bab v konsep dan perencanaan 5.1. konsep · konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian...

22
BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN 5.1. Konsep Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi, sirkulasi, dan vegetasi. 5.1.1. Konsep Pembagian Ruang Ruang permukiman dikelompokan ke dalam satuan ketetanggaan yang terdiri atas Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Desa, dan Kecamatan. Konsep pembagian ruang ini dimaksudkan agar kegiatan penyelamatan diri dapat lebih terarah dan terkendali. Selain itu pengelompokkan dalam satuan ketetanggan dapat membantu menentukan titik-titik evakuasi dan pergerakan menuju lokasi-lokasi evakuasi tersebut. Gambar 30 menunjukkan diagram konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggaan. Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang

Upload: vuongthuan

Post on 18-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB V

KONSEP DAN PERENCANAAN

5.1. Konsep

Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang

permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan

oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep

mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana

gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi,

sirkulasi, dan vegetasi.

5.1.1. Konsep Pembagian Ruang

Ruang permukiman dikelompokan ke dalam satuan ketetanggaan yang

terdiri atas Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),

Desa, dan Kecamatan. Konsep pembagian ruang ini dimaksudkan agar kegiatan

penyelamatan diri dapat lebih terarah dan terkendali. Selain itu pengelompokkan

dalam satuan ketetanggan dapat membantu menentukan titik-titik evakuasi dan

pergerakan menuju lokasi-lokasi evakuasi tersebut. Gambar 30 menunjukkan

diagram konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggaan.

Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang

69  

5.1.2. Konsep Evakuasi

Ruang-ruang yang dimanfaatkan untuk zona evakuasi adalah ruang-ruang

terbuka yang berada di dalam kawasan permukiman. Berdasarkan lokasi dan daya

tampung maka zona-zona evakuasi tersebut dibagi ke dalam 3 tingkatan yang

terdiri atas zona evakuasi makro, meso dan mikro. Gambar 31 menunjukkan

diagram konsep zona evakuasi.

Gambar 31. Diagram Konsep Evakuasi

Pada saat bencana gempa muncul maka penduduk diarahkan untuk

bergerak menyelamatkan diri menuju zona evakuasi mikro pada tingkatan RT.

Jika fasilitas dan kondisi di zona evakuasi mikro kurang mendukung maka

penduduk diarahkan menuju zona evakuasi meso yang berada pada tingkatan RW

dengan kapasitas daya tamping lebih besar. Selanjutnya jika fasilitas dan kondisi

di zona evakuasi meso kurang memadai maka penduduk diarahkan menuju zona

evakuasi makro yang berada pada tingkat desa.

5.1.3. Konsep Sirkulasi

Jalur sirkulasi pada kawasan rawan bencana gempa harus dibuat dengan

tujuan memudahkan pergerakan penduduk saat menyelamatkan diri. Jejaring jalan

yang rumit dengan lebar yang sempit berpotensi menimbulkan kebingungan atau

disorientasi arah ketika penduduk berusaha menyelamatkan diri dalam keadaan

panik.

Berdasarkan fungsinya untuk memudahkan kegiatan penyelamatan diri

maka jalur sirkulasi di wilayah perencanaan dibagi ke dalam 3 hierarki jalan yaitu

70  

jalan lingkungan, jalan lokal, dan jalan kolektor. Tabel 25 menjelaskan lebar dan

fungsi dari setiap jenis jalan. Gambar 33 menunjukkan diagram konsep sirkulasi.

Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi Jenis Jalan Lebar Fungsi

Jalan Lingkungan 5 m mengarahkan massa ke zona evakuasi mikro Jalan Lokal 7 m mengarahkan massa ke zona evakuasi meso Jalan Kolektor 14 m -mengarahkan massa ke zona evakuasi makro

-mendistribusikan bantuan ke lokasi pengungsian -penghubung antar desa

Gambar 32. Diagram Konsep Sirkulasi

5.1.4. Konsep Vegetasi

Konsep vegetasi untuk mitigasi bencana direncanakan memiliki fungsi-

fungsi untuk mendukung kegiatan penanganan saat bencana dan pasca bencana.

