bab iv hasil dan pembahasan 4.1 setting penelitian 4.1.1...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Setting Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ialah Kota Ambon yang merupakan
ibukota Provinsi Maluku. Kota Ambon terdiri dari 5 kecamatan yaitu
Kecamatan Nusaniwe luas wilayah 8.834,30 Ha, Kecamatan
Sirimau luas wilayah 8.681,32 Ha, Kecamatan Teluk Ambon luas
wilayah 9.368,00 Ha, Kecamatan Teluk Ambon Baguala luas
wilayag 4.011,00 Ha dan Kecamatan Leitimur Selatan luas wilayah
5.050 Ha ( Buku Kota Ambon Dalam Angka 2012).
Kecamatan Teluk Ambon Baguala tepatnya Desa Waiheru
merupakan tempat tinggal riset partisipan I dan riset partisipan II
dan Desa Passo merupakan tempat tinggal riset partisipan VII.
Kecamatan Teluk Ambon tepatnya di Desa Laha merupakan tempat
tinggal riset partispan III dan riset partisipan IV. Kecamatan Sirimau
tepatnya di Desa Hative kecil merupakan tempat tinggal riset
partisipan V dan riset partispan VI. Peneliti mendapatkan informasi
keluarga riset partisipan dari Bagian Diklat. Rumah Sakit Khusus
Daerah ini pula digunakan peneliti untuk mewancarai keluarga saat
berkunjung ke RS. Fasilitas RS sangat baik dalam melayani
masyarakat, ada pelayanan poliklinik untuk rawat jalan, berbagai
ruangan untuk pelayanan pasien rawat inap yang disesuaikan
dengan level gangguan jiwa dan jenis kelamin pasien. Salah satu
ruangan yang menjadi wawancara peneliti adalah poliklinik rawat
jalan, peneliti ditempatkan di poliklinik rawat jalan karena keluarga
pasien lebih banyak kehadirannya dibanding di ruangan rawat inap.
Kebanyakan keluarga yang mengantar anak atau saudaranya ke
poliklinik rawat jalan pernah masuk RSKD dan keluar karena
keterbatasan biaya untuk membayar RS dan hanya ke poliklinik
rawat jalan untuk meminta obat.
4.1.2 Proses Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang mendeskripsikan
secara detail tentang pengaruh stigma dan kebudayaan terhadap
pasien dengan gangguan jiwa. Penelitian dilakukan di Kota Ambon,
Provinsi Maluku. Sejak pertengahan bulan juni sampai awal bulan
juli.
Data yang diperoleh peneliti melalui proses wawancara
dan observasi dengan anggota keluarga, tetangga riset partisipan
dan masyarakat yang disekitar RS mereka telah bersedia menjadi
riset partisipan dan menandatangi surat persetujuan atau Informed
Consent . Alat perekam juga membantu peneliti dalam memperoleh
data. Waktu wawancara disesuaikan dengan jadwal peneliti dan
riset partisipan. Wawancara dilakukan saat keluarga berkunjung ke
Rumah Sakit Khusus Daerah Ambon dan selanjutnya di tempat
tinggal pasien.
Peneliti mengawali proses penelitian dengan mengurus
surat ijin penelitian di bagian Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol) yang bertempat di Kantor Gubernur Maluku.
Dibutuhkan waktu dua hari untuk surat ijin penelitian ini dibuat.
Surat ijin ini akan digunakan peneliti sebagai surat rekomendasi
penelitian yang diberikan ke Rumah Sakit Khusus Daerah Ambon.
Proses peneliti dalam menentukan keluarga yang menjadi
riset partisipan adalah dengan cara mengunjungi RSKD. Melalui
RS, peneliti meminta ijin untuk mengambil data tentang pasien yang
menderita gangguan jiwa, namun data pasien tidak diberikan
karena dirahasiakan.
Data yang diperoleh peneliti juga merupakan hasil
observasi yang dilakukan selang beberapa hari setelah peneliti
mewawancarai keluarga,tetangga dan masyarakat sekitar. Hal-hal
observasi merupakan perilaku sehari-hari keluarga dan tetangga
terhadap pasien.
4.2 Hasil Penelitian
Hasil penelitian memaparkan mengenai jawaban riset
partisipan selama di lapangan. Data atau hasil tersebut diperoleh
peneliti melalui proses wawancara dan observasi terhadap
keluarga, tetangga dan masyarakat sekitar yang menjadi riset
partisipan.
4.2.1 Identitas Partisipan Keluarga I
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Ny. N Perempuan 46 Ibu Ibu rumah
tangga
SMP
An.I Laki-laki 19 Anak - -
Tabel 1
4.2.2 Pengaruh Stigma dan Pengaruh Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Pengaruh stigma terhadap pasien dengan gangguan jiwa
ditandai dengan pemberian tanda, status ekonomi mempengaruhi
stigma pada pasien dengan gangguan jiwa, selalu memutar arah
jika melihat pasien dengan gangguan jiwa.
P : Apakah tante kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Kase tanda kaka, lia orang gila saja su takut.
(RP :Memberikan tanda, melihat individu dengan gangguan jiwa sudah takut)
P : Apa tante pandang kalo status ekonomi itu kase pengaruh tanda negatif par orang gila nh kaseng?
