bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 kebijakan ... · allah, tata gereja dan...
TRANSCRIPT
32
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan mutasi tenaga pendeta di GPM
Sesuai dengan data vikariat tahun 2013 yang
menunjukan bahwa Sinode GPM terdapat 32 klasis
dengan jumlah keseluruhan jemaat adalah yaitu 743
jemaat. Jemaat GPM tersebar di wilayah provinsi
Maluku dan juga Maluku Utara dengan jumlah tenaga
pendeta periode 2013 yaitu 1.165 pendeta. Lokasi GPM
yang adalah wilayah kepulauan, menyebabkan
koordinasi antara elemen pelayan Gereja baik dari
tingkat Sinode, Klasis maupun Jemaat sangat penting
agar pelayanan dapat berjalan dengan baik. Sinode
GPM sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi
melaksanakan kebijakan mutasi sebagai strategi untuk
menopang pelayanan yang ada. Kebijakan ini
didasarkan kepentingan pelayanan dan dapat
33
dirasakan oleh semua jemaat baik itu yang ada di
wilayah mata air dan airmata (PIP/RIPP 2010-2015).
Mutasi tenaga pendeta yang dilakukan oleh
Sinode GPM saat ini telah mengalami perkembangan
yang lebih baik dibandingkan dengan yang dulu. Hal ini
dijelaskan oleh salah seorang pendeta GPM yang
melayani di jemaat kota Ambon. Pendeta tersebut
menyebutkan bahwa Sinode melakukan berbagai
perubahan terkait dengan mutasi ini, yang salah
satunya yaitu sistem keuangan Gereja 70:30. Melalui
sistem keuangan ini, maka pelayanan yang dilakukan
khususnya di jemaat air mata semakin membaik dan
secara langsung berdampak pada kebijakan mutasi.
Selain keadaan keuangan jemaat semakin baik,
presentase pendeta yang terlalu lama di jemaat
semakin berkurang dan gaji pendeta dengan rutin
dapat diterima.
Kondisi pelayanan yang semakin membaik di
lingkungan GPM berkaitan erat dengan kebijakan
mutasi yang dilakukan oleh Sinode yang memiliki
34
wewenang untuk mengaturnya. Sebagaimana yang
tercantum dalam peraturan mutasi tahun 2008, Badan
Pekerja Harian Sinode memiliki wewenangi, yaitu: 1)
mengatur kebijakan mutasi terhadap semua pelayan
organik Gereja. 2) mempertimbangkan dengan seksama
usul dan saran Badan Pekerja Klasis terhadap pelayan
organik Gereja keluar klasis, atau penempatan pelayan
organik gereja ke dalam klasis. 3) mengambil
keputusan akhir berhubungan dengan kasus
pelanggaran displin oleh pelayan organik Gereja. 4)
mengangkat dan mempekerjakan pelayan organik
gereja didalam lembaga-lembaga gereja di luar GPM.
Sinode GPM dalam mengatur mutasi ini dibantu
oleh Badan Pekerja Klasis. Wewenang yang dimiliki
Badan Pekerja Klasis seperti diatur dalam peraturan
mutasi tenaga pendeta (2008) adalah: 1)
mempertimbangkan dengan seksama pelayan organik
Gereja yang akan dipindahkan tenang kekhasan situasi
dan probelamtik pelayanan. 2) mengambil keputusan
yang bersifat sementara berhubungan dengan kasus
35
pelanggaran displin oleh pelayan organik gereja. 3)
mengusulkan muatsi terhadap pelayan organik gereja
kepada BPH Sinode GPM dengan menyampaikan
pertimbangan-pertimbangan tentang kekhasan wilayah
tempat tugas dan bobot tugas yang akan diemban oleh
pelayan organik gereja yang baru.
Berdasarkan peraturan mutasi pegawai dan pelayan
organik GPM dalam Tata Gereja GPM tahun 1998, Bab
III mutasi pelayan organik dalam hal ini pendeta dalam
lingkungan GPM dilaksanakan dalam empat bentuk
yaitu:
1) Mutasi Rutin berlaku bagi pegawai dan Pelayan
Organik Gereja apabila yang bersangkutan telah
memenuhi masa tugas dan fungsi jabatan
selama lima tahun dan dapat diperpanjang
sesuai kebutuhan.
2) Mutasi karena kepentingan pelayanan gerejawi,
berlaku bagi Pegawai dan Pelayan Organik yang
memenuhi persyaratan khusus terpilih dalam
jabatan-jabatan fungsional atau struktural di
36
dalam atau di luar lingkungan GPM dan bentuk
mutasi ini tidak mengenal masa tugas.
3) Mutasi karena pelanggaran displin gereja,
berlaku bagi para pegawai dan pelayan organik
gereja yang sikap, perbuatan dan jalan
pikirannya terang-terangan melanggar Firman
Allah, Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan
Gereja yang berlaku.
4) Mutasi karena mengikuti suami/istri, berlaku
bagi para pegawai dan pelayan organik.
Wanita/pria yang telah berkeluarga baik dengan
suami/istri dalam status pegawai dan pelayan
organik atau bukan pegawai dan pelayan organik
gereja.
Selanjutnya prosedur pelaksanaan untuk empat
mutasi diatas yang diatur dalam peraturan mutasi
pendeta (2008), yaitu:
1. Untuk mutasi rutin berlaku prosedur yaitu:
1) Badan Pekerja Klasis atau Pimpinan
Unit/Lembaga menyampaikan pertimbangan-
37
pertimbangan kepada Badan Pekerja Harian
Sinode GPM tentang kapasitas pegawai dan
pelayan organik GPM berbagai bobot tugas
yang diemban disertai gambaran
perkembangan pekerjaan dan usul resmi
tentang pengakhiran tugas atau perpanjang
tugas yang bersangkutan,
2) Bilamana tenaga pegawai dan pelayan organik
gereja di lingkungan Klasis atau unit/lembaga
gerejawi berdasarkan penilaian masih
dibutuhkan maka:
a. Badan Pekerja Klasis atau unit/lembaga
gerejawi menyampaikan surat permohonan
perpanjangan tugas kepada BPH Sinode
GPM.
b. BPH Sinode mempertimbangkan dan
mengeluarkan Surat Keputusan untuk
menetapkan perpanjangan tugas atau
mutasi tempat bagi pegawai dan pelayan
organik gereja di lingkungannya serta
38
mutasi untuk wilayah Klasis/Unit kerja
bagi pegawai dan pelayan organik gereja di
lingkungannya serta mutasi untuk wilayah
Klasis/Unit kerja bagi pegawai dan pelayan
organik, yang atas usul BPK dan pimpinan
Unit/Lembaga perlu dimutasikan.
