bab tujuh gus-ji-gang komunitas pengusaha...
TRANSCRIPT
261
BAB TUJUH
GUS-JI-GANG SEBAGAI SOCIAL CAPITAL
KOMUNITAS PENGUSAHA INDUSTRI KECIL
BISNIS KELUARGA BORDIR
Pendahuluan
Dalam bab ini dikemukakan fenomena komunitas Industri
Kecil Bisnis Keluarga (IKBK) bordir beserta karakter perilakunya yang
mendasari dan memperkuat social capital melalui dialektika sosial
pengembangan parameter social capital yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai
dasar kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak sebagai
dasar membangun jaringan usaha. (4) Sistem hubungan sosial yang
terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling meng-
untungkan.
Perilaku Gus-ji-gang yang telah dilaksanakan tanpa disadari
oleh masyarakat Kudus sejak jaman Sunan Kudus sampai sekarang,
khususnya pengusaha IKBK Bordir sebagai suatu kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari termasuk dalam kegiatan bisnis merupakan
struktur mental/kognitif. Bourdieu mengemukakan konsep yang
disebut practice atau praktik. Dalam praktik ini maka perilaku Gus-ji-gang menstrukturkan dunia sosial (eksternalization of internality) dan
sebaliknya melalui praktik pula, Gus-ji-gang distrukturkan oleh dunia
sosial (internalization of ekternality). Proses menstrukturkan dan
distrukturkan berlangsung secara dialektika dalam lembaga formal dan
non formal secara terus-menerus dalam jangka panjang, dan proses
seperti inilah yang mendorong terjadinya social capital.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
262
Perwujudan Gus-ji-gang sebagai Social Capital
Gus-ji-gang di dalam persoalan duniawi dengan melakukan
kegiatan ekonomi atau dagang dalam rangka memperoleh rejeki
dihubungkan dengan tawakal, karena pada dasarnya perilaku tawakal adalah membangun transendensi kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Perilaku tawakal pada diri pengusaha di Kabupaten Kudus dalam
kehidupan ekonomi yang menekankan pada mencari keuntungan
dengan bekerja keras dan sungguh-sunguh serta selalu dekat dengan
Tuhannya, telah menjadikan dasar membentuk pengusaha masyarakat
Kudus memiliki kepribadian luhur atau “Gus” dalam Gus-ji-gang yaitu
perilaku bagus (jujur dan dapat dipercaya) serta perilaku “Ji” dalam
meningkatkan kekuatan religius dengan berhaji atau mengaji. “Gus”
dan “Ji” bertemu dalam kegiatan praktik disebut dagang. Pertemuan itu
oleh Bourdieu disebut dengan praktik merupakan realitas sosial, yang
dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses “dialektika
internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas”1 yang dapat
memunculkan habitus.
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan
pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu.
Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik2. Praktik diatur dan
digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar menjadi
tindakan sosial, menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan hasil
proses improvisasi individu dan kemampuan berperan dalam interaksi
sosial. Gus-ji-gang sebagai nilai dan norma adalah spesifik, yakni nilai
moral yang berrefleksi tentang perilaku normatif dan perilaku faktual,
dalam konteks ilmu sosial nilai-nilai berrefleksi pada perspektif
empiris-faktual (Bertens, 2003). Nilai-nilai dan norma dalam konteks
social capital di sini adalah faktor-faktor yang memegang peran
penting dalam proses perdagangan/bisnis karena memiliki derajat efek
ekonomi yang disebabkan oleh aspek ekonomi dan non ekonomi.
Menurut Yustika (2006), manifestasi nilai dan norma dapat dinyatakan
sebagai social capital, yaitu dengan mengelaborasi berdasarkan
kesesuaian dengan perspektif bentuk-bentuk social capital sebagaimana
diajukan oleh Coleman (1988) dalam Yustika (2006) yaitu: Pertama,
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
263
berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) terpenuhi dengan
baik, adanya ekspektasi dan kepercayaan lingkungan sosial secara baik.
Artinya dalam struktur sosial memiliki kepercayaan sangat tinggi maka
akan mendatangkan social capital yang lebih baik daripada kondisi
sebaliknya. Kedua, jaringan informasi, yakni aktor (pengusaha IKBK
bordir sebagai pelaku) yang mendapatkan dan atau memiliki basis
jaringan informasi komunikasi lebih luas akan memiliki social capital lebih besar. Ketiga, nilai dan norma sebagai struktur sosial yang
memiliki sifat kondusif bagi suatu komunitas, maka akan menjadi
pendorong terhadap kemajuan dan perubahan yang lebih baik dan
struktur sosial yang demikian ini memiliki social capital yang lebih
baik.
Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial, kebanyakan
aktor (individu atau kelompok) cenderung menerima dunia sosial apa
adanya serta terjadi interaksi antar-sruktur dan tindakan agen sebagai
elemen social capital (Hasbulah, 2006) yang terdiri dari enam elemen
yaitu keluarga dan kerabat3, kehidupan asosiasi kelompok4, jaringan
sosial5, masyarakat politik6, institusi7, dan norma atau nilai-nilai sosial8,
yang saling mempengaruhi di dalam rangka membentuk social capital. Elemen-elemen social capital akan menjadi sumber munculnya
interaksi sosial antara orang-orang dalam satu komunitas industri kecil
berbasis keluarga.
Gus-ji-gang sebagai Dasar Pembentukan Social Capital di
Kalangan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis
Keluarga Bordir
Social capital dalam komunitas IKBK bordir di Pedurenan
Kecamatan Gebog tercipta bersumber dari anasir-anasir nilai yang
dimiliki setiap pengusaha IKBK yang bersenyawa dalam interaksi di
lingkungannya, karena dapat diterima oleh komunitas tersebut maka
menjadi tradisi kehidupan lingkungan pengusaha IKBK bordir dan
selanjutnya menjadi acuan bertindak para pengusaha IKBK bordir
dalam menjalankan usaha sehari-hari yang disebut dengan norma.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
264
Norma yang tumbuh di lingkungan pengusaha IKBK bordir disebabkan
juga oleh keyakinan agama yang dianut (Islam) oleh sebagian besar
pengusaha IKBK bordir.
Di kalangan komunitas IKBK bordir terdapat suatu nilai atau
norma yang timbul akibat hubungan timbal balik di antara sesamanya,
yang menumbuhkan ikatan sosial atau kesetiakawanan sosial. Norma-
norma yang ada merupakan peraturan secara informal yang mengatur
tentang hubungan serta tata kehidupan berdagang sehingga
menumbuhkan trust atau kepercayaan antara satu sama lain.
Norma yang tumbuh di lingkungan IKBK bordir didasarkan
pada nilai keyakinan agama (Islam) yang dianutnya. Seperti yang
dikatakan Bapak H.Moch Ansori9:
“Setiap umat Islam yang melakukan kegiatan bisnis, termasuk di Padurenan Kecamatan Gebog, pasti didasarkan pada akidah Islam yang menuntut nilai-nilai ke-Tuhanan yang mendasari etos kerja bagi seorang muslim, seperti berakhak baik sebagai keutamaan karakter. Hal ini dapat membentuk suatu sikap wirausahawan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial di lingkungannya”
Peneliti dan staf pengajar STAIN Sunan Kudus Bapak Nur
Said10 menjelaskan mengenai etos kerja seorang muslim di Kudus
sebagai berikut:
“Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, di samping memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu juga memiliki etos kerja yang diandalkan, kemudian muncul konsep „Gus-ji-gang”, yaitu harus bagus akhlak, pinter ngaji dan pinter berdagang. Memposisikan Gus-ji-gang sebagai tanda bagi masyarakat di Kudus yang memiliki hubungan paradigma dengan Kanjeng Sunan Kudus yang “waliyyul ilmy” dan ”wali saudagar”.
Sebagai makhluk sosial, seorang pengusaha IKBK bordir
maupun pembeli (pelanggan) bahkan pemasok bahan baku sebagai
manusia sangat memerlukan orang lain, dan untuk itulah terdapat
kecenderungan untuk melakukan kerja sama dan saling berinteraksi
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
265
termasuk dalam melakukan transaksi. Karenanya untuk kerperluan
tersebut sangat diperlukan nilai dan norma guna mengatur dalam
berperilaku dalam bertransaksi yang saling menguntungkan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fukuyama (1999) bahwa sekumpulan nilai
informal atau norma yang menyebar di antara kelompok yang
memungkinkan kerja sama terjadi di antara mereka. Kerja sama
tersebut terjadi apabila antar anggota kelompok masyarakat tersebut
memenuhi apa yang diharapkan antara mereka bahwa lainnya akan
bertingkah laku dengan dapat diandalkan dan memiliki kejujuran,
kemudian mereka akan saling mempercayai satu sama lain.
Kepercayaan adalah seperti minyak pelumas yang membuat jalannya
organisasi lebih efisien.
Selanjutnya Lawang (2005) mengatakan bahwa, norma menjadi
social capital haruslah bersifat positif, dengan alasan, bahwa (a) social capital itu harus mendorong pertumbuhan ekonomi; kalau tidak
demikian maka bukan dinamakan kapital, (b) social capital mampu
membuat pertumbuhan ekonomi itu berdampak pada peningkatan
kesejahteraan sosial, tidak hanya sebatas bagi yang termasuk dalam
lingkungan persahabatan itu khususnya, tetapi masyarakat secara luas.
Menurut H.Gufron11 tokoh masyarakat Desa Padurenan dan
pengurus KSU Padurenan Jaya, menjelaskan bahwa nilai ke-Tuhanan
yang tinggi tersebut oleh individu pengusaha dalam menyeimbangkan
dan menyelaraskan kepentingan bisnis dan tanggung jawab sosial
sebagai mahkluk sosial yang bermasyarakat, hal itu diungkapkan
sebagai berikut:
“Hidup ini melaksanakan amanah dan menjaga amanah yang berasal dari Allah menjadi dasar bagi perilaku seorang pengusaha yang mampu melahirkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas sebaik-baiknya sebagai pengusaha dalam mencapai tujuan yang diharapkan dan amanah tersebut akan terus dilakukan secara terus menerus untuk membangun kepercayaan, kejujuran, kerja sama usaha kepada konsumen maupun di antara sesama pengusaha IKBK bordir sehingga akan terbangun kinerja ekonomi yang unggul di lingkungan IKBK bordir, bahkan tidak ketinggalan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
266
kehidupan kebersamaan di masyarakat sini melakukan kegiatan-kegiatan kumpulan keagamaan harus diikuti pada malam harinya seperti pengajian, slametan”.
Bentuk-bentuk ketaatan terhadap norma agama dalam kegiatan
keagamaan masyarakat Kudus misalnya tadarusan, pengajian maupun
slametan, dan selapanan akan digunakan masyarakat sebagai ajang
silaturahmi termasuk para pengusaha, tetangga dan para kerabat
dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama, kepercayaan. Menurut
Baharudin (2010), ajang silaturahmi banyak dipergunakan para pelaku
usaha untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap usaha
bisnisnya, contoh kepercayaan adalah keluarga, sebagian besar bisnis
yang berlangsung sejak dulu hingga saat ini dalam bisnis–bisnis
keluarga. Para pengusaha IKBK bordir sebagai bisnis keluarga yang
didasarkan atas basis kepercayaan.
