bab iii sistem pemargaan keturunan arab hadhrami … · pasar kliwon surakarta ... makna yang...
TRANSCRIPT
77
BAB III
SISTEM PEMARGAAN KETURUNAN ARAB HADHRAMI
PASAR KLIWON SURAKARTA
Penamaan suatu marga keturunan Arab Hadhrami dapat ditelusuri sebab-
sebab yang melatarbelakangi terjadinya penamaan suatu marga. Pada masing-
masing marga, terdapat arti yang dapat dianalisis berdasarkan kamus maupun
makna yang muncul berdasarkan latar belakang penamaan marga tersebut.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya mengenai pembahasan marga
berdasarkan bentuknya, maka pada bab ini diterangkan mengenai marga-marga
berdasarkan sistem pemargaannya. Sistem pemargaan ini ditinjau dari segi
penamaan dan pemaknaannya. Adapun, pendekatannya memalui pendekatan
sejarah yang melatarbelakangi penamaan marga, sehingga akan tercermin makna
yang terdapat di dalam nama marga keturunan Arab Hadhrami di KPKS.
A. Penamaan Marga
Penamaan yang melatarbelakangi munculnya sistem lambang bunyi
bersifat arbiter (Chaer, 2013: 43). Misalnya, antara kata dengan suatu benda yang
dilambangkannya, penamaannya bersifat sewenang-wenang, atau tidak ada
hubungan “wajib” di antara keduanya. Pada bagian ini, analisis terhadap nama
marga keturunan Arab Hadhrami KPKS memanfaatkan metode padan referensial
yang alat penentunya adalah latar belakang penamaan marga. Adapun, bentuk
referen dari latar belakang penamaan ini, terbagi menjadi lima jenis, yaitu:
berdasarkan penyebutan sifat, kebiasaan, peristiwa, tempat, dan nama tokoh.
Adapun, penjelasan masing-masing marga tersebut sebagai berikut.
78
1. Berdasarkan Sifat
Penamaan berdasarkan sifat adalah suatu penamaan yang dilatarbelakangi
berdasarkan sifat yang sudah melekat pada dirinya ataupun yang ingin
dimilikinya. Penamaan suatu marga yang dilatarbelakangi berdasarkan
penyebutan sifat terdapat pada marga, al-Cha>mid, al-Jufriyy, al-Masyhu>r, dan
Syaha>b.
a. al-Cha>mid
Marga al-Cha>mid pertama kali disematkan kepada waliullah al-Hamid bin
al-Syaikh Abi Bakar bin Salim (al-Masyhur, 2013: 208). Penamaan marga al-
Cha>mid dilatarbelakangi oleh keinginan bapaknya yaitu waliullah al-Syaich Abi
Bakar bin Salim mengharapkan anaknya menjadi orang yang bersyukur kepada
Allah SWT dengan selalu memuji-Nya (al-Masyhur, 2013: 208). Pada
kenyataannya, waliullah al-Hamid bin Syaich Abi Bakar menjadi seorang yang
bertawakal kepada Allah, senang menolong orang, dan suka memberikan apa
yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya (Aidid, 1999: 60). Jadi,
penamaan marga ini bertujuan untuk menanamkan sifat syukur kepada pemilik
marga tersebut. Suatu nama yang didasari suatu pensifatan kepada pemilik marga
tersebut tergolong dalam penamaan marga berdasarkan sifat.
b. al-Jufriyy
Orang pertama yang menyandang marga al-Jufriyy adalah waliullah Abu
Bakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-
Faqih Muqaddam (al-Masyhur, 2013: 205). Dimasa kecilnya, waliullah Abu
Bakar bin Muhammad mempunyai badan yang besar dan kekar. Bentuk fisik
beliaulah yang memicu datuknya yaitu waliullah Abdurrahman Assegaf bin
79
Muhammad Mauladdawilah menjulukinya dengan al-Jufriyy. Ketika itu, datuknya
menyapa beliau dengan sapaan „Ahlan Jufratiy‟ yang berarti „hai anak kecil yang
berbadan gemuk dan kekar‟ (Aidid, 1999: 50). Dari pembahasan tersebut, tampak
bahwa penamaan marga al-Jufriyy dilatarbelakangi sifat gemuk dari pemilik
pertamanya. Sifat gemuk dari karakteristik fisik dari Abu Bakar bin Muhammad
al-Jufri ini menjadi fokor utama munculnya marga al-Jufriyy. Apabila ditinjau
dari aspek kebahasaan, maka kata gendut dan kekar merupakan bentuk kata sifat.
Penamaan marga yang mengacu pada sifat yang menonjol dari pemiliknya
menjadi titik tolak penklasifikasian marga ini ke dalam penamaan berdasarkan
sifat.
c. al-Masyhu>r
Marga al-Masyhu>r pertama kali disandang oleh waliullah Muhammad al-
Masyhur al-Majzub bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin al-Ashghor bin
Abdurahman al-Qadhi bin Ahmad Syahabuddin al-Akbar bin Abdurrahman bin
Syaich Ali bin Abu Bakar al-Sakran (al-Masyhur, 2013: 247). Kemunculan marga
al-Masyhu>r dilatarbelakangi karena adanya sifat masyhur dari waliullah
Muhammad al-Masyhur al-Majzub bin Ahmad. Kemasyhurannya dikenal hingga
ke penjuru negeri karena kewaliannya. Hal tersebut menjadi faktor utama beliau
mendapat gelar al-Masyhu>r. Sifat masyhur yang menonjol tersebut menjadikan
marga al-Masyhu>r tergolong dalam pemaknaan marga berdasarkan sifat.
80
d. Syaha>b
Marga Syaha>b pertama kali disandang oleh waliullah Syahabuddin bin
Abdurahman bin as-Syaich Ali bin Abu Bakar as-Sakran bin Abdurahman
Assegaf (Aidid, 1999: 77). Latar belakang munculnya marga Syaha>b karena
pemilik pertama marga ini terkenal dengan keluasan ilmu mereka dan banyak
mempunyai karya tulisan pada zamannya, sehingga beliau dikenal sebagai ulama‟
yang agung (al-Masyhur, 2013: 223). Dari pembahasan di atas, maka penamaan
marga Syaha>b dapat dikategorikan penamaan berdasarkan sifat, karena
penamaannya muncul akibat kecerdasan dan keilmuan seseorang.