2. Mutasi karena kepentingan pelayanan, berlaku
prosedur:
1) Badan Pekerja Klasis atau pimpinan
Unit/Lembaga dan BPH Sinode melakukan
percakapan pendahuluan dengan yang
bersangkutan dan bila perlu dengan
keluarganya.
2) Selanjutnya percakapan persiapan dilakukan
dengan Majelis Jemaat, Badan Pekerja Klasis
atau pimpinan unit/lembaga tempat bekerja
pegawai dan pelayan organik tersebut.
3) Dengan memperhatikan bobot dan sifat tugas
serta tempat kerja pegawai dan pelayan
organik tersebut, BPH Sinode dapat segera
39
mengeluarkan Surat Keputusan Mutasi dan
penempatan pegawai dan pelayan organik
mutasi.
4) Bagi jabatan-jabatan pilihan karena
kebutuhan organisasi seperti keanggotaan
Badan Pekerja Klasis dan BPH Sinode,
prosedur sebagaiman disebutkan diatas
dinyatakan tidak berlaku.
3. Mutasi karena pelanggaran displin gereja,
berlaku ketentuan peraturan displin GPM,
dengan catatan pengisian lowongan jabatan
dilakukan oleh Badan Pekerja Klasis atau BPH
Sinode, paling lama satu bulan pegawai dan
pelayan organik tersebut dibebas-tugaskan.
4. Mutasi karena mengikuti suami, berlaku
prosedur:
4.1 Bila suami yang bersangkutan adalah
pegawai dan pelayan organik gereja:
a) Pegawai dan pelayan organik tersebut wajib
menyampaikan permohonan tertulis
40
kepada BPH Sinode melalui Badan Pekerja
Klasis atau pimpinan unit/lembaga tempat
bekerja dengan melampirkan Surat
Keputusan Mutasi suami.
b) Setelah mempertimbangkan permohonan
yang bersangkutan, maka Surat Keputusan
mutasi mengikuti suami dikeluarkan oleh
Badan Pekerja Harian Sinode GPM.
c) Penempatan di tempat tugas yang baru,
dapat dilakukan oleh BPH Sinode GPM atas
usul BPK atau pimpinan unit/lembaga
tempat bekerja, bilamana ada lowongan
tugas dan kerja. Dalam hal tersebut,
pelayan organik gereja (pendeta dan
penginjil) dapat tetap melaksanakan
fungsinya membantu suami. Bagi pegawai
gereja, ia untuk sementara berstatus
dengan cuti diluar tanggunggan gereja
sampai tersedia lowongan.
41
4.2 Bilamana suami yang bersangkutan adalah
PNS/ABRI/Swasta
a) Pegawai dan pelayan organik tersebut wajib
menyampaikan permohonan tertulis
kepada BPH Sinode melalui Badan Pekerja
Klasis atau pimpinan unit/lembaga tempat
bekerja, dengan melampirkan Surat
Keputusan mutasi dari Instansi/Lembaga
tempat suaminya bekerja.
b) Setelah mempertimbangkan permohonan
yang bersangkutan maka BPH Sinode
mengeluarkan Surat Keputusan mutasi
mengikuti suami.
c) Penempatan yang bersangkutan selama
tugas dan jabatan yang baru tergantung
dari lowongan yang tersedia. Sambil
menunggu pelayanan penempatan pelayan
organik tersebut dapat melaporkan diri ke
Badan Gerejawi setempat untuk membantu
pelayan jemaat. Bagi seorang pegawai
42
gereja, ia untuk sementara menjalankan
cuti diluar tanggungan gereja, sambil
menunggu lowongan tersedia.
Kebijakan mutasi yang dilakukan menurut pihak
Sinode GPM memiliki tiga tujuan, yaitu:
1) Meningkatkan kualitas pelayanan dalam jemaat.
Ketika pendeta dipindahkan dari satu jemaat ke
jemaat yang lain, maka ada berbagai pengalaman
yang didapatkan. Pengalaman yang didapatkan di
jemaat sebelumnya akan sangat membantu saat
melayani di jemaat baru. Selain itu pelayanan
yang dilakukan nantinya sesuai dengan
kebutuhan jemaat yang ada.
2) Mengatasi kebosanan dan juga konflik. Terlalu
lama pendeta di jemaat akan menimbulkan
kebosanan dalam diri pendeta yang secara
langsung akan berdampak pada pelayanan yang
dilakukannya. Biasanya tahun pertama seorang
pendeta di jemaat akan beradaptasi da
mempelajari kondisi jemaat yang ada. Kemudian
43
tahun kedua, ketiga dan keempat adalah tahun
dimana pendeta berkarya melalui pelayanan yang
dilakukan (sasaran pelayanan). Ketika masuk
tahun kelima dan seterusnya, pendeta mulai
bosan dengan kondisi pelayanan yang ada dan
hal ini akan mematikan semangat pelayanan.
Maka dari itu, tahun kelima dipandang sebagai
masa yang tepat untuk memutasikan pendeta
yang ada. Sehingga bukan saja pendeta yang
butuh penyegaran tetapi juga dengan umat.
