bab xiv kebutuhan akan...

31
123 BAB XIV KEBUTUHAN AKAN SUPERLEADERSHIP Charles C. Manz dan Henry P. Sims Jr. Bisnis Amerika mengalami jaman besar. Produktivitas pegawai dan kualitas produk memang mulai memburuk di beberapa waktu terakhir, dan bisnis Amerika dianggap merosot di mata dunia. Peluang meraih hal besar dan merasakan pencapaian kerja dan hidup juga menyempit. Meski begitu, kemajuan medis dan peningkatan standar hidup berhasil membuat orang hidup lebih lama. Peluang pendidikan juga luas, dan perang kepada kebodohan mulai dimenangkan dengan menjamurnya sekolah. Kemajuan ilmiah juga memunculkan teknologi baru seperti pabrik otomatis, robot, superkomputer, biotechnology, dan sebagainya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jika kita menumpuk peluang positif bagi korporasi dan pegawai, maka kita sulit mengabaikan itu. Tapi, di lain pihak, tantangannya juga besar. Orang jarang mudah mempelajari sesuatu yang dibutuhkan agar sukses dalam karirnya karena materinya berbeda dari jaman sekolah. Pembelajaran seumur hidup tidak lagi barang mewah. Ini menjadi sebuah kebutuhan untuk survive. Orang tidak bisa dipaksa memiliki semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekerja optimal di waktu tertentu. Karena itu, mereka harus melakukan pembelajaran kontinyu dan meraih keuntungan dari pengetahuan orang lain. Dunia memang rumit, dan ini bisa berubah tanpa diduga. Sayangnya, banyak praktek manajemen tidak sejalan dengan perubahan ini. Salahsatu peluang terbesar untuk perubahan dan kemajuan, karena itu, dipusatkan pada mobilisasi usaha manusia dan perilaku inovatifnya. Faktanya, banyak perubahan ini memang membutuhkan cara inovatif dalam memimpin dan mengurus orang di pekerjaan. Keuntungan dari ini juga besar. Saat ini, orang terdidik lebih baik dan menuntut lebih dari pekerjaan, bukan hanya gaji. Dalam studi terbaru di beberapa ribuan pegawai di sebuah perusahaan komputer, pekerja muda (dalam kelompok umur baby boomer) melaporkan kualitas kehidupan kerjanya yang rendah dibanding pekerja yang lebih tua. Kesimpulan yang ditarik adalah bahwa metode manajemen-leadership di jaman dulu tidak cocok bagi pekerja saat ini. Seringkali, mereka lebih berkomitmen ke profesi daripada ke perusahaan. Ini

Upload: vandang

Post on 17-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

123

BAB XIV

KEBUTUHAN AKAN SUPERLEADERSHIP

Charles C. Manz dan Henry P. Sims Jr.

Bisnis Amerika mengalami jaman besar. Produktivitas pegawai dan

kualitas produk memang mulai memburuk di beberapa waktu terakhir, dan bisnis

Amerika dianggap merosot di mata dunia. Peluang meraih hal besar dan

merasakan pencapaian kerja dan hidup juga menyempit. Meski begitu, kemajuan

medis dan peningkatan standar hidup berhasil membuat orang hidup lebih lama.

Peluang pendidikan juga luas, dan perang kepada kebodohan mulai

dimenangkan dengan menjamurnya sekolah. Kemajuan ilmiah juga

memunculkan teknologi baru seperti pabrik otomatis, robot, superkomputer,

biotechnology, dan sebagainya, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Jika kita menumpuk peluang positif bagi korporasi dan pegawai, maka kita sulit

mengabaikan itu.

Tapi, di lain pihak, tantangannya juga besar. Orang jarang mudah

mempelajari sesuatu yang dibutuhkan agar sukses dalam karirnya karena

materinya berbeda dari jaman sekolah. Pembelajaran seumur hidup tidak lagi

barang mewah. Ini menjadi sebuah kebutuhan untuk survive. Orang tidak bisa

dipaksa memiliki semua pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekerja optimal di

waktu tertentu. Karena itu, mereka harus melakukan pembelajaran kontinyu dan

meraih keuntungan dari pengetahuan orang lain.

Dunia memang rumit, dan ini bisa berubah tanpa diduga. Sayangnya,

banyak praktek manajemen tidak sejalan dengan perubahan ini. Salahsatu

peluang terbesar untuk perubahan dan kemajuan, karena itu, dipusatkan pada

mobilisasi usaha manusia dan perilaku inovatifnya. Faktanya, banyak perubahan

ini memang membutuhkan cara inovatif dalam memimpin dan mengurus orang

di pekerjaan. Keuntungan dari ini juga besar. Saat ini, orang terdidik lebih baik

dan menuntut lebih dari pekerjaan, bukan hanya gaji. Dalam studi terbaru di

beberapa ribuan pegawai di sebuah perusahaan komputer, pekerja muda (dalam

kelompok umur baby boomer) melaporkan kualitas kehidupan kerjanya yang

rendah dibanding pekerja yang lebih tua. Kesimpulan yang ditarik adalah bahwa

metode manajemen-leadership di jaman dulu tidak cocok bagi pekerja saat ini.

Seringkali, mereka lebih berkomitmen ke profesi daripada ke perusahaan. Ini

124

berarti bahwa banyak orang tidak mau diperintah selamanya, dan mereka tidak

segan membuang bakat dan kemampuannya begitu saja. Dalam bukunya The

Gold-Collar Worker, Robert E. Kelley mengulas signifikansi angkatan kerja muda

dan terdidik. Dia mendiskusikan perihal “bibit baru pekerja” dan meminta bisnis

menyesuaikan diri dengan karakteristik ini.

Karena ada pengalaman di organisasi bisnis, maka diskusi difokuskan ke

sana. Meski begitu, diyakin bahwa tantangan dasar ini terus menusuk ke semua

aspek kehidupan kita – baik di dalam hubungan, cara kita membesarkan anak,

proses pendidikan, dan sebagainya.

14.1 Apa Yang Dimaksud Self-Leadership Dan Superleadership

Selama 10 tahun terakhir, lewat konsultasi, penelitian dan tulisan, kita

membuat ide yang kita yakini bisa membantu menjawab tantangan memimpin

“bibit baru pekerja”. Kita menggunakan label self-leadership dan

SuperLeadership untuk menggambarkan pendekatan berbeda ke leadership.

Karena istilah ini adalah batu pijakan dari ide yang dimaksud, maka perlu

didefinisikan.

Self-leadership adalah sebuah set strategi ekstensif yang difokuskan ke

perilaku dan pikiran yang bisa digunakan untuk menghasilkan self-influence. Self-

leadership adalah apa yang dilakukan orang untuk memimpin dirinya sendiri. Di

beberapa cara, self-leadership bisa dianggap sebagai bentuk followership yang

bertanggungjawab, tepatnya, jika diberi otonomi dan tanggungjawab untuk

mengontrol hidupnya, apa yang bisa dilakukan follower yang nantinya menjadi

self-leader untuk menjawab tantangan dalam cara yang bertanggungjawab?

Kita pernah mendengar pegawai mengkomplain, “Mereka mengatakan

bahwa mereka menggunakan “manajemen partisipatif”. Saat ini, saya diminta

“berpartisipasi”. Saya tidak paham artinya. Apa saya harus melakukan hal lain?”

Untuk jawabnya, self-leadership memberikan sebuah set panduan bagaimana

seorang pegawai bisa menjawab tantangan manajemen partisipatif dalam cara

yang bertanggungjawab.

SuperLeadership bisa digunakan ke manajer dan eksekutif yang memiliki

tanggungjawab untuk memimpin orang lain, khususnya pegawai bawahan. Lebih

spesifiknya, seorang SuperLeader adalah orang yang memimpin lainnya untuk

memimpin dirinya sendiri. SuperLeader mendesain dan mengimplementasikan

125

sistem yang membantu dan mengajari pegawai agar menjadi self-leader.

Pendekatan ini berisi set perilaku ekstensif, yang semuanya dimaksudkan untuk

memberikan skill perilaku dan kognitif bagi follower yang dibutuhkan untuk

melakukan self-leadership. SuperLeader normalnya bertanya “Apa yang bisa saya

lakukan untuk memimpin orang lain agar bisa memimpin dirinya sendiri”.

Di sini, kita akan mengulas ide tersebut secara detail. Pertama, kita

membahas strategi terfokus-perilaku dan terfokus-pikiran yang menjadi inti dari

self-leadership. Memahami self-leadership adalah sebuah langkah penting untuk

memahami SuperLeadership. Kemudian, kita perlu mengulas skill yang disebut

SuperLeadership. Kita berharap bahwa ide ini tidak menjadi obat – memang

bukan – tapi sebagai rencana permainan yang dibuat secara hati-hati, dan

digunakan untuk mengumpulkan potensi jangka panjang setiap pegawai.

14.2 Mengenal Self-Leadership Pegawai

Ada pendekatan berbeda dalam memimpin orang, dan ini penting untuk

masa depan. Pendekatan tersebut adalah SuperLeadership, yaitu memimpin

orang lain untuk memimpin dirinya sendiri. Untuk awal, kita perlu melihat

dasarnya. Ide ini didasarkan, bagian, pada pandangan bahwa semua kontrol atas

pegawai pada akhirnya adalah bersifat self-imposed (ditekankan oleh dirinya

sendiri). Dimanapun kontrol itu berasal (contoh, dari bos atau kebijakan perus),

efek yang dirasakan ditentukan oleh bagaimana kontrol tersebut dievaluasi,

diterima, dan diterjemahkan oleh setiap pegawai menjadi komitmen.

