bab iii faktor-faktor penyebab malpraktek yang...
TRANSCRIPT
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN
OLEH BIDAN DAN UPAYA-UPAYA PENCEGAHANNYA
A. Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh
Bidan
1. Kelalaian (negligence, culpa)
Kelalaian adalah suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja,
atau kurang hati-hati, atau kurang penduga-duga. Akibat yang terjadi karena
kelalaian sebenarnya tidak dikehendaki oleh si pembuat.
Didalam KUHP, tindak pidana yang sebabkan oleh kelalaian diatur dalam
pasal 359,360 dan 361 KUHP.
Pasal 359:
Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Pasal 360:
1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan
selama-lamanya satu tahun.
2) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara
Universitas Sumatera Utara
selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya
enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,-
Pasal 361:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan
sesuatujabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan
sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam mana waktu kejahatan itu
dilakukan dan hakim dapat memerintahkansupaya keputusannya itu diumumkan.
Mengenai penyebutan kelalaian dengan “karena kesalahannya”, menurut
penulis hal ini kurang tepat, karena dalam hukum pidana, kesalahan (schuld) lebih
luas pengertiannya yaitu menyangkut kelalaian (culpa) dan kesengajaan (dolus)
Kelalaian (negligence,culpa) adalah salah satu faktor yang sering dijadikan
sebagai penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan
bahwa kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama.
Hal ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh
beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang
menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan
untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.31
Guwandi menyatakan bahwa malpraktek tidak sama dengan kelalaian.
32
31 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87 32 Amir, Amri, op.cit , hal 62
Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi dalam malpraktek tidak selalu
terdapat unsur kelalaian. Artinya malpraktek mempunyai pengertian yang lebih
Universitas Sumatera Utara
luas daripada kelalaian (negligence). Malpraktek, selain mencakup arti kelalaian,
ia juga mencakup tindakan- tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional,
dolus) dan melanggar Undang-Undang.
Didalam hukum kedokteran, terdapat rumusan tentang kelalaian yang
sudah berlaku universal yang dapat dipakai sebagai pedoman, yaitu “kelalaian
adalah kekurangan ketelitian yang wajar, tidak melakukan apa yang oleh seorang
lain dengan ketelitian serta hati-hati akan melakukannya dengan wajar, atau
melakukan apa yang seorang lain dengan ketelitian yang wajar justru tidak akan
melakukannya.
Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk
kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang
telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya.
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi menjadi dua macam. Pertama,
“kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya melakukan perbuatannya
itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang
timbul dari perbuatan tersebut. Kedua, “kealpaan akibat. Kealpaan akibat ini baru
merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau
matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP. 33
Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidak berbuat sesuatu,
padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang
oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada
33 Nasution, Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal 56
Universitas Sumatera Utara
kalau pelaku tidak memikirkan kemungkinan akan adanya suatu akibat atau
keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu dan kalau ia
memang memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang
bidan adalah “kelalaian akibat”, misalnya tindakan seorang bidan yang
menyebabkan cacat atau matinya orang berada dalam perawatannya, sehingga
perbuatan tersebut dapat dicelakan padanya.
Sedangkan menurut ukurannya, kelalaian (culpa) dapat dibagi menjadi:34
1. culpa lata (gross fault/neglect), yang berarti kesalahan besar atau sangat
tidak hati-hati.
2. culpa levis(ordinary fault/neglect), yakni kesalahan biasa.
3. culpa levissima (slight fault/neglect), yang berarti kesalahan sangat ringan
atau kecil.
Ukuran kesalahan dalam pelaksanaan tugas profesi bidan berupa kelalaian
dalam hukum pidana adalah kelalaian besar (culpa lata), bukan kelalaian kecil
(culpa levis).
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan,jika kelalaian
itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu
dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex”,
yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.35
34 Achadiat, Chrisdiono M, Melindungi Pasien dan Dokter, Jakarta; Widya Medika,1996, hal 28
35 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 87
Universitas Sumatera Utara
Jika kelalaian sampai menimbulkan kerugian materi, mencelakakan dan
bahkan merenggut nyawa orang lain, maka kelalaian ini merupakan kelalaian
serius dan dapat dikatakan sudah mengarah ke tindak pidana.36
Menurut Yusuf Hanafiah tolak ukur “culpa lata” adalah:
37
1. bertentangan dengan hukum
2. akibatnya dapat dibayangkan
3. akibatnya dapat dihindarkan
4. perbuatannya dapat dipersalahkan.
Sedangkan menurut Jonkers kelalaian memiliki tiga unsur, yaitu:38
1. peristiwa itu sebenarnya dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya
(foreseeabilit, voorzienbaarheid).
2. terjadinya peristiwa itu sebenarnya bisa dicegah (vermijdbaarheid).
3. maka sipelaku dapat dipersalahkan karenanya (verwijtbaarheid).
Salah satu contoh perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena
kelalaian,misalnya pada saat seorang bidan akan memotong tali pusat bayi
ternyata perut pasien atau bayinya ikut terluka.
2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman
Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu
saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan
, bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu
atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan
36 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 110 37 Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, op.cit , hal 88 38 Guwandi,J, Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik,Jakarta; FK-UI,
1993, hal 22
Universitas Sumatera Utara
tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan
tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat
membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.
Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam perawatan yang diberikan oleh
bidan kepada pasiennya, terjadi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bidan
yang membahayakan kesehatan pasien atau mungkin mengakibatkan sang pasien
menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari bidan
tersebut. Kesalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan bidan tersebut
dapat terjadi ketika melakukan diagnosa ataupun mengenai perawatan yang harus
diberikan kepada pasien.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesatnya
semakin memberikan kemudahan bagi tenaga kesehatan termasuk bidan untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu seorang
bidan diharapkan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Didalam Kode Etik Bidan, juga dicantumkan bahwa salah satu kewajiban
bidan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Kurangnya pengalaman juga dapat menjadi penyebab terjadinya
malpraktek atau praktek yang dibawah standar. Karena dari pengalaman inilah
seorang bidan semakin belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan prfesinya
Universitas Sumatera Utara
sebagai bidan. Melalui pengalaman inilah seorang bidan harus dapat
menggunakan ilmu yang didapatnya ketika menjalani pendidikan.
3. Faktor Ekonomi
Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat
berpengaruh terhadap pandangan masyarakat mengenai pelbagai segi kehidupan.
Segi positif dari perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari hak-
haknya dan cara berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap pelbagai segi
kehidupan.
Sedangkan segi negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin
materialistik, hedonistik dan konsumtif, dimana materi menjadi tolok ukur utama
dalam menilai suatu masalah dan hidup menjadi seolah-olah “perlombaan”
mencari materi.39
39 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 17
Seorang bidan selain dalam profesinya adalah juga merupakan manusia
biasa. Didalam kehidupannya, seorang bidan tentu saja mempunyai kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi disaat ini ketika kehidupan ekonomi
di Indonesia sedang mengalami masa sulit.
Dengan kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan
untuk memenuhi kebutuhan dengan mencari materi, telah menutupi peran yang
mulia dari profesi bidan. Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek bidan
hanyalah imbalan yang akan didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang
diberikan kepada pasien menjadi tidak maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Contoh malpraktek bidan yang disebabkan oleh faktor ekonomi, misalnya
bidan dengan diberikan imbalan uang tertentu membuka rahasia dari pasiennya
kepada orang lain yang tidak berhak untuk mengetahui rahasia tersebut. Padahal
seorang bidan dilarang untuk membuka rahasia dari pasiennya kepada orang lain,
kecuali jika diminta pengadilan untuk keperluan kesaksian. Hal ini diatur dalam
Kode Etik Bidan maupun dalam hukum pidana. Di dalam kode etik bidan hal ini
diatur dalam Bab I tentang kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu
pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya”. Dalam sumpah jabatannya bidan tersebut telah bersumpah
bahwa seorang bidan hanya boleh membuka rahasia pasiennya/kliennya apabila
diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan. Sedangkan didalam KUHP
ketentuan ini diatur dalam pasal 322 KUHP.
Pasal 322 KUHP:
1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia,yang menurut jabatannya
atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu iadiwajibkan
menyimpannya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.9000,-.
2) Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka
perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu.
Contoh lain perbuatan malpraktek bidan yang dilakukan karena faktor
ekonomi adalah bidan yang dengan diberikan uang atau imbalan tertentu
melakukan pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis) yang tidak
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan dilakukan pengguguran
kandungan. Perbuatan ini diatur dan diancam pidana dalam pasal 349 KUHP yang
berbunyi: “jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”.
Selain diatur dalam pasal 349 KUHP, tindakan pengguguran kandungan tanpa
indikasi medis ini juga diatur dan diancam pidana berdasarkan pasal 80 UU No.23
Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berbunyi:”barangsiapa dengan sengaja
melakukan tindakan medis tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,-“.
4. Faktor Rutinitas
Seorang bidan yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien
dapat juga terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut
menjadi sebuah rutinitas belaka. Hal ini dapat dapat juga menjadi faktor penyebab
terjadinya malpraktek atau pelayanan yang dibawah standar. Karena dengan
menjadikan praktek pelayanannya menjadi sebuah rutinitas, kemungkinan kehati-
hatian atau ketelitian dalam melaksanakan tugasnya menjadi berkurang. Sehingga
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam melakukan perawatan menjadi semakin
besar.
