baru. “Kampus justru sudah dikooptasi seperti
perusahaan lainnya, yang dihasilkan hanyalah pekerja,
bukan pemikir kritis,” ujar Bosman. Ia juga menambahkan
kalau ingin ada perubahan, kita sudah tidak bisa lagi hanya
sekedar menegakkan hukum, harus ada land reform seperti
yang terjadi di negara-negara lain. “Undang-Undang saja
sudah dibuat untuk memuluskan gerakan ini, bukan lagi
mementingkan rakyat,” tambahnya.
Selain Dias, Ahmad Syarifudin, peserta diskusi
lainnya juga mengutarakan pendapatnya. Menurutnya,
permasalahan mengenai air tidak hanya berakar pada
ideologi yang mendasari pengelolaannya, melainkan juga
kepada kompleksitas akan masalah itu sendiri. Ahmad
memberikan sebuah contoh, air yang diambil dari tanah saja
sekarang sudah tercemar. Bosman mengamini pernyataan
Ahmad. “Privatisasi itu hanya satu dari sekian banyak
masalah dalam pelestarian air,” jelas Bosman sekaligus
menutup diskusi sore itu. [Kevin, Surrohman]
Foto : Balairung/Aliftya
balkon16
Siasat
Pembangunan Taman Kearifan (Wisdom Park) kembali dipastikan sebagai salah satu alasan UGM –Rektorat–merelokasi pedagang usaha kecil pasar minggu pagi (PUK Sunmor). Hal itu dipastikan oleh Wakil
Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Iwan Dwi Prahasto dalam rapat koordinasi kemahasiswaan pada tanggal 20 Maret 2014 di Gelanggang Mahasiswa. Di depan organisasi-organisasi kemahasiswaan dan jajaran Direktorat Kemahasiswaan, Rektorat memastikan bahwa kebijakan merelokasi Sunmor ke Jalan Lingkar Timur sudah bulat.
Sebagaimana diketahui, sejak 5 Januari 2014 aktivitas Sunmor direlokasi dari Jalan Notonegoro-Olahraga ke Jalan Lingkar Timur. Kebijakan ini ditempuh akibat telah berakhirnya kontrak kerjasama penggunaan lahan antara paguyuban pedagang Sunmor dengan Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) pada 27 September 2013. Namun, sejak medio Februari lalu, dengan beberapa alasan kontroversial, pedagang yang terhimpun dalam Himpunan Paguyuban Pedagang (Himpa) kembali berjualan di Jalan Notonegoro-Olahraga. Aksi penjebolan paksa portal Jalan Notonegoro-Olahraga setiap Minggu pagi pun dilakukan para pedagang. Hal ini terjadi di tengah keteguhan Rektorat dengan kebijakan relokasinya.
Sepanjang penulis mengamati kasus ini, dapat dikatakan bahwa solusi terbaik yang perlu diambil yaitu dibukanya ruang komunikasi dan dialog kembali antara Himpa-Rektorat. Dalam pendekatan kekuasaan, Rektorat pun menjadi pihak yang paling berkuasa untuk membuka ruang dialog tersebut. Kadar kekuasaan yang melekat pada Rektorat jelas lebih besar sehingga itikad baik rektorat untuk sekali lagi membuka ruang tersebut masih dinantikan.
Bentuk keadilan ini harus terpatri betul di dalam lubuk hati setiap pimpinan di kampus ini. Para pimpinan harus ingat, bahwa keadilan pasti mengandung kebenaran, tetapi belum tentu kebenaran mengandung keadilan. Kebijakan relokasi menjadi sebuah kebenaran dari sisi birokrasi-administratif, tetapi menjadi tidak benar bahkan tidak adil dari sisi kemanusiaan. Apalagi, jika kualitas lokasi relokasi tidak lebih baik atau minimal sama dengan lokasi sebelumnya. Sehingga, kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali untuk menemukan titik keadilan di dalamnya.
Hingga kini relokasi Sunmor sudah menjadi wacana kolektif bahkan komoditas politik yang seksi untuk dianalisis dan diperdagangkan. Selain membuka kembali ruang dialog dan komunikasi antara Himpa-Rektorat, ada alternatif lain yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti yang dirilis oleh BEM KM UGM. Ada enam rekomendasi yang ditawarkan, yaitu musyawarah, pemenuhan kebutuhan fasilitas di lokasi baru, pendataan ulang PUK, penataan alokasi kaveling, pembersihan oknum “berkepentingan” di semua pihak, dan komunikasi intensif antara UGM dengan warga Karangmalang.
Pada akhirnya, prinsip keadilan wajib diutamakan oleh Rektorat sebagai pemegang kekuasaan dengan memerhatikan nilai-nilai kerakyatan yang selama ini dihayati oleh UGM. Penyelesaian secara arif dan bijaksana menjadi sebuah keniscayaan, supaya pembangunaan Taman Kearifan tidak digugat kearifannya.
Ekamara A. Putra
Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan/Sekjend BEM KM UGM
Menggugat Kearifan
Ilustrasi: Balairung/Halvin
April 2014 17
Jendela Ilmu Yang Semu
Potret
balkon18
Potret
Jogja Library Center merupakan salah satu sudut menarik yang terdapat di Jalan Maliboro. Tempat ini memiliki banyak fasilitas, seperti Yogyasiana, koleksi surat kabar dan majalah, Kyoto Corner, Wi-Fi, dan ruang audio-visual. Jogja Library Center membuka layanan setiap Senin-Jumat, mulai dari pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB, sedangkan pada hari Sabtu tempat ini beroperasi mulai dari pukul 08.00 sampai dengan 13.00 WIB. Namun, sangat disayangkan tempat ini masih kurang menarik perhatian warga lokal maupun wisatawan yang sedang berkunjung ke Yogyakarta. Padahal fasilitas yang disediakan sudah cukup banyak.
Foto dan Teks :
Nabila Alfariza
April 2014 19
balkon20
Advetorial - Event
Boarding Room, Jalan Pulang, dan Rabu. Sama halnya dengan pembawa acara dan Banda Neira, band-band itu juga menyampaikan pesan yang sama. Oleh karena itu, mereka tidak sekedar menghibur penonton dengan lagu-lagu yang mereka bawakan. Namun mereka juga turut menyerukan kritik sosial tentang perlunya sikap kritis dalam bermedia.
Konser bertajuk Rythm of Criticism ini pun menuai kesuksesan. Kurang lebih seribu tiket habis terjual. Tegar, seorang mahasiswi dari Universitas Islam Indonesia (UII), memberikan tanggapan baik atas konser tersebut. “Acaranya keren dan cukup terkonsep,” komentar Tegar. [Erny]
Serukan Kritis Bermediamelalui Konser
Sabtu (15/3) Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOMAKO) bekerja sama dengan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan konser musik bertajuk Rhythm
of Criticism. Konser itu diselenggarakan di Gedung PKKH Hardjosoemantri UGM.