Betapa pentingnya kepercayaan bagi pengusaha, maka Glasser
et.al (2000) menjelaskan bahwa, kepercayaan sebagai modal dasar dan
dapat memperkuat kohesi social capital. Kepercayaan sebagai modal
dasar merupakan dasar dari social capital itu sendiri, sebab dengan
memiliki kepercayaan maka akan timbul suatu harapan dan melalui
harapan yang didasari kepercayaan dapat mempermudah melakukan
kerja sama dan dapat melakukan transaksi dalam kegiatan bisnis.
Menurut Lawang (2005) ada 3 (tiga) substansi pokok yang saling terkait
untuk membangun kepercayaan yaitu: (i) Hubungan sosial antara dua
orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang diwakili oleh
orang), (ii) dalam hubungan tersebut, terdapat harapan yang bilamana
diwujudkan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak,
(iii) Hubungan dan harapan ini dimungkinkan melalui interaksi sosial.
Jadi berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan merupakan “hubungan dua pihak atau lebih” yang
memuat harapan yang menguntungkan dua pihak atau lebih melalui
interaksi sosial12. Kepercayaan tidak saja membina sebuah hubungan
antar dua individu atau kelompok, terutama hubungan kerja sama dan
kepercayaan, juga merupakan alasan utama yang dapat sebagai social capital dalam mencapai tujuannya. Kepercayaan menurut Coleman
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
267
(dalam Fukuyama, 2007) adalah pengharapan yang muncul dalam
sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif,
berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan
anggota yang lain dari komunitas itu. Norma yang berlaku di dalam
masyarakat, sering disebut dengan norma sosial.
Tolok ukur keberhasilan bisnis, secara ekonomis yaitu
menghasilkan keuntungan. Menurut Bertens (2000), ada tiga tolok
ukur berdasarkan sistem hukum dan menurut norma yaitu: a).Tidak
betentangan dengan suara hati nurani, yaitu sesuatu (nilai) yang terkait
dengan keyakinan terdalam. Hati nurani adalah menyangkut tentang
integritas pribadi manusia. Karena hati nurani besifat subyektif,
sehingga tidak terbuka dengan orang lain, sebagai norma moral hati
nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai ukuran umum; b) untuk
obyektivitas maka perlu disertai norma-norma lain, yaitu
memperlakukan orang lain, sebagaimana diri sendiri ingin
diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu tindakan tertentu
pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin diperlakukan
sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain, c) guna
efektivitasnya diperlukan pula ”penilaian umum” atau penilaian
masyarakat sebagai “audit sosial”, yang seluas dan seterbuka mungkin.
Pengusaha bordir sebagai manusia tidak hanya sebagai homo economicus yang hanya mementingkan keuntungan semata, tetapi
masih memiliki aspek lain yang tidak kalah pentingnya dalam
menentukan pola perilaku dan tindakan dalam berdagang, misalnya
nilai dan norma, kepercayaan, hubungan timbal balik maupun
pengembangan jejaring usaha.
Pengusaha sebagai individu dan anggota suatu masyarakat
menjaga kepercayaan dalam suatu interaksi sosial akan menjadi suatu
yang sangat penting jika interaksi sosial tersebut dilandasi oleh
kepercayaan, hal ini sebagaimana yang diungkapkan beberapa
pengusaha IKBK bordir sebagai berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah13 menjelaskan bahwa:
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
268
“injih leres sanget, menawi bisnis meniko kedah kathah rencangipun, kalian sinten kemawon lan dipunlandasi roso pithadosan, khan aneh kekancan tanpo kepithadosan kodos pundi” Artinya: Sangat benar, dalam bisnis harus banyak teman, dengan siapa saja dan dilandasi rasa kepercayaan, kan aneh bila berteman tanpa dilandasi kepercayaan, gimana.
Ibu Nurul Hikmah14 mengatakan:
“Hubungan antar teman usaha atau bukan teman usaha itu harus didasari rasa percaya, kalau tidak kan lucu”
Bapak Moch Anshori15 mengatakan:
“menjalin silaturahmi dengan sesamanya itu perintah Allah, maka pasti didasari rasa saling percaya, kalau tidak didasari saling percaya ya silaturahmi tidak akan berjalan baik, apalagi dalam bisnis”.
Bapak H.Hasan16 mengatakan:
“berteman dalam berbisnis itu penting, tapi yang tidak kalah pentingnya berteman bisnis dengan menjaga kepercayaan supaya hubungan dapat terjaga berjalan terus”.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para
informan di atas dapat dipahami bahwa setiap melakukan hubungan
antar-individu yang dibangun para pengusaha tersebut dengan orang
lain selalu dilandasi dengan kepercayaan. Menurut mereka
kepercayaan merupakan kekuatan moral17 yang di dalamnya secara
implisit ada pada kalimat ajo mitunani wong liya artinya jangan
merugikan orang lain. Menurut Suseno (2005), kalimat itu merupakan
norma moral terpenting dan atau prinsip dasarnya etika sosial Jawa.
Tujuan sikap integrasi dengan kekuatan moral aja mitunani wong liyo18 adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain,
saling membuat bahagia, dan tidak saling mengganggu. Nilai-nilai
moral tata krama Jawa yang diungkapkan dalam sikap hormat dan
sikap rukun justru sebagai usaha untuk menghasilkan itu19.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
269
Sedangkan menurut Bapak Nur Syafiq pengusaha bordir berusia
55 tahun, untuk mempercayai seseorang dalam hubungan bisnis, beliau
tidak langsung percaya pada orang yang baru dikenal, yang penting
dalam menghadapi harus bersikap baik dan ramah meskipun harus
lebih hati-hati dalam mengambil keputusan apakah akan mempercayai
orang tersebut atau tidak. Hal itu dilakukan karena sekarang banyak
sekali orang yang berpenampilan dan tutur kata baik tetapi orang
tersebut seorang penipu dan sering bohong. Kehati-hatian itu karena
modal saya kecil maka kalau ditipu bagaimana. Berikut ini ungkapan
dari Bapak Nur Syafiq20 yang menyatakan:
“Kodhos pundi jaman sakmeniko katah tiyang sering apus-apus, kito kedhah atos-atos menawi bisnis, menopo malih kaliyan tiyang enggal kenalipun, menawi tiyang meniko sampun dipun kenal lami lan sampun mangertos athen-athen nipun ya kawulo pitados, amargi modal kawulo alit, mangke menawi dipun apusi kadhos pundi, ingkang baku kito kedah ramah lan sopon kaliyan sinthen kemawon ,inggih alhamdulillah kawolu dereng nate kapusan” Artinya: Bagaimana jaman sekarang banyak orang sering menipu, kita harus hati-hati kalau bisnis, apalagi dengan orang yang baru dikenal, tetapi kalau dengan orang sudah dikenal dan sudah tahu perilakunya ya pasti percaya, sebabnya modal kecil, kalau ditipu gimana, yang penting kita harus ramah dan sopan dengan siapa saja, yah alhamdulillah sampai sekarang belum pernah ditipu.
Seperti yang diterangkan di atas oleh para informan, Gus-ji-gang sebagai identitas karakter dan kepribadian yang unggul
masyarakat Kudus, yang merupakan satu kesatuan kata “gus” (bagus
rupa dan bagus akhlak), “ji” (kaji atau pintar ngaji) dan “gang” (pintar
dagang) yang memiliki sifat holistik dan koherensi. Konsep ”gus” dan
“ji” yaitu beraklak baik dan melakukan pembelajaran dengan mengaji
atau pergi kaji/haji itu merupakan kekuatan membangun internalisasi
kekuatan “spiritualitas” yang memiliki nilai kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa dan sekaligus di dalamnya menjelaskan nilai-nilai
rasionalitas dengan parameter tidak terukur. “Gang” yaitu dagang yang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
270
identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur
seperti keuntungan, kerugian, transaksi.
Jadi kekuatan spiritualitas yang dimiliki masyarakat Kudus
dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar kekuatan-
kekuatan transendensi untuk membentuk spiritual dagang yang tidak
hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen
tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial,
pengembangan, maupun keadilan. Ketiga karakter yaitu “gus”, “ji”, dan
“gang” secara harmonis melekat pada diri masyarakat Kudus, yaitu
religius yang mendorong kerja yang ulet, kuat dan hemat di dalam
melakukan kegiatan ekonomi yaitu dagang ala Kudus.
Menurut Abdul Jalil (2014), penempatan Sunan Kudus dengan
kearifan lokalnya sebagai suatu rujukan dalam berperilaku dan
berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi
masyarakat. Sehingga di Kudus, Muslim yang taat dalam beribadah dan
ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di masyarakat.
Karena itu bisa dimengerti jika di Kudus Kulon sebagai asal mula
munculnya Gus-ji-gang yang kemudian berkembang di seluruh
wilayah Kudus, telah berkembang mitos larangan menikahkan anak
gadis dengan pegawai negeri, orang tua pada waktu dahulu lebih
memilih pasangan seorang santri saudagar karena cepat mendapatkan
kekayaan dan memiliki keimanan yang kuat, meskipun sekarang ini
mitos larangan sudah mulai pudar. Bahkan sekarang telah berubah
terbalik bekerja di pegawai nageri menjadi pilihan utama, baru
berdagang kalau tidak diterima sebagai pegawai negeri karena sebagai
pegawai negeri masih bisa memiliki pekerjaan sampingan berdagang.
Pada umumnya pengusaha bordir banyak yang tidak mengerti
istilah Gus-ji-gang, bila ada yang mengerti istilah itu yaitu mereka
mendengar saat mengikuti pengajian, namun pada umumnya
pengusaha Kudus telah melakukan secara operasional mempraktikkan
Gus-ji-gang yaitu “gus” berperilaku bagus, “ji” yaitu pintar mengaji dan
“gang” yaitu pintar dagang. Namun dalam kehidupan sehari-hari tanpa
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
271
mereka sadari, termasuk dalam berbisnis bordir telah melakukan
praktik Gus-ji-gang.
Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi
masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas ekonomi antara lain
berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh
melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada
budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh
keutamaan, menurut Bertens (2011), sama kompleksnya dengan
seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya
membaca buku-buku, instruksi, atau mengikuti kursus saja. Namun,
menurut Sonny Keraf (2002), dengan metode reflektif kritis
merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan
keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara
moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan
norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan
moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua, masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan
keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut
oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang
manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau
sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya.
Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk
memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan
dagang Jawa di Kudus dapat dianalisis dengan teori kritis21 terhadap
nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.
Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral
mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui
internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud
pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan menentukan
ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan melalui cara
bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun22
kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai pendapat
umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun ini
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
272
searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai penghimpunan
kekuatan social capital23. Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar
masyarakat mencapai keselarasan, tidak hanya orang-perorangan,
tetapi masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam komunitas pengusaha
IKBK bordir sebagai masyarakat Jawa memiliki habitus seperti sabar,
kerja sama, patuh dan rela berkorban, sehingga terciptanya keadaan
yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan
tata titi tentrem kerta raharja. Orang Jawa termasuk masyarakat Kudus
dalam hidupnya selalu mengharapkan tetap terpeliharanya keteraturan
relasi yang ada (Anderson, 1965). Menurut Geertz (1964), semua unsur
yang ada dalam keadaan keselarasan dan memuat pada konsep rukun
dan hormat dipakai sebagai dasar kehidupannya. Demikian pula dalam
kehidupan sosial, selalu menjaga keselarasan sosial dengan cara
mencegah konflik. Guna menjaga keselarasan tersebut, seseoarang
harus mampu mengontrol hawa nafsu dan mengembangkan sikap sepi ing pamrih dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan pangkat dan
derajatnya dengan rame ing gawe. Dengan sepi ing pamrih dan rame ing gawe tersebut diharapkan masyarakat atau komunitas pengusaha
IKBK bordir dapat slamet, tenang hidup batinnya, tenteram dan aman.
Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan rukun
tersebut sebagai acuan caranya bersikap kekeluargaan atau bergotong-royong baik di pemikiran atau tindakan (teknis pelaksanaan)24 dalam
realitas sosial25 Jawa yang modern atau sesuai di masanya.
Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang kedua
itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di Kudus.
Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa, antara
keutamaan moral dengan dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa
adalah sumber social capital merupakan satu kesatuan yang saling
mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap dan bertindak secara
terus-menerus (dinamis) baik pada dataran pemikiran pedagang atau
cara pelaksanaannya yang sesuai (modern) dan berlaku di masanya.
Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang
hakikat kebudayaan. Menurut Peursen, hakikat kebudayaan sama
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
273
dengan hakikat manusia, jika ditulis di buku tidak akan ada habis-
habisnya. Kebudayaan pada dasarnya merupakan kristalisasi dari
berbagai kegiatan serta karya manusia26. Geertz menjelaskan,
kebudayaan adalah susunan dinamisnya ide-ide dan aktivitas-aktivitas
yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain secara
terus-menerus27, karenanya, sebelum menganalis tiga hal tersebut
diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam kontruksi
teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial (social capital) pedagang di Kudus. De Jong (1976) dalam Endraswara (2006)
mengemukakan, unsur sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus)
adalah sikap rila (rela), nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan
mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa dalam segala persoalan.
Rela disebut juga ikhlas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik,
kemampuan dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas
dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi
mengucapkan matur nuwun (terima kasih). Sabar menunjukkan
ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang bergolak.
Masyarakat Kudus pada umumnya (di luar orang yang tinggal di
lingkungan Menara Kudus) disebut sebagai orang awam adalah orang
kebanyakan atau orang biasa. Mereka memeluk agama tetapi tidak ahli
mengenai ilmu agama, sebagian aktif dan taat. Mereka selalu mengikuti
pengajian yang diisi oleh kyai atau ustad di masjid-masjid atau di mana
saja pengajian itu diadakan, dengan harapan akan mendapat berkah
dan pahala masuk surga. Mereka berkeyakinan semakin sering
mengikuti pengajian semakin banyak berkah dan pahala yang mereka
peroleh. Jika ditanyakan untuk apa mereka mengikuti pengajian,
biasanya akan dijawab ”kanggo sangu mati”, artinya untuk bekal nanti
kalau meninggal “munggah suwargo” atau naik ke surga. Bahkan pada
umumnya, mereka kelihatan tidak peduli apa saja yang disampaikan
para kyai atau ustad dalam pengajian, yang paling penting mereka
mengikuti pengajian, mereka akan mendapat berkah dan pahala.
Semakin banyak berkah dan pahala yang mereka kumpulkan setiap
mengikuti pengajian semakin besar kemungkinan nanti setelah mereka
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
274
meninggal akan dapat hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke
surga.
Pengajian yang mereka ikuti akan menumbuhkan kesadaran
manusia akan adanya hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, atau
sesuatu yang dipersepsikan sebagai proses transendental. Proses inilah
yang sering disebut dengan spiritualitas28.Dengan demikian spiritualitas
mencakup perilaku inner life individual, idealisme, sikap, pemikiran,
perasaan, dan pengharapannya kepada Yang Mutlak. Perilaku spiritual
tersebut timbul dan mengubah jalan hidup pelaku menuju kesadaran
atas kekeliruan yang telah mereka lakukan. Kedua, perilaku spiritual
muncul ketika kita menentukan pilihan. Ketiga, perilaku spiritual
muncul ketika kita merasa istimewa, unik, dan tidak tergantikan oleh
orang lain. Keempat, perilaku spiritual membersit dalam tanggung
jawab, dan Kelima, perilaku spiritual akan mencuat dalam situasi
transendensi.
Menunjuk pada wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah,
pemilik usaha bordir “Fadillah” sama sekali tidak mengesankan cara
pandang tentang betapa lebih pentingnya suatu modal financial, tidak
pula mengunggulkan pengalaman belajar dan berusaha bordir dari
orang tuanya, pada waktu dia masih muda diajarkan teknik menjahit
dan disain bordir serta berjualan bordir. Pemilik usaha bordir
“Fadillah” tidak pernah mendapatkan pendidikan formal yang
mengajarkan teori nilai dan norma berbisnis, tentang pentingnya
jaringan usaha dan kepercayaan sebagai modal usaha. Namun mereka
hanya mendapat sentuhan pendidikan informal melalui pengajian-
pengajian yang selalu diikuti setiap bulan 2 s/d 3 kali, yang
disampaikan para kyai atau ustad tentang pentingnya nilai-nilai agama
maupun saran atau petuah-petuah orang tua tentang kehidupan
bahkan beliau memiliki keinginan menunaikan ibadah haji lagi
bersama suami.
Berikut wawancara peneliti dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah29
sebagai berikut:
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
275
“Menambah bekal ilmu dan membangun jaringan sosial niku injih wajib kagem tiyang gesang., injih derek pengajian. Dados inggih kedah seimbang, menawi derek pengajian terus, kesupen usahanipun lajeng rejeki saking pundhi lan ingkang baku tiyang meniko yen „Nandhure Apik Ngunduhe Apik‟ niku ular-ular saking tiyang sepuh kawulo lan dadi wong sing duwe sikap relo, narimo dan sabar” Artinya: menambah bekal ilmu dan membangun jejaring sosial itu juga wajib buat orang hidup, ya ikut pengajian, jadi harus seimbang, kalau ikut pengajian terus, melupakan usahanya lalu rejeki dari mana, dan yang mendasar orang itu kalau „menanam baik akan memperoleh hasil baik‟, itu petuah orang tua saya dan jadi orang itu punya sikap iklas, menerima dan sabar.
Selanjutnya Ibu Sri Murni‟ah menyampaikan kepada peneliti
bahwa:
“kawulo inggih kepengin sowan ngilen (naik haji) malih kalian bapak (suami), injih kagem nambah ibadah lan langkung celak kalian Gusti Allah, tambah iman lan kagem sangu urip, supados saget nampi menepo kemawon paringane Gusti Allah lan supados anggenipun nyambut gawe meniko saget baroqah kagem keluarga” Artinya: Saya juga berkeinginan datang ke barat (menunaikan Haji) lagi dengan suami, ya untuk menambah ibadah dan lebih dekat dengan Gusti Allah, tambah iman dan buat sangu hidup, supaya bisa menerima apa saja pemberian Gusti Allah, supaya dalam bekerja bisa barokah buat keluarga.
Informan Bapak H.Noor Kholid30 pengusaha bordir menyatakan
lebih lanjut dalam cuplikan wawancara:
“Dadi wong niku sing jujur lan dipercoyo kanggo dagang utowo urip saben dinane, trus ya kerja keras sebab kanggo ngentukake penghasilan ya kudu usaha disik lan selain iku ojo lali karo ibadah menurut agamane, ya bershodakhoh kanggo wong sing membutuhkan” Artinya: jadi orang itu harus jujur dan dipercaya buat dagang atau kehidupan sehari-hari, terus ya kerja keras sebab buat
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
276
mendapatkan penghasilan, ya berusaha dulu dan selain itu jangan lupa beribadah menurut agamanya).
Hampir sama pernyataan mereka berdua yaitu Ibu Hj. Sri
Murni‟ah dan Bapak H.Noor Kholid dan seorang tokoh masyarakat
Desa Padurenan dan juga pengusaha bordir yaitu Bapak H.Moch
Anshori mengungkapkan bahwa nilai kejujuran sangat dipegang teguh
oleh Bapak H.Moch Anshori karena sejak kecil beliau tumbuh dalam
keluarga dengan nilai keagamaan yang sangat kuat yaitu dari Pondok
Pesantren, dengan kejujuran berarti mereka mepunyai akhlak mulia,
sehingga tetap berada dalam jalan yang benar dan jangan berbuat
curang dalam berbisnis maupun kehidupan sehari-hari, sekali berbuat
curang dan tidak jujur nantinya akan menghancurkan diri sendiri. Ini
berarti telah melaksanakan “gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang dalam
membangun religius mereka meskipun mereka tidak menyadarinya.
Berikut petikan wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori31
selengkapnya:
“hidup itu harus didasarkan pada ahklak yang baik, sehingga jangan main curang, karena ahklak yang baik itu adalah tuntunan nilai-nilai agama yang senantiasa saya pegang teguh karena saya sejak kecil dalam keluarga yang nilai agamanya kuat dari pondok pesantren. Selain itu prinsip atau ajaran atau petuah lain dari orang tua atau para kyai harus terus dijalankan terus, orang dagang itu harus jujur, sekali tidak jujur maka akhirnya akan menghancurkan diri sendiri”.
Bapak Nur Syafiq32, pengusaha bordir berusia 55 tahun
menyatakan kepada peneliti:
”manusia harus berikhtiar semaksimal mungkin, lalu ia pasrahkan pada Yang Kuasa.” Dengan cara ini saya tenteram-Kabeh wis tinakdir saking Pangeran”
Pemanfaatan Parameter Social Capital oleh Pengusaha
Industri Kecil Bisnis Keluarga dalam Pengembangan Usaha
Pentingnya social capital dalam suatu komunitas seperti
pengusaha bordir ditunjukkan Coleman (dalam Lin, 2001) yang
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
277
mendifinisikan social capital sebagai sesuatu yang terdiri dari ciri-ciri
sosio-struktural atau sumber-sumber yang bermanfaat bagi beberapa
orang untuk tindakan-tindakan khusus, menekankan social capital sebagai kebaikan publik (public good). Hal ini disebabkan social capital adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti keadaan
ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik tersebut
dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan
kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas
sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam melakukan
perdagangan, sangat dibutuhkan membentuk fungsi struktural menjadi
norma, kepercayaan, hubungan timbal balik, membangun jejaring
menjadi hal yang penting dalam menopang social capital di bisnis IKBK
bordir.