(P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?)
RP : Pengaruh kaka kalau orang yang seng mampu alias ekonomi kurang dong tuh seng suka orang gila apalagi kalau orang gila su bobou denk badaki.
(RP : Status ekonomi mempengaruhi apalagi kalau ekonomi kurang melihat pasien dengan gangguan jiwa sudah tidak menyukai karena bau dan kotor)
P : Bagaimana sikap dan tindakan tante kalo dapa lia orang gila?
(P : Bagaimana sikap dan tindakan anda bila melihat pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : tante takut dan langsung lari kaseng kalo su lia dar jau putar jalan
(RP : Tante sudah takut dan langsung pergi kadang memutar arah)
b. Pengaruh Kebudayaan
Ibu N mengatakan penyebab gangguan jiwa penyakit
keturunan, kekuatan spiritual, dirasuki makluk halus/ setan dan
kutukan.
P : Apakah tante percaya gangguan jiwa karena penyaki keturunan
(P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan? )
RP : Percaya kaka itu saki keturunan
(RP : Mempercayai karena penyakit keturunan)
P : Apa tante memandang penyebab orang gila ini karena orang pake – pake kaseng
(P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?)
RP : Batul ade itu ada karena kalau ada orang seng suka katong dong biking katong jadi gila.
(RP : Benar penyebab kekuatan spiritual karena ada orang yang tidak menyukai kita membuat kita gangguan jiwa)
P : Menurut tante batul kaseng orang gila ini gara – gara setang maso?
(P : Menurut anda penyebab gangguan jiwa karena dirasuki oleh makluk halus/ setan?)
RP : Ia kaka itu jua ada lay kaya katong pi di tampa yang sabarang jadi setang maso lah katong bicara sabarang kalo seng kaluar sudah bagitu tarus saja.
(RP : Benar kaka ada kalau kita pergi ke tempat yang sembarangan kemudian dirasuki setan dan berbicara aneh . Setan tidak keluar maka kita akan terus begitu)
P : Orang gila itu dong dapa kutukan bagaimana tante pung pendapat?
(P : Apakah orang yang mengalami gangguan jiwa itu karena kutukan, Bagaimana pendapat anda?)
RP : Ia kaka orang gila tuh dong dapa kutuk makanya jadi begitu.
(RP : Orang dengan gangguan jiwa itu dikutuk
Pasien dengan gangguan jiwa juga pantas dikurung, sampah sosial dan aib bagi keluarga.
P : Orang gila pantas dapa kurung / pasung / ka kase biar dong berkeliaran?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa itu pantas dikurung/ dipasung/ dibiarkan berkeliaran?)
RP : Kurung saja kaka kaseng nanty dong balari sini sana deng nanty jua orang seng suka lia dong.
(RP : Kurung pasien nanty berkeliaran dan ada orang yang melihat tidak menyukai pasien dengan gangguan jiwa)
P : Tante orang gila itu sampah sosial atau sampah masyarakat batul kaseng?
(P : Apa anda menganggap pasien dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial?)
RP : Sampah sosial kaka dong orang yang terbuang orang seng pastiu deng seng suka.
(RP : Sampah sosial orang yang dibuang dan tidak perhatikan)
P : Orang gila ini dong bawa aib par keluarga kaseng?
(P: Apakah pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga?)
RP : Aib keluarga kaka katong jadi malu.
( RP : Merupakan aib keluarga dan membuat malu keluarga)
4.2.3 Identitas Partisipan II
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Ny. S Perempuan 40 Tetangga Ibu rumah
tangga
SMA
Tabel 2
4.2.4 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Ny. S merupakan keluarga Ibu. N. Pengaruh stigma masih
ada dengan pemberian tanda tidak baik, status ekonomi
mempengaruhi dan selalu takut melihat pasien dengan gangguan
jiwa.
P : Apakah tante kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Kase tanda seng bagus ade.
(RP :Memberikan tanda yang tidak bagus)
P : Apa tante pandang kalo status ekonomi itu kase pengaruh tanda negatif par orang gila nh kaseng?
(P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?)
RP : Bisa juga ade , karena dong orang kurang baru dong seng terurus tetap saja orang seng suka.
(RP : Status ekonomi mempengaruhi , karena bau tidak terurus tetap orang tidak menyukai)
P : Bagaimana sikap dan tindakan tante kalo dapa lia orang gila?
(P : Bagaimana sikap dan tindakan anda bila melihat pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : tante takut ade .
(RP : Takut melihat pasien dengan gangguan jiwa)
Pengaruh Kebudayaan
Penyebab gangguan jiwa karena penyakit keturunan dan
dirasuki makluk halus/setan. Gangguan jiwa merupakan perilaku
abnormal. Pasien dengan gangguan jiwa pantas dikurung,
merupakan sampah sosial dan membawa aib bagi keluarga.
P : Apakah tante percaya gangguan jiwa karena penyaki keturunan
(P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan?)
RP : Percaya ade itu saki keturunan
(RP : Mempercayai karena penyakit keturunan )
P : Menurut tante batul kaseng orang gila ini gara – gara setang maso atau barang halus?
(P : Menurut anda penyebab gangguan jiwa karena dirasuki oleh makluk halus/ setan?)