Universitas Sumatera Utara
5. Perubahan Pola Hubungan Bidan-Pasien
Hubungan tenaga kesehatan (bidan)- pasien, pada masa kini telah beralih
dari hubungan paternalistik ke hubungan otonom. Pasien semakin menyadari hak-
hak dan kewajibannya dalam bidang pelayanan kesehatan.40
40 Amir, Amri, op.cit, hal 52
Dahulu masyarakat dapat dikatakan selalu patuh kepada tenaga kesehatan
tanpa dapat bertanya apapun karena ketidaktahuan atas hak-haknya. Tetapi pada
masa kini pandangan tersebut mulai ditinggalkan. Pandangan bahwa tindakan
yang dilakukan tenaga kesehatan selalu benar, kini telah ditinggalkan dan diganti
dengan pandangan-pandangan yang kritis.
Dahulu dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada masyarakat posisi
tenaga kesehatan berada diatas pasien. Dengan kata lain antara tenaga kesehatan
dengan pasien mamiliki hubungan yang bersifat vertikal paternal. Sedangkan
sekarang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak
kesehatannya maka hubungan tersebut berubah menjadi hubungan yang bersifat
horizontal otonom. Yaitu posisi antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah
seimbang. Sehingga apabila ada tindakan tenaga kesehatan yang merugikan
pasien maka tenaga kesehatan tersebut dapat dituntut oleh pasien yang merasa
dirugikan.
Universitas Sumatera Utara
B. Upaya-Upaya Pencegahan Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh
Bidan
Mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang
dilakukan oleh bidan ini, penulis membagi menjadi dua bagian. Yaitu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri dan upaya pencegahan
yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kebidanan.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh bidan itu sendiri:
1. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya
Pasien yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan tentu
saja mengharapkan dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan
, bidan tersebut dapat membantunya untuk memperbaiki kesehatannya. Bagi ibu
atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan perawatan dari seorang bidan
tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan
tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat
membahayakan kesehatan dari sang ibu atau bayinya.
Dalam hal ini, bidan sebaiknya tidak menjanjikan atau memberi garansi
bahwa upaya yang akan dilakukannya akan seratus persen berhasil. Hal ini karena
upaya yang dilakukan bidan dalam perawatan pasiennya termasuk dalam
perjanjian upaya (inspanningsverbintenis) dan bukan perjanjian yang bersifat
resultaatverbintenis.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan inspanningsverbintenis atau perjanjian upaya
adalah kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk
mewujudkan apa yang diperjanjikan.41
Sedangkan yang dimaksud dengan Resultaatverbintenis adalah suatu
perjanjian bahwa pihak yang berjanji kan memberikan suatu Resultaat,yaitu suatu
hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
42
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah persetujuan
sepenuhnya yang diberikan oleh klien/pasien atau walinya (bagi bayi,anak
dibawah umur dan kloien/pasien yang tidak sadar) kepada bidan untuk melakukan
tindakan sesuai dengan kebutuhan.
Seorang bidan hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan
dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
perhatiannya sesuai dengan Standar Profesi Bidan.
2. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan
Tindakan Medis (Informed Consent).
43
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu dialog
antara bidan dengan pasien atau walinya yang didasari akal dan pikiran yang sehat
dengan suatu acara birokratisasi yakni penandatanganan suatu formulir atau
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) adalah suatu proses
bukan suatu formulir atau selembar kertas.
41 Ohoiwutun, Triana Y.A, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Malang:Bayumedia 1997, hal 13
42 ibid, 43 Sofyan, Mustika,dkk, op.cit, hal 96
Universitas Sumatera Utara
selembar kertas yang merupakan jaminan atau bukti bahwa persetujuan dari pihak
pasien atau walinya telah terjadi.
Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent adalah:44
a. maksud dan tujuan tindakan medik tersebut
b. risiko yang melekat pada tindakan medik tersebut
c. kemungkinan timbulnya efek samping
d. alternatif lain tindakan medik tersebut
e. kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila
tindakan medik itu tidak dilakukan.
Leenen menyatakan bahwa Standar Profesi Medis dan informed consent
merupakan dua hal pokok yang harus dipenuhi, untuk menhilangkan sifat
bertentangan dengan hukum terhadap suatu tindakan atau perbuatan medik.45
Pengaturan mengenai persetujuan tindakan medik (informed consent) ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.585/MENKES/Per/IX/1989.
Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya informed consent, seorang bidan
dapat memperlakukan pasien dengan seenaknya. Walaupun sudah ada informed
consent dari pasien atau walinya, apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan
efek negatif kepada pasien, misalnya pasien menjadi cacat atau bahkan
meninggal, sang bidan tetap dapat dituntut secara pidana. Yaitu apabila dalam
pelaksanaan tindakan medik tersebut dilaksanakan tidak sesuai dengan Standar
Profesi Bidan.
44 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 24 45 Ibid,
Universitas Sumatera Utara
3. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis
Pengaturan mengenai Rekam Medis diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.749a/MENKES/Per/XII/1989 tentang Rekam
Medis/Medical Record (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis).
Pengertian Rekam Medis menurut Pasal 1 huruf a Permenkes Rekam
Medis adalah berkas yang berisikan catatan tentang identitas pasien,
pemeriksaan,pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain pada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.46
a. identitas pasien
Didalam lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktek Bidan disebutkan
yang dibuat dalam rekam medis sekurang-kurangnya:
b. data kesehatan
c. data persalinan
d. data bayi yang dilahirkan (panjang badan dan berat lahir)
e. tindakan dan obat yang diberikan.
Petugas pembuat rekam medis ditentukan dalam Pasal 3 Permenkes
Rekam Medis adalah dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberikan
pelayanan langsung kepada pasien.47
46 Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit, hal 20 47 Ibid, hal 25
Rekam medis ini sangat berguna, terutama untuk menentukan apakah
tindakan yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan Standar Profesi.
Universitas Sumatera Utara
Didalam bidang hukum Rekam Medis dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuktian perkara hukum.48
Apabila seorang bidan mengalami keraguan dalam menangani pasiennya.
Baik pada tahap diagnosis maupun terapi atau perawatan, sebaiknya bidan
tersebut mengkonsultasikan hal tersebut kepada senior atau dokter, atau dengan
kata lain kepada orang yang menurut bidan tersebut memiliki pengetahuan yang
Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 huruf b
Permenkes Rekam Medis yang menyatakan bahwa Rekam Medis dapat digunakan
sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.
Dalam rangka pembuktian perkara pidana, kopi atau salinan rekam medis
yang digunakan sebagai alat bukti (tanpa meminta keterangan dokter atau tenaga
kesehatan pembuat rekam medis didepan persidangan) dapat dikategorikan
sebagai alat bukti surat karena rekam medis dibuat sesuai dengan ketentuan
kriteria Pasal 187 huruf a KUHAP (dalam UU No.8 Tahun 1981). Ketentuan
tersebut menyatakan bahwa berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi (dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannnya) harus
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat,atau
dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan
itu. Rekam medis sebagai alat bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian
karena memenuhi unsur-unsur yang diisyaratkan oleh Pasal 187 KUHAP, yaitu
apa yang ditulis sebagai isi rekam medis berdasarkan apa yang ia alami, dengar
dan lihat.
4. Apabila Terjadi Keragu-raguan, Konsultasikan Kepada Senior Atau Dokter
48 Ibid, hal 34
Universitas Sumatera Utara
lebih mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh bidan dalam menangai
pasiennya.
Hal ini perlu dilakukan, agar sang bidan jangan sampai melakukan
kesalahan mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya dalam menangani
pasiennya.
5. Menjalin Komunikasi Yang Baik Dengan Pasien, Keluarga Dan Masyarakat
Sekitarnya.
Seorang bidan dalam kesehariannya, hidup didalam lingkungan
masyarakat. Biasanya masyarakat inilah yang akan menjadi pasien atau klien dari
bidan tersebut.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitar bagi seorang bidan adalah sangat penting. Kedudukan bidan dalam sistem
pelayanan kesehatan tidak saja sebagai pemberi pelayanan kesehatan, akan tetapi
sering pula bidan menjadi semacam tempat tumpahan permasalahan dari klien
maupun keluarganya. Seorang wanita dalam keadaan hamil, melahirkan ataupun
pada masa nifas, seringkali mendapat gangguan pada emosinya atau pada keadaan
kesehatan mentalnya. Dalam keadaan seperti ini seringkali ia ingin mencurahkan
segala isi hatinya atau permasalahan dirinya secara pribadi maupun keluarga pada
seseorang yang mau mendengarkannya. Biasanya orang tersebut adalah bidan,
yang pada waktu-waktu tersebut sangat dekat dengan klien. Oleh karena itu sangat
penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitar agar ketika mendapat perawatan dari bidan sang klien atau
Universitas Sumatera Utara
pasien merasa nyaman sehingga dapat memberi kepercayaan kepada bidan untuk
membantunya.
Amri Amir, mengatakan bahwa hubungan tenaga kesehatan(bidan)-pasien
ini adalah pangkal dari timbulnya kasus malpraktek, maka kemungkinan
timbulnya kasus malpraktek dapat dikurangi dari semula bila terjalin komunikasi
dan informasi yang baik antara tenaga kesehatan (bidan) - pasien.49
IBI sebagai wadah organisasi profesi bagi bidan tentu saja diharapkan agar
dapat mengawasi dan membina anggotanya agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang memuaskan kepada masyarakat. Didalam wadah IBI terdapat
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait
dengan pelayanan kebidanan:
1. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik
Pada saat ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan kebidanan
(biasanya dengan nama Akademi Kebidanan atau disingkat Akbid), baik yang
dimiliki pemerintah, daerah, ataupun swasta.
