bab vii - pgmi uny kelas b | masuk … · web viewmengidentifikasi pilihan pribadi siswa untuk...
TRANSCRIPT
BAB VII. PENDEKATAN-PENDEKATAN HUMANISTIKDALAM PENGAJARAN
Preview 2
Fokus Pertanyaan ................................................................................................. 2
A. Psikologi Humanistik ...................................................................................... 2
1. Humanisme vs Pandangan- pandangan lain dalam Psikologi ..................... 32. Guru Humanistik ......................................................................................... 4
B. Teori Humanistik Rogers ............................................................................... 4
1. Istilah- istilah Pokok dalam Teori Rogers ................................................... 52. Debat Kontrol Perilaku: Rogers vs Skinner ................................................ 63. Prinsip- prinsip Teori Rogers ...................................................................... 74. Evaluasi Fenomenologi Rogers ...................................................................
10
C. Humanisme dalam Kelas
................................................................................ 11
1. Perubahan- perubahan Humanistik dalam Pendidikan ................................ 122. Perhatian- perhatian Umum dalam Pendidikan Humanistik ....................... 123. Metode- metode Instruksional Humanistik Umum ..................................... 13
D. Program- program Humanistik Khusus dalam Kelas
................................. 14
1. Pendidikan Konfluen (gabungan) ................................................................ 142. Program- pogram Pendidikan dan Klarifikasi Nilai- nilai ........................... 163. Kelas Terbuka .............................................................................................. 174. Gaya Belajar ................................................................................................ 185. Pembelajaran Kooperatif ............................................................................. 22
E. Beberapa Reaksi terhadap Pendidikan Humanistik .................................... 33
F. Konstruktivisme, Humanisme, dan Praktek- praktek Pengajaran Terbaik .......................................................... 35
G. Poin- poin Utama ............................................................................................. 37
1
P R E V I E W
Para Humanis menolak apa yang mereka lihat sebagai tekanan-tekanan mekanistik
dan dehumanisasi terhadap pendekatan-pendekatan tradisional dalam psikologi
pendidikan. Mereka menghimbau untuk mengadopsi sikap, konsep, dan pendekatan baru
dalam bidang ini. Dalam bab ini kita menguraikan karakteristik pokok dari pendekatan-
pendekatan Humanistik tentang pemahaman dalam pengajaran. Hal paling utama adalah
bahwa humanisme, behaviorisme, dan kognitifisme dapat saling dicocokkan. Para guru
dapat melakukan segala hal yang baik, yang mana humanisme menegaskan dan masih
menggunakan pengetahuan yang ditawarkan oleh pendekatan-pendekatan lain.
F O K U S P E R T A N Y A A N
Bagaimana Humanisme berbeda dari pendekatan - pendekatan lainnya?
Apakah prinsip- prinsip dari teori Carl Rogers?
Apa itu pendidikan Humanistik?
Apa yang dimaksud dengan kelas terbuka?
Apakah strategi- strategi utama dalam pembelajaran kooperatif?
A. P S I K O L O G I H U M A N I S T I K
Psikologi Humanistik berkenaan dengan keunikan, individualitas, humanitas dari
tiap pribadi. Di dalam banyak terminologi manusia, Humanisme didasarkan pada
pengamatan yang mendasar, walaupun kita mungkin menyerupai satu sama lain dalam
banyak hal, tapi masing-masing dari kita agak berbeda dari yang lain. Keunikan kita
adalah “diri” kita. Dan diri adalah konsep paling utama di dalam Psikologi Humanistik.
Psikologi Humanistik: salah satu cabang dari psikologi yang memberi perhatian utama terhadap pengembangan diri dan keunikan individu. Kadang-kadang dikenal sebagai psikologi kekuatan ketiga; selain dua kekuatan lain yaitu Behaviorisme dan Teori Freud.
2
Psikologi Humanistik mempunyai basis di dalam filsafat - khususnya dalam filsafat
eksistensial dari para penulis seperti Jean- Paul Sartre. ( Lihat Contat, 1974; Martin
Buber, 1958, 1965; dan Karl Jaspers, 1962, 1963.) Para ahli filsafat ini ingin tahu tentang
tujuan dan sifat serta eksistensi manusia (eksistensialisme). Mereka sangat memperhatikan
apa artinya menjadi manusia dan bagaimana manusia tumbuh dan mengekspresikan dirinya
pada setiap individu.
Eksistensialisme: Salah satu Perubahan filosofis yang dicirikan oleh suatu kesenangan akan eksistensi. Para ahli filsafat eksistensial sering menguraikan kondisi manusia yang berkenaan dengan penundaan, kesunyian, keputus-asaan, dan pengasingan. Perasaan-perasaan ini diasumsikan untuk bangkit dari ketiadaan pengetahuan tertentu kita tentang asal-asul dan hari akhir kita. Karenanya bernama eksistensialisme, merupakan kenyataan yang dapat dikenal yakni eksistensi.
1. Humanisme vs Pandangan- pandangan lain dalam Psikologi
Apakah ini juga berkenaan dengan psikologi Humanistik. Ini menjelaskan mengapa
para humanis tidak selalu bahagia dengan keasyikan dan perhatian terhadap ilmu
pengetahuan. Para humanis menyatakan dengan tegas, Ilmu pengetahuan cenderung
mendehumanisasi (tidak berprikemanusian) pada orang lain. Hal ini kurang dalam
penyamarataan dan generalisasi; nampaknya, hanya untuk yang bersifat umum dan dapat
diramalkan. Dan mengabaikan hal-hal yang bersifat pribadi dan individual serta yang unik.
Sebagian besar, karena secara historis hal ini telah bertentangan antara pendekatan-
pendekatan humanisme dan behavioristik atau kognitif. Pertentangan tersebut
merefleksikan orientasi- orientasi yang secara fundamental berbeda dalam hal sikap dan
keyakinannya terhadap manusia.
Singkatnya, apa yang ditolak oleh humanis adalah apa yang mereka lihat sebagai
orientasi teknologi terhadap pendekatan-pendekatan seperti behaviorisme. Dalam
formatnya yang paling ekstrim, orientasi teknologi ini menyatakan bahwa proses-proses
pengajaran tertentu bisa diidentifikasi, kalau yang digunakan tipe siswa yang satu untuk
jenis konten yang satu pula, akan memberikan hasil yang dapat diprediksi dalam
pencapaian yang spesifik, sebelumnya diidentifikasi, dan tujuan yang dimaksudkan sangat
jelas. Para humanis menolak dengan keras pada orientasi proses- produk ini. Seperti yang
Shulman (1986) amati, mereka melihat ini sebagai fokus yang terlalu bergantung pada
teknik- teknik yang ”harus” dipraktekkan oleh para guru dan terlalu banyak penekanan
pada hasil yang diukur dari proses pengajaran/ pembelajaran, terutama yang berkenaan
3
dengan perolehan test- test yang distandarisasi. Para humanis diingatkan bahwa
kesimpulan dan rekomendasi dari proses- penelitian produk telah sering digunakan oleh
otoritas-otoritas sekolah sebagai salah satu dasar untuk mengevaluasi sistem persekolahan,
para guru, dan pengajaran. Tekanan-tekanan tradisional pada gaya pengajaran dan hasil-
hasil pengajaran, (catatan Ornstein, 1993a), mengabaikan aspek Humanistik tentang
pengajaran.
2. Guru Humanistik
Pandangan Humanistik menekankan dua hal: keunikan murid dan sikap guru
terhadap para siswa. Karenanya, para guru Humanistik terutama sensitif pada
keanekaragaman di dalam kelas-kelas mereka. Sebagaimana catatan Bartolome (1994),
pengajaran Humanistik adalah sensitifitas secara kultural. Hal tersebut merupakan usaha-
usaha dan pengayaan untuk meningkatkan sejarah, kultur, dan perspektif- perspektif
berbeda dari para siswa secara individual. Dengan begitu, persiapan para guru Humanistik
harus memberikan banyak perhatian terhadap sikap dan kepercayaan guru seperti sekarang
ini diberikan pada pokok dan strategi instruksional (Patterson & Purkey, 1993).
Jika mengajar adalah seni dan ilmu pengetahuan – sebagaimana yang kita klaim
pada Bab I – para humanis berada pada sisi seni dan para behavioris berada pada sisi ilmu
pengetahuan. Dalam bab ini kita memperhatikan dua hal penting dan metode- metode
spesifik instruksional (satu yang didasarkan pada mode pembelajaran dan lainnya pada
pembelajaran kooperatif); masing-masing merefleksikan sebagian besar perhatian para
humanis terhadap individu dan pertumbuhan emosional tetapi masing-masing pada
dasarnya terkait dengan proses-proses dan produk-produk dari instruksi.
B. TEORI HUMANISTIK ROGERS
Sebagai bentuk pengenalan mengenai humanisme, awalnya kita lihat pada
ringkasan Carl Rogers yang berhubungan dengan personality dan behavior; kemudian kita
menguji beberapa pendekatan terhadap pendidikan yang mencerminkan orientasi
Humanistik. (diantaranya Rogers yang merupakan ahli teori paling berpengaruh di area ini;
Abraham Maslow, Humanis penting lainnya, akan dibahas dalam Bab 11.)
4
Carl Rogers awalnya adalah psikoterapis terkemuka. Perhatian utamanya adalah
pada pemahaman kepribadian manusia untuk memahami bagaimana hal itu bisa diubah,
bagaimana kebahagiaan hidup kembali dari kesedihan (Rogers: 1957). Teorinya muncul
sebagai reaksi terhadap pendekatan populer lainnya dalam terapi seperti Behaviorisme dan
teori Freud. Rogers merasakan betul bahwa pendekatan ini sedikit lebih jauh dari
humanisasi yang seharusnya mereka lakukan, catatan Becvar dan Becvar (1997).
Tulisan Rogers tidak didasarkan pada data objektif yang banyak sebagai jawaban
atas pertanyaan- pertanyaan tentang apa yang individu pikirkan tentang dunia. Bagaimana
perasaan mereka? Bagaimana hubungan mereka dengan yang lainnya? Kondisi apa yang
menjadikan mereka berubah? Teori Rogers berlanjut sampai pada pengaruh psikoterapi dan
konseling. Hal tersebut juga ditawarkan bagi para guru mengenai pendekatan berbeda
dalam komunikasi dengan siswa mereka. Dalam perkataan dari putri Rogers,
Natalie,”...Dia membuktikan dugaan bahwa keamanan, lingkungan yang mendukung
masing-masing orang (termasuk anak-anak) terhadap alur diri, penemuan, penghargaan dan
diarahkan pada belajar " ( Rogers & Freiberg, 1994, p. iii).
1. Istilah-Istilah Utama dalam Teori Rogers
Terminologi berbeda digunakan untuk menguraikan berbagai penekanan dari teori
Rogers. Label yang biasanya digunakan, client- centered therapy (juga person- centered
therapy), menguraikan beberapa aspek sistem. Ini menandai, pertama, bahwa teori adalah
satu terapi; yaitu, dirancang berguna bagi konselor yang berhubungan dengan
permasalahan emosional dan tingkah laku. Kedua, label ini menyoroti perbedaan utama
pendekatan ini dengan pendekatan lain dalam konseling, yakni, ini menunjukkan bahwa
prosedur-prosedur konseling berputar di sekitar setiap individu. Hal itu mengusulkan
client- centered berlawanan dengan terapi direktif. Peran konselor dalam terapi client-
centered tidak ditekankan; Ahli terapi, memberi nasihat atau pemecahan permasalahan
klien, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga klien sendiri yang menggambarkan
permasalahan mereka, bereaksi kepada mereka, dan bertindak terhadap solusi mereka.
(Proses ini sebenarnya lebih kompleks dibandingkan yang nampak dari pernyataan-
pernyataan terdahulu; lihat Rogers, 1951, 1957.)
Terapi c1ient- centered: tipe tentang hubungan pasien - konselor. Konselor (terapis atau psikiatris) tidak secara direktif menceritakan klien bagaimana mereka perlu bertindak melainkan mencoba untuk mengijinkan
5
pasien untuk mengekspresikan diri mereka dan menemukan cara mereka sendiri dengan perilaku mereka sendiri. Pendekatan terapi ini secara umum berbandingan dengan terapi direktif. Diistilahkan juga terapi person- centered. Konseling: Tindakan memberi nasihat. Terapi direktif: tipe tentang hubungan klien – konselor dimana konselor bertanggung jawab utama untuk mengarahkan perilaku klien.