Tema Rhythm of Criticism diusung sebagai bentuk ajakan dari panitia kepada penonton konser agar bersikap kritis terhadap media. Hal tersebut senada dengan penjelasan Rika selaku Humas acara tersebut, “Tujuan konser ini mengajak penonton untuk berpikir kritis terhadap media.” Melalui konser itu panitia juga berusaha memberikan edukasi bermedia dengan cara yang menyenangkan. Panitia berharap konser ini tidak sekedar konser biasa, tetapi konser ini mampu meliterasi para penonton agar lebih kritis dalam memanfaatkan media.
Salah satu wujud edukasi bermedia disampaikan oleh panitia melalui tayangan video yang berisi kutipan-kutipan program acara tidak mendidik. Lalu kedua pembawa acara, Gundhi Aditya dan Axeline Astrid, juga menyerukan pentingnya bersikap kritis terhadap media berulang kali. Selain itu, beberapa band yang mengisi konser itu juga turut menyerukan hal yang sama. Rika menjelaskan bahwa band-band yang mereka undang untuk mengisi acara tersebut sudah melalui berbagai pertimbangan, salah satunya adalah Banda Neira. “Banda Neira kami pilih jadi bintang tamu utama karena terkenal peduli dengan kritik sosial,” jelas Rika.
Di samping Banda Neira, band-band lain yang turut memeriahkan konser tersebut antara lain Archiblues,
Event
Foto : Balairung/Nala
April 2014 21
Opini
Sudah menjadi rahasia publik, bahwa Kota Yogyakarta terkenal akan kebudayaannya. Sudah cukup lazim pula berbagai aspek kebudayaan menyatu dalam aktivitas penduduknya. Mulai dari instansi pemerintah
hingga instistusi pendidikannya. Sedikit banyak, Universitas Gadjah Mada pun terlibat memberikan refleksi atas hal menarik tersebut.
Tidak hanya bergelut dalam bidang akademik, banyak civitas academica-nya juga bergerak dalam bidang kebudayaan. Baik melalui UKM, komunitas, maupun program-program kebudayaan yang diadakan oleh berbagai instansi yang menjalin kerja sama dengan pihak universitas. Lalu bagaimana jadinya ketika muncul sebuah kebijakan yang mengintegrasikan bentuk apresiasi kebudayaan ke dalam rangkaian kurikulum perkuliahan?
Salah satu bentuk integrasi kebudayaan dalam rangkaian kurikulum perkuliahan dapat ditemui di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Sejak lebih dari setahun yang lalu, FIB memasukkan Seni Budaya Indonesia (SBI) sebagai mata kuliah (makul) wajib. Bentuknya berupa seni karawitan, tari, dan juga batik. Paling tidak, setiap mahasiswa harus mengambil salah satu makul tersebut untuk memenuhi tuntutan akademiknya.
Tentu akan ada banyak sikap yang muncul terkait pelaksanaan kebijakan tersebut. Mengingat kebijakan itu diterapkan ke dalam lingkungan pendidikan formal, di mana bentuk kebudayaan yang berwujud aplikatif bukan merupakan fokus utama pencapaian akademik bagi civitas-nya. Pihak yang kurang sepakat mempunyai pendapat bahwa seni adalah persoalan keindahan. Mengingat keindahan lebih bersifat subyektif dan personal, maka kurang sesuai bilamana “keindahan” dipaksakan kepada individu tertentu.
Di sisi lain, pihak yang sepakat menyimpulkan bahwa kebudayaan merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah pendidikan. Ada nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung
dalam kebudayaan yang memiliki pengaruh penting dalam proses pendidikan. Oleh karenanya, menjadi sebuah kebutuhan jika seni kebudayaan harus menjadi bagian dari kurikulum akademik FIB.
Jika ditilik dari kondisi di lapangan, kebijakan tersebut cukup rasional untuk diterapkan. Fakta memperlihatkan bahwa apresiasi kebudayaan menjadi aspek yang tidak terpisahkan bagi civitas FIB. Salah satu bukti konkretnya adalah partisipasi mahasiswa fakultas tersebut dalam berbagai kegiatan kebudayaan di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Menjadi nilai unik tersendiri bila universitas yang fokus dalam bidang akademik mampu mencapai hasil yang mengagumkan dalam bidang kebudayaan yang bersifat praktik. Hal itu juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pelestarian kebudayaan di tengah arus globalisasi masa kini.
Terlepas dari itu, menjadi sebuah kebebasan bagi siapapun, baik individu di dalam maupun di luar lingkungan FIB untuk menyikapinya. Menjadi sebuah keniscayaan pula fenomena tersebut akan menimbulkan respon yang bervariasi. Namun, tidak masalah perbedaan seperti apa yang muncul. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan tersebut tentu diambil dengan pertimbangan matang dan berorientasi kepada kebaikan.
Jaka Aris Eko Wibawa,
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris 2010
Redaksi menerima tulisan opini bertema wacana/isu seputar UGM. Panjang tulisan 450-500 kata, kirim ke
[email protected] dengan subjek “Opini Balkon” atau langsung ke Redaksi Balairung di Kompleks Perumahan Dosen,
Bulaksumur B-21.
SBI di Lingkungan Fakultas Ilmu Budaya
Ilustrasi : Balairung/Anisa
balkon22
Eureka
Kelestarian Lingkungan Di Tengah
Keterbatasan Lahan
Pertambahan jumlah penduduk seringkali tidak diiringi
dengan penambahan luas area suatu kota. Padahal,
kebutuhan akan tempat tinggal menjadi kebutuhan
primer tiap manusia. Keterbatasan lahan yang
tersedia menyebabkan banyaknya pemukiman dibangun di
tempat yang tidak semestinya. Termasuk di antaranya adalah
bantaran sungai.
Bantaran Sungai Winongo merupakan salah satu
tempat yang dialihfungsikan menjadi pemukiman warga.
Padahal, daerah tersebut rawan akan bencana banjir dan
longsor. Adanya pemukiman di bantaran Sungai Winongo
menyebabkan pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga
yang dihasilkan. Namun akibat keterbatasan ekonomi, faktor
keselamatan dan kesehatan pun diabaikan.
Tinggal dekat dengan alam tidak selamanya memberikan dampak positif bagi alam. Justru sebaliknya, terkadang aktivitas
manusia malah mempercepat kerusakan alam tempat tinggalnya.
Ilustrasi : Balairung/Hanif
April 2014 23
Masalah tersebut menjadi bahan tesis karya Agerippa
Yanuranda Krismani, lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Program Studi Teknik Arsitektur tahun 2011.
Pada tesisnya yang berjudul Strategi Konsolidasi Pemanfaatan
Ruang Terbuka Tepian Air Sungai Winongo Yogyakarta, ia
menganalisis pola pemanfaatan ruang di bantaran Sungai
Winongo yang terdiri dari aspek fisik dan sosial. Selain itu,
penulis juga memberikan arahan perbaikan untuk daerah
bantaran Sungai Winongo menjadi lebih baik.