Meminjam istilah dari Bertens (2004), social capital merupakan
hubungan satu sama lain yang diadakan para warga masyarakat dengan
suka rela untuk mencapai tujuan yang tidak (dapat) diwujudkan selama
orang berjalan sendiri. Dalam memahami keberadaan dan
keberlangsungan social capital dalam komunitas pengusaha bordir di
Kudus dapat dari bagaimana komunitas tersebut membangun norma-
norma dan nilai-nilai, jejaring-jejaring, hubungan timbal balik,
kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerja sama
demi kemanfaatan bersama pengusaha bordir.
Bourdieu menyatakan (dalam Portes, 1988) bahwa social capital terdiri dari dua unsur. Pertama, jalinan sosial yang memungkinkan
masing-masing anggota dapat berhubungan langsung dengan dan
dalam kelompok. Kedua, jumlah dan mutu dari sumber daya anggota
kelompok tersebut. Berdasarkan realita di lapangan, penguatan social capital komunitas pengusaha bordir di Kudus dilakukan dengan
pengembangan parameter yaitu: (1) Prinsip ajo mitunani wong liya sebagai norma dan nilai, (2) Prinsip nyaur ngamek sebagai dasar
kepercayaan bisnis, (3) Prinsip tuna satak bathi sanak dalam
membangun jaringan usaha. (4) Sistem interaksi sosial yang
terorganisir, dan (5) Hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
278
Prinsip Aja Mitunani Wong Liya sebagai Norma & Nilai
Manifestasi norma dan nilai dapat dinyatakan sebagai social capital, merujuk Yustika (2006) yakni dengan mengalaborasi
berdasarkan kesesuaiannya dengan perspektif bentuk-bentuk (forms) social capital sebagaimana diajukan Coleman (1988) dalam Yustika
(2006) yaitu: Pertama, berlangsungnya struktur kewajiban (obligations) yang terpenuhi dengan baik, adanya ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trust worthiness) lingkungan sosial, sehingga struktur
sosial tersebut akan memiliki derajat kepercayaan tinggi, maka
dipandang akan memiliki social capital yang lebih baik dari pada
kondisi sebaliknya. Kedua, jaringan informasi komunikasi yang luas
(informatian channels), yakni aktor (pengusaha bordir) yang mendapat
dan atau memiliki basis jaringan informasi komunikasi lebih luas,
berarti memiliki social capital lebih besar. Ketiga, norma dan sanksi
yang efektif (norm and effective sanctions). Maka bila norma sebagai
struktur sosial yang memuat kondusif bagi sesuatu komunitas
(pengusaha bordir), maka akan menjadi pendorong kemajuan dan
perubahan yang lebih baik, dengan demikian struktur sosial memiliki
social capital yang lebih baik dan sebaliknya.
Nilai dalam struktur sosial (dengan nilai-nilai di dalamnya)
mempunyai dimensi historis, karena diciptakan untuk manusia pada
sesuatu saat tertentu, dan selanjutnya keberfungsiannya diuji dalam
kehidupan sehari-hari sehingga akan menentukan nilai-nilai itu dapat
bertahan hidup atau tidak. Menurut Berger dan Luckmann 1966
(dalam Lawang, 2005) bahwa, sesuatu struktur sosial yang fungsional
biasanya akan mempengaruhi cara berpikir orang. Nilai akan menjadi
pedoman kehidupan manusia sehingga berlangsung dengan baik. Nilai
oleh manusia sebagai pelaku ekonomi dikembangkan dan dipelihara
secara turun-temurun melalui etika berdasarkan prinsip-prinsip utama
(norma) yang dianut oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat Kudus
nilai dan norma yang dianutnya sesuai dengan religius yang
diyakininya adalah Gus-ji-gang.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
279
Sebagai mahkluk sosial, seorang pengusaha bordir dan atau pun
pembeli/konsumen sebagai manusia adalah memerlukan orang lain,
dan untuk itu terdapat kecenderungan untuk dapat kerja sama dan
saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi, maka norma dan
nilai sangat diperlukan guna mengatur dalam berperilaku, sehingga
mereka dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Menurut Rahardjo (1990) dalam bukunya “Etika Ekonomi dan
Manajemen” mengemukakan lima prinsip utama yang menjadi dasar
sistem nilai (etis) yaitu: Pertama, adanya prinsip bahwa hidup munusia
itu harus dipelihara dan dilindungi. Kedua, prinsip bahwa kebaikan
dan kebenaran itu perlu ditegakkan dengan: (a) mengunggulkan
kebaikan atas keburukan dan kebenaran atas kesalahan, (b) tidak
menimbulkan keburukan atau kerusakan, dan (c) mencegah agar tidak
timbul kerusakan dan lahirnya keburukkan. Ketiga, kebaikkan maupun
keburukkan itu perlu dibagi di antara manusia, sejauh mungkin secara
merata. Keempat, perlunya orang menyatakan sesuatu secara jujur dan
sebenarnya serta melaksanakan janji atau komitmen yang dibuat.
Kelima, perlunya dipelihara kebebasan individu, guna memungkinkan
adanya keluwesan dan terhindar dari kekakuan.
Norma yang berlaku di masyarakat, bentuknya dapat tertulis
maupun tidak tertulis yang senantiasa dipatuhi dan dijalankan oleh
individu dalam setiap perilakunya. Aturan-aturan yang ada dalam
perkumpulan komunitas pengusaha bordir maupun dalam masyarakat
pada umunya, yang diikuti para pengusaha bordir tidak mempunyai
aturan secara tertulis dan mengikat serta sifatnya tidak wajib dan
bukan suatu keharusan, tetapi dengan penuh kesadaran mereka
mengikuti kegiatan perkumpulan tersebut, sehingga jika para
pengusaha terpaksa tidak bisa mengikuti perkumpulan tersebut hanya
rasa ewuh pekewuh atau sungkan pada anggota lain kalau tidak bisa
datang dalam pertemuan. Oleh karena itu, walaupun tidak dapat hadir
tetap membayar iuran wajib untuk mengisi kas dengan menitipkan
kepada anggota lain atau menyuruh anak atau karyawan untuk
membayar iuran melalui pengurus. Namun dalam berperilaku
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
280
berhubungan atau beriteraksi dengan individu atau masyarakat selalu
menjaga nilai-nilai religius yang mereka anut (agama Islam).
“Gus” dan “ji” dalam Gus-ji-gang telah membangun
objektivikasi kebaikan tindakan moral sebagai etos dalam pluralisme modern ada dua hal. Pertama, tereksternalisasi dalam tindakan dan
kata-kata saling percaya, merasa puas dan senang atas kepandaian,
loyalitas dan keluhuran budi. Kedua, bersikap integrasi33 kepada
berbagai pihak yang terlibat di dalamnya sehingga merasa terjalin
dalam satu pola kekeluargaan atau kekerabatan yang saling kasih
(tresno) dan dapat tercipta keadaan yang harmonis yang hangat.
Berdasarkan pada hal tersebut sebagai etos bagi pluranisme modern
sebagai inti kekuatan moral. Kekuatan moral menurut Suseno (2005)
merupakan kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam
kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya
sebagai kebenaran yang secara implisit ada pada kalimat “aja mitunani
wong liya” (jangan merugikan orang lain). Ajo mitunani wong liya
merupakan norma dan nilai moral terpenting dan atau prinsip dasarnya
etika Jawa.34 Tujuan dan sikap integrasi dengan kekuatan moral ajo mitunani wong liya adalah bahwa manusia hendaknya selalu bersikap
baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling
menganggu. Seperti yang dituturkan para informan kepada peneliti
sebagai berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah35 mengungkapkan:
“ngih menawi hubungan kalian tiang niku, ngih wajib dan kedah menghormati kalian menghargai tiang, namun menawi Derek kempalan RT/RW utawi pengajian menawi pas sawek repot, boten saget dumugi, ngih iuran nipun pasti kawulo titipaken pengurus kempalan”. Artinya: ya, kalau hubungan sama orang, ya wajib dan harus menghormai dan menghargai orang, namun kalau ikut kumpulan RT/RW atau pengajian pas masih sibuk tidak bisa datang, namun ya iuran nya pasti saya titipkan kepada pengurus)
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
281
Bapak H. Moch Anshori36, pengusaha bordir dan tokoh
masyarakat Desa Padurenan, menyampaikan sebagai berikut:
”menghormati orang lain, menghargai pendapatnya, tidak membeda-bedakan, bertegur sapa dengan tetangga, teman pengusaha dan orang yang kita kenal, tetapi dalam mengikuti kumpulan Haji, pengajian, RT/RW setiap saat, pasti saya usahakan hadir, selama saya tidak ke luar kota dan biasanya saya ditunggu-tunggu kedatangannya untuk memberikan masukkan dalam perkumpulan tersebut”.
Ibu Nurul Hikmah37 mengungkapkan kepada peneliti
pentingnya ikut kumpulan sebagai berikut:
“Hubungan dengan orang lain, ya peting sekali, karena itu kita harus saling menghormati dan menghargai orang lain, ya namanya kita manusia kan harus berhubungan baik dengan manusia siapa saja, apalagi saya usaha bordir, kalau ikut kumpulan PKK kadang-kadang ikut dan kadang-kadang tidak bisa ikut, tetapi iuran biasanya saya titipkan karena dikejar-kejar pesanan bordir harus segera jadi, tetapi kalau pengajian saya usahakan bisa hadir, karena untuk menambah sangu urip”.
Demikian pula nilai dalam kehidupan senantiasa ada dalam
setiap diri individu, nilai itu dibangun secara terus-menerus sehingga
mengkristal dalam kehidupan, dan dapat dilihat dari pandangan hidup
pengusaha bordir, seperti yang diungkapkan Bapak H. Moch Anshori
bahwa setiap mengikuti perkumpulan dan pengajian selalu mendapat
Tolabul Ilmi (mendapat tambahan ilmu dan membangun jaringan
sosial) itu wajib tetapi mendapat rejeki juga wajib, maka kita harus
seimbang bahkan pada saat ada perkumpulan, ada yang memesan
bordir. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan Bapak H. Moch
Anshori sebagai berikut:
“Tolabul ilmi setiap ikut perkumpulan itu ya penting dan
mencari rejeki juga penting. Jadi ya harus seimbang kalau
hanya ikut kumpulan saja dan dapat tolabul ilminya terus
rejeki dapat dari mana, maka setelah acara wajib kumpulan
selesai, biasanya digunakan membicarakan bisnis, bahkan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
282
kadang-kadang saat kumpulan kami mendapat pesanan
bordir”.
Sedangkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah saat diwancarai
peneliti mengungkapkan sebagai berikut:
”yah menawi isteri pados nafkah meniko hukumipun sunnah, amargi namun bantu suami, ingkang wajib pados nafkah suami, lha kawulo pados nafkah meniko kan shodaqoh kangge keluarga, lha meniko sampun manjeng dateng niat ibadah kawulo” Artinya: Ya kalau isteri mencari nafkah hukumnya sunnah, sebab hanya membantu suami, yang wajib mencari nafkah itu suami, la saya mencari nafkah kan shodaqoh buat keluarga, la itu sudah mendarah daging dalam niat ibadah saya.
Bapak H.Noor Kholid38, menjelaskan bahwa hidup itu untuk
mencari ridho Allah, sehingga apa yang dilakukan dilandasi dengan
niat ibadah, seperti yang dituturkan di bawah ini:
“Orang hidup bagi saya untuk mencari ridho Allah, termasuk kegiatan bisnis yang saya lakukan ,dengan bekerja keras dengan dilandasi niat ibadah dan peduli dengan orang lain, supaya hidup ini tentram maka harus ikuti norma dan nilai-nilai yang berlaku di mana kita berada, misalnya kalau ada pertemuan RT/RW ya diusahan ikut, apalagi kalau ada pengajian tentunya kegiatan bisnis terganggu tidak, kalau pas kosong pasti saya hadir tetapi kalau pas ramai pesanan yang harus diselesaikan,ya tidak bisa hadir dan saya wakilkan anak-anak atau isteri, karena bisnis itu juga dilandasi ibadah, jadi ya harus seimbang lah.”
Demikian pula kehidupan sehari-hari banyak sekali nilai-nilai
ajaran atau petuah-petuah yang diterapkan oleh para pengusaha bordir,
baik itu menyangkut kehidupan usahanya maupun kehidupan
sosialnya. Prinsip ajo mitunani wong liya (jangan merugikan orang
lain) yang merupakan norma dan nilai terpenting dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini seperti yang disampaikan informan Ibu Hj. Sri
Murni‟ah39 bahwa:
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
283
“dodos tiyang meniko kedah boten sombong, boten paling pinter, boten paling pener, kedah njagi tata karma, andap asor, lembah manah lan ajo mitunani wong liyan, supados gesang meniko tentrem lan saget dipitados kalian tiyang, langkung-langkung tiyang ingkang usaha, kados kawulo usaha bordir” Artinya: Jadi orang itu harus tidak sombong,jangan merasa paling pinter, tidak paling benar, harus jaga tata krama, rendah hati,sopan santun dan jangan merugikan orang lain, supaya hidup ini tentram dan dapat dipercaya orang, apalagi orang usaha, seperti saya usaha bordir.
Prinsip Nyaur Ngamek Sebagai Dasar Kepercayaan Bisnis
Kepercayaan (trust) yang dibangun dengan baik oleh para
pengusaha bordir akan dapat menuntun membangun jaringan
hubungan dengan konsumen, penyedia bahan baku maupun agen-agen
yang lain. Meminjam istilah Field (2010) bahwa, jaringan dengan
kepercayaan tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada
dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang
mengalami pengkhianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi
dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi
kepercayaan. Kepercayaan (trust) menurut Fukuyama (2007),
merupakan pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang
berperilaku normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma
yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari
komunitas itu.
Kepercayaan antara satu orang dengan yang lain berguna untuk
tetap menjaga hubungan yang telah dibina agar tetap terpelihara
dengan baik. Kepercayaan yang dilakukan dapat menghasilkan
hubungan yang dapat saling menguntungkan, sehingga setiap
kepercayaan yang terjadi akan sangat mempengaruhi keputusan yang
diambil, apakah ia akan mempercayai seseorang atau tidak. Salah satu
contoh yang alamiah tentang adanya kepercayaan adalah keluarga.
Sebagai wujud konsekuensinya maka dari sebagian besar bisnis yang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
284
berlangsung sejak dulu hingga saat ini adalah bisnis keluarga. Para
pengusaha IKBK bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kudus
sebagai salah satu contoh kecil dari bisnis keluarga, yang didasarkan
atas basis kepercayaan. Menurut Lawang (2005), ada 3 (tiga) substansi
pokok yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu Pertama, hubungan
sosial antara dua orang atau lebih (termasuk di dalamnya institusi yang
diwakili oleh orang), Kedua, dalam hubungan tersebut, terdapat
harapan yang bilamana diwujudkan tidak akan merugikan salah satu
atau kedua belah pihak, Ketiga, hubungan dan harapan ini
dimungkinkan melalui interaksi sosial.
Sebagai seorang pengusaha dan warga masyarakat, selalu
menekankan pada kepercayaan karena bisnis itu pada dasarnya
“kepercayaan”. Jadi setiap hubungan antar-individu atau kelompok
didasari kepercayaan, seperti yang diungkapkan para informan berikut:
Ibu Hj. Sri Murni‟ah40 mengungkapkan :
“kepercayaan pasti wonten, amargi sangat penting, masak kekancan kalian sinten kemawon menawi boten wonten kepercayaan khan aneh” Artinya: kepercayaan pasti ada, sebab sangat penting, masak berteman dengan siapa saja kalau tidak ada kepercayaan kan aneh)
Bp.H.Moch Anshori41 juga mengungkapkan:
“Ya tentu pasti ada kepercayaan, masak sama semua orang nggak percaya, lalu kalau kita tidak percaya siapa yang bisa dipercaya”.
Maka berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah
diungkapkan para informan di atas dapat diketahui bahwa setiap
hubungan yang dibangun para pengusaha bordir dengan orang lain
selalu dilandasi kepercayaan, menurut mereka kepercayaan sangat
penting dan harus ada karena hubungan itu ada (tercipta) kalau ada
rasa percaya.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
285
Selanjutnya, Bapak H. Moch Anshori yang banyak dikenal oleh
agen/toko penyalur bahan baku di Kota Kudus maupun di Kota
Surakarta, mengungkapkan pengalamannya:
“dengan modal kejujuran, telaten dan penuh kesabaran saya menjalin hubungan dan mencari agen besar penyalur bahan-bahan bordir agar mau melakukan kerja sama dengannya. Rasa bersyukur. Ada seorang keturunan Cina pemilik toko bahan–bahan bordir dan konfeksi mau diajak kerja sama”.
Bapak Nur Syafiq42, usia 55 tahun, seorang pengusaha bordir,
menyatakan prinsip kejujuran yang dianggap penting dalam
berusaha/bisnis bordir, sebagai berikut:
“jadi orang itu yang jujur, trus kerja keras sebab dalam mendapat sesuatu itu perlu usaha dulu, lagi mendapatkan hasilnya dan selain itu jangan lupa beribadah”.
Modal kejujuran, telaten dan kesabaran merupakan manifestasi
dari social capital yang menurut Coleman (1988) dan Putnam (1993),
kepercayaan sebagai salah satu komponen kunci dari social capital. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam konsep Fukuyama
tentang social capital. Fukuyama mendefinisikan kepercayaan sebagai
dasar social capital. Dalam model Putnam, hubungan saling percaya di
antara pelaku ekonomi berevolusi dari berbagai budaya dan menjadi
tertanam dalam ekonomi lokal, yang kemudian membentuk jaringan
keterlibatan masyarakat. Hubungan sebab akibat yang meng-
hubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga
(Sztompka, 1999). Sedangkan Cohen & Fields (1999) berpendapat
bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk yang unggul dan
dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat lain dan budaya
yang berbeda, dan bahkan orang-orang dengan ide-ide yang berbeda
pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja sama adalah
manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta memperkuat kinerja
kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara independen dari
hubungan sosial, konsekuensi mungkin menjadi salah satu indikator
dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh disamakan dengan
social capital itu sendiri (Woolcock,1998).
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
286
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali petuah-petuah atau
ajaran-ajaran dari orang tuanya, tokoh masyarakat yang memiliki
karisma seperti Sunan Kudus, para Kyai atau ustad yang diterapkan
oleh para pengusaha baik menyangkut kehidupan sosial maupun
kehidupan bisnis. Salah satu petuah itu adalah kejujuran harus menjadi
pedoman dalam berbisnis maupun dalam kehidupan sosial, karena
kejujuran merupakan ajaran agama/religius yang diyakini
mempengaruhi kemajuan usahanya, maka orang yang bekerja dan
berusaha harus menjaga sikap jujur karena merupakan salah satu modal
usaha. Prinsip kejujuran dianggap hal yang sangat penting dalam
melakukan usaha berdagang, seperti yang diungkapkan Ibu Mirah, Ibu
Islahiyah atau sering dipanggil bu Is maupun Ibu Nurul Hikmah
sebagai berikut:
Ibu Mirah43 mengungkapkan:
“Tiyang meniko kedah jujur, kaliyan sinten kemawon, lan kedah kerja keras amargi kagem pikantuk meniko kedah usaha rumiyen, lajeng nembe pikantuk kasil lan sampun kendel beribadah, nyuwun kaliyan Gusti Engkang Kagungan Gesang”. Artinya Orang itu harus jujur dengan siapa saja dan harus kerja keras sebab untuk mendapatkan itu harus usaha dulu, baru mendapatkan hasil dan jangan lupa beribadah dan memohon kepada Tuhan Yang memiliki Hidup.
Ibu Nurul Hikmah44 dalam wawancara menjelaskan;
“Prinsip kejujuran itu sangat penting dalam kehidupan berdagang maupun kehidupan sehari-hari, bila memperolah pendapatan berapapun harus disisihkan sedikit untuk shodakoh bagi orang yang membutuhkan. Bisnis itu menjual kejujuran, jangan sampai main curang sebab akan menghancurkan usaha kita, karena kejujuran adalah nilai ajaran agama yang saya anut, dan bila mendapatkan harta berlimpah harus dibersihkan dengan bershodakoh bagi orang yang tidak mampu”.
Bapak H.Moch Anshori telah melakukan komunikasi dan kerja
sama yang baik serta modal kejujuran, sehingga sampai sekarang masih
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
287
dipercaya oleh toko di kawasan pecinan yang pemilik tokonya orang
Cina di sekitar pasar Kliwon Kota Kudus untuk menyediakan bahan
baku bordir dengan cara nyaur ngamek, adalah ngamek atau
mengambil bahan baku lebih dahulu dari agen atau penyalur dan
kemudian nyaur atau membayar kemudian setelah barang yang
dibawanya laku atau membayar setelah beberapa saat menurut
perjanjiannya. Pola “nyaur ngamek” merupakan pola yang sudah
menjadi tradisi –norma resiprositas– yang dijalani para pengusaha
bordir dengan pemilik toko bahan-bahan bordir maupun hubungan
dengan pelanggan dan antar pengusaha bordir. Dalam resiprositas,
seseorang tidak hanya sebatas menerima barang dan atau sebaliknya
pihak lain hanya menerima uang, tetapi di dalamnya dapat memenuhi
kebutuhan sosial, yakni penghargaan yang bersifat timbal balik.
