bagian inti.pdf
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Krisis energi belakangan ini menjadi isu global yang cukup
mengkhawatirkan di mata dunia terutama Indonesia. Hal ini didorong oleh
kenyataan bahwa kebutuhan energi semakin lama semakin bertambah. Di sisi lain,
sumber energi yang tersedia saat ini jumlahnya semakin berkurang. Pemanfaatan
energi non-renewable yang sudah marak, bila diteruskan bisa mengurangi jumlah
energi yang tersedia di alam.
Penggunaan bahan bakar juga berdampak buruk bagi lingkungan.
Penggunaan bahan bakar dari minyak dan batu bara disinyalir merupakan
penyebab utama terjadinya pemanasan global dan juga peningkatan harga minyak
dunia yang mencapai lebih dari 111 US$ per barel (berdasarkan statistik DJ Migas
diolah oleh Pusdatin, 2011). Hal ini juga yang menjadikan Indonesia sebagai salah
satu anggota OPEC mengalami kesulitan akan kenaikan harga yang ekstrim ini.
Produksi minyak bumi Indonesia semakin lama juga semakin menurun dan
tidak sebanding dengan jumlah konsumsi yang terus meningkat. Permasalahan ini
berdampak pada kenaikan subsidi pemerintah di dalam RAPBN yang kini
mencapai Rp. 215 trilliun (migasnews.com, 2012). Ini menyebabkan anggaran
subsidi terhadap minyak bumi menjadi semakin melambung.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak,
pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 5
tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber
energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut
menekankan pada suatu upaya menggantikan bahan bakar minyak dengan sumber
daya alam atau limbah yang dapat diperbaharui sebagai energi altenatif.
Energi alternatif merupakan energi yang banyak dikembangkan oleh
masyarakat luas sebagai pengganti energi konvensional. Istilah energi alternatif
digunakan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar hidrokarbon yang
mengakibatkan polusi dan kerusakan lingkungan akibat emisi gas CO2 yang
-
2
tinggi. Teknologi alternatif digunakan untuk menghasilkan energi dengan
mengatasi masalah dan tidak menghasilkan masalah baru seperti pada penggunaan
bahan bakar fosil. Telah banyak sumber energi alternatif yang berkembang di
Indonesia. Sebagai contoh, potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan
menjadi sumber energi alternatif adalah aliran sungai, angin, matahari, sampah
serta sumber-sumber lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon jarak,
dan energi biogas. Akan tetapi, pemanfaatan energi alternatif lainnya belum
terlihat secara signifikan. Dari sekian sumber energi yang tersedia di alam, maka
energi yang paling mudah ditemukan dan dimanfaatkan adalah energi biogas.
Energi biogas adalah energi hasil konversi dari limbah manusia atau
limbah organik lainnya yang dapat membentuk gas metana. Biogas ini dapat
dijadikan sebagai energi alternatif karena proses pembuatan dan pemeliharaan
pada pembangkit biogas yang sederhana dan energi yang dihasilkan bersahabat
dengan lingkungan. Sumber energi biogas yang selama ini jarang dimanfaatkan di
kehidupan sehari-hari namun mempunyai potensi yang baik adalah kotoran
manusia.
Dasar pemikiran penggunaan kotoran manusia sebagai biogas karena
didasarkan pada faktor (1) jumlah kotoran manusia yang banyak terutama pada
instansi pemerintahan (kantor-kantor), pasar, tempat umum, dan sekolah-sekolah,
(2) selama ini penggunaan dan penanggulangan kotoran manusia sebagai energi
alternatif belum maksimal, (3) adanya persepsi dari masyarakat bahwa kotoran
manusia itu menjijikan seehingga tidak cocok dijadikan bahan bakar alternatif,
dan (4) berdasarkan komparasi beberapa literatur menunjukkan bahwa kotoran
manusia memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar sebagai biogas, mengingat
sistem kerja dan proses dari biogas itu sendiri.
Biogas dari tinja manusia dapat dihasilkan melalui anaerobic digestion.
Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan energi
alternatif sehingga mampu mengatasi kekurangan energi yang ada dan
menggantikan penggunaan bahan bakar fosil atau minyak sebagai energi yang
ramah lingkungan.
-
3
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, dapat diinterpretasikan bahwa
penggunaan kotoran manusia sangat berpotensi sebagai biogas karena sumber
energi alternatif ini memiliki jumlah yang sangat banyak. Sebagai contoh Asrama
di SMA Negeri Bali Mandara memiliki jumlah penghuni yang cukup untuk
menyediakan sumber biogas yang berkelanjutan. Jumlah populasi keluarga besar
di SMA Negeri Bali Mandara untuk menyediakan sumber biogas disajikan pada
Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Data Populasi Keluarga Besar SMA Negeri Bali Mandara
Wilayah Jumlah
Siswa 150
Guru
23
Pegawai 25
Jumlah 198 Sumber: SMA Negeri Bali Mandara, 2012.
Merujuk pada Tabel 1.1 dapat diinterpretasikan bahwa jumlah populasi di
SMA Negeri Bali Mandara sebanyak 198 orang. Bila satu orang dewasa
menghasilkan rata-rata 83 gram dan air seni sebesar 970 gram, maka jumlah
sumber energi yang tertampung sangat banyak (Suparmin, 2002). Selama ini,
kotoran manusia masih belum dimanfaatkan secara optimal apalagi dimanfaatkan
sebagai energi alternatif. Padahal gas metana yang dihasilkan dari kotoran
manusia bisa digunakan sebagai bahan bakar, baik dalam memasak, sebagai
penerangan, atau bahan bakar kendaraan untuk di masa mendatang. Oleh karena
itu, untuk mengatasi masalah krisis energi yang terjadi saat ini diperlukan
biodigester sebagai salah satu solusi energi alternatif.
