babi pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdf · 2 olehpelaku atau organisasi kejahatan dapat...
TRANSCRIPT
1
1
BABI
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya setiap pelaku tindak pidana akan berusaha
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang merupakan
hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak
pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum, sehingga ia dapat dengan
leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah
maupun yang tidak sah. Oleh karenanya UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan
tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas
sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan
sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pencucian uang (money laundering) adalah suatu kejahatan ganda. Dengan
penanganan perkara secara tuntas adanya dua kejahatan, yaitu kejahatan asal
(predicate crime) dan kejahatan pencucian uang seharusnya dapat dilakukan
dengan lebih efisien dan efektif.1 Pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui
melalui penelusuran aset atau harta kekayaan untuk selanjutnya hasil tindak
pidana tersebut dirampas untuk Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Dalam konsep anti pencucian uang, apabila harta kekayaan yang dikuasai
1 Jahja, Juni Sjafrien, 2012, Melawan Money Laundering ! Mengenal, Mencegah &
Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Visi Media, Jakarta, hlm : v.
2
olehpelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan
sendirinya akan dapat menurunkan tingkat kriminalitas.
Black's Law Dictionary, mengartikan istilah money laundering sebagai :
"term used describe investment or other transfer of money flowing from
racketeering, drug transaction,and other illegal sources into legitimate channels
so that it's original sources can not be traced. Money laundering is a federal
crime; 18 USCA 1956". Istilah tersebut menggambarkan bahwa pencucian uang
adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan
uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain
yang ilegal melalui saluran legal sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat
diketahui/dilacak.
Pada awalnya, tindak pidana pencucian uang didominasi oleh uang atau
aset yang berasal dari kegiatan narkotika di Amerika Serikat pada awal abad ke-
20, ketika perusahaan-perusahaan pencucian pakaian (laundry) digunakan oleh
para mafia untuk pemutihan/pencucian uang yang diperoleh dari perbuatan illegal
dengan cara membeli perusahaan laundry tersebut, sehingga seolah-olah uang
yang mereka kumpulkan tersebut berasal dari bisnis mencuci pakaian.
Modus serupa dikhawatirkan juga akan dipergunakan di Indonesia,
sehingga Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama
dengan anggota masyarakat dunia lainnya secara aktif mengambil bagian dalam
upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Langkah nyata
dari komitmen pemerintah tersebut diwujudkan dengan ditandatanganinya United
Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychothropic
3
Substances, 1988 (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran
GelapNarkotika dan Psikotropika, 1988) yang telah diratifikasi dalam UU RI No.
7 Tahun 1997 pada tanggal 24 Maret 1997. Konvensi tersebut menegaskan
pentingnya merampas aset hasil tindak pidana narkotika, dalam rangka
memberantas kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Perkembangannya dalam upaya pemberantasan tindak pidana asal dari
tindak pidana pencucian uang digunakanlah mekanisme perampasan aset hasil
kejahatan, untuk itu Pemerintah Indonesia menerbitkan UU RI No. 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan UU RI No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian diperbaharui lagi
dengan pemberlakuan UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Mengingat bahwa
kejahatan pencucian uang tidak semata timbul dari kejahatan asal Narkotika saja,
maka Pasal 2 ayat (1) UU TPPU menetapkan :
Jenis tindak pidana asal diantaranya korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di
bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,
kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap,
terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,
perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan,di bidang
lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan atau tindak pidana
lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Trend perkembangan penyelesaian tindak pidana korupsi saat ini adalah
penggunaan hukum pidana pencucian uang dalam merampas aset dari pelaku
tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa politik
hukumpemberantasan tindak korupsi telah menempatkan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa sebagaimana tertera dalam Tap MPR No VIII/MPR/2001
4
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme mengatakan antara lain bahwa permasalahan Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat
serius dan merupakan kejahatan luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara.2
Senada dengan TAP MPR tersebut, konsideran UU RI No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), menekankan bahwa tindak pidana korupsi
yang selama ini terjadi secara meluas sampai masuk kedalam tubuh aparat hukum
itu sendiri3, hingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas,
sehingga tindak pidana korupsi inipun kemudian digolongkan sebagai kejahatan
yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Upaya
pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa. Salah satu upaya pemberantasannya ditetapkan melalui
penggunaan hukum pidana pencucian uang didalam penanganan perkara korupsi
yang dapat digabungkan dalam satu penuntutan, maupun dapat dilakukan secara
terpisah.
Perang melawan korupsi melalui upaya pencegahan dan
pemberantasannya di Indonesia telah berlangsung lama yaitu sebelum tahun 1960-
an, dan telah mengalami beberapa kali pergantian undang-undang. Pergantian
undang-undang tentang korupsi, secara umum dapat dilihat akibat dari pergeseran
2 Hartanti, Evi, 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
3 Rahardjo, Satjipto, 2008, Membelah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,
Jakarta, hlm. 15.
5
atau pergantian sistem politik di Indonesia. Sekalipun pergantian undang-undang
telah banyak dilakukan, akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan
korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan tentang
pemberantasan korupsi menegaskan bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia
merupakan suatu cita-cita bangsa dan sekaligus cita-cita pendirikemerdekaan
Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan diadopsi dalam sila kelima
Pancasila.
Setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa
ini merupakan pelanggaran terhadap cita-cita bangsa. Akan tetapi, sebagai suatu
negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan
kepada asas kepastian hukum dan juga harus dilandaskan kepada keadilan sebagai
cita-cita hukum. Berdasarkan pengalaman Indonesia dan di negara-negara lain
menunjukkan bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan
menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata
belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan
upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrument tindak pidana. Dalam
hal ini, membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrument
tindak pidana memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain
yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untukmenikmati hasil
tindak pidana dan menggunakan kembali instrument tindak pidana atau bahkan
mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.4
4 Yusuf, Muhammad, 2013, Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi Di
Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hlm. 7.
6
Korupsi sebagai Organized Crime (kejahatan yang terorganisasi)
berdampak sangat luas, terutama dari aspek ekonomi terhadap kesejahteraan
masyarakat, ditambah pula dengan ongkos melawan berbagai kejahatan begitu
mahal, menjadikan aspek penyitaan dan perampasan hasil dan instrument tindak
pidana dikumulatifkan dengan pengenaan UU RI No.8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap tindak
pidana asal menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan sejumlah konvensi
yang berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, yaitu: United Nation
Convention Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Phychotropic Substances
pada tahun 1988 dan United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime (UNCATOC) pada tahun 2000, dan United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003. Ada pula "40+90 Rekomendasi"
yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Salah satu bagian
penting dari konvensi-konvensi PBB dan rekomendasi FATF tersebut adalah
adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan dan perampasan
hasil dan instrument tindak pidana, termasuk kerjasama internasional dalam
rangka pengembalian aset pelaku hasil tindak pidana.
Beberapa pengaturan UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No.
6 Tahun 2007 tentang Ratifikasi UNCAC 2003 terkait penyitaan aset, seperti
berikut :
7
1. Masing-masing negara pihak wajib mengambil, sepanjang sangat
dimungkinkan dalam sistem hukum internalnya tindakan-tindakan sedemikian
sebagaimana dianggap perlu guna memungkinkan perampasan atas :
a. Hasil-hasil kejahatan yang berasal pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan sesuai dengan konvensi ini atau kekayaan yang dimulainya
menunjukkan nilai hasil-hasil tersebut.
b. Kekayaan, peralatan atau sarana lainnya yang digunakan dalam atau
ditujukan untuk digunakan dalam pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan sesuai dengan konvensi ini.
2. Masing-masing negara pihak wajib mengambil tindakan sedemikian
sebagaimana dianggap perlu guna memungkinkan identifikasi, pelacakan,
pembekuan atau penyitaan barang ataupun yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini dengan tujuuan perampasan pada waktunya.
3. Masing-masing negara pihak wajib mengambil, …… dst ….. berwenang atas
kekayaan yang dibekukan, disita atau dirampas …. dst.
4. Apabila hasil-hasil kejahatan tersebut telah diubah atau dikonversi sebagian
atau seluruhnya, ke dalam kekayaan lain kekayaan tersebut wajib dikenal
tanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dimaksud dalam pasal ini,
sebagai ganti hasil-hasil tersebut.
5. Apabila hasil-hasil kejahatan tersebut telah dicampur adukkan dengan
kekayaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah, kekayaan tersebut
wajib tanpa mengabaikan kekuasaan manapun yang berkaitan dengan
pembekuan atau penyitaan, dikenai tanggung jawab terhadap perampasan
8
sampai sejumlah yang dimulai dari hasil-hasil yang dicampur adukkan
tersebut.
Article 31. Freezing, seizure and confisation
1. Each State Party shall take, to the greatest extent possible within its
domestic legal system, such measures as may be necessary to enable
confiscation of :
(a) Proceeds of crime derived from offenes established in accordance with
this Convention or property the value of which corresponds to that of
such proceeds.
(b) Property, equipment or other instrumentalities used in or destined for
use in offences established in accordance with this Convention.
2. Each State Party shall take such measures as may be necessary to enable
the identification, tracing, freezing or seizure of any item referred to in
paragraph 1 of this asticle for the purpose of eventual confiscation.
3. Each State Party shall adopt, in accordance with its domestic law, such
legislative and other measures as may be necessary to regulate the
administration by the competent authorities of frozen, seized or
confiscated property covered in paragraphs 1 and 2 of this article.
4. If such proceeds of crime have been transformed or converted, in part or
in full, into other property, such property shall be liable to the measures
referred to in this article instead of the proceeds.