2. Berdasarkan Kebiasaan
Penamaan berdasarkan kebiasaan adalah suatu penamaan terhadap
seseorang yang dilatarbelakangi melalui hal-hal yang biasa dikerjakannya secara
berulang-ulang. Penamaan seperti ini dapat dijumpai dalam marga al-Chadda>d,
as-Saqqa>f, dan Sya>thiriyy.
a. al-Chadda>d
Marga al-Chadda>d pertama kali disandang oleh waliullah Ahmad bin Abi
Bakar bin Ahmad Masrafah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin
Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih (al-Masyhur, 2013: 210). Mengenai asal-
usul penamaan marga al-Chadda>d, terdapat dua versi penamaan. Pertama, beliau
sering bergaul dengan “Pandai Besi” yang dalam bahasa Arab disebut al-Chadda>d
(Aidid, 1999: 58). Kedua, beliau pandai menginsyafkan seseorang ke jalan yang
benar, sehingga dapat melemahkan kalbu (hati) orang tersebut, sekalipun orang
tersebut berhati keras bagaikan besi (Aidid, 1999: 58). Dari dua versi latar
belakang penamaan tersebut, mengindikasikan bahwa kemunculan marga al-
81
Chadda>d dilatarbelakangi oleh suatu kebiasaan, yaitu sering bergaul dengan
pandai besi dan ahli meluluhkan hati seseorang yang didakwahinya. Kebiasaan
dari waliullah Ahmad bin Abi Bakar inilah yang menjadi tolak ukur
penggolongan marga ini ke dalam kategori penamaan berdasarkan kebiasaan.
b. as-Saqqa>f
Marga as-Saqqa>f pertama kali disandang oleh waliullah Abdurrahman bin
Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-
Muqaddam (Aidid, 1999: 73). Penamaan marga Assegaf dilatarbelakangi oleh
kebiasaan beliau yang dikenal sebagai pengayom para wali pada zamannya.
Beliau diibaratkan sebagai atap bangunan yang dalam bahasa Arab disebut
saqfun. Jadi, penamaan marga ini didasarkan suatu kebiasaan dari waliullah
Abdurrahman bin Muhammad yang berkebiasaan mengayomi dan membimbing
para wali pada zamannya. Dari pembahasa di atas, marga as-Saqqa>f tergolong
dalam penamaan marga berdasarkan kebiasaan karena penamaannya
dilatarbelakangi oleh suatu kebiasaan dari pemiliknya.
c. Sya>thiriyy
Marga Sya>thiriyy pertama kali disandang oleh waliullah Alwi bin Ali bin
Ahmad bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi (Aidid, 1999: 78).
Penamaan marga Sya>thiriyy dilatarbelakangi karena kebiasaan dari waliullah
Alwi bin Ali yang suka berbagi. Konon ceritanya, beliau selalu membagi setengah
hartanya kepada adik kandungnya yang bernama waliullah Abu Bakar bin Ali al-
Habsyi (Aidid, 1999: 78). Kebiasaan beliau kepada saudaranya ini
menyebabkannya dia dijuluki Sya>thiriyy. Kebiasaan inilah yang menjadi tolak
ukur penggolongan marga Sya>thiriyy ke dalam penamaan berdasarkan kebiasaan.
82
3. Berdasarkan Peristiwa
Penamaan berdasarkan peristiwa adalah suatu penamaan terhadap
seseorang yang dilatarbelakangi oleh suatu kejadian yang dialaminya. Penamaan
seperti ini dapat dijumpai dalam marga al-‘Aththa>s, al-‘I>>>>daru>s, dan al-Ka>f.
a. al-‘Aththa>s
Marga al-‘Aththa>s pertama kali disandang oleh waliullah Abdurrahman
bin A‟qil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin
Abdurrahman Assegaf (Aidid, 1999: 38). Beliau diberi marga al-‘Aththa>s karena
dilatarbelakangi oleh peristiwa bersinnya waliullah Abdurrahman bin A‟qil ketika
berada di kandungan ibunya (al-Masyhur, 2013: 233). Ketika itu, beliau bersin
seraya mengucapkan „al-chamdu-lillah‟ yang didengar oleh ibunya (Aidid, 1999:
38). Peristiwa bersin itulah yang menjadi latar belakang munculnya marga al-
‘Aththa>s. Dari pembahasan di atas, maka marga al-‘Aththa>s tergolong dalam
penamaan marga berdasarkan peristiwa, karena kemunculan marga ini
dilatarbelakangi karena adanya kejadian bersin waliullah Abdurrahman bin A‟qil
ketika dalam kandungan.
b. al-‘I>>>>daru>s
Marga al-‘I>>>>daru>s pertama kali disandang oleh waliullah Abdullah bin Abi
Bakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf (Aidid, 1999: 39). Marga al-‘I>>>>daru>s
adalah marga pemberian dari datuknya yang bernama waliullah Abdurrahman as-
Segaf kepada waliullah Abdullah bin Abi Bakar karena dimasa kecilnya dia berani
menghadapi apaun juga (baik manusia, mahluk-mahluk halus dan sebagainya)
(Aidid, 1999: 39). Kejadian tersebutlah yang memyebabakan munculnya marga
al-‘I>>>>daru>s yang secara kebahasaan mempunyai makna „macan/singa‟. Kejadian ini
83
menjadi tolak ukur penggolongan marga al-‘I>>>>daru>s ke dalam kategori marga
berdasarkan peristiwa.
c. al-Ka>f
Marga al-Ka>f pertama kali disandang oleh waliullah Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Jufri (al-Masyhur, 2013: 244).
Kemunculan marga ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa. Terdapat dua versi
peristiwa di balik munculnya marga al-Ka>f. Pertama, peristiwa itu terjadi ketika
waliullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf dapat mengalahkan seseorang yang
mengaku dirinya mempunyai kekuatan yang luar biasa (Aidid, 1999: 63). Adapun,
kekuatan yang luar biasa itu dalam bahasa Hadramaut disebut ka>f. Kedua, suatu
ketika dalam perkara pengadilan, hakim meminta waliullah Ahmad bin
Muhammad al-Kaf menuliskan suatu kode, kode yang ditulisnya adalah huruf
‘ka>f’, maka sejak peristiwa itu, masyarakat menjulukinya dengan al-Ka>f (Aidid,
1999: 39). Dari pembahasan di atas, marga ini tergolong dalam kategori marga
berdasarkan peristiwa karena didasari adanya suatu kejadian yang
melatarbelakangi munculnya marga al-Ka>f.