Dengan demikian jenis-jenis vegetasi yang diterapkan pada kawasan berdasarkan

fungsinya dapat dibedakan ke dalam empat jenis vegetasi yaitu : vegetasi

budidaya, vegetasi konservasi, vegetasi pengarah, dan vegetasi penaung. Tabel 26

menjelaskan jenis vegetasi, lokasi, dan fungsinya dalam mitigasi bencana gempa.

Sedangkan Gambar 33 menunjukan diagram konsep vegetasi yang direncanakan.

Jalan Lingkungan

Jalan Lokal

Jalan Kolektor

71  

Tabel 26. Konsep Vegetasi Jenis

Vegetasi Lokasi Fungsi

Budidaya Kebun campuran - cadangan pangan pada penanganan pasca bencana

Konservasi -dekat sumber air -pada kawasan berpotensi longsor

-menjaga keseimbangan neraca air -mencegah bencana longsor pada kawasan

tertentu Pengarah Jalur sirkulasi -mengarahkan penduduk menuju area evakuasi Penaung -pemukiman

-zona evakuasi -menaungi kawasan terutama di zona-zona

evakuasi - ameliorasi iklim

Gambar 33. Diagram Konsep Vegetasi

5.2. Perencanaan

Rencana lanskap merupakan pengembangan dari konsep yang sudah

ditentukan sebelumnya. Konsep ruang dikembangkan ke dalam rencana tata ruang

permukiman. Konsep evakuasi dikembangkan ke dalam rencana evakuasi. Konsep

sirkulasi dikembangkan ke dalam rencana jalur sirkulasi. Konsep vegetasi

dikembangkan ke dalam rencana vegetasi. Rencana lanskap yang telah disusun

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34.

Vegetasi Konservasi

Vegetasi Budidaya

Vegetasi Penaung

Vegetasi Pengarah

72  

73  

5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman

Di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Pangalengan

diperkirakan kebutuhan lahan untuk permukiman di wilayah perencanaan pada

tahun 2015 mencapai 299,22 ha dengan perkiraan jumlah penduduk akan

mencapai 88.739 jiwa. Untuk memudahkan kegiatan perencanaan maka wilayah

yang direncanakan dibagai ke dalam tiga blok sesuai dalam RDTR yaitu Blok

Utara, Blok Tengah, dan Blok Selatan (Gambar 35). Setiap blok memiliki

perkiraan jumlah penduduk masing-masing pada tahun 2015. Blok Utara

diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 38.870 jiwa dengan kebutuhan

lahan permukiman ± 115, 51 ha. Blok Tengah diperkirakan akan memiliki jumlah

penduduk 26.305 jiwa dengan kebutuhan lahan permukiman ± 78, 92 ha. Blok

Selatan diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 23.564 jiwa dengan

kebutuhan lahan permukiman ± 70, 59 ha.

Gambar 35. Pembagian Blok Kawasan Perencanaan

Sumber : RDTR Kota Pangalengan

Mayoritas penduduk di Pangalengan memiliki mata pencaharian di

bidang pertanian dan peternakan seperti buruh tani, petani, pedagang, buruh

Blok Utara

Blok Tengah

Blok Selatan

74  

swasta, perkebunan, dan peternak. Dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk

berpenghasilan rendah dan sedang maka disarankan rumah yang banyak dibangun

adalah jenis rumah sederhana yaitu rumah dengan luas lantai bangunan tidak lebih

dari 70 m2 yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai 200

m2. Di dalam Perda RTRW 2008 Pasal 3 dijelaskan pengembangan permukiman

di kawasan perkotaan diarahkan untuk perumahan terorganisir dan rumah susun,

sedangkan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan diarahkan

untuk permukiman yang tumbuh alami dan pengembangan perumahan dengan

kepadatan rendah (<30 unit/ha) namun dalam pengembangannya tetap dibatasi

sesuai dengan fungsi ruangnya yang ditentukan berdasarkan Koefisien Wilayah

Terbangun. Sementara di dalam RDTR Kota Pangalengan diperkirakan jumlah

bangunan yang ada pada tahun 2015 sekitar 17.748 unit meliputi tipe kecil,

sedang dan besar. Dengan demikian kawasan perumahan yang direncanakan di

Kota Pangalengan adalah dengan kepadatan rendah( <30 unit/ha).