Persis seperti ketika organisasi memberikan stadar, evaluasi dan reward

dan hukuman ke pegawai, pegawai juga bisa memberikan dan merasakan

elemen ini dari dalam dirinya sendiri. Pegawai memiliki harapan akan kinerjanya,

dan bereaksi positif atau negatif ke dirinya sendiri sebagai jawaban atas self-

evaluation.

Ini adalah point paling penting. Usaha organisasi untuk meningkatkan

kontrol pegawai tidak lalu menentukan peran “self” dari orang yang dimaksud.

Standar organisasi tidak akan mempengaruhi perilaku pegawai meski jika standar

itu tidak diterima. Reward organisasi tidak lalu memberikan efek yang diinginkan

jika ini tidak dinilai sebagai reward oleh pegawai. Apapun cara menghargai

kinerja pegawai, evaluasi kinerja yang memberikan bobot terbanyak adalah

evaluasi yang dibuat pegawai sendiri.

126

Semua ini berarti bahwa agar efektif, leader harus mempengaruhi cara

orang untuk mempengaruhi dirinya sendiri. Alat penting untuk menciptakan

komitmen dan antusiasme yang dibutuhkan untuk meraih kesempurnaan jangka

panjang di sebuah organisasi adalah membebaskan potensi self-leadership di

dalam diri setiap orang. Kontrol eksternal ketat yang meminimkan atau meredam

sistem self-control dari pegawai bisa jadi menghasilkan kepatuhan. Namun,

komitmen ke kesempurnaan berasal dari potensi leadership yang kuat dari dalam

diri sendiri.

Penggunaan kontrol eksternal yang tidak mempertimbangkan kapasitas

self-leadership seseorang bisa memberikan hasil disfungsional. Sebuah

pendekatan eksternal ke kontrol bisa menyebabkan perilaku birokratik, seperti

ketika orang hanya fokus ke apa yang diukur dan direward organisasi, dan

mengabaikan aktivitas penting lainnya; pemberian data tidak akurat ke sistem

informasi manajemen, yang hanya meningkatkan kedudukan kinerja individu;

memicu kepatuhan, bukan komitmen; dan sejumlah masalah lain.

Sistem penilaian-kinerja rigid untuk salespeople, contohnya, yang

menfokuskan ke prosedur sales dan standar sales bisa efektif dalam

menghasilkan kenaikan sales jangka pendek. Tapi, kinerja jangka panjang bisa

buruk karena minimnya perhatian ke klien. Selain itu, proses kontrol-eksternal

bisa merusak kreativitas dan minat pegawai untuk mengekspresikan diri dan

untuk berkomitmen ke pekerjaan.

Emphasis yang terlalu besar ke reward eksternal tapi mengurangi reward

internal (atau “alami”) bisa melemahkan aspek motivasi individu. Jika emphasis

diberikan ke apa yang didapat orang dalam bekerja (uang, promosi, dan

sebagainya), bukan pada aspek positif dari tugas itu sendiri, yaitu kenikmatan

alami dari sebuah pekerjaan, maka komitmen ke kesempurnaan bisa surut. Ini

berarti bahwa cara melihat kontrol dan leadership di sebuah tempat menjadi

terlalu dibatasi. Ada pandangan baru yang melawan ini, yaitu bahwa kontrol

eksternal harus dibuat untuk menstimulasi dan membantu pegawai

meningkatkan pengaruh dan energi internalnya.

14.3 Superleadership: Sebuah Pendekatan Dasar Ke Leadership

SuperLeadership secara dasar bisa berbeda dari pandangan tradisional

leadership. Tujuan utamanya adalah menstimulasi dan membantu kapabilitas

127

dan praktek self-leadership, dan menciptakan proses self-leadership yang

menjadi target sentral dari pengaruh eksternal. Self-influence dilihat sebagai

sebuah peluang untuk meraih kesempurnaan bukan ancaman ke kontrol dan

otoritas eksternal. Faktanya, jika leader ingin bawahannya berkembang menjadi

performer tinggi, maka perlu diberikan otonomi dan tanggungjawab untuk lebih

bertanggungjawab ke dirinya sendiri dan pekerjaannya.

Di penelitian ini, kita akan membahas perbedaan pegawai dalam cara

merasakan pekerjaannya. Tapi perbedaan ini belum seberapa dibanding

perbedaan antara pabrik manufaktur yang dikelola secara “tradisional” dan

pabrik yang dijalankan oleh tim self-managed.

Dalam pabrik tradisional yang berbasis-otoritas, kita menemukan adanya

ketegangan manajemen-pekerja, masalah alkohol dan obat, dan apathi dan

ketidakpuasan pekerja, yang semuanya memberikan efek negatif ke kinerja

pegawai. Pegawai tidak begitu digunakan. Sebaliknya, dalam pabrik yang

menggunakan tim self-managed, pekerja membuat banyak keputusan terkait-

pekerja, seperti tugas ke mesin, penanganan masalah kualitas dan personel,

penyesuaian ke jadwal shift kerja, rekomendasi budget, ataupun pertimbangan

lain yang menjadi tanggungjawab tradisional dari manajemen. Pegawai juga

menyebut area kerjanya sebagai “bisnis kami”, sekaligus secara aktif berusaha

memecahkan masalah kualitas dan meningkatkan produktivitas, menyelesaikan

masalah teknis, dan yang paling sering dilakukan, bekerja tanpa harus melawan

manajemen untuk membuat “perusahaan”-nya lebih profit. Pekerja bahkan

melakukan sesuatu yang ”gila” seperti tetap bekerja setelah shiftnya selesai

untuk membantu jika dibutuhkan dan bahkan masuk di akhir pekan, tanpa

dibayar, untuk memastikan bahwa mesinnya telah dimatikan dengan benar.

Pegawai ini sepertinya meyakini dan berkomitmen ke pekerjaannya dalam kadar

lebih besar dibanding sebelumnya.

Dalam sebuah studi di Honeywell, Inc, ditemukan pentingnya delegasi

dan otonomi untuk menghasilkan manajer yang baik. Studi ini menunjukkan

bahwa manajer yang baik adalah bukan dilahirkan, tapi diolah dalam sebuah

perusahaan. Beberapa studi menyarankan perlunya mendidik bawahan dengan

mendelegasikan proyek penting ke mereka dan memberikan otonomi,

melibatkan bawahan dalam perencanaan jangka panjang, dan memberikan

128

bawahan dengan atasan yang bisa menjadi model peran yang menunjukkan

standar tinggi dan bersikap terbuka ke ide dan pertanyaan bawahan.

Diyakini bahwa usaha memaksa orang untuk menyesuaikan diri ke aturan

eksternal bukan hanya melemahkan potensi individu, tapi juga mengurangi

peluang jangka panjang organisasi untuk meraih kesempurnaan. Orang hanya

perlu melihat track record dari hubungan manajemen-union bila ingin tahu ada

sesuatu yang salah dari pendekatan tradisional. Realita yang ada adalah bahwa

tidak peduli kuat atau “benar” kedudukan manajemen, komitmen ke

kesempurnaan tidak bisa dipaksa dari luar. Ini bukan berarti bahwa semua

pengaruh luar kuat adalah buruk. Tapi, ini berarti bahwa tujuan leadership perlu

dirubah, yaitu seorang leader harus membebaskan bakat orang dengan

menstimulasi kemampuannya untuk self-leadership.

Pembebasan self-leadership adalah cara berbeda dalam melihat proses

leadership dan kontrol. Pendekatan tersebut, meski begitu, bukanlah praktek

baru. Faktanya, beberapa trend menunjukkan bahwa perubahan tersebut telah

dijalankan. Contoh, dalam buku best-selling Megatrends, John Naisbitt

mengidentifikasi beberapa trend untuk masa depan yang konsisten dengan

peningkatan emphasis pada self-control. Empat dari sepuluh trend yang

ditemukannya adalah perpindahan dari sentralisasi ke desentralisasi; dari

bantuan institusi ke self-help; dari demokrasi representatif ke demokrasi

partisipatif; dan dari hirarki ke networking. Trend ini, yang merepresentasikan

sebuah gerakan dari struktur dan institusi formal ke keragaman lebih besar, dan

emphasis pada akar rumput di masyarakat, mencerminkan sebuah rekognisi

orang sebagai individu, dan sebagai sumberdaya yang berharga. Pembelajaran

untuk menjadi self-leader bisa dikatakan persis seperti teori Naisbitt dalam

Megatrends.

Satu contoh, peningkatan jumlah orang yang bekerja otonom di

rumahnya (telecommuter) dengan bantuan terminal komputer dan teknologi

kontemporer lainnya bisa memunculkan sebuah trend signifikan ke penggunaan

self-leadership di dalam praktek organisasi. Selain itu, banyak organisasi,

seringkali yang berkinerja baik, adalah yang menitikberatkan ke partisipasi dan

berbagai bentuk otonomi sebagai alat untuk meningkatkan kapabilitas dan

kinerja angkatan kerjanya. Minat ke lingkaran kualitas, kelompok self-managed,

sistem manajemen Jepang, dan manajemen partisipatif menunjukkan besarnya

129

kesadaran bahwa pendekatan manajemen yang baru adalah dibutuhkan. Dalam

bestseller-nya, In Search of Excellence, Thomas J. Peters dan Robert H.

