bab iv gambaran umum wilayah penelitian 4.1 desa …
TRANSCRIPT
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Desa Tonusu
Tempat penelitian penulis merupakan salah satu bagian dari wilayah Desa Tonusu.
Desa Tonusu sendiri menurut data sekunder yang diperoleh dari pemerintah Desa Tonusu
merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Pamona Puselemba. Adapun luas
wilayah Desa ini 10.000 Km2 terbagi atas kawasan hutan 7000 km2 dan kawasan non
hutan 3000 km2. Desa ini dalam rinciannya berbatasan dengan beberapa wilayah yang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan Negara
2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mayakeli
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Danau Poso
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Leboni
Desa ini memiliki jumlah penduduk 1640 orang atau 394 kepala keluarga, dari
jumlah penduduk 127 kepala keluarga masuk kategori warga miskin. Berdasarkan
cacatan sejarah dari arsip di kantor Desa Tonusu, dijelaskan pula bahwa Desa Tonusu
pada tahun 1941 merupakan tempat atau lokasi menangkap ikan dan kelelawar,
dahulunya wilayah ini dinamakan Suolemba. Pada tahun 1949 kepala distrik Bapak
Malindo kemudian mencetuskan ide membuat pemukiman baru di wilayah terebut,
Beliaupun mengajak sekitar 30 kepala keluarga dari Desa Sangira untuk bermukim di
wilayah ini. Pemukiman baru tersebut bernama palindo ndaya yang dikepalai oleh Bapak
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Duda dan Bapak Dewi. Selain mendatangkan penduduk dari Desa Sangira Bapak
Malindo juga mengajak kelompok masyarakat dari daerah Sangele (sekarang kota kecil
Tentena) dan Taipa lalu membentuk pemukiman bernama Suo Lemba dan dikepalai oleh
Bapak Pasoa. Ditahun 1950 Bapak Malindo kemudian mengabungkan kedua pemukiman
ini sehingga membentuk satu desa baru di daerah Suo lemba.
Dalam perkembangan pemerintahannya Desa Tonusu Mengalami beberapa
pergantian kepala Desa diawali tahun 1951 Desa tersebut dipimpin oleh Bapak Dewi,
tahun 1952 oleh Bapak Moento, tahun 1953 oleh Bapak Tabasi, tahun 1957 oleh Bapak
Mojanggo. Pada tahun 1957-1958 muncul gerakan pemuda Sulawesi tengah (GPST)
yang diketuai oleh Bapak Bungkundapu dan menggerakan masyarakat untuk
membersihkan daerah pinggiran danau Poso untuk dijadikan perkampungan. Kejadian ini
secara tidak langsung memaksa penduduk desa di Suo Lemba mengadakan migrasi.
Peristiwa ini dikenal dengan istilah perpindahan dari Kampung Tua atau lama, ke
Kampung Baru yang terjadi sekitar tahun 1959 sampai tahun 1960.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Gambar2. Denah Desa Tonusu dan Kampungudang
Dalam perkembangannya Desa Suolemba kemudian berganti nama menjadi Desa
Tonusu, dalam hal ini meskipun tidak ada data yang akurat tentang alasan mengapa desa
ini mengalami pergantian nama akan tetapi berdasarkan catatan arsip desa yang menjadi
ajuan penulis dijelaskan bahwa Tonusu memiliki makna yang kuat yaitu To (tau / orang)
dan Nusu (wuku usu/ tulang rusuk). Tonusu itu sendiri oleh salah seorang tokoh
masyarakat bernama Bapak Tabasi diartikan sebagai “ perkumpulan orang dari berbagai
tempat yang dibangun atas dasar saling membutuhkan”.
4.2 Peralihan kelompok kerja (partei) menjadi usaha simpan pinjam (USP)
Untuk memahami proses peralihan kelompok kerja menjadi usaha simpan pinjam
maka dijabarkan pemaparan sebagai berikut
4.2.1 Sombori
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Dalam kehidupan masyarakat Poso ( to pamona) mula-mula kumpulan komunitas
terdiri atas kelompok kelompok kecil yang hidup dalam rumah besar yang disebut
sombori, dalam pemahamannya sombori secara umum dimaknai sebagai keluarga, akan
tetapi keluarga yang dimaksudkan dalam tulisan ini memiliki pemahaman yang lebih luas
karena dalam suatu sombori (rumah besar) terdiri atas 8-10 sombori-sombori (keluarga-
keluarga). Biasanya sombori-sombori yang dimaksudkan masih memiliki ikatan keluarga.
Setiap satu sombori (rumah besar) memiliki seorang kepala keluarga yang dituakan, diera
sebelum zending sebuah sombori dikepalai seorang pemimpin (kabose). Dengan kata
lain makna sombori pada tulisan ini dapat berarti persatuan, keluarga besar, atau rumah.