3) Mengembangkan perspektif bergereja yang
komprehensif. Tujuan mutasi yang ketiga ini
merupakan tujuan utama Sinode GPM
melakukan kebijakan mutasi. Dengan melihat
banyak kasus pendeta yang menolak SK mutasi
ke wilayah airmata dengan alasan ekonomi,
membuat sehingga kebijakan mutasi dan
penempatan pendeta GPM semakin diperketat
oleh Sinode. Pendeta GPM diharapkan tidak
hanya melihat GPM sebagai satu jemaat atau
44
klasis saja tetapi secara menyeluruh. Dengan
tiba-tiba ditempatkan di wilayah tenggara
(airmata) atau dimana saja merupakan bagian
dari proses untuk mengubah cara pandang
bergereja secara baik.
Seperti yang sudah dikemukan diatas terkait
dengan tujuan GPM melakukan kebijakan mutasi ini,
maka yang perlu diketahui bahwa Sinode GPM tidak
merumuskan tujuan mutasi ini didalam peraturan
mutasi tenaga pendeta tahun 2008 secara tertulis.
Tujuan mutasi diatas diperoleh dari hasil wawancara
dengan pihak-pihak yang mengatur mutasi dalam hal
ini wakil sekum GPM dan juga kepala personalia dan
pensiunan. Hal ini sangat disayangkan ketika GPM
tidak menuangkan dan memasukan tujuan mutasi
dalam peraturan yang ada. Tidak ada landasan yang
kuat yang mendasari kebijakan dan pelaksanaan
mutasi, sehingga ditakutkan akan timbul kendala-
kendala terkait kebijakan ini. Ketika tujuan mutasi ini
bersumber dari pandangan-pandangan para pimpinan
45
di Sinode GPM, ditakutkan bila ada pergantian
pimpinan Sinode maka tujuan mutasi ini pun akan
berbeda-beda pula.
Selanjutnya konsep mutasi pendeta sedikit berbeda
dengan organisasi profit dimana mutasi ini merupakan
strategi untuk membina tenaga pendeta yang berkaitan
dengan amanat pengutusannya. Amanat pengutusan
seorang pendeta yaitu bersedia ditempatkan dimana
saja baik itu jemaat perkotaan maupun jemaat
pedesaan dan kapan saja tanpa ada pendeta yang
selama-lamanya di suatu jemaat. Hal ini juga berlaku
bagi semua pendeta GPM, dalam amanat pengutusan
bersedia ditempatkan di semua wilayah GPM.
Pengutusan mereka sebagai seorang pelayan Tuhan di
wilayah GPM dimulai dengan ditempatkan di wilayah
yang jauh (airmata) dengan masa pelayanan lima tahun.
Kemudian setelah lima tahun pendeta tersebut akan
ditempatkan di wilayah yang dekat atau mata air.
Dengan begitu, pendeta yang adalah seorang pelayan
46
Tuhan adalah orang-orang yang melayani dan diutus
dengan sebuah “keterpanggilan”.
Selain itu, panggilan untuk melayani umat Allah ini
dengan jelas disampaikan oleh Rasul Paulus dalam I
Petrus 5:2-3. Melalui suratnya itu, Paulus
mengingatkan para pelayan Tuhan memiliki tanggung
jawab untuk memelihara kehidupan iman umat dengan
cara selalu memperhatikan dan memberi makanan
rohani kepada mereka. Allah sendiri memilih mereka
untuk menggembalakan, menuntun serta menolong
umat untuk mencapai kualitas iman dan hidup yang
baik (Sasirais, 2011). Sehingga penting sekali para
pelayan Tuhan memiliki rasa pengabdian yang tinggi
dan menjadi seorang pelayan yang rendah hati (servant
leaderhip). Mengacu pada hal diatas, maka
pemberdayaan umat merupakan fokus utama
pelayanan yang dilakukan oleh GPM sesuai dengan
hasil wawancara dengan wakil sekum. Sehingga GPM
memiliki profil pelayan yang mengutamakan
pembangunan karakter dalam hal ini pembangunan
47
pengetahuan dan skill para pelayan. Hal ini terkait
dengan pemberdayaan umat baik secara rohani dan
kehidupan ekonomi.
Mutasi atau pemindahan ini terjadi bukan karena
pendeta itu bermasalah atau kinerjanya tidak baik,
tetapi diharapkan adanya peningkatan kualitas
pelayanan (Strauch, 1992). Hal ini juga yang berlaku
dalam kebijakan mutasi pendeta di GPM. Jika kembali
melihat pada tujuan Sinode GPM melakukan mutasi ini
bahwa peningkatan kualitas dari seorang pelayanan
sangat diharapkan. Peningkatan kualitas tenaga
pendeta di GPM dapat terjadi melalui pengalaman-
pengalaman yang diperoleh dari tiap jemaat dengan
karakteristik umat dan pelayanan yang berbeda. Tidak
semua jemaat memiliki warna pelayanan yang sama,
jemaat kota pastilah berbeda dengan jemaat desa.
Sehingga cara pendeta melayani dan memimpin suatu
jemaat juga berbeda. Dengan demikian, perbedaan dan
karakteristik tiap jemaat ini secara langsung akan
48
mempengaruhi kemampuan dan kualitas pelayanan
dari pendeta yang ada.
Peningkatan kualitas pelayanan ini juga tidak akan
terjadi jika seorang pendeta tidak memaknai tugas
panggilannya sebagai seorang pelayan Tuhan.
Pemahaman para pendeta sebagai seorang pelayan
Tuhan yang harus dimutasikan kemana saja sangat
berpengaruh ketika mereka memiliki motivasi yang
tinggi untuk melayani. Terkadang banyak sekali
pendeta yang gagal melayani hanya karena orientasi
mereka bukan lagi pelayanan tetapi materi. Ada seorang
pendeta dari awal penempatan di daerah kota yang
terbiasa dengan keadaan ekonomi jemaat yang maju
dan pendeta tersebut memiliki bisnis di Ambon. Ketika
suatu waktu akan dimutasikan ke jemaat desa yang
keadaan ekonomi berbanding terbalik dengan jemaat
kota, pendeta tersebut menolaknya. Kenyataan ini
merupakan salah satu contoh bahwa ada beberapa
pendeta yang karena terbiasa dengan kehidupan kota
dan keadaan ekonomi jemaat yang mapan. Akhirnya
49
menjadikannya lupa bahwa fokus utamanya adalah
melayani umat dimana saja dan apapun keadaan umat
yang dilayani.
