bab iii peranan ippi dalam menyebarkan gagasan … · menurut m. tabrani, seorang wartawan dan...
TRANSCRIPT
42
42
BAB III
PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN
GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS
Perkembangan dan perjalanan pers di Indonesia yang senantiasa mengalami
pasang surut perubahan tentunya menuntut adanya penjelasan “background” sejarah
media itu sendiri. Menurut Edward C. Smith dalam Pembreidelan Pers di Indonesia,
peran media sebagai alat perjuangan di dalam revolusi kemerdekaan telah menjadikan
hal ini sebagai pengalaman dan menjadi latar belakang kepribadian pers Indonesia.
Dengan demikian nama pers perjuangan pada dasarnya harus dapat diterapkan
sebagai media policy/kebijakan media bagi setiap penerbitan di Indonesia, tidak
hanya pada masa revolusi perjuangan Indonesia, tetapi juga diterapkan pada masa-
masa selanjutnya.1 Pers di Indonesia merupakan alat perjuangan bangsa yang dapat
menjamin kemerdekaan nasional yang bukan merupakan kata-kata kosong belaka,
tetapi kemerdekaan nasional yang meliputi “the freedom to be free” agar dapat
membentuk struktur kemasyarakatan dan mencerminkan keadilan sosial dan
perdamaian abadi.2
1 Edward C. Smith., Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (Jakarta:
Grafiti, 1983), hlm. 44. 2 I. Taufik., Sejarah Dan Perkembangan Pers Di Indonesia, (Jakarta: P.T.
Triyinco, 1997), hlm. 15.
43
Pers memperjuangkan cita-cita bangsa Indonesia dan sebagai alat yang tidak
mengenal kompromi dengan sistem yang bertentangan dengan cita-cita nasional,
selain itu pers juga sebagai senjata mental bagi bangsa Indonesia dan alat
pembangunan untuk ke arah tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Semakin tajam
pers Indonesia sebagai alat pembangunan, maka semakin cepat pula tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pers pada masa perjuangan pergerakan
nasional, telah menampakkan keterlibatannya sebagai media komunikasi. Pers
cenderung menjadi alat perjuangan dari kaum pergerakan, sehingga tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa pers nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan
pergerakan nasional karena sesungguhnya pers merupakan bagian dari perjuangan itu.
Menurut Syamsul Basri bahwa pers dan wartawan dengan tulisan dan sepak
terjangnya waktu itu, berusaha menggalang dan membangkitkan kesadaran
masyarakat untuk bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajah.3
Menurut M. Tabrani, seorang wartawan dan tokoh pergerakan, memberikan
karakteristik pers nasional: Pertama, harus bercorak nasional dalam arti seluas-
luasnya dan kedua, menjadi pendukung gagasan kemerdekaan, namun harus
berpendapat luas dalam mengolah peristiwa dan fakta yang di dalam masyarakat
selalu terdapat perbedaan, ketiga; tenggang menenggang.4 Bung Karno ketika
memberikan kata sambutan pada hari ulang tahun koran “Sipatahoenan” yang ke-10
di tahun 1933, mengatakan bahwa tiada perjuangan kemerdekaan secara modern yang
3 Syamsul Basri., Pers dan Wartawan Sebagai Pembangkit Kesadaran
Bangsa Melawan Penjajah, (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 28. 4 Tabrani., Pers Nasional Sebagai Bagian dari Masyarakat yang Berjuang
Mencapai Kemerdekaan. (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 39-40.
42
44
tidak perlu memakai penyuluhan, propaganda dan agitasi dengan pers.5 Pengakuan
semacam ini diungkap pula oleh Muhammad Hatta sewaktu membina koran PNI
Baru, “Daulat Rakjat”, yakni:
“Memang majalah gunanya untuk menambah pengetahuan, menambah
pengertian dan menambah keinsyafan. Dan bertambah insyaf kaum pergerakan akan
kewajiban dan makna bergerak, bertambah tahu kita mencari jalan bergerak. Sebab
itu majalah menjadi pemimpin pada tempatnya. Dan anggota-anggota pergerakan
yang mau memenuhi kewajibannya dalam perjuangan tidak dapat terpisah dari
majalahnya”.6
Pengakuan yang diungkapkan tersebut memberi gambaran akan pentingnya
peranan pers dalam perjuangan pergerakan nasional. Peranan pers nasional sebagai
alat perjuangan dengan orientasinya yang mendukung perjuangan pergerakan
nasional telah mengambil bagian penting dari episode perjuangan dalam upaya
mencapai kemerdekaan. Di samping sebagai wadah di mana ide-ide dan aspirasi
organisasi disuarakan, juga telah berperan dalam menyadarkan dan membangkitkan
semangat persatuan dan kesatuan yang kemudian menjadi senjata ampuh melawan
politik pecah belah Belanda.
A. Kondisi Pers Nasional Pasca Kemerdekaan 1945-1948
Pada awal sejarahnya, pers di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus yang
berhubungan dengan keadaan masyarakat, politik, dan budaya. Sejarah pertumbuhan
pers di Indonesia mencerminkan struktur masyarakat yang majemuk, dengan adanya
golongan penduduk yang terpisah satu sama lain, seperti penduduk Belanda, China,
5 Ibid., hlm. VI. 6 Mohammad Hatta., Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1979), hlm. 329.
45
Arab, dan India. Penduduk Indonesia sendiri pada zaman kolonial berada dalam
batas-batas hidup kesukuan. Dengan itu maka bahasa yang dipakai pun berbeda, dan
pers dipakai sebagai media pemberitaan dan pendapat yang berbeda pula, dan tidak
jarang merupakan suara pendukung berbagai ideologi.
Tempat terbit dan penyebaran surat kabar Belanda hanya terbatas pada kota-
kota besar yang penting bagi administrasi maupun sebagai pusat perdagangan
perusahaan-perusahaan Belanda. Pada awal abad ke dua puluh beberapa pers Belanda
mewakili orientasi politik tertentu, yang walaupun ada perbedaan, namun bercorak
mempertahankan kolonial di Indonesia.7 Isi dari pers Belanda sendiri sudah tentu
berorientasi ke Eropa dan kepentingan Eropa, serta menutup mata bagi keadaan dan
kepentingan Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam pers
masyarakat Indonesia saja dirasa tidak perlu, kecuali Bataviaasch Nieuwsblad dan De
Locomotief, pada umumnya corak pers mereka dapat disebut sebagai pers kolonial.
Dengan ciri pers Belanda yaitu dengan sistem rasial, apabila suatu media
masa yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum
terhadap kebijaksanaan pemerintah maka tidak akan mendapatkan izin terbit. Namun
sejak berlakunya ketentuan Liberalisasi, khusunya keputusan penguasa untuk
menghapuskan pra sensor sebelum mulai tahun 1906, wartawan Indonesia
mempunyai peluang untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Liberalisasi di negara
jajahan tentu mengandung kontradiksi-kontradiksi pasal-pasal karet dalam undang-
7 Abdurrachman Surjomihardjo., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers,
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 34.
46
undang yang masih diberlakukan, bahkan pers breidel ordonantie tahun 1931 tetap
merupakan senjata pengekangan dan penindasan.
Puncak dari politik pemerintah terhadap kebijaksanaan pers adalah ketika
disahkannya peraturan dan pemberangusan pers pada tanggal 7 September 1931.