RP : Bisa ade barang halus maso barang pikiran kosong
(RP : Bisa karena dirasuki makluk halus saat pikiran kosong)
P : Apa orang gila itu dong sikap seng normal
(P : Apakah pasien yang mengalami gangguan jiwa itu perilaku abnormal?)
RP : Seng normal ade.
(RP : Abnormal)
P : Orang gila pantas dapa kurung / pasung / ka kase biar dong berkeliaran?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa itu pantas dikurung/ dipasung/ dibiarkan berkeliaran?)
RP : Kurung saja dan diikat supaya jang maniso.
(RP : Kurung dan diikat supaya jangan berkeliaran)
P : Tante orang gila itu sampah sosial atau sampah masyarakat batul kaseng?
(P : Apa anda menganggap pasien dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial?)
RP : Sampah sosial ade.
(RP : Orang dengan gangguan jiwa merupakan sampah sosial)
P : Orang gila ini dong bawa aib par keluarga kaseng?
(P: Apakah pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga?)
RP : Aib keluarga ade.
( RP : Pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga)
4.2.5 Identitas Partisipan Keluarga III
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Tn. T Laki – laki 70 Ayah Petani -
An.J Laki-laki 25 Anak - -
Tabel 3
4.2.6 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Tn T selalu menghindar jika melihat pasien dengan
gangguan jiwa karena takut.
P : Apakah Om kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Takut ade kalau lia orang gila langsung menghindar.
(RP : Takut dan langsung menghindar)
b. Pengaruh Kebudayaan
Pasien dengan gangguan jiwa merupakan perilaku
abnormal, penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual,
pasien dengan gangguan jiwa ada yang pantas dan tidak untuk
dikurung.
P : Apa orang gila itu dong sikap seng normal
(P : Apakah pasien yang mengalami gangguan jiwa itu perilaku abnormal?)
RP : Seng normal ade lah suka tatawa sandiri kaseng garu – garu kapala tuh.
(RP : Perilaku abnormal karena suka tertawa sendiri sambing menggaruk kepala )
P : Apa om memandang penyebab orang gila ini karena orang pake – pake kaseng
(P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?)
RP : Percaya ade, itu orang biking sampe bisa gila.
(RP : Percaya karena kekuatan spiritual)
P : Orang gila pantas dapa kurung / pasung / ka kase biar dong berkeliaran?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa itu pantas dikurung/ dipasung/ dibiarkan berkeliaran?)
RP : Ada yang pantas ada yang seng ade
(RP : Ada yang pantas ada yang tidak)
P : Kanapa ada yang pantas kanapa ada yang seng?
(P : Kenapa ada yang pantas dan tidak pantas?)
RP : Yang pantas itu kalo dong suka baribot deng yang seng pantas tuh dong cuma diam saja.
(RP : Pantas itu kalau suka ribut dan tidak pantas karena diam saja)
4.2.7 Identitas Partisipan IV
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Tn. N Laki-laki 50 Tetangga Pegawai
swasta
D3
ekonomi
Tabel 4
4.2.8 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Tn N memberikan tanda, tidak menyukai pasien karena
bau dan takut pada pasien dengan gangguan jiwa. Status ekonomi
mempengaruhi stigma pada seseorang. Tidak memberikan rasa
perhatian dan selalu cuek pada pasien dengan gangguan jiwa.
P : Apakah Om kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Kase tanda seng suka orang gila, taku deng orang gila th bobou
(RP : Memberikan tanda, tidak menyukai, takut dan orang dengan gangguan jiwa bau)
P : Apa om pandang kalo status ekonomi itu kase pengaruh tanda negatif par orang gila nh kaseng?
(P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?)
RP : Bisa kaka.
(RP : Status ekonomi bisa mempengaruhi)
P : Apa Om kase rasa perhatian yang labe kaseng par orang gila?
(P : Apa saudara memberikan rasa simbolis atau perhatian lebih pada pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : Seng kaka.
(RP : Tidak memberikan rasa perhatian)
P : Bagaimana sikap dan tindakan Om kalo dapa lia orang gila?
(P : Bagaimana sikap dan tindakan anda bila melihat pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : Cuek saja kaka
(RP : Tidak memperdulikan pasien dengan gangguan jiwa)
b. Pengaruh Kebudayaan
Tn N mempercayai penyebab gangguan jiwa karena
penyakit keturunan, kutukan dan kekuatan spiritual. Pasien dengan
gangguan jiwa itu perilaku tidak normal, tidak pantas dilindungi,
pantas dikurung, sampah masyarakat dan membawa aib keluarga.
P : Apakah Om percaya gangguan jiwa karena penyaki keturunan
(P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan? )
RP : Percaya kaka.
(RP : Mempercayai karena penyakit keturunan )
P : Orang gila itu dong dapa kutukan bagaimana om pung pendapat?
(P : Apakah orang yang mengalami gangguan jiwa itu karena kutukan, Bagaimana pendapat anda?)
RP : Percaya kaka.
(RP : Percaya pasien dengan gangguan jiwa karena kutukan)
P : Apa Om memandang penyebab orang gila ini karena orang pake – pake kaseng
(P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?)
RP : Batul kaka ada yang biking itu sampe gila.
