badui 2
TRANSCRIPT
Pengantar. Materi ini merupakan bahan kuliah tamu pada Program Magister Kajian Kependudukan dan
Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, hari Rabu, tanggal 3 Oktober 2001 di Gedung A,
Lantai 3 Ruang B, Lembaga Demografi, FEUI Kampus UI Depok. dalam mata kuliah Pendudukan dan Pembangunan.
Ciri-ciri sosial dan kondisi masyarakat Baduy menjadi topik bahasan yang dimaksudkan untuk memberikan
informasi tentang data kualitatif yang dihimpun dan kemudian disajikan untuk kepentingan penanganan suatu
masalah. Ciri-ciri sosial dalam konteks ini dititikberatkan pada struktur ruang kewilayahan dan struktur sosial yang
terbentuk untuk kelangsungan warga masyarakat dan kebudayaannya.
Uraian dalam tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian, yaitu yang pertama memberikan gambaran umum tentang
lokasi dan kependudukan, kemudian struktur ruang dan struktur sosial serta terakhir adalah kondisi masyarakat
Baduy dalam konteks kekinian. Tentu dalam uraian ini tidak diarahkan untuk memberikan penilaian atau
interpretasi terhadap suatu masalah yang tampak melainkan membiarkan sesuatu gejala itu wujud.
Desa Kanekes
Desa Kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85
hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang
merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan
desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.
Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899
meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1908
berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Tahun 1971
berjumlah 4.078 orang, tahun 1983 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672
orang dan tahun 1999 berjumlah 7.041 orang.
Hal itu berarti, telah terjadi peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut penyediaan lahan
untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan kampung, yaitu tahun
1891, masih terdiri atas 9 kampung (3 tangtu, 1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 1929,
berjumlah menjadi 17 kampung (3:7:7), tahun 1952 bertambah menjadi 31 kampung (3:21:7), pada tahun 1975
menjadi 36 kampung (3:30:3), tahun 1986 terjadi penambahan menjadi 43 kampung (3:37:3), tahun 1996 menjadi
53 kampung (3:47:3), dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung (3:50:3).
Pertambahan jumlah kampung di Desa kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh
keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka untuk mengatasi keadaan serupa
itu dikenal suatu cara penyediaan lahan permukiman (kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes,
sehingga lahan garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman seperti itu, dikenal
dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang menurut catatan justru jumlah dangka pada
masa kini semakin berkurang. Hal itu, akibat pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa
Kanekes atas suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.
Akibat yang paling parah bagi Desa Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin bertambah.
Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan mereka yang dikenal sebagai slash and burn
lajunya semakin dipercepat yang menimbulkan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka
dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang
melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan
perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan
sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai
kaitan karuhun dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada
posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.
Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar
masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada
kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan
untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang
selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk
kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah
Banten utara pada Abad ke-16.
Kegalauan sebutan terhadap penduduk Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis
asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang mempertimbangkan semua
aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings,
1902). Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang
pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata
Badoeis, Bedoeis dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di gurun
pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909), memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri.
Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan
kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa
Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda
menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti
penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes
dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.
Selain, sebutan untuk orang Baduy yang merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi
bahan kajian yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi, 1952). Bahkan penulis-
penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan
Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk., 1985; dan
Danasasmita, 1986).
Orang Baduy menurut pandangan yang dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran
yang melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan
agama Islam di kawasan itu. Dari penulis asing tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal
asal orang Baduy, mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara ataupun pelarian dari
kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum
pengaruh Islam tiba dan mengubah kepercayaan setempat.
Kampung dan Ikatan Kerabat
Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu
menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu, dapat pula
dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan
rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang
kampung tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy
menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes
seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan
terletak pada tua dan muda dari sisi generasi.
Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang
termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang
disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya
dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan
kerabat tua dan muda.
Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini
mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan
prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat
(kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain
secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4)
menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan
kekerabatan yang disepakati bersama.
Prinsip kekerabatan tersebut, dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam
disertasinya yang berjudul Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten, mengungkapkan bahwa
kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk
beberapa masyarakat Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang
dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium),
dan garis keturunan (double descent) serta suatu preferensi untuk perkawinan antarsepupu (cross-cousins
marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu.
Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh
Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah
kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-
laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan
istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang
khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.
Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama
(kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain.
Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan
perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy
tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins)
(Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang
menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut
dengan baraya.
Dalam kaitan itu, Garna (1988), melihat bahwa antara dangka dan tangtu adalah seperti rangka dengan isi yang
pasti, yaitu tangtu merupakan nenek moyang atau karukun yang dengan istilah lain sebagai pusat dan dangka
sebaga isi dari seluruh keturunannya. Dangka adalah tempat tinggal bagi warga tangtu yang untuk sementara
waktu tinggal di sana karena melanggar adat sebagaimana ditentukan oleh nenek moyang. Untuk sementara
sampai dosanya dianggap lebur, orang tangtu yang tinggal di dangka sebenarnya masih satu keluarga dengan
warga kampung tangtu yang mengirimkan mereka ke sana. Jika mereka yang di dangka itu tidak dapat atau tidak
mau kembali ke tangtu, maka mereka tetap merupakan kerabat dekat. Dari istilah warga dangka mereka itu
disebut kaum dangka, dan sebutan tersebut menunjukkan bahwa mereka masih segolongan atau sekerabat
dengan warga tangtu.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa warga kampung tangtu berkerabat dekat dengan 3 kampung. Tangtu
Cikeusik berkerabat dekat dengan warga dangka Cibengkung, Kompol dan Kamancing, sedangkan Tangtu Cibeo
berkerabat dengan dangka Cihandam, dan tangtu Cikertawana berkerabat dekat dengan dangka Cilenggor,
Nungkulan dan Panyaweuyan. Ikatan kerabat yang dekat itu berlaku pula terhadap warga yang tinggal di kampung-
kampung Baduy-luar atau mereka menyebut panamping yang warganya disebut kaum daleum. Warga kampung
tangtu Cikeusik berhubungan kerabat yang erat dengan warga kampung Pamoean dan Cipiit, tangtu Cibeo dengan
kampung Gajeboh, Kaduketer, dan kampung Cihulu, sedangkan warga tangtu Cikertawana berkerabat dekat
dengan warga kampung Cikopeng.
Dalam perkembangannya kampung-kampung kaum daleum kini semakin bertambah, dengan jumlahnya menjadi
12 buah kampung pada tahun 1986. Pengembangan dari kampung induk merupakan pengembangan kerabat kaum
daleum dari kampung induknya, sehingga dengan sendirinya mereka pun terkait pula dengan kampung asalnya di
tangtu.
Kelompok Asal Keturunan
Orang Baduy mengelompok menurut asal keturunan tangtu, yaitu keluarga luas yang tinggal dalam satu kampung.
Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan orang tangtu, yaitu tangtu Cikeusik, tangtu Cikertawana dan tangtu
Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu
Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Menurut Garna (1988), walaupun cenderung terdapat orientasi kepada pihak ibu
(ambu), biasanya seorang pria membawa istrinya ke kampung tangtu tempat tinggal keluarga luasnya dan
membuat rumah baru. Namun dalam upacara-upacara keagamaan Sunda Wiwitan mereka mengikuti kampung asal
istrinya. Keadaan itu tampaknya tidak berlaku mutlak untuk seorang wanita yang mengikuti keluarga luas
suaminya, karena seorang pria juga dapat mengikuti istri ke kampung asalnya.
Seluruh Desa Kanekes terbagi dalam dua wilayah penting, yaitu wilayah tangtu (sakral) dan wilayah panamping
(profan). Makin ke arah selatan daerahnya makin sakral, dan daerah tersuci adalah hulu Ciujung, tempat Sasaka
Pusaka Buana yang lebih dikenal dengan sebutan Sasaka Domas. Derajat sakral menurut bagian kampung dengan
arah seperti itu berlaku pula dihampir setiap kampung panamping. Rumah kokolot (ketua adat dan agama) adalah
daerah sakral dan bagian belakang rumah biasanya bersambung ke hutan kampung. Di daerah kampung tangtu
yang sakral pun masih terdapat daerah tersakral yang tidak boleh diinjak orang luar, yaitu rumah puun dan daerah
sekitarnya.
Dalam kaitan itu, mitologi Baduy mengungkapkan bahwa Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang
memerintah di 7 wilayah, yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini sistem
kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe, 1965). Para puun diturunkan dari garis
tua atau kakak sedangkan sultan-sultan Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-
masing sesuai dengan hirarki tersebut (Garna, 1988).