Menurutnya, Sungai Winongo masih memiliki
kesempatan untuk dikembangkan atau diperbaiki. Sungai
Winongo juga memiliki kepadatan penduduk tinggi dengan
pemanfaatan ruang yang beragam. Sehingga, lokasi
pemukiman yang berada di bantaran Sungai Winongo
telah mengubah fungsi daerah water-front menjadi tidak
semestinya. Pengertian water-front sendiri dijelaskan penulis
dengan mengutip Edward Tjahjadi dan Lina Purnama (1993)
yang mendefinisakan water-front adalah area yang memiliki
kontak visual dan fisik dengan air seperti laut, air sungai,
atau air danau. Water-front berfungsi sebagai ruang yang
bisa digunakan untuk mendukung kehidupan masyarakat
dan lingkungan di sekitarnya.
Perubahan bantaran Sungai Winongo menjadi
pemukiman menghilangkan fungsi water-front sebagai
ruang publik dan ruang sirkulasi. Pemerintah juga telah
menetapkan peraturan untuk menjaga kondisi dan
kelangsungan bantaran sungai yang tertera pada PP RI No.
35 tahun 1991 dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993.
Kedua peraturan tersebut mengatur batas jarak terluar
dari sungai untuk mendirikan bangunan. Namun, kedua
peraturan ini tidak diimplementasikan dengan baik pada
kasus bantaran Sungai Winongo.
Dalam penelitiannya, penulis menggunakan metode
rasionalistik-deduktif yang bersifat kualitatif. Maksudnya
adalah penelitian yang dibangun atas kemampuan
argumentasi secara logis dengan melakukan proses
berfikir dari pengetahuan yang bersifat umum ke khusus.
Pada teknik pengambilan data, penulis membagi Sungai
Winongo menjadi delapan bagian untuk memudahkan dan
memfokuskan penulisan. Dari delapan bagian tersebut,
penulis membandingkan angka kepadatan penduduk dan
bangunan di sekitar Sungai Winongo. Dari hasil tersebut,
penulis berpendapat bahwa semakin tinggi angka kepadatan
penduduk menyebabkan semakin beragam penggunaan
ruang suatu kawasan. Keberagaman penggunaan ruang
akan mempengaruhi besar kecilnya dampak kerusakan pada
kondisi lingkungan Sungai Winongo.
Sebagai contoh, dengan semakin banyaknya pemukiman
di sekitar sungai menyebabkan berkurangnya ruang terbuka.
Terdapat beberapa jenis ruang terbuka menurut bentuk
dan letaknya yang dijumpai di kawasan Sungai Winongo.
Secara keseluruhan, ditemukan fakta bahwa semakin
banyaknya ruang terbuka pada suatu daerah, semakin positif
penggunaan ruang terbuka tersebut. Sebaliknya, semakin
sedikit ruang terbuka yang ada maka akan menyebabkan
penggunaan ruang terbuka yang semakin negatif.
Selain keragaman jenis pemanfaatan ruang, tata
bangunan turut mempengaruhi kerusakan pada Sungai
Winongo. Hasil observasi penulis menunjukkan bahwa
bangunan di sekitar Sungai Winongo dibangun dengan pola
mengikuti aliran sungai. Sebagian besar bangunan tersebut
adalah rumah warga. Akibatnya, banyak limbah rumah
tangga yang dibuang ke sungai.
Penulis menemukan ada beberapa titik di sepanjang
Sungai Winongo yang berpotensi besar tertimpa bencana,
seperti banjir dan tanah longsor. Akan tetapi, di lain sisi
penulis juga melihat potensi perbaikan kawasan di sekitar
Sungai Winongo dari tingginya animo masyarakat untuk
beraktivitas di sekitar Sungai Winongo. Penulis menganggap
tingginya animo masyarakat mampu menjadi dorongan bagi
masyarakat untuk tetap melestarikan kawasan tersebut.
Pada bagian akhir dalam tesisnya, penulis membuat
arahan pola bangunan di sekitar Sungai Winongo
yang bertujuan untuk membantu melestarikan sungai.
Harapannya, masyarakat sadar dan peka terhadap
kelestarian lingkungan disekitarnya. Penulis melihat masalah
pada sebuah kota seringkali merupakan akibat ulah dari
warganya sendiri. Untuk memperbaikinya, masyarakat perlu
disadarkan supaya lebih peka terhadap lingkungan tempat
tinggalnya.
Melihat fenomena tersebut, dapat kita pahami bahwa
tanah air kita memang tak cukup luas untuk digunakan
seluruhnya oleh manusia. Maka, peranan manusialah yang
akan menentukan kelanjutan kelestarian lingkungan. Dengan
menempati kawasan yang seadanya, bukan berarti kita
tidak perlu memperhatikan kelestarian lingkungan. Justru
kitalah yang akan menjadi korban atas dampak kerusakan
lingkungan yang sebenarnya merupakan ulah kita sendiri.
[Iqbal]
balkon24
Rehal
Hingga hari ini, kota-kota kita masih saja berkutat pada masalah yang berakronim “BMKG” (Banjir, Macet, Kemiskinan, dan Gusur). Semakin banyaknya aktivitas penggusuran lahan
mengakibatkan “bumi makin kering dan gersang”. Di kota-kota besar kini lahan menjadi tuan yang diidam-idamkan. Bangunan beton kini ramai-ramai didirikan karena dianggap lebih memiliki nilai ekonomis ketimbang mempertahankan ekosistem di dalamnya. Konversi lahan perkotaan yang berlebihan tentu akan menciptakan dampak yang serius.
Nirwono Joga dan Iwan Semaun mencoba mengungkapkan dan memetakan persoalan lingkungan yang kerap dialami wilayah perkotaan. Dalam bukunya “RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau”, mereka berpendapat jika pengoptimalan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen dapat direalisasikan, permasalahan di wilayah perkotaan akan minimal. Setidaknya lahan 30 persen dapat memenuhi standar kebutuhan kesehatan, sosial budaya, dan mendukung sistem ekologi wilayah perkotaan. Secara umum mereka membagi tujuh bab utama dalam bukunya. Sebagai pembuka, bab pertama memaparkan latar belakang mengapa kota dan kita memerlukan RTH sebesar 30 persen.
RTH 30 persen adalah amanat, sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua kota-kota di Indonesia diisyaratkan mewujudkan RTH sebesar 30 persen. Angka minimal 30 persen merupakan angka yang wajar untuk keseimbangan ekosistem kota. Hal ini karena untuk menetralisasi karbon dioksida yang dikeluarkan berbagai jenis kendaraan, diperlukan penghijauan tanaman yang cukup banyak. Dari studi yang telah dilakukan berdasarkan lalu lintas kebutuhan (traffic demand) dengan metode Long-range Energy Alternative Planning (LEAP).Pada tahun 2015 misalnya, jutaan kendaraan yang berseliweran di DKI Jakarta akan menyumbang 38.322,46 ton CO2 per hari. Untuk menetralisasi CO2 tersebut dibutuhkan RTH sebesar 32,04 persen dari luas kota (PPE UI, 2000).