Dalam pasal 1, disebutkan bahwa pers breidel ordonantie atau pemberangusan pers
merupakan hak Gubernur Jendral untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang
dinilainya bisa mengganggu ketertiban umum, sedangkan dalam pasal 2 disebutkan
adanya pelarangan percetakan, penerbitan dan penyebaran sebuah surat kabar paling
lama delapan hari, tetapi jika sesudah terbit surat kabar yang bersangkutan dinilai
mengganggu lagi ketertiban umum, maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama,
meskipun tidak terbit lebih lama dari tiga puluh hari berturut-turut. Dari pasal-pasal
peraturan yang ada pada masa pemerintahan Belanda, jelas sangat menyempitkan
ruang gerak setiap gerakan pers yang berada di luar kepentingan kolonial. Tidak
seperti di zaman kekuasaan Belanda, pers di zaman penguasa militer Jepang banyak
sekali menguntungkan bangsa Indonesia, disamping ada juga faktor-faktor
penekanan.
Zaman pemerintahan militer Jepang, sarana publikasi dan komunikasi diatur
dengan undang-undang nomor 16 yang dikeluarkan oleh penguasa Jawa dan Madura.
Dua segi yang menonjol dari undang-undang ini ialah sistem izin terbit dan sensor
preventif. Dalam pasal 1 disebutkan, bahwa semua barang cetakan harus memiliki
izin terbit dan izin publikasi. Pasal 2 menyebutkan, bahwa penerbitan yang
sebelumnya memusuhi Jepang dilarang untuk meneruskan penerbitan. Adapun
mengenai sensor preventif ditegaskan dalam pasal 4 yang menyatakan semua barang
47
cetakan, sebelum diedarkan harus melewati bagian sensor Bala Tentara Jepang.
Ketegasan Jepang dalam peraturan persnya terasa sekali dengan ditempatkannya Shi
Doo In (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar, yang bertugas untuk
melakukan kontrol langsung terhadap setiap terbitan sebuah surat kabar, bahkan
sering para penasehat tersebut menulis sendiri artikel-artikel dengan menggunakan
anggota redaksi. Untuk mengelola penerbitan surat kabar tersebut pemerintah Jepang
mendirikan Jawa Shinbun Kai, yang merupakan serikat Persurat-kabaran di bawah
pemerintah militer. Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang sudah barang
tentu menyempitkan kedudukan pers sebagai sarana informasi kepada umum, namun
tak dapat disangkal bahwa juga memberi sumbangan berharga bagi perjuangan
kemerdekaan dan pertumbuhan pers Indonesia setelah kemerdekaan.
Dapat dicatat bahwa larangan terhadap penggunaan bahasa Belanda
meratakan penggunaan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok Indonesia untuk menarik
simpati rakyat Indonesia. Hal tersebut diperhebat pada masa penguasa Jepang
sehingga orang-orang Indonesia sendiri mendapat latihan mengenai berbagai aspek
pengelolaan pers dan menduduki posisi pada semua tingkat yang bertanggung jawab.8
Zaman pendudukan Jepang mendorong perubahan masyarakat dengan membuka
jabatan-jabatan baru bagi bangsa Indonesia, yang pada zaman kolonial Belanda tidak
terjadi. Pada saat Jepang kalah perang dan bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah siap dengan
berbagai jabatan yang diperlukan dalam menyusun kemerdekaan.
8 Ibid., hlm. 86.
48
Pers Indonesia sebagian tergantung kehidupannya pada situasi dan kondisi di
zaman Jepang, terutama sekali karena keterbatasan sarana seperti kertas dan mesin
cetak. Akibat dipindah-pindahkan menurut kemauan siasat Jepang, tetapi di mana
dahulu terbit surat kabar-surat kabar Jepang, di situ terbit surat kabar Republik.9
Demikian pula halnya dengan yang terjadi di beberapa daerah, baik itu mengenai
motifnya maupun tujuan dari setiap surat kabar yang ada, tidak akan terlepas dari
sejarah pertumbuhan persurat-kabaran, masyarakat, situasi dan kondisi saat itu. Surat
kabar sebagai salah satu media massa mempunyai peranan penting dan kedudukan
tersendiri di tengah-tengah masyarakat, terutama pada masa revolusi fisik. Walaupun
disadari bahwa baru kalangan tertentu dan sebagian kecil dari masyarakat yang
membeli surat kabar pada waktu itu, sehingga dapat dikatakan bahwa surat kabar
masih merupakan barang langka. Apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk media
massa lainnya maka surat kabar merupakan sarana komunikasi massa yang paling
murah dan mudah dijangkau masyarakat pada umumnya.
Mengingat kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memerlukan
alat untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, maka pada masa revolusi fisik,
sarana komunikasi massa yang berupa surat kabar ini menduduki posisi yang amat
penting bagi perjuangan. Surat kabar pada waktu itu merupakan penyampai semangat
dan pesan serta informasi kepada masyarakat dan pejuang. Fungsi yang amat penting
adalah sebagai pelopor dan pembangkit semangat perjuangan, tetapi surat kabar juga
9 Sumanang, Beberapa Soal Tentang Pers dan Jurnalistik. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1952), hlm. 24.
49
merupakan alat kontrol sosial, mengadakan kontrol, dan membina para pejuang untuk
tetap teguh pada pendirian di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
1. Kondisi Surat Kabar Pasca Kemerdekaan
Awal berdirinya surat kabar-surat kabar pada masa kemerdekaan masih
sederhana dalam bentuk dan sistem pengelolaannya. Bentuk perusahaan pada waktu
itu belum berdasarkan peraturan badan hukum, melainkan hanya semacam bentuk
gotong royong, saling percaya, kerja sama atas dasar kepentingan perjuangan, tidak
terikat oleh suatu peraturan badan hukum. Pada masa revolusi fisik untuk mendirikan
surat kabar yang terpenting adalah memiliki idealisme dan agak mengesampingkan
segi ekonomis. Untuk mempertahankan idealismenya tidak jarang seorang pemimpin
perusahaan harus berkorban materi, akibatnya tidak jarang surat kabar atau majalah
hanya mampu bertahan beberapa bulan bahkan hanya beberapa kali terbit. Tidak
mampu bertahannya suatu surat kabar atau majalah juga disebabkan oleh masalah
teknis seperti sulitnya kebutuhan pokok seperti tinta, kertas, mesin cetak dan lain-
lain, selain itu tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya, kebudayaan maupun politik.
Para karyawan surat kabar pada masa itu bekerja atas dasar perjuangan demi
kemerdekaan, tetapi walaupun demikian tidak berarti pihak penerbit tidak
memperhatikan kesejahteraan karyawan. Bagi karyawan sendiri pada prinsipnya yang
penting surat kabar dapat terbit, soal gaji tidak jadi masalah. Apalagi yang menjadi
wartawan perang, keduanya mempunyai sikap yang sama yaitu bekerja untuk
kemerdekaan Republik Indonesia.
50
Mengenai keadaan dan bentuk persurat-kabaran pada masa itu masih sangat
sederhana. Kebanyakan menggunakan kertas merang yang ukuran maupun tebal
tipisnya tidak sama, di satu sisi licin dan halus yang lain kasar dan tidak rata. Terdiri
dari dua halaman yang masing-masing surat kabar lebarnya tidak sama, kebanyakan
setengah lembar koran sekarang. Mengenai masalah pengerjaan surat kabar dari
proses pencarian berita hingga penyajiannya, para karyawan pers pada masa itu tidak
terpancang kepada tugas dan posisinya dalam perusahaan pers, tetapi mereka saling
membantu tanpa memandang posisi dan tugasnya.
