bab iii landasan teori

45
BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Stabilisasi Tanah Setiap konstruksi bangunan Teknik Sipil pasti berdiri diatas tanah, sehingga tanah merupakan material yang sangat berpengaruh dalam suatu pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah merupakan usaha perbaikan daya dukung (mutu) tanah yang tidak atau kurang baik, karena suatu daerah tidak akan memiliki sifat tanah yang sama dengan daerah lainnya. Kondisi tanah yang tidak selalu baik dilapangan menjadi penghambat pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu tindakan berikut : 1. Secara dinamis, yaitu pemadatan tanah dengan alat pemadat. 2. Perbaikan gradasi dengan cara menambah tanah pada fraksi tertentu yang dianggap kurang, sehingga tercapai gradasi yang rapat. Fraksi yang kurang biasanya adalah fraksi yang berbutir kasar, cara yang dilakukan adalah mencampur tanah dengan fraksi butir kasar seperti pasir, dan kerikil atau pasir saja. 3. Stabilisasi kimiawi, yaitu menambahkan bahan kimia tertentu, sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan yang

Upload: paraserianfirdaus

Post on 05-Aug-2015

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III Landasan Teori

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Stabilisasi Tanah

Setiap konstruksi bangunan Teknik Sipil pasti berdiri diatas tanah, sehingga tanah

merupakan material yang sangat berpengaruh dalam suatu pekerjaan konstruksi.

Stabilisasi tanah merupakan usaha perbaikan daya dukung (mutu) tanah yang tidak atau

kurang baik, karena suatu daerah tidak akan memiliki sifat tanah yang sama dengan

daerah lainnya. Kondisi tanah yang tidak selalu baik dilapangan menjadi penghambat

pekerjaan konstruksi. Stabilisasi tanah dapat terdiri dari salah satu tindakan berikut :

1. Secara dinamis, yaitu pemadatan tanah dengan alat pemadat.

2. Perbaikan gradasi dengan cara menambah tanah pada fraksi tertentu yang

dianggap kurang, sehingga tercapai gradasi yang rapat. Fraksi yang kurang

biasanya adalah fraksi yang berbutir kasar, cara yang dilakukan adalah

mencampur tanah dengan fraksi butir kasar seperti pasir, dan kerikil atau pasir

saja.

3. Stabilisasi kimiawi, yaitu menambahkan bahan kimia tertentu, sehingga

terjadi reaksi kimia. Bahan yang biasanya digunakan antara lain : Portland

semen, kapur tohor, atau bahan kimia lainnya. Stabilisasi ini dilakukan dengan

dua cara yaitu : mencampur tanah dengan bahan kimia kemudian diaduk dan

dipadatkan. Cara dua adalah memasukkan bahan kimia kedalam tanah

(Grouting) sehingga bahan kimia bereaksi dengan tanah.

4. Stabilisasi tanah dapat berupa suatu pekerjaan atau gabungan – gabungan

pekerjaan berikut :

a. Stabilisasi mekanis, stabilisasi dengan berbagai macam peralatan mekanis,

biasanya dilakukan dengan alat berat atau mesin penggilas.

b. Stabilisasi dengan menambahkan suatu bahan tambah (additive) kedalam

tanah. Dalam analisa stabilisasi tanah lempung ini, saya akan melakukan

Page 2: BAB III Landasan Teori

perbaikan tanah lempung dengan campuran berupa fly ash Gunung Merapi

dan kapur tohor dari desa Gamping.

Terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan bahan

stabilisator, antara lain jenis tanah yang akan distabilisasi, yang mana lapisan yang akan

digunakan, jenis perbaikan tanah yang diinginkan, kekuatan yang diperlukan dan daya

tahan dari lapisan yang distabilisasi, biaya dan juga kondisi lingkungan.

Unified Facilities Criteria (UFC) mengatakan bahwa secara umum jika dilihat dari

berbagai gradasi butiran, semen merupakan pilihan yang baik sebagai stabilisator. Kapur

baik digunakan untuk tanah yang memiliki nilai plastisitas sedang hingga tinggi. Kapur

akan bereaksi untuk menahan nilai plastisitas pada tanah tersebut, sehingga menyebabkan

berkurangnya nilai plastisitas dan bertambahnya kekuatan tanah. Fly ash perlu

ditambahkan kapur jika akan digunakan sebagai bahan stabilitator.

3.2 Tanah Dasar Jalan (Subgrade)

Struktur perkerasan jalan pada penelitian ini merupakan struktur perkerasan lentur

(Flexible Pavement) pada jalan Tegal-Brebes bypass. Kombinasi pada struktur

perkerasan adalah lapisan dasar, fondasi dan lapisan aus yang diletakkan di atas tanah

dasar untuk memikul beban lalu lintas dan menyebarkan ke badan jalan (Direktorat

Jenderal Bina Marga, 1997).

Tanah dasar (subgrade) adalah bagian di bawah fondasi jalan dan merupakan

penunjang bagi struktur bagian-bagian jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997).

Tanah dasar jalan merupakan pondasi jalan yang mendukung perkerasan diatasnya dan

mendukung beban sementara dari lalu-lintas jalan raya, sehingga tanah yang dijadikan

subgrade harus merupakan jenis tanah yang baik kerena memegang peranan vital dalam

struktur perkerasan jalan.

Gambar 3. Struktur perkerasan lunak (Flexible Pavement Structure)

Page 3: BAB III Landasan Teori

Tanah dasar jalan bila diperbaiki dengan pemadatan atau karena adanya tanah

urug dengan material yang lebih baik akan menjadi lebih kokoh, perlakuan ini disebut

Improved Subgrade.

Menurut Suprapto (1999), agar subgrade dapat berfungsi dengan baik, maka :

1. Bahan subgrade yang baik, bukan tanah yang sifat kembang susutnya besar.

2. Pemadatan dilakukan pada kadar air yang tepat, sehingga didapat subgrade

yang seragam daya dukungnya dan stabil. Jika kekuatan tanah tidak seragam,

maka sebaliknya selama pelaksanaan perlu diusahakan teknik pelaksanaan

yang tepat, agar didapat keseragaman daya dukung.

