bab iv sistem partai di prancis 4.1 ... -...
TRANSCRIPT
21
BAB IV
SISTEM PARTAI DI PRANCIS
4.1 Sistem Partai di Prancis
Kebebasan untuk menyalurkan aspirasi politik masyarakat secara penuh dijamin dalam
konstitusi serta peraturan Prancis, yang mana hal ini kemudian berimplikasi pada sistem partai
yang dianut Prancis. Pengaruh partai dalam kehidupan politik Prancis secara jelas dinyatakan
pada Artikel 4 Konstitusi Prancis pada 4 Oktober 1958, sebagai berikut:
“Political parties and groups shall contribute to the exercise of suffrage. They shall be formed and carry on their activities freely. They shall respect the principles of national sovereignty and democracy.”
“Partai dan kelompok-kelompok politik berkontribusi dalam ekspresi hak pilih. Mereka membentuk diri mereka sendiri dan melakukan aktivitas dengan bebas. Mereka harus menghormati prinsip-prinsip kedaulatan dan demokrasi nasional.”
Prancis merupakan negara yang menganut sistem multipartai. Sistem ini menjamin
masing-masing partai dapat berkontribusi aktif dalam politik Prancis. Tidak ada satu partai yang
menguasai seluruh kursi dalam parlemen. Selain itu, tidak ada satu partai yang tidak
berkontribusi dalam pemilu. Walaupun demikian, secara tradisional dan historis, Prancis
menjadikan partai kanan-tengah (droite) dan kiri-tengah (gauche) menjadi dua partai utama
dalam politik Prancis. Pada lima dekade awal La Cinquième République terdapat empat partai
besar dalam politik Prancis, yaitu UDF dan RPR yang aliran politiknya droite serta PS dan PCF
yang gauche. Pada masa ini kepemimpinan Prancis berpindah dari droite ke gauche, yakni
seperti pada perpindahan kepemimpinan dari Valéry Valéry Giscard d’Estaing (UDF) ke
François Mitterand (PS) pada tahun 1981. Maupun dari gauche ke droite, seperti dari François
Mitterand ke Jacques Chirac (RPR) pada tahun 1995 (Cole, 2003: 50). Kondisi itu kemudian
berubah sejak terjadinya quadrille bipolaire, yaitu situasi di mana keempat partai utama dalam
posisi yang sama. Total perolehan dukungan pada pemilu legislatif pada tahun 1978 yang
didapatkan oleh keempat partai itu berjumlah 90%, dan masing-masing partai mendapat
dukungan sebanyak 20% hinggs 25% (Jocelyn, 2005: 3).
Semenjak itu, masing-masing blok tidak mampu untuk mempertahankan posisi mereka di
pemerintahan. Sejak 1978, sistem partai di Prancis berubah dari struktural menjadi konjungtural
22
(Jocelyn, 2005: 3). Hal itu berarti pemilihan didasarkan pada profil kandidat yang mewakili
partai, bukan berdasarkan profil partai. Hal ini dibuktikan dengan lolosnya Marine Le Pen dan
Emmanuel Macron ke putaran kedua pemilu Presiden Prancis tahun 2017. Pemilu tahun ini
bahkan dimenangkan oleh Macron yang berasal dari partai En Marche, partai tengah dan liberal
yang baru saja dibentuk oleh Macron untuk mendukung posisinya dalam pemilu.
Perubahan sistem partai pada 1978 menyebabkan partai-partai dengan ideologi serta tradisi
yang berbeda dengan partai-partai utama dapat turut aktif dalam aktivitas politik Prancis. Partai-
partai seperti FN dan MPF yang l’extrême droite, LO dan LCR yang l’extrême gauche, maupun
CPNT dan LV yang centre dapat turut berpartisipasi dalam pemilu-pemilu yang berlangsung di
Prancis. Di bawah kepemimpinan Jean-Marie Le Pen, FN berhasil mendapatkan basis suaranya
dalam masyarakat yang mana berdampak pada kemampuannya untuk menjadi kekuatan ketiga
dalam politik Prancis. FN berhasil menjadi partai ketiga dalam pemilu Presiden di Prancis.
Bahkan dalam pemilu Presiden Prancis pada tahun 2017, FN berhasil lolos ke putaran kedua
dengan suara 21,5%.
Partai-partai hijau yang centrist seperti CPNT dan LV juga semakin dapat berpartisipasi
dalam pemilu Prancis, walaupun dalam perkembangannya mereka tak mampu mendulang suara
lebih dari 5%. Hal ini memposisikan mereka sebagai partai yang berada pada pinggir
perpolitikkan di Prancis. Mereka tidak mampu menyediakan alternatif yang dibutuhkan oleh
beberapa kelompok masyarakat yang lelah dengan partai-partai utama, yang semakin lama
dianggap tidak lagi kredibel dalam menyelesaikan permasalahan mereka (Evans, 2003: 3).
4.2 Partai-Partai di Prancis
Sub-bab ini memaparkan secara ringkas terkait partai-partai yang ada di Prancis. Dari 78
partai yang ada di Prancis semenjak La Cinquième République, sub-bab ini hanya membahas
sepuluh partai yang memiliki perkembangan maupun pengaruh yang besar dalam pemilu
Presiden di Prancis.
4.2.1 Gauche
A. Parti Socialiste
Parti Socialiste merupakan partai gauche paling populer di Prancis. Partai ini secara
resmi dibentuk pada tahun 1905 dengan nama Section Française de l’Internationale Ouvrière.
23
SFIO berhasil menyatukan enam partai kecil beraliran sosialis di Prancis. Hal ini menjadikan
SFIO sebagai partai sosialis yang memiliki beragam tradisi sosialisme. Dari anarkis, Marxisme
Prancis, hingga sosialisme reformis (Cole, 2003: 159). SFIO menjadi satuan politik besar pada
awal masa pembetukkannya. Pada tahun 1914 SFIO berhasil memenangkan 102 kursi dalam
Parlemen dan mendptkn 1.4 juta dukungan (Cole, 2003: 159). Wujud gauche yang terunifikasi
ini hanya bertahan hingga tahun 1920, hingga terjadinya Kongres Tours yang akhirnya memecah
gauche menjadi dua yaitu sosialisme dan komunisme. Perpecahan ini terjadi dikarenakan
munculnya konflik antar pemegang tradisi gauche dalam diri SFIO.
Semenjak saat itu nasib buruk SFIO tak kunjung membaik hingga akhirnya masuk dalam
masa La Cinquième République. Krisis Aljazair membuat SFIO kembali terpecah. Pada tahun
1975, Parti Socialiste kemudian muncul dari kehancuran SFIO ini. PS kembali menjadi partai
sosialis yang dipandang mumpuni setelah François Mitterand menjadi pemimpin partai sejak
tahun 1971. Selain dari pengaruh kepemimpinan Mitterand, perubahan strategi politik dan
evolusi ideologi juga turut berpengaruh pada keberhasilan PS menjadi salah satu terbesar hingga
sekarang.