4. Berdasarkan Tempat
Penamaan berdasarkan tempat adalah suatu penamaan terhadap seseorang
yang dilatarbelakangi adanya suatu penyandaran nama kepada nama tempat suatu
daerah yang ditinggalinya. Penamaan seperti ini dapat ditemukan pada marga
„Adniyy, ’Aidi>d, al-Chabsyiyy, Bashriyy, dan Maula>khailah.
84
a. „Adniyy
Pemilik marga „Adniyy adalah mereka keturunan dari waliullah al-Quthub
Abu Bakar bin Abdullah al-Aydrus bin Abu Bakar al-Sakran (al-Masyhur, 2013:
235). Latar belakang penamaan marga ini dikarenakan waliullah al-Quthub Abu
Bakar bin Abdullah berhijrah dari Kota Tarim ke Kota Adn di Yaman dan
menetap di sana (Aidid, 1999: 37). Dari pembahasan di atas, tampak bahwa marga
„Adniyy disandarkan dengan nama kota yang dijadikan tempat tinggalnya, maka
dari itu marga ini tergolong dalam kategori penamaan berdasarkan tempat.
b. ’Aidi>d
Marga ’Aidi>d pertama kali disandang oleh waliullah Muhammad Maula
Aidid bin Ali Shihab al-Huthah bin Muhammad bin Abdullah al-Faqih bin Ahmad
bin Abdurrahman bin Alwi Ammu al-Faqih (al-Masyhur, 2013: 235). Marga ini
diambil dari sebuah nama dusun di Kota Tarim, Hadramaut yaitu, „Dusun Aidid‟.
Menurut sejarah, pada awalnya Dusun Aidid merupakan tempat yang sangat
ditakuti oleh penduduk sekitarnya karena dihuni oleh makhluk halus yang jahat,
sehingga setiap orang yang ke sana pasti tidak dapat kembali lagi (Aidid, 1999:
40). Pada suatu ketika di malam hari yang gelap-gulita, penduduk di sekitar
tempat tersebut dikejutkan dengan munculnya suatu cahaya yang terang
benderang di atas dusun tersebut, kemudian cahaya itu turun sampai
perkampungan di sekitar tempat tersebut dan ternyata cahaya itu adalah cahaya
dari seorang waliullah yang bernama Muhammad bin Ali al-Huthah (Aidid, 1999:
40). Akhirnya dusun yang semula ditakuti oleh masyarakat berubah menjadi
dusun yang aman dan makmur. Dari peristiwa tersebut, penduduk dusunpun
akhirnya mengangkat waliulah Muhammad bin Ali al-Huthah sebagai penguasa di
85
Dusun Aidid. Dari pembahasan di atas, maka marga ini tergolong dalam
penamaan marga berdasarkan tempat karena penamaannya marganya diambil dari
nama tempat yang ditinggalinya.
c. al-Chabsyiyy
Marga al-Chabsyiyy pertama kali disandang oleh waliullah Abi Bakar bin
Ali bin Ahmad bin Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi bin Ali bin
Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammd Shahib Marbad (Aidid,
1999: 57). Latar belakang penamaan marga ini dikarenakan waliullah Abi Bakar
bin Ali pernah tinggal selama 20 tahun di Kota Habasyah, Afrika (Aidid, 1999:
57). Wilayah Habasyah pada zaman sekarang dikenal dengan Negara Ethiopia.
Dari paparan di atas, tampak bahwa penamaan marga al-Chabsyiyy disandarkan
pada nama suatu tempat yang pernah ditinggali seseorang. Dari pembahasan di
atas pula dapat disimpulkan bahwa marga al-Chabsyiyy tergolong dalam
penamaan marga berdasarkan tempat karena penamaan marga ini disandarkan
pada nama suatu daerah.
d. Bashriyy
Marga Bashriyy pertama kali disandang oleh waliullah Ismail bin
Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir (al-Masyur, 2013: 201). Marga Bashriyy
diambil dari nama tempat asalnya yaitu Kota Basrah di Iraq. Sejarah mengungkap,
waliullah Ismail bin Ubaidillah berasal dari Kota Basrah (al-Masyhur, 2013: 201).
Dari paparan di atas, tampak bahwa tempat bermukimnya tersebut menjadi faktor
utama yang melatarbelakangi penamaan marga Bashriyy. Jadi, marga Bashriyy
tergolong dalam penamaan marga berdasarkan tempat karena latar belakang
penamaannya disandarkan pada nama asalnya, yaitu Kota Basrah.
86
e. Maula>khailah
Marga Maula>khailah pertama kali disandang oleh waliullah Abdurrahman
bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Mulachela (Aidid, 1999: 47). Menurut
Aidid (1999: 47) marga Maula>khailah diambil dari nama pegunungan Chailah di
sebelah barat Kota Tarim (Hadramaut). Tampak bahwa faktor utama yang
melatarbelakangi penamaan marga ini adalah nama tempat. Dari uraian di atas,
maka marga Maula>khailah tergolong dalam penamaan berdasarkan tempat karena
marga ini diambil dari nama suatu daerah yang ditinggali oleh waliullah
Abdurrahman bin Abdullah, yaitu pengunungan Chailah.
5. Berdasarkan Nama Tokoh
Penamaan berdasarkan nama tokoh adalah suatu penamaan yang
disandarkan pada nama seorang tokoh yang dijadikan panutannya. Maksudnya,
penamaan berdasarkan nama tokoh ini dilatarbelakangi adanya suatu penyandaran
namanya terhadap nama orang lain. Penamaan seperti ini terdapat pada nama
marga: al-Junaid, Ba>’aqi>l, bin Sahl, bin Tha>hir, bin Yachya>, dan Musa>wa>.
a. al-Junaid
Marga al-Junaid pertama kali disandang oleh waliullah Abu Bakar bin
Umar Abdullah bin Harun bin Hasan bin Ali bin Muhammad Jamallullail bin
Hasan al-Mu‟alim Muhammad Asadillah bin Hasan Atturabi (al-Masyhur, 2013:
207). Penamaan marga al-Junaid disandarkan pada seorang tokoh yang bernama
waliullah Djunaid bin Muhammad seorang Sayid Atthaifah as-Sufiyah. Latar
belakang penamaan marga ini didasari suatu keinginan agar pemilik marga ini
meniru atau mendapatkan keberkahan dari gurunya tersebut. Fenomena penamaan
yang terdapat pada marga ini merupakan suatu bentuk penyandaran nama marga
87
kepada seorang tokoh dikalangan mereka. Penamaan seperti ini tergolong dalam
jenis penamaan nama marga berdasarkan nama tokoh.