3. Alinemen vertikal yang sesuai

4. Saluran drainase yang dapat berfungsi dengan baik

3.3 Pengaruh Tanah Lempung Terhadap Kadar Air dan Mineral yang

Terkandung dalam Tanah Lempung

Salah satu jenis tanah yang dianggap kurang baik sebagai subgrade pada

konstruksi jalan adalah tanah lempung, karena mempunyai sifat sangat dipengaruhi gaya-

gaya permukaan serta sangat mudah mengembang oleh tambahan air. Definisi tanah

lempung menurut beberapa ahli :

Terzaghi (1987)

Mengatakan bahwa tanah lempung adalah tanah dengan ukuran mikrokonis

sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi

penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering, dan tak mudah

terkelupas hanya dengan jari tangan. Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat

plastis pada kadar air sedang. Di Amerika bagian barat, untuk lempung yang keadaan

plastisnya ditandai dengan wujudnya yang bersabun atau seperti terbuat dari lilin disebut

“gumbo”. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat

lengket (kohesif) dan sangat lunak.

Das (1988)

Mendefinisikan sebagai tanah yang terdiri dari partikel-partikel tertentu yang

menghasilkan sifat plastis apabila dalam kondisi basah.

Bowles (1991)

Page 4: BAB III Landasan Teori

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel

berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari 50 %.

Hardiyatmo (1992)

Mengatakan sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung yaitu antara lain ukuran

butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi,

bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.

3.3.1 Mineral Lempung

Mineral lempung berukuran sangat kecil (kurang dari 0,002mm) dan merupakan

partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat diliat dengan mikroskop

electron. Menurut Bowles, 1991, mineral lempung menunjukkan karakteristik daya tarik-

menarik dengan air dan menghasilkan plastisitas yang tidak ditunjukkan oleh material

lain, walaupun material itu berukuran lempung atau lebih kecil. Beberapa mineral

lempung yang biasa terdapat adalah sebagai berikut.

Kaolanit (Kaolanite)

Istilah “kaolin” sebenarnya menjelaskan beberapa mineral lempung yang berbeda.

Istilah ini digunakan para insinyur untuk menerangkan kelompok lempung berkegiatan

rendah. Kaolinit adalah mineral lempung paling tidak aktif yang pernah diamati.

Satuan struktur kaolinit terdiri dari lapisan tetrahidra silika yang berganti-ganti

dengan puncak yang tertanam dalam satuan octahedral aliumina dan menghasilkan yang

disebut satuan dasar 1 : 1, berlapis tipis dengan ketebalan sekitar 7 Ǻ (1 Angstrom = 10-10

m). Pada keadaan tertentu, partikel kaolinite dapat terdiri dari seratus tumpukan yang

sulit dipisahkan, sehingga mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara

lempengan (air dapat menimbulkan kembang susut pada sel satuannya).

Mineral 1 : 1 lain dari "keluarga” kaloinit adalah haloisit (halloysite). Haloisit

berbeda dengan kaloinit, karena tertumpuk secara acak dan satu molekul air dapat masuk

diantara satuan-satuan 7 Ǻ.

Page 5: BAB III Landasan Teori

Gambar 3.. Struktur mineral kaolinit

Illit (Illite)

Illite diturunkan dari muscovite (mika) dan biotit (biotite), sehingga terkadang

disebut lempung mika. Mineral lempung illit terdiri dari lapisan gibsit octahedral yang

berada diantara dua lapisan silica tetrahedral, yang biasa disebut mineral 1 : 2. Beberapa

posisi silica akan terisi oleh atom-atom aluminium dan atom-atom potassium yang ikut

berada diantara lapisan-lapisan untuk mengatasi kekurangan muatan, sehingga rekatan

seperti ini mengakibatkan kondisi yang kurang stabil jika dibandingkan dengan kaolinit.

Oleh karena itu, aktivitas illit adalah lebih besar.

Vermikulit merupakan mineral lemung dalam “keluarga” illit. Lempung illit dan

vermikulit banyak dipakai untuk agregat berbobot ringan (kadang-kadang disebut “serpih

mengembang” atau “vermikulit”). Vermikulit terutama, sangat mengembang apabila

mengalami pemanasan yang tinggi, karena lapisan-lapisan airnya mudah menguap.

Gambar 3.. Struktur mineral illit dan vermikulit

Page 6: BAB III Landasan Teori

Mantmorilonit (Mantmorillonite)

Mantmorilonit adalah nama yang diberikan untuk suatu mineral lempung yang

ijumpai di Montmorillon, Prancis (1847).

Mineral ini merupakan jenis mineral 1 : 2, yang dibentuk oleh dua lembar silika

dan satu lembar aluminium (gibbsite). Mineral montmorillonite mempunyai luas

permukaan yang lebih besar dan sangat mudah menyerap air dalam jumlah banyak bila

dibandingkan dengan mineral lainnya, sehingga tanah ini mempunyai kepekaan yang

tinggi terhadap pengaruh air. Sifat–sifat yang demikian tersebut membuat

montmorillonite sangat sering menimbulkan masalah pada bangunan. Tanah-tanah yang

mengandung montmorillonite sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air.

Tekanan pengembangan yang dihasilkan dapat merusak struktur ringan dan perkerasan

jalan raya.

Gambar 3.. Struktur mineral mantmorilonit

3.4 Abu Vulkanik

Abu vulkanik terbentuk selama ledakan gunung berapi, dari longsoran batu panas

yang mengalir di sisi gunung berapi, atau dari semprotan lava pijar (Rose & Durrant,

2009). Material batuan vulkanik dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butirnya,

yaitu : Bombs and blocks, merupakan klasifikasi butiran terbesar, berukuran lebih dari 64

milimeter; Lapilli, merupakan klasifikasi butiran pertengahan, berukuran 2 – 64

milimeter; Volcanic ash (abu vulkanik), merupakan klasifikasi buturan terhalus,

berukuran mulai dari 2 milimeter sampai dengan skala makrometer.

Silika

Aluminium

Page 7: BAB III Landasan Teori

Abu vulkanik berwarna abu‐abu terang hingga hitam. Partikel abu vulkanik

memiliki kepadatan yang relatif rendah karena memiliki banyak pori-pori dan rongga.

Partikel-partikel ini biasanya terbang dan tersebar di udara di sekitar lokasi letusan.

Penyebaran abu vulkanik di udara tergantung pada jenis dan besarnya letusan, arah angin,

dan ukuran serta kerapatan dari partikel abu.

Abu vulkanik termasuk dalam kelompok pozzolan yang memiliki sifat pozzolanic.

Pozzolan didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengandung silika dan alumina yang

bersifat reaktif. Pozzolan dalam keadaan halus apabila dicampur dengan kapur padam

aktif dan air dalam beberapa waktu dapat bereaksi membentuk suatu massa yang padat

dan sukar larut dalam air.

Pozzolan dibagi menjadi tiga jenis (SNI 03-6863-2002), yaitu :

1. Pozolan jenis N, yakni abu terbang hasil kalsinasi dari pozzolan alam,

misalnya tanah diatomite, shole, tuff, abu vulkanik, dan batu apung, diproses

melalui pembakaran atau tidak melalui proses pembakaran.