Sombori sebagai rumah besar umumnya berbentuk rumah persegi panjang, rumah ini
memiliki 4-5 ruas dimana setiap ruas diisi oleh 1 sombori, jadi misalnya rumah yang
memiliki 4 ruas didiami 7-8 sombori.
Gambar 3: Model rumah besar atau Sombori1)
1 Foto diambil dari (1) http://koprol.zenfs.com/system/mugshots/0167/6208/fdp.jpg (2)http://simurudotcom.blogspot.com/2009/07/chapter-6-perjuangan-antara-terang-dan.html
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Selanjutnya setiap ruas pada sebuah rumah besar dipisahkan oleh gang kecil di
dalam rumah yang disebut jara-jara. Jara-jara ini memiliki dua fungsi utama yakni
tempat aktifitas utama di dalam rumah tersebut dan sebagai tempat untuk rapat atau
pertemuan membicarakan seluruh kegiatan dari yang bersifat ekonomi, pertanian,
politik,sosial dan lain sebagainnya.
Akan tetapi masuknya pengaruh Zending (penginjil Belanda) kemudian secara
perlahan-lahan menghilangkan tradisi hidup di dalam rumah besar, Salah satu Zending
yang sangat terkenal bernama Albert C Kruyt menjelaskan bahwa alasan perlarangan
tatacara hidup to pamona dirumah besar dikarenakan A.Kruyt tidak sependapat dengan
tradisi ana mayunu. Ana mayunu merupakan istilah budak dari seorang kabose yang ada
di dalam sebuah rumah besar, jika seorang kabose meninggal dunia maka ana
mayununyapun harus mengikutinya dengan cara dikubur hidup-hidup atau dipacung.
Bahkan dalam catatan Papa I wunte yang ditulis oleh A.Kruyt dijelaskan bahwa beliau
sebagai salah satu kabose memimpin anak buahnya untuk mencari kepala manusia
(memburu kepala) yang akan diletakkan bersama salah satu keluarganya yang meninggal
dunia, dengan asumsi semakin banyak kepala yang diperoleh maka semakin banyak
budak yang akan melayani keluarga yang meninggal tersebut di alam roh.
Pada penjelasan lain Menurut Ibu Pelia sombori mengacu pada definisi bahasa
Indonesia yaitu keluarga, dalam sombori dicontohkan bahwa rumah tempat beliau dan
almarhum suaminya tinggal saat ini sudah menciptakan banyak sombori. Bahkan anak
terakhir yang menempati rumah tersebut sebagai bagian dari pewarisan menghasilkan
satu sombori. Lebih jauh dipaparkan bahwa ketika rumah itu sudah ditempati oleh anak
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
terakhir bersama suami dan anak-anaknya menjadi satu sombori, maka secara tradisi Ibu
Pelia kehilangan somborinya bersama suami dirumah tersebut. Hilangnya sombori dari
Ibu Pelia di rumah dikarenakan sebagai orang tua ia tidak bertanggungjawab menafhkai
keluarga dari anak terakhirnya. Bahkan dari kenangan cerita masyarakat mula-mula yang
didengar oleh Ibu Pelia dari tetua dikampungnya, dahulu sebuah tempat menetap (salah
satu wilayah disekitar tempat penelitian) yang saat ini menjadi sebuah perkampungan
besar, ditempati oleh 5-6 rumah besar. Dimana 1 rumah besar terdiri dari satu sombori
utama yang melahirkan anak-anak yang kemudian menghasilkan sombori-sombori baru
di dalam rumah tersebut. Penjelasan ini didukung oleh Bapak Ito yang merupakan tetua
adat Desa Tonusu. Menurutnya dahulu sebelum menjadi perkampungan wilayah Desa
Tonusu dan Desa Leboni hanya memiliki 2 tempat pemukiman, dimana setiap
pemukiman terdiri dari 2 – 3 rumah besar. Adapun alasan mereka berkumpul bersama
dalam satu pemukiman untuk memudahkan mengkoordinir anggota kelompoknya.
4.2.2 Mo sintuwu / Po sintuwu
Bagi komunitas Masyarakat Pamona mo sintuwu dan po sintuwu merupakan dua
istilah yang sangat familiar. Mo sintuwu dimaknai sebagai aktifitas melakukan sintuwu
sedangkan po sintuwu itu sendiri dimaknai sebagai nilai dari wujud apa yang dilakukan
dalam aktifitas sintuwu. Menurut J. Kruyt2) dalam Depdikbud (1978), Sintuwu dipahami
2 Dalam tulisan Henley (2005: 47) penulis memperoleh informasi bahwa J.Kruyt juga dikenal dengan nama JanKruyt merupakan anak dari Albert C Kruyt
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
sebagai suatu pola kehidupan bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama,
mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan. Sintuwu
selanjutnya diwujudkan dalam tindakan metulung atau saling memberi bantuan tenaga.