Istilah umum yang kedua dalam teori Rogers adalah fenomenologi, satu istilah yang
menandakan perhatian terhadap dunia yang dirasa oleh individu, bukannya apa dunia itu
sebenarnya. Para guru dan konselor tidak mengetahui betul pribadi setiap individu, dunia
secara fenomenologi, catatan Rogers. Tetapi menjadi efektif, yakni mereka harus mencoba
memahami. Maka, empati adalah karakterteristik penting dari pendidik humanistik
manapun (Bozarth, 1997).
Fenomenologi: pendekatan yang terkait utama dengan bagaimana individu memandang dunia mereka sendiri. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap individu merasa dan bereaksi terhadap dunia dalam suatu cara yang unik dan ini merupakan fenomenologi pandangan dunia adalah penting untuk memahami perilaku individu.
Label Rogers yang ketiga adalah humanisme. Humanisme dalam literatur, filosofi,
dan psikologi menurut sejarah terkait dengan nilai manusia, individualitas, dan hak setiap
individu untuk menentukan tindakannya. Maka, pengembangan potensi manusia cenderung
dinilai tinggi, sedangkan pencapaian tujuan materi tidak ditekankan. Dengan begitu,
Rogers menguraikan aktualisasi diri sebagai akhir dari semua yang manusia kerjakan.
Dorongannya terhadap terapi client- centered juga dapat dipertukarkan dengan penekanan
para humanis dalam determinasi pribadi. Sesungguhnya, pertanyaan tentang determinasi
pribadi berlawanan dengan kontrol eksternal, bersamaan dengan pertimbangan
permasalahan secara praktis dan etis tentang penerapan pengetahuan behavior, sebagai
subjek debat terkenal antara Rogers dan Skinner (1956).
Humanisme: Satu orientasi psikologis dan filosofis terutama terkait dengan humanitas - yaitu, nilai- nilai sebagai individu dan proses- proses yang dipertimbangkan untuk membuat kita lebih manusiawi. Aktualisasi diri: Proses atau tindakan menjadi dirinya, pengembangan kemampuan diri, keberhasilan seseorang sebagai kesadaran dari identitas seseorang; pemenuhan diri. Istilah ini adalah inti dari psikologi Humanistik.
2. Debat Kontrol Perilaku: Rogers vs Skinner
Isu utama dalam debat ini menekankan tentang aplikasi teknik kontrol behavior
untuk kontrol pribadi dalam kelompok sosial, untuk prosedur pendidikan, dan untuk
pemerintahan. Skinner mengekspresikan perhatiannya bahwa gagasan dan prosedur
6
nonscientific mengaburkan pikiran kita tentang tentang tingkah laku manusia. Ia
membantah keras penerapan ilmiah secara terbuka, teknik-teknik behavioristik, dari
kontrol positif ke arah perbaikan masyarakat - dan pada waktu yang sama, menunda
banyak teknik-teknik kontrol berlawanan yang begitu luas digunakan. ( Topik-topik ini
adalah basis dari novelnya 1948, Walden II, masyarakat fiktif berkembang melalui aplikasi
teknologi tingkah laku.)
Tetapi, klaim Rogers, Skinner meremehkan masalah kekuatan dengan membuat
asumsi salah dari teknik pengawasan sosial yang akan digunakan dalam masyarakat. Lebih
lanjut, Skinner gagal menetapkan siapa yang akan mengontrol masyarakat, siapa yang akan
dikontrol, dan apa tujuan untuk teknologi behavior sebenarnya. Rogers membubarkan
klaimnya skinner bahwa jika para ilmuwan behavior mengadakan percobaan dengan
masyarakat, ”secepatnya praktek-praktek yang membuat kekuatan terbesar kelompok
biologi dan psikologi kiranya akan bertahan" (Skinner, 1955, p. 549). Sebagai gantinya
Rogers membantah bahwa tujuan masyarakat harus terkait terutama dengan proses
”menjadi,” menuju keberhasilan nilai dan martabat, menjadi kreatif - singkatnya, dengan
proses aktualisasi diri.
Debat ini memecahkan tidak ada isu; Itu hanya menunjukkan konflik pokok antara
mereka yang menyukai kontrol manusia (untuk keuntungan kita) melalui aplikasi bijaksana
pengetahuan behavior dan mereka yang percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak seharusnya
digunakan untuk perubahan atau mengontrol kita tetapi hanya meningkatkan kapasitas kita
untuk mengontrol dan determinasi diri sendiri.
3. Prinsip-Prinsip Teori Rogers
Di Dalam Bab 11 dari terapi Client-Centered (1951), Rogers menyajikan tanggung
jawab yang terintegrasi dari posisinya dalam wujud 19 dalil (lihat juga Rogers, 1992,
cetakan ulang dari artikel 1957). Kebanyakan gagasan berlanjut sampai hari ini yang
mendasari praktek-praktek konseling Rogers dan aplikasi Humanistik bagi pendidikan
(Kirschenbaum, 1991). Gagasan paling utama yang diringkas disini (lihat juga Tabel 7.1).
Pemahaman prinsip ini penting untuk pemahaman dasar dalam berbagai pendekatan
sampai pendidikan Humanistik diuraikan kemudian dalam bab ini.
Dunia kita adalah Tersendiri, Fenomenologis. Salah satu pernyataan tegas yang
paling fundamental dari para ahli fenomenologi adalah bahwa setiap individu
7
adalah pusat pengalaman pribadi menuju perubahan dunia secara terus- menerus.
Hal ini untuk mengenali dua fitur fungsi manusia yang penting untuk guru.
Pertama, itu berimplikasi bagi siapapun, aspek penting lingkungan adalah pribadi.
Kedua, prinsip ini menyarankan tidak hanya bahwa fenomenologi dunia bagi
indvidu adalah bersifat pribadi tetapi juga bahwa itu tidak pernah sepenuhnya
dikenal oleh yang lain. Pertimbangkan, sebagai contoh, keluhan sederhana anak
pada ibunya setelah bangun dari mimpi buruk: " Mama, saya takut." Ketakutan
anak menyatakan adalah satu aspek penting dan nyata dari dunianya, dan ibu nya
boleh menggunakan memori ketakutan masa lampaunya untuk membayangkan apa
yang dirasakan anaknya. Tetapi dia tidak mengetahui betul ketakutan anaknya.
Fenomenologi dunia tidak pernah dapat dibagi bersama secara penuh.
Kepercayaan implisit dalam prinsip pertama ini - secara rinci berarti pribadi dan
tidak bisa secara penuh dibagi – merupakan pusat bagi pendekatan konstruktifistik
bagi pendidikan.
Tabel 7.1: Karakteristik Utama dari Kepribadian Manusia menurut Rogers (1951)
Prinsip Klarifikasi1. Dunia kita adalah privasi;
kenyataan adalah fenomenologikal
2. Perilaku dapat dipahami hanya dari segi pandangan individual
3. Tujuan dari eksistensi manusia
adalah aktualisasi diri
4. Kita membangun diri kita sendiri.
Aspek penting dari kenyataan ditemukan dalam pengalaman dunia pribadi. Kenyataan kemudian dengan sepenuhnya bersifat Indidualistik. Mereka dapat dirasakan tetapi tidak diketahui orang lain
Pengalaman pribadi kita menentukan realitas kita. Karena perilaku terjadi dalam konteks realitas personal, cara terbaik untuk memahami perilaku seseorang adalah mencoba untuk mengadopsi pandangannya; karenanya, humanisme menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan empati
Masing-masing dari kita mempunyai tendensi dasar untuk bekerja keras secara komplit, sehat, kompetensi individu melalui suatu proses yang ditandai oleh penguasaan diri, pengaturan diri, otonomi
Kita menemukan siapa diri kita pada dasarnya dari pengalaman, kepercayaan dan nilai bahwa kita menyertakan kedalam konsep diri kita dari informasi yang disajikan oleh orang-orang yang berkomunikasi kepada kita tentang apakah kita
8
5. Perilaku-perilaku konsisten dengan ide atau gagasan diri.
Secara umum, kita memilih perilaku-perilaku yang tidak kontradiksi dengan siapa dan apa yang kita pikir tentang kita
Pendekatan Konstruktivis: label umum untuk metode instruksional adalah learner- centered dan merefleksikan kepercayaan bahwa informasi yang bermakna dikonstruksi oleh para siswa dibandingkan yang diberikan ke mereka. Seringkali dibandingkan dengan direct instruction, pendekatan konstruktivis direfleksikan dalam discovery learning, masa magang teori, dan pendekatan Humanistik dalam mengajar.
Perilaku dapat dipahami hanya dari Perspektif Individual. Kita bereaksi
terhadap dunia sebagaimana yang kita alami dan rasakan; itu kenyataan. Apa yang
kita rasakan, dilabelkan phenomenal field, menyusun kesadaran dengan segera. Dan
karena bidang ini digambarkan dalam pengalaman pribadi individu, kenyataan juga
adalah privasi. Oleh karena itu, kenyataan bagi seseorang bukanlah kenyataan bagi
yang lainnya. Seorang siswa yang menyukai gurunya, bukan masalah bagaimana
guru itu bagi para siswa lainnya, sudahkah seorang guru menyenangkan dalam
phenomenal field - dan perilakunya terhadap gurunya akan merefleksikan
kenyataan. Inilah alasan mengapa penting untuk seorang guru memahami bahwa
para siswa merasa dunia mereka dengan cara berbeda. Jika para guru lebih dekat
memahami siswa mereka, mereka harus mencoba untuk mengadopsi pandangan
mereka. Ini bukanlah kejadian dimana guru yang nampaknya memahami siswa
yang terbaik adalah seringkali digambarkan sebagai empathetic (mampu merasakan
bagaimana perasaan orang lain). Sesungguhnya, empati adalah salah satu
karakteristik paling utama dari kesuksesan terapis Rogers (Parse, 1998).
Bidang fenomenal: merasakan, persepsi, dan kesadaran bahwa setiap individu telah diberikan di setiap moment.
Tujuan dari Eksistensi Manusia adalah Aktualisasi Diri.
Salah satu cara untuk mendefinisikan Aktualisasi Diri adalah harus mengatakan
bahwa hal itu melibatkan apapun juga melalui aktivitas yang ditentukan sendiri
(Maslow, 1970). Dengan kata lain, untuk diaktualisasikan harus menjadi aktual atau
nyata, untuk mengembangkan kemampuan diri.
9
Rogers menjelaskan, Aktualisasi Diri, merupakan proses directional dalam dua
pengertian: Pertama, hal itu menuju ke arah pengembangan, peningkatan
kompetensi, kelangsungan hidup, reproduksi, dan seterusnya.
Secara ringkas, Rogers percaya bahwa manusia mempunyai bagian dalam diri
(inner), pengarahan untuk fungsi pengembangan diri, kompetensi , dan kreatif. Hal
ini adalah dasar untuk memahami pandangan humanis dari orang-orang sebagai
sesuatu esensi bagus dan selamanya bekerja keras ke arah status yang lebih baik.
Kita Membangun Diri Kita Sendiri.
Dua sumber informasi penting yang berhubungan dengan pengembangan diri.
Pertama adalah pengalaman langsung anak- anak – pengalaman menjadi yang
dicintai dan diinginkan dan perasaan baik sebagai hasilnya, pengalaman-
pengalaman menyakitkan konsekuensi perwujudannya adalah diri kita tidak suka
disakiti. Pengalaman-pengalaman ini langsung mendorong kearah pengembangan
kesadaran diri.
Anak- anak juga mengalami kejadian tidak langsung dengan diri mereka, sering
dengan berbagai hal yang diberitahu ("Kamu begitu cerdas, Guy. Anak yang baik").
Pengalaman ini menyokong juga untuk pengembangan diri. Pengalaman seperti ini
melatih dugaan positif diri. Tetapi umpan balik negatif (seperti nilai kelas yang
rendah atau suara galak orang- orang ketika kamu mengatakan sesuatu, seperti
”punyaku, punyaku, lihat hidung anak kambing itu, maukah anda!”) dapat
mendorong kearah konsep diri negatif.
4. Evaluasi Fenomenologi Rogers
Banyak aspek penting dari pandangan-pandangan Rogers dari behavior nampaknya
benar. Ini nampak jelas bahwa masing-masing individu merasa dunia dalam satu cara yang
tidak dialami orang lain. Ini juga nampak jelas, untuk memahami yang lain, mungkin saja
berguna untuk mengadopsi pandangan mereka. Bagaimanapun, beberapa aspek dari dalil-
dalil ini tidak begitu jelas. Khususnya, makna istilah aktualisasi diri tidak selalu jelas.
Pendekatan Rogers adalah jelas subjektif dan tidak sangat ilmiah. Yaitu, tidak
didasarkan pada penelitian seksama. Meskipun demikian, berjasa untuk kemajuan ilmu
pengetahuan bisa dipertimbangkan; sangat bersifat spekulatif kadang-kadang menghasilkan
10
gagasan penuh keberhasilan. Teori ini telah dipunyai, dan berlanjut, berdampak luar biasa
terhadap konseling dan pengajaran (Ryan, Hawkins, & Russell, 1992; Parse, 1998).