2. Peranan Ikatan Pelajar Indonesia di Bidang Pers
Para pemuda, pelajar dan mahasiswa menghimpun tenaga dan kekuatan untuk
berjuang dalam bidang media masa yang memiliki kekuatan untuk mendorong
semangat perjuangan seluruh komponen elemen rakyat Indonesia untuk meraih
kemerdekaannya sendiri dan mampu memberi tekanan pada pihak penjajah terutama
terhadap NICA-Belanda yang berusaha menduduki kembali Pemerintahan Indonesia
pada tanggal 29 September 1945.10
Beberapa cabang dari Ikatan Pelajar Indonesia menerbitkan organnya masing-
masing, pada saat itu segala sesuatunya dikerjakan dengan tekad tanpa pamrih dan
semua ditunjukan untuk perjuangan kemerdekaan. Para penyelenggara berstatuskan
masih pelajar, disamping giat dan aktif dalam organisasi, menulis artikel majalah
masing-masing dan menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian
10 Slamet Muljana., Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai
Kemerdekaan Jilid II, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2008), hlm. 54.
51
Penerangan atau ormas-ormas, mereka tetap terkena kewajiban masuk sekolah dan
tetap harus mengikuti ulangan umum untuk kenaikan kelas ataupun ujian
penghabisan sekolah. Selain tetap harus wajib belajar dan bersekolah, pembagian
kerja di kantor pun diatur sebaik-baiknya dan di jadwal secara bergiliran. Ada yang
datang pada saat pagi hari dan adapula yang bekerja di sore hari. Demikian pula tata
usahanya telah diatur dari mulai mengambil majalah dari percetakan, menulis alamat
para pelanggan, mengurus pembukuan dan ekspedisi sampai pengiriman ke kantor
pos mereka lakukan sendiri. Semua itu tanpa adanya honor, mereka juga tidak
menjagakan bantuan dari pihak lain karena mereka melakukannya dengan sistem
gotong royong, percaya kepada diri sendiri dan ikhlas tanpa pamrih.
Penyerbuan Belanda ke wilayah de facto RI menghentikan semua kegiatan
penerbitan secara legaal. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tetap terus berjuang di
luar kota dan tidak sedikit pula yang bersikap pasif dengan Belanda. Pelajar dan
pemuda yang berjuang ke luar kota sebagian tergabung dalam Tentara Pelajar
ataupun yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan gerilya. Setelah kedaulatan RI
diakui Belanda para pemuda yang semula ada di luar kota dan berjuang di hutan-
hutan kembali ke kota untuk meneruskan belajar dan kembali aktif menuntut ilmu di
sekolah atau diperguruan tinggi masing-masing.11 Selama itu nampak tidak banyak
organ yang ditebitkan oleh para pelajar dan mahasiswa ini dikarenakan mereka
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka tinggalkan pada saat berada di daaerah
pedalaman.
11 Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 272.
52
a. Pelita Zaman
Ikatan Pemuda Indonesia di Jawa Timur yang berpusat di Mojokerto
menerbitkan majalah Pelita Zaman dengan dipimpin oleh Mohammad Icksan dan
mengenai isinya dipercayakan kepada Dachlan dan Sujati. Pelita Zaman
menyuarakan mengenai bahasa Indonesia yang dinilai sebagai bahasa persatuan dan
perjuangan yang harus diterapkan dan memiliki kedudukan yang sangat penting.
Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 menunjukkan para pemimpin yang
berusaha menerapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang penting meski dibawah
pemerintahan Belanda, berita-beritanya antara lain:
Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 :
Bahasa Indonesia, Bahasa Persatoean Dan Perdjoeangan
“Perkataan Bahasa Melajoe diganti dengan perkataan Bahasa Indonesia,
Soenggoeh soeatoe tindakan jang sekali goes mereboet hati kita. Bertahoen-
tahoen dalam zaman pemerintahan Hindia-Belanda dahoeloe kita
perdjoeangkan soal bahasa Indonesia itoe. Para pemimpin tidak berhenti-
berhentinja beroesaha soepaja bahasa Indonesia itoe diakoei oleh pemerintah
ketika itoe tetapi tersia-sia belaka, betapa djoega hebatnja perdjoeangan
diloear dan didalam badan perwakilan seperti Volksraad, Provinciale Raad
dan Stadsgemeenteraad.
Tentang kedoedoekan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdjoeangan, koerang
sekali didapati penerangan. Angkatan moedalah jang telah banjak berdjasa
dalam hal ini. Jaitoe beroepa soempahnja, bahwa kita bertanah air satoe;
bangsa Indonesia; berbahasa satoe, bahasa Indonesia. Soempah angkatan
moeda ini meloeas mendjadi soempah seloeroeh bangsa Indonesia. Ini
memang tidak bisa lain karena kalau kita berdjoeang oentoek mentjapai
Indonesia Merdeka, dengan sendirinja tanah air kita itoe haroes bernama
Indonesia, bangsa kita bergelar bangsa Indonesia. Amat djanggallah djika
misalja tanah air dan bangsa bertjap Indonesia. Sedang bahasanja bahasa
Melajoe atau bahasa Djawa misalnja. Poen sebaliknja, djanggal poela biamana
bangsa dan bahasa diseboetkan Indonesia, tetapi tanah air dinamakan Djawa
atau Soematera. Djadi teranglah, bahwa bahasa Indonesia itoe boekan hanja
bahasa persatoean. Tetapi, djoega bahasa perdjoeangan menoedjoe Indonesia
merdeka jang boelat, jang tidak terpetjah-petjah, ibaratkan Indonesia merdeka
53
itoe sapoe lidi. Maka bahasa Indonesia itoe adalah tali jang mengikatnja
poeloehan lidi itoe mendjadi satoe…”.12
Berita di atas, memuat mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang sangat
penting bagi bangsa Indonesia, kaena bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
tanah air Indonesia. Selain bahasa persatuan, sebagai bahasa perjuangan menuju
Indonesia merdeka dan bertujuan untuk mengusir kaum penjajah. Pada tanggal 15
November 1946 ditandatangani Perjanjian Linggarjati, Belanda menyerang
Mojokerto dan semua penerbitan yang ada di Mojokerto termasuk Pelita Zaman
menjadi kacau dan pemuda pelajar yang menanganinya harus mengungsi dan
meneruskan perjuangan di tempat yang baru.13
b. Pemuda Merdeka
Selain Pelita Zaman, IPI cabang Kediri memiliki majalah bernama Pemuda
Merdeka dan dipimpin oleh Moerdjimin seorang pelajar Taman Guru Taman Siswa
Kediri. Tetapi Moerdjimin gugur ditembak Belanda ketika naik rakit hendak
menyeberangi Sungai Brantas untuk kembali ke kotanya Nganjuk dengan
melaksanakan tugas organisasinya di sana. Selain Moerdjimin kedua temannya
anggota redaksi Sanyoto Padmodimulyo dan Pranata Sastrosuprapto yang juga pelajar
Taman Siswa juga terkena tembakan Belanda dan tenggelam hanyut di Sungai
Brantas. Pemuda Merdeka banyak menyuarakan informasi mengenai perjuangan
bagi seluruh pemuda di Indonesia dan jalannya usaha mempertahankan kemerdekaan
baik itu pemberitaan mengenai jalannya berperang melawan imperialisme Belanda,
12 Pelita Zaman, 20 Januari 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional 13 Rushdy Hoesein., Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 6.
54
maupun dampak dari pertempuran antara pemuda Indonesia dan Belanda. Seperti
yang diterangkan oleh tulisan Trisula menerangkan keadaan para wanita, anak-anak
dan kaum laki-laki yang dirampas hak dan diperbudak oleh tentara-tentara Belanda.
Selain itu, perjuangan pemuda dalam menghadapi dan memperjuangkan
kemerdekaannya tulisan-tulisannya antara lain :
Editorial Suryo Timur 15 Djoeli 1946 :
PEMOEDA
“Banjak sedikitnja kita semoea soedah tahoe tentang perang Diponegoro.