Ungkapan metulung kemudian dapat dilihat melalui kebiasaan mesale. Di Kabupaten
Poso sendiri istilah Sintuwu dijadikan sebagai sebuah jargon politis untuk menyatukan
orang-orang pamona dengan istilah tuwu malinuwu, tuwu siwagi, Sintuwu maroso.
Makna jargon ini intinya mengandung makna persatuan seperti yang tertuang dalam
semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika.
4.2.3 Po sintuwu
Berdasarkan penjelasan Bapak Bou Mulanya segala bentuk po sintuwu tidak
tertulis seperti saat ini (buku po sintuwu) karena pada saat itu belum dikenal alat tulis
sederhana seperti kertas dan tinta oleh kebanyakan Masyarakat Pamona. Akan tetapi
sejak masuknya pengaruh Belanda melalui zendingnya pada ditahun 1945 beberapa
kelompok masyarakat dari golongan Kabose sudah membuat pencatatan-pencatatan3)
yang saat ini dikenal dengan nama buku po sintuwu. Hal ini kemudian memperkuat
penjelasan Bapak Buloko bahwa dalam tradisi po sintuwu berlaku suatu nilai yang sangat
mempengaruhi atau membelenggu4) kehidupan Masyarakat Pamona, khususnya mereka
3 Ibu penulis sendiri lahir di tahun 1957 menjelaskan bahwa pada tahun 1962 sekolah dasar pada masa itu masihmenerapkan sistim “tulis-hapus” pada sebuah batu. Zaman ini dikenal dengan istilah gerepu (batu tulis).4 Setiap nama dalam buku po sintuwu merupakan jaminan sekaligus hutang yang harus dibayar dikemudian harijika orang yang berada dalam cacatatan tersebut melakukan hajatan. Besaran nilai Po sintuwu yang diberikan
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
yang masih tinggal di pedesaan. Karena jika orang tersebut melanggar maka ia akan
mendapatkan sangsi sosial baik secara fisik maupun mental. Lebih lanjut dikatakan oleh
Bapak Bou bahwa besarnya pengaruh po sintuwu dalam kehidupan bermasyarakat
dipengaruhi oleh status sosial seseorang, Sebagai contoh pada orang yang status
sosialnya tinggi akan banyak orang yang berpo sintuwu dan sebaliknya, Alasan ini secara
rasional menurut penulis dimungkinkan terjadi karena orang dengan status sosial tinggi
cenderung selalu terlibat dalam aktifitas mo sintuwu baik atas dorongan personal maupun
atas dasar ajakan dari relasinya.
Adapun gambaran nominal po sintuwu secara materi dideskripsikan Ibu Mora
sebagai berikut; Umumnya po sintuwu diberikan dalam bentuk beras berkisar 3 sampai 5
Kg, Uang Rp 20.000 dan seringkali dengan menyumbangkan tenaga fisik. Selanjutnya
pada keluarga dekat yang masih memiliki ikatan sombori biasanya memberikan nominal
po sintuwu yang lebih besar berubah uang berkisar diatara Rp100.000 sampai Rp
250.000, dalam kondisi tertentu terkadang beberapa anggota keluarga memberikan 1
karung beras sedangkan untuk lauk jamuan makan bersama seperti babi atau sapi
biasanya anggota keluarga melakukan patungan uang untuk pengadaannya.
Pada penjelasan lain po sintuwu sebagai bentuk bantuan tenaga tergambarkan
melalui penuturan Papa Bou sebagai berikut. Saat pernikahannya (28 juli 1979)
diceritakan bahwa sebagian besar rumah pemukiman yang saat ini bernama Desa Tonusu
terbuat dari kayu dan umumnya berbentuk panggung. Pada masa tersebut segala bentuk
disesuaikan dengan perkembangan jaman. Jadi Rp 100 pada tahun 60an mungkin akan sama dengan Rp 1jt ditahun2000an.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
alas baik untuk tidur, untuk duduk hanya menggunakan ali atau sejenis tikar yang
dianyam dari sejenis daun pandan tertentu yang mudah ditemui disekitar lokasi
pemukiman. Bahkan untuk penyajian jamuan seperti kue dan nasi untuk tamu undangan,
tuan pesta tidak terlalu direpotkan karena setiap keluarga di desa tersebut menyiapkan
kue dan beberapa diataranya menyiapkan nasi yang kemudian dikumpulkan ke tuan pesta
yang selanjutnya dibagikan kembali ke tamu undangan yang sebagaian besar adalah
warga desa itu sendiri. Meskipun tradisi seperti ini sudah jarang ditemui di dalam
masyarakat akan tetapi pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti seperti perayaan natal
kelompok atau perpisahan tahun tradisi ini masih dilakukan. Papa Bou juga
mengambarkan bahwa pada masa itu akses jalan darat sudah menghubungkan Desa
Tonusu dengan desa desa lain akan tetapi ketiadaan transportasi darat dan dukungan jalan
yang memadai membuat masyarakat memilih jalur transportasi air dengan menggunakan
sejenis perahu dayung yang disebut duanga, sedangkan untuk transportasi moderennya
menggunakan perahu bermesin yang dikenal dengan istilah katinting.