Sebagai salah satu alternatif terhadap teknologi Behavioristik Skinner, Rogers
mengusulkan lima model untuk mengontrol perilaku manusia (Rogers & Skinner, 1956, pp.
1063-1064):
Hal ini memungkinkan kita memilih untuk menilai humanitas sebagai proses
aktualisasi diri – dan juga menghargai kreativitas dan proses kita memperoleh
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dapat membantu kita untuk menemukan kondisi yang didorong
kearah pengembangan proses dan dapat menyediakan cara yang lebih baik menuju
keberhasilan.
Hal ini memungkinkan individu atau kelompok membentuk kondisi untuk
pertumbuhan tanpa memilih kekuatan kontrol eksternal. Pengetahuan yang ada
menyatakan bahwa satu- satunya otoritas para guru memerlukan otoritas untuk
menetapkan kualitas tertentu dari hubungan antar pribadi.
Individu menunjukkan ke kondisi-kondisi ini menjadi lebih bertanggung jawab,
mendapat kemajuan dalam aktualisasi diri, dan menjadi lebih fleksibel dan lebih
adaptif kreatif.
Pilihan nilai-nilai Humanistik ini akan mendorong kepermulaan sistem sosial dimana
nilai-nilai, pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan adaptip, dan bahkan konsep ilmu
pengetahuan akan secara terus menerus berubah dan tumbuh.
C. H U M A N I S M E D A L A M K E L A S
Para humanis seperti Rogers dan Maslow, sejalan dengan kepercayaan dasar
mereka, menyajikan student- centered teaching (lihat juga Combs, 1988, 1990).
Pengajaran student-centered mendukung satu filosofi pengajaran dimana para siswa diberi
satu peran penting dalam keputusan-keputusan kurikulum. Pengajaran mendukung para
guru harus menjadi fasilitator daripada menjadi instruktur-instruktur didaktis, agar berhasil
menjadi fasilitator pemebelajaran, mereka harus dilatih; terlatih untuk sensitif, peduli, asli,
dan empati. Dengan kata lain, para pendidik Humanistik lebih mungkin untuk menyertakan
konstruktivis kelas dibanding instruksi langsung dalam kelas.
11
1. Perubahan-Perubahan Humanistik dalam Pendidikan
Perubahan Humanistik didalam pendidikan diwakili oleh berbagai alternatif
pendekatan pendidikan yang gunakan seperti ”sekolah cuma-cuma,” ”kelas terbuka,”
”proses pendidikan," dan"pendidikan yang terpusat pada masyarakat." Dasar pemikiran
metode ini didasarkan pada satu perhatian terhadap kesejahteraan anak-anak - dan
mempercayai bahwa pendekatan Humanistik lebih baik untuk kesejahteraan mereka.
Dengan begitu, deskripsi Dennison (1969) dari suatu alternatif pendidikan yang diterima di
sekolah tradisional, ia berbicara tentang efek keuntungan didalamnya dari alternatif itu bagi
kehidupan para siswa. Ia juga mengkritik (dengan sangat sopan), disiplin militer, jadwal-
jadwal, hukuman-hukuman dan penghargaan-penghargaan, ”standardisasi” pendekatan
lebih konvensional (p. 9). Dalam bukunya, seperti banyak buku yang serupa, didalamnya
bukan kritik dari metode pendidikan yang ada tetapi lebih pada usaha untuk menguraikan
satu pendekatan yang mungkin lebih baik: ”Tidak usah menambah kritik dari sekolah
negeri kita," Dennison menginformasikan pada kita. " Kritik adalah luas dan bisa lebih
ditingkatkan ” ( p. 3).
Tujuan dan perhatian dari pendidikan Humanistik dan mereka yang sekolah-
sekolah tradisional adalah pada dasarnya dapat dipertukarkan. Pendekatan Humanistik
mengejar komunikasi penuh arti, explorasi-explorasi berharga, dan efek pengembangan
mempengaruhi diri. Tantangan untuk guru Humanistik adalah meninggalkan sesuatu yang
ideal dalam konteks situasi kelas tradisional.
2. Perhatian- perhatian Umum dalam Pendidikan Humanistik
Pendekatan Humanistik dalam pendidikan sangat bervariasi, tetapi mereka berbagi
pada beberapa perhatian umum. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 7.2Perhatian- perhatian Umum dalam Pendidikan Humanistik
EMPHASIS PRACTICAL IMPLICATION1. Pengaruh
2. Konsep Diri
Sekolah menempatkan perhatian lebih besar dalam pikiran dan rasa dan lebih sedikit pada informasi yang didapat.
Salah satu dari tujuan pendidikan paling utama adalah
12
3. Komunikasi
4. Nilai Personal
pengembangan konsep diri yang positif pada anak-anak.
Para guru memperhatikan perkembangan hubungan antar manusia dan komunikasi antar pribadi yang jujur. Sekolah mengenali pentingnya nilai-nilai pribadi dan mencoba untuk memfasilitasi pengembangan nilai-nilai positif.
Salah satu penekanan akhir yang diberikan oleh pendekatan Humanistik adalah
pengenalan dan pengembangan nilai-nilai pribadi. Para siswa didukung untuk mengetahui
diri mereka dan mengekspresikan diri mereka untuk bekerja keras merasakan identitas diri,
dan untuk menyadari potensi mereka.
3. Metode- metode Instruksional Humanistik Umum
Di dalam kelompok, para siswa dapat mengekspresikan perasaan- perasaan mereka
lebih terbuka, untuk menemukan dan memperjelas perasaan tersebut, untuk mengeksplor
hubungan antar pribadi, dan untuk mengartikulasikan sistem nilai pribadi mereka. Berbagai
permainan komunikasi yang bervariasi dapat meningkatkan keterbukaan dan keaslian dari
hubungan antar pribadi. Peran permainan juga menawarkan cara untuk mengeksplor emosi
dan hubungan dengan manusia.
Barangkali itu kontribusi paling utama dalam Humanistik yang membuat para guru
mempersiapkan sikap- sikap dibanding metoda-metoda. Para pendidik Humanistik bekerja
keras menuju sikap yang benar, ke arah komunikasi yang efektif dan terbuka, dan ke arah
keaslian, empati, dan keramahan.
Tetapi ini istilah yang samar- samar, dan ketidakjelasan tersebut bukanlah apa yang
kita butuhkan; kita memerlukan metode- metode dan contoh- contoh. Sebab tidak peduli
bagaimana menarik dan meyakinkannya argumentasi humanisasi dalam proses belajar –
mengajar, jika mereka meninggalkan strategi dan metode- metode, kita boleh
mengabaikannya. Pertumbuhan kelompok: Satu label umum untuk pendekatan proses kelompok dalam terapi dan kadang-kadang sampai pada instruksi. Secara khas melibatkan penggunaan dari teknik yang dirancang untuk membantu perkembangan komunikasi, keterbukaan, penemuan pribadi, berbagi, resolusi konflik, dan seterusnya, biasanya dibentuk dalam kelompok kecil. Diistilahkan juga sebagai sensitivity group atau encounter group.
13
D. PROGRAM-PROGRAM HUMANISTIK KHUSUS DALAM KELAS
Sekolah dan anak-anak tidak selalu bersamaan baik. Sebagai hasilnya, pengalaman
di sekolah tidak membahagiakan dan tidak efektif untuk semua anak. Sebagaimana Hess
dan Azuma (l99l) mencatat:
Walaupun pembelajaran adalah proses sekolah yang alamiah adalah bukan secara alami memungkinkan dalam belajar. Anak-anak wajib hadir; mereka hanya mempunyai sedikit pilihan dalam kurikulum yang mana nilai- nilai boleh jadi tidak muncul; mereka harus membagi waktu gurunya dan yang lainnya dengan panutan; teman sekelas berbeda satu sama lain dalam hal pengalaman dan kemampuan, memerlukan banyak di antara mereka untuk berhubungan dengan tempo instruksional yang tidak disesuaikan dengan minat dan persiapan mereka; dan mereka diatur oleh aturan tentang tindakan pribadi seperti berbicara, kegelisahan, dan hadir untuk kebutuhan-kebutuhan fisik. Singkatnya, sekolah tidak mudah dioperasikan (p. 2).
Berbagai kultur bereaksi dengan cara yang berbeda antara para siswa dan sekolah.
Kultur Jepang, klaim Hess dan Azuma (1991), adalah hampir bisa meyakinkan bahwa para
siswa berubah untuk menyesuaikan diri dengan permintaan sistem. Sebaliknya, kultur
Amerika Utara lebih untuk mencoba membuat perubahan di dalam sistem untuk
menyesuaikan diri dengan keinginan dan harapan siswa. Walaupun demikian, kebanyakan
kelas di Amerika Utara adalah apa yang kita sebut dengan istilah tradisional - yaitu,
mereka sangat mirip dengan ”user- unfriendly” yang digambarkan oleh sekolah yang
diuraikan oleh Hess dan Azuma.
Tetapi ada pilihan lain dan itulah yang ada dalam bab ini. Di bagian yang berikut,
kita memperhatikan beberapa alternatif pendidikan tradisional: pendidikan konfluen, usaha
untuk mengintegrasikan pengamatan dan pengaruh (emosi); pendidikan nilai- nilai dan
klarifikasi nilai-nilai, yang mempunyai kaitan dengan pengembangan moral anak;
pendidikan terbuka, berfokus pada pengembangan afektif siswa; pendekatan model
belajar, seperti halnya belajar kooperatif, kedua-duanya dikendalikan oleh perhatian
humanisme untuk tiap individu, tetapi kedua-duanya juga mempertahankan lebih banyak
penekanan pada akademik dan pertumbuhan kognitif.
1. Pendidikan Konfluen (Gabungan)
14
Pendidikan konfluen, satu reaksi sangat Humanistik melawan pendidikan
tradisional, menguraikan orientasi pendidikan yang mencoba mengintegrasi (mencapai arus
secara bersama-sama, atau konfluen) aspek kognitif dan afektif dari belajar- mengajar.
Tetapi karena pendidikan tradisional menjadi sangat jelas diarahkan ke hal kognitif,
pendidikan konfluen cenderung menekankan aspek afektif dari pendidikan.
Pendidikan konfluen terbaik diuraikan dalam hal tekanan utama dan sikap-sikap,
dibandingkan dalam hal metode pengajaran spesifik. Di antara sikap paling utama adalah
berikut ini (Shapiro, 1998, pp. 11-13):
a. Proses orientasi: ”apa” pembelajaran (yaitu, hasil belajar) terlihat jauh kurang penting
daripada ”bagaimana.” Para siswa didukung untuk berpikir dan memperbincangkan
tentang bagaimana mereka merasakan dan tentang proses yang mereka pelajari.
b. Penekanan pada determinasi diri: otonomi, pengarahan diri, dan evaluasi diri yang
menempatkan pembelajaran teacher- directed dan evalusi.
c. Penyimpangan afektif: Merasakan dan pengalaman pribadi diberikan pilihan abstrak,
objektif, pendekatan impersonal.
d. Dorongan inovasi: pendidikan konfluen mengarah pada antiotoritas. Ini diarahkan ke
arah perubahan.
e. Pertumbuhan pribadi: Penekanan pada pengembangan tiap individu, dibandingkan pada
penguasaan subjek masalah.
f. Individualisme: Pendidikan konfluen menekankan keunikan dan determinasi diri dari
setiap orang.
Refleksi tersebut merupakan hal penting sebagai perhatian humanisme. Pada
dasarnya humanisme mengenali dan mendorong pengembangan potensi manusia sebisa
mungkin. Hal ini tidak aneh, karena pendidikan konfluen menguraikannya sebagai
metodologi penting dalam perubahan potensi manusia.
Pendidikan konfluen dimulai dengan tulisan George Brown (lihat, sebagai contoh,
Brown, 1971), dan secepatnya menjadi bagian integral dari pelatihan guru pada beberapa
universitas (sebagai contoh, Universitas California di Santa Rarbara) (Shapiro, 1998).
Tetapi, catatan Shapiro (1997), penekanan pendidikan tradisional yang diberi hal kognitif,
program pendidikan konfluen telah menjadi program ”marginal” yang beroperasi dalam
lingkungan berbeda. Sebagai hasilnya, pada skala yang relatif lebih luas, program
pendidikan konfluen masih eksis, walaupun ada beberapa program pada skala yang lebih
15
kecil. Sebagai contoh, Peloquin (1996) menguraikan terapi konfluen secara visual dan seni
sastra digunakan untuk mendorong para siswa menguji pikiran dan perasaan mereka.