Hal ini mencerminkan besarnya minat masyarakat yang ingin mempelajari
ilmu kebidanan dan berkecimpung dalam profesi bidan.Oleh karena, menjadi
tanggung jawab bagi lembaga pendidikan kebidanan tersebut untuk membina dan
melatih para peserta pendidikan kebidanan agar dapat menghasilkan bidan-bidan
yang berkualitas. Para peserta pendidikan kebidanan inilah yang nantinya akan
menjadi calon-calon bidan yang akan melayani didalam masyarakat.
2. Memaksimalkan peran IBI
49 Amir, Amri, op.cit., hal 62
Universitas Sumatera Utara
lembaga MPEB dan MPA yang berwenang untuk mengawasi keinerja dari bidan-
bidan yang adalah merupakan anggota dari organisasi IBI.
Diharapkan agar IBI melalui MPEB maupun MPA lebih dimaksimalkan
fungsinya agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana malpraktek yang
dilakukan oleh bidan. Karena hal ini juga dapat merusak citra bidan di mata
masyarakat.
C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan
Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan
malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula dari kasus-kasus
tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau dengan kata
lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan yang dilakukan
oleh bidan sehingga para tersangka dapat terbebas dari hukuman.
Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di
pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih
terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses
pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan.
Hukum kesehatan adalah merupakan hal yang baru di Indonesia. Sehingga
aparat penegak hukum masih sulit untuk dapat menyelesaiakan atau memproses
kasus-kasus yang berkaitan dengan malpaktek.
Selain itu malpraktek atau kasus-kasus yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan tidaklah sama dengan tindak pidana pada umumnya. Sebagai bahan
Universitas Sumatera Utara
perbandingan, ,misalnya untuk dapat menentukan kesalahan dari pengemudi yang
menyebabkan kecelakaan, sehingga mengakibatkan orang lain terluka atau bahkan
meninggal. Aparat penegak hukum dapat dengan mudah menentukan ukuran
pengemudi yang memiliki kemampuan rata-rata. Sedangkan pada kasus
malpraktek hal ini tidak mudah untuk menentukan kemampuan rata-rata dari
setiap tenaga kesehatan.
2. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan
Untuk dapat membuktikan kesalahan bidan, terlebih lagi yang disebabkan
oleh kelalaian bukanlah hal yang mudah. Karena dalam kesalahan yang dilakukan
oleh bidan banyak faktor yeng mempengaruhi dan menjadi latar belakang dari
timbulnya kesalahan tersebut. Faktor tersebut dapat berasal dari pihak bidan
maupun pihak pasien itu sendiri.
Faktor yang berasal dari pihak bidan:
a. Penatalaksanaan tindakan medik
b. Cara pemeriksaan
c. Kecermatan dan ketelitian
Faktor yang berasal dari pihak pasien:
a. Tingkat keseriusan penyakit
b. Daya tahan tubuh pasien
c. Usia
d. Kemauan dari pasien untuk sembuh
e. Komplikasi dari penyakitnya
Universitas Sumatera Utara
3. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan
Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-rata
seorang tenaga kesehatan sangatlah sulit, karena banyak faktor yang
mempengaruhi penentun itu. Sebagai misalnya seorang tenaga kesehatan yang
baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan kemampuannya dengan
seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjan di bidang kesehatan
selama dua puluh tahun.
Selain untuk kendala dalam menilai kemampuan rata-rata seorang tenaga
kesehatan, adalah tidak meratanya keadaan dari tiap daerah. Seorang tenaga
kesehatan yang melaksanakan pekerjaan di Irian Jaya selama sepuluh tahun tentu
tidak dapat disamakan kemampuannya dengan seorang tenaga kesehatan yang
melaksanakan pekerjaannya selama sepuluh tahun di rumah sakit dengan
peralatan super canggih di Jakarta.
Selain itu kemampuan tenaga kesehatan di kota kecil dengan keterbatasan
informasi dan peralatan, tidak dapat disamakan dengan kemampuan tenaga
kesehatan yang bekerja di kota besar yang tentunya sangat mudah memperoleh
informasi dan dikelilingi oleh peralatan canggih.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK YANG
DILAKUKAN OLEH BIDAN DALAM PERAWATAN PASIENNYA
A. Kriteria Penilaian Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan
Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana
medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa
terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis
fokusnya pada sebab/kausa dari tindak pidana.50
Masyarakat lebih menekankan pada akibat yang ditimbulkan, seberapa
jauh pasien dirugikan. Makin berat akibatnya, semakin besar dianggap kesalahan
tenaga kesehatan tersebut.
Begitu banyak kasus malpraktek yang diajukan ke pengadilan, akan tetapi
banyak juga kasus-kasus tersebut yang kandas atau tidak dijatuhi hukuman
ataupun pidana oleh pengadilan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
pandangan yang salah terhadap timbulnya tuntutan malpraktek dari masyarakat.
51
Secara hukum apakah seseorang melakukan malpraktek atau tidak, harus
dibuktikan di depan pengadilan. Seperti dikemukakan diatas, fokus dari tindak
pidana medis adalah pada sebab atau kausa dari tindak pidana tersebut. Dengan
Setiap ada tindakan tenaga kesehatan atau bidan yang
tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan pasien, maka tindakan bidan atau
tenaga kesehatan itu dikatakan sebagai malpraktek. Hal inilah yang menyebabkan
tuntutan malpraktek semakin meningkat.
50 Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 59 51 Amir, Amri, op.cit., hal 62
Universitas Sumatera Utara
kata lain, walaupun akibat yang ditimbulkan sangat besar, misalnya pasien
menjadi cacat atau bahkan meninggal, akan tetapi apabila tidak ditemukan
kesalahan baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian maka tenaga kesehatan
tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.
Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktek apabila:52
1. Ada tindakan atau sikap tenaga kesehatan yang:
- bertentangan dengan etik atau moral
- bertentangan dengan hukum
- bertentangan dengan Standar Profesi Medik
- kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang berlaku
umum
2. Adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.
Y.A. Triana Ohoiwutun memberikan penilaian tentang ada atau tidaknya
malpraktek medis antara lain didasarkan pada beberapa pertanyaan yaitu:53
52 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 19 53 Ohoiwutun, Triana Y.A, op. cit, hal 53
1. Adakah tindakan yang merupakan kelalaian yang telah dilakukan oleh tenaga
kesehatan?
2. Apakah praktek tindakan medis yang dilakukan tenaga kesehatan telah sesuai
dengan standar profesi?
3. Apakah pasien berakibat mendeita fisik/psikis secara serius akibat tindakan
medis?
Universitas Sumatera Utara
Dalam kepustakaan Anglo Saxon dikatakan bahwa seorang tenaga
kesehatan dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum, apabila telah
memenuhi syarat:54
1. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak
berdasarkan:
a. adanya indikasi medis
b. bertindak secara hati-hati dan teliti
c. bekerja sesuai dengan standar profesi
d. sudah ada informed consent
2. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standar profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
3. Damage (kerugian)
Adanya kerugian yang dirasakan atau dialami oleh pasien.
4. Direct Causation (penyebab langsung)
Bidan untuk dapat dipersalahkan harus ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela di antaranya.
54 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit , hal 28
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya menurut C. Berkhouwer S. dan D. Vortman seorang tenaga
kesehatan (bidan) dapat dikatakan melakukan kesalahan profesional, apabila dia
tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal
yang akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh tenaga kesehatan
(bidan) pada umumnya didalam situasi yang sama. 55
1. Pasal 44 (sakit jiwa)
Selain kriteria penentuan terjadinya malpraktek yang telah dikemukakan
oleh beberapa sarjana diatas, juga harus diperhatikan mengenai hal-hal yang
meniadakan hukuman bagi bidan.
Dasar peniadaan hukuman dapat merupakan dasar peniadaan hukuman
yang tercantum dalam Pasal-Pasal di KUHP maupun yang berasal dari luar
KUHP.
Dasar peniadaan hukuman bagi bidan yang tercantum dalam KUHP, yaitu:
2. Pasal 48 (adanya unsur daya paksa/overmacht)
3. Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa)
4. Pasal 50 (melaksanakan ketentuan UU)
5. Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan yang sah)
Sedangkan mengenai dasar peniadaan hukuman di luar KUHP, Guwandi
berusaha menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau
kesalahan khususnya di bidang medik, yaitu:56
1. Resiko pengobatan atau resiko medik (risk of treatment)
2. Kecelakaan medik (medical accident)
55 Nasution, Bahder Johan, op.cit., hal 76 56 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 29
Universitas Sumatera Utara
3. Kekeliruan penilaian klinis (Non-negligent error of judgement)
4. Kesediaan menanggung resiko (volenti non fit iniura/assumption of risk)
5. Contributory negligence
Selain itu ada juga dasar peniadaan hukuman yang diberikan oleh Undang-
Undang, misalnya dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan yang
menyebutkan: “Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa
ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu”.
Hal-hal tersebut diatas adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk
menentukan suatu penilaian atas suatu kasus. Apakah kasus tersebut termasuk
dalam malpraktek atau bukan. Selain itu untuk menentukan apakah pelaku dapat
diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak. Mengenai penentuan
tersebut tentu saja kembali kepada keputusan hakim yang menangani suatu kasus
yang berkaitan dengan malpraktek untuk menentukan apakah kasus yang
ditanganinya adalah merupakan malpraktek atau bukan. Atau apakah si pelaku
dapat diminta pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.