b. Ba>’aqi>l
Marga Ba>’aqi>l pertama kali disandang oleh waliullah „Aqil bin al-Imam
Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawillah bin Ali bin Alawi bin
Muhammad al-Faqih Muqaddam (Aidid, 1999: 38). Menurut salah seorang tokoh
keturunan Arab Hadhrami di Pasar Kliwon, marga Ba>’aqi>l itu disandarkan kepada
kakek mereka yang bernama Aqil (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 5
Agustus 2015 jam 23:07 WIB). Dari pembahasan di atas menunjukkan bahwa
penamaan marga Ba>’aqi>l diambil dari nenek moyangnya, maka dari itu marga ini
tergolong dalam penamaan berdasarkan nama tokoh.
c. bin Sahl
Marga bin Sahl pertama kali disandang oleh waliullah Sahl bin Ahmad bin
Abdullah bin Muhammad Jamallulail bin Hasan bin Muhammad Asadillah bin
Hasan Atturabi (Aidid, 1999: 75). Menurut al-Masyhur (2013: 220), penamaan
marga bin Sahl dilatarbelakangi karena waliullah Sahl bin Ahmad ingin tabarukan
dengan gurunya yang bernama as-Sayid Sahal at-Tastari. Menurut wawancara
dengan seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, penggunaan kata
bin di awal marga tersebut sebagai bentuk kata awalan yang berfungsi untuk
menyandarkan kepada suatu tokoh (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 21 Juli
2015 jam 16.30 WIB). Penyandaran ini berupa penyamaan nama marga dengan
nama gurunya yang bernama Sahl. Hal tersebut merupakan cara pemilik marga
keturunan Arab Hadhrami sebagai bentuk apresiasi jasa-jasa gurunya agar tetap
88
terkenang hingga anak keturunannya kelak. Oleh karena itu, marga bin Sahl
tergolong dalam penamaan marga berdasarkan nama tokoh.
d. bin Tha>hir
Marga bin Tha>hir pertama kali disandang oleh waliullah Thahir bin
Muhammad bin Hasyim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin
Muhammad bin Abdurrahman bin al-Babathinah (Aidid, 1999: 81). Menurut
seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, penamaan marga bin
Tha>hir disandarkan pada nama tokoh mereka, yaitu Thahir (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30 WIB). Dari pembahasan di atas,
tampak bahwa faktor utama penamaan marga ini yaitu agar para pemiliknya dapat
meniru kehebatan tokoh mereka yang bernama Thahir. Oleh sebab itulah, marga
bin Tha>hir tergolong dalam penamaan marga berdasarkan nama tokoh.
e. bin Yachya>
Marga bin Yachya> pertama kali disandang oleh waliullah Yahya bin Hasan
bin Ali Annaz bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah (al-Masyhur, 2013: 254).
Latar belakang kemunculan marga bin Yachya> didasari atas suatu keinginan dari
orangtuanya agar anaknya kelak mendapatkan keberkahan dari Nabi Yahya
‘alaihi’s-sala>m (Aidid, 1999: 82). Dari paparan di atas, tampak bahwa penamaan
marga bin Yachya> disandarkan pada nama seorang tokoh, dalam hal ini Nabi
Yahya ‘alaihi’s-sala>m. Penamaan seperti ini tergolong dalam penamaan marga
berdasarkan nama tokoh karena nama marga ini disandarkan dengan nama
seorang Nabi.
89
f. Musa>wa>
Marga Musa>wa> pertama kali disandang oleh waliullah Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar as-Sakran bin Abdurrahman Assegaf
(Aidid, 1999: 68). Penamaan marga ini menggunakan konsep nisbah. Nisbah
dalam konteks ini berupa penyandaran nama marga kepada nama seorang tokoh
yaitu gurunya di Yaman yang bernama Musawa (al-Masyhur, 2013: 249). Ditinjau
dari segi latar belakang penamaannya, kemunculan marga Musa>wa> didasari
karena adanya suatu harsat agar anak keturunannya dapat mencontoh sikap dan
ketinggian ilmu dari gurunya. Dari pembahasan di atas, marga Musa>wa> termasuk
penamaan marga berdasarkan nama tokoh karena penamaannya berupa
menyamakan nama marganya dengan nama gurunya.
B. Pemaknaan Marga
Pada sub bab ini, dijelaskan berbagai aspek pemaknaan marga keturunan
Arab Hadhrami di KPKS. Dalam hal ini, makna marga ini dianalisis berdasar
sejarah, peristiwa, harapan, ataupun keadaan yang kemudian ditafsirkan makna-
makna yang terkandung didalamnya. Dari peristiwa-peristiwa masa lampau itulah
tampak berbagai tujuan, keadaan, serta kenangan yang tersimpan didalamnya.
Dari sejarah masa lampau tersebut mengambarkan suatu kondisi kemasyarakatan,
prilaku sosil-budaya yang akan mencerminkan pemikiran masyarakatnya. Pada
bagian ini, analisis nama marga tersebut menggunakan metode padan referensial
dengan teknik Pilih Unsur Penentu (PUP), dan teknik Hubung Banding
Menyamakan (HBS). Adapun, penggunaan teknik hubung banding menyamakan
ini menghasilkan tiga jenis makna berdasarkan pembagian dari Sibarani (2004).
90
Makna nama marga ini dapat berupa makna futuratif, makna situasional, dan
makna kenangan.
Tak bisa dipungkiri, setiap orang tua memberikan nama kepada anaknya
pasti mempunyai maksud dan tujuan. Namun pembahasan di sini bukan hanya
sekedar maksud dan tujuan itu saja, tapi juga melacak pemikiran yang
mencerminkan budaya masyarakatnya. Adapun, macam-macam pemaknaan
marga tersebut sebagai berikut.