(RP : Benar ada orang yang memakai kekuatan spiritual)
P : Apa orang gila itu dong sikap seng normal
(P : Apakah pasien yang mengalami gangguan jiwa itu perilaku abnormal?)
RP : Seng normal kaka lah dong saja suka bajalang sandiri baru tatawa – tatawa tuh.
(RP : Abnormal dan suka berjalan sendiri sambil tertawa)
P : Om orang gila tuh dong pantas kaseng katong lindungi?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa perlu dilindungi?)
RP : Seng pantas ade.
(RP : Tidak pantas.)
P : Orang gila pantas dapa kurung / pasung / ka kase biar dong berkeliaran?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa itu pantas dikurung/ dipasung/ dibiarkan berkeliaran?)
RP : Kurung saja kaka
(RP : Pasien dengan gangguan jiwa sebaiknya dikurung)
P : Om orang gila itu sampah sosial atau sampah masyarakat batul kaseng?
(P : Apa anda menganggap pasien dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial?)
RP : Sampah sosial kaka.
(RP : Orang dengan gangguan jiwa merupakan sampah sosial)
P : Orang gila ini dong bawa aib par keluarga kaseng?
(P: Apakah pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga?)
RP : Aib keluarga kaka
( RP : Pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga.
4.2.9 Identitas Partisipan Keluarga V
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
N Perempuan 21 Kakak Penjaga
toko
SMA
S Perempuan 16 Adik - -
Tabel 5
4.2.10 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Memberikan tanda negatif dan tidak menyukai pasien
dengan gangguan jiwa. Status ekonomi mempengaruhi stigma dan
slalu menghindar jika melihat pasien dengan gangguan jiwa.
P : Apakah Kaka kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Kase tanda negatif usi.
(RP : Memberikan tanda negatif usi )
P : Barang kanapa kase tanda negatif?
(P : Mengapa memberikan tanda negatif?)
RP : Barang seng suka dong usi
(RP : Tidak menyukai pasien dengan gangguan jiwa)
(RP : Tidak mengetahui dan pada saat adiknya masuk RS tidak pernah menjenguk)
P : Apa kaka pandang kalo status ekonomi itu kase pengaruh tanda negatif par orang gila nh kaseng?
(P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?)
RP : Mempengaruhi usi.
(RP : Status mempengaruhi stigma )
P : Bagaimana sikap dan tindakan kaka kalo dapa lia orang gila?
(P : Bagaimana sikap dan tindakan anda bila melihat pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : Menghindar
(RP : Menghindar dari pasien dengan gangguan jiwa)
b. Pengaruh Kebudayaan
Penyebab gangguan jiwa adalah penyakit keturunan,
kekuatan spiritual dan kutukan. Pasien dengan gangguan jiwa
pantas dikurung tetapi melihat kondisi pasiennya kalau ribut
dikurung dan kalau tidak ribut dikeluarkan. Pasien membawa aib
bagi keluarga.
P : Apakah kaka percaya gangguan jiwa karena penyaki keturunan
(P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan? )
RP : Penyaki keturunan usi
(RP : Percaya bahwa gangguan jiwa karena penyakit keturunan)
P : Apa kaka memandang penyebab orang gila ini karena orang pake – pake kaseng
(P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?)
RP : Percaya usi dong pake ilmu hitam.
(RP : Percaya karena kekuatan spiritual)
P : Orang gila itu dong dapa kutukan bagaimana kaka pung pendapat?
(P : Apakah orang yang mengalami gangguan jiwa itu karena kutukan, Bagaimana pendapat anda?)
RP : Sering ada yang dapa kutuk usi, ada dapa dari moyang – moyang makanya jadi gila barang moyang – moyang datang goda.
(RP : Percaya dikutuk dan digodai dari para leluhur)
P : Orang gila pantas dapa kurung / pasung / ka kase biar dong berkeliaran?
(P : Apakah pasien dengan gangguan jiwa itu pantas dikurung/ dipasung/ dibiarkan berkeliaran?)
RP : Kurung usi tapi sesuai kondisi lay.
(RP : Kurung tetapi sesuai kondisi)
P : Kanapa kurung tetapi sesuai kondisi kaka?
(P : Kenapa ada yang kurung tetapi sesuai kondisi?)
RP : Sesuai kondisi bagini kalo dia baribot kurung kalo seng lay kase kaluar jua.
(RP : Sesuai kondisi maksudnya kalau ribut dan dikeluarkan bila sudah tenang)
P : Orang gila ini dong bawa aib par keluarga kaseng?
(P: Apakah pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga?)
RP : Aib keluarga usi b malu jaga dapa bilang pung ade gila.
( RP : Menjadi aib keluarga dan malu sering diejek mempunyai adik yang gangguan jiwa)
4.2.11 Identitas Partisipan VI
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
Ny. V Perempuan 31 Tetangga Guru S1 Tata
busana
Tabel 6
4.2.12 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Tidak memberikan cap pada pasien dengan gangguan
jiwa. Status ekonomi mempengaruhi stigma, Bisa ya atau tidak
dalam memberikan rasa perhatian bagi pasien dan selalu
menghindar jika melihat pasien dengan gangguan jiwa.