Pembagian yang memotong seluruh warga masyarakat Baduy dalam dua paroh masyarakat, yaitu tangtu dan
panamping, menentukan posisi masing-masing dalam rangka suatu kesatuan masyarakat. Peranan untuk saling
mengendalikan dan mengawasi ditentukan oleh sistem pajaroan yang dibentuk serta dipimpin oleh tangtu atau tiga
puun. Puun mengangkat seorang jaro, yaitu tanggungan jaro duawelas yang bertugas mengawasi para jaro,
terutama para jaro di panamping dan kampung dangka.
Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan
sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka dianggap satu
kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan
karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu
dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat
besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya.
Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan
kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.
Asal Pemimpin
Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga
daerah tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan para
Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara
kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun.
Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal kelahiran
manusia serta Mandala Sunda.
Batara Patanjala merupakan anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang laki-
laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai nenek moyang Orang Tangtu.
Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka,
daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.
Daleum Janggala menurunkan puun Cikeusik, daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda
Hurip penurunkan puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, daleum Sorana,
menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para jaro dangka.
Dalam perkembangannya kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun yang
meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia hanya dihuni oleh
dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah
manusia pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu puun
Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kejeroan
semuanya adalah anak-cucu puun perempuan. Anak puun Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya kemudian
menjadi puun Cikertawana.
Asal Pamarentahan Baduy
Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan
kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis
kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan
pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat
yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah
pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib
sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun
berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun
menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan
sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan
para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah
tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di
huma puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Pamarentahan Baduy
Di rumah, kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial
terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya,
berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam,
bepergian, menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.
Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan
agama yang disebut jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui
puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu dalam upacara keagamaan penting. Selain itu, jaro dangka juga
diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan kampung tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si
pelanggar.
Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda,
yaitu: pertama, kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi,
mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua
rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh
diinjak orang asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran paling luar yang
berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya agar para guriang yang kehadirannya dianggap
penting sebagai penjaga keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot.
Pemimpin kampung tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak
sebagai kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan
keresiden Banten yang kini Gubernur di Serang. Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro
terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro
tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja diangkat.
Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau
pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro,
tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas
jaro, yaitu tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia
adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelas. Jaro
warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi
pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro duawelas.
Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para
puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu seorang jaro pamarentah
merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu
melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia
mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang
pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa,
pembantu jaro pamarentah yang berasal dari panamping.
Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung
tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro pamarentah harus tunduk
kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat
adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih. Ia
biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain
berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.
Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk
berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikertawana. Jaro tangtu
membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum.
Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.
Semacam dewan penasihat puun terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau
kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu,
seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtu memecahkan berbagai masalah dan
melaksanakan pikukuh.
Dengan demikian seorang puun didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan
pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanekes
melalui tanggungan jaro duawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolot dan kokolotan lembur.
Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk
memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-
sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan
yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda.
Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan
aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identatis
masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan
memelihara kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan
keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan
sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy
yang bersandar pada pikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu
diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang
harus dikatakan dilarang.
DAFTAR PUSTAKA
Berthe, Louis. 2000. Kekerabatan, Kekuasaan dan Cara Berproduksi. Terjemahan Judistira K. Garna. Bandung:
Primaco Akademika.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1985. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep.
Pendidikan & Kebudayaan R.I.
Garna, Judistira K. 1987. Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Garna, Judistira K. 1988. Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat
Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Geise, N.J.C. 1952 Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten. Disertasi. Leiden.
Jacobs, J. dan J.J. Meijer. 1891. De Badoej’s. ‘s-Gravenhage: Martionus Nijhoff.
Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Baduy Bubuara Menatap Tanah Harapan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Kartawinata, Ade Makmur. 1995. Tidak Sekadar Program Bantuan atau IDT: Konsep Pembangunan Masyarakat
Baduy.Pikiran Rakyat, 9 Maret, halaman 8.
Kartawinata, Ade Makmur. 2000. Pamarentahan Baduy di Kanekes. Makalah pada Simposium Internasional II Jornal
Antropologi Indonesia. Padang, 18 – 21 Juli.
Pleyte, C.M. 1910. Badoejsche geesteskinderen. Tijdschrift voor Bataviaschap, deel 54, afl. 2, 3-6.