5. If such proceed of crime have been intermingled with property acquired
from legitimate sources, such property shall, without prejudice to any
powers relating to freezing or seizure, be liable to confiscation up to the
assessed value of the intermingled proceeds.
Eksistensi UU No. 5 Tahun 2009 sebagai bentuk Ratifikasi terhadap
UNCATOK 2000 dapat digambarkan sepintas bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) atau United Nation Organization menghendaki agar pembekuan atau
penyitaan dilakukan oleh negara terhadap aset-aset koruptor yang didapat atau
diperoleh dari korupsi. Himbauan tersebut tertuang dalam United Nation
Convention Against Transnational Organized Crimes UNCATOC 2000 (Konvensi
PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir) yang diratifikasi dengan UU RI
No. 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Internasional. Konvensi
9
tersebut memberikan landasan mengenai pentingnya negara memberikan
perlindungan hukum terhadap aset-aset negara, dengan mengambil tindakan
berupa pembekuan ataupun penyitaan dengan merampas aset-aset koruptor yang
diperoleh dengan cara-cara tidak sah atau tidak wajar, dalam rangka mendukung
upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi sebagai kualifikasi
organized crimes hingga tuntas.
Dalam UNCATOK diresmikan tanggal 15 Desember 2000 di Palermo
Italia oleh Konvensi PBB tersebut di atas menjadi konvensi, melalui ketentuan
Pasal 3 dan 23 konvensi menyatakan bahwa pada prinsipnya mengatur tentang
penyidikan yang di dalamnya termasuk pula tindakan penyitaan serta berbagai
langkah tindakan kerjasama antar negara yang dapat dilakukan sesama negara
pihak dalam konvensi tersebut seperti tindak pidana pencucian hasil kejahatan,
korupsi, dan tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana yang
serius sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 huruf b konvensi yang bersifat
transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang
terorganisasi. Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan
sebagai tindak pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut
dilakukan :
a. di lebih dari satu wilayah negara;
b. di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian
atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain;
10
c. di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak
pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu
wilayah negara; atau
d. di suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana
tersebut dirasakan di negara lain.
Semua ketentuan di atas, bagi Indonesia secara langsung dapat dilakukan
sebagai negara pihak konvensi karena telah meratifikasi dengan Undang-Undang
No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime / UNCATOC (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Teroganisasi).
Ada beberapa negara penulis pakai komparasi dalam penyitaan terhadap
keberadaan aset koruptor seperti diantaranya :
1. Amerika Serikat
Criminal Forfeiture dan NBC Asset Forfeiture di Amerika Serikat
telah cukup lama digunakan untuk mengembalikan aset hasil tindak pidana.
Pengembalian aset secara hukum pidana dan perampokan aset tanpa tuntutan
pidana di Amerika Serikat menurut D. Cassela, hukum negara bagian di
Amerika Serikat secara prosedural memberikan 3 (tiga) opsi yaitu
administrative forfeiture, criminal forfeiture dan sivil forfeiture. Dalam hal ini
sivil forfeiture bukan bagian dari suatu kasus kriminal. Dalam kasus sivil
11
forfeiture merupakan bagian dari aksi sivil melawan properti itu sendiri (in
rem).5
Pada dasarnya NCB Asset Forfeiture diterapkan dalam skala domestik,
yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih aset-
aset hasil kejahatan yang berada dalam negeri. Apabila aset hasil kejahatan
berada di luar negeri, beberapa negara yang menggunakan NBC Asset
Forfeiture secara domestik mengaplikasikannya secara teritorialitas.6
2. Australia
Australia dalam usaha pengembalian aset kepada negara menerapkan
salah satunya Mutual of Crime Act 1987 (FOC). FOC merupakan conviction
based confiscation legislation mengharuskan bahwa gugatan pidana
(conviction) harus terlebih dahulu dilakukan untuk bisa melakukan asset
confiscation, secara tradisional rezim ini melindungi hak huukum acara yang
dimiliki oleh seorang tersangka atau tertuduh melalui diharuskannya proses
gugatan pidana sebelum diambil olehnya aset (conviction before forfeiture)
dan otoritas yang berwenang melakukan penuntutlah yang memiliki beban
pembuktian.7
3. Filipina
Aturan mengenai prosedur pelaksanaan Sivil Forfeiture in Cases of
Civil Forfeiture. Penyitaan aset bagi seseorang di negara Filipina ini mesti
5 Steven D. Cassela, 2003, Provision of the USA Patriot Act Relating To Asset Forfeiture
in Tranasional Cases, Journal of Financial Crime, hlm : 304. 6 Bismar Nasution, 2009, Criminal Division, Asset Forfeiture and Money Laundering
Section, Department of Justice, USA, hlm : 133. 7 Ben Clarke, Confiscation of Proceed of Crime : Australia Response, disampaikan dalam
2 end World Conference On Investigation On Crime, ICC, Durban, 3-7 Desember 2001, hlm : 2.
12
memenuhi syarat seperti uang atau dana harus dibekukan oleh pengadilan
banding (Court of Appeals), juga kedua harus disampaikan laporan convered
transaction sebesar minimal 9.200 dollar AS. Ketiga syaratnya NBC Asset
Forfeiture hanya bisa dilakukan dalam kasus pencucian uang dengan institusi
keuangan intermediary. Di Filipina hanya instrumen uang yang bisa menjadi
NBC Asset Forfeiture.8
Peraturan yang telah bahu di Filipina yaitu proses peradilan NCB Asset
Forfeiture adalah in rem, perdata, dan tidak pidana.9
Berarti konsep penyitaan aset di Filipina hanya atas dasar obyek
langsung keperdataan, bukan menyangkut subyek atau orangnya, terlepas
antara tanggung jawab perdata terhadap aset dengan orang yang mesti dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana.
4. Hongkong
Hongkong memiliki aturan dalam pemberantasan korupsi Basic Law
Independent Commission Against Corruption Ordinance, Chapter 204.
Organisasi Kelembagaan dalam pemberantasan korupsinya bernama ICAC
(Independent Commision Against Corruption). Tingkat bentuk korupsi yang
paling tinggi di Hongkong berupa penyuapan terhadap pejabat Kepolisian
Lalu Lintas Hongkong secara khusus ada pula organisasi di internal
Kepolisian Hongkong dalam penanganan korupsi bernama ACO (Anti
Corruption Office).
8 Jeffrey Simser, 2006, The Significance of Money Laundering : The Example of The
Philippines, Journal Money Laundering, hlm : 297. 9Ibid, hlm : 168.
13
Namun ICAC Hongkong memiliki tugas dan wewenang yang luas
mulai penyelidikan penyidikan, termasuk melakukan penggeledahan,
penangkapan, dan penyitaan bagi orang yang dicurigai melanggar The
Prevention of Bribery Ordinance (Cap. 201) atau dicurigai melanggar The
Corrupt and Illegal Practices Ordinance (Cap. 288).10
Penyitaan aset oleh seseorang yang dicurigai korupsi dapat dilakukan
oleh ICAC dengan petugas khusus intelijen yang dikenal dengan B3
(Investigation Branch).11
Hongkong dikenal sebagai negara bersih dari korupsi
setelah negara Singapura dan Malaysia.
Tingkat kuantitas korupsi bagi Indonesia disorot oleh Lembaga
Transparansi Internasional. Keberadaan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin menjadi pusat dan pokok perhatian serius sejak era pemerintahan
reformasi dimulai tahun 1998. Sampai saat ini isu dan fenomena penegakan
hukum dibidang korupsi selalu menjadi perbincangan publik, bahkan menjadi isu
utama pihak pemerintah dalam upaya pemberantasannya. Terkait dengan data
diperoleh melalui Lembaga Transparancy International mengenai indeks persepsi
korupsi yang mengukur tingkat korupsi suatu negara pada kondisi interpal satu
tahun. Berdasarkan survey terhadap 177 negara di dunia dengan rentang skor 1-
100, nampak bahwa pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat 118 dengan
skor 32, kemudian pada tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat 114 dengan
skor 32. Dengan kondisi seperti itu maka posisi Indonesia dalam indeks berada
10
Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm : 22. 11
Ibid, hlm : 29.
14
pada 8 point di bawah skor rata-rata negara ASEAN, Indonesia menduduki posisi
ketiga terkorup di Asia Tenggara setelah Myanmar dan Korea Selatan.12
Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam masyarakat
baik itu merupakan tindakan pencegahan maupun tindakan
pemberantasan/penindakan, adalah Hukum Acara Pidana yang mempunyai tujuan
yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat.13
Tujuan dari hukum acara tersebut
untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum dan selanjutnya memerintahkan pemeriksaan dan memberi putusan oleh
pengadilan guna menentukan keterbuktian suatu tindak pidana telah dilakukan dan
seseorang didakwakan atas kesalahannya.
Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah
menerima laporan dan atau pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri
terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh penutut umum dengan jalan
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Selanjutnya, hakim melakukan
pemeriksaan terhadap dakwaan penuntut umum yang ditujukan terhadap terdakwa
terbukti atau tidak.14
Persoalan yang terpenting dari setiap proses pidana adalah mengenai
pembuktian, karena dari jawaban atas persoalan inilah tertuduh akan dinyatakan
12
Fiansyah Rahmat, 2014, Stagnan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, 2013,
http://www.kompas.com/, diakses pada Kamis, 30 Juli 2014. 13
Afiah, Ratna Nurul, 1988, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 13. 14
Ibid, hlm. 14.
15
bersalah atau dibebaskan.15
Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka
kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan.