Perilaku nyaur ngamek yang dilakukan para pengusaha bordir
didasarkan pada norma dan nilai-nilai yang tumbuh oleh keyakinan
agama yang dianut. Fukuyama (2000) mengemukakan bahwa, norma
merupakan bagian dari social capital yang terbentuk tidak diciptakan
oleh birokrasi atau pemerintah. Melalui agama yang dianut, tradisi,
sejarah, tokoh kharismatik (Sunan Kudus) akan dapat terbangun suatu
tata cara perilaku seseorang atau suatu kelompok masyarakat, yang di
dalamnya kemudian timbul social capital secara spontan dalam
kerangka menentukan tata aturan yang menjadi dasar tumbuhnya
kejujuran yang dapat mengatur kepentingan pribadi dan kepentingan
kelompok. Namun Fukuyama (1999) juga menyatakan bahwa,
penyebaran norma atau nilai tidak serta merta menjadi social capital apabila norma atau nilai termaksud tidak mengandung unsur
kebenaran sebagai dasar kepercayaan. Karena norma dan nilai-nilai
kebenaran dan kepercayaan sangat diperlukan guna mengatur dalam
berperilaku, sehingga mereka dapat hidup bersama-sama yang saling
menguntungkan.
Jadi dalam tindakan nyaur ngamek atau bayar utang dan
mengambil barang, menurut Bapak H. Moch Anshori45 harus ada
modal kejujuran dan tepat waktu. Berikut ungkapannya:
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
288
“Masalahnya kita sudah mendapat kepercayaan pemilik toko, makanya harus dijaga dan kalau sudah janji bayar, ya harus ditepati dibayar, harus tepat waktu sesuai janjinya dan jangan mengecawakan”
Jadi yang menjadi modal dasar melakukan nyaur ngamek yang
dilakukan Bapak H.Moch Anshori selama ini adalah kepercayaan harus
tetap dijaga, ada yang menggunakan mingguan dan ada yang bulanan.
Kata Bapak H.Moch Anshori:
“Meskipun kondisi usaha saya dalam kondisi sepi, ya tetap harus kalau sudah sampai waktu bayar, jangan sampai membuat pemilik toko bahan kecewa”.
Demikian pula yang dilakukan Bapak H.Moch Anshori, setiap
menitipkan hasil produksi “bordir tempel” hasil inovasinya yaitu
bentuk bordir pola untuk bagian leher baju atau blouse, lengan dan
badan yang tinggal ditempelkan pada kain, yang dijual setiap paket ada
yang dijual dengan harga Rp.35.000,- s/d harga Rp.150.000,- dititipkan
kepada agen penjual perlengkapan bahan bordir dan konfeksi di kota
Magelang, Semarang, Surakarta maupun di kota Kudus sendiri
didasarkan kepercayaan karena uang hasil penjualan diterima setelah
produk bordir itu laku, seperti yang diungkapkannya:
“Setiap lima hari sekali, keliling ke kota Semarang, Magelang, Surakarta untuk menitipkan produk ”bordir tempel” ke agen-agen penjual bahan bordir dan konfeksi dan pola pembayarannya setiap 3 s/d 4 minggu dan ini sudah berjalan hampir 2 tahun, selalu lancar dan tepat waktu, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak”.
Bagi para pengusaha kecil border, pola nyaur ngamek
merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan modal
usaha, yang terbentuk oleh kekuatan kepercayaan yang dimiliki
pengusaha bordir. Semakin besar kepercayaan para pengusaha bordir
akan menjadikan biaya usaha lebih efisien dan besar kecilnya
kepercayaan yang dimiliki para pengusaha bordir tidaklah sama
sehingga perilaku nyaur ngamek terhadap suatu barang yang terkait
dengan toko pemasok bahan baku, hubungan antar pengusaha maupun
konsumen juga tidak sama.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
289
Namun tidak semua pemilik toko misalnya toko Kita, toko
Novita maupun toko Nufiya menyediakan bahan bordir dan konfeksi
di kota Kudus mau menerima pola pembayaran dengan cara nyaur ngamek, mereka memintanya dengan kontan, karena takut resiko tidak
terbayar, seperti diungkapkan informan Bapak H. Hasan dan Bapak
Nur Syafiq:
“Setiap membeli bahan baku bordir di toko Novita dan toko Kita, harus dibayar kontan, kalau tidak dibayar kontan tidak akan diberi barang, setahun yang lalu kita masih bisa tidak bayar kontan yaitu dua atau tiga minggu baru dibayar, tetapi sekarang harus kontan” seperti yang diungkapan Bapak H.Hasan46.
Dan Bapak Nur Syafiq47 pengusaha bordir mengungkapkan
kepada peneliti:” sejak banyak orang yang tidak tepat melunasi
pembayaran, sekarang ini setiap beli bahan baku di toko Kita atau toko
Nufiya harus membayar dengan kontan, tidak seperti 6 bulan yang lalu
masih bisa dibayar dengan nyaur ngamek.
Prinsip Tuna Satak Bati Sanak dalam Membangun Jaringan
Usaha
Dasgupta (2000) menyatakan, kepercayaan bisa menjadi atribut
institusi dan kelompok maupun individu, dan sering kali didasarkan
atas reputasi yang diperankan oleh pihak ketiga. Dalam bisnis menurut
Fukuyama (1995) “kepercayaan” menghindari situasi tidak terduga,
mengurangi pertikaian, dan mengurangi kebutuhan proses hukum
bilamana terjadi perselisihan, dan kepercayaan membantu setiap pihak
untuk dapat bekerja sama lebih efektif sehingga dapat mengurangi
biaya dan waktu, karena bersedia menempatkan kepentingan
kelompok di atas kepentingan pribadi, maka demi kebaikan organisasi
mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi. Bentuknya adalah
adanya partisipasi dalam suatu jaringan atau relasi jaringan seperti
paguyuban, pengajian, pertemuan RT/RW, arisan bahkan kegiatan
koperasi (di Desa Padurenan telah ada KSU Padurenan Jaya).
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
290
Keikutsertaan pengusaha bordir dalam berbagai partisipasi
dalam suatu wadah asosiasi, paguyuban formal atau informal yang
sangat beragam tersebut dapat membawa manfaat yang berguna bagi
mereka. Dan manfaat itu dapat dirasakan secara langsung dan tidak
langsung bagi pengusaha, yang dapat dilihat dari ungkapan para
pengusaha dalam wawancara mendalam:
Bapak H.Hasan dan Bapak Nur Syafiq adalah pengusaha bordir,
selalu berpartisipasi aktif mengikuti pengajian di sela-sela kesibukan
bisnis bordir, apalagi pada setiap hari Jumat, yang mengungkapkan
sebagai berikut:
“… ikut pengajian supaya hidup mendapat berkah sehingga usahanya dapat berjalan lancar dan mencari „sangu mati‟, “untuk bekal nanti kalau meninggal” kata Bapak H.Hasan48.
Sedangkan Bapak Nur Syafiq49 dalam wawancara dengan
peneliti, mengungkapkan:
”Orang hidup itu disamping mencari rejeki dengan kerja keras, juga harus beribadah mengikuti pengajian, atau kumpulan-kumpulan keagamaan lainnya”.
Ibu Hj.Sri Murni‟ah50 mengungkapkan dalam wawancaranya:
“ikut pengajian, injih saget tambah sedulur, tambah ilmu, tambah pahlma, sok kadang-kadang tambah reeiki sebab kadang pas enek (ada) konco pengajian sing pesen bordir neng kulo. Nek paguyuban paling nguntungaken saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK kabupaten Kudus dateng mriki katah ingkang tumbas lan pesan bordir, injih menawi dateng mriki rego saget dipun nego kan “tuna sathak bati sanak”. Artinya: Ikut pengajian, bisa bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga rejeki sebab kadang ada juga teman pengajian yang pesan bordir ke saya. Kalau paguyuban paling menguntungkan saat ada kunjungan Tim Penggerak PKK Kabupaten Kudus datang ke sini banyak yang beli dan pesan bordir. Ya kalau datang ke sini mengenai harga dapat dinego kan “rugi sedikit tetapi banyak saudara atau pelanggan”.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
291
Ibu Islahiyah51 pengusaha bordir merek “La Risma” menyatakan
alasan keikutsertaannya dalam berbagai organisasi formal (anggota
koperasi KSU Padurenan Jaya) dan informal (pengajian, arisan RT/RW)
menggungkapkan sebagai berikut:
“Organisasi dan perkumpulan yang saya ikuti kalau sosial itu di arisan RT/RW, pasar, kalian wanita Islam untuk kegiatan pengajian seperti hadist dan terjemahan Qur‟an, terus mbantu orang tidak mampu atau tengok orang sakit….”.
Bapak H.Moch Anshori52 juga salah satu tokoh masyarakat
sebagai salah satu pendiri KSU Padurenan Jaya telah diwawancarai
peneliti menyatakan bahwa partisipasi dalam kegiatan sosial sangat
banyak, beliau mengungkapkan:
“Kalau di RT kan sebulan sekali saya itu rutin mengikutinya, bahkan pada waktu awal pendirian KSU Padurenan Jaya hampir setiap 2 s/d 3 hari dalam seminggu melakukan pertemuan membahas pendirian Koperasi dan itu dijalani hampir 1 (satu) tahun, akhirnya berdiri seperti sekarang, Ketua pembangunan saluran air (got), mengikuti rutin pangajian rumah tangga, paguyuban Haji, setiap malam Selasa dan malam Kamis”.
Dari ungkapan informan di atas dapat dilihat intensitas
keikutseraan mereka dalam berbagai paguyuban dan kegiatan rutin
yang selalu mereka ikuti seperti pengajian, mereka menggunakan
waktu longgar mereka sehabis selesai bekerja untuk mengikuti
kegiatan dan perkumpulan, hal ini dilakukan karena sangat penting
dan bermanfaat bagi mereka. Namun ada juga beberapa pengusaha
bordir yang intensitas melakukan kegiatan kumpulan tidak rutin,
seperti yang diungkapkan Ibu Mirah53:
“Saksampun ipun suami sakit stroke (satu setengah tahun yang lalu), kegiatan mboten rutin, dhados kadang-kadang kawulo titipke uang arisan RT, namun menawi wonten pengajian dateng tetanggi mriki kemawon sekitar griyo, pasti kawulo perluake derek pengajian”. Artinya: Setelah suami sakit stroke (sudah satu setengah tahun), kegiatan tidak rutin, jadi kadang-kadang saya titip uang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
292
arisan RT, tetapi kalau ada pengajian di tetangga sekitar rumah, pasti saya ikut pengajian.
Bapak Nur Syafiq54 mengungkapkan sebagai berikut:
“Pertemuan RT ada, namun untuk kehadiran saya tidak bisa rutin kalau pas saya ada waktu saya datangi kalau tidak ada waktu (pas luar kota) ya saya nitip. Iurannya saya suruh anak saya atau isteri untuk membayarkan. Pertemuan di KSU Padurenan Jaya tidak ada pertemuan rutin secara formal (kalau tidak RAT koperasi) tetapi biasanya informal pas kebetulan ketemu di acara pengajian, gotong royong bisanya kita ngobrol seputar usaha bordir”.