P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?
RP: Tidak, jika orang tersebut yang kita temui bertingkah dan berkelakuan aneh, berbicara sendiri dan ketika kita merasa terancam maka kita harus menghindar.
P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?
RP : Iya, yang terjadi kalau ada keluarga yang ekonomi lemah dan memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa terkadang mereka berusaha mengobati tetapi jika tidak mampu
mereka mengurung/ mengikat/ memasung orang dengan gangguan jiwa karena kalau tidak begitu masyarakat akan marah jika melihat berkeliaran.
P : Apa saudara memberikan rasa simbolis atau perhatian lebih pada pasien dengan gangguan jiwa?
RP : Bisa iya bisa tidak,
Kalau iya karena kalau kita mengetahui orang yang menderita gangguan jiwa hanya berbicara sendiri tidak melakukan hal kasar.
Kalau tidak karena mereka merontak dan bertindak kasar.
P : Bagaimana sikap dan tindakan anda bila melihat pasien dengan gangguan jiwa?
RP : Menghindar, karena mereka asik dengan tingkah laku mereka
Acuh, karena mereka kasar, tidak sopan dan tidak memakai baju.
b. Pengaruh Kebudayaan
Tidak mempercayai penyebab gangguan jiwa karena
keturunan,dirasuki makluk halus, kutukan dan kekuatan spiritual.
Perilaku abnormal dari pasien dengan gangguan jiwa, pasien tidak
pantas dikurung, tidak menjadi sampah sosial dan tidak membawa
aib keluarga.
P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan?
RP : Tidak percaya
P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?
RP : Tidak percaya.
P : Menurut anda penyebab gangguan jiwa karena dirasuki oleh makluk halus/ setan?
P : Apakah orang yang mengalami gangguan jiwa itu karena kutukan, Bagaimana pendapat anda?)
RP : Bukan karena kutukan.
RP : Bukan ,karena dirasuki makluk halus bukan gangguan jiwa.
P : Apakah pasien yang mengalami gangguan jiwa itu perilaku abnormal?
RP : Iya, karena dalam tindakannya tidak normal seperti tidak memakai baju dan telanjang.
P : Apa anda menganggap pasien dengan gangguan jiwa sebagai sampah sosial?
RP : Tidak.
P: Apakah pasien dengan gangguan jiwa merupakan aib keluarga
RP : Tidak
4.2.13 Identitas Partisipan VII
Nama Jenis
Kelamin
Umur Keterangan Pekerjaan Pendidikan
Terakhir
D Perempuan 18 Mahasiswa
sekitar
RSKD
Mahasiswa SMA
Tabel 7
4. 2.14 Pengaruh Stigma dan Kebudayaan
a. Pengaruh Stigma
Memberikan tanda negatif karena takut disentuh pasien
dan status ekonomi mempengaruhi stigma pada pasien dengan
gangguan jiwa.
P : Apakah ade kase tanda atau cap seng bagus par orang gila?
(P : Apakah saudara memberikan cap pada individu yang mengalami gangguan jiwa?)
RP: Kase tanda seng bae kaka dong saja gila taku nanty dong pegang – pegang.
(RP : Memberikan tanda negatif takut disentuh oleh pasien dengan gangguan jiwa )
P : Apa ade pandang kalo status ekonomi itu kase pengaruh tanda negatif par orang gila nh kaseng?
(P : Apa saudara memandang status ekonomi juga mempengaruhi stigma pada pasien gangguan jiwa?)
RP : Pengaruhi sekarang orang gila orang kurang baru seng pernah barobat pasti orang tarsuka jua.
(RP : Mempengaruhi orang dengan gangguan jiwa, dari keluarga kurang mampu banyak orang tidak menyukai)
b.Pengaruh Kebudayaan
D selalu lari ketika melihat pasien dan jika pasien lari
mendekati D akan menimbuk dengan batu. Tidak percaya karena
penyakit keturunan dan percaya penyebab gangguan jiwa karena
kekuatan spiritual dan dirasuki makluk halus.
P : Pas lia orang gila reaksi bagaimana?
(P : Apa reaksi saat melihat pasien dengan gangguan jiwa?)
RP : Lari dolo, pas dong lari iko katong macam su dekat ini ambel batu lah lempar saja supaya dong taku.
(RP : Lari dan menimbuk pasien dengan batu)
P : Apakah ade percaya gangguan jiwa karena penyaki keturunan
(P : Apakah anda percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan? )
RP : Seng percaya.
(RP : Tidak percaya bahwa gangguan jiwa karena penyakit keturunan)
P : Apa ade memandang penyebab orang gila ini karena orang pake – pake kaseng
(P : Apakah anda memandang penyebab gangguan jiwa karena kekuatan spiritual?)
RP : Percaya kaka apalagi dong seng suka katong keluarga, ka seng suka katong labe kaseng seng bisa lia katong bagaya ada yang seng suka lah pake-pake katong.
(RP : Percaya karena tidak menyukai keluarganya, iri hati dan memakai kekuatan spiritual)
P : Menurut kaka batul kaseng orang gila ini gara – gara setang maso?
(P : Menurut anda penyebab gangguan jiwa karena dirasuki oleh makluk halus/ setan?)