Benda-benda yang dimaksudkan lazim dikenal dengan istilah barang bukti atau
corpus delicti yakni barang bukti kejahatan. Barang bukti itu mempunyai peranan
yang sangat penting dalam proses pidana.16
Barang bukti yang bukan
merupakanobyek, barang bukti atau hasil delik tetapi dapat pula dijadikan barang
bukti sepanjang barang bukti tersebut mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana misalnya uang yang dipakai korban pada saat ia melakukan
kejahatan korupsi bisa dijadikan barang bukti.
Penyitaan aset tersangka korupsi dalam rangka pemulihan kerugian negara
dan memberikan efek jera terhadap pelaku, sangat penting dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, sehingga diharapkan kedepannya tidak
akan muncul tindak pidana serupa. Dalam proses penyidikan perkara tindak
pidana korupsi terhadap tersangka yang disangka pula melakukan tindak pidana
pencucian uang, telah banyak kasus dimana aset atau harta kekayaan tersangka
disita oleh penyidik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Berbagai tersangka
korupsi yang disangka pula dengan kejahatan pencucian uang telah dilakukan
penyitaan terhadap harta bendanya seperti dalam kasus korupsi perpajakan Gayus
Tambunan dengan penyitaan harta kekayaan milik Gayus Tambunan senilai Rp.
74 Milyar, pada kasus Simulator SIM dengan terpidana Djoko Susilo yang saat
proses penyidikan disita aset-asetnya terdiri dari 26 (dua puluh enam) rumah,
tanah dan bangunan, 6 (enam) bus, 4 (empat) mobil dan 3 (tiga) SPBU yang
15
Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM,
Yogyakarta, hlm. 132. 16
Ibid, hlm. 15.
16
nilainya mencapai kisaran Rp. 100 Milyar, lain halnya dalam kasus penyuapan
impor daging oleh Ahmad Fathanah dimana harta kekayaannya yang mengalir ke
sejumlah teman perempuannya ikut disita.
Penyitaan seluruh aset dari tersangka korupsi yang juga disangka dengan
tindak pidana pencucian uang menuai kontroversi. Adanya penilaian dari praktisi
dan akademisi bahwa menyita seluruh harta kekayaan tersangka hingga harta yang
tidak ada kaitannya dengan sangkaan terhadap perbuatan yang dilakukantersangka
tidak memliki dasar hukum dan melanggar hak-hak asasi tersangka yang masih
harus dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mengikat
(presumption of innocence). Seharusnya aset-aset yang boleh dilakukan penyitaan
adalah aset-aset yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan perbuatan
tersangka yang disangkakan kepadanya, tidak mungkin harta yang diperoleh tahun
2000, misalnya, ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa yang harus dibuktikan
oleh penyidik yang dilakukannya pada tahun 2011.
Malik Bawazier menilai17
akuntabilitas penyidikan kasus Simulator SIM
harus mampu secara tepat, proporsional, dan jelas dalam pembuktian predikat
pidana. Penyitaan sejumlah rumah milik Djoko Susilo adalah sesuatu yang
janggal, KPK menurutnya harus mampu menjelaskan mengenai dasar-dasar
penyitaan dalam akuntabilitas proses penyidikan yang dilakukan dan hal tersebut
harus berkorelasi secara hukum dengan pembuktian predicate crime-nya.
Disisi lain banyak pandangan yang menyetujui tindakan dari penyidik
yang menyita harta milik tersangka korupsi karena mereka dinilai telah
17
Susila, Suryanta Bakti, dan Mahaputra, Sandy Alam, 2014, Pakar Hukum : Penyitaan
Aset Pencucian Uang Harus Logis, dalam http://www.m.news.viva.com diakses pada Selasa, 18
Maret 2014.
17
hidupmewah diatas penderitaan rakyat. Namun seringkali tindakan penyidik KPK
misalnya mendapatkan perlawanan karena pada saat penyitaan tidak membawa
surat perintah penyitaan.18
Dalam konteks penerapan UU TPPU penyitaan atau perampasan aset
seharusnya hanya diterapkan pada pelaku pidana korporasi, seperti diatur Pasal 7
ayat (2), sedangkan pada Pasal 79 ayat (4) dan (5) dan Pasal 81 UU TPPU
diaturapabila pelaku adalah perorangan maka penyitaan, atau perampasan aset
hanya dijatuhkan pada terdakwa yang telah meninggal sebelum dijatuhkan
putusan. Namun apabila tindak pidana pencucian uang yang dilakukan merupakan
hasil dari tindak pidana korupsi, maka pengadilan perlu menjatuhkan pidana
tambahan berupa perampasan harta benda dari terdakwa yang merupakan hasil
dari korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan 18 UU Tipikor.
Undang-Undang tidak mengatur secara khusus masalah mekanisme
penyitaan dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, sehingga baik
UU Tipikor maupun UU TPPU hanya merujuk kepada KUHAP dalam mengatur
lebih lanjut tentang hukum acara penyitaan.
Pasal 67 UU TPPU dikatakan oleh Ketua PPATK Muhammad
Yusuf19
dapat memungkinkan dilakukan perampasan harta kekayaan tanpa harus
mengaitkan langsung harta kekayaan tersebut dengan unsur kesalahan dari pelaku
tindak pidananya, bahkan apabila pelaku tindak pidananya tidak ditemukan. Pasal
18
Rifai, Abdilah, 2014, Penyitaan Harta Kekayaan Koruptor, dalam
http://www.academia.edu.com diakses pada Selasa, 18 Maret 2014. 19
Aquina, Dwifantya dan Ansyari, Syahrul, 2014, PPATK minta Penegak Hukum
samakan Persepsi soal Pencucian Uang, dalam http://www.m.news.viva.com diakses pada Rabu,
19 Maret 2014.
18
67 UU TPPU dikatakan sebagai sarana perampasan harta tanpa penghukuman
(non-conviction based forfeiture), tersurat sebagai berikut:
(1) Dalamhal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan
keberatan dalam waktu 20 (dua puluh hari) sejak tanggal penghentian
sementara transaksi, PPATK menyerahkan penanganan harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana tersebut kepada penyidik untuk, dilakukan penyidikan.
(2) Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan
dalam waktu 30 (tiga puluh hari, penyidik) dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk memutuskan harta
kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang
berhak.
(3) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Sayangnya KUHAP sebagai hukum acara dari Pasal 67 UU TPPU belum
mengakomodir hal tersebut, sehingga Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan
aturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang dan SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan
Perkara, Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.
Pengaturan tersebut bukanlah termasuk kedalam peraturan perundang-
undangan formil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU RI No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga bersifat internal yang
mengikat suatu instansi ataupun kesepakatan antar instansi yang tidak
mengandung sanksi jika tidak dilaksanakan, terlebih terhadap SEMA yang
keberlakuannya berupa surat dinas belaka.
19
KUHAP berdasarkan ketentuan Pasal 39 hanya menentukan secara
limitatif bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. Bendaatau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai basil tindak pidana.
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindakpidana atau untuk mempersiapkannya
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yangdilakukan
Apabila masih ada kekayaan yang belum disita, Pasal 81 UU TPPU
memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan jaksa penuntut
umum untuk melakukan penyitaan aset. UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) juga mengatur bahwa tindakan hukum penyitaan
mendahului tindakan hukum perampasan. Sehingga penyitaan dalam sistem
hukum pidana Indonesia merupakan tindakan sementara penyidik menempatkan
benda dibawah kekuasaannya sebagaimana Pasal 1 angka 16 KUHAP mengatur
adalah untuk kepentingan pembuktian. Kemudian Pasal 38 ayat (1) KUHAP
mengatur bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin
Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan ayat (2) menyatakan apabila tidak
mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan segera melaporkannya kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat.
Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan penyitaan seluruh aset-
aset tersangka oleh penyidik baik aset yang diperoleh pada saat atau perbuatan
yang disangkakan dilakukan, maupun aset-aset yang diperoleh tersangka jauh
sebelum perbuatan yang disangkakan dilakukan, berimplikasi pada kemungkinan
20
adanya penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik yang bukan merupakan
wewenangnya. Harta kekayaan tersangka yang tidak wajar dengan profilnya
sebagai pegawai negeri bukan berarti perolehannya dari kejahatan korupsi sebab
kemungkinan bisa diperoleh dari hasil kejahatan lain seperti penggelapan atau
penipuan atau kejahatannya lainnya yang diatur dalam KUHP. Kedepannya
dikhawatirkan bahwa KPK atau Kejaksaan yang hanya berwenang menyidik
kasus korupsi akan bertindak tidak sesuai dengan kewenangannya yaitu
secaratidak logis melakukan penyitaan aset atau harta-harta kekayaan tersangka
yang belakangan diketahui bukan merupakan hasil korupsi tetapi dari kejahatan
yang lain.
Keterkaitan antara UU TPPU dan UU Tipikor pada dasarnya bertujuan
membangun pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, hal tersebut harus
diimbangi dengan tindakan penegak hukum yang professional dan proporsional
dalam bertugas. KPK berdasarkan Pasal 6 UU RI No. 30 Tahun 2002 mempunyai
tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi. Kejaksaan berdasarkan Pasal 30 Ayat (2) UU RI No. 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, penjelasan Pasal 284 ayat (2) UU RI
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 17 PP No. 27 Tahun
1983 memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Terkait dengan Pasal 74 UU TPPU mengatur bahwa institusi yang diberikan
kewenangan menyidik perkara pencucian uang adalah institusi yang diberikan
kewenangan menyidik kejahatan asal. Dengan demikian KPK dan Kejaksaan juga
21
berwenang menyidik tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak
pidana asal Korupsi.