Dengan melihat kenyataan diatas, maka salah satu
tujuan mutasi dalam lingkungan GPM yaitu
mengembangkan perspektif bergereja yang
komprehensif. Tujuan mutasi ini dicetuskan dengan
melihat banyak kasus pendeta yang menolak
dimutasikan ke wilayah airmata dengan berbagai
alasan. Salah satu alasan pendeta menolak untuk
dimutasikan seperti sudah dijelaskan diatas bahwa
faktor ekonomi menjadi salah satunya. Selain alasan
ekonomi, ada juga alasan lain yang menurut pihak
Sinode GPM bisa ditolerir seperti alasan keluarga dan
kesehatan pendeta. Seorang pendeta GPM sangat
diharapkan bukan saja melihat GPM hanya sebagai
satu jemaat atau satu klasis saja, tetapi secara
menyeluruh. Melalui proses penempatan di wilayah
airmata atau di wilayah GPM dimana saja merupakan
50
bagian dari proses mengembangkan persepktif bergereja
yang komprehensif.
Setiap organisasi memerlukan sebuah perencanaan
yang baik supaya nantinya tujuan yang ingin dicapai
menjadi jelas. Begitu juga dengan Sinode GPM dalam
kaitannya dengan mutasi pendeta ini. Melalui
rangkuman hasil pengamatan dan wawancara, maka
Sinode dalam hal ini telah melakukan perencanaan
yang baik. Perencanaan untuk mutasi pendeta GPM ini
didasarkan pada kebutuhan umat (pelayanan) dan juga
daya dukung keuangan jemaat. Oleh karena itu,
penting bagi Sinode untuk memperkuat aturan mutasi
yang ada dengan segala konsekuensi bagi pendeta jika
melanggar aturan. Kemudian untuk menopang agar
perencanaan mutasi berjalan dengan baik, seharusnya
Sinode GPM mempunyai database yang akurat tentang
semua pejabat Gereja dan juga keluarganya.
Kemudian untuk fungsi pengorganisasian dalam
proses mutasi menurut Manullang yang dikutip oleh
Suryaningsih (2012), melakukan hubungan langsung,
51
merumuskan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
kriteria keberhasilan yang jelas terhadap setiap individu
dalam organisasi, menciptakan sistem komunikasi dan
informasi yang efektif dalam organisasi, melakukan
kontrol yang efektif terhadap pelaksanaan mutasi
disesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Jika hal ini
dikaitkan dengan mutasi pendeta GPM, maka ada
perumusan tugas dan tanggung jawab terkait kebijakan
mutasi ini. Dalam arti bahwa ada sekum, wakil sekum,
kepala personalia dengan dibantu oleh Klasis yang
memiliki wewenang, tugas, tanggung jawab yang
berbeda-beda terkait kebijakan dan pelaksanaan mutasi
ini. Tiap-tiap individu maupun kelompok ini secara
bersama-sama dalam suatu komunikasi dan infomasi
yang terarah saling bekerja sama dalam rangka mutasi
pendeta ini dapat berjalan dengan baik.
Fungsi pengawasan (controlling) perlu dilakukan
oleh lembaga tertinggi gereja terhadap kebijakan dan
pelaksanaan mutasi pendeta. pengawawasan dilakukan
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpanganan
52
sehingga tujuan organisasi dapat terus terarah
(Wiryoputro, 2004). Terkait dengan kebijakan dan
penempatan pendeta, Sinode harus terus melakukan
pengawasan terhadap Klasis yang secara langsung
dalam GPM sangat menentukan mutasi seorang
pendeta. Ketika Klasis memberikan laporan kinerja dari
pendeta, seharusnya Sinode melakukan pengecekan
ulang terkait dengan kinerja pendeta dengan bekerja
sama dengan majelis jemaat yang ada. Selain itu, fungsi
pengawasan juga melibatkan majelis jemaat terkait
dengan pemindahan dan penempatan seorang pendeta
di suatu jemaat. Misalnya pendeta yang melayani dan
memimpin jemaat dengan gaya otoriter atau pendeta
melakukan pelanggaran disiplin gereja, maka tugas
majelis jemaat untuk melaporkan hal tersebut kepada
Klasis dan kemudian Klasis melanjutkannya ke Sinode.
Fungsi pengarahan erat kaitannya dengan fungsi
pengawasan dimana pimpinan Sinode mengatur mutasi
memberikan bimbingan, saran, dan intruksi terhadap
Klasis. Sinode GPM terkait dengan kebijakan mutasi ini
53
harus selalu memberikan pendampingan berupa
bimbingan dan saran kepada Klasis yang akan bertugas
untuk memberikan laporan kinerja tentang pendeta
yang ada dalam wilayahnya. Sehingga penting sekali
pendampingan yang diberikan, agar nantinya laporan
kinerja dan usulan memutasikan seorang pendeta
selalu berjalan sesuai dengan tata aturan yang berlaku
dan tidak bersifat subjektif.
Setelah itu fungsi manajemen kristiani yang
terakhir yaitu fungsi pengkoordinasian. Fungsi ini
sangat penting dilakukan untuk mengikat, menyatukan
dan menyelaraskan semua aktivitas dan usaha yang
dilakukan oleh organisasi dengan melakukan kerja
sama yang baik antara pimpinan tertinggi dan
bawahan. Tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang
secara langsung berkaitan dengan mutasi ini, maka
perencanaan yang sudah dibuat dengan matang tidak
dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Fungsi ini sudah dilakukan dengan baik oleh pihak
Sinode GPM, akan tetapi perlu ditingkatkan lagi dengan
54
melibatkan pihak majelis jemaat. Dengan pertimbangan
bahwa selain Klasis, pihak majelis jemaat yang lebih
mengetahui dan menyaksikan perkembangan pelayanan
dari pendeta yang ada dalam jemaat.