RP : Percaya kaka, setang maso lalu seng mau kaluar lay barang su nyaman deng badang yang dia maso jadi katong senu seng tahu apa - apa
(RP : Percaya, setan merasuki dan tidak ingin keluar karena sudah menguasai tubuh kita)
4.3 Uji Keabsahan Data
Dalam penelitian ini, dalam uji keabsahan data
(kreadibilitas) peneliti menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan
berbagai waktu.
4.3.1 Triangulasi waktu partisipan I
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 25 juni 2015 pukul 10.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan Ibu N.
Partisipan juga mengatakan memberikan tanda pada pasien
dengan gangguan jiwa, ekonomi juga mempengaruhi stigma pada
seseorang, pasien dengan gangguan jiwa karena penyakit
keturunan, kekuatan spiritual dan dirasuki makluk halus/ setan.Ibu
N. mengatakan masih yang sama bahwa pasien dengan gangguan
jiwa karena kutukan dan pasien gangguan jiwa pantas dikurung.
4.3.2 Triangulasi waktu partisipan II
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 28 juni 2015 pukul 11.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan Ny. S.
Ny. S mengatakan memberikan tanda bagi pasien dengan
gangguan jiwa. Penyebab gangguan jiwa karena penyakit
keturunan, tidak mempercai karena kekuatan spiritual,kutukan
tetapi percaya dirasuki setan. Pasien dengan gangguan jiwa perlu
dikurung.
4.3.3 Triangulasi waktu partisipan III
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 26 juni 2015 pukul 16.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan Tn. T.
Tn. T takut dan menghindar melihat pasien dengan
gangguan jiwa, tidak mempercayai gangguan jiwa karena penyakit
keturunan,dirasuki setan, kutukan dan percaya karena kekuatan
spiritual.
4.3.4 Triangulasi waktu partisipan IV
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 29 juni 2015 pukul 17.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan Tn N.
Tn. N memberikan tanda bagi pasien dengan gangguan
jiwa. Tidak memberi rasa perhatian, percaya karena penyakit
keturunan, kekuatan spiritual, kutukan dan tidak percaya dirasuki
setan. Pasien dengan gangguan jiwa harus dikurung.
4.3.5 Triangulasi waktu partisipan V
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 28 juni 2015 pukul 11.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan N.
N. memberikan tanda negatif bagi pasien dengan
gangguan jiwa. Gangguan jiwa disebabkan karena penyakit
keturunan, kekuatan spiritual memakai ilmu hitam, kutukan dan
tidak percaya dirasuki setan. Pasien dengan gangguan jiwa pantas
dikurung tetapi sesuai tingkah lakunya.
4.3.6 Triangulasi waktu partisipan VI
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 01 juli 2015 pukul 12.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan Ny V.
Tidak memberikan tanda negatif, pemberian tanda
mempengaruhi dari status ekonomi seseorang.Tidak percaya
gangguan jiwa karena penyakit keturunan, kekuatan spiritual,
dirasuki setan dan kutukan.
4.3.7 Triangulasi waktu partisipan VII
Peneliti melakukan triangulasi dengan sumber waktu, yaitu
pada tanggal 25 juni 2015 pukul 14.00 WIT tepatnya dirumah riset
partisipan tepatnya di rumah riset partisipan, masih dengan D.
mengatakan memberikan tanda pasien dengan gangguan jiwa,
tidak percaya pasien dengan gangguan jiwa karena penyakit
keturunan, gangguan jiwa disebabkan karena kekuatan spiritual,
dan dirasuki setan.
4.4 Pembahasan
Stigma berasal dari kecendrungan manusia untuk menilai
orang lain. Berdasarkan penilaian itu ketegorisasi atau streotip
dilakukan tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya atau
berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang kita anggap sebagai tidak
pantas, luar biasa, memalukan dan tak dapat diterima. Dari ketujuh
riset partisipan pemberian stigma sesuai dengan tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan terakhir sarjana tidak memberikan stigma
sedangkan tingkat pendidikan terakhir SMA memberikan stigma.
Penelitian kejiwaan yang dilakukan oleh Mubin (2008)
yang meneliti tentang stigma masyarakat dan stigma pada diri
sendiri memberikan dampak pada keluarga dengan konsekuensi
positif dan negatif. Makna positif berupa terbentuknya perilaku
keluarga yang konstruktif dengan keluarga semakin kompak dan
rukun, dan makna negatif berupa pengalaman yang tidak
menyenangkan, aktivitas harian terganggu dan keluarga menjadi
rendah diri. Dampak yang ditimbulkan stigma masyarakat dan
stigma pada diri sendiri membuat keluarga berharap pada warga,
sikap warga yang mau mengerti, tidak mengejek dan tidak
didiamkan dan petugas kesehatan.
Dari ketujuh riset partisipan, pada riset partisipan I
memberikan stigma dan selalu memutar arah jika melihat pasien.
Riset partisipan II memberikan cap negatif pada pasien, status
ekonomi mempengaruhi dan selalu takut melihat pasien dengan
gangguan jiwa. Riset partisipan III selalu menghindar jika melihat
pasien dengan gangguan jiwa karena takut. Riset partisipan IV
memberikan tanda, tidak menyukai pasien karena bau dan takut
pada pasien dengan gangguan jiwa. Status ekonomi
mempengaruhi stigma pada seseorang. Tidak memberikan rasa
perhatian dan selalu cuek pada pasien dengan gangguan jiwa.