Di bawah kepemimpinan Mitterand, PS kembali dapat menyatukan beberapa kelompok
kecil beraliran sosialisme dalam keanggotaannya. Hal ini kemudian berdampak pada dukungan
yang semakin kokoh terhadap pencalonan Mitterand sebagai Presiden pada pemilu Presiden
Prancis tahun 1981. Dibalik konflik yang terjadi antara SFIO serta PCF, pada tahun 1972 PS
membuat program koalisi dengan PCF. Program koalisi menuntut dilakukannya nasionalisasi
industri-industri besar di Prancis serta diterapkannya expanded welfare state1. Koalisi ini terus
berlanjut pada masa pemerintahan Mitterand. Pada pemilu tahun 1981, Mitterand keluar sebagai
pemenang pemilu Presiden dan koalisi ini berhasil memenangkan pemilu legislatif. Pemerintah
yang secara mayoritas dikuasai oleh koalisi ini kemudian berhasil menerapkan beberapa
reformasi dalam kebijakan ekonomi Prancis. Perubahan-perubahan tersebut meliputi kenaikan
gaji, perbaikan bantuan pemerintah dalam praktek keamanan sosial, desentralisasi administratif,
serta nasionalisasi beberapa bank besar dan firma industri di Prancis.
Kepemimpinan Mitterand kemudian berlanjut setelah ia terpilih kembali pada pemilu
Presiden Prancis tahun 1988. Kepemimpinan kemudian berpindah ke droite setelah Jacques
1 Expanded welfare state berarti di mana sebuah negara yang memiliki program pemberian bantuan sosial (baik dana maupun kemudahan praktis lainnya), memperluas batasan syarat program tersebut.
24
Chirac terpilih menjadi presiden pada pemilu tahun 1995. Namun pada pemilu legislatif tahun
1997 yang terjadi lebih awal akibat permintaan Chirac, PS secara mencengangkan memenangkan
255 kursi dalam Parlemen dan Lionel Jospin menjadi Perdana Menteri. Hal ini membuat koalisi
droite-centre dalam pemerintahan berhenti. PS kemudian membentuk koalisi pemerintahannya
sendiri dengan PCF dan LV.
Nasib baik PS kemudian terhenti pada pemilu Presiden Prancis tahun 2002. Pada pemilu
kali ini, Lionel Jospin yang menjadi kandidat calon Presiden dari PS, gagal untuk lolos ke
putaran kedua pemilu. Ia berada pada peringkat ketiga, di bawah Jacques Chirac dan Jean-Marie
Le Pen. Selain gagalnya Jospin dalam memenangkan pemilu Presiden, PS juga kehilangan 115
kursi dalam pemilu legislatif tahun 2002 (Jocelyn, 2005: .
Pada pemilu Presiden Prancis tahun 2007, Ségolène Royal mencalonkan diri sebagai
kandidat calon Presiden dari PS. Royal menjadi perempuan pertama yang dapat lolos ke putaran
kedua pemilu Presiden Prancis. Royal sendiri berhasil menarik perhatian publik dengan
kehadirannya sebagai politisi perempuan yang mumpuni serta retorika agenda kerjanya. Kala itu
PS tak mampu mempertahankan kesatuan dukungan gauche di Prancis. Hal ini kemudian
menyebabkan gagalnya Royal untuk mengalahkan Sarkozy pada putaran kedua. Royal hanya
mendapatkan dukungan sebanyak 47% dibandingkan Sarkozy yang mendapatkan 53% suara.
Pada tahun 2012, PS hampir mencalonkan Dominique Strauss-Kahn, seorang ahli
ekonomi yang menjadi direktur IMF yang berasal dari PS. Namun pada 2011, Strauss-Kahn
ditahan di New York dengan tuduhan tindak kekerasan seksual. Hal itu kemudian memunculkan
keraguan terhadap kemampuan dan kredibilitas Strauss-Kahn, yang mana kemudian berdampak
pada tidak diusulkannya nama Strauss-Kahn dalam pemilihan kandidat PS yang dilakukan secara
internal.
Strauss-Kahn gagal untuk maju dalam pemilu Presiden Prancis tahun 2012. Namun
demikian, François Hollande yang berhasil keluar sebagai pemenang pemilu mengalahkan
Sarkozy. Reputasi buruk Sarkozy, stagnansi perekonomian yang terus terjadi, serta agenda kerja
Hollande dalam melegalkan pernikahan sesama jenis. Hal ini kemudian menjadikan Hollande
sebagai Presiden sosialis pertama semenjak Mitterand.
Namun Hollande dinilai tidak mampu menepati janji-janji agenda kerjanya.
Permasalahan ekonomi tidak kunjung membaik, bahkan tingkat pengangguran semakin tinggi.
Hal ini kemudian berdampak pada populeritas Hollande sebagai Presiden Prancis. Hollande yang
25
menjadi Presiden Prancis yang paling tidak populer kemudian secara publik menyatakan bahwa
dirinya tidak mewakili PS dalam pemilu Presiden Prancis tahun 2017.
B. Parti Communiste Française
Parti Communiste Française merupakan partai yang terbentuk dari Kongres Tours pada
tahun 1920. Pada masa interwar2, PCF menjadi partai yang menerima bahwa Uni Soviet
memiliki peran penting dalam hubungan internasional (Cole, 2005:162). Partai ini menjadi partai
yang menyatakan kesetiaannya pada Uni Soviet. PCF merupakan partai komunis yang paling
setia pada Stalin di seluruh Eropa (Cole, 2005: 163). Sepanjang masa La Quatrieme République,
PCF berperan sebagai komunitas yang kontras dengan masyarakat Prancis pada umumnya. Partai
ini merupakan partai yang diatur dengan sangat baik dan dapat menyediakan kepuasan emosional
tersendiri bagi pendukung-pendukungnya.
PCF merupakan salah satu partai terbesar pada masa ‘Liberasi’. Partai ini dilihat sebagai
partai nasional yang patriotis, reformis, dan modern dibandingkan dengan rivalnya pada masa itu
yaitu PS yang dianggap masih tradisional ketika PCF mulai mempenetrasikan pengaruhnya pada
kelompok masyarakat pekerja. Kemudian selama masa La Quatrieme République dan La
Cinquième République, PCF menjadi partai berpengaruh di Prancis. Puncaknya adalah
terpilihnya François Mitterand pada pemilu Presiden Prancis pada tahun 1981 serta berhasilnya
PCF menjadi salah satu partai mayoritas pada pemilu legislatif di tahun yang sama. Aliansi yang
dibentuk dengan PS menjadikan PCF mendapatkan porsi dalam kemenangan PS kala itu.
Pengaruh PCF dalam politik Prancis juga dapat terlihat pada kemampuan partai ini dalam
mengatur serta menaungi serikat-serikat buruh yang ada di Prancis. Selain itu, PCF juga
memiliki perusahaan percetakkannya sendiri.