Dengan cara yang sama, Shapiro (1995a, b, c) menguraikan bagaimana program
pendidikan konfluen dapat digunakan pada pendidikan siswa pascasarjana. Pendidikan konfluen: salah satu pendekatan sangat Humanistik yang mencoba mengintegrasikan aspek afektif dan kognitif dalam belajar- mengajar; kadang-kadang diuraikan sebagai bagian dari perubahan potensi manusia. Perubahan potensi manusia: label yang dulu biasanya kadang- kadang menguraikan kombinasi pendekatan dalam pendidikan. terapi, dan profesi lain yang membantu yang berasal dari orientasi Humanistik dan merefleksikan tujuan dari setiap usaha yang seharusnya membantu perkembangan tiap individu secara penuh.
2. Program- program Pendidikan dan Klarifikasi Nilai- nilai
Ketika guru, baik dalam latihan dan praktek, ditanya apakah mereka pikir nilai-nilai
harus diajar di dalam sekolah, 95 persen mereka mengatakan dengan tegas, ” ya” (Zern,
1997). Namun pengajaran nilai secara sistematis di sekolah sangat kontroversial. Banyak
orang yakin bahwa rumah (dan gereja) perlu menyampaikan nilai-nilai - dan sekolah perlu
mengajarkannya. Dengan jelas para humanis – dan lainnya yang tidak melihat diri mereka
sebagai humanis - tidak setuju.
Tetapi apakah anda dengan bebas mengajar nilai-nilai dalam kelas, kamu akan,
paling sedikit, merefleksikan kepercayaan mendasar tentang benar dan salah. Dan tentang
hal paling mendasar dari kepercayaan ini, kebanyakan ditemukan sedikit perselisihan.
Skurtz (1997) mengungkapkan itu, kita setuju pada ”kesopanan moral umum. ”Ini meliputi
kebaikan seperti integritas, kebajikan, keadilan, dan nilai kebenaran. Dengan begitu, ketika
Zern (1997) bertanya pada para guru apakah nilai-nilai harus diajar di sekolah, 75 persen
atau lebih, menyetujui bahwa tanggung jawab, rasa hormat, kejujuran, kepedulian, nilai
kebenaran, dan keadilan, seharusnya nilai- nilai yang diajarkan (lihat Gambar 7.1).
Tabel 7.1.Persentase guru yang setuju bahwa nilai seharusnya diajarkan disekolah
16
Pendidikan nilai dilihat pada program-program dengan bebas merancang untuk mengajar
nilai-nilai di dalam sekolah. Program-program klarifikasi nilai-nilai dirancang tidak
semata-mata untuk menyampaikan nilai-nilai seperti mendorong para siswa untuk aktif
mencerminkan apa yang mereka pikir dan percaya tentang berbagai hal spesifik dari etika
dan moral. Pendidikan nilai-nilai dan program klarifikasi sering dihubungkan dengan
pengembangan moralitas, atau apa yang kadang-kadang disebut ”karakter” ( lihat, sebagai
contoh, Colby, James, & Hart, 1998). Program ini juga sering dihubungkan dengan
pendidikan kurikulum atau pendidikan kesehatan dan merefleksikan usaha untuk
menyampaikan nilai-nilai ekologis (Fien, 1997).
Berbagai teknik telah sukses digunakan di sekolah-sekolah untuk mengajarkan
moralitas dan nilai-nilai. Sebagai contoh, mendiskusikan dilema moral dan evaluasi
implikasi etis perilaku kadang-kadang meningkatkan sensitivitas moral dan perilaku
(Damon & Colby, 1987). Dengan cara yang sama, Stoll dan Beller (1993) melaporkan
bahwa berbagai pendekatan, termasuk situasi peranan menyertakan dilema moral, prosedur
modeling, dan pengajaran langsung, sukses dalam menyempurnakan perubahan perilaku
suatu kelompok atlit-atlit siswa di atas periode tiga tahun (dibuktikan oleh satu
kemunduran dalam berkelahi, meningkatkan perilaku kelas, dan bahkan perubahan
tingkatan). Dan Hart (1998) menyatakan bahwa penggunaan prototipe-prototipe (model-
model fiktif atau riil dari perilaku moral) dapat mendorong kearah pengertian yang lebih
mendalam tentang moralitas.Strategi dan program instruksional pendidikan nilai-nilai dirancang untuk mengajar nilai-nilai spesifik (dugaan benar dan salah), dengan demikian Mempromosikan perilaku baik dan mengembang;kan “ Karakter” baik. Program klarifikasi nilai-nilai: program yang dirancang untuk mendorong pelajar menguji kepercayaan tentang benar dan salah, dengan maksud untuk meningkatkan dan menjelaskan kesadaran akan moralitas mereka sendiri.
17
3. Kelas Terbuka
Kelas terbuka berbeda dengan kelas tradisional dalam suatu variasi penting.
Pertama, tujuan pokok dari pendidikan terbuka - secara rinci, pertumbuhan individu,
pemikiran kritis, kepercayaan pada diri sendiri, kerjasama, dan komitmen untuk belajar
sepanjang hidup - adalah bukan tujuan yang biasanya dicari dalam kelas tradisional (Eshel
& Klein, 1995). Kedua, dalam pendidikan terbuka, hal paling utama adalah siswa, bukan
guru. Dan ketiga, kelas terbuka tidak secara khas bertahan pada kurikulum yang terikat
sama, age- locked, sistem grade- locked yang merupakan type sekolah tradisional tetapi
jauh lebih sedikit formal.
Minat akan pendidikan terbuka barangkali yang terbaik disampaikan oleh uraian
Dennison dari suatu kelas terbuka. Ia menguraikan suatu pendekatan yang menekankan
student- centered dan intensif tetapi membiarkan kontak guru- siswa (dibuat mungkin
dalam contoh rasio yang sangat rendah antara guru- murid).
Pendekatan ini tidak menekankan jadwal – mengikuti dugaan Rousseau saat itu yang tidak
bermaksud dijaga tetapi dihilangkan (Dennison, 1969, p. 13), filosofi pendidikan terbuka,
seperti yang diekspresikan Dennison, yang mana sekolah harus terkait dengan kehidupan
anak dibanding dengan pendidikan dalam arti sempit yang menghapuskan kelas
konvensional rutin dapat mendorong kearah pengertian mendalam tentang peranan emosi
dan kondisi manusia lainnya, dan sekolah dasar merupakan hal sangat sederhana sekali
ketika dipindahkan dari ”pemusatan yang tidak dapat dilaksanakan dan keinginan
mengontrol yang menyebar keseluruh bagian institusi birokratis ( p.9).
Lebih menariknya, banyak yang mengevaluasi pendidikan terbuka dan
dibandingkan dengan pendekatan tradisional menemukan bahwa pendidikan terbuka efektif
dalam mencapai tujuan utamanya. Sebagai contoh, para siswa diekspos ke kelas-kelas
terbuka yang lebih bebas (Eshel & Grosberger, 1993) dan lebih kreatif (Houtz, 1990).
Bagaimanapun, keuntungan pada umumnya atas pencapaian prestasi akademik seperti yang
digambarkan ke dalam ukuran-ukuran yang lebih tradisional. Dan, diberi satu zeitgeist
yang nampak untuk menekankan prestasi akademis, sistem pelajaran terbuka adalah bukan
sangat populer sekarang (Rothenberg, 1989). Pendidikan terbuka alternatif student- centered pada pendidikan tradisional yang menekankan pertumbuhan pribadi, kemerdekaan, dan kerjasama dan tidak terikat dengan kurikulum, age- locked, sistem grade- locked yang merupakan type sekolah tradisional. Diistilahkan juga sebagai kelas terbuka. Pendidikan jarak jauh: Satu sistem pendidikan hantaran yang melibatkan setidaknya sedikit kontak face-to-face tetapi materi instruksional diperkenalkan dari jauh, sering menggunakan satu atau lebih kombinasi
18
komputer, fasilitas networking elektronik, telepon conferencing, pemancar-pemancar, radio, televisi, film, rekaman videocassette, atau media komunikasi lain.
4. Gaya Belajar
Bila mendiskusikan pendidikan tradisional, Dunn dan Griggs mengklaim: " Sistem
bekerja baik bagi sebagian orang, tetapi bukan untuk orang lain" ( 1988, p. 1). Mengapa?
Karena, Dunn dan Griggs menjelaskan, beberapa siswa tidak belajar baik pada pagi hari
tetapi mereka sangat bagus pada sore hari. Beberapa orang bekerja bagus pada lingkungan
terang dan ribut tetapi yang lainnya bekerja bagus pada lingkungan yang tenang dan tidak
begitu terang. Singkatnya, setiap siswa memiliki model belajar yang pribadi dan unik
sesuai dengan karakteristik kepribadian (Sadler-Smith,1997).
Sayangnya, sekolah-sekolah tradisional tidak sering mengambil gaya-gaya
pelajaran individu. Sebagai hasilnya, mereka memberi penghargaan pada para siswa yang
melakukan apa yang dirancang oleh sekolah tradisional. Mereka merespon yang terbaik
sampai stimuli visual yang dirasakan wajib mendengarkan sama halnya ketika mereka
mendengarkan stimuli indera pendengar. Anak-anak dengan perhatian lebih pendek wajib
duduk sepanjang mereka yang tidak mudah dikacaukan.
Ini tidak adil, bantah Dunn, Dunn, dan Perrin (1994); itu bukanlah situasi
pembelajaran optimal. Sekolah-sekolah, mereka meminta dengan tegas, harus
mempertimbangkan ini perbedaan yang pada dasarnya penting dalam Gaya Belajar. Tetapi
bagaimana?
Mengadaptasi Sekolah terhadap beberapa Gaya. Awalnya, sekolah harus
mengembangkan profil dari tiap gaya belajar siswa. Di antaranya yang paling luas
digunakan adalah Learning Styles Inventory(LSI) Renzulli dan Smith ( 1978). Ini dirancang
untuk membantu para guru dalam menyesuaikan prosedur instruksional dengan sikap
pembelajar terhadap struktur instruksional kuliah, simulasi, diskusi, proyek, game, latihan,
hafalan oleh murid-murid, pengajaran panutan, bebas belajar, dan instruksi yang
diprogramkan. Learning Styles Inventory(LSI): instrumen yang dulu biasanya menilai gaya belajar siswa. Mengidentifikasi pilihan pribadi siswa untuk pendekatan berbeda dalam belajar- menagajar, dan mencoba untuk menilai efektivitas relatif dari lingkungan belajar yang berbeda dan pendekatan para siswa secara khusus.
19
Pendekatan lain diuraikan oleh Reay (1994), yang mengklasifikasi pembelajar
dalam beberapa istilah, yakni; aktifis, reflektor, teoris, atau pragmatis. Karakteristiknya
diasosiasikan dengan setiap tipe pembelajar, dan pendekatan instruksional terbaik, yang
diuraikan dalam Tabel 7.3.
Tabel 7.3.Klasifikasi Pemblajar dan Strategi Instruksional yang TepatTipe
Pembelajar Karakteristik Preferensi Pendekatan Instruksional
Aktifis
Reflektor
Teoris
Pragmatis
Keras kepala/tidak sabar; impulsif/ menurutkan kata hati; pikiran terbuka/cerdas; fleksibel
Berhati-hati; teliti; tenang; bijaksana
Logis dan rasional; disiplin; ingin tahu; objektif
Praktis dan sederhana; diteapkan
Variasi; kegembiraan; keterlibatan; aktivitas
Bukti; waktu untuk berpikir dan merefleksikan; kesempatan untuk berhati-hati/tenang Rasionalitas; padu; eksplanasi yang teliti; teori-teori dan model-model
Gemar mencoba berbagai hal; metode dan gagasan baru; solusi-solusi praktis dan aplikasi
Proses grup; belajar-aktif
Belajar secara pribadi; tugas-tugas bacaan; belajar-pacu diri
Instruksi berbasis-komputer; model konseptual; pendekatan ilmiah
Pengalaman supervisi; pengalaman langsung; pelatihan personal
Mengidentifikasi gaya belajar individu hanya pada permulaan; perubahan di
sekolah dan perilaku guru sekolah diharapkan jika sekolah merespon perbedaan individu
secara sunguh- sungguh. Dunn dan Griggs (1988) mengunjungi sepuluh sekolah dimana
perhatian terhadap gaya belajar telah menjadi faktor tertentu dalam pendidikan. Walaupun
banyak perbedaan antar sekolah tersebut, mereka mempunyai beberapa hal yang sama,
yakni sekolah Humanistis.
20
Gaya Belajar – Driven School. Gaya ini mengidealkan sekolah memberikan para
pembelajar dengan bermacam-macam pilihan. Hal tersebut memberikan ruang bagi anak-
anak untuk bekerja sendirian di atas karpet lembut atau bekerja kelompok pada meja
diskusi. Hal tersebut menyediakan cara belajar teacher- presented yang terstruktur,
pengajaran panutan, pengajaran komputer, dan belajar mandiri sehingga menawarkan
mereka untuk melakukannya sepanjang hari baik di pagi hari hingga sore hari.
Humanistik yang ideal, gaya belajar – sekolah driven dapat diidentifikasi tidak
hanya pada perhatiannya terhadap perbedaan individu para pembelajar tetapi juga sasaran
hasil dan nilai-nilai. Berbeda degan sekolah tradisional yang menekankan keterlibatan
siswa pada semua tahap pembelajaran dan juga menekankan kreativitas serta pemecahan
masalah. Hal tersebut sangat mencerminkan orientasi konstruktifis .
Akhirnya, teknik instruksional ideal sekolah paling umum, terutama untuk
mempresentasikan materi baru, partisipasi yang tinggi, kerjasama, pendekatan kelompok
kecil yang kadang-kadang disebut lingkaran pengetahuan. Sebagai catatan, perubahan-
perubahan pada para guru dan sekolah harus berkesinambungan. Hal tersebut melibatkan
eksperimen didalamnya, modifikasi dan klarifikasi program, seperti juga memusatkan
kembali objek dan sasaran hasil, dan terus-menerus.Lingkaran pengetahuan: Satu istilah umum yang biasanya menguraikan berbagai pendekatan tentang belajar small- group. Pendekatan ini menekan interaksi face-to-face, bantuan panutan, dan memberi penghargaan terhadap kerjasama, aktivitas kelompok dibandingkan aktivitas individu. Pendekatan seperti itu sangat koperatif dibandingkan kompetitif atau individualistik.
Evaluasi terhadap Pendekatan- pendekatan Gaya Belajar. Dunn dan Griggs (1988)
melaporkan bahwa sepuluh gaya belajar driven di sekolah- sekolah yang mereka kunjungi,
para pembelajar melakukan hal luar biasa dalam berbagai kegiatan akademik. Sebagian
dari mereka memenangkan penghargaan nasional, dan banyak yang berhasil lulus dari
yang sebelumnya mereka gagal. Dan kebanyakan mereka menyukai – tidak ada cinta -
sekolah.
Secara umum, Guild mencatat (1994), riset menunjukkan bahwa para siswa dari
semua gaya belajar dapat berhasil secara akademik. Sesungguhnya, tinggi atau rendahnya
hasil belajar tidak bisa dibeda-bedakan atas dasar gaya belajar mereka (Burns, Johnson, &
Gable, 1998) Tetapi kebanyakan para siswa cenderung melakukan yang lebih baik bila
21
mereka dibiarkan untuk menggunakan kekuatan dari gaya belajar mandiri mereka (sebagai
contoh, Dunn & Stevenson, 1997). Siswa juga melakukannya secara lebih baik bila gaya
belajar mereka hampir serupa dengan para guru mereka (Onwuegbuzie & Daley, 1998).
Menariknya lagi, gaya pelajaran paling umum dari para guru adalah gaya reflektif
(seksama, bijaksana) ( Lawrence & Veronica, 1997). Tidak anehnya kemudian,
kebanyakan kesuksesan para siswa seringkali yang paling reflektif. Tetapi pelajaran riil
adalah mudah yakni pengajaran yang baik memerlukan lebih dari satu pendekatan
instruksional.
Sayangnya, sebagaimana Rayner dan Riding (1997) mencatat, daftar gaya belajar
dan instrumen yang biasa digunakan untuk mengukur mereka, yang tidak tersusun, sangat
panjang, dan termasuk cakupan besar dari kebiasaan-kebiasaan, karakteristik kepribadian,
dan kemampuan. Sebagai contoh, dalam suatu buklet pendek, Reiff (1992) menguraikan
beberapa gaya belajar yang telah dikenali dalam literatur. Dan, baru-baru ini, Sternberg
(l997b) menyarankan klasifiskasi lain yang meliputi tiga fungsi, empat bentuk, dan enam
tingkatan, ruang lingkup dari apa yang ia sebut thingking styles. Sebagaimana Rayner dan
Riding (1997) membantah, satu kebutuhan mendesak untuk pengintegrasian.
Argumentasi Thompson dan Crutchlow (l993), Gaya Belajar adalah faktor penting
bagi para guru untuk mempertimbangkan, tetapi mereka adalah hanya satu faktor, dan
dampaknya mungkin bagus dinilai sebagai antusiasme yang seringkali menyertai
perubahan baru dalam pendidikan.
5. Pembelajaran Kooperatif
Menurut Johnson dan Johnson (1994), guru mempunyai tiga pilihan dasar: ”Di
dalam setiap kelas, apapun pokok materi,” mereka menulis, ” para guru boleh belajar
secara struktur sehingga para siswa:
a. Terlibat dalam perjuangan win- lose untuk melihat siapa yang terbaik (kompetitif)
b. Bekerja secara independen dengan tujuan belajar mereka sendiri pada langkah dan
ruang mereka sendiri untuk mencapai criteria yang ditetapkan lebih dulu yakni
excellence (individualistik)
c. Bekerja sama dalam kelompok- kelompok kecil, memastikan bahwa semua anggota
menguasai materi yang ditugaskan (kooperatif)” (p. 3).
22
Pengarang mengklaim bahwa, sayangnya, kebanyakan siswa melihat sekolah
sebagai kompetitif karena itulah bagaimana tingkatan ditugaskan. Tidak semua orang dapat
melakukan yang baik; untuk mencapai level tertinggi, para siswa harus bersaing satu sama
lain. Dan bila sekolah tidak kompetitif, mereka seringkali bersifat invidualistik; yaitu, para
siswa dihimbau untuk bekerja ke arah pencapaian tujuan mereka sendiri - tanpa bantuan,
dengan bangga, dan indepen! Hanya jarang sekolah berpengalaman dalam kooperatif,
dimana, menurut Cohen (1994), para siswa bekerja ”bersama- sama dalam suatu kelompok
kecil dan setiap orang dapat berpartisipasi dalam tugas kolektif yang telah ditugaskan...
[dan di mana] para siswa diharapkan untuk menyelesaikan tugas mereka tanpa pengawasan
langsung dari guru" ( p. 3).
Cara lain untuk membedakan tiga alternatif tersebut adalah dalam hal penghargaan
(Bossert, 1988). Dalam situasi belajar kooperatif (juga diistilahkan sebagai belajar
kolaboratif), setiap individu dihargai sebanding dengan orang lain di dalam kelompok;
dalam situasi belajar kompetitif, penghargaan individu adalah kebalikannya dihubungkan
dengan orang lain yang menerima; dan dalam situasi belajar individualistik, tidak ada
hubungan antar penghargaan individu.
Adakalanya, beberapa sekolah menyajikan beberapa aktivitas kooperatif. Hanya
jarang sekolah dan para guru melakukan belajar kooperatif sebagai bagian instruksi
mereka. Sekolah yang melakukannya, Schmuck dan Schmuck mengklaim (1997), sekolah
Humanistik melalui belajar kooperatif adalah pendekatan humanistik yang sangat utama
terhadap pendidikan. Hal tersebut mengkombinasikan aspek kognitif dan afektif dalam
belajar, dan menekankan partisipasi dan ikatan aktif, yang kedua-duanya adalah perhatian
Humanistik. Tetapi barangkali lebih dari pendekatan Humanistik lainnya secara eksplisit,
belajar kooperatif juga menekankan prestasi akademik dan tujuan curricular tergambar
jelas. Kebanyakan sekolah yang menggunakan metode belajar kooperatif, para siswa tidak
mempunyai kebebasan yang tidak terstruktur yang mana mereka boleh jadi dalam kelas
terbuka, ataupun sistem menyediakan kekuatan dan pilihan pribadi mereka sebagaimana
sekolah mengorganisir untuk merespon terhadap gaya belajar individu.Belajar Kooperatif: metode instruksional dimana para siswa bekerja sama di dalam kelompok kecil sehingga masing-masing anggota kelompok dapat berpartisipasi sesuai dengan yang ditugaskan, tugas kolektif. Juga diistilahkan sebagai belajar kolaboratif. Belajar Kompetitif: satu dari peendekatan instruksional paling umum di Amerika Utara. Melibatkan para siswa untuk bersaing satu sama lain untuk melihat siapa yang terbaik. Di dalam belajar kompetitif, penghargaan siswa adalah kebalikannya dihubungkan dengan pencapaian dari yang lain.
23
Belajar Individualistik: Salah satu pendekatan instruksional umum dimana bekerja secara independen dengan langkah mereka sendiri. Penghargaan siswa adalah tidak terikat pada pencapaian dari siswa lain.
Mengapa Belajar Kooperatif? Mengapa penting belajar untuk bekerja sama? Para
Advokat dari pendekatan ini menyajikan berbagai pertimbangan. Di antaranya yang paling
meyakinkan adalah jika kita tidak belajar untuk bekerja sama maka kita akan hancur.
Ada alasan lain mengapa kita harus belajar bekerja sama - jika kelangsungan hidup
tidak nampak penting, atau jika kiamat nampak terlalu jauh, atau jika kita lebih suka untuk
tidak memikirkannya. Kerjasama, Bossert (1988) mengatakan kepada kami, hal utama
dalam demokrasi modern. Negara tidak bisa teratur tanpa kerjasama antar para pemimpin;
kerjasama adalah penting bagi keberlangsungan politik dan ekonomi.
Pada satu tingkatan satu lagi, pengajaran kerjasama di sekolah mungkin
mengurangi ketergantungan siswa pada guru dan untuk mengurangi perpecahan yang
merugikan para siswa. Sebagai contoh, bukti dari banyak studi-studi berbeda, sangat
menyarankan untuk menerima – menghormati - antar ras, kemampuan yang lebih sedikit,
atau dengan berbagai rintangan dapat meningkatkan belajar kooperatif (sebagai contoh,
Jacques, Wilton, & Townsend, 1998; et al, 1998; Iannaccone & Hwang, 1998).
Belajar kooperatif, Johnson dan Johnson (1994) mengklaim, boleh jadi
memecahkan dua masalah penting: kemerosotan pencapaian akademik dan perasaan
keterasingan, isolasi, tidak ada tujuan, dan ketidaksenangan sosial antar para siswa.
Karenanya, alasan lain dalam penggunaan belajar kooperatif adalah kemudahan bekerja.
Dalam kata- kata Snow dan Swanson, ”Bukti dengan jelas menunjukkan keefektivitasannya
dalam mencapai tujuan kognitif, tetapi metode juga lebih memperkenalkan sikap positif
terhadap sekolah, meningkatkan siswa dalam self- esteem, dan meningkatkan hubungan
antar para siswa yang berbeda" (1992, p. 612).
Akhirnya, para siswa lebih menyukai pendekatan kooperatif. Bila para peneliti
meminta para siswa dari tiga kultur berbeda (Jerman, Canada, dan Iran), yang mana
pendekatan belajar yang paling disukai, mereka memilih belajar kooperatif (Huber et all,
1992).
Apakah itu Belajar Kooperatif? Ketika Antil dan rekan- rekan (1998) meminta 85 guru
menggunakan belajar kooperatif dalam kelas mereka, sangat mengagumkan 95 persen
24
mengatakan ”Ya, tentu saja!” Dan ketika 95 persen diwawancarai secara individual,
masing-masing mengklaim menggunakan pendekatan belajar kooperatif setiap hari.
Tetapi, klaim Antil dan rekan- rekan, mayoritas para guru tidak benar-benar
menggunakan pendekatan pelajaran kerjasama untuk semuanya. Sebagaimana yang kita
lihat lebih dekat, belajar kooperatif melibatkan lebih dari sekedar bekerja sama untuk
mencapai satu tujuan umum.
Banyak aktivitas kooperatif kelompok telah dikembangkan dan digunakan di
sekolah. Mereka mempunyai berbagai nama tetapi terkadang dimasukkan di bawah label
umum ”lingkaran pengetahuan” atau ”lingkaran belajar.”
Belajar Bersama. Salah satu dari yang paling luas digunakan dalam teknik instruksional
kooperatif adalah learning together, dikembangkan oleh Johnson dan Johnson (lihat
Johnson et al., 1984). Dalam belajar bersama, kelompok yang terdiri dari empat sampai
enam siswa diberi satu pelajaran atau worksheet dimana mereka harus belajar atau
melengkapinya bersama-sama. Setiap anggota dari setiap kelompok juga menolong
kelompok lain setiap kali mereka telah melengkapi tugas mereka. Pujian diberikan untuk
bekerja sama dan menyelesaikan tugas. Dalam pendekatan ini, tidak ada kompetisi antar
kelompok.
Belajar bersama menekankan empat hal. Pada hakekatnya, karakteristik umum dari
semua teknik belajar kooperatif:
(1) interaksi face-to-face (para siswa dalam kelompok empat sampai enam orang);
(2) saling ketergantungan positif (para siswa bekerja sama untuk mencapai satu tujuan
umum);
(3) tanggung- jawab individual (para siswa harus kemudian menunjukkan bahwa masing-
masing sudah dikuasai dan memahami materi);
(4) ketrampilan-ketrampilan interpersonal kelompok kecil (para siswa diajar bagaimana
bekerja sama dan bagaimana cara mengevaluasinya).
Ketika Antil dan rekanan (1998), para guru merasa kurang menggunakan belajar
kooperatif yang benar dimana ada rasa menghormati dan tanggng-jawab individual.
Kebanyakan para guru telah mengembangkan pendekatan ”kelompok” mereka sendiri,
tetapi sedikit dari mereka telah memecahkan bagaimana cara membuat masing-masing
individu di dalam kelompok bertanggung jawab untuk mencapai tujuan kelompok. Teori
dan riset dengan jelas menekankan bahwa dua hal penting bagi belajar kooperatif:
25
1) merangsang untuk bekerja sama dan
2) tanggung- jawab individu. Kebanyakan aplikasi belajar kooperatif, pengenalan
kelompok dan kompetisi antar kelompok menjadi perangsang. Dan tanggung- jawab
individu meluas yang mana pencapaian kelompok bergantung pada pencapaian
individual di dalam kelompok tersebut.
Belajar bersama: teknik instruksional kooperatif yang mana kelompok yang terdiri dari empat atau enam orang siswa bekerja sama dalam tugas yang ditugaskan dengan menggunakan ketrampilan interaksi kelompok kecil. Di dalam belajar bersama, setiap anggota kelompok secara individual bertanggung jawab untuk menguasai materi.
Student Teams- Achievement Divisions (STAD), merupakan teknik instruksional
kooperatif yang mana siswa heterogen yang terdiri empat atau enam siswa ditugaskan
(termasuk kemampuan siswa yang tinggi atau rendah dan perbedaan etnik kelompok)
untuk bekerjasama mengerjakan tugas. Setelah itu, mereka diberi quizzes (yang dijawab
secara individu, tanpa kerjasama) dan dihargai oleh regu atas dasar pencapaian kelompok
pada ulangan.
Gambaran Umum Cooperative Learning
Kooperatif learning memerlukan interaksi tatap muka di antara anggota2 kelompok-
biasanya empat sampai enam siswa-.
Hubungan di antara anggota kelompok dapat dideskripsikan atau digambarkan sebagai
hubungan saling ketergantungan yang positif, yaitu, para anggota harus bekerjasama
dalam mengalokasikan dan menetapkan aturan dan membagi tugas atau pekerjaan
untuk meraih tujuan mereka.
Kooperatif learning menugasi tanggung jawab secara individu untuk berbagi, bekerja
sama dan belajar.
Berbagai teknik yang digunakan untuk memastikan bahwa tujuan dan reward
(penghargaan) tergantung pada kinerja dan kontribusi seluruh anggota kelompok.
Kooperatif learning melibatkan ketrampilan interpersonal dan kelompok kecil seperti
mereka yang terlibat dalam mengambil peran, memfasilitasi dan berkolaborasi dsb. Term
individual group adalah berkompetisi untuk saling melawan antara satu dengan lainnya
(Slavin, 1995) dalam STAD siswa dibagi kedalam team yang heterogen yang terdiri dari
4-6 siswa. Idealnya masing-masing tim memasukkan anak yang memiliki kemampuan
26
tinggi maupun rendah, berasal dari latar belakang etnik yang berbeda dan berjenis
kelamin baik laki-laki maupun perempuan.
Teknik instruksional secara khusus terdiri dari lima langkah:
1. Presentasi, materi baru dipresentasikan secara khusus di depan kelas dengan
menggunakan pendekatan konvesional seperti ceramah, diskusi dan video.
2. Team work. Group diberikan materi untuk belajar dan kertas kerja untuk dikerjakan.
Mereka atau group tadi bisa bekerja pada kertas kerja tersebut secara individual,
berpasangan atau dalam kelompok besar. Mereka dimotivasi atau di dorong untuk
saling membantu satu dengan yang lain dan menyakinkan bahwa setiap orang
memahami dan mengetahui materi. Penekanannya ialah pada kinerja team.
3. Kuis. Pada akhir masa periode belajar yang secara khusus berakhir satu minggu,
para siswa menulis kuis berdasarkan pada materi mingguan -secara individual dan
tanpa saling membantu satu dengan yang lainnya.
4. Nilai perkembangan individu, nilai team kemudian dikalkulasikan dan meskipun
penghargaan diberikan kepada team yang memperoleh nilai total tertinggi, team yang
menjadi pemenang ialah mereka yang secara individual paling berkembang. Dalam
hal ini para siswa yang meraih prestasi rendah bisa memberikan kontribusi sebanyak
mungkin pada total nilai team, seperti halnya para siswa yang lebih mampu. (dan
terkadang bahkan lebih).
5. Penghargaan team, team kemudian diganjar dihargai diberi hadiah barangkali bisa
dengan sertifikat, hadiah, pujian. Nilai team kemungkinan bisa juga digunakan
sebagai suatu faktor yang menentukan grade atau rangking individu.
STAD menghasilkan perubahan yang dramatis dalam kelas, kata Slavi:” (para
siswa) mulai melihat aktifitas pembelajaran sebagai komunitas sosial daripada melihatnya
sebagai pengisolasian diri, hal yang membosankan, dan di bawah kontrol guru” (1983
H.7). Dan juga dia mengklaim mereka sekarang saling membantu dalam belajar daripada
membenci mereka yang belajar lebih pandai atau menciptakan kesenangan bagi mereka
yang belajar lebih sukar belajar.
27
TGT (team-game-turnamen)1 TGT mulai tepatnya sama dengan STAD, Dengan
team, seksi pengajaran dan cakupan pembelajaran kooperatif yang sama. Perbedaaannya
adalah bahwa pada akhirnya para siswa dilibatkan dalam turnamen daripada diberikan
kuis. Dalam hal ini turnamen anggota team tidak ditugasi sebagai kelompok, tetapi sebagai
individu pada sebuah meja. Tiap meja terdiri dari tiga kompetitor yang kira2 memiliki
kemampuan yang sama (diseleksi oleh instruktur). Game muncul secara simultan pada
semua meja dan melibatkan kartu yang diberi nomor yang bergambar. Mencoba menjawab
pertanyaan2 yang berhubungan dengan nomor pada kartu, menantang jawaban yang tidak
benar. Para pemain menahan kartu mereka ketika mereka menjawab dengan benar (atau
menantang) dan mengarahkan mereka bagi jawaban yang tidak benar pada akhir game atau
periode. Point ditugaskan berdasarkan nomor kartu berdasarkan nama-nama pemain dan
point total turnamen dihitung untuk masing-masing team.
Aturan2 lebih lengkapnya untuk TGT bisa ditemukan dalam Slavin (1995).
Materi2 untuk STAD dan TGT tersedia bagi berbagai mata pelajran di SD dan SMP.
Zigsaw in Zigsaw dikembangkan oleh Aronson dan koleganya ((1978) Materi yang
dipelajari di bagi dalam unit yang terpisah. Anggota secara individu pada kelompok.
Kemudian diberi secara terpisah, berbeda, bagian dari keseluruhan untuk belajar. Dan
mereka harus belajar apa yang mereka pelajari pada anggota lain, dari group tersebut. Tak
ada satu anggota pun yang diberikan informasi yang cukup untuk menyelesaikan problem
yang mereka tangani atau melengkapi tugas dalam pertanyaan, tetapi ketika seluruh
informasi diambil bersama-sama, -Voila-2 Zigsaw selesai.
Dalam modifikasi Zig saw asli yang diberi label zigsaw II para siswa diberi materi
naratif yang sama untuk dibaca sebagian dari keseluruhan prosedur yang mengeliminasi
kebutuhan untuk mempersiapkan banyak materi yang berbeda. Siswa secara individu
kemudian diberi tanggung jawab untuk menguasai berbagai jenis topik. Mereka di
1 Team game Turnamen adalah teknik intruksioanl kooperatif identik dengan STAD,
devisi prestasi siswa , yang membedakan ialah disamping diberikan kuis di akhir para siswa juga
bermain turnamen game kompetitif yang berpusat pada pertanyaan yang relevan dengan isi sekitar
pokok bahasan.2 Teknik instruksional kooperatif zig saw, Anggota secara individu dalam kelompok
diberikan tanggung jawab untuk menguasai aspek2 yang berbeda dari tugas yang spesifik. Dan
mengajarkannya kpd anggota lain dalam kelompok mereka. Gambaran kunci Zig saw adalah
bahwa kinerja yang sukses tergantung pada variasi sumbangsih para siswa.
28
dorong untuk mendiskusikan topik-topik tersebut dengan anggota team yang lain. Yang
diberi tugas topik yang sama dan kemudian kembali ke team mereka sendiri untuk
mengajar teman sekelompok mereka apa yang mereka telah pelajari. Karena itu
gambaran utama Zigsaw adalah saling ketergantungan antar anggota team. Kinerja yang
baik tergantung pada seberapa bagus para anggota secara individu belajar dan
mengajarkan topik-topik mereka. Seperti halnya dalam STAD, team diberikan kuis
dan diberi hadiah berdasarkan pada kinerja team. perhitungan perkembangan individu.
Investigasi kelompok yang digambarkan oleh Sharan dan Sharan (1992) ialah
teknik kerja sama yang mengkombinasikan pengetahuan akademik dan inkuiri dengan
prinsip-prinsip kerjasama. Para siswa yang menggunakan pendekatan ini, memilih
bidang pembelajaran di dalam kelas. Khususnya problem yang memberi kemungkinan
untuk investigasi. Bidang pelajaran kemudian dibagi kedalam sub topik dan kelas dibagi
kedalam kelompok kecil investigator, berdasarkan ketertarikan yang sama dalam topik.
Kelompok kemudian merumuskan suatu rencana bagi investigasi mereka dan diberi tugas
tanggung jawab. Para anggota sekarang bisa berkerja secara individu , berpasangan atau
sebagai kelompok yang lebih besar. Setelah menyelesaikan Setelah menyelesaikan inkuiri
(penyelidikan ) ini --- barangkali memerlukan kurun waktu yang beberapa minggu.
Anggota kelompok bertemu dan berbagi hasil dari investigasi mereka. Mereka
memutuskan bagaimana untuk mempresentasikan informasi yang terkumpul kepada
anggota lain dalam kelas. Akhirnya seluruh kelompok bertemu pada sharing informasi
akhir. Sepanjang proses guru terlibat dalam membimbing para siswa, membantu mereka
baik dengan skill akademik yang diperlukan untuk inkuiri yang sukses maupun
ketrampilan sosial yang terlibat dalam proses kelompok.3
Mengimplementasikan Pembelajaran Kooperatif
Teknik - teknik yang dideskripsikan hanyalah bagian kecil dari banyaknya teknik
yang dikembangkan dan dievaluasi. Bagi mereka yang tertarik dengan
3 Group investigasi suatu teknik intruksional yang bersifat kolaboratif, dimana para
siswa mengidentifikasi topik2 dan mengkaitkan sumber informasi, membentuk kelompok2 yang
didasarkan pada ketertarikan yang sama, menugaskan tanggung jawab untuk mengumpulakn
materi, mengumpulkan dan mempelajari materi yang relevan baik sendiri maupun dalam
kelompok, menyiapkan laporan kelompok dan mepresentasikan laporan ini di depan kelas.
29
Pendekatan lain disarankan membaca bagian akhir bab ini yang mendaftar
sumber informasi yang penting.
Tidak seperti pendekatan gaya-gaya pembelajaran, kooperatif learning tidak
membutuhkan penyusunan kembali hari sekolah atau menata kembali kurikulum yang
ditawarkan. Pendekatan gaya pembelajaran ini mencoba memenuhi perbedaan-perbedaan
individu dalam belajar dan pilihan-pilihan belajar. Di mana metode kelompok
kooperatif secara khusus melibatkan seluruh siswa secara serentak. Satu keuntungan
pendekatan kooperatif adalah bahwa pendekatan-pendekatan tersebut membantu
perkembangan untuk bekerjasama diantara para siswa dengan kekuatan dan kelemahan
yang bervariasi dan barangkali mereka yang berlatar belakang etnik, usia dan jenis
kelamin yang berbeda.
Teknik pembelajaran kooperatif sangat sering diperkenalkan sebagai suatu
tambahan terhadap penawaran kelas reguler. Pada suatu situasi khusus, teknik2 tersebut
kemudian digunakan selama 60/90 menit perhari, tetapi yang paling direkomendasikan
adalah sebanyak 70% dari waktu kelas yang melibatakan aktivitas yang bersifat
kooperatif, dengan 20% disediakan untuk pendekatan yang bersifat individualis dan
hanya 10% untuk aktifitas kompetitif (John Son dan John Son, 1994)
Meskipun pendekatan-pendekatan kooperatif umumnya dibentuk dari bagian
kecil kurikulum secara menyeluruh, implementasi pendekatan ini biasanya memerlukan
persiapan materi yang seksama. Tergantung pada pendekatan spesifik yang digunakan,
Guru perlu menyiapkan kertas kerja, soal-soal, sumber-sumber materi dan sebagainya,
semuanya disusun secara seksama untuk membantu perkembangan kerjasama, sambil
menggiatkan pembelajaran.
Evaluasi Positif Cooperative Learning, seberapa bagus teknik-teknik ini bekerja?
Suatu perbandingan langsung antara pendekatan kompetitif dan pendekatan intruksional
kooperatif ialah dijelaskan oleh meta analisis pembelajaran 46. ( John Son dan John Son
1945). Di pakai secara bersama-sama studi ini mengindikasikan bahwa anggota-anggota
team kooperatif seringnya melebihi mereka yang berada dalam situasi kompetitif.
mengesampingkan apakah prestasi diukur dalam term kinerja verbal amupun non
verbal, tersusun rapi dan jelas atau didefinisikan kurang jelas.
30
Banyak studi telah menguatkan penemuan-penemuan ini. Sebagai contoh
Klingner Vaughn dan Schummn (1998) menemukan bahwa murid kelas empat mencetak
perolehan yang lebih besar dalam pemahaman bacaan studi sosial dan dalam isi
pengetahun ketika bekerja dalam kelompok daripada ketika ditunjukkan pada pengajaran
langsung. Yang menarik adalah suatu analisis percakapan siswa selama aktifitas
kelompok menyatakan bahwa 60 % dari wacana yang terkait secara langsung terhadap
aspek-aspek akademik aktifitas mereka, 25 % terkait dengan prosedur2 yang berkaitan
dengan aktifitas kooperatif mereka dan 8 % melibatkan umpan balik antar siswa. yang
mengherankan hanya 2 % yang tidak melakukan tugasnya.
Steven dan Slavin (1995) juga melaporkan penemuan positif dalam seluruh
sekolah dasar yang merubah filosofi pengajaran kooperatif selama masa dua tahun
penelitian. Kontras dengan studi2 pada umumnya dimana study ini pada waktu yang
singkat dan hanya melibatkan satu atau dua guru, disekolah ini pendekatan-pendekatan
pembelajaran kooperatif digunakan secara luas dalam seluruh materi akedemik. Juga
para siswa yang cacat dicerdaskan selama bersekolah dan sangat terlibat dalam
pembelajaran kooperatif. Para guru didorong untuk menggunakan pendekatan
kolaboratif dalam perencanaan pengajaran mereka. sebagai contoh, penilaian bersama
dan kolaborasi langsung dengan orang tua dan kepala sekolah. Setelah tahun kedua
dari program ini, baik siswa yang cacat atau tidak cacat secara akdemik telah meraih
level bacaan vocabulary yang secara signifikan lebih tinggi, pemahaman bacaan, ekpresi
bahasa, hitungan matematika dan aplikasi matematika, lebih lanjut, anak yang cacat
nampak lebih diuntungkan secara signifikan. Melebihi kinerja kelompok mereka dalam
program non kooperatif.
Teori Vygotsky`s (1998), mengajukan alasan lain bahwa pembelajaran kooperatif
itu penting dan efektif. Pembelajaran, klaimnya, adalah ketergantungan sosial yang
sangat tinggi. Pada skala luas hal ini tergantung pada yang lain yang lebih tahu
(tercerahkan) dan hasil pembelajaran dimanifestasikan dalam interaksi sosial secara baik.
Lebih lanjut pembelajaran – dan seluruh proses mental yang lebih tinggi – tergantung
pada bahasa. Kontribusi utama pembelajaran kooperatif adalah bahwa pembelajaran
ini membantu perkembangan untuk membangun dan mengembangkan ketrampilan bahasa.
31
Beberapa Peringatan : Pembelajaran Kooperatif Tidak Mengobati Seluruh Penyakit
pengembangan kooperatif tampaknya bisa sangat efektif untuk memberikan muatan
akademik dan strategis. Dan juga tampaknya memiliki pengaruh yang menguntungkan
bagi perkembangan sosial, dan hubungan interpersoanal siswa, Apakah ini berarti bahwa
seluruh guru dan sekolah seharusnya sekarang jauh lebih kooperatif? Barangkali tidak
(lihat box yang berjudul “bagaiman seharusnya saya mengajar?”.
Bagaiman seharusnya saya mengajar?Sistem sekolah yang menyewa anda (bisa juga
memecat anda), tentunya akan beroperasi serangkaian peraturan yang dirumuskan dengan baik yang mengatur kepemimpinan guru di kelas. Penentuan kurikulum, laporan dan prosedur test, pendisiplinan tingkah laku dan sebagainya, tetapi dalam analisis akhir anda akan menentukan pendekatan sendiri untuk mengajar dan anda akan mengembangkan gaya interaksi personal anda sendiri dengan siswa.
Tidak ada orang yang memaksa anda terhadap keyakinan pribadi anda jadi jika anda benar-benar percaya akan hak seluruh anak untuk diperlakukan sebagai manusia dan memperkenankan untuk mengembangkan sehingga bisa memperkuat kualitas mereka. Anda mungkin frustasi disebabkan oleh sisitem tersebut (oleh intrepretasi anda terhadap sistem tersebut).
Banyak alternatif-alternatif humanistik bekerja bahkan di dalam konteks sekolah yang sangat tradisional, jika anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal ini, anda di sarankan untuk mengeksplorasi bacaan2 yang dianjurkan diakhir bab ini.
Membagi kelas ke dalam kelompok kemungkinan tidak selalu menjadi cara yang
sangat efektif bagi guru. Kenyataannya pada kondisi ini dan bagi beberapa siswa hal
32
tersebut tampak tidak ada hasilnya tidak juga sesuai dengan seluruh mata pelajaran.
Catatan Roy dan Hoch (1994) hal ini mungkin bagi para siswa untuk bekerja dalam
kelompok bukan sebagai kelompok, para siswa yang bekerja dalam kelompok tapi
bukan sebagai kelompok dapat dengan mudah membuang waktu untuk mengobrolkan
materi2 yang tidak relevan atau mengembangkan prosedur di mana anggota kelompok
mendominasi dan yang lain terabaikan. Seperti Bluemenfeld dan kelompoknya
mengungkapkan hal ini, ketika diperaktekkan dalam suatu cara yang tidak
terinformasikan ( pembelajaran kooperatif bisa merusak siswa yang berprestasi rendah,
memperburuk perbedaan-perbedaan status dan menciptakan interaksi yang tidak
fungsional di antara para siswa:. 1996, hal.37). Apa yang bisa terjadi Boxer memberikan
cacatan (1998) bahwa para siswa yang berprestasi rendah terkadang dipermalukan oleh
kinerja mereka dan dipermalukan bahwa skor mereka rendah. Sebagai hasilnya mereka
kemungkinan menjadi secara progresif lebih enggan untuk berpartisipasi dalam aktifitas
yang bersifat kerjasama seperti halnya motivasi mereka dan harga diri mereka menjadi
memburuk. Efek jangka panjangnya dari situasi ini kemungkinan lebih merendahkan
prestasi para siswa ini. Dan barangkali lebih merendahkan prestasi kelompok mereka
juga. Tetapi, penggunaan pengembngan kinerja sebagai dasar untuk menilai sebagaimana
yang dilakukan oleh STAD dan TGT, bisa melakukan banyak hal untuk menjawab
masalah ini.
Boxer (1988) juga memperingatkan bahwa mereka yang menganjurkan teknik
kooperatif sebagai dominasi utama aktifitas di dalam kelas, barangkali mengabaikan
kemungkinan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sangat efektif karena pembelajaran
ini menghadirkan perbedaan yang jelas dengan prosedur kelas yang konvensional ( di
antara alasan-alasan lain). Perubahan dalam perhatian dan prosedur yang diperlukan
para siswa membantu meningkatkan konsentrasi, memotivasi para siswa dan pada
puncaknya untuk memperkuat kinerja. Tetapi jika semuanya itu atau bahkan seluruh
aktifitas kelas bersifat kooperatif, perubahan-perubahan ini kemungkinan tidak muncul
dan kinerja kemungkinan tidak meningkat secara dramatis.
Akhirnya Boxer (1988) berpendapat bahwa, meskipun hal ini penting bagi siswa
untuk bekerjasama dengan siswa lain, hal ini juga penting bagi mereka untuk belajar
skill kompetitif dan individualistik.
33
Catatan penting juga, bahwa situasi dan pelajaran tertentu tidak menjadikan
mereka bisa bekerjasama secar lebih baik, pendekatan-pendekatan kelompok. sebagai
contoh sumbangan ahli (terkadang dalam bentuk pembicara tamu). Kemungkinan
jauh lebih efektif dan efisien sebagai presentasi deduktif. Juga pilihan beberapa siswa
secara individual-- dengan kata lain gaya belajar mereka-- menyenangkan baik secara
individu atau bersifat kompetitif dari pada pendekatan-pendekatan kooperatif .
E. BEBERAPA REAKSI TERHADAP PENDIDIKAN HUMANISTIK
Sampai pada taraf bahwa pendidikan humanistik menggambarkan kepedulian
terhadap kehidupan individu dan konsep diri para siswa serta pada pengembangan
potensi kemanusian yang paling sehat dan membahagiakan. Hal ini terlepas dari kritikan-
kritikan yang ada; seluruh guru harus menjadi lebih humansitik, bagaimanpun juga
pendidikan humanistik seringkali muncul terkait dengan kualitas-kualitas yang tidak
begitu jelas dan kesimpulan yang spekulatif. Mengajukan pendekatan-pendekatan seperti
klarifikasi nilai-nilai pendidikan terbuka, barangkali begitu bebas dengan penggunaan
term-term dan konsepyang tidak tepat, seperti outentik, open, real / nyata, asli, berfungsi
penuh, dan bermakna. Bagaimana anda membedakan pengalaman yang otentik dan
pengalaman yang tidak otentik. Di antara guru yang sejati dan guru yang tidak baik,
di antara siswa yang berfungsi secara penuh dan siswa yang hanya mengfungsikan diri ¾
(tidak sepenuh hati) meskipun term ini tidak jelas, mereka tampaknya menghadirkan hal
bagus sehingga sangat menarik. Celakanya sesuatu yang mereka hadirkan tidak mudah
untuk diukur dan sebagai konsekuensinya bukti-bukti yang menganjurkan perubahan
humanistik berdasarkan argumentasi mereka tidak selalu meyakinkan.
Barangkali kritik yang paling sering dikatakan bagi pendekatan humanistik untuk
pengajaran sangat tergantung pada kualitas personal dan ketrampilan para guru secara
individu. Pendekatan yang lebih konvensional dalai penerapan di kelas dalam hal ini
lebih banyak “kepiawaian guru”.
Kritik ini tidak sepenuhnya fair, bagaimanapun juga kritik-kritik ini diberikan
utamanya pada pendekatan global penddikan humanistik seperti kritik-kritik yang
diwakili “open” (atau apa yang kadang disebut “kebebasan”) sekolah. Sebagaimana yang
34
kita lihat sebelumnya, bukti-bukti penelitian menyarankan bahwa meskipun para siswa
yang muncul dari sekolah ini nampak menjadi lebih kreatif dan lebih kooperatif dan
memiliki konsep diri yang lebih bagus, perolehan-perolehan ini secara khusus hasil dari
prestasi akademik. Evaluasi skala luas di Amerika menemukan bahwa para siswa ini
memiliki kinerja yang lebih rendah daripada kelompok pembanding pada hampir seluruh
prestasi yang diukur (kennedy, 1978) (meskipun sedikit dari ukuran-ukuran ini yang
memasukkan ketrampilan berpikir kreatif, kemampuan untuk berpikir secara logis atau
karakteristik kepribadian lain yang penting). Tidak mengejutkan bahwa banyak dari
sekolah-sekolah ini yang di tutup, yang seharus menjadi catatan kita bahwa
bagaimanapun, berbagai bentuk sekolah tidak memakai sistem rangking / peringkat (tanpa
usia atau penempatan kelas atau tanpa kartu laporan rangking) bisa memiliki efek yang
positif pada prestasi siswa (Guity res dan Slavin, 1992). Tetapi sekolah-sekolah ini
bagaimanpun juga berbeda dari sekolah-sekolah terbuka karena sekolah ini menghadirkan
kurikulum yang terstruktur dalam suatu bentuk tidak adanya rangking, tidak adanya
kondisi kegagalan.
Kritik-kritik pendidikan humanistik ini—tidak jelas, begitu banyak perhatian pada
perkembangan afektif dan mengesampingkan baik standar kurikulum maupun
pengembangan kognitif—tidak relevan dengan respek terhadap dua ekspresi mengenai
humanistik yang dijelaskan secara detail dalam bab ini. Style pembelajaran sekolah yang
diorientasikan pada pembelajaran kooperatif, sebagaimana kita saksikan kedua pendekatan
tersebut bisa mengarahkan pada prestasi akademik yang superior. Menariknya di antara
teknik penting sekolah yang berorientasi pada pembelajaran adalah metode kelompok
yang merumuskan pembelajaran kooperatif
Satu alasan bahwa humanistik yang bervariasi, pendekatan yang berpusat pada
siswa terhadap pengajaran di kritik, catatan dari Noterhouse (1991) adalah bahwa para
instruktur sering merasa bersalah terhadap apa yang dia istilahkan (kesalahan teknis dan
asumsi yang salah tentang pendidikan humanistik) pokok-pokok kepercayaan ini adalah
Siswa seharusnya segera diberikan otonomi secara penuh.
Rencana pengajaran yang baik selalu disesuaikan untuk individu tertentu (daripada
untuk keseluruhan kelas).
Pengajaran yang berpusat pada siswa memerlukan materi khusus
Pendidikan humanistik seharusnya menjadi sangat permisif
35
Pengajaran tradisional harus ditinggalkan untuk membuat jalan menuju pendekatan
humanistik.
Ingatlah bahwa humanisme bukanlah teknik pendidikan meskipun humanisme
memanifestasikan secara jelas dalam teknik khusus, konsekuensinya, humanisme
merupakan suatu filsafat pendidikan yang dicirikan oleh sikap terpuji terhadap siswa
dan terhadap tujuan pendidikan yang seharusnya menjadi karakteristik seluruh guru.
Sikap-sikap ini sebagaimana disebutkan lebih awal bukanlah muatan dari kritik yang
sama dan banyak diterapkan pada pendekatan humanistik khusus untuk pendidikan.
Akhirnya anda kemungkinan tidak perlu untuk mengkopi model atau mengambil
saran yang dipresentasikan oleh pendidik yang lebih tampak humanis. Apa yang
terpenting adalah bahwa anda sungguh-sungguh peduli terhadap siswa sebagai
manusia
F. KONSTRUKSIVISME, HUMANISME, PRAKTEK- PRAKTEK
PENGAJARAN TERBAIK
Sebagaimana yang telah kita jelaskan beberapa waktu lalu, suatu revolusi bisa
muncul dalam pendidikan. Tetapi karena tidak ada senjata dan juga tidak ada bom – bom
yang terlibat dalam revolusi – hanya terkadang sedikit ceramah dengan separuh hati, buku
– buku dan artikel – artikel biasa –kita tidak yakin bahwa hal inilah sebenarnya sebuah
revolusi. Akhirnya, Hal ini mungkin hanya suatu percobaan revolusi oleh minoritas orang
– orang yang tidak puas. Sejarah, seperti biasanya akan membiarkan kita mengetahuinya
nanti.
Tetapi jika ada sebuah revolusi, hal tersebut merupakan gerakan menuju jargon
masa kini berlebel pendekatan–pendekatan konstrutivisme pada pendidikan. Hal ini
36
termasuk variasi teknik instruksional yang terpusat pada siswa; diantara teknik-teknik
tersebut, pendekatan humanistik dijelaskan dalam bab ini, (sebagaimana descovery
learning, magang dan pendekatan lain yang akan dideskripsikan di tempat lain).
Pendekatan konstruktivisme sering kali dikontraskan dengan pendekatan-pendekatan
yang lebih terpusat pada guru yang mendefinisikan instruksi secara langsung.
Anda sebagai seorang guru, tidak harus--dan kemungkinan seharusnya tidak--
mengadopsi satu atau posisi selain ini, seakan-akan posisi tersebut ialah agama, dan
keselamatan anda tergantung pada pembuatan pengambilan keputusan yang benar.
Keselamatan anda kemungkinan tergantung pada hal-hal lain. Dan apa yang anda
perlukan untuk dilakukan sebagai seorang guru ialah menggunakan kombinasi metode
yang terbaik sesuai dengan tujuan anda terhadap siswa anda.
Tetapi penelitian pendidikan benar-benar muncul untuk disatukan dalam banyak
rekomendasi masa kini, Daniel dan Bizar mencatatkan (tahun 1998) mungkin hal ini
bijaksana untuk memberikan perhatian pada penelitian ini. Apa yang direkomendasikan
dalam penelitian, penulis menjelaskan, ruang kelas di antara hal-hal lain ialah lebih
1. berpusat pada siswa,
2. bersifat eksperimental
3. reflektif
4. autentik
5. sosial
6. kolabolatif
7. demokratif
8. kognitif
9. pengembangan
10. tantangan
Penelitian ini juga menyarankan bahwa di sekolah seharusnya meminimalisir
1. Pengajaran langsung di kelas
2. Siswa pasif (mendengarkan, menerima informasi)
3. Menghargai sikap diam dalam kelas)
4. Aktifitas kertas kerja yang tidak mengasah otak.
5. Membaca teks book.
6. Hafalan,
37
7. Menekankan pada kompetisi dan nilai.
8. Kepercayaan pada test standarisasi (Daniel dan Bizer, tahun 1998, 2-3).
Draf yang pertama, suatu hal yang kita bicarakan, sekolah seharusnya menjadi,
menggambarkan banyak rekomendasi pendekatan kosntruktifistic-- dan pendidik yang
berorientasi secara humanis.
Draf yang kedua mendeskripsikan apa yang kita asosiasiakan dengan pendidikan
tradisional dan pengajaran langsung.
Barangkali hal ini ialah suatu revolusi sesudah semua hal.
G. POINT-POINT UTAMA
1. psikologi humanistik terkait dengan keunikan, keragaman dan harga diri. Psikologi
humanistik menghadirkan suatu konflik ideologi dengan orientasi pendekatan-
pendekatan lain yang lebih humanistik dan berobjek pada penekanan sekolah terhadap
prestasi akdemik dan mengesampingkan pertumbuhan afektif.
2. Teory Carl Roger sangat fenomenal (dunia yang fenomenal ialah lingkungan yang
dirasakan oleh individu, humansitik ( terkait dengan individu, dengan aktualisasi diri),
dan terpusat pada siswa. Posisinya berlawanan dengan ungkapan dari skener terkait
dengan kontrol melalui aplikasi prinsip-prinsip pembelajaran operan. Roger
menganjurkan sekolah yang terpusat pada siswa.
3. Roger percaya bahwa dunia nyata seseorang individu adalah privasi
( fenomenologis) tujuan dari perilaku tersebut adalah meraih aktualisasi diri
(pengembangan diri secara maksimum) aktualisasi diri terkait dengan kesehatan dan
mengfungsikan kreativitas serta pengembangan diri yang dihasilkan dari interaksi
dengan dunia (Pengalaman langsung) dan dari nilai-nilai tentang “aku” yang
dipinjam dari tindakan orang lain (pengalaman tidak langsung)
4. Penekanan utama pendekatan humanistik adalah perhatian yang lebih besar terhadap
pemikiran dan perasaan daripada terhadap penguasaan pengetahuan, pengembangan
diri, komunikasi, klarifikasi nilai-nilai, keterbukaan, kejujuran, nasib diri. Proses
kelompok dan pendekatan kooperatif terhadap pendidikan sangat cocok dengan
penekanan-penekanan ini.
38
5. Pendidikan confluent menggambarkan suatu usaha untuk mengitegrasikan sisi
afektif dan kognitif. Hal ini berorientasi pada proses, menekankan ketentuan diri,
mendorong inovasi dan memberikan perhatian yang dekat pada pengaruh pertumbuhan
pribadi dan individualisme.
6. Pendidikan nilai-nilai merujuk pada pengajaran langsung di sekolah. Klarifikasi nilai-
nilai terkait dengan program yang mendorong para siswa menguji keyakinan mereka
dan tindakan mereka dalam pencerahan nilai-nilai mereka dan puncaknya terhadap
sikap yang sesuai dengan mereka
7. Pendidiakn terbuka sangat berkaitan dengan pertumbuhan afektif para siswa –dengan
pemikiran yang kritis—kepercayaan diri, dan komitmen untuk belajar. Hal ini siswa
sebagai pusat dari pada guru yang menjadi pusatnya, secara khusus tidak
menggunakan rangking dan menekankan pada pertumbuhan personal daripada
mengukur prestasi akademik. Penelitian menyarankan bahwa lulusan sekolah terbuka
mungkin lebih kreatif dan kooperatif serta mempunyai konsep diri yang lebih
bagus---tetapi mereka biasanya memiliki nilai yang lebih rendah dengan ukuran
akademik tradisional.
8. Gaya-gaya pemebelajaran merupakan pilihan yang bersivat individu dan diperkuat
oleh kondisi terbaik untuk belajar (sebagai contoh, pagi versus malam; visual,
aouditori, kinestik; individual versus kelompok; terstruktur versus tidak terstruktur
dan sebagainya). Sekolah yang menggunakan gaya pembelajaran mencoba untuk
menyesuaikan metode pengajaran, penawaran kurikulum, penjadwalan, dan aspek-
aspek lain pengajaran terhadap gaya masing-masing siswa, para siswa pada sekolah
yang menggunakan gaya pembelajaran meraih prestasi yang sangat baik berdasarkan
pada ukuran akademik yang standard.
9. Pembelajaran kooperatif melibatkan teknik-teknik kelompok kecil yang tersusun
sehingga pembelajar atau siswa dihargai untuk hasil kelompok, namun demikian
dihitung secara individu untuk belajar dan membantu anggota yang lain dari
kelompok tersebut untuk belajar. Hal ini ditandai oleh interaksi tatap muka, saling
ketergantungan yang positif, tanggung jawab individu dan penggunaan skill
interpersonal dan kelompok kecil.
10. Beberapa teknik cooperative learning termasuk belajar bersama (kerjasama murni,
tujuan umum, tidak ada kompetisi antar group); devisi prestasi team siswa (STAD)
39
(group adalah team yang bertarung melawan satu dengan lainnya berdasarkan
pengembangan kinerja); turnamen-team-game- (TGT) (STAD) seperti prosedur STAD
tetapi dengan tiga anggota kompetitor yang mengikuti pembelajaran) Zigsaw (masing-
masing anggota kelompok diberikan hanya sebagian informasi dari seluruh yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah atau belajar pelajaran) dan investigasi
kelompok (seluruh kelas menyelidiki satu problem inkuiri dengan membagi dalam
kelompok untuk investigasi dan datang secara bersama-sama untuk mengintegrasikan
dan berbagi)
11. Bukti menunjukkan bahwa teknik belajar kooperatif mengarahkan pada prestasi
akademik yang superior, motivasi yang tinggi dan penguatan ketrampilan sosial,
dampak-dampak positif ini kemungkinan dikarenakan lebih banyak struktur
kurikulum yang diperlukan bagi pembelajaran kooperatif dan untuk membedakan
pendekatan ini pada ruang kelas yang masih tradisional. Hal tersebut kemungkinan
juga dikarenakan oleh bahasa dan ketrampilan sosial yang tekhnik kembangkan.
Teknik-teknik ini sangat efektif ketika dua kondisi dipertemukan, para siswa
diberikan dorongan untuk bekerjasama dan para siswa dihitung secara individual
bagi pemerolehan belajar mereka.
12. Pendekatan humanistik secara umum seringkali sangat tergantung dengan kualitas
guru itu sendiri dan kadang kala menggunakan term yang tidak jelas dan spekulatif.
Humanisme dalam pendidikan tidak mudah dikritik dalam hal sikap dan filsafatnya
daripada sebagai teknisnya—dan sebagai suatu sikap barangkali lebih bernilai bagi
guru. Dalam penjelasan ini seluruh guru seharusnya menjadi humanis
13. Kemungkinan ada suatu revolusi yang sedang terjadi dalam pendidikan.
40