Biodigester merupakan suatu alat yang mampu menghasilkan gas metana
dari campuran tinja dan air seni yang dalam keadaan tertutup mengalami proses
anaerobik. Dalam hal ini, gas metana dihasilkan oleh bakteri metanogen yang
terkandung dalam setiap kotoran manusia. Keberadaan biodigester untuk
menghasilkan biogas diharapkan mampu mengatasi krisis energi dengan
pemanfaatan energi alternatif yang dapat dikembangkan di masyarakat terutama di
lingkungan SMA Negeri Bali Mandara . Berdasarkan permasalahan di atas, maka
penulis memandang perlu mengkaji terkait Pemanfaatan Kotoran Manusia di
Asrama SMA Negeri Bali Mandara Menjadi Biogas dengan Metode
Biodigester.
-
4
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah teknik pengolahan biogas dari kotoran manusia di SMA
Negeri Bali Mandara sebagai energi alternatif yang biodegradable?
2. Bagaimanakah cara mengkondisikan biodigester agar menghasilkan biogas
dari kotoran manusia yang optimal?
3. Bagaimanakah design instalasi pengolahan kotoran manusia di SMA Negeri
Bali Mandara?
4. Bagaimanakah implikasi penggunaan biogas dari kotoran manusia sebagai
energi alternatif di SMA Negeri Bali Mandara dan masyarakat sekitarnya?
1.4 Tujuan Penulisan
Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan karya
tulis ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan teknik pengolahan biogas dari kotoran manusia di SMA
Negeri Bali Mandara sebagai energi alternatif yang biodegradable.
2. Mendeskripsikan cara mengkondisikan biodigester agar menghasilkan
biogas dari kotoran manusia yang optimal.
3. Mendeskripsikan design instalasi pengolahan kotoran manusia di SMA
Negeri Bali Mandara.
4. Mengetahui implikasi penggunaan biogas dari kotoran manusia sebagai
energi alternatif di SMA Negeri Bali Mandara dan masyarakat sekitarnya.
1.5 Manfaat Penulisan
1. Bagi Siswa
Dapat menambah wawasan siswa tentang energi alternatif biogas dan
mengetahui cara mengaplikasikan energi alternatif biogas.
2. Bagi Masyarakat
a. Masyarakat dapat mengetahui keunggulan biogas dari energi lainnya.
-
5
b. Masyarakat dapat mengetahui design biodigester yang benar untuk
diaplikasikan sebagai alat penghasil biogas.
c. Masyarakat dapat memanfaatkan limbah kotoran manusia sebagai
penghasil energi biogas.
3. Bagi Pemerintah
Dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
terkait cara mengembangkan penggunaan biogas dalam rangka mengatasi
krisis energi yang terjadi dan mengurangi subsidi migas tanpa perlu
khawatir dengan kenaikan harga tersebut
-
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengolahan Biogas dari Kotoran Manusia di SMA Negeri Bali Mandara
sebagai Energi Alternatif yang Biodegradable.
Biogas merupakan gas campuran yang dihasilkan dari proses penguraian
atau perombakan bahan-bahan organik oleh bakteri metanogen pada kondisi
langka oksigen (proses anaerob). Dalam hal ini, bahan organiknya adalah limbah
kotoran manusia yang telah terkumpul di tempat penampungan kotoran (septic
tank) SMA Negeri Bali Mandara. Berdasarkan hasil penelitian Suparmin (2002)
menunjukan bahwa rata-rata orang dewasa menghasilkan 83 gram kotoran per
hari maka ada 16,4 kilogram bahan baku kotoran ditambah dengan 186,2 kg air
seni tersedia di SMA Negeri Bali Mandara setiap harinya.
Dengan bahan baku yang sebanyak itu, tentu biogas yang dihasilkan juga
cukup banyak. Biogas yang dihasilkan sebagian besar merupakan gas metana
(CH4) sebesar 50-70%, gas karbon dioksida (CO2) sebesar 30-40% dan gas
lainnya dalam jumlah kecil (Fitria, 2009). Kandungan biogas secara ringkas
disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan Gas dalam Biogas
Jenis Gas Jumlah (%)
Metana (CH4)
Nitrogen (N2)
Karbondioksida (CO2)
Hidrogen (H2)
Oksigen (O2)
Hidrogen Sulfida (H2S)
50-70
0 - 0,3
25 - 45
1 - 5
0,1 0,5 0 3
Sumber: Juangga, 2007
Pembuatan biogas sendiri tidak sesulit pembuatan bahan bakar yang lain.
Biogas hanya memerlukan waktu untuk melewati semua tahapan prosesnya.
Waktu yang diperlukan rata-rata 10-14 hari untuk menghasilkan biogas. Lamanya
waktu ini disebabkan oleh kondisi limbah kotoran dengan suhu 330C-38
0C agar
mikroorganisme yang digunakan untuk memfermentasikan bahan organik tersebut
dapat bekerja optimal (Stafford et al., 1978 dan Barnett et al.,1978).