Oleh sebab itoe, soedah bisalah membajangkan bagaimana keadaan
masjarakat dikala itoe. Bisa poela membajangkan bagaimana hidoep dimasa
itoe. Sebeloem perang disana-sini, dipermoekaan Noesantara kita ini, kaki
imperialisme Belanda mengindjak-indjak semaoe-maoenja. Sesoedah perang,
sampai kepada zaman baroe ini kaki imperialisme Belanda jang mengindjak
itoe diperkoeat. Teroetama oleh tangan-tangan berkoekoe tadjam jang hebat
menjengkeram. Tangan-tangan imperialisme Amerika-Inggris kalau sedikit
sadja Indonesia kita ini bergerak makin berloemoeran darahlah loeka-loeka
tjengkeraman imperialis itoe. Selama berperang, desa-desa dibakar, pertanian
diroesakkan, ternak dirampas, perempoean dan kanak-kanak ditangkap. Laki-
laki dipaksa bekerdja mendirikan benteng-benteng moesoeh. Diboenoeh mati
sesoeka hatinja. Hanja mereka jang toeroet berperang sadja jang hindar dari
keboeasan ini. Mereka jang toeroet berperang sadja menikmatkan bahagia
merdeka!. Mereka jang toeroet berperang djoega jang diloehoerkan selama-
lamanja!.
Dalam membajangkan semoea ini sekarang, kiranja tidak berlebih-lebih kalau
dikatakan: tiap temboesan peloeroe lawan jang menoempahkan darah nenek
mojang kita, tiap djerit wanita dan kanak-kanak jang disiksa, tiap adoeh
manoesia jang dibakar roemahnja, dirampas ternaknja, dipaksa bekerdja
dengan semena-mena. Dan memangnjalah, semoeanja itoe pasti akan berlakoe
kembali kalau kaki imperalis itoe mengindjak tanah air kita ini kembali. Oleh
sebab itoe, disaat moesoeh itoe mendekat-dekat hendak mengindjakkan kaki
diboemi kita lagi, kita mesti soedah mempoenjai sikap dan terlahirkan sebagai
bangsa jang baroe”.14
Pemuda Merdeka kemudian digabung dengan majalah Pelajar Pejuang
dengan berganti nama Patria pada tanggal 10 Juli 1946 dengan dipimpin redaksinya
14 Peladjar Merdeka, 15 Djoeli 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional.
55
oleh Soetomo dari Sekolah Guru Laki-Laki Blitar dan di kemudian hari di kenal
dengan Vifa Soetomo.
c. Patria
Patria sering menerbitkan mengenai penyampaian ide, misi dan perjuangan
melawan penjajahan Belanda. Selain itu, Patria juga menggambarkan mengenai
perjuangan Pemuda pelajar. Pada Patria edisi No. 5 tertanggal 25 Oktober 1946
menerbitkan artikel berjudul “Pemoeda Dan Kemadjoean Bangsa”, antara lain:
“Peladjar penting oentoek masa pembangoenan, salah soeatoe kewadjiban
jang amat penting bagi pemoeda dan pemoedi bangsa kita ialah keberanian,
bahwa merekalah pemangkoe nasib bangsa. Kepada para pemoeda
pemoedilah harapan bangsa ditoedjoekan. Dari mereka diharap sifat dinamis
(gerak) jang dapat meroebah keadaan jang pintjang, meroebah keadaan
setjepat-tjepatnja. Rasa kebangsaan, rasa satoe dengan bangsanja, rasa tjinta
pada tanah air adalah salah satoe hal yang perloe oentoek menggelorakan
djiwanja dan membakar semangat perdjoeangannja. Haroes poela pemoeda
kita siap oentoek bertempoer dengan moesoeh djika tanah air terantjam.
Kaoem pemoedi dalam oesaha dan persiapan haroes tahoe menempatkan
dirinja pada tempat-tempat jang lowong karena ditinggalkan pemoeda
kemedan perang, jang dapat diganti dengan tenaga pemoedi dan disitoelah
lapangan oentoek mentjoerahkan tenaganja dan memenoehi djandjinya.”.15
Artikel ini menyebutkan para pelajar memiliki rasa berjuang untuk
mempertahankan bangsa Indonesia. Pemuda pelajar adalah harapan untuk merubah
dan menentang kaum penjajah. Perjuangan pemuda adalah perjuangan rakyat, para
pemuda harus menjadi paling depan dalam menghadapi ancaman pihak luar. Selain
itu, Patria menerbitkan sajak dari Usmar Ismail yang memiliki makna menceritakan
kekecewaan rakyat yang telah tertipu oleh penjajah dan rakyat masih memiliki
15 Patria, 25 Oktober 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional.
56
harapan akan kemerdekaan. Sajak ini diterbitkan pada tanggal 25 September 1946,
seperti berikut ini :
Tjaja Merdeka Kepada Tanah Airkoe.
Sekali akoe terbangoen dalam tjerkammoe,
Dari dalam djoerang jang gelap-hitam
Kau renggoet akoe hingga akar-djiwakoe,
Kau angkat akoe memboeboeng
Menatap wadjah Soeria Merdeka…
Boeta akoe disorot ni’mat sinar gemilang,
Diseret hanjoet gelora aroesmoe,
Kemoedian kau lemparkan dakoe
Kepantai tindakan njata!
Telah kau remoek akoe,
Bersatoe padoe dengan sinarmoe,
Ta’ moengkin akoe’kan soeroet lagi
Sampai lipoer tjajamoe dalam matikoe…
Akan mengemboes angin dari tepi koeboerkoe setiap pendjoeroe,
Membawa ni’mat Tjaja Merdeka…
Dan soedjoedlah akoe dihadirat Toehankoe menoenggoe.16
Patria berkantor di Mojokerto tetapi di cetak di Kediri dan bila percetakan
telah selesai, majalah diikat menjadi satu dan di angkut dengan kereta api ke
Mojokerto ke rumah Mas Isman komandan TRIP Jawa Timur yang sekaligus di
jadikan kantor majalah tersebut.
d. Obor
Ikatan Pelajar Indonesia juga menerbitkan majalah dengan nama Obor yang
berarti Suluh di Blitar yang di kenal sebagai Kota Pelajar. Terbit dalam Bahasa Jawa
dimaksudkan untuk memberi penerangan kepada rakyat pedesaan yang memang
16 Patria, 25 September 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional.
57
belum begitu paham dengan Bahasa Indonesia.17 Pemimpin Redaksi Obor adalah
Masroeroen di bantu oleh Siti Sudarmani, keduannya adalah pelajar SGL dan SGP
setempat. Bentuk majalah ini sangat sederhana dan terkadang menggunakan kertas
merang, ukurannya pun disesuaikan dengan kemampuan percetakan yang ada di Kota
Blitar masa itu. Namun yang terpenting adalah isinya yang sungguh bermanfaat bagi
para rakyat pedesaan terutama bagi perjuangan bangsa dan tetap menggalang
persatuan seluruh bangsa Indonesia. Berlawanan sekali dengan penerbitan pihak
Belanda yang meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi isinya mengajak
kealam penjajahan kembali, seperti media masa yang diterbitkan atas prakasa Dinas
Penerangan Belanda “Regeerings Voorlichttings Dients”. Beberapa media Belanda
tersebut seperti: Warta Indonesia (Jakarta), De Courant (Bandung) dan Het Dagblaad
voor Sumatera (Medan).
e. Soeara Moeda
Kemudian disusul Soeara Moeda yang diterbitkan oleh Ikatan Pelajar
Indonesia daerah Surakarta mula-mula terbit secara mingguan kemudian diterbitkan
tiga kali seminggu dan merupakan penerbitan IPI yang bertahan paling lama. Soeara
Moeda mula-mula berbentuk lembaran kemudian berbentuk majalah dan nomor
penerbitan perdananya terbit pada 1 November 1945. Soeara Moeda berkantor di Jl.