Waterman, Jr., mengatakan bahwa perusahaan ekselen bisa menciptakan

lingkungan dimana orang bisa meningkatkan martabatnya, dan berpartisipasi

secara sukacita ke perusahaan dan keseluruhan masyarakat. Maksud dari ini

adalah membuat strategi dan perilaku yang menguatkan emphasis ke orang.

Perspektif baru dari leadership yang dimaksud di sini adalah sebuah

pandangan yang mengenali peran penting dari sistem self-control dari pegawai

dan potensinya untuk memimpin dirinya sendiri. Ketika orang Amerika diserang

laporan pesimis tentang jatuhnya bisnis US di dunia, susutnya sumberdaya

penting di masyarakat maju dan sebagainya, kita harus tetap optimis dengan

masa depan karena kita sadar bahwa kitalah yang menjadi sumberdaya dari

kemajuan sosial dan ekonomi nantinya – potensi kemajuan dan ekselensi dalam

setiap orang. Power kuat dari orang yang berkomitmen, termotivasi, dan

memimpin dirinya sendiri, adalah kunci bagi kemajuan sosial dan ekonomi di luar

dunia.

Sayangnya, metode kontrol tradisional tidak lalu bisa dilepas begitu saja.

Selama beberapa tahun, organisasi US terbiasa dengan kepatuhan pegawai,

bukan komitmen, dan terbiasa dengan produktivitas dan kualitas menengah, dan

ketidakpuasan antar angkatan kerjanya. Peningkatan daya saing internasional

membuat organisasi sadar bahwa kontrol tradisional tidak bisa ditoleransi jika

perusahaan ingin survive dan jika United States ingin kuat lagi di dunia. Untuk

meraih ideal komitmen ke kesempurnaan membuahkan sebuah era baru yang

membantu, bukan mengecilkan, energi dan potensi internal orang. Tantangan ini

bisa dijawab lewat SuperLeadership.

Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan, FIA – UB, 2011. Super

Leadership. Manz dan Sims. (1990)

• Manz dan Sims (1990). Super Leadership.

130

131

BAB XV

SELF-LEADERSHIP: STRATEGI PERILAKU UNTUK

MEMPENGARUHI DIRI SENDIRI

Charles C. Manz dan Henry P. Sims Jr.

Selama beberapa dekade perusahaan Amerika telah menggunakan alat

negatif eksesif untuk mengontrol pegawai di semua level organisasi. Sayangnya,

pendekatan manajerial ini – kontrol eksternal ketat, sering bersifat menghukum,

untuk memastikan bahwa perilaku pegawai telah cocok dengan tujuan organisasi

– mengabaikan bentuk kontrol yang terkuat, yaitu kontrol dari dalam diri orang.

Di sini, kita akan membahas kontrol dari dalam. Ini disebut kekuatan self-

leadership –yaitu memimpin diri sendiri menuju kesempurnaan.

Beberapa orang mengatakan bahwa perusahaan Jepang telah mengenal

ini lebih baik dari lainnya, dan memberikan emphasis ke nilai dan keyakinan

bersama, dan menjaga lingkungan kerja yang mirip keluarga. Pegawai Jepang

bukan sengaja tidak patuh aturan, tapi menunjukkan komitmen ke kelangsungan

perusahaan, dan menanamkan tujuan perusahaan ke dalam diri sampai mereka

tidak perlu dikontrol lagi.

Tapi, orang Jepang bukan orang Amerika, dan tidak tepat pula bila

menyamakannya. Karena, orang Amerika menekankan individualisme, maka

United States pun bisa menciptakan jenis lingkungan yang ditemukan di Jepang.

Pemahaman tentang Jepang bisa menjadi panduan dalam memahami korporasi

US dan merumuskan pertanyaan tentang itu. Contoh, bila dibutuhkan teamwork,

pendekatan apa yang dibutuhkan untuk mengisi kekosongan budaya yang sering

menghambat kerjasama dan menguatkan kompetisi dan konflik? Kita yakin

bahwa SuperLeadership bisa memberikan sebuah alternatif ke praktek

manajemen Amerika top-down yang sering menimbulkan dilema.

SuperLeadership berarti menghasilkan self-leadership di pihak lain.

Efektivitas SuperLeader meski begitu ditentukan oleh praktek self-leadership dari

bawahan. Hal penting di proses leadership ini adalah bahwa follower sekarang

diperlakukan seperti, dan menjadi, leader. Karena setiap orang adalah self-

leader, dan sering membutuhkan peningkatan dalam pola self-leadershipnya,

maka SuperLeadership membutuhkan banyak power, meski power ini tidak

langsung dan cenderung lunak. Tugas utama dari SuperLeader adalah membantu

132

mengembangkan, mendorong, meningkatkan, menguatkan dan mengkoordinasi

praktek self-leadership dari pihak lain.

Kontradiksi yang ada saat memimpin orang lain untuk memimpin dirinya

sendiri membutuhkan beberapa penyesuaian mental. Contoh, jika bawahan

memimpin dirinya sendiri, maka apakah leader masih dikatakan memimpin?

Jawabannya adalah ya, meski perilaku leader spesifik menjadi sangat berbeda.

Leader memimpin bawahan untuk menjadi self-leader terbaik. Inti dari

perbedaannya bukan pada emphasis ke perintah dan instruksi. SuperLeader

membuat orang lain memerintah dan menginstruksikan dirinya sendiri.

Pendekatan ini menantang leader untuk merubah asumsi dasar tentang

praktek leadership dan hubungan otoritasnya. Dalam jangka panjang ,meski

begitu, usaha ini memberikan keuntungan seperti peningkatan kinerja, inovasi,

dan pemenuhan kebutuhan leader dan follower (self-leader). Karena self-

leadership dari bawahan adalah penting, maka kita akan membahasnya detail.

Self-leadership adalah mesin dan memberikan energi yang dibutuhkan

untuk sukses. Self-leadership adalah inti dari followership efektif.

SuperLeadership memberikan sebuah konteks untuk self-leadership, sebuah

sarana mengkoordinasi self-leadership antar individu, dan sebuah mekanisme

dukungan bagi perkembangan lebih jauh. Pendeknya, SuperLeadership

menginspirasi dan membantu self-leadership dalam pegawai bawahan.

Ada tiga asumsi dasar yang mendasari self-leadership. Pertama, setiap

orang menjalankan self-leadership sampai kadar tertentu ,tapi tidak setiap orang

menjadi self-leader yang efektif. Kedua, self-leadership efektif bisa dipelajari, dan

karena itu, tidak terbatasi pada orang yang terlihat sebagai “self-starter, self-

directed, atau self-motivated”. Ketiga, self-leadership adalah relevan bagi

eksekutif, manajer atau non-manajer – tepatnya bagi setiap orang yang bekerja.

Ada dua kelas dari strategi self-leadership. Pertama menfokuskan pada

perilaku dan aksi efektif – strategi terfokus-perilaku. Yang kedua menekankan

pada pikiran dan perasaan efektif – strategi terfokus-kognitif. Di bab ini, kita

berkonsentrasi pada strategi perilaku – aksi yang dilakukan untuk membantu

memimpin diri sendiri. Di bab selanjutnya, kita akan mengulas pertanyaan

bagaimana pikiran dan perasaan konstruktif bisa menghasilkan kemampuan self-

leadership.

133

15.1 Self-Leadership: Strategi Terfokus-Perilaku Untuk Perilaku Konstruktif

Satu pendekatan self-leadership difokuskan ke perilaku, dan ini

membantu manajer dan pegawai dalam memimpin diri mereka sendiri untuk

melakukan tugas yang sulit, tapi yang dibutuhkan. Beberapa strategi spesifik

dikemukakan, termasuk tujuan buatan sendiri, latihan, observasi diri, reward ke

diri sendiri, dan hukuman ke diri sendiri.

Kondisi semacam ini mirip dengan pengusaha yang energetik dan

mengatur dirinya sendiri. Untuk menggambarkan logika strategi self-leadership

perilaku ini, kita akan mendiskusikan masing-masing aspek di atas dengan lebih

detail. Strategi self-leadership tersebut bisa membantu menciptakan

kesempurnaan personal.

A. Tujuan Buatan Sendiri

Tujuan yang dibuat sendiri adalah bahan penting untuk self-leadership

sukses. Dengan menetapkan tujuan untuk tugas kerja yang dilakukannya dan

raihan karir jangka panjangnya, seorang pegawai bisa menciptakan arahan dan

prioritas diri. Membatasi obrolan informal sampai 45 menit di hari kerja normal

bisa menjadi tujuan buatan sendiri dari seorang pegawai yang sulit berbicara

banyak. Melakukan enam hubungan sales sehari atau meningkatkan sales

sebesar 8 persen selama kuarter fiskal adalah tujuan buatan sendiri dari orang di

sales. Kuliah malam untuk gelar MBA atau menjadi wakil direktur adalah satu

contoh dari tujuan personal jangka panjang. Pengetahuan tentang proses

penetapan tujuan juga penting, karena tujuan yang dibuat harus tetap

menantang, tapi masih bisa dicapai dan spesifik agar bisa memberikan efek

optimal.