Pada masa ini pula PCF semakin terpisah dengan PS yang semakin moderat. Partai ini
kemudian diserang oleh partai-partai antisistem dari berbagai macam aliran politik. Selain itu,
PCF juga tidak mampu menyediakan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada,
terutama krisis Aljazair serta runtuhnya La Quatrieme République pada tahun 1958.
Semakin lama, pengaruh partai semakin lama semakin menurun. Hal ini dapat dilihat
pada jumlah dukungan yang semakin turun. Dari tahun 1950 ke tahun 2001, dukungan PCF dari
kelompok masyarakat pekerja berkurang dari 40% ke 27% (Jocelyn, 2003: 30). Pengurangan
2 Masa interwar adalah masa yang ada di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
26
dukungan ini dimulai dari tahun 1980-an dan 1990-an. Pada pemilu Presiden tahun 1995,
pemimpin partai yaitu Robert Hue hanya memenangkan dukungan sebanyak 8,7% dalam polling
yang diadakan oleh koalisi gauche, dibandingkan dengan kandidat dari PS yang berhasil
mendapatkan suara sebanyak 23,7% (Jocelyn, 2003: 30). Pada pemilu Presiden tahun 2002, PCF
kembali hanya dapat memenangkan segelintir suara yaitu sebanyak 3,37%.
Permasalahan utama yang dihadapi partai ini adalah kesulitannya untuk dapat terus aktid
berpartisipasi dalam sistem partai di Prancis (Jocelyn, 2003: 37). Dengan kata lain, PCF telah
kehilangan tempatnya dalam sistem dukungan terhadap Uni Soviet dan tidak menemukan
strategi untuk dapat kembali mendapatkan posisi yang sama. Runtuhnya Uni Soviet dan
berakhirnya Perang Dingin membuat peran PCF semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Strategi pencarian peran baru maupun alternatif bagi PCF dianggap tidak berhasil, hal ini dapat
dilihat pada reputasinya yang semakin tidak populer. Pada sepuluh tahun terakhir, PCF menjadi
partai yang bahkan lebih lemah dibandingkan partai-partai minor di Prancis.
4.2.2 l’Extrême Gauche
A. Lutte Ouvrière
Lutte Ouvrière menyatakan dirinya sebagai salah satu partai dengan aliran komunisme.
Secara radikal, LO menolak nilai-nilai kapitalisme dalam pemerintahan. LO dibentuk pada tahun
1956 oleh Robert Barcia. Awalnya, LO merupakan sebuah gerakan/kelompok politik dengan
aliran Trotskys3. Kelompok ini secara anarki dan radikal membela nasib para pekerja serta
revolusi industri di Prancis. Pada awal kemunculannya pada tahun 1956, LO memiliki buletin
mingguannya sendiri yang membahas tentang perjuangan kelas dan industri. Pada masa-masa
itulah PCF berusaha meredam dukungan LO dengan menjaga distribusi persebaran buletin itu.
Posisi LO hingga sekarang tetap menjadi partai sampingan dalam sistem politik Prancis.
Pada pemilu Presiden Prancis tahun 1995, Arlette Laguiller kembali maju dalam pencalonan
dirinya sebagai kandidat calon presiden mewakili LO. Laguiller gagal untuk maju ke putaran
kedua dengan hanya menerima dukungan suara sebanyak 5,37% (Cole, 2003: 173).
3 Trotskys merupakan salah satu cabang Marxisme yang dikembangkan oleh Leon Trotsky. Inti dari teori ini adalah perjuangan kelas merupakan sebuah revolusi yang dapat selesai apabila kelas pekerja dapat menggulingkan kelas yang sedang berkuasa.
27
B. Ligue Communiste Révolutionnaire
Ligue Communiste Révolutionnaire merupakan partai antikapitalis yang dibentuk pada
tahun 1974 sebagai kelahiran kembali dari Ligue Communiste. LC sendiri dibentuk pada tahun
1969, sebagai gabungan dari Parti Communiste Internationaliste serta Jeunesse Communiste
Révolutionnaire.
Pada masa di mana PS berhasil menyatukan koalisi gauche serta LV, LCR memilih untuk
tidak bergabung dalam aliansi ini. LCR menganggap bahwa koalisi tersebut tidak termasuk
dalam upaya melawan kapitalisme, yang mana hal ini menjadi ideologi dasar bagi LCR. Pada
pemilu Eropa tahun 1999, LCR bersama LO menjadi satu kekuatan l’extrême gauche pada
kancah Eropa. Koalisi mereka kemudian berhasil memenangkan lima kursi deputé dalam
Parlemen Eropa, yang dua di antaranya merupakan kursi bagi LCR.
LCR akhirnya kembali hadir dalam kontestasi pemilu Presiden Prancis pada tahun 2002.
Olivier Besancenot tampil sebagai kandidat calon Presiden dari LCR, yang kemudian gagal
untuk lanjut ke putaran kedua pemilu. Besancenot hanya berhasil mendapatkan dukungan
sebanyak 4,25% suara.
Pada pemilu Presiden Prancis tahun 2007, LCR hadir dengan Olivier Besancenot kembali
sebagai kandidat calon Presiden yang mewakili partai. Namun Besancenot hanya mendapatkan
sdikit dukungan. Besancenot hanya berhasil mendapatkan dukungan sebanyak 4,08% atau setara
dengan 1.498.581 suara. Menanggapi Sarkozy dan Hollande yang lolos ke putaran kedua,
Besancenot meminta para pendukungnya untuk tidak mendukung Sarkozy tanpa menyatakan
dukungan terhadap Royal.
Selama masa aktifnya dalam politik Prancis, LCR tidak dapat menjadi partai utama
dalam peta perpolitikkan Prancis. LCR sendiri akhirnya dibubarkan pada tahun 2009, yang mana
bubarnya LCR menjadi cikal bakal didirikannya partai antikapitalis bernama NPA.
4.2.3 Centre
A. Chasse Pêche Nature et Traditions
Chasse Pêche Nature et Traditions merupakan partai yang berlandaskan pada fokus
agenda kerja agraris di Prancis. CPNT dibentuk pada tahun 1985. CPNT sendiri adalah salah satu
anggota dalam UMP, sehingga tak jarang apabila CPNT menyatakan dukungannya terhadap
UMP ketika tak dapat lolos dalam pemilu.
28
Sepak terjang CPNT dalam kontestasi pemilu di Prancis tidak bernasib baik. Pada pemilu
Eropa pada tahun 1989 dan 1994, CPNT gagal untuk menaruh wakilnya dalam Parlemen Eropa.
Nasib serupa kemudian juga terjadi pada pemilu Parlemen Eropa pada tahun 2004 dan 2009.
Pada pemilu Presiden Prancis tahun 2002, CPNT menjadikan Jean Saint-Josse yang pada
kala itu adalah pemimpin partai sebagai kandidat. Hal ini kemudian tidak berjalan baik, karena
CPNT tidak mampu lolos ke putaran kedua pemilu. CPNT hanya berhasil mendapatkan
dukungan sebanyak 4,23%.