Gambar 4 : Foto perahu bermotor atau katinting
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Selain itu pada masa “terisolasi” oleh alam pengaruh kebudayaan luar juga
mempengaruhi tradisi pernikahan itu sendiri. Salah satu contohnya adalah penambahan
syarat untuk pernikahan yang tidak masuk dalam tradisi perkawinan asli Suku Pamona
sampapitu5) seperti pengadaan langka atau dipan dan lemari pakaian. Dalam kasus
pernikahan Papa Bou pengadaan syarat tambahan ditanggung secara kolektif dari
beberapa keluarganya (sombori) dari beberapa tempat / desa.
Meskipun tradisi po sintuwu sangat kuat akan tetapi bukan berarti tidak ada yang
berani melanggarnya. Pada wujud tindakan jenis pelanggaran po sintuwu yang umumnya
dikenal yaitu to polinoro. Akan tetapi menurut Papa Bou sebenarnya definisi orang yang
malas berpo sintuwu dan molinoro itu berbeda akan tetapi sikap atau perilaku keduanya
sama-sama tidak disukai oleh masyarakat. Pada konteks orang yang malas berpo sintuwu
dicontohkan sebagai berikut; ketika seseorang individu diajak6) untuk membantu
pekerjaan disebuah pesta kemudian individu tersebut mengiyakan, namun pada saat
bekerja ia tidak datang membantu bahkan pada kasus tertentu si individu bersikap acuh
tak acuh dengan ajakan individu lain maupun kelompok komunitas. Pada konteks
molinoro pelanggaran secara spesifik terjadi ditempat individu yang sedang membuat
sebuah pesta.
Seseorang yang disebut to polinoro akan datang membantu mengolah hewan
untuk dikonsumsi pada saat pesta baik dalam kegiatan memasak, memotong daging dan
sebagainya, namun dalam aktifitasnya mereka yang disebut to polinoro akan
5 7 jenis peralatan seperti piring, sarung, alat pertanian,dan tikar yang digunakan untuk keperluan sehari-hariuntuk bekerja diladang dan untuk keperluan memasak di dapur6 Dalam bahasa pamona kata diajak bisa mengacu pada istilah mesale ataupun mewalo
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
menyisihkan sebagian dari hasil olahan bahan makanan tersebut menjadi milik mereka.
Perilaku ini biasanya tersamarkan namun ada pula yang melakukannya secara terang-
terangan, adapun alasan dari mereka yang disebut to polinoro yakni untuk mengganti
upah lelah bekerja. Perilaku ini kadangkala menyebabkan tuan pesta sering kewalahan
menjamu tamu yang tidak kebagian lauk pada saat jamuan makan. Dalam wawancara
yang lain Ibu Pelia juga mendeskripsikan definisi orang yang malas berpo sintuwu
dijelaskan dalam sebuah kalimat petikan wawancara demikian “ ku kita mo i anu podo
mancoko koro….” Kalimat ini bila diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut
“sudah kulihat orang yang hanya berpangku tangan…) dari petikan wawancara ini dapat
juga dipahami bahwa orang yang malas berpo sintuwu adalah orang yang datang kesuatu
acara hanya menjadi penonton saja.
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis kemudian menyimpulkan yang dimaksud
dengan penyimpangan dalam tradisi po sintuwu adalah gambaran karakter individu dalam
sebuah kelompok komunitas yang egois, kurang berempati, atau pada kasus lain dapat
menjadi seorang yang antisosial. Pada kasus lain pelanggaran po sintuwu lebih
dikarenakan pengaruh budaya perkotaan yang cenderung individualis serta desakan
kebutuhan ekonomi yang memaksa seorang untuk mendahulukan memenuhi kebutuhan
pribadi dan mengesampingkan kepentingan kolektif (sosial).