B. Manajemen Petunjuk

Dengan mengatur petunjuk di dalam lingkungan kerja sekitar, aksi yang

diinginkan bisa diambil, dan aksi yang tidak diinginkan diabaikan. Menunda

hubungan telepon selama waktu hari kerja, menghapus noise dengan menutup

pintu, atau seorang eksekutif yang mengajak anggota terbaik untuk memberikan

hasil terbaik, semuanya mencerminkan strategi petunjuk berbeda. Sebuah

kantor, contohnya, bisa didekorasi dan dilengkapi dengan sesuatu yang

menstimulasi kinerja. Alat sederhana seperti tanda yang ditempatkan di tempat

134

strategis bisa memberikan manfaat bagi beberapa orang. Pesan seperti “Apakah

anda telah menggunakan waktu dengan efektif?” adalah sebuah petunhjuk bagi

manajemen waktu yang efektif. Faktanya, gerakan manajemen-waktu populer

sering didasarkan pada strategi penetapan petunjuk.

Dunia ini mempengaruhi perilaku lewat pandangan, suara dan

kecenderungan untuk bersaing meminta perhatian. Pegawai bisa menggunakan

strategi petunjuk untuk mengolah lingkungan kerja dan hidupnya, meningkatkan

stimuli yang diinginkan dan menghapus stimuli yang tidak diinginkan, dan karena

itu, mengelola diri secara lebih efektif.

C. Latihan

Latihan atau praktek adalah strategi self-leadership anteseden yang baik.

Praktek adalah hal alami untuk peningkatan skill dalam golf atau tenis – dan bisa

alami untuk bagian hidup lainnya, seperti kerja. Memikirkan dan mempraktekkan

tugas penting sebelum dilakukan bisa meningkatkan kinerja. Melatih presentasi

formal yang menentukan alokasi budget tahunan departemen sebelum ini

dilakukan di hadapan komite budget adalah contoh nyata dari strategi ini. Tapi,

banyak aktivitas kurang formal malah berpotensi menjadi praktek. Beberapa

menit latihan mental sebelum berhubungan dengan klien, mempraktekkan

bagian sensitif dari review kinerja bawahan, menjalankan langkah-langkah

penting untuk menyalakan mesin secara aman dan efisien, dan sebagainya,

adalah cara menggunakan sebuah strategi praktek. Permainan peran, contohnya,

sering digunakan dalam pelatihan penilaian-kinerja. Lee Iacocca mengemukakan

keuntungan dari latihan, yaitu “Mempelajari skill salesman butuh waktu dan

tenaga. Anda bisa mempraktekkannya berkali-kali sampai anda paham”.

D. Pengamatan Diri

Strategi self-leadership lainnya difokuskan ke konsekuensi kinerja kerja,

yaitu apa yang terjadi setelah melakukan tugas. Pertama, seorang pegawai

membutuhkan informasi tentang seberapa baik tugas dilakukan. Pengamatan diri

memberikan informasi yang dibutuhkan untuk self-leadership yang efektif.

Dengan mengamati apa yang menghasilkan perilaku yang diinginkan dan tidak

diinginkan, seorang pegawai bisa menemukan apa yang perlu dirubah dan

beberapa petunjuk untuk merubahnya. Strategi ini bisa kuat jika disertai dengan

135

informasi yang menjelaskan perilaku yang menjadi target perbaikan. Catatan

sederhana apa yang menghasilkan sebuah perilaku, frekuensi, berapa lama

efeknya, dan kapan ini bisa dilakukan atau tidak dilakukan, bisa memberikan

informasi yang dibutuhkan.

Contoh, jika pegawai tidak puas dengan produktivitas kerjanya, dia bisa

mengamati dan mencatat perilaku yang non-produktif. Perilaku ini bisa berupa

obrolan informal, kerja sibuk yang tidak perlu, dan sebagainya. Dia bisa mencatat

frekuensi dan durasi perilaku, dan kejadian yang merusak usaha produktif. Jika

pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata 17 jam seminggu digunakan untuk

obrolan informal, maka masalahnya sudah jelas. Jika ditunjukkan bahwa banyak

obrolan ini terjadi di perjalanan menuju mesin penyedia kopi, maka perlu diambil

langkah untuk membatasi perilaku ini – seperti menyediakan teko kopi di kantor.

(Meski begitu, perlu hati-hati, karena obrolan di mesin kopi adalah bentuk

“manajemen dengan berkeliling” dan bisa jadi informasi penting didapat dari

sana).

Lebih jauh, teknik pengamatan diri bisa memberikan informasi bagi

evaluasi diri. Dengan menganalisa informasi yang didapat, orang bisa menilai

efektivitas usaha kerjanya.

E. Reward Ke Diri Sendiri

Apa yang menjadi imbalan dari usaha adalah sebuah faktor penting dalam

menentukan motivasi dan pemilihan aktivitas di masa depan. Konsekuensi yang

diterima organisasi dan pihak lain perlu dijadikan fokus perhatian, tapi reward

dan hukuman ke diri sendiri juga sama penting. Reward ke diri sendiri bisa

menjadi strategi yang pantas untuk memotivasi pegawai guna melakukan tugas

yang dianggap sulit. Reward ke diri sendiri bisa konkrit dan fisik, seperti makan

malam di luar atau istirahat di sore hari sambil tiduran dan baca koran setelah

menyelesaikan tugas yang menantang. Liburan akhir pekan di pantai sebagai

reward setelah mengerjakan sistem komputer kantor baru atau setelah

melakukan big sale, bisa membantu memotivasi kesuksesan masa depan anda.

Kadang, reward ke diri sendiri bisa dilakukan dengan menunda sesuatu, sampai

tugas tertentu dilakukan. Reward juga bisa berupa penciptaan mental yang

privat – seperti membayangkan tempat liburan favorit untuk kesuksesan, atau

membayangkan keuntungan dari usaha kerja sukses. Mengatur reward fisik dan

136

mental ke diri sendiri untuk kinerja tinggi bisa dilakukan untuk menjaga motivasi

dan usaha.

F. Hukuman Ke Diri Sendiri

Hukuman ke diri sendiri bisa menjadi bagian dari proses, meski ini tidak

sangat efektif. Hukuman ke diri sendiri cenderung sifatnya mental atau kognitif.

Rasa bersalah yang kecil kadang juga berguna, tapi ketika menjadi besar atau

kebiasaan, ini melemahkan motivasi dan usaha. Kebiasaan bersalah dan kritik ke

diri sendiri bisa menimbulkan depresi, dan menjadi sebuah masalah yang perlu

diatasi karena ini mengganggu konfidensi dan martabat diri dari orang. Kuncinya

adalah mempelajari pola kritik ke diri sendiri dengan bertanya, “Seberapa sering

saya menyesali diri sendiri? Apakah kritik ke diri sendiri membantu atau

menghambat kinerja saya?” Dengan mempelajari kegagalan, mencoba belajar

dari itu, dan menfokuskan energi lagi untuk merasa baik ke pencapaian adalah

alternatif yang baik.

Lee Iacocca memberikan beberapa wawasan penting ketika dia

membicarakan tentang kesalahannya: “Kesalahan adalah bagian dari hidup, dan

anda tidak bisa menghindarinya. Anda bisa berharap bahwa kesalahan ini tidak

mahal, dan tidak membuat anda bersalah dua kali.”

Sebaliknya, bersikap lunak ketika bertindak dalam cara yang tidak

menyenangkan bisa jadi sebuah kesalahan. Ada waktunya untuk memaki diri

sendiri. Umumnya, berkonsentrasi ke reward ke diri sendiri untuk perilaku yang

menyenangkan bisa lebih efektif daripada menggunakan hukuman ke diri sendiri.

15.2 Contoh Self-Leadership Terfokus-Perilaku

Di beberapa setting kerja, strategi self-leadership terfokus-perilaku

adalah membantu pegawai meningkatkan kinerjanya. Terapan ini melibatkan

manajer di berbagai pekerjaan seperti retail, manufaktur, layanan publik, iklan

dan setting lain, termasuk posisi lini dan staff. Di berbagai kasus, perilaku spesifik

untuk self-leadership bisa berupa waktu yang digunakan untuk telpon,

penyelesaian formulir belanja tepat waktu, dan sebagainya.

Contoh, strategi terfokus-perilaku bisa juga ditunjukkan oleh pekerja

produksi kerah-biru untuk tujuan self-leadership. Di satu pabrik berkinerja tinggi

yang ditata berdasarkan konsep tim self-managed (sebuah sistem yang ditata

137

oleh dan berisi tim pekerja yang bertanggungjawab untuk mengatur dirinya

sendiri), kita bisa melihat selebaran catatan yang ditempel ke mesin untuk

menjadi petunjuk buatan sendiri bagi pekerja. Untuk menghasilkan petunjuk,

pekerja juga bisa menggunakan strategi lain seperti pengamatan diri, latihan,

pujian ke diri sendiri dan kritik ke diri sendiri.

Strategi semacam ini memang berguna untuk meningkatkan kinerja kerja

pada tugas yang sulit dan tidak menarik. SuperLeader bisa menciptakan self-

leadership pegawai dengan memberikan teladan, mendorong, memandu, dan

memberdayakan penggunaan jenis alat oleh bawahan. Meski begitu, kita perlu

menjelaskan strategi self-leadership yang memiliki potensi untuk memotivasi

orang agar meraih kesempurnaan dalam kerja, termasuk agar mereka suka

melakukan itu. Strategi kognitif ini bisa digunakan untuk menciptakan pikiran

konstruktif tentang pekerjaan.

Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan, FIA – UB, 2011. Super

Leadership. Manz dan Sims. (1990)

• Manz dan Sims (1990). Super Leadership.

138

139

BAB XVI

SELF-LEADERSHIP LEBIH BANYAK: STRATEGI UNTUK PIKIRAN

DAN PERASAAN PRODUKTIF

Charles C. Manz dan Henry P. Sims Jr.

Di beberapa tahun lalu, analisis self-leadership dilakukan dengan

berkonsentrasi ke strategi perilaku saja. Meski begitu, cara orang secara kognitif

merasakan dan memproses informasi tentang pekerjaanya memberikan dampak

ke kemampuan self-leadership. Karena itu, ide awal dari self-leadership diperluas

hingga meliputi strategi kognitif.

Strategi self-leadership kognitif mempertimbangkan isu bagaimana

individu bisa secara kognitif menata pola pikirnya, sehingga mempengaruhi

perilaku.

Disini, kita membagi strategi self-leadership basis-kognitif menjadi dua

bagian, tapi masih saling terkait. Pertama, kita mempelajari cara menggunakan

reward alami yang didapat dari tugas untuk menghasilkan pikiran dan perasaan

konstruktif tentang usaha seseorang. Kemudian, kita juga perlu mempelajari

pertanyaan luas tentang cara individu menghasilkan pola pikir produktif.

16.1 Menciptakan Reward Alami Ke Tugas

Kita masih sering tidak sependapat soal apakah penciptaan reward alami

ke sebuah tugas adalah sebuah strategi perilaku atau kognitif. Pendekatan ini

berisi perilaku yang nantinya dijalankan. Tapi, tujuan utamanya adalah

mendefinisikan pekerjaan dan tugas dalam cara yang menciptakan sebuah

kondisi kognitif.

Point utamanya adalah bahwa pekerjaan, bahkan jenis yang paling

monoton, memiliki beberapa kadar tertentu. Banyak pekerjaan bisa dilakukan

sampai kadar tertentu dan dijalankan dengan komitmen, bukan sekedar patuh,

bila pendekatan yang benar bisa dikemukakan dan diterima. Bisa dikatakan

bahwa pendekatan benar biasanya berisi mencari dan menciptakan reward alami

dari tugas. SuperLeader bisa memainkan peran penting dalam meneladankan,

memandu, dan memberdayakan temuan dan manajemen reward alami di

kalangan bawahan, karena ini adalah kunci self-leadership konstruktif untuk

pikiran dan perasaan.

140

A. Apa Yang Dimaksud Reward Alami?

Ada dua tipe reward. Yang paling menonjol adalah reward yang diberikan

orang luar seperti kenaikan gaji, liburan, promosi, award, bonus, dan sebagainya.

Pujian pun juga reward eksternal. Tipe reward kedua adalah yang jarang

direkognisi dan jarang dipahami, tapi tetap penting. Ini disebut reward alami. Ini

berhubungan dengan tugas atau aktivitas tertentu. Contoh, seseorang yang suka

membaca koran atau pergi ke pacuan kuda disebut melakukan aktivitas yang

dideskripsikan sebagai yang memberikan reward alami. Insentif yang tidak

diberikan oleh orang luar atau diri sendiri adalah yang memotivasi perilaku ini.

Insentif ini adalah alami, dan diciptakan ke dalam tugas. Bermain bola tangan di

sore hari Sabtu adalah contoh dari ini.

B. Mengapa Beberapa Aktivitas Memberikan Reward Alami?

Ada tiga elemen yang memotivasi pegawai untuk kinerja tinggi. Elemen

ini membantu menghasilkan pikiran dan perasaan positif dan konstruktif tentang

pekerjaan. Ini adalah perasaan (1) kompetensi, (2) self-control, dan (3) tujuan.

Keuntungan kinerja bisa diraih bila pegawai diberi kekuatan untuk menyesuaikan

kerjanya sehingga mereka bisa merasakan perasaan dan pikiran. Diskusi

didasarkan pada ide sederhana, yaitu keinginan menggunakan reward alami

(memotivasi aktivitas dan tugas) untuk menghasilkan self-leadership yang efektif.

Kita akan mengulas ini secara terpisah.

Perasaan kompetensi. Satu aspek dari aktivitas reward alami adalah bahwa ini

sering membuat orang lebih kompeten. Ini memberikan kesan “self-efficacy”.

Orang cenderung suka dengan tugas yang dikerjakannya dengan baik. Beberapa

pukulan baik di hole terakhir di lapangan golf membuat orang ingin bermain lagi,

dan kinerja efektif di sebuah kerja membuat pekerjaan lebih menarik secara

alami.

Tentu saja, aktivitas yang meningkatkan perasaan kompeten kadang juga

dihubungkan dengan reward eksternal, tapi reward alami yang diciptakan ke

tugas bisa menjadi kekuatan motivasi kuat di dalam diri. Perasaan kompeten bisa

menjadi reward kuat jika tidak ada pujian atau tidak ada reward materi. Perasaan

ini penting apakah pegawai adalah top executive atau pekerja lini-produksi.

141

SuperLeader bisa mengenali kebutuhan penting ini dengan memberikan

bawahan dengan peluang menjawab tantangan. Seorang SuperLeader juga

membantu bawahan untuk mengembangkan konfidensi dan menguasai skill yang

dibutuhkan untuk kerja, dengan memberikan otonomi atau panduan yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Perasaan self-control. Karakteristik kedua dari aktivitas yang menyenangkan

alami adalah bahwa aktivitas tersebut membuat individu memiliki self-control

lebih besar. Banyak orang memiliki kecenderungan alami untuk mengontrol

nasibnya. Dari bayi yang suka merangkak sampai orang dewasa yang ingin

menjadi bos, keinginan akan kontrol diri, bukan kontrol eksternal, sudah ada.

Banyak orang ingin merasakan independensi.

Kombinasi keinginan merasa kompeten dan self-control bisa

memunculkan pola perilaku yang menarik. Pola ini memunculkan pencarian

tantangan agar orang mampu menguasai skill dan memperluas usaha untuk

menguasai itu. Contoh jenis pola ini adalah melatih pukulan di golf atau berusaha

meningkatkan kinerja tugas. Memahami tantangan bisa memberikan reward

alami karena memenuhi tantangan ini bisa menghasilkan perasaan kompeten

dan self-control.

Seorang SuperLeader sadar akan pola ini dan berusaha memberikan

bawahannya kebebasan untuk mencari peluang menantang. Bawahan yang lebih

sukses adalah yang mampu merasakan tantangan, dan semakin sukses dirinya di

masa depan. Karena bawahan bisa berusaha untuk berkinerja baik, maka

seorang SuperLeader tinggal membiarkan mereka begitu.

Perasaan tujuan. Satu fitur penting dari aktivitas yang memberikan reward alami

adalah kemampuan memberikan kesan tujuan. Meski jika tugas membuat

pegawai merasa lebih kompeten dan lebih memiliki self-control, tugas bisa

dibenci jika pegawai tidak menganggapnya bernilai. Orang cenderung rindu

tujuan dan makna. Salesman rokok yang kompeten, yang bebas memilih profesi,

dan yang berusaha keras, tidak suka dengan pekerjaannya jika ragu dengan etika

kerjanya.

Tapi, darimana asal perasaan tujuan dan makna? Banyak pakar

mengatakan bahwa meningkatkan atau mengekspresikan goodwill ke pihak lain

bisa menciptakan kesan tujuan. Dalam tulisannya tentang stress manusia, Dr.

142

Hans Selye mengatakan bahwa cara terbaik menjalani gaya hidup yang

mereward tanpa stress adalah dengan melakukan apa yang disebut “egoisme

altruistik”. Intinya, ini melibatkan sikap membantu orang lain dan “mendapat

cinta mereka”, sekaligus di saat sama menyadari kebutuhan diri anda sendiri dan

meningkatkan kadar individu kita (egoisme). Filosofi menegaskan bahwa individu

hanya bisa mendapat hidup senang ketika memadukan sifat self-sentrisnya

sebagai manusia dengan usaha altruistik untuk memenangkan goodwill dan

hormat dari orang lain. Bukti dari penelitian biologi dan psikologi menunjukkan

bahwa motif altruistik bisa muncul pada seseorang yang jauh dari motif

egoistiknya.

Bagaimana pun cara altruisme bisa memberikan tujuan ke sebuah tugas,

atau ke hidup, ini tidak boleh diabaikan. Ini adalah kunci meraih perasaan tujuan

dan makna. Yang menarik, pabrik manufaktur yang menggunakan pendekatan

kelompok self-managed dan yang menunjukkan pekerja berkomitmen dan

termotivasi tinggi, memiliki moto “Orang membantu orang”. Penelitian di

organisasi kerja Jepang juga menunjukkan sebuah pertimbangan sama dengan ini

(altruistik).

Tantangan bagi seorang SuperLeader adalah membantu bawahan

menemukan apa yang membuatnya merasakan tujuan, dan memberikan peluang

untuk merasakan makna dari kerjanya. Ini mungkin baik bagi orang, karena

bentuk altruisme adalah jantung dari kebutuhan hidupnya.

16.2 Tugas Yang Disesuaikan Sendiri

Ada dua cara penggunaan reward alami untuk meningkatkan efektivitas

self-leadership, yaitu (1) memasukkan fitur menyenangkan secara alami ke

dalam tugas, dan (2) membuat aspek reward alami pekerjaan menjadi fokus pikir

dalam pekerjaan. Pendekatan ke self-leadership, pada dasarnya, berisi

identifikasi aspek tugas yang menyenangkan secara alami, dan mencoba

meningkatkan ini sewajar mungkin.

Meski begitu, masih ada banyak strategi lain untuk membuat pekerjaan

lebih memotivasi secara alami. Dalam satu contoh, sebuah pertemuan bisnis bisa

dilakukan dalam sebuah lokasi yang menarik. Isu yang sering dibicarakan di ruang

konferensi formal di sebuah gedung perusahaan bisa dinilai berbeda bila

dibicarakan di ruang pertemuan rileks di sebuah resort yang indah. Jika pegawai

143

senang saat mengobrol langsung dengan teman sejawatnya, maka komunikasi

tatap muka menjadi sangat baik di saat itu dibanding harus menggunakan memo

tulis.

Point yang ingin ditunjukkan adalah bahwa ada beberapa cara dan

strategi berbeda untuk melakukan tugas kerja. Dengan menyelesaikan tugas

dengan sarana yang disukai, pegawai bisa menciptakan reward alami untuk

usahanya. Contoh, jika seorang wanita berlari memutari sebuah track oval setiap

hari sebagai sarana untuk menjaga kebugaran fisiknya, dia tidak peduli dengan

cara membuat itu menjadi menyenangkan. Berlari sepanjang pesisir pantai atau

di jalan setapak di hutan bisa juga memberikan pengalaman gembira. Lari bisa

dilakukan di pagi hari atau di sore hari sekaligus melihat cakrawala yang terang.

Lari bisa memberikan reward alami bagi pelari yang memiliki cara seperti itu,

begitu juga dengan pekerjaan pegawai di organisasi.

Selain memilih konteks kerja yang menyenangkan, pegawai bisa

meningkatkan kesenangan alami kerjanya dengan mencari dan menciptakan

aktivitas yang memberikan perasaan kompeten, self-control dan tujuan. Kerja

dan kehidupan bisa memberikan reward alami jika orang cukup serius untuk

bermain dengan itu dan menciptakan kesenangan di dalamnya.

Waktu atau jadwal kerja juga penting. Contoh, beberapa orang adalah

“orang malam”, sedangkan lainnya adalah “orang pagi”. Satu orang melakukan

90 persen kerja di pagi hari, dan berusaha melakukan pertemuan tatap muka di

sore hari. Kadar jadwal kerja dari pegawai yang cocok dengan ritme psikologis

dan preferensi psikologisnya bisa meningkatkan produktivitas personal.

Jelasnya, ada batasan pada seberapa jauh orang menyesuaikan

pekerjaannya. Kadang, perlu mengimplementasikan penyesuaian kerja lewat

caranya sendiri – keluar dan kerja di tempat lain. Tapi, orang malah bertanya

“mengapa ini tidak bisa dilakukan”. Ini adalah pikiran negatif dan disfungsional.

Pendekatan produktif dan efektif adalah mencari langkah kecil sederhana

dengan melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan. Dalam jangka panjang,

kesenangan dalam kerja bisa diwujudkan dengan mencari konteks kerja dan

aktivitas yang menyenangkan, yang memberikan perasaan kompeten, self-

control dan tujuan.

Beberapa peneliti sadar bahwa diskusi tugas yang disesuaikan sendiri

adalah didasarkan pada teori dan penelitian sebelumnya tentang motivasi

144

intrinsik dan bisa memperkaya karakteristik kerja. Perbedaan besar yang

ditemukan di sini adalah adanya tanggungjawab dan aksi pribadi dari pegawai

dalam mencari reward alami yang berasal dari tugasnya sendiri. Bukannya

mengandalkan manajemen atau orang lain untuk melakukan, setiap pegawai,

meski dalam cara minor, bisa menemukan peluang untuk menyesuaikan

tugasnya sendiri.

16.3 Mengolah Fokus Pikiran Orang

Pendekatan kedua untuk meningkatkan power reward alami adalah pada

cara orang berpikir, ketika menjalankan tugas. Individu memiliki opsi seputar

cara menfokuskan perhatiannya. Contoh, mereka bisa berpikir tentang, berbicara

tentang, dan memberikan fokus ke bagian kerja yang dibencinya, yang bisa

memberikan perasaan negatif dari kerjanya. Cara lainnya, pegawai bisa fokus ke

reward yang diharap dari kerjanya (seperti uang, pujian, rekognisi, dan

sebagainya), dan karena itu, termotivasi oleh imej masa depannya. Pendekatan

ini adalah sebuah peningkatan definit dibanding pikiran negatif. Sebagai opsi

ketiga, pegawai bisa menfokuskan diri ke aspek menyenangkan alami dari

kerjanya dan menikmati aktivitas apapun nilainya nanti. Fokus terakhir ini adalah

kunci menciptakan kesenangan alami dan menjadi motivasi alami ke kinerja lebih

tinggi.

Semua pegawai bisa mengidentifikasi fitur menyenangkan dan tidak

menyenangkan di dalam pekerjaannya. Kadang, kita menggunakan prosedur

berikut sebagai latihan training: “Pertama, ambil kertas dan buat sebuah garis di

tengah, membentuk dua kolom. Kemudian, isilah dengan aspek kerja anda

berdasarkan kategori menyenangkan dan tidak menyenangkan. Yang mana yang

lebih panjang – menyenangkan atau tidak menyenangkan? Partisipan sering

terkejut bahwa daftar menyenangkan lebih panjang. Kemudian, ketika bekerja,

anda bisa memfokuskan pikiran anda ke fitur menyenangkan di satu waktu, dan

merubah fokus anda ke fitur tidak menyenangkan di satu waktu lain”. Pegawai

bisa menyukai kerja lebih banyak ketika menfokuskan diri ke fitur yang lebih

menyenangkan, dan memberikan reward.

SuperLeader menjadi teladan dan mendorong dilakukannya pikiran

konstruktif oleh bawahan. Menyesuaikan pekerjaan ke orang yang

mengerjakannya bisa meningkatkan kinerja. Contoh, pegawai bisa mempelajari

145

fitur kerja “tidak menyenangkan” agar bisa menyesuaikan atau menggantinya

dengan cara efektif tapi menyenangkan dalam menyelesaikan kerja. SuperLeader

membantu bawahan mengolah pikiran kerjanya, atau juga metode kinerja

fisiknya.

Perhatikan dua manajer di sebuah perusahaan Amerika besar yang

memiliki tanggungjawab sama. Manajer A bukan hanya cenderung memikirkan

kesulitan kerjanya, tapi juga mengeluhkan defisiensi kinerjanya. Dia seperti

menggunakan “pikiran hambatan” yang berlebih. Manajer B menfokuskan

pikirannya ke penyelesaian, dan berusaha mewujudkan kebutuhannya. Dia

menggunakan “pikiran peluang”. Dia pernah mengatakan bahwa dia merasa

lebih hidup ketika bekerja satu hari dibanding orang bekerja seminggu. Meski

kondisi kerjanya sama, perbedaan bisa muncul antara pikiran hambatan dan

pikiran peluang.

Beberapa orang menghubungkan cara pandang orang yang berbeda ini

dengan perbedaan kepribadian. Meski begitu, interpretasi ini terlalu sederhana.

Meski kepribadian juga penting, pandangan self-leadership menyatakan bahwa

orang bisa mempengaruhi dirinya sendiri dan cara mereka dalam memikirkan

kerjanya, dan bahwa mereka bisa belajar merubah pola pikir dan perilakunya.

Bagian penting dari peran SuperLeader adalah membantu bawahan melakukan

itu.

Ringkasnya, ada strategi yang membuat pekerjaan jauh lebih memberikan

reward alami. Ini berupa (1) menciptakan reward alami ke dalam tugas dengan

memilih konteks kerja yang menyenangkan dan menitikberatkan ke aktivitas

yang memberikan perasaan kompeten, self-control dan tujuan; dan (2)

menfokuskan diri ke aspek reward alami dari tugas, sekaligus menjalankannya.

Sebagian peran SuperLeader adalah membantu bawahan belajar dan

menerapkan strategi ini secara efektif.

16.4 Menciptakan Pola Pikir Konstruktif

Pelaksanaan proses self-leadership bisa membutuhkan emphasis besar ke

pikiran. Meski strategi perilaku juga penting, pikiran adalah inti dari inti, tepatnya

proses pikiran individu bisa menjadi inti self-leadership, yang nantinya menjadi

inti dari SuperLeader leadership. Sebuah cara untuk memahami komponen

penting dari self-leadership adalah prinsip pola pikir. Orang sering menunjukkan

146

kecenderungan perilaku kebiasaan di setiap saat ketika mereka menunjukkan

pola pikir kebiasaan. Tantangan yang ada adalah mengatur pola pikir kebiasaan

dalam cara agar efektivitas personal dalam pekerjaan dan hidup bisa naik.

Tentu saja, ini tidak mudah. Masalah besar di bidang psikologi adalah

bagaimana mengatasi sesuatu yang tidak bisa dilihat atau tidak bisa dipahami.