2. Pozolan jenis F, yakni abu terbang yang mengandung CaO lebih kecil dari

10%, abu terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran batubara jenis

anthrchacite pada suhu kurang lebih 15600C. Abu terbang ini memiliki sifat

pozzolanic. Kadar (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3) > 70%.

3. Pozolan jenis C, yakni abu terbang yang mengandung CaO di atas 10%, abu

terbang (fly ash) ini dihasilkan dari pembakaran ligmit atau batubara dengan

kadar carbon ± 60 % atau sub bitumen. Abu terbang ini selain bersifat

pozzolanic juga memiliki sifat self hardening. Kadar (SiO2 + Al2O3 +

Fe2O3) > 50%.

Persyaratan kandungan unsur oksida yang harus ada pada suatu pozolan dapat

dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 3.. Tabel-tabel tersebut menjelaskan kandungan kimia

pada bahan-bahan pozolan yang digunakan dalam stabilisasi tanah, sehingga dapat

mengetahui kelas pozolan yang digunakan.

Page 8: BAB III Landasan Teori

Tabel 3.. Kandungan kimia pozzolan, ASTM C 618-92a

Kandungan kimiaKelas pozzolan

N (%) F(%) C(%)Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) + besi oksida (Fe2O3) minimumSulfur trioksida (SO3) maksimumKadar air maksimumHilang pijar maksimumKandungan alkali (Na2O) maksimum

70

43101,5

70

53121,5

50

5361,5

Tabel 3.. Susunan kimia dan sifat fisik abu terbang, ASTM C 618-78

ParameterKelas abu terbang

N (%) C(%)A. Susunan Kimia

Silikon dioksida (SiO2) + alumina oksida (Al2O3) + besi oksida (Fe2O3) minimumKalium oksida (CaO)Magnesium oksida (MgO) maksimumSulfur Trioksida (SO3) maksimumHilang pijar maksimumTotal alkali (Na2O) maksimumKadar air maksimum

B. Sifat-sifat fisikPemuaian dengan autoclave maksimumKehalusan 45 μm maksimum

70

< 1055121,53

0,834

50

> 205561,53

0,834

3.5 Kapur

Penelitian ini menggunakan kapur sebagai campuran terhadap abu terbang

vulkanik. Kapur dibuat dari batu kapur yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) dan

dengan pemanasan ± 980°C sehingga kandungan karbon dioksida ke luar hingga tersisa

mineral kapurnya saja (CaO).

Tipe-tipe dasar kapur yang dapat digunakan pada stabilisasi tanah (SNI 03-4147-

1996) :

1. kapur tipe I adalah kapur yang mengandung kalsium hidrat tinggi; dengan

kadar Magnesium Oksida (MgO) paling tinggi 4% berat;

Page 9: BAB III Landasan Teori

2. kapur tipe II adalah kapur Magnesium atau Dolomit yang mengandung

Magnesium Oksida lebih dari 4% dan paling tinggi 36% berat;

3. kapur tohor (CaO) adalah hasil pembakaran batu kapur pada suhu ± 90°C,

dengan komposisi sebagian besar Kalsium Karbonat (CaCO3);

4. kapur padam adalah hasil pemadaman kapur tohor dengan air, sehingga

membentuk hidrat [Ca(OH)2].

Stabilisasi dengan kapur telah secara luas digunakan untuk menurunkan potensi

pengembangan dan tekanan pengembangan pada tanah-tanah lempung. Penambahan

kapur menghasilkan konsentrasi ion-ion kalsium yang tinggi dalam lapis ganda sekeliling

partikel-partikel lempung, sehingga mengurangi tarikan bagi air. Biasanya kekuatan

lempung basah dapat dinaikkan apabila ditambahkan kapur dengan jumlah yang tepat.

Kenaikan kekuaran ini diakibatkan sebagian oleh penurunan sifat-sifat plastis dari

lempung dan sebagian oleh reaksi pozzolanis dari kapur dengan tanah, yang

menghasilkan bahan tersmen yang kenaikan kekuatannya dipengaruhi waktu. Tanah-

tanah yang diperbaiki dengan kapur, pada umumnya, mempunyai kekuatan yang lebih

besar dan modulus elastisitas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah yang tidak

diperbaiki. (Dunn, Anderson, & Kiefer, 1992)

Jenis kapur yang biasanya digunakan sebagai bahan stabilisasi adalah kapur

padam atau kalsium hidroksida (CaOH2), dan kapur tohor atau kalsium oksida (CaO).

Kalsium oksida (CaO) lebih efektif pada kasus-kasus tertentu, kapur jenis ini mempunyai

kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaannya, yaitu menyebabkan alat-alat mudah

berkarat dan berbahaya terhadap keselamatan para pekerjanya. Tetapi dalam pelaksanaan

stabilisasi, kapur yang sering digunakan adalah kalsium hidroksida (CaOH2), sedangkan

kalsium karbonat (CaCO3) kurang efektif sebagai bahan stabilisasi kecuali sebagai

pengisi (Ingles dan Metcalf, 1992).

Kapur yang digunakan untuk bahan stabilisasi tanah lempung disarankan

memiliki spesifikasi seperti yang tercantum pada Tabel 3..

Page 10: BAB III Landasan Teori

Tabel 3. Spesifikasi kapur untuk stabilisasi tanah lempung

(Ingles dan Metcalf, 1992)

Jenis Bahan Kapur Tohor (CaO)

Kapur Padam (Ca(OH)2)

Calcium dan magnesium oksidaCarbon dioxides – at kiln (ditempat pembakaran)Carbon dioxides – at elsewhereFineness

≥ 92%≤ 3%≤ 10%-

≥ 95%≤ 5%≥ 7%≤ 12%

Menurut Das (1994) bila fly ash digunakan sebagai bahan stabilisasi sebaiknya

dicampur dengan kapur, pada penelitian ini digunakan jenis kapur padam (CaO).

Stabilisasi untuk badan jalan akan lebih efektif jika perbandingan campuran antara fly ash

dan kapur adalah (10-30)% untuk fly ash dan (2-10)% untuk kapur. Kapur yang akan

digunakan untuk stabilisasi tanah, disarankan berupa bubuk. Hal ini sangat penting untuk

proses hidrasi serta dapat mengurangi masalah yang timbul. Kadar kapur yang disarankan

oleh Ingles dan Metcalf (1992) tercantum pada Tabel 3.).