4.2.4 Mesale dan mewalo
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
Sebagai produk dari nilai po Sintuwu maka perlu jabarkan hal-hal mengenai kedua
defenisi dari tradisi tersebut yakni
4.2.4.1 Pebedaan definisi Mesale dan mewalo
Pai nu pesale danaka njo’u anu mewalo pai nu pewalo danaka re’e ma’i ri
siko…maka sa’e ane na to’o yaku beda njo’u ri njau..benda walo yaku…paikanya ua
darayanya mawalo siko, jela ri siko. terPapasa ncetu, mesale si’anya da njou danu
sawani. (…dan kerena anda mesale agar orang datang mewalo…dan atau karena anda
mewalo agar ada orang yang datang membantu…misalnya seseorang mengatakan saya
tidak pergi kesitu (orang tertentu) karena saya tidak diwalo (mengacu pada kata mewalo)
…akan tetapi karena (dalam kasus lain) ia darayanya7) mewalo anda, maka seseorang itu
akan datang pada anda. Sehingga jika ia mesale anda harus datang bekerja kepadanya.
Sebenarnya dari kutipan wawancara dengan Ibu Pelia khususnya pada kalimat Pai
nu pesale danaka njo’u anu mewalo pai nu pe mewalo danaka re’e ma’i ri siko sudah
sangat jelas perbedaan definisi mesale dan mewalo. Disini mesale dan mewalo
merupakan satu kesatuan dari konsep mesale artinya dalam kata mesale yang dipahami
oleh Suku Pamona mengandung kata mesale itu sendiri dan mewalo. Seperti yang sudah
dipaparkan pada penjelasan sebelumnya mesale memiliki 2 kemungkinan A?2B artinya
A membantu B dimana B tidak harus membantu A karena yang dilakukan A adalah suatu
bentuk keiklasan atau A?"B artinya A membantu B karena A juga membutuhkan B atau
7 Darayanya dalam bahasa pamona dimaknai sebagai sesuatu yang diinginkan, dalam konteks kalimat darayanyamewalo dilakukan oleh orang yang menginginkan jasa seseorang yang dianggap mampu mendukung pekerjaannya.Mendukung pekerjaan yang dimaksudkan disini adalah kelebihan (biasanya fisik) yang dimiliki seseorang yangdimaksud untuk mengerjakan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan sendiri di sawah atau ladang.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dengan kata lain konsep masele memiliki makna yang sangat luas dengan pengertian
yang tidak konsisten. sedangkan pada mewalo definisinya sangat konsisten A?½B.
Kenyataan ini kemudian mendorong penulis untuk menanyakan konsep arisan,
menurut Ibu Pelia antara arisan dan mesale terdapat perbedaan yang mencolok jika pada
arisan aktifitas pekerjaan seseorang disuatu tempat kerja dapat digantikan oleh material
dan juga uang. Dalam hal ini seorang yang sedang mendapat jatah arisan memiliki hak
menentukan apa yang dibutuhkan sebagai contoh karena Ibu Pelia sudah tua secara fisik
dan tidak mampu lagi melakukan pekerjaan maka orang yang kebetulan pada saat itu
sedang mendapat jatah arisan dimana Ibu Pelia menjadi salah satu anggota arisan hanya
akan meminta material atau uang kepada Ibu Pelia tanpa harus bekerja. Sedangkan pada
mesale yang dibutuhkan adalah tenaga seseorang. Penjelasan ini bagi penulis sangat
penting karena selama ini definisi mesale selalu diidentikan dengan kata arisan. Dari
pemaparan tersebut tampaknya penulis sependapat dengan Ibu Pelia bahwa mesale tidak
sama dengan arisan akan tetapi arisan mungkin hampir sama dengan mewalo. Selain itu
penjasan Ibu Pelia memberikan sebuah pemikiran bahwa pada masa mudanya kondisi
mesale dan arisan didominasi oleh kegiatan mesale atau pada kasus lain kondisi mesale
dan arisan berada pada titik keseimbangan. Sebab pada saat itu kondisi masih mendukung
sebab jumlah penduduk relatif sedikit, ladang yang luas, belum adanya teknologi
pertanian modern dan jumlah uang relatif sedikit dengan kebutuhan8) masyarakat yang
yang cenderung tidak berfariatif. Akan tetapi saat ini (Ibu Pelia sudah tua) kondisi mesale
dan arisan cenderung didominasi oleh arisan. Atau dengan kata lain nilai mesale
8 Biasanya kebutuhan yang harus dibeli hanya seputar kebutuhan dapur seperti garam.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
mengalami degradasi pemaknaan karena konsep mesale yang dipahami orang-orang saat
ini hanya sebatas mewalo bukan lagi mesale kondisi ini dimungkinkan terjadi karena
jenis pekerjaan menjadi semakin bervariasi, ditambah lagi masuknya teknologi pertanian
atau perladangan modern yang memungkinkan pengolahan yang tadinya membutuhkan
banyak tenaga menjadi hanya beberapa orang saja. Selain itu pertambahan penduduk
dengan kondisi tanah sawah yang tidak seluas kondisi mula-mula memaksa para ahli
waris (penduduk yang hidup saat ini) melakukan mekanisasi pertanian seperti tindakan
intensifikasi pertanian untuk pertumbuhan padi yang identik dengan membeli produk-
produk seperti pupuk dan obat-obatan yang menunjang program intesifikasi tadi. Hal ini
juga berlaku pada jenis tanaman ladang yang umumnya bersifat tahunan9) dimana
keuntungan hasil tanaman bukan untuk dimakan melainkan untuk dijual.