Bab kedua Nirwono dan Semaun mencoba untuk mengungkapkan fakta-fakta keadaan RTH di lapangan. Di Jakarta, data yang ada menunjukan bahwa tiga kecamatan telah menjadi kawasan terbangun lebih dari 90 persen, antara lain Kecamatan Tambora 92,82%, Kecamatan Johar Baru 91,49%, dan Kecamatan Cempaka Putih 91,49%. Ini mengindikasikan bahwa ruang terbuka hijau di kawasan tersebut sangat minimal, yaitu kurang dari 10 persen. Berkurangnya RTH dan bertambahnya dominasi lahan terbangun di kota-kota besar memberikan dampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan seperti muncul bencana ekologi banjir, fenomena meningkatnya suhu iklim, peresapan air terbuka yang mengering, dan meningkatnya pencemaran udara.
Menimbang kembali peranan RTH sebagai infrastruktur hijau, bab tiga membahas tentang peranan dan manfaatnya bagi wilayah perkotaan. Pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah perkotaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, dan bersih. Maka dari itu ruang terbuka hijau memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai pelayanan fasilitas umum bagi masyarakat untuk berinteraksi, berwisata, dan berolahraga. Dalam sisi ekologi memiliki fungsi sebagai area konservasi terbuka dan air, pengendali pencemaran serta memegang peranan dalam sistem hidrologis dan klimatologis. Selain itu, sebagai sarana pendidikan, penyuluhan, dan memberikan nilai estetika. Dalam penataan ruang perkotaan fungsinya tentu lebih ditekankan pada fungsi ekologis.
Keberadaan lahan terbuka hijau sendiri selama ini rawan terhadap perubahan fungsi, daerah pertanian, situ, waduk, tepian sungai, dan daerah hijau lainnya merupakan kawasan yang rawan terhadap konversi. Di sisi lain, potensi lahan privat, seperti halaman atau pekarangan bangunan, belum diperhitungkan sumbangannya sebagai RTH kota. Maka pada bab empat ini penulis memiliki pandangan untuk
RTH Instrumen Menuju Kota Hijau
Degradasi kualitas lingkungan membuat kota harus mencari (lagi)
keseimbangan ekosistem kota yang berkelanjutan.
April 2014 25
memaksimalkan potensi ruang hijau melalui pemberdayaan masyarakat dengan melirik potensi RTH privat. Lalu solusi apa yang ditawarkan untuk meninngkatkan partisipasi masyarakat? Menurut mereka, solusinya adalah dengan memberikan insentif. Salah satunya oleh pemerintah, yakni dalam bentuk insentif yang berupa kemudahan untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan memberikan fasilitas bagi masyarakat yang telah berkontribusi nyata dalam membangun lahan terbuka hijau di lingkungannya.
Bab selanjutnya memaparkan kualitas RTH masa kini. Kualitas yang dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan berfungsinya proses-proses ekologis yang melekat pada RTH (hidrologis, klimatologis, dan fungsi lainnya), serta fungsi sosial dan estetika lingkungan kota. Kini ruang terbuka hijau telah mengalami degradasi fungsi dan kualitas akibat perubahan ruang RTH alami menjadi RTH binaan yang pengembangannya hanya diarahkan pada fungsi sosial dan estetika, sehingga fungsi ekologisnya kurang optimal. RTH alami yang dimaksud di sini merupakan lanskap alami kota, sedangkan RTH binaan (second hand nature) adalah taman kota, taman lingkungan, dan taman halaman.
Pada bab terakhir Narwono dan Iwan menjabarkan delapan strategi pengembangan RTH kota, yaitu mencakup upaya menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun, membangun lahan hijau baru seperti taman kota. Selain itu, menurut mereka strategi yang logis dilakukan adalah dengan mengembangkan koridor ruang hijau kota (link),
mengakuisisi lahan hijau privat untuk diintegrasikan dengan RTH kota, merefungsi RTH yang telah ada dan menerapkan konsep “menghijaukan langit kota”. Maka dari itu, diperlukan pembuatan kebijakan yang pro-hijau, dan yang tak kalah penting adalah memberdayakan komunitas hijau.
Dalam buku ini penulis menyajikan studi kasus yang lugas mengenai degradasi ekologis yang dialami DKI Jakarta.Sayangnya, pembahasan lebih banyak dihabiskan untuk mengkritik dan fokus pada satu subjek penelitian, yaitu DKI Jakarta. Padahal, permasalahan lingkungan tiap kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda.Selain itu, pemilihan jenis kertas buram menyebabkan data grafik yang disajikan sulit untuk dibaca pembaca. Secara umum buku ini menarik untuk dibaca karena bahasanya mudah dipahami dan isu yang dibahas dalam buku ini pun aktual. [Rizqi]
FOTO : Balairung/Ryma
Judul : RTH 30% Resolusi (Kota) Hijau
Penulis : Nirwono Joga dan Iwan Semaun
Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Tebal : 272 halaman
Waktu terbit: 2011
balkon26
Apresiasi
Orang-orang desa ramai berteriak, menarikan jathil, dan mengangkat poster-poster pemimpin yang mereka idolakan : SBY, Soeharto, Zaskia Gotik, Rhoma Irama, dan lain-lain. Tiba-tiba
datanglah Ki Lurah menghentikan keributan itu. “Wong kuwi saiki pancen gampang lali lan ora pada gelem sinau lan golek hikmah marang sejarah (Orang itu sekarang memang gampang lupa dan tidak mau belajar dan mencari hikmah dari sejarah),” ujar Ki Lurah mengomeli orang-orang desa itu dengan logat Jawa yang kental. Dari pernyataan Ki Lurah itu, tersirat bahwa sejarah mampu menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk menentukan pemimpin yang layak. Adegan tersebut diakhiri dengan pemain yang meninggalkan panggung diiringi gamelan berlagu “Holobis Kuntul Baris”.
Gamelan terus dimainkan hingga tampak tiga orang wanita dengan riasan menor, rambut pirang, dan mengenakan gaun menggembung warna-warni muncul dari sisi panggung. Ketiga noni (gadis--red) Belanda itu berjalan memasuki panggung menyertai seorang pria angkuh yang
memerankan Jenderal Mareskalek, nama lain Daendels. Mereka menghina inlander (pribumi--red) sebagai kulit hitam pemalas yang payah dalam mengelola negara yang kaya. “Toh meskipun negaranya makmur, subur, mereka tak bisa apa-apa dalam mengatur, buktinya mereka tak berdaya jika diperdaya oleh pemimpin mereka sendiri,” cemooh salah satu noni.