Mengenai proses penyelesaian malpraktek yang dilakukan oleh bidan,
terlebih dahulu harus memperhatikan apakah perbuatan bidan tersebut termasuk
dalam kategori malpraktek etik, administrasi, perdata atau pidana.
Harus diingat bahwa melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum)
berarti juga melakukan malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan
malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek yuridis.
Apabila bidan tersebut hanya melakukan perbuatan yang termasuk
kedalam malpraktek etik, misalnya dalam prakteknya bidan membeda-bedakan
Universitas Sumatera Utara
setiap pasien berdasarkan pangkat, kedudukan,golongan, bangsa atau agama. Hal
ini melanggar salah satu kode etik bidan pada Bab I tentang kewajiban bidan
terhadap klien dan masyarakat, yaitu pada butir (1) yang berbunyi: “setiap bidan
senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya
dalam melaksanakan tugas pengabdiannya”. Sedangkan dalam sumpah jabatannya
bidan tersebut telah bersumpah bahwa dalam melaksanakan tugas atas dasar
kemanusiaan tidak akan membedakan pangkat, kedudukan, keturunan, golongan,
bangsa dan agama. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah
profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-
peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.
Sedangkan apabila perbuatan bidan tersebut termasuk ke dalam
malpraktek yuridis, baik perdata, administrasi maupun pidana, maka
penyelesaiannya bukan lagi menjadi wewenang dari IBI sebagai wadah profesi
dan pengawas dari orang-orang yang berprofesi sebagai bidan. Akan tetapi,
menjadi wewenang dari lembaga judikatif atau lembaga peradilan.
Apabila perbuatan tersebut termasuk kedalam malpraktek perdata, maka
penyelesaian kasus tersebut harus berdasarkan kepada hukum atau aturan yang
ada di dalam hukum perdata. Dalam hal ini penyelesaian kasus malpraktek yang
termasuk dalam kategori malpraktek perdata dapat dilakukan melalui dua cara,
yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (diluar proses
peradilan).
Apabila dipilih cara litigasi atau melalui proses peradilan, maka pasien
atau penggugat dapat mengajukan gugatannya dipengadilan negeri di wilayah
Universitas Sumatera Utara
kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak.
Hal-hal yang sering dijadikan dasar dalam menggugat bidan secara perdata
adalah:
a. wanprestasi (Pasal 1371 KUHPerdata)
b. perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)
c. kelalaian sehingga menimbulkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata)
Dalam proses peradilan perdata umumnya ingin dicapai suatu putusan
tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah dan kemudian
putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada
penggugat apabila gugatan yang diajukan dapat dibuktikan.
Apabila dipilih cara non litigasi atau diluar proses peradilan, maka kedua
belah pihak, yaitu pasien dan bidan berupaya untuk mencari kesepakatan tentang
penyelesaian sengketa. Dalam proses ini diupayakan mencari cara penyelesaian
yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak. Hakim
pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya
persidangan.
Menurut pendapat Wila, sebagian kasus malpraktek diselesaikan secara
damai yang dilakukan diluar jalur litigasi.57
Sedangkan apabila, perbuatan bidan tersebut termasuk dalam kategori
malpraktek pidana, maka kasus tersebut harus diselesaikan melalui jalur litigasi.
Hal ini disebabkan karena tenaga
kesehatan tidak menghendaki reputasinya rusak bila dipublikasikan secara negatif,
walaupun ada kemungkinan tenaga kesehatan yang bersangkutan tidak bersalah.
57 Isfandyarie,Anny, op.cit., hal 108
Universitas Sumatera Utara
Karena berbeda dengan hukum perdata yang bertujuan untuk mencari perdamaian
antara kedua pihak yang bersengketa atau dalam hal ini adalah tenaga kesehatan
dengan pasiennya, hukum pidana adalah hukum yang menyangkut kepentingan
umum bersama. Berbicara hukum pidana berarti berbicara tentang hukum publik.
Oleh karena itu apabila telah terbukti tenaga kesehatan telah melakukan
malpraktek, maka hukum harus tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak,
berarti kita tidak mendidik kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar
terhadap hukum yang berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk
menegakkan hukum itu sendiri.
Untuk mengajukan tuntutan melalu proses hukum pidana, pasien atau
korban cukup melaporkan kepada penyidik dengan menunjukan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
saksi dan terdakwa, serta mengumpulkan bukti-bukti. Berkas hasil penyidikan
penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun
tuntutannya. Setelah itu tergantung kepada putusan hakim untuk memutuskan
kasus tersebut, apakah terdakwa diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi pidana
atau tidak. Dan apakah terdakwa tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban
secara pidana atau tidak.
Menurut Y.A.Triana Ohoiwutun, penjatuhan sanksi pidana dapat
dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:58
a. Perbuatan dilakukan oleh subyek hukum (manusia dan badan hukum).
58 Ohoiwutun, Triana Y.A, op.cit. hal 59
Universitas Sumatera Utara
b. Ada kesalahan.
c. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum.
d. Pembuat atau pelaku mampu bertanggung jawab.
e. Tidak ada alasan yang menghapuskan pidana.
Dalam proses penyidikan kasus malpraktek pidana, diperlukan saksi ahli
dalam bidang yang berkaitan dengan kasus tersebut. Hal ini diperlukan karena
kasus malpraktek adalah kasus yang menyangkut dua bidang yang berlainan, yaitu
bidang hukum dan bidang kesehatan. Oleh karena itu diperlukan pendapat dari
orang yang memiliki pengetahuan di bidang kesehatan yang sesuai dengan kasus
malpraktek yang terjadi. Dalam kasus malpraktek yang dilakukan oleh bidan,
maka saksi ahli yang diajukan adalah saksi ahli yang memiliki keahlian dalam
ilmu kebidanan, misalnya dokter spesialis kandungan.
Keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan
tersebut. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan disidang diminta
untuk memberikan keterangan dan dicatat didalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji
dihadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah
atau janji yang diucapkan dimuka sidang mengenai kebenaran keterangannya
yang diberikan sebagai saksi ahli ini harus dibedakan dengan sumpah atau janji
yang diucapkan pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan (sumpah jabatan)
Universitas Sumatera Utara
Adanya keharusan bagi saksi ahli untuk mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya itu dapat berlaku bagi dokter ahli
kedokteran kehakiman, atau dokter atau ahli lainnya, merupakan hal yang wajib
demi keadilan diatur dalam Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Bahkan bila hakim belum yakin, karena keterangan ahli mempunyai nilai
kekuatan pembuktian bebas, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan untuk
menerima kebenaran keterangan ahli yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.59
Apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis (baik perdata,
administrasi maupun pidana) dan dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI
melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah
benar-benar melakukan kesalahan. Karena salah satu tujuan pembentukan MPA
dan MPEB adalah untuk memberikan penilaian apakah seorang bidan dalam
melaksanakan tugasnya telah sesuai dengan kode etik bidan atau tidak. Salah satu
alasan dibentuknya MPA dan MPEB adalah karena bidan dalam melaksanakan
tugas profesinya kadang kala diprotes oleh keluarga pasien bahwa si bidan telah
membuat kesalahan atau kelalaian yang mendatangkan kerugian bagi pasien yang
Oleh karena itu bila hakim kurang atau belum yakin, dapat meminta
keterangan ahli lain, dan bahkan dimungkinkan untuk mengadakan penelitian
ulang dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunya
wewenang untuk itu. Hal ini dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 180
ayat (1) sampai dengan ayat (4) KUHAP.
59 Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Study Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hal 158
Universitas Sumatera Utara
ditolongnya. Sedangkan kemungkinan dapat terjadi kesalahan atau kelalaian dari
keluarga pasien itu sendiri seperti pertolongan keluarga sebelum pergi ke bidan.
Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau kelalaian tersebut
terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut telah
melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib
memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan
atau gugatan di pengadilan.
Didalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sebenarnya sudah
ditentukan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam
menjalankan praktek profesinya. Didalam Pasal 54 ayat (2) disebutkan bahwa
yang berhak menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga
kesehatan dalam melaksanakan profesinya adalah Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (MDTK).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.56
Tahun 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas
untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan
dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,
mandiri dan non struktural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana
Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan,
ahli agama, ahli psikologi dan ahli sosiologi.
Namun sampai saat ini peran MDTK dalam penanganan kasus malpraktek
atau kasus yang berkaitan dengan tenaga kesehatan masih kurang optimal. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
terlihat dari masih banyaknya kasus-kasus yang diduga sebagai malpraktek
ataupun kasus-kasus yang melibatkan tenaga kesehatan yang diajukan ke depan
muka pengadilan.