Tabel 3. Kadar Kapur untuk Bahan Stabilisasi (Ingles dan Metcalf, 1992)

Jenis Tanah Kadar Kapur (%)Tanah berbutir halus pecahan batuLempung berkerikil gradasi baikPasirLempung BerpasirLempung kelanauanLempung kerasLempung sangat kerasTanah organic

Tidak direkomendasikan~ 3Tidak direkomendasikan~ 52 – 43 – 83 – 8Tidak direkomendasikan

3.6 Berat Jenis (Specific Gravity)

Berat spesifik atau berat jenis (specific gravity) (Gs) dapat didefinisikan sebagai

perbandingan antara nilai berat volume butiran padat (γs), dengan berat volume air (γw)

pada temperature 4°C. Persamaan berat jenis :

Gs = γ sγ w

Gs tidak berdimensi. Secara tipikal, berat jenis berbagai jenis tanah berkisar

antara 2,65 sampai 2,75 (dalam Hardyatmoko, 2006). Harga berat spesifik dari butiran

Page 11: BAB III Landasan Teori

tanah sering dibutuhkan dalam berbagai keperluan perhitungan mekanika tanah yang

dapat ditentukan secara akurat di laboratorium. Menurut Bowles (1991), setiap mineral–

mineral penting pada tanah memiliki nilai khas berat spesifik.

Tabel 3. Berat Spesifik Mineral – mineral Penting

Mineral Berat Spesifik

Gs

Quartz (kwarsa)

Kaolinite

Illinite

Montmorillonite

Halloysite

Potassium feldspar

Sodium and calcium feldspar

Chlorite

Biotite

Muscovite

Hornblende

Limonite

Olivine

2,65

2,6

2,8

2,65-2,8

2,0-2,55

2,57

2,62-2,9

2,6-2,9

2,8-3,2

2,76-3,1

3,0-3,47

3,6-4,0

3,27-3,37

Tabel 3. Berat Jenis Tanah

Macam Tanah Berat Spesifik

Gs

Kerikil

Pasir

Lanau anorganik

Lempung organik

Lempung anorganik

Humus

Gambut

2,65-2,68

2,65-2,68

2,62-2,68

2,58-2,65

2,68-2,75

1,37

1,25-1,8

Page 12: BAB III Landasan Teori

3.7 Distribusi Ukuran Butiran

Analisis ukuran butiran tanah adalah perhitungan presentase berat butiran pada

satu unitnit saringan dengan ukuran diameter lubang tertentu (Saringan Nomor 10, 20,

40, 60, 140, 200). Pemberian nama dan klasifikasi tanah sangat tergantung pada ukuran

butirannya. Ada dua cara yang umum digunakan untuk mendapatkan distribusi ukuran-

ukuran partikel tanah, yaitu analisa ayakan (penyaringan tanah) dan analisa hydrometer

(untuk ukuran partikel-partikel berdiameter lebih kecil dari 0,075mm).

Tabel 3. Saringan Standar Amerika

No. Saringan

Diameter lubang(mm)

346810162030

6,3554,753,352,362,001,180,850,60

No. Saringan

Diameter lubang(mm)

40506070100140200270

0,420,300,250,210,150,1060,0750,053

Page 13: BAB III Landasan Teori

Gambar 3. Susunan saringan, sehingga ukuran lobang saringan berkurang dari

puncak sampai ke dasar susunan saringan itu (dalam Bowles, 1989)

Prinsip pengujian analisa hidrometer adalah butiran-butiran yang terpisah akan

melewati air jernih dalam tabung berkapasitas 1000ml dengan kecepatan yang berbeda

menurut besar butirannya. Alat hidrometer akan tenggelam lebih dalam bila berat jenis

larutan suspense berkurang.

Dalam grafik distribusi tanah, indikasi gradasi ditunjukkan pada koefisien

keseragaman (Uniformly Coefficient), Cu dan koefisien gradasi (Coefficient of

Gradation), Cc yang dinyatakan dalam persamaan dibawah ini.

Cu = D60D10

Cc =( D 30 )2

D60 xD 10

Keterangan :

Cu : Koefisien keseragaman

Cc : Koefisien gradasi

D10 : 10% dari berat butiran total

D30 : 30% dari berat butiran total

D60 : 60% dari berat butiran total

Dengan persamaan tersebut, tanah dikatakan bergradasi baik jika :

Page 14: BAB III Landasan Teori

1. Didapatkan nilai Cu > 4, karena rentang ukuran butirannya juga besar,

sehingga tanah disebut ber-gradasi baik (well graded). Jika nilai Cu < 1,

maka tanah terdiri dari ukuran yang sama (seragam),

2. Jika Cc 1 – 3 dengan Cu > 4, untuk kerikil,

3. Jika Cc 1 – 3 dengan Cu > 6, untuk pasir,

4. Jika Cu > 15, sehingga tanah disebut bergradasi baik.

3.8 Batas Konsistensi (Atterberg Limit)

Dalam masalah tanah, penting untuk mengetahui pengaruh kadar air terhadap

sifat-sifat mekanis tanah, misalnya kita campurkan air terhadap suatu sampel tanah

berbutir halus (lanau, lempung atau lempung berlumpur) sehingga mencapai keadaan

cair. Di awal tahun 1900, seorang ilmuwan dari Swedia bernama Atterberg

mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus

pada kadar air yang bervariasi (Das, 1988). Oleh karena itu, tanah dapat dipisahkan

dalam empat keadaan dasar atas jumlah air yang dikandungnya, yaitu : padat, semi padat,

plastis, dan cair, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3..

Batas keadaan kandungan air pada tanah dapat dibagi menjadi : batas cair, batas

susut, dan batas plastis. Batas-batas ini dikenal juga sebagai batas-batas Atterberg

(Atterberg limit).

Gambar3. Batas-batas Atterberg

3.8.1 Batas Cair (Liquid Limit)

Batas cair (LL) adalah kadar air tanah dalam persen, didefinisikan sebagai batas

kondisi antara cair dan plastis atau batas atas dari daerah plastis. Pengukuran batas cair

Page 15: BAB III Landasan Teori

pada umumnya didapatkan dari uji alat Casagrande (1948), alat ini terdiri dari mangkok

kuningan yang bertumpu pada dasar karet yang keras. Tanah diletakan di atas mangkok,

diratakan dan digores dengan grooving tool sehingga membentuk sebuah alur memanjang

(ukuran standar), mangkok diputar dengan kecepatan putaran konstan 2 putaran/detik

dengan ketinggian jatuh 1 cm, sehingga membentuk suatu pukulan teratur. Harga liquid

limit adalah kadar air dimana diperlukan 25 pukulan untuk menutup alur grooving tool

sepanjang ½ “.Namun, karena sulitnya mendapatkan tepat 25 kali pukulan, maka

biasanya percobaan dilakukan beberapa kali. Percobaan dilakukan dengan berbagai kadar

air yang berbeda-beda dengan jumlah pukulan N sekitar 15 sampai 35. Setelah itu,

hubungan antara kadar air dengan jumlah pukulan diplotkan ke dalam grafik semi

logaritmik, guna menentukan kadar air pada 25 kali pukulan.