-
7
Proses fermentasi pembuatan biogas merupakan proses terbentuknya gas
metana dalam kondisi anaerob dengan bantuan bakteri anaerob di dalam suatu
digester sehingga akan dihasilkan gas metana (CH4) dan gas karbon dioksida
(CO2) yang volumenya lebih besar dari gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2) dan
asam sulfida (H2S) (Price & Cheremisinoff, 1981). Proses fermentasi anaerobik
biasanya terjadi secara alami di tanah yang basah. Tetapi karena SMA Negeri Bali
Mandara menggunakan septic tank sebagai penampung kotoran, maka septic tank
tersebut akan menjadi tempat penampungan awal dan diteruskan ke biodigester.
Biodigester yang harus berada dalam kondisi basah ini cukup memudahkan proses
pembuatan biogas di SMA Negeri Bali Mandara, karena limbah kotoran secara
langsung sudah tercampur dengan air yang menjadikannya larut.
Secara garis besar proses pembentukan biogas dari limbah kotoran
manusia dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu (1) tahap hidrolisis (hydrolysis), (2)
tahap asidifikasi (acidogenesis dan acetogenesis), dan (3) tahap pembentukan gas
metana (methanogenesis).
1. Tahap Hidrolisis (Hydrolysis)
Proses awal perombakan limbah kotoran manusia dalam biodigester
adalah proses hidrolisis dari bahan organik yang mudah larut (Gc. Marry &
Stainforth,1989). Pada tahap ini, bakteri memutuskan rantai panjang
karbohidrat kompleks; protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek.
Contohnya polisakarida diubah menjadi monosakarida, sedangkan protein
diubah menjadi peptide dan asam amino (Mayasari, dkk., 2010)
2. Tahap Asidifikasi (Acidogenesis dan Acetogenesis)
Proses pengasaman atau asidifikasi ini adalah proses yang mana
bagian yang telah terlarut dan telah mengalami proses dekomposisi
(penyederhanaan) membentuk asam organik dan alkohol atau etanol (Marry
& Stainforth, 1989). Pada tahap ini, bakteri (Acetobacter aceti)
menghasilkan asam untuk mengubah senyawa rantai pendek hasil proses
hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen, dan karbon dioksida. Bakteri
tersebut merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dan berkembang
dalam keadaan asam. Bakteri memerlukan oksigen dan karbondioksida yang
-
8
diperoleh dari oksigen yang terlarut untuk menghasilkan asam asetat.
Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk
pembentukan gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya.
Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa berantai pendek menjadi
alkohol, asam organik, asam amino, karbon dioksida, hidrogen sulfida, dan
sedikit gas metana. Tahap ini termasuk reaksi eksotermis yang menghasilkan
energi (Mayasari, 2010). Adapun reaksi yang terjadi antara lain:
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2ATP (H = -118 kJ per mol)
Untuk menguraikan 1 mol karbohidrat menjadi 2 molekul etanol, 2 mol gas
CO2 dan 2 ATP dilepaskan energi sebesar 118.000 Joule.
3. Tahap Pembentukan Gas Metana (Methanogenesis)
Tahap pembentukan gas metana ini dapat dilakukan dengan tiga cara
lagi, yaitu :
a. Melalui perombakan asam-asam organik membentuk gas metana.
Dalam hal ini, pembentukan dibantu oleh bakteri metanogen.
b. Melalui oksidasi alcohol/ethanol oleh karbon dioksida yang
dihasilkan di tahap kedua membentuk gas metana
c. Melalui reduksi karbon dioksida membentuk gas metana (Marry &
Stainforth, 1989)
Proses pembentukan gas metana ini termasuk reaksi eksotermis yang
dibuktikan dengan persamaan:
CH3COO- + H
+ CH4 + CO2 (H = -36 Kj per mol)
Untuk membentuk 1 mol gas metana (CH4) dilepaskan energi sebesar 36.000
Joule.
Berdasarkan ketiga tahap proses pembentukan biogas dari limbah
kotoran manusia di atas, secara ringkas dapat disajikan diagram alir sebagai
berikut.
-
9
Gambar 2.1 Bagan Proses Pembuatan Biogas Kotoran Manusia
Gas metana biasanya mulai dihasilkan pada 4-5 hari pertama setelah
biodigester terisi. Sedangkan masa puncaknya terjadi pada 15 sampai 20 hari
setelah biodigester terisi (Fitria, 2009). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa
kualitas biogas yang dihasilkan tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kualitas biogas tersebut yaitu:
1. Lingkungan Anaerobik
Biodigester harus tetap dijaga dalam keadaan anaerobic (tanpa kontak
langsung dengan Oksigen). Udara (O2) masuk ke biodigester dan
menyebabkan penurunan produksi metana. Ini disebabkan karena bakteri
berkembang pada kondisi yang tidak sepenuhnya anaerobik.
2. Temperatur
Bakteri memiliki rentangan temperatur yang disukainya untuk hidup.
Rentangan-rentangan suhunya dibagi menjadi tiga, antara lain:
Limbah Manusia
(Bahan Organik)
Bahan organic mudah larut/sederhana
Sel
Bakteri
Asam organic dan
Alkohol Gas
CO2 + O2 Hasil
Lain
Sel
Bakteri
Gas
CH4 + CO2
Hasil
Lain
Tahap Pengasaman
(asetogenik)
Tahap Pelarutan
(Hidrolisis)
Tahap
Pembentukan
Methan
(Metanogenik)
-
10
a. psicrophilic (suhu 4-20oC), biasanya untuk negara-negara subtropis.
b. mesophilic (suhu 20-40oC).
c. hermophilic (40-60oC), hanya untuk mencerna material, bukan untuk
menghasilkan biogas.