Pada tahun 2007 CPNT kembali mengikuti kontestasi pemilu Presiden. Kali ini CPNT
menjadikan Frédéric Nihous sebagai kandidat calon Presiden. Nihous sendiri adalah seorang
pemuda berumur 40 tahun yang merupakan asisten Saint-Josse pada pemilu sebelumnya.
Dukungan CPNT anjlok dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Nihous hanya mampu
mendapatkan dukungan sebanyak 1,15%.
B. Les Verts
Les Verts didirikan pada tahun 1984. Namun, sebenarnya partai ini sudah dapat dilihat
awal terbentuknya pada majunya Réne Dumont pada pemilu Presiden Prancis tahun 1974. Pada
masa itu, LV hanyalah berbentuk gerakan massal yang kemudian berevolusi menjadi partai yang
semakin kompleks seiring berjalannya waktu.
Kemudian pada tahun 1997, LV berhasil masuk dalam Parlemen sebagai hasil koalisi
yang baik dengan partai-partai gauche pada masa itu. LV menjadi partner gauche yang penting
pad masa itu dengan munculnya perjanjian dengan PS. Relasi itu menjadi penting karena
dianggap berhasil mengumpulkan dukungan para pemerhati lingkungan yang sadar politik dalam
dukungan koalisi gauche. Pada masa itu pula LV mendapatkan dukungan dana yang besar. Di
antara tahun 1984 dan 1989, keanggotaan telah menjadi sumber dana terbesar partai karena LV
menolak kontribusi perusahaan maupun kelompok-kelompok manapun. Namun perubahan
terkait regulasi pendanaan partai dilakukan, hal ini berdampak pada pendanaan Negara terhadap
partai pada tahun 1988.
Seiring dengan berjalannya waktu, LV berhasil menaruh pengaruhnya dalam politik
Prancis. Reputasi LV yang awalnya hanya populer dalam kelompok masyarakat kelas menengah
dengan pendidikan serta pendapatan yang cukup dan cenderung tinggi, menjadi semakin melebar
dan populer. Pendukung muda terhadap LV semakin banyak. Hal ini ditunjukn dari 79%
29
dukungan terhadap LV di Cohn-Bendit berusia kurang dari 49 tahun (Jocelyn, 2003: 61). Pada
tahun 2004, LV akhirnya berhasil memasukkan pejabat-pejabatnya dalam segala posisi politik di
Prancis. Hingga sekarang, LV tetap menjadi partai minor di kancah perpolitikkan Prancis namun
tetap menjadi salah satu partner gauche yang masih diperhitungkan.
4.2.4 Droite
A. Union pour la Démocratie Française
UDF dibentuk pada 1978, hanya beberapa minggu sebelum diadakannya pemilu
legislatif. UDF awalnya dibentuk sebagai konfederasi partai-partai untuk menjadi basis
dukungan bagi Presiden Valéry Giscard d’Estaing. UDF merupakan aliansi partai centre-droite
yang sepanjang masa aktifnya terus berjuang untuk tidak menjadi gauche maupun droite di
tengah tradisi politik gauche-droite di Prancis, namun gagal untuk berpegang pada prinsip
tersebut.
UDF membentuk koalisi centre-droite dan maju dalam pemilu Presiden Prancis pada
tahun 1981. Valéry Giscard d’Estaing kemudian kalah pada putaran kedua melawan Mitterand.
UDF dan aliansinya berhasil mengalahkan RPR dalam pemilu-pemilu legislatif maupun regional,
namun pada pemilu Presiden UDF tidak mampu keluar sebagai pemenang pemilu. Valéry
Giscard d’Estaing berharap bahwa UDF dapat menjadi dasar kemunculan kekuatan centre-droite
yang menggantikan posisi partai-partai Gaullist. Namun, UDF sendiri merupakan sebuah
kegagalan (Cole, 2003: 156). UDF tidak memiliki basis yang efektif yang diperlukan sebagai
dukungan mobilisasi massa. Hal ini berdampak pada rapuhnya dukungan serta kepengurusan
UDF.
Pada tahun 1988 François Bayrou menyatakan bahwa UDF merupakan .partai tunggal.
Pembentukan kembali UDF ini dilakukan untuk menahan RPR serta UMP menjadi partai-partai
centre-droite yang dapat menguasai peta perpolitikkan Prancis.
Kemudian, UDF dapat aktif kembali dalam kontestasi pemilu Presiden saat Bayrou
menjadi kandidat calon Presiden pada pemilu Presiden Prancis tahun 2002 dan 2007. Dukungan
terhadap UDF mengalami peningkatan, yaitu dari 6,88% pada pemilu 2002 menjadi 18,57%
pada pemilu tahun 2007. Namun, pada November 2007, UDF akhirnya benar-benar hilang
dengan dibentuknya partai baru bernama Mouvement Democratique yang dipimpin oleh Bayrou.
30
B. Union pour Mouvement Populaire
Union pour Mouvement Populaire secara resmi dibentuk pada tahun 2002 oleh Jacques
Chirac. Chirac membuat UMP sebagai kumpulan partai-partai droite di Prancis. UMP sendiri
dibentuk dari peleburan dua partai droite yaitu RPR serta DL. RPR sendiri dulunya merupakan
partai droite dan Gaullist dengan dukungan terbanyak pada 30 tahun pertama berdirinya La
Cinquième République. UMP merupakan salah satu partai yang memiliki dukungan besar baik
pada hampir seluruh pemilu di Prancis. Partai ini berhasil menyatukan berbagai macam tradisi
maupun ideologi droite dalam jangkauan dukungannya.
Pada tahun 2004, UMP belum mampu berhasil tampil sebagai partai yang mumpuni. Hal
ini ditunjukkan oleh perolehan dukungan yang didapat pada pemilu regional Prancis tahun ini.
UMP hanya memenangkan dua region dari 22 region di Prancis. Di tahun yang sama pula, Alain
Juppé yang kala itu merupakan pemimpin partai terjerat kasus korupsi yang menyebabkan ia
harus turun dari tampuk kepemimpinan UMP. UMP secara resmi dipimpin oleh Nicolas Sarkozy
pada tahun 2004 dengan memenangkan pemungutan suara internal sebanyak 85,09%. Sarkozy
kemudian dapat melepaskan UMP dari pengaruh Chirac dan memenangkan pemilu Presiden
Prancis pada tahun 2007. Selain itu, UMP juga berhasil untuk memenangkan 313 kursi di
Parlemen pada pemilu legislatif di tahun yang sama. Pada tahun 2010, perombakan kabinet
terjadi di mana salah satu politisi UMP François Fillon menjadi Perdana Menteri.
Pada tahun 2012, UMP mengalami konflik internal serta terjerat skandal keuangan yang
mana menyebabkan Jean-François Copé turun dari jabatan pemimpin partai. Hal ini lalu
menjadikan Sarkozy kembali terpilih menjadi pemimpin partai. Sarkozy kemudian mengajukan
proposal untuk mengganti nama partai menjadi Les Republicains. Hal itu menjadi permasalahan
tersendiri dalam UMP karena konteks republik dalam nama tersebut ditakutkan beberapa pihak
dapat menyalahartikan sistem pemerintahan Republik yang ada di Prancis. Namun hal itu tidak
menjadi masalah besar dengan resminya Les Republicains muncul menggantikan UMP pada
tahun 2015.