Purwosari 314-316 Solo dan harga langganan untuk 3 bulan adalah F1 5.25;
sedangkan untuk eceran seharga F1 0.30 atau tiga puluh sen. Dicantumkan sebagai
penyelenggara Boestami dan Idham sedangkan redaksinya Slamet Moeljono, Singgih,
17 Soebagijo., Sebelas Perintis Pers Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976),
hlm. 81.
58
Soeharto, Soekarto dan Soetikno dan sebagai Tata Usaha Rahoela, Toni Darto dan
Hartono.18
Pada waktu itu Soeara Moeda mempunyai rubrik “pojok” yang di beri nama
nDjomplang dengan penjaga pojok Srempet. Tiga minggu kemudian terjadi
perubahan susunan baik dalam bidang redaksi maupun tata usaha dan pembaharuan
redaksi di cantumkan nama-nama Soekarto, Soetikno, Moeljoto, Soetadi, Soeharto,
Moeljono, Singgih, Hartoko dan Soemantri, sedangkan tata usaha antara lain Seno,
Roesman dan Sri Tartani. Dalam sejarah pers Indonesia, Soeara Moeda merupakan
korban pertama dari Pemerintah Republik Indonesia yang terkena persbreidel atau di
batasi. Ini disebabkan penguasa setempat (Polisi Militer) Solo mempunyai penafsiran
bahwa Soeara Moeda dianggap mendukung pihak swa-praja tetapi sebenarnya ialah
anti swa-praja. Selain itu Soeara Moeda terbitan IPI Solo ini pula di catat sebagai
usaha pelajar pedalaman yang mengirimkan wartawannya untuk menyertai konferensi
pers dengan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang mewakili Mahkota Belanda
di Indonesia pada masa itu.
f. Api Merdeka
Ikatan Pelajar Indonesia di Daerah Yogyakarta pun memiliki majalah bernama
Api Merdeka dan sebagai modal dalam menerbitkan majalah adalah kertas
pembungkus roti yang diperoleh dari sumbangan Komite Nasional Indonesia Daerah.
Api Merdeka baru menerbitkan dua nomor dan penerbitan di lanjutkan bersama
dengan PB IPI yang pada saat itu pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dan bermarkas di
Tugu Kulon 70.
18 Ibid., hlm. 85.
59
Penyelenggara majalah Api Merdeka adalah sebagai berikut :
Pemimpin Umum : Achmad Dahlan Ranoewihardjo
Pemimpin Redaksi : Soebagijo Ilham Notodidjojo
Pemimpin Administrasi : Rikoesworo Dirdjokoesoemo
Anggota Redaksi : Abdoel Madjid H. Ibrahim, Djalioes Djalil,
Tjiptohardjono, Sartini dan Astoeti
Anggota Administrasi : Soedarsono, Soemarto, Soepomo, Soemardjan,
Indroharto, Siti Soemar, Soegijanti dan Soeharti.19
Api Merdeka mempunyai pengaruh sampai ke luar Jawa ini dikarenakan para
pelajar di Sumatra yang di ketuai Boestaman menerbitkan majalah dengan nama
Menyala, penerbitan ini di namakan dengan Menyala sebab agar Api Merdeka di
Yogyakarta agar selalu menyala terus di Sumatra. Contoh tulisan Tjinta Tanah Air
terbitan Api Merdeka pada tanggal 19 Agustus 1947 yang membuat semua rakyat
memiliki semangat yang terus menyala, berisikan :
“Djika sempit, wahai tanah airkoe, djika sempit boeat dirikoe lapanganmoe,
moga-moga langkahmoe akan bertambah lebar, lantaran pengorbanankoe.
Bilakah lantaran tjinta kepadamoe, akoe akan naik tiang gantoengan soepaja
sesoedahkoe hilang kelak bisa naik poela kekoersi mahtigai kemoeliaanmoe.
Kita semoea haroes beroesaha soepaja penglaksanaan perdjoeangan berhasil,
berbahagialah soeatoe tanah air jang poetera-poeteranja mentjintainja lebih
daripada tjinta kepada diri sendiri. Akan djajalah soeatoe bangsa, akan
sentausalah soeatoe masjarakat jang anggautanja siap sedia mentiadakan diri
sendiri, mengenjampingkan diri sendiri, goena kehormatan agama, bangsa dan
negara”.20
Suara yang tercermin dalam beritanya menunjukkan bahwa Api Merdeka
sangat berharap besar bagi para putra-putri Indonesia dalam melaksanakan
19 Susunan Lengkap Pengurus Majalah Api Merdeka, Tahun 1947. Koleksi
Arsip Nasional Republik Indonesia, Arsip Susunan PB IPPI, No. 103. 20 Api Merdeka, 19 Agustus 1947, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional.
60
perjuangan yang bertujuan untuk kehormatan agama, bangsa dan negara. Kehadiran
majalah Api Merdeka di Sumatra di bawa oleh pemuda yang di kirim oleh pemerintah
untuk mengadakan propaganda sekaligus menjadi penghubung antara pemerintah
pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah RI di Pulau Perca tersebut. Peran media masa
terutama majalah sering memuat tulisan mengenai usaha mempertahankan
kemerdekaan disebabkan masa itu adalah masa di mana Indonesia sedang melakukan
usaha dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
B. Peranan IPPI di Bidang Pers Tahun 1948-1965
IPPI merupakan penyatuan dari organisasi SMI dan IPI yang lahir pada
tanggal 2 febuari 1948 melalui kongres pemuda ketiga di Yogyakarta. Penyatuan ini
dimaksudkan untuk menghimpun pengalaman dan kekuatan para pelajar dan
mahasiswa dalam sebuah wadah perjuangan. IPPI terus-menerus mempelopori usaha-
usaha mempertahankan dan mengobarkan semangat persatuan yang pada saat itu
Belanda masih berusaha untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Wujud perjuangan
IPPI sebagai sebuah organisasi pelopor perjuangan dari pemuda pelajar dalam
mempertahankan kemerdekaan indonesia antara lain melalui bidang pers. Seiring
dengan bangkitnya kesadaran nasional, pers telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk
menyebarluaskan cita-cita mencapai Indonesia merdeka.21
21 Anwar Kurnia dan Moh. Suryana., Sejarah 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2007), hlm. 27.
61
1. Menyala
Pada masa pergerakan nasional, terbit surat kabar yang dikelola organisasi
IPPI di Sumatra menerbitkan majalah Menyala yang ke dua dengan nomor terbitan 25
Juni 1949 seharga Rp.50,- dan sampul bertuliskan: Diterbitkan IPPI Sumatra Tengah.
Pemimpin redaksinya adalah Sukardjo Wirjopranoto dan Adinegoro, majalah ini
berisikan mengobarkan semangat kemerdekaan, semangat Republik, semangat
pengabdian kepada negara dan bangsa. Seperti ditulis pada tanggal 30 Juni 1949 oleh
Poenggoek berisikan :
BOEAH PIKIRAN SEORANG PEMOEDA
“Bangsa kita, jaitoe bangsa Indonesia. Bangsa jang tidak merdeka, tjita-
tjitanja hanja satoe, dan paling penting, jaitoe Indonesia Merdeka. Ra’yat
Merdeka. Kemerdekaan itoe ada seperti satoe boeah jang bergantoeng di
pohon dan jang kita dapat petik kalau kita hendak menaik, hendak
mengeloerakan tenaga kita dan peloeh kita. Kalau berdiam dibawah pohon
itoe dan hanja melihat sadja tentoe kita tidak dapat boeah itoe. Kemerdekaan
itoe adalah soeatoe hak segenap rakyat, maka soedah seharoesnja soeatoe
ra’jat djadjahan mengorbankan harta bendanja, tenaga dan fikiran oentoek
mendapatkan kemerdekaan itoe jang telah moesna.