4.2.4.2 Mesale dalam kelompok kerja
Menurut hasil wawancara penulis dengan beberapa informan ditemukan sebuah
rangkaian peristiwa yang membawa tradisi mesale kesebuah tindakan organisasi dalam
bekerja. Awal mulanya kegiatan mesale merupakan aktifitas sosial yang berorientasi pada
pertanian dan perkebunan yang terjadi diantara satu rumah besar dengan rumah besar
lainnya dalam suatu pemukiman. Aktifitas ini kemudian dikenal dengan isitilah meroro.
Meroro dapat dipahami sebagai kegiatan mesale dalam skala besar dengan melibatkan
seluruh penduduk disuatu pemukiman atau desa, tujuan utama dari meroro ini biasanya
untuk pekerjaan-pekerjaan berat dan dengan area kerja yang luas misalnya membuka
hutan untuk wilayah perkebunan. Kegiatan meroro terpaksa dilaksanakan karena sebuah
9 Jenis tanaman Coklat (cacao), Cengkeh, Vanili dan lain sebagainya.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
sombori tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut seperti terlihat pada gambar
berikut ini
Baik tradisi mesale atau meroro setiap anggota sub sombori dalam suatu sombori
(rumah besar) harus bekerja atau memiliki perwakilan utusan yang mengatasnamakan sub
sombori masing-masing. Perwakilan-perwakilan sub kemudian dikoordinir oleh seorang
tadulako (pemimpin) yang biasanya berasal dari sub sombori dengan latarbelakang
kabose. Pada tradisi meroro setiap tadulako dari masing-masing sombori rumah besar
akan mengikuti instruksi dari kepala suku, atau kepala desa dipemukiman yang kemudian
diteruskan pada anggota anggota sub masing-masing.
Pada akhir tahun 60an atau awal tahun 70an istilah mesale sebagai sebuah aktifitas
kerja berubah nama menjadi paratei. Perbedaan paratei dan mesale dilihat dari
pelakunya. Jika pada kelompok mesale pekerja sebagian besar adalah orang-orang
dewasa yang kuat atau merupakan perwakilan terbaik dari suatu sub sombori dengan
jenis pekerjaan perkebunan dan padi ladang, selain itu umumnya aktifitas pekerjaan pada
mesale mula-mula bersifat sukarela. Pada kelompok paratei setiap anggota dari sub
sombori memiliki dapat berpartisipasi dalam pekerjaan dibidang pertanian. Anggota-
anggota kelompoknya tidak harus berasal dari satu sombori besar, atau dengan kata lain
anggota dari sub sombori A dapat bergabung dengan anggota sub sombori B,C,D dan
seterusnya. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena dua hal: Pertama, tradisi kabose
telah dihapus dari sombori rumah besar sehingga anggota sub sombori bebas melakukan
hubungan kerja dengan anggota sub sombori lain tanpa harus meminta ijin dari kabose.
Kedua, Mekanisasi pertanian menyebabkan muncul lapangan kerja baru misalnya jenis
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
tanaman yang dahulunya hanya berpusat pada tanaman padi ladang bertambah dengan
hadirnya jenis tanaman padi sawah.
Karena pertumbuhan penduduk semakin meningkat menyebabkan kondisi hidup
disatu rumah besar tidak dimungkinkan lagi. Akibatnya sub-sub sombori dari suatu
rumah besar memilih untuk berpisah dari induk somborinya membentuk sombori baru.
Akan tetapi lokasi sombori-sombori baru cenderung berdekatan dengan sombori induk.
Sub-sub sombori inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya dusun-dusun disebuah
perkampungan di dalam masyarakat Suku Pamona mula-mula dan umumnya suatu dusun
didominasi oleh satu atau dua sombori besar. Akan tetapi dalam perkembangannya nilai-
nilai khas dalam mo sintuwu mengalami “pemudaran” seiring dengan masuknya nilai-
nilai baru yang dibawah oleh pihak luar seperti Gereja, LSM, dan Negara.