Dengan demikian, Sinode sebagai pemimpin
tertinggi membuat kebijakan mutasi bukan saja dengan
pertimbangan terhadap kebutuhan organisasi saja.
Akan tetapi, kebutuhan dari umat yang dilayani juga
haruslah dijadikan acuan dalam membuat kebijakan
mutasi ini dengan tidak melupakan kepentingan
pendeta dan keluarganya. Selain itu, GPM harus
mempunyai landasan yang kuat terutama landasan
teologi terkait dengan kebijakan ini. Sehingga tidak ada
lagi penyimpangan dan kendala yang timbul akibat
tidak mempunyai landasan teologi yang kuat yang
tertuang dalam sebuah peraturan tertulis.
Sinode melalui Sidang Sinode yang dilakukan
setiap lima tahun sekali harus selalu mengevaluasi
setiap kebijakan mutasi yang ada. Dengan tujuan agar
kebijakan mutasi ini dapat menjawab setiap kebutuhan
55
umat dengan memperhatiakan setiap perubahan yang
terjadi di lingkungan GPM. Semua hal itu dapat
dilakukan apabila ada koordinasi yang baik dengan
berbagai pihak-pihak yang ada yaitu Klasis dan juga
majelis jemaat, serta memerlukan komunikasi yang
terarah.
4.2 Pelaksanaan Mutasi Pendeta GPM
Sesuai dengan hasil wawancara dengan wakil
sekum Sinode GPM terkait dengan pelaksanaan mutasi
pendeta yang dilakukan oleh Sinode, GPM melakukan
mutasi berdasarkan laporan kinerja (DP3) yang
diterima dari Badan Pekerja Klasis. Selain menerima
laporan kinerja, Sinode juga menerima laporan situasi
dan problematik pelayanan setiap dua tahun sekali.
Setelah menerima laporan kinerja dan situasi
pelayanan, maka kemudian Sinode akan mengeluarkan
Surat Keputusan mutasi terhadap pendeta yang ada.
Penting sekali pimpinan organisasi melakukan analisis
kinerja dan lingkungan kerja baik itu organisasi profit
56
dan non profit dalam hal ini organisasi keagamaan.
Selain berdampak positif untuk pengembangan kinerja
anggota organisasi (Putra dkk, 2015), tetapi juga
berdampak untuk untuk produktivitas kerja anggota
organisasi. Sehubungan dengan adanya laporan kinerja
(DP3) yang dilakukan oleh Klasis terhadap tenaga
pendeta yang ada sebelum memutuskan untuk
memutasikan, adapun aspek-aspek penilaiannya
adalah kesetian, prestasi kerja, tanggung jawab,
ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan
kreatifitas, kehidupan moral dan yang terakhir
kepemimpinan. Delapan aspek tersebut yang menjadi
indikator keberhasilan seorang pendeta GPM dalam
melayani suatu jemaat dan hal inilah yang akan
menjadi acuan bagi Sinode untuk memutasikan
pendeta yang ada.
Seperti yang sudah dipaparkan dalam kebijakan
mutasi bahwa mutasi pendeta didalam lingkungan
Sinode GPM dilakukan dalam empat bentuk. Mutasi
rutin tenaga pendeta berlaku bagi tenaga pendeta GPM
57
dengan masa tugas dan pelayanan selama lima tahun.
Akan tetapi pada pelaksanaannya terdapat berbagai
kendala seperti yang dikemukakan oleh kepala
personalia dan pensiunan GPM. Kendala yang dihadapi
oleh Sinode sendiri terkait dengan pelaksanaan mutasi
rutin ini, yaitu pendeta yang kurang memahami
tugasnya sebagai seorang pelayan Tuhan yang harus
siap ditempatkan di wilayah pelayanan manapun.
Akibatnya ada pendeta yang menolak dipindahkan atau
dimutasikan sebanyak dua kali. Alasan dibalik
penolakan terhadap SK mutasi ini adalah pendeta
sudah nyaman dan betah dengan keadaan kota
sehingga susah untuk melayani didaerah terpencil atau
desa. Selain itu memiliki bisnis di daerah kota Ambon
menjadikannya susah untuk dipindahkan. Selain itu
juga jemaat yang sudah terlanjur mencintai pendeta
sehingga tidak menginginkan pendeta tersebut untuk
pindah.
Melihat penyimpangan dan kendala yang terjadi
pada pelaksanaan mutasi rutin tenaga pendeta, seperti
58
dikemukan oleh Sastrohadiwiryo (2002) disebabkan
oleh beberapa faktor yang mendasarinya. Untuk
beberapa kasus penolakan SK mutasi yang terjadi
dalam lingkungan GPM, maka faktor yang
mendasarinya yaitu faktor ekonomi, psikologis dan
sosiologis. Keadaan nyaman dengan kehidupan
perkotaan serta didukung keadaan ekonomi jemaat
yang sudah maju menjadikan kasus penolakan mutasi
pendeta ini terjadi. Hal ini seperti yang dikemukakan
oleh Sastrohadiwiryo (2002) bahwa anggota ingin tetap
berada dalam zona nyaman dan adanya kepentingan
pribadi. Akhirnya ketika keputusan untuk
memutasikan dikeluarkan oleh pimpinan maka akan
terjadi penolakan dengan berbagai faktor yang sudah
disampaikan diatas.
Kendala kedua menurut kepala personalia dan
pensiunan, yang dihadapi Sinode terkait dengan
pelaksanaan mutasi rutin ini yaitu kendala geografis.