Meminta orang untuk “berpikir berbeda” atau merubah pola pikir lewat

kemauan bukanlah cara produktif. Di lain pihak, beberapa sarana bisa membantu

mewujudkan ini. Alat ini bisa tepat untuk usaha jangka panjang guna merubah

pola pikir yang ada, dan menciptakan pola pikir baru. Selain itu, SuperLeader bisa

membantu bawahan mendapatkan alat ini, tapi mereka harus mempelajari itu

lebih jauh. Secara khusus, ini berisi pengaturan keyakinan, imajinasi pengalaman,

dan self-talk.

A. Keyakinan

Keyakinan atau asumsi adalah dasar dari pikiran. Karakteristik dari

keyakinan adalah bahwa ini sering terwujud. Apa yang diyakini terjadi seringkali

terjadi. Dalam cara itu, apa yang diyakini orang sebagai tidak mungkin terjadi,

pasti sudah gagal sejak awal. Rational Emotive Therapy, sebuah pendekatan ke

psikoterapi yang digagas Dr. Albert Ellis, menyatakan bahwa keyakinan bisa

menjadi basis dari perubahan. Teori di balik ini adalah bahwa ketika orang sulit

mengatasi situasi tertentu, ketidakefektifannya dihubungkan dengan keyakinan

yang tidak rasional. Contoh dari ini adalah rasa takut untuk menunjukkan

keyakinan yang ditolak oleh pendengar. Ini adalah sebuah bentuk pikiran

hambatan. Dengan melawan keyakinan disfungsional ini, barulah orang bisa

mengatasi masalah.

Mungkin, salahsatu keyakinan paling penting yang mempengaruhi

kemampuan self-leadership seseorang adalah harapan-diri. Apakah saya yakin

bisa melakukannya? Penelitian menunjukkan bahwa harapan individu menjadi

ramalan yang terwujud sendiri, yaitu bahwa harapan positif bisa meningkatkan

kemungkinan perwujudan. Sebaliknya, harapan negatif bisa mengurangi

probabilitasnya. Kondisi pikiran seseorang bisa memberikan dampak jelas ke

kinerja akhir.

Menciptakan dan merubah keyakinan adalah sebuah proses sulit.

Keyakinan sering sudah melekat dalam kepribadian sehingga orang memiliki

147

masa sulit untuk mengenalnya dan memahami bagaimana ini bisa

mempengaruhi aksi. Akibatnya, mengidentifikasi dan melawan keyakinan

disfungsional adalah langkah pertama yang harus ditempuh. Selanjutnya, tujuan

harus diarahkan untuk meningkatkan pola pikir, yang menjadi komponen dasar

dari set keyakinan.

B. Imajinasi Pengalaman

Komponen penting lain dari pola pikir adalah imajinasi. Imej mental dari dunia,

seperti bayangan tentang hasil dari masalah, bisa mempengaruhi aksi dan

orientasi ke kerja dan hidup. Orang bisa membawa dunia yang unik ke dalam

kepalanya. Bentuk bayangan dari dunia psikologi ini berisi imajinasi pengalaman.

Imej ini terjadi secara alami dan bisa memberikan pengaruh konstruktif atau

bahkan destruktif. Membayangkan sebuah kinerja yang buruk dan malu di

hadapan orang lain (seperti ski air, golf, bicara di depan orang banyak, dsb) bisa

membuat orang tidak melakukan itu sejak awal. Jika dia mencoba, imej mental

disfungsional bisa melemahkan konfidensinya, merusak kesenangannya, dan

menyebabkan dia takut gagal.

Meski begitu, orang bebas melawan kebiasaan mentalnya dengan

memilih membentuk imej mental konstruktif. Contoh, orang bisa duduk di kursi

dan membayangkan pantai berpasir putih di tepi laut yang biru dan diterangi

matahari. Dengan praktek itu, ada kemungkinan menggunakan imej mental

konstruktif ketika dihadapkan dengan masalah atau tantangan. Imej mental

positif bisa digunakan untuk melatih aktivitas atau melawan pengalaman

imajinasi destruktif yang masuk ke dunia psikologi. Ini bukanlah tugas mudah,

tapi memungkinkan untuk menciptakan pola pikir positif. Ralph Waldo Emerson

memberikan gambaran ini: “Karakteristik orang adalah seperti apa yang dia

pikirkan selama sehari penuh”. Setiap kali, seseorang bisa memperbaiki dirinya

dengan mengolah pola pikir kebiasaannya. Imej mental adalah bahan kuat untuk

memperkenalkan perubahan tersebut.

C. Self-Talk

Aspek pola pikir yang paling cepat berubah adalah dialog internal. Meski

sering disangkal, orang sering berbicara dengan dirinya sendiri. Pembicaraan ini

biasanya terjadi di level internal (atau di dalam hati). Pegawai yang gagal sering

148

memaki dirinya sendiri – “Bodoh kamu! Mengapa kamu melakukan itu? Kenapa

bisa salah?” – adalah contohnya. Tentu saja, melakukan kritik verbal internal ini

bukan memberikan keuntungan lebih jauh. Pendekatan yang lebih konstruktif

atau analitik bisa lebih memberikan hasil positif, seperti “Apanya yang salah?

Padahal saya mampu melakukan itu. Akan saya lakukan lebih baik setelah ini”.

Orang jarang melakukan bicara-sendiri atau tidak merubahnya. Ironisnya,

orang sering memikirkan cara bicara dengan orang lain, khususnya dalam situasi

sensitif. Mereka kurang peduli dengan dirinya sendiri. Psikolog Doland

Meichenbaum dan Roy Cameron mengemukakan ide tentang ini. Selama

beberapa tahun, terapis psikolog berusaha merubah cara klien berbicara dengan

terapis, tapi Meichenbaum dan Cameron yakin inilah waktunya untuk membantu

klien merubah cara mereka dalam bicara ke dirinya sendiri. Pengamatan diri ke

pola dialog internal dan usaha mengganti pikiran disfungsional dengan

pernyataan diri yang konstruktif bisa membantu ada secara efektif mengolah

pikiran. Inilah saatnya anda bicara dengan diri anda tentang subyek yang

dimaksud. Jarang kita bisa menemukan pendengar yang baik yang mau

mendengar keluhan anda, dan yang bisa meraih keuntungan dari keluhan anda.

Selembar kertas yang dibagi menjadi dua kolom bisa digunakan untuk

mengolah pola pikir (yaitu, keyakinan atau asumsi, imej mental, dan self-talk).

Pertama, orang bisa mengidentifikasi situasi hambatan yang mempengaruhi

pikirannya secara negatif. Dia juga bisa mendaftar pikiran disfungsional tentang

situasi di satu kolom dan mengisi pikiran konstruktif di lain kolom. Contoh,

setelah berdebat dengan bawahan di pekerjaan, dia berpikir “Dia suka melawan

otoritas dan dia adalah pegawai bermasalah yang bisa melemahkan kinerja di

unit kerja”. Tapi, setelah memeriksa situasi dengan hati-hati, dia sadar bahwa dia

bisa menggantinya dengan pikiran konstruktif, seperti “dia sepertinya

mengekspresikan inisiatif dan kreativitas. Dengan mendebat saya, dia

menunjukkan motivasi, dan jauh lebih baik dari apatis dan patuh. Apa yang bisa

dilakukan untuk menyalurkan energinya? Ini adalah peluang kinerja positif”.

Lewat analisis sistematik, seorang individu bisa mengolah pikirannya dan

menciptakan pola konstruktif baru di dalam pikirannya.

Penelitian menyimpulkan bahwa pola pikir bisa mempengaruhi

kesehatan, umur, kesuksesan dan skor ujian. Penelitian ini menjadi perbaikan

dari penelitian sebelumnya tentang ramalan aspek hidup yang terwujud sendiri.

149

Menurut Edward E. Jones, psikolog di Princeton University, “Pengalaman bukan

hanya mempengaruhi cara kita melihat realita, tapi juga mempengaruhi realita

itu sendiri”.

Dr. Martin Seligman, seorang peneliti terkemuka di bidang ini,

mengatakan bahwa “firasat saya menunjukkan level intelejensi saya, sehingga

prestasi anda adalah sebuah fungsi, bukan bakat, dan juga mencerminkan

kapasitas melawan kekalahan”. Jadi, yang menjadi ukuran adalah apakah

individu tetap maju meski dalam keadaan frustasi.

Dalam sebuah studi di lebih dari 3.000 manajer yang bekerja di korporasi

Fortune 100, ditemukan hubungan antara level kinerja manajer dan cara mereka

melihat hambatan kinerja. Meski performer tinggi lebih memberikan konsentrasi

ke hambatan eksternal dalam lingkungan kerjanya, performer rendah cenderung

berpikir tentang defisiensi skill-personalnya. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah

bahwa mengenali hambatan adalah OK, tapi memikirkan kelemahan personal,

dalam self-leadership contohnya, bisa melemahkan efisiensi dan kemampuan

kinerja orang.

Meski gaya pikir ini cenderung stabil di umur hidup seseorang

Dr. Seligman yakin bahwa gaya bisa dirubah. Dalam satu studi penelitian, dia

menemukan bahwa perubahan di dalam gaya pikir individu dari pesimis menjadi

optimis bisa bertahan satu tahun setelah perubahan terjadi.