Masuknya pengaruh Gereja khususnya Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
menyebabkan individu-individu dari sombori-sombori disuatu dusun diklasifikasikan
menjadi kelompok pelayanan Gereja. Di Desa Tonusu sendiri pasca perpindahan dari
kampung tua ke kampung baru (Desa Tonusu saat ini) pada tahun 80an sudah memiliki 3
lokasi pelayanan Gereja. Dimana lokasi penelitian penulis saat ini dahulunya masuk
dalam kelompok pelayanan 1. Selain pengaruh Gereja kebijakan pemerintahan pusat
menyebabkan kelompok pelayanan juga disebut rukun tetangga (RT). Bahkan masuknya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga turun menambah jenis nama dari RT,
misalnya kelompok bangun pagi, kelompok binaan dan lain lain.
Selain menambah ragam nama dari kelompok komunitas sub-sub sombori yang
memisahkan diri dari induk sombori sebelumnya, rupanya LSM turut mempengaruhi
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
aktifitas pekerjaan dimana yang dahulunya hanya seputar pekerjaan bersifat fisik,
berubah menjadi pekerjaan yang lebih terorganisasi misalnya munculnya kegiatan usaha
bersama (UB) dengan basis memberdayakan anggota kelompoknya, baik melalui
ketrampilan pengelolaan sistim pertanian dan pemukiman maupun pengenalan cara
memberdayakan uang dengan metode usaha simpan pinjam, bahkan Desa Tonusu sendiri
pihak LSM YAKKUM pernah mengirim 4 stakeholder dari desa tersebut untuk
mengadakan pelatihan langsung di Solo, Jawa tengah pada tahun 1970an
Usaha simpan pinjam itu sendiri dalam perkembangannya menjadi beberapa nama
seperti Kelompok Simpan Pinjam (KSP) yang menjadi obyek amatan penelitian. Bahkan
KSP itu sendiri berganti nama menjadi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) setelah memiliki
badan hukum.
4.2.4.3 Nilai / Norma masyarakat pedesaan dan cikal bakal KSP
Salah satu ciri khas produk kebudayaan yang membedakan Suku Pamona dengan
kebudayaan suku lain di Indonesia adalah Suku Pamona tidak mengenal budaya tulis
melainkan budaya lisan. Kondisi ini menyebabkan ketika terjadi pergolakan dalam
aktifitas sosial masyarakat memunculkan ragam nilai dan norma dalam bentuk istilah-
istilah lokal dengan pemaknaan yang terkadang sama, mengalami perluasan atau
penyempitan makna dan atau bahkan mengalami ketidakkonsistenan pemaknaan.
Menyadari hal tersebut maka dalam tulisan ini khususnya mengenai mesale penulis
memaknainya sebagai berikut; dalam mesale terdapat mewalo akan tetapi mewalo tidak
dapat disamakan dengan mesale. Hal ini dikarenakan mesale mengacu pada konsep sosial
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
budaya take and give sedangkan pada mewalo mengacu pada konsep sosial ekonomi cost
and benefit
Perkembangan nilai dan norma inilah yang mengawasi aktifitas masyarakat yang
semakin majemuk akibat mekanisasi pertanian dimana pekerjaan yang dahulunya bersifat
sejenis dan umumnya tradisional berubah menjadi jenis-jenis pekerjaan majemuk dan
menggunakan cara pertanian moderen seperti intensifikasi pertanian pada jenis
tananaman padi. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Bapak Bou dimana ketika beliau
dalam posisinya sebagai seorang petani merasakan menipisnya nilai mesale dalam tradisi
po sintuwu disebabkan kemunculan upah atau gaji. Bahkan Bapak Bou sendiri memilih
sistim gaji sebagai bagian dari pertimbangan rasional. Karena menurutnya tradisi mesale
menyebabkan seorang individu yang membutuhkan pertolongan harus meroro, memberi
makan, minum, rokok dan sebagainya. Sedangkan dengan sistim upah atau gaji tidak
demikian.
Perubahan sistim reward and punishmen dalam kehidupan sosial khususnya
dibidang pertanian ini menyebabkan segala sesuatu terukur dengan uang, akibatnya
pekerjaan yang dahulunya bersifat free atas dasar keikhlasan dalam tradisi mesale jarang
sekali ditemukan disekitar wilayah penelitian. Seperti kutipan jawaban dari wawancara
dengan Ibu Pelia sebagai berikut:
“ Tulungi yaku da ndeku moapu, misalnya..ane nda to’o waincentu bena endo-
endo dana sawani. Ane wawasei romo na tulungi doi mo monggale. Karena wawasei
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
banya mo ewa owi. Owi basa manto’o bepa maria ngaya gaga anu nda oli nce’e naka
maria tau mombetulungi10)”.