***oleh : Ade Makmur K.
Abstrak. Masyarakat Baduy cenderung bertahan dari sistem pertanian berladang berpindah. Untuk bertahan
mereka diikat oleh sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan sosio-politik dan keagamaan. Pengaturan
kehidupan keseharian warga masyarakat sepenuhnya di bawah kendali sistem pemerintahan yang bersandar
pada pikukuh karuhun yang dikenal sebagai pamarentahan Baduy dengan ketiga puun sebagai pucuk rujukan
mereka yang berkedudukan di tiga daerahtangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik.
Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mendeskripsi dan menerangkan bagaimana pranata kepemimpinan
yang disimpulkan melalui pamarentahan Baduy berperan mengendalikan warga masyarakatnya bertahan dari
pelbagai pengaruh. Pendekatan kekerabatan digunakan untuk menggambarkan penelitian ini yang dilakukan
melalui pengumpulan data etnografi. Praktek kepemimpinan ketiga puun masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda sesuai dengan kedudukan dan perannya dalam hirarki kekerabatan. Puun Cibeo yang dihubungkan oleh
garis keturunan yang paling muda bertindak sebagai pemimpin politik yang berperan mengatur warga masyarakat
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan Puun Cikeusik yang ditentukan oleh garis keturunan yang
paling tua berperan memimpin agama dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan identitas budaya,
sedangkan Puun Cikartawana kedudukannya di antara kepemimpinan agama dan politik.
kata kunci: Pamarentahan Baduy, Kekerabatan
PAMARENTAHAN BADUY IN KANEKES: KINSHIP PERSPECTIVEAbstract. The Baduy people nowadays still uphold the slash and burn agriculture besides their folk believes to
survive amongs the modern life They were managed by such tradition like sociopolitical management that controls
their attitudes. Every single daily life has been controlled by pikukuh karuhun tradition that already known as well
as pamarentahan Baduy with three chiefdomains : Cibeo, Cikartawana and Cikeusik. The research has developed to
describe and explained how the institution leader through pamarentahan objective that Baduy’s roles in controlling
on community. It is believed that situation could contrains outside world influence. Ethnographic approach was
used for this research to collect data. Those three puun leaderships have different function to control the
community with its characteristics in their hierarchical kinship.Puun Cibeo is related to be highest kin line relation
and roles as political leader to suit daily activities. Puun Cikeusik roles as the highest leader on folk believes to
protect cultural identity. On the other hand, Puun Cikartawana roles as mediator of both Puuns as well as political
and religious leader.
Keywords : Pamarentahan Baduy, Kinship
PENDAHULUANKompleksitas kepemimpinan direproduksi oleh masyarakat dalam dimensi material, psikologis dan sosial, karena berhubungan dengan tindakan dan kekuasaan. Dalam konteks itu, tindakan dan kekuasaan berfungsi mengatur kehidupan sosial yang diwujudkan oleh masyarakat melalui sikap kepatuhan dan ketaatan. Seperti diterangkan oleh Ernest Brandewie (2000), bagaimana konsep kepemimpinan pada masyarakat Hagen di Dataran Tinggi Tengah Nugini dioperasional berdasarkan kekerabatan. Atau, konsep Berthe (2000), tentang oposisi dalam sistem kekerabatan Orang Baduy yang diwujudkan dalam organisasi sosial.Berdasarkan kedua konsep kepemimpinan dalam konteks kekerabatan tersebut, mencerminkan ketaatan dan
kepatuhan pengikut menjadi pangkal utama berlangsungnya proses kepemimpinan. Sebagai imbalan dari ketaatan
dan kepatuhan pengikutnya seorang pemimpin menunjukkan dirinya mampu memenuhi kebutuhan sosio-religius
warga masyarakatnya.
Hubungan antara pemimpin dan pengikut dijalin melalui ikatan kekerabatan dengan merujuk pada garis keturunan
yang paling tua dan garis keturunan yang paling muda dalam terminologi kekerabatan. Putaran kekerabatan
serupa itu oleh Berthe disebut sebagai oposisi dalam kekerabatan yang diwujudkan dalam organisasi sosial atau
pengaturan kehidupan sosio-budaya masyarakat Baduy.