Berdasarkan hasil analisis dari beberapa uji batas cair, US Waterways Experiment

Station, Vicksburg, Mississippi (1949), mengajukan suatu persamaan empiris untuk

menentukan batas cair, yaitu :

LL = wN (N25

)tanβ

Keterangan :

LL : nilai batas cair (%)

N : jumlah pukulan yang dibutuhkan untuk menutup goresan selebar 0,5 in

pada dasar contoh tanah yang diletakkan dalam mangkok kuningan dari

alat uji batas cair

wN : kadar air dimana untuk menutup dasar goresan dari contoh tanah

dibutuhkan pukulan sebanyak N

tan β : 0,121 (tidak semua tanah mempunyai harga tan β = 0,121)

Page 16: BAB III Landasan Teori

Gambar 3. Kurva aliran (flow curve) untuk penentuan batas cair lempung berlanau

(silty clay) (dalam Das, 1988)

Gambar3. Alat uji Casagrande untuk pengukuran batas cair

3.8.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas plastis (PL) adalah kadar air dalam persen, didefininisikan sebagai transisi

dari keadaan semi-padat kedalam keadaan plastis. Batas plastis merupakan tingkat

Page 17: BAB III Landasan Teori

terendah ke-plastis-an suatu tanah. Prosedur pengujian batas plastis sangat mudah, yaitu

menggulung tanah berbentuk elipsoda sampai dengan diameter 1/8 in (3,2 mm) hingga

retak.

Indeks plastisitas [plasticity index (PI)] adalah perbedaan antara batas cair dan

batas plastis suatu tanah. Indeks plastisitas dapat dihitung dengan cara :

PI = LL – PL

Keterangan :

PI : Indeks plastisitas

LL : Batas cair

PL : Batas plastis

Urutan pelaksanaan uji batas plastis diberikan oleh ASTM Test Designation D-

424 (Das, 1988). Jika tanah memiliki PI yang tinggi, maka tanah tersebut mengandung

banyak butiran lempung. Namun, jika tanah memiliki PI yang rendah, maka tanah

tersebut seperti lanau yang mengalami sedikit pengurangan kadar air sehingga tanah

menjadi kering. Batasan mengenai tingkat indeks plastisitas tanah dengan sifat, macam

tanah dan kohesi, diberikan oleh Atterberg (1911, dalam Hardiyatmo, 2006) seperti yang

tercantum pada Tabel 3.

Tabel3. Harga Indeks Plastisitas dan Macam Tanah (Atterberg, 1911 dalam

Hardiyatmoko, 2006)

Indeks Plastisitas Sifat Tanah Macam Tanah Kohesi

0

< 17

7 – 17

> 17

Non plastis

Plastisitas rendah

Plastisitas sedang

Plastisitas tinggi

Pasir

Lanau

Lempung berlanau

Lempung

Non kohesif

Kohesif sebagian

Kohesif

Kohesif

3.8.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)

Batas susut (SL) adalah kadar air dalam persen, didefinisikan sebagai batas

dimana tanah dalam keadaan jenuh yang sudah kering tidak akan menyusut lagi,

meskipun dikeringkan terus atau keadaan dimana sesudah kehilangan kadar air

Page 18: BAB III Landasan Teori

selanjutnya tidak menyebabkan penyusutan volume tanah. Batas susut dapat dihitung

dengan persamaan berikut :

SL = M –{ (v−v 0 ) γw

W 0}100%

Keterangan :

SL : Batas susut (%)

M : Kadar air (%)

V : Isi tanah basah (cm3)

v0 : Isi tanah kering (cm3)

w0 : Berat tanah kering (gram)

γw : Berat isi air (gram/cm3)

3.9 Aktivitas Tanah

Aktivitas digunakan sebagai indeks untuk mengidentifikasi kemampuan

mengembang tanah lempung. Nilai atau harga dari aktivitas berbagai mineral lempung

diberikan menurut Skempton (1953) dapat dilihat dalam Tabel 3.. Menurut Skempton,

1953 (dalam Hardiyatmoko, 2006) mendefinisikan bahwa aktivitas adalah perbandingan

antara indeks plastis (PI) dengan persen berat fraksi lempung yang lebih kecil dari

0,002mm atau 2μm. Oleh karena itu, aktivitas dapat didefinisikan sebagai :

A = PI

% berat fraksi lempung<2 μm

Tabel 3. Aktivitas beberapa mineral (Skampton, 1953)

Jenis mineral Aktivitas (A)Na-montmorillonitCa-montmorillonitIlliteKaoliniteHalloysite (dehydrated)Halloysite (hydrate)

4 – 71,50,5 – 1.30,3 – 0,50,50,1

Jenis mineral Aktivitas (A)AttapulgiteAllophaneMicaCalsiteQuartz

0,5 – 1,20,5 – 1,20,20,20

Page 19: BAB III Landasan Teori

Seed dkk (1962), dalam Chen (1975) mengembangkan kurva berdasarkan nilai

aktivitas tanah lempung dengan persentase fraksi tanah lempung. Hubungan tersebut

dapat dilihat pada Gambar 3. Untuk mengetahui potensi pengembangan tanah

Gambar 3. Grafik hubungan aktivitas dengan persen fraksi lempung < 0,002 mm

(Seed dkk, 1962, dalam Hardiyatmoko, 2006)

3.10 Klasifikasi Tanah

Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tanah yang berbeda-beda

tapi mempunyai sifat yang sama dan subkelompok-subkelompok berdasarkan

pemakaiannya. Sistem klasifikasi mempermudah dalam menjelaskan secara singkat sifat-

sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa penjelasan detail. Sistem klasifikasi yang

telah dikembangkan bertujuan untuk rekayasa, didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah

sederhana seperti distribusi ukuran butiran tanah dan nilai plastisitas. Terdapat berbagai

macam sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-sistem tersebut yang

memberikan penjelasan detail secara tegas mengenai segala kemungkinan dalam

pemakaiannya. Hal tersebut disebabkan karena sifat-sifat tanah yang sangat bervariasi

(Das, 1988).

Dalam penelitian ini, digunakan dua sistem klasifikasi, yaitu : Sistem Klasifikasi

AASHTO dan Sistem Klasifikasi Unified [Unified Soil Classification (USC)].