Dialog, mimik, dan gestur para pemain ketoprak ini sesekali memantik tawa penonton yang memenuhi lantai dasar aula Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Sabtu (8/3). Pertunjukan ketoprak berjudul Jenderal Mareskalek atawa Marsekal Guntur itu merupakan puncak acara Dies Natalis Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Lewat kisah Gubernur Jenderal Daendels dalam ketoprak ini, FIB bermaksud menyuguhkan renungan bagi penontonnya yang sedang menyongsong pemilu, yang sedang mempertimbangkan calon pemimpin yang ada. “Seperti apakah pemimpin ideal itu? Yang seperti Daendels, atau yang feodal, ataukah seperti yang akan kita
Refleksi Pemimpin Kini pada Zaman Dulu
Dalam adegan pengundang tawa, terselip kritik terhadap penguasa.Penguasa asing menentang kekolotan pribumi, pribumi mempertahankan martabat penguasa mereka. Kisah dua penguasa ini pun seakan hidup kembali.
Foto : Balairung/Anung
April 2014 27
pilih?” ujar Mahmud Hidayat, ketua panitia ketoprak.
Umumnya, kisah ketoprak diambil dari babad, kisah sejarah berbahasa Jawa, Sunda, dan sebagainya. Namun, ketoprak ini mengadaptasi Hikayat Mareskalek, karya Abdullah bin Muhammad Al-Misri yang ditulis pada 1811-1813. Oleh Cahyaningrum Dewojati, Dosen FIB, naskah asli hikayat ini disederhanakan menjadi naskah ketoprak dalam bahasa sehari-hari. Naskah itu menjadi hidup karena dimainkan di panggung oleh dekan, dosen, dan mahasiswa FIB.
Konflik dalam cerita ketoprak ini menjadi jelas ketika para ningrat Jawa dikejutkan dengan perintah Mareskalek yang mewajibkan semua orang bekerja, termasuk mereka, para pemerintah yang biasa memerintah. “Wiwit saiki, sira kabeh kudu cancut tali wanda (ungk.), nyambut gawe! Ora mung cangkeme! (Mulai sekarang, kamu semua harus menyingsingkan lengan baju, bekerja! Tidak cuma mulutnya (yang bekerja)!)” Para ningrat itu pun mendengarkan dengan diam, namun di dalam hati mereka bergejolak penolakan. “Kuwi jenenge ngenyek lan ngidak-idak martabate priyagung tanah Jawa! (Itu namanya menghina dan menginjak-injak martabat penguasa tanah Jawa!)” bantah salah satu bangsawan dengan sengit. Mareskalek pun marah besar, suaranya terdengar bagai guntur. Ia menghadiahi bangsawan itu dengan pekerjaan berat, yaitu tukang batu. Suasana menegang, bangsawan lain tak ada yang berani menentang.
Keberatan para ningrat itu rupanya cukup beralasan. Selama ini, mereka berhak mengerahkan tenaga rakyat jelata dan menikmati upeti. Mereka memang diberi tempat yang nyaman oleh feodalisme di tanah Jawa. Semenjak kedatangan Daendels, feodalisme di kerajaan Jawa dibenturkan dengan sistem baru. Daendels menilai feodalisme tidak bisa diterapkan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. “Setiap orang yang mengaku ingin masih hidup di wilayah tanah Jawa, harus mau bekerja!” perintah Mareskalek. Sejak dikeluarkannya perintah itu, semua lapisan masyarakat bekerja di bawah otoritas Daendels. Mereka bekerja berat, salah satunya membangun jalan yang membentang dari barat hingga timur pulau Jawa (Anyer-Panarukan).
Panggung diatur menjadi sebuah ruangan pesta. Musik terdengar mengiringi orang-orang memasuki ruangan tersebut. Ternyata, Mareskalek sedang mengadakan pesta di kediamannya. Dalam pesta itu, Mareskalek memberi gelar kebangsawanan pada orang-orang yang menurutnya sudah bekerja dengan baik. “Amarga sira isa aweh conto bumi putera carane nyambut gawe sing becik, sira ingsun paringi gelar ‘Mayor van Hir Raja Mangkuningrat’. (Karena kamu bisa memberi contoh pribumi caranya bekerja dengan baik, kamu saya beri gelar ‘Mayor van Hir Raja Mangkuningrat’.)” Obral gelar ini merupakan hal yang menentang feodalisme. Tetapi Daendels beranggapan gelar kehormatan tidak sepantasnya diberikan kepada darah biru, melainkan kepada darah orang yang suka bekerja.
Penonton yang disuguhi pertunjukan ini pun mampu
membaca sisi positif kepemimpinan Daendels. “Hikayat ini lebih memperlihatkan sifat positif Daendels,” kata Anisah Zuhriyati, mahasiswa FIB. Padahal, Daendels juga memiliki sisi negatif. Ia pun memeras tenaga rakyat demi kepentingan Belanda, tak beda dengan feodalisme Jawa yang ditentangnya. Belum lagi, ia juga menganggap dirinya adalah orang yang berkuasa di tanah Jawa, sejajar dengan para raja. “… ingsun dhewe nduwe jeneng sing padha karo ratu-ratu, jeneng ingsun ing tlatah Jawa iki Susuhunan Kanjeng Kang Sinuhun Mangkurat Mangkubuwana, (Saya sendiri punya nama yang sama dengan raja-raja, nama saya di wilayah Jawa ini Susuhunan Kanjeng Kang Sinuhun Mangkurat Mangkubuwana,)” kata Mareskalek dengan angkuh.
Namun kisah Mareskalek berakhir antiklimaks. Ia terpaksa mengakhiri masa kekuasaannya, dipanggil pulang ke Belanda oleh Ratu Wilhelmina. Adegan berakhir dengan teriakan pilu sang Jenderal Guntur, bersama gamelan yang menghentak dan layar yang diturunkan.
Ketoprak ini menjadi cerminan konflik model pemerintahan di Indonesia masa kini. Cahyaningrum berharap penonton mampu berpikir kritis sebelum memilih pemimpin yang dirasa paling ideal, layaknya penulis Hikayat Mareskalek yang mengkritisi dua belah pihak penguasa. “Ada yang ingin disampaikan kepada kolonial, ada yang ingin disampaikan kepada raja-raja Jawa,” tuturnya. [Tabita,Shohieb]
Foto : Balairung/Anung
balkon28
Sosok
Di fakultas yang menempati wilayah Sekip Utara sejak tahun 1973 ini, terdapat seorang sosok yang membanggakan. Memasuki fakultas tersebut, terlihat edung Dekanat Farmasi tempat ruangan
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kerja Sama dan Alumni berada. Di dalamnya, terdapat lemari dengan deretan piagam penghargaan tersusun rapi. Piagam tersebut seakan menjadi simbol atas kerja kerasnya. Tak lain, pemiliknya yaitu Agung Endro Nugroho, M. Si., Ph.D., Apt, guru besar termuda yang dimiliki Fakultas Farmasi UGM. Sore itu, (19/03) dia bercerita tentang kisahnya meraih sukses dan menjadi guru besar.
Mendapatkan gelar guru besar pada usia relatif muda merupakan puncak karir pria kelahiran Surakarta, 15 Januari 1976 ini. Dia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara
yang berasal dari keluarga sederhana. Hal ini dapat diketahui dari latar belakang keluarganya. Sang ayah yang hanya lulusan SMP dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil, sedangkan ibu hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Namun, hal tersebut tidak membuat dia putus asa untuk menjadi seorang akademisi.