4.2.5 l’Extême Droite
A. Front National
Front National dibentuk pada tahun 1972 oleh François Duprat, François Brigneau dan
sebagian besar oleh Jean-Marie Le Pen. Kepengurusan FN di awal pembentukannya kemudian
31
diserahkan kepada Jean-Marie Le Pen sebagai ketua, François Brigneau sebagai wakil ketua,
Alain Robert sebagai sekretaris umum, Roger Holeindre sebagai deputi sekretaris umum, Pierre
Bousquet sebagai bendahara, dan Pierre Durant sebagai deputi bendahara (Shields, 2007: 169).
Masing-masing pengurus dan pejabat FN tersebut memiliki ideologi l’extrême droite-nya sendiri,
seperti Le Pen yang ‘l’extrême droite parliamentary’ dan Alain Robert yang ‘revolutionary and
pro-European activism’ (Shields, 2007: 170). Ideologi yang beragam ini kemudian menandakan
pula variasi dukungan dan kelompok-kelompok l’extrême droite yang FN berusaha rengkuh.
Keragaman ideologi yang terkandung dalam FN kemudian berdampak pada karakter umum FN
yaitu xenofobia, populis, rasis, dan ultranasionalis.
Mulai dari mantan anggota Organisation de l’Armée Secrète (OAS)4, para veteran dan
simpatisan perang Aljazair, mantan anggota Club de l’Horloge serta GRECE, para konservatif,
blue collar class, petani serta para petit independent yang terutama merupakan mantan anggota
gerakan Poujadist. Peristiwa merdekanya Aljazair ternyata meninggalkan luka bagi beberapa
kelompok nasionalis Prancis. Pemerintahan de Gaulle dianggap gagal dalam mempertahankan
Aljazair untuk tetap menjadi koloni Prancis. Hal ini kemudian menjadi kekecewaan mendalam
bagi simpatisan dan pendukung partai de Gaulle yang nasionalis. Kemudian munculnya FN,
dengan nilai-nilai ultranasionalisme sempit serta karisma Le Pen dalam memimpin partai,
berhasil menarik mantan anggota OAS dan simpatisan perang Aljazair yang sempat
terpinggirkan dan berada dalam periperi politik Prancis. Bahkan Roger Holeindre, yang menjabat
sebagai bendahara pertama FN, merupakan veteran OAS dan perang Aljazair. Mereka menjadi
basis nasionalis, bahkan ultranasionalis, yang kuat bagi FN.
Jatuhnya gerakan Poujadist kemudian membuat para petit independent merasa kehilangan
pejuang hak-haknya. Melihat hal ini, FN kemudian berhasil menarik perhatian para petit
independent tersebut dengan agenda kerja yang melindungi lahan bisnis tradisional, proteksionis,
dan anti-imigran. Kehadiran petit independent, baik yang dulu tergabung dalam gerakan
Poujadist maupun yang tidak, membuat FN menyuarakan pentingnya ekonomi yang berbasis
tradisional untuk terus dijaga dan dilindungi. FN juga lantang dalam ‘upaya pengusiran’ imigran
4 OAS merupakan salah satu organisasi radikal semasa Algerian War yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat muslim Aljazira. OAS beranggotakan pieds-noir (orang-orang Prancis yang tinggal di Aljazair) yang memutuskan untuk melakukan aksi-aksi radikal dan teror sebagai bentuk protes merdekanya Aljazair (Christopher Hitchens, ‘A Chronology of the Algerian War of Independence’ di akses di http://www.theatlantic.com/amp/article/305277 pada 23 February 2017).
32
dan menyalahkan kehadiran imigran sebagai penyebab lemahnya perekonomian tradisional
Prancis. Kebijakan proteksionis dan reindustrialisasi yang diusung oleh FN kemudian berhasil
pula menarik kelas blue collar yang kehilangan pekerjaan mereka dan lelah akan stagnansi
ekonomi untuk dapat hadir dalam daftar pendukung. Hal ini sangatlah aneh mengingat bahwa
dukungan kelas ini seharusnya dapat diserap dengan baik oleh gauche maupun komunis. Namun,
kekecewaan terhadap pemerintahan gauche pada masa-masa itu dalam mengentaskan
permasalahan ekonomi yang berdampak pada angka pengangguran yang tinggi serta stagnansi
ekonomi membuat segelintir kelompok blue collar memantapkan dukungan mereka terhadap
FN.
Selain itu, mantan-mantan anggota Club d l’Horloge serta GRECE yang ada dalam tubuh
partai juga turut menentukan arah nasionalisme tertutup dan sikap rasis FN. FN yang
mendasarkan nasionalitasnya pada faktor-faktor generik dan organik digadang-gadang timbul
dari sintesa dan pengaruh GRECE dan Club de l’Horloge.
Dari sikapnya yang menyuarakan hak-hak petit independent dalam perlindungan serta
pendukungan bisnis tradisional hingga janji-janji pengurangan imigran, FN menyatakan dirinya
adalah partai populis. FN dan Le Pen menganggap diri mereka adalah suara dari rakyat yang
memperjuangkan hak-hak dan kebutuhan rakyat yang selama ini tidak berhasil dipenuhi oleh
partai-partai mainstream yang pernah memimpin negri. FN berhasil menyampaikan ideologi dan
agenda kerja mereka melalui langkah-langkah dan bahasa yang mudah dipahami oleh
masyarakat, walaupun ‘keramahan’ tersebut sering dinilai terlalu kasar dan blak-blakan.
Namun FN juga memiliki karakter yang tidak antiparlemen dan antisistem. Hal ini
membuat FN dapat terus ada dalam sistem perpolitikkan la cinquiéme republique yang dirancang
untuk tidak memperbolehkan partai memiliki kekuatan yang teramat besar terhadap
pemerintahan dan tentu saja untuk menahan perkembangan l’extrême droite. Bahkan media-
media internasional juga dalam negri tak jarang mengatakan bahwa FN merupakan partai fasis
dan memiliki keterkaitan dengan Hitler. Hal tersebut muncul setelah Le Pen mengeluarkan
pernyataan kontroversial mengenai Nazi’s gas-chamber pada tahun 1978, walaupun di bawah
kepemimpinan Marine Le Pen FN image tersebut sudah diusahakan untuk dihilangkan.