3.10.1 Sistem Klasifikasi AASHTO

Page 20: BAB III Landasan Teori

Sistem klasifikasi AASHTO telah dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public

Road Administration Classification System. Klasifikasi dengan sistem ini dipakai hamper

secara eksklusif oleh beberapa departemen transportasi Negara bagian Amerika Serikat

dan oleh Federal Highway Administration (Administrasi Jalan Raya Federal) dalam

menentukan spesifikasi pekerjaan tanah untuk lalu-lintas transportasi. Sistem klasifikasi

AASHTO telah mengalami beberapa perbaikan, versi yang saat ini berlaku adalah yang

diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type

Road of Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard no. D – 3282,

AASHTO metode M145).

Klasifikasi AASHTO yang dipakai saat ini dapat dilihat pada Gambar 3.. Sistem

ini mengklasifikasikan tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai dengan A-

7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1, A-2, dan A-3 adalah tanah berbutir dengan

kandungan 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200.

Tanah dengan jumlah butiran lebih dari 35% lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan

kedalam kelompok A-4, A-5, A-6, dan A-7. Butiran dalam kelompok A-4 sampai dengan

A-7 tersebut sebagian besar adalah jenis tanah lanau dan lempung. Sistem klasifikasi ini

didasarkan pada kriteria berikut :

Ukuran butir :

Kerikil : butiran tanah lolos ayakan dengan diameter 75 mm (3 in) dan yang

tertahan pada ayakan No. 20 (2 mm).

Pasir : butiran tanah yang lolos ayakan No. 10 (2 mm) dan yang tertahan pada

ayakan No. 200 (0,075 mm).

Lanau dan lempung : butiran tanah yang lolos ayakan No. 200.

Plastisitas :

Jika butiran halus dari tanah memiliki indeks plastisitas [plasticity index(PI)]

sebesar 10% atau kurang masuk kedalam jenis tanah berlanau dan jika butiran

halus pada tanah memiliki indeks plastisitas sbesar 11% atau lebih akan masuk

kedalam jenis tanah berlempung.

Ukuran batuan :

Apabila ukuran batuan lebih besar dari 75 mm ditemukan dalam sampel tanah

yang akan diklasifikasikan, maka batuan-batuan tersebut harus dikeluarkan

Page 21: BAB III Landasan Teori

terlebih dahulu, namun persentase jumlah batuan tersebut harus dicatat terlebih

dahulu.

Gambar 3. Sistem klasifikasi AASHTO untuk lapisan tanah dasar jalan raya

3.10.2 Sistem Klasifikasi Tanah Unified

Sistem klasifikasi ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande dalam tahun

1942 untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army

Corps of Engineers selama Perang Dunia II (Das, 1988). Sistem ini telah banyak

digunakan (dan juga secara internasional) dalam pekerjaan teknik fondasi, seperti untuk

bangunan, bendungan, dan konstruksi sejenis lainnya. Dalam bidang transportasi, sistem

ini digunakan untuk desain lapangan udara dan untuk pekerjaan tanah pada jalan.

Klasifikasi dengan sistem USC mengkelompokkan tanah kedalam dua kelompok besar

(Gambar3.), yaitu :

1. Tanah berbutir kasar

Tanah kerikil dan pasir dengan kandungan kurang dari 50% berat total tanah

sampel lolos ayakan No. 200. Kelompok tanah ini diseimbolkan dengan huruf

awal G (gravel) untuk tanah berkerikil atau S (sand) untuk tanah berpasir.

2. Tanah berbutir halus

Tanah dengan kandungan lebih dari 50% berat tanah sampel lolos ayakan No.

200. Kelompok ini disimbolkan dengan huruf awal C (clay) untuk lempung

Page 22: BAB III Landasan Teori

anorganik dan O (organic) untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol

PT digunakan untuk tanah gamput (peat), muck, dan tanah-tanah dengan kadar

organic tinggi.

Berikut symbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi USC :

W = tanah bergradasi baik (well graded)

P = tanah bergradasi buruk (poorly graded)

L = plastisitas rendah (lom plasticity) (LL < 50)

H = plastisitas tinggi (high plasticity) (LL > 50)

Klasifikasi sistem USC dapat dilihat pada Tabel 3.. Pada Tabel 3. Terdapat garis

diagonal pada bagian plastisitas yang dinamakan garis A, dan garis A tersebut dapat

ditentukan dengan persamaan berikut :

PI = 0,73 (LL – 20)

Untuk tanah gambut (peat), dimungkinkan perlunya identifikasi secara visual.

Tabel 3.-1 Klasifikasi tanah unified (termasuk identifikasi dan deskripsi)

Page 23: BAB III Landasan Teori

3.11 Uji Pemadatan Tanah dengan Modified Proctor Test

Jika tanah asli yang digunakan sebagai tanah dasar (subgrade) jalan raya kurang

mendukung atau kurang baik, tidak jarang dilakukan penimbunan, maka pemadatan

sering dilakukan. Maksud pemadatan pada tanah dasar adalah untuk mempertinggi kuat

geser tanah, mengurangi sifat mudah mampat, permeabilitas, serta mengurangi perubahan

volume akibat perubahan kadar air, dan lain-lain.

Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut

pemadatan. Oleh akibat beban dinamis, butir-butir tanah merapat satu sama lain sebagai

akibat berkurangnya rongga udara. (Hardiyatmoko, 2006).

Alat-alat penggilas berat yang digunakan untuk uji pmadatan di lapangan sudah

banyak berkembang, sehingga uji Proctor standar harus dimodifikasi untuk dapat lebih

mewakili kondisi lapangan. Uji Proctor yang dimodifikasi ini disebut Modified Proctor

Test (ASTM Test Designation D-1557 dan AASHTO Test Designation T-180). Untuk

melaksanakan Modified Proctor Test ini, digunakan silinder mould yang sama dengan

volume 1/30 ft3 (9,44 x 10-4 m3) sebagaimana pada uji Proctor standar (Standard Proctor

Test). Tetapi tanah dipadatkan dalam lima lapisan dengan menggunakan penumbuk

Page 24: BAB III Landasan Teori

seberat 10 lb (massa = 4,54 kg). Tinggi jatuh penumbuk adalah 18 in. (457, 2 mm).

Jumlah tumbukan yang dilakukan adalah sebanyak 25 tumbukan per lapisan seperti yang

dilakukan pada uji Proctor standar. Sampel tanah yang digunakan dalam uji Proctor

adalah tanah-tanah berbutir halus yang lolos ayakan Amerika No.4.