Yenti Garnasih menilai bahwa penyitaan oleh penegak hukum atas aset-
aset yang diduga bersumber dari sebuah tindak pidana pencucian uang haruslah
logis.
Konflik norma hukum antara pengaturan penyitaan seperti diatur KUHAP
Pasal 38 ayat (1) mesti harus ada ijin Ketua Pengadilan Negeri setempat setiap
penyidik yang melakukan tindakan penyitaan, berhadapan dengan ketentuan
norma hukum pula seperti diatur Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang
KPK. Dalam pasal ini tidak mengharuskan adanya ijin Ketua Pengadilan Negeri
apabila KPK melakukan penyitaan. Ketentuan UU KPK seperti dimaksud secara
kajian teoritik dapat diasumsi bahwa ketentuan UU KPK bersifat khusus (lex
spesialist), KPK memiliki kewenangan super body dalam tindak pidana korupsi,
tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes)
sehingga perlu cara-cara dan terobosan-terobosan yang sifatnya khusus pula (extra
ordinary power). Dari segi kekhususan kecepatan bertindak KPK perlu waktu
cepat dalam bertindak untuk menghindari hilang atau kaburnya barang bukti.
Syarat dokumen administratif merupakan prosedural administratif yang
mungkin dapat diberikan justifikasi dengan cara-cara pembenar lain guna
diperolehnya suatu alat bukti secara cepat, namun akurat serta tidak melanggar
hukum prosedural secara prinsif. Antara KUHAP dan UU KPK yang mengatur
tentang penyitaan, memang gradual / tingkatannya sama – sama undang – undang,
derajatnya sama, namun UU KPK merupakan UU lexspesialist dan keluarnya
22
lebih belakangan atau UU KPK lebih baru dari KUHAP. Sehingga secara tataran
teori hukum berdasar atas pemberlakuan UU menurut ruang atau waktu bahwa
UU yang baru akan menyampingkan UU yang lebih lama (lex posterior derogat
legi priori). Jadi UU KPK dapat diberlakukan lebih khusus (lexpesialist) atau lex
spesialist derogat legi generali. Sehingga Pasal 47 ayat (1) UU No. 30 Tahun
2002 tentang KPK yang mengatur penyitaan oleh KPK tanpa perlu ijin Ketua
Pengadilan Negeri adalah absah secara teori keilmuan hukum, juga adanya asas
preperensi dalam hukum seperti tersurat dan tersirat diatas (lex spesialist derogat
legi generali, dan lex posterior derogat legi priori).
Kebijakan hukum pidana kedepannya dinilai haras tegas dan mampu
mengakomodir serta memberikan arah politik hukum penyitaan aset atau harta
kekayaan tersangka secara logis dan berimbang dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dengan mekanisme dan prosedur
yang jelas, diperlukan suatu regulasi yang komprehensif tanpa adanya
disharmonisasi norma dalam suatu peraturan perundang-undangan formil Negara
Indonesia. Permasalahan hukum yang telah diuraikan di atas menarik untuk
diangkat dalam suatu penulisan tesis berjudul : FUNGSI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYITAAN ASET TINDAK
PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN PENCUCIAN UANG.
23
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena hukum terurai diatas, maka penelitian ini
memunculkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaturan yang harmonis dan terkorelasi tentang penyitaan aset
tersangka korupsi yang diduga pula melakukan tindak pidana pencucian uang
perspektif perundang-undangan pidana Indonesia ?
2. Apakah dasar pertimbangan penyidik KPK dalam penyitaan aset koruptor
yang jumlah nilainya dianggap tidak logis dan dilakukan tanpa batasan waktu
peroleh aset-aset tersangka korupsi ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak terjadi pembahasan yang berlebihan dan terdapat kesesuaian
antara pembahasan dengan permasalahan, maka perlu diberikan batasan sebagai
berikut :
1. Permasalahan pertama akan dibahas mengenai harmonisasi pengaturan
penyitaan aset tersangka korupsi yang disangka pula melakukan tindak pidana
pencucian uang menurut hukum positif di Indonesia (antara KUHAP, Undang
– Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang – Undang KPK dan
Undang – Undang TPPU).
2. Permasalahan kedua akan dibahas mengenai kajian yuridis terhadap dasar
pertimbangan penyidik KPK dalam penyitaan aset atau harta kekayaan milik
tersangka tindak pidana korupsi yang dianggap tidak logis dan tanpa adanya
24
batasan waktu atas perolehan aset-aset tersangka korupsi, juga disangka
melakukan tindak pidana pencucian uang.
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut
diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan
penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait
dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma
ini ilmu tidak akan pernah mandeg/final dalam penggaliannya atas kebenaran di
bidang objeknya masing-masing.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui, mengkritisi serta mengkaji bagaimana korelasi pengaturan
penyitaan aset tersangka korupsi yang disangka pula melakukan tindak pidana
pencucian uang menurut hukum positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis relevansi tindakan penyidik
KPK dikaitkan dengan penyitaan aset atau harta kekayaan milik tersangka
tindak korupsi yang juga disangka dengan tindak pidana pencucian uang,
dengan nilai atau jumlah fantastisisme lampaui penghasilan pelaku.
25
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaatteoretis, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi dan pencucian uang melalui penyitaan aset tersangka.
2. Manfaat praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
pemerintah terhadap hukum acara pidana Indonesia melalui kajian yuridis
terhadap pengaturan serta mekanisme penyitaan asset tersangka tindak pidana
korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan tindakan penyitaan oleh
penyidik KPK sebagai pembenar atas penyitaan aset atau harta kekayaan
tersangka.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset
(penelitian) mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi dan pencucian
uang melalui penyitaan aset tersangka namun kajiannya belum komprehensif
membahas pengaturan serta mekanisme penyitaan aset tersangka tindak pidana
korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan relevansi penggunaan beban
pembuktian terbalik sebagai pembenar atas penyitaan aset atau harta kekayaan
tersangka. Penelitian ini diharapkan berguna memberikan sumbangsih pemikiran
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan pencucian
uang di Indonesia kedepannya, diantaranya sebagai berikut:
26
1. Judul Penelitian : Peradilan In Absensia Dalam Upaya Pengambilan Aset
Hasil Tindak Pidana Korupsi.
Peneliti : Ressa Susanti (Universitas Indonesia Tahun 2011)
Kajian : 1. Berkaitan dengan konsepsi peradilan in absensia
terkait dengan HAM – terkait dengan hak terdakwa
tindak pidana korupsi.
2. Berkaitan dengan penerapan hukum peradilan in
absensia dalam Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi dalam upaya pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi.
2. Judul Penelitian : Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi
di Indonesia.
Peneliti : Muhammad Yusuf (Universitas Padjajaran, Bandung
Tahun 2012 – Disertasi)
Kajian : 1. Konsep perampasan aset berdasarkan UU No.
31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo UU No.
20 Tahun 2001.
2. Kebijakan hukum pidana terhadap perampasan aset
tanpa tuntutan pidana berdasarkan Konvensi PBB
anti korupsi dalam pengembalian kerugian keuangan
negara.
27
3. Judul Penelitian : Kajian Normatif Terhadap Pembuktian Terbalik Dalam
Tindak Pidana Korupsi
Peneliti : I Wayan Gde Wiryawan (UNUD Tahun 2012)
Kajian : 1. Berkaitan pengaturan terhadap sistem pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi.
2. Berkaitan dengan formulasi kebijakan pembuktian
terbalik dalam proses pembuktian tindak pidana
korupsi dimasa datang.
4. Judul Penelitian : Kebijakan Hukum Pidana Pengembalian Aset Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia.
Peneliti : A.A. Ngr. Oka Yudistira Darmadi (UNUD Tahun 2013)
Kajian : 1. Berkaitan dengan implikasi ratifikasi UNCAC 2003
dalam pengambilan aset tindak pidana terhadap
kebijakan Peraturan Perundang-undangan Tindak
Pidana Korupsi.
2. Berkaitan dengan kebijakan hukum dalam
memperkuat sistem hukum pidana pengambilan aset
tindak pidana korupsi di Indonesia.
5. Judul Penelitian : Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan
Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam
Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di PN. Denpasar)
28
Peneliti : Kadek Krisna Sintia Dewi (UNUD, Tahun 2014)
Kajian : 1. Berkaitan dengan penerapan ancaman sanksi pidana
tambahan untuk pengembalian kerugian keuangan
negara dalam tindak pidana korupsi.
2. Berkaitan dengan kendala dalam pelaksanaan
putusan penyidikan terkait dengan sanksi pidana
tambahan guna pengembalian kerugian keuangan
negara dengan uang pengganti dalam tindak pidana
korupsi.
Aspek kebaruan penelitian penulis adalah bahwa aparat yang melakukan
tugas penyuluhan dalam tindak pidana korupsi disini adalah bertumpu pada peran
dan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga
independen yang memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan khusus dibidang
penyitaan terhadap aset koruptor.
Penyitaan terhadap aset koruptor korelasi pengaturannya dalam
perundang-undangan pidana Indonesia belum tampak pengaturannya baik dalam
KUHAP, UU tentang Pemberantasan Korupsi maupun dalam UU Pencegahan dan
Pemberantasan Pencucian Uang, hal tersebut penulis sajikan pada rumusan
masalah pertama. Pada rumusan masalah kedua tersirat materi yang akan dibahas
dan dikaji terkait dasar pertimbangan penyidik KPK dalam menyita kekayaan
tersangka yang dipandang tidak logis oleh penyidik untuk dirampas atau disita
sebagai barang bukti di persidangan.