B. Kasus dan Analisis Kasus
1. Kasus
Kemudian pada pukul 17.00 WIB jalan lahirnya sudah lengkap 10 cm dan
disitulah saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dengan kondisinya ketika
Kronologis Perkara
Terdakwa Afrina Br. Sembiring telah didatangi saksi korban Henny Vivi
Yulianty bersama adik saksi korban di Klinik Bersalin Sari Buana milik terdakwa
di Jl. Setia Budi Medan pada pukul 09.00 WIB dengan mengatakan bahwa saksi
korban sudah ada tanda-tanda akan melahirkan. Kemudian terdakwa memeriksa
kesehatan pasien dan bayinya yang pada waktu itu kondisi kesehatan saksi korban
Henny Vivi Yulianty dan bayinya dalam keadaan sehat, kemudian terdakwa
ketahui bahwa bukaan jalan lahir bayi saksi korban sebesar 3 cm dan diperkirakan
masih lama lagi. Lalu terdakwa menyarankan saksi korban untuk jalan-jalan
disekitar klinik kurang lebih lima menit. Kemudian sekitar pukul 13.00 terdakwa
memberi infus Deatrose 5 % sebanyak 500 cc untuk menambah
tenaga,pemasangan infus tersebut telah disetujui oleh saksi korban Henny Vivi
Yulianty dan menurut pengakuan saksi korban, saksi Hastaricka alias Adek, saksi
Yusrah Nasution, dan saksi Denny Armaya alias Deni, 10 menit kemudian saksi
korban di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) melalui jarum infus
yang dilakukan oleh terdakwa.
Universitas Sumatera Utara
itu agak lemah dan saksi korban Henny Vivi Yulianty melahirkan dalam keadaan
normal tanpa menggunakan ekstraksi Vakum dan juga tidak dengan dioperasi lalu
10 menit kemudian keluar urinya.
Pada pukul 18.00 WIB terdakwa melihat darah masih keluar sedikit-
sedikit dari vagina saksi korban Henny Vivi Yulianty dan pada pukul 20.00
terdakwa melihat saksi korban agak gelisah dan lemah dan perutnya agak
kembung dan ketika terdakwa mengukur tekanan darah menunjukan 70/50
MMHg. Kemudian ibu saksi korban memberitahukan kepada terdakwa bahwa
telah terjadi pendarahan banyak dari vagina saksi korban, namun terdakwa
mengatakan “Jangan Cemas” dan membiarkannya begitu saja, lalu keluarga saksi
korban bersikeras agar saksi korban dibawa ke Rumah Sakit untuk ditangani lebih
intensif, lalu terdakwa menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica.
Waktu itu pihak keluarga saksi korban yaitu bapak saksi korban meminta ke
Rumah Sakit Tentara, namun terdakwa menyarankan kepada mereka, saksi agar
dirujuk ke Rumah Sakit Vina Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG
sebagai Dokter Konsul terdakwa bisa menangani pasien di Rumah Sakit Vina
Estetica dan kemudian terdakwa menghubungi Dr. Jhon Robert Simanjuntak,
SpOG melalui Hp nya bahwa terdakwa membawa saksi korban ke Rumah Sakit
Vina Estetica.
Kemudian pada malam itu juga sekitar pukul 20.00 WIB terdakwa
bersama keluarga saksi korban membawa saksi korban ke Rumah Sakit Vina
Estetica di Jl. Iskandar Muda Medan.
Universitas Sumatera Utara
Setibanya di Rumah Sakit Vina Estetica adalah sekitar pukul 20.30 WIB
dan selanjutnya saksi lorban ditangani oleh pihak Rumah Sakit Vina Estetica
sampai dirinya ditangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjutak, SpOG.
Sesuai dengan Resume Medik Rumah Sakit Vina Estetica tanggal 5
Agustus 2004 yang ditandatangani oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak, SpOG
selaku dokter yang merawat saksi korban dan R. Sinaga, Bsc,SE selaku Direktur
Umum, bahwa pada tanggal 1 Juli 2004 telah dilakukan operasi buka perut
(laparatomi) yang dijumpai robekan rahim dan robekan dinding kemaluan bagian
atas dan dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk penggangkatan rahim.
Dakwaan:
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang mendakwa terdakwa sebagai
berikut:
Pertama:
Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada hari Kamis tanggal 01 Juli
2004 sekira pukul 16.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan
April tahun 2006, bertempat di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No.106
Tanjung Sari Medan atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih
termasuk daerah Hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja melakukan
tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).
Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1)
UURI No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Atau kedua:
Bahwa terdakwa Afrina Br Sembiring pada waktu dan tempat seperti
tersebut diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, yang dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian.
Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 361 KUHP.
Atau ketiga:
Bahwa dia terdakwa Afrina Br. Sembiring pada waktu dan tempat seperti
tersebut diatas dalam dakwaan Pertama, karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang luka berat.
Perbuatan ia terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 360 KUHP.
Tuntutan Hukum:
Tuntutan Hukum Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut
agar terdakwa dijatuhi Pidana sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Afrina Br. Sembiring telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan
medis terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No.23
Tahun 1992 tentang UU Kesehatan.
2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Afrina Br. Sembiring
dengan pidana selama 3 (tiga) bulan penjara dikurangi sepenuhnya selama
terdakwa menjalani tahanan sementara dan denda Rp.1.000.000,- subsidair
2 bulan kurungan.
Universitas Sumatera Utara
3. Menyatakan barang bukti berupa:
nihil
4. Menetapkan agar terdakwa Afrina Br. Sembiring supaya dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp.500,- (lima ratus rupiah).
Fakta-Fakta Hukum:
Fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dalam persidangan secara
berturut-turut dikemukakan berupa keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
dan dikuatkan dengan barang bukti.
Keterangan saksi-saksi:
Saksi Henni Vivi Yulianty alias Heni, setelah bersumpah menurut agama islam
di depan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika
dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduannya tentang adanya
dugaan Malpraktek yang dilakukan oleh Bidan Afrina Br. Sembiring selaku
bidan di Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Medan ketika
dirinya melahirkan anaknya yang ketiga.
- Bahwa saksi menerangkan ketika mengetahui sudah ada tanda-tanda dirinya
akan melahirkan selanjutnya saksi bersama-sama dengan adiknya bernama
HASTARICKA alias ADEK pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia
Budi No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor
pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di
Klinik tersebut, saksi diperiksa langsung oleh Bidan Afrina Br.Sembiring
Universitas Sumatera Utara
dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian saksi di SINTO (obat
perangsang untuk cepat melahirkan) oleh Bidan Afrina Br. Sembiring .
- Bahwa saksi menerangkan kondisi kesehatan saksi dan kandungannya dalam
keadaan sehat bahkan sebelumnya sejak usia kandungan saksi berumur 7
bulan, saksi selalu memeriksakan kandungannya ke Klinik Bersalin Sari
Buana, dan hasil pemeriksaan sehat, bahkan saksi korban dengan ditemani
oleh Bidan Afrina Br. Sembiring pergi bersama memeriksakan kandungan
saksi di tempat praktek dr. JHON ROBERT S. Sp.OG.untuk USG pada
bulan Juni 2004 atau sekitar dua minggu sebelum saksi melahirkan dengan
hasil bayi yang dikandung dalam keadaan sehat.
- Bahwa saksi menerangkan ketika dirinya akan melahirkan anaknya yang
ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00, yang
ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring ada memberikan suntikan
perangsang untuk bayi lahir dengan cara di SINTO (obat perangsang untuk
cepat melahirkan)melalui jarum infus dan sejak diberi SINTO (obat
perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut saksi merasa perutnya mulas
seperti ingin melahirkan saja dan kemudian barulah sekitar pukul 14.30
WIB, saksi melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat badan bayi 3,9
Kg, namun lebih kurang 5 menit setelah melahirkan saksi mengalami
pendarahan yang hebat yang akhirnya saksi dirujuk ke RSU Vina Estetica
Medan dan kemudian ditolong oleh dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan ketika
dilakukan operasi barulah kelihatan bahwa rahim saksi telah robek akibat
melahirkan yang ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring di Klinik Sari
Universitas Sumatera Utara
Buana Jl. Setia Budi Medan dan akhirnya saksi ditolong dengan cara
pengangkatan rahim untuk keselamatan jiwa saksi.
Saksi Hastaricka alias Adek, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan
persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika
dimintai keterangan sehubungan dengan pengaduan kakak saksi bernama
Henni Vivi Yulianty tentang adanya dugaan Malpraktek yang dilakukan
oleh Bidan Afrina Br. Sembiring selaku Bidan di Klinik Bersalin Sari Buana
Jl. Setia Budi No. 106 Medan ketika kakak saksi Henni Vivi Yulianty
melahirkan anaknya yang ketiga.
- Bahwa saksi menerangkan ketika kakaknya sudah ada tanda-tanda akan
melahirkan selanjutnya, saksi bersama-sama dengan kakaknya bernama
Henni Vivi Yulianty pergi ke Klinik Bersalin Sari Buana di Jl. Setia Budi
No. 106 Medan dengan berboncengan menggunakan sepeda motor pada hari
kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 09.00 WIB, dan setiba di Klinik
tersebut, kakak saksi diperiksa langsung oleh Bidan Afrina Br. Sembiring
dan selesai itu lebih kurang 10 menit kemudian kakak saksi bernama Henni
Vivi Yulianty di SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) oleh
Bidan Afrina Br. Sembiring.
- Bahwa saksi menerangkan ketuban Henni Vivi Yulianty pecah sekitar pukul
13.00 WIB, dan kemudian pada pukul 14.30 WIB, Henni Vivi Yulianty
melahirkan anaknya yang ketiga dengan berat 3,9 Kg, namun selama proses
persalinan saksi melihat tangan Bidan Afrina Br. Sembiring dimasukkan
Universitas Sumatera Utara
kedalam lobang kemaluan kakak saksi Henni Vivi Yulianty untuk berusaha
mengeluarkan si bayi dan waktu itu Henni Vivi Yulianty mengerang-erang
kesakitan.