Wilayah pelayanan GPM adalah wilayah kepulauan
yang tersebar di Maluku dan Maluku Utara. Sehingga
59
untuk menjangkau setiap jemaat yang ada
menggunakan transportasi laut. Apalagi di pulau
Wetar, Damar, Sula dan Aru Selatan yang merupakan
wilayah pelayanan yang sangat jauh dan kemungkinan
pendeta sangat rentan terhadap penyakit. Penting
sekali pihak atasan atau pimpinan organisasi
memperhatikan kondisi atau lingkungan tempat
anggota bekerja. Sehingga tidak terlalu baik jika
seorang anggota terlalu lama bekerja disuatu tempat,
karna dipastikan akan mengalami kebosanan dan
kejenuhan. Hal ini akan berdampak pada kinerja yang
akan dihasilkan juga akan menurun dari sebelumnya
dan secara langsung akan berdampak buruk bagi
organisasi (Wahyudi, 2003).
Bentuk mutasi kedua yaitu mutasi karena
kepentingan pelayanan gerejawi. Dimana mutasi ini
berbeda dengan mutasi rutin diatas, karena mutasi ini
tidak mengenal masa tugas. Mengacu pada hasil
wawancara dengan pihak Sinode, maka dalam
pelaksanaan mutasi ini tidak terdapat kendala-kendala
60
dan penyimpangan yang terjadi seperti mutasi rutin.
Hal ini dikarenakan sebelum Sinode mengeluarkan SK
mutasi, terlebih dahulu melakukan pendekatan dan
percakapan dengan yang bersangkutan dan
keluarganya. Setelah itu, dilanjutkan percakapan
dengan Majelis Jemaat, dan Badan Pekerja Klasis
tempat pendeta tersebut melayani.
Selanjutnya mutasi karena tindak displin gereja,
dimana pendeta melakukan tindakan-tindakan yang
tidak sesuai dengan Firman Allah dan juga tata
peraturan yang berlaku didalam Sinode GPM. Sehingga
pendeta yang bersangkutan akan ditarik ke kantor
Klasis atau Sinode. Responden pertama memberi
contoh tindak displin gereja mengakibatkan ada
pendeta yang ditarik ke kantor Klasis atau Sinode.
Kasusnya adalah sebagai berikut:
Di sebuah jemaat yang ada dalam penelitian ini, menurut penilaian sebagian majelis jemaat dan anggota jemaat bahwa ada pendeta dengan karakter kepemimpinan otoriter. Selain kepemimpinanya yang otoriter, pendeta tersebut menggunakan media mimbar bukan untuk berkhotbah tetapi untuk membentak jemaat bahkan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya. Kondisi seperti itu kemudian dilaporkan
61
oleh anggota jemaat kepada Sinode dalam hal ini sekum sehingga Sinode memutasikan yang bersangkutan ke jemaat lain. Tindakan memutasikan yang bersangkutan ke jemaat yang lain, dirasa perlu oleh Sinode supaya pendetanya bisa merubah kepemimpinanya yang otoriter. Namun hal itu tidak berjalan sesuai dengan eksptasi dari Sinode, malah dijemaat yang baru kesalahannya terulang kembali. Dengan berbagai keluhan dari anggota jemaat yang langsung dilaporkan ke Sinode, maka keputusan Sinode pendeta tersebut ditarik ke kantor Klasis.
Mutasi karena tindak disiplin gereja atau istilah
dalam manajemen sumber daya manusia yaitu mutasi
tidak ilmiah. Dimana mutasi ini berbeda dengan mutasi
rutin karena tidak memiliki jenjang waktu dan tidak
melalui penilaian kinerja. Mutasi ini dapat terjadi
karena anggota yang bermasalah dengan pimpinan
atau teman sekerja, produktivitas dan motivasi kerja
menurun. Dengan berpatokan pada kasus yang terjadi
diatas, maka sebaiknya pendeta yang bermasalah
sebelum dimutasika ke kantor Klasis atau Sinode,
pihak Badan Pekerja Harian Sinode melakukan
pendampingan atau pembinaan terhadap
bersangkutan. Tujuan melakukan pembinaan ini
supaya pendeta tersebut tidak melakukan kesalahan
62
yang sama walaupun ditempatkan di kantor bukan di
jemaat. Selain itu gereja adalah organisasi yang
berbeda dengan organisasi profit atau instansi
pemerintah lainnya, dimana cinta kasih (Kristus)
merupakan dasar dari organisasi ini.
Selanjutnya pelaksanaan mutasi karena ikut
suami atau istri, dimana ada satu kasus terkait dengan
mutasi ini sesuai hasil wawancara dengan mantan
pekerja di kantor Klasis. Menurut Bapak M pernah ada
kasus pendeta dari Pulau Ambon hendak dimutasikan
ke jemaat di Seram Utara sedangkan pendeta tersebut
baru saja menikah dan suaminya seorang pegawai di
PDAM Ambon. Ditakutkan memutasikan pendeta
tersebut dengan status sebagai pasangan rumah tangga
yang masih muda akan menganggu keharmonisan
dalam rumah tangganya. Hal ini juga harus menjadi
pertimbangan dari Sinode ketika ingin memutasikan
seorang pendeta. Memang benar tugas pendeta adalah
untuk melayani umat dimana saja, tetapi jangan
sampai melupakan tugasnya sebagai bagian dari
63
lingkungan sosial yang terkecil yaitu keluarga. Tidak
dapat dipungkiri bahwa motivasi melayani yang besar
seorang pendeta didukung oleh topangan dari keluarga.