Sempat bercita-cita sebagai insinyur, sekarang dia sukses menjadi guru besar meskipun itu bukan yang diinginkannya. Sebab, Farmasi menjadi pilihan ketiga saat mendaftar di UGM. Hal ini berdampak pada prestasinya di awal tahun masuk kuliah, bahwa IPK-nya tidak pernah lebih dari 2,5. Kemudian, dia menyadari, bahwa pilihan tersebut pemberian dari Tuhan yang harus dijalaninya dengan baik tanpa menyianyiakannya. “Bersyukurlah atas apa yang Allah beri dan jalani dengan kerja keras,” kisahnya. Sampai pada
Profesor Agung: Terdampar di Tempat yang Tepat
Setelah diterima di Jurusan Farmasi, Agung muda belum bisa menyesuaikan diri, karena itu bukan pilihan utamanya. Namun,
seiring waktu kesadaran diri telah mengantarkannya menjadi profesor muda berdedikasi.
FOTO : Balairung/Zaki
April 2014 29
akhirnya, dia menjadi lulusan terbaik dengan IPK tertinggi dan menjadi mahasiswa berprestasi di Fakultas Farmasi. Selain itu, dia juga aktif di BEM KM Farmasi dan pernah menjabat sebagai ketua Divisi Minat dan Bakat
Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya pada 1998, dia melanjutkan S2-nya pada tahun yang sama di UGM dengan bidang Ilmu Farmasi. Sesudah itu, pada 2005 dia mendalami bidang Farmakologi S3 di Ehime University, Masuyatma, Jepang. Kemudian, dia mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di Fakultas Farmasi UGM. Untuk itu, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Misalnya, pemenuhan Tri Dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. “Dari semua unsur tersebut, penelitianlah yang menjadi kredit yang paling memengaruhi,” ungkapnya
Setelah menyelesaikan S3-nya, ada sebanyak 12 penelitian yang telah dia lakukan. Salah satunya, “Isolasi Senyawa Golongan Alkaloid Fenantroindolisidin dari awar-awar (Ficus Septica Brum.f) sebagai Agen Pendamping Kemoterapi Unggulan pada Kanker Payudara” yang dibuatnya pada 2013. Selain penelitian, dia pun aktif menuliskan sejumlah artikel ilmiah maupun populer di jurnal internasional dan nasional yang terakreditasi, seperti “Hesperidin as a “Preventive Resistance Agent In Mcf-7 Breast Cancer Cells” dalam Asian Pacific Journal Of Tropical Biomedicine yang ditulisnya pada 2014. Dia juga mempunyai hak kekayaan intelektual (HKI) dengan judul penemuan “Senyawa Baru Garam Kalium Dari 4-(4-Hidroksi-3-metoksifenil)-3-buten-2-on” yang dipatenkan pada 2009. Selain itu, masih ada sekitar 83 artikel, serta tiga buku yang telah dia tulis.
Setelah sekian banyak prestasi yang diraih, pada umurnya ke-36 dia secara resmi menerima SK pengangkatan guru besar pada tanggal 1 Oktober 2012. Pada saat pengukuhan tersebut, dia mengemukakan pidatonya tentang “Peran Farmakologi Molekuler dalam Perkembangan Penelitian Kefarmasian”. Menurutnya, banyak teman seangkatan ataupun senior yang lebih dulu mengajukan menjadi professor, tetapi dia lebih beruntung.
Dengan gelar tersebut, dia lebih menjadikannya sebagai amanah yang harus dijalani. “Menjalani amanah ini dengan mengurusi dan mensinergikan para dosen dan mahasiswa di fakultas farmasi,” ujarnya. Namun menurutnya, predikat profesor jangan dijadikan sebuah gelar prestisius, tetapi sebuah tugas dan tantangan baru. “Selama ini, saya biasa-biasa saja dengan gelar ini,” katanya ringan.
Dia menuturkan, menjadi seorang civitas academica UGM secara langsung menambah motivasi dia untuk terus menjadi yang terbaik. Karena faktor tersebutlah yang membuatnya selalu ingin berkembang setiap hari. “Saya bangga menjadi bagian dari universitas ini,” lanjutnya.
Motivasi Itu juga menjadi bagian dari kunci keberhasilannya. Dia menjelaskan, selama ini kunci dari keberhasilannya adalah selalu mengerjakan
apapun itu dengan senang hati. “Bila hati kita ikhlas, Insya Allah, apapun itu dapat berhasil,” ujarnya. Untuk itu, dia meyakini bahwa setiap manusia harus mempunyai keinginan untuk menjadi maju yang di awali oleh diri sendiri.
Semua pengalamanya itu membuat dia berprinsip untuk terus menjadi yang terbaik di suatu lingkup komunitas. Hingga kini pun, dia masih memegang teguh prinsip tersebut. “Untuk menjadi yang terbaik, hal pertama harus mencintai suatu pekerjaan itu,” tegas dia.
Dengan prinsip tersebut, dia sukses menjadikan dirinya profesor. “Pihak UGM tentu memerlukan banyak pertimbangan melalui syarat-syarat yang diberikan untuk menjadikan seseorang sebagai guru besar,” ujar Febi Diahpitaloka, S, Kes., selaku Staf Sekertariat Dekanat Farmasi. Febi menambahkan, dia memang pantas untuk mendapatkan gelar tersebut karena sifat dia yang tekun, disiplin, ulet dan pekerja keras. “Ditambah kepribadian Pak Agung yang santun, tidak membeda-bedakan antara dosen, mahasiswa, dan karyawan,” ungkap Febi.
Kepribadiannya yang dinilai baik itu, membuat salah satu mahasiswanya, Adella Clara Alverina, mahasiswi jurusan Farmasi ’12 menjadikan dia sosok yang inspiratif. Berkaca dari prestasi dia yang telah membanggakan, Adella pun ingin menjadi seperti itu. “Paling tidak, saya ingin mencetak prestasi yang sesuai dengan kemampuan sendiri,” ujarnya
Kepada para dosen, dia juga menekankan bahwa dalam proses mengajar, tidak sepatutnya hanya sekadar menjalankan tugas. Namun, juga membawa tanggung jawab kepada orang yang diajarnya. “Para dosen harus mempunyai langkah kedua, yaitu apakah mahasiswa yang diajarnya mengerti atau tidak,” harapnya. Apabila dosen mengajarkannya dengan baik maka ilmu tersebut dapat mudah dipahami.