- Bahwa saksi menerangkan lebih kurang 5 menit selesai dibersihkan dari
melahirkan, Henni Vivi Yulianty mengalami pendarahan dan ketika itu tidak
ada tindakan Bidan Afrina Br. Sembiring terhadap kakak saksi dan tindakan
perawatnya hanya melakukan tensi darah saja.
- Bahwa saksi menerangkan, karena pendarahan pada Henni Vivi Yulianty
tidak berhenti, dan kondisi Henni Vivi Yulianty semakin lemah saja, maka
pada malam itu juga, Henni Vivi Yulianty dirujuk ke RSU Vina Estetica.
- Bahwa saksi menerangkan selanjutnya kakak saksi diberi pertolongan oleh
dr. Jhon Robert S. Sp.OG. dan kemudian pada malam itu juga sekitar pukul
23.30 WIB, kakak saksi Henni Vivi Yulianty di operasi pengangkatan rahim
dengan alasan rahim Henni Vivi Yulianty telah robek akibat melahirkan di
Klinik Sari Buana Jl. Setia Budi Medan.
Saksi Yusrah Nasution, setelah bersumpah menurut agama Islam didepan
persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.
Saksi Maulana Yahya Hapendi, setelah bersumpah menurut agama Islam
didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.
Saksi Denny Armaya alias Deni, setelah bersumpah menurut agama Islam
didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.
Saksi Wiwiek Devita alias Wiwik, setelah bersumpah menurut agama Islam
didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana dalam BAP.
Universitas Sumatera Utara
Saksi Dr. Jhon Robert simanjuntak Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama
Kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagaimana berikut:
- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika
dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya mengenai adanya
saksi melakukan pengobatan atau operasi terhadap perempuan bernama
Henni Vivi Yulianty.
- Bahwa saksi menerangkan sebabnya dirinya melakukan operasi
pengangkatan rahim (Histertomi) terhadap pasien Henni Vivi Yulianty
adalah karena pasien tersebut ketika dirujuk dari Klinik Bersalin Sari Buana
yang ditangani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring kepada Rumah Sakit Vina
pasien tersebut sebelumnya dilakukan pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan,
pasien tersebut mengalami robekan rahim, dan pendarahan yang hebat dan
kemudian dilakukan tindakan operasi dan pada saat operasi ditemukan darah
dirongga perut, sumber pendarahan dari robekan rahim yang luas, kemudian
saya memutuskan untuk dilakukan pengangkatan rahim.
- Dan perlu saya tambahkan sebelum dilakukan operasi saya sudah
memberikan penjelasan kepada keluarga Henni Vivi Yulianty yang
bertanggung dan setuju dilakukan operasi dan pada saat operasi, saya
memberikan penjelasan bahwa rahim tidak bisa dipertahankan lagi dan harus
diangkat dan pada waktu itu keluarga pasien dalam hal ini orangtua kandung
Henni Vivi Yulianty setuju untuk pengangkatan rahim.
- Bahwa saksi menerangkan sebelum korban Henni Vivi Yulianty melahirkan
anaknya yang ketiga tanggal 01 Juli 2004 yang ditangani oleh Bidan Afrina
Universitas Sumatera Utara
Br. Sembiring, korban Henni Vivi Yulianty pernah memeriksakan kesehatan
kehamilannya di tempat praktek saksi di Jl. SM Raja No. 15 B Simpang
Garu I medan yaitu pada tanggal 19 Juni 2004 sekitar pukul 19.00 WIB
dengan ditemani oleh Bidan Afrina Br. Sembiring dan hasil pemeriksaan
USG saksi ketika itu Henni Vivi Yulianty berikut bayinya dalam keadaan
sehat dan waktu itu usia kehamilan 38 minggu, detak jantung janin positif,
letak kepala, air ketuban cukup, kondisi ibu (Henni Vivi Yulianty) sehat
dengan tensi 120/80.
Saksi Ahli Dr. Jenius L.Tobing Sp.OG., setelah bersumpah menurut agama
kristen didepan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa saksi menerangkan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani ketika
dimintai keterangan sehubungan dengan kesaksiannya sebagai saksi ahli
karena memiliki keahlian FETO MATERNAL (Janin dan Ibu) atau Ilmu
Kebidanan yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehamilan persalinan dan
Nifas sehubungan dengan pengaduan Henni Vivi Yulianty.
- Bahwa saksi menerangkan dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga
dengan Henni Vivi Yulianty dan juga Bidan Afrina Br. Sembiring.
- Bahwa saksi setelah membaca Resume Medik An. Henni Vivi Yulianty
yang menerangkan Henni Vivi Yulianty dirujuk ke Rumah Sakit Umum
Vina Estetica dengan keluhan utama pendarahan dari kemaluan, sebelumnya
persalinan luar rumah sakit yang ditolong oleh bidan, pemeriksaan tekanan
darah 50/30 mm Hg s/d tidak terukur dengan HB 5,3 g/11. hasil
pemeriksaan : pendarahan paska persalinan ditambah pendarahan dalam
Universitas Sumatera Utara
rongga perut, diduga terdapat robekan rahim. Dan kemudian pada saat
dilakukan operasi buka perut dijumpai robekan rahim dan robekan dinding
kemaluan bagian atas dan dijumpai jaringan nekrotik, diputuskan untuk
pengangkatan rahim. Maka saya membuat kesimpulan bahwa tindakan Dr.
Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. yang melakukan pengangkatan rahim
pasien Henni Vivi Yulianty tersebut sudah sesuai prosedur untuk
keselamatan jiwa pasien Henni Vivi Yulianty, namun yang menjadi
penyebabnya berarti adalah pada Bidan yang menangani persalinan Henni
Vivi Yulianty sehingga terjadi pendarahan dan luka pada rahim Henni Vivi
Yulianty.
- Bahwa saksi menerangkan setelah dirinya membaca dan memperhatikan
bukti-bukti tersebut, saksi berkesimpulan kemungkinan penyebab terjadinya
pendarahan dari luka robekan rahim korban Henni Vivi Yulianty adalah
akibat dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)
yang diberikan oleh Bidan Afrina Br. Sembiring, karena anak yang
dilahirkan oleh Henni Vivi Yulianty tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai
dengan surat Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban
melahirkan) sehingga rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO
(obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut bisa mengakibatkan luka
robek pada rahim sehingga terjadinya pendarahan pada pasien Henni Vivi
Yulianty.
- Bahwa saksi menerangkan menurut tanggapan saksi selaku saksi ahli setelah
memperhatikan, membaca Resume Medis, Berita Acara Pemeriksaan Saksi
Universitas Sumatera Utara
Henni Vivi Yulianty dan juga Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik
Bersalin Sari Buana, tindakan Bidan Afrina Br. Sembiring tidak sesuai
dengan Prosedur Medis yang berlaku di Negara RI karena pemberian
SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut dengan tanpa izin
dokter.
Keterangan Terdakwa:
Terdakwa Afrina Br. Sembiring, pada pokoknya didepan persidangan
menerangkan sebagai berikut:
- Bahwa terdakwa mengaku ketika dimintai keterangan dalam keadaan sehat
jasmani dan rohani ketika memberikan keterangan sehubungan dengan
adanya pengaduan Henni Vivi Yulianty.
- Bahwa terdakwa mengaku dan membenarkan dirinya yang menangani
proses persalinan pasien Henni Vivi Yulianty ketika melahirkan anak pasien
yang ketiga pada hari kamis, tanggal 01 Juli 2004 sekitar pukul 15.30 di
Klinik Bersalin Sari Buana Jl. Setia Budi No. 106 Tanjung Sari Medan.
- Bahwa terdakwa mengaku dirinya tidak ada hubungan famili atau keluarga
dengan korban Henni Vivi Yulianty.
- Bahwa terdakwa mengaku kondisi kesehatan Henni Vivi Yulianty dan bayi
dalam kandungannya ketika dirinya memeriksakan kepada terdakwa dalam
keadaan sehat-sehat saja.
- Bahwa terdakwa mengaku ketika hendak menangani persalinan Henni Vivi
Yulianty dirinya tidak ada mengkonsulkan kepada Dokter konsul klinik
Universitas Sumatera Utara
terdakwa dan kebetulan Dokter konsul terdakwa di klinik Bersalin Sari
Buana adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG.
- Bahwa terdakwa mengaku Henni Vivi Yulianty melahirkan anaknya yang
ketiga di Klinik miliknya tersebut dengan keadaan normal dengan berat 3,9
Kg dan tinggi 50 cm, namun setelah melahirkan terdakwa mengaku Henni
Vivi Yulianty mengalami pendarahan pervagina.
- Bahwa terdakwa mengaku selanjutnya pasien Henni Vivi Yulianty dirujuk
ke Rumah Sakit Vina Estetica pada hari kamis, yanggal 01 Juli 2004 sekitar
pukul 17.00 WIB dengan keluhan pendarahan pervagina, dan setelah
dioperasi oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. barulah diketahui
penyebab terjadinya pendarahan pervagina tersebut karena robeknya rahim
dari Henni Vivi Yulianty dan itu diketahui terdakwa karena terdakwa sendiri
langsung melihat jalannya operasi tersebut.
- Bahwa terdakwa mengaku tindakan yang dilakuka oleh Dr. Jhon Robert
Simanjuntak Sp.OG guna penyelamatan jiwa Henni Vivi Yulianty adalah
dengan cara mengangkat rahim Henni Vivi Yulianty tersebut.