Riset partisipan V memberikan tanda negatif dan tidak menyukai
pasien dengan gangguan jiwa. Status ekonomi mempengaruhi
stigma dan selalu menghindar jika melihat pasien dengan
gangguan jiwa. Riset partisipan VI tidak memberikan cap pada
pasien dengan gangguan jiwa. Status ekonomi mempengaruhi
stigma, Bisa ya atau tidak dalam memberikan rasa perhatian bagi
pasien dan selalu menghindar jika melihat pasien dengan
gangguan jiwa. Riset partisipan VII memberikan tanda negatif
karena takut disentuh pasien dan status ekonomi mempengaruhi
stigma pada pasien dengan gangguan jiwa.
Semua budaya memiliki kepercayaan yang berbeda- beda.
Teori mengenai kesehatan dan penyebab penyakit didasarkan pada
pandangan yang dimiliki oleh suatu kelompok. Pandangan ini
meliputi sikap, kepercayaan, dan praktik—praktik suatu kelompok
terhadap kesehatan dan biasanya disebut dengan sistem
kepercayaan kesehatan (Andrews,2008).
Dari ke tujuh riset partisipan terdapat berbagai sistem
kepercayaan, ada yang percaya karena kekuatan spiritual, dirasuki
setan/makhluk halus, kutukan dan penyakit keturunan. Riset
partisipan I percaya gangguan jiwa karena penyakit keturunan,
kekuatan spiritual, dirasuki setan/makluk halus, kutukan dan pasien
dengan gangguan jiwa harus dikurung. Riset partisipan II percaya
gangguan jiwa dari penyakit keturunan, tidak percaya gangguan
jiwa karena kekuatan spiritual, tidak percaya karena kutukan,
percaya dirasuki setan dan pasien dengan gangguan jiwa harus
diikat dan dikurung. Riset partisipan III tidak percaya karena
penyakit keturunan, dirasuki setan, dikutuk, percaya karena
kekuatan spiritual dan pasien dengan gangguan jiwa harus
dikurung tetapi ada pantas dan tidak. Pantas bagi pasien dengan
gangguan jiwa karena ribut dan tidak pantas bagi pasien hanya
diam. Riset partisipan IV percaya karena penyakit keturunan,
kekuatan spiritual, kutukan, tidak percaya karena dirasuki setan dan
pasien dengan gangguan jiwa pantas untuk dikurung. Riset
partisipan V percaya karena penyakit keturunan, kekuatan spiritual,
dikutuk dan pasien dengan gangguan jiwa harus dikurung. Riset
partisipan VI tidak percaya karena penyakit keturunan kekuatan
spiritual, dirasuki makluk alus/setan, kutukan dan tidak pantas
dikurung. Riset partisipan VII bila melihat pasien dengan gangguan
jiwa menimbuk dengan batu. Tidak percaya karena penyakit
keturunan, percaya karena kekuatan spiritual, dan dirasuki makluk
halus.
Ada dua teori yang melatarbelakangi pembentukan stigma
yaitu teori demonologi dan teori labelling.
a. Teori Demonologi
Teori ini menyebutkan bahwa gangguan jiwa disebabkan
oleh unsur-unsur gaib seperti setan, roh jahat atau sebagai hasil
perbuatan dukun jahat. Ada dua type gangguan jiwa. Pertama, tipe
gangguan jiwa yang jahat, yakni gangguan jiwa yang dianggap
berbahaya,bisa merugikan dan membunuh orang lain. Kedua, tipe
gangguan jiwa yang baik. Di dalam tipe ini epilepsi (ayam) dianggap
sebagai ‗penyakit suci‘ dan karena anggapan ini pula beberapa
diantara bekas penderita epilepsi ini diperkenankan memberikan
pengobatan kepada pasien melaui doa, sembahyang dan
penebusan dosa.
Teori demonologi ini merupakan landasan yang digunakan
untuk menjelaskan sebab terjadinya abnormalitas pada pola
perilaku manusia yang dikaitkan dengan pengaruh supranatural
atau hal-hal gaib yang dikenal dengan model demonologi
(demonological model).
Model demonologi ini diklasifikasi mengenai etiologi
penyakit yang didasarkan kepada kepercayaan hampir selalu ada
dalam semua sistem kesehatan masyarakat, dikenal etiologi
personalistik yakni keadaan sakit dipandang sebagai sebab adanya
campur tangan agen (perantara) seperti makhlukhalus, jin, setan,
atau roh-roh tertentu. Etiologi ini digunakan untuk membedakan
kepercayaan mengenai penyakit yang ditimbulkan oleh adanya
gangguan sistem dalam tubuh manusia yang disebabkan oleh
kesalahan mengkonsumsi makanan, pengaruh lingkungan,
kebiasaan hidup atau yang dikenal dengan etiologi naturalistik.