Dengan melihat penjabaran pelaksanaan mutasi
diatas, maka untuk mutasi rutin dan mutasi karena
kepentingan pelayanan dalam pelaksanaannya sudah
sesuai dengan peraturan yang ada. Dalam arti, bahwa
sebelum memutasikan seorang pendeta Klasis terlebih
dahulu melakukan analisis laporan kinerja. Walaupun
dalam pelaksanaannya tidak lepas dari kendala baik itu
dari pendeta, jemaat maupun kendala teknis
(geografis). Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa tidak sedikit dari pelaksanaan mutasi dalam
lingkup GPM ini yang tidak berjalan sesuai dengan
aturan yang ada. Apalagi untuk kasus-kasus pendeta
yang memiliki tingkat pendidikan S2 akan langsung
ditempatkan di kantor Klasis atau Sinode. Ada juga
pendeta yang selalu dimutasikan di jemaat airmata
atau sebaliknya di jemaat mata air. Hal inilah yang
akhirnya menimbulkan pendapat negatif dari pendeta
64
atau jemaat bahwa mutasi ini terjadi karena sikap
like/dislike dari pimpinan.
4.3 Tanggapan pendeta dan umat
Dalam penelitian ini, bukan saja memfokuskan
pada kebijakan dan pelaksanaan mutasi itu sendiri,
tetapi mencoba menggali dan mengkaji tanggapan
pendeta sebagai pelaksanaan dari kebijakan mutasi
dan juga umat yang adalah merupakan sasaran dari
pelayanan yang dilakukan oleh Gereja. Maka dari itu,
pendeta yang dijadikan narasumber dalam penelitian
ini adalah pendeta-pendeta GPM yang sudah pernah
mengalami mutasi. Sedangkan untuk majelis jemaat
dan anggota jemaat adalah mereka yang cukup paham
tentang peraturan mutasi tenaga pendeta di GPM.
Berikut ini merupakan tabel tanggapan pendeta,
majelis dan umat tentang kebijakan dan pelaksanaan
mutasi tenaga pendeta GPM:
65
Tabel 4.1. Tanggapan terhadap mutasi tenaga pendeta
Aspek Tanggapan
Pendeta Majelis Jemaat Anggota
jemaat
Peraturan
peraturan mutasi adalah kebijakan dari
Sinode
Penting dilakukan
Mutasi merupakan aturan Sinode
Penting dilakukan
Sesuai peraturan Sinode
Penting dilakukan
Tahapan
proses
Normal
(sesuai dengan
aturan –
laporan kinerja)
Normal
(sesuai dengan
aturan – laporan
kinerja)
Normal
(sesuai dengan
aturan –
laporan kinerja)
Pelaksan
aan
Belum merata
(masa tugas
lebih dari lima
tahun)
Belum merata
(tidak sesuai
aturan – masa
tugas pendeta)
Belum merata
(tidak sesuai
aturan)
Kendala Like/Dislike
(dalam melakukan
analisis laporan
kinerja pendeta)
Like/Dislike
(berkaitan dengan
penempatan
maupun
pemindahan
pendeta)
Like/Dislike
(berkaitan dengan
pemindahan
pendeta)
Dampak Dari proses mutasi,
pendeta menyadari
bahwa
imannya
dikuatkan
melalui proses melayani di
berbagai
jemaat.
pendeta mengalami
perubahan
cara pandang bergereja.
Dari proses mutasi, pendeta
menyadari bahwa imannya
dikuatkan
melalui proses
melayani di
berbagai jemaat.
Umat semakin diperbaharui
kehidupan
spritualnya.
Dari proses mutasi,
pendeta menyadari
bahwa
imannya
dikuatkan
melalui proses
melayani di
jemaat.
Umat semakin
diperbaharui
kehidupan spritualnya.
Sumber: Pengelolaan Data Wawancara, 2015
66
Tabel tanggapan diatas, untuk aspek peraturan
mutasi ini dengan jelas dapat terlihat bahwa baik
pendeta, majelis jemaat dan umat memiliki pandangan
yang sama. Menurut mereka peraturan mutasi
merupakan kebijakan yang dibuat oleh Sinode.
Sehingga penting sekali untuk peraturan ini dilakukan
oleh pendeta. Ada dua alasan sehingga peraturan atau
kebijakan mutasi ini penting dilakukan. Alasan yang
pertama bahwa pendeta juga butuh penyegaran dan
tidak baik pendeta terlalu lama di jemaat. Karena akan
mematikan kreatifitas dan kemampuan yang d
imilikinya apalagi kalau pendeta itu ditempatkan
di wilayah airmata. Selain itu bukan saja penyegaran
bagi pendeta tetapi juga bagi jemaat yang ada.
Ditakutkan jemaat sudah bosan dengan pendeta yang
ada dan membutuhkan pendeta yang baru. Alasan
kedua bahwa seorang pendeta GPM tidak akan pernah
melayani selama-lamanya di suatu jemaat. Dengan
mengingat tugas pengutusan sebagai pelayan Tuhan
bahwa ada banyak ladang-ladang yang menunggu
67
mereka untuk pergi kesana. Apalagi dengan kenyataan
bahwa tidak semua jemaat GPM adalah jemaat yang
memiliki keadaan ekonomi yang mapan. Banyak sekali
jemaat GPM yang keadaan ekonominya masih
berkembang. Itulah tugas-tugas pelayanan yang
menanti mereka sebagai pelayan Tuhan.
Kemudian untuk tahapan proses baik itu mutasi
rutin, mutasi karena kepentingan pelayanan dan
mutasi ikut suami atau isteri memiliki tanggapan
bahwa berjalan dengan normal. Dalam arti bahwa,
tahapan proses dalam pelaksanaan ketiga mutasi ini
berjalan sesuai dengan tata aturan yang berlaku.
Dimana sebelum memutasikan seorang pendeta ada
proses penilaian kinerja pendeta yang dilakukan oleh
Sinode. Sedangkan ada satu kasus mutasi tindak
displin gereja di sebuah jemaat yang disayangkan oleh
majelis jemaat dan umat. Menurut mereka untuk kasus
mutasi tindak displin gereja di sebuah jemaat A
seharusnya tidak perlu terjadi.