Ringkasnya, bagian penting dari self-leadership dipusatkan ke manajemen

pola pikir. Agar sukses di proses yang sulit, setiap orang perlu menganalisa,

melawan, dan mengolah keyakinan, imajinasi pengalaman, dan self-talk. Seorang

SuperLeader bisa membantu bawahannya mendapat skill yang dibutuhkan untuk

meraih inti SuperLeadership – pola pikir internal. Pertama, SuperLeader bisa

memberikan teladan pola pikir efektif. Lebih jauh, SuperLeader bisa mendorong,

memandu, memberdayakan, dan membantu self-leadership bawahan lewat pola

pikir konstruktif. Strategi SuperLeadership spesifik untuk membantu ini dan skill

self-leadership lainnya di bawahan akan diulas secara detail di bab selanjutnya.

16.5 Kesimpulan

Di United States ada pendapat bahwa metode manajemen tradisional

tidak cocok lagi diterapkan. Satu kelemahan dasar dari metode ini adalah

diabaikannya kapabilitas self-leadership pegawai. Kapabilitas ini adalah

150

sumberdaya alam terbesar yang belum diolah saat ini. Dengan mengetahui

bahwa sumberdaya ini memang ada bisa memberikan harapan besar ke masa

depan perusahaan, khususnya di Amerika.

SuperLeadership bisa membantu bawahan mempelajari dan

mempraktekkan self-leadership secara efektif. Pertama, seorang SuperLeader

bisa memahami apa yang dimaksud dengan self-leadership. Strategi self-

leadership yang dijelaskan di beberapa bab sebelumnya diringkas di Tabel di

bawah ini. Dengan menguasai strategi self-leadership yang terfokus-perilaku,

seperti tujuan buatan sendiri dan reward ke diri sendiri, orang bisa menjalankan

tugas yang sulit dan kadnag tidak menarik. Lebih jauh, dengan menciptakan

reward alami ke pekerjaan yang menghasilkan perasaan kompeten, self-control

dan tujuan, pekerja bisa melihat dirinya mampu meraih kinerja tinggi lewat

kesenangan alami. Terakhir, penciptaan pola pikir efektif lewat manajemen

keyakinan, imajinasi pengalaman, dan self-talk bisa menghasilkan kemajuan

sampai ke ekselensi. Dengan memberikan teladan, mendorong,

memberdayakan, dan membantu proses self-leadership di bawahan, seorang

leader bisa menjadi seorang SuperLeader.

STRATEGI SELF-LEADERSHIP

STRATEGI TERFOKUS-PERILAKU

Perilaku Strategi

Tujuan Buatan Sendiri Menetapkan tujuan untuk usaha kerja

sendiri.

Latihan Menata dan merubah petunjuk dalam

lingkungan kerja untuk membantu

perilaku personal yang diinginkan.

Pengamatan Diri Praktek fisik atau mental dari aktivitas

kerja sebelum anda melakukannya.

Reward Ke Diri Sendiri Mengamati dan mengumpulkan

informasi tentang perilaku spesifik

yang ditargetkan untuk perubahan.

Hukuman Ke Diri Sendiri Memberikan reward personal untuk

menyelesaikan perilaku yang

diinginkan.

151

STRATEGI TERFOKUS-PERILAKU

Perilaku Strategi

Menciptakan Reward Alami

Ke Dalam Tugas

Penyesuaian dimana dan bagaimana

cara anda melakukan pekerjaan untuk

meningkatkan level reward alami di

dalam pekerjaan anda. Reward alami

yang menjadi bagian, bukan terpisah

dari, pekerjaan (yaitu, pekerjaan,

seperti hobi, menjadi reward) berasal

dari aktivitas yang membuat anda

merasakan:

• perasaan kompetensi

• perasaan self-control

• perasaan tujuan

Menfokuskan Pikiran Ke

Reward Alami

Menfokuskan pikiran anda ke fitur

reward alami di dalam pekerjaan anda.

Menciptakan Pola Pikir

Konstruktif

Menciptakan kebiasaan atau pola

konstruktif dan efektif di dalam pikiran

(misal, kecenderungan unutkm encari

peluang, bukan hambatan di dalam

tantangan) dengan mengolah:

• keyakinan dan asumsi

• imej mental

• self-talk internal

Dalam banyak cara, mempelajari skill self-leadership adalah inti dari followership

efektif, khususnya dalam sistem keseluruhan yang disebut manajemen

partisipatif. Ini membantu menjawab pertanyaan pegawai: “Ada manajemen

partisipatif di sini, dan saya harus terlibat. Apa yang perlu saya lakukan?”

Seorang sopir limosin bisa memberikan pengendaraan yang nyaman dan

efisien jika diberi peluang ikut dalam manajemen untuk memutuskan cara

terbaik untuk melakukan itu. Kita juga yakin bahwa kinerja dari pekerja Amerika

di semua level bisa membaik jika diberi peluang menjalankan self-leadership dan

juga dorongan dan panduan untuk melakukan itu.

Sejalan dengan pemikiran Manz dan Sims (1990), Sangkala (2002)

mengatakan bahwa The SuperLeaders, adalah tipe kepemimpinan yang

mengarahkan orang lain untuk memimpin dirinya sendiri. Tipe pemimpin seperti

152

ini dikenal juga sebagai pemimpin yang memberdayakan orang lain

(empowerment). Pemimpin menjadi “super” karena memiliki kekuatan dan

kearifan terhadap semua orang dengan membantu para karyawan untuk mampu

melepaskan diri dari belenggu ketidakmampuan menyalurkan seluruh

kemampuan dari pengikut, dengan baik. SuperLeader melipatgandakan kekuatan

yang dimiliki melalui kekuatan orang lain. Tugas dari tipe pemimpin ini adalah

membantu para karyawan untuk mengembangkan keterampilan SelfLeadership-

nya untuk disumbangkan sepenuhnya kepada organisasi.

Dengan munculnya kecenderungan dimana depan yang memposisikan

karyawan sebagai individu yang lebih berdaya, maka berimplikasi kepada

munculnya bentuk-bentuk struktur organisasi yang lebih memungkinkan sistem

pengambilan keputusan yang tidak terlalu kaku.

Bentuk struktur organisasi yang lebih sesuai adalah munculnya struktur

organisasi yang dikenal dengan “networked organization”; yakni suatu tipe

konsorsium atau aliansi legal. Dengan bentuk yang demikian, maka organisasi

akan banyak meninggalkan bentuk-bentuk integrasi vertikal, tetapi sebaliknya

lebih memiliki melakukan jaringan kerjasama dan integrasi jaringan suplai.

Perekat dari semua ini karena adanya “b2b” (internet-based business to-

business) jaringan komunikasi, dimana informasi mengalir melalui jaringan

internet (atau intranet) yang sangat cepat.

Munculnya kebutuhan pemimpin yang memiliki gaya “SuperLeadership”

lebih dikarenakan tuntutan kondisi para karyawan yang cenderung lebih

berdaya. Hal ini berarti para karyawan akan lebih diharapkan untuk lebih kreatif,

lebih mandiri, lebih mampu mengambil keputusan, atau lebih memiliki

kewenangan dibanding pada masa-masa sebelumnya. Dengan demikian para

karyawan lebih diharapkan untuk mampu memimpin dirinya sendiri

(SelfLeadership). Menurut Manz dan Sims (2001) SelfLeadership adalah

pencaharian yang luas mengenai strategi yang berfokus kepada perilaku,

pemikiran, dan perasaan yang digunakan untuk mempengaruhi dirinya sendiri.

SelfLeadership adalah apa yang orang lakukan untuk memimpin diri mereka

sendiri. Dalam pengertian lain SelfLeadership berfokus kepada diri sendiri yang

memungkinkan mereka untuk menentukan kembali mengenai kepengikutannya,

mereka diberikan otonomi dan tanggungjawab untuk mengawasi kehidupannya

sendiri.

153

Saat ini daya saing organisasi sangat dipengaruhi, oleh kepemilikan

organisasi terhadap “knowledge worker”, karena pada hakekatnya merekalah

yang dapat menciptakan atau mengkreasi pengetahuan yang bermuara kepada

munculnya inovasi-inovasi. Namun disadari bahwa kemampuan karyawan untuk

mengkreasi pengetahuan tidak serta merta dapat dengan mudah tercipta,

manakala mereka tidak diberi kondisi yang dapat mendukung aktivitas mereka.

Hal yang sangat dibutuhkan sebenarnya oleh karyawan adalah diberikannya

mereka kebebasan untuk berekspresi, berinisiatif, kreatif serta kewenangan yang

dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan bidang

tugasnya. Istilah ini dikenal dengan “empowerment”.

Lebih diberdayakannya para karyawan berimplikasi kepada adanya

kewenangan yang lebih besar kepada mereka untuk lebih mampu mengatur

dirinya sendiri dalam menjalankan tugas-tugasnya. Disinilah dibutuhkan peran

seorang pemimpin yang dapat mendorong para karyawan untuk dapat

memimpin diri mereka sendiri (Self-Leader). SelfLeader akan mendorong

karyawan lebih memiliki tanggungjawab dan otonomi untuk mengatur dirinya

sendiri. Lebih menfokuskan diri kepada strategi mempergunakan perilaku,

pemikiran dan perasaan untuk mempengaruhi dirinya sendiri. Pemimpin yang

mendorong karyawan untuk dapat menjadi SelfLeadership disebut sebagai

pemimpin yang memiliki gaya “SuperLeadership”.

Sumber : Hasil Kajian Politik dan Tata Pemerintahan, FIA – UB, 2011. Super

Leadership. Manz dan Sims. (1990)

• Manz dan Sims (1990). Super Leadership.