Untuk negara tropis seperti Indonesia digunakan unheated-digester (digester
tanpa pemanasan) untuk kondisi temperatur tanah 20-30oC.
3. Derajat keasaman (pH)
Bakteri berkembang dengan baik pada keadaan yang agak asam (pH antara
6,6-7,0). Oleh sebab itu kunci utama dalam kesuksesan operasional
biodigester adalah dengan menjaga temperatur konstan (tetap) dan input
material sesuai. Derajat keasaman diatur karena di dalam biodigester terjadi
proses sintropi yang merupakan suatu proses dimana dua atau lebih
mikroorganisme bekerja sama untuk mendegradasi suatu substansi yang tidak
bisa dikerjakan sendiri oleh salah satu mikroorganisme tersebut (Madigan et
al, 1997). Dua mikroorganisme ini adalah fermenter (Acetobacter aceti) dan
metanogen. Penyesuaian terhadap karakteristik dari kedua bakteri inilah
yang akan menentukan derajat keasaman (pH) di dalam biodigester.
4. Zat Racun ( Toxic)
Terdapat beberapa zat yang dapat menghambat kinerja dari biodigester
seperti air sabun, detergen, dan logam-logam berat.
5. Pengaruh starter
Dalam rangka mempercepat proses fermentasi anaerob diperlukan suatu
starter yang mengandung bakteri metana. Beberapa jenis starter antara lain:
a. Starter alami berupa lumpur aktif seperti cairan septic-tank, timbunan
kotoran , timbunan sampah organik, dan lumpur kolam ikan.
b. Starter semi-buatan yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.
c. Starter buatan berupa bakteri yang dikembangbiakkan secara
laboratorium dengan media buatan (Erawati, 2009).
Setelah memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi penghasilan
biogas, biodigester dapat menghasilkan biogas secara optimal. Biogas yang
-
11
dihasilkan akan memiliki karakterisitik yang membedakannya dari gas lainnya.
Beberapa ciri-cirinya yaitu :
1) Biogas dapat dicairkan pada suhu -178oC, sehingga dalam penyimpanan di
dalam tangki cukup sulit. Cara terbaik dalam memanfaatkan biogas tersebut
adalah menyalurkan biogas yang dihasilkan secara langsung sebagai bahan
bakar untuk memasak, penerangan, dan lain-lain.
2) Ketika dibakar, biogas aman digunakan dalam keperluan rumah tangga
karena tidak menghasilkan gas karbon monoksida.
3) Biogas bersifat narkotika bagi manusia karena mengandung metana yang
apabila dihirup secara langsung dapat menyebabkan kematian.
4) Biogas dengan udara (oksigen) dapat membentuk campuran yang
mudah meledak apabila terkena nyala api karena flash point dari
metana (CH4) yaitu sebesar -188C dan autoignition dari metana adalah
sebesar 595C (www.encyclopedia.com, 2009).
5) Biogas terbuat dari bahan organik sehingga bersifat biodegradable atau
mudah terurai.
Dari karakteristik biogas inilah, dapat diketahui bahwa biogas dapat
dimanfaatkan sebagai energi alternatif yang biodegradable.
2.2. Cara Mengkondisikan Biodigester agar Menghasilkan Biogas dari
Kotoran Manusia yang Optimal.
Dalam proses pembuatan biogas di dalam biodigester memiliki
kelemahan yang sangat prinsip: terjadi kegagalan proses pencernaan anaerobik
dalam digester biogas. Kegagalan proses pencernaan ini erat kaitannya dengan
terganggunya sintropi. Hal ini disebabkan tidak seimbangnya populasi bakteri
metanogen terhadap fermentor yang menyebabkan pH lingkungan dalam
biodigester menjadi asam. Kondisi pH yang asam dapat menghambat
kelangsungan hidup metanogen, karena bakteri ini optimal beraktivitas pada
kisaran pH 6,8-8,0 (Haryati, 2006). sedangkan pada fermenter akan memiliki
kinerja yang optimum pada pH 5,5. Oleh karena itu, terjadi suatu ketidakcocokan
trayek pH kinerja antara fermenter dan metanogen, yaitu pada fermenter
-
12
memiliki kinerja optimum pada pH 5,5 sedangkan metanogen memiliki kinerja
optimum pada trayek pH 6,8-8,0. Apabila pH lingkungan terlalu basa (pH>8,5),
maka dapat menghambat aktivitas metanogen. Dengan demikian, optimalisasi
sintropi pada produksi biogas harus difokuskan pada pengontrolan agar proporsi
fermenter dan metanogen dalam keadaan seimbang. Salah satu bentuk
pengontrolan terhadap proporsi mikroorganisme ini adalah melalui justifikasi
trayek pH kinerja antara fermenter dan metanogen menggunakan Kalsium
hidrokida (Ca(OH)2) (Putra, 2010).