Djikalau kita menanja kenapa hanja orang asing sadja jang mempoenjai
gedong-gedong besar maka sebagai djawaban kita senantiasa dapat : salah
bangsa Indonesia Sendiri, tanah air kita adalah negeri jang kaja sendiri.
Walaupoen begitoe toch kita terhitoeng mahloek jang paling melarat. Segala
initiatief, kemaoean oentoek berdiri sendiri padam. Bagi pemoeda hidoep
sengsara boekanlah mendjadi soal lagi. Tidak banjak tempat pekerdjaan
karena masih hoetan. Sekarang soedah waktoenja kita membikin hoetan-
hoetan itoe mendjadi keboen-keboen. Sebab kita toch tidak akan selamanja
memboentoeti kaoem kapitalisten sadja”.22
Suara yang tercermin dalam petikan diatas menunjukkan dasar dan tujuan
berjuang untuk tetap tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia, muatan tulisan
tersebut menunjukkan bahwa Menyala sangat bersemangat untuk menyadarkan
22 Menjala, 30 Juni 1949, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional.
62
segenap rakyat bahwa bangsa Indonesia memiliki hak untuk merdeka dan
menyatukan tenaga dan pikiran untuk berjuang mendapatkan kemerdekaan. Buktinya
adalah tulisan-tulisannya yang selalu lantang dalam menyebarkan kesadaran dan
semangat bagi segenap rakyat Indonesia. Mengingat majalah ini diterbitkan di
pedalaman oleh sebab itu proses penerbitan dengan alat dan bahan seadanya dengan
menggunakan stensilan berukuran kwarto atau folio dan sebagai kop majalah di
bagian kiri di lukis burung hantu di atas buku dengan menggunakan tinta, pena dan
kertas di bagian kanan. Sedang di tengah ada gambar api menyala, sebagai
semboyannya di pilihlah Suara Pelajar Republik.
2. Gerinda
Selain majalah Menyala, pemuda pelajar juga menerbitkan Gerinda di
Semarang yang memuat tulisan yang bersifat politis. Kata Gerinda di ambil dari alat
yang di pakai untuk mempertajam pisau, gunting dan sebagainya. Pada saat itu
majalah Gerinda di resmikan di rumah Moh. Nugroho dan menerbitkan majalah
bersifat politis karena setelah pihak Belanda dengan pasukannya melalui harian Suluh
Rakyat berusaha menyebarkan paham federalis dan spontan membuat IPPI bergerak
melalui tajuk rencana di majalah Gerinda menentang paham federalis tersebut.
Susunan redaksi Gerinda antara lain Moh. Nugroho, V. Sugiono, Hartono, Abdullah
dan Poeji Rahajoe. Akibat perlawanan pemuda pelajar melalui media pers melawan
paham federalis, ketua IPPI yuwono di tangkap Belanda karena melakukan beberapa
kesalahan yaitu mengenai agitasi jangan masuk sekolah Belanda, propaganda RI
melalui majalah Gerinda dan menyebarkan pamflet gelap. Propaganda yang
dilakukan oleh para pemuda membahas mengenai memberikan semangat dan
63
mengajak untuk bersatu melawan Belanda terutama memberi gambaran dalam
perang gerilya yang pernah terjadi pada tanggal 25 November 1828, seperti tulisan
yang berjudul Merdeka Atau Mati diterbitkan oleh Gerinda pada tanggal 17
September 1948 berisikan tentang :
“Oleh Karena itoe, dengan bersaksi kepada Toehan Jang Maha Esa, kami
tetap berdiri tegak atas ketegoehan hati teroes meneroes berdjoeang oentoek
mentjapai kemenangan achir dan Indonesiaa Merdeka. Kami memperhebat
segala tenaga oentoek mendorongkan rakjat agar seloeroeh djiwanja dilipoeti
oleh keinginan memiliki Indonesia Merdeka dengan semangat pertempoeran
joega. Berkobar-kobar laksana api jang. Membakar berjala-njala penoeh
dengan keichlasan mengatasi segala kesoekaran dan pengoerbanan,
walaupoen akan menghadapi maoet. Kita dengan ketegoehan bathin dan
ketetapan hati teroes-meneroes berdjoeang dengan sembojan : “Merdeka Atau
Mati!”.
Dan betapa akibatnja penjerangan Goerila dari tentara Diponegoro itoe dapat
kita lihat dalam soerat pelapor Ledel kepada Goepenoer Djenderal De Kock
tertanggal Tegalweroe, 25 Nopember 1828 No.338, jang berboenji:
“Kita kira, oentoek mendoedoeki daerah sini (Tegalwero) kita haroes
memboetoehkan riboe militer lengkap-koeat dengan sendjata api, sedang
tentara tamtama jang ada disekitar goenoeng itoe hanja terdiri atas 100
orang”
Demikianlah hebat perang Goerila dan kalau kita mengingat, bahwa loekisan
diatas ini diberikan oleh penoelis Belanda (E.S. De Klerck dalam boekoenja ,,
Java Oorlong”) maka sidang pembatja dapat membajangkan bahwa perang
Goerilla jang dilakoekan itoe lebih hebat. Alangkah hebatnja perkataan itoe,
hebat menggetarkan kalboe. Perkataan itoe mendjadi poentjak soempah jang
kita moelai dengan penjataan : Kita tidak maoe didjadjah lagi! Kita lebih
soeka melihat seloeroeh Indonesia tenggelam di bawah gelombang Semoedera
Hindia dia daripada memilikinja sebagai djadjahan orang lain!! Dengan
soempah inilah kita menjosongsong Indonesia Merdeka. Merdeka atau mati!
Soedah insjaflah semoea kita aka misi dan konsekwensi dari perkataan itoe?
Isi perkataan itoe ialah: perdjoeangan tidak akan kita hentikan sebeloem
seloeroeh imperialisme roentoeh. Kalau moesoeh berani mengindjakan
kakinja di Tanah Air kita, maka dengan serentak seloeroeh rakjat haroes
bangkit melawannja”. 23
23 Gerinda , 17 September 1948, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional
64
Tulisan ini memiliki makna besar untuk berani menentang penjajah dan
memiliki keteguhan untuk terus berjuang sampai seluruh kaum imperialisme pergi.
Tulisan ini juga memberikan semangat melalui gambaran perang Gerilya yang
dihadapi tentara Diponegoro untuk tidak takut menghadapi musuh dan memiliki
prinsip untuk lebih baik mati karena bencana daripada harus mati ditangan penjajah
yang berartikan bangsa lemah. Selain Yuwono, Soebijantoro yang mengambil alih
pimpinan IPPI kemudian di tangkap dan di jebloskan di penjara ke dalam tahanan
oleh IVG di Tilema-plein Semarang. Ini merupakan bukti kekuatan dan ketahanan
pemuda pelajar melalui tulisan-tulisan yang di muat betapapun sederhana bentuknya
tetapi memiliki makna mendalam bagi bangsa Indonesia.