Setelah sekian banyak prestasi yang didapatkannya selama ini, dia ingin memfokuskan tujuannya untuk menjadikan Fakultas Farmasi yang terbaik. Untuk itu, dia siap mendedikasikan dirinya untuk fakultas yang telah membawanya dalam kesuksesan ini. “Menggapai cita-cita tersebut memang berat, namun mari kita sama-sama menjadi yang terdepan,” harapnya. [Agdzhur, Erbha]
FOTO : Dokumentasi Pribadi
balkon30
Komunitas
Minggu pagi (23/02) di Lapangan Graha Sbha Pramana sebelah timur terlihat sekelompok orang sedang memainkan sebuah olahraga. Mereka sedang berlarian sambil membawa
bola di tangan. Sesekali tawa terpecah di antara mereka. Mereka adalah anggota komunitas GMFF (Gadjah Mada Flag Football). Apakah sebenarnya komunitas tersebut?
GMFF merupakan komunitas Flag Football yang berada di Universitas Gadjah Mada. Pada awalnya, komunitas tersebut bernama Lancer. Hal itu dijelaskan oleh Radit Pradipta, mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM yang juga ketua merangkap pelatih GMFF. Menurutnya, komunitas tersebut sempat vakum karena kekurangan anggota, dan kembali aktif pada tahun 2012. Setelah aktif kembali, komunitas Lancer berubah nama menjadi GMFF dan diresmikan pada 28 Oktober 2012.
Flag football merupakan sebuah permainan bola menggunakan tangan. Olahraga ini pertama kali muncul di abad 19. Awalnya, terdapat permainan bola bernama American Football. Permainan tersebut banyak dilangsungkan oleh perguruan tinggi di Amerika. Namun, olahraga tersebut dinilai penuh dengan kekerasan. Maka kemudian dibuatlah olahraga yang dapat dinikmati tanpa banyak risiko cedera bernama Flag Football.
Sekilas olahraga Flag Football seperti American Football. Namun ada perbedaan American Football dengan Flag Football. Perbedaan yang paling terlihat adalah dari jumlah pemain, American Football membutuhkan sebelas orang dalam satu tim. Peralatan dan pengaman pun harus lengkap, seperti helm dan pelindung sendi. Perlengkapan lapangan
juga berbeda, seperti pemakaian gawang untuk mencetak angka. Pada intinya, permainan American Football menggunakan alat dan kontak fisik yang lebih banyak.
Berbeda dengan Flag Football yang membutuhkan cukup enam hingga delapan pemain per tim. Perlengkapan dalam olahraga Flag Football juga hanya memerlukan kaus dan celana olahraga. Perbedaan lain, pada AmerIcan Football digunakan gawang, sedangkan Flag Football hanya berupa garis gawang. Selain itu, masing-masing pemain mengenakan bendera yang diikatkan pada pinggang.
Antovany Reza Pahlevi, salah satu pemain Flag Football UGM menjelaskan,peraturan permainan Flag Football secara keseluruhan hampir sama dengan American Football. Pemain dibagi menjadi dua tim, yaitu tim offensive (penyerang) dan defensive (bertahan). Setiap tim memiliki masing-masing tiga line man. Line man dalam tim penyerang bertugas menahan line man dari tim bertahan. Salah satu pemain dari masing-masing tim
GMFF: Merintis Tren Olahraga Baru
Flag Football baru mulai dikembangkan GMFF. Meski begitu, prestasi
membanggakan sudah ditoreh
April 2014 31
memiliki quarter back. Quarter back adalah pemain yang ditugaskan untuk melempar bola ke arah rekan timnya untuk dibawa menuju garis gawang.
AmerIcan Football merupakan olahraga yang cukup keras karena mengandalkan kekuatan fisik. Hal tersebut disebabkan dalam permainan American Football terdapat tackle down, yaitu gerakan menjatuhkan lawan. Flag Football dapat disebut sebagai versi aman dari American Football. Hal tersebut dikarenakan kontak fisik seperti yang ada di AmerIcan Football dihilangkan.
Sebagai gantinya, pemain Flag Football memakai bendera yang diikatkan di pinggang. Pemain menghentikan pergerakan dengan melakukan deflagging atau mencabut bendera lawan. “Karena disini tackle down-nya memakai bendera, olahraga ini disebut Flag Football,” jelas Raden Roro Clarissa atau Ica, manajer GMFF yang juga mahasiswa Hubungan Internasional.
Ica juga mengatakan, awal mula Flag Football masuk ke Yogyakarta sekitar tahun 2009. Pada awalnya
permainan ini dibawa oleh pemain Flag Football Jakarta yang datang ke Yogyakarta. Setelah itu, dibentuklah organisasi regional Yogyakarta yang diresmikan pada tahun 2010. Organisasi tersebut bernama IFFA (Indonesian Flag Football Association). Dari IFFA, kemudian bermunculan peminat dari mahasiswa di UGM. Setelah itu,dibentuklah komunitas tersendiri di dalam kampus.
Latihan GMFF diadakan setiap hari Senin dan Kamis pukul 16.00 di Lapangan GSP UGM sebelah timur. Latihan di hari Senin terdiri atas latihan menangkap bola, deflagging, jogging, sprint, dan push-up. Pada hari Kamis, latihan berupa simulasi permainan dengan pertandingan antar tim. Dalam latihan dan bermain, berbagai perlengkapan lapangan dibuat secara mandiri. Semua sumber pendanaan dari Tim Flag Football UGM berasal dari iuran para anggota sendiri.
Meskipun dengan peralatan yang terbatas, latihan tetap rutin digelar. Selain latihan rutin tersebut, Tim Flag Football UGM juga menggelar latihan bersama dengan Tim Flag Football Regional Yogyakarta yang dikenal dengan nama Tim Garuda. Latihan bersama ini dilakukan dalam rangka persiapan kompetisi National Friendly Game yang akan datang. Kompetisi tersebut akan diikuti oleh Tim Flag Football dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain.
Meskipun masih berusia sangat muda, Tim Flag Football UGM telah menorehkan sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Dalam turnamen Yogyakarta Ball Season 1 yang diadakan IFFA Regional Yogyakarta, Tim Flag Football UGM berhasil mencapai final dan menjadi runner-up. “Itu merupakan prestasi pertama kita karena kejuaraan itu diikuti tim-tim Flag Football dari seluruh Yogyakarta,” kata Ica.
Namun, dibalik prestasi yang telah diukir, Ica mengakui adanya kendala dalam mencapainya. “Anggotanya masih susah sekali kumpul. Masih harus lebih disiplin,” ungkapnya. Hal bernada serupa juga diutarakan oleh Radit. “Karena kita mahasiswa, apalagi beda jurusan, sering ada perbedaan jadwal,” tuturnya. Ia juga mengungkapkan adanya kesulitan dalam mencari pemain baru untuk tim. “Karena kurang, kadang kita mengajak orang dari UNY atau SMA di Jogja,” tambahnya lagi.
Mereka berharap anggota GMFF bertambah lebih banyak. Selain sebagai regenerasi anggota, juga bertujuan untuk menambah kekuatan tim. Radit berharap komunitas ini bisa maju, berkembang, dan diakui secara nasional. “Harapannya, GMFF dapat menjadi wadah untuk teman-teman yang tertarik dengan Flag Football,” ungkapnya.