Penerapan konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggan

dilakukan dengan mengadaptasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.12

Tahun 2007 Tentang Lembaga Kemasyarakatan.dikombinasikan dengan SNI Tata

Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan yang dijelaskan pada

Tabel 27.

Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggan Satuan Ketetanggan Jumlah Penduduk

1 KK Asumsikan 4 jiwa

1 RT 150 – 250 jiwa (± 63 KK)

1 RW 8 – 10 RT ( ±2500 jiwa)

1 Desa 10- 12 RW (± 30.000 jiwa)

(Sumber : Perda Kab. Bandung No.12 Th. 2007 dan SNI 03-1733-2004)

Dengan mengacu pada pembagian Tabel 27 maka pada tahun 2015 Blok

Utara akan memiliki 9.718 KK, 154 RT, dan 15 RW. Blok Tengah akan memiliki

6576 KK, 104 RT, dan 10 RW. Blok Selatan akan memiliki 5.891 KK, 93 RT,

dan 9 RW.

Sebagai kawasan rawan gempa bumi bertipologi A maka di dalam Kota

Pangalengan terdapat ruang-ruang yang bisa dibangun dengan syarat dan terdapat

75  

pula ruang yang tidak bisa dibangun (Tabel 16). Rencana ruang-ruang yang

dibutuhkan di Kota Pangalengan adalah :

1. Perumahan.

Ruang yang berfungsi sebagai tempat hunian penduduk. Ditempatkan pada

area-area yang memiliki kemudahan akses pada fasilitas penunjang

mitigasi dan jalur sirkulasi saat proses evakuasi.

2. Perkantoran

Area perkantoran memfasilitasi kebutuhan seperti : pusat pemerintahan,

kecamatan, bank, koperasi, dan lain sebagainya.

3. Perdagangan

Yang tercakup di dalam ruang ini adalah area perdagangan souvenir,

cinderamata, jasa, toko kelontong, dan pasar pelelangan sayur.

4. Rekreasi dan Olahraga

Sarana rekreasi dapat berupa taman ketetanggaan atau taman lingkungan.

Sarana olahraga dapat berupa lapangan terbuka atau bangunan gelanggang

olahraga.

5. Pendidikan

6. Kebun

Perkebunan teh eksisting dipertahankan keberadaannya dengan

penyesuaian terhadap rencana blok.

7. Kebun Campuran

Kebun campuran eksisting untuk budidaya sayur-mayur dipertahankan

keberadannya dengan penyesuaian terhadap rencana blok.

8. Terminal

Terminal meliputi terminal utama sebagai pusat angkutan umum dan

terminal-terminal kecil (pangkalan ojek, pangkalan angkot) yang tersebar

di beberapa blok permukiman.

9. Fasilitas

Fasilitas adalah berbagai sarana publik yang menunjang untuk kawasan

permukiman dan sangat diperlukan saat terjadi bencana gempa bumi,

yaitu : fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,

76  

apotik, posyandu), kantor polisi, pemadam kebakaran, gedung

telekomunikasi, PLN.

Gambar 36 menunjukkan matriks hubungan antar ruang yang dibutuhkan

di Kota Pangalengan. Hubungan dekat menunjukkan antar ruang tersebut

memerlukan akses yang mudah dicapai atau langsung. Hubungan tidak dekat

menunjukkan antar ruang tidak terlalu saling berhubungan. Tidak ada hubungan

atau netral menunjukkan antar ruang itu tidak saling memerlukan atau

keberadaannya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Gambar 37

menunjukkan konsep ruang sebagai penggambaran dari matriks hubungan antar

ruang.

Gambar 36. Matriks Hubungan Antar Ruang

Gambar 37. Konsep Ruang

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 (Tabel 15),

pola permukiman yang dapat dikembangkan di Kecamatan Pangalengan bisa

berbentuk mengelompok atau menyebar. Saat ini permukiman di lokasi penelitian

berkembang di sepanjang jalan raya utama Pangalengan dengan bentuk menyebar

dan tidak teratur. Mayoritas rumah-rumah dibangun dengan rapat dan hanya

77  

menyisakan jalan kecil untuk sirkulasi. Pola hunian seperti ini dapat menyulitkan

pergerakan saat menyelamatkan diri. Agar konsep mitigasi dapat berfungsi

dengan baik maka pola permukiman dibuat mengelompok sesuai dengan

pembagian satuan ketetanggaan.