1. Makna Futuratif
Makna futuratif adalah makna nama yang mengandung pengharapan agar
kehidupan pemilik nama seperti makna namanya (Sibarani, 2004: 115). Melalui
pemanfaatan metode padan referensial ini, referen yang diacu pada makna
futuratif adalah adanya suatu harapan dari pemilik marga. Dari penelitian yang
telah dilaksanakan, marga yang mengandung makna futuratif, yaitu: al-Cha>mid,
al-Junaid, Ba>’aqi>l, bin Sahl, bin Tha>hir, bin Yachya>, Musa>wa>, dan Syaha>b.
a. al-Cha>mid
Dalam Kamus Lisanul Arab karya Mandzur (1191: 987) kata al-Cha>mid
dimaknai dengan salah satu sifat kesucian Allah SWT yang bermakna mensyukuri
atas semua keadaan. Adapun, korelasinya dari segi kebahasaan, marga al-Cha>mid
mengandung arti „bersyukur‟ (Munawwir, 2002: 294). Menurut salah seorang
tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, marga al-Cha>mid mempunyai
makna memuji, yang memuji ataupun selalu memuji (Umar bin Husain Assegaf,
wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30 WIB). Jadi, terdapat suatu makna yang
diharapkan oleh orang tuanya kepada anaknya. Pengaharapan yang terkandung
dalam marga al-Cha>mid yaitu agar anak keturunannya kelak dapat menjadi orang
91
yang senantiasa berterima kasih (selalu mensyukuri) atas sumua nikmat yang
diberikan oleh Allah SWT (Aidid, 1999: 60). Maksudnya, marga al-Cha>mid
mengandung doa agar pemilik marga tersebut mempunyai sifat menerima dan
mensyukuri atas semua yang dianugrahkan kepada dirinya. Dari pembahasan di
atas, marga al-Cha>mid tergolong dalam kategori marga yang menyimpan makna
futuratif, karena terdapat suatu harapan di masa yang akan datang terhadap anak
keturunannya.
b. al-Junaid
Ditinjau dari prespektif makna, marga al-Junaid mengandung suatu
pengharapan dari sang pendahulu-pendahulunya. Waliullah Abu Bakar bin Umar
Abdullah sebagai pemilik pertama marga ini dan generasi penerusnya, diharapkan
dapat meniru jejak dari seorang Sayid Atthaifahus-Sufiyah yang bernama
waliullah Djunaid bin Muhammad (al-Masyhur, 2013: 207). Pemargaan marga
ini, mengambil konsep penyandaran nama marga dengan cara menyamakan nama
marganya dengan nama gurunya agar kelak anak keturunannya mendapatkan
keberkahan dari guru tersebut. Dari pembahasan di atas, tampak adanya makna
pengharapan yang terkandung dalam marga al-Junaid, maka dari itu marga ini
tergolong dalam jenis marga yang bermakna futuratif.
c. Ba>’aqi>l
Secara pemaknaan, marga Ba>’aqi>l mengandung suatu pengharapan kepada
generasi pemilik marga ini. Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab
Hadhrami Pasar Kliwon, marga Ba>’aqi>l merujuk pada nama kakek moyang
mereka yang bernama Aqil, yang merupakan orang yang cerdas (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 4 Agustus 2015 jam 23.07 WIB). Pada marga ini terdapat
92
suatu penyandaran marga kepada nama kakek moyangnya. Penyandaran marga ini
bertujuan agar kelak generasi penerusnya dapat menginggat dan meniru kakeknya
tersebut merupakan orang yang cerdas. Dari pembahasan di atas, tampak adanya
suatu pengharapan dengan menyadarkan nama marga pemiliknya kepada
leluhurnya, maka dari itu marga ini tergolong dalam marga yang bermakna
futuratif.
d. bin Sahl
Secara pemaknaan, marga bin Sahl mengandung suatu pengharapan
kepada si pemilik nama marga. Harapan yang terkandung dalam nama marga Sahl
yaitu, agar mendapat keberkahan dari as-Sayid Sahal at-Tastari (al-Masyhur,
2013: 220). Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar
Kliwon, marga bin sahl didahului oleh kata bin, yang menunjukkan bahwa tokoh
yang disegani diantara mereka bernama Sahl (Umar bin Husain Assegaf,
wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30 WIB). Tujuan beliau menyandarkan nama
marganya kepada gurunya karena ingin meniru kecerdasan dan keluasan ilmu
beliau. Dari pembahasan di atas, terdapat suatu harapan di balik kemunculan
marga bin Sahl, maka dari itu, marga ini termasuk dalam kategori marga yang
bermakna futuratif.
e. bin Tha>hir
Ditinjau dari segi pemaknaan, marga bin Tha>hir mengandung harapan dari
orangtuanya ataupun sesepuh-sesepuhnya. Menurut seorang tokoh keturunan Arab
Hadhrami Pasar Kliwon, marga bin Tha>hir disandarkan pada nama tokoh mereka,
yaitu Thahir (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30
93
WIB). Adapun, harapan yang terdapat dalam marga bin Tha>hir yaitu agar kelak
anak keturunannya menjadi seorang yang suci (lahir dan batinnya). Maksudnya,
diharapkan pemilik marga bin Tha>hir kelak menaati perintah dan kehendak Allah
SWT dengan menjadi pribadi-pribadi yang suka bertaubat dan mensucikan diri
(Aidid, 1999: 81). Dari penyandaran marga ini, menujukkan adanya sikap atau
pola pikir dari pendahulu-pendahulunya yang sangat menghargai jasa-jasa nenek
moyang mereka. Marga bin Tha>hir yang dalam bahasa Indonesia yang bermakna
„anak yang senantiasa mensucikan diri‟ tergolong pada jenis marga yang
bermakna futuratif. Penggolongan tersebut didasari karena terdapat suatu harapan
agar anak keturunannya dimasa yang akan datang senantiasa menjadi orang yang
mensucikan dari dari segala kotoran, baik yang bersifat lahir maupun batin.
f. bin Yachya>
Marga ini tersusun atas dua kata. Ditinjau dari segi pemaknaan, kata
Yachya> dalam Mu’jamu’l-Lughatu’l-‘Arabiyyatu’l-Mu’a>shirah karya Umar
(2008: 2509) dimaknai dengan „salah satu Nabi dari Bani Israil‟. Marga bin
Yachya> mengandung suatu pengharapan kepada si pemilik nama marga. Adapun,
makna pengharapan yang tertuang dibalik marga ini yaitu, agar orang-orang yang
menyandang marga tersebut mendapat keberkahan dari Nabi Yahya ‘alaihi’s-
sala>m (Aidid, 1999: 82). Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami
Pasar Kliwon, “marga bin Yachya> itu diambil dari nama sesepuh mereka yang
tersohor dimasanya dengan keilmuannya dan keshalihannya” (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB). Dari pembahasan di atas,
tampak bahwa marga bin Yachya> disandarkan pada nama seorang Nabi.