3. Pemuda Masyarakat
Pada tahun 1951 IPPI Jakarta Raya memiliki majalah Pemuda Masyarakat
yang mula-mula merupakan bulletin dan memiliki perkembangan di cetak secara
modern dengan ukuran menyesuaikan pada waktu itu. Djafar Husin Assegaff seorang
tentara pelajar, sebelumnya aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Pejuang Lampung, ketika
sekolah di Jakarta bergabung menjadi anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar
Indonesia) dan Ormas ini punya majalah Pemuda Masyarakat dan di sana Assegaff
belajar menulis artikel.24 Majalah Pemuda Masyarakat ini beralamatkan Jalan Subang
No.16 Jakarta, majalah ini terbit tiap satu bulan sekali dan di jual dengan harga Rp.2,-
tiap nomor, tetapi sebagai anggota IPPI hanya berharga Rp.3,- untuk tiga nomor. Di
24 Djafar Husin Assegaff, Wartawan Tak Kenal Pensiun, http://www.tokoh
indonesia.com//biografi//article//90286-direktori//1066wartawantidakkenalpensiun,
(diakses tanggal 11 April 2015 Pukul. 02.30 WIB).
65
sampul depan majalah Pemuda Masyarakat tertera lambang IPPI dan di tengah
lambang dari IUS yang menandakan bahwa IPPI adalah anggota IUS, tetapi setelah
IPPI keluar dari IUS maka nama IUS pun sudah tidak di cantumkan sebagai lambang
majalah Pemuda Masyarakat.25 Pimpinan Umum Redaksi majalah Pemuda
Masyarakat adalah Eddy Abdurrachman dan pemimpin Redaksi adalah Roestam
Anwar, tetapi jabatan itu tidak berlangsung lama karena Eddy Abdurrachman terkena
pemecatan dan di gantikan oleh Makkateru Syamsuddin dan staff redaksinya adalah
A. Hamid, Rostan dan Erno A.S dan tata usahanya adalah Sagaf Sofjan.
Pemuda Masyarakat mempunyai koresponden atau pembantu tetap di
beberapa kota bahkan ada di luar negeri. Beberapa kota yang bertanggung jawab
dalam redaksi majalah Pemuda Masyarakat antara lain :
1. Jakarta di ketuai oleh Syahril dan Dodong Djiwapradja
2. Tegal di ketuai oleh Isw. Sukimin
3. Yogyakarta di ketuai oleh Suwardja S.
4. Padang di ketuai oleh Temas
5. Makasar di ketuai oleh Akhas Pangerang
6. Serang di ketuai oleh Andhrijs Djunaedi
7. Bandung di ketuai oleh Djayusman
25 International Union of Student (IUS) berdiri di Praha, Cekoslovakia pada
tahun 1948. IUS bergabung dengan IPPI karena dilandasi kesamaan visi dan misi
perjuangan IPPI, yang berazaskan masyarakat yang bertujuan untuk membebaskan
rakyat tertindas dan menciptakan keadilan serta kemakmuran pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdaulat. Dan pada tahun 1954 PB IPPI Boestaman
memutuskan hubungan dengan IUS karena menjadikan anggotanya tidak produktif
karena selama ini IUS hanya menguntungkan salah satu blok dunia yang membuat
IPPI tidak netral.
66
8. Sambas di ketuai oleh Aspia Mahjus
9. Singaraja di ketuai oleh Suwita M.S.
10. Dan di luar negeri Nederland di ketuai oleh Salamun dan Surjanto Utomo.
Salah satu redaksi majalah Pemuda Masyarakat di Bandung yang diketuai
oleh Djayusman menerbitkan artikel dengan judul Setia Bangsa Dan Tanah Air yang
membahas peranan penting pemuda dalam menjalani kewajiban pembangunan
Negara Indonesia serta menanamkan nilai rasa cinta tanah air, memperteguh dan
membela persatuan tanah air. Artikel ini diterbitkan pada tanggal 20 April 1951
berisikan seperti :
Setia Bangsa Dan Tanah Air
“Seloeroeh doenia kini mendjadi medan pertempoeran, api dan darah dimana-
mana. Djoega di tanah air kita. Doenia lama sedang roentoeh dan doenia baroe
sedang timboel dari gelombang dan badai zaman. Jaitoe Negara Indonesia
Merdeka. Kewadjiban pemoeda dalam masa peperangan dan pembangoenan
ini hanjalah satoe, jaitoe ikoet berjoeang. Ikut berjoeang, soepaja berwoedjoed
tjita-tjita jang menjadi taroeh segenap bangsa Asia Merdeka jang bebas dari
imperialisme. Ikoet berdjoeang, soepaja berwoedjoed tjita-tjita jang
dikandoeng setiap anak Indonesia jang tidak mendoeharkai Tanah Airnja,
jaitoe Indonesia Merdeka!.
Pemoeda pertjaja, bahwa doenia ini dapat dibentoeknja menoeroet
kehendaknja. Pemoeda merasa bahwa didalam dirinya ada daja sjakti jang
menjala sebagai api. Itoelah sebabnja, maka setiap zaman pantjaroba pertjaja
kepada pemoeda, pertjaja bahwa tangan pemoeda akan dapat membangoenkan
boemi baroe dan langit baroe jang lebih indah dari doenia lama,
membangoenkan manoesia baroe jang akan hidoep berbahagia sebagai dewa
didalam doenia!. Djoega kakak-kakak kita pertjaja kepada pemoedanja.
Dengarkanlah oetjapan boeng Karno jang berboenji: Siapa jang
menggenggam pemoeda, dialah jang menggenggam masa datang!. Dan boeng
Hatta ada mengoetjapkan perkataan jang sederhana, tapi indah bagai intan.
Jang berboenjinja “pemoeda, engkau pahlawan dalam hatikoe!”.26
26 Pemoeda Masyarakat, 20 April 1951, Koleksi Arsip Monumen Pers
Indonesia.
67
Isi artikel Djayusman ini memiliki makna bahwa dalam kondisi buruk yang
terjadi pada bangsa Indonesia pada saat itu, pemuda memiliki kewajiban untuk ikut
berjuang dengan tujuan terwujudnya cita-cita segenap bangsa Indonesia merdeka dan
bebas dari imperialism. Bung Karno dan Bung Hatta percaya bahwa pemuda
memiliki peran penting untuk melanjutkan cita dan harapan bangsa. Majalah Pemuda
Masyarakat ini bertahan sampai tahun ke-IV dan setelah para pengurusnya terlibat
dalam berbagai kegiatan dan akhirnya pengelolaan majalah menjadi terbengkalai.
4. Bulletin Organisasi Intern
Sepuluh tahun kemudian Departemen Penerangan Pengurus Besar IPPI pada
tahun 1965 menerbitkan “Bulletin Organisasi Intern”, namun hanya berbentuk
bulletin, Pengurus Bulletin Organisasi Intern ini adalah Abd. Kahar Dangka sebagai
pimpinan umum, pimpinan redaksi oleh Rachmat Timur dan penanggung jawab di
pegang oleh Jusuf A., Rawis, Zimmi Nata, Munawar Hasan dan Hari. Bulletin
Organisasi Intern ini berkantorkan di Jalan Tanah Abang No. III/24 Jakarta.27
Bulletin ini terbit tiap satu bulan sekali dan di jual dengan harga Rp 5,- tiap nomor,
tetapi sebagai anggota IPPI hanya berharga Rp 4,- untuk tiga nomor. Namun bulletin
Organisai Intern ini tidak bertahan lama karena adanya kerusuhan Gestapu.
Seperti halnya surat kabar-surat kabar pejuang lain pada umumnya, surat
kabar terbitan dari IPPI dengan motivasi dasar menegakkan kemerdekaan guna
mencapai kehidupan yang adil dan sejahterah serta mendorong semangat
27 Susunan Lengkap Pengurus Bulletin Organisasi Intern IPPI (Ikatan
Pemuda Pelajar Indonesia) Tahun 1968, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,
Arsip Susunan PB IPPI, No. 87.