Menurut data monografi Kecamatan Pangalengan tahun 2007 jumlah

penduduk di Kecamatan Pangalengan berjumlah 132.555 jiwa. Untuk mendukung

kebutuhan kesehatan seluruh penduduk maka minimum fasilitas kesehatan yang

dibutuhkan adalah Puskemas dan Balai Pengobatan (Tabel 21). Puskesmas dan

Balai Pengobatan ditempatkan di pusat kota yang mudah dijangkau oleh

penduduk. Selain itu penempatan Puskesmas di pusat kota dapat memudahkan

dalam proses penanganan pasca bencana gempa bumi seperti distribusi obat,

peralatan kesehatan, dan bantuan medis lainnya. Rencana tata ruang pusat kota

berikut infrastruktur pendukung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 40.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007

maka struktur bangunan yang didirikan di Pangalengan disarankan berupa struktur

tahan gempa. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak mudah rusak ketika terjadi

gempa sehingga tidak membahayakan penghuninya. Menurut Frick, Ardiyanto

dan Darmawan (2008), tidak semua gedung harus memiliki ketahan serupa

terhadap gempa. Namun gedung-gedung yang memiliki fungsi vital dalam

keadaan gempa tidak boleh rusak dan harus selalu siap pakai. Misalnya, rumah

sakit, gedung telekomunikasi, PLN, pemadam kebakaran, dan lain sebagainya.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.6/PRT/M/2009 tentang

Pedoman Perencaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan

Tsunami dijelaskan mengenai fasilitas pelayanan penting yang harus siap di saat

kritis bencana alam, yaitu :

a. Kantor Polisi.

b. Kantor Pemadam Kebakaran.

c. Rumah sakit dengan ruang-ruang bedah, pemeliharaan mendadak, atau

darurat.

d. Fasilitas dan peralatan operasi darurat dan komunikasi.

e. Garasi dan tempat perlindungan untuk kendaraan dan pesawat terbang.

f. Peralatan pembangkit tenaga siap pakai untuk pelayanan penting.

78  

g. Tangki atau bangunan lain yang berisi air atau bahan peredam lainnya atau

peralatan yang diperlukan untuk melindungi kawasan penting, berbahaya

atau hunian khusus.

h. Stasiun pengawal permanen.

Dalam Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa

dijelaskan taraf keamanan minimum untuk bangunan dengan konstruksi tahan

gempa, yaitu :

a. Bila terkena gempa bumi yang lemah bangunan tersebut tidak akan rusak

sama sekali.

b. Bila terjadi gempa bumi sedang maka elemen-elemen non-struktural

bangunan boleh rusak. Namun elemen struktural tidak boleh rusak sama

sekali.

c. Bila terjadi gempa bumi kuat maka : bangunan tidak boleh runtuh baik itu

sebagian maupun keseluruhan; bangunan tidak boleh mengalami

kerusakan yang tidak boleh diperbaiki; jika terjadi kerusakan maka harus

dapat cepat diperbaiki dan berfungsi seperti semula.

Bangunan yang tahan gempa memiliki struktur rangka kaku (beton

bertulang, baja, kayu) dengan perkuatan silang. Bangunan seperti ini juga

memiliki karakteristik berat bangunan yang ringan.

Gambar 38. Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang

(Sumber: Frick, Ardiyanto, dan Darmawan, 2008)

Pembangunan rumah hunian dari kayu berbentuk panggung lebih

disarankan. Karena pada saat terjadi gempa di Pangalengan rumah panggung

mengalami kerusakan lebih ringan dari rumah dengan rangka beton. Gambar 39

menunjukkan ilustrasi contoh rumah panggung yang tahan gempa.