Terdapat beberapa faktor yang membuat kemunculan FN menjadi terlihat begitu
gemilang. Pertama, Front National berhasil dibangun atas runtuhnya paham komunisme di
Eropa dan Prancis. FN yang anti komunis dan anti Uni Soviet berhasil menemukan target dan
33
titik tolak yang tepat untuk mendefinisikan dirinya dan menyuarakan ideologinya. Pada masa itu
pula komunis menjai lebih moderat dan mengaliansikan dirinya dengan gauche (Williams, 2011:
682). Hal tersebut kemudian berdampak pada kemarahan kelas pekerja radikal yang merasa
terabaikan, yang kemudian menjadi bahan bakar FN untuk merengkuh variasi dukungan yang
lebih luas serta menyudutkan komunis dan gauche yang dianggap gagal menjalankan tanggung
jawab dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Prancis. Selain itu, Peter Davies juga
menuliskan dalam bukunya bahwa naiknya Mitterand dan partai sosialisnya menjadi keuntungan
tersendiri bagi FN dalam pemantapan identitas dan identifikasi diri FN (Davies, 1999: 134).
Hadirnya sosok yang begitu berbeda dan sangat bertentangan satu sama lain dengan FN
membuat keberadaan serta identitasnya menonjol dan terlihat dengan jelas.
Politik Prancis yang pada masa itu masih belum stabil juga turut memberikan ruang bagi
terbentuknya FN. Turunnya sosok de Gaulle yang sangat berkarisma dan kuat dari tampuk
kepimpinan membuat alur perpolitikkan Prancis agak kabur karena kehilangan sosok pemimpin
yang sangat dihormati dan kuat. Hal ini kemudian menciptakan ruang bergerak bagi partai-partai
maupun organisasi-organisasi politik yang kecil dan baru seperti FN. Selain itu, gaya
kepimipinan Le Pen yang kuat dan berkharisma serta kemampuannya dalam meramu resep yang
tepat bagi landasan partai membuat FN berhasil naik ke permukaan perpolitikkan Prancis.
Agenda Kerja dan Isu Utama Front national
Dalam kampanye-kampanyenya, FN dikenal sebagai partai yang radikal dalam
penggunaan kalimat serta jargon. Tak jarang poster-poster FN yang ditempel di tembok-tembok
kota menyuarakan semangat xenofobia, rasis, dan revolusionis yang tajam. Slogan-slogan yang
tak kenal takut seperti ‘Let’s stop the Populer Front in its tracks’ dan ‘Let’s drive the thieves
from power’ dikumandangkan pada masa awal terbentuknya FN yang notabene ditujukan pada
korupsi yang sedang terjadi dalam masa pemerintahan Georges Pompidou (Shields, 2007: 170).
Slogan xenofobia dan anti-imigran ‘A million unemployed is a million immigrants too many!
France and the French First’ muncul pada kampanye FN untuk pemilu provinsional tahun 1977
(Shields, 2007: 185) dan jargon ‘Les Français d’abord’ (The French First) menjadi jargon utama
dalam pemilu Eropa tahun 1984 (Shields, 2007: 208). Kedua jargon tersebut muncul atas
kemarahan partai terhadap kehadiran imigran yang menjamur dalam sektor sosial dan ekonomi
Prancis. Para imigran yang datang untuk mencari kehidupan yang lebih baik maupun sekedar
34
‘memenuhi panggilan’ pemerintah untuk mengisi pasokan tenaga kerja pada masa itu dianggap
telah mengurangi hak-hak masyarakat asli Prancis, baik dalam mendapatkan public welfare
maupun berhasil mendapatkan pekerjaan. Selain itu dua Le Pen (Jean-Marie dan Marine),
walaupun Marine menyatakan bahwa ia lebih moderat dan kurang radikal, dan politikus-
politikus FN lainnya seperti Bruno Mégret dan Marion-Maréchal Le Pen selalu berhasil
mengundang sorotan publik dengan pernyataan-pernyataan yang kontroversial mereka.
Seringnya isu imigrasi dijadikan agenda politik, membuat banyak orang mengira bahwa
FN merupakan single-issue party, yang pada kenyataannya tidak benar. FN memiliki berbagai
macam aspek isu yang juga mendapat bagian dalam agenda kerjanya seperti agrikultur,
pendidikan, keluarga, aborsi, serta kemakmuran publik. Dalam sektor agrikultur, FN percaya
bahwa tanah dan lingkungan yang ada di Prancis merupakan bagian dari nation sehingga harus
turut dijaga dan dipergunakan dengan baik.
Berdasarkan konteks historis, Prancis merupakan negara agraris yang penting di Eropa,
menjadikan agrikultur sebagai fondasi perekonomian Prancis. Produk agrikultur, baik yang
olahan maupun yang tidak, menjadi produk ekspor utama Prancis sehingga membuat keberadaan
masyarakat rural menjadi penting secara ekonomis maupun politis. Hal ini kemudian menjadi
tradisi dan ciri masyarakat Prancis itu sendiri. Setelah Perang Dunia II, sektor ini kehilangan
sinarnya. Pemerintah yang berfokus pada pemaksimalan dan perbaikan ekonomi kemudian
memodernisasi seluruh sektor pendapatan negara, yang berdampak pada mendukung penuh
industrialisasi dan perkembangan sektor jasa. Jumlah lahan pertanian berkurang hingga setengah
– yaitu sampai tiga juta lahan saja – dalam kurun waktu tiga puluh tahun (Girling, 2001: 12). Hal
ini kemudian dilihat FN sebagai salah satu penurunan nilai tradisi nasional Prancis yang harus
dibenahi (Davies, 1999: 47). Mengutip salah satu media FN tertulis, “The misery of Lorraine:
our agriculture is being assassinated.” Kalimat tersebut ditulis dengan sebab yaitu menurunnya
pendapatan dari sektor agrikultur sebanyak 10% di Lorraine (Davies, 1999: 47).
Selain sektor agrikultur, FN juga menentang aborsi yang pada tahun 1975 telah
dilegalkan oleh pemerintahan Mitterand. Penentangan tersebut didasarkan pada konservatisme
Katolik dan pemahaman FN terhadap peran keluarga. FN, seperti l’extrême droite tradisional
lainnya, juga menitikberatkan pentingnya keluarga dalam kehidupan masyarakat. Keluarga
dianggap sebagai sumber kekuatan Prancis dengan menjadi dasar terciptanya masyarakat
Prancis. Keluarga adalah sebuah unit sosial alami yang harus dijaga dari pengaruh eksternal yang
35
buruk (Davies, 1999: 125). FN mengusulkan bahwa pemerintah harus mendukung pertumbuhan
populasi dengan menawarkan insentif finansial bagi keluarga yang besar. Selain itu, FN juga
percaya bahwa masyarakat Prancis harus mendapat keuntungan dari tunjangan kesejahteraan
yang disediakan pemerintah sebagai bentuk pemahaman instirinsik dari konsep national
preference5 dan family preference6 FN (Davies, 1999: 26).
Dalam sektor pendidikan, FN menuntut silabus pengajaran haruslah bermuatan konsep-
konsep nasionalisme. FN menganggap bahwa pendidikan sangat penting untuk menjaga dan
menanamkan sikap nasionalisme sedari kecil. Pada program kebijakan tahun 1985, FN
memprotes dengan menyatakan bahwa ‘rooted subjects like history and geography had been
knowingly destroyed’ (Davies, 1999: 26). FN bersikukuh bahwa pendidikan Prancis telah
‘ternodai’ oleh konsep-konsep kiri dan komunisme sehingga dapat mengancam nasionalisme
bangsa. Adanya silabus pelajaran ‘kosmopolitanisme’ di sekolah-sekolah Prancis dianggap
sebagai salah satu pelajaran anti-nasional (Davies, 1999: 26). Selain itu, FN juga menyatakan
bahwa kemudahan akses pendidikan merupakan salah satu hak seluruh masyarakat Prancis.