Energi pemadatan yang dilakukan dalam uji Proctor dimodifikasi dapat dihitung

sebagai berikut :

E = (5lapisan )(25

tumbukanlapisan ) (10lb )( 1,5 ft

jatu h an)

( 130

ft3)

= 56,250 ft.lb/ft3 (≈ 2693,3 kJ/m3)

Dalam uji pemadatan, digunakan paling sedikit lima kali dengan kadar air tiap

percobaan divariasikan. Hubungan berat volume kering (γd) dengan berat volume basah

(γb) dan kadar air (w), dinyatakan dalam persamaan :

γd =γ b

1+w

Gambar3. Kurva hubungan kadar air dan berat volume kering

Apabila diketahui berat tanah basah di dalam cetakan yang volumenya diketahui,

maka berat isi basah dapat langsung ihitung sebagai :

Page 25: BAB III Landasan Teori

γb = Berat volume basah di dalam cetakan

Volume cetakan

Berat volume kering setelah pemadatan bergantung pada jenis tanah, kadar air,

dan usaha yang diberikan oleh alat penumbuknya. Nilai puncak dari berat isi kering

disebut berat volume kering maksimum. Kadar air pada berat volume kering maksimum

disebut kadar air optimum [optimum moisture content (OMC)]. Sebuah garis angka pori

nol (zero air voids) dapat digambarkan dan selalu berada diatas kurva pemadatan bila

telah didapatkan nilai Gs yang benar. Berat volume kering pada saat kejenuhan

(saturation) 100 persen (S = 100) disebut kadar air nol [zero air voids (ZAV)], dan dapat

langsung dihitung dengan persamaan :

γZAV = Gsγ w

1+wGs

Karena saat tanah jenuh (S = 100 persen) dan e = wGs maka :

γZAV = Gsγ w1+e

Berat volume kering setelah pemadatan pada kadar air w dengan kadar udara, A

(A = Va/V = volume udara/volume total) dapat dihitung dengan persamaan :

γd = Gs(1−A)γ w

1+wGs

Menurut Hardiyatmoko (2006), untuk menentukan variasi kadar air w dengan γZAV,

maka dilakukan cara sebagai berikut :

1. Tentukan berat jenis (Gs) dari uji laboratorium.

2. Pilihlah beberapa kadar air (w) tertentu, misalnya, dalam pengujian kali ini

saya ambil kadar air pemadatan sebelum pemeraman 14 hari sebesar 22%,

26%, 30%, dan 34%.

3. Hitung nilai γZAV untuk beberapa nilai kadar air (w) dengan menggunakan

persamaan diatas.

Page 26: BAB III Landasan Teori

Gambar3. Kurva hasil uji pemadatan pada berbagai jenis tanah (ASTM D-698)

3.12 California Bearing Ratio (CBR)

California Bearing Ratio (CBR) adalah pengujian pada tanah untuk mengetahui

perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan standar (standard load) atau

perbandingan antara tekanan yang diperlukan agar dapat menembus suatu lapisan tanah

dengan piston bulat seluas 3 inch2, dengan kecepatan penetrasi 0,05 inch/menit. Bila

tanah memiliki nilai CBR yang tinggi, maka ketebalan lapis perkerasan yang berada di

atasnya dapat berkurang. Penentuan nilai CBR dilaksanakan terhadap contoh tanah yang

sudah dipadatkan dengan pemadatan standar atau dengan pemadatan dimodifikasi.

Menurut ASTM D 1883, nilai CBR yang digunakan adalah penetrasi 0,1”. Namun,

apabila nilai CBR dengan penetrasi 0,2” lebih besar, maka percobaan harus diulang. Jika

nilai CBR dengan penetrasi 0,2” tetap lebih besar, maka yang digunakan adalah nilai

CBR dengan penetrasi 0,2”. Besarnya nilai CBR didapatkan melalui Persamaan 3..

untuk penetrasi 0,1” dan Persamaan 3.. untuk penetrasi 0,2”.

CBR = P 1

1000 x 100% (P1 dalam psi)

CBR = P 2

1000 x 100% (P2 dalam psi)

dengan P1 dan P2 adalah bacaan pada grafik penurunan 0,1” dan 0,2”.

Pengujian CBR laboratorium dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu

tanpa rendaman (unsoaked) dan dengan rendaman (soaked). Pengujian CBR tanpa

rendaman dilakukan dengan pengujian biasa tanpa perlakuan khusus. Setelah dilakukan

pemadatan dalam silinder pemadatan, kemudian saat itu juga dilakukan pengujian.

Page 27: BAB III Landasan Teori

Pada penelitian ini dilakukan uji CBR menggunakan metode rendaman, pengujian

ini dilakukan dengan merendam tanah hasil pemadatan kedalam bak berisi air selama 96

jam (4 hari). Hal ini dimaksudkan sebagai simulasi tanah mengalami kondisi terburuk

(hujan atau banjir) dan akan mengalami penambahan kadar air pada tanah sehingga

berakibat pada terjadinya pengembangan (swelling) dan penurunan kuat dukung tanah.

Pada penelitian ini metode CBR yang digunakan adalah CBR rendaman.

Menurut SNI 03-1732-1898 Tata Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen, menerangkan bahwa CBR minimum

yang dapat digunakan untuk subgrade jalan adalah 3% dan dalam keadaan terendam.

Syarat inilah yang kemudian dijadikan patokan dalam penelitian ini. Tanah campuran

yang paling optimum merupakan tanah yang memiliki nilai CBR tertinggi dan memenuhi

syarat CBR ≥ 3 %. Berdasarkan Turnbull (1968) maupun The Asphalt Institute (1970,

dalam Tallama, 2008) diketahui kriteria umum batasan nilai CBR untuk material tanah

dasar (subgrade) yaitu seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3..

Tabel3. Harga-harga CBR untuk Material Tanah Dasar

Nilai CBR (%)Kriteria Material Tanah DasarTurnbull The Asphalt Institute

20 – 3010 – 205 – 10< 5

Very GoodGood to FairQuestionable to FairPoor

ExcelentGoodMediumPoor

Penambahan air pada tanah lempung akan mengakibatkan perubahan volume

tanah. Pengembangan (Swelling) adalah persentase perubahan panjang pada benda uji

setelah perendaman. Pengujian swelling diilaksanakan bersamaan dengan pengujian CBR

laboratorium. Proses pengujian dilakukan dengan memasang sebual dial gauge pada

benda uji saat dilakukan pengujian CBR rendaman. Sifat mengembang ini sangat penting

artinya untuk subgrade karena akan mempengaruhi lapisan-lapisan diatasnya. Besarnya

nilai swelling dapat diketahui dengan persamaan berikut :

Pengembangan = ∆ HH 1

x 100%

Keterangan :

ΔH = H2 – H1 : pengembangan akibat peningkatan air (cm)

Page 28: BAB III Landasan Teori

H1 : tinggi benda uji sebelum penambahan air (cm)

H2 : tinggi benda uji setelah penambahan air (cm)

3.13 Uji Tekan Bebas

Uji tekan bebas (Uniconfined compression test) adalah bentuk pengujian yang

umum dilakukan terhadap sampel tanah lempung untuk mengetahui sensitifitas tanah

terhadap suatu besaran tekanan atau beban. Pada uji ini, tegangan penyekap σ3 adalah nol.