94
Penyandaran ini menujukkan adanya suatu harapan agar keturunannya kelak dapat
mencontoh kepribadian dari Nabi Yahya ‘alaihi’s-sala>m, maka dari itu marga ini
termasuk dalam kategori makna futuratif.
g. Musa>wa>
Secara pemaknaan, marga Musa>wa> mengandung makna pengharapan
futuratif. Adapun tujuan penamaan marga Musa>wa> yaitu, agar waliullah Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad sebagai pemilik pertama marga ini dan anak
keturunannya kelak mendapat keberkahan dari gurunnya yang bernama Musa>wa>
dari Yaman (al-Masyhur, 2013: 249). Dari tujuan penemaan tersebut, tampak
bahwa ada suatu harapan dimasa mendatang. Adanya suatu konsep pengharapan
inilah menjadikan marga Musa>wa> tergolong marga yang bermakna futuratif.
h. Syaha>b
Di tinjau dari aspek pemaknaan, kata Syaha>b dalam Kamus Munjid
bermakna “segala sesuatu yang bersinar yang terbuat dari api” (Ma‟luf, 2008:
406). Kemunculan marga Syaha>b didasari adanya suatu harapan dari pemilik
pertama yang menyandang gelar ini. Menurut salah seorang tokoh masyarakat
keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, “marga Syaha>b atau biasa dikenal juga
dengan Syahabudin merupakan julukan bagi pendahulunya, karena dia
memancarkan cahaya untuk agama yang menujukkan orang tersebut tinggi
pemahaman dalam bidang agamanya” (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 13
Juli 2015 jam 16.30 WIB). Adapun, tujuan di balik pemargaan Syaha>b adalah
agar kelak anak keturunannya yang menyandang marga ini dapat meniru keluasan
ilmu dan keproduktifian para ulama nenek moyangnya dalam menuangkan ilmu-
95
ilmunya, baik secara lisan maupun tulisan yang dituangkan dalam karya-karyanya
(al-Masyhur, 2013: 222). Oleh sebab itu, maka marga Syaha>b tergolong dalam
nama marga yang bermakna futuratif, karena di balik marga Syaha>b terkandung
makna pengharapan agar dapat meneladani nenek moyangnya yang tinggi
keilmuannya dan banyak mempunyai karya.
2. Makna Situasional
Makna situasional adalah makna nama yang mengandung pemberitahuan
mengenai kondisi kehidupan dari pemilik nama marga. Dalam menganalisis nama
marga keturunan Arab Hadhrami, penelitian ini memanfaatkan metode padan
referensial dengan daya pilah referensial berupa suatu penggambaran kondisi
kehidupan saat diberikan nama marga. Makna seperti ini dapat ditemui pada
marga „Adniyy, ’Aidi>d, al-Chabsyiyy, Bashriyy, dan Maula>khailah.
a. „Adniyy
Marga „Adniyy menyimpan suatu informasi mengenai kehidupan nenek
moyang. Pemilik pertama marga ini yaitu waliullah al-Quthub Abu Bakar bin
Abdullah pernah tinggal di suatu kota di Yaman, yaitu Kota Adni (Aidid, 1999:
37). Waliullah al-Quthub Abu Bakar bin Abdullah berhijrah meniggalkan tempat
tinggal kelahirannya di Kota Tarim menuju ke Kota Adn di Yaman yang konon
cerita begitu sampai ke Kota And, beliau dengan kekeramatan dan kewaliannya,
maka turun hujan susu di Kota tersebut (Aidid, 1999: 37). Beliau menghabiskan
sisa hidupnya di Kota ini, sehingga beliau dijuluki “Adniyy”. Dari pembahasan di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaknaan dalam marga ini yaitu, adanya
suatu informasi mengenai tempat tinggal pemilik pertama marga ini, maka dari itu
pemaknaan seperti ini termasuk dalam kategori makna situasional.
96
b. ’Aidi>d
Marga ’Aidi>d memuat suatu kisah kehidupan pendahulunya. Kisah
kehidupan ini berupa peristiwa yang dialami oleh Muhammad Maula Aidid bin
Ali Shihab al-Huthah sebagai penyandang pertama dari marga ini ketika beliau
bermukim di dusun yang tidak berpenduduk di Wa>di> ‘Aidi>d (Dusun Aidid).
Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, “pada
awalnya, marga ’Aidi>d disebut dengan Maula> ’Aidi>d, tapi karena perkembangan
zaman, marga Maula> ’Aidi>d disingkat menjadi ’Aidi>d saja. ’Aidi>d merupakan
nama tempat yang dahulu kala tempat tersebut masih jarang ditinggali manusia”
(Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB).
Dusun tersebut pada mulanya adalah dusun yang ditakuti oleh pendudukan
sekitar, akan tetapi dengan keberaniannya, beliau berhasil merubah tempat yang
menyeramkan tersebut menjadi tempat yang bersahabat (Aidid, 1999: 40). Hal di
atas menujukkan adanya informasi kodisi tempat tinggal dari pendahulu pemilik
marga ini. Dari uraian di atas, maka marga ini tergolong dalam kategori marga
situasional, karena pemargaan ini berdasarkan tempat tinggal pemilik marga ini.
c. Bashriyy
Secara pemaknaan, marga Bashriyy menyimpan suatu informasi mengenai
tempat tinggal dari waliullah Ismail bin Ubaidillah. Menurut salah satu tokoh
keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, faktor kemunculan marga Bashriyy
disebabkan karena kakek mereka yang bernama Basri tinggal di Kota Basrah di
Iraq (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 21 Juli 2015 jam 22.30 WIB). Dalam
al-Mu’jamu’l-Wasith karya Majma’ul-Lughatu’l-Arabiyyah (2004: 59), Bashrah
97
dimaknai dengan „bumi yang padat dan bertanah lembek berwarna putih, bertanah
subur, berkerikil yang merupakan kota besar di Iraq. Dari pembahasan di atas,
penamaan marga ini disesuaikan berdasarkan nama tempat tinggal waliullah
Ismail bin Ubaidillah, hal tersebutlah yang menjadi titik tolak penggolongan
marga Bashriyy ke dalam jenis makna situasional.
d. al-Chabsyiyy
Marga al-Chabsyiyy membawa suatu kenangan peristiwa yang dialami
oleh waliullah Abi Bakar bin Ali sebagai pemilik pertama marga ini. Sejarah
mengungkap, beliau sering pergi ke Kota Habasyah di Afrika untuk menyebarkan
agama Islam (Aidid, 1999: 57). Beliau pernah tinggal di sana selama 20 tahun.
Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon,
kemunculan marga al-Chabsyiyy dikarenakan kakek beliau berdakwah dan
menetap di Habasyah (Ethiopia), Afrika untuk berdakwah (Hasan al-Habsyi,
wawancara, 21 Juni 2015 jam 15.20 WIB). Dari pembahasan di atas, marga al-
Chabsyiyy tergolong dalam marga yang bermakna situasional karena penamaan
marga ini disesuaikan dengan nama tempat dari pemilik pertama marga ini.
e. Maula>khailah
Secara pemaknaan, marga Maula>khailah mengandung suatu informasi
mengenai tempat tinggal dari pemilik pertama marga ini. Secara kebahasaan
Maula>khailah yang dapat diartikan „tuan pegunungan Khailah. Dalam al-
Mu’jamul-Wasi>th karya Majma’ul-Lughatul-Arabiyyah (2004: 267) kata khailah
sendiri mempunyai makna „diri yang besar dan menakjubkan‟. Menurut salah
seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, marga Maula>khailah yang
menggunakan awalan maula> menunjukkan suatu tempat, dalam hal ini khailah
98
merupakan nama suatu daerah di Tarim yang dahulunya tempat tersebut jarang
dihuni oleh orang, sehingga tempat tersebut dinamai khailah yang diambil dari
nama orang yang dahulu menjadi tokoh di tempat tersebut (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB). Hal ini menandakan adanya
suatu informasi mengenai kondisi tempat tinggal pendahulunya yang
menyebabkan munculnya marga Maula>khailah yaitu di pegunungan Khailah. Dari
pembahasan di atas, tampak bahwa marga Maula>khailah menyimpan informasi
situasi geografis dari pemilik pertama marga ini, maka dari itulah marga ini
tergolong dalam nama marga yang mempunyai makna situsional.
3. Makna Kenangan
Makna kenangan adalah makna nama yang mengandung kenangan di masa
lampau. Pada bagian ini, analisis nama marga keturunan Arab Hadhrami
memanfaatkan metode padan referensial berupa daya pilah referensial adanya
suatu kisah mengenai kebiasaan dari pemilik pertama kali marga. Makna ini
terdapat pada marga: al-Chadda>d, al-‘Aththa>s, al-‘I>>>>daru>s, al-Jufriyy, al-Ka>f, al-
Masyhu>r, as-Saqqa>f, dan Sya>thiriyy. Adapun, penjelasan masing-masing makna
tersebut sebagai berikut.
a. al-Chadda>d
Marga al-Chadda>d menyimpan suatu kisah kehidupan waliullah Ahmad
bin Abi Bakar sebagai penyandang pertama dari marga ini. Kisah kehidupan yang
terkandung di balik pemargaan al-Chadda>d adalah suka bergaul dengan Pandai
Besi dan suka berdakwah (Aidid, 1999: 58). Menurut seorang tokoh keturunan
Arab Hadhrami Pasar Kliwon, marga al-Chadda>d yang dalam bahasa Arab artinya
yaitu „pandai besi‟, dalam konteks ini bukan menujukkan suatu profesi sebagai
99
pandai besi itu sendiri, akan tetapi maksudnya pandai menghilangkan hal-hal yang
mengkotori hati, kemudian yang tersisa adalah yang baik, oleh sebab itulah
dinamakan al-Chadda>d karena ucapannya membersihkan hati (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30 WIB). Terdapat suatu kisah di balik
penamaan marga al-Chadda>d, kisah tersebut berbentuk kenangan masa lampau.
Adapun, kenangan masa lampau tersebut perihal kebiasaan dari waliullah Ahmad
bin Abi Bakar yang suka bergaul dengan pandai besi. Adanya kisah masa lampau
mengenai kebiasaan tersebut menjadi titik tolak pengelompokan marga al-
Chadda>d dalam kategori marga yang bermakna kenangan.
b. al-‘Aththa>s
Di balik kemunculan marga al-‘Aththa>s menyimpan sutu peristiwa yang
dialami pemilik pertama marga ini. Adapun, peristiwa tersebut berupa bersinnya
waliullah Abdurrahman bin A‟qil ketika dalam kandungan seraya mengucapkan
Alhamdulillah (Aidid, 1999: 38). Berkenaan dengan itu, menurut salah seorang
tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, “al-‘Aththa>s yang artinya bersin,
memang orangnya bersin di waktu kecilnya, sehingga dinamakan al-‘Aththa>s”
(Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB). Dari
peristiwa tersebut tampak adanya peristiwa yang menyebabkan seseorang
mendapatkan gelar ini. Peristiwa ketika dilahirkan itulah yang menjadikan marga
al-‘Aththa>s terkategori dalam nama marga bermakna kenagan.
100
c. al-‘I>>>>daru>s
Marga al-‘I>>>>daru>s menyimpan suatu informasi tentang kisah kehidupan
waliullah Abdurrahman Assegaf sebagai penyandang pertama marga ini. Dalam
kitab al-Masra (dalam al-Masyhur, 2013: 234), diterangkan bahwa marga al-
‘I>>>>daru>s merupakan gelar pemimpin para wali dan nama yang agung untuk seorang
sufi. Adapun, korelasinya dari segi kebahasaan, kata al-‘I>>>>daru>s mempunyai arti
„macan/singa‟. Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar
Kliwon, marga al-‘I>>>>daru>s bermakna „macan‟, pemilik marga al-‘I>>>>daru>s
diibaratkan sebagai singa yang mempunyai sifat pemberani (Umar bin Husain
Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB). Tidak diragukan lagi, bahwa
singa merupakan raja hutan. Adapun, dalam konteks ini beliau merupakan
pemimpin para wali dizamannya. Sebagaimana telah diterangkan pada
pembahasan sebelumnya mengenai latar belakang penamaan marga ini, beliau
dijuluki al-‘I>>>>daru>s karena keberaniannya menghadapi apapun juga (baik manusia,
makhluk halus), sehingga kebiasaan beliau yang berani menghadapi apa pun itu
menjadikannya dijuluki al-‘I>>>>daru>s. Dari pembahasan di atas, maka marga al-
‘I>>>>daru>s tergolong dalam kategori marga yang bermakna kenangan karena
tersimpan suatu peristiwa mengenai keberaniannya melawan makhluk ghaib,
sehingga beliau dijadikan pemimpin dari para wali.
d. al-Jufriyy
Secara pemaknaan, marga al-Jufriyy menyimpan suatu keadaan fisik
waliullah Abu Bakar bin Muhammad al-Jufri saat beliau kecil. Dalam Kamus
Lisanul Arab karya Mandzur (1191: 640) kata al-Jufriy mempunyai arti „anak
laki-laki yang membengkak badannya disebabkan karena makanan, sehingga
101
orang tersebut berbadan besar‟. Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab
Hadhrami Pasar Kliwon, “marga al-Jufriyy, dalam bahasa Arab berarti „anak
kambing‟ (jufur), karena dia selalu mengikuti syaikhnya, maka orang tersebut
layaknya anak kambing yang mengikuti ibunya” (Umar bin Husain Assegaf,
wawancara, 13 Juli 2015 jam 22.30 WIB).