Gambar 2.2 Bentuk Bubuk Kalsium Hidroksida Sumber: Wikipedia.com
Kalsium hidrokida berupa kristal tak berwarna atau bubuk putih. Kalsium
hidroksida dihasilkan melalui reaksi kalsium oksida (CaO) dengan air. Senyawa
ini juga dapat dihasilkan dalam bentuk endapan melalui pencampuran larutan
kalsium klorida (CaCl2) dengan larutan natrium hidroksia (NaOH). Dalam bahasa
Inggris, kalsium hidroksida juga dinamakan slaked lime, atau hydrated lime
(kapur yang di-airkan). Nama mineral Ca(OH)2 adalah portlandite, karena
senyawa ini dihasilkan melalui pencampuran air dengan semen Portland. Suspensi
partikel halus kalsium hidroksida dalam air disebut juga milk of lime (Bahasa
Inggris: milk = susu, lime = kapur). Larutan Ca(OH)2 disebut air kapur dan
merupakan basa dengan kekuatan sedang. Larutan tersebut bereaksi hebat dengan
berbagai asam, dan bereaksi dengan banyak logam dengan adanya air. Kelarutan
basa ini rendah, tetapi khas, yaitu memiliki Ksp sebesar 5,5 x 10-6
. Hal ini berarti
sifat kelarutannya dalam air sedikit larut, dan bukan sukar larut. Larutan tersebut
menjadi keruh bila dilewatkan karbon dioksida, karena mengendapnya kalsium
karbonat. Kalsium hidroksida merupakan basa yang termurah secara ekonomis,
dan sering dipergunakan untuk mengatur pH air limbah, pH tanah, dan pH pulp
-
13
kertas. Di masyarakat, basa ini dalam bentuk padatannya sering disebut kapur
mati (Putra, 2010).
Berdasarkan uraian sebelumnya, langkah justifikasi pH terhadap sistem
sintropi fermenter-metanogen dalam sintesis metana (CH4) sangat diperlukan.
Justifikasi pH dapat dilakukan melalui penambahan basa alkalis sedang Ca(OH)2.
Penambahan Ca(OH)2 diharapkan mampu menaikkan pH sampai titik pH
minimum bagi metanogen untuk aktif mensintesis methane. Kita ketahui
rentangan pH optimal bagi metanogen untuk aktif adalah pada pH 6,8-8,5, maka
titik minimum pH yang perlu dicapai dalam justifikasi ini adalah 6,8 hingga 7,0.
4 H2 + CO2 CH4 + 2H2O pH 6,8-8,5
Tentu saja pencapaian pH ini berawal dari pH maksimum fermentor untuk tetap
aktif, yaitu pH 5.
2 CH3CH2OH + 2 H2O 4 H2 + 2 CH3COO- + 2 H
+ pH 5
Namun, penambahan Ca(OH)2 juga memiliki rentang maksimum agar tidak
terjadi feedback inhibition terhadap aktifitas metanogen. Penambahan Ca(OH)2
secara teoretis dapat mem-buffer sistem sintropi, akan tetapi, jumlah Ca2+
dalam
lingkungan biodigester juga ada ambang batasnya, yaitu sampai 200mg/L
(Amaru, 2004), sehingga apabila dalam upaya justifikasi pH kinerja mencapai pH
6,8 hingga 7,0 ternyata jumlah Ca2+
melebihi ketentuan tersebut justru akan
menghambat kinerja kedua mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, dalam sesi
berikut akan diuraikan mengenai penentuan penambahan Ca(OH)2 pada sistem
sintropi metana dengan tetap memperhatikan kadar Ca2+
terlarut. Penentuan
penambahan Ca(OH)2 dapat dihitung melalui menghitung terlebih dahulu
konsentrasi H+ yang ada dalam biodigester. Kita ketahui bersama bahwa pH
sistem biodigester optimal terhadap fermenter adalah 5,0, sehingga konsentrasi H+
dalam sistem ini dapat dihitung:
pH = 5
[H+] = 10
-5M
dengan mengasumsikan volum biodigester sebesar 100 liter, dan terisi
setengahnya, maka mol H+ dapat ditentukan.
[H+] = 10
-5M = 10
-5mol/liter
Mol H+ = 10
-5 mol/liter x 50 liter
-
14
= 5 x 10-4
mol
= 0,5 mmol
Selanjutnya, pada sistem tersebut ditambahkan basa Ca(OH)2, sehingga akan
terjadi reaksi antara CH3COOH dengan Ca(OH)2 sebagai berikut.
2CH3COOH(aq) + Ca(OH)2(aq) (CH3COO)2Ca(aq) + 2H2O(aq)
Mengingat kadar Ca2+
dalam biodigester tidak boleh melebihi 200mg/L atau
sekitar 8,2 x 10-3
M, maka dengan penambahan sekitar 30 (tiga puluh) liter
Ca(OH)2 8,2 x 10-3
M akan mampu menetralkan reaksi.
Ca(OH)2 = 8,2 x 10-3
M = 0,0082 mol/liter
Mol Ca(OH)2 = 0,0082 mol/liter x 30 liter
= 0.246 mol
Gram = mol Ca(OH)2 x Mr Ca(OH)2
= 0.246 mol x 54 x 1gram
= 13,284 gram
Dari hasil kalkulasi di atas diketahui 30 (tiga puluh) liter Ca(OH)2 8,2 x 10-3
M
setara dengan 13,284 gram Ca(OH)2 dilarutkan dalam air hingga volumenya
mencapai 30 liter.
2CH3COOH(aq) + Ca(OH)2(aq) (CH3COO)2Ca(aq) + 2H2O(aq)
0,5mmol 0,25mmol x x
-0,5 mmol -0,25mmol +0,25mmol +0,5mmol
- - 0,25mmol +0,5mmol
Ternyata menurut reaksi di atas, terjadi hidrolisis garam dari asam lemah-basa
kuat. Maka dari itu, konsentrasi H+ akhir dalam sistem biodigester dapat dihitung
melalui formula hidrolisis garam, bukan larutan penyangga. Diketahui bahwa
konstanta ionisasi CH3COOH sebesar 1 x 10-5
.
[OH-] =
Dalam penentuan konsentrasi garam, kita perlu mengetahui volume campuran,
yaitu 50 + 30 liter = 80 liter.
[(CH3COO)2Ca] =
-
15
= 3,125 x 10-6
M
[OH-] =
[OH-] =
[OH-] = 7,9 x 10
-8 M
Selanjutnya, harga pOH dapat dihitung dengan rumus:
pOH = -log[OH-]
pOH = -log 7,9 x 10-8
pOH = 7,12
dengan demikian, pH dalam sistem biodigester dapat diketahui melalui
penggunaan persamaan pH = 14-pOH, yaitu
pH = 14-7,12
pH = 6,89
Ternyata diperoleh dengan penambahan Ca(OH)2 30 (tiga puluh) liter
Ca(OH)2 8,2 x 10-3
M mampu meningkatkan pH sistem biodigester dari 5,0
menjadi 6,89. Rentangan pH ini sudah mampu mengakomodasi kondisi optimum
antara fermenter dan metanogen, sehingga diperkirakan proporsi keduanya
berimbang. Proporsi yang berimbang ini tentu saja akan meningkatkan kadar
metana dari proses sintropik antara keduanya.
Peningkatan pH seperti yang tertera di atas diperoleh melalui beberapa
asumsi-asumsi yang mendukung pemikiran ini. Adapun asumsi yang dimaksud
meliputi:
1. Penambahan larutan basa alkalis, Ca(OH)2 tidak mempengaruhi jumlah
kematian bakteri fermentor, karena maksud penambahan larutan basa alkalis
ini adalah untuk menjustifikasi pH lingkungan.
2. Sistem dalam biodigester dianggap homogen, sehingga rumus hidrolisis
garam dapat diaplikasikan dalam permasalahan ini.
Selama asumsi tersebut di atas masih dipergunakan, maka uraian mengenai
justifikasi trayek pH kinerja antara fermenter dan metanogen dapat dipertahankan.
Namun, lebih jauh lagi mengenai kesahihan bangun teori dan sintesis ini, masih
perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut.
-
16
2.3 Design Instalasi Pengolahan Kotoran Manusia di SMA Negeri Bali
Mandara.
Secara umum penunjang instalasi biogas dimulai dari WC sebagai
pengumpul kotoran manusia, pipa penyalur kotoran manusia, sumur pencerna
(digester), tungkup gas (holding gas), pipa distribusi penyalur gas lengkap dengan
kran kontrol,dan kompor gas. Bangunan instalasi berdiri di atas fondasi seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Design Instalasi Biodigester
Prinsip utama dari desain biodigester di atas adalah mengusahakan
terwujudnya kondisi anaerob di dalam sumur pencerna dengan tungkup gas agar
mikroorganisme anaerob dapat tumbuh dan berkembang biak sehingga aktivitas
perombakan manusia untuk membentuk bio gas meningkat (Sihombing &
Simamora, 1988). Adapun mekanisme instalasi biogas adalah sebagai berikut.
-
17
1. Saluran Masuk Kotoran
Sebelum proses perombakan, diperlukan saluran masuk kotoran pada toilet
umum atau WC yang digunakan untuk memasukan kotoran segar, urine, dan air
ke dalam septic tank. Zat tersebut akan bercampur menjadi satu dan berfungsi
untuk memaksimalkan potensi biogas, memudahkan pengaliran, serta
menghindari terbentuknya endapan pada saluran masuk serta menghemat tenaga
dalam proses pengadukan yang biasanya dilakukan dalam pembuatan biogas
dengan kotoran hewan.
2. Septic-Tank
Septic-tank berfungsi sebagai tempat pengumpulan kotoran manusia awal.
Setelah septic tank terisi, kotoran manusia akan dikirim ke biodigester yang
terletak di dataran yang lebih rendah untuk diproses lebih lanjut.
3. Digester
Digester digunakan sebagai tempat penyimpanan kotoran yang dihasilkan
dari proses defekasi dan ekresi manusia. Digester ditempatkan di dalam tanah
agar temperatur di dalam digester lebih stabil pada kisaran 33-38oC (Stafford et
al., 1978 dan Barnett et al.,1978). Ketika suhu telah stabil maka akan terjadi
proses fermentasi yang dilakukana oleh bakteri Acetobacter aceti dan metanogen
yang terdapat pada kotoran manusia. Proses ini menghasilkan gas CO2 dan
alkohol. Selain proses fermentasi, di dalam digester terjadi pula proses hidrolisis,
proses asidifikasi, dan proses pembentukan gas metana.
4. Tangki Residu Air
Tangki reisdu air memegang peranan penting dalam proses pembentukan
metana. Tangki ini bersifat kedap udara dan memerangkap uap air yang terbentuk
dari proses yang terjad di dalam digester. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
H2O pada biogas yang akan memperkecil jumlah kalor saat pembakaran gas
metana.
-
18
5. Tungkup Gas
Tungkup gas dirancang di atas digester dari kerangka besi beton yang
dililit dengan kawat ram kemudian di semen (ferro cement) untuk menjamin
kekuatan dan tidak bocor. Tungkup gas terletak diatas sumur pencerna I antara
dua dinding (luar dan dalam) sebagai isolasi sehingga semua gas terbentuk dapat
terhimpun. Di atas tungkup gas diletakkan pengukur tekanan gas (pressure gauge)
agar setiap saat dapat mengetahui tekanan gas (Fahmi, 2008).
6. Tangki Penyimpanan Gas
Tangki penyimpanan gas dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama yaitu
tangki yang secara langsung berhubungan dengan digester dan bagian kedua yaitu
tangki yang terpisah dengan digester. Tangki pertama bersifat pasif karena tidak
dapat dipindahkan ke tempat lain. Pada tangki pertama menyalurkan gas secara
langsung ke tempat pembakaran berupa kompor gas.
Berbeda halnya dengan tangki kedua, tangki ini dapat dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lainnya dan dapat dihubungankan langsung dengan tangki
utama. Untuk tangki kedua konstruksi dibuat khusus sehingga tidak bocor dan
tekanan yang terdapat dalam tangki seragam, serta dilengkapi H2S Removal untuk
mencegah korosi serta mudah dalam proses perewatannya (Care, 2009).
7. Saluran Gas (Pipa)
Terdapat saluran gas (pipa) terbuat dari bahan polimer kuat dengan tujuan
untuk menghindari korosi (Care, 2009). Saluran ini menghubungkan septic-tank
dengan tempat penyimpanan gas dan dari tempat penyimpanan gas ke kompor
gas. Pada pipa ini terdapat keran yang dapat dibuka dan ditutup dengan tujuan
untuk menghentikan dan melancarkan proses penyaluran gas. Pada saluran
baiknya diganti sekitar 5 tahun sekali untuk mencegah terjadinya kebocaran yang
dapat membahayakan keselamatan dari para pengguna
8. Manometer
Manometer digunakan untuk mengukur tekanan udara pada ruang tertutup.
Pada alat penyimpanan gas metana sebaiknya menggunakan manometer logam.
-
19
Manometer logam digunakan karena dapat mengukur tekanan gas yang sangat
tinggi, misalnya tekanan gas dalam ketel uap (AnonIm, 2011)
2.4 Implikasi Penggunaan Biogas dari Kotoran Manusia sebagai Energi
Alternatif di SMA Negeri Bali Mandara dan Masyarakat Sekitarnya.
Berdasarkan analisis, sub-bab sebelumnya, inovasi penggunaan biogas
yang berasal dari kotoran manusia dan biodigester yang didesain sedemikian rupa
bisa memberikan banyak hal kepada Asrama SMAN Bali Mandara. Dari adanya
pengembangan biogas, gas septic tank yang biasanya menyebabkan bau tidak
sedap terhadap warga sekolah dapat ditanggulangi dan dimanfaatkan sebagai
bahan bakar alternatif. Bila 1 kg kotoran manusia menghasilkan 0,05 m3
biogas,
maka dalam waktu sehari dihasilkan 0,821 m3 biogas yang setara dengan 0.3776
kg elpiji (www.amrizal.com, 2011). Karena biogas dapat digunakan sebagai bahan
bakar kantin untuk memasak, maka pengeluaran sekolahpun ikut menipis.
Konsekuensi lanjutannya, waktu untuk rutinitas penyedotan septic tank akan
bertambah lama karena limbah kotoran tidak hanya berkumpul di septic tank saja,
tetapi juga di biodigester. Kedua hal ini sama-sama berdampak positif karena
meringankan beban ekonomi sekolah.
Berhubungan dengan ekonomi, dari adanya pengembangan biogas yang
optimal juga bisa meringankan beban pemerintah dalam subsidi migas. Bila
teknologi ini diteruskan oleh semua kalangan dan dikalkulasikan maka dari 3.000
kepala keluarga di perkotaan dapat dihasilkan 225 meter kubik biogas atau setara
dengan 103,5 kg elpiji setiap hari, yang dapat digunakan 207 keluarga untuk
memasak (www.amrizal.com, 2011). Dari hal ini pula, kecenderungan penggunaan
gas LPG dapat dikurangi sehingga pemerintah dapat memfokuskan penggunaan
migas ke bidang lainnya seperti bidang transportasi.
Seperti yang telah dijelaskan di sub-bab sebelumnya, pengembangan
biogas yang optimal tergantung dari bagaimana kondisi biodigesternya. Dalam hal
ini, masyarakat harus tahu bahwa desain biodigester yang bersumber pada tempat
penampungan kotoran ini bisa diadaptasikan ke semua tempat yang memiliki
WC/toilet. Termasuk di dalamnya sekolah-sekolah dengan kapasitas murid yang
-
20
banyak sehingga kemungkinan terisinya tempat penampungan kotoran itu lebih
besar. SD, SMP, dan SMA biasanya memiliki banyak murid yang menyebabkan
WC/toiletnyapun lebih banyak dari TK atau Playgroup. Instansi-instansi itu
biasanya memiliki kantin yang menggunakan kompor sebagai alat untuk
memasak. Dari situlah inovasi biogas ini bisa teraplikasikan.
Selain instansi pendidikan, instansi-instansi lainnya termasuk rumah sakit
juga bisa mengadopsi desain biodigester ini. Alasan utama penggunaan biogas di
rumah sakit karena instansi itu membutuhkan bahan bakar untuk melayani
pasiennya. Selain itu, jumlah pasien yang ada mustahil sedikit. Tentu ini menjadi
salah satu keuntungan biodigester ini dibangun di tempat ini.
Penerapan biodigester dalam pembuatan biogas ini bisa juga dilakukan di
lingkungan rumah tangga. Penempatan biodigester bisa dilakukan di setiap rumah
dengan syarat jumlah penghuni rumah cukup banyak, setidaknya ada lebih dari 2
orang dewasa. Pemasangan dengan jumlah penghuni rumah ini dimaksudkan
untuk memaksimalkan biogas yang dihasilkan dari biodigester tersebut karena
kecenderungan septic tank (tangki penampungan) terisi banyak lebih besar.
Bila kondisi rumah seperti yang dijelaskan di atas dirasa cukup sulit untuk
diciptakan, hal ini bisa ditanggulangi dengan adanya tempat khusus biodigester di
antara rumah-rumah penduduk. Secara specific, tempat pengumpul kotoran
digabung menjadi satu, begitu pula dengan tempat penampung gasnya. Dengan
adanya penggabungan, biodigester bisa menghasilkan biogas yang lebih banyak.
Cakupan untuk pengelolaan biogas inipun menjadi lebih luas dan hasilnya lebih
bermanfaat.
-
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dari sub-bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan
sebagai berikut.
1. Pemanfaatan limbah kotoran manusia di SMA Negeri Bali Mandara dapat
diolah menjadi energi alternatif biogas yang biodegradable dengan tiga
tahapan yaitu (1) tahap hidrolisis (hydrolysis), (2) tahap asidifikasi
(acidogenesis dan acetogenesis), dan (3) tahap pembentukan gas metana
(methanogenesis). Dalam proses pembentukan gas metan di dalam
biodigester menggunakan mikroorganisme fermenter (Acetobacter aceti)
dan metanogen.
2. Pengkondisikan biodigester agar menghasilkan biogas yang optimum dapat
dilakukan dengan menambahkan Ca(OH)2 ke dalam biodigester untuk
menghindari ketidakcocokan trayek pH kinerja antara fermenter dan
metanogen.
3. Instalasi biodigester sebagai pengolah limbah kotoran manusia di SMA
Negeri Bali Mandara dideskripsikan dari septic tank, biodigester, tank
penampungan gas hingga ke bangunan yang akan memanfaatkan biogas
tersebut.
4. Warga SMAN Bali Mandara dan masyarakat sekitar dapat menggunakan
biodigester untuk menghasilkan biogas sebagai energi alternatif dan dapat
mampu memenuhi kebutuhan energi warga sekolah serta masyarakat dalam
hal memasak dan lain-lain.
3.2 Saran
1. Untuk mempercepat proses perubahan kotoran manusia menjadi biogas
maka disarankan menggunakan bakteri starter.
2. Pipa yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak korosif,
sehingga tidak menimbulkan reaksi kimia dan menimbulkan ledakan.
-
22
3. Desain alat terutama pada sambungan pipa sebaiknya diawasi agar tidak
terjadi kebocoran gas.
4. Untuk mengontrol gerak perpindahan gas metana dari digester ke tempat
penampungan gas dan dari tempat penampungan gas ke kompor serta tangki
penampungan portable maka disarankan untuk menggunakan kran kontrol.
-
23
DAFTAR PUSTAKA
Amaru, K. 2004. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Biodigester Plastik
Polyethilene Skala Kecil. Skripsi. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
Ditjen Migas. 2011. Harga Minyak Bumi (2004-2011). Jakarta : Ditjen Migas.
Erawati, T. 2009. Biogas Sebagai Sumbar Energi Alternatif. Diakses tanggal 8
Agusrus 2012 dari situs:
[http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/biogas-sebagai-sumber-
energi-alternatif].
Fitria, B. 2009. Biogas. Diakses tanggal 07 Agustus 2012 dari situs:
[http://biobakteri.wordpress.com/2009/06/07/8-biogas/].
Haryati, T. 2006. Biogas, Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Bogor: Balai Penelitian Ternak.
Juangga. 2007. Proses Anaerobic Digestion. Medan : USU Press.
Care, K. 2009. Cara Mudah Membuat Digester Biogas. Diakses tanggal 9 Agustus
2012 dari situs : [http://www.kamase.org/?p=548].
Madigan, et al. 1997. Brock Microbiology of Microorganisms. New Jersey:
Prentice Hall.
Mayasari, H.D., Riftanto, I.M., NurAini, L., Ariyanto, M.R. 2010. Pembuatan Biodigester Dengan Uji Coba Kotoran Sapi Sebagai Bahan Baku.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
McGarry, M. G. and J. Stainforth. 1989. Compost, fertilizer and biogas
production from human and farm wastes in the Peoples Republic of China. Ottawa, Canada : IDRC-TS 8e.
Migasnews. 2012. Program Energi Mandek. Diakses tanggal 9 Agustus 2012 di
situs: [migasnews.com/program_energi_mandek_berita333.html].
Price,E.C and Cheremisinoff,P.N.1981.Biogas Production and Utilization. United
States of America : Ann Arbor Science Publishers, Inc.
Putra, P. S. E. A. 2010. Justifikasi Trayek Ph Kinerja Antara Fermenter Dan
Methanogen Dalam Sintropi Metana (CH4). Singaraja, Bali.
Sihombing, D. T. H., and S. Simamora. 1988. Biogas from biogical waste for
rural household in Indonesia. In. K. Abdullah, Bogor Agricultural
University, Indonesia and O. Kitani. Tokyo University Agriculture, Tokyo.
Japan.
Stafford, A. D., D. L. Hawkes and R. Horton. 1978. Methane production from
waste organic matter. Boca Raton, Florida : CRC Press, Inc.
-
24
Sufyandi, A. 2001. Informasi Teknologi Tepat Guna untuk Pedesaan Biogas.
Bandung.
Suparmin & Soeparman, H.M. 2002 Pembuangan Tinja dan Limbah Cair: Suatu
Penghantar. Jakarta : Kedokteran EGC.