Dalam kampanyenya tahun 1995 di Bordeaux, FN menjanjikan RMI (Minimum Student
Revenue) kepada para pelajar sebanyak 3,000 Euro sebulan sedangkan di le Nord FN
menawarkan transportasi publik gratis bagi pelajar (Davies, 1999: 61).
B. MPF
Mouvement Pour la France merupakan partai l’extrême droite di Prancis yang dibentuk
pada tahun 1994 oleh Philippe de Villiers. Tidak seperti FN yang bernasib baik dengan adanya
tren kenaikan dukungan yang pesat, MPF terus menjadi partai yang berada di peripheral peta
perpolitikkan di Prancis.
Pada pemilu Presiden tahun 1995, Villiers maju sebagai kandidat calon Presiden pertama
dari MPF. Pada pemilu kali ini ia tak mampu membawa MPF lolos ke putaran kedua, dengan
hanya dapat mengantongi dukungan sebanyak 4,74%.
Pada tahun 2005 MPF menjadi salah satu aktor vocal dalam kampanye ‘no’ terhadap
5 National preference menandakan tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan nasional berdasarkan nilai-nilai nasionalisme (Davies, 1999: 34). 6 Family preference menandakan hak khusus yang didapatkan oleh sebuah keluarga. Hak khusus tersebut antara lain adalah sebuah keluarga harus diuntungkan dari keuntungan sosial dan finansial yang spesial yang tidak didapatkan oleh orang lajang maupun pasangan yang belum menikah (Davies, 1999: 125). Hal tersebut dilandaskan pada pemahaman bahwa keluarga adalah dasar dari masyarakat, sehingga harus dilindungi dan didukung.
36
referendum Eropa. Kemudian MPF tak muncul lagi dalam pemilu Presiden tahun 2002, dan baru
kembali dalam kontestasi pemilu Presiden pada tahun 2007. Pada pemilu kali ini MPF kembali
menyalonkan Villiers sebagai kandidat calon Presiden yang mewakili MPF. Namun, MPF
kembali gagal untuk lolos ke putaran kedua pemilu Presiden ini. Ia hanya dapat mengumpulkan
dukungan sebanyak 2,23%. Penurunan dukungan ini menggambarkan buruknya performa MPF
dalam pemilu presiden tahun 2007.
4.3 Satu Dekade Terakhir Front National
Sub-bab ini menjelaskan perkembangan FN dalam sepuluh terakhir sebagai gambaran
dasar tentang FN. Perpindahan kepemimpinan dari Jean-Marie Le Pen ke Marine Le Pen pada
tahun 2011 kemudian berdampak pada dinamika perpolitikkan FN. Setelah mendepak ayahnya
dari partai, Marine menyatakan bahwa sekarang FN adalah partai yang lebih moderat. Ia
menyatakan bahwa FN bukan lagi partai radikal seperti yang telah dikenal publil selama 30
tahun belakangan. Namun, perpindahan kepemimpinan ini bukanlah sebuah perubahan radikal
namunlah hanya sebuah transisi (Charalombous, 2016: 37). Hal ini disebabkan tidak ada
perubahan signifikan dalam pembentukan agenda kerja dan pendekatan partai. Marine memiliki
karakteristik yang sama dengan ayahnya seperti karisma, pendekatan populis, dan ideologi yang
diekspresikan dalam terminologi orang awam, namun memang FN lebih lembut dalam
penggunaan jargon kampanyenya (Williams, 2011: 12).
Seperti ayahnya yang juga menarik think tank sebagai salah satu atribut yang memiliki
peran penting dalam politik FN, Marine juga memilih Idées Nation untuk menjadi think tank
yang memberi masukan kepada FN. Louis Aliot, pembentuk Idées Nation, menjadi wakil ketua
FN yang dilantik pada Januari 2011 (Williams, 2011: 691). Namun, berbeda dengan ayahnya
yang identik dikenal sebagai xenofobia, Marine cenderung untuk memperlihatkan dirinya yang
anti-Euro, anti-UE, dan anti-elitis.
Pada pemilu Presiden tahun 2012, FN berhasil meraih prestasi tertingginya setelah
hampir 30 tahun FN berkiprah dalam peta politik Prancis. Menurut poll yang dilakukan oleh
TNS/SOFRES yang dilakukan pada Mei 2011 menyatakan bahwa Marine Le Pen berhasil
menjadi kandidat Presiden droite yang paling difavoritkan dengan total suara sebanyak 29%,
mengalahkan Sarkozy yang ketinggalan 9% suara dari Le Pen (Williams, 2011: 9). Marine Le
Pen kemudian mewakili l’extrême droite sebagai calon Presiden dan berhasil mengumpulkan
37
suara sebanyak 18% pada putaran pertama pemilu Presiden 2012. Hal ini didukung oleh
performa Sarkozy yang dianggap kurang memuaskan pada masa kepemimpinannya dari tahun
2007. Masyarakat yang ‘lelah’ menunggu Sarkozy untuk mewujudkan janji-janji yang ia umbar
semasa kampanye pemilu Presiden tahun 2007 dan merasa belum terpuaskan oleh kebijakan-
kebijakan dan kepemimpinan Sarkozy, akhirnya menemukan sosok Marine yang dianggap
memiliki sikap dan agenda kerja yang lebih ‘ramah’ kepada masyarakat dan kuat. Hal tersebut
juga dikarenakan Marine berhasil membawa ketakutan masyarakat Prancis terhadap krisis Eropa
pada masa itu dengan menyalahkan sistem Uni Eropa dan menjadi Eurosceptic.
Marine tampil dengan isu Eurosceptic yang jarang disentuh pada masa pemerintahan
sebelumnya. Pada kampanye pemilu Presiden tahun 2012, ia menyebar slogan-slogan dan
pernyataan-pernyataan yang Eurosceptic. Mata uang Uni Eropa, Euro, menjadi target utama
kampanyenya pada masa itu. Krisis ekonomi Eropa pada tahun 2008 kemudian dikaitkan dengan
peran Euro dalam menyebarkan krisis ekonomi yang awalnya hanya dialami oleh beberapa
negara menjadi penyakit yang harus disembuhkan pula oleh negara-negara lain yang tergabung
dalam perjanjian kesamaan mata uang tersebut. Ia juga mengusulkan untuk keluar dari Schengen
Zone sebagai salah satu bahan kampanyenya yang Eurosceptic.