29
Peneliti atau penulis-penulis sebelumnya tentang Korupsi belum tampak
memunculkan peran KPK dalam melakukan tindakan perampasan aset (penyitaan)
koruptor dengan mengkaitkan adanya sangkaan kepada terdakwa terkorelasi
dengan tindak pidana pencucian uang.
Dengan demikian kebaruan penelitian peneliti/penulis adalah masih belum
ada peneliti/penulis sebelumnya menunjukkan kesamaan dengan penelitian
penulis.
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum
umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan-aturan hukum,
norma hukum, dan lain-lain yang akan digunakan sebagai landasan untuk
membahas masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan secara
singkat landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.
Dalam landasan teoritis penulis dapat mengidentifikasikan asas-asas hukum, teori-
teori hukum serta yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.
Asas-asas Hukum
Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya suatu norma hukum.20
J.J.H. Bruggink dalam terjemahan Arif
Sidhartha menyatakan bahwa, "Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran
20
Marwan, M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Compelte
Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 56.
30
(kriteria) nilai".21
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas
hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang
menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan.
Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi asas-asas
hukum yang selayaknya diperlukan dalam mewujudkan proses hukum yang adil
yakni menggunakan asas due process of law dan mengatasi disharmonisasi norma
dengan menggunakan asas preferensi hukum.
1. Asas due process of law
Pada dasarnya, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due
process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga
terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka,terdakwa dan terpidana.
Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa:
"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang
adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa
adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang
adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu
sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak
tersangka dan terdakwa".22
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum
yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak tersangka
dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law),
peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-
haktersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum
21
Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, cetakan
kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 123. 22
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, cetakan pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta,hlm. 7.
31
yang adil. Asas hukum ini relevan untuk membahas permasalahan pertama yang
terkait dengan mekanisme dari tindakan penegak hukum melakukan penyitaan
terhadap asset milik tersangka.
Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan
tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah
melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh
keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa:
Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of
law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan
peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it
condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after
trial...". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-
hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government).23
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam due process of law
mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia utamanya
terhadap penyitaan asset milik tersangka, sekalipun ia adalah seorang pelaku
tindak pidana (tersangka/terdakwa) harus mendapatkan perlindungan hukum yang
dijamin oleh negara agar proses penyitaan tetap berlangsung secara logis.
2. Asas Preferensi Hukum
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan
hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het rechf), konflik antar
normahukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vague van normen) atau
23
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam PenegakanHukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran,
Bandung, hlm. 113-114.
32
norma tidakjelas.24
Dalam menghadapi konflik antar norma (antinomi hukum),
maka berlakulah asas preferensi yaitu :
1. Lexsuperiori derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialist derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan
melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.25
Disamping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut
antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation),
dan pemulihan (remedy).26
Menurut P. W. Bouwer sebagaimana dikutip oleh
Phillipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapat
dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
a. Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan
mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu
terjadi berkenaan dengan asas lex specialist dalam konflik pragmatis
atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh
yang lazim yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum
privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum
tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara
kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
b. Penafsiran ulang (reinterpretation)
Didalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum dibedakan yang
pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas
preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan
cara yang lebih fleksibel.
24
Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 89. 25
Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga,
Liberty, Yogyakarta, hlm. 85-87. 26
Hadjon, Phillipus, M., dan Djamiati, Sri Tatiek, 2009, Argumentasi Hukum, Cet.
Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 31.
33
c. Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak
normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di
Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal
yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret. Di
Indonesia, dalam praktik keadilan, dikenal dengan
mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim
mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena
bertentangan dengan UU Pers.
d. Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan.
Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm.
Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan
norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi.27
Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua
mengenai disharmonisasi norma hukum yang berlaku yaitu konflik norma terkait
penyitaan aset tersangka yang tidak logis dengan dasar pembenar adanya beban
pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi dan pencucian uang.
3. Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence
Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatur setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau
dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Ketentuan ini dikenal dengan asas presumption of innocence sebagai
asas umum hukum acara, berlaku dalam dalam setiap proses berperkara di
Pengadilan yaitu dengan adanya kata : "dihadapkan didepan pengadilan".
27
Ibid.
34
Penerapan asas praduga tak bersalah dalam perkara pidana juga sangat
berkaitan dengan system penghukuman dalam hukuman pidana itu sendiri.
Menurut Paulus Hadisuprapto,28
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur
penal lebih menitik beratkan pada sifat represif, berupa penumpasan,
pembrantasan, dan penindasan setelah kejahatan terjadi.
Dalam upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, pelaku akan
melalui proses pemidanaan. Pemidanaan merupakan suatu solusi untuk
menanggulangi kejahatan (control of crime), yang dapat dibenarkan dan sekaligus
juga pembenaran untuk hukum pidana dan system peradilan pidana.29
Selama
proses pemidanaan tersebut pelaku tindak pidana sering mendapat perlakuan yang
semena-mena dari petugas. Sebagai orang yang dianggap tidak bersalah
seyogyanya orang tersebut mempunyai hak dan kedudukan yang sama didalam
hukum, mempunyai hak untuk membela diri, mempunyai kebebasan untuk hidup
dan mempunyai kebebasan untuk bergerak.
Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua
mengenai penyitaan aset tersangka yang seringkali dilakukan secara tidak logis
oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya beban pembuktian terbalik
sehingga terdakwa dibebankan untuk melakukan pembuktian dalam penanganan
perkara korupsi dan pencucian uang.
28
Hadisuprapto, Paulus, 2009, Peradilan Anak Restoratif; Prospek Hukum Pidana Anak
Indonesia, Yuridika Vol. 24 No. 2, Mei-Agustus, hlm. 107. 29
Kholiq, M. Abdul, 2000, Urgensi Pemikiran Kritis Dalam Pengembangan Kriminologi
Indonesia di Masa Mendatang, Jurnal Hukum Vol 15 No. 7, Desember, hlm. 163.
35
4. Asas Non-Self Incrimination
Asas Non-Self Incrimination di Indonesia diatur pada Pasal 189 ayat
(3)KUHAP yangberbunyi : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri". Adnan Paslyadja mengatakan hal tersebut berarti apa
yang diterangkanterdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui
sebagai alat buktiyang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.
Yahya Harahap menyatakan bahwa apa yang diterangkan seseorang dalam
persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan
sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa
terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya
merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa
Atidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa Bbegitujugasebaliknya.
Setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap
diri sendiri atau mengaku bersalah. Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk
membahas masalah kedua mengenai penyitaan aset tersangka yang seringkali
dilakukan secara tidak logis oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya
beban pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi dan pencucian
uang.
Konsep Perlindungan Hukum
Konsep perlindungan hukum landasan konstitusional telah tersurat dan
tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 yakni : “Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
36
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial…..”; Dalam hal ini hubungan hukum yang terjadii antara
pemerintah dan warga negaranya tergantung dari sifat dan kedudukan pemerintah
dalam melakukan suatu tindakan hukum tersebut.
Pemerintah mempunyai dua fungsi atau posisi, yaitu pemerintah sebagai
wakil dari badan hukum publik (publiek recht person/public legal entility), dan
pemerintah sebagai pejabat dari jabatan pemerintah. Ketika pemerintah
melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai badan hukum, tindakan
itu diatur dan tunduk pada administrasi negara. Baik tindakan hukum keperdataan
maupun tindakan hukum publik seperti pidana, dapat menjadi peluang munculnya
suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat melanggar hak-hak
subyek hukum warga negara. Dalam hubungan dimaksud dapat penulis kaitkan
dengan tindakan hukum seperti penyitaan yang dilakukan oleh penegak hukum.
Aset yang dimiliki setiap orang atau tersangka/terdakwa tetap mesti dapat
perlindungan oleh hukum.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia bahwa secara etimologi arti
perlindungan adalah tempat berlindung.30
Pemberian perlindungan hukum tidak
terlepas dari negara hukum. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas
hukum (machstaat). Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang
30
Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, hlm : 410.
37
dimaksud dengan hukum adalah : “Negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya”.31
Indonesia sebagai negara hukum berlandaskan ideologi Pancasila. Philipus
M. Hadjon menyatakan bahwa dengan adanya Indonesia sebagai negara hukum
berdasarkab Pancasila, maka telah terwujudlah perlindungan berbagai hak-hak
asasi manusia bagi setiap warga negaranya, dimana pengakuan terkait dengan
perlindungan dalam hukum sebagai wujud pelaksanaan hak asasi manusia dapat
dipertanggung jawabkan dan tidak diskriminatif. Salah satu ciri lain dari negara
hukum adalah adanya asas persamaan di muka hukum (equality before the law),
dimana tersangka/terdakwa juga memperoleh pelayanan hukum berupa
perlindungan hukum terhadap diri pribadi, harta yang dimilikinya dan hak-hak
sipili lain, termasuk perlindungan hukum dalam proses pidana seperti penyitaan
atas barang yang dikuasai olehnya.
Pancasila merupakan landasan idiil negara Indonesia dan menjadi sumber
dari segala sumber hukum dan termasuk sumber dari asas-asas perlindungan
hukum. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sebagai asas
konstitusional, dan undang-undang di bawahnya sebagai asas operasionalnya.
Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil dan
filosofi hukumnya tertuang dalam Sila ke 5 yakni : “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”; Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya
terkandung makna suatu hak seluruh rakyat Indonesia untuk dilindungi dan
diperlakukan sama di depan hukum.
31
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1993, Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN
UI, Jakarta, hlm : 155.