- Bahwa terdakwa tidak mengakui dirinya ada memberikan SINTO (obat
perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien Henni Vivi Yulianty.
- Bahwa benar terdakwa meminta uang sebanyak Rp.250.000,- untuk biaya
melahirkan.
Barang Bukti:
Nihil
Universitas Sumatera Utara
Surat :
1. Resume Medik RSU Vina Estetica Medan yang ditandatangani oleh Dr.
Jhon Robert Simanjuntal Sp.OG dan Direktur Umum RSU Vina Estetica
R. Sinaga Bsc. SE.
2. Resume Medik Klinik Sari Buana yang ditandatangani oleh Afrina.
3. Surat Keterangan Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana.
4. Surat Keterangan Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Medan
No.440/4286/IV/2006.
5. Surat Izin Praktik Bidan Afrina Br. Sembiring tanggal 27 Februari 2002
yang berakhir tanggal 27 Februari 2004.
6. Surat Izin Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar Swasta yang diberikan
kepada Afrina Br. Sembiring pada tanggal 11 April 2002 yang berlaku
sampai tanggal 11 April 2004.
Amar Putusan:
Menyatakan bahwa terdakwa Afrina Br. Sembiring tersebut telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana: “Melakukan
tindakan medik tidak sesuai dengan ketentuan”.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan, denda Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah) subsidair
1 (satu) bulan kurungan.
Menetapkan masa penahan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
Universitas Sumatera Utara
Memerintahkan agar barang bukti berupa:
Nihil
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1000,-.
2. Analisis Kasus
Amar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa Afrina Br. Sembiring tentu saja di ambil berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang muncul di
persidangan.
Fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan yaitu keterangan saksi-
saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti, tidak ada yang dapat mendukung
terdakwa. Sebaliknya fakta-fakta yang muncul dipersidangan justru memberatkan
terdakwa dalam kasus tersebut.
Selain itu tidak adanya pembelaan dari terdakwa, juga membuktikan
bahwa terdakwa mengakui perbuatannya. Dan untuk itu terdakwa telah
menagajukan permohonan yang pada pokoknya agar dijatuhi hukuman yang
seringan-ringannya.
Dalam menjatuhkan putusan tersebut, Majelis Hakim juga telah
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa,
yaitu:
Universitas Sumatera Utara
- perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
Yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban menjadi cacat
Yang meringankan
- terdakwa mengakui perbuatannya dan menyesal
:
- terdakwa sopan dipersidangan
- terdakwa belum pernah dihukum
Didalam persidangan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan.
Adapun unsur-unsur dari Pasal 80 ayat (1) UU Kesehatan tersebut adalah:
a. Dengan Sengaja
Dalam lapangan teori hukum pidana ada tiga macam kesengajaan, yaitu:
1). Sengaja sebagai maksud (oogmerz)
2) Sengaja dengan kesadaran akan kepastian (opzet Bijkerheid-Bewustzin)
3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan akan terjadi (voorwardelijk opzet/
dolus eventualis)
Dalam kasus ini, kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa adalah bentuk
kesengajaan yang termasuk dalam kategori sengaja dengan kesadaran
kemungkinan akan terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Dengan pengetahuan dan kemampuannya sebagai seorang bidan, sudah
sepatutnya terdakwa menyadari atau mengetahui akibat yang mungkin terjadi dari
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban.
Terlebih lagi, ketika usia kandungan korban atau sekitar dua minggu
sebelum korban melahirkan, korban dengan ditemani oleh terdakwa pergi untuk
melakukan pemeriksaan USG di tempat praktik Dr. Jhon Robert Simanjuntak
Sp.OG yang juga merupakan dokter konsul dari terdakwa.
Berdasarkan hal tersebut, seharusnya terdakwa betul-betul mengetahui
tentang keadaan korban dan kandungannya. Seharusnya korban mengetahui akibat
dari pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban,
ada kemungkinan terjadi akibat yang negatif terhadap korban. Seperti keterangan
yang diberikan oleh saksi ahli Dr. Jenius L. Tobing Sp.OG, bahwa kemungkinan
penyebab terjadinya pendarahan dari luka robekan rahim korban adalah akibat
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan)yang diberikan oleh
terdakwa. Saksi memberikan keterangan tersebut karena menurut saksi ahli
dengan pengetahuan dan keahliannya dalam bidang Feto Maternal (janin dan ibu)
atau ilmu kebidanan, setelah membaca Resume Medik korban, bahwa anak yang
dilahirkan oleh korban tersebut terhitung besar (3,9 Kg sesuai dengan surat
Kelahiran dari Klinik Bersalin Sari Buana tempat korban melahirkan). Oleh
karena itu rangsangan yang begitu kuat dari pengaruh SINTO (obat perangsang
untuk cepat melahirkan) tersebut, dapat mengakibatkan luka robek pada rahim
sehingga terjadi pendarahan pada korban.
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan Tindakan Medis Tertentu Terhadap Ibu Hamil
Menurut Chrisdiono M. Achadiat, yang dimaksud dengan tindakan medis
adalah semua tindakan atau langkah yang dilakukan atas pasien sehingga dalam
pengertian ini termasuk tindakan diagnostik maupun terapeutik.60
Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan kesalahan, mulai dari tindakan
diagnostik yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan terapeutik yaitu
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada pasien. Yang
menjadi penyebab terjadinya pendarahan pada korban akibat luka robekan rahim
sehingga rahim korban terpaksa diangkat untuk keselamatan jiwa korban.
Kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa adalah tidak mengkonsultasikan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien kepada dokter
konsul terdakwa yang adalah Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG. Padahal
mengenai pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) tersebut,
seharusnya diberikan dengan izin dokter. Apabila terdakwa terlebih dahulu
mengkonsultasikan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan oleh terdakwa
kepada dokter konsul terdakwa, mungkin dokter konsul terdakwa dapat
Dalam hal ini yang menjadi obyek dari tindakan medis adalah ibu hamil.
Dengan kata lain dalam kasus ini tidak hanya menyangkut keselamatan ibu hamil
atau pasien itu saja, tetapi juga menyangkut bayi yang sedang dikandungnya.
Seperti dikemukakan diatas tindakan medis meliputi tindakan diagnostik
maupun terapeutik. Karena berdasarkan tindakan diagnostiklah dapat ditentukan
tindakan terapeutik apa yang harus diberikan kepada pasien.
60 Achadiat, Chrisdiono M, op.cit., hal 37
Universitas Sumatera Utara
memberikan saran yang lebih bailk kepada terdakwa, mengenai tindakan medis
yang harus diberikan kepada korban/pasien. Hal ini tidak hanya didasarkan pada
kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh dokter konsul terdakwa, akan tetapi
juga berdasarkan fakta bahwa korban pernah memeriksakan diri kepada konsul
terdakwa dengan ditemani terdakwa. Hal ini berarti bahwa dokter konsul terdakwa
juga mengetahui keadaan korban dan kandungannya.
c. Yang Tidak Memenuhi Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 15 ayat
(1) dan ayat (2)
Pasal 15:
ayat (1):Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan:
a) Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut.
b) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli.
c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya.
d) Pada sarana kesehatan tertentu.
Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini
adalah dasar hukum peniadaan hukuman dari tenaga kesehatan yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
pengguguran kandungan (abortus provocatus). Hal ini mungkin dikarenakan
penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) UU Kesehatan ini yang menyebutkan mengenai
tindakan medis yang berupa pengguguran kandungan. Padahal maksud dari
ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini tidak hanya mengenai tindakan medis yang berupa
pengguguran kandungan saja. Akan tetapi juga tindakan medis lain yang bertujuan
untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya.
Dalam kasus ini, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan ini berlaku
sebagai peniadaan hukuman bagi tindakan medis yang dilakukan oleh Dr. Jhon
Robert Simanjuntak Sp.OG yang melakukan operasi pengangkatan rahim korban,
sehingga korban tidak dapat melahirkan lagi. Akan tetapi kepada Dr. Jhon Robert
Simanjuntak Sp.OG tersebut, tidak dapat dikenakan pidana, karena perbuatan Dr.
Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15
ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan. Tujuan dari tindakan medis yang dilakukan
oleh Dr. Jhon Robert Simanjuntak Sp.OG tersebut adalah untuk menyelamatkan
jiwa korban/ pasien. Karena apabila tidak dilakukan tindakan medis tersebut,
korban/pasien terancam bahaya maut.
Sedangkan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban.
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan tidak dapat berlaku
sebagai peniadaan hukuman. Dengan kata lain perbuatan atau tindakan medis
yang dilakukan oleh terdakwa kepada korban tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
Selain itu perbuatan atau tindakan medis yang dilakukan oleh terdakwa yaitu
pemberian SINTO (obat perangsang untuk cepat melahirkan) kepada korban tidak
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu. Atau dalam hal ini dilakukan tanpa izin dokter yang berwenang.
Dengan kata lain tidak ada pendelegasian wewenang untuk melakukan tindakan
medis tersebut.
Terlebih lagi ternyata terdakwa, selain tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan medis tersebut. Bahkan sebenarnya terdakwa tidak memiliki
kewenangan sama sekali untuk melakukan tindakan medis apapun. Atau dengan
kata lain bahwa terdakwa tidak memiliki kewenangan untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kewenangan untuk
menjalankan profesi tenaga kesehatan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan
melalui Surat Izin Praktek Bidan (SIPB) dan Surat Izin Bidan (SIB) telah habis
masa berlakunya dan belum diperbaharui.