Selain itu, Le Pen juga mengatakan bahwa ia akan mengurangi jumlah imigran dengan
menolak 10,000 migran tiap tahunnya. Isu imigrasi memang selalu menjadi isu utama FN,
namun kemunculannya pada pemilu 2012 disebabkan oleh polemik permasalahan migran yang
semakin besar di masyarakat Prancis. Imigran yang terus datang semasa pemerintahan Sarkozy
kemudian menjadi titik tolak polemik tersebut dan runtuhnya dukungan bagi Sarkozy sendiri.
Le Pen juga menaruh perhatian isu agrikultur nasional. Ia berjanji akan merombak
Common Agricultural Policy. Menciutnya pendapatan serta jumlah lahan sektor agrikultur
sebagai salah satu penopang ekonomi Prancis menjadi tolak pikir FN. Hal ini kemudian
berdampak pada dukungan penuh dari petani dan masyarakat rural Prancis terhadap FN.
Pada pemilu Eropa tahun 2014, FN juga berhasil mendapatkan dukungan sebanyak
24.86% dan mendapatkan 23 kursi, meninggalkan UMP yang mendapat 20.81% suara dan
Socialist Party yang mendapat suara sebanyak 13.98%. Hasil pemilu tersebut, menandakan citra
Hollande dan Socialist Party yang semakin tidak populer. Angka tersebut merupakan pencapain
terburuknya selama 40 tahun terakhir. Hal tersebut merupakan akibat dari lemahnya kebijakan
pemerintah dalam upaya memperbaiki krisis ekonomi dan finansial. Selain dari performa gauche
38
yang buruk, UMP yang sedang berfokus pada persiapan pemilu regional tahun 2015 dan pemilu
Presiden tahun 2017 juga membuat UMP tampil tidak maksimal dalam pemilu Eropa kali ini.
Pada kampanye pemilu Eropa tahun ini, FN kembali membawa isu Eurosceptic dengan
menyalahkan Euro dan Uni Eropa atas krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan. Prancis,
seperti negara-negara Eropa lain, sedang mengalami permasalahan terhadap austerity measure
yang ditetapkan oleh Uni Eropa.
Selain austerity measure, kebijakan Uni Eropa yang cukup terbuka terhadap migran juga
menjadi sumber kampanye Eurosceptic FN. Arus pengungsi dan pencari suaka pada tahun ini
telah membanjiri negara-negara Eropa, dan negara-negara Eropa secara tidak langsung harus
membuka perbatasannya. Tercatat sebanyak 1.6 juta warga non-Eropa bremigrasi ke Eropa, dan
Prancis menjadi negara ketiga penerima migran dengan menerima 339 ribu migran.7 FN
menganggap otoritas Uni Eropa telah mendegradasi nasionalitas dan kedaulatan negara-negara
anggotanya, begitu pula Prancis. Menurut FN, Prancis harus mendapatkan kembali kedaulatan
penuhnya dengan keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Pemilu regional Prancis tahun 2015 FN berhasil menorehkan pencapaian terbaiknya.
Pada putaran pertama pemilu, FN berhasil memenangkan suara sebanyak 27,98% dalam pemilu
regional putaran pertama pada 6 November 2015, walaupun pada putaran kedua partai ini gagal
memenangkan suara di seluruh wilayah.8 Marion Maréchal Le Pen, keponakan Marine yang
menjadi deputi termuda FN, yang diperkirakan akan menang di Provence-Alpes-Côte d’Azur
bahkan tidak lolos pemilu putaran kedua. Hal ini dapat disebabkan oleh mundurnya dua kandidat
gauche di Nord-Pas-de-Callais/Picardie dan Provence-Alpes-Côte d’Azur sehingga pendapatan
suara yang akan didapat gauche berpindah ke droite.
Pada masa kampanye pemilu regional 2015, FN membawa isu pengetatan imigrasi dan
Eurosceptic. Hampir sama dengan kampanye pemilu Eropa 2014, FN membawa pesan
kebencian terhadap migran dan Uni Eropa. Bahaya yang ditimbulkan dari arus migran negara-
negara Islam ke Eropa menjadi highlight penting dari kampanye FN. Tingginya angka terorisme,
pengangguran, dan anggaran belanja publik menjadi alat FN dalam mendulang ketakutan
7 Migration and migrant population statistics diakses di http://e.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/Migration_and_migrant_population_statistics pada 24 Februari 2017 8 Gregor Aisch, Adam Pearce and Bryant Rousseau, “How Far Is Europe Swingingto th Right?” diakses di http://www.nytimes.com/interactive/2016/05/22/world/europe/europe-right-wing-austria-hungary.html?_r=0 pada 16 September 2016
39
masyarakat Prancis menjadi dukungan terhadap partai. Buruknya performa Hollande dalam
menyelesaikan permasalahan pengangguran dan imigran menjadi salah satu faktor yang
mendukung naiknya FN dalam politik Prancis.
FN kemudian disebut-sebut sebagai partai tandingan yang berbahaya dalam pemilu
Presiden 2017. Melihat buruknya performa gauche dalam pemerintahan dan droite yang sedang
terpecah dalam memilih kandidat pemilu, FN tampil dengan yakin dan kuat bersama Marine Le
Pen yang maju sebagai kandidat calon Presiden 2017.
4.4 Simpulan
Sistem partai di Prancis adalah multipartai, namun secara historis dan tradisional peta
perpolitikkan di Prancis terbagi menjadi dua yaitu kanan-tengah (droite) dan kiri-tengah
(gauche). Polarisasi politik tersebut memuncak pada tahun 1978, ketika empat partai utama
Prancis (PS, PCF, RPR, dan UDF) masing-masing mendapatkan dukungan sebanyak 20% hingga
25% pada pemilu legislative tahun ini. Setelah peristiwa itu terjadi, tak ada blok partai yang
dapat mempertahankan posisi mereka dalam pemerintahan. Selain itu sistem partai berubah dari
yang awalnya pemilihan didasarkan pada profil partai, menjadi profil kandidat. Hal ini kemudian
mempengaruhi perkembangan partai-partai dengan ideologi dan tradisi yang berbeda dengan
partai-partai blok utama.
Paska peristiwa 1978, terdapat sepuluh partai dengan pengaruh yang besar dalam politik
Prancis. Sepuluh partai itu adalah Parti Socialiste dan Parti Communiste Française dari blok
gauche, Lutte Ouvrière dan Ligue Communiste Révolutionnaire dari blok l’extrême gauche,
Chasse Pêche Nature et Traditions dan Les Verts dari blok centre, Union pour la Démocratie
Française dan Union pour Mouvement Populaire dari blok droite, serta Front National dan
Mouvement Pour la France dari blok l’extrême droite.
FN menjadi salah satu partai yang memiliki perkembangan pesat. Dalam satu dekade
terakhir, dukungan terhadap FN mengalami tren kenaikan. Baik dalam pemilu Parlemen Eropa
maupun dalam pemilu Presiden Prancis. Naiknya Marine Le Pen sebagai pemimpin partai juga
turut menjadi salah satu peristiwa penting dalam politik Prancis. Hal ini disebabkan oleh semakin
pesatnya pertumbuhan dukungan terhadap FN di bawah kepemimpinan Marine Le Pen.