(kau tolong saya membantu memasak, sebagai contoh…jika ada pernyataan seperti itu
jangan berpikir atau berharap dia (orang yang mengajak) akan mengganti tenaga atau
membayar. Saat ini ketika sudah dibantu maka setelah itu sudah uang yang bergerak
(harus dibayar!). Dahulu belum terlalu beragam kebutuhan yang harus dibayar dengan
uang itulah sebabnya kebiasaan saling membantu masih sangat kuat
Disisi lain umumnya ditempat penelitian motifasi bercocok tanam mengalami
perubahan orientasi dimana dahulu bercocok tanam digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, berubah menjadi pemenuhan kebutuhan industri. Akibatnya
jenis tanamanpun umumnya merupakan jenis tanaman yang menghasilkan produk bahan
mentah untuk industri seperti coklat dan cengkeh. Walaupun kondisinya demikian masih
ada juga aktor aktor-yang mampu mengelaborasi nilai sintuwu dengan nilai luar, salah
satunya seperti pada kutipan Ibu Pelia berikut ini
“ Maka ku epe ewa riyaku.. re’e se’e anu merapi, ri bonde ku sinjau…perapi
lemo,.pia….ane yaku ne’emo na bayari, paikanya…ane ku wai naini, si’a ma’imo
naini,… mampari ngkosika,… mewali anu ku nawa-nawa na perapi ku waika…wance’e
mo se’e…paikanya ua sima’i nda tonju mo nu anu (doi)…tidak mungkin beda ku
10 Maria tau mombetulungi yaitu suatu ungkapan bahwa banyak orang yang saling tergantung untuk salingmembantu. Dahulu kondisi ini sangat dimungkinkan terjadi karena perilaku saling mengajak (mesale) tidak dinilaidengan uang dan dilakukan secara sukarela. Kesukarelaan ini sifatnya melembaga.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
sesuaikan pai doi11 nya …jadi, ane na perapi nda wai nda gori…paikanya ane nda too
nda oli ta reke doi wawa se’i mapari mo se’e. “
(Menurut pengalaman saya (Ibu Pelia) ...sering ada yang datang dikebun ku baik
meminta lemon atau daun bawang. Secara pribadi sebenarnya tidak perlu dibayar, tapi
ketika saya sudah berikan yang diminta, ternyata orang tersebut langsung menyelipkan
sejumlah uang dikantong. Jadi pemahanan awal karena dia hanya minta saya berikan
gratis, akan tetapi karena sudah diberikan uang maka saya sesuaikan kembali
(menambah) barang sesuai dengan nilai uang. Karena saya berpikir dia susah juga
mendapatkan uang)
Kondisi-kondisi seperti inilah yang mendorong diciptakannya suatu sarana yang
mendukung mekanisasi pertanian seperti usaha-usaha simpan pinjam, koperasi, tengkulak
dan lain-lain. Bahkan menariknya dalam pengamatan penulis di sebuah KSP ditempat
penelitian, menerapkan elaborasi nilai-nilai sosial (po sintuwu) dan nilai nilai ekonomi
diataranya sebagai berikut: Pertama, Dalam upaya meningkatkan jumlah saldo kas
keuangan kelompok untuk diperpinjamkan, KSP ini mengadakan program pencarian dana
dengan cara mesale kelompok pada anggota kelompok KSP yang membutuhkan tenaga.
Mesale kelompok memiliki sedikit perbedaan dengan mesale pada tradisi Suku Pamona
yang telah dipaparkan sebelumnya, karena pada mesale kelompok hubungan yang
dibangun adalah antara kelompok dengan individu sedangkan pada mesale menurut
tradisi Suku Pamona hubungan yang dibangun adalah antara individu dengan individu.
Selebihnya model pada KSP tersebut mengambil pola mesale pada rumah besar, ini
11 Doi = dalam bahasa setempat artinya uang.
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer
dikarenakan KSP diasumsikan sebagai sombori rumah besar dan anggota anggota KSP
diasumsikan sebagai sub-sub sombori dari rumah besar itu sendiri. Kedua, meskipun
sering terjadi pelanggaran beberapa ketentuan kelompok KSP misalnya keterlambatan
mengembalikan cicilan pinjaman, pengurus kelompok tidak langsung serta-merta
menarik aset yang menjadi jaminan pada saat anggota yang bersangkutan melakukan
peminjaman. Umumnya pengurus terlebih dahulu mengunjungi, menanyakan alasan-
alasan penundaan serta mengingatkan anggota tersebut. Padahal menurut peraturannya
dalam koperasi yang telah memiliki badan hukum yang disahkan oleh Negara,
memberikan hak pada setiap pengurus koperasi untuk melakukan penarikan aset karena
pelanggaran ketentuan koperasi12).
12 Lihat pula tulisan Partomo 2008 dan Machfud 2009 tentang koperasi atau usaha berbasis simpan pinjam yangberkembangan di dalam kehidupan masyarakat ekonomi menengah kebawah
Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer