bab iv analisis kinematik - perpustakaan digital itb - … · ketinggian rata-rata : ± 6 meter...
TRANSCRIPT
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
30
BAB IV
ANALISIS KINEMATIK
Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng
batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas
yang dapat menyebabkan ketidakstabilan lereng batuan. Proses ini pada umumnya
dilakukan dengan menggunakan metode stereografi dan analisis kinematik (Piteau dan
Peckover, 1978 op cit. Hoek, 2000). Kemudian langkah selanjutnya adalah melakukan
analisis terhadap kestabilan lereng itu sendiri, berdasarkan hasil dari analisis
kinematik yang akan dilakukan secara terpisah pada bab V.
Berdasarkan hal tersebut, pada bab ini dibahas mengenai analisis kinematik yang
merupakan langkah awal dalam suatu keseluruhan proses evaluasi kestabilan lereng
batuan. Namun, sebelum kita masuk pada inti pembahasan bab ini, tahapan lainnya
yang perlu dilakukan dijabarkan pada subbab-subbab berikut ini.
4.1 Data Diskontinuitas
4.1.1 Metode Pengambilan Data Diskontinuitas
Pengamatan dan pencatatan terhadap orientasi diskontinuitas dilakukan dengan secara
sistematis dengan menggunakan metode scanline sampling. Dalam metode ini,
pencatatan atribut diskontinuitas dilakukan sepanjang garis pengamatan dengan
batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter ke bawah dari garis pengamatan.
Diskontinuitas yang dicatat dan diobservasi adalah diskontinuitas yang memotong
garis pengamatan. Salah satu ujung dari garis pengamatan menjadi datum dalam
pengukuran jarak diskontinuitas. Hal-hal yang perlu dicatat dalam pengamatan adalah
nomor identitas diskontinuitas, posisi diskontinuitas (jarak dari datum), kedudukan
diskontinuitas (jurus dan kemiringan), bukaan diskontinuitas (aperture), panjang, tipe
material pengisi, kondisi pelapukan diskontinuitas, dan kondisi keairan.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
31
4.1.2 Lokasi Pengambilan Data
Pengukuran dilakukan pada lereng yang memiliki panjang lebih kurang 150 meter dan
tinggi lebih kurang 25 meter. Kemudian lereng tersebut dibagi menjadi delapan
segmen berdasarkan perubahan arah dan sudut kemiringan lereng, serta untuk
menjaga konsistensi level garis pengukuran. Kedelapan segmen tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Segmen 1 (Foto 4.1)
Posisi awal : 107º 40’ 02,8” BT dan 07º 01’ 41,7” LS
Arah garis pengukuran : N 198º E
Arah dan kemiringan lereng : N 288º E, 68º
Ketinggian rata-rata : ± 6 meter
Panjang lereng : 9,95 meter
b. Segmen 2 (Foto 4.2)
Posisi awal : 107º 40’ 02,9” BT dan 07º 01’ 42,1” LS
Arah garis pengukuran : N 137º E
Arah dan kemiringan lereng : N 225º E, 75º
Ketinggian rata-rata : ± 7 meter
Panjang lereng : 13,13 meter
c. Segmen 3 (Foto 4.3)
Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 42,7” LS
Arah garis pengukuran : N 179º E
Arah dan kemiringan lereng : N 269º E, 70º
Ketinggian rata-rata : ± 25 meter
Panjang lereng : 19,40 meter
d. Segmen 4 (Foto 4.4)
Posisi awal : 107º 40’ 02,9” BT dan 07º 01’ 43,2” LS
Arah garis pengukuran : N 118º E
Arah dan kemiringan lereng : N 208º E, 74º
Ketinggian rata-rata : ± 23 meter
Panjang lereng : 16,10 meter
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
32
e. Segmen 5 (Foto 4.5)
Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 43,8” LS
Arah garis pengukuran : N 144º E
Arah dan kemiringan lereng : N 234º E, 73º
Ketinggian rata-rata : ± 25 meter
Panjang lereng : 11,77 meter
f. Segmen 6 (Foto 4.6)
Posisi awal : 107º 40’ 03,0” BT dan 07º 01’ 44,0” LS
Arah garis pengukuran : N 207º E
Arah dan kemiringan lereng : N 297º E, 83º
Ketinggian rata-rata : ± 20 meter
Panjang lereng : 5,80 meter
g. Segmen 7 (Foto 4.7)
Posisi awal : 107º 40’ 02,7” BT dan 07º 01’ 44,2” LS
Arah garis pengukuran : N 152º E
Arah dan kemiringan lereng : N 242º E, 73º
Ketinggian rata-rata : ± 18 meter
Panjang lereng : 6,00 meter
h. Segmen 8 (Foto 4.8)
Posisi awal : 107º 40’ 02,0” BT dan 07º 01’ 45,0” LS
Arah garis pengukuran : N 214º E
Arah dan kemiringan lereng : N 304º E, 76º
Ketinggian rata-rata : ± 15 meter
Panjang lereng : 22,71 meter
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
33
Foto 4.1. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 1 (A – A’ adalah scanline)
Foto 4.2. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 2 (B – B’ adalah scanline)
B
A
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
34
Foto 4.3. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 3 (C – C’ adalah scanline)
Foto 4.4. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 4 (D – D’ adalah scanline)
C
D
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
35
Foto 4.5. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 5 (E – E’ adalah scanline)
Foto 4.6. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 6 (F – F’ adalah scanline)
E
F
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
36
Foto 4.7. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 7 (G – G’ adalah scanline)
Foto 4.8. Tempat pengukuran diskontinuitas segmen 8 (H – H’ adalah scanline)
G
H
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
37
4.1.3 Data Diskontinuitas Hasil Pengukuran Lapangan
Data dari hasil pengukuran diskontinuitas pada setiap segmen diberikan pada
Lampiran A.
4.1.4 Intepretasi Set Diskontinuitas Utama
Dalam pengamatan diskontinuitas, suatu hal yang penting dilakukan adalah
melakukan pemilahan data antara diskontinuitas alami dengan diskontinuitas yang
terbentuk akibat aktivitas manusia (induced fractures). Induced fractures pada daerah
penelitian umumnya berupa diskontinuitas akibat aktivitas penambangan, seperti
peledakan (blasting) atau pemotongan batuan. Namun dalam penelitian ini, pemilahan
data diskontinuitas yang didasarkan atas tipe genetisnya tidak dilakukan. Hal terebut
berdasarkan atas asumsi bahwa seluruh jenis diskontinuitas yang terdapat di lereng
penelitian ikut berpengaruh terhadap tipe keruntuhan yang terjadi.
Pemilahan didasarkan atas orientasi diskontinuitas, meliputi jurus dan kemiringan
bidang diskontinuitas. Diskontinuitas-diskontinuitas yang sejenis dan memiliki
orientasi yang relatif sama dikelompokkan menjadi satu set diskontinuitas tertentu.
Dari proses pengelompokkan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak
Stereonet dan Rockworks v 2.1, didapatkan dua set diskontinuitas untuk segmen 1
(Tabel 4.1 dan Gambar 4.1), tiga set diskontinuitas untuk segmen 2 (lihat Tabel 4.1
dan Gambar 4.2), tiga set diskontinuitas untuk segmen 3 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar
4.3), tiga set diskontinuitas untuk segmen 4 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.4), tiga set
diskontinuitas untuk segmen 5 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.5), empat set
diskontinuitas untuk segmen 6 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.6), dua set
diskontinuitas untuk segmen 7 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.7), dan empat set
diskontinuitas untuk segmen 8 (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.8).
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
38
Gambar 4.1 Intepretasi set diskontinuitas di segmen 1
Gambar 4.2. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 2
Gambar 4.3. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 3
JSA 1
JSA 2JSA 1
JSA 2
JSB 2
JSB 3
JSB 1
JSB 2
JSB 3JSB 1
JSC 1
JSC 2
JSC 3
JSC 2
JSC 3
JSC 1
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
39
Gambar 4.4. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 4
Gambar 4.5. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 5
Gambar 4.6. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 6
JSD 1
JSD 2
JSD 3JSD 1
JSD 3
JSD 2
JSE 1JSE 2
JSE 3
JSE 1JSE 2
JSE 3
JSF 1
JSF 2
JSF 3
JSF 4
JSF 1
JSF 3
JSF 2
JSF 4
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
40
Gambar 4.7. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 7
Gambar 4.8. Intepretasi set diskontinuitas di segmen 8
JSG 1
JSG 2
JSG 2
JSG 1
JSH 1
JSH 2
JSH 3
JSH 4
JSH 1
JSH 2
JSH 4
JSH 3
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
41
Tabel 4.1. Set dan orientasi umum yang hadir dalam setiap segmen
Kedudukan UmumStrike DipLokasi KodeN... ºE (...º)
JSA 1 178 60Segmen 1JSA 2 221 38JSB 1 1 69JSB 2 308 24Segmen 2JSB 3 256 70JSC 1 7 80JSC 2 329 71Segmen 3JSC 3 280 79JSD 1 243 77JSD 2 283 29Segmen 4JSD 3 283 69JSE 1 237 84JSE 2 307 41Segmen 5JSE 3 335 58JSF 1 14 35JSF 2 345 63JSF 3 264 83Segmen 6
JSF 4 153 67JSG 1 335 58Segmen 7JSG 2 63 58JSH 1 339 45JSH 2 313 62JSH 3 143 80Segmen 8
JSH 4 173 70
4.2 Pengujian Laboratorium
4.2.1 Pengamatan Petrografi
Dalam kegiatan penelitian geologi teknik, pengenalan batuan adalah bagian yang
sangat penting. Karena jenis batuan yang berbeda akan memberikan karakteristik
keteknikan yang berbeda pula. Beberapa jenis batuan memang memerlukan
pengamatan mikroskopik untuk mengidentifikasinya, namun adakalanya batuan masih
dapat dikenal dengan hanya bantuan lensa pembesar.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
42
Pengamatan secara makroskopik menunjukkan bahwa batuan penyusun lereng
merupakan andesit. Kemudian pada hasil uji petrografi didapatkan bahwa batuan
penyusun lereng penelitian adalah andesit piroksen (lihat Lampiran B).
4.2.2 Pengujian Densitas dan Porositas Andesit
Densitas merupakan ukuran dari massa per unit volume. Nilai densitas dari material
batuan sangat bervariasi dan seringkali berkaitan dengan porositas batuan itu sendiri.
Dari pengujian laboratorium, didapatkan densitas kering (oven) dari batuan andesit
adalah 2,66 gr/cm3 (lihat Lampiran C).
Porositas menggambarkan perbandingan antara ruang kosong di antara butiran dengan
total keseluruhan volume batuan. Dari hasil pengujian, didapatkan porositas sebesar
2,12% (lihat Lampiran C).
Densitas dan porositas seringkali berkaitan dengan kekuatan dari batuan itu sendiri.
Pada umumnya semakin kecil nilai densitas dan semakin besar porositas, maka batuan
tersebut akan mempunyai kekuatan yang semakin kecil.
4.2.3 Pengujian Kuat Geser Langsung Andesit
Shear strength (kuat geser) digunakan untuk menggambarkan kekuatan dari material
batuan terhadap proses deformasi (keruntuhan) akibat gaya berarah sejajar atau
hampir sejajar terhadap bidang lemah dari batuan tersebut. Pada prinsipnya, ketika
batuan menahan gaya geser yang dikenakan terhadap dirinya, mekanisme perlawanan
dikontrol oleh sudut geser dalam ( ) dan kohesi (c) dari batuan tersebut. Sudut geser
dalam disebabkan karena kontak yang terjadi antar partikel batuan, sedangkan kohesi
adalah gaya ikatan antar material batuan. Batuan yang berbeda umumnya memiliki
nilai sudut geser dalam dan kohesi yang berbeda pula.
Pengujian ini dilakukan untuk memperoleh nilai sudut geser dalam dan kohesi dari
andesit. Benda uji sebelumnya telah dipecah dengan pukulan palu, dan hal tersebut
dilakukan karena keterbatasan pada alat pengujian. Oleh karena itu, digunakan asumsi
nilai sudut geser puncak dari benda uji dapat dianggap sebagai basic friction angle
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
43
b) dengan nilai kohesi mendekati nol (Hoek, 2000). Dari hasil pengujian
laboratorium, didapatkan nilai basic friction angle ( b) sebesar 30,2º dengan nilai
kohesi sebesar 0,00021 MPa (lihat Lampiran D).
4.3 Perhitungan Sudut Geser Dalam Efektif ( i)
Untuk mencari sudut geser dalam efektif ( i) dari masing-masing set bidang
diskontinuitas, sebelumnya terlebih dahulu dilakukan perhitungan parameter-
parameter yang dibutuhkan sebagai berikut.
4.3.1 Joint Roughness Coefficient (JRC)
Joint roughness coefficient (JRC) merupakan suatu nilai yang didapatkan dengan
membandingkan kenampakan permukaan diskontinuitas di lapangan dengan profil
standar yang dipublikasikan oleh Barton dan Choubey (1977). Kenampakan
permukaan diskontinuitas di lapangan dibandingkan secara visual terhadap profil
standar (Gambar 4.9), kemudian didapatkan nilai JRC berdasarkan profil standarnya.
Lebih lanjut lagi, Barton (1982 op cit. Hoek, 2000) mempublikasikan metode
alternatif perhitungan JRC dengan cara membandingkan panjang profil pengamatan
terhadap amplitudo asperities dari permukaan diskontinuitas (Gambar 4.10).
Barton (1982 op cit. Franklin dan Dusseault, 1991) memberikan nilai JRC yang
bervariasi antara 0 sampai 20. Nilai JRC 5 dikategorikan sebagai permukaan yang
hampir rata (nearly planar surface), sedangkan nilai 10 dikategorikan kedalam
permukaan yang bergelombang lemah (smooth undulating surface), begitu pula
halnya dengan nilai JRC 20 yang dikategorikan kedalam permukaan yang
bergelombang terjal (rough undulating surface).
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
44
Gambar 4.9. Nilai JRC terhadap profil roughness (Barton dan Choubey, 1977 op cit.
Hoek, 2000)
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
45
Gambar 4.10. Metoda alternatif untuk pengukuran JRC (Barton, 1982 op cit. Hoek,
2000)
Data yang didapat dari pengukuran lapangan adalah amplitudo asperities dan panjang
profil pengukuran (Foto 4.9). Kemudian untuk mendapatkan nilai JRC dari setiap set
dikontinuitas, digunakan grafik di atas (lihat Gambar 4.10). Perhitungan nilai JRC
untuk setiap set diskontinuitas dapat dilihat pada Lampiran E, dan diberikan Tabel 4.2
yang merupakan rekapitulasi hasil perhitungan JRC.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
46
Foto 4.9. Pengukuran amplitudo asperities di lapangan
4.3.2 Joint Wall Compressive Strength (JCS)
Metode untuk mendapatkan joint wall compressive strength telah dipublikasikan oleh
ISRM (1978). Sebelumnya, penggunaan nilai Schmidt rebound hammer terhadap
berat jenis batuan untuk mengukur JCS ini telah dipublikasikan oleh Deere dan Miller
(1966 op cit. Hoek, 2000) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.11. Data yang didapat
dari pengukuran lapangan adalah nilai Schmidt hammer dan arah pengukuran selalu
tegak lurus bidang diskontinuitas (Foto 4.10).
Foto 4.10. Pengukuran JCS dengan menggunakan Schmidt hammer.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
47
Gambar 4.11. Metode untuk mendapatkan nilai JCS dari Schmidt hammer
(Deere dan Miller, 1966 op cit. Hoek, 2000)
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
48
Untuk mendapatkan nilai JCS dari setiap set dikontinuitas, digunakan grafik di atas
(Gambar 4.11). Perhitungan nilai JCS diberikan pada Lampiran F, dan Tabel 4.2
memperlihatkan rekapitulasi hasil perhitungan JCS.
Tabel 4.2. Rekapitulasi nilai dari hasil pengukuran JRC dan JCS
Lokasi Kode Set Rekahan Nilai JRC Nilai JCS(MPa)
JSA 1 5 72,5Segmen 1JSA 2 4,73 62,91JSB 1 4,67 70,17JSB 2 4,38 51,63Segmen 2JSB 3 5,2 70,6JSC 1 4,9 76,7JSC 2 5,6 75,8Segmen 3JSC 3 4,5 95JSD 1 5,07 76,64JSD 2 5,13 68,44Segmen 4JSD 3 6,33 64JSE 1 5 78,5JSE 2 5,38 71,38Segmen 5JSE 3 5,14 56,57JSF 1 5,25 47,25JSF 2 5,38 41,38JSF 3 5,24 44,4Segmen 6
JSF 4 5,29 45JSG 1 4,71 67,86Segmen 7JSG 2 5,11 77,44JSH 1 4,78 48JSH 2 5 49,71JSH 3 4,55 48,55Segmen 8
JSH 4 5,17 45,33
Dari tabel di atas, terlihat nilai JRC untuk tiap set bidang diskontinuitas berada dalam
kisaran 4–6. Berdasarkan profil standar JRC yang dipubliskasikan oleh Barton dan
Choubey (1977 op cit. Hoek 2000) pada Gambar 4.9 dapat diartikan bahwa seluruh
set diskontinuitas yang ada memiliki tingkat roughness dalam kategori slightly rough.
Lain halnya dengan nilai JRC, nilai JCS memberikan kisaran nilai yang beragam, dan
hal tersebut mungkin dikarenakan tingkat kekerasan permukaan diskontinuitas
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
49
(surface hardness) yang berbeda pula. Lebih lanjut lagi, perbedaan tingkat kekerasan
mengindikasikan tingkat pelapukan yang berbeda pada tiap permukaan diskontinuitas.
4.3.3 Kohesi dan Sudut Geser Dalam untuk Masing-Masing Set Diskontinuitas
Barton (1973 op cit. Hoek, 2000) memperkenalkan hubungan antara kuat geser (τ )
dengan normal stress ( nσ ) yang direpresentasikan oleh hubungan non-linier (Gambar
4.12). Hubungan tersebut (Persamaan 4.1) tidak dinyatakan dalam variabel kohesi (c)
dan sudut geser dalam ( ). Oleh karena itu, Hoek (2000) memberikan persamaan
yang dinyatakan dalam variabel kohesi efektif (ci) dan sudut geser dalam ( i) untuk
setiap nilai JRC, JCS dan stress normal ( nσ ) tertentu (Persamaan 4.2a, 4.2b, dan 4.3).
Gambar 4.12. Grafik yang menggambarkan hubungan kohesi efektif (ci) dan sudut
geser efektif ( i) terhadap kriteria keruntuhan non-linear (Hoek, 2000)
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
50
+=
nbn
JCSJRCσ
φστ 10logtan (4.1)
∂∂
=n
i στ
φ arctan (4.2a)
dengan
+
+−
+=
∂∂ 1logtan
10ln180logtan 10
210 b
nb
nn
JCSJRCJRCJCSJRC φσ
πφ
σστ (4.2b)
Kemudian kohesi efektif (ci) didapatkan dengan persamaan sebagai berikut :
inic φστ tan−= (4.3)
Perhitungan sudut geser efektif ( i) dan kohesi efektif (ci) dijabarkan pada Lampiran
G. Kemudian hasil perhitungan kohesi efektif dan sudut geser dalam efektif untuk
setiap bidang diskontinuitas yang didapatkan dari persamaan-persamaan di atas,
diberikan oleh Tabel 4.3.
Dari tabel tersebut, untuk mempermudah analisis kinematik yang akan dilakukan,
dapat disederhanakan bahwa nilai rata-rata sudut geser dalam efektif ( i) untuk
keseluruhan bidang diskontinuitas yang ada adalah 41,5º.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
51
Tabel 4.3. Hasil perhitungan kohesi (ci) dan sudut geser dalam efektif ( i).
Lokasi Kode SetRekahan
bφ(º)
nσ(MPa)
τ(MPa)
iφ(º)
ic(MPa)
JSA 1 30,2 0,13 0,890 41,68 0,775Segmen 1JSA 2 30,2 0,13 0,860 40,77 0,750JSB 1 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753JSB 2 30,2 0,13 0,827 39,62 0,720Segmen 2JSB 3 30,2 0,13 0,903 42,07 0,785JSC 1 30,2 0,13 0,887 41,57 0,772JSC 2 30,2 0,13 0,937 43,15 0,816Segmen 3JSC 3 30,2 0,13 0,871 41,07 0,758JSD 1 30,2 0,13 0,899 41,96 0,782JSD 2 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779Segmen 4JSD 3 30,2 0,13 0,977 44,35 0,850JSE 1 30,2 0,13 0,896 41,85 0,779JSE 2 30,2 0,13 0,916 42,51 0,797Segmen 5JSE 3 30,2 0,13 0,883 41,45 0,768JSF 1 30,2 0,13 0,878 41,27 0,764JSF 2 30,2 0,13 0,877 41,24 0,763JSF 3 30,2 0,13 0,873 41,11 0,759Segmen 6
JSF 4 30,2 0,13 0,877 41,25 0,763JSG 1 30,2 0,13 0,866 40,89 0,753Segmen 7JSG 2 30,2 0,13 0,903 42,08 0,786JSH 1 30,2 0,13 0,849 40,33 0,738JSH 2 30,2 0,13 0,865 40,86 0,753JSH 3 30,2 0,13 0,835 39,87 0,727Segmen 8
JSH 4 30,2 0,13 0,870 41,02 0,757
4.4 Analisis Kinematik
Metode stereografi banyak digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis
longsoran yang mungkin terjadi pada suatu lereng batuan. Berdasarkan perajahan data
jurus dan kemiringan bidang diskontinuitas dan muka lereng, beserta besarnya sudut
geser dalam pada suatu stereonet akan segera dapat diketahui tipe dan arah potensi
longsorannya. Oleh karena itu, analisis kinematik untuk segmen lereng penelitian
dibahas satu-persatu sebagai berikut.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
52
Segmen 1
=41º
i=36º
A=334º
N
Slope
JSA 1
JSA 2
p 60º=Ap1=268º
Ap2=311º
Af=288º
Gambar 4.13. Analisis kinematik pada segmen 1
Berdasarkan pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya
model longsoran baji dan planar (Gambar 4.13). Pada longsoran baji, yang dibentuk
oleh set diskontinuitas JSA 1 dan JSA 2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk
oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) i sebesar 36º dengan
sudut geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 68º.
Berdasarkan salah satu dari syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < i < f,
dapat dikatakan bahwa tidak terjadi longsoran baji pada segmen 1 karena tidak
memenuhi syarat tersebut.
Selanjutnya untuk tipe longsoran planar, dengan bidang gelincir JSA 1 dan arah
kemiringan (Ap1) sebesar N 268º E, memiliki perbedaan sebesar 20º dengan arah
kemiringan lereng (Af). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan, yaitu i < p
< f, dapat dikatakan bahwa longsoran planar dapat terjadi karena seluruh syarat
kinematika terpenuhi.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
53
Segmen 2
N
JSB 1
JSB 2
JSB 3
Slope
Af+20º
Af-2
0º
Af+
160 º
Af-200º
Pole of JSB 2
Ap=
38º
p24
º=
=41º
Gambar 4.14. Analisis kinematik pada segmen 2
Stereografi pada segmen 2 menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang
dibentuk oleh set diskontinuitas JSB 2 dengan muka lereng (Gambar 4.14).
Berdasarkan syarat kinematik yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit.
Hoek, 2000), JSB 2 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah
kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan kata lain, arah kemiringan JSB 2 berada
dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-200º). Kemudian, berdasarkan syarat
kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge
JSB 2 (90º- p) memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dari nilai kemiringan
muka lereng dikurangi dengan sudut geser dalam efektif dari JSB 2 ( f -39,62º). Atau
dengan kata lain, pole of JSB 2 (titik biru pada Gambar 4.14) berada dalam zona kritis.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa segmen 2 memiliki tipe
longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat adalah JSB 2.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
54
Segmen 3N
Slope
JSC 3
JSC 2
JSC 1
Pole of JSC 1
Af+20º
Af-20º
Af+160º
Af-200º
p 80º= Ap=97º
=41º
Gambar 4.15. Analisis kinematik pada segmen 3
Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 3 menunjukkan adanya
model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSC 1 (Gambar
4.15). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh
Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSC 1 memiliki arah kemiringan
(Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan
kata lain, arah kemiringan JSC 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-
200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh
Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSC 1 (90º- p) memiliki nilai yang lebih
kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser
dalam efektif dari JSC 1 ( f - 41,57º). Atau dengan kata lain, pole of JSC 1 (titik hijau
pada Gambar 4.15) berada dalam zona kritis.
Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
segmen 3 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat
adalah JSC 1.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
55
Segmen 4
N
JSD 1
JSD 2
JSD 3
Slope
Af+20º
Af-
20º
Af+
160 º
Af-200
º
p36 9
º=
p2=2
9º
Ap2=Ap3=13º
Pole of JSD 2
Pole of JSD 3 =41º
Gambar 4.16. Analisis kinematik pada segmen 4
Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 4 menunjukkan adanya
model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSD 2 dan JSD 3
(Gambar 4.16). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang
diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSD 2 dan JSD 3
memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel dengan arah
kemiringan muka lereng (Af). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang
diusulkan oleh Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSD 2 (titik biru pada
Gambar 4.16) berada di luar zona kritis, sedangkan pole of JSD 3 (titik coklat pada
Gambar 4.16) berada di dalam zona kritis.
Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
segmen 4 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat
adalah JSD 3.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
56
Segmen 5
N
Af+
160º
Af-200º
Af+20º
Af-2
0º
Ap2
=37º
Ap3=65º
p358º=
p2=4
1º
JSE 2
JSE 3
JSE 1
Slope
Pole of JSE 2Pole of JSE 3
=41º
Gambar 4.17. Analisis kinematik pada segmen 5
Stereografi dari pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 5
menunjukkan adanya model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set
diskontinuitas JSE 2 dan JSE 3 (Gambar 4.17). Berdasarkan syarat kinematik untuk
longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek,
2000), JSE 2 dan JSE 3 memiliki arah kemiringan (Ap2 dan Ap3) yang hampir paralel
(perbedaan maksimal 18º JSE 2) dengan arah kemiringan muka lereng (Af).
Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh Goodman
(1980 op cit. Hoek, 2000), pole of JSE 2 (titik biru pada Gambar 4.17) berada di luar
zona kritis, sedangkan pole of JSE 3 (titik coklat pada Gambar 4.17) berada dalam
zona kritis.
Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
segmen 5 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat
adalah JSE 3.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
57
Segmen 6N
Af+160º
Af-200º
Ap=104º
Af+20º
Af-20ºPole of JSF 1
i 63= º
A=278º
Slope
JSF 1
JSF 2
JSF 3
JSF 4
=41º
Gambar 4.18. Analisis kinematik pada segmen 6
Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 6 menunjukkan adanya
model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSF 1 dan model
longsoran baji oleh JSF 3 dan JSF 4 (Gambar 4.18). Berdasarkan syarat kinematik
untuk longsoran jungkiran yang diusulkan oleh Goodman dan Bray’s (1976 op cit.
Hoek, 2000), JSF 1 memiliki arah kemiringan (Ap) yang hampir paralel dengan arah
kemiringan muka lereng (Af). Namun berdasarkan syarat kinematik lainnya, pole of
JSF 1 (titik hijau pada Gambar 4.18) berada di luar zona kritis, yang artinya longsoran
jungkiran tidak mungkin terjadi.
Kemudian untuk analisis kinematik longsoran baji yang dibentuk oleh set
diskontinuitas JSF 3 dan JSF 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan
kedua set bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i sebesar 63º dengan
sudut geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 83º.
Atau dengan kata lain, i < i < f. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
longsoran baji terjadi pada segmen 6 karena memenuhi semua syarat kinematik yang
ditetapkan.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
58
Segmen 7N
Af+160º
Af-200º
Af-2
0º
Af+20º
Pole of JSG 1
Ap=65º
p=58º
JSG 1
JSG 2
Slope
=41º
Gambar 4.19. Analisis kinematik pada segmen 7
Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 7 menunjukkan adanya
model longsoran jungkiran yang dibentuk oleh set diskontinuitas JSG 1 (Gambar
4.19). Berdasarkan syarat kinematik untuk longsoran jungkiran yang diajukan oleh
Goodman dan Bray’s (1976 op cit. Hoek, 2000), JSG 1 memiliki arah kemiringan
(Ap) yang hampir paralel dengan arah kemiringan muka lereng (Af). Atau dengan
kata lain, arah kemiringan JSG 1 berada dalam zona kritis (antara Af+160º dan Af-
200º). Kemudian, berdasarkan syarat kinematik lainnya yang diusulkan oleh
Goodman (1980 op cit. Hoek, 2000), plunge JSG 1 (90º- p) memiliki nilai yang lebih
kecil dibandingkan dari nilai kemiringan muka lereng dikurangi dengan sudut geser
dalam efektif dari JSC 1 ( f – 40,89º). Atau dengan kata lain, pole of JSG 1 (titik
hijau pada Gambar 4.19) berada dalam zona kritis.
Berdasarkan analisis kinematik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
segmen 7 memiliki tipe longsoran jungkiran dengan set diskontinuitas yang telibat
adalah JSG 1.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
59
Segmen 8
N
1
2
3i3 11= º
A3 =349 º
A2=337º
i2=38º
i1=65º
A1=300º JSH 1
JSH 2
JSH 4
JSH 3
Slope
=41º
Gambar 4.20. Analisis kinematik pada segmen 8
Pola-pola diskontinuitas dan kedudukan lereng pada segmen 8 menunjukkan adanya
tiga model longsoran baji. Model longsoran baji 1 dibentuk oleh set diskontinuitas
JSH 3 dan JSH 4, model longsoran baji 2 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 2 dan
JSH 4, serta model longsoran baji 3 dibentuk oleh set diskontinuitas JSH 4 dan JSH 1
(Gambar 4.20).
Pada Gambar 4.20 di atas, terlihat bahwa hanya perpotongan set bidang diskontinuitas
JSH 3 dengan JSH 4 yang berada di zona kritis (daerah yang dibatasi oleh muka
lereng dan lingkaran sudut geser dalam), sedangkan kedua perpotongan set
diskontinuitas JSH 2 dengan JSH 4, dan JSH 1 dengan JSH 4 berada di luar zona
kritis. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada segmen 8 terjadi longsoran baji
dengan set diskontinuitas yang terlibat adalah JSH 3 dan JSH 4.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik danKlasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong,Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
60
Berdasarkan analisis kinematik longsoran baji yang dibentuk oleh set diskontinuitas
JSH 3 dan JSH 4, sudut penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua set
bidang diskontinuitas tersebut (plunge intersection) i1 sebesar 65º dengan sudut
geser dalam efektif ( i) sebesar 41º dan kemiringan lereng ( f) adalah 76º. Dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat kinematik berupa i < i < f untuk terjadinya
longsoran baji terpenuhi.
Dari hasil analisis kinematik terhadap keseluruhan segmen lereng, dapat dibuat suatu
tabel yang menginformasikan jenis-jenis longsoran yang terjadi pada tiap segmen
lereng beserta set diskontinuitas yang terlibat dalam proses longsoran (Tabel 4.4).
Tabel 4.4. Rekapitulasi hasil analisis kinematik
Segmen Tipe Longsoran Set Diskontinuitas Terlibat
1 Planar JSA 1
2 Jungkiran JSB 2
3 Jungkiran JSC 1
4 Jungkiran JSD 3
5 Jungkiran JSE 3
6 Baji JSF 3 dan JSF 4
7 Jungkiran JSG 1
8 Baji JSH 3 dan JSH 4