Seharusnya sebelum SIB dan SIPB diperbaharui, terdakwa tidak boleh
menjalankan profesinya sebagai bidan dan memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis setuju dengan putusan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan menjatuhkan hukuman atau pidana
kepada terdakwa. Karena terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
Universitas Sumatera Utara
bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)” yang
diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Selain karena telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang terdapat
dalam Pasal 80 ayat (1) UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, menurut
penulis masih ada lagi satu faktor yang menjadi dasar persetujuan penulis
terhadap putusan majelis hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Yaitu
tidak adanya atau lambatnya penanganan terdakwa terhadap korban ketika terjadi
pendarahan setelah korban melahirkan. Yang dilakukan terdakwa hanya berkata
“Jangan Cemas” dan hanya melakukan pengukur tekanan darah saja. Setelah
pihak keluarga korban memaksa agar korban dibawa ke Rumah Sakit untuk dapat
ditangani lebih intensif baru terdakwa merujuk korban ke Rumah Sakit Vina
Estetica karena Dr.Jhon Robert Simanjuntak, SpOG sebagai Dokter Konsul
terdakwa bisa menangani korban di Rumah Sakit Vina Estetica.
Seandainya terdakwa langsung bertindak cepat menanggapi keadaan
korban yang mengalami pendarahan setelah melahirkan, dengan langsung
merujuk korban ke Rumah Sakit agar dapat ditangani oleh dokter yang memiliki
keahlian yang lebih, mungkin saja akibat yang terjadi terhadap korban dapat
dikurangi.
Kesalahan pertama dari terdakwa adalah melakukan praktek kebidanan
atau memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa memiliki izin
untuk melakukan praktek kebidanan. Karena izin untuk melakukan praktek
kebidanan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah habis
Universitas Sumatera Utara
masa berlakunya dan belum diperbaharui. Seharusnya sebelum IB dan SIPB
diperbaharui, terdakwa tidak boleh menjalankan praktek kebidanan dan
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Hal ini adalah salah satu bukti kurangnya pengawasan dari pemerintah
melalui Dinas Kesehatan maupun oleh IBI sebagai wadah organisasi bidan di
Indonesia.
Pemerintah melalui Dinas Kesehatan seharuya melakukan pengawasan
terhadap setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktek di wilayahnya.
Apabila ada tenaga kesehatan yang menjalankan pratek tidak sesuai dengan
ketentuan, misalnya menjalankan praktek tanpa izin, maka pemerintah melalui
Dinas Kesehatan dapat memberikan sanksi kepada tenaga kesehatan yang
bersangkutan.
Begitu juga IBI sebagai wadah organisasi profesi bidan di Indonesia,
seharusnya juga melakukan pengawasan terhadap anggotanya. Karena setiap
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan kepada masyarakat tentu saja
mempengaruhi citra IBI di mata masyarakat.
Apabila mutu pelayanan yan diberikan bidan kepada masyarakat baik, hal
itu akan meningkatkan citra IBI di mata masyarakat dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Begitu juga sebaliknya, apabila mutu pelayanan yang diberikan bidan
kepada masyarakat buruk, hal itu akan menjatuhkan citra IBI di mata masyarakat
dan kepercayaan masyarakat terhadap bidan juga akan semakin menurun.
Universitas Sumatera Utara
Apabila kita melihat faktor penyebab terdakwa melakukan praktek
kebidanan walaupun tanpa memiliki izin adalah karena faktor ekonomi. Karena
tujuan dari terdakwa dengan tetap melakukan praktek kebidanan walaupun tanpa
memiliki izin adalah agar terdakwa dapat mendapatkan uang sebagai imbalan atas
jasa pelayanan kesehatan atau pelayanan kebidanan yang diberikan oleh terdakwa
kepada pasien.
Selain itu yang menjadi kesalahan terdakwa adalah mengenai tindakan
medis yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban yaitu pemberian SINTO
(obat perangsang kelahiran) kepada korban yang mengakibatkan terjadinya
pendarahan pada vagina korban yang disebabkan oleh robekan pada rahim korban
sehingga rahim korban terpaksa diangkat dan mengakibatkan korban tidak dapat
melahirkan lagi.
Dalam hal ini, terdakwa tidak memiliki wewenang untuk melakukan
tindakan medis tersebut. Pertama, oleh karena sebenarnya terdakwa tidak
memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis apapun, karena izin yang
diberikan oleh Dinas Kesehatan melalui SIB dan SIPB telah habis masa
berlakunya dan belum diperbaharui. Kedua, karena pemberian SINTO (obat
perangsang kelahiran) harus dengan izin dokter. Sedangkan pada saat memberikan
SINTO (obat perangsang kelahiran) kepada korban, terdakwa tidak ada meminta
izin ataupun mengkonsultasikan kepada dokter yang berwenang untuk
memberikan izin.
Sebenarnya, menurut penulis masalah kewenangan melakukan tindakan
medis tanpa memiliki izin dapat dikesampingkan, yaitu pada situasi dan kondisi
Universitas Sumatera Utara
tertentu. Misalnya pada daerah terpencil yang tidak memiliki tenaga kesehatan
lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang
membutuhkan. Akan tetapi pada kasus ini, terdakwa melakukan perbuatan
tersebut dikota Medan, yang merupakan kota besar dan memiliki banyak tenaga
kesehatan lain yang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada korban.
Dengan kata lain, pada kasus ini sebenarnya terdakwa memiliki pilihan
lain yang lebih baik untuk menangani korban. Yaitu dengan sejak awal merujuk
korban kepada bidan atau dokter yang memiliki wewenang yang menurut
terdakwa dapat membantu korban untuk melahirkan. Misalnya menyarankan atau
merujuk korban kepada dokter konsul terdakwa.
Di dalam pasal 15 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan bahwa salah satu
syarat dilakukannya tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yaitu dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan
tim ahli.
Oleh karena itu perbuatan terdakwa yang memberikan SINTO (obat
perangsang kelahiran) tanpa izin dokter dan melakukannya tanpa memiliki
wewenang dan izin untuk menjalankan praktek kebidanan adalah tidak sesuai
dengan ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan. Dan oleh karena itu
terdakwa dapat dikenakan dan dijatuhi pidana sesuai dengan pasal 80 UU
Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor penyebab tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan
adalah:
a. Kelalaian (negligence, culpa)
b. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman
c. Faktor Ekonomi
d. Perubahan Pola Hubungan Bidan-Pasien
Sedangkan mengenai upaya-upaya pencegahan tindak pidana malpraktek yang
dilakukan oleh bidan adalah:
a. Tidak Menjanjikan Atau Memberi Garansi Akan Keberhasilan Upayanya
b. Sebelum Melakukan Tindakan Medis Agar Selalu Dilakukan Persetujuan
Tindakan Medis (Informed Consent)
c. Mencatat Semua Tindakan Yang Dilakukan Dalam Rekam Medis
d. Melakukan Pembinaan Kebidanan Yang Lebih Baik
e. Memaksimalkan peran IBI
Begitu banyak kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan dengan alasan
malpraktek yang dilakukan oleh bidan. Akan tetapi banyak pula dari kasus-
kasus tersebut yang kandas dalam proses persidangan di pengadilan. Atau
dengan kata lain tidak dapat dibuktikan secara hukum mengenai kesalahan
yang dilakukan oleh bidan sehingga para tersangka dapat terbebas dari
Universitas Sumatera Utara
hukuman. Hal ini disebabkan karena dalam proses pemeriksaan perkara di
pengadilan, khususnya untuk kasus yang berkaitan dengan malpraktek masih
terdapat kendala-kendala yang muncul sehingga menyulitkan proses
pembuktiannya. Kendala-kendala tersebut antara lain:
a. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum mengenai hukum kesehatan
b. Sulitnya untuk membuktikan kesalahan bidan
c. Sulit untuk menentukan kemampuan rata-rata seorang bidan.
2. Untuk menentukan kriteria terjadinya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh
bidan terdapat pendapat beberapa sarjana yang dapat dijadikan acuan.
Sedangkan mengenai penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan
oleh bidan yang telah masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada
pertimbangan hakim yang menangani kasus tersebut untuk menentukan apakah
kasus yang ditanganinya termsuk kedalam malpraktek atau tidak. Atau apakah
si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.
Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan
malpraktek etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu
merupakan malpraktek yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek
etik atau melanggar kode etik. Maka penyelesaian atas hal tersebut dilakukan
oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian sanksi dilakukan
berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.
Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan
dihadapkan ke muka pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib
melakukan penilaian apakah bidan tersebut telah benar-benar melakukan
Universitas Sumatera Utara
kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan atau
kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan
bidan tersebut telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka
IBI melalui MPA wajib memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut
dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di pengadilan.
B. Saran
1. Kiranya kepada para bidan dapat diberikan pengetahuan mengenai ketentuan-
ketentuan hukum yang berkaitan dengan profesinya.
3. Kiranya para bidan lebih bertindak hati-hati dan dapat selalu memberikan
pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat, dengan begitu
masyarakat puas dan bidan pun dapat terhindar dari tuntutan malpraktek.
4. Kiranya masyarakat pun dapat mengerti bahwa tidak semua akibat negatif
yang timbul sebagai akibat dari kesalahan bidan, karena mungkin saja hal
tersebut adalah kecelakaan medik atau hal-hal lain yang tidak dapat
dihindarkan.
Universitas Sumatera Utara