38
Konsep perlindungan hukum bagi semua orang juga memperoleh jaminan
dan landasan dalam Hukum Acara Pidana seperti KUHAP, ketika seseorang
berada dalam posisi tersangka/terdakwa hak-hak mereka dilindungi oleh hukum
acara, diantaranya hak untuk diam (remaind silent), hak mendapat bantuan hukum
(acces to legal councel), termasuk ketika penyidik melakukan penyitaan harus
memenuhi persyaratan ketentuan KUHAP.
Perlindungan hukum merupakan konsep universal sebagai negara hukum.
Perlindungan hukum diberikan apabila terjadi pelanggaran maupun tindakan yang
bertentangan dengan hukum ketika dilakukan oleh pemerintah. Perlindungan
hukum terdiri dari dua macam, yakni : perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif.
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan preventif bermakna rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dalam hal ini artinya
perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
Perlindungan hukum preventif sangat besar maknanya bagi tindak pemerintah
yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati
dalam mengambil keputusan.
39
Menurut Philipus M. Hadjon, tindakan preventif merupakan
keputusan-keputusan dari aparat pemerintah yang lebih rendah yang dilakukan
sebelumnya. Tindakan preventif adalah tindakan pencegahan.32
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan sengketa
yang muncul apabila terjadi suatu pelanggaran. Saat ini di Indonesia terdapat
berbagai badan secara parsial menangani penanganan perlindungan hukum
bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi seluruh lapisan masyarkat terdiri dari :
a. Perlindungan hukum aktif, yaitu upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar.
b. Perlindungan hukum pasif, untuk mengupayakan pencegahan atas upaya
yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil,
termasuk di dalamnya adalah :
1. Mewujudkan ketertiban dan ketenteraman;
2. Mewujudkan kedamaian sejati;
3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat;
4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.33
32
Hadjon, M. Philipus, 2002, Pengantar Administrasi Negara, Gajah Mada University,
Yogyakarta, hlm : 3. 33
Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, hlm : 23.
40
Konsep Kepastian Hukum
Menurut konsepsi yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa kepastian
hukum terdiri dari komponen-komponen seperti berikut :
1. Kepastian aturan hukum yang akan diterapkan;
2. Kepastian proses hukum, baik dalam penegakan hukum maupun pelayanan
hukum;
3. Kepastian kewenangan, yaitu kepastian lingkungan jabatan atau pejabat
yang berwenang menetapkan atau mengambil suatu keputusan hukum;
4. Kepastian waktu dalam setiap proses hukum; dan
5. Kepastian pelaksanaan, seperti kepastian eksekusi putusan hakim, atau
keputusan administrasi negara.34
Terkait dengan kewenangan penyitaan dalam tindak pidana korupsi oleh
pejabat yang berwenang untuk itu, maka konsepsi kepastian hukum yang
dikonsep oleh Bagir Manan tersebut di atas, akan berkorelasi dengan konsep butir
(1), (2), dan (3) tersebut yang terurai di atas.
Konsep kepastian hukum secara universal diberikan oleh Lon L. Fuller
dengan menetapkan kriteria-kriteria suatu sistem hukum harus mengandung unsur
moralitas tertentu (the morality of law) juga mengandung unsur-unsur kepastian
seperti dinyatakan sebagai berikut :
a. Failure to established rules at all, leading to absolute uncertainty
(merupakan suatu kegagalan bila aturan yang dibuat tidak mengandung
kepastian).
b. Failure to make rules public to chose required to observe them
(merupakan suatu kegagalan bila aturan tidak disosialisasikan kepada yang
berkepentingan).
c. Imroper use of retroactive law making (tidak boleh ada peraturan dibuat
untuk berlaku surut).
d. Failure to make comprehensible rules (tidak boleh ada aturan yang tidak
dapat dipahami atau tidak dapat dimengerti).
e. Making rules which contradict each other (tidak ada peraturan yang
bertentangan antara yang satu dengan yang lain).
34
Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004,
FH UII, Jakarta, hlm : 20.
41
f. Making rules which impose requirements with wich complience is
impossible (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan).
g. Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly
unclear (seringnya terjadi perubahan suatu peraturan sehingga maknanya
menjadi tidak jelas).
h. Discontinuety between the started content of rules and their
administration in practice35
(tidak ada kesesuaian makna antara isi
peraturan dengan kenyataan dalam pelaksanaan).
Demikian dua rumusan konsep yang dikemukakan oleh Bagir Manan dan
Lon L. Fuller menyangkut kriteria kepastian hukum sebagai landasan bertindak
bagi penegak hukum dalam memerankan fungsi dan kewengannya dalam proses
hukum yang adil (due process of law) termasuk salah satu tindakan hukum yang
dilakukan penyidik dalam melakukan penyitaan, baik oleh kepolisian selaku
penyidik maupun kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
menyita aset-aset yang diduga diperoleh dari perbuatan korupsi oleh koruptor.
Teori Hukum
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, "Kata teori berasal dari kata
theoria yang artinya pandangan atau wawasan".36
Lebih lanjut, mengutippendapat
Gijssels, menyatakan bahwa, "Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan
sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian yang
sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga
memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji".37
Berdasarkan
hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai
35
Hilaire Mc Coubry, Nigel, D. White, 1996, Tex Book On Yurisprudence, Black Stone
Press Limited, USA, hlm. 90. 36
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, hlm. 4. 37
Ibid, hlm. 5.
42
hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara
ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para
ahli hukum.
Penelitian ini mempergunakan teori-teori yaitu Teori Kebijakan Hukum
Pidana, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum
Pembuktian sebagai berikut:
1. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Dalam konteks kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut Marc
Ansel, penal policy adalah :
"Both science and art,of which the practical purposes ultimately are to
anable the positive rules better formulated and to guide not only the
legislator who has to draft criminal statutes, but the court by which they
are applied and the prison administration which gives practical effect to
the court's decision.38
Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang,
dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
A. Mulder menyatakan kebijakan hukum pidana dipadankan dengan
strafrechtspolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk menentukan :
1. Seberapajauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
dan diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.39
38
Marc Ancel, 1965, Social Defense A Modern Approach Problem, Routledge & Kegan
Paul, London, hlm. 209. 39
Arief, Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3.
43
Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto menyatakan
bahwa “penal policy dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.”40
Pada sumber lain juga Sudarto
menyatakan "bahwa menjalankan politik (kebijakan) hukum pidana juga
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.”41
Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel,A. Mulder
dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dari kebijakan
(politik) hukum pidana (penal policy) secara sistematis dapat dirangkum menjadi
tahapan seperti:
1. Kebijakanlegislative (formulasi)
2. Kebijakan yudikatif (aplikasi)
3. Kebijakan eksekutif (eksekusi)42
Teori ini relevan untuk membahas masalah pertama mengenai pengaturan
dan mekanisme dari penyitaan aset yang sampai saat ini belum ada peraturan
pelaksanaannya dalam bentuk formil untuk perkara korupsi yang digabungkan
dengan perkara pencucian uang, sementara ini pengaturannnya hanya berbentuk
PERMA dan SEMA yang mengikat internal instansi Mahkamah Agung dan tidak
imperatif. Kedepannya diharapkan kebijakan legislatif (formulasi) sebagai
40
Sudarto, 1993, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 9. 41
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 19. 42
Arief, Barda Nawawi, 2001, Makalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 74.
44
langkah awal dalam memformulasi suatu peraturan perundang-undangan
mengenai penyitaan asset sehingga pada pelaksanaannya tidak lagi menimbulkan
kerancuan.
2. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum telah muncul dalam ihnu hukum di Jerman pada tahun
1992. Penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi hukum
dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa
dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya
terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf
Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi
hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara
individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a just
law aims at harmonizing individual purposes with that of society".43
Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia" yang
artinya :"terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan
kerjasama antaraberbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan
sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran, dan
perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.44
Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,
dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan
43
Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata
Pemerintahan Yang Baik, Nusa Media, Malang, hlm. 2. 44
Sadzily, Hasan, dkk., 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hlm. 1262.
45
fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu-individu
dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum.
Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang
harmonisasi hukum, diantaranya:
1. L.M.Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,
keputusan hakim, system hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan
dan mengorbankan pluralisme hukum.45
2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah
upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,
hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau
proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam
suatu kesatuan kerangka system hukum nasional.46
3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk
menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan
konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat
maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan
perundang-undangansehingga tersusun secara sistematis, tidak
saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).47
4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu upaya atau
proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan
dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.48
5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah
untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu
baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis,
45
Gandhi, L.M., 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia
Umum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 88. 46
Goesniadhie, S., Loc.cit. 47
Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki
Kualitas Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Juni 2007, hlm. 48. 48
Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan
Publik, Nuansa, Bandung, hlm. 219-220
46
pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam
berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum
yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dstnya.49
Sidhartamengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan
terjadinya disharmonisasi dalam system hukum dan instrument penyelesaiannya,
yaitu:
1. Terjadinyainkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan
yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misalnya antara
peraturan pemerintah dengan undang-undang. Instrumen
penyelesaiannya adalah asas hukum lex superior derogat lege inferior
derogate lege inferiori, yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa
peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu
berlaku daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas
hukum lex posteriori derogate lege priori, yang artinya adalah
peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan
yang sebelumnya.
3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan,
yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi
peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi
peraturan lainnya. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex
specialist derogate lege generalis, yang artinya adalah peraturan
yang lebih khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang
lebih umum.
4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu
peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan
ketentuan Pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. Instrument
penyelesaian adalah asas hukum lex posteriori derogate lege priori,
yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan
mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.