79  

Gambar 39. Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan Pondasi

Tiang (Sumber : Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa Departemen Pekerjaan

Umum, 2006)

Gambar 40. Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan

80  

5.2.2. Rencana Evakuasi

Pada saat terjadi bencana gempa bumi 2 September 2010 lalu warga

masyarakat Pangalengan memanfaatkan lahan terbuka untuk lokasi pengungsian

sementara. Lahan-lahan terbuka yang digunakan adalah lapangan, kebun dan

perkebunan teh yang pada saat itu kebetulan sedang dibuka untuk proses

penanaman ulang. Kondisi lokasi-lokasi pengungsian tersebut minim fasilitas

yang dapat membantu warga bertahan hidup pasca bencana. Sekitar 15.000 warga

masyarakat terpaksa tinggal di tenda-tenda dengan kondisi yang serba kekurangan.

Gambar 41. Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa Pangalengan

(Sumber : Pelbagai Sumber)

Sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempa bumi maka perlu

adanya penentuan lokasi pengungsian atau titik-titik evakuasi di kawasan

permukiman. Lokasi yang dimanfaatkan sebagai zona evakuasi adalah ruang-

ruang terbuka di dalam kawasan permukiman. Ruang-ruang terbuka tersebut dapat

dimanfaatkan penduduk sebagai area rekreasi saat tidak terjadi bencana.

Kebutuhan luas setiap ruang terbuka disesuaikan dengan daya tampung

tenda pengungsian. Tenda pengungsi yang umum digunakan di Indonesia adalah

tenda-tenda tentara yang terdiri dari tenda komando berkapasitas 10 orang dengan

ukura 24 m2, tenda regu berkapasitas 20 orang dengan ukuran 36 m2, dan tenda

peleton berkapasitas 45 orang dengan ukuran 70 m2. Tabel 28 menjelaskan

kebutuhan ruang terbuka sebagai zona evakuasi beserta kemampuan daya

tampung.

Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi Zona Lokasi Luas Daya Tampung

Mikro RT 350 m2 60 KK / 250 jiwa / 5 tenda peleton Meso RW 3850 m2 625 KK / 2500 jiwa / 55 tenda peleton Makro Desa 4,7 ha 7500 KK / 30.000 jiwa / 667 tenda peleton

81  

Untuk dapat menunjang kondisi para pengungsi di zona-zona evakuasi

maka lokas-lokasi tersebut harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang

dapat berfungsi optimal pasca bencana. Tabel 29 menjelaskan rencana fasilitas

yang dibutuhkan pada setiap zona evakuasi. Ilustrasi lokasi setiap zona evakuasi

ditunjukkan pada Gambar 42.

Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi Zona Fasilitas

Mikro Penunjuk arah, tempat duduk, tenda darurat, tempat berkumpul sementara Meso Penunjuk arah, tenda darurat, sarana air bersih, dapur umum, toilet darurat Makro Penunjuk arah, tenda darurat, dapur umum, gedung serbaguna, sarana air bersih, toilet

umum, balai pengobatan, pusat pengendalian pasca bencana, gudang (bahan pangan, obat-obatan, selimut, dll), tenaga listrik portable

5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi

Desain jejaring jalur sirkulasi tidak hanya berfungsi sebagai akses

pergerakan pada kondisi normal namun juga efektif sebagai jalur evakuasi saat

terjadi bencana dan penanganan pasca bencana. Akses sirkulasi terbuka atau bebas

dari hambatan ke seluruh bagian permukiman menjadi hal yang penting untuk

upaya penyelamatan dan proses evakuasi penduduk. Jalur sirkulasi yang

diterapkan tidak hanya untuk kemudahan pergerakan manusia. Berbagai peralatan

dan kendaran untuk penanganan bencana harus dapat dengan mudah melewati

jalur-jalur sirkulasi ini.

Jejaring sirkulasi dikembangkan dengan memanfaatkan jalur sirkulasi yang

sudah ada. Perubahan lebar jalan diperlukan agar sesuai dengan konsep yang telah

ditentukan. Penambahan jalur jalan dapat dilakukan dengan menyesuaikan pada

pola permukiman. Gambar 44 menunjukkan rencana jalur sirkulasi yang

diterapkan pada kawasan. Sedangkan gambar 45 menunjukkan rencana alur

pergerakan penduduk saat proses evakuasi.

Untuk mengatur dan mengarahkan penduduk ke tempat-tempat evakuasi

maka perlu dibuat rambu-rambu penunjuk arah. Rambu-rambu ini ditempatkan

pada lokasi-lokasi yang mudah dilihat. Desain rambu tidak boleh terlalu rumit.