Sedangkan manfaat partisipasi mereka dalam suatu jaringan
banyak sekali manfatnya, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
usaha mereka baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini seperti
diungkapkan informan yang diwancarai peneliti:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah55:
“tambah sederek, tambah ilmu lan tambah pahala, sok kadang-kadang tambah rejeki sebab kadang pas ada konco pengajian sing pesen kain bordir neng kulo.menawi paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas wonten kunjungan Bupati Kudus atawi wonten tamu saking Semarang, tumbas bordir produksi kulo”. Artinya: Bertambah saudara, ilmu, pahala, kadang-kadang juga tambah rejeki sebab ada juga teman pengajian yang pesan kain border ke saya. Kalau paguyuban KSU Padurenan Jaya, pas ada kunjungan Bupati Kudus atau ada tamu dari Semarang, beli bordir saya).
Bapak H.Moch Anshori56:
”menjalin keakraban antar warga satu dengan yang lain, menambah hubungan kerja sama dalam berdagang, dan hubungan sosial sebagai wadah untuk mendapatkan informasi tentang kejadian-kejadian yang sedang terjadi maupun yang akan datang di lingkungan warga Padurenan”.
Prinsip berdagang dalam bidang industri bordir yang
dikembangkan Hj.Sri Murni‟ah, Ibu Islahiyah, Ibu Mirah, Bapak H.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
293
Moch Anshori maupun Bapak Nur Syafiq hampir sama yaitu, berbekal
pada pelajaran hidup ikut berdagang membantu orang tua, sejak kecil
dan bertahun-tahun dilakukan secara terus-menerus. Bapak H.Moch
Anshori dikenal dan mengenal agen penyalur bahan baku bordir
menuturkan, untuk membangun jaringan hubungan dengan agen
penyedia dan penyalur bahan-bahan bordir yang dimaksud, tutur
Bapak H. Moch Anshori:
“Dengan modal jujur,telaten dan penuh kesabaran saya menjalin hubungan dan mencari agen-agen besar menawarkan agar mereka mau mengisi kebutuhan bahan bordir seperti kain, benang dan sebagainya”.
Sistem Interaksi Sosial yang Terorganisir
Pranata formal yang ada di lingkungan Desa Padurenan Jaya
seperti koperasi KSU Padurenan Jaya dan pemerintah desa, kecamatan
dan kabupaten maupun lembaga non formal seperti halnya melalui
hubungan kekerabatan, pertemuan-pertemuan sosial seperti arisan,
pengajian telah mampu membentuk dan menguatkan social capital para pengusaha IKBK bordir. Dengan membangun kemitraan dan
jejaring dengan lembaga-lembaga formal dan non formal akan
memberikan kemanfaatan bagi pengusaha bordir dan mampu
mewujudkan social capital. Menurut Eriyanto (1997), ada 4 aspek
penting yang bermanfaat dalam membentukan kemitraan usaha, yaitu:
aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, aspek kesejahteraan
sosial untuk menjamin manfaat usaha, aspek partisipasi untuk
menjamin keberlanjutan dan aspek teknologi untuk menjamin teknik
dan mutu produksi (kualitas produksi).
Pembentukan KSU Padurenan Jaya pada tanggal 5 Agustus
2009 bersamaan dengan ditetapkannya Desa Padurenan Kecamatan
Gebog –Kudus sebagai “Desa Produktif Klaster Bordir dan Konfeksi”
oleh Bank Indonesia Semarang bersama dengan stake holder terkait
(Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jateng,
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
294
BBPP, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas,
Bank Jateng, Pemerintah Kabupaten Kudus).
Koperasi KSU Padurenan Jaya sebagai wadah pembentukan social capital karena tempat pembinaan anggotanya yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya anggotanya maupun
mempermudah bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku maupun modal usaha. Sebagaimana disampaikan Bapak
Arif Chuzaimahtum57 sebagai Ketua KSU Padurenan Jaya dan juga
Kepala Desa Padurenan Jaya sebagai berikut:
“Mulai tahun 2007 dengan munculnya teknologi bordir komputer, membawa dampak bagi para pengusaha bordir di Desa Padurenan. Dengan teknologi bordir komputer mampu diciptakan jumlah bordir yang lebih banyak, lebih cepat dan harga lebih murah berdampak menurunkan akses pasar dari bordir juki atau bordir tradisional yang memiliki harga lebih mahal. Keadaan demikian dapat mematikan usaha bordir tradisional “bordir Icik”. Untuk itulah kami bersama tokoh-tokoh masyarakat yang lain terpanggil bersama pemerintah mendirikan KSU Padurenan Jaya salah satunya untuk mempertahankan border ”icik” disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Padurenan”.
Kemanfaatan KSU bagi para pengusaha di lingkungan Desa
Padurenan sangat besar, seperti yang diungkapkan oleh informan
kunci Bapak.H.Moch Anshori, Ibu Mirah kepada peneliti sebagai
berikut:
Bapak.H.Moch Anshori58 mengungkapkan:
“setiap saat kita bisa bertemu dengan pengusaha bordir dan konfeksi waktu membeli bahan kebutuhan bordir, saling memberikan informasi, bahkan kadang-kadang malah mendapat pesanan, atau kami sering diajak ikut bazar hasil bordir oleh KSU Padurenan Jaya di kantor pemerintah Kabupaten Kudus waktu ada kegiatan pameran maupun bazar pasar murah dan ini akan menumbuhkan kepercayaan bagi kita. Disamping itu di KSU Padurenan Jaya sering melakukan kegiatan pelatihan dan penyuluhan manajerial dan pengembangan disain bordir bagi para pengusaha dan calon pengusaha bordir”.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
295
Demikian juga Ibu Mirah59 menyampaikan:
”sampun nate, kawulo pas betah aken arto mendadak amergi kirang kagem tambahan tumbas mesin jahit, injih ngapil arto KSU Padurenan Jaya lan sekeconipun menawi wonten pesanan katah misal bet atawi logo gambar/lambang ngagem bordir komputer inggih dateng mriki kemawon”. Artinya: Sudah pernah, saya pas membutuhkan uang mendadak karena kurang untuk tambahan mesin jahit. Ya pinjam di KSU Padurenan Jaya dan enaknya kalau ada pesanan banyak misalnya bet atau logo gambar lambang dengan bordir komputer ya disini”.
Selanjutnya Bapak H. Anshori menyampaikan kepada peneliti
apa yang dibahas dalam setiap pertemuan:
”dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pertemuan keluarga, arisan maupun pengajian-pengajian disampaikan dan didiskusikan bersama-sama masalah-masalah pembangunan fisik dengan gotong royong misal buat got aliran air dari rumah tangga, tempat sampah, bahkan masalah-masalah sosial seperti menjaga kebersamaan, sikap toleransi, berbuat kebaikan dengan sesama dibahas dalam pertemuan-pertemuan tersebut”
Kekerabatan dan pertemuan sosial, merupakan proses interaksi
sosial yang wujudnya kebersamaan masyarakat dalam bentuk jaringan
komunikasi antar-individu atau kelompok. Kebersamaan masyarakat
ini sangat penting karena dapat membangun kesetiaan, membuka tole-
ransi, kejujuran, kepercayaan, kesediaan untuk mendengarkan penda-
pat orang lain, kearifan dan pengetahuan lokal (dalam filosofi gus-ji-gang) dan kepedulian antar-individu atau kelompok dalam kehidupan
di masyarakat, sehingga mampu menciptakan social capital yang dapat
mendorong kondisi adil, makmur dan sejahtera di masyarakat.
Hubungan Timbal Balik yang Saling Menguntungkan
Resiprositas menunjukkan pada individu yang secara sukarela
memberikan manfaat pada orang lain dalam proses pertukaran yang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
296
dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa.
Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai
oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar-individu dalam suatu
kelompok atau antar-kelompok itu sendiri.
Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara
hubungan timbal balik seketika seperti dalam proses jual beli,
melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam
nuansa altruesm (semangat untuk membantu dan mementingkan
kepentingan orang lain), tetapi resiprositas seseorang tidak sebatas
mendapat barang atau jasa namun dapat menunaikan kepentingan
sosial yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi
ataupun penerima. Hubungan timbal balik (resiprokal) tidak akan
terjadi bila sebelum terpenuhinya hubungan simetris, yaitu hubungan
sosial, yang masing-masing pelaku menempatkan diri pada kedudukan
dan peranan sama ketika proses pertukaran berlangsung serta didasari
oleh kepedulian sosial. Sedangkan dalam pertukaran barang atau jasa
tidak ada rasa kepedulian sosial dan hubunganya bersifat asimetris.
Rasa kepedulian sosial, saling memperhatikan satu sama lain
dan saling membantu yang terjalin antara pengusaha dengan
pengusaha, antara pengusaha dengan masyarakat yang lain sudah
menjadi budaya masyarakat Kudus. Menurut Mukti (2005), kepedulian
adalah sikap sukarela yang ditunjukkan oleh individu atau kelompok
tanpa adanya paksaan dari individu lain ataupun kelompok lain. Hal itu
sesuai dengan yang diberikan Dalton (dalam Sairin, 2002) bahwa,
hubungan timbal balik (resiprositas) yaitu suatu bentuk pertukaran
sosial-ekonomi. Dalam pertukaran ini, pemberian dan penerimaan
barang, finansial dan jasa adalah sebagai kewajiban sosial. Oleh karena
ini, ada kewajiban seseorang untuk memberi, menerima dan
mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama atau
berbeda. Melalui hubungan timbal balik, seseorang tidak sebatas
mendapatkan barang tetapi dalam menunaikan kepentingan sosial
yaitu berupa penghargaan, baik ketika berperan sebagai pemberi
ataupun sebagai penerima.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
297
Bantuan tersebut diberikan kepada keluarga (kerabat), teman
dekat, tetangga dekat sekitar tempat tinggal,karyawan, dan tentu saja
relasi usaha seperti rekan usaha, dan pelanggan dan bantuan tidak
hanya finansial, tenaga atau pikiran untuk membantu memecahkan
persoalan. Wujud hubungan timbal balik yang dilakukan para
pengusaha bordir terhadap orang lain seperti yang dituturkan Ibu
Nurul Hikmah, Bapak H.Hasan, Ibu Mufarrikhah, Bapak Noor Kholid
maupun Bapak Rosyadi, dalam cuplikan hasil wawancara sebagai
berikut:
Ibu Nurul Hikmah60 mengatakan:
”menyisihkan sebagian penghasilan kita untuk shodaqoh membantu orang lain yang membutuhkan, selalu kita lakukan sesuai dengan kemampuan ”.