Komunitas ini memiliki target untuk dapat diresmikan sebagai UKM. Ica mengatakan, untuk mencapainya dibutuhkan kerja sama dari semua anggota. “Segala kekurangan harus diperbaiki dulu,” katanya. Manajer berkacamata itu berharap GMFF dapat mengalami perubahan hingga tahun 2015 mendatang. “Tahun ini harus benar-benar kompak dulu. Satu visi, satu misi, baru mantap jadi UKM,”pungkasnya. [Mayang, Zulfikar]
FOTO : Dokumentasi GMFF
balkon32
Gores
Ilust
rasi
: B
alai
rung
/Mar
ia
April 2014 33
Interupsi
Dikisahkan di kerajaan Mayapada, Bathara Guru sedang pusing tujuh keliling. Mondar-mandir Sang Mahadewa itu di pinggiran kolam swarga yang terletak tak jauh dari beranda belakang istananya.
Sang Istri, Dewi Uma, sedari tadi hanya mengamati kelakuan suaminya dari beranda marmer itu.
“Duh, duh, aku kudu piye?” ujar Bathara Guru pada koi-koi gemuk penghuni kolam swarga.
Sayang, koi-koi itu gagal memahami Bathara Guru yang sedang bingung. Jadilah mereka hanya bisa hilir-mudik di kolam yang tak seberapa dalam itu, sambil sesekali mangap-mangap, minta diberi makan.
Melihat Bathara Guru bertingkah tak wajar, Dewi Uma beranjak menuju pinggiran kolam swarga di mana Bathara Guru sedang mengadukan kegundahannya pada Hyang Tunggal.
“Ada apa, Kakanda? Mengapa Kakanda terlihat begitu gusar?” tanya Dewi Uma dengan suara yang lembut.
“Aku bingung, Adinda. Ibarat sedang dikepung kawanan serigala di tepi jurang, apabila maju remuk tubuhku dilumat dalamnya jurang, mundur pun habis aku dikoyak taring-taring tajam. Duh… beginilah nasib memerankan gelar Mahadewa, Raja para dewata. Aku kudu memperhitungkan segala pertanda dari semesta dan dewa-dewa.”
Sambil menuntun suaminya untuk duduk di bawah kersen tua yang rimbun daunnya, Dewi Uma bertanya kepada Bathara Guru, “Apakah musabab keresahan Kakanda adalah pembangunan Taman Para Dewata?”
“Begitulah, Adinda. Tampak nyata-nyata para dewa
sangat menginginkan pembangunan taman itu di tempat ini. Mereka meminta aneka bangunan didirikan di tempat ini, mulai dari kolam penampung air, bale agung, pondok cerdik-cendikia, dan tak ketinggalan track jogging yang harus dibangun mengelilingi taman. Duh… tapi apa kata Hyang Tunggal?”
“Ada apa dengan Hyang Tunggal, Kakanda?”
“Kau tahu, tempat ini semenjak ribuan tahun lalu hingga saat ini tidak pernah berubah. Hyang Tunggal sengaja membiarkannya alami dirawat oleh angin, hujan, dan terik surya. Kolam swarga itu menjadi tempat kesayanganNya. Hyang Tunggal bilang, dewa sekalipun harus pandai merawat makhluk hidup lain, apalagi makhluk tanpa kuasa macam koi-koi penghuni kolam swarga.”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”
“Mau tidak mau aku harus mencari tempat untuk memindahkan kolam swarga. Namun entahlah, aku tak kunjung menemukan tempat yang menyenangkan hati Hyang Tunggal.”
Sembari menggelayutkan tangannya di pundak Bathara Guru, Dewi Uma berbisik, “Berhati-hatilah kakanda, jangan sampai negeri Mayapada ini dikutuk karena para dewanya lupa bertindak bijaksana.”
[Penginterupsi]
Taman Para Dewata
Sudut+ Pembangunan Wisdom Park atau Taman Kearifan menyebabkan relokasi pedagang Sunmor yang berujung pendobrakan portal oleh pedagang.
- Jangan sampai kearifan berbuah malapetaka.
+ Pembangunan Wisdom Park bertujuan untuk membuka ruang terbuka hijau (RTH) bagi masyarakat sekitar UGM.
- Membuka ruang terbuka hijau loh, bukan membuka ruang ‘tuk (pengikut) hedonisme
Ilustrasi: Balairung/Halvin
Si Iyik
balkon34
0857291xxxxxHalo, saya mahasiswa UGM 2011 pembaca Balkon edisi
30 Desember 2013. Saya tertarik dengan temanya. Lalu menanggapi tulisan yang judulnya diskusi tentang isu-isu agama, saya tertarik untuk bergabung kalau itu tidak hanya jadi wacana. Terimakasih.
Terimakasih kembali atas apresiasi pembaca terhadap Balkon. Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Center for Religious and Cross-cultural Study (CRCS) bagi mahasiswa pascasarjana UGM sebagai mata kuliah. Jika pembaca tertarik bergabung, maka dapat langsung menghubungi CRCS.
0878394xxxxx Balkon isinya bagus cuma sayang enggak dijilid.
Terima kasih atas komentar pembaca. Balkon yang tidak dijilid itu adalah balkon edisi magang, sedangkan balkon reguler selalu dijilid dengan staples.
0857946xxxxxHai, mau tanya mengapa halaman 6-7 ilustrasi tulisannya
adalah muslim vs agama-agama lain. Yakin seperti itu? Luar biasa jika Balkon media ternama, kalian bisa dihujat.
Terimakasih atas kritik dan komentar pembaca. Ilustrasi dari tulisan berjudul ‘Mengukur Pluralisme Beragama Melalui Ketersediaan Tempat Ibadah” itu tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan agama-agama di UGM. Maksud dari ilustrasi tersebut dapat pembaca ketahui setelah membaca tulisan yang direpresentasikannya. Salah satu maksud yang ingin dilontarkan kepada pembaca adalah ‘Apakah ketersedian rumah ibadah dapat menjadi parameter pluralisme beragama di UGM?.’ Jika pembaca telah menganalisa tulisan tersebut, maka akan dijumpai fakta bahwa pendirian rumah ibadah bagi semua agama di UGM bukanlah indikator utama pluralitas. Pun belum adanya rumah ibadah bagi non-Islam, tidak berartiUGM tidak menjunjung pluralitas. Ada faktor lain, seperti ketersedian lahan dan beragamnya aliran agama, yang menghambat pembangunan rumah ibadah non-Islam. Rumah ibadah memang bukan satu-satunya indikator pluralitas, namun satu dari sekian upaya untuk menakar pluralitas di UGM.
Surat Pembaca
April 2014 35
balkon36
Jurnal BALAIRUNG
Majalah BALAIRUNG
info
PEMESANAN
087812800221(MANDA)
@bppmbalairungBPPM Balairung
www.balairungpress.com
Transportasi dalam Arus Indrustralialisasi : Narasi Atas
Cacat Modernisasi
Wajah Buram Iklan Luar Ruang
Telah Terbit