Dalam konteks itu, masyarakat Baduy hingga kini masih terus bertahan dari pelbagai pengaruh luar baik agama
maupun teknologi pertanian yang sederhana sekalipun. Untuk bertahan mereka diikat oleh sistem pemerintahan
yang bukan hanya mengatur kehidupan sosio-politik tetapi juga keagamaan. Sistem pemerintahan modern yang
ditampilkan melalui pemerintahan desa memang turut mewarnai kehidupan sosio-politik mereka.
Namun peran yang dikesankan dari keberadaan institusi tersebut sebatas sebagai penghubung dengan dunia luar,
sedangkan pengaturan kehidupan keseharian warga masyarakat sepenuhnya di bawah kendali sistem
pemerintahan yang bersandar pada pikukuh karuhun yang dikenal sebagai pamarentahan Baduy.
Dalam pamarentahan itu ketiga puun berperansebagai pucuk pimpinan mereka yang berkedudukan di tiga
daerah tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik.
Dalam praktek kepemimpinan ketiga puun mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan kedudukan dan
peranannya masing-masing dalam hirarki kekerabatan. Dalam kedudukan ini Puun Cibeo berfungsi sebagai
pemimpin politik yang dihubungkan oleh garis keturunan yang paling muda dan Puun Cikeusik berfungsi sebagai
pemimpin agama yang ditentukan oleh garis keturunan yang paling tua, sedangkan Puun Cikartawana
kedudukannya di antara kepemimpinan agama dan kepemimpinan politik. Kekuasaan agama dihubungkan
dengan karuhun untuk mewujudkan identitas budaya, lain halnya kekuasaan politik dihubungkan dengan manusia
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi.
Bertolak dari kenyataan tersebut, penelitian ini untuk menjawab bagaimana pamarentahan Baduy yang didasarkan
padapikukuh karuhun dapat berperan mengendalikan warga masyarakat Baduy. Untuk mengungkapkan
sistem pamarentahandilakukan melalui pendekatan kekerabatan dengan bersandar pada syarat-syarat hirarki
kekerabatan dan pengaturan perkawinan seperti yang diajukan oleh Geise (1952) dan Berthe (2000) tentang
oposisi antara kakak dan adik yang dapat mewujudkan hubungan individu dalam satuan kekeluargaan.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplanasi pranata kepemimpinan masyarakat Baduy dalam
mempertahankan pikukuh karuhun dan mengatur serta mengendalikan warga masyarakatnya.
Berdasarkan tujuan tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi teoretis terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya antropologi sosial yang terkait dengan pemahaman teori
kepemimpinan dan kekerabatan.
TINJAUAN PUSTAKA
Karya etnografi Baduy sejak jaman kolonial hingga kemerdekaan Indonesia telah dihasilkan para antropolog, di
antaranya yang hingga kini menjadi andalan untuk para pengkaji masyarakat dan kebudayaan Baduy, adalah karya
N.J.C. Geise yang tertuang dalam disertasinya, berjudul ‘Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid
Banten’ (1952). Karya Judistira K. Garna, yang tertuang dalam disertasi berjudul ‘Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian
Struktutal Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia’ (1988), dan bukunya yang berjudul ‘Orang
Baduy’ (1987).
Karya etnografi yang dikemukakan oleh Geise dan Judistira Garna merupakan telaah yang mendalam pada dua
jaman yang berbeda. Meski karya Geise diterbitkan tahun 1952 penelitiannya itu sendiri dilakukan pada tahun
1930-an. Artinya, penggambaran etnografi Baduy oleh Geise dalam perspektif pemerintahan kolonial berlangsung.
Sedangkan, karya Judistira Garna, merupakan penggambaran masyarakat dan kebudayaan Baduy pada masa
Indonesia pasca kemerdekaan termasuk di dalamnya pada masa Orde Baru berkuasa. Tentunya, penggambaran
Etnografi Garna tidak dapat dilepaskan dari situasi Indonesia ketika itu. Nuansa pembangunan perdesaan yang
diwujudkan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa memberikan makna tersendiri
bagi kehidupan Orang Baduy.
Sistem kekerabatan Orang Baduy merupakan referensi atau kerangka acuan yang penting dalam menentukan
dengan siapa seorang ‘ego’ dapat berhubungan dan bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan seperti sosial,
ekonomi dan keluarga. Kelompok-kelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam bentuk
ketetanggaan ladang (huma), dan satuan permukiman atau kampung. Dalam konteks itu, sebuah satuan
kekerabatan menguasai kehidupan sebuahtangtu atau kesatuan teritorial, seperti kelompok
kekerabatan tangtu Cikeusik menguasai kesatuan kerabat Cikeusik, demikian juga tangtu Cibeo menguasai
kesatuan kerabat Cibeo dan kekerabatan tangtu Cikartawana menguasai kesatuan kerabat Cikartawana.