5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda,
misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrument
penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habeteur,
yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun
bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain
yang mengoreksinya), antara undang-undang yang bersifat memaksa
dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen
scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat Pasal
49
Ibid, hlm. 223.
47
15AE/Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) atau
antara Undang-Undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan
(instrument penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft
des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan
memberi kekuatan berlaku normatif).50
Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi hukum
dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode
konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu memang telah
diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode
interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu yang akhirnya diperoleh
sekadar petunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit memperoleh pemahaman
tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil keputusan karena
yangterlihat hanya argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya.
Selain melalui metode interpretasi dan konstruksi, yang berkaitan
denganinstrument penyelesaian disharmonisasi hukum ini adalah melalui
penemuan hukum (rechtsvinding).
Teori ini relevan digunakan untuk membahas permasalahan kedua
mengenai dualisme yang timbul apabila mencermati pengaturan beban
pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana korupsi dan pencucian uang
relevan dipergunakan sebagai dasar untuk membenarkan penyitaan aset atau harta
kekayaan tersangka yang tidak logis oleh penyidik, dimana terdapat pertentangan
atau konflik norma antara KUHAP dengan norma pada Pasal 37, 37 A UU
50
Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hlm. 62-64.
48
Tipikor serta Pasal 77 UU TPPU yang belum ditegaskan penyelesaian konfliknya
dalam ketentuan yang berlaku tersebut.
3. Teori Keadilan
Tujuan penegakan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan. Terkait dengan keadilan, maka John Rawls berpendapat
keadilan itu adalah suatu fairness. Namun keadilan tidak sama dengan fairness
itu. Rawls menguraikan teori keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: “I then
present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalized
and carries to a higher level of abstraction the traditional conception of the social
contract". Selanjutnya Rawls mengatakan "the primary subject of justice is the
basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social
institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of
advantage from social cooperation".51
Berdasarkan teori yang disampaikan John Rawls tersebut maka untuk
mengetahuidan menemukan adanya fairness, menurut Rawls pertama-tama harus
dilihat bagaimanakah basic structure dari masyarakat itu. Dari basic structure
tertentu akan menghasilkan public rules tertentu pula. Bila basic structure itu
adalah a just political constitution dan a just system of institution maka justice as
fairness akanmungkin dapat tercapai. Namun disadari pula bahwa setelah
ditemukan semua unsur-unsur itu maka awalnya yang dapat tercapai baru sebatas
keadilan formal atau keadilan procedural. Tapi bila dalam prosedur tersebut juga
51
Rawls, John, 1997, A Theorie of Justice, Cambridge, Massachusset, Harvard
University Press, hlm. 27.
49
terfasilitasi harapan masyarakat melalui ketidakberpihakan aparaturnya dan
adanya peradilan yang terbuka dan fair maka keadilan procedural tersebut dapat
berubah menjadi keadilan yang substantive.52
Selanjutnya Rawls menguraikan bagaimana proses agar keadilan tersebut
dapat tercapai. Terkait hal itu maka Rawls mengutarakan penjelasannya sebagai
berikut:53
1. ”what a person depends upon what the public rules say he will be
entitled to,and what a person is entitled to depends on what he does.
...These consideration suggest the idea of treating the question of
distributive shares as a matter of procedural justice".
2. "...the notion of procedural justice is best understood by a comparison
withperfect and imperfect procedural justice... pretty clearly, perfect
procedural justice is rare, if not imposible, in cases of much practical
interest...the characteristic mark of imperfect procedural justice is that
while there is an independent criterion for the correct outcome, there
is no feasible procedure which is sure to lead to it...clearly we can't
say that a particular state of affairs is just because it could have been
reached by following a fair procedure".
3. "... therefore, to apply the notion of pure procedural justice to
distributiveshares it is necessary to set up and to impartiality a just
system of institutions. Only against the background of a just basic
structure, including a just political institution..., can one say that the
requsite just procedure exist".
Apabila keadilan diartikan sebagai fairness maka untuk mencapai keadilan
tersebut yang pertama-tama harus dipahami adalah bahwa apa yang dilakukan
seseorang tergantung apa yang sudah diatur untuk dia dalam hukum. Gagasan
demikian ini merupakan a matter of procedural justice. Memahami ide
procedural justice ini dapat dimengerti dengan lebih baik jika membandingkan
antara procedural justice yang sempurna dengan yang tidak sempurna. Kita tidak
dapat mengatakan suatu hal adalah adil hanya jika telah mengikuti prosedur secara
52
Ibid, hlm. 30. 53
Ibid, hlm. 30-31.
50
adil. Oleh karena itu untuk mencapai keadilan diperlukan satu ketentuan (public
rules) dan prosedurnya sekaligus. Keadilan belum akan tercapai hanya dengan
telah mengikuti seluruh prosedur secara jujur saja melainkan masih diperlukan
suatu sistem kelembagaan yang didukung oleh penetapan politik (hukum) dengan
struktur dasar yang adil. Bila hal-hal itu sudah ditemukan maka keadilan
procedural yang sempurna menurut teori keadilan procedural murni ini akan
dapat dicapai. Keadilan ini juga disebut sebagai keadilan substantive. Dengan kata
lain, keadilan ini adalah keadilan yang didasarkan pada hukum (public rule).54
Berdasarkan teori keadilan oleh John Rawls tersebut, maka diperlukan
prosedur atau mekanisme dalam sistem peradilan pidana untuk mencapai keadilan
substantive.
Hukum selalu berkaitan dengan kepastian dan keadilan sebagai dua poros
yang saling berlawanan, bahkan saling melengkapi dari berbagai sudut pandang.
Hal tersebut biasanya dipahami dalam pergulatan dengan kekuasaan. Setiap
tindakan penguasa harus berdasarkan hukum, bukan kekuasaan belaka, yang
bertujuan untuk membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi
kepentinganmasyarakat, yaitu perlindungan terhadap HAM dan anggota
masyarakat dari tindakan sewenang-wenang.55
Hukum dan HAM merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan,
seperti dua sisi mata uang. Apabila suatu bangunan hukum dibangun tanpa
memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM, maka hukum
tersebut dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasannya
54
Ibid, hlm. 31-32. 55
Mardjuk, Suparman, 2011, Tragedi Politik Hukum dan HAM, Pustaka Belajar, Jakarta,
hlm. 1.
51
(abuse of power). Sebaliknya, apabila HAM dibangun tanpa didasarkan pada
suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut akan rapuh dan mudah
untuk dilanggar. Demikian juga dalam suatu negara hukum, muncul sebuah
korelasi yang sangat erat antara negara hukum dan penegakan hukum.56
Teori Keadilan relevan untuk membahas permasalahan kedua dimana
tindakan penyitaan sebagai bagian wewenang yang dimiliki penyidik, sangat
strategis kedudukannya baik untuk kepentingan pembuktian suatu perkara juga
untuk pemulihan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak korupsi yang
merugikan keuangan negara. Namun demikian sebagai salah satu tindakan yang
bersifat "upayapaksa" maka pelaksanaannya harus dalam koridor hukum acara
yang berlaku sehingga tidak menjadi sarana bagi penegak hukum untuk berbuat
sewenang-wenang.
4. Teori Kewenangan
Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh
kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah melalui tindakan yang
namanya "wewenang". Secara keilmuan hukum wewenang merupakan konsep inti
dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang
dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang
lazimnya disebut dengan "teori kewenangan".
Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi
imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya.
56
Ramli, Akhmad M, 2009, Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia,
Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 224.
52
Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak
dan kekuasaan yang dipunyai untukmelakukan sesuatu, berwenang artinya
mempunyai/mendapat hak dankekuasaan untuk meiakuKan sesuatu.57
Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna
wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti:
1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum
publik dalam hubungan hukum publik.
2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat
diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.58
3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikanoleh
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untukmenimbulkan
akibat-akibat hukum yang sah.59
4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.60
Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dari
wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:
1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.
2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.
57
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar
BahasaIndonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm : 1128. 58
Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program
Pasca Unibraw, Malang, hlm : 52 59
Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan TataUsaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, hlm : 94. 60
Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum
Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 51.
53
3. Adanya kemampuan bertindak.
4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.
5. Diberikan oleh undang-undang.
6. Mengandung hak dan kewajiban.
7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.
Wewenang dengan unsur-unsur di atas. tidak secara otomatis diperoleh
atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk
memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van
Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang
masing-masing dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organpemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ
pemerintahan mengijinkan wewenangnyadijalankan oleh organ lain atas
namanya.61
Kewenangan yang bersumber dari perundang-undangan (atribusi) secara
jelas dinyatakan diberikan kepada organpemerintahan. KPK sebagai pelaksana
penegakan hukum publik yang mengemban tugas penyidikan dan penuntutan.
Landasan tugas dan wewenang bagi KPK tersebut mulai dari amanat konstitusi
berupa UUD Negara RI Tahun 1945, UU KPK dan UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
61
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa
Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm : 58.
54
5. Teori Fungsional/Teori Fungsi
Pencetus teori fungsional atau teori fungsi ini adalah ahli hukum di
Rotterdam-Belanda bernama J. Ter Heide. Esensi ajaran dari teori fungsi ini
terkait dengan hukum bahwa "berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai
pengartikulasian (produksi/hasil) suatuhubungan yang ajeg diantara sejumlah
variabel. Ter Heide merumuskan hubungan yang ajeg itu dengan rumus : B: FPE
artinya perilaku yuris. hakim, dan pembentuk undang-undang (B) berada dalam
suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap sesuatu pihak berbagai kaidah hukum (P)
dalam pihak di lingkungan kongkret (K). maka inti teori fungsi ini terkait dengan
hukum, dilihat dari aspek fungsi hukum atau kegunaan hukum tersebut maka para
yuris, hakim, pembentuk undang-undang dalam menjalankan fungsi atau perannya
masing-masing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat
banyak.62
Dalam Sistem Peradilan Pidana salah satu lembaga (structure)
termasuk sebagai pelaksana penegakan hukum sekaligus sebagai penyidik adalah
KPK. Fungsi KPK salah satunya adalah melakukan penyidikan yang diberikan
kewenangan secara atributif oleh undang-undang. Kewenangan atributif ini
sebagai bentuk pelaksanaan kongkrit dari asas legalitas (formal) dalam tugas yang
diberikan oleh hukum acara pidana. KPK dalam menjalankan fungsi penyidikan
tersebut mengemban misi penyitaan, juga perampasan mewakili negara seperti
diamanatkan oleh KUHAP maupun Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2002
tentang KPK.
62
Salim, HS., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,
RajawaliPers,Jakarta, hlm : 73
55
Fungsi KPK sebagai penyidik secara prinsip adalahdiberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk menyita setiap aset yang diduga hasil
dari suatu tindak pidana. Tidak terkecualitermasuk pula untuk menuntut seseorang
yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Dengan tujuan pula guna
menegakkan keadilan, kemanfaatan serta kepastian atas terjadinya suatu tindak
pidana termasuk salah satunya berupa tindak pidana korupsi, yang di dalamnya
mengandung dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau kerugian
perekonomian negara, maka menjadi keharusan karena kewenangan dari KPK
untuk memulihkan penegakan hukumnya melalui upaya pengembalian kerugian
keuangan negara tersebut melalui tindakan hukum berupa penyidikan di depan
proses peradilan.
Sesuai dengan esensi teori fungsi hukum tersebut agar hukum itu dapat
bermanfaat atau berguna untuk kepentingan hukuni flu sendiri. Dalam mencapai
kegunaan atau manfaat dari fungsi hukum khususnya dalam pengembalian
kerugian keuangan negara dari akibat adanya tindak pidana korupsi oleh koruptor,
maka melalui fungsi KPK dalam penyitaan itulah diharapkan peran optimalnya
difungsikankewenangan atributif yang dimiliki KPK untuk menyita aset koruptor
di tingkat penyidikan (proses penegakan hukum).
56
Kerangka Berpikir
FUNGSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENYITAAN ASET
TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT DENGAN PENCUCIAN UANG
Latar Belakang
1. Fenomena hukum
pemberantasan tindak
pidana korupsi melalui
penggunaan hukum pidana
pencucian uang dengan
penyitaan aset tersangka
sebagai langkah awal.
2. Pengaturan mengenai
penyitaan aset baru diatur
secara limitative dalam
KUHAPdan pelaksanaannya
dalam bentuk PERMA dan
SEMA bukan dalam
peraturan perundang-
undangan formil
menimbulkan ketidak
pastian hukum.
3. Terjadinya penyitaan aset
yang tidak logis oleh
penyidik menggunakan
dasar pembenar adanya
beban pembuktian terbalik
yang mana belum dikenal
dalam KUHAP dan
bertentangan dengan HAM
Rumusan Masalah I
Bagaimanakah pengaturan
dan mekanisme penyitaan
aset tersangka korupsi yang
disangka pula melakukan
tindak pidana pencucian
uang menurut hukum positif
di Indonesia
Landasan Teoritis
1. Asas-asas Hukum
- Due process of law
- Preferensi Hukum
- Presumption of Innocence
- Non-self incrimination
2. Konsep-konsep Hukum
- Perlindungan Hukum
- Kepastian Hukum
Rumusan Masalah II
Apa dasar pertimbangan
penyidi KPK dalam menyita
aset koruptor yang dianggap
nilai / jumlahnya tidak
logis ?
Teori Hukum
1. Teori-teori Hukum
- Kebijakan Hukum Pidana
- Harmonisasi Hukum
- Keadilan
- Kewenangan
- Fungsional / fungsi
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian : Yuridis
normatif
2. Jenis Pendekatan
- Perundang-undangan
- Konseptual
-Kasus
- Komparatif
3. Sumber bahan hukum :
primer, sekunder, tertier
4. Teknik pengumpulan bahan
hukum dengan studi
dokumen (mengumpulkan,
menginventarisir mencatat
bahan hukum)
5. Teknik analisis bahan
hukum : teknik deskripsi,
interpretasi, evaluasi,
argumentasi.
Sasaran
1. Pengaturan dan mekanisme penyitaan aset tersangka dalam
penanganan perkara korupsi dan pencucian uang masih diatur
secara limitative dalam KUHAP dan pelaksanaannya belum
mengikat karena masih diatur dalam bentuk PERMA dan SEMA
akan berimplikasi pelaksanaannya di lapangan menimbulkan
ketidak pastian hokum terhadap penyitaan aset yang tidak
berkorelasi dengan perkara/tidak logis.
2. dasar pertimbangan bagi penyidik KPK dalam menyita aset
koruptor yang nilainya dianggap tidak logis / tidak pantas
57
1.8. Metode Penelitian
1.8.1 JenisPenelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode
Yuridis Normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research)yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hukum
baik dalam arti law as it is written in the book, maupundalam arti law as it is
decided by judge through judicial proces's.63
Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menemukan, dan
mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter
Mahmud Marzuki, "Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.”64
Menurut Morris L. Cohen dan Kent C.
Olson mengemukakan bahwa "Legal research is an essential component of legal
practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materials
that explain or analyze that law".65
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa,
“dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris.”66
Penelitian hukum
Normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga
63
Dworking, Ronald, 1973, Legal Research, Daendalus, 1973, h. 250, dalam Yenti
Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 40 64
Mahmud Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta,
hlm. 35. 65
Cohen, Morris, L. dan Olson, Kent, C., 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh
Edition, ST. Paul, Minn, West Group, hlm. 1. 66
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI)
Press), Jakarta, hlm. 51.
58
disebutpenelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum doktrinal karena
penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturan- peraturan yang tertulis atau
bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau
studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan perpustakaan atau
studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum
yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.67
1.8.2 Jenis Pendekatan
Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah yuridis
normatif,dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatankomparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptualapproach).68
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
adalah yang
berkorelasi dengan penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi danpencucian
uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik, yaitu :69
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan
denganmenelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
denganpenyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian uang
dikaitkandengan beban pembuktian terbalik yang masih diatur secara limitatif
danperaturan pelaksanaan formilnya belum ada, sebagai berikut:
67
Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 31. 68
Mahmud Marzuki, Peter, op. cit., hlm. 93. 69
Mahmud Marzuki, Peter, op. cit., hlm. 93-95
59
UN Convention Against Corruption/UNCAC yang diratifikasi dalam UU
RINo. 7Tahun2006.
UN Convention Against Transnational Organized Crawe/UNCATOC
yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 tahun 2009.
UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Civil and Political Rights.
UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU
RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penyelesaian
Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, dan
SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara, Tata Cara
Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.
Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu
hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian
uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik yang diteliti.
60
c. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus terkait dengan isu yang dihadapi serta telah menjadi putusan
pengadilan yang berkekuatan tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi
di Indonesia yaitu Perkara Djoko Susilo, Gayus Tambunan, Ahmad Fathanah
dan Lutfi Hasan.
d. Pendekatan komparatif (comparative approach) dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari
satu atau lebih Negara lain atau putusan pengadilan di beberapa Negara untuk
kasus yang sama, guna memperoleh persamaan dan perbedaan di antara
undang-undang atau putusan tersebut. Dalam penelitian ini dibandingkan
antara undang-undang terkait penyitaan aset tersangka dalam perkara korupsi
dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dengan
undang-undang terkait di Amerika Serikat.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum Normatif, menggunakan bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier mencakup:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan hakim, yang berkorelasi penyitaan aset tersangka dalam
perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian
terbalik terdiri dari :
61
UN Convention Against Corruption/UNCAC yang diratifikasi dalam
UURINo. 7Tahun2006.
UN Convention Against Transnational Organized
Crime/UNCATOC yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 Tahun 2009.
UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights.
UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU
RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan MA No. 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penyelesaian
Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, dan
SEMA No.3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara, Tata Cara
Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi yang berkorelasi penyitaan asset
tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban
pembuktian terbalik. Publikasi tentang hukum meliputi bahan hukum yang
terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks (textbook), jurnal hukum,
karya tulis dan makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana diIndonesia
maupun di luar negeri dan baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa
62
asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik
yang menyangkut dan berhubungan dengan materi penyitaan asset tersangka
dalam perkara korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban
pembuktian terbalik dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Selain
itu rancangan undang-undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan
lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti
kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait
dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-
istilah yang berkorelasi penyitaan asset tersangka dalam perkara korupsi dan
pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dan lain-lain.70
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang
dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang
selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan sistem kartu.
Dalamsistem kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan
70
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13.
63
memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan penyitaan asset tersangka dalam perkara korupsi dan pencucian
uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik yang dibahas.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
setelah bahan-bahan hukum mengenai penyitaan asset tersangka dalam perkara
korupsi dan pencucian uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik
dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis
bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan
beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu:
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non
hukum.
2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam
ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, histori, sistematis,
teleologis, kontektual, dan lain-lain.
3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
dalam bahan hukum sekunder.
4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukummakin banyak
argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.71
71
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian
dan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Denpasar, hlm. 34-35.