Bapak H. Hasan61 mengungkapkan:
“Membantu sesama orang apalagi tetangga yang mempunyai kesusahan atau membutuhkan bantuan, nggih (ya ) pasti kita bantu, ya kita lihat dulu kalau musibah (sakit, kecelakaan) kita bantu uang meskipun sedikit, tetapi kalau masalah keluarga atau bisnis kita bantu nasehat. Dan kalau pas teman sudah kenal baik, dan dekat itu mantu, ya kadang nyumbang uang dan ikut bantu tenaga”.
Ibu Mufarrikhah62 mengungkapkan kepada peneliti:
“dalam ajaran agama melakukan shodakoh kepada orang-orang yang memerlukan bantuan atau memberi sumbangan harus kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita, dan membantu itu tidak hanya bentuk uang tetapi bisa dalam bentuk nasehat kepada teman yang masih ada masalah”.
Bapak Noor Kholid63 mengungkapkan kepada peneliti sebagai
berikut:
“bila tetangga punya hajat atau kesusahan, saya pasti membantu baik tenaga, nasehat bahkan uang, hal itu kita lakukan karena pada waktu dahulu saya mengalami hal yang sama, juga dibantu demikian dan itu dilakukan dengan iklas ya supaya hubungan diantara kita tetap terjaga, wong yen
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
298
nandhure apik ya ngunduhe ya apik (orang kalau menanam kebaikan pasti mendapatkan kebaikan),”
Selanjutnya, Ibu Hj.Sri Murni‟ah64 mengungkapkan sebagai
berikut:
“adik-adik kawulo kita bantu sedoyo, bikak usaha bordir utawi konveksi supados saget mandiri, ya amargi kawulo sampun pikantuk titipan rejeki saking Gusti Allah ingkang luwih ketimbang adik-adik,menawi kagem tetanggi menawi pikantuk musibah sakit, sedho ya pasti kita bantu arto, amargi arto ingkang dipun betahaken” Artinya: Adik-adik saya, semua kita bantu membuka usaha bordir atau konveksi supaya bisa mandiri, ya karena saya sudah mendapat titipan rejeki dari Gusti Allah, yang lebih dari pada adik-adik, kalau untuk tetangga yang mendapat musibah sakit, meninggal ya pasti kita bantu uang, karena uang yang dibutuhkan saat itu.
Tindakan-tindakan hubungan timbal balik, sebagai bentuk
inisiatif-inisiatif yang dilakukan individu merupakan tindakan yang di
dalamnya terkandung semangat keaktifan, kepedulian dan hubungan
timbal balik.
Hubungan timbal balik dengan berinisiatif bertukar pikiran
dengan keluarga, kerabat, teman untuk mencari jalan keluar suatu
masalah dengan mencari informasi yang dapat memperkaya
pengetahuan. Berinisiatif mengikuti kegiatan dan perkumpulan sosial
sehingga akan memperoleh keuntungan bagi orang lain maupun bagi
dirinya dalam suatu hubungan sosial. Inisiatif untuk membangun
hubungan timbal balik dengan cara bertukar pikiran dalam mengatasi
masalah yang sedang terjadi dalam kehidupan pengusaha, baik itu
masalah keluarga atau masalah yang terjadi dalam usahanya.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pengusaha IKBK Ibu Hj.
Sri Murniah maupun Bapak. H. Moch Anshori bahwa dalam upaya
mencari alternatif sosial melalui tukar pikiran dengan keluarga (anak-
anak, isteri), saudara dan teman dekat yang dianggap mumpuni atau
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
299
relasi usaha, dengan bertemu di suatu tempat atau mengundangnya ke
rumah.
Ibu Hj Sri Murni‟ah diwawancarai peneliti mengungkapkan
sebagai berikut:
“ingkang paling utami kaliyan semah (suami), lajeng kaliyan lare-lare, amargi sampun sami dewasa, menawi persoalanipun sangat penting lan keluarga boten saget ngrampungi sedoyo, kawulo dan semah (suami) ke kyai ingkang kawolu tepang” Artinya: Yang paling utama dengan suami, terus dengan anak-anak, sebab anak-anak sudah dewasa, kalau permasalahan penting dan keluarga belum bisa menyelesaikan, saya dan suami mendatangi kyai yang sudah dikenal.
Bapak H.Moch Anshori65:
“kalau ada masalah paling dengan isteri atau kerabat dekat, kakak atau adik untuk masalah keluarga, namun untuk masalah sosial menyelesaikan dengan teman-teman atau relasi untuk berdiskusi”.
Sedangkan Bapak H.Hasan dalam mencari alternatif
memecahkan masalah cenderung memilih berdiskusi dengan keluarga
dan jarang berdiskusi dengan teman, Sedangkan Bapak Nur Syafiq
lebih memilih mengundang teman-teman bisnis ke rumah.
Bapak H.Hasan66 menuturkan kepada peneliti:
“Kalau ada masalah, ya paling berdiskusi dengan anak,isteri dan saudara dan jarang sekali masalah didiskusikan dengan teman atau tetangga”
Sedangkan Bapak Nur Syafaq67, mengungkapkan:
“…. untuk membantu masalah yang dihadapinya, saya sering mengundang teman-teman ke rumah untuk ngobrol bisnis dan hal-hal lain yang ada kaitan dengan bisnis bordir dan konfeksi maupun masalah kemasyarakatan misal membuat jalan desa, gorong-gorong.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
300
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Dialectic of the internalization of externality dan the externalizing of internality,”Bourdieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA.,hlm.72.
2 Arizal Mutahir.”Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk Melawan Dominasi”. (Yogya:Bantus,Kasihan.Kreasi Wacana,2011).hlm.57.
3 Pengertian keluarga atau kerabat dalam konteks seberapa jauh interaksi sosial yang terjadi antara anggota keluarga dengan para kerabat (red.peneliti).
4 Semakin tinggi kesadaran kehidupan berkelompok masyarakat akan memberikan dampak positif baik bagi kelompok maupun lingkungan di luar kelompok.
5 Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan terbentuk antar satu kelompok dengan kelompok lain misal keluarga, kelompok kekerabatan, komunitas pengusaha, organisasi formal dan sebagainya.
6 Masyarakat politik akan menjadikan katalisator berharga dalam menjembatani hubungan antara masyarakat kelompok dengan negara atau pemangku kepentingan.
7 Institusi adalah wadah atau lembaga dengan fungsi tertentu dari sekumpulan individu yang keberadaannya telah ditentukan.
8 Norma adalah susunan dari pemahaman terhadap nilai-nilai kehidupan serta harapan yang diyakini dan dijalankan oleh sekelompok orang.
9 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
10 Wawancara dengan Bapak Nur Said.S.Ag,.M.Ag tanggal 10 Oktober 2014.
11 Wawancara dengan Bapak.H.Gufron tanggal 13 Oktober 2014.
12 Interaksi sosial adalah hubungan antarmanusia yang sifat dari hubungan tersebut adalah dinamis artinya hubungan itu tidak statis, selalu mengalami dinamika. Kemungkinan yang muncul ketika satu manusia berhubungan dengan manusia lainnya adalah hubungan antara individu dan individu yang lain, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Baca, Elly M.Setiadi dan Usman Kolip. “Pengantar Sosiologi, Pemhaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Dan Pemecahannya” (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.62.
13 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014.
14 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 13 Oktober 2014.
15 Wawancara dengan H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
16 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
17 Kekuatan moral menurut F.M Suseno adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar.Franz Magnis Suseno.‟Etika Dasar….”,op,cit,hlm 41.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
301
18 “aja mitunani wang liya” (jangan merugikan orang lain) sering kali secara spontan dikemukakan secara implisit jawaban informan terhadap berbagai aturan moral. Frans Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah…,op cit.,hlm 54.Lihat juga Franz Magnis Suseno, Kuasa dan….,op cit.,hlm.167.
19 Niel, Mulder,Mysticism and Daily Life….,op, cit.,hlm.51.
20 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
21 Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123.
22 Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam pergaulan karena, menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil yang telah membatinkannya dan ia sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit., hlm. 38.
23 Habitus yang merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien pada posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Piere Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 503.
24 Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap kekeluargaan dan bergotong-royong mengimplikasikan semangat batin yang sama yaitu, hendak bersikap baik atau senang kepada sesamanya. Praktik gotong-royong juga mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dua macam pekerjaan : saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op.cit., hlm. 50. Koentjaraningrat menambahkan, ada tiga nilai yang disadari orang Jawa dalam melakukan gotong-royong. Pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidup seseorang pada hakikatnya selalu tergantung pada sesamanya, maka ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus selalu bersifat konform artinya, orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakat. Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 35.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
302
25 Realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi atau sebagai dunia kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuan-pengetahuan,nilai-nilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan (direfleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk mengambil sikap. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 224.
26 C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 9.
27 Clifford Geertz,”The Impact of the Concep of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1965), hlm. 93-94.
28 Kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari kekuatan dirinya, sesuatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan, atau apapun yang dinamakan sebagai keberadaan manusia. Selanjutnya dapat dibaca. Mimi Doe. ”10 Principles for Spiritual Parenting”, (New York: Orbis Books, 2000). hlm.28.
29 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal14 Oktober 2014.
30 Wawancara dengan Bapak H.Noor Kholid tanggal 15 Nopember 2014.
31 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
32 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq pada tanggal 18 Oktober 2014.
33 Sikap integrasi adalah sikap terbuka keluar. Artinya bersedia bersikap hormat atau bersikap baik terhadap aneka tradisi atau budaya, pandangan hidup atau agama yang berbeda bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi terciptanya suasana yang tenang, gembira, bebas dari rasa takut, dan bebas dari tekanan /Franz Magnis Suseno. ”Kuasa dan Moral”. (PT.SUN.2001), hlm.97
34 Franz Magnis Suseno, ” Etika Jawa sebuah Analisis Falsafat Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Yogyakarta:Gramedia,2001), hlm.54. Baca juga. Franz Magnis Suseno. ”Kuasa dan…, op.cit, hlm.167.
35 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
36 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
37 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 10 Oktober 2014.
38 Wawancara dengan Bapak H.Noor Kholid tanggal 15 Nopember 2014
39 Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014
40 Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
41 Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
42 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq pada tanggal 18 Oktober 2014.
Gus-Ji-Gang sebagai Social Capital Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
303
43 Wawancara dengan Ibu Mirah pada tanggal 14 Oktober 2014.
44 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 19 Oktober 2014.
45 Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
46 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
47 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
48 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
49 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
50 Wawancara dengan Ibu Sri Muni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
51 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 15 Oktober 2014.
52 Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
53 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 14 Oktober 2014.
54 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014.
55 Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
56 Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
57 Wawancara dengan Bapak Arif Chuzaimahtum pada tanggal 10 Oktober 2014.
58 Wawancara dengan Bapak Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
59 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 14 Oktober 2014
60 Wawancara dengan ibu Nurul Hikmah tanggal 19 Oktober 2014.
61 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
62 Wawancara dengan Ibu Muffarrikhah tanggal 10 Oktober 2014.
63 Wawancara dengan Bapak Noor Kholid tanggal 15 Oktober 2014.
64 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
65 Wawancara dengan Bapak.H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014.
66 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 18 Oktober 2014.
67 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 18 Oktober 2014