68
nasionalisme yang menggerakkan para pemimpin nasionalis dengan suatu kebutuhan
yang mendesak untuk berbicara secara bebas, meskipun dalam keadaan serba
kekurangan. Dari kondisi tersebut dapat dirasakan bahwa pada dasarnya pers
Indonesia pada masa awal berdirinya dan pada masa revolusi fisik masih dan hanya
menekankan dari segi perjuangan, sedangkan dari segi komersilnya belum mendapat
tempat dan perhatian khusus. Bangsa Indonesia dalam berjuang mempertahankan
republik mempunyai tekat: “Merdeka atau Mati”, maka surat kabar Indonesia pun
berorientasi dengan pedoman : “Lebih baik mati dari pada dijajah”.28
C. Hambatan IPPI Dalam Menjalankan Perannya
Pada saat Belanda mengacau dan menyerang wilayah Indonesia, dengan
sendirinya juga dilakukan terhadap pers Republik Indonesia.29 Demikian pula pada
saat terjadi agresi militer Belanda pertama pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers
Republik (disebut pers Republiken pada waktu itu) bertambah berat. Pihak Belanda
mulai pula menerbitkan koran-koran propaganda sendiri.30 Aksi-aksi Belanda
sewaktu agresi militer baik yang pertama maupun kedua terhadap kegiatan adalah
pertama, merampas alat-alat percetakan pada setiap penerbitan pers yang dilakukan
rakyat Indonesia. Tentu saja tujuannya agar alat percetakan tersebut tidak
dipergunakan oleh para penulis untuk memojokkan kedudukan mereka di Indonesia.
Kedua, menangkap para penerbit dan menahannya agar tidak bisa bekerja melakukan
28 Gerinda , 17 September 1948, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional 29 Tribuana Said., Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila,
(Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1987), hlm. 77. 30 Ibid., hlm. 78.
69
kegiatannya sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Ketiga, seperti yang
sudah disebutkan di atas yaitu menerbitkan koran-koran propaganda sendiri, tetapi
biasanya tidak pernah mendapat tanggapan dan simpati dari masyarakat.
Disamping kesulitan-kesulitan yang telah dikemukan di atas berhubungan
dengan adanya pendudukan Belanda, kesulitan yang dihadapi Pers Republik di
daerah-daerah pendudukan kecuali pemberangusan dan penangkapan, juga persediaan
kertas koran dan percetakan. Masalah ini disadari oleh para penerbit pers nasional,
seperti terbukti ketika mereka berkumpul di Surakarta pada bulan Februari 1946
untuk menyatukan barisan. Blokade militer Inggris dan Belanda di satu pihak, dan
pembreidelan pers di lain pihak, jelas memukul eksistensi dan pertumbuhan pers
republik. Blokade menutup jalur persediaan kertas, sedang pembreidelan pers
mengakibatkan penyusutan dana karena tertutup sumber pemasukan penerbit.
Demikian pula penangkapan-penangkapan terhadap para penerbit maupun penulis
republik pun jelas mematikan pers Republik. Menyadari pentingnya kehadiran pers
sebagai media komunikasi massa untuk penerangan dan meneguhkan semangat
perjuangan mutlak ditingkatkan. Oleh karena itu sejak proklamasi dan selama perang
kemerdekaan, jumlah surat kabar meningkat pesat karena memang tidak ada
pembatasan dari pemerintah. Bahkan, pemerintah Republik menganjurkan kepada
pemuda pelajar agar memperbanyak penerbitan artikel perjuangan dan pertahanan.31
Seperti: Pelita Zaman, Pemuda Merdeka, Patria, Obor, Soeara Moeda, Api Merdeka,
Menyala, Gerinda, Pemuda Masyarakat dan Bulletin Organisasi Intern.
31 Ibid., hlm. 80.
70
Pada saat Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dengan agresi militernya
yang kedua yaitu pada bulan Desember 1948, surat-surat kabar nasional tidak ada
yang terbit. Sebagian besar dari para penulis dan penerbit yang berhasil meloloskan
diri dari tawanan Belanda memilih berpindah daerah yang dianggap aman dan
mendukung dalam nelakukan kegiatan penulisan maupun penerbitan yang tidak lain
untuk tetap berjuang menyebarkan semangat dan anti kolonialisme kepada rakyat
Indonesia. Menyadari rakyat memerluhkan siaran dan penerangan, terutama yang
diterbitkan oleh golongan Republiken, bahwa gerilya kita masih kuat dan bertambah
kuat dan Belanda sudah mulai kalap, dan juga uraian-uraian untuk meninggikan
semangat juang rakyat seluruhnya. Para pemuda pelajar tidak segan-segan pula
memanggul senjata untuk ikut berperang sehingga pemuda pelajar memiliki tugas
ganda, yaitu sebagai pejuang perang dan juga sebagai wartawan maupun penerbit.
Sebagai pemuda pelajar, harus selalu menunjukkan sikap pejuang yang gigih.
Hal yang menarik dari perjuangan para pemuda pelajar ini adalah apabila
siang hari mereka turut berperang secara fisik, maka apabila malam hari mereka
bekerja di kantor untuk memuat tulisan-tulisan yang baru saja mereka saksikan di
medan pertempuran. Walau saat pendudukan Belanda berhasil merampas alat-alat
percetakan, tetapi para pemuda pelajar tetap melaksanakan kegiatan menulis dan
menerbitkan meskipun harus dengan menggunakan bahan kertas sederhana, seperti
menggunakan kertas pembungkus roti dan meminjam alat percetakan kepada salah
satu anggota pemuda pelajar yang memiliki alat percetakan sederhana. Semua resiko
tidak pernah dipikirkan oleh mereka, karena memang semboyan yang ada merupakan
tekad mengusir penjajah dari bumi Indonesia, dengan slogan “Merdeka atau Mati”.
71
Dengan demikian pers pada masa revolusi fisik, sama halnya dengan perhatian
bangsa, negara, dan pemerintah Indonesia pada waktu itu, yaitu semua memiliki
tujuan tetap dalam kesatuan untuk tetap tegaknya kemerdekaan Indonesia. Ini berarti
pers dan pemuda pelajar tampil menyatu dengan gelora revolusi perjuangn untuk
mendukung tujuan Indonesia merdeka.
Dengan melihat kenyataan itu, dapat diketahui sejauh mana peranan pemuda
pelajar terhadap perjuangan, baik perjuangan secara fisik maupun melalui pena untuk
tetap mempersatukan bangsa dan mengusir penjajah. Kemenangan yang diperoleh
oleh pejuang-pejuang kita, tentu tidak terlepas dari keikut-sertaan para pejuang pena
yang berhasil menunjukkan keadaan Indonesia yang sebenarnya kepada dunia
internasional bahwa rakyat Indonesia masih ada dan mampu memberi pukulan
balasan terhadap pertahanan Belanda. Hal yang lebih penting yaitu berhasil
mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia pada umumnya terhadap pemimpin-
pemimpin Indonesia, yang juga membuktikan bahwa Republik Indonesia tidak
mudah begitu saja untuk dihancurkan. Kemenangan yang nyata diperoleh ketika
terjadi pengakuan dan penyerahan kedaulatan terhadap Republik Indonesia oleh
Belanda. Bila ditinjau dari segi sejarah tumbuhnya pers nasional Indonesia, akan jelas
bahwa memang pers Indonesia di jaman penjajahan merupakan tahap perjuangan dan
pertahanan bangsa Indonesia. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia, jaman
perjuangan fisik pers untuk menegakkan kembali kemerdekaan, yakni menentang
kolonialisme dan imperialisme, membutuhkan tekat, kekuatan dan dukungan rakyat.