68
Selanjutnya, pelaksanaan kebijakan mutasi ini
dirasakan belum merata oleh pendeta, majelis jemaat
dan anggota jemaat. Belum meratanya pelaksanaan
mutasi yang dimaksudkan disini adalah seharusnya
dimulai dari wilayah yang jauh (airmata) kemudian
wilayah dekat. Akan tetapi ada beberapa pendeta yang
selalu dimutasikan ke daerah yang jauh atau
sebaliknya. Kemudian ada pendeta muda dengan
pendidikan S2 langsung ditempatkan di kantor Sinode.
Selain itu, belum meratanya pelaksanaan mutasi ini
juga disebabkan tenaga pendeta GPM yang terlampau
banyak dengan tidak diimbangi oleh kesiapaan jemaat
(airmata) untuk menerima pendeta lebih dari dua di
suatu jemaat. Belum ditambah lagi dengan lulusan
Teologi baik itu dari sekolah Teologi UKIM dan sekolah
teologi di luar Ambon yang terlampau banyak. Sehingga
menyebabkan Sinode GPM membatasi penerimaan
tenaga vikariat dan berdampak juga pada penempatan
dan pemindahan tenaga pendeta GPM.
69
Lebih lanjut untuk aspek kendala dinilai terdapat
unsur like/dislike dari pimpinan Sinode atau Klasis.
Hal ini berkaitan erat dengan tanggapan pendeta dan
umat mengenai tahapan proses. Dalam melakukan
analisis kinerja (DP3) dirasakan belum transparan.
Pendeta yang dekat dengan salah satu pejabat Sinode
akan mendapatkan laporan kinerja yang baik.
Sedangkan pendeta yang membangkang dengan
keputusan yang dikeluarkan oleh Sinode, akan
memiliki laporan kinerja yang kurang baik. Hal ini juga
berlaku dalam pelaksanaan penempatan dan
pemindahan (mutasi) seorang pendeta.
Setiap kebijakan yang dilakukan pasti ada
dampak yang akan dirasakan baik itu dari pihak
organisasi (Gereja), pendeta sebagai pelaksana
kebijakan mutasi dan juga umat yang dilayani. Mutasi
ini sangat berdampak bagi kehidupan pelayanan
seorang pendeta. Bukan saja perubahan pada kualitas
iman, tetapi juga perubahan cara pandang bergereja.
Dengan ditempatkan diseluruh wilayah GPM baik itu
70
wilayah airmata dan juga mata air maka pendeta
semakin memahami bahwa GPM bukan saja jemaat
kota tetapi juga jemaat desa, bukan saja jemaat mata
air1 tetapi juga jemaat airmata2. Bukan saja pendeta
yang terkena dampak positif dari pelaksanaan mutasi
ini, umat yang dilayani juga terkena dampaknya. Ketika
terjadi peningkatan iman yang berkaitan dengan
kualitas pelayanan dan perubahan cara pandang, maka
umat yang dilayani juga akan semakin dibaharui
kualitas imannya. Bukan saja kualitas iman yang
diperbaharui oleh pendeta tetapi kualitas hidup umat
(kehidupan ekonomi) juga semakin ditingkatkan.
Dengan melihat tanggapan dari pendeta dan
umat tentang pelaksanaan mutasi diatas, maka tidak
selalu kebijakan yang dilakukan Sinode sesuai dengan
keinginan umat. Sinode merasa bahwa kebijakan dan
pelaksanaan mutasi selama ini sudah berjalan dengan
1 Jemaat mata air adalah istilah yang sering digunakan kalangan GPM untuk menggambarkan kondisi jemaat dengan keadaan ekonomi maju atau jemaat mapan 2 Jemaat airmata adalah istilah yang digunakan dalam kalangan GPM untuk menggambarkan kondisi jemaat dengan keadaan ekonomi dibawah atau jemaat berkembang
71
baik dan sudah menjawab kebutuhan umat. Hal ini
berbanding terbalik dengan tanggapan pendeta dan
umat yang merasa bahwa pelaksanaan mutasi belum
sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya sesuai
aturan mutasi rutin, seorang pendeta di jemaat lima
tahun akan tetapi ada pendeta yang di jemaat sudah
enam tahun, bahkan ada delapan tahun. Ada juga
pendeta yang baru melayani di jemaat selama dua
tahun, tiba-tiba sudah dimutasikan oleh Sinode.
Tanggapan negatif tentang pelaksanaan mutasi
dalam GPM ini terjadi karena kurangnya pemahaman
pendeta dan umat tentang tata aturan mutasi di GPM.
Penting bagi Sinode untuk bisa mensosialisasikan
kebijakan mutasi tenaga pendeta ini di tingkat jemaat.
Tujuan sosialisasi kebijakan mutasi ini ditingkat jemaat
khususnya untuk perangkat pelayan yang ada dalam
sehingga semua perangkat pelayan mengetahui dengan
jelas tentang kebijakan mutasi ini. Sehingga ketika ada
pendeta yang memiliki masa tugas singkat di jemaat
atau pendeta dengan masa tugas lebih dari lima tahun
72
kemudian dimutasikan, perangkat pelayana bisa
menjelaskan hal-hal ini kepada jemaat.
Dengan demikian semua unsur pelayan di tingkat
jemaat dapat mengetahui dengan jelas aturan tentang
tenaga mutasi pendeta di GPM. Agar nantinya
tanggapan negatif terhadap Sinode terkait kebijakan
dan pelaksanaan mutasi ini tidak ada lagi. Karena
kebijakan ini dibuat dan dilakukan semuanya untuk
pelayanan umat yang lebih baik lagi. Dengan harapan
bahwa semua umat baik itu di daerah kota maupun
desa dapat merasakan setiap pelayanan yang dilakukan
oleh pendeta-pendeta. sehingga kehidupan umat baik
itu spritual dan ekonomi umat semakin dibaharui.
Maka dari itu agar pelayanan dapat berjalan dengan
baik di GPM membutuhkan kerja sama dan koordinasi
yang baik dari tingkat Sinode, Klasis sampai ke tingkat
jemaat.