Penggunaan simbol-simbol sederhana dan tulisan yang jelas dibaca akan lebih

baik. Huruf atau gambar yang kontras dengan latar belakang akan lebih mudah

dibaca Karakter huruf dengan tinggi 20 cm pada sebuah rambu dapat dibaca

82  

83  

dengan jelas hingga jarak sekitar 123 m saat bergerak pada kecepatan 12-19

km/jam. Tabel 30 menunjukkan standar tinggi karakter huruf pada rambu-rambu.

Contoh rambu penunjuk arah seperti yang ditunjukkan pada gambar 43.

Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu Tinggi huruf (mm) Jarak Maksimal Baca (m) Kecepatan Lalu Lintas

(km/jam) 5 3 Pejalan kaki 6 3,7 8 4,9

10 6,2 12 7,4 15 9,2 20 12,3 25 15,4 30 18,5 40 24,6 Kendaraan 50 30 3-6 60 37 3-6 80 49,3 6-9 100 61,6 6-9 120 73,9 12-19 150 92,4 12-19 200 123,2 12-19

( Sumber : Time-Saver for Landscape Architecture)

Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu Latarbelakang Rambu Papan Rambu Legenda Rambu

Bata merah atau dinding gelap Putih Hitam, hijau gelap atau biru gelap Bata terang atau dinding terang Hitam atau warna gelap Putih atau kuning Dinding putih Hitam atau warna gelap Putih atau kuning Vegetasi hijau Putih Hitam, hijau gelap atau biru Back-lit sign Hitam Putih atau kuning (Sumber : Landscape Architect’s Pocket Book, 2009)

Gambar 43. Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi Evakuasi

(Sumber : Standar Nasional dan ISO Rambu Evakuasi Menristek)

84  

85  

86  

5.2.4. Rencana Vegetasi

Vegetasi memiliki beragam fungsi dalam suatu kawasan permukiman.

Beberapa manfaat dari penanaman vegetasi di kawasan permukiman diantaranya

adalah untuk esetetika, ameliorasi iklim, pembatas, pembentuk ruang dan

pengatur sirkulasi.

Kota Pangalengan berada pada daerah dengan iklim sejuk karena berada

pada ketinggian sekitar 1500 mdpl. Kota Pangalengan juga terletak pada kawasan

berfungsi lindung di luar hutan lindung. Penanaman vegetasi non-produksi

berperan penting untuk membantu penyerapan air di sekitar kawasan tersebut

sehingga neraca air tidak terganggu. Selain itu vegetasi non-produksi seperti

pepohonan besar dengan perakaran kuat dapat membantu mencegah longsor di

area-area dengan persentasi kelerengan tinggi. Vegetasi produksi atau vegetasi

budidaya (sayur-mayur, kebun teh) yang saat ini ada di Kota Pangalengan dapat

dipertahankan. Pembangunan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman

bertujuan agar warga masyarakat tidak menggunakan kebun-kebun yang ada

sebagai tempat pengungsian.

Berdasarkan konsep yang telah ditentukan maka vegetasi di wilayah

perencanaan dibagi ke dalam 4 jenis vegetasi sesuai dengan fungsinya yang terdiri

atas vegetasi budidaya, vegetasi pengarah, vegetasi koservasi dan vegetasi

penaung. Vegetasi budidaya berupa kebun-kebun campuran eksisiting berfungsi

sebagai cadangan pangan pada saat penanganan pasca bencana. Sedangkan untuk

vegetasi pengarah, konservasi dan penaung dapat memanfaatkan vegetasi endemik

atau vegetasi lain yang sesuai dengan ekosistem kawasan perencanaan. Pemilihan

jenis vegetasi untuk pengarah dan penaung diupayakan menyesuaikan dengan

fungsi arsitektural sehingga menjadi efektif saat penerapan di kawasan. Gambar

46 menunjukkan ilustrasi fungsi vegetasi di kawasan perencanaan. Sedangkan

rencana vegetasi ditunjukkan pada Gambar 47 dan Gambar 48.

87  

(a)

(b)

(c)

Gambar 46. Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan. (a). Vegetasi Konservasi; (b) Vegetasi Pengarah; (c) Vegetasi Penaung;

88  

89  

45