Adapun, menurut Aidid (1999: 50), konon cerita waliullah Abu Bakar bin
Muhammad al-Jufri mempunyai bentuk fisik yang gemuk dan kekar. Di balik
pemargaan al-Jufriyy, tersimpan kenangan mengenai kondisi fisik seseorang
ketika kecil, kondisi fisik yang dimaksud yaitu, gemuk dan kekar. Hal tersebut
menjadi titik tolak penggolongan marga al-Jufriyy ke dalam nama marga
bermakna kenangan.
e. al-Ka>f
Ditinjau dari segi pemaknaan, terdapat suatu kejadian di balik kemunculan
marga al-Ka>f. Kisah kejadian masa lampau yang menjadi pendorong munculnya
marga al-Ka>f ini terdiri dari dua peristiwa (Aidid, 1999: 63). Pertama, peristiwa
kemenangan waliullah Ahmad bin Muhammad al-Kaf sebagai penyandang
pertama marga al-Ka>f ketika mengalahkan musuhnya yang dalam Hadramaut di
sebut ka>f. Kedua, ketika beliau menyebutkan sebuah kode dalam bentuk satu
huruf Arab sebagai identitasnya dalam suatu persidangan. Menurut salah seorang
tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, kemunculan marga ini
dikarenakan sesepuh mereka sering menulis huruf ka>f dalam catatan-catatan dan
buku-bukunya, sehingga dinamakan marga al-Ka>f yang merupakan huruf
favoritnya (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 21 Juni 2015 jam 22.30 WIB).
Kejadian-kejadian yang tersimpan dalam marga al-Ka>f menjadi suatu kenangan
102
tersendiri di balik kemunculan marga ini. Dari pembahasan di atas, tampak
berbagai peristiwa mengenai huruf ka>f yang menjadi titik tolak penggolongan
marga ini ke dalam kategori marga yang bermakna kenangan.
f. al-Masyhu>r
Terdapat suatu kenangan masa lampau di balik kemunculan marga al-
Masyhu>r. Kenangan tersebut mengenai menginformasikan mengenai kisah
kehidupan seorang wali yang bernama Muhammad al-Masyhur al-Majzub bin
Ahmad yang kewaliannya terkenal hingga ke penjuru negeri (al-Masyhur, 2013:
247). Menurut salah seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon,
pemargaan marga al-Masyhu>r dikarenakan leluhur beliau, Muhammad al-
Masyhur al-Majzub bin Ahmad terkenal karena keilmuannya, sehingga muncullah
marga al-Masyhu>r (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30
WIB). Dari ketinggian ilmu beliau tersebut menjadikannya bersifat masyhur,
sehingga beliau menjadi wali yang terkenal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa,
marga al-Masyhu>r menyimpan suatu makna perihal kehidupan masa lampau dari
pemilik pertama marga ini. Bila ditinjau dari prespektif makna, maka marga al-
Masyhu>r memuat kenangan masa lampau mengenai kebiasaan beliau yang suka
mencari, dan mengajarkan ilmu, sehingga menyebabkan beliau menjadi orang
yang masyhur. Dari pembahasan di atas, maka marga ini tergolong dalam kategori
marga yang bermakna kenangan karena menyimpan kisah kehidupan seorang wali
di masa lampau.
103
g. as-Saqqa>f
Di balik kemunculan marga as-Saqqa>f, memuat suatu kenangan masa
lampau. Kenangan ini berupa kisah kehidupan waliullah Abdurrahman bin
Muhammad yang menjadi pemimpin dan pembimbing yang mengayomi para wali
dizamannya (Aidid, 1999: 73). Beliau dianggap sebagai penganyom para wali
karena ketinggian derajat beliau yang diibaratkan atap rumah yang mengayomi
segenap yang ada di bawah naungannya (al-Masyhur, 2013: 218). Menurut salah
seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, pemargaan as-Saqqa>f
karena sesepuhnya adalah seorang pengayom, sehingga dia dijuluki as-Saqqa>f
yang secara kebahasaan bermakna „pengayom‟ (Umar bin Husain Assegaf,
wawancara, 13 Juni 2015 jam 22.30 WIB). Dari pembahasan di atas, terdapat
makna kenangan yang terkandung dalam marga as-Saqqa>f. Adapun, makna
kenangan tersebut mengenai kisah kebiasaan pemilik pertama marga ini yang suka
mengayomi saudara-saudara disekitarnya.
h. Sya>thiriyy
Di dalam marga Sya>thiriyy terdapat suatu kebiasaan dari tokoh
pendahulunya. Adapun, kebiasaan tersebut mengenai kisah kehidupan yang
dialami oleh seorang wali yang bernama Alwi bin Ali yang mempunyai kebiasaan
membagi setengah hartanya kepada saudara kandungnya yaitu waliyyullah Abu
Bakar bin Ali al-Habsyi (Aidid, 1999: 78). Berkenaan dari itu, menurut salah
seorang tokoh keturunan Arab Hadhrami Pasar Kliwon, pemargaan marga
Sya>thiriyy dikarenakan kepandaian dari Alwi bin Ali sebagai pemilik pertama
marga ini (Umar bin Husain Assegaf, wawancara, 13 Juli 2015 jam 16.30 WIB).
Pandai di sini maksudnya padai mengatur keuangan yang sebagiannya diberikan
104
kepada adiknya. Dari paparan di atas, tampak bahawa marga Sya>thiriyy
menyimpan suatu kejadian masa lampau. Adanya kejadian masa lampau ini
memberikan suatu kenangan kepada generasi setelahnya mengenai kebiasaan dari
sang pemilik pertama. Dari pembahasan di atas, maka marga Sya>thiriyy termasuk
dalam kategori pemaknaan nama marga kenangan.