Landasan utama berfungsinya sistem kekerabatan adalah penggunaan istilah-istilah kekerabatan. Istilah
kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan
saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku (Marzali, 2000). Selanjutnya
menurut Amri Marzali, prinsip hubungan kekerabatan ini terutama digunakan untuk:
menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (nonkinkin);
menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat;
mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan
menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan
kekerabatan yang disepakati bersama.
Bagi Orang Baduy prinsip tersebut, tidak dapat dilepaskan dari lokasi permukiman atau kampung tempat di mana
mereka bertempat tinggal. Karena itu, menurut Garna (1987:74), hubungan kekerabatan dengan lokasi kampung
dapat mengukur jauh dan dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain serta bagaimana
seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi, atau cara serupa itu oleh Yunita T. Winarto (1999),
disebut sebagai pendekatan prosesual untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan kebudayaan. Data
kebudayaan dihimpun adalah kelakuan, tata kelakuan dan hasil kelakuan pada masyarakat Baduy. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah pengamatan untuk menjawab apa dan bagaimana
mereka melakukan aktivitas kehidupan, sedangkan teknik pengumpulan data melalui wawancara digunakan untuk
menjawab pertanyaan mengapa mereka melakukan sesuatu itu yang terkait dengan sistem kekerabatan dalam
kerangka pamarentahan Baduy.
Informan dalam penelitian ini, adalah mereka yang terkait dengan struktur pamarentahan Baduy, juga mereka
yang menjadi memegang kendali religi dalam pelbagai kegiatan ritual. Selain itu, juga informan dari pemerintahan
desa, seperti kepada desa (Jaro Pamarenah), carik desa, dan pangiwa.
Analisis data dilakukan dengan interpretasi melalui pendekatan thick description (Geertz, 1973; Ninuk P. Kleden,
1999). Atau disebut pula ‘deskripsi mendalam’ sebagai upaya pengalihan makna wacana dari wacana sosial ke
dalam bentuk wacana tertulis. Proses pengalihan makna tersebut berlangsung dari suatu bentuk deskripsi simbolik
berupa konsep kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Baduy ke dalam bentuk hubungan sosial.
HASIL PEMBAHASAN
Desa Kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85
hektar, sebagai dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan
hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau
Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.
Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun berikutnya
meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1928
berjumlah 1.521 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Awal tahun 1980
penduduk Desa Kanekes menjadi 4.057 orang, sepuluh tahun kemudian berjumlah 5.600 orang dan tahun 1999
menjadi 7.000-an orang (Kartawinata, 2000). Tentunya, dari keadaan itu menuntut penyediaan lahan untuk
permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan jumlah kampung, seperti
pada Tabel Perkembangan Kampung Baduy Tahun 1891 – 2000.
Pertambahan jumlah kampung di Desa Kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh
keperluan lahan untuk penyediaan permukiman.Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem
perladangan mereka yang dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat dari masa 7 tahun menjadi 3
tahun pada satu lokasi huma yang sama dengan percepatan penggarapan itu menimbulkan akibat tingkat
kesuburan tanah semakin berkurang.
Tabel: Perkembangan Kampung Baduy Tahun 1891 – 2000
TahunKampung
JumlahTangtu Panamping Dangka
1891 3 1 5 9
1929 3 7 7 17
1952 3 21 7 31
1975 3 30 3 36
1986 3 37 3 43
1996 3 47 3 53
2000 3 50 3 56
Sumber: J. Jacobs dan J.J. Meijer (1891); B. van Tricht (1929); N.J.C. Geise (1952); J. Garna (1988); dan Kartawinata
(2001).
Asal Usul dan Sebutan. Asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita
tentang karuhun. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan
masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta.
Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang pula
oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa
kata Badoeis, Bedoeisdikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di
gurun pasir. Namun menurut Pleyte (1909), kata Baduy tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-
mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Kanekes. Itu artinya, untuk
menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau
tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya.
Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urangKanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai
sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.
Kampung dan Ikatan Kerabat. Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap
penting. Lokasi permukiman itu menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para
Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal
sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan
kedudukannya dalam masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang
kampungtangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy
menyatakan seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh.
Prinsip kekerabatan dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952), tidak
menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur.
Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model
van Wouden berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent)
serta preferensi perkawinan antarsepupu (cross-cousins marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara
laki-laki dari pihak ibu.
Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh
Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah
kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-
laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan
istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang
khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.
Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama
(kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain.
Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan
perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy
tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins)
(Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang
menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut
dengan baraya.
Kelompok Asal Keturunan. Orang Baduy mengelompok menurut asal keturunan tangtu, yaitu keluarga luas yang
tinggal dalam satu kampung. Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan,
yaitu tangtu Cikeusik, tangtu Cikartawana dan tangtuCibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan
dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo.
Seluruh Desa Kanekes terbagi dalam dua wilayah penting, yaitu wilayah tangtu (sakral) dan
wilayah panamping (profan). Hal itu, berpengaruh pada pembagian warga masyarakat Baduy dalam dua paroh
masyarakat, yaitu tangtu dan panamping, menentukan posisi masing-masing dalam rangka suatu kesatuan
masyarakat.
Peranan untuk saling mengendalikan dan mengawasi ditentukan oleh sistem pajaroan yang dibentuk serta dipimpin
olehtangtu atau tiga puun. Puun mengangkat seorang jaro, yaitu tanggungan jaro duawelas yang bertugas
mengawasi parajaro, terutama para jaro di panamping dan dangka.
Pamarentahan di Kanekes. Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah
pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun.
Mereka dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan
mempunyai hubungan dengankaruhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur
kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan.
Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan
warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan
pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.
Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan
kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis
kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan
pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat
yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah
pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib
sedangkan parajaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain,
para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu,
para puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi
kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan
parakarukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari
daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban
bekerja di huma puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Dalam pamarentahan Baduy, dimulai dari lingkungan rumah, yakni seorang kepala keluarga inti mengatur
kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan
yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat,
melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan,
pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.
Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang
disebutjaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui puun, dan ia juga
dapat berkumpul di tangtu dalam upacara keagamaan. Selain itu, jaro dangka diharuskan turut serta dalam
upacara membersihkan tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar.
Itu artinya, dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun
berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolotan lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas
nama puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolot lembur yang
kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal.
Pemimpin tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolotan lembur dan sekaligus pula bertindak
sebagai kokolot lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan
keresiden Banten yang kini menjadi Gubernur di Serang.
Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di
bawahtangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia
dapat diangkat.
Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau
pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro,
tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari
keduabelas jaro, yaitu tiga jarotangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah,
maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan
sebutan jaro duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan
pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro
duawelas.
Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak,
para puundan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu
seorang jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh
bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah tergantung dari lamanya
dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh
paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes,
dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang berasal daripanamping.
Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di
kampung tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro pamarentah harus
tunduk kepada mereka.Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama.
Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih.
Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain
berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.
Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk
berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di
Cikartawana. Jaro tangtu membantu seurat dan puunsecara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya
dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.
Semacam dewan penasihat puun terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau
kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu,
seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtumemecahkan berbagai masalah dan
melaksanakan pikukuh.
GAMBAR: STRUKTUR PAMARENTAHAN BADUY
Dengan demikian seorang puun didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat
pelaksanaan pikukuh olehbaresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga
Kanekes melalui tanggungan jaroduawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolotan lembur.
Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk
memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-
sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan
yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda.
Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan
aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identatis
masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan
memelihara kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas
keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan
sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy
yang bersandar padapikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu
diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang
harus dikatakan dilarang.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa dalam pamarentahan Baduy seorang pemimpin dipilih dari
kelompok keluarga tertentu yang memang telah memiliki alur keturunan pemimpin, sekalipun demikian bukan
berarti masyarakat menyerahkan rekruitmen kepemimpinan kepada keberuntungan atau nasib. Jadi rekruitmen
kepemimpinan dalam hirarki pamarentahan Baduy diambil dari bagian sangat kecil dari seluruh warga masyarakat.
Usia dalam penentuan pemimpin tidak menjadi hal yang utama atau menjadi penghalang seseorang untuk menjadi
seorang pemimpin. Ukuran utama yang menjadi sandaran adalah setiap individu Orang Baduy cenderung menilai
setinggi mungkin keluarga dan garis keturunan pemimpin.
Dalam konteks itu, kelompok-kelompok keturunan satu garis kekerabatan (unilineal), menawarkan proposisi, bahwa
struktur politik dalam pamarentahan Baduy selalu stabil dan dalam banyak hal persaingan internal yang mungkin
timbul dari perpecahan di antara garis-garis keturunan dapat dihindarkan dengan adanya pembagian kewenangan
yang didasarkan atas ikatan-ikatan kewilayahan yang berkoeksistensi dengan hubungan-hubungan kekeluargaan.
Strategi dalam pamarentahan Baduy untuk melanggengkan kekuasaan dan kestabilan tradisi yang berpijak
pada pikukuhdidasarkan landasan afiliasi kekeluargaan dan ikatan-ikatan kewilayahan.
Dalam pamarentahan serupa ini, struktur yang dibentuk semata-mata untuk menegakkan ketertiban sosial agar
pengukuhkan ikatan wilayah lebih erat. Pemisahan yang berlangsung hanya sebatas kewilayahan (kampung-
kampung), namun pemisahan itu kemudian tercakup oleh sistem pertalian keluarga yang kuat.
Peranan ketiga puun dan jaro tujuh yang terlingkup dalam sistem kekerabatan pada dasarnya berhubungan dengan
sentralisasi kewenangan. Oleh karena itu, sebagai penutup tulisan ini dapat dinyatakan bahwa suatu sistem
kekerabatan yang kuat, sementara hal-hal lainnya setara, berkorelasi dengan suatu sistem politik yang lemah
mewujudkan spresialisasi kewenangan yang terpusat di kampung tangtu, baik spesialisasi keagamaan maupun
politik, seperti ditunjukkan oleh peranan puun Cikeusik dan puun Cibeo untuk mengekalkan keyakinan
Sunda Wiwitan bagi masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Brandewie, E. 2000. Tempat Orang Besar dalam Masyarakat Hagen Tradisional di Dataran Tinggi Tengah Nugini.
Dalam Frank McGlynn dan Arthur Tuden. 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. Terjemahan
Suwargono dan Nugroho. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 85 – 112.
Berthe, Louis. 2000. Kekerabatan, Kekuasaan dan Cara Berproduksi. Terjemahan Judistira K. Garna. Bandung:
Primaco Akademika.
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1985. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep.
Pendidikan & Kebudayaan R.I.
Eggan Fred. 1966. The American Indian. Chicago.
Frank McGlynn dan Arthur Tuden. 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. Terjemahan Suwargono dan
Nugroho. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Garna, Judistira K. 1987. Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Garna, Judistira K.
1988. TangtuTelu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis
Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Geise, N.J.C. 1952 Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten. Disertasi. Leiden.
Jacobs, J. dan J.J. Meijer. 1891. De Badoej’s. ‘s-Gravenhage: Martionus Nijhoff.
Kartawinata, A.M. 2001. Pamarentahan Baduy di Kanekes. Makalah Simposium Internasional Jurnal Antropologi
Indonesia. Padang: UI-Universitas Andalas, 18 – 20 Juli.
Ninuk P. Kleden. 1999. Metode Pemahaman bagi Penelitian Antropologi. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Th.
XXIII, No. 60. Sept – Des. Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia. Hal. 36 – 49.
Marzali, Amri. 2000. Dapatkah Sistem Matrilinear Bertahan Hidup di Kota Metropolitan?. Dalam Antropologi
Indonesia. Th. XXIV, No. 61 Jan-Apr. Jurusan Antropologi FISIP – Universitas Indonesia. Hal. 1 – 15.
Pleyte, C.M. 1910. Badoejsche geesteskinderen. Tijdschrift voor Bataviaschap, deel 54, afl. 2, 3-6.
Yunita T. Winarto. 1999. Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Bdaya.
Dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Th. XXIII, No. 60. September–Desember .Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan
Obor Indonesia. Hal. 25-35.
Sebutan yang dikemukakan Prof. Dr.R.M.Koentjaraningrat terhadap karya Prof.H.Judistira K. Garna, Ph.D. sebagai
karya etnografi yang berfokus teori fungsional (Lihat Buku Baduy dari inti jagat, Bentara Budaya 1988) untuk kajian
masyarakat dan kebudayaan Baduy.
***Ade Makmur Kartawinata
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad, Staf pengajar pada Jurusan
Antropologi Sosial FISIP – Unpad.