(Kartini Kartono, 2003)
b. Teori Labelling
Teori ini pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama,
orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak
menyimpang, tergantung pada bagaimana orang lain (orang tua,
keluarga dan masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh
kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain
tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk kedalam
kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan :
residual) otomatis akan dianggap menyimpang, karena itulah orang
bisa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak
―aneh‖ pada suat tempat atau masa tertentu. Kedua, penilaian itu
berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini
dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat beberapa tahun kemudian
atau sebaliknya.
Para ahli teori sosial-budaya juga berpendapat bahwa
apabila labelling ―penyakit mental‖ digunakan maka sulitt sekali
menghilangkannya. Labelling juga mempengaruhi bagaimana orang
lain memberikan respon kepada orang itu dengan sebutan ―sakit
mental‖ maka orang lain memberikan stigmatisasi sosial kepada
orang. Peluang kerja tertutup,persahabatan mungkin putus dan
orang yang sakit mental makin lama makin diasingkan oleh
masyarakat. (Yustinus, 2006).
4.4.1 Tabel Ringkasan
NO Riset
Partisipan
Pengaruh
Stigma
Pengaruh
Kebudayaan
Teori
Demonological
Teori
Labelling
1 Ibu N Pemberian cap
pada pasien
dengan
gangguan jiwa
dan selalu
memutar arah jika
melihat pasien
dengan
gangguan jiwa
Percaya gangguan
jiwa karena
kekuatan spiritual,
dirasuki makluk
halus, kutukan dan
pasien pantas
dikurung.
.
2 Ny. S Pemberian cap
tidak baik pada
pasien dengan
Percaya gangguan
jiwa karena
kerasukan makluk
gangguan jiwa. halus, pasien
merupakan sampah
sosial dan pasien
gangguan jiwa
pantas dikurung dan
diikat
-
3 Tn T Pemberian cap
dan jika melihat
pasien dengan
gangguan jiwa
langsung
menghindar
Tn T. Mempercayai
gangguan jiwa
disebabkan karena
kekuatan spiritual
dan pasien dengan
gangguan jiwa ada
yang pantas dan
tidak untuk dikurung.
4 Tn N Pemberian cap,
tidak menyukai
Gangguan jiwa
termasuk penyakit
pasien karena
bau,dan takut
dengan pasien
dengan
gangguan jiwa.
keturunan.
Penyebab
gangguann jiwa
kekuatan spiritual
dan kutukan. Pasien
pantas dikurung
5 N Pemberian cap
negatif, selalu
menghindar dan
tidak menyukai
pasien dengan
gangguan jiwa.
N mengatakan
gangguan jiwa
karena penyakit
keturunan, kekuatan
spiritual dan kutukan
. Pasien dengan
gangguan jiwa
dikurung seusai
dengan kondisi bila
ribut dikurung dan
-
dikeluarkan bila
tenang.
6 Ny V Tidak
memberikan cap
pada pasien
dengan
gangguan jiwa.
Tetapi selalu
menghindar,
karena pasien
asik dengan
tingkah laku
mereka
Acuh, karena
kasar, tidak
Tidak memandang
gangguan jiwa
karena kekuatan
spiritual,penyakit
keturunan, kutukan
dan dirasuki makluk
halus.
Perilaku abnormal
dari pasien dengan
gangguan jiwa.
-
sopan dan tidak
memakai baju
7 D Memberikan cap
negatif dan takut
dipegang pasien
gangguan jiwa.
Menghindar dari
pasien dan bila
pasien mendekat
menimbuk pasien
dengan batu.
Gangguan jiwa
karena kekuatan
spiritual dan dirasuki
makluk halus
-
4.4.2 Analisis Teori Demonological, Teori Labelling dan
Konsep Mengamuk
Teori Demonological :
Dari ketujuh riset partisipan, riset partisipan pertama,
kedua, ketiga, keempat, kelima dan ketujuh masuk dalam kategori
teori demonological karena mereka mengatakan gangguan jiwa
disebabkan oleh unsur gaib. Kurangnya pengetahuan tentang
penyebab gangguan jiwa membuat masyarakat lebih mempercayai
karena adanya unsur gaib.
Teori Labelling :
Dari ketujuh riset partisipan, riset partisipan pertama,
ketiga, keempat dan keenam masuk dalam kategori teori labelling
mereka mengukur pasien dengan gangguan jiwa karena sikap
abnormal atau tidak normal. Penilaian ini karena sudah melekat
dalam pemikiran mereka bahwa pasien dengan gangguan jiwa
melakukan hal – hal yang aneh atau diluar batas wajar.
Konsep Mengamuk :
Perubahan lingkungan psikologis dapat terjadi sebagai
akibat dari perubahan dalam sistem tegangan pribadi, sebagai
akibat perubahan pola berpikir. Perubahan struktur berpikir terjadi
jika pribadi menemukan cara baru untuk memecahkan masalah,
ingat akan sesuatu yang telah dilupakan, atau mempersepsikan
lebih tinggi. Seseorang tidak lagi mampu menahan tekanan
terhadap dirinya, maka energi akan segera pecah menjadi
motorium yang akan menimbulkan tingkah laku yang tak terkendali.
Ini menggambarkan apa yang terjadi ketika orang mengamuk atau
naik pitam (Calvin & Gardner 2000). Sikap dari riset partisipan
ketujuh yang menimbuk pasien dengan batu.