Tegangan arah aksial dilakukan kepada benda uji secara relative cepat hingga mencapai

keretakan dan keruntuhan. Pada titik runtuh, harga tegangan total utama kecil (total

minor principal stress) adalal nol dan tegangan utama besar adalah σ1 seperti terlihat

pada Gambar 3.. Karena kekuatan geser, kondisi air yang termampatkan dari tanah tidak

tergantung pada tegangan penyekap. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada persamaan

berikut :

τf = σ 12

= qu2

= cu

Ketrangan :

τf :Kekuatan geser

σ1 :Tegangan utama

qu :Kekuatan tanah kondisi tak tersekat

cu :Kohesi

Page 29: BAB III Landasan Teori

Gambar 3. Keruntuhan geser kondisi air termampatkan (Das Braja M, 1988)

Nilai qu diatas menunjukan kekuatan tanah kondisi tak tersekat. Perbandingan

harga-harga konsistensi tanah lempung dengan qu dapat dilihat pada Tabel 3..

Tabel3. Harga konsistensi tanah berdasarkan harga kekuatan tanah

Konsistensi

Qu

(ton/ft2) (kN/m2)

Sangat lunak 0 - 0,25 0 – 23,94

Lunak 0,25 - 0,5 24 – 48

Menengah 0,5 - 1,48 48,1 – 96

Kaku 1,00 - 2,96 96,1 – 192

Sangat kaku 2,00 - 4,192 192,1 – 383

Keras > 4 > 383

Secara teoritis, untuk tanah lempung jenuh air yang sama, uji tekanan tak tersekap

dalam kondisi air termampatkan tak terkendali (Unconsolidatedundrained) akan

menghasilkan harga cu yang sama. Tetapi pada kenyataannya, pengujian Unconfined

compression pada tanah lempung jenuh air biasanya menghasilkan harga cu yang lebih

kecil dari harga yang didapat dalam pengujian Unconsolidated-undrained. Ini dapat

dilihat pada Gambar 3. Berikut :

Gambar 3. Perbandingan hasil uji tekanan tak tersekat unconfined-compression

dan unconsolidated-drained dari tanah lempung jenuh air (Das Braja M, 1988)

Page 30: BAB III Landasan Teori

3.14 Uji XRD

Komposisi mineral yang terkandung dalam suatu material dapat diketahui dengan

pengujian X-Ray Diffraction (XRD). Pengujian ini dapat dilakukan di Laboratorium

Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada. Sampel pada penelitian ini adalah tanah

lempung, abu vulkanik dan tanah campuran optimum.

Prinsip kerja uji XRD adalah dengan memasukkan sampel yang sudah berbentuk

bubuk dan dicampur cairan khusus kedalam mesin XRD. Kemudian sampel ditembakkan

pada titik sembarang dengan sinar-X di dalam mesin. Pembacaan yang didapatkan berupa

grafik hubungan antara 2-theta (absis) dengan intensitas (ordinat). Selain grafik, juga

terdapat data detail tentang pembacaan dari tembakan sinar-X tersebut yang tersedia

dalam bentuk tabel. Nilai d-spacing value (Å), ketinggian, luas area dari mineral disajikan

dalam satu tabel hasil.

Langkah selanjutnya adalah mencari jenis mineral yang terkandung di dalam

sampel, yang mengacu pada panduan Table of Key Lines in X-ray Powder Diffraction

Patterns of Minerals in Clays and Associated Rocks (Chen,1977) atau dalam Joint

Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS, 1988). Buku tersebut berisi tentang

tabel daftar nama mineral beserta nilai 2-theta dan d-spacing value (Å). Pembacaan

dimulai dengan mencari nilai main peak dan nilai d-spacing value (Å) pada buku JCPDS.

Jika tidak terdapat nilai yang sama, maka dicari nilai 2-theta dan d-spacing value (Å)

yang mendekati. Pembacaan yang dilakukan hanya untuk nilai 2-theta yang memiliki

intensitas diatas 25%. Hal ini dilakukan karena selain untuk memudahkan dalam

pembacaan juga dikarenakan nama mineral yang ingin diketahui hanyalah mineral yang

dominan. Selanjutnya mencari persentase dari kandungan mineral tersebut. Langkah yang

harus dilakukan adalah dengan membandingkan ketinggian (height) mineral dengan

ketinggian total yang terdapat dalam hasil XRD, kemudian dikalikan 100%. Setelah

persentase didapatkan, maka pembacaan hasil uji XRD telah tuntas.

Berdasarkan proses pemadatan mineral, terbagi menjadi dua, yaitu kristalin dan

amorf. Kristalin adalah suatu padatan yang atom, molekul, dan ion penyusunnya

terkemas secara teratur dan polanya berulang melebar secara tiga dimensi. Amorf adalah

Page 31: BAB III Landasan Teori

bahan padatan yang dicirikan oleh tidak adanya struktur yang tegas, mempunyai sifat

fisik yang seragam pada semua arah.

3.15 Uji Leaching

Uji leaching dengan metode Spektrofotometer Serapan Atom atau yang biasa

disebut uji AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometry) dilakukan untuk mengetahui

kandungan kimia yang terkandung pada suatu sampel. Sampel yang dibutuhkan untuk uji

leaching sebanyak ±10 gram, dapat berupa pecahan material atau sudah disaring. Uji

leaching pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia pada sampel

tanah lempung jalan Tegal-Brebes bypass dan abu terbang vulkanik Gunung Merapi.

Prosedur pengujian dilakukan dengan menguji kandungan kimia yang dicari sesuai

dengan parameter yang diinginkan. Parameter yang digunakan adalah Al2O3, CaO,

Fe2O3, MgO, Na2O, K2O, SiO2, dan hilang pijar (LOI). Sampel pada saat uji leaching

diset ke alat uji, setelah itu panjang gelombang parameter diukur dengan hollow cathode

lamp untuk tiap parameter. Kemudian, kandungan kimia yang terkandung